You are on page 1of 8

Albert

dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

Penatalaksanaan Peritonitis Akibat Komplikasi Continuous Ambulatory


Peritoneal Dialysis

Albert Suharyadi, Muhammad Aditya
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Penyakit ginjal kronik/Chronic Kidney Disease (CKD) telah muncul sebagai beban penyakit masyarakat secara luas yang
jumlah pasiennya yang terus meningkat, risiko tinggi perkembangan dari stadium akhir penyakit ginjal/End Stage Renal
Disease (ESRD) dan prognosis buruk untuk morbiditas dan mortalitas. Hal tersebut menjadi perhatian dunia terkait
epidemiologinya, faktor risiko, rencana terapi, dan pencegahan. Stadium akhir penyakit ginjal harus dilakukan terapi
pengganti ginjal yaitu berupa hemodialisis, dialisis peritoneal ataupun transplantasi ginjal. Peritonitis merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi dan paling serius yaitu antara 60-80% dari pasien yang menjalani dialisi peritoneal. Data primer
diperoleh dari alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis empiris peritonitis harus dipikirkan
ketika cairan peritoneal keruh/berawan, hitung sel darah putih lebih dari 100/mm dan setidaknya 50% dari sel darah putih
tersebut adalah sel polimorfonuklear (PMN). Tindakan aseptik merupakan satu langkah yang paling penting yang perlu
dilakukan pengguna Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Teknik ini sangat penting untuk menghindari pasien
dari kontaminasi bakteri yang menyebabkan peritonitis saat melakukan prosedur CAPD.

Kata kunci: chronic kidney disease, continuous ambulatory peritoneal dialysis, peritonitis

Management of Peritonitis caused by Complications of Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis

Abstract
Chronic kidney disease (CKD) has emerged as a global publichealth burden for its increasing number of patients, high riskof
progression to end-stage renal disease (ESRD), and poor prognosis of morbidity and mortality.It attracts worldwide
attention to its epidemiology, risk factors, treatment plansand preventive actions. End-stage renaldisease(ESRD) must be
treated by renal replacement therapy may include hemodialysis, peritoneal dialysis or kidney transplantation. Peritonitis is
the most frequent complication, and most serious, which is between 60-80% of patients undergoing peritoneal dialysis.
Primary data obtained from alloanamnesis, physical examination, and investigations.An empiric diagnosis of peritonitis
should be made if the peritoneal effluent is cloudy, the effluent white blood cell (WBC) count is greater than 100/mm and
at least 50% of the WBCs are polymorphonuclear leukocytes.Aseptic Techniques is one of the most important steps that
needs to be utilized by Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) users. This technique is crucial to avoid them
from bacterial contamination which leads to peritonitis while performing CAPD procedures.

Keywords: chronic kidney disease, continuous ambulatory peritoneal dialysis, peritonitis

Korespondensi: Albert Suharyadi, alamat jalan Abdul Muis VII No 9A, Gedong Meneng Bandar Lampung, HP 08127284485,
e-mail Albert_Suharyadi@yahoo.com


Pendahuluan per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus
Penyakit ginjal kronis/Chronic Kidney baru dalam setahun.4
Disease (CKD) telah muncul sebagai beban Dari data yang dikumpulkan dari
penyakit masyarakat secara luas yang jumlah Laporan Tahunan ke-4 Indonesian Renal
pasiennya terus meningkat, risiko tinggi Registry (IRR) oleh Perkumpulan Nefrologi
perkembangan dari stadium akhir ESRD dan Indonesia pada tahun 20115, didapatkan
prognosis yang buruk untuk morbiditas dan urutan etiologi terbanyak CKD adalah penyakit
mortalitas.1,2 ginjal hipertensi (34%), nefropati diabetika
Insidensi tahunan CKD dilaporkan (27%), glomerulonefropati primer (14%),
bervariasi mulai dari 4 per sejuta penduduk di nefropati obstruksi (8%), pielonefritis kronik
Bolivia sampai 254 per sejuta penduduk di (6%), sistemik lupus eritromatosus (1%), ginjal
Puerto Rico.3 Indonesia sendiri belum memiliki polikistik (1%), gout (2%), lain-lain (6%), dan
sistem registri yang lengkap dibidang penyakit tidak diketahui (1%).
ginjal, namun di Indonesia diperkirakan 100 Pada ERSD GFR dibawah 15% akan
terjadi gejala komplikasi yang serius dan

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|26


Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

pasien sudah memerlukan terapi pengganti (CAPD) dilakukan 3-5 kali per hari dengan
ginjal (Renal Repalcement Therapy) antara lain setiap kali cairan dialisis dalam cavum
dialisis atau transplantasi ginjal.6 peritoneum (dwell time) lebih dari 4 jam,
Klasifikasi penyakit ginjal kronik biasanya 4-6 jam pada siang hari, 8 jam pada
didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar malam hari.6,8
derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis Komplikasi CAPD dapat dibagi menjadi
etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit komplikasi teknis dan komplikasi medis.
dibuat atas dasar Glomerular Filtration Rate Komplikasi teknis pada umumnya bukan
(GFR). merupakan komplikasi yang serius dan mudah
diatasi antara lain bocornya cairan dialisat,
7
Tabel 1. Klasifikasi CKD berdasarkan GFR. sumbatan pada saat masuk atau keluarnya
Derajat Penjelasan GFR cairan dialisat, kesalahan letak kateter, dan
(ml/mnt/1,73m) lain sebagainya. Komplikasi medis antara lain
1 Kerusakan ginjal > 90 hipotensi, keluhan gastrointestinal, nyeri
dengan GFR sendi, sakit tulang punggung, kram, perasaan
normal atau lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuknya
2 Kerusakan ginjal 60-89
kateter, perasaan sakit di abdomen, hingga
dengan GFR
peritonitis.8
ringan
3a Kerusakan ginjal 45-59 Peritonitis adalah peradangan akut atau
dengan GFR kronis peritoneum, selaput yang melapisi
ringan-sedang rongga perut, dan mencakup organ visceral
3b Kerusakan ginjal 30-44 atau juga dikenal sebagai akut abdomen. Ada
dengan GFR dua jenis peritonitis yaitu peritonitis primer
sedang-berat dan sekunder. Peritonitis primer adalah yang
4 Kerusakan ginjal 15- 29 disebabkan oleh penyakit hati. Cairan
dengan GFR menumpuk di abdomen, tempat utama untuk
berat pertumbuhan bakteri, ini adalah tipe yang
5 Gagal ginjal / end < 15 atau dialysis jarang dari peritonitis. Jenis yang lebih umum
stage renal
dari peritonitis, yang disebut peritonitis
disease (ESRD)
sekunder, disebabkan ketika kondisi lain yang

memungkinkan bakteri, enzim, atau empedu
Renal repalcement therapy dilakukan
masuk ke peritoneum dari rongga di
pada CKD stadium V, yaitu pada GFR <15
gastrointestinal atau saluran empedu. Rongga
ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
tersebut dapat disebabkan oleh pankreatitis,
berupa hemodialisa, peritoneal dialisis atau
ruptur appendiks, ulkus lambung, Crohn
transplantasi ginjal. Peritoneal dialisis adalah
disease, atau diverticulitis. Dialisis peritoneal,
salah satu bentuk dialisis untuk membantu
yang menggunakan pembuluh darah di
penanganan gangguan ginjal akut maupun
peritoneum untuk menyaring racun dalam
CKD, menggunakan membran peritoneum
darah ketika ginjal tidak mampu
yang bersifat semipermeabel. Melalui
melakukannya, juga dapat menyebabkan
membran tersebut darah dapat difiltrasi.
peritonitis. Kedua kasus peritonitis sangat
Keuntungan dialisis peritoneal dibandingkan
serius dan dapat mengancam kehidupan jika
hemodialisis, secara teknik lebih sederhana,
tidak ditangani dengan segera.9
cukup aman serta cukup efisien, dan tidak
Peritonitis adalah komplikasi yang
memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat
sering dijumpai meskipun saat ini angka
dilakukan di setiap rumah sakit.6
kejadian peritonitis dibeberapa pusat ginjal
Dialisis peritoneal dapat berupa
menurun sampai serendah 1 episode setiap 4
Intermitten Peritoneal Dialysis (IPD) dilakukan
orang per tahun dan penurunan ini terutama
3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selama
karena lebih baiknya seleksi dan latihan pasien
8-14 jam. Yang kedua, Continous Cyclic
serta kemajuan teknologi seperti connector, in
Peritoneal Dialysis (CCPD) dilakukan setiap
line filters dan y tubing. Gejala dan keluh
hari dan pada malam hari, penggantian cairan
kesah pasien terbanyak adalah keruhnya
dialisis sebanyak 3-4 kali. Yang ketiga,
cairan dialisat serta sakit abdomen. Disamping
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis
itu, dapat pula disertai mual, muntah, panas,

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|27



Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

menggigil, dan diare. Penyebab kuman paling dengan memperhatikan prinsip sterilitas.
sering Staphylococcus aureus 30-40% dan Penggantian cairan tidak hanya dilakukan oleh
Staphylococcus epidermidis (80-90%) yang 1 orang, melainkan oleh suami dan kedua
merupakan gram positif, 5-10% disebabkan anaknya.
gram negatif, dan sisanya disebabkan karena Setelah 3 bulan menjalani CAPD,
fungi dan aseptik.8 pasien kembali lagi ke RS YMC dengan keluhan
Penatalaksanaan peritonitis harus nyeri perut. Nyeri perut dirasakan oleh pasien
segera diberikan, segera dibuat kultur dan uji seperti melilit, selain itu kedua kaki pasien
kepekaan. Sementara menunggu hasil bengkak dan terkadang juga mengalami sesak,
laboratorium, dapat diberikan kombinasi buang air besar cair yang terkadang disertai
sefalosporin (untuk gram positif) dan darah, lemas, pucat, serta cairan CAPD keruh.
tobramisin (untuk gram negatif) Setelah diberikan pengobatan keluhan
intraperitoneal dan diberikan setiap berkurang dan cairan mulai jernih.
penggantian cairan dialisat.6 Pada Desember 2013, pasien kembali
Berikut akan disajikan suatu laporan lagi ke RS YMC dengan keluhan serupa dan
kasus seorang pasien yang menderita gagal langsung dirujuk ke Rumah Sakit Abdul
ginjal kronik stadium V atau ESRD yang Moeloek (RSAM) Bandar Lampung. Di RSAM
menjalani CAPD dengan komplikasi peritonitis pasien mendapatkan pengobatan sampai
berulang. Semoga kasus ini dapat bermanfaat keluhan berkurang dan cairan CAPD jernih,
dan menambah wawasan. sehingga diperbolehkan pulang.
Setelah 3 bulan, Maret 2014, pasien
Kasus datang ke RSGH (Rumah Sakit Graha Husada)
Ny.A, 52 tahun, datang ke Rumah Sakit Bandar Lampung, dengan keluhan yang sama
Graha Husada (RSGH) Bandar Lampung pada dan disarankan untuk dilakukan penggantian
tanggal 26 September 2014. Pasien datang peritoneal dialysis transfer set.
dengan keluhan nyeri perut hebat sejak 5 hari Setelah 3 bulan, Juni 2014, pasien
sebelum masuk rumah sakit. Selain itu pasien datang lagi ke RSAM dengan keluhan yang
juga mengeluhkan buang air besar cair dan sama, kemudian dilakukan kultur dan uji
terkadang disertai darah, mual, muntah, perut resistensi cairan CAPD, didapatkan hasil:
kembung, napsu makan menurun, terkadang ditemukan bakteri gram negatif Escherichia
sesak napas, bengkak pada kedua lengan dan coli (E. coli) dan sensittif terhadap antibiotik
kaki. meropenem. Kemudian diberikan pengobatan
Sejak 2,5 tahun yang lalu sekitar bulan dengan antibiotik meropenem selama 5 hari
Maret 2012, pasien mengeluh bengkak pada dan keluhan berkurang kemudian pasien
kedua kaki, mual, muntah, buang air kecil diperbolehkan pulang.
sedikit, lemas, sakit kepala. Kemudian pasien Setelah 2 bulan, Agustus 2014, pasien
berobat ke RS YMC (Yukum Medical Centre) datang lagi dengan keluhan yang sama dan
Lampung Tengah dan dokter yang merawat diberikan terapi kemudian dilakukan kultur
mengatakan bahwa pasien terkena gangguan ulang dan hasilnya steril, tidak ditemukan
ginjal dan disarankan untuk dilakukan cuci mikroorganisme, meskipun secara klinis
darah. Pasien datang ke RS tersebut secara menunjukkan adanya gejala peritonitis (cairan
berkala Setiap 3 bulan dengan keluhan yang dialysis keruh). Terapi yang diberikan tetap
sama, dan melakukan transfusi darah. Pasien ditujukan untuk penanganan peritonitis.
memiliki riwayat darah tinggi sudah berjalan Pasien memiliki riwayat penyakit darah
sejak 10 tahun dan sering konsumsi obat- tinggi dan sering konsumsi obat-obatan dalam
obatan anti nyeri dari warung. dalam jangka waktu yang lama. Pasien
Hingga Februari 2013, tindakan cuci memiliki suami dan 2 orang anak. Suami
darah sudah dilakukan sebanyak 4x. Pasien pasien berusia 54 tahun yang saat ini
disarankan oleh dokter untuk dilakukan CAPD. mengalami stroke, sedangkan kedua anaknya
Kemudian atas persetujuan keluarga dilakukan tidak ada penyakit yang diderita ataupun
pemasangan Kateter Tenckhoff untuk CAPD. keluhan yang serupa dengan pasien. Riwayat
Pasien dan keluarga mendapatkan edukasi darah tinggi, kencing manis, sakit jantung dan
tentang tata cara penggantian cairan CAPD di sakit ginjal dalam keluarga disangkal.
rumah. Cairan diganti berkala setiap 6 jam

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|28


Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

Pasien tidak merokok, tidak yang lama maka yang terjadi adalah kerusakan
menggunakan narkoba ataupun minum pada lambungnya yang manifestasi klinisnya
alkohol. Pasien telah menikah, memiliki dua mual, muntah, nyeri perut, bahkan buang air
orang anak perempuan. Pasien adalah besar berdarah, tetapi dengan kebiasaan ibu
seorang ibu rumah tangga yang tinggal mengonsumsi obat maag, kemungkinan
bersama suaminya, sedangkan kedua anaknya kerusakan pada lambungnya tidak timbul
sudah menikah dan memiliki rumah masing- terlebih dahulu. Disatu sisi, pasien minum
masing. antinyeri yang efek sampingnya terjadi
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kerusakan pada mukosa lambung dalam
keadaaan umum tampak sakit sedang, jangka lama, disisi lain pasien juga
kesadaran komposmentis, terlihat lemas. mengonsumsi obat maag yang merupakan
tekanan darah 170/100 mmHg, suhu 36,5oC, pelindung dari mukosa lambung. Maka
nadi 80x/menit, napas 20x/menit, berat bdan progresifitas pada kerusakan lambung bisa
55 Kg, tinggi badan 155 cm, indeks masa dicegah ataupun terjadi kerusakan tetapi
tubuh 22,8 dan status gizi baik. dalam jangka waktu lama. Obat-obatan yang
Konjungtiva palpebra anemis (+/+), yang dikonsumsi pasien merupakan obat
sklera ikterik (-/-), edema palpebra(-), pupil antinyeri dan bersifat nefrotoksik. Hal ini
isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya dapat mengganggu sistem renin angiotensin
(+/+), oral ulcer(-), stomatis (-), malar rash (-), aldosteron (RAA).10
deviasi lidah (-). Tekanan vena jugularis 5-2 Obat anti nyeri yang diminum
cmH2O, pembesaran KGB (-), struma tidak kemungkinan golongan Non steroidal anti
teraba. Paru dalam batas normal, simetris inflammatory drugs (NSAIDs). Konsumsi
kanan dan kiri, nyeri tekan (-), perkusi sonor, NSAIDs tersebar luas, obat tersebut sering
auskultasi vesikuler (+/+). Jantung ictus cordis diresepkan dan mudah didapatkan. Obat-obat
tak terlihat dan tak teraba, perkusis batas kiri golongan ini telah terbukti memilki efek buruk
jantung ICS VI linea aksila anterior sinistra, pada fungsi ginjal, baik NSAIDs dan sub
batas atas ICS II linea parasternal sinistra, kelasnya, inhibitor siklooksigenase-2 (COX-2)
batas kanan ICS IV linea parasternal dextra. terkait pada peningkatan risiko penyakit
Auskultasi bunyi jantung I/II regular, murmur ginjal.11
(-), gallop (-). NSAIDs merupakan antiinflamasi,
Abdomen tampak cembung, terpasang analgesik dan antipiretik melalui penekanan
Kateter Tenckhoff untuk CAPD pada sintesis prostaglandin (PG) dengan cara
abdomen regio lumbal sinistra, bising usus (+) menghambat enzim COX. Terdapat dua
normal, palpasi nyeri tekan (+), organomegali bentuk enzim yaitu COX-1 dan COX-2. Saluran
(hepar dan lien) (-), perkusi shifting dullness pencernaan dan ginjal merupakan target yang
(+). Ekstremitas superior dan inferior dalam perlu diperhatikan sebagai efek samping dari
batas normal, tidak edema dan akral hangat. NSAIDs.12 Terdapat 2,5 juta orang yang
Status neurologis reflek fisiologis normal, mengalami efek samping pada ginjalnya akibat
Reflek patologis (-). dari penggunaan NSAIDs jangka panjang.13
NSAID non selektif menghambat dari
Pembahasan kedua enzim tersebut, COX-1 (constitutive di
Pasien pada awalnya mengeluhan ginjal), COX-2 (diinduksi di sebagian besar
kencingnya sedikit, bengkak pada kedua jaringan dalam menanggapi cedera atau
tungkai. Hal ini berkaitan dengan riwayat peradangan, tetapi juga dapat terdeteksi pada
kebiasaan pasien yang sebelumnya pasien ginjal mamalia dewasa normal), mengurangi
sering mengonsumsi obat penghilang nyeri produksi PG dan tromboksan (TX).14 Enzim
dan obat maag baik dari dokter ataupun beli COX-2 diatur dalam menanggapi volume
di warung. Maka yang terjadi dengan intravaskular.15 Enzim COX-1 terutama
kebiasaan yang sudah berjalan 10 tahun, berfungsi dalam mengontrol hemodinamik
tentunya berdampak pada lambung, ginjal, ginjal dan GFR, sedangkan COX-2
maupun hatinya. Gejala yang timbul pada mempengaruhi ekskresi garam dan air.16
pasien adalah mengarah kepada gangguan di Nefropati analgetik merupakan penyakit
ginjal, biasanya yang sering ditemui adalah ginjal kronik progresif lambat yang disebabkan
ketika pasien mengonsumsi obat anti nyeri penggunaan obat sehari-hari selama

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|29



Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

bertahun-tahun yang mengandung setidaknya yang masih bertahan. Proses ini melibatkan
dua analgesik (misalnya aspirin, hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta
acetaminophen, phenacetinor pyrazolones) perubahan fungsional yang menurunkan
dalam kombinasinya dengan obat yang tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus
menginduksi sistem saraf pusat seperti cafein, didalam nefron yang masih bertahan.
codein, dan barbiturate. Nefropati analgesik Perubahan fungsi ginjal dalam waktu
ditandai dengan sklerosis kapiler, atrofi yanglama dapat mengakibatkan kerusakan
korteks ginjal, nefritis interstitial lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi
kronik/nekrosis.10 sklerotik yang terbentuk semakin banyak
Antasida merupakan obat yang paling sehingga dapat menimbulkan obliterasi
umum digunakan untuk mengatasi gejala glomerulus, yang mengakibatkan penurunan
gastritis dan tukak peptik. Umumnya antasida fungsi ginjal lebih lanjut dan menimbulkan
merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif lingkaran setan yang berkembang secara
yang mengandung alumunium hidroksida dan lambat yang berakhir sebagai penyakit gagal
magnesium hidroksida, kadang-kadang ginjal terminal/ESRD.20 Beratnya pengaruh
disertai simetikon untuk mengurangi hipertensi pada ginjal tergantung dari
kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tingginya tekanan darah dan lamanya
tersebut dapat berinteraksi dengan senyawa menderita hipertensi. Semakin tinggi tekanan
logam lain yang terdapat pada makanan atau darah dalam waktu lama maka semakin berat
obat tertentu. Zat aktif pada antasida komplikasi yang dapat ditimbulkan.21
(magnesium dan alumunium) akan bersaing Dengan kejadian yang terus menerus
dengan mineral lainnya yang memiliki valensi berlangsung dapat membuat kerusakan pada
sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), glomerulus ginjal sebagai penyaring utama.
kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) Dampaknya adalah protein yang seharusnya
sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dapat ditahan menjadi keluar, terjadi
dikonsumsi bersamaan akan saling proteinuria kemudian osmolaritas darah
menghambat absorbsi. Sering mengonsumsi menurun sehingga lebih permeabel untuk
antasida akan meningkatkan risiko defisiensi melewati lapisan darah sehingga manifestasi
vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi yang timbul berupa edema. Pada pasien
besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat terjadi edema di kedua lengan dan tungkai.
berdampak pada anemia.17 Namun pasien masih terus mengonsumsi
Absorbsi kation dari antasida biasanya obat-obatan tersebut tanpa resep dokter
tidak menjadi persolan pada pasien dengan ketika sakit kepala, sakit perut, maag, dan
fungsi ginjal normal. Pemberian antasida pada lainnya hingga saat ini.
pasien dengan gagal ginjal berat dapat Hingga pada akhirnya pasien harus
meningkatkan risiko alkalosis metabolik.18 menjalani terapi pengganti fungsi ginjal yaitu
Antasida sendiri hanya boleh digunakan untuk berupa hemodialisis. Setelah dilakukan
mengatasi gejala-gejala sakit maag yang hemodialisis sebanyak 4 kali, dengan berbagai
timbul dengan segera, tidak untuk dikonsumsi pertimbangan, pasien kemudian menjalani
jangka panjang.19 pilihan terapi pengganti fungsi ginjal yang lain
Selain itu, pasien memiliki riwayat berupa CAPD. Tetapi, terapi ini mempunyai
penyakit hipertensi. Hipertensi merupakan banyak faktor risiko terutama apabila masalah
salah satu penyebab ESRD melalui suatu higienitas dan ketelatenan pasien maupun
proses yang mengakibatkan hilangnya keluarga dalam penggantian cairan dialisa dan
sejumlah besar nefron fungsional yang kesterilan alat. Hal ini dibutuhkan suatu
progresif dan irreversible. Peningkatan pelatihan dari tenaga medis kepada keluarga
tekanan dan regangan yang kronik pada pasien dan juga kepatuhan keluarga pasien
arteriol dan glomeruli diyakini dapat dalam menjalani terapi ini.
menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah Kurangnya pengetahuan akan cara
glomeruli atau yang sering disebut degan penggantian dan perawatan CAPD berisiko
glomerulosklerosis. Penurunan jumlah nefron terhadap kebersihan dan kesterilan baik alat
akan menyebabkan proses adaptif, yaitu maupun cairan yang digunakan sebagai terapi.
meningkatnya aliran darah, peningkatan GFR Maka tidak heran jika pasien sering
dan peningkatan keluaran urin didalam nefron mengeluhkan sakit perut seperti melilit, cairan

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|30


Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

berwarna keruh, mual, dan muntah. Keluhan Pada keadaan pasien seharusnya pada
ini dirasakan berulang kali dan pasien sering saat pertama kali pasien mengeluhkan sakit
keluar masuk rumah sakit untuk mengobati perut, tenaga medis yang pertama kali
keluhan ini. menangani pasien ini harus curiga ke arah
Kecurigaan dalam mendiagnosis peritonitis walaupun ibu mengeluhkan
peritonitis pada pasien yang menjalani CAPD mempunyai riwayat maag kronis yang lama.
yakni dengan melakukan evaluasi klinis Pasien yang menjalani terapi CAPD dan sering
seperti, adanya keluhan cairan peritoneal datang dengan keluhan seperti ini harus
keruh, nyeri perut, panas badan, diare atau didiagnosis banding kearah peritonitis.22,23
konstipasi, pada pemeriksaan fisik didapatkan Pada Table 2 menjelaskan mengenai
rebound tenderness dan dilanjutkan dengan terminologi dari peritonitis. Hal tersebut
pemeriksaaan gram dan kultur cairan penting dalam terapi yang akan diberikan,
peritoneal. Akan tetapi keluhan cairan mengingat pada pasien ini sudah berulang kali
peritoneal keruh sudah merupakan tanda menderita peritonitis.24
mayor untuk kecurigaan peritonitis.22
24
Selama terapi yang sudah dijalani, Tabel 2. Terminologi Peritonitis
pasien sudah mendapatkan berbagai macam Tipe Definisi
obat, seperti antibiotik dan obat simptomatik Rekuren Sebuah episode yang terjadi setelah
namun keluhan terus kambuh, seolah-olah 4 minggu selesai pengobatan/terapi
terapi yang diberikan tidak sesuai. Hingga peritonitis sebelumnya. Tetapi
disebabkan karena mikroorganisme
pada akhirnya catheter Tenchoff diharuskan
yang berbeda
untuk diganti dan juga dilakukan kultur uji Relapse Sebuah episode yang terjadi setelah
resistensi (setelah keluhan timbul berulang 4 minggu selesai pengobatan/terapi
kali walaupun kateter telah diganti). peritonitis sebelumnya, dan
Prinsip dari dialisis CAPD ialah difusi dan disebabkan mikroorganisme yang
osmosis, pergerakan molekul yang terlarut sama atau 1 episode steril
dari konsentrasi tinggi ke rendah (difusi), Repeat Sebuah episode setelah lebih dari 4
contohnya urea, kreatinin, vitamin B12, dan minggu selesai terapi peritonitis
fosfat. Proses difusi akan cepat apabila sebelumnya dan disebabkan
mikroorganisme yang sama
tekanan antara darah dan cairan peritoneal
Refractory Kegagalan cairan dialisa menjadi
terdapat gradien yang besar/beda tekanan.
jernih setelah 5 hari pemberian
Disamping itu terjadi ultra filtrasi, pergerakan antibiotik yang tepat
dari molekul air melewati membran Catheter- Peritonitis dalam hubungannya
peritoneal, tingginya kadar dextrose akan related dengan infeksi exit-site atau tunnel
mengganggu tekanan osmotik.8 Terjadi yang disebabkan organism yang
absorbsi limfatik dan juga ultra filtrasi. Jalan sama.
masuk berbagai mikroorganisme terutama
melalui exit-site atau tunnel. Insidensi pada Terapi empiris yang diberikan antara
berbagai tempat sangat bervariasi, oleh lain gram positif dengan vancomycim atau
karena infeksi peritonitis berhubungan erat chepalosporin (cephazolin dan chepalotin)
dengan kontaminasi catheter Tenchoff dengan atau ciprofloxacin. Gram negatif dengan
lingkungan sekitar.22 generasi ketiga chepalosporin (ceftazidine,
Hasil kultur cairan peritoneal ditemukan cefepin, ceftrizoxime) atau aminoglicoside
adanya bakteri gram negatif E.coli dan sensitif (amikasin, gentamicin).23
terhadap antibiotik meropenem. Kemudian Pada kasus ini, pasien hanya sensitif
diberikan terapi yang sesuai dan keluhan terhadap antibiotik meropenem, sehingga
berkurang, cairan kembali jernih. Setelah diberikanlah antibiotik ini sebagai terapi
terapi, 2 bulan berikutnya keluhan muncul lagi empiris pasien secara intraperitoneal.
dan dilakukan kultur ulang ternyata hasilnya Menurut beberapa penelitian, bakteri paling
steril. Dengan memperhatikan keadaan klinis sering menyebabkan peritonitis pada pasien
pasien (cairan keruh, nyeri perut hebat) terapi yang menjalani CAPD adalah Staphylococcus
tetap ditujukan untuk peritonitis walaupun aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Terapi
hasil kultur resistensi steril. empiris harus segera diberikan di awal atau
pihak tenaga medis dapat memutuskan untuk

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|31



Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

menunda pemberian hingga hasil terdapat antibiotik terbaik, durasi penggunaanya, dan
hasil kultur.23 ruti pemberiannya, dikarenakan masih
Terapi empiris harus dipikirkan untuk sedikitnya studi experimental yang telah
bakteri Staphylococcus aureus namun, jika dilakukan.25
pasien memiliki riwayat terinfeksi Edukasi pasien selama pengobatan
Pseudomonas aeruginosa maka terapi harus antara lain segera melaporkan ke unit
spesifik ditujukan untuk bakteri Pseudomonas perinotenal dialisa jika cairan dialisa keruh,
aeruginosa. Pseudomonas aeruginosa nyeri abdomen, ataupun demam. Cairan yang
merupakan bakteri gram negatif yang sangat keruh diamankan dan dibawa ke klinik,
sulit untuk diobati, jika resolusi infeksi pengobatan akan diteruskan dengan
berlangsung lambat atau jika ada kekambuhan pemberian antibiotik melalui intraperitoneal
maka antibiotik lain dapat ditambahkan hingga 3 minggu, laporkan segera jika gejala
seperti cefepime, piperacillin, atau bertambah buruk atau kekeruhan yang
meropenem.24 Meropenem adalah pilihan menetap ke unit peritoneal dialisa.23
obat yang satu-satunya sensitif pada pasien
ini. Simpulan
Pada penelitian kejadian peritonitis Diagnosis peitonistis sudah sesuai
pada pasien CAPD, identifikasi dengan beberapa teori dan telaah kritis dari
mikroorganisme dan sensitifitas antibiotik penelitian terkini. Manajemen peritonitis
didapatkan 23 pasien dengan gejala peritonitis dilakukan dengan tatalaksana medikamentosa
dari 77 pasien CAPD, dengan kejadian dan non-medikamentosa. Penatalaksanaan
pertahun 14%, usia antara 14 -65 tahun, 15 peritonitis yang disebabkan terapi pengganti
pasien wanita dan 8 laki-laki. Staphylococcus ginjal berupa CAPD harus dipantau ketat.
memiliki hubungan yang kuat terhadap
kejadian peritonitis dan dalam hal ini Daftar Pustaka
tetrasiklin merupakan antibiotik yang memiliki 1. Nahas AME, Bello AK. Chronic kidney
sensitivitas tertinggi pada pasien peritonitis disease: the global challenge. Lancet.
dengan CAPD. Dari hasil analisis cairan 2005;365(9456):331-40.
peritoneal menunjukkan skor antibiotik secara 2. Levey AS, Atkins R, Coresh J. Chronic
berurutan dari yang paling sensitif adalah kidney disease as a global public health
tetrasiklin dengan angka sensitifitas 22,93; problem: approaches and initiativesa
ciprofloxacin 19,36; piperacillin-tazobactam position statement from kidney disease
17,36; trimetropin/sulfamethoxazole 16,5; improving global outcomes. Kidney Int.
fosfomicin 15,78; dan sisanya resisten. 2007;72:247-59.
Pentingnya melakukan kultur pada cairan 3. Vijay K. End stage renal disease in
peritoneal dialisisakan menurunkan angka developing countries. Kidney Int.
kesakitan.22 2002;62:350-62.
Satu organisme gram negatif pada 4. Widiana IGR. Distribusi penyakit ginjal
peritonitis mungkin dikarenakan oleh infeksi kronik di Bali. J Peny Dalam.
exit-site, infeksi pada cairan peritoneal, atau 2007;8(3):198-204.
migrasi patogen pada penderita konstipasi, 5. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Annual
diverkulitis atau colitis. Jika organisme gram report of Indonesia renal registry 4th
negatif berupa E.coli, Klebsiella, atau Proteus [internet]. Jakarta: Pernefri; 2011 [diakses
telah diketahui, antibiotik yang dipakai dapat tanggal 27 Juni 2015]. Tersedia
dipilih berdasarkan kesensitifitasannya, darihttp://www.pernefri-
keamanan dan kenyamanan pasien.24 inasn.org/Laporan/4th%20Annual%20Rep
Pemberian antibiotik intraperitoneal ort%20Of%20IRR%202011.pdf.
memberikan respon yang lebih baik 6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
dibandingkan dengan pemberian antibiotik Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu
secara intravena.25 Selain itu, melepas kateter penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5. Jakarta:
intraperitoneal dialisis merupakan terapi yang Interna Publishing; 2009.
terbaik pada kasus peritoninits berulang 7. Eknoyan G, Lameire N. Clinical practice
maupun yang persisten. Belum ada penelitian guideline for the evaluation and
yang dapat menjelaskan secara spesifik jenis

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|32


Albert dan Aditya| Penatalaksaan Peritonitis akibat Komplikasi CAPD

management of chronic kidney disease. 18. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC.
Kidney Int Suppl. 2013;3(1):19-62. Farmakologi ulasan bergambar. Edisi ke-2.
8. Munib S. Continuous ambulatory Jakarta: Widya Medika; 2001.
peritoneal dialysis. Gomal J Med Sci. 19. Hermawati D. Pengaruh edukasi terhadap
2006;4(2):82-5. tingkat pengetahuan dan rasionalitas
penggunaan obat swamedikasi
9. Malangoni MA, Inui T. Peritonitis-the
pengunjung didua apotek kecamatan
western experience. World J Emerg Surg.
Cimanggis, Depok [skripsi]. Depok:
2006;25(1):1-5.
Universitas Indonesia; 2012.
10. Horl WH. Nonsteroidal anti-inflammatory
20. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi
drugs and the kidney. J Pharmaceuticals.
kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC;
2010;3:2291-321.
2008.
11. Patel K, Diamantidis C, Zhan M, Hsu VD,
21. Nurjanah A. Hubungan antara lama
Walker LD, Gardner C, et al. The influence
hipertensi dengan kejadian gagal ginjal
of creatinine versus gfr on nsaid
terminal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
prescriptions in ckd. Am J Nephrol. 2012;
[skripsi]. Surakarta: Universitas
36(1): 19-26.
Muhammadiyah Surakarta; 2012.
12. Gambaro G, Perazella MA. Adverse renal
22. Haryanti E, Kandarini Y, Widiana IGR,
effects of anti-inflammatory agents:
Sudhana W, Loekman J, Suwitra K.
evaluation of selective and nonselective
Kejadian peritonitis pada pasien
cyclooxygenase inhibitors. J Intern
continuous ambulatory peritoneal dialysis:
Med.2003;253(6):643-52
identifikasi mikroorganisme dan
13. Sandhu GK, Heyneman CA. Nephrotoxic
sensitifitas antibiotik. J Peny Dalam. 2010;
potential of selective cyclooxygenase-2
11(2): 82-90.
inhibitors. Ann Pharmacother.
23. Li PKT, Szeto CC, Piraino B, Bernardini J,
2004;38(4):700-4.
Figueiredo AE, Gupta A, et al. Peritoneal
14. Harris RC. COX-2 and the Kidney. J
dialysis-related infection. Perit Dial Int.
Cardiovasc Pharmacol. 2006;47(1):37-42. 2010;30(4):393-423.
15. Leval DX, Hanson J, David JL, Masereel B, 24. Warady BA, Bakkaloglu S, Newland J,
Pirotte B, Dogn JM. New developments Cantwell M, Verrina E, Neu A, et al.
on thromboxane and prostacyclin Consensus guidelines for the prevention
modulators part II: prostacyclin and treatment of catheter-related
modulators. Curr Med Chem. infections and peritonitis in pediatric
patient receiving peritoneal dialysis. Perit
2004;11(10):1243-52.
Dial Int. 2012;32(Suppl 2):S32-86.
16. Weir MR. Renal effects of nonselective 25. Ballinger AE, Palmer SC, Wiggins KJ, Craig
NSAIDs and coxibs. Cleve Clin J Med. 2002; JC, Jhonson DW, Cross NB, et al.
69(1): 53-8. Treatment for peritoneal dialysis-
17. Susanti A, Briawan D, Uripi V. Faktor risiko associated peritonitis. Cochrane Database
dIspepsia pada mahasiswa institute Syst Rev. 2014;4:CD005284.
pertanian bogor (IPB). Jurnal Kedokteran
Indonesia. 2011;2(1):80-91.

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|33

You might also like