You are on page 1of 63

UJI EFEKTIFITAS AKAR KAYU KUNING

(Coscinium fenestratum Colebr) SEBAGAI ANTIMALARIA


PADA MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei

POPPY KURNIA GALUH TYAS KUSUMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning
(Coscinium fenestratum Colebr) Sebagai Antimalaria pada Mencit yang
Diinfeksi Plasmodium bergheiadalah karya saya dengan arahandari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Poppy Kurnia Galuh Tyas Kusuma


NIM B252090071
ABSTRACT

KUSUMA. The Efficacy Test of Root Kayu Kuning (Coscinium fenestratum


Colebr) as Antimalaria on P. berghei Infected Mice. Under direction of UMI
CAHYANINGSIH and RITA MARLETA DEWI

Malaria is a world wide parasitic disease. Every year malaria caused 2


millon of death. Death resulting from the disease was caused by the parasites
resistance to the malaria drug. Coscinium fenestratum have been used as a
traditional medicine against malaria in East Kalimantan. The aims of the
research were to know the effect of C. fenestratum root extract to Plasmodium
bergheion total red blood cells of mice. Three doses of ethanol and water root
extract, 0,625, 1,25 and 3,75 mg/25 gr mice/day were used in this study.
Chloroquine was used as positive control, while PGA 3% was used as negative
control. The result of this research indicated that dose of 3,75 mg/25 gr mice/day
water extract could reduce number of parasitemia to 9,77%, while the ethanol
extract 3,75mg/25 gr mice/day could reduce number of parasitemia to 5,281 %
on day 7. Dose of 0,625 mg/25 gr mice/day and 1,25 mg/25 gr mice/day on both
ethanol and water extract could not reduce any number of parasitemia on the
next day. Inhibition by Chloroquine reached 9,41% on day 4.

Key word : antimalaria, Coscinium fenestratum, parasitemia, extract


RINGKASAN

KUSUMA. Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Sebagai


Antimalaria Pada Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei. Dibimbing oleh
UMI CAHYANINGSIH dan RITA MARLETA DEWI

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit


Plasmodium yang penularannya dapat melalui gigitan nyamuk Anopheles betina
dan dapat pula ditularkan melalui transfusi darah atau dari ibu ke janin yang
dikandungnya. Salah satumasalah yang dihadapipelaksana program
dalampemberantasan malaria antara lain adalahmenurunnyasensitivitasparasit
(terutamaP. falciparum) terhadapobatantimalaria (klorokuin) yang
dipakaiselamaini.Dengan kata lain telah
terjadipenurunanefektifitasklorokuinuntukpengobatan malaria yang
disebabkanolehP. falciparum(malaria falciparum).
EfektivitasklorokuinterhadapP.vivaxjugatelahmenurunsejakdilaporkannyaresisten
siP.vivaxterhadapklorokuin di Papua danbeberapadaerahlainnya. Penelitian ini
dirancang sebagai upaya eksplorasi antimalaria dari kekayaan flora di Indonesia.
Uji aktivitas antimalaria dari tanaman Coscinium fenestratum terhadap
mencit yang diinfeksi P.berghei meliputi tahapan-tahapan yaitu : determinasi
tanaman uji, pembuatan simplisia, penapisan fitokimia, persiapan hewan coba,
penentuan dosis uji dan uji efektivitas ekstrak tanaman.
Identifikasi/determinasi dari bagian-bagian batang, daun, buah yang
dilakukan oleh Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI menyatakan tanaman ini
memiliki nama ilmiah Coscinium fenestratum (Colebr). Tanaman ini masuk dalam
suku Menispermaceae yang merupakan golongan tanaman sebagai sumber
isoquinoline alkaloid.
Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1 kg setelah
dikeringkan diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat ekstrak yang
diperoleh dengan berat simplisia awal. Hasil rendemen ekstrak airyang diperoleh
sebesar 10,90%, dengan berat ekstrak sebanyak 109 gram, sedangkan ekstrak
etanol memiliki rendemen 9,8% dengan berat ekstrak 98 gram.
Hasil analisis fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid yang
tinggi dari kedua jenis ekstrak. Senyawa lain yang terkandung dalam akar C.
fenestratum adalah dari golongan flavonoid, dengan jumlah lebih tinggi pada
ekstrak etanol. Phenol hidroquinon terdeteksi lebih banyak pada ekstrak etanol.
Triterpenoid lebih kuat pada ekstrak air, sementara saponin hanya terdeteksi
pada ekstrak etanol.
Pemberian ekstrak C. fenestratum pada kelompok E1 (ekstrak etanol dosis
0,625 mg/25 grBB mencit) dan E2 (ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB
mencit)tidak memberikan pengaruh yang berarti pada pertumbuhan Plasmodium.
Hal ini dapat disebabkan oleh dosis pemberian yang rendah sehingga tidak
cukup kuat untuk membunuh Plasmodium yang ada. Pada kelompok E3 (ekstrak
etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit), setelah pemberian perlakuan terjadi
penurunan jumlah parasit pada hari ke tujuh. Sementara itu, untuk kelompok A1
(ekstrak air dosis 0,625 mg/25 grBB mencit) tidak terjadi penurunan parasitemia
setelah pemberian ekstrak, melainkan jumlahnya tetap/stabil pada hari kedua
dan ketiga menjadi 16.64%, lalu pada hari keempat sampai hari ketujuh naik
kembali jumlahnya menjadi 23.18%. Pemberian ekstrak dapat menghambat
Plasmodium untuk berkembang lebih banyak. Ketika pemberian ekstrak
dihentikan, jumlah parasitnya kembali meningkat.
Pada kelompok A2 (ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit) tidak terjadi
penurunan parasitemia bahkan jumlahnya semakin meningkat dari hari kedua
sampai hari ketujuh, hal ini dapat disebabkan dosis ekstrak yang kurang
sehingga tidak mampu membunuh parasit. Di kelompok A3 (ekstrak air dosis
3.75 mg/25 grBB mencit)terlihat penurunan jumlah parasitemia pada mencit.
Penurunan terlihat mula hari kedua lalu stabil jumlah parasitemianya dan kembali
naik pada hari keempat setelah pemberian ekstrak dihentikan. Setelah naik pada
hari keempat lalu berangsur turun pada hari ketujuh. Kelompok kontrol positif
dengan pemberian Klorokuin terlihat mengalami penurunan parasitemia mulai
hari kedua setelah pemberian obat, kemudian berturut-turut menurun sampai hari
keempat lalu kembali meningkat pada hari ketujuh. Walaupun klorokuin telah
dilaporkan gagal dalam pengobatan malaria falciparum, ternyata dalam
penelitian ini masih memiliki efek penurunan parasitemia pada mencit yang
terinfeksi P. berghei.
Klorokuin akan mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang
merupakan hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Ikatan antara
feriprotoporfirin IX-Klorokuin ini memiliki sifat melisiskan membran parasit
sehingga parasit mati. Mekanisme aksi dari klorokuin adalah mengganggu
penyerapan makanan oleh vakuola makanan dari tropozoit intraeritrositik,
dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom tropozoit tersebut. Dalam
bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit dengan
konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan penggumpalan
pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit heme
polymerase yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang
menghasilkan akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang
mungkin mengganggu biosintesis asam nukleat.
Berdasarkan perhitungan persentase penghambatan, hasil terbesar
diperoleh berturut-turut dari ekstrak air dosis 3,75 mg/25 gr BB mencit yaitu
sebesar 34,67 %, ekstrak etanol dosis 3,75 mg/25 gr BB mencit sebesar 29,43 %
dan ekstrak air dosis 1,25 mg/25 gr BB mencit sebesar 0,28%. Dosis lainnya
tidak menunjukkan penghambatan pertumbuhan P. berghei melainkan efeknya
justru meningkatkan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kontrol positif dengan
pemberian Klorokuin, daya penghambatan pada hari ke-7 tidak ada.
Hasil rerata persentase pertumbuhan Plasmodium menunjukkan banyak
mencit yang mati pada rentang mulai hari ke-7 sampai hari ke-14 setelah
pemberian ekstrak. Hal ini dikarenakan pada hari-hari tersebut jumlah
Plasmodium dalam darah sudah tinggi (malaria berat) sehingga perlakuan yang
diberikan tidak efektif dalam membunuh Plasmodium. Sebelum mati, mencit
telah menunjukkan tanda-tanda sakit berat, kurus, gerakan berkurang, posisi
diam di pojok kandang dengan telinga dan ekor pucat. Hal ini disebabkan
bayaknya eritrosit yang diserang dan kemudian pecah/hilang pada saat
pecahnya skizon, atau eritrosit yang terserang membentuk trombus yang
mengakibatkan timbulnya nekrosis jaringan, anoksi serta anemi. Gejala lainnya
adalah bulu berdiri, menggigil dengan posisi tubuh kiposis dan turgor buruk.
Pada dosis A2 dan A3 masih ada mencit yang sembuh pada hari ke-4 dan
hari ke 3 setelah pemberian ekstrak. Setelah diamati dengan mikroskop pada
1000 eritrosit tidak ditemukan Plasmodium dan mencitnya dapat bertahan hidup
sampai penelitian berakhir yaitu hari ke-28 setelah pemberian ekstrak.
Respon individu terlihat baik pada mencit yang mampu pulih setelah
pemberian perlakuan, hal ini dapat disebabkan ekstrak air C. fenestratum dosis
1,25 mg/25 gr BB mencit dan 3,75 mg/25 gr BB mencit bekerja optimal pada
kondisi tertentu individu. Pada kelompok kontrol dengan pemberian Klorokuin
terlihat kematian mencit terjadi mulai hari ke-3. Dan pada hari ke-11 semua
mencit sudah mati. Kelompok kontrol negatif yang hanya diberi larutan PGA 3%
juga menunjukkan pada hari ke-11 setelah pemberian ekstrak semua mencit
kelompok tersebut telah mati.
Lama hidup mencit dengan perlakuan A3 yaitu 12 hari, lalu berturut-turut
perlakuan A1 selama 10 hari, perlakuan E3 selama 10 hari, perlakuan A2 dan E2
selama 8 hari, perlakuan E1 selama 7,8 hari. Mencit dalam kelompok kontrol
positif dengan pemberian kloroquin masa hidupnya hanya 7 hari, sedangkan
mencit tanpa perlakuan hanya dapat bertahan hidup selama 6 hari. Kematian
mencit pada kontrol negatif dimulai pada hari kedua lalu berturut-turut semua
mencit mati pada hari ketujuh. Pada kontrol positif dengan pemberian kloroquin,
kematian baru terjadi mulai hari keempat lalu semakin bertambah pada hari
berikutnya sehingga pada hari ke-14 semua mencit mengalami kematian.
Hal yang sama terjadi pada mencit dengan perlakuan ekstrak E1, kematian
dimulai pada hari kedua tetapi pada hari ketujuh mencit masih dapat bertahan
dan baru pada hari ke-14 semua mencit telah mati. Mencit-mencit yang diberikan
perlakuan ekstrak dengan dosis E2, E3, A1, A2 dan A3, menunjukkan hasil yang
berbeda, semua mencit masih mampu bertahan sampai hari ke-4, bahkan pada
dosis A1 dan A3 sampai hari ketujuh belum ditemukan adanya kematian.
Kematian pada dosis-dosis tersebut terjadi pada rentang antara hari ke-7
sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Perbedaan sangat terlihat antara
perlakuan dan kontrol positif maupun negatif karena pada kontrol kematian
sudah terjadi pada rentang antara hari ke-4 sampai hari ke-7 setelah pemberian
ekstrak. Peristiwa ini tentu saja berhubungan dengan jumlah parasit yang masih
ada di dalam tubuh mencit. Adanya penurunan jumlah parasit dalam darah
dengan pemberian ekstrak dapat memperpanjang umur hidup mencit.
Ekstrak etanol akar tanaman kayu kuning dengan dosis 3,75 mg/25 grBB
mencit/hari yang diberikan selama 3 hari dapat menghambat pertumbuhan
parasitemia sampai 5,281% pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak. Ekstrak
air dengan dosis 3,75 mg/25 grBB mencit/hari dapat menghambat pertumbuhan
parasitemia sampai 9,77% pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak. Pemberian
ekstrak air dari tanaman kayu kuning mempunyai daya hambat terhadap
pertumbuhan parasit P.berghei yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak
etanol.

Kata kunci : antimalaria, Coscinium fenestratum, parasitemia, ekstrak


Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
UJI EFEKTIFITAS AKAR KAYU KUNING
(Coscinium fenestratum Colebr) SEBAGAI ANTIMALARIA
PADA MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei

POPPY KURNIA GALUH TYAS KUSUMA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si
Judul Tesis : Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum Colebr)
Sebagai Antimalaria pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium
berghei
Nama : Poppy Kurnia Galuh Tyas Kusuma
NIM : B252090071

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.S.drh. Rita Marleta Dewi, DTM, M.Kes
Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/MayorDekan Sekolah Pascasarjana


Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S.Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 6 Juni 2011Tanggal Lulus:


PRAKATA

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan


kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan
penulisan tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober
2010 ini ialah antimalaria, dengan judul Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning
(Coscinium fenestratum Colebr) Sebagai Antimalaria Pada Mencit Yang Diinfeksi
Plasmodium berghei.
Terimakasih yang tulus penulis ucapakan kepada Ibu Dr. drh. Umi
Cahyaningsih, M.S. dan Ibu drh. Rita Marleta Dewi, DTM, M.Kes selaku
pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bantuan, bimbingan, koreksi
dan semangat, serta kepada Bapak Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si yang telah
banyak memberikan saran.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. drh. Upik
Kesumawati Hadi, M.S. selaku ketua program studi Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan beserta seluruh staf dan mahasiswa pascasarjana. Tak lupa
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Abdul Munir Pulungan dan
Bapak Heppy Soewasono beserta staff Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Timur yang telah membantu selama pengumpulan data, juga kepada staf
Laboratorium Protozoologi FKH-IPB yang telah membantu selama penelitian.
Ucapan terimakasih ditujukan pula kepada Gubernur Provinsi Kalimantan
Timur yang telah memberikan penugasan belajar serta pemerintah daerah
Provinsi Kalimantan Timur yang telah menanggung pendanaan tugas belajar ini.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Kepala Bidang P2PL dan Kepala
Seksi P2ML yang telah membantu kelancaran penyusunan tesis ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu serta keluarga
besar R. Prasadja Kartamihardja yang telah memberikan dukungan, doa dan
kasih sayangnya selama ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2003

Poppy Kurnia Galuh Tyas Kusuma


xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL..................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xiv

1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5


2.1 Malaria .................................................................................... 5
2.2 Obat Antimalaria ..................................................................... 10
2.3 Tanaman Kayu Kuning ........................................................... 15

3 METODE PENELITIAN ................................................................... 17


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 17
3.2 Alur Penelitian ........................................................................ 17
3.3 Metode ................................................................................... 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 23


4.1Hasil Identifikasi Tanaman ..................................................... 23
4.2 Hasil Ekstraksi ........................................................................ 23
4.3 Hasil Analisis Fitokimia ........................................................... 24
4.4 Hasil Uji Aktifitas Antimalaria .................................................. 25

5 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 37


5.1 Simpulan................................................................................... 37
5.2 Saran ....................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 38

LAMPIRAN............................................................................................ 43
xiii

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Hasil ekstraksi akar tanaman kayu kuning ............................................ 23

2 Hasil analisis fitokimia ekstrak akar C. fenestratum .............................. 24

3 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dengan perlakuan


pemberian ekstrak C. fenestratum ....................................................... 25

4 Rerata persentase penghambatan parasitemia hari ke-7 setelah


pemberian ekstrak ................................................................................. 27

5 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit


dengan perlakuan ekstrak etanol akar C. fenestratum selama
pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah perlakuan ............. 32

6 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit


dengan perlakuan ekstrak air akar C. fenestratum selama
pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah perlakuan ............... 33

7 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit


pada kelompok kontrol selama pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-
28 setelah perlakuan ...................................................................... 34

8 Jumlah mencit yang hidup pada pengamatan hari ke-0 sampai hari
ke-28 setelah pemberian ekstrak .......................................................
35
xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup Plasmodium ................................................................ 9

2 Habitat dan morfologi tanaman kayu kuning.................................... 16

3 Garis besar jalannya penelitian ....................................................... 17

4 Morfologi P. berghei stadium tropozoit di dalam eritrosit mencit ... 26

5 Morfologi P. berghei stadium skizon di dalam eritrosit mencit ....... 26

6 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan


perlakuan ekstrak etanol ................................................................ 28

7 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan


perlakuan ekstrak etanol ................................................................ 29

8 Lama hidup mencit yang diberi perlakuan ekstrak dan kontrol


tanpa perlakuan ............................................................................. 34
xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Hasil analisis data pertumbuhan Plasmodium pada hari ke-
0 sampai hari ke-7 setelah perlakuan ................................. 43

2 Hasil analisis rerata persentase pertumbuhan Plasmodium 45

3 Hasil identifikasi tanaman kayu kuning ............................... 48


1

1 PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit darah dari
genus Plasmodium. Secara alamiah penularan malaria terjadi melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina (Nahrevanian et al. 2009), dan pada keadaan tertentu
penularan dapat pula terjadi melalui transfusi darah atau ditularkan dari ibu ke janin
yang dikandungnya (Depkes RI 2009). Selama ini dilaporkan hanya ada 4 jenis
Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, namun belakangan ini dilaporkan
bahwa malaria pada kera juga dapat menginfeksi manusia (Singh et al. 2004).
Malaria yang merupakan ancaman terbesar adalah infeksi yang disebabkan spesies
Plasmodium falciparum, karena jenis ini adalah yang paling mematikan dan
menyebabkan peningkatan angka kesakitan (Barone et al. 2003).
Penyakit ini dapat menyerang manusia tanpa mengenal jenis kelamin dan
umur. Kelompok yang paling mudah terserang penyakit ini adalah ibu hamil, bayi
dan anak berumur kurang dari 4 tahun (Greenwood et al. 2007). Gejala malaria yang
terutama adalah demam, menggigil, berkeringat dan kadang kadang dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal (Depkes RI 2009).
Malaria hingga kini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
prioritas terutama di negara-negara beriklim tropis. Setiap tahun dilaporkan 300
500 juta kasus malaria dan menyebabkan lebih dari satu juta kematian dan bahkan
meningkat akhir-akhir ini (WHO 2008), dan masih merupakan penyakit endemik
pada lebih dari 90 negara terutama pada negara yang sedang berkembang
(Sanchez et al. 2004).
Indonesia merupakan daerah endemis malaria. Pengendalian dan
pemberantasan penyakit malaria telah dilakukan sejak tahun 1959, namun hingga
saat ini angka kesakitan dan kematian masih cukup tinggi (Zein 2005). Sampai
dengan tahun 2009, sekitar 80% kabupaten/kota merupakan daerah endemis
malaria dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular
malaria. Jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2009 sebanyak 1.143.024 orang.
Jumlah ini mungkin lebih besar dari keadaan yang sebenarnya karena lokasi yang
endemis malaria adalah desa-desa yang terpencil dengan sarana transportasi yang
2

sulit dan akses pelayanan kesehatan yang rendah. Menurut perhitungan para ahli
ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria sebesar tersebut diatas dapat
menimbulkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3,3 triliun rupiah lebih. Hal ini
sebagai akibat dari tidak dapat bekerja selama satu minggu, biaya pengobatan dan
lain-lain, belum termasuk biaya sosial seperti menurunnya tingkat kecerdasan anak
dan menurunnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada penurunan
produktivitas (Depkes 2010).
Penderita yang terinfeksi malaria pada 2 dekade terakhir meningkat dua kali
terutama disebabkan oleh munculnya strain P. falciparum yang resisten terhadap
obat malaria yang tersedia terutama klorokuin dan turunannya (Trape et al. 2002). Di
Indonesia, hal ini pula yang dihadapi pelaksana program dalam pemberantasan
malaria (Tuti et al. 2007). Disamping itu efektivitas klorokuin terhadap P.vivax juga
telah menurun sejak dilaporkannya resistensi P.vivax terhadap klorokuin di Papua
dan beberapa daerah lainnya (Siswantoro et al. 2006). Olliaro et al. (1996)
melaporkan bahwa kegagalan program penanggulangan malaria antara lain
disebabkan oleh adanya penyebaran yang luas dari resistensi obat antimalaria lini
pertama (monoterapi) dan resistensi terhadap obat-obat lain (multidrugs resistence).
Tanaman obat sering digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit antara
lain malaria (Koch et al. 2005). Tanaman akar kuning atau kayu kuning dengan
nama ilmiah Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr. merupakan tanaman yang
banyak dimanfaatkan sebagai obat. Di Indonesia, masyarakat terutama suku asli
telah menggunakan akar kuning untuk obat penyakit tertentu. Sebagai contoh suku
Sakai di Bengkalis (Provinsi Riau) menggunakan akar tanaman tersebut sebagai
obat kencing manis dan sakit kuning. Suku Anak Dalam di Sumatera Selatan juga
menggunakannya untuk pengobatan sakit kuning, suku Punan Lisun dan suku
Punan Bekatan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) mengobati
malaria dan sakit pinggang dengan akar tanaman ini. Suku Kenyah di Malinau,
Kalimantan Timur juga memanfaatkannya untuk menjaga stamina, pengobatan
malaria dan penyakit maag (Sangat et al. 2000 dan Rahayu 2005).
Di Vietnam, ekstrak alkohol dari tanaman C. fenestratum telah dijual bebas
dalam bentuk tablet, dan pada umumnya diresepkan untuk penyakit disentri (Tushar
et al. 2003). Di Thailand, masyarakat biasa menggunakan akar tanaman tersebut
3

untuk mengobati kolik dan sakit perut (Tran dan Ziegler, 2001), sedangkan di Sri
Lanka digunakan sebagai antiseptik dan krim wajah.
Uji pre-klinik yang telah dilaporkan beberapa peneliti menyatakan nilai lethal
dose (LD) 50 yang bervariasi. Singh et al. (1990) melaporkan bahwa LD 50 per oral
dari C. fenestratum adalah 1200 mg/kg pada mencit, sedangkan pada tahun 2010
Sudharshan et al. melaporkan bahwa LD 50 berdasarkan toksisitas akut dari tanaman
ini adalah 80 mg/kg. Lain halnya dengan hasil uji subkronis yang dilakukan oleh
Wongcome et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan
jumlah 2500 mg/kg/hari yang diberikan selama 90 hari pada mencit tidak
menyebabkan efek pada sistem saraf pusat.
Berdasarkan analisa kimia, Tushar et al. (2008) membuktikan bahwa tanaman
ini memiliki kandungan berberine yang tinggi seperti halnya tanaman-tanaman dari
ordo Menispermaceae lainnya. Kekuda et al. (2008) dalam Sudharshan et al. (2010)
juga menyebutkan bahwa kandungan utama dari C. fenestratum adalah kristal
alkaloid yang berwarna kuning yang disebut berberine. Disamping itu Subeki et al.
(2004) melaporkan bahwa beberapa zat aktif yang dikandung Arcangelisia flava
yang juga merupakan salah satu tanaman dari kelompok ordo Menispermaceae
mampu menurunkan tingkat parasitemia pada infeksi Babesia gibsoni. Baik C.
fenestratum maupun A. flava memiliki persamaan dalam penggunaan secara
empiris. Babesia gibsoni dan P. berghei merupakan parasit darah yang termasuk
dalam Kingdom Protozoa dari filum Apicomplexa (Levine 1988). Plasmodium
berghei merupakan parasit malaria pada hewan pengerat seperti tikus dan mencit.
Secara analisa molekuler, terdapat persamaan antara parasit malaria pada manusia
(P. falciparum) dengan P. berghei pada tikus, sehingga P. berghei sering digunakan
sebagai model pada penelitian malaria. Disamping itu, parasit ini analog dengan
parasit malaria pada manusia dalam beberapa aspek penting seperti struktur,
fisiologi dan siklus hidupnya (Carter dan Diggs 1977).
Sebelum obat / tanaman obat digunakan pada manusia, perlu dilakukan uji pre
klinik secara in vitro maupun in vivo menggunakan binatang percobaan (Dewi et al.
1996), maka pada penelitian ini akan dilakukan uji in vivo pada mencit yang diinfeksi
dengan P.berghei.
4

1. 2 Perumusan Masalah

Malaria dapat menyebabkan kerugian dalam bidang kesehatan bahkan sampai


terjadi kematian. Rendahnya kepatuhan minum obat antimalaria yang direkomen-
dasikan program pengendalian atau obat malaria sering tidak dijumpai pada daerah-
daerah yang endemik malaria menyebabkan masyarakat mencari pengobatan
alternatif dengan menggunakan pengobatan tradisional memakai tanaman obat.
Akar tanaman C. fenestratum sudah digunakan secara empiris untuk mengobati
beberapa penyakit termasuk malaria, tetapi belum ada pembuktian ilmiah mengenai
kegunaan tanaman ini dalam mengobati malaria.

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum : Mengetahui efektifitas ekstrak akar tanaman kayu kuning (C.
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1) Mengetahui efektifitas ekstrak etanol akar tanaman kayu kuning (Coscinium
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
2) Mengetahui efektifitas ekstrak air akar tanaman kayu kuning (Coscinium
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
3) Membandingkan efektifitas ekstrak etanol dan ekstrak air tanaman kayu
kuning (C. fenestratum) berdasarkan angka parasitemia mencit yang diinfeksi
P. berghei.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberi masukan kepada
pengelola program dalam penggunaan tanaman lokal sebagai obat antimalaria.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa darah dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Zein
2005). Selain melalui gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung
melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah positif, serta dari ibu
hamil kepada bayinya. Ciri utama dari family Plasmodiidae adalah adanya dua
siklus hidup yaitu siklus aseksual pada vertebrata yang berlangsung di hati dan di
eritrosit, serta siklus seksual yang diawali pada vertebrata dan dilanjutkan pada
nyamuk.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang serius bagi dunia. Pada tahun 1955,
World Health Organization (WHO) mengkampanyekan program pemberantasan
malaria ke seluruh dunia. Pada awalnya program ini berhasil dilaksanakan,
sebanyak 42 negara ikut ambil bagian dalam program dan pada tahun 1960, 10
negara dinyatakan berhasil memberantas malaria. Akan tetapi, belakangan
dilaporkan adanya strain nyamuk Anopheles yang resisten terhadap DDT (Dichloro-
Diphenyl-Trichloro-ethane) mulai muncul, dan seiring dengan terbukanya jalur
migrasi pada banyak negara, malaria dengan cepat menyebar. Pada tahun 1976,
WHO menyatakan program pemberantasan malaria mengalami kegagalan.Saat ini,
terdapat 300-500 juta orang menderita malaria di seluruh dunia, dengan angka
kematian sebesar 3 juta jiwa.

2.1.1 Jenis dan Gejalanya

Plasmodium yang menginfeksi manusia pada awalnya dilaporkan hanya


empat spesies yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale,
namun belakangan ini dilaporkan bahwa P.knowlesi (malaria pada primatan non
manusia) juga dapat menginfeksi manusia (Laloo et al. 2007), (Singh et al. 2004).

Malaria tropika adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dan


merupakan malaria yang paling ganas dan berbahaya. Bila tidak diobati malaria ini
dapat menyebabkan kematian karena menyebabkan malaria berat atau komplikasi
(kepadatan parasit yang sangat tinggi, gagal ginjal) dan malaria otak karena banyak
6

eritrosit terinfeksi yang menyumbat kapiler otak. Gejala malaria otak adalah
berkurangnya kesadaran dan serangan demam yang tidak menentu, adakalanya
terus-menerus, dapat pula berkala dua hari sekali. Gejala klinis yang menonjol
disertai pembesaran hati (Prabowo 2008) dengan adanya penyakit kuning dan urin
yang berwarna coklat tua atau hitam akibat hemolisa. Gejala lainnya adalah demam
tinggi yang timbul mendadak, hemoglobinuria, hiperbilirubinaemia, muntah, dan
gagal ginjal akut. Masa inkubasi untuk malaria tropika adalah 7-12 hari (Tjay dan
Rahardja 2000).
Malaria tersiana adalah malaria yang disebabkan oleh P.vivax atau P.ovale.
Gejalanya berupa demam berkala tiga hari sekali dengan puncak setelah setiap 48
jam (Prabowo 2008). Gejala lainnya berupa nyeri kepala dan punggung, mual
pembesaran limfa dan malaise umum. Malaria oleh P.ovale tidak bersifat mematikan
meskipun tanpa pengobatan (Tjay dan Rahardja 2000).
Malaria kwartana adalah malaria yang disebabkan oleh P. malariae yang
mengakibatkan demam berkala empat hari sekali dengan puncak demam setiap 72
jam. Gejala lainnya sama dengan malaria tertiana berupa nyeri kepala dan
punggung, mual, pembesaran limfa, dan malaise umum (Tjay dan Rahardja 2000).

2.1.2 Diagnosis
Diagnosa malaria yang cepat, tepat dan akurat merupakan bagian dari
penatalaksanaan penyakit yang efektif yang jika dilaksanakan dengan baik akan
menurunkan penggunaan obat antimalaria yang tidak perlu. Diagnosa malaria yang
tepat sangat penting, terutama bagi kelompok pasien yang rentan terhadap
serangan penyakit, misalnya anak-anak, yang mana penyakit malaria ini bisa
berakibat fatal (WHO 2009).
Diagnosis penyakit malaria berdasarkan pada diagnosa klinik disertai adanya
riwayat perjalanan dari daerah endemis. Diagnosa klinis yang ditegakan harus
didukung dengan pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini, pemeriksaan
mikroskopis dari sediaan darah dengan pewarnaan Giemsa masih merupakan
standart emas. Pemeriksaan dengan alat rapid diagnostic test (RDT) hanya
dilakukan pada saat terjadi kejadian luar biasa (KLB), atau di daerah terpencil yang
tidak ada fasilitas laboratorium. Pemeriksaan molekuler dengan teknik polymerase
7

chain reaction (PCR) hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan teknologi yang
lebih tinggi (Depkes 2009).

2.1.3 Penyebaran

Penyebaran malaria terjadi pada ketinggian yang sangat bervariasi yaitu dari
400 meter di bawah permukaan laut, seperti di Laut Mati dan Kenya, sampai 2600
meter di atas permukaan laut, seperti di Cochabamba, Bolivia (Pribadi dan Sungkar
1994).
Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di Indonesia. Penyakit ini
sering dikaitkan dengan perubahan iklim. Dengan adanya pemanasan global,
nyamuk yang menjadi vektor tersebut mampu untuk berkembang biak di daerah
yang sebelumnya dianggap terlalu dingin untuk perkembangbiakan yaitu isotherm
16 lintang utara dan lintang selatan dan pada ketinggian kurang dari 1000 m
(Wijayanti et al. 2008).

2.1.4 Penularan dan Pencegahan

Penularan malaria dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu, secara alami
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung sporozoit, secara non-
alami (induced) melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak
steril serta dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada janinnya (Prabowo 2008).
Nyamuk Anopheles betina biasanya menggigit manusia pada malam hri atau
mulai senja sampai subuh. Jarak terbang nyamuk ini hanya sekitar 300-500 m dari
tempat perindukannya. Jangka waktu yang dibutukan untuk pertumbuhan sejak telur
sampai menjadi nyamuk dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung spesies,
makanan yang tersedia dan suhu udara (Anies 2006).
Pencegahan malaria dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya :
pengobatan tuntas penderita agar tidak relaps atau resistensi parasit terhadap obat
antimalaria yang diberikan; pemberantasan nyamuk sebagai vektor; perlindungan
orang yang rentan dengan penggunaan kelambu; menghindari dari gigitan nyamuk
serta vaksinasi (Pribadi dan Sungkar 1994).
8

2.1.5 Siklus Hidup

1) Siklus aseksual
Siklus aseksual dari malaria dimulai dari masuknya sporozoit infeksius dari
kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina kedalam darah manusia. Dalam waktu tiga
puluh menit sporozoit tersebut akan memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai
stadium eksoeritrositik pada daur hidupnya. Di dalam sel hati sporozoit berkembang
menjadi trofozoit dan kemudian menjadi skizon yang menghasilkan banyak
merozoit. Sel hati yang mengandung skizon matang akan pecah dan merozoit keluar
ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah, walaupun ada sebagian yang
difagosit. Perkembangan mulai dari masuknya sporozoit ke dalam sel hati sampai
dengan keluarnya merozoit dari sel hati disebut stadium preeritrositik atau
eksoeritrositik.
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel darah merah sampai
merozoit keluar dan menyerang sel darah merah lainnya.Parasit tampak sebagai
kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan
mulai membentuk trofozoit, trofozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian
berkembang menjadi skizon matang dan membelah banyak menghasilkan
merozoit.Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan
merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki plasma darah. Parasit
memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi siklus skizogoni. Beberapa
merozoit memasuki eritrosit dan membentuk skizon dan lainnya membentuk
gametosit yaitu bentuk seksual (Pribadi dan Sungkar 1994).
2) Siklus seksual
Siklus seksual Plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang
terhisap pada saat nyamuk menghisap darah tidak dicerna oleh enzim yang ada di
dalam lambung nyamuk. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8
inti yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti
cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena
masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot
berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus
lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Di tempat ini ookinet membesar
dan disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa
9

sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila nyamuk menggigit manusia maka
sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Zein, 2005).
Siklus hidup Plasmodium ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup Plasmodium (sumber :http://www.cdc.gov)

2.1.6 Plasmodium berghei

Plasmodium berghei adalah protozoa yang menyebabkan penyakit malaria


pada rodensia. Penelitian berbagai aspek imunologis malaria banyak menggunakan
P. berghei dan mencit sebagai induk semangnya karena dengan model ini ada
kemungkinan dilakukan manipulasi pada induk semangnya sehingga dapat dipelajari
perubahan imunologis yang terjadi selama infeksi malaria (Wijayanti et al. 2008).
10

P. berghei merupakan salah satu parasit malaria yang menginfeksi mamalia


selain manusia. Parasit ini analog dengan parasit malaria pada manusia pada
hampir semua aspek penting seperti struktur, fisiologi dan siklus hidupnya (Carter
dan Diggs 1977)
Klasifikasi dari parasit P. berghei adalah sebagai berikut:
Domain : Eukaryota
Phylum : Apicomplexa
Class : Aconoidasida
Order : Haemospororida
Family : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Species : Plasmodium berghei (Levine 1988).

Secara umum daur hidup P. berghei sama dengan daur hidup malaria pada
manusia. Siklus perkembangan P. berghei sangat cepat dengan fase aseksual
selama 18 - 24 jam (Jones & Edmundson 1989 dan Bourne & Danielli 1986 ). Dalam
tubuh inang vertebrata siklus bermula pada saat sporozoit dari nyamuk terinfeksi
memasuki peredaran darah dan menyerang sel parenkima hati. Dalam sel hepatosit,
sporozoit berkembang menjadi trofozoit yang kemudian menjadi skizon matang yang
menghasilkan merozoit. Pecahnya skizon hepatosit membebaskan beribu-ribu
merozoit yang kemudian akan masuk ke dalam aliran darah dan mulai
perkembangan merozoit menjadi trofozoit dan seterusnya menjadi skizon yang
berlangsung di dalam sel eritrosit (Phillips 1983).

2. 2 Obat Antimalaria

Senyawa antimalaria tertua dilaporkan pada tahun 1820 untuk mengobati


demam malaria adalah kulit pohon kina (Cinchona succirubra) dan alkaloid yang
dikandungnya. Senyawa lain yang berkhasiat sebagai antimalaria yang didapat dari
tanaman Artemisia annua yang berasal dari China dan dikenal sebagai qinghaosu
(Tjay dan Rahardja 2000).
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon
cinchona,yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun tetapi
11

dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli
obat-obatan Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride) yang
pada saat itu lebih efektif daripada kinin dan toksisitasnya lebih ringan.Sejak akhir
perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan
menyembuhkan demam hutan secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-
jenis malaria dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Obat tersebut juga
mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obat-obat lain yang terdahulu
dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus. Namun baru-baru
ini strain P. falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya
resistensi terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini
ditemukan terutama di Indonesia, Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung
Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan.
Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain P. falciparum. Seiring dengan
munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta
bahwa jenis nyamuk pembawa (Anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap
insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit
malaria di berbagai negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria
mengalami peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang berkunjung
ke Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan juga di antara para pengungsi dari daerah
itu sendiri (WHO 2009).
Sampai tahun 2003, obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terbatas pada
klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, kina dan primaquin (Tjitra 2000). Antibiotika yang
bersifat antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, kloramfenikol,
sulfametoksazol-trimetropim dan kuinolon. Obat-obat ini pada umumnya bersifat
skizontosida darah untuk P. falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektif.
Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya
cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu misalnya dengan kina (Tjitra 2000).
Beberapa senyawa metabolit sekunder dari tanaman telah terbukti bermanfaat
sebagai antimalaria. Senyawa-senyawa ini dapat digolongkan dalam tujuh golongan
besar yaitu, alkaloid, quassinoid, sesquiterpen, triterpenoid, flavonoid, quinon dan
senyawaan miscellaneous (Saxena et al 2003). Lebih dari 100 jenis alkaloid dari
berbagai macam tanaman telah diketahui memiliki aktivitas antimalaria. Alstonine,
villalstonine dan makrocarpamine merupakan senyawa metabolit sekunder dari
12

tanaman pule (Alstonia scholaris Linn.) yang memiliki aktivitas antimalaria


(Arulmozhi et al. 2007).

2. 2. 1 Jenis Obat Antimalaria

Menurut WHO (2009), artemisinin adalah senyawa yang aktif melawan


empat jenis Plasmodium yang menginfeksi manusia dan secara umum
penggunaannya masih dapat diterima dengan baik. Jika dipandang dari sisi
kesehatan masyarakat, obat ini memiliki keuntungan yaitu menurunkan tingkat
penularan, hal ini disebabkan karena obat ini mengurangi jumlah gametosit
sehingga transmisi malaria dapat ditekan. Obat-obat kombinasi dari artemisinin yang
direkomendasikan dalam pengobatan malaria tanpa komplikasi adalah : artemether
lumefantrin, artesunat ditambah amodiakuin, artesunat ditambah meflokuin,
artesunat ditambah sulfadoksin-pirimetamin.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi untuk selain malaria falsiparum adalah
dengan menggunakan klorokuin, sedangkan untuk malaria vivax yang resisten
terhadap klorokuin menggunakan terapi kombinasi artemisinin dengan primakuin.
Penderita malaria berat, yaitu pada uji laboratorium dinyatakan jumlah sel
darah merah yang terinfeksi telah melebihi 2% (Laloo et al. 2007) harus diberikan
pengobatan intravena sampai kondisinya membaik dan dapat digantikan peng-
obatan secara oral.
Obat antimalaria memiliki beberapa kategori dalam membasmi parasit dan
indikasi penggunaannya. Beberapa obat memiliki lebih dari satu mekanisme anti
malaria (Hardman et al. 2001).
1). Klorokuin
Klorokuin telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan dan kemoprofilaksis
malaria sejak tahun 1943 (Katzung 2004). Klorokuin sangat murah dan efektif
sehingga menjadikannya sebagai obat pilihan antimalaria di sebagian besar belahan
dunia. Mekanisme kerja dari klorokuin seperti diungkapkan Slater (2002) adalah
mengganggu penyerapan makanan oleh vakuola makanan dari trofozoit
intraeritrositik, dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom trofozoit tersebut.
Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit dengan
konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan penggumpalan
13

pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit heme polymerase
yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang menghasilkan
akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang mungkin mengganggu
biosintesis asam nukleat. Mekanisme lain diduga terbentuknya ikatan kompleks
(Taylor dan Strickland 2000).
2). Quinin dan Quinidin
Quinin mempunyai grup quinoline yang terhubung dengan rantai alkohol
sekunder menjadi cincin quinidin. Quinidin lebih potensial sebagai antimalaria dan
lebih toksik jika dibandingkan dengan quinin (Hardman et al. 2001). Quinin bekerja
dengan cepat, dan merupakan skizontosida yang sangat efektif terhadap empat
spesies parasit malaria pada manusia.Obat tersebut merupakan gametosida
terhadap P. vivax dan P. ovale tetapi tidak pada P. falciparum. Obat ini tidak aktif
pada parasit tahap hepatis. Mekanisme kerja dari quinin belum diketahui (Hardman
et al. 2001).
3). Kombinasi Sulfadoxin - Pyrimethamin
Kombinasi Sulfadoxin-pyrimethamin merupakan kombinasi obat untuk
mengobati malaria falsiparum dalam kondisi telah resisten terhadap klorokuin dosis
tinggi dan untuk pasien yang tidak merespon terhadap klorokuin (Depkes 2009).
4). Amodiaquin
Amodiaquin digunakan untuk mengobati malaria tanpa komplikasi yang
disebabkan oleh P.falciparum (Depkes 2009). Toksisitas yang penting dari
amodiaquin adalah agranulositosis, dan sehubungan dengan efek tersebut, maka
penggunaannya dibatasi dalam tahun-tahun belakangan ini. Evaluasi ulang yang
dilakukan baru-baru ini telah menunjukkan bahwa toksisitas hematologis yang serius
dari amodiaquin menjadi jarang dan beberapa pihak yang berwenang saat ini
menganjurkan penggunannya sebagai pengganti klorokuin pada wilayah-wilayah
dengan tingkat resistensi yang tinggi tetapi dengan sumber daya yang terbatas
(Katzung 2004).
5). Mefloquin
Mekanisme kerja yang pasti dari mefloquin belum diketahui, sedangkan efek
antimalarianya berupa skizontosidal (Taylor dan Strickland 2000). Mefloquin dapat
menjadi obat alternatif untuk pencegahan dan pengobatan malaria yang disebabkan
14

oleh infeksi P.falciparum yang resistensi terhadap klorokuin atau obat-obat


antimalaria lainnya (Hardman et al. 2001).
6). Primaquin
Obat ini digunakan untuk menghilangkan parasit pada fase intrahepatik dari P.
vivax dan P. ovale (Depkes 2009). Obat ini adalah satu-satunya yang efektif
terhadap parasit tahap hipnozoit/dorman dari P.vivax dan P.ovale. Primaquin juga
merupakan gametosida terhadap empat spesies malaria manusia. Primaquin juga
bekerja terhadap parasit tahap eritrositik, walaupun efektifitasnya kurang (Shimizu et
al. 2010).
7). Halofantrin
Mekanisme kerja dari halofantrin hampir sama dengan klorokuin, quinin, dan
mefloquinyang akan berikatan dengan ferritoporphyrin IX membentuk kompleks
bersifat racun yang dapat merusak membran parasit. Halofantrin biasa digunakan
pada pengobatan malaria yang resisten terhadap klorokuin dan lainnya, serta pada
pengobatan penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi. Respon klinik terhadap
absorbsi obat pada pengobatan halofantrin belum diketahui (Kakkilaya 2006).
8). Proguanil (Chloroguanid)
Proguanil adalah obat antimalaria yang bekerja sebagai skizontosida darah,
walaupun mekanisme kerjanyabelum diketahui dengan pasti. Proguanil digunakan
untuk pengobatan malaria yang resisten lebih dari satu macam obat (Daily 2006).
Diduga bahwa proguanil bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase
dari parasit. Obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan P.falciparum
pada infeksi akut, dan juga efektif terhadap serangan dari P. vivax (Kakkilaya 2006).
9). Doksisiklin
Doksisiklin digunakan untuk profilaksis atau pengobatan malaria. Pada
pengobatan malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, obat ini harus
dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yang kerjanya lebih cepat antara lain
dengan quinin (Daily 2006). Tidak boleh digunakan untuk anak usia di bawah 8
tahun atau wanita hamil disebabkan karena efek samping dari obat ini
berpengaruhpada tulang dan gigi (Kakkilaya 2006).
10). Artemisin
Senyawa ester dalam tanaman Artemisia annua yang larut dalam air adalah
artesunat dan dua senyawa lainnya yang larut dalam minyak adalah artemeter dan
15

arteether. Artemisin bekerja dengan menghambat pembentukan enzim tertentu dari


Plasmodium, walaupun tidak menghambat jalur haem metabolic. Obat ini dapat
digunakan sebagai monoterapi, namun dianjurkan agar dikombinasikan dengan
antimalaria lain untuk memperoleh efikasi yang maksimum (Kakkilaya 2006). Obat
ini menghambat perkembangan dari trofozoit sehingga mencegah penyebaran
penyakit. Artesunat bekerja hingga 12 jam dan efektif untuk pengobatan infeksi P.
falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Obat ini sangat berguna dalam
mengatasi P. falciparum dengan komplikasi (Kakilaya 2006).

2. 3 Tanaman Kayu Kuning

Tanaman ini ditemukan di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang


dari 1000 m dari permukaan air laut. Tumbuh subur di lingkungan berekosistem
hutan hujan, mempunyai keanekaragaman paling tinggi terutama di daerah beriklim
basah seperti di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya (Rahayu 2005).
Sistematika tanaman kayu kuning adalah sebagai berikut :
Super Kingdom : Eukaryota
Kingdom : Viridaplantae
Filum : Streptophyta
Ordo : Ranunculales
Famili : Menispermaceae
Genus : Coscinium
Spesies : Coscinium fenestratum (Mabberley 2008) (NCBI 2004)
Beberapa tanaman dari keluarga Menispermaceae telah dimanfaatkan untuk
tujuan pengobatan tradisional di Thailand. Keluarga Menispermaceae dikenal
sebagai sumber penting dari isoquinoline alkaloid, salah satu kelompok produk alami
yang menunjukkan aktifitas farmakologikal yang menarik (Shamma 1972).
Batang dan akar dari tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan
tradisional sebagai tonik pahit untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya sakit
kuning (jaundice) dan beberapa penyakit infeksi seperti diare dan abses kulit (Perry
dan Metzger 1980).
16

a. b.

c. d.
Gambar 2 . Habitat dan morfologi tanaman kayu kuning
a. Batang ; b. Habitat; c. Daun ; d. Buah

Pada tanaman ini dilaporkan mengandung senyawa berberine, jatrorrhizine


dan columbamine serta telah diisolasi alkaloid yang disebut shobakunine. Penelitian
lanjut menunjukkan senyawa ini merupakan campuran dari palmatine dan berberine
Senyawa berberine digunakan sebagai antimalaria karena dapat menghambat
pembentukan beberapa jenis enzim dan menghambat sintesis DNA (Silikas 2011).
3 METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan tempat penelitian


Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu
penelitian pada bulan Oktober 2010 - Maret 2011.

3. 2 Alur Penelitian

Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

3. 3 Metode
3. 3. 1 Persiapan hewan coba

Hewan coba yang digunakan adalah mencit dari galur DDY dengan jenis
kelamin jantan. Berat badan sekitar 25 gram atau berusia sekitar 2 bulan. Isolat
P.berghei diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
18

Kementerian Kesehatan, RI. Sebanyak 0,1 ml suspensi diinfeksi secara intra


peritoneal pada mencit donor. Pengamatan angka parasitemia pada mencit donor
dilakukan setiap hari mulai hari kelima setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan
dengan membuat preparat darah apus tebal dan tipis. Pada saat tingkat parasitemia
mencapai lebih dari 1x104/l darah (Dewi et al. 1996), darah mencit donor tersebut
diambil dari jantung dan diinfeksikan kepada mencit sebagai hewan coba.

3. 3. 2 Penentuan dosis obat

Sesuai takaran jamu yang digunakan masyarakat (dosis empiris) yaitu 2


sendok teh diseduh dalam satu gelas air. Infusa dibuat dengan memanaskan
campuran tersebut menggunakan panci khusus. Larutan dipanaskan diatas air
mendidih selama 15 menit dengan suhu kurang lebih 90o C (Depkes RI 1995). Hasil
yang diperoleh lalu disaring dan dikeringkan di dalam oven. Setelah kering, timbang
padatan yang tersisa dan digunakan sebagai acuan dosis uji yaitu dosis pada
manusia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kalimantan Timur sebesar
0,196 mg/kg BB dewasa. Dosis ini kemudian dikonversi menjadi dosis pada mencit
dengan berat badan 25 gr, dan diperoleh dosis 0,625 mg.

3. 3. 4 Pembuatan simplisia

Akar tanaman kayu kuning dikoleksi dalam keadaan segar dari hutan wilayah
Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada bulan
Juli 2010. Bagian-bagian lain dari tanaman seperti daun, batang dan buah juga
dikoleksi untuk keperluan identifikasi tanaman.
Bagian akar C. fenestratum dipisahkan kemudian dibersihkan dari kotoran.
Setelah bersih bagian tumbuhan dicacah dan dikeringkan dengan diangin-anginkan,
selanjutnya digiling dan ditimbang. Serbuk kering direndam dengan etanol 80%
perbandingan 1 kg akar menggunakan 6 liter etanol dan diaduk dengan stirrer
selama 3 jam lalu didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kertas saring
(Harborne 1987). Filtrat yang ada ditampung. Pengulangan dilakukan sampai
didapatkan filtrat yang jernih. Filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator menjadi
ekstrak. Ekstrak ditimbang untuk mengetahui rendemen ekstrak.
19

Hal yang sama dilakukan juga pada ekstraksi dengan air, pelarut yang
digunakan adalah aquadest. Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1
kg setelah dikeringkan diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat
ekstrak yang diperoleh dengan berat simplisia awal. Rumus menghitung rendemen
adalah sebagai berikut :
Rendemen = (Berat ekstrak / Berat sampel kering) x 100%
(Souri et al. 2002 dalam Muhtadi 2008).

3. 3. 5 Penapisan fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen kimia yang


terdapat pada tumbuhan dengan menggunakan metode Cuilei (1984). Penapisan
fitokimia serbuk simplisia dilakukan terhadap golongan alkaloid, flavonoid, saponin,
tannin, kuinon, steroid-triterpenoid.

3. 3. 5. 1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 5 gram simplisia dilembabkan dengan 5 ml amonia 25% dan digerus


dalam mortir. Setelah ditambah 20 ml kloroform, bahan digerus lagi kuat-kuat dan
disaring. Filtrat berupa larutan organik digunakan untuk percobaan selanjutnya.
Untuk mengetahui kandungan unsure kimianya, maka sebagian larutan ini
diteteskan pada kertas saring yang telah ditetesi pereaksi Dragendorff.
Terbentuknya warna merah atau jingga pada kertas saring menunjukkan adanya
alkaloid. Sisa larutan organik diekstraksi dua kali dengan asam klorida dengan
perbandingan tertentu (1:10 v/v). Ke dalam dua tabung reaksi yang masing-masing
berisi 5 ml larutan ini ditambahkan beberapa tetes pereaksi Dragendorff dan Mayer.
Terbentuknya endapan merah bata dengan pereaksi Dragendorff atau endapan
putih dengan pereaksi Mayer menunjukkan adanya alkaloid.

3. 3. 5. 2 Pemeriksaan flavanoid

Sebanyak 10 gram simplisia ditambahkan 100 ml air panas, dipanaskan sampai


mendidih selama 5 menit dan disaring. Ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan serbuk
20

magnesium, 1 ml asam klorida pekat, dan 2 ml larutan amil alkohol dikocok kuat dan
dibiarkan memisah. Adanya kandungan flavanoid ditunjukkan dengan adanya warna
merah , kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

3. 3. 5. 3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang berasal dari pemeriksaan flavonoid


dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dikocok kuat secara vertikal selama 10 detik.
Terbentuknya busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit
dan tidak hilang pada penambahan setetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya
saponin.

3. 3. 5. 4 Pemeriksaan tannin

Sebanyak 10 gram simplisia dalam 100 ml air dididihkan selama 5 menit, kemudian
didinginkan dan disaring. Filtrat dibagi menjadi tiga bagian. Ke dalam filtrat pertama
ditambahkan larutan besi(III) (feri)-klorida 1%, timbulnya warna hijau biru atau hitam
menunjukkan adanya tanin. Pada filtrat kedua ditambahkan larutan gelatin,
terbentuknya endapan putih menunjukkan adanya tanin. Ke dalam filtrat ketiga
ditambahkan pereaksi Steasny (campuran formaldehida 30% dengan asam klorida
pekat 2:1), kemudian dipanaskan dalam penangas air. Terbentuknya endapan
warna merah muda menunjukkan adanya tanin katekat. Kemudian endapan
disaring, filtrat dijenuhkan dengan natrium asetat dan ditambahkan beberapa tetes
besi(III) feri-klorida 1%. Terbentuknya warna biru tinta menunjukkan adanya tanin
galat.

3. 3. 5. 5 Pemeriksaan kuinon

Sebanyak 1 gram simplisia dalam 10 ml air dididihkan selama 5 menit, kemudian


didinginkan dan disaring. Natrium hidroksida 1 N ditambahkan ke dalam 5 ml filtrat.
Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya kuinon.
21

3. 3. 5. 6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi dalam 20 ml eter selama 2 jam kemudian


disaring. Sebanyak 5 ml filtrat diuapkan dalam cawan penguap sampai kering. Ke
dalam residu ditambahkan dua tetes asam asetat glasial dan setetes asam sulfat
pekat. Terbentuknya warna merah-ungu menunjukkan adanya triterpenoid, dan jika
terbentuk warna hijau-biru menunjukkan adanya steroid.

3. 3. 6 Uji efektivitas ekstrak

Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain quasi


eksperimental secara in vivo. Pada penelitian ini digunakan hewan coba yang
dikelompokan sebagai kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.. Pada kelompok
perlakuan, satu kelompok diberi pengobatan ekstrak etanol akar tanaman kayu
kuning, dan kelompok lainnya diberi ekstrak air akar tanaman kayu kuning.
Kelompok kontrol terdiri dari kontrol positif (pengobatan dengan klorokuin) dan
kontrol negatif (tanpa pengobatan atau hanya pelarut/PGA (Pulvis Gum Arabic) 3%.
Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor mencit (Mus musculus) jantan.
Mencit yang digunakan adalah mencit putih jantan dari galur DDY berumur 2-
3 bulan dengan berat badan rata-rata 25 gram /ekor. Pakan dan air minum diberikan
secara adlibitum. Mencit diinokulasi dengan 0.1 ml darah yang mengandung 1x104
P. berghei secara intra peritoneal. Mencit dikelompokkan menjadi 8 kelompok (6
kelompok perlakuan dan 2 kontrol), masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor
mencit, yaitu :
1) Kelompok kontrol negatif, adalah kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei dan
diberi larutan PGA (Pulvis Gum Arabic) 3%
2) Kelompok kontrol positif, mencit terinfeksi dan diobati dengan Klorokuin
3) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 0,625 mg/25 gr BB = 25 mg/kg BB (E1)
4) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 1,25 mg/25 gr BB = 50 mg/kg BB (E2)
5) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 3,75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB (E3)
6) Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 0,625 mg/25 gr BB = 25 mg/kg BB (A1)
7) Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 1,25 mg/25 gr BB = 50 mg/kg BB (A2)
22

8) Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 3,75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB (A3)
Setelah mencit positif, dilakukan pengobatan menggunakan sonde lambung
sekali dalam sehari dengan pemberian dua dosis sekaligus dan dilakukan selama
tiga hari berturut-turut. Saat pemberian pengobatan disebut hari ke-0, ke-1 dan ke-
2. Pengamatan angka parasitemia dilakukan dengan membuat preparat apus darah
tebal dan tipis yang diambil dari vena ekor pada hari ke 0, 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21, dan
28 setelah pemberian ekstrak (Tuti et al. 2007).

3. 3. 7 Pembuatan Preparat Hapusan Darah Tebal dan Tipis

Pembuatan preparat darah dilakukan dengan meneteskan 1 tetes darah ke atas gelas
obyek, kemudian dibuat sediaan apus tipis dan tebal, darah dibiarkan sampai kering
pada suhu kamar. Pada bagian sediaan darah tipis dilakukan fiksasi dengan
metanol absolut selama 1 detik, kemudian diwarnai dengan larutan Giemsa secara
standar (5% larutan Giemsa selama 30 menit), terakhir dibilas dengan
menggunakan air mengalir. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop
dengan perbesaran 1000 kali menggunakan minyak immersi. Pembacaan diawali
pada sediaan darah tebal untuk melihat sediaan darah positif atau negatif. Kepadatan
parasit dihitung berdasarkan jumlah eritrosit yang terinfeksi dalam 1000 eritrosit,
dihitung menggunakan rumus
Persen parasitemia (%) = ( eritrosit terinfeksi / 1000 eritrosit ) x 100%
(Kakkilaya 2002). Rumus untuk menentukan penghambatan pertumbuhan parasit
adalah :
Persen penghambatan (%) = 100% - (( uji parasitemia/ kontrol
parasitemia) x 100%)
(Souri et al. 2002 dalam Muhtadi 2008).

3. 3. 8 Analisa Hasil

Hasil yang diperoleh diuji dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan jika ada
perbedaan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT),
menggunakan software SPSS versi 11.0. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan
diagram.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Identifikasi Tanaman

Identifikasi/determinasi dari bagian-bagian batang, daun, buah yang dilakukan oleh


Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI menyatakan tanaman ini memiliki nama ilmiah
Coscinium fenestratum (Colebr). Tanaman ini masuk dalam suku Menispermaceae
yang merupakan golongan tanaman sebagai sumber isoquinoline alkaloid (Shamma
1972) dengan ciri tumbuh merambat dan membentuk kelompok-kelompok pada
beberapa pohon rambatan atau tumbuhan lainnya, sehingga sulit untuk dibedakan
antara individu satu dengan lainnya. Batang tumbuhan ini licin dengan warna abu-
abu dan diameter terbesar yang ditemukan adalah kurang lebih 4,6 cm. Kulit bagian
dalam berwarna kuning. Memiliki daun yang peltate berwarna abu-abu di bagian
bawah dan tidak berbulu. Anakan kayu kuning juga tumbuh mengelompok
(Noorhidayah et al. 2008).

4. 2 Hasil Ekstraksi

Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1 kg setelah dikeringkan


diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat ekstrak yang diperoleh
dengan berat simplisia awal. Rendemen ekstrak air sebesar 10,90%, dengan berat
ekstrak sebanyak 109 gram, sedangkan ekstrak etanol memiliki rendemen 9,8%
dengan berat ekstrak 98 gram.

Tabel 1 Hasil ekstraksi akar tanaman kayu kuning

Berat sampel Berat ekstrak


Ekstrak kering total
Etanol 1000 gr 98 gr
Air 1000 gr 109 gr
24

4. 3 Hasil Analisis Fitokima

Ekstrak akar tanaman C. fenestratum selanjutnya dianalisis fitokimia untuk


mengetahui kandungannya. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 2 yaitu adanya
kandungan alkaloid yang tinggi dari kedua jenis ekstrak.

Tabel 2 Hasil analisis fitokimia ekstrak akar C. fenestratum

JENIS UJI Hasil ekstrak etanol Hasil ekstrak air

1. Alkaloid ++++ ++++

2. Flavonoid ++++ ++

3. Phenol hidroquinon ++++ ++

4. Steroid - -

5. Triterpenoid ++ +++

6. Tanin - -

7. Saponin + -

Senyawa lain yang terkandung dalam akar C. fenestratum adalah dari


golongan flavonoid, dengan jumlah lebih tinggi pada ekstrak etanol, phenol
hidroquinon juga dideteksi lebih banyak di ekstrak etanol, triterpenoid lebih kuat
pada ekstrak air, dan saponin terdeteksi hanya di ekstrak etanol.
Menurut Rojsanga et al. (2010), berberine merupakan senyawa isokuinolin
alkaloid banyak terkandung pada tanaman C. fenestratum. Senyawa ini memiliki
aktifitas biokimia dan farmakologi yang cukup luas, termasuk antidiare dan
antitumor. Sebagai antimalaria dengan gejala spesifik antara lain adalah diare maka
sangat dimungkinkan senyawa ini yang bekerja.
25

4. 4 Hasil Uji Aktivitas Antimalaria

Pemberian ekstrak C. fenestratum pada kelompok E1 (ekstrak etanol dosis


0,625 mg/25 gr BB mencit) dan E2 (ekstrak etanol dosis 1,25 mg/25 gr BB mencit)
yang ditunjukkan pada Tabel 3 tidak memberikan pengaruh yang berarti pada
pertumbuhan Plasmodium. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosis pemberian
yang rendah sehingga tidak cukup kuat untuk membunuh Plasmodium yang ada.
Pada kelompok E3 (ekstrak etanol dosis 3,75 mg/25 gr BB mencit) setelah
pemberian perlakuan terjadi penurunan jumlah parasit pada hari ke tujuh. Hal ini
dibuktikan dengan uji ANOVA yang menunjukan adanya pengaruh perlakuan
terhadap pertumbuhan Plasmodium, dan pada pengujian lanjut didapatkan hasil
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok E3 dengan kelompok
E1.

Tabel 3 Rerata persentase parasitemia mencit berdasarkan pemberian bahan


uji ekstrak C. fenestratum dan lamanya pengamatan.

Pengamatan Persentase parasitemia mencit pada kelompok


Hari ke
E1 E2 E3 A1 A2 A3 K+ K-
0 7.768a 7.486abc 6.789bc 6.478ab 10.86bc 8.194bc 7.53c 7.79abc
1 15.88a 14.43abc 13.9bc 8.732ab 7.355bc 13.49bc 12.7c 17.8abc
2 21.47a 10.92abc 12.83bc 16.64ab 12.36bc 12.61bc 9.46c 11.4abc
3 22.58a 10.37abc 16.7bc 16.64ab 14.83bc 12.31bc 8.26c 10abc
4 22.68a 21.65abc 16.76bc 23.18ab 17.09bc 13.67bc 5.25c 13.7abc
7 16.38a 9.928abc 5.281bc 23.83ab - 9.77bc 9.41c 15abc
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; E2 : ekstrak
etanol dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/ 25 grBB
mencit. A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25
mg/ 25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ 25 grBB mencit. K+ adalah
kontrol dengan pemberian klorokuin dan K- adalah kontrol negatif hanya diberikan
larutan PGA 3%.

Sementara itu, untuk kelompok A1 (ekstrak air dosis 0,625 mg/25 gr BB


mencit) tidak terjadi penurunan parasitemia setelah pemberian ekstrak melainkan
26

jumlahnya tetap/stabil pada hari kedua dan ketiga menjadi 16.64%, lalu pada hari
keempat sampai hari ketujuh naik kembali jumlahnya menjadi 23.18%. Pemberian
ekstrak dapat menghambat Plasmodium untuk berkembang lebih banyak. Ketika
pemberian ekstrak dihentikan, jumlah parasitnya kembali meningkat.
Pada kelompok A2 tidak terjadi penurunan parasitemia bahkan jumlahnya
semakin meningkat dari hari kedua sampai hari ketujuh, hal ini kemungkinan
disebabkan karena dosis ekstrak yang diberikan kurang sehingga tidak mampu
membunuh parasit. Di kelompok A3 terlihat penurunan jumlah parasitemia pada
mencit. Penurunan terlihat mulai hari kedua lalu stabil jumlah parasitemianya dan
kembali naik pada hari keempat setelah pemberian ekstrak dihentikan. Setelah naik
pada hari keempat lalu berangsur turun pada hari ketujuh.

Gambar 4 Morfologi P. berghei stadium tropozoit di dalam eritrosit mencit.

Gambar 5 Morfologi P. berghei stadium skizon di dalam eritrosit mencit


(terlihat adanya beberapa eritrosit mengalami multiinfeksi dari P.
berghei)
27

Uji statistik lanjut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna


antara pemberian perlakuan A3 dengan dosis A1. Pada kelompok kontrol positif
dengan pemberian Klorokuin terlihat ada penurunan parasitemia mulai hari kedua
setelah pemberian obat, kemudian berturut-turut menurun sampai hari keempat lalu
kembali meningkat pada hari ketujuh. Walaupun klorokuin telah dilaporkan gagal
dalam pengobatan malaria falciparum, ternyata dalam penelitian ini masih memiliki
efek penurunan parasitemia pada mencit yang terinfeksi P. berghei. Menurut Taylor
(2000), Klorokuin akan mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang
merupakan hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Ikatan antara
feriprotoporfirin IX-Klorokuin ini memiliki sifat melisiskan membran parasit sehingga
parasit mati.

Tabel 4 Rerata pesentase penghambatan parasitemia pada hari ke-7 setelah


pemberian ekstrak

Rerata persentase penghambatan


Dosis ekstrak
Ekstrak Etanol Ekstrak Air Klorokuin
(mg/25 grBB mencit)
(%) (%) (%)

0.625 -16.69 -27.34 -25.72

1.25 -32.64 0.28

3.75 29.43 34.67

Lebih lanjut diungkapkan oleh Slater (2002) bahwa mekanisme kerja dari
klorokuin adalah mengganggu penyerapan makanan di dalam vakuola makanan dari
tropozoit intraeritrositik, dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom tropozoit
tersebut. Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit
dengan konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan
penggumpalan pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit
heme polymerase yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang
menghasilkan akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang
mungkin mengganggu biosintesis asam nukleat. Mekanisme lain diduga
28

terbentuknya ikatan kompleks (Tjitra 2000) antara klorokuin dengan feriprotoporfirin


IX di dalam vakuola makanan, ikatan kompleks ini meracuni vakuola sehingga
menghambat penyerapan (intake) makanan (Fitch 1986).
Penghambatan terbesar diperoleh berturut-turut dari ekstrak air dosis 3,75 mg/
25 grBB mencit yaitu sebesar 34,67 %, ekstrak etanol dosis 3,75 mg/ 25 grBB
mencit sebesar 29,43 % dan ekstrak air dosis 1,25 mg/ 25 grBB mencit sebesar
0,28%. Dosis lainnya tidak menunjukkan penghambatan pertumbuhan P. berghei
melainkan efeknya justru meningkatkan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada
kelompok kontrol positif dengan pemberian Klorokuin, dengan menunjukan tidak
adanya daya hambat pada hari ke-7. Jika dilihat pada grafik rerata persentase
pertumbuhan Plasmodium dengan perlakuan ekstrak etanol (Gambar 6), maka
terlihat kontrol positif mengalami penurunan pada hari ke-4 tetapi pada hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak terjadi peningkatan melebihi hari ke-0.

Gambar 6 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan perlakuan


ekstrak etanol.

Pola yang hampir sama ditunjukkan pada pemberian ekstrak etanol dosis
ketiga (3,75 mg/25 grBB mencit/hari), yaitu pada hari ke-3 terjadi penurunan
parasitemia namun setelah itu kembali menunjukan kenaikan. Pada pemberian
ekstrak etanol dosis kedua (1,25 mg/25 grBB mencit/hari) menunjukkan penurunan
yang lebih berarti dibandingkan dosis 1 dan dosis 3 serta kontrol. Hal ini juga
29

dibuktikan oleh perhitungan penghambatan pertumbuhan Plasmodium. Analisis


statistika menggunakan DMRT juga menunjukkan pada taraf sebesar 0.05 dosis
kedua memiliki respon penurunan angka parasitemia yang terbaik dibandingkan
dosis lain dan kontrol.
Jika dilihat dari grafik rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dengan
perlakuan ekstrak air (Gambar 7), maka terlihat kontrol positif mengalami penurunan
pada hari ke-4 tetapi pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak
terjadi peningkatan melebihi hari ke-0.
Pada perlakuan dengan ekstrak air tidak ada dosis yang memiliki pola yang
sama dengan Klorokuin. Ekstrak air dosis ketiga (3,75 mg/ 25 gr BB mencit/hari)
menunjukkan penurunan yang lebih berarti dibandingkan dosis 1 dan 2 serta kontrol.
Hal ini juga dibuktikan oleh perhitungan penghambatan pertumbuhan Plasmodium.
Analisis statistika menggunakan DMRT juga menunjukkan pada taraf sebesar 0.05
dosis ketiga memiliki respon penurunan parasitemia yang terbaik dibandingkan
dosis lain dan kontrol.

Gambar 7 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan


perlakuan ekstrak air.

Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium yang tertera pada Tabel 5


menunjukkan banyak mencit yang mati pada rentang mulai hari ke-7 sampai hari ke-
14 setelah pemberian ekstrak. Hal ini dikarenakan pada hari-hari tersebut jumlah
30

Plasmodium dalam darah sudah tinggi (malaria berat) sehingga perlakuan yang
diberikan tidak efektif dalam membunuh Plasmodium. Sebelum mati, mencit telah
menunjukkan tanda-tanda sakit berat, kurus, gerakan berkurang, posisi diam di
pojok kandang dengan telinga dan ekor pucat.
Seperti dilaporkan Jekti et al. (1996) bahwa mencit yang mengalami malaria
berat akan terlihat lesu, lemah, kurus, pucat/anemis pada bagian daun telinga, ekor
dan selaput lendir mata, mulut dan anus tampak pucat kadang kekuningan, hal ini
disebabkan bayaknya eritrosit yang diserang dan kemudian pecah/hilang pada saat
pecahnya skizon, atau eritrosit yang terserang membentuk trombus yang
mengakibatkan timbulnya nekrosis jaringan, anoksi serta anemi. Gejala lainnya
adalah bulu berdiri, menggigil dengan posisi tubuh kiposis dan turgor buruk.
Pada Tabel 6 terlihat kematian juga terjadi pada rentang antara hari ke-7
sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Pada dosis A2 dan A3 masih ada
mencit yang sembuh pada hari ke-4 dan hari ke-3 setelah pemberian ekstrak.
Setelah diamati di bawah mikroskop pada 1000 eritrosit tidak ditemukan
Plasmodium dan mencitnya dapat bertahan hidup sampai penelitian berakhir yaitu
hari ke 28 setelah pemberian ekstrak.
Respon individu terlihat baik pada mencit yang mampu pulih setelah
pemberian perlakuan, hal ini dapat disebabkan ekstrak air C. fenestratum dosis 1,25
mg/ 25 gr mencit dan 3,75 mg/ 25 gr mencit bekerja optimal pada kondisi tertentu
individu.
Pada kelompok kontrol dengan pemberian Klorokuin terlihat kematian mencit
terjadi mulai hari ke-3. Dan pada hari ke-11 semua mencit sudah mati. Kelompok
kontrol negatif yang hanya diberi larutan PGA 3% juga menunjukkan pada hari ke-11
setelah pemberian ekstrak semua mencit kelompok tersebut telah mati.
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI) berguna
untuk memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio
yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED 50 ) dan dosis letal
(mematikan) pada 50% hewan (LD 50 ). Apabila semakin dekat rasio suatu obat
kepada angka 1, maka semakin besar bahaya toksisitasnya.
Dosis efektif ekstrak pada kelompok E3 dan A3 jika dibandingkan dengan LD 50
dari berberine yang pernah diteliti oleh Singh et al. (1990) yaitu 1200 mg/ kgBB
ternyata masih relatif lebih kecil. Angkanya hanya mencapai 1:4 dari LD 50 . Hal ini
31

menunjukkan masih terbuka kesempatan pemanfaatan tanaman ini sebagai obat,


tetapi di lain pihak ED 50 yang digunakan sebagai pembanding juga seharusnya ED 50
dari berberine murni, sedangkan pada penelitian ini belum dilakukan pemurnian
berberine.
Hal yang berbeda terlihat pada kelompok perlakuan ekstrak etanol dan air C.
fenestratum, umur hidup mencit relatif lebih lama bahkan ada yang pulih dari malaria
dan bisa bertahan sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak. Jekti et al. (1996)
mengatakan bahwa kematian mencit lebih dipengaruhi oleh tingkatan pasase atau
proses transfer parasit dari mencit ke mencit. Semakin tinggi tingkat pasasenya
maka tingkat virulensi parasit tersebut semakin ganas.
Pada penelitian ini digunakan pasase pertama, kematian terjadi pada hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Jekti et al. (1996) yaitu banyak kematian terjadi pada hari ke-5
dan ke-6 setelah pemberian ekstrak.
32
Tabel 5 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan perlakuan ekstrak etanol akar C.
fenestratum selama pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak.

Perlakuan Mencit ke Pengamatan hari ke setelah pemberian ekstrak


0 1 2 3 4 7 14 21 28
E1 1 6.637 10.83
2 15.56 27.5 18.54 34.62 44.21 26.86
3 11.45 24.16 46.51 26.72 14.23 26.47
4 3.983 12.74 12.51 9.826 10.83
5 1.214 4.171 8.319 19.15 21.43 12.18

E2 1 5.816 13.7 7.525 8.156 19.07


2 2.671 3.654 1.84 1.66 10.87
3 4.771 10.8 22.14 6.894 29.42
4 13.71 31.85 14.7 19.58 23.03 25.02
5 10.46 12.14 8.393 15.56 25.89 24.62

E3 1 5.619 11.51 7.274 8.038 11.04


2 8.915 14.83 18.48 32.6 18.37 18.67
3 7.64 12.84 15.05 17.11 22.37
4 9.107 23.71 13.23 21.57 27.42
5 2.662 6.592 10.1 4.184 4.573 7.738 0.093

Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB
mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit; A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/25 grBB
mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/25 grBB
mencit. K+ adalah control dengan pemberian klorokuin dan K- adalah control negative hanya
diberikan larutan PGA 3%. Warna blok abu-abu menunjukkan kematian mencit pada hari ke-x.
33

Tabel 6 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan perlakuan ekstrak air C. fenestratum
selama pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak.

Perlakuan Mencit ke Pengamatan hari ke setelah pemberian ekstrak


0 1 2 3 4 7 14 21 28
A1 1 3.853 9.333 9.388 9.388 10.76 10.11
2 8.907 14.6 17.92 17.92 27.32 29.74
3 8.055 5.291 24.63 24.63 44.25 38.59
4 5.904 7.383 11.83 11.83 11.76 15.98
5 5.669 7.052 19.45 19.45 21.82 24.73

A2 1 9.992 7.498 14.42 24.29 21.69


2 3.297 5.602 4.491 0.188 0 0 0 0 0
3 13.79 10.55 19.6 21.91 25.54
4 25.62 9.47 16.83 22.55 35.4
5 1.581 3.66 6.469 5.194 2.8

A3 1 2.976 9.335 12.01 12.83 10.43 16.56


2 2.601 4.698 2.985 0 0 0 0 0 0
3 10.07 13.33 9.65 17.52 12.38 18.5
4 20.23 34.23 35.53 25.67 34.55
5 5.094 5.872 2.88 5.539 11 13.84

Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB
mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit; A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/25 grBB
mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/25 grBB

33
mencit. K+ adalah control dengan pemberian klorokuin dan K- adalah control negative hanya
diberikan larutan PGA 3%. Warna blok abu-abu menunjukkan kematian mencit pada hari ke-x.
34

34
Tabel 7 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan dalam kelompok kontrol positif dan
kontrol negatif pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak

Perlakuan Mencit ke Pengamatan hari ke- setelah pemberian ekstrak


0 1 2 3 4 7 14 21 28
K+ 1 10.5 13.7 6.62 7.2 7.2 38.5
2 3.86 8.56 8.72 9.2 9.2
3 8.36 14.5 9.61 7.8
4 10.3 15.1 15.3 13.3 7.79
5 4.69 11.7 7.09 3.81 2.07 8.53

K- 1 6.05 9.69 9.35 13 11 17.5


2 7.69 26.9
3 5.38 15.7 17 10.6 25.2 26
4 8.8 15.5 10.1 6.57 8.37 12.1
5 11 21.1 20.6 19.9 23.9 19.3

Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB mencit;
E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit; A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/25 grBB
mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/25
grBB mencit. K+ adalah control dengan pemberian klorokuin dan K- adalah control negative
hanya diberikan larutan PGA 3%.
Warna blok abu-abu menunjukkan kematian mencit pada hari ke-x.
35

Berikut ini adalah grafik rerata lama waktu hidup mencit yang diberi perlakuan
ekstrak (Gambar 7).

Gambar 7 Lama hidup mencit yang diberi perlakuan ekstrak dan kontrol tanpa
perlakuan.
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol
dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/ 25
grBB mencit. A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; A2 :
ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75
mg/ 25 grBB mencit. K+ adalah kontrol dengan pemberian klorokuin dan
K- adalah kontrol negatif hanya diberikan larutan PGA 3%.

Dari Gambar 7 tersebut terlihat bahwa masa hidup mencit terinfeksi P. berghei
yang terlama adalah mencit dengan perlakuan A3. Lama hidup mencit dengan
perlakuan A3 yaitu 12 hari, lalu berturut-turut perlakuan A1 selama 10 hari,
perlakuan E3 selama 10 hari, perlakuan A2 dan E2 selama 8 hari, perlakuan E1
selama 7,8 hari. Mencit dalam kelompok kontrol positif dengan pemberian kloroquin
masa hidupnya hanya 7 hari, sedangkan mencit tanpa perlakuan hanya dapat
bertahan hidup selama 6 hari.
Jika dilihat pada Tabel 5, 6 dan 7 kematian yang terjadi pada selang hari ke-4
dan ke-7 dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah parasit yang
menginfeksi. Selain itu infeksi pada satu sel eritrosit dapat dilakukan oleh lebih dari
satu parasit, sehingga memperparah kerusakan sel eritrosit tersebut.
36

Tabel 8 Jumlah mencit yang hidup pada pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28
setelah pemberian ekstrak

Mencit yang masih hidup pada hari ke-


Perlakuan
0 1 2 3 4 7 14 21 28
E1 5 5 4 4 4 3 0 0 0
E2 5 5 5 5 5 3 0 0 0
E3 5 5 5 5 5 3 1 0 0
A1 5 5 5 5 5 5 0 0 0
A2 5 5 5 5 5 3 1 1 1
A3 5 5 5 5 5 5 1 1 1
K+ 5 5 5 5 4 2 0 0 0
K- 5 5 4 4 4 0 0 0 0
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol
dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/ 25 grBB
mencit. A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; A2 : ekstrak air
dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ 25 grBB
mencit. K+ adalah kontrol dengan pemberian klorokuin dan K- adalah
kontrol negatif hanya diberikan larutan PGA 3%.

Pada Tabel 8 berikut terlihat kematian mencit pada kontrol negatif dimulai
pada hari kedua lalu berturut-turut semua mencit mati pada hari ketujuh. Pada
kontrol positif dengan pemberian kloroquin, kematian baru terjadi mulai hari keempat
lalu semakin bertambah pada hari berikutnya sehingga pada hari ke-14 semua
mencit mengalami kematian.
Hal yang sama terjadi pada mencit dengan perlakuan ekstrak E1, kematian
dimulai pada hari kedua tetapi pada hari ketujuh mencit masih dapat bertahan dan
baru pada hari ke-14 semua mencit telah mati. Mencit-mencit yang diberikan
perlakuan ekstrak dengan dosis E2, E3, A1, A2 dan A3, menunjukkan hasil yang
berbeda, semua mencit masih mampu bertahan sampai hari ke-4, bahkan pada
dosis A1 dan A3 sampai hari ketujuh belum ditemukan adanya kematian.
Kematian pada dosis-dosis tersebut terjadi pada rentang antara hari ke-7
sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Perbedaan sangat terlihat antara
perlakuan dan kontrol positif maupun negatif karena pada kontrol kematian sudah
terjadi pada rentang antara hari ke-4 sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak.
Peristiwa ini tentu saja berhubungan dengan jumlah parasit yang masih ada di
37

dalam tubuh mencit. Adanya penurunan jumlah parasit dalam darah dengan
pemberian ekstrak dapat memperpanjang umur hidup mencit. Hal ini seperti ditulis
Hutomo et al. (2005) bahwa tanaman obat di Indonesia dapat digunakan sebagai
antimalaria yang memiliki sifat antiplasmodia dan juga bersifat meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap serangan penyakit malaria. Lebih lanjut ia menambahkan
adanya pemberian tanaman obat dapat memperpanjang umur mencit yang
terserang malaria dengan mencegah kerusakan pada hati dan limpa.
Pada kelompok pemberian ekstrak A2 dan A3, sampai hari ke-28 setelah
pemberian ekstrak masih ditemukan mencit yang hidup, masing-masing 1 ekor. Jika
dirujuk pada Tabel 4, maka terlihat bahwa pemberian ekstrak A2 dapat menurunkan
parasitemia sampai terjadi kesembuhan (parasit clearance) pada hari ke-4 setelah
pemberian ekstrak, sedangkan pada pemberian ekstrak dosis A3 kesembuhan telah
terjadi pada hari ke-3 setelah pemberian ekstrak.
5 SIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :


1 Ekstrak etanol akar tanaman kayu kuning dengan dosis 3,75 mg/25 grBB
mencit/hari yang diberikan selama 3 hari dapat menghambat pertumbuhan
parasitemia sampai 5,281 % pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak.
2 Ekstrak air dengan dosis 3,75 mg/25 grBB mencit/hari yang diberikan
selama 3 hari dapat menghambat pertumbuhan parasitemia sampai 9,77%
pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak.
3 Pemberian ekstrak air dari tanaman kayu kuning mempunyai daya hambat
terhadap pertumbuhan parasit P.berghei yang lebih besar dibandingkan
dengan ekstrak etanol.

5. 2 Saran

Dari hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini maka diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai :
1 Penentuan dosis yang tepat dan efektif berdasarkan lamanya pemberian
bahan uji untuk menurunkan tingkat parasitemia.
2 Pengujian efektifitas ekstrak tanaman kayu kuning terhadap strain/species
plasmodium lain.
3 Pengujian secara in vitro terhadap parasit malaria (P.falciparum) pada
manusia.
39

DAFTAR PUSTAKA

.
Anies. 2006. Seri Lingkungan dan Penyakit Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi
Mencgah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Elex Media Komputindo.
Jakarta : 90-95.

Arulmozhi S, Mazumder PM, Purnima A, Narayanan LS. 2007. Pharmacological


activities of Alstonia scholaris Linn (Apocynaceae)- A Review. Pharmacognosy
Review 1 : 76-81.

Asiedu DK, Sherman CB. 2000. Adult Respiratory Distress Syndrome Complicating
Plasmodium falciparum Malaria. Heart & Lung : The Journal of Acute and Critical
Care 29 (4) : 294-297.

Barone R, Simpore J, Lucia M, Salvatore P, Salvatore M. 2003. Plasma Chitotriosidase


Activity in Accute Plasmodium falciparum Malaria. Clinica Clinica Elcta 331 : 79-
85.

Bourne GH, Danielli JF. 1986. International Review of Cytology, Molecular Approach to
the Study of Protozoan Cells. Academic Press. Orlando: 295-300.

Carter B, Diggs CL. 1977. Parasitic protozoa. Academic Press. New York: 184-218.

Cuilei. 1984. Methodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Faculty of Pharmacy.
Bucharest. Rumania.

Daily JP. 2006. Antimalarial Drug Therapy: the Role of Parasite Biology and Drug
Resistance. J Clin Pharmacol 47 : 68-72.

Dewi RM, Harijani AM, Suwarni ET, Yekti RP. 1996. Keadaan Hematologis Mencit
yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokt 106 : 37-39.

[DEPKES] Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Jakarta : 28-39.

[DEPKES] Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria


di Indonesia. Jakarta : 17-25.

[DEPKES] Departemen Kesehatan. 2010. Hari Malaria Sedunia.


http://www.penyakitmenular.info. Diakses 16 Januari 2011.

[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2010. Peranan Tanaman Obat dalam


Pengembangan Hutan Tanaman.
http://www.dephut.go.id/index.php?q=en/node/352.
Diakses pada 8 Januari 2010.

Fitch CD. 1986. Chloroquine Resistance in Malaria. Proc Natl Acad Sci USA 64 : 1181-
1187.
40

Greenwood B, Pedro A, Feiko OK, Jenny H, Richard WS. 2007. Malaria in Pregnancy :
Priorities for Research. Lancet Infect Dis 7 (2) : 169-174.

Jekti RP, Edhie S, Siti SY, Rita MS. 1996. Keadaan Hematologis Mencit yang Diinfeksi
dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokt 106 : 34-36.

Harborne JB 1987. Metode fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung: 15-28.

Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. 2001. Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics. McGraw-Hill. New York.

Hutomo R, Sutarno, Winarno W, Kusmardi. 2005. Uji Antimalaria Ekstrak buah


Morinda citrifolia dan Aktivitas Makrofag pada Mencit (Mus musculus) setelah
diinfeksi Plasmodium berghei. Biofar 3 (2) : 61-69.

Kakkilaya BS. 2002. Peripheral smear examination for malarial parasite. Dr. B.S.
Kakkilaya's Malaria Web Site. Kayser, O., A. F. Kiderlen, and S.L. Croft. 2000.
Natural Products as Potential Antiparasitic Drugs. www.fu-
berlin.de/akkayscr/antiparasiticsfromnature.pdf. Diakses 8 Januari 2010.

Kakkilaya BS. Malaria life cycle. http://www.malariasite/malaria/LifeCycle.com. Diakses


pada 8 Januari 2010.

Kakkilaya BS. 2006. http://www.malariasite.com/malaria/artemisinin.htm. Diakses pada


8 Januari 2010.

Katzung B G. 2004. Farmakologi Dasar & Klinik. Salemba Medika. Jakarta : 57-94.

Koch A, Tamez P, Pezzuto J, Soejarto D. 2005. Evaluation of Plants Used for


Antimalarial Treatment by The Maasai of Kenya. J. of Ethnophar 101 : 95-99.

Laloo DG, Shingadia D, Phasvol G, Chidoni PL, Whitty CJ, Beeching NJ, Hill DR,
Warrel DA, Bannister BA. 2007. UK Malaria Treatment Guidelines. Journal of
Infection 54: 111-121.

Levine ND. 1988. Progress in Taxonomy of the Apicomplexan Protozoa. J. Protozool


35 : 518520.

Laurence DR, Bacharach AL. 1964. Evaluation of Drug Activities. Academic Press.
London : 203-205.

Lewis WH, Memory PF, Lewis E. 2003. Medical Botany Plants Affecting Human
Health.. John Wiley and Sons. New Jersey : 46-73.

Mabberley DJ. 2008. A Portable Dictionary of Plants, Their Classification and Uses.
Cambridge University Press. UK.
41

Mavakala K, Nlandu BB, Mpiana PT, Gushimana ZY and Wu YZ. 2003. Binding
Reaction of Hemin with Chloroquine, Quinine and Quinidine in Water-propylene
Glycol Mixture. Chinese Journal of Chemistry 21 (3) : 36-39.

Muhtadi. 2008. Pemisahan Fraksi dan Senyawa-senyawa yang Berkhasiat


Antiplasmodium dari Ekstrak Kulit Kayu Mimba (Azadirachta indica Juss). J.
Penel Sain dan Tek. 9 (2) : 17-20.

Muslim H M. 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.


Jakarta: 46-52.

Nahrevanian H, Esmaeli B, Kazemi M, Nazem H, Amini M. 2009. In Vivo Antimalarial


Effects of Iranian flora Artemisia khorasanica against Plasmodium berghei and
Pharmacochemistry of its Natural Components. Iranian J Parasitol 5 (1) : 6-19.

[NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2004. Coscinium fenestratum.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?mode=Info&id=483
232. Diakses 8 Januari 2010.

Noorhidayah, Akhmadi A, Priyono. 2008. Proses Perkecambahan Benih Akar Kuning


(Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.). Wana Benih 9 (2) : 1-8.

Olliaro P, Cattani J, Wirth D. 1996. Malaria, the Submerged Disease. J Am Med Assoc
275: 230233.

Perry LM, Metzger J. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast Asia. MIT Press.
Cambridge : 269.

Praptiwi, Mindarti H, Chairul. 2007. Uji Aktivitas Antimalaria Secara in-Vivo Ekstrak Ki
Pahit (Picrasma javanica) pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei. J.
Biod 8 (4) : 111-113.

Prabowo A. 2008. Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta : 16-
24.

Phillips RS. 1983. Studies in Biology Malaria. First edition. Edward Arnold (Publisher)
Limited. London.

Pribadi W, Sungkar S. 1994. Malaria. Balai Penerbit FKUI. Jakarta : 35-57.

Rahayu YD. 2005. Kajian Potensi Tumbuhan Obat di Kawasan Malianau Research
Forest (MRF) CIFOR Kabupaten Malinau Kalimantan Timur [tesis] Program
Pascasarjana, Universitas Mulawarman.

Rojsanga P, Sukthankar M, Krisanapun C, Gritsanapan W, Lawson DB, dan Baek SJ.


2010. In vitro Anti-proliferative Activity of Alcoholic Stem Extract of Coscinium
fenestratum in human colorectal cancer cells. Exp. Therapeu Med 1(1): 181-
186.
42

Sanchez BAM, Mota MM, Sultan AA, Carvalho LH. 2004. Plasmodium berghei Parasite
Transformed with Green Fluorescent Protein for Screening Blood Schizontocide
Agent. Int. J. of Pararasitol 34 : 22-26.

Sangat HM, Zuhud EAM, Damayanti EK. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat
di Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Saxena S, Pant N, Jain DC, Bhaluni RS. 2003. Antimalarial Agents from Plant
Sources. Curr Sci 85 : 14-16.

Shamma M. 1972. The Isoquinoline Alkaloids. Academic Press. New York.

Shimizu S, Yoshio O, Tamotsu K, Yoshiya T, Meiji A. 2010. Suppressive Effect of


Azithromycin on Plasmodium berghei Mosquito Stage Development and
Apicoplast Replication. Malaria J 9 : 73-79.

Silikas N, Mc Call DLC, Sharples D, Watkins W M, Waigh R D, Barber J. 2011. The


Antimalarial Activity of Berberine and Some Synthetic Analogues. Phar &
Pharmacol Comm 2 (1) : 55-58.

Singh GB, Surjeet S, Bani S, Maholtra S. 1990. Hypotensive Action of a Coscinium


fenestratum Stem Extract. J. Ethnopharmacol 30 (2) : 151-155.

Singh B, Sung LK, Matusop A, Radhakrisnan A, Shamsul SSG, Singh JC, Thomas A.
2004. A Large Focus of Naturally Acquired Plasmodium knowlesi Infection in
Human Beings. The Lancet 363 : 1017-1024.

Siswantoro H, Ratcliff A, Kenangalem E, Wuwuy M, Maristela R, Rumaseuw R, Laihad


F, Anstey NM, Price RN, Tjitra E. 2006. Efficacy of Existing Antimalarial Drugs
for Uncomplicated Malaria in Timika, Papua, Indonesia. Med J Indones 15 (4) :
251-259

Slater AFG. 2002. Chloroquine : Mechanism of Drugs Action and Resistance in


Plasmodium falciparum. Pharmacol & Therapeut 57 (2-3) : 203-235.

Soulsby EJL. 1968. Veterinary Helminthology and Entomology. Bailliere Tindall.


London : 692-693.

Subeki HM, Takahashi K, Yamasaki M, Yamato O, Maede Y, Katakura K, Suzuki M,


Trimurtiningsih, Chairul, Yoshihara T. 2004. Antibabesial Activity of
Protoberberine Alkaloids and 20-Hydroxyecdysone from Arcangelisia flava
against Babesia gibsoni in Culture. J. Vet. Med. Sci 67 (2) : 223-227.

Sudharshan SJ, Prasith K, Sujatha ML. 2010. Antiinflammatory Activity of Curcuma


aromatica Salisb and Coscinium fenestratum Colebr : A Comperative Study. J
Phar Research. 3 (1) : 24-25.

Taylor TE, Strickland GT. 2000. Malaria In : Medicine and Emerging Infectious
Diseases. W B Saunders Company. Philadelphia : 614-643.
43

Tjay TH, Rahardja K. 2000. Obat-obat Penting. PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia. Jakarta.

Tjitra E, Harijanto PN editor. 2000. Obat Anti-malaria. Dalam :. Malaria, Epidemiologi,


Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.

Trape JF, Pison G, Speigel A, Enel C, Rogier C. 2002. Combating Malaria in Africa.
Trends in Parasitol 18 (5) : 224-230.

Tran TA, Ziegler S. 2001. Utilization of Medicinal plants in Bach ma National park,
Vietnam. Newsletter of The Medicinal Plant Specialist Group of the IUCN
Species Survival Commision 7 : 5-12.

Tushar KV, George S, Remashree AB, Balachandran I, 2008. Coscinium fenestratum


(Gaertn.) Colebr.-A review on This Rare, Critically Endangered and Highly-
Traded Medicinal Species. J. Plant Sci 3: 133-145.

Tuti S, Rita MD, Natalia K, Ari G. 2007. Pemantauan Efikasi Klorokuin untuk
Pengobatan Malaria Falciparum Ringan di Daerah High Case Incidence (HCI)
Banjarnegara, Jawa Tengah. Bul. Penel Kes 35 (3) : 97-107.

Wijayanti MA, Soeripto N, Supargiyono, Fitri LE. 2008. Pengaruh Imunisasi Mencit
dengan Parasit Stadium Eritrositik terhadap Infeksi Plasmodium berghei.
Berkala Ilmu Kedokt 29 (2) :53-59.

[WHO] World Health Organization. 2005. Initiative for Vaccine Research, State the Art
of Vaccine Research and Development. http://www.who.int/vaccines-document.
Diakses pada 8 Januari 2010.

[WHO] World Health Organization. 2008. World Malaria Report.


http://apps.who.int/malaria/wmr2008/malaria2008.pdf. Diakses pada 8 Januari
2011.

[WHO] World Health Organization. 2009. Malaria Case Management: Operations


Manual : 19-30.

Wongcome T, Panthong A, Jesadanont S. 2007. Hypotensive Effect and Toxicology of


the Extract from Coscinium fenestratum (Gaertn) Colebr. J. Ethnophar 111 (3) :
468-475.

Yahya M. Fakharul Z, Hasidah MS. 2009. Infeksi Plasmodium berghei dan Kesannya
ke atas Pengisyaratan MAP kinase Eritrosit Perumah. Sains Malaysiana 38 (5) :
761-766.

Zein U. 2005. Penanganan Terkini Malaria Falciparum. Universitas Sumatera Utara.


http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/3371/l/penydalam-umar6.pdf.
Diakses pada 8 Januari 2010.
Lampiran 1

Hasil analisis data persentase pertumbuhan Plasmodium pada hari ke-0 sampai
hari ke-7.

Duncan's Multiple Range Test for growth

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 32

Error Mean Square 73.89221

Harmonic Mean of Cell Sizes 22.02228

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8

Critical Range 5.277 5.546 5.721 5.846 5.941 6.015 6.075

Means with the same letter


are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N trtmt

A 12.408 20 E1

A 11.328 25 A1

B A 8.365 21 K-

B A

B A 8.180 22 E3

B A

B A C 7.392 22 E2
Means with the same letter
are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N trtmt

B C

B C 5.196 24 A3

B C

B C 2.713 22 K+

C 1.797 21 A2
Lampiran 2

Hasil analisis rerata persentase pertumbuhan Plasmodium

The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source DF Sum of Mean F Pr > F
Squares Square Value

Model 12 705.632886 58.802741 3.31 0.0028

Error 35 622.242249 17.778350

Corrected 47 1327.875135
Total

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean

0.531400 33.16871 4.216438 12.71210

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

perlakuan 7 350.7839881 50.1119983 2.82 0.0194

r 5 354.8488982 70.9697796 3.99 0.0057

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

perlakuan 7 350.7839881 50.1119983 2.82 0.0194

r 5 354.8488982 70.9697796 3.99 0.0057


The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for respon


Note: This test controls the Type I comparison wise error rate, not the
experiment wise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 35

Error Mean Square 17.77835

Number of 2 3 4 5 6 7 8
Means

Critical Range 4.942 5.195 5.360 5.479 5.569 5.639 5.697

Means with the same letter


are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 17.792 6 E1

B A 15.918 6 A1

B A

B A C 12.616 6 K-

B A C

B A C 12.464 6 E2

B C

B C 12.042 6 E3

B C

B C 11.676 6 A3
Means with the same letter
are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N perlakuan

B C

B C 10.415 6 A2

C 8.774 6 K+

You might also like