Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
6. Tulang kemaluan.
7. Kelenjar prostat.
8. Rektum.
9. Kelenjar bulbo-uretralis.
11. Penis.
Metode kastrasi dibagi menjadi dua macam yaitu (Komang et al, 2011):
Metode terbuka
Sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis communis,
sehingga testis dan epididimistidak lagi terbungkus. Keuntungan
metode ini adalah dapat meminimalisir perdarahan. Adapun
kelemahannya adalah memungkinkan terjadinya hernia skrotalis.
Metode Tertutup
Sayatan hanya sampai pada tunika dartos, sehingga testis masih
terbungkus oleh tunika vaginalis communis. Peningkatan dan penya
yatan pada funiculus spermaticus. Metode ini biasanya dilakukan pada
anjing jenis kecil atau masih muda, dan kucing. Keuntungan cara ini
adalah dengan tidak dibukanya tunica vaginalis, maka dapat
menghindari kemungkinan terjadinya hernia skrotalis. Memungkinkan
terjadinya perdarahan. (Komang et al, 2011).
Dalam istilah medis, desexing (kastrasi) kucing betina disebut spaying dan
pada jantan disebut neutering. Keuntungan dari kastrasi anak kucing sejak usia 10-12
minggu adalah mencegah penyebaran kucing secara berlebihan dan mengurangi
kemungkinan terkena penyakit kanker. Usia yang masih sangat muda membutuhkan
waktu bedah yang lebih singkat dan pendarahan lebih sedikit sehingga akan sembuh
lebih cepat, pada akhirnya kucing dan pemiliknya akan mengalami stress yang lebih
sedikit (Chandler, 1985). Kucing yang akan dikebiri harus dalam keadaan sehat.
Sebagian besar kucing dikebiri ketika berumur 5-8 bulan. Para ahli perilaku hewan
menyarankan mengkebiri kucing sebelum memasuki masa puber, karena dapa
mencegah munculnya sifat/perilaku kucing yang tidak diinginkan (Ibrahim, 2000).
Sterilisasi dapat dilakukan pada saat anjing/kucing berumur 8 minggu, tetapi lebih
baik dilakukan setelah anjing dan kucing divaksinasi lengkap, setelah sistem
immunitas tubuh (kekebalan) mereka bekerja dengan baik, tetapi sebelum masuk
masa pubertas (umur 4-6 bulan).
Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai
batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi hewan.
Obat anastesi yang sering digunakan pada hewan antara lain Ketamin dan Xylasin.
Ketamin merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relative
aman dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistim somatik tetapi
lemah lemah untuk sistim visceral, tidak menyebabkan relaksasi otot lurik bahkan
kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Secara kimiawi, ketamin analog dengan
phencyclidine. Ketamin HCl berwarna putih dan berbentuk bubuk kristal yang
mempunyai titik cair 258-261C. Satu gram ketamin dilarutkan dalam 5 ml aquades
dan 14 ml alkohol. Ketamin yang digunakan sebagai agen anestesi untuk injeksi
dipasaran biasanya mempunyai pH antara 3,5-5,5.
Ketamin HCl bekerja dengan memutus syaraf asosiasi serta korteks otak dan
thalamus optikus dihentikan sementara, sedangkan sistem limbik sedikit dipengaruhi.
Ketamin HCl merupakan analgesia yang tidak menyebabkan depresi dan hipnotika
pada syaraf pusat tetapi berperan sebagai kataleptika. Setelah pemberian ketamin,
refleks mulut dan menelan tetap ada dan mata masih terbuka. Ketamin dapat dipakai
oleh hampir semua spesies hewan. Ketamin bersama xylazine dapat dipakai untuk
anastesi pada kucing. Ketamin dengan pemberian tunggal bukan anastetik yang
bagus. Dosis pada kucing 10-30 mg/kg secara intra muskuler, mula kerja obat 1-5
menit, lama kerja obat 30-40 jam dan recoverinya 100-150 menit. Menurut Kumar
(1997) dosis ketamin pada anjing dan kucing ialah 10-20 mg/kg diberikan secara intra
muskuler.
o Operasi
Setelah teranestesi, hewan diletakkan dimeja operasi dengan posisi rebah
dorsal dan untuk mempertahankan posisi tersebut keempat kaki di fiksasi pada
meja operasi. Daerah operasi diolesi antiseptik secara sirkuler dari bagian central
kearah perifer. Hewan dipasangi duk difiksasi dengan menggunakan duk clamp.
Operasi dilakukan (Aulia,2004).
METODOLOGI
- Diamati hidrasinya
- Diamati sistem integumentary, otic, optalmic, musculoskeletal,
nervus, cardiovaskular, respiration, digesty, lympatic,
reproduction dan urinaria
Hasil
3.2.1.2 Sterilisasi alat dan bahan
Hasil
3.2.1.3 Premedikasi dan Anestesi
Atropin, xylazine,
Ketamine selama 6 12 jam (tidak diberi makan) dan 2 6
- Dipuasakan
jam (tidak diberi minum) sebelum kastrasi
Hasil
3.2.2 Operasi
Kucing
- Dipasang duk pada daerah yang akan dilakukan pembedahan
Hasil
3.2.3 Post operasi
Kucing
Hasil
BAB IV
HASIL
4.1 Signalement
Nama : Dadang
Jenis Hewan : Kucing
Kelamin : Jantan
Ras/Breed : Domestik
Warna bulu/kulit : Coklat putih
Umur : 2 tahun
Berat badan : 3,1 Kg
Tanda khusus : Terdapat belang-belang pada ekor
Pemeriksaan Hewan
Hospital Name : CLINIC VETERINARY OF BRAWIJAYA UNIVERSITY
City : MALANG
System Review
Deskripsi Abnormal: -
Vaksinasi Ya Tidak
ctt:
Disease Record: -
FORM OPERASI
KASTRASI
KONTROL PEMERIKSAAN
Menit 135 150 165 180 195 210 225 240 255
Pulsus(/menit) 116 98 100 100 100 105 116 120 116
Temp(0C) 35,1 34,3 34,4 35 35,3 36 36,9 37,1 37,5
Respirasi 20 20 20 20 28 28 32 28 28
0,25
B. Amoxicilin (Pre Operasi) : 20mg/kgBB x 3,1 = 0,31 ml
200
100
20
150
40
FORM MONITORING
PASCA OPERASI
5.1.2 Operasi
b. Ketamine
Ketamin adalah anestesi umum non barbiturat yang bekerja cepat
dan termasuk dalam golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus
kimia 2-(0- chlorophenil) 2 (methylamino) cyclohexanone
hydrochloride. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat akan tetapi
memberikan efek hipnotik yang ringan. Ketamin merupakan zat
anestesi dengan efek satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang
bila obat itu telah didetoksikasi/diekskresi, dengan demikian pemakaian
lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari
phencyclidine suatu obat anti psikosa. Pemberian ketamin dapat
diberikan dengan mudah pada penderita secara intramuskuler. Obat ini
menimbulkan efek analgesia yang sangat baik dan dapat dikatakan
sempurna dengan hanya diikuti tidur yang superfisial. Hal ini dapat
dilihat pada penderita yang diberikan ketamin sering menunjukkan
gerakanspontan dari ekstrimitasnya walaupun pelaksanaan operasi telah
dilakukan. Keadaan ini disebabkan titik tangkap kerjanya pada daerah
kortek dari otak dibanding dengan obat anestesi lainnya yang titik
tangkap kerjanya adalah reticular actifiting system dari otak. Dosis
ketamin pada kucing yaitu 10-30 mg/kg secara intra muskuler. Ketamin
menyebabkan pasien dalam kondisi tidak sadar dalam durasi yang cepat
namun mata masih tetap terbuka tetapi tidak memberikan respon
rangsangan dari luar. Selain itu ketamin juga memiliki efek anestetikum
yang dapat menekan hipotalamus sehingga menyebabkan penurunan
temperatur tubuh (Plumb, 2005).
Sifat-sifat ketamin, yaitu larutan tidak berwarna, stabil pada suhu
kamar, dan suasana asam (pH 3,5 5,5). Adapun farmakokinetik dari
ketamin adalah sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan
dihidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk
metabolik dan sedikit dalam bentuk utuh. Ketamin dengan pemberian
tunggal bukan anestetik yang bagus, karena obat ini tidak merelaksasi
muskulus bahkan kadang-kadang tonus sedikit meningkat. Efek puncak
pada hewan umumnya tercapai dalam waktu 6-8 menit dan anestesi
berlangsung selama 30-40 menit, sedang untuk pemulihan
membutuhkan waktu sekitar 5-8 jam.
Ketamin merupakan salah satu jenis anesthesi yang sering
digunakan pada kucing untuk beberapa jenis operasi. Adapun dosis
ketamin untuk kucing adalah 10-30 mg/KgBB dan 10-15 mg/kgBB
(Napier and Napier, 2009). Efek ketamin dapat merangsang simpatetik
pusat yang akhirnya menyebabkan peningkatan kadar katekolamin
dalam plasma dan meningkatkan aliran darah. Karena itu ketamin
digunakan bila depresi sirkulasi tidak dikehendaki. Sebaliknya, efek-
efek ini meringankan penggunaan ketamin pada penderita hipertensi
atau stroke. Kelemahan dari anastetika ini menyebabkan terjadinya
depresi pernafasan dan tidak memberikan pengaruh relaksasi pada
muskulus, yang karenanya sering dikombinasikan dengan obat yang
mempunyai pengaruh terhadap relaksasi muskulus (Syarif, 2011).
c. Xylazine
Xylazin HCl merupakan senyawa sedatif golongan 2 adrenergik
agonis yang bekerja dengan cara mengaktifkan central 2
adrenoreceptor. Xylazin memiliki rumus kimia 2-(2,6-xylodino)5,6-
dihydro-4H-1,3- thiazin hydrochloride. Xylazin menyebabkan
penekanan sistem saraf pusat yang diawali dengan sedasi kemudian
pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga
akhirnya hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi. Di dalam anestesi
hewan, xylazin biasanya paling sering digunakan dengan kombinasi
ketamin. Obat ini bekerja pada reseptor presinapsis dan pos-sinapsis dari
sistem saraf pusat dan perifer sebagai agonis adrenergik. Xylazin
menimbulkan efek relaksasi muskulus centralis. Selain itu, xylazin juga
mempunyai efek analgesi. Xylazin menimbulkan kondisi tidur yang
ringan bahkan sampai kondisi narkosis yang dalam, tergantung dari
dosis untuk masing- masing spesies hewan. Reseptor 2 adrenoreceptor
agonis mengerahkan efek penghambatan pada fungsi sistem saraf pusat
melalui penghambatan pelepasanneurotransmiter dari saraf simpatis. Hal
ini menyebabkan aktivitas saraf simpatis menurun sehingga menurunkan
tingkat kewaspadaan, menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah. Reseptor 2 adrenoreceptor ditemukan di otot polos pembuluh
darah arteri organ dan vena abdomen. Ketika 2 adrenoreceptor
diaktifkan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, selain itu 2
adrenoceptor dijumpai juga pada sistem kardiovaskular, respirasi,
gastrointestinal, sistem saraf pusat, ginjal, sistem endokrin dan trombosit
(Munaf, 2008).
Obat ini banyak digunakan dalam subtansi kedokteran hewan
dan sering digunakan sebagai obat penenang (sedasi), nyeri (analgesik)
dan relaksasi otot rangka (relaksan otot). Pemberian xylazin sebagai
preanestesi dapat memperpanjang durasi analgesi, mengurangi dosis
anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada kucing penggunaan
kombinasi ketamin-xylazin menyebabkan perlambatan absorpsi ketamin
sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi
anestesi lebih panjang. Pada kucing range dosis xylazin yang sering
digunakan yaitu 1,0-2,0 mg/kg BB secara intra muskuler dan 1-2 mg/kg
BB. Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardia, arythmia,
peningkatan tekanan sistem saraf pusat, pengurangan sistem sistolik,
depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan volume respirasi
per menit) serta hipertensi yang diikuti dengan hipotensi. Xylazin
memiliki efek farmakologis yang sebagian besar terdiri dari penurunan
cardiac output, sehingga terjadi penurunan frekuensi setelah kenaikan di
awal injeksi pada tekanan darah kemudian dalam perjalanan dapat
menyebabkan efek vasodilatasi pada tekanan darah yang juga dapat
menyebabkan bradikardia, vomit, tremor, motilitas menurun tetapi
kontraksi uterus meningkat pada betina, bahkan dapat mempengaruhi
keseimbangan hormonal seperti menghambat produksi insulin dan
antidiuretic hormon (ADH). Xylazin juga menghambat efek stimulasi
saraf postganglion. Pengaruh xylazin dapat dihambat dengan
menggunakan antagonis reseptor adrenergik seperti atipamezole,
yohimbine dan tolazoline (Kusumawati, 2011).
Kontraindikasi dari xylazin adalah tidak boleh digunakan pada
hewan yang memiliki hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Xylazin
dapat diberikan secara intravena, intramuskular, dan subkutan. Pada
ruminansia, xylazin dapat menyebabkan peningkatan sekresi saliva,
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi (pernafasan), tetapi dapat
dihambat oleh kerja dari atropin (Kusumawati, 2011). Efek xylazin pada
fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis
yang tinggi dapat mendepres respirasi sehingga terjadi penurunan
volume tidal dan respirasi rata-rata. Perubahan yang cukup jelas terlihat
pada fungsi kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi, tekanan
darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh
darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan
darah dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan
menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun
mencapai level normal atau subnormal. Xylazin tidak dianjurkan pada
hewan yang memiliki penyakit jantung, darah rendah, dan penyakit
ginjal (Munaf, 2008).
d. Amoxicillin
Amoxicillin merupakan antibiotic golongan penicillin.
Penggunaannya sangat luas, mulai dari untuk obati infeksi kulit, gigi,
telinga, saluran nafas dan saluran kemih. Indikasi dari obat ini adalah
infeksi saluran kemih, otitis, sinusitis, bronchitis kronis, salmonellosis
invasive, gonore. Interaksi obat amoxicillin yaitu obat ini berdifusi baik
dengan jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam cairan otak
kurang baik kecuali pada selaput otak yang mengalami infeksi.
Kontraindikasi dari obat ini adalah hipersensitivitas terhadapa penicillin.
Dan biasanya setelah pemberian amoxicillin, pasien akan mengalami
alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, leukopoia, diare
pada pemberian per-oral (Syarif, 2011).
e. Tolfen
Obat ini biasanya digunakan sebagai antiradang, anaphylactic,
rheumatoid dan arthritis. Obat ini tidak boleh digunakan untuk hewan
dengan trimester pertama. Dan pada hewan coba pemberian obat ini 2
hari sekali. Mekanisme utama obat golongan NSAIDs adalah
menghambat enzim COX dan menurunkan produksi prostaglandin di
seluruh tubuh, sehingga proses radang, nyeri, dan demam berkurang.
Namun sayangnya, prostandin yang berperan melindungi lambung dan
pembekuan darah pun menurun sehingga penggunaan NSAIDs dapat
mengakibatkan luka atau ulkus di lambung disamping gangguan
pembekuan darah (Syarif, 2011).
Berdasarkan hal ini, maka para ahli membuat obat NSAIDs yang
hanya menghambat enzim COX-2 saja (karena enzim COX-1 memiliki
peranan positif dalam tubuh). Obat ini dinamakan COX-2 inhibitor.
Sebelum obat ini ditemukan, obat golongan NSAIDs mengakibatkan
ulkus lambung. Dengan ditemukannya obat ini, diharapkan peradangan
dan rasa nyeri dapat dikurangi tanpa mengakibatkan ulkus lambung atau
gangguan pembekuan darah. Namun memang tidak ada obat yang
sempurna. Obat NSAIDs COX-2 inhibitor ini ternyata mengkibatkan
efek samping buruk bagi jantung sehingga ada beberapa golongan yang
ditarik dari pasaran. Penggunaan obat COX-s inhibitor hanya terbatas
pada pasien yang memiliki risiko tinggi terbentuknya ulkus lambung,
dan tidak digunakan pada pasien yang memiliki penyakit jantung
(Syarif, 2011).
ATP 0.100 g
Mg aspartate1.500 g
K aspartate1.000 g
Vitamin B 12 0.050 g
Excipient qs 100 ml
Ada 2 reaksi enzim penting yang memerlukan Viamin B12. Pada satu
reaksi, deoksiadenosilkobalamin merupakan kofaktor yang diperlukan dalam
konversi metilmalonin-KoA menjadi suksinil KoA oleh enzim metilmalonil-
Koa mutase. Pada defisiensi vitamin B12, tidak terjadi konversi ini dan
substratnya, metilmalonil-KoA, akan tertimbun. Akibatnya, akan disintesis
asam lemak yang tidak aberan dan bergabung ke dalam membran sel. Dianggap
bahwa penggabungan asam lemak yang non fisiologik seperti itu ke dalam
membran sel susunan saraf pusat bertanggung jawab atas manifestasi
neurologik Vitamin B12.
Reaksi enzim lain yang memerlukan vitamin B12 adalah konversi 5-CH3-
H4folat dan homosistein menjadi H4 folat dan metionin oleh enzim 5-CH3-H4
folat homosistein metilransferase. Pada reaksi ini, kobalamin dan
metilkobalamin mengalami interkonversi serta vitamin tersebut dapat dianggap
sebagai katalisator sejati. Bila timbul defisiensi vitamin B12, maka tidak timbul
konversi folat makanan utama dan cadangan, 5-CH3-H4folat.Sebagai
akibatnya, 5-CH3-H4 folat tertimbun dan akan timbul defisiensi kofaktor folat
yang diperlukan unuk sintesis DNA. Timbunan folat tubuh sebagai 5-CH3-
H4folat dan ketidakmampuan yang berkaitan untuk membentuk kofaktor folat
pada keadaan defisiensi vitamin B12 dinamai sebagai perangkap meilfolat.
Ini merupakan tahapan biokimia, tempat metabolisme vitamin B12 dan asam
folat berhubungan dan dapat menerangkan mengapa anemia megaloblastik
defisiensi vitamin B12 ( tetapi bukan kelainan neurologiknya) dapat dikoreksi
sebagian oleh asam folat.
Setelah diabsorpsi, hampir semua vitamin B12 dalam darah terikat dengan
protein plasma. Sebagian besar terikat pada beta globulin (transkobalamin II),
sisanya terikat pada -glikprotein( transkobalamin I) dan inter alfa-
glikoprotein (transkobalamin III). Vitamin B12 yang terikan pada
transkobalamin II akan diangku ke berbagai jaringan, terutama hati yang
merupakan gudang utama penyimpanan vitamin B12 (50-90%). Kadar normal
vitamin B12 dalam plasma adalah 200-900 pg/mL dengan simpanan sebanyak
1-10 mg dalam hepar.
g. Hematopan
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Orchiectomy atau kastrasi adalah sebuah prosedur operasi / bedah
dengan tujuan membuang testis hewan. Metode kastrasi adalah orchiectomy
terbuka dengan sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis communis,
sehingga testis dan epididimis tidak lagi terbungkus. Premedikasi
menggunakan atropin sulfat dan obat anastesi yang digunakan ialah xylazin
dan ketamin. Recovery pada hewan kastrasi pada umumnya membutuhkan
waktu 1 minggu dengan perlakuan pemberian antibiotik dan analgesik serta
perawatan luka.
5.2 Saran
Sebaikanya pengawasan saat operasi terhadap praktikan lebih
dipersiapkan dengan baik dan perwatan pasca operasi selalu dikontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
I Komang Wiarsa Sardjana dan Diah Kusumawati. 2011. Bedah Veteriner, Cetakan
Pertama. Airlangga University Press, Surabaya.
Madigan MT, Martinko JM, Brock TD. 2006. Brock Biology of Microorganisms.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Napier and Napier.2009. A Handbook of Living Primates [diunduh 2014 Nov 25].
Inverin, Co. Galway, Ireland.
Plumb, DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. Minnesota: Pharma Vet Publishing.
Potter, P.A. dan Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Alih Bahasa : Renata Komalasari,
dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R., Wim, de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2007, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo. EGC, Jakarta.
Syarif, A., Estuningtyas, A., Muchtar, A., Arif, A., Bahry, B., Suyatna, DF., Dewoto,
HR., Utama, H., Darmansjah, I., and Nafrialdi. 2011. Farmakologi dan
Terapi. Edisi ke-5. Setiabudy R, Ilustrator. Jakarta (ID): Badan Penerbit
FKUI.
Watcha, ,MF, dkk. 2005. Pocket Guide To Suture Materials (Hal : 54). (e-book).
Germany.
LAMPIRAN
DOKUMENTASI