You are on page 1of 29

Valve atau katup (selanjutnya disebut valve yang berasal dari bahasa latin

valva, berarti papan pintu yang bergerak) adalah alat untuk mengatur,
mengarahkan atau mengontrol aliran fluida seperti gas, cairan, padatan
terfluidisasi, dan slurries, dengan cara membuka, menutup, atau menghalangi
sebagian. Pada saat valve terbuka, maka fluida akan mengalir dari tekanan
tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Pada tulisan berikut, akan diulas terkait
dengan jenis-jenis valve berdasarkan fungsinya.

JENIS VALVE

Terdapat 4 (empat) kategori valve berdasarkan fungsinya:

1. Isolation (Pengisolasi), berfungsi untuk membuka aliran dengan kondisi


tertentu sehingga saat terbuka memiliki hambatan aliran dan kehilangan
tekanan (pressure loss) yang minimum. Jenis valve yang masuk pada kategori
ini adalah Gate valves, Ball valves, Plug valves, Piston valves, Diaghragm
valves, Butterfly valves, dan Pinch valves

2. Regulation (Pengaturan), berfungsi untuk mengatur aliran dengan cara


menahan aliran fluida dengan hambatan dan perubahan arah atau keduanya
sekaligus. Jenis valve yang masuk pada kategori ini adalah Globe valves,
Needle valves, Butterfly valves, Diaghragm valves, Piston valves, dan Pinch
valves

3. Non-Return (Tanpa balikan), berfungsi untuk mencegah aliran balik (back


flow) pada fluida. Check valves termasuk pada kategori ini.

4. Special Purpose (Kegunaan spesifik), berfungsi untuk mengalirkan fluida


dalam kondisi spesifik. Contohnya adalah Multi-port valves, Flush Bottom
valves, Float valves, Foot valves, Line Blind valves, dan Knife Gate valves.

Pengkelompokan jenis-jenis valve dapat juga berdasarkan pengoperasiannya,


diantaranya dibedakan antara manual valve dan check valve. Berikut
merupakan jenis valve berdasarkan bentuk dan pengoperasiannya:
Secara umum, jenis valve yang biasa digunakan pada sistem pengolahan air
hanya beberapa saja. Diantaranya sebagai berikut:

1. Butterfly Valve

Nama valve menggunakan istilah butterfly karena bentuk katup menyerupai


kupu-kupu dengan dua sisi simetris serta pergerakannya yang memutar
dengan poros tengah sebagai tumpuannya. Butterfly valve merupakan
kelompok quarter-turn valves, dimana pada saat pengoperasiannya butterfly
disk akan terbuka atau tertutup sempurna ketika handrail diputar seperempat
bagian. Berdasarkan fungsinya, butterfly valve dikategorikan sebagai
pengisolasi dan regulator. Umumnya, terdapat 2 tipe butterfly valve: (1)
Wafer-style and (2) Lug-style.
2. Ball Valve

Berdasarkan namanya, bentuk katup valve menyerupai bola yang berlubang


atau cekung. Ball valve termasuk quarter-turn valves, dimana akan terbuka
atau tertutup sempurna saat diputar handle seperempat bagian. Fluida yang
melewati valve ini akan mengalir dengan baik karena tidak terdapat bagian
valve yang merintanginya. Pada pengoperasiannya, jenis design dan material
ball valve menentukan aplikasi penggunaannya, seperti badan valve dapat
terbuat dari metal, plastic, atau metal dengan keramik, sedangkan bola-nya
sendiri biasanya terbuat dari sepuhan krom agar tahan lama. Jenis ball type
diantara yaitu: (1) full port, (2) reduced port, dan (3) venture port.
3. Diaphragm Valve

Valve ini berbentuk diafragma yaitu menyerupai rongga seperti rongga badan
antara dada dan perut. Pada pengoperasiannya, terdapat 3 kondisi yaitu
terbuka penuh, throttling atau memperlambat aliran, dan tertutup penuh.
Kemampuan throttling (secara harfiah mencekik/memperlambat) pada
diaphragm valve merupakan kelebihannya dalam mengatur laju alir yang
diinginkan. Terdapat dua tipe diaphragm valve yaitu (1) Straighway type, dan (2)
Weir type.
4.
Globe Valve

Globe valve merupakan jenis katup yang memiliki arah gerak linier yang
memiliki fungsi sebagai regulator dengan cara menghentikan aliran dan
memperlambat aliran (throttling) menggunakan disk berbentuk bulat (atau
globe). Umumnya, terdapat 3 jenis globe valve yaitu (1) Angle globe valve, (2)
Y-Body globe valve, dan (3) Z-Body globe
valve.

5. Check Valve
Tipe valve merupakan non-return valve yang berfungsi agar mencegah terjadi
aliran balik sehingga aliran fluida hanya mengarah pada satu arah saja.
Biasanya, check valve bekerja secara otomatis dan tidak dikontrol oleh
seseorang atau pengontrol eksternal lainnya, dan kadang tidak memiliki
gagang valve (handle). Terdapat banyak jenis check valve, diantara adalah ball
check valve, duckbill valve, swing atau tilting disc check valve, diaphragm
check valve, stop-check valve, dan in-line check

valve. 6. Solenoid
Valve

Solenoid valve merupakan jenis katup yang dioperasikan menggunakan


prinsip elektromekanik, dimana dikontrol oleh arus listrik yang mengalir melalui
solenoid. Kumpulan solenoid di valve dapat terpasang bersama membentuk
manifold. Penggunaan solenoid valve biasanya untuk mengontrol jumlah
fluida, yaitu untuk menghentikan aliran, mengalirkan kembali, dosing,
mendistribusikan atau mencampurkan fluida.
ACTUATOR

Actuator (diartikan penggerak) pada valve berfungsi untuk mengatur laju alir
fluida dengan cara membuka dan menutup valve. Pada manual valve
dibutuhkan seseorang untuk mengatur gagang valve agar dapat dibuka dan
ditutup alirannya, sering disebut manual actuator karena pengeraknya
menggunakan tangan manusia. Untuk valve yang dikontrol bukan oleh tenaga
manusia maka dikategorikan sebagai control valve. Terdapat beberapa jenis
actuator yaitu sebagai berikut:

1. Manual Actuator, penggerak menggunakan tangan manusia.


2. Pneumatic Actuator, penggerak menggunakan tenaga udara atau gas.
3. Hydraulic Actuator, penggerak menggunakan tenaga tekanan fluida
(seperti oli).
4. Electric Actuator, penggerak menggunakan tenaga listrik.
5. Spring Actuator, penggerak menggunakan tenaga pegas.
Tipe pneumatic actuator merupakan yang paling umum digunakan di sistem
pengolahan air. Tekanan signal pneumatic pada control valve ini biasanya
antara 3 Psi dan 15 Psi. Berikut gambar bagian-bagian dari pneumatic
actuator valve:
Cikarang, July 2017

Teknologi Deionisasi

Teknologi deionisasi adalah proses untuk menghilangkan ion terlarut dalam air
menggunakan proses pertukaran ion (ion-exchange) baik menggunakan resin
penukar ion atau alat elektrikal deionisasi (seperti CDI). Pada resin penukar ion
akan terjadi proses penangkapan ion bermuatan positif oleh resin kation
(cation replacement resin) dan ion bermuatan negatif akan ditangkap oleh
resin anion (anion replacement resin). Alat untuk menghilangkan ion dengan
prinsip teknologi deionisasi disebut deionizer. Salah satu contoh teknologi
deionisasi adalah mixed-bed deionizer.

Mixed-Bed Deionizer merupakan alat untuk menghilangkan ion-ion terlarut


dalam air menggunakan resin kation dan anion, dimana kedua resin berada
dalam satu wadah (tanki). Salah satu industri yang paling banyak
menggunakan Mixed-Bed Deionizer yaitu industri elektronik, karena air yang
digunakan untuk proses pencucian harus bersih dari ion.

Sebagai informasi tambahan, softener merupakan bagian dari ion-exchanger


tetapi hanya menggunakan resin kation saja, karena bertujuan untuk
menghilangkan ion Ca2+ atau ion Mg2+ (mengurangi kesadahan) atau kation
lainnya yang menggantikan ion Na+ pada resin, sehingga regenerant yang
umum digunakan yaitu NaCl. Adapun ion-exchange tower, terdiri atas kation
deionizer dan anion deionizer secara terpisah baik 1 maupun lebih. Sedangkan
mixed-bed, resin kation dan anion bekerja secara bersamaan dalam satu
tanki. Dengan demikian, istilah deionizer umumnya sering ditujukan pada
kemampuannya menghilangkan kation dan anion keduanya, sehingga softener
biasanya tidak dimasukkan pada kategori deionizer karena hanya
menghilangkan kation saja.

Pada resin mixed-bed deionizer, terjadi pertukaran ion antara kation dengan
H+ dan antara anion dengan OH-. Sehingga regenerant resin kation biasanya
digunakan HCl (asam kuat) sebagai pengganti kation menjadi H+ kembali, dan
regenerant resin anion biasanya digunakan NaOH (basa kuat) sebagai
pengganti anion menjadi OH-. Jenis resin yang digunakan mempengaruhi
efektifitas dalam menghilangkan kation dan anion dalam air baku.
Terdapat 2 tipe deionizer yang menggunakan resin penukar ion yaitu

1. Chemical regeneration type deionizer


Mixed-bed deionizer tank dan ion-exchange tower termasuk kedalam tipe ini,
dimana keduanya dapat melakukan regenerasi on-site menggunakan
regenerant basa dan asam baik secara manual maupun otomatis. Pengunaan
tipe ini biasanya untuk jumlah laju air yang besar mulai dari 4.000 L/jam
hingga 40.000 L/jam. Berikut contoh chemical regeneration type deionizer:
Kurita Automatic Mixed-Bed De-Ionizer-AE Kurita Ion-Exchange
Tower-SK, -SK-R, -SK-RW Series

2. Non-regeneration type deionizer


Tipe ini lebih simple dan mudah dipindahkan, dimana proses regenerasi tidak
dilakukan on-site. Biasanya memiliki jumlah laju alir yang kecil antara 15
L/jam sampai 1.000 L/jam. Keunggulan tipe ini yaitu meminimalisir biaya
pemeliharaan karena proses regenerasi dilakukan diluar melalui jasa
perusahaan Water Treatment. Berikut contoh non-regeneration type
deionizer yang prinsipnya sama seperti mixed-bed karena resin kation dan
resin anion berada dalam 1 tanki:

Kurita Deionizer-DA-DX, -DA-KB Series

-
Proses Regenerasi Resin Mixed-Bed

Proses regenerasi pada mixed-bed deionizer terdiri atas beberapa tahap yaitu
sebagai berikut:
1. Backwash, dialirkan air dari bawah ke atas untuk membersihkan kotoran
yang menempel dalam resin selama 15-20 menit, selanjutnya direndam air
selama 10 menit, dimana resin anion akan berada diatas karena berat
jenisnya yang lebih kecil dari resin kation.
2. Anion regeneration, dialirkan NaOH 48% dan air yang sesuai dengan
volume resin anion dari atas melewati resin anion bersamaan dengan aliran
air dari bawah menuju regenerant collector yang berada dibagian tengah.
3. Water extrusion, dialirkan air dari atas dan bawah tanki untuk membilas
sisa NaOH selama 15 menit.
4. Cation regeneration, dialirkan HCl 32% dan air yang sesuai dengan volume
resin kation dari bawah melewati resin kation bersamaan dengan aliran air
dari atas menuju regenerant collector yang berada dibagian tengah.
5. Water extrusion, dialirkan air dari atas dan bawah tanki untuk membilas
HCl selama 20 menit.
6. Rinsing, dialirkan air untuk pembilasan semuanya dari atas dan bawah.
7. Drain down, dialirkan udara dari atas ke bawah untuk membilas sisa air.
8. Mixing, dialirkan udara dari bawah ke atas untuk mencampur kembali
secara homogen resin kation dan resin anion didalam tanki.
9. Flushing and service, dialirkan air secara normal dari atas ke bawah, yang
dilanjutkan pengukuran konduktifitas untuk parameter berhasil tidaknya
proses regenerasi.
Semoga bermanfaat,
Cikarang, Desember 2016.

PERPIPAAN

Terdapat tiga (3) istilah terkait perpipaan yang ada dalam bahasa inggris
yaitu:

1. Plumbing, secara umum menggambarkan alat pengangkut air, gas, dan


cairan pekat tanpa ada spesifikasi kondisi tertentu, sehingga biasanya
tanpa dibantu alat lainnya seperti pompa.
2. Piping, secara umum menggambarkan alat pengangkut air, gas, dan
cairan pekat yang dibantu oleh alat lainnya seperti pompa karena adanya
tekanan yang tinggi, laju alir yang besar, dan peningkatan suhu yang
tinggi atau adanya material berbahaya (hazardous).
3. Tubing, secara umum menggambarkan piping dalam bentuk yang jauh
lebih kecil dan ringan karena kemampuannya yang bersifat lentur dan
fleksibel.
Antara istilah plumbing dan piping kadang disamakan karena aplikasinya
yang banyak digunakan dirumah tangga dan lingkungan sekitarnya.

MATERIAL PIPA

Material pipa yang dapat kita temukan saat ini cukup bervariasi, diantaranya
sebagai berikut:

1. Galvanized Carbon Steel (GCS) or Steel Galvanized Pipe (SGP)


2. Impact-Tested Carbon Steel (ITCS)
3. Low-Temperature Carbon Steel (LTCS)
4. Stainless Steel (SS) or Steel Use Stainless (SUS)
5. Malleable Iron
6. Non-ferrous Metals (includes copper, inconel, incoloy, and cupronickel)
7. Non-metallic (includes Acrylonitrile Butadiene Styrene (ABS),
Fibre-Reinforced Plastic (FRP), Polyvinyl Chloride (PVC), High-Density
PolyEthylene (HDPE), and Toughened-glass)
8. Chrome-molybdenum (alloy) steel
Pada perpipaan sistem pengolahan air, banyak digunakan material pipa SGP
atau disebut juga SGPW (Steel Galvanized Pipe for Water service) dan SUS.
Perbedaan antara galvanized steel dan stainless steel terletak pada
komposisinya. Stainless steel dilapisi minimal 10% chromium (Cr) sedangkan
galvanized carbon steel dilapisi dengan zinc oxide untuk melindungi terjadinya
pengkaratan (rusting).
Kemampuan stainless steel dalam menghindari pengkaratan jauh lebih baik
dibandingkan galvanized steel (lihat gambar bawah). Pada stainless steel
terdapat 2 jenis yang banyak digunakan yaitu SUS 304 dan SUS 316.
Perbedaan keduanya adalah kemampuan terjadinya korosi yang disebabkan
oleh larutan klorida (garam) yang banyak ditemukan dilingkungan sekitar
(seperti air laut). Ion klorida dapat memicu terjadinya korosi disekitar metal,
yang disebut pitting artinya perluasan tingkat korosi dibawah lapisah
kromium yang melapisi baja. Larutan yang mengandung minimal 25 ppm
Natrium Chloride (NaCl) dapat memicu terjadinya efek pitting. SUS 304
banyak sekali digunakan dengan komposisi chromium hingga 16 dan 24%
dengan komposisi nickel lebih dari 35%, untuk tipe ini akan mudah terjadinya
korosi jika terdapan ion klorida yang tinggi. Sedangkan SUS 316 memiliki
komposisi sama dengan SUS 304 akan tetapi terdapat penambahan
molybdenum sekitar 2-3% untuk menghindari terjadinya korosi yang
disebabkan oleh ion klorida dan solvent lainnya. Sehingga SUS 316 banyak
digunakan pada sistem pengolahan air laut.
STANDARD PIPA

Kualitas sistem perpipaan tergantung pada prinsip design, kontruksi, dan


sistem maintenance-nya. Sehingga setiap pipa akan mengacu pada standard
yang sudah berlaku dibeberapa negara. Berikut merupakan organisasi
standard dibeberapa negara yang memiliki kode dan standar perpipaan:

1. AFNOR French Norms


2. ASME American Society of Mechanical Engineers
3. ASTM American Society for Testing and Materials
4. BS British Standards
5. SCC Canadian Norms
6. DIN German Norms
7. EN Euronorm
8. GOST Russion Norms
9. ISO International Organization for Standardization
10. JIS Japaneses Standards
11. NACE The Corrosion Society
12. SASO Saudi Arabian Standards Organization
13. UNI Italian Standards
Umumnya setiap organisasi standard memiliki komite yang berasal dari
kalangan industri, manufaktur, group profesional, pengguna, pemerintah,
industri asuransi, dll. Komite akan bertanggung jawab dalam mengatur,
mengupdate, dan mereview kode standard yang berlaku untuk dipublikasikan
secara berkala. Sehingga seorang profesional perpipaan perlu mengupdate
informasi setiap revisi terbaru dari standard yang digunakan.
KOMPONEN PERPIPAAN

Sistem perpipaan terdiri atas beberapa komponen yang dirangkai dalam satu
kesatuan bertujuan untuk alat transportasi fluida dari penampung fluida ke
penampung fluida lainnya. Komponen sistem perpipaan terdiri atas beberapa
bagian:

1. Pipe (Pipa)
2. Pipe Fittings (Sambungan pipa)
3. Flanges (Alat penggabung ke komponen lain)
4. Gasket (Lapisan sambungan antar komponen)
5. Bolting (Baut)
6. Valves (Katup)
(1) Pipe Jenis dan material pipa telah dijelaskan diatas. Adapun ukuran
pipa berbeda-beda sesuai dengan aplikasinya, hal yang perlu diperhatikan
adalah: a) Actual Outside Diameter (OD), ukuran diameter bagian luar pipa, b)
Average Inside Diameter (ID), ukuran diameter bagian dalam pipa, dan c) Wall
Thickness atau Schedule, ketebalan pipa. Terdapat beberapa istilah untuk
ukuran pipa, berikut konversi standar ukuran pipa yang bisa dijadikan acuan
berdasarkan OD-nya.
(2) Pipe Fittings merupakan beberapa komponen yang digunakan untuk
menyambung dua buah pipa atau lebih, terdiri atas 5 bagian yaitu: a) Elbow, b)
Tee, c) Reducer, d) Couplings, dan e) Swage Nipples. Adapun dari sifat tetap
tidaknya dibagi menjadi 2 jenis: a) Welded Component, yaitu sambungan
bersifat tetap digunakan penge-las-an pada prosesnya, b) Threaded
Component, yaitu sambungan bersifat fleksibel dan mudah dilepas
menggunakan ulir.
(3). Flanges merupakan sambungan baut dimana dua buah atau lebih pipa,
equipment, fitting dan valve dihubungkan bersama-sama. Terdapat beberapa
tipe flange diantaranya yaitu a) welding-neck, b) threaded, c) slip-on, d)
socket weld, e) lap-joint, f) blind, dan g) orifice flange and plate, dan h)
spectable blind.
(4). Gasket merupakan lapisan material yang dipasang diantara dua
permukaan benda (contohnya flange), dimana di dalamnya terdapat fluida
bertekanan agar mencegah terjadinya kebocoran. Gasket biasanya dibuat dari
material metal dan non-metal. Contoh gasket metal yaitu terbuat dari
tembaga, alumunium, dan kuningan, sedangkan gasket non-metal dibuat dari
asbes, kertas, karet, rami, kulit, silikon, gabus, neoprene, karet nitril, fiberglass,
PTFE (Polytetrafluoroethylene), atau polimer plastik seperti PCTFE
(Polychlorotrifluoroethylene). Terdapat sekitar 6 jenis gasket berdasarkan
bentuknya yaitu: a) flat gasket, b) spiral wound gasket, c) metal O-ring gasket,
d) metal U-ring gasket, e) Metal C-ring gasket, dan f) Metal spring-energizing
rings. Untuk aplikasi pada flange, gasket dibedakan menjadi beberapa tipe
diantara yaitu a) tipe D, ukurannya cocok dengan cincin bagian dalam
ring-type-joint flanges, b) tipe E, ukurannya sama dengan diameter luar
flange dan disesuaikan dengan potongan baut, dan c) tipe F, ukurannya
disesuaikan dengan bagian dalam flange saja tanpa ada lubang yang
disesuaikan dengan baut.
(5). Bolting biasa disebut baut yang memiliki alur heliks penguat (threaded
fastener) disertai dengan tabung dengan alur heliks (male thread). Setiap baut
memiliki mur (nut) sebagai penguatnya.

(6). Valves disebut juga katup yaitu alat untuk mengatur, mengarahkan
atau mengontrol aliran fluida dengan cara membuka, menutup, atau
menghalangi sebagian. Pada saat katup terbuka, maka fluida akan mengalir
dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Terdapat banyak jenis
katup, berikut diantaranya yang banyak dipakai yaitu ball valve, butterfly
valve, clapper valve, check valve, choke valve, diaphragm valve, gate valve,
globe valve, needle valve, pinch valve, piston valve, knife valve, plug valve,
solenoid valve dan safety valve.

Pengolahan limbah merupakan sebuah proses yang mengolah air buangan


yang sudah tidak bisa dipakai lagi (disebut limbah) untuk dapat
dikembalikan ke siklus air di lingkungan sekitar sehingga dapat digunakan
kembali sebagai air baku. Jika limbah yang diolah dapat langsung digunakan
sebagai air bersih disebut reklamasi air (water reclamation). Pengolahan yang
digunakan meliputi beberapa metode dalam sebuah infrastruktur sistem yang
terintegrasi yang disebut Instalasi Pengolahan Limbah(wastewater treatment
plant, WWTP).

Limbah yang diolah meliputi limbah rumah tangga, limbah padat (solid waste),
limbah kotoran manusia (human waste), buangan air hujan atau salju
(stormwater), dan buangan dari pengolahan air (disposal water treatment).
Jika limbah lebih banyak berasal dari limbah perkotaan baik rumah tangga
atau industri kecil disebut sewage dan pengolahannya disebut sewage
treatment.

Dalam membuat instalasi pengolahan limbah, perlu diperhatikan tujuan hasil


akhirnya: (1) dibuang (disposal) atau (2) digunakan kembali (reuse). Jika kita
ingin membuangnya maka terdapat beberapa regulasi yang diatur sebelum
dibuang sehingga tidak mencemari lingkungan. Setiap negara memiliki regulasi
yang berbeda-beda terkait hasil buangan pengolahan limbah baik melalui
sungai ataupun laut. Adapun jika kita ingin menggunakan kembali air limbah
sebagai air bersih, maka beberapa metode perlu digunakan agar memenuhi
standar air bersih atau air minum yang ditentukan, akan tetapi harganya
akan jauh lebih mahal karena melibatkan banyak proses pengolahan. Selain itu,
pengotor (impurities) yang dipisahkan perlu dipertimbangkan pula untuk
pembuangannya jika mengandung bahan-bahan pencemar berbahaya yang
dapat mencemari lingkungan.

Instalasi pengolahan limbah secara garis besar terdiri atas 3 proses:

1. Separation phase (fase pemisahan)


Pada proses fase pemisahan terjadi pengolahan limbah cair menjadi bentuk
cairan dan padatan. Limbah padat yang dihasilkan akan diolah melalui proses
oksidasi atau polishing pada tahap selanjutnya, padatan minyak dan lemak
umumnya diolah melalui saponifikasi (penyabunan) dan padatan lumpur
(sludge) diolah melalui proses dewatering. Adapun limbah cair yang dihasilkan
akan diolah biasanya dengan sistem filtrasi yang disesuaikan dengan kualitas
airnya. Secara garis besar, fase pemisahan terdiri atas 2 metode:

a. Metode sedimentasi

Metode sedimentasi merupakan proses pengendapan dengan gaya gravitasi


untuk menghilangkan padatan terlarut (suspended solids) dari limbah.
Terdapat 2 jenis cara yaitu (1) kolam pengendapan (sedimentation pond) dan
(2) clarifier yaitu tanki yang dibangun dengan proses mekanis dapat
menghilangkan padatan melalui proses sedimentasi secara kontinu, selain itu
terdapat juga unit clarifier yang lebih komplek dengan menggunakan skimmer
sebagai alat penghilang buih sabun (soap scum) dan padatan non-polar seperti
minyak yang mengapung diatas permukaan air.

b. Metode filtrasi
Suspensi padatan koloid dalam limbah cair akan dihilangkan dengan proses
filtrasi baik dengan filter pasir, karbon aktif, atau sistem membran. Metode
filtrasi ini penting untuk mengurangi total padatan terlarut (TDS). Sistem
bioreaktor membran sering juga digunakan untuk sistem pemulihan (recovery)
dan sistem pemanfaatan kembali (reuse). MBR (Membrane Bio-Reactor)
adalah kombinasi proses membran (mikrofiltrasi atau ultrafiltrasi) dengan
sistem pertumbuhan bakteri dalam bioreaktor. MBR terdiri atas 2
konfigurasi: internal atau submerged MBR, dan external atau sidestream MBR.
Perbedaan keduanya ada pada peletakan membran, dimana internal MBR
berada dan didalam dan external BMR diluar system.

1. Oxidation (Oksidasi)
Proses oksidasi mengindikasikan jumlah senyawa organik dalam limbah.
Dengan melakukan proses oksidasi maka nilai BOD dan COD dalam limbah
dapat direduksi, serta toksisitas yang disebabkan oleh bahan pencemar dapat
dikurangi sebelum dibuang ke lingkungan. Pengukuran BOD dan COD
sangatlah penting untuk melihat karakteristik limbah yang akan diolah.

a. BOD (Biochemical Oxygen Demand), adalah jumlah oksigen terlarut yang


dibutuhkan mikroorganisme aerobik untuk menghancurkan materi organik
dalam air (limbah) pada suhu tertentu (20 C) selama periode tertentu (5 hari),
satuan BOD yaitu miligram O2 per liter. Total BOD lebih berpengaruh
terhadap jaring makanan (food web) dalam limbah, hal ini karena nilai BOD
mengindikasikan seberapa banyak senyawa organik dalam limbah sebagai
sumber makanan bakteri untuk dioksidasi oleh bakteri. Semakin tinggi nilai
BOD maka semakin rendah oksigen terlarut dalam limbah karena dikonsumsi
oleh bakteri. Limbah yang memiliki nilai BOD-nya tinggi biasanya
mengandung nitrat dan fosfat tinggi yang berasal dari limbah makanan.

Proses oksidasi secara biologi sangatlah penting untuk menghilangkan senyawa


organik dalam limbah yang dapat sebagai sumber makanan oleh ekosistem
lingkungan sebelum dibuang. Instalasi pengolahan limbah biasanya didesign
agar mempunyai tingkat efisiensi mereduksi BOD lebih dari 96%.

Nilai BOD juga dapat merepresentasikan kualitas air limbah sekalipun tidak
signifikan, berikut tabel kondisi kualitas limbah berdasarkan nilai BOD-nya:

Tingkat BOD Kualitas Air


(ppm)

12 Sangat bagus, sedikit mengandung limbah organik

35 Bagus, limbah kondisinya bersih

69 Buruk, mengandung limbah organik dan terjadi


aktivitas dekomposisi limbah oleh bakteri

> 10 Sangat buruk, limbah mengandung tinggi senyawa


organik dan banyak aktivitas dekomposisi oleh bakteri

b. COD (Chemical Oxygen Demand), adalah jumlah ketersediaan elektron


dalam senyawa organik dalam air (limbah) untuk mereduksi oksigen terlarut
dalam air. Hal ini perlu dibedakan dengan TOC (Total Organic Compound)
yang mengukur jumlah total senyawa organik dalam air. Nilai TOC biasanya
lebih besar dibandingkan COD karena tidak semua senyawa organik dapat
teroksidasi. Adapun nilai COD akan lebih besar dibandingkan BOD karena
tidak semua senyawa organik yang dapat teroksidasi mampu dioksidasi oleh
bakteri sebagai sumber makanan. Pengukuran COD dengan cara mengoksidasi
senyawa organik dengan senyawa pengoksidasi seperti potasium dikromat (V)
dan potasium manganat (VII) menghasilkan karbon dioksida, air, dan
ammonia. Umumnya, nilai COD dapat menentukan jumlah polutan organik
dalam air permukaan atau air limbah, sehingga nilai COD sangatlah penting
untuk menentukan kualitas air. Satuan yang digunakan yaitu miligram
oksigen per liter larutan.

Beberapa proses dapat digunakan untuk menurunkan BOD dan COD pada
limbah meliputi koagulasi biasa dengan flocculant polimer kation, mirobiologi,
elektrokoagulasi, peroksi-koagulasi, reagent Fenton, dan elektro-Fenton.
Koagulasi biasa dapat mereduksi BOD dan COD sekitar 30% 40%, pada
limbah industri biasanya dikombinasikan dengan proses lainnya seperti
peroksi-koagulasi menggunakan H2O2 saja atau dengan reagen Fenton
(kombinasi H2O2 dan katalis Fe2+) tergantung kualitas airnya.

1. Polishing
Beberapa kondisi air limbah biasanya bersifat fluktuatif kualitasnya, sehinggu
perlu dilakukan pengaturan parameter seperti pH atau perlakuan tambahan
sebelum dibuang ke lingkungan. Polishing dilakukan tergantung dari hasil
kualitas limbah setelah ditreatment sebelum dibuang (disposal) atau digunakan
kembali (reuse). Kadang digunakan juga karbon filter untuk menghilangkan
kontaminan dan pengotor yang yang masih ada dalam limbah dengan
adsorpsi oleh karbon aktif.

Setiap instalasi pengolahan limbah akan memperhatikan kualitas limbah dan


keluarannya disesuaikan dengan regulasi setempat sebelum dibuang ke sungai
atau danau. Di Indonesia setiap limbah baik dari rumah tangga perkotaan atau
industri akan mengikuti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5
Tahun 2014, tentang Baku Mutu Air Limbah. Tiap industri memiliki standar
baku mutu air limbah yang berbeda-beda dibedakan dengan jenis usahanya,
akan tetapi jika jenis usahanya belum ditetapkan, pemerintah Indonesia
memberlakukan standard yang umum sebagai berikut:
Adapun untuk jenis usaha yang sudah ditetapkan, selengkapnya bisa
didownload disini

You might also like