Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Anti Malaria PDF
Jurnal Anti Malaria PDF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning
(Coscinium fenestratum Colebr) Sebagai Antimalaria pada Mencit yang
Diinfeksi Plasmodium bergheiadalah karya saya dengan arahandari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
UJI EFEKTIFITAS AKAR KAYU KUNING
(Coscinium fenestratum Colebr) SEBAGAI ANTIMALARIA
PADA MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si
Judul Tesis : Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum Colebr)
Sebagai Antimalaria pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium
berghei
Nama : Poppy Kurnia Galuh Tyas Kusuma
NIM : B252090071
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.S.drh. Rita Marleta Dewi, DTM, M.Kes
Ketua Anggota
Diketahui,
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S.Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
DAFTAR ISI
Halaman
1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 4
LAMPIRAN............................................................................................ 43
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil ekstraksi akar tanaman kayu kuning ............................................ 23
8 Jumlah mencit yang hidup pada pengamatan hari ke-0 sampai hari
ke-28 setelah pemberian ekstrak .......................................................
35
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil analisis data pertumbuhan Plasmodium pada hari ke-
0 sampai hari ke-7 setelah perlakuan ................................. 43
1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit darah dari
genus Plasmodium. Secara alamiah penularan malaria terjadi melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina (Nahrevanian et al. 2009), dan pada keadaan tertentu
penularan dapat pula terjadi melalui transfusi darah atau ditularkan dari ibu ke janin
yang dikandungnya (Depkes RI 2009). Selama ini dilaporkan hanya ada 4 jenis
Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, namun belakangan ini dilaporkan
bahwa malaria pada kera juga dapat menginfeksi manusia (Singh et al. 2004).
Malaria yang merupakan ancaman terbesar adalah infeksi yang disebabkan spesies
Plasmodium falciparum, karena jenis ini adalah yang paling mematikan dan
menyebabkan peningkatan angka kesakitan (Barone et al. 2003).
Penyakit ini dapat menyerang manusia tanpa mengenal jenis kelamin dan
umur. Kelompok yang paling mudah terserang penyakit ini adalah ibu hamil, bayi
dan anak berumur kurang dari 4 tahun (Greenwood et al. 2007). Gejala malaria yang
terutama adalah demam, menggigil, berkeringat dan kadang kadang dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal (Depkes RI 2009).
Malaria hingga kini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
prioritas terutama di negara-negara beriklim tropis. Setiap tahun dilaporkan 300
500 juta kasus malaria dan menyebabkan lebih dari satu juta kematian dan bahkan
meningkat akhir-akhir ini (WHO 2008), dan masih merupakan penyakit endemik
pada lebih dari 90 negara terutama pada negara yang sedang berkembang
(Sanchez et al. 2004).
Indonesia merupakan daerah endemis malaria. Pengendalian dan
pemberantasan penyakit malaria telah dilakukan sejak tahun 1959, namun hingga
saat ini angka kesakitan dan kematian masih cukup tinggi (Zein 2005). Sampai
dengan tahun 2009, sekitar 80% kabupaten/kota merupakan daerah endemis
malaria dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular
malaria. Jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2009 sebanyak 1.143.024 orang.
Jumlah ini mungkin lebih besar dari keadaan yang sebenarnya karena lokasi yang
endemis malaria adalah desa-desa yang terpencil dengan sarana transportasi yang
2
sulit dan akses pelayanan kesehatan yang rendah. Menurut perhitungan para ahli
ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria sebesar tersebut diatas dapat
menimbulkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3,3 triliun rupiah lebih. Hal ini
sebagai akibat dari tidak dapat bekerja selama satu minggu, biaya pengobatan dan
lain-lain, belum termasuk biaya sosial seperti menurunnya tingkat kecerdasan anak
dan menurunnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada penurunan
produktivitas (Depkes 2010).
Penderita yang terinfeksi malaria pada 2 dekade terakhir meningkat dua kali
terutama disebabkan oleh munculnya strain P. falciparum yang resisten terhadap
obat malaria yang tersedia terutama klorokuin dan turunannya (Trape et al. 2002). Di
Indonesia, hal ini pula yang dihadapi pelaksana program dalam pemberantasan
malaria (Tuti et al. 2007). Disamping itu efektivitas klorokuin terhadap P.vivax juga
telah menurun sejak dilaporkannya resistensi P.vivax terhadap klorokuin di Papua
dan beberapa daerah lainnya (Siswantoro et al. 2006). Olliaro et al. (1996)
melaporkan bahwa kegagalan program penanggulangan malaria antara lain
disebabkan oleh adanya penyebaran yang luas dari resistensi obat antimalaria lini
pertama (monoterapi) dan resistensi terhadap obat-obat lain (multidrugs resistence).
Tanaman obat sering digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit antara
lain malaria (Koch et al. 2005). Tanaman akar kuning atau kayu kuning dengan
nama ilmiah Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr. merupakan tanaman yang
banyak dimanfaatkan sebagai obat. Di Indonesia, masyarakat terutama suku asli
telah menggunakan akar kuning untuk obat penyakit tertentu. Sebagai contoh suku
Sakai di Bengkalis (Provinsi Riau) menggunakan akar tanaman tersebut sebagai
obat kencing manis dan sakit kuning. Suku Anak Dalam di Sumatera Selatan juga
menggunakannya untuk pengobatan sakit kuning, suku Punan Lisun dan suku
Punan Bekatan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) mengobati
malaria dan sakit pinggang dengan akar tanaman ini. Suku Kenyah di Malinau,
Kalimantan Timur juga memanfaatkannya untuk menjaga stamina, pengobatan
malaria dan penyakit maag (Sangat et al. 2000 dan Rahayu 2005).
Di Vietnam, ekstrak alkohol dari tanaman C. fenestratum telah dijual bebas
dalam bentuk tablet, dan pada umumnya diresepkan untuk penyakit disentri (Tushar
et al. 2003). Di Thailand, masyarakat biasa menggunakan akar tanaman tersebut
3
untuk mengobati kolik dan sakit perut (Tran dan Ziegler, 2001), sedangkan di Sri
Lanka digunakan sebagai antiseptik dan krim wajah.
Uji pre-klinik yang telah dilaporkan beberapa peneliti menyatakan nilai lethal
dose (LD) 50 yang bervariasi. Singh et al. (1990) melaporkan bahwa LD 50 per oral
dari C. fenestratum adalah 1200 mg/kg pada mencit, sedangkan pada tahun 2010
Sudharshan et al. melaporkan bahwa LD 50 berdasarkan toksisitas akut dari tanaman
ini adalah 80 mg/kg. Lain halnya dengan hasil uji subkronis yang dilakukan oleh
Wongcome et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan
jumlah 2500 mg/kg/hari yang diberikan selama 90 hari pada mencit tidak
menyebabkan efek pada sistem saraf pusat.
Berdasarkan analisa kimia, Tushar et al. (2008) membuktikan bahwa tanaman
ini memiliki kandungan berberine yang tinggi seperti halnya tanaman-tanaman dari
ordo Menispermaceae lainnya. Kekuda et al. (2008) dalam Sudharshan et al. (2010)
juga menyebutkan bahwa kandungan utama dari C. fenestratum adalah kristal
alkaloid yang berwarna kuning yang disebut berberine. Disamping itu Subeki et al.
(2004) melaporkan bahwa beberapa zat aktif yang dikandung Arcangelisia flava
yang juga merupakan salah satu tanaman dari kelompok ordo Menispermaceae
mampu menurunkan tingkat parasitemia pada infeksi Babesia gibsoni. Baik C.
fenestratum maupun A. flava memiliki persamaan dalam penggunaan secara
empiris. Babesia gibsoni dan P. berghei merupakan parasit darah yang termasuk
dalam Kingdom Protozoa dari filum Apicomplexa (Levine 1988). Plasmodium
berghei merupakan parasit malaria pada hewan pengerat seperti tikus dan mencit.
Secara analisa molekuler, terdapat persamaan antara parasit malaria pada manusia
(P. falciparum) dengan P. berghei pada tikus, sehingga P. berghei sering digunakan
sebagai model pada penelitian malaria. Disamping itu, parasit ini analog dengan
parasit malaria pada manusia dalam beberapa aspek penting seperti struktur,
fisiologi dan siklus hidupnya (Carter dan Diggs 1977).
Sebelum obat / tanaman obat digunakan pada manusia, perlu dilakukan uji pre
klinik secara in vitro maupun in vivo menggunakan binatang percobaan (Dewi et al.
1996), maka pada penelitian ini akan dilakukan uji in vivo pada mencit yang diinfeksi
dengan P.berghei.
4
1. 2 Perumusan Masalah
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum : Mengetahui efektifitas ekstrak akar tanaman kayu kuning (C.
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1) Mengetahui efektifitas ekstrak etanol akar tanaman kayu kuning (Coscinium
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
2) Mengetahui efektifitas ekstrak air akar tanaman kayu kuning (Coscinium
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
3) Membandingkan efektifitas ekstrak etanol dan ekstrak air tanaman kayu
kuning (C. fenestratum) berdasarkan angka parasitemia mencit yang diinfeksi
P. berghei.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberi masukan kepada
pengelola program dalam penggunaan tanaman lokal sebagai obat antimalaria.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa darah dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Zein
2005). Selain melalui gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung
melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah positif, serta dari ibu
hamil kepada bayinya. Ciri utama dari family Plasmodiidae adalah adanya dua
siklus hidup yaitu siklus aseksual pada vertebrata yang berlangsung di hati dan di
eritrosit, serta siklus seksual yang diawali pada vertebrata dan dilanjutkan pada
nyamuk.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang serius bagi dunia. Pada tahun 1955,
World Health Organization (WHO) mengkampanyekan program pemberantasan
malaria ke seluruh dunia. Pada awalnya program ini berhasil dilaksanakan,
sebanyak 42 negara ikut ambil bagian dalam program dan pada tahun 1960, 10
negara dinyatakan berhasil memberantas malaria. Akan tetapi, belakangan
dilaporkan adanya strain nyamuk Anopheles yang resisten terhadap DDT (Dichloro-
Diphenyl-Trichloro-ethane) mulai muncul, dan seiring dengan terbukanya jalur
migrasi pada banyak negara, malaria dengan cepat menyebar. Pada tahun 1976,
WHO menyatakan program pemberantasan malaria mengalami kegagalan.Saat ini,
terdapat 300-500 juta orang menderita malaria di seluruh dunia, dengan angka
kematian sebesar 3 juta jiwa.
eritrosit terinfeksi yang menyumbat kapiler otak. Gejala malaria otak adalah
berkurangnya kesadaran dan serangan demam yang tidak menentu, adakalanya
terus-menerus, dapat pula berkala dua hari sekali. Gejala klinis yang menonjol
disertai pembesaran hati (Prabowo 2008) dengan adanya penyakit kuning dan urin
yang berwarna coklat tua atau hitam akibat hemolisa. Gejala lainnya adalah demam
tinggi yang timbul mendadak, hemoglobinuria, hiperbilirubinaemia, muntah, dan
gagal ginjal akut. Masa inkubasi untuk malaria tropika adalah 7-12 hari (Tjay dan
Rahardja 2000).
Malaria tersiana adalah malaria yang disebabkan oleh P.vivax atau P.ovale.
Gejalanya berupa demam berkala tiga hari sekali dengan puncak setelah setiap 48
jam (Prabowo 2008). Gejala lainnya berupa nyeri kepala dan punggung, mual
pembesaran limfa dan malaise umum. Malaria oleh P.ovale tidak bersifat mematikan
meskipun tanpa pengobatan (Tjay dan Rahardja 2000).
Malaria kwartana adalah malaria yang disebabkan oleh P. malariae yang
mengakibatkan demam berkala empat hari sekali dengan puncak demam setiap 72
jam. Gejala lainnya sama dengan malaria tertiana berupa nyeri kepala dan
punggung, mual, pembesaran limfa, dan malaise umum (Tjay dan Rahardja 2000).
2.1.2 Diagnosis
Diagnosa malaria yang cepat, tepat dan akurat merupakan bagian dari
penatalaksanaan penyakit yang efektif yang jika dilaksanakan dengan baik akan
menurunkan penggunaan obat antimalaria yang tidak perlu. Diagnosa malaria yang
tepat sangat penting, terutama bagi kelompok pasien yang rentan terhadap
serangan penyakit, misalnya anak-anak, yang mana penyakit malaria ini bisa
berakibat fatal (WHO 2009).
Diagnosis penyakit malaria berdasarkan pada diagnosa klinik disertai adanya
riwayat perjalanan dari daerah endemis. Diagnosa klinis yang ditegakan harus
didukung dengan pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini, pemeriksaan
mikroskopis dari sediaan darah dengan pewarnaan Giemsa masih merupakan
standart emas. Pemeriksaan dengan alat rapid diagnostic test (RDT) hanya
dilakukan pada saat terjadi kejadian luar biasa (KLB), atau di daerah terpencil yang
tidak ada fasilitas laboratorium. Pemeriksaan molekuler dengan teknik polymerase
7
chain reaction (PCR) hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan teknologi yang
lebih tinggi (Depkes 2009).
2.1.3 Penyebaran
Penyebaran malaria terjadi pada ketinggian yang sangat bervariasi yaitu dari
400 meter di bawah permukaan laut, seperti di Laut Mati dan Kenya, sampai 2600
meter di atas permukaan laut, seperti di Cochabamba, Bolivia (Pribadi dan Sungkar
1994).
Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di Indonesia. Penyakit ini
sering dikaitkan dengan perubahan iklim. Dengan adanya pemanasan global,
nyamuk yang menjadi vektor tersebut mampu untuk berkembang biak di daerah
yang sebelumnya dianggap terlalu dingin untuk perkembangbiakan yaitu isotherm
16 lintang utara dan lintang selatan dan pada ketinggian kurang dari 1000 m
(Wijayanti et al. 2008).
Penularan malaria dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu, secara alami
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung sporozoit, secara non-
alami (induced) melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak
steril serta dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada janinnya (Prabowo 2008).
Nyamuk Anopheles betina biasanya menggigit manusia pada malam hri atau
mulai senja sampai subuh. Jarak terbang nyamuk ini hanya sekitar 300-500 m dari
tempat perindukannya. Jangka waktu yang dibutukan untuk pertumbuhan sejak telur
sampai menjadi nyamuk dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung spesies,
makanan yang tersedia dan suhu udara (Anies 2006).
Pencegahan malaria dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya :
pengobatan tuntas penderita agar tidak relaps atau resistensi parasit terhadap obat
antimalaria yang diberikan; pemberantasan nyamuk sebagai vektor; perlindungan
orang yang rentan dengan penggunaan kelambu; menghindari dari gigitan nyamuk
serta vaksinasi (Pribadi dan Sungkar 1994).
8
1) Siklus aseksual
Siklus aseksual dari malaria dimulai dari masuknya sporozoit infeksius dari
kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina kedalam darah manusia. Dalam waktu tiga
puluh menit sporozoit tersebut akan memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai
stadium eksoeritrositik pada daur hidupnya. Di dalam sel hati sporozoit berkembang
menjadi trofozoit dan kemudian menjadi skizon yang menghasilkan banyak
merozoit. Sel hati yang mengandung skizon matang akan pecah dan merozoit keluar
ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah, walaupun ada sebagian yang
difagosit. Perkembangan mulai dari masuknya sporozoit ke dalam sel hati sampai
dengan keluarnya merozoit dari sel hati disebut stadium preeritrositik atau
eksoeritrositik.
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel darah merah sampai
merozoit keluar dan menyerang sel darah merah lainnya.Parasit tampak sebagai
kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan
mulai membentuk trofozoit, trofozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian
berkembang menjadi skizon matang dan membelah banyak menghasilkan
merozoit.Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan
merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki plasma darah. Parasit
memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi siklus skizogoni. Beberapa
merozoit memasuki eritrosit dan membentuk skizon dan lainnya membentuk
gametosit yaitu bentuk seksual (Pribadi dan Sungkar 1994).
2) Siklus seksual
Siklus seksual Plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang
terhisap pada saat nyamuk menghisap darah tidak dicerna oleh enzim yang ada di
dalam lambung nyamuk. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8
inti yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti
cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena
masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot
berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus
lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Di tempat ini ookinet membesar
dan disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa
9
sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila nyamuk menggigit manusia maka
sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Zein, 2005).
Siklus hidup Plasmodium ditunjukkan pada Gambar 1.
Secara umum daur hidup P. berghei sama dengan daur hidup malaria pada
manusia. Siklus perkembangan P. berghei sangat cepat dengan fase aseksual
selama 18 - 24 jam (Jones & Edmundson 1989 dan Bourne & Danielli 1986 ). Dalam
tubuh inang vertebrata siklus bermula pada saat sporozoit dari nyamuk terinfeksi
memasuki peredaran darah dan menyerang sel parenkima hati. Dalam sel hepatosit,
sporozoit berkembang menjadi trofozoit yang kemudian menjadi skizon matang yang
menghasilkan merozoit. Pecahnya skizon hepatosit membebaskan beribu-ribu
merozoit yang kemudian akan masuk ke dalam aliran darah dan mulai
perkembangan merozoit menjadi trofozoit dan seterusnya menjadi skizon yang
berlangsung di dalam sel eritrosit (Phillips 1983).
2. 2 Obat Antimalaria
dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli
obat-obatan Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride) yang
pada saat itu lebih efektif daripada kinin dan toksisitasnya lebih ringan.Sejak akhir
perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan
menyembuhkan demam hutan secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-
jenis malaria dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Obat tersebut juga
mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obat-obat lain yang terdahulu
dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus. Namun baru-baru
ini strain P. falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya
resistensi terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini
ditemukan terutama di Indonesia, Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung
Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan.
Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain P. falciparum. Seiring dengan
munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta
bahwa jenis nyamuk pembawa (Anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap
insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit
malaria di berbagai negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria
mengalami peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang berkunjung
ke Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan juga di antara para pengungsi dari daerah
itu sendiri (WHO 2009).
Sampai tahun 2003, obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terbatas pada
klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, kina dan primaquin (Tjitra 2000). Antibiotika yang
bersifat antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, kloramfenikol,
sulfametoksazol-trimetropim dan kuinolon. Obat-obat ini pada umumnya bersifat
skizontosida darah untuk P. falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektif.
Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya
cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu misalnya dengan kina (Tjitra 2000).
Beberapa senyawa metabolit sekunder dari tanaman telah terbukti bermanfaat
sebagai antimalaria. Senyawa-senyawa ini dapat digolongkan dalam tujuh golongan
besar yaitu, alkaloid, quassinoid, sesquiterpen, triterpenoid, flavonoid, quinon dan
senyawaan miscellaneous (Saxena et al 2003). Lebih dari 100 jenis alkaloid dari
berbagai macam tanaman telah diketahui memiliki aktivitas antimalaria. Alstonine,
villalstonine dan makrocarpamine merupakan senyawa metabolit sekunder dari
12
pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit heme polymerase
yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang menghasilkan
akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang mungkin mengganggu
biosintesis asam nukleat. Mekanisme lain diduga terbentuknya ikatan kompleks
(Taylor dan Strickland 2000).
2). Quinin dan Quinidin
Quinin mempunyai grup quinoline yang terhubung dengan rantai alkohol
sekunder menjadi cincin quinidin. Quinidin lebih potensial sebagai antimalaria dan
lebih toksik jika dibandingkan dengan quinin (Hardman et al. 2001). Quinin bekerja
dengan cepat, dan merupakan skizontosida yang sangat efektif terhadap empat
spesies parasit malaria pada manusia.Obat tersebut merupakan gametosida
terhadap P. vivax dan P. ovale tetapi tidak pada P. falciparum. Obat ini tidak aktif
pada parasit tahap hepatis. Mekanisme kerja dari quinin belum diketahui (Hardman
et al. 2001).
3). Kombinasi Sulfadoxin - Pyrimethamin
Kombinasi Sulfadoxin-pyrimethamin merupakan kombinasi obat untuk
mengobati malaria falsiparum dalam kondisi telah resisten terhadap klorokuin dosis
tinggi dan untuk pasien yang tidak merespon terhadap klorokuin (Depkes 2009).
4). Amodiaquin
Amodiaquin digunakan untuk mengobati malaria tanpa komplikasi yang
disebabkan oleh P.falciparum (Depkes 2009). Toksisitas yang penting dari
amodiaquin adalah agranulositosis, dan sehubungan dengan efek tersebut, maka
penggunaannya dibatasi dalam tahun-tahun belakangan ini. Evaluasi ulang yang
dilakukan baru-baru ini telah menunjukkan bahwa toksisitas hematologis yang serius
dari amodiaquin menjadi jarang dan beberapa pihak yang berwenang saat ini
menganjurkan penggunannya sebagai pengganti klorokuin pada wilayah-wilayah
dengan tingkat resistensi yang tinggi tetapi dengan sumber daya yang terbatas
(Katzung 2004).
5). Mefloquin
Mekanisme kerja yang pasti dari mefloquin belum diketahui, sedangkan efek
antimalarianya berupa skizontosidal (Taylor dan Strickland 2000). Mefloquin dapat
menjadi obat alternatif untuk pencegahan dan pengobatan malaria yang disebabkan
14
a. b.
c. d.
Gambar 2 . Habitat dan morfologi tanaman kayu kuning
a. Batang ; b. Habitat; c. Daun ; d. Buah
3. 2 Alur Penelitian
3. 3 Metode
3. 3. 1 Persiapan hewan coba
Hewan coba yang digunakan adalah mencit dari galur DDY dengan jenis
kelamin jantan. Berat badan sekitar 25 gram atau berusia sekitar 2 bulan. Isolat
P.berghei diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
18
3. 3. 4 Pembuatan simplisia
Akar tanaman kayu kuning dikoleksi dalam keadaan segar dari hutan wilayah
Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada bulan
Juli 2010. Bagian-bagian lain dari tanaman seperti daun, batang dan buah juga
dikoleksi untuk keperluan identifikasi tanaman.
Bagian akar C. fenestratum dipisahkan kemudian dibersihkan dari kotoran.
Setelah bersih bagian tumbuhan dicacah dan dikeringkan dengan diangin-anginkan,
selanjutnya digiling dan ditimbang. Serbuk kering direndam dengan etanol 80%
perbandingan 1 kg akar menggunakan 6 liter etanol dan diaduk dengan stirrer
selama 3 jam lalu didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kertas saring
(Harborne 1987). Filtrat yang ada ditampung. Pengulangan dilakukan sampai
didapatkan filtrat yang jernih. Filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator menjadi
ekstrak. Ekstrak ditimbang untuk mengetahui rendemen ekstrak.
19
Hal yang sama dilakukan juga pada ekstraksi dengan air, pelarut yang
digunakan adalah aquadest. Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1
kg setelah dikeringkan diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat
ekstrak yang diperoleh dengan berat simplisia awal. Rumus menghitung rendemen
adalah sebagai berikut :
Rendemen = (Berat ekstrak / Berat sampel kering) x 100%
(Souri et al. 2002 dalam Muhtadi 2008).
3. 3. 5 Penapisan fitokimia
3. 3. 5. 1 Pemeriksaan alkaloid
3. 3. 5. 2 Pemeriksaan flavanoid
magnesium, 1 ml asam klorida pekat, dan 2 ml larutan amil alkohol dikocok kuat dan
dibiarkan memisah. Adanya kandungan flavanoid ditunjukkan dengan adanya warna
merah , kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
3. 3. 5. 3 Pemeriksaan saponin
3. 3. 5. 4 Pemeriksaan tannin
Sebanyak 10 gram simplisia dalam 100 ml air dididihkan selama 5 menit, kemudian
didinginkan dan disaring. Filtrat dibagi menjadi tiga bagian. Ke dalam filtrat pertama
ditambahkan larutan besi(III) (feri)-klorida 1%, timbulnya warna hijau biru atau hitam
menunjukkan adanya tanin. Pada filtrat kedua ditambahkan larutan gelatin,
terbentuknya endapan putih menunjukkan adanya tanin. Ke dalam filtrat ketiga
ditambahkan pereaksi Steasny (campuran formaldehida 30% dengan asam klorida
pekat 2:1), kemudian dipanaskan dalam penangas air. Terbentuknya endapan
warna merah muda menunjukkan adanya tanin katekat. Kemudian endapan
disaring, filtrat dijenuhkan dengan natrium asetat dan ditambahkan beberapa tetes
besi(III) feri-klorida 1%. Terbentuknya warna biru tinta menunjukkan adanya tanin
galat.
3. 3. 5. 5 Pemeriksaan kuinon
3. 3. 5. 6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid
8) Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 3,75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB (A3)
Setelah mencit positif, dilakukan pengobatan menggunakan sonde lambung
sekali dalam sehari dengan pemberian dua dosis sekaligus dan dilakukan selama
tiga hari berturut-turut. Saat pemberian pengobatan disebut hari ke-0, ke-1 dan ke-
2. Pengamatan angka parasitemia dilakukan dengan membuat preparat apus darah
tebal dan tipis yang diambil dari vena ekor pada hari ke 0, 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21, dan
28 setelah pemberian ekstrak (Tuti et al. 2007).
Pembuatan preparat darah dilakukan dengan meneteskan 1 tetes darah ke atas gelas
obyek, kemudian dibuat sediaan apus tipis dan tebal, darah dibiarkan sampai kering
pada suhu kamar. Pada bagian sediaan darah tipis dilakukan fiksasi dengan
metanol absolut selama 1 detik, kemudian diwarnai dengan larutan Giemsa secara
standar (5% larutan Giemsa selama 30 menit), terakhir dibilas dengan
menggunakan air mengalir. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop
dengan perbesaran 1000 kali menggunakan minyak immersi. Pembacaan diawali
pada sediaan darah tebal untuk melihat sediaan darah positif atau negatif. Kepadatan
parasit dihitung berdasarkan jumlah eritrosit yang terinfeksi dalam 1000 eritrosit,
dihitung menggunakan rumus
Persen parasitemia (%) = ( eritrosit terinfeksi / 1000 eritrosit ) x 100%
(Kakkilaya 2002). Rumus untuk menentukan penghambatan pertumbuhan parasit
adalah :
Persen penghambatan (%) = 100% - (( uji parasitemia/ kontrol
parasitemia) x 100%)
(Souri et al. 2002 dalam Muhtadi 2008).
3. 3. 8 Analisa Hasil
Hasil yang diperoleh diuji dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan jika ada
perbedaan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT),
menggunakan software SPSS versi 11.0. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan
diagram.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 2 Hasil Ekstraksi
2. Flavonoid ++++ ++
4. Steroid - -
5. Triterpenoid ++ +++
6. Tanin - -
7. Saponin + -
jumlahnya tetap/stabil pada hari kedua dan ketiga menjadi 16.64%, lalu pada hari
keempat sampai hari ketujuh naik kembali jumlahnya menjadi 23.18%. Pemberian
ekstrak dapat menghambat Plasmodium untuk berkembang lebih banyak. Ketika
pemberian ekstrak dihentikan, jumlah parasitnya kembali meningkat.
Pada kelompok A2 tidak terjadi penurunan parasitemia bahkan jumlahnya
semakin meningkat dari hari kedua sampai hari ketujuh, hal ini kemungkinan
disebabkan karena dosis ekstrak yang diberikan kurang sehingga tidak mampu
membunuh parasit. Di kelompok A3 terlihat penurunan jumlah parasitemia pada
mencit. Penurunan terlihat mulai hari kedua lalu stabil jumlah parasitemianya dan
kembali naik pada hari keempat setelah pemberian ekstrak dihentikan. Setelah naik
pada hari keempat lalu berangsur turun pada hari ketujuh.
Lebih lanjut diungkapkan oleh Slater (2002) bahwa mekanisme kerja dari
klorokuin adalah mengganggu penyerapan makanan di dalam vakuola makanan dari
tropozoit intraeritrositik, dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom tropozoit
tersebut. Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit
dengan konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan
penggumpalan pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit
heme polymerase yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang
menghasilkan akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang
mungkin mengganggu biosintesis asam nukleat. Mekanisme lain diduga
28
Pola yang hampir sama ditunjukkan pada pemberian ekstrak etanol dosis
ketiga (3,75 mg/25 grBB mencit/hari), yaitu pada hari ke-3 terjadi penurunan
parasitemia namun setelah itu kembali menunjukan kenaikan. Pada pemberian
ekstrak etanol dosis kedua (1,25 mg/25 grBB mencit/hari) menunjukkan penurunan
yang lebih berarti dibandingkan dosis 1 dan dosis 3 serta kontrol. Hal ini juga
29
Plasmodium dalam darah sudah tinggi (malaria berat) sehingga perlakuan yang
diberikan tidak efektif dalam membunuh Plasmodium. Sebelum mati, mencit telah
menunjukkan tanda-tanda sakit berat, kurus, gerakan berkurang, posisi diam di
pojok kandang dengan telinga dan ekor pucat.
Seperti dilaporkan Jekti et al. (1996) bahwa mencit yang mengalami malaria
berat akan terlihat lesu, lemah, kurus, pucat/anemis pada bagian daun telinga, ekor
dan selaput lendir mata, mulut dan anus tampak pucat kadang kekuningan, hal ini
disebabkan bayaknya eritrosit yang diserang dan kemudian pecah/hilang pada saat
pecahnya skizon, atau eritrosit yang terserang membentuk trombus yang
mengakibatkan timbulnya nekrosis jaringan, anoksi serta anemi. Gejala lainnya
adalah bulu berdiri, menggigil dengan posisi tubuh kiposis dan turgor buruk.
Pada Tabel 6 terlihat kematian juga terjadi pada rentang antara hari ke-7
sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Pada dosis A2 dan A3 masih ada
mencit yang sembuh pada hari ke-4 dan hari ke-3 setelah pemberian ekstrak.
Setelah diamati di bawah mikroskop pada 1000 eritrosit tidak ditemukan
Plasmodium dan mencitnya dapat bertahan hidup sampai penelitian berakhir yaitu
hari ke 28 setelah pemberian ekstrak.
Respon individu terlihat baik pada mencit yang mampu pulih setelah
pemberian perlakuan, hal ini dapat disebabkan ekstrak air C. fenestratum dosis 1,25
mg/ 25 gr mencit dan 3,75 mg/ 25 gr mencit bekerja optimal pada kondisi tertentu
individu.
Pada kelompok kontrol dengan pemberian Klorokuin terlihat kematian mencit
terjadi mulai hari ke-3. Dan pada hari ke-11 semua mencit sudah mati. Kelompok
kontrol negatif yang hanya diberi larutan PGA 3% juga menunjukkan pada hari ke-11
setelah pemberian ekstrak semua mencit kelompok tersebut telah mati.
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI) berguna
untuk memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio
yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED 50 ) dan dosis letal
(mematikan) pada 50% hewan (LD 50 ). Apabila semakin dekat rasio suatu obat
kepada angka 1, maka semakin besar bahaya toksisitasnya.
Dosis efektif ekstrak pada kelompok E3 dan A3 jika dibandingkan dengan LD 50
dari berberine yang pernah diteliti oleh Singh et al. (1990) yaitu 1200 mg/ kgBB
ternyata masih relatif lebih kecil. Angkanya hanya mencapai 1:4 dari LD 50 . Hal ini
31
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB
mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit; A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/25 grBB
mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/25 grBB
mencit. K+ adalah control dengan pemberian klorokuin dan K- adalah control negative hanya
diberikan larutan PGA 3%. Warna blok abu-abu menunjukkan kematian mencit pada hari ke-x.
33
Tabel 6 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan perlakuan ekstrak air C. fenestratum
selama pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak.
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB
mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit; A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/25 grBB
mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/25 grBB
33
mencit. K+ adalah control dengan pemberian klorokuin dan K- adalah control negative hanya
diberikan larutan PGA 3%. Warna blok abu-abu menunjukkan kematian mencit pada hari ke-x.
34
34
Tabel 7 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan dalam kelompok kontrol positif dan
kontrol negatif pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB mencit;
E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit; A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/25 grBB
mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/25
grBB mencit. K+ adalah control dengan pemberian klorokuin dan K- adalah control negative
hanya diberikan larutan PGA 3%.
Warna blok abu-abu menunjukkan kematian mencit pada hari ke-x.
35
Berikut ini adalah grafik rerata lama waktu hidup mencit yang diberi perlakuan
ekstrak (Gambar 7).
Gambar 7 Lama hidup mencit yang diberi perlakuan ekstrak dan kontrol tanpa
perlakuan.
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol
dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/ 25
grBB mencit. A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; A2 :
ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75
mg/ 25 grBB mencit. K+ adalah kontrol dengan pemberian klorokuin dan
K- adalah kontrol negatif hanya diberikan larutan PGA 3%.
Dari Gambar 7 tersebut terlihat bahwa masa hidup mencit terinfeksi P. berghei
yang terlama adalah mencit dengan perlakuan A3. Lama hidup mencit dengan
perlakuan A3 yaitu 12 hari, lalu berturut-turut perlakuan A1 selama 10 hari,
perlakuan E3 selama 10 hari, perlakuan A2 dan E2 selama 8 hari, perlakuan E1
selama 7,8 hari. Mencit dalam kelompok kontrol positif dengan pemberian kloroquin
masa hidupnya hanya 7 hari, sedangkan mencit tanpa perlakuan hanya dapat
bertahan hidup selama 6 hari.
Jika dilihat pada Tabel 5, 6 dan 7 kematian yang terjadi pada selang hari ke-4
dan ke-7 dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah parasit yang
menginfeksi. Selain itu infeksi pada satu sel eritrosit dapat dilakukan oleh lebih dari
satu parasit, sehingga memperparah kerusakan sel eritrosit tersebut.
36
Tabel 8 Jumlah mencit yang hidup pada pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28
setelah pemberian ekstrak
Pada Tabel 8 berikut terlihat kematian mencit pada kontrol negatif dimulai
pada hari kedua lalu berturut-turut semua mencit mati pada hari ketujuh. Pada
kontrol positif dengan pemberian kloroquin, kematian baru terjadi mulai hari keempat
lalu semakin bertambah pada hari berikutnya sehingga pada hari ke-14 semua
mencit mengalami kematian.
Hal yang sama terjadi pada mencit dengan perlakuan ekstrak E1, kematian
dimulai pada hari kedua tetapi pada hari ketujuh mencit masih dapat bertahan dan
baru pada hari ke-14 semua mencit telah mati. Mencit-mencit yang diberikan
perlakuan ekstrak dengan dosis E2, E3, A1, A2 dan A3, menunjukkan hasil yang
berbeda, semua mencit masih mampu bertahan sampai hari ke-4, bahkan pada
dosis A1 dan A3 sampai hari ketujuh belum ditemukan adanya kematian.
Kematian pada dosis-dosis tersebut terjadi pada rentang antara hari ke-7
sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Perbedaan sangat terlihat antara
perlakuan dan kontrol positif maupun negatif karena pada kontrol kematian sudah
terjadi pada rentang antara hari ke-4 sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak.
Peristiwa ini tentu saja berhubungan dengan jumlah parasit yang masih ada di
37
dalam tubuh mencit. Adanya penurunan jumlah parasit dalam darah dengan
pemberian ekstrak dapat memperpanjang umur hidup mencit. Hal ini seperti ditulis
Hutomo et al. (2005) bahwa tanaman obat di Indonesia dapat digunakan sebagai
antimalaria yang memiliki sifat antiplasmodia dan juga bersifat meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap serangan penyakit malaria. Lebih lanjut ia menambahkan
adanya pemberian tanaman obat dapat memperpanjang umur mencit yang
terserang malaria dengan mencegah kerusakan pada hati dan limpa.
Pada kelompok pemberian ekstrak A2 dan A3, sampai hari ke-28 setelah
pemberian ekstrak masih ditemukan mencit yang hidup, masing-masing 1 ekor. Jika
dirujuk pada Tabel 4, maka terlihat bahwa pemberian ekstrak A2 dapat menurunkan
parasitemia sampai terjadi kesembuhan (parasit clearance) pada hari ke-4 setelah
pemberian ekstrak, sedangkan pada pemberian ekstrak dosis A3 kesembuhan telah
terjadi pada hari ke-3 setelah pemberian ekstrak.
5 SIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Simpulan
5. 2 Saran
Dari hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini maka diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai :
1 Penentuan dosis yang tepat dan efektif berdasarkan lamanya pemberian
bahan uji untuk menurunkan tingkat parasitemia.
2 Pengujian efektifitas ekstrak tanaman kayu kuning terhadap strain/species
plasmodium lain.
3 Pengujian secara in vitro terhadap parasit malaria (P.falciparum) pada
manusia.
39
DAFTAR PUSTAKA
.
Anies. 2006. Seri Lingkungan dan Penyakit Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi
Mencgah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Elex Media Komputindo.
Jakarta : 90-95.
Asiedu DK, Sherman CB. 2000. Adult Respiratory Distress Syndrome Complicating
Plasmodium falciparum Malaria. Heart & Lung : The Journal of Acute and Critical
Care 29 (4) : 294-297.
Bourne GH, Danielli JF. 1986. International Review of Cytology, Molecular Approach to
the Study of Protozoan Cells. Academic Press. Orlando: 295-300.
Carter B, Diggs CL. 1977. Parasitic protozoa. Academic Press. New York: 184-218.
Cuilei. 1984. Methodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Faculty of Pharmacy.
Bucharest. Rumania.
Daily JP. 2006. Antimalarial Drug Therapy: the Role of Parasite Biology and Drug
Resistance. J Clin Pharmacol 47 : 68-72.
Dewi RM, Harijani AM, Suwarni ET, Yekti RP. 1996. Keadaan Hematologis Mencit
yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokt 106 : 37-39.
Fitch CD. 1986. Chloroquine Resistance in Malaria. Proc Natl Acad Sci USA 64 : 1181-
1187.
40
Greenwood B, Pedro A, Feiko OK, Jenny H, Richard WS. 2007. Malaria in Pregnancy :
Priorities for Research. Lancet Infect Dis 7 (2) : 169-174.
Jekti RP, Edhie S, Siti SY, Rita MS. 1996. Keadaan Hematologis Mencit yang Diinfeksi
dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokt 106 : 34-36.
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. 2001. Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics. McGraw-Hill. New York.
Kakkilaya BS. 2002. Peripheral smear examination for malarial parasite. Dr. B.S.
Kakkilaya's Malaria Web Site. Kayser, O., A. F. Kiderlen, and S.L. Croft. 2000.
Natural Products as Potential Antiparasitic Drugs. www.fu-
berlin.de/akkayscr/antiparasiticsfromnature.pdf. Diakses 8 Januari 2010.
Katzung B G. 2004. Farmakologi Dasar & Klinik. Salemba Medika. Jakarta : 57-94.
Laloo DG, Shingadia D, Phasvol G, Chidoni PL, Whitty CJ, Beeching NJ, Hill DR,
Warrel DA, Bannister BA. 2007. UK Malaria Treatment Guidelines. Journal of
Infection 54: 111-121.
Laurence DR, Bacharach AL. 1964. Evaluation of Drug Activities. Academic Press.
London : 203-205.
Lewis WH, Memory PF, Lewis E. 2003. Medical Botany Plants Affecting Human
Health.. John Wiley and Sons. New Jersey : 46-73.
Mabberley DJ. 2008. A Portable Dictionary of Plants, Their Classification and Uses.
Cambridge University Press. UK.
41
Mavakala K, Nlandu BB, Mpiana PT, Gushimana ZY and Wu YZ. 2003. Binding
Reaction of Hemin with Chloroquine, Quinine and Quinidine in Water-propylene
Glycol Mixture. Chinese Journal of Chemistry 21 (3) : 36-39.
Olliaro P, Cattani J, Wirth D. 1996. Malaria, the Submerged Disease. J Am Med Assoc
275: 230233.
Perry LM, Metzger J. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast Asia. MIT Press.
Cambridge : 269.
Praptiwi, Mindarti H, Chairul. 2007. Uji Aktivitas Antimalaria Secara in-Vivo Ekstrak Ki
Pahit (Picrasma javanica) pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei. J.
Biod 8 (4) : 111-113.
Prabowo A. 2008. Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta : 16-
24.
Phillips RS. 1983. Studies in Biology Malaria. First edition. Edward Arnold (Publisher)
Limited. London.
Rahayu YD. 2005. Kajian Potensi Tumbuhan Obat di Kawasan Malianau Research
Forest (MRF) CIFOR Kabupaten Malinau Kalimantan Timur [tesis] Program
Pascasarjana, Universitas Mulawarman.
Sanchez BAM, Mota MM, Sultan AA, Carvalho LH. 2004. Plasmodium berghei Parasite
Transformed with Green Fluorescent Protein for Screening Blood Schizontocide
Agent. Int. J. of Pararasitol 34 : 22-26.
Sangat HM, Zuhud EAM, Damayanti EK. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat
di Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Saxena S, Pant N, Jain DC, Bhaluni RS. 2003. Antimalarial Agents from Plant
Sources. Curr Sci 85 : 14-16.
Singh B, Sung LK, Matusop A, Radhakrisnan A, Shamsul SSG, Singh JC, Thomas A.
2004. A Large Focus of Naturally Acquired Plasmodium knowlesi Infection in
Human Beings. The Lancet 363 : 1017-1024.
Taylor TE, Strickland GT. 2000. Malaria In : Medicine and Emerging Infectious
Diseases. W B Saunders Company. Philadelphia : 614-643.
43
Tjay TH, Rahardja K. 2000. Obat-obat Penting. PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia. Jakarta.
Trape JF, Pison G, Speigel A, Enel C, Rogier C. 2002. Combating Malaria in Africa.
Trends in Parasitol 18 (5) : 224-230.
Tran TA, Ziegler S. 2001. Utilization of Medicinal plants in Bach ma National park,
Vietnam. Newsletter of The Medicinal Plant Specialist Group of the IUCN
Species Survival Commision 7 : 5-12.
Tuti S, Rita MD, Natalia K, Ari G. 2007. Pemantauan Efikasi Klorokuin untuk
Pengobatan Malaria Falciparum Ringan di Daerah High Case Incidence (HCI)
Banjarnegara, Jawa Tengah. Bul. Penel Kes 35 (3) : 97-107.
Wijayanti MA, Soeripto N, Supargiyono, Fitri LE. 2008. Pengaruh Imunisasi Mencit
dengan Parasit Stadium Eritrositik terhadap Infeksi Plasmodium berghei.
Berkala Ilmu Kedokt 29 (2) :53-59.
[WHO] World Health Organization. 2005. Initiative for Vaccine Research, State the Art
of Vaccine Research and Development. http://www.who.int/vaccines-document.
Diakses pada 8 Januari 2010.
Yahya M. Fakharul Z, Hasidah MS. 2009. Infeksi Plasmodium berghei dan Kesannya
ke atas Pengisyaratan MAP kinase Eritrosit Perumah. Sains Malaysiana 38 (5) :
761-766.
Hasil analisis data persentase pertumbuhan Plasmodium pada hari ke-0 sampai
hari ke-7.
Alpha 0.05
Number of Means 2 3 4 5 6 7 8
A 12.408 20 E1
A 11.328 25 A1
B A 8.365 21 K-
B A
B A 8.180 22 E3
B A
B A C 7.392 22 E2
Means with the same letter
are not significantly different.
B C
B C 5.196 24 A3
B C
B C 2.713 22 K+
C 1.797 21 A2
Lampiran 2
Corrected 47 1327.875135
Total
Alpha 0.05
Number of 2 3 4 5 6 7 8
Means
A 17.792 6 E1
B A 15.918 6 A1
B A
B A C 12.616 6 K-
B A C
B A C 12.464 6 E2
B C
B C 12.042 6 E3
B C
B C 11.676 6 A3
Means with the same letter
are not significantly different.
B C
B C 10.415 6 A2
C 8.774 6 K+