You are on page 1of 52

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN


FRAKTUR FEMUR DAN PELVIS

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, Karena berkat Taufik dan
Hidayah Nya, penulis dapat menyusun Makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih terdapat kekurangan, namun demikian penulis
berharap makalah ini dapat menjadi bahan rujukan dan semoga dapat menambah
pengetahuan mahasiswamahasiswi Akademi Keperawatan Lamongan dengan judul
Asuhan Keperawatan Fraktur

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan makalah ini terutama kepada Bapak M.Nukhun, SPd.,S.Kep.Ns selaku
Dosen mata kuliah Kegawatdaruratan.

Dengan segala hormat penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini.

Lamongan, 19 Maret 2012

Penyusun

Edy Yuli Riyawan, S.Kep.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi
menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat
/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat
transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.
Sehingga menambah kesemrawutan arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur
dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan
tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Berdasarkan data dari rekam medik RS Soegiri di ruang Orthopedi periode Juli 2011
s/d Desember 2012 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang
mengalami fraktur panggul atau pelvis presentase sebesar 5% dan fraktur femur sebesar
20%.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan
mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi
Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu
penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
B. Rumusan Masalah
1) Apakah penyebab Fraktur khususnya fraktur pelvis dan femur serta manifestasi klinis dari
fraktur?
2) Bagaimana penatalaksanaan fraktur khususnya fraktur pelvis dan femur serta Asuhan
Keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada pasien dengan masalah fraktur?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyusunan makalah tentang fraktur femur dan pelvis diharapkan
agar mahasiswa lebih mengerti tentang fraktur femur dan pelvis.
2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui penyebab fraktur femur dan pelvis dan Manifestasi Klinis dari fraktur.
2) Mengetahui penatalaksanaan fraktur femur dan pelvis.
3) mengetahui diagnosis fraktur femur dan pelvis.
4) Mengetahui intervensi dan implementasi yang diberikan pada klien dengan fraktur femur
dan pelvis
5) Mengetahui WOC dari fraktur femur dan pelvis.
D. Manfaat
1) Bagi mahasiswa
Dengan adanya makalah ini mahasiswa dapat mempelajari tentang askep kegawatdaruratan
pada klien dengan fraktur femur dan pelvis sehingga memudahkan mahasiswa dalam belajar.
2) Bagi Dosen
Memudahkan dosen dalam memberikan materi perkuliahan karena mahasiswa telah
mendapatkan pengetahuan dasar dari pembuatan makalah askep kegawatdaruratan pada klien
dengan fraktur femur dan pelvis.

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis

1. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses Osteogenesis menjadi tulang. Proses
ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium.(Simon & schuster, 2003).
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
1). Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis
dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di
antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut
lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi
tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang
dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-
tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.
Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang.
Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang
panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum
tulang.
2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan
suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3). Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar
adalah tulang concellous.
4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5). Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan
dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2%
subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks
merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel
dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon ( unit
matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan
lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang
berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh
darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat
perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik.
Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel
pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk
memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan
pada permukaan tulang).
Gambar 1 Anatomi tulang panjang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan
garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan
kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah
kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-
garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya
bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan
yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan
kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan
dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan
tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang
dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu
osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap
berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk,
matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap
pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian
osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati.
Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang
menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran
mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion
kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai
kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan
interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan
pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut
osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-
monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan
enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada
hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit.
Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai
mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang
tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus
menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas
melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal.
Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada
orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total
massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas
dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-
tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi
aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah.
Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres
beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara
drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen,
testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan
pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya
kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-
tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung
pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas
berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan
bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di
usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang.
Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan
meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa
diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh
hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat
di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons terhadap
penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan
kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon
paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada
osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan
sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal
sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada
hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit
efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan
kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.

Tulang panggul (pelvis) terdiri dari dua tulang coxae, sacrum dan coccygeus.
Berartikulasi di anterior yaitu pada simphisis pubis, di posterior pada artikulasio sacroiliaca.
Struktur mirip cekungan ini memindahkan berat dari badan ke tungkai bawah dan
memberikan perlindungan pada viscera, pembuluh darah , dan saraf di pelvis (Apley, 2000).
Stabilitas cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-tulang dan integritas
ligament yang kuat yang mengikat tiga segmen tulang bersama-sama pada simphisis pubis
dan artikulasio sacroiliaca. Ligamen pengikat yang paling kuat dan yang paling penting dalah
ligament sacroiliaca dan ligament iliolumbal. Selama ligament-ligamen itu utuh, penahan
beban tidak akan terganggu. Ini adalah factor yang penting untuk membedakan cidera yang
stabil dan yang tidak stabil pada cincin pelvis (Apley,2000).
Tulang coxae (panggul) terdiri dari tiga tulang, yaitu tulang pubis, ilium, dan
ischium yang berhubungan secara sinostosis pada fossa acetabuli, yang dibatasi oleh limbus
acetabuli dan dikelilingi oleh facies lunata. Incisura acetabuli membuka acetabulum ke
inferior dan berbatasan dengan foramen obturatorium (Platzer,2000)
Tulang coxae atau disebut juga dengan innominate bone bentuknya datar dan lebar,
merupakan os ireguler yang membentuk bagian terbesar pelvis. Tulang ini tersusun atas tiga
buah tulang yaitu tulang ilium, tulang ischium dan tulang pelvis yang corpusnya bersatu di
acetabulum, yang terletak di facies eksterna tulang ini. Tulang ilium, disebut demikian karena
menyangga pinggul, lebar di bagian superior dan membentang ke cranial dari acetabulum.
Tulang ischium letaknya paling bawah dan merupakan bagiab paling kuat, berjalan ke bawah
dari acetabulum dan memanjang ke tuber ischiadicum, kemudian melengkung ke ventral,
bersama-sama tulang pubis membentuk lubang besar yaitu foramen obturatorium. Tulang
pubis memanjang ke medial dari acetabulum dan bersendi di linea mediana dengan tulang
pubis sisi yang berseberangan dengan membentuk simfisis osseum pubis, membentuk bagian
depan pelvis (Hadiwidjaja, 2004)
Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan ramus inferior ossis pubis.
Kedua rami tersebut dibatasi oleh foramen obturatorium. Dekat ujung superior medialis
facies symphysialis terdapat tuberculum pubicum dari sana terdapat crista pubica terbentang
ke medialis dan pectin pubis mengarah ke lateralis terhadap linea arcuata. Pada tempat
peralihan dari ramus superior pubis ke ilium terdapat peninggian disebut eminentia
iliopubica. Sulcus obturatorius terletak inferior terhadap tuberculum pubicum dan dibatasi
sebelah dalam oleh tuberculum obturatorium anterius dan tuberculum obturatorium posterius
yang tidak selalu ada.
Tulang ilium dibagi menjadi bagian corpus ossis ilii dan ala ossis ilii. Corpus
membentuk bagian acetabulum dan dibatasi sebelah luar oleh sulcus supra acetabularis dan di
sebelah dalam oleh linea arcuata. Di bagian luar ala ossis ilii terdapat facies glutealis dan
sebelah dalamnya terdapat fossa iliaca mudah dilihat. Di belakang fossa iliaca terdapat facies
sacropelvica dengan tuberositas iliaca dan facies aurikularis. Crista iliaca mulai dari anterior
pada spina iliaca anterior superior dan dibagi atas crista iliaca labium labium eksternum dan
crista iliaca labium internum, serta linea intermedia yang memanjang ke atas dank e
belakang. Terdapat juga di bagian lateralis lbium eksternum berupa tuberositas iliaca. Ujung
crista iliaca berakhir pada spina iliaca superior posterior. Di bawah yang terakhir ini terdapat
spina iliaca posterior inferior, sedangkan yang di bawah depan terdapat spina iliaca anterior
inferior. Linea glutealis inferior, linea glutealis anterior, linea glutealis posteriorterletak pada
facies glutealis. Selain itu terdapat juga beberapa saluran vaskuler diantaranya yang sesuai
dengan fungsinya yaitu vasaemissaria
Tulang ischium dibagi atas corpus ossis ischii dan ramus ossis ischii, yang bersama-
samadengan ramus inferior ossis pubis membentuk batas bawah foramen obturatorium.
Tonjolan ischium disebut spina ischiadica yang memisahkan incisura ischiadica mayor
dengan incisura ischiadica minor. Incisura ischiadica mayor dibentuk sebagian oleh ischium
dan sebagian lagi oleh ilium, serta mengarah ke permukaan bawah facies aurikularis. Tuber
ischiadicum berkembang pada ramus ischium (Platzer, 2000)
Cabang utama dari arteri iliaca komunis muncul di dalam pelvis diantara sendi
sacroiliaca dan incisura ischiadica mayor. Bersama cabang-cabang venanya, pembuluh-
pembuluh itu mudah terkena cidera bila fraktur mengenai bagian posterior cincin pelvis.
Saraf pada pleksus lumbalis dan sacralis juga juga menghadapi resiko bila tejadi cidera pelvis
posterior
Kandung kemih terletak di belakang simphisis pubis. Trigonum dipertahankan pada
posisinya dengan ligament lateralis kandung kemih, dan pada pria dengan prostat. Prostat
terlerak diantara kandung kemih dan dasar pelvis. Prostat dipertahankan di bagian lateral
dengan serabut medial dari levator ani, sedangkan di bagian anterior terikat erat pada tulang
pubis oleh ligament puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan forniks
vagina anterior. Urethra dipertahankan oleh otot dasar pelvis serta ligament pubourethra.
Akibatnya pada wanita urethra jauh lebih mobil dan cenderung lebih sulit terkena cidera
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun
semakin bertambahnya usia tempatnya turun dan berlindung di dalam kavum pelvis, sehingga
kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Angka kejadian trauma buli
kurang lebih 2% dari seluruh trauma urogenitalia. Hampir sekitar 90% trauma buli akibat
fraktur pelvis. Apabila terjadi kontusio kandung kemih bias dipasang kateter dengan tujuan
untuk memberikan istirahat pada kandung kemih, dengan cara ini diharapkan dapat sembuh
7-10 hari. (Purnomo,2007)
Pada cidera pelvis yang berat urethra membranosa dapat rusak bila prostat dipaksa ke
belakang sementara urethra tetap diam. Bila ligament puboprostat robek, prostat dan dasar
kandung kemih dapat banyak mengalami dislokasi dari urethramembranosa
Kolon pelvis dengan mesenteriumnya merupakan struktur yang mobil sehingga tidak
mudah cidera. Tetapi, rectum dan saluran anus lebih erat tertambat pada struktur urogenital
dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena bila terjadi fraktur pelvis (Apley, 2000)
Pada perkembangannya selama masa kehamilan, terdapat tiga bakal tulang, yaitu pada
bulan ketiga dalam kandungan (ilium), pada bulan keempat sampai kelima (ischium) dan
pada bulan kelima sampai keenam (pubis). Ketiga bakal tulang tersebut bersatu pada pusat
acetabulum yaitu penyatuan berbentuk Y. Di dalam acetabulum satu atau lebih masing-
masing pusat osifikasi berkembang antara usia 10 sampai 12 tahun. Sinostosis ketiga tulang
terjadi antara usia 5 dan 7 tahun tetapi di dalam acetabulum sendiri tidak sampai antara usia
15 dan 17 tahun. Pusat-pusat osifikasi epifisis terjadi pada spina pada usia 16 tahun,
b. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1). Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2). Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
3). Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
4). Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
5). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

2. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (syamsuhidayat, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak dan luasnya. terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain fraktur
adalah patah tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.( Brunner & Suddarth 2001).

3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,
dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.

5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi (Soedarman, 2000
)
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.

6. Manifestasi Klinik
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal

7. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang,
temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau
cederah hati.

8. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh
meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (Brunner & Suddart, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya
tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk
menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan
sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi
harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau
reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat
badan.

9. Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal
dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah
tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang
yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

10. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk
ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
b. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan
yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.

B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna
D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua
klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D,
1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan
total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time
Normal 3 5
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau
distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang
dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

3. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema,
pembentukan trombus).
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti).
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi).
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan
lunak, prosedur invasif/traksi tulang).
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang
terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada. (Doengoes, 2000)

4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu
berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah


yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi

2. Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan aliran balik vena,


terkena. mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan
3. Lakukan dan awasi latihan gerak meningkatkan sirkulasi vaskuler.
pasif/aktif.
Meningkatkan sirkulasi umum,
menurunakan area tekanan lokal dan
4. Lakukan tindakan untuk
kelelahan otot.
meningkatkan kenyamanan
(masase, perubahan posisi)
Mengalihkan perhatian terhadap
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
5. Ajarkan penggunaan teknik
nyeri yang mungkin berlangsung
manajemen nyeri (latihan napas
lama.
dalam, imajinasi visual, aktivitas
Menurunkan edema dan mengurangi
dipersional)
rasa nyeri.

6. Lakukan kompres dingin selama


fase akut (24-48 jam pertama) Menurunkan nyeri melalui
sesuai keperluan. mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
7. Kolaborasi pemberian analgetik
Menilai perkembangan masalah
sesuai indikasi.
klien.

Evaluasi keluhan nyeri (skala,


petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler,
edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral
hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan
melakukan latihan menggerakkan mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat Mencegah stasis vena dan sebagai


tekanan bebat/spalk yang terlalu petunjuk perlunya penyesuaian
ketat. keketatan bebat/spalk.

3. Pertahankan letak tinggi Meningkatkan drainase vena dan


ekstremitas yang cedera kecuali ada menurunkan edema kecuali pada
kontraindikasi adanya sindroma adanya keadaan hambatan aliran
kompartemen. arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
4. Berikan obat antikoagulan Mungkin diberikan sebagai upaya
(warfarin) bila diperlukan. profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran
kapiler, warna kulit dan kehangatan Mengevaluasi perkembangan
kulit distal cedera, bandingkan masalah klien dan perlunya intervensi
dengan sisi yang normal. sesuai keadaan klien.
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran

alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)


Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien
tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan
dalam dan latihan batuk efektif. perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan Reposisi meningkatkan drainase


posisi yang aman sesuai keadaan sekret dan menurunkan kongesti
klien. paru.

3. Kolaborasi pemberian obat


antikoagulan (warvarin, heparin) Mencegah terjadinya pembekuan
dan kortikosteroid sesuai indikasi. darah pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah menunjukkan
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, keberhasilan untuk
kalsium, LED, lemak dan trombosit mencegah/mengatasi emboli lemak.
Penurunan PaO2 dan peningkatan
PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED dan
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan kadar lipase, lemak darah dan
upaya bernapas, perhatikan adanya penurunan trombosit sering
stridor, penggunaan otot aksesori berhubungan dengan emboli lemak.
pernapasan, retraksi sela iga dan Adanya takipnea, dispnea dan
sianosis sentral. perubahan mental merupakan tanda
dini insufisiensi pernapasan, mungkin
menunjukkan terjadinya emboli paru
tahap awal.

d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi
yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan
melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian,
rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan rasa kontrol
kunjungan teman/keluarga) sesuai diri/harga diri, membantu
keadaan klien. menurunkan isolasi sosial.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif
Meningkatkan sirkulasi darah
aktif pada ekstremitas yang sakit
muskuloskeletal, mempertahankan
maupun yang sehat sesuai keadaan
tonus otot, mempertahakan gerak
klien.
sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3. Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional
gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.
indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan kemandirian klien
(kebersihan/eliminasi) sesuai dalam perawatan diri sesuai kondisi
keadaan klien. keterbatasan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan insiden komplikasi
keadaan klien. kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
6. Dorong/pertahankan asupan cairan Mempertahankan hidrasi adekuat,
2000-3000 ml/hari. men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
7. Berikan diet TKTP. Kalori dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi penyembuhan dan mem-pertahankan
sesuai indikasi. fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi untuk menyusun program aktivitas
klien dan program imobilisasi. fisik secara individual.
Menilai perkembangan masalah
klien.

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik
untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi
nyaman dan aman (kering, bersih, kulit yang lebih luas.
alat tenun kencang, bantalan bawah
siku, tumit). Meningkatkan sirkulasi perifer dan
2. Masase kulit terutama daerah meningkatkan kelemasan kulit dan
penonjolan tulang dan area distal otot terhadap tekanan yang relatif
bebat/gips. konstan pada imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah dan jaringan akibat kontaminasi
perianal fekal.
4. Observasi keadaan kulit, penekanan Menilai perkembangan masalah
gips/bebat terhadap kulit, insersi klien.
pen/traksi.
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau
eritema dan demam
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan
perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka.
2. Ajarkan klien untuk Meminimalkan kontaminasi.
mempertahankan sterilitas insersi
pen. Antibiotika spektrum luas atau
3. Kolaborasi pemberian antibiotika spesifik dapat digunakan secara
dan toksoid tetanus sesuai indikasi. profilaksis, mencegah atau
mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada


4. Analisa hasil pemeriksaan
laboratorium (Hitung darah lengkap, proses infeksi, anemia dan
LED, Kultur dan sensitivitas peningkatan LED dapat terjadi pada
luka/serum/tulang) osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme
5. Observasi tanda-tanda vital dan penyebab infeksi.
tanda-tanda peradangan lokal pada Mengevaluasi perkembangan
luka. masalah klien.

h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d


kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien
mengerti dan memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran
program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti
2. Diskusikan metode mobilitas dan program pembelajaran.
ambulasi sesuai program terapi fisik. Meningkatkan partisipasi dan
kemandirian klien dalam
3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang
perencanaan dan pelaksanaan
memerluka evaluasi medik (nyeri
program terapi fisik.
berat, demam, perubahan sensasi
Meningkatkan kewaspadaan klien
kulit distal cedera)
untuk mengenali tanda/gejala dini
4. Persiapkan klien untuk mengikuti
yang memerulukan intervensi lebih
terapi pembedahan bila diperlukan.
lanjut.

Upaya pembedahan mungkin


diperlukan untuk mengatasi maslaha
sesuai kondisi klien.

A. Evaluasi
o Nyeri berkurang atau hilang
o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o Pertukaran gas adekuat
o Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o Infeksi tidak terjadi
o Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

BAB III
PEMBAHASAN

A. Konsep Medis Fraktur Pelvis


1. Pengertian
Fraktur panggul adalah fraktur salah satu bagian dari trauma multipel yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul.(Hoppenfeld & Murthy, 2000).
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah,
uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan
hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak + 4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi
klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau
saluran kemih.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim
dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan cedera pelvis
berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung
dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab
utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian
antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
2. Etiologi
1) Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.

2) Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

3) Proses penyakit: kanker dan riketsia.

4) Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur
kompresi tulang belakang.
5) Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
2. Tanda dan Gejala
Klien datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang hebat. Selain
itu, terdapat gangguan fungsi anggota gerak. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum,
seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
3. Komplikasi
3.1 Komplikasi Segera
1) Trombosis vena ilio-femoral, komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila
ada keraguan sebaiknya berikan koagulan secara rutin untuk profilaksis.
2) Robekan kandung kemih, robekan dapat terjadi apabila ada gangguan simfisis pubis atau
tusukan dari tulang panggul yang tajam.
3) Robekan uretra, robekan ini terjadi karena ada gangguan simfisis pubis pada daerah uretra
pars membranosa.
4) Trauma rektum dan vagina.
5) Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan perdarahan masif sampi syok.
6) Trauma pada syaraf :
a. Lesi saraf skiatik dapat terjadi karena pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam
jangka waktu enam minggu tidak ada perbaikan, sebaiknya lakukan eksplorasi.
b. Lesi pleksus lumbosakralis, biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikat
disertai pergeseran. Selain itu, dapat terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat
saraf.
3.2 Komplikasi Lanjut
1) Pembentukan tulang heterotrofik, biasanya terjadi setelah trauma jaringan lunak yang hebat
atau setelah operasi. Dalam keadaan ini klien dapat diberikan indometasin untuk profilaksis.
2) Nekrosis avaskular, dapat terjadi kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
3) Gangguan pergerakan sendi serta osteoatritis sekunder, apabila terjadi fraktur pada daerah
asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat
badan, ketidaksesuaian sendi sehingga terjadi gangguan pergerakan serta osteoatritis di
kemudian hari.
4) Skoliosis kompensatoar.
4 . Penatalaksanaan
4.1 Rekognisi
menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di
rumah sakit. Misal riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
serta menentukan kemungkinan tulang yang patah, dan krepitus.
4.2 Reduksi
Reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Reduksi terbagi
menjadi dua yaitu:
1) Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi atau gips.
2) Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui pembedahan, biasanya
melalui internal fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
4.3 Retensi
menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-
fragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi)
4.4 Rehabilitasi:
Langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan
fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan program pengobatan hasilnya kurang
sempurna (latihan gerak dengan kruck).
B. Konsep Keperawatan Fraktur Pelvis
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1.1 Pengumpulan Data
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 2000).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 2000).
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna
D,2000).
8) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
9) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua
klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
10) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
11) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 2000).
12) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D,
2000).
13) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2000).
14) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
15) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
16) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan keadaan umum baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2) Pemeriksaan Fisik Per Sistem
a. B1 (Breathing), karena adanya perubahan pada sistem pernafasan yang disertai banyaknya
perdarahan dan syok.
Inspeksi : klien batuk, peningkatan sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu pernafasan,
peningkatan frekuensi pernafasan, retraksi interkostal, serta penembangan paru tidak simetris.
Ketidakseimbangan ini menunjukkan adanya atelaktasis, lesi pada paru, obstruksi pada
bronkus, fraktur tulang iga, dan pneumothoraks.
Palpasi : penurunan fremitus dibandingkan dengan sisi yang lainnya apabila terjadi trauma
pada rongga dada.
Perkusi : didapatkan suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada thorak dan
hemothoraks.
Auskultasi : suara nafas tambahan seperti stridor dan ronki pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk menurun hal ini terjadi pada klien cedera panggul
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
b. B2 (Blood), didapatkan renjatan (syok hipovolemik atau syok hemoragik) yang sering terjadi
pada pasien dengan cedera panggul dari sedang hingga berat. Tekanan darah menurun,
bradikardi tanda perubahan perfusi jaringan otak, berdebar-debar, pusing saat melakukan
perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hal ini akan merangsang hormon anti diuretik yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh
tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektroit sehingga terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran klien cedera panggul yang tidak berat adalah compos mentis.
Pemeriksaan fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
Pemeriksaan saraf kranial,
- Saraf I tidak ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.
- Saraf II Ketajaman penglihatan normal
- Saraf III, IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
- Saraf V Tidak ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada kelainan.
- Saraf VII Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
- Saraf VIII tidak ditemukan tuli konduktif tuli persepsi.
- Saraf IX dan X kemampuan menelan baik.
- Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
- Saraf XII indera pengecapan normal.
Pemeriksaan reflek, Reflek Archilles menghilang, reflek patela menurun.
Pemeriksaan sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada kedua bokong, perineum, dan
anus.
d. B4 (Bladder), kandung kemih mengalami hematuria, nyeri berkemih, deformitas pada pubis,
sampai alat kelamin sehingga mengganggu miksi. Pada hal ini tidak boleh dipasang kateter.
Karena merupakan kontraindikasi apabila terjadi ruptur uretra.
e. B5 (Bowel), sering dijumpai ileus paralitik. Manifestasi klinis menunjukkan menghilangnya
bising usus, kembung dan tidak adanya defekasi. Pemenuhan nutrisi berkurang karena mual.
f. B6 (Bone ), paralisis motorik biasanya terjadi jika juga mengompresi sakrum
g. Look pada inspeksi perineum, biasanya didapatkan bengkak, perdarahan dan deformitas
pada panggul.
h. Feel kaji adanya derajad ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada simfisis pubis
dan anus.
i. Move disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas bawah.
3) Diagnosa
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Ketidakseimbangan nutrisi b/d mual muntah dan peningkatan metabolisme.
c. Resiko tinggi trauma b/d penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
d. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neurovaskuler.
e. Gangguan eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih dan ureter
f. Gangguan eliminasi alvi b/d kerusakan anatomis rektum.
g. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas bawah.
h. Resiko tinggi infeksi b/d adanya port de entree luka terbuka pada panggul.
i. Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
j. Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual, prognosis kondisi sakit,
program pengobatan, tirah baring lama.
k. Ansietas b/d krisis, situasional, ancaman terhadap konsep diri dan perubahan status
kesehatan.
4) Intervensi dan implementasi
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan
santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang
Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak
Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk
Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan
menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi)
kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan teknik
Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas
nyeri yang mungkin berlangsung
dipersional)
lama.
6. Lakukan kompres dingin selama
Menurunkan edema dan mengurangi
fase akut (24-48 jam pertama)
rasa nyeri.
sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik
Menurunkan nyeri melalui
sesuai indikasi.
mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
Evaluasi keluhan nyeri (skala,
petunjuk verbal dan non verval, Menilai perkembangan masalah
perubahan tanda-tanda vital) klien.

b. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler, nyeri sekunder akibat


pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik sesuai kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program latihan, tidak mengalami kontriktur sendi,
kekuatan otot bertambah, klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Kaji mobilitas yang ada dan Mengetahui tingkat kemampuan klien
observasi adanya peningkatan dalam melakukan aktivitas.
kerusakan. Kaji secara teratur
fungsi motorik. Mengurangi resiko terjadinya iskemia
2. Ubah posisi klien setiap 2jam. jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah tertekan.
Gerakan aktif memberikan massa,
3. Ajarkan klien untuk melakukan tonus, kekuatan otot, serta
gerak aktif pada ekstremitas yang memperbaiki fungsi jantung dan
tidak sakit. pernafasan.
Otot volunter akan kehilangan tonus
4. Lakukan gerak pasif pada
dan kekuatannya apabila tidak
ekstremitas yang sakit.
dilatih.

A. Konsep Medis Fraktur Femur


1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Brunner & Suddarth, 2001). Femur adalah tulang terpanjang dan kuat pada tubuh manusia
(Watson,2002). Fraktur femur adalah fraktur yang terjadi pada tulang femur.
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat diantaranya: kolum femoris,
trokhanter, batang femur, suprakondiler, kondiler, kaput.
2. Anatomi fisiologi
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian
dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang,
bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum.
Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala
femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi
menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari
batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
3. Klasifikasi
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
3.1 Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan Melalui kepala femur (capital fraktur) Hanya di bawah kepala femur dan Melalui
leher dari femur.
3.2 Fraktur Ekstrakapsuler terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter. Atau terjadi di bagian distal menuju leher
femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.
4. Patofisiologi
Penyebab fraktur adalah trauma, fraktur patologis merupakan fraktur yang
diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu
Osteoporosis Imperfekta, Osteoporosis, dan Penyakit metabolic. Trauma dibagi menjadi dua,
yaitu :
1) Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi
miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
2) Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh
terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
5. Tanda dan Gejala
1) Nyeri hebat di tempat fraktur
2) Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
3) Rotasi luar dari kaki lebih pendek
4) Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis
pada fraktur terbuka, deformitas.
6. Pemeriksaan Laboratorium/Diagnostik/Penunjang
1) Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur

2) Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan mengidentifikasikan


kerusakan jaringan lunak

3) Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun


(pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), Peningkatan
Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.

4) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

7. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk
ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan
yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
8. Penatalaksanaan

1) Terapi konservatif, traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi
definitif.
2) Terapi operatif, pemasangan plate dan screw terutama pada fraktur proksimal dan distal
femur, mempergunakan K-nail, AO-nail, atau jenis-jenis lain.
B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1.2 Pengumpulan Data
17) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
18) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.nyeri yang dirasakan klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran 0-4.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
19) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 2000). Serta
pertolongan apa saja yang telah didapatkan dan apakah telah berobat di dukun pijat.
20) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
21) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
22) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 2000).
23) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna
D,2000).
24) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
25) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua
klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
26) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 2000).
27) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 2000).
28) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D,
2000).
29) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2000).
30) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
31) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
32) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
5) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan keadaan umum baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
6) Pemeriksaan Fisik Per Sistem
a. B1 (Breathing), sistem pernafasan tidak mengalami kelainan pada palpasi toraks didapatkan
taktil fremitus seimbang antara kanan dan kiri. Pada auskultasi tidak ada suara nafas
tambahan.
b. B2 (Blood), tidak ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat, iktus tidak teraba, auskultasi
suara S1 dan S2 tunggal tidak ada murmur.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran compos mentis
Pemeriksaan fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
Pemeriksaan saraf kranial,
- Saraf I tidak ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.
- Saraf II Ketajaman penglihatan normal
- Saraf III, IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
- Saraf V Tidak ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada kelainan.
- Saraf VII Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
- Saraf VIII tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf IX dan X kemampuan menelan baik.
- Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
- Saraf XII indera pengecapan normal.
Pemeriksaan reflek, tidak didapatkan reflek patologis.
Pemeriksaan sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada daya raba terutama pada bagian
distal fraktur. Nyeri pada daerah yang fraktur.
d. B4 (Bladder), kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urin serta
berat jenis.
e. B5 (Bowel), inspeksi pada abdomen bentuk datar, simetris, tidak ada hernia, palpasi turgor
baik,tidak ada defans muskuler, dan hepar tidak teraba. Perkusi suara timpani, ada pantulan
gelombang cairan. Auskultasi peristalti usus normal 20 kali / menit, tidak ada kesulitan
BAB.
f. B6 (Bone ), terjadi gangguan baik secara lokal, fungsi motorik, maupun peredaran darah.
g. Look pada sistem integumen terdapat eritema, suhu disekitar luka meningkat, bengkak,
edema, dan nyeri tekan
h. Feel adanya nyeri tekan, dan krepitasi pada daerah paha.
i. Move disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas bawah.
7) Diagnosa
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Ketidakseimbangan nutrisi b/d mual muntah dan peningkatan metabolisme.
c. Resiko tinggi trauma b/d penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
d. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neurovaskuler.
e. Gangguan eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih dan ureter
f. Gangguan eliminasi alvi b/d kerusakan anatomis rektum.
g. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas bawah.
h. Resiko tinggi infeksi b/d adanya port de entree luka terbuka pada panggul.
i. Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
j. Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual, prognosis kondisi sakit,
program pengobatan, tirah baring lama.
k. Ansietas b/d krisis, situasional, ancaman terhadap konsep diri dan perubahan status
kesehatan.
8) Intervensi dan implementasi
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan
santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang
Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak
Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk
Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan
menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi)
kelelahan otot.
5.Ajarkan penggunaan teknik
Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas
nyeri yang mungkin berlangsung
dipersional)
lama.
6.Lakukan kompres dingin selama
Menurunkan edema dan mengurangi
fase akut (24-48 jam pertama)
rasa nyeri.
sesuai keperluan.
Menurunkan nyeri melalui
7. Kolaborasi pemberian analgetik
mekanisme penghambatan rangsang
sesuai indikasi.
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
Evaluasi keluhan nyeri (skala,
Menilai perkembangan masalah
petunjuk verbal dan non verval,
klien.
perubahan tanda-tanda vital)

b. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler, nyeri sekunder akibat


pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik sesuai kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program latihan, tidak mengalami kontriktur sendi,
kekuatan otot bertambah, klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Kaji mobilitas yang ada dan Mengetahui tingkat kemampuan klien
observasi adanya peningkatan dalam melakukan aktivitas.
kerusakan. Kaji secara teratur
fungsi motorik. Mengurangi resiko terjadinya iskemia
2. Ubah posisi klien setiap 2jam. jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah tertekan.
Gerakan aktif memberikan massa,
3. Ajarkan klien untuk melakukan tonus, kekuatan otot, serta
gerak aktif pada ekstremitas yang memperbaiki fungsi jantung dan
tidak sakit. pernafasan.
Otot volunter akan kehilangan tonus
4. Lakukan gerak pasif pada
dan kekuatannya apabila tidak
ekstremitas yang sakit.
dilatih.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G, 2001) atau setiap retak atau patah pada
tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R, 2001). Fraktur femur dapat terjadi pada
beberapa tempat diantaranya: kolum femoris, trokhanter, batang femur, suprakondiler,
kondiler, kaput. (Watson,2002). Fraktur panggul adalah fraktur salah satu bagian dari trauma
multipel yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul.(Hoppenfeld & Murthy,
2000).
B. Saran
Berdasarkan Kesimpulan diatas maka disarankan:
1. Bagi mahasiswa
Bagi mahasiswa untuk lebih menambah wawasan dan pengetahuan agar dapat
melahirkan inovasi-inovasi terbaru dalam askep kegawatdaruratan pada klien dengan fraktur
femur dan pelvis.
2. Bagi dosen
Bagi dosen untuk membimbing dan mengarahkan serta memfasilitasi mahasiswa
untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam ilmu asuhan keperawatan
kegawatdaruratan khususnya askep kegawatdaruratan fraktur femur dan pelvis.

DAFTAR PUSTAKA
Musliha, (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta. Nuha Medika.
Purwadianto, Agus, dkk. (2000). Kedaruratan Medik. Jakarta Barat. Binarupa Aksara.
Thomas, Mark A.(2011). Terapi dan rehabilitasi Fraktur. Jakarta. EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta. EGC.
Suratun,dkk.( 2008 ). Klien Gangguan Sistem Muskuluskeletal. Jakarta. EGC.
King, Maurice, dkk.(2001). Bedah Primer Trauma. Jakarta. EGC
Riyawan.com | Kumpulan Artikel Keperawatan Dan Farmasi

You might also like