You are on page 1of 50

ISSN : 2301-6736

Vol.04, No.02, November 2015

Terbit 2 Kali Setahun (Juni, November)


Copyright RSDM 2017
JURNAL MEDIKA MOEWARDI
ISSN: 2301-6736
VOL.04, NO.02, November 2015

PENGANTAR REDAKSI
JURNAL MEDIKA MOEWARDI

PELINDUNG Pembaca Jurnal Medika Moewardi yang


Direktur RSUD Dr. Moewardi berbahagia,
Dekan FK UNS Surakarta
Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Allah
PENASEHAT Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan
Wakil Direktur Pelayanan RSUD Dr. Moewardi karuniaNyalah, akhirnya Jurnal Medika
Wakil Direktur Umum RSUD Dr. Moewardi
Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr. Moewardi Moewardi bisa terbit kembali. Setelah
mengalami kevakuman dalam beberapa edisi,
PENANGGUNG JAWAB
Ka. Bag Pendidikan & Penelitian kami berupaya keras untuk mengaktifkan
Jurnal Ilmiah sebagai sumbangsih dan peran
WAKIL PENANGGUNG JAWAB serta seluruh Civitas Hospitalia RSUD Dr.
Ka. Sub Bag. Penelitian & Perpustakaan
Moewardi dalam pengabdiannya
DEWAN REDAKSI mengembangkan ilmu kedokteran melalui
Ketua :
berbagai penelitian, kajian ilmiah dan
Prof.Dr.dr. Haryono Kariosentono, SpKK(K)
Wakil Ketua: manajemen terkini yang nantinya memberikan
Prof.Dr.dr. Suradi, SpP(K).MARS kontribusi yang besar bagi pelayanan kesehatan
Redaktur Pelaksana:
Dr.dr.,Prasetyadi Mawardi, SpKK,FINSDV,FAADV pada masyarakat.
Anggota: Restrukturisasi dan revitalisasi Jurnal Medika
Prof. Dr. dr. YB Suparyatmo, SpPK(K) Moewardi diharapkan dapat memberikan
Prof. Dr. dr. Y Priyambodo, SpMK(K)
Dr. drg. Adi Prayitno, M.Kes nuansa baru dalam pengembangan ilmu
Dr. dr. Abdurahman Laqif, SpOG(K) kedokteran yang semakin maju dan
dr. Endang Dewi Lestari, SpA(K).MPH
dr. Eva Niamuzisilawati, SpPD.,M.Kes
berkembang. Dengan restrukturisasi dan
dr. Heri Dwi Purnomo, SpAN.,M.Kes. MKN revitalisasi pula diharapkan kontinuitas dan
konsistensi Jurnal semakin terjaga.
SEKRETARIAT
Isbanianto, SE.,M.Si. Terima kasih kepada seluruh anggota dewan
Moch Ari Sutejo redaksi, mitra bestari maupun para kontributor
yang telah memberikan sumbangsihnya bagi
HUMAS
dr. Ellysa kelangsungan jurnal ini.

Alamat Redaksi
Bagian Pendidikan & Penelitian
Redaksi
RSUD Dr. Moewardi
Jl. Kol. Soetarto 132
Telp. (0271) 634634 Ext 153 Fax (0271) 666954
Surakarta
E-mail medikamoewardi@yahoo.co.id

RSDM,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah Jurnal Medika Moewardi


JURNAL MEDIKA MOEWARDI
ISSN: 2301-6736
VOL.04, NO.02, November 2015

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi .......................................................................................................


Daftar Isi ......................................................................................................................
Pemeriksaan Cardiac Troponin I (ctni) Dengan Cara Poct Dengan Metode
Fluoresence Immunoassay ..................................................................................... 1
Perbandingan Efek Penambahan Medizolam Dengan Epinephrine Terhadap
Lidocaine Hyperbaric Pada Spinal Anesthesi ........................................................ 12
Hubungan Kejadian Hyperemesis Gravidarum Dengan Tingkat Pendidikan Ibu
Hamil ...................................................................................................................... 21
Perhitungan Kadar Konsentrasi Quercetin Yang Diekstrak Dari Daun Tanaman
Beluntas (Pluchea indica Less.) ............................................................................. 26
Nilai Scorten Pada Kejadian Mortalitas Pada Pasien Nekrotik Epidermal
Toksik Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta ................ 35
Pedoman Penulisan Naskah .........................................................................................

RSDM,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah Jurnal Medika Moewardi


Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PEMERIKSAAN CARDIAC TROPONIN I (cTnI)


DENGAN CARA POCT DENGAN METODE FLUORESENCE IMMUNOASSAY

Pik Siong, Dian Ariningrum


Patologi Klinik, Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi Surakarta

ABSTRAK
Pendahuluan
Di antara banyak marka jantung, troponin I/T merupakan standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang masih menjadi masalah
baik di negara maju maupun negara berkembang. Tujuan penelitian ini adalah apakah Cardiac
Troponin I merupakan baku emas marka enzim jantung untuk sindrom koroner akut.
Metode
POCT (Point of Care Testing) merupakan prosedur analitik yang dilakukan pada pasien oleh
tenaga ahli kesehatan yang telah mendapat training dan tersertifikasi di luar laboratorium
konvensional dengan pengawasan dan supervisi staff dari laboratorium klinis setempat yang
terkualifikasi dan terakreditasi. Kepala laboratorium setempat menetapkan kebutuhan klinis
inisial POCT setelah konsultasi dengan klinisi terkait. Secara umum tidak diperlukan persiapan
pasien khusus. Persiapan yang diperlukan untuk melakukan pengukuran kadar cTnI dengan Alere
Triage antara lain darah vena dengan antikoagulan EDTA/ plasma. Sampel harus konsisten dan
tidak direkomendasikan dilusi. Spesimen darah yang lain selain darah vena dengan antikoagulan
EDTA belum dievaluasi. Spesimen yang diperoleh seharusnya segera diperiksa atau dalam jangka
1 jam pengumpulan sampel. Apabila sampel tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu 1 jam,
pisahkan plasmanya dan lakukan pemeriksaan dalam jangka waktu 2 jam pengumpulan atau
bekukan pada suhu -200C sampai pemeriksaan dapat dilakukan (direkomendasikan tidak lebih
dari satu siklus beku cair). Transpor spesimen pada suhu ruangan atau didinginkan dan hindarilah
suhu ekstrim. Apabila spesimen hemolisis maka sebaiknya diiambil spesimen yang lain.
Hasil
Sensitivitas analitik Alere cTnI dapat mendeteksi kadar terendah yang mendekati nilai nol
dengan CI 95% dan pada persentil 95th troponin I ada pada nilai 0.01 ng/mL. Kisaran
pengukuran kadar cTnI Alere antara 0.01 10 ng/mL. Tidak terdapat hook effect pada kadar
sampai dengan 2.870 ng/mL. Pengukuran presisi didapatkan dengan menggunakan 80 replicates
yang didapatkan dari 40 tes yang dilakukan selama 20 hari dengan 2 kali pemeriksaan/ hari.
Spesifikasi kontrol kualitas yang diijinkan dari produk ini adalah dengan presisi % CV untuk
troponin I adalah 8.4-19.4%. Konsentrasi troponin I didapatkan dari 989 sampel sehat, dengan
kisaran nilai < 0.01 ng/mL sampai dengan 0.065 ng/mL dengan CI 90% didapatkan nilai pada
persentil 99th adalah 0.02 ng/mL sampai dengan 0.03 ng/mL
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan dan saran bahwa Cardiac Troponin I merupakan baku emas marka
enzim jantung untuk sindrom koroner akut

Kata Kunci : Marka Enzim Jantung; Cardiac Troponin 1; Point of Care Testing; Penyakit
Jantung Coroner.

1
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PENDAHULUAN vasokonstriksi koroner sehingga


Di antara banyak marka jantung, memperberat gangguan aliran darah koroner.
troponin I/T merupakan standard baku emas Berkurangnya aliran darah koroner
dalam diagnosis NSTEMI. 2 . Cardiac menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
Troponin I dan cardiac Troponin T memiliki oksigen yang berhenti selama kurang lebih
sekuen asam amino unik yang 20 menit menyebabkan nekrosis/ infark
memungkinkan pengembangan antibodi miokardium. 2
terhadap cTnI dan cTnT yang digunakan Diagnosis dan penggolongan
sebagai prinsip berbagai POCT. 4 . Kadar sindrom koroner akut berdasarkan
cTnI dan cTnT meningkat di dalam darah anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
perifer 3 4 jam setelah awitan infark dan elektrokardiogram, foto polos dada dan
menetap sampai 2 minggu. Peningkatan pemeriksaan marka jantung. Peningkatan
ringan kadar troponin biasanya menghilang marka jantung dapat menunjukkan adanya
dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis miosit (PERKI, 2015). Namun,
nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap beberapa marka jantung sudah tidak
hingga 2 minggu. Pada keadaan disfungsi digunakan lagi untuk menilai penyakit
ginjal, troponin I mempunyai spesifisitas jantung seperti AST, LDH dan isoenzim LDH
yang lebih tinggi dari troponin T. 2. karena distribusinya luas pada beberapa
Penyakit Jantung Koroner (PJK) jaringan. Di negara berkembang, CK masih
merupakan penyakit yang masih menjadi digunakan dengan alasan finansial.
masalah baik di negara maju maupun negara Penggunaan CK kemudian bergeser ke
berkembang. Di Amerika Serikat setiap penggunaan rasio CKMB/ CK total > 2%
tahun 550.000 orang meninggal karena menambah spesifisitas jaringan miokardial
penyakit ini. Di Eropa diperhitungkan 20 dan kemudian penggunaan simultan
40.000 orang dari 1 juta penduduk menderita Troponin sebagai biomarker baru dan CKMB
PJK. Survei yang dilakukan Departemen sebagai old biomarker. 3.
Kesehatan Republik Indonesia menyatakan Pemeriksaan marka jantung
prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
2
tahun terus meningkat. Persentase kematian . Namun, beberapa kendala muncul terkait
akibat penyakit jantung dari total angka dengan TAT (Turn Around Time) yaitu
kematian menunjukkan peningkatan dari selisih waktu antara penyerahan spesimen
5.9% pada 1975 menjadi 26.4% pada 2004. pasien ke laboratorium sentral sampai
Data yang diperoleh dari Jakarta diberikannya hasil pemeriksaan ke klinisi
Cardiovascular Study pada tahun 2008 terkait. American Heart Association
memperlihatkan prevalensi infark miokard merekomendasikan bahwa TAT marka enzim
pada wanita 4.12% dan 7.6% pada pria atau jantung seharusnya kurang dari 60 menit. 3,5
5.29% secara keseluruhan. Ada peningkatan . Nilai TAT tersebut sulit untuk dicapai
dibanding tahun 2000 yang hanya 1.2%. laboratorium sentral terlebih lagi pada rumah
Peningkatan selama 7 tahun sebesar 4.09% sakit berproporsi besar. 3. TAT Troponin I di
atau rata-rata 0.6% per tahun. 1. Sebagian Instalasi Patologi Klinik RS Dr. Moewardi
besar sindrom koroner akut adalah Surakarta terhitung sejak bulan Januari
manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh sampai September pada tahun 2014
darah koroner yang koyak/ pecah terkait mencapai 49% masih belum mencapai target
perubahan komposisi plak dan penipisan yang diinginkan yaitu 90%. 6 . Melihat
tudung fibrosa plak tersebut. Kejadian ini potensi kendala di atas, maka dianjurkan
akan diikuti oleh proses agregasi trombosit pemeriksaan POCT dengan alokasi waktu
dan aktivasi jalur koagulasi sampai terbentuk pemeriksaan lebih cepat (15-20 menit) guna
trombus yang menyumbat liang pembuluh tercapainya TAT yang diharapkan. 2 . Alere
darah koroner. Selain itu juga didukung Triage Troponin I merupakan alat POCT
adanya pelepasan zat vasoaktif penyebab yang mengukur kadar cardiac Troponin I

2
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

dengan metode FIA (Fluoro Immuno Assay) luar laboratorium konvensional dengan
dengan kecepatan pemeriksaan berkisar 20 pengawasan dan supervisi staff dari
menit diharapkan mampu memenuhi laboratorium klinis setempat yang
kebutuhan TAT tersebut. 4 terkualifikasi dan terakreditasi. Kepala
laboratorium setempat menetapkan
METODE kebutuhan klinis inisial POCT setelah
Pra-analitik konsultasi dengan klinisi terkait. 7
POCT (Point of Care Testing)
merupakan prosedur analitik yang dilakukan
pada pasien oleh tenaga ahli kesehatan yang
telah mendapat training dan tersertifikasi di

1. 2.

Gambar 1. Alere triage meter dan strip pemeriksaan Troponin I. 4


Gambar 2. Alere Troponin I Test Device. 8

Secara umum tidak diperlukan persiapan -200C sampai pemeriksaan dapat dilakukan
pasien khusus. Persiapan yang diperlukan (direkomendasikan tidak lebih dari satu
untuk melakukan pengukuran kadar cTnI siklus beku cair). Transpor spesimen pada
dengan Alere Triage antara lain darah vena suhu ruangan atau didinginkan dan
dengan antikoagulan EDTA/ plasma. Sampel hindarilah suhu ekstrim. Apabila spesimen
harus konsisten dan tidak direkomendasikan hemolisis maka sebaiknya diiambil spesimen
dilusi. Spesimen darah yang lain selain darah yang lain. 4
vena dengan antikoagulan EDTA belum Alat yang diperlukan antara lain
dievaluasi. Spesimen yang diperoleh Alere Triage Meter, Alere Triage Troponin I
seharusnya segera diperiksa atau dalam Test Device (1 kantong berisi 25 tests
jangka 1 jam pengumpulan sampel. Apabila devices mengandung Murine monoclonal
sampel tidak dapat dilakukan dalam jangka antibodies against troponin I, Fluorescent
waktu 1 jam, pisahkan plasmanya dan dye , Stabilizers), Alere Triage Meter Pro or
lakukan pemeriksaan dalam jangka waktu 2 Triage Meter Plus, Alere Triage Total 3
jam pengumpulan atau bekukan pada suhu Control 1, Alere Triage Total 3 Control 2,

3
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Modul reagent CODE CHIP, 25 transfer operasionalnya 20-240C berlangsung sekitar


pipettes (1 pasien 1 pipet), Reagent CODE 15 menit. Setelah dikeluarkan dari kulkas,
CHIP Module, Supervisor Code Chip dan 1 test device stabil sampai dengan 10 hari pada
printer paper roll. Penyimpanan device di suhu ruangan (bukan tanggal kadaluwarsa)
kulkas bersuhu 2-40 C dan sebelum dan sebaiknya diberi label tanggal dan waktu
digunakan harus dalam kondisi tersegel di pemindahan dari kulkas dengan menutupi
dalam bungkusnya. Pembukaan segel dan tanggal kadaluwarsa serta jangan disimpan
bungkusnya disarankan mendekati waktu di kulkas lagi.
penggunaan. Test device hanya dikeluarkan/
dipindah dari kantong hanya segera sebelum
digunakan. Adaptasi kantong mencapai suhu

3. 4.

Gambar 3. Modul Reagent Code Chip. 4


Gambar 4. Cara memasukkan berbagai Chip. 4

5. 6.

Gambar 5. Supervisor Code Chip & Triage QC Device Box. 9


Gambar 6. QC device chip & QC device test inside black box. 9

4
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

7.

Gambar 7. Hasil QC Device 4,6,9

Analitik inkubasi reaksi antigen dan antibodi selama


Prinsip pemeriksaan cTnI dengan berada di reaction chamber. Proses inkubasi
Alere dimulai dari menambahkan sampel ini berlangsung sekitar 2 menit. Permukaan
pada tempat sampel. Setelah sampel hidrofobik berubah menjadi hidrofilik karena
ditambahkan, sel-sel darah dipisahkan dari bereaksinya protein plasma dengan
plasma oleh serat filter yang ada dalam test permukaan time gate tersebut sehingga
device. Setelah melalui filter tersebut, cairan berlanjut menuju ke diagnostic lane.
10
plasma mengalir ke area dengan kapilaritas
lebih tinggi, yang disebut sample reaction . Diagnostic lane merupakan sebuah
barrier. Setelah itu, plasma memasuki saluran kapiler yang yang mengandung
reaction chamber dengan kapilaritas lebih discrete zone dimana terdapat antibodi
rendah yang mengandung reagen dalam imobilisasi yang mengenali cTnI yang terikat
bentuk kering, bercampur membentuk antibodi monoklonal sebelumnya. Kompleks
campuran reagen dengan plasma. Reagen cTnI-antibodi monoklonal berikatan dengan
yang dimaksud termasuk antibodi anti cTnI polyclonal capture antibody to cTnI. Test
yang berlabel FRET (Fluorescence device yang disiapkan dalam Triage Meter
Resonance Energy Transfer) dye. Campuran yang menghitung cTnI yang terikat dengan
reagen dan plasma ini kemudian dibatasi kedua antibodi. Detektor Triage Meter akan
time gate yang tersusun atas permukaan mendeteksi fluoresensi pada zona
hidrofobik yang mencegah supaya cairan pengukuran dan menghitung konsentrasi
10,11,12
tidak cepat melewatinya dan memberi waktu cTnI dalam sampel.

5
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

8. 9.

Gambar 8. Bagian dalam alat Alere Triage Meter. 9


Gambar 9. Mekanisme reaksi pada test device Alere cTnI. 9

Acceptor dye tereksitasi kurva kalibrasi diunduh ke dalam memori


menghasilkan panjang gelombang 670 nm instrumen menggunakan small code chip/
merupakan hasil efisiensi kuantum (berkisar EEPROM. Hasil uji kemudian ditampilkan
85%) setelah menangkap emisi cahaya dioda di layar dan dapat dicetak. 12-13
laser dengan panjang gelombang 760 nm. Hasil konsentrasi troponin I
Dye kemudian bergabung dengan partikel didapatkan dari banyaknya fluoresensi yang
lateks dan menciptakan fluoresensi terdeteksi alat, dengan hasil berbanding
berdasarkan prinsip FETL (Fluorescence lurus, semakin banyak fluoresensi yang
Energy Transfer Latex) yang ditangkap diukur alat maka semakin tinggi kadar
kemudian oleh detektor fotodioda silikon. troponin I dan sebaliknya. Waktu yang
Motor dalam meter menelusuri device di dibutuhkan untuk pembacaan fluoresensi
bawah optic block untuk mengukur tingkat yang terjadi adalah 15 menit dan waktu
fluoresensi pada discrete assay zone. keseluruhan yang dibutuhkan sejak sampel
Pengukuran fluoresensi dikonversi menjadi diteteskan pada strip adalah 20 menit. Hasil
sinyal elektrik dan kemudian ditransformasi tersimpan dalam memori alat dan dapat
menjadi konsentrasi analit menggunakan dikirimkan ke sistem informasi kesehatan
kurva kalibrasi yang tersimpan dalam rumah sakit. 4,11
memori meter. Perangkat lunak meter dan

6
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

10. 11. 12. 13. 14.

Gambar 10. Ikatan FETL dan antibodi monoklonal. 9


Gambar 11. Ikatan antibodi monoklonal dengan FETL dan substrat. 9.
Gambar 12. Saat time gate rusak, FETL bebas maupun terikat memasuki zona deteksi.. 9
Gambar 13. Saat kompleks analit-FETL-antibodi melewati zona deteksi antibodi imobilisasi
spesifik terhadap analit, kompleks ini tertangkap pada titik tersebut. 9
Gambar 14. FETL bebas melewati zona deteksi menuju tempat pembuangan. Sisa plasma
melewati dan membilas zona deteksi. 9

15. 16.

Gambar 15. Jalan pemeriksaan Alere Triage Meter. 9


Gambar 16. Contoh cetakan hasil pemeriksaan Alere Triage Meter. 7

HASIL
Sensitivitas analitik Alere cTnI dapat
mendeteksi kadar terendah yang mendekati
nilai nol dengan CI 95% dan pada persentil
95th troponin I ada pada nilai 0.01 ng/mL.
Kisaran pengukuran kadar cTnI Alere antara
0.01 10 ng/mL. Tidak terdapat hook effect
pada kadar sampai dengan 2.870 ng/mL.
Pengukuran presisi didapatkan dengan
menggunakan 80 replicates yang didapatkan
dari 40 tes yang dilakukan selama 20 hari
dengan 2 kali pemeriksaan/ har

7
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Tabel 1. Presisi sampel plasma Alere Triage Troponin I Test. 4


Analit Sampel Rerata Presisi within run Presisi total
kontrol perlakuan SD % CV SD % CV
Troponin I Low 0.06 0.01 16 0.01 16.7
(ng/mL) High 5.0 0.5 9.9 0.6 11

Spesifikasi kontrol kualitas yang 0.01 ng/mL sampai dengan 0.065 ng/mL
diijinkan dari produk ini adalah dengan dengan CI 90% didapatkan nilai pada
presisi % CV untuk troponin I adalah 8.4- persentil 99th adalah 0.02 ng/mL sampai
19.4%. Konsentrasi troponin I didapatkan dengan 0.03 ng/mL. 4
dari 989 sampel sehat, dengan kisaran nilai <

Tabel 2. Persentil Troponin I.4 (Anonim, 2014)


Analit Persentil 95 Persentil 97.5 Persentil 99
Troponin I (ng/ml) 0.01 0.01 0.02

Dari tabel diatas maka diambil batas Interferensi lain dapat ditimbulkan
konsentrasi troponin I pada individu sehat oleh karena adanya HAMA (Human anti-
adalah < 0.02 ng/mL. 4 mouse antibodies) dalam sampel. Meskipun
pencegahan telah diambil untuk
PEMBAHASAN meminimalisasi interferensi ini, seharusnya
Tidak ada interferensi hemoglobin menjadi catatan bahwa hasil keliru mungkin
sampai kadar 100 mg/ dl, kolesterol sampai terjadi pada pasien yang memiliki antibodi
kadar 280 mg/ dl, trigliserid sampai dengan heterofilik. Selain itu, technical or
kadar 500 mg/ dl, bilirubin terkonjugasi procedural errors dapat mengakibatkan
sampai dengan kadar 2 mg/ dl). Tidak ada erroneus results.
salah satupun dari obat di bawah ini
mempengaruhi hasil Troponin I. Obat-
obatan yang dimaksud antara lain
Acetaminophen, Activase, Albuterol,
Alprazolam, Amlodipine, Amoxicillin,
Ascorbic Acid, Aspirin, Atenolol,
Atorvastatin, Caffeine, Cephalexin,
Dextromethorphan, Digoxin,
Diphenhydramine, Dopamine, Doxycycline,
Eryhtomycin, Furosemid, Heparin,
Hydrochlortiazide, Hydrocodone, Ibuprofen,
Levothyroxine, Lisinopril, Loratadine,
Metoprolol, Nicotinr, Nicotinic acid,
Nitroglycerine, Prednison,
Prochlorperazine, Sertraline, Verapamil,
Warfarin dan Zolpidem. Cross Reactivity
dengan protein yang lain ditunjukkan dalam
Tabel 3. 4

8
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Tabel 3. Cross Reactivity with Related Protein. 4


CKMB Troponin I BNP
Protein ng/ ml % Cross % Cross Reactivity % Cross
Reactivity Reactivity
CKBB 500 2.0 -- --
CKMM 5000 0.0 -- --
cTnC 2000 -- 0.0 --
cTnT 2000 -- 0.0 --
sTnI 1000 -- 0.0 --
sTnT 1000 -- 0.0 --
ANP 1 -- -- 0.2
NT-proANP 1 -- -- 0.0
ProBNP 0.5 -- -- 2.6
NT-proBNP 1 -- -- 0.1
CNP 1 -- -- 0.0

Pitfalls yang mungkin timbul pada tahap


Berbagai pitfalls mungkin timbul analitik antara lain pengguna tidak/ salah
pada berbagai tahap pemeriksaan baik pada memasukkan identitas pasien pada Meter
tahap preanalitik, analitik maupun paska serta pengguna memindah test device
analitik. Pitfalls pada tahap praanalitik sebelum spesimen tereabsorbsi sempurna.
berupa kesalahan dalam pengumpulan dan Pitfalls pada tahap paska analitik biasanya
persiapan spesimen, misalnya penggunaan berupa tidak dilakukan pengecekan kabel
spesimen selain whole blood/ plasma atau transmisi sehingga data tidak masuk LIS/
whole blood > 1 jam atau plasma > 2 jam, komputer. Selain itu seringkali tidak
penggunaan antikoagulan selain K2EDTA dilakukan pencetakan (print hasil) namun
dan tabung selain tabung plastik K2EDTA, langsung membaca di layar dan salah
penggunaan pipet transfer tidak benar interpretasi serta dokumentasi. Seringkali
sehingga sampel tidak tepat 250 l, siklus pengguna lalai melakukan pemeriksaan
beku cair 1x, penggunaan sampel ulang apabila memperoleh hasil erroneus
hemolisis dan lipemik. Kesalahan yang lain result. Apabila tidak menggunakan koneksi
berupa kesalahan prosedur penyimpanan, komputer, pengguna lupa bahwa kapasitas
transpor dan handling seperti suhu memori 750 pasien kemudian tidak
penyimpanan test device di luar rentang 2- memindah data.
80C, suhu penyimpanan plasma >200C,
transpor spesimen pada suhu ekstrim, KESIMPULAN
kelalaian tidak memberi label tanggal dibuka Dari beberapa bahasan di atas dapat ditarik
pada kantong tempat test device, pemberian kesimpulan dan saran bahwa: 1. Cardiac
label dengan tinta berwarna/ fluorescent pen Troponin I merupakan baku emas marka
dan menandai di luar blank area, pemakaian enzim jantung untuk sindrom koroner akut,
test device melewati 10 hari setelah keluar 2. POCT Alere Triage Troponin I yang
dari kulkas (pengguna tetap mengira bisa menggunakan metode FIA (Fluorescent
menggunakan tanggal kadaluwarsa setelah Immunoassay) dapat digunakan untuk
dikeluarkan dari kulkas. Seringkali diagnosis awal infark miokard di Triage/
pengguna tidak melakukan kalibrasi dan QC Unit Gawat Darurat, 3. Kadar cTnI POCT
sesuai waktu yang disarankan serta Alere > 10 ng/ml dan < 0.02 ng/ ml dengan
menggunakan produk kontrol dan verifikasi klinis angina perlu dikaji ulang dengan
selain dari Alere. pemeriksaan laboratorium konvensional/

9
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

laboratorium sentral, 4. Penggunaan alat 6. Anonim 2, 2014. Kecepatan Pelayanan


Triage Meter cTnI perlu pelatihan dan Pemeriksaan Penunjang Serangan
ketelitian guna mengantisipasi dan Jantung di RSUD dr. Moewardi.
mengatasi berbagai pitfalls, 5. Perlu analisis http://rsmoewardi.jatengprov.go.id/dtlber
perbandingan berbagai POCT Troponin I ita-64-kecepatan-pelayanan-
untuk menemukan baku emas POCT pemeriksaan-penunjang-serangan-
Troponin I. jantung-di-rsud-dr-moewardi.html (5
Mei 2016)
7. IBMS, 2010. Point of Care Testing
TINJAUAN PUSTAKA (Near-Patient Testing) Guidance on The
1. Melati, Rima et al., 2008. Relationship Involvement of The Clinical Laboratory:
Between Job Strain and Myocardial Version 2. London: Institute of
Infarction in The National Biomedical Science.
Cardiovascular Center Patients. www.ibms.org/publications (20 April
https://www.google.nl/url?sa=t&rct=j&q 2016)
=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja 8. Koshy, Thomas. 2013. The Point of Care
&uact=8&ved=0ahUKEwiA7YaA8srM Quality Control Debate.
AhVG1RQKHZ93DasQFghNMAY&url www.pointofcare.net/2_QC
=http%3A%2F%2Findonesia.digitaljour paradigms-Koshy- POCC.pdf (3 Mei
nals.org%2Findex.php%2Fkaridn%2Fart 2016)
icle%2Fdownload%2F331%2F327&usg 9. Pinanditya, Satria Fx., 2016. Triage
=AFQjCNEe1QcRtZ4cqzA2V5Cya4D6 Meter Pro Edit for Training AAM pdf.
x_HLBw&bvm=bv.121421273,d.ZGg Satria.pinanditya@alere.com (4 Mei
(6 Mei 2016) 2016)
2. PERKI, 2015. Pedoman Tata Laksana 10. Koshy, Thomas dan Kenneth F.
Sindrom Koroner Akut Edisi ke-3. Buechler, 2013. The Triage System.
Jakarta: PERKI. www.slideshare.net/mobile/santemassote
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedo rapia/the-immuassay-handbook-parte54
man_tatalaksana_Sindrom_Koroner_Ak (5 Mei 2016)
ut_2015.pdf (3 Mei 2016) 11. Amundson, Berret E.; Apple, Fred S.,
3. Apple, F. 2004. NACB Guidelines: 2014. Cardiac troponin assays: a review
Prepared by F Apple (032604) - Version of quantitative point-of-care devices and
6 Chapter 3a: Analytical: ACS and their efficacy in the diagnosis of
Biomarkers - Cardiac Troponin and myocardial infarction.
CKMB. (1 Mei 2016) medi-
www.laboratoriomorales.com.br/.../Marc lab.hu/upload/content/14_2014_Amunds
adores_de_Coronariopatia.pdf on_cTnI.pdf (28 April 2016)
4. Anonim, 2014. Triage Cardio Product 12. Adsul, Neeraj, 2014. Fluorescence
Insert. California: Alere San Diego, Inc. Detection Based Point-Of-Care
http://www.alere.com/en/home/product- Diagnostics Platforms: Bridging the gap
details/triage-troponin-i.html between laboratory and market.
http://media.alere.net/meterpro-demo- https://www.google.nl/url?sa=t&rct=j&q
unity/ =&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja
5. Wlazel, et al., 2015. A New Generation &uact=8&ved=0ahUKEwjfsr__zcPMAh
of Biomarkers Tests of Myocardial WGBsAKHZbAChQQFgglMAE&url=ht
Necrosis: The Real Quality a Physician tps%3A%2F%2Fnanoelectronics.unibas.
can get from the Laboratory. ch%2Fpublications%2Ftheses%2F2013_
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article Thesis_Neeraj_Adsul.pdf&usg=AFQjC
s/PMC4318227/ NETiUx8VCv_Dq8OLt-3ftUbZpYksA

10
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

13. Wild, David et al., 2013. The FeTl+alere&source=bl&ots=kDbmjHG4


Immunoassay Handbook 4th Edition: FU&sig=a7SbYlayAeUMTlq0-
Theory and application of ligand xe1kX5XZ4A&hl=en&sa=X&ved=0ah
binding, ELISA and related techniques. UKEwjD76Ky-
UK: Elsevier. 8HMAhUCIMAKHTsHDlAQ6AEIJTA
https://books.google.nl/books?id=xuYf6t B#v=onepage&q=FeTl%20alere&f=fals
cVdqYC&pg=PA543&lpg=PA543&dq= e (5 Mei 2016)

11
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

PERBANDINGAN EFEK PENAMBAHAN MEDIZOLAM DENGAN EPINEPHRINE


TERHADAP LIDOCAINE HYPERBARIC PADA SPINAL ANESTHESI

Purwoko, Husni Thamrin, Bara Adithya


Anesthesiologi & Terapi Intensif RSUD Dr. Moewardi / FK UNS Surakarta

ABSTRAK
Pendahuluan:
Anestesi spinal dengan Lidokain memiliki lama kerja yang pendek. Penambahan midazolam pada
lidokain dapat memperpanjang durasi blockade spinal anestesi baik itu blockade sensorik dan
motorik.
Tujuan:
Menganalisis perbandingan efek penambahan midazolam dan epinefrin terhadap lidokain
terhadap mula kerja dan lama kerja blokade sensorik dan motorik pada anestesi spinal serta efek
terhadap hemodinamik.
Metode:
Penelitian menggunakan Double Blind Randomized Control Trial pada 30 pasien ASA 1 dan 2
yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dan ekstremitas bawah dengan spinal anestesi.
Penelitian dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok pertama yaitu kelompok control
Lidokain (Lidokain 75 mg hiperbarik+Nacl 0,9% 0,2 mL), kelompok kedua yaitu kelompok
Lidokain+Midazolam (Lidokain 75 mg hiperbarik+Midazolam 0,2 mg) dan kelompok ketiga
yaitu kelompok Lidokain+Epinefrin (Lidokain 75 mg hiperbarik+Epinefrin 0,2 mg). Data dicatat
meliputi mula kerja dan lama kerja blokade sensorik dan motorik. Blokade sensorik dinilai
dengan pin prick test dan blokade motorik dinilai dengan Bromage score. Waktu mulai
regresi sensorik dan mulai dibutuhkannya analgesi dicatat. Data hemodinamik dan kejadian yang
terjadi selama operasi pada menit ke5,10, 15, 30, 45, 60, 90, 120,150, 180 dan 210 diawasi dan
ditangani sesuai prosedur klinik serta di catat efek samping yang muncul pada saat durasi spinal
anestesi
Hasil:
Mula kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal pada kelompok Lidokain+Midazolam
terbukti lebih cepat dibandingkan dengan Lidokain+Epinefrin (p < 0.001). Lama blokade
sensorik dan motorik anestesi spinal pada kelompok Lidokain+Midazolam terbukti lebih panjang
dibandingkan dengan fentanil (p < 0.001). gejolak hemodinamik pasien antar kelompok
perlakuan tidak terdapat perbedaan signifikan secara statistic (p >0,05)
Kesimpulan :
Penambahan midazolam pada lidokain secara spinal anestesi memiliki mula kerja lebih cepat dan
lama kerja lebih panjang dibandingkan dengan penambahan epinefrin tetapi gejolak
hemodinamik serta efek samping yang muncul antar kelompok tidak berbeda bermakna.

Kata Kunci : Spinal anestesi, midazolam, epinefrin, intratekal, mula kerja dan lama kerja,
blockade sensorik dan motoric

12
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

PENDAHULUAN dengan lidokain hiperbarik telah menjadi


Obat-obat anestesi lokal yang digunakan popular untuk prosedur pembedahan singkat
pada pembedahan harus memenuhi karena onset yang dapat diprediksikan dan
persyaratan yaitu blokade motorik dan menghasilkan blokade sensorik dan motorik
sensorik yang adekuat, mula kerja yang dengan durasi yang moderat. Pemilihan
cepat, tidak neurotoksik dan pemulihan terhadap lidokain telah didasarkan pada
blokade motorik yang cepat paska operasi penelitian dan penggunaan yang aman
yang selanjutnya mobilisasi dapat dilakukan selama beberapa dekade. 6
secepatnya. Hal ini tentunya akan Pengelolan operasi dengan teknik
mengurangi resiko toksisitas sistemik serta anestesi neuroaksial blok terutama spinal
memberikan kenyamanan pada pasien anestesi saat ini banyak digunakan pada
sehingga akhir-akhir ini banyak dilakukan kasus-kasus operasi abdomen bagian bawah,
penelitian terhadap penggunaan dosis rendah seksio sesaria, prosedur ortopedi,
obat lokal anestesi. 1,2 Anestesi spinal dapat pengelolaan analgesi periopertif dan
dilakukan dengan pemberian obat anestesi manajemen nyeri kronik baik itu digunakan
lokal seperti lidokain secara intratekal. secara tunggal atau kombinasi dengan
Pemakaian lidokain intratekal dapat general anestesi. Praktek anestesi regional
memberikan potensi analgesi yang cukup terutama spinal anestesi pada saat ini
kuat, dengan mula kerja analgesi yang cepat menjadi teknik pilihan yang banyak
tetapi lama kerja analgesi yang relatif digunakan oleh ahli anestesi untuk operasi-
pendek 30 60 menit (Stoelting dan Hilier, operasi terutama untuk operasi bagian
2006). Midazolam merupakan salah satu abdomen bagian bawah sampai ektremitas
obat yang paling sering digunakan dalam bawah. Pemilihan obat lokal anestesi pada
praktek anestesi dan tatalaksana perioperatif spinal anestesi oleh banyak ahli yang banyak
tetapi penggunaan spinal anestesi dengan digunakan yaitu bupivakain dan lidokain.
penambahan midazolam merupakan teknik Lidokain banyak dipilih untuk operasi
yang relatif baru dalam praktek anestesi. dengan durasi singkat, sedangkan pada
Penambahan midazolam dalam spinal prakteknya lidokain banyak ditambahkan
anestesi secara signifikan meningkatkan dengan obat adjuvat atau obat tambahan.
durasi serta kualitas dari blokade spinal Penggunaan adjuvan yang lazim digunakan
anestesi. 3 Obat vasokontriktor terutama untuk lidokain adalah epinefrin sedangkan
epinefrin adalah obat yang banyak adjuvan midazolam masih belum banyak
digunakan sebagai tambahan dalam lokal digunakan oleh ahli anestesi. Pada praktek
anestesi dan mempunyai sejarah panjang sehari-hari blok Subarachnoid dengan
dalam penggunaan dalam praktek klinis. menggunakan lidokain hiperbarik banyak
Penggunaan epinefrin pada neuroaksial digunakan pada operasi yang singkat untuk
anestesi untuk memperpanjang efek anestesi pasien dengan berbagai kondisi klinik,
tetapi juga dapat menurunkan puncak kadar meskipun kerugian yang muncul dari teknik
dalam darah sehingga memperpanjang ini adalah seperti hipotensi dan bradikardi
blokade, intensitas anestesi dan analgesia. 5 serta analgesi operasi yang singkat.
Anestesi spinal merupakan salah satu Penambahan epinefrin dapat
metode pengelolaan anestesi regional yang memperpanjang durasi lidokain tetapi tidak
dapat mengendalikan nyeri operasi dengan mempengaruhi tinggi blok dermatom dareah
cukup efektif. Kesadaran pasien anestesi lumbal kearah cepalad. 4
spinal dapat dipertahankan sehingga lebih Penulis tertarik untuk meneliti
aman digunakan pada pasien yang belum bagaimana kecepatan mula kerja,
cukup puasanya atau lambung penuh, pemanjangan lama kerja blokade sensorik
pemulihan pasca operasi yang cukup baik dan motorik anestesi spinal, termasuk
tanpa menimbulkan komplikasi, serta secara tertarik untuk meneliti pengaruhnya
ekonomi lebih murah. 4 Spinal anestesi terhadap gejolak hemodinamik yang muncul
13
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

serta kejadian efek samping merugikan obat h Riwayat gangguan penyalahgunaan


yang mungkin muncul pada perbandingan obat-obatan NAPZA atau gangguan
antara penambahan midazolam dengan psikiatrik
epinefrin terhadap lidokain yang diberikan i Menolak menandatangani informed
secara anestesi spinal. consent
j Kegagalan anestesi spinal (Obat
METODE anestesi spinal tidak masuk kedalam
Penelitian ini merupakan double blind ruang Sub-Arachnoid).
randomized control trial untuk Penelitian ini Menggunakan Skala
membandingkan pengaruh penambahan Bromage untuk menilai Blokade Motorik,
Midazolam 1 mg dengan Epinefrin 0,2 mg Test Pin Prick untuk menilai Ketinggian
pada Lidokain 75 mg hiperbarik yang Blokade Sensorik dan Skala Nyeri Numerik
diberikan sebagai anestesi spinal, dengan (NRS) untuk menilai derajat nyeri pasien.
menilai perbedaan kecepatan onset dan Penelitian dilaksanakan di ruang
pemanjangan durasi blokade sensorik dan Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr.
motorik, gejolak hemodinamik dan efek Moewardi Surakarta dan telah mendapatkan
samping obat yang muncul. persetujuan komite etik. Tata Cara
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Penelitian adalah sebagai berikut
Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi 1. Pasien rencana operasi dengan rencana
Surakarta dengan jumlah sampel sebanyak spinal anestesi yang masuk criteria
30 subjek terdiri dari 3 kelompok perlakuan, inklusi dan telah menyetujui inform
kelompok LM (mendapat perlakuan consent mengenai tata cara, tujuan, serta
Lidokain ditambah Midazolam) sebanyak 10 manfaat penelitian dan dilakukan
subjek, kelompok LE (mendapat perlakuan randomisasi
Lidokain ditambah epinefrin) sebanyak 10 2. Dilakukan identifikasi identitas (nama,
subjek dan kelompok L (mendapat jenis kelamin, nomer rekam medis),
perlakuan Lidokain) sebanyak 10 subyek. berat badan, dan monitoring tanda vital
Kriteria Inklusi pada penelitian ini (Tekanan darah, nadi, suhu badan,
a Semua pasien yang dijadwalkan operasi saturasi oksigen)
abdomen bagian bawah atau ekstremitas 3. Dilakukan preloading dengan cairan
bawah dengan usia 20-59 tahun. Ringer laktat sebanyak 10 mL/kgBB
b Pasien dengan status fisik ASA I dan dan di catat data hemodinamik awal
ASA II. 4. Dilakukan spinal anestesi dengan posisi
c Lama Operasi kurang dari atau sama duduk, puncture pada L3-4 pada garis
dengan 3 jam. tengah sampai didapatkan aliran LCS,
Kriteria Eksklusi Penelitian digunakan obat lokal anestesi Lidokain
a Obesitas Morbid (BMI > 40 Hiperbarik 75 mg+Nacl 0,2 mL atau
kgBB/m2 LB). dengan penambahan Midazolam 1 mg
b Denyut jantung sebelum operasi <45 atau dengan penambahan Epinefrin 0,2
x/menit. mg
c AV-blok derajat II dan III 5. Dicatat mula kerja blokade sensorik dan
d Menggunakan obat antihipertensi motorik, level blokade sensorik
dengan Metildopa, Clonidine dan tertinggi,
agonis -adrenergik lainnya 6. Diobservasi: tekanan darah, laju nadi,
e Kelainan jantung berat (hipertensi tidak saturasi O2 dan efek samping obat setiap
terkontrol, hipertensi akut dan gangguan 5 menit pada 30 mnt I, 10 menit pada 30
koroner yang berat) menit II, 15 menit 30 menit III sampai
f Hamil operasi selesai, dan selanjutnya setiap
g Alergi terhadap obat-obatan anestesi 30 menit sampai blokade hilang
(Bromage 0).
14
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

7. Paska operasi Dicatat waktu NRS normalitas mengunakan uji Shapiro Wilk,
sampai 3, waktu pertama kali dapat dimana data dikatakan normal jika nilai
menggerakkan ekstremitas bawah, dan p>0,05. Hasil uji normalitas apabila
saat dapat gerak sempurna, diobservasi berditribusi normal maka dilakukan uji beda
tekanan darah, laju nadi, saturasi O2 mengunakan uji Anova, jika tidak
dan mual, muntah setiap 30 menit berdistribusi normal menggunakan uji
Data yang didapatkan dilakukan analisis Kruskal Wallis.
dengan menggunakan komputer. Data
demografi dan hasil penelitian dinilai HASIL
apakah distribusinya normal atau tidak. Berdasarkan hasi penelitian yang telah
Untuk penguji efek penambahan midazolam dilakukan pada 30 pasien yang menjalani
1 mg dengan epinefrin 0,2 mg terhadap operasi dengan spinal anestesi pada Instalasi
lidokain hiperbarik menggunakan uji beda Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi
antara 3 kelompok perlakuan. Penelitian ini Surakarta, didapatkan gambaran
menggunakan data numeric sehingga karakteristik subyek penelitian sebagai
sebelum uji statistik, dilakukan uji berikut.

Tabel 1. Karakteristik Dasar Subyek Penelitian

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang
distribusi pasien antara laki-laki (53,3%) dan signifikan antar kelompok perlakuan.
perempuan (46,7%) hampir sebanding Perbandingan reponden berdasarkan
antara kedua jenis kelamin, Nilai p= 0,875 usia diketahui bahwa pada kelompok
(p>0,05), yang berarti bahwa tidak terdapat Lidokain (L) rata-rata dengan usia 51.60
perbedaan yang signifikan perbandingan +4.35 tahun, Lidokain+Epinefrin (LE) rata-
jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin rata dengan usia 51.90 +10.58 tahun, dan
antar kelompok perlakuan. pada kelompok Lidokain+Midazolam (LM)
Perbandingan reponden berdasarkan tingkat rata-rata dengan usia 42.10 +15.28 tahun.
pendidikan sebagian besar dengan Nilai p=0.174 (p>0,05), yang berarti bahwa
pendidikan SMA yaitu ada 80% pada tidak terdapat perbedaan yang signifikan
kelompok Lidokain (L), pada kelompok antar kelompok perlakuan.
Lidokain+Epinefrin (LE) sebagian besar Perbandingan reponden berdasarkan
dengan pendidikan SMP yaitu ada 50 %, dan tinggi badan diketahui bahwa pada
pada kelompok Lidokain+Midazolam (LM) kelompok Lidokain (L) tinggi badan 159.60
juga sebagian besar dengan pendidikan SMP +8.68 cm, Lidokain+Epinefrin rata-rata
yaitu ada 50%. Nilai p=0.089 (p>0,05), yang dengan tinggi badan 159.70 +6.48 cm, dan

15
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

pada kelompok Lidokain+Midazolam (LM) kelompok Lidokain+Midazolam (LM) rata-


rata-rata dengan tinggi badan 158.20 +9.22 rata dengan berat badan 54.90 + 12.52 Kg.
cm. Nilai p=0.942 (p>0,05), yang berarti Nilai p=0.160 (p>0,05), yang berarti bahwa
bahwa tidak terdapat perbedaan yang tidak terdapat perbedaan yang signifikan
signifikan antar kelompok perlakuan. antar kelompok perlakuan.
Perbandingan reponden berdasarkan Berdasarkan hasil pengukuran diatas
berat badan diketahui bahwa pada kelompok diketahui bahwa semua karakteristik pasien
Lidokain (L) rata-rata dengan berat badan mendapatkan nilai p>0,05, sehingga dapat
61.40 +7.60 Kg, pada kelompok dikatakan bahwa karakteristik pasien dalam
Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan penelitian ini telah homogen.
berat badan 53.80 +6.58 Kg, dan pada

Tabel 2. Onset dan Lama Kerja Blokade Sensorik

Timbul blokade sensorik setinggi T10 kelompok pasien yang diberi


dengan (NRS 3) pada kelompok Lidokain Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan
(L) 2.27 +0.81 menit, pada kelompok waktu 84.90 +16.64 menit, dan pada
Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan kelompok Lidokain+Midazolam (LM) rata-
waktu 3.79 +1.50 menit, dan pada kelompok rata dengan waktu 76.50 +19.87 menit. Nilai
Lidokain+Midazolam (LM) rata-rata dengan p=0.001 (p<0,05), yang berarti bahwa
waktu 1.55 +0.49 menit. Nilai p=0.001 terdapat perbedaan yang signifikan
(p<0,05), yang berarti bahwa terdapat perbandingan waktu terjadinya T12 pada
perbedaan yang signifikan perbandingan pasien antar kelompok perlakuan.
waktu terjadinya T10 (NRS<3) pada pasien Regresi sensorik setinggi T12 pada
antar kelompok perlakuan. kelompok Lidokain (L) rata-rata pada waktu
Blokade sensorik pada T10 pada 54.50 +8.96 menit, pada kelompok
kelompok Lidokain (L) yaitu 3.00 +1.08 Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan
menit, pada kelompok Lidokain+Epinefrin waktu 84.90 +16.64 menit, dan pada
(LE) rata-rata dengan waktu 4.86 +1.23 kelompok Lidokain+Midazolam (LM) rata-
menit, dan pada kelompok rata dengan waktu 76.50 +19.87 menit. Nilai
Lidokain+Midazolam (LM) rata-rata dengan p=0.001 (p<0,05), yang berarti bahwa
waktu 2.33 +0.55 menit. Nilai p=0.000 terdapat perbedaan yang signifikan
(p<0,05), yang berarti bahwa terdapat perbandingan waktu terjadinya T12 pada
perbedaan yang signifikan perbandingan pasien antar kelompok perlakuan.
waktu terjadinya T10 pada pasien antar Nyeri daerah operasi sudah bertambah
kelompok perlakuan. nyeri dan pasien mulai memerlukan
Regresi sensorik setinggi T12 pada analgetik (VAS 3) pada kelompok
kelompok yang diberi Lidokain (L) rata-rata Lidokain (L) rata-rata pada waktu 84.00
pada waktu 54.50 +8.96 menit, pada +12.65 menit, pada kelompok

16
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa


waktu 141.00+14.49 menit, dan pada kombinasi Lidokain+Midazolam memiliki
kelompok Lidokain+Midazolam (LM) rata- onset blokade sensorik yang lebih cepat dan
rata dengan waktu 153.00+33.02 menit. durasi kerja yang lebih panjang
Nilai p=0.001 (p<0,05), yang berarti bahwa dibandingkan dengan kelompok perlakuan
terdapat perbedaan yang signifikan yang lain.
perbandingan waktu terjadinya T12 pada
pasien antar kelompok perlakuan.

Tabel 3. Blokade Motorik

Bromage 1 pada kelompok Lidokain 57.50 + 5.40 menit, pada kelompok


(L) rata-rata pada waktu 1.42 +0 .67 menit, Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan
pada kelompok Lidokain+Epinefrin (LE) waktu 87.00 + 9.49 menit, dan pada
rata-rata dengan waktu 2.79 + 1.32 menit, kelompok Lidokain+Midazolam (LM) rata-
dan pada kelompok Lidokain+Midazolam rata dengan waktu 98.00 + 33.93 menit.
(LM) rata-rata dengan waktu 0.74 + 0.46 Nilai p=0.000(p<0,05), yang berarti bahwa
menit. Nilai p=0.000(p<0,05), yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan perbandingan waktu terjadinya bromage 2
perbandingan waktu terjadinya bromage 1 pada pasien antar kelompok perlakuan.
pada pasien antar kelompok perlakuan. Bromage 0 Dapat mengangkat lutut
Bromage 3 tidak mampu dan telapak kaki, pada kelompok Lidokain
menggerakkan kaki atau telapak kaki, pada (L) rata-rata pada waktu 84.00 + 12.65
kelompok Lidokain (L) rata-rata pada waktu menit, pada kelompok Lidokain+Epinefrin
2.06 +0.53 menit, pada kelompok (LE) rata-rata dengan waktu 135.00 + 21.21
Lidokain+Epinefrin (LE) rata-rata dengan menit, dan pada kelompok
waktu 3.68 + 1.40 menit, dan pada Lidokain+Midazolam (LM) rata-rata dengan
kelompok Lidokain+Midazolam (LM) rata- waktu 144.00 + 27.57 menit. Nilai
rata dengan waktu 1.38 +0.46 menit. Nilai p=0.000(p<0,05), yang berarti bahwa
p=0.000(p<0,05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
terdapat perbedaan yang signifikan perbandingan waktu terjadinya bromage 0
perbandingan waktu terjadinya bromage 3 pada pasien antar kelompok perlakuan.
pada pasien antar kelompok perlakuan. Berdasarkan tabel 3 dididapatkan
Bromage 2 Tidak mampu fleksi lutut, bahwa kombinasi Lidokain + Midazolam
tetapi mampu fleksi telapak kaki, pada memiliki onset blokade motorik yang lebih
kelompok Lidokain (L) rata-rata pada waktu

17
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

cepat dan durasi blokade motorik yang lebih panjang.

Tabel 4. Tanda Vital Pasien

Tekanan darah sistolik rata-rata 30 p=0,080 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak
menit setelah perlakuan pada kelompok terdapat perbedaan yang signifikan
dengan nilai p=0.202 (p>0,05), yang berarti perbandingan laju nadi pasien antar
bahwa tidak terdapat perbedaan yang kelompok perlakuan 30 menit setelah
signifikan perbandingan tekanan darah perlakuan.
sistolik pada pasien antar kelompok Berdasarkan hasil pengolahan data
perlakuan 30 menit setelah perlakuan. secara statistik tidak terdapat perbedaan
Tekanan darah diastolik rata-rata 30 yang signifikan tanda vital pasien antara
menit setelah perlakuan pada kelompok kelompok perlakuan. Dengan demikian
dengan nilai p=0.0,097 (p>0,05), yang kombinasi pemberian Lidokain yang
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang ditambah dengan Epinefrin dan Midazolam
signifikan perbandingan tekanan darah tidak berdampak pada perubahan tanda vital
diastolik pasien antar kelompok perlakuan pasien dibandingkan dengan kontrol, yang
30 menit setelah perlakuan. berupa tekanan darah sistolik dan diastolik,
MAP rata-rata 30 menit setelah MAP, Laju Nadi, Dan SpO2.
perlakuan pada kelompok dengan nilai Secara statistik efek samping dari
p=0,342 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ketiga kombinasi obat tersebut tidak berbeda
terdapat perbedaan yang signifikan signifikan dan efek samping yang terjadi
perbandingan MAP pasien antar kelompok tidak terlalu banyak, sehingga penggunaan
perlakuan 30 menit setelah perlakuan kombinasi obat tidak berdampak pada
Laju nadi rata-rata 30 menit setelah meningkatnya efek samping.
perlakuan pada kelompok dengan nilai

Gambar 1. Efek Samping

18
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

PEMBAHASAN cepat, pemanjangan durasi regresi 2 segmen


Penggunaan Lidokain secara intrathecal dermatom dan memperpanjang durasi
memerlukan perhatian karena adanya analgesik efektif. Pemberian midazolam
laporan timbulnya efek neurotoksis setelah intratekal menunjukkan efek analgesik dari
pemberian preparat ini. Beberapa penelitian benzodiazepine yang berefek pada supresi
pada hewan percobaan tikus dan kelinci antinosiseptik karena pengeluaran opioid
ditemukan adanya kerusakan pada medula endogen yang bekerja pada reseptor delta
spinalis, serabut saraf spinal, atau meningen. pada spinal. 6,7
Sedangkan beberapa penelitian lain pada
hewan percobaan menunjukkan midazolam KESIMPULAN
intrathecal tidak menyebabkan perubahan Berdasarkan hasil penelitian yang telah
morfologi histopatologikal pada medula dilakukkan pada pasien yang menjalani
spinalis. Akan tetapi beberapa penelitian pembedahan abdomen bagian bawah atau
pemberian Midazolam secara intrathecal ekstremitas bawah secara elektif dengan
pada manusia menunjukkan tidak adanya 17
anestesi spinal dengan ASA I dan II dengan
efek neurotoksis ini. Injeksi intrathecal umur antara 20 - 59 tahun, disimpulkan
tunggal Midazolam 2 mg tidak bahwa terdapat pengaruh penambahan
menyebabkan defisit neurologis dan midazolam 1 mg dengan epinefrin 0,2 mg
menghasilkan efek analgetik yang signifikan pada lidokain 75 mg hiperbarik yang
selama 2 bulan pada pasien dengan nyeri diberikan sebagai anestesi spinal pada
pinggang kronis. Intrathecal Midazolam perbedaan kecepatan onset dan pemanjangan
juga efektif setelah pembedahan tungkai durasi blokade sensorik dan motorik, dimana
bawah tanpa efek samping. Midazolam juga penambahan midazolam 1 mg pada lidokain
pernah digunakan secara infus kontinu 75 mg lebih efektif dalam kecepatan onset
dengan dosis kurang dari 6 mg per hari dan pemanjangan durasi blokade sensorik
untuk jangka waktu yang lama pada pasien dan motorik dibandingkan dengan
dengan nyeri muskuloskeletal dan nyeri penambahan epinefrin 0,2 mg. (p<0,05),
neurogenik yang refrakter. Dilaporkan Sedangkan panambahan midazolam 1 mg
bahwa pemberian Midazolam dan Klonidin dengan epinefrin 0,2 mg pada lidokain 75
intrathecal secara kontinu menghasilkan mg tersebut tidak berpengaruh pada
pemulihan nyeri yang komplit dan segera perubahan tanda vital dan juga tidak
yang tanpa toleransi atau efek samping. perpengaruh pada perubahan efek samping.
Pada penelitian lain menunjukkan hasil tidak (p>0,05).
ada efek neurotoksis pada pasien yang
dijadikan sampel percobaan. 8,9
Penambahan midazolam dalam
lidokain intratekal meningkatkan kualitas
blockade sensorik dengan onset yang lebih

10
19
Purwoko, Husni Thamrin, Bara Aditya ISSN: 2301-6736
Bagian Anesthesiologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

KEPUSTAKAAN 6. Selvaraj Venkatesh, Ray Tapan, 2015.


1. Motiani P., Chaudary S., Bahl N., Sethi Midazolam as an adjuvant to intrathecal
K., 2010, Intratechal Sufentanil lignocaine: A prospective randomized
VersusFentanyl for lower Limb control study. Saudi Journal of
Surgeries-Randomized Controlled Trial, Anesthesia. Vol 9 issue 4.
2010, www.Medind.nic.in, Diunduh 7. Kamali Alireza, Shokrpour Maryam,
tanggal 03-06-2016. Vantapour Khatereh, Majid G., 2012.
2. Cianni S., Rossi M., Casati A., Cocco Midazolam versus Neostigmin adding to
C., Fanelli G., Spinal anesthesia: an Lidocaine in Post operation pain in
evergreen Technique, 2008, Colporrhaphy surgery in Spinal
www.actabiomedica.it Diunduh tanggal Anesthesia. Journal of Family and
03-06-2016. Reproductive Health. Vol. 6 no 2.
3. Chattopadhyay Anirban, Souvik Maitra, 8. Kim, M.H., Lee, Y.M. 2001. Intrathecal
Suvadeep Sen. 2013. Midazolam in midazolam increases the analgesic
Subarachnoid Block: Current Evidence. effects of spinal blockade with
ISRN Anesthesiology. Vol 2013. bupivacain in patients undergoing
4. Butterworth John, Mackey David C., haemorrhoidectomy. British J of
2013. Spinal, epidural and caudal blocks. Anaesthesia. 86: 77-79
In: Morgan G.E., Mikhail M.S., eds. 9. Yun, J.M., Kim, Y.H., Kim, J.H., Kim,
Clinical Anesthesiology. 5th ed, New K.O., Oh, A.Y., Park, H.P. 2007.
York: McGraw Hill Co, p. 937-974.. Intrathecal Midazolam Added to
5. Hadzic Amir et al., 2007. Analgesic Bupivacain Prolongs the Duration of
Adjuvants in neuroaxial anesthesia, In : Spinal Blockade to T10 Dermatome in
Textbook of Regional Anesthesia and Orthopedic Patiens. Korean J
Acute Pain Management. New York: Anaesthesiology. 53(3): 22-28
McGraw Hill Co, p. 159-161.

18
20
Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi ISSN: 2301-6736
Bagian Obstetrik & Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

HUBUNGAN KEJADIAN HYPEREMESIS GRAVIDARUM DENGAN TINGKAT


PENDIDIKAN IBU HAMIL

Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi


Obstetrik dan Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK UNS Surakarta

ABSTRAK
Latar Belakang:
Hiperemesis gravidarum adalah salah satu komplikasi dari kehamilan yang dapat menyebabkan
morbiditas fetal dan maternal. Hiperemesis gravidarum merupakan kondisi multifaktorial, diduga
salah satu faktor risikonya adalah tingkat pendidikan ibu hamil. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara kejadian hiperemesis gravidarum dan tingkat pendidikan ibu hamil.
Metode:
Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan pendekatan cross sectional dimana teknik yang
digunakan adalah fixed disease sampling. Penelitian ini dilakukan di Surakarta. Peneliti
menggunakan besar sampel 40 orang sebanyak 20 ibu hamil dengan hyperemesis gravidarum dan
20 ibu hamil yang tidak mengalami hyperemesis gravidarum. Data dianalisis menggunakan uji
Chi Square dengan SPSS 22.0 for Windows.
Hasil:
Pada kelompok ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum terdiri dari 5 ibu hamil dengan tingkat
pendidikan rendah (12,5%) dan 15 ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi (37,5%). Pada
kelompok ibu hamil yang tidak mengalami hiperemesis gravidarum terdiri dari 13 ibu hamil
dengan tingkat pendidikan rendah (32,5%) dan 7 ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi
(17,5%). Hasil uji Chi Square menunjukkan probabilitas sebesar 0,0281 yang berarti terdapat
hubungan yang bermakna antara kejadian hyperemesis gravidarum dengan tingkat pendidikan ibu
hamil.
Kesimpulan:
Terdapat hubungan bermakna kejadian hyperemesis gravidarum dengan tingkat pendidikan ibu
hamil.

Kata kunci: hyperemesis gravidarum, tingkat pendidikan ibu hamil.

21
Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi ISSN: 2301-6736
Bagian Obstetrik & Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

PENDAHULUAN subjek pada penelitian ini adalah fixed


disease samping pada kelompok ibu hamil
Hiperemesis gravidarum (HG) merupakan yang mengalami hyperemesis gravidarum
mual dan muntah yang berlebihan selama dan random sampling untuk kelompok ibu
kehamilan. 1 Angka kejadian hiperemesis hamil yang tidak mengalami hyperemesis
gravidarum masih tergolong tinggi dan gravidarum. Setelah mendapatkan ethical
terkadang kondisi hiperemesis gravidarum clearance dari FK UNS/RSUD Dr.
yang terjadi terus menerus dan sulit sembuh Moewardi Surakarta dilanjutkan
dapat membuat pasien depresi. 2 Selain itu, pengambilan sampel dengan cara studi
hiperemesis gravidarum akan mengganggu rekam medik dan kasus poliklinik obstetric
waktu produktifitas kerja. 3 Hiperemesis ginekologi pada bulan Desember 2016. Data
gravidarum dapat menyebabkan morbiditas dianalisis menggunakan SPSS 22.0 for
yang signifikan bagi ibu dan janin seperti Windows dilakukan dengan metode Chi
kehilangan berat badan, dehidrasi, gangguan Square test untuk mengetahui hubungan
elektrolit, dan defisiensi nutrisi sehingga kejadian hyperemesis gravidarum dengan
dapat meningkatkan risiko melahirkan bayi tingkat pendidikan. Variabel terikat pada
dengan berat lahir rendah, melahirkan bayi penelitian ini adalah hyperemesis
secara prematur, dan skor APGAR kurang gravidarum dan variabel bebas dari
dari 7. 4,5 penelitian ini adalah tingkat pendidikan ibu
Beberapa faktor risiko yang sering hamil.
dihubungkan dengan hiperemesis
gravidarum yaitu usia dibawah 20 tahun, HASIL
nuliparitas, kehamilan ganda, tingkat
pendidikan rendah, dan janin berjenis Berikut karanteristik subyek ber dasarkan
kelamin perempuan. 6 Selain itu, faktor tingkat pendidikan, usia dan pekerjaan ibu.
psikologis juga sangat berpengaruh terhadap
kejadian hiperemesis gravidarum yaitu
apakah ibu dapat menerima kehamilannya
dan apakah kehamilannya diinginkan atau
tidak. 7
Dengan masih tingginya angka
kejadian hiperemesis gravidarum, maka
penulis tertarik untuk meneliti hubungan
antara hiperemesis gravidarum dengan
tingkat pendidikan ibu hamil.
Hipotesis dari penelitian ini adalah
adanya hubungan antara tingkat pendidikan
ibu hamil dengan kejadian hiperemesis
gravidarum dan terdapat peningkatan resiko
untuk mengalami hiperemesis gravidarum
pada ibu hamil dengan tingkat pendidikan
yang rendah.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian


observasional analitik dengan pendekatan
cross-sectional. Penelitian dilakukan di
karesidenan Surakarta. Teknik pengambilan

22
Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi ISSN: 2301-6736
Bagian Obstetrik & Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

Tabel 1. Distribusi tingkat pendidikan ibu

Hiperemesis Gravidarum Total p-value


Tingkat Pendidikan Positif N (%) Negatif N (%)
SD 1 (2.5%) 2 (5%) 3 (7.5%)
SMP 4 (10%) 11 (27.5%) 15 (37.5%) 0,08
SMA 6 (15%) 3 (7.5%) 9 (22.5%)
PT 9 (22.5%) 4 (10%) 13 (32.5%)

Tabel 2. Distribusi usia ibu

Hiperemesis Gravidarum Total p-value


Usia Positif N (%) Negatif N (%)
<20 tahun 2 (5%) 0 (0%) 2 (5%)
20-35 tahun 18 (20%) 17 (42,5%) 35 (87,5%) 0,08
>35 tahun 0 (0%) 3 (7,5%) 3 (7,5%

Tabel 3. Distribusi pekerjaan

Hiperemesis Gravidarum Total p-value


Pekerjaan Positif N (%) Negatif N (%)
Ibu Rumah Tangga 13 (32,5%) 14 (35%) 27 (67,5%)
Pekerja 7 (17,5%) 6 (15%) 13 (32,5%) 0,73

Pada Tabel 1, 2 dan 3 tampak bahwa


subjek kelompok hyperemesis gravidarum
positif dan negatif tergambar homogen
(p>0.05)

Tabel 4 Hasil analisis data menggunakan uji Chi Square untuk mengetahui hubungan tingkat
Kejadian Hiperemesis Gravidarum dengan Tingkat Pendidikan

HG
Tingkat Pendidikan Positif Negatif p-value PR
N (%) N (%)
Rendah (<12 tahun) 5 (12.5%) 13 (32.5%) 0,03 0,045
Tinggi (12 tahun) 15 (37.5%) 7 (17.5%) (0,1835-0,9047)

Pada tabel 2 tampak bahwa terdapat PEMBAHASAN


hubungan yang bermakna antara hyperemis
gravidarum dan tingkat pendidikan Salah satu faktor yang berpengaruh dalam
(p<=0,05). terjadinya hiperemesis gravidarum adalah
tingkat pendidikan yang rendah. 6 Namun,
hasil penelitian ini menunjukkan hal yang
sebaliknya dimana ibu hamil dengan tingkat
pendidikan tinggi memiliki risiko lebih

23
Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi ISSN: 2301-6736
Bagian Obstetrik & Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

tinggi mengalami hiperemesis gravidarum Hamil tentang Hiperemesis Gravidarum


daripada ibu hamil dengan risiko pendidikan dimana p= 0,002 (p<0,05) yang mempunyai
rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh hubungan bermakna antara tingkat
kecenderungan untuk mengalami guncangan pendidikan ibu hamil dengan hiperemesis
dan terjadi stress lebih besar pada ibu hamil gravidarum. 9
dengan tingkat pendidikan tinggi. Hasil penghitungan rasio prevalensi
Seseorang yang mengalami stress akan pada penelitian ini didapatkan hasil PR=
meningkatkan system syaraf simpatis untuk 0,045 (PR<1). Hal ini berarti tingkat
melepaskan hormon adrenalin dan kortisol. pendidikan ibu hamil rendah merupakan
Kadar kortisol dan adrenokortikopik yang faktor protektif terjadinya hiperemesis
lebih tinggi dialami pada ibu hamil dengan gravidarum sehingga tingkat pendidikan ibu
hiperemesis gravidarum. 8 Hal ini hamil tinggi merupakan faktor risiko
menandakan bahwa hiperemesis gravidarum terjadinya hyperemesis gravidarum.
berhubungan dengan psikis dan stress. Stress Kelemahan penelitian ini adalah hanya
mental dapat menyebabkan aktivitas meneliti tingkat pendidikan saja sehingga
berlebihan dari sistem syaraf simpatis variabel perancu lain tidak bisa
sehingga dapat meningkatkan produksi dikendalikan. Variabel perancu lain yang
throphoblast-derived tumor necrosis faktor mungkin dapat mempengaruhi hasil pada
oleh plasenta. TNF, interleukin 1, dan penelitian ini adalah paritas, status gizi,
interleukin 6 mengatur produksi dan dukungan sosial, status ekonomi, riwayat
pelepasan hCG. hCG menyebabkan distensi penggunaan kontrasepsi. Selain itu,
pada saluran gastrointestinal atas. hCG pada pemilihan desain penelitian yang dilakukan
keadaan normal tidak dapat menstimulasi dengan cara pendekatan cross sectional
rasa mual dan muntah karena tidak dapat tidak dapat menjelaskan mekanisme sebab
memasuki cairan serebrospinal. Namun, akibat dari variabel yang diteliti karena
apabila kadar hCG serum meningkat dapat dilakukan pengambilan subjek penelitian
mempengaruhi chemoreceptor trigger zone dalam satu waktu. 10
di area postrema batang otak. Rangsangan
diteruskan ke nukleus motorik nervus vagus, KESIMPULAN
nukleus ambiguous, dan nukleus vestibular
lateral. Melalui vagal averent dilanjutkan Terdapat hubungan bermakna secara statistik
menuju traktus gastrointestinal yang (p>0,05) antara tingkat pendidikan ibu hamil
menyebabkan muntah (6). dengan kejadian hiperemesis gravidarum.
Pada penelitian ini dilakukan Ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi
pengujian statistik pada variabel tingkat merupakan faktor risiko terjadinya
pendidikan ibu hamil menggunakan uji Chi hiperemesis gravidarum.
Square dengan mengelompokkan subjek
penelitian menjadi 2 kelompok yaitu SARAN
hyperemesis gravidarum dan tidak
mengalami hyperemesis gravidarum. Hasil Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
nilai signifikansi p= 0,03 (p<0,05) yang referensi dan acuan untuk penelitian
berarti terdapat hubungan yang bermakna selanjutnya untuk meneliti kejadian
secara statistika antara tingkat pendidikan hiperemesis gravidarum dengan
ibu hamil dengan kejadian hiperemesis mengendalikan variabel perancu lain yang
gravidarum. belum dikendalikan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Caixar dkk
(2012) dengan judul Hubungan Tingkat
Pendidikan Formal dengan Pengetahuan Ibu

24
Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi ISSN: 2301-6736
Bagian Obstetrik & Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran.


Jakarta: Media Aesculapius; 2008
2. Goodwin TM. (2008). Hyperemesis
gravidarum. Obstet Gynecol Clin North
Am 35:401-17.
3. Gunawan K, Manengkei P, Ocviyanti D
(2011). Diagnosis dan tatalaksana
Hyperemesis gravidarum. J Indon Med
Assoc, 61 (11): 1-7.
4. Ogunyemi (2015). Hyperemesis
Gravidarum. Medscape Drugs&Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/2
54751-overview
5. Lee NM & Saha S. (2011). Nausea and
vomiting of pregnancy.
Gastroenterology Clinics of North
America, 40(2), 309-334, vii. doi:
10.1016/j.gtc.2011.03.009
6. Sanu O, Lamont RF. Hyperemesis
gravidarum: pathogenesis and the use of
antiemetic agents. Expert Opin
Pharmacother. 2011;12(5):737748.
[PubMed]
7. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba
IBGF (2007). Pengantar Kuliah
Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
8. Guyton AC & Hall JE (2008). Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC.
9. Sudharmono CA, dkk. Hubungan
Tingkat Pendidikan Formal dengan
Pengetahuan Ibu Hamil tentang
Hiperemesis Gravidarum. Unja; 2012.
10. Sastroasmoro S&Ismael S. (2014).
Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis.Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto.

25
Soetrisno, Asih Anggraeni, Laurita Laras Pratiwi ISSN: 2301-6736
Bagian Obstetrik & Gineokologi RSUD Dr. Moewardi / FK-UNS Surakarta

26
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

PERHITUNGAN KADAR KONSENTRASI QUERCETIN YANG DIEKSTRAK DARI


DAUN TANAMAN BELUNTAS (Pluchea indica Less.)

Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono


Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr.
Moewardi Surakarta

Abstrak
Pendahuluan
Tanaman obat tradisional banyak dimanfaatkan dalam menyembuhkan berbagai penyakit, salah
satunya adalah Beluntas (Pluchea indica Less.). Quercetin merupakan senyawa terbanyak yang
terkandung dalam daun beluntas dilaporkan memiliki beragam manfaat. Perhitungan kadar
quercetin yang di ekstrak dari daun tanaman beluntas dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi
yang diinginkan dalam sebuah penelitian.
Metode penelitian
Ekstrak daun beluntas didapat dari ruas daun 1-3 yang segar dan utuh, diambil pada pagi hari.
Setelah disortir dan dikeringkan dalam oven, dilakukan penggilingan dengan mesin penepung
(hummer mills). Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi menggunakan pelarut
metanol 70-90%, aduk kemudian saring. Ekstrak berupa bubuk didapatkan dengan cara
memisahkan ekstrak cair dengan filtratnya dan diuapkan dengan metode sokhletasi.
Hasil
Jumlah massa quercetin dalam gram yang dibutuhkan didapat dari massa quercetin dalam gram
perliter dibagi dengan massa atom relatif quercetin. Hasil yang didapat selanjutnya dilarutkan
dalam 100 ml pelarut, sehingga didapatkan kadar konsentrasi yang diinginkan.
Kesimpulan
Jumlah massa hasil penghitungan dilarutkan dalam 100 mL pelarut 0,0125% DMSO/DMEM
sehingga terbentuk larutan 20 mol/L. Perhitungan dengan cara yang sama juga digunakan untuk
mendapatkan jumlah massa (gram) ekstrak daun beluntas yang dibutuhkan untuk membuat
larutan dengan konsentrasi ekstrak daun beluntas 40 mol/L, 80 mol/L, dan kadar konsentrasi
lain yang diinginkan peneliti.

Kata kunci : beluntas, ekstrak, quercetin

26
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

PENDAHULUAN quercetin dalam bentuk murni. Melakukan


Tanaman obat tradisional telah dimanfaatkan perhitungan kadar quercetin yang di ekstrak
sejak jaman dahulu kala sebelum adanya dari daun tanaman obat tradisional menjadi
pengobatan modern. Mayoritas berasal dari alternatif yang baik dalam mendapatkan
sumber alamiah dan sekitar 60-80% populasi konsentrasi quercetin. Latar belakang diatas
dunia masih mempercayai pengobatan mendasari peneliti untuk melakukan sebuah
tradisional. Beragam tanaman obat penelitian mengenai perhitungan kadar
tradisional yang mengandung bahan konsentrasi quercetin yang diekstrak dari
phytochemicals (phyto = tanaman) memiliki daun tanaman beluntas (Pluchea indica
efek melindungi atau menyembuhkan less.).
melawan berbagai penyakit.1 Hasil kajian
World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa penggunaan tanaman METODE
obat tradisional memiliki efek samping yang Pengumpulan dan keaslian materi daun
rendah, lebih murah, dan mudah didapat beluntas Pluchea indica (L.) didapat dari PT.
Salah satu ekstrak tanaman atau obat-obatan Kepurun Pawana Indonesia, industri
tradisional yang telah banyak diteliti saat ini tanaman dan agrobisnis, desa Kepurun
adalah daun beluntas.2 Manisrenggo Klaten Jawa Tengah.Pada
Beluntas (Pluchea indica Less.) penelitian ini digunakan ekstrak kering daun
merupakan tanaman yang mudah dijumpai di beluntas (Pluchea indica L.) dengan ruas
Indonesia, umumnya tumbuh liar atau daun 1-3 dengan kandungan Quercetin
berfungsi sebagai tanaman pagar. Bagian sebesar 2163, 59 mg/100 gram.8
yang banyak digunakan adalah daunnya. Pembuatan ekstrak tanaman beluntas
Kandungan bioaktif dalam daun beluntas (Pluchea indica Less.) 20 mol /L, 40 mol
antara lain adalah flavonoid, triterpenoid, /L, dan 80 mol /L dilakukan di Badan
fenol, sterol, glikosid dan minyak atsiri. Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Berbagai zat tersebut ditemukan memiliki Balai Penelitian Tanaman rempah dan Obat
aktivitas antioksidan yang tinggi.3 Efek Kementrian Pertanian Bogor.
beluntas sebagai anti inflamasi, antibakteri, Penanganan dan pengolahan bahan
anti perspirant dan agen diuretik telah sering baku ekstrak daun beluntas dimulai dari
digunakan secara tradisional di berbagai pemetikan daun beluntas. Pemetikan
negara berkembang.4 Khasiat tanaman ini dilakukan saat belum terpapar matahari yaitu
sebagai anti inflamasi, terutama pada pagi hari pukul 06.00 wib, dipilih daun yang
kandungan flavonoidnya, pertama kali segar dan utuh dengan ruas daun antara 1-3.
diteliti secara ilmiah pada tahun 1991.5 Dilakukan penyortiran dalam ruangan yang
Flavonoid terbagi atas beberapa kelas terlindung matahari, untuk mengurangi
salah satunya adalah flavonols yang jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam
mengandung quercetin, yaitu senyawa bahan. Hasil sortiran ditempatkan dalam
terbanyak didalam beluntas.6 Flavonoid wadah bersih. Tahap selanjutnya adalah
sebagai antioksidan dan antifibrosis telah perendaman bertingkat dalam 2 wadah
dilaporkan salah satunya berasal dari dengan cairan steril (ringer laktat).
quercetin. Efek antioksidan pada quercetin Daun beluntas yang sudah direndam
yang didapat dari ekstrak tanaman bertingkat kemudian dikeringkan/ditiriskan
tradisional dilaporkan memiliki efek dalam oven dengan suhu 40 -50 C.
mengeliminasi Reactive Oxygen Species Kecepatan pengeringan tergantung pada
(ROS).7 Berbagai penelitian menggunakan suhu maupun ketebalan bahan baku saat
ekstrak quercetin telah banyak dilakukan pengeringan. Pembuatan ekstrak tanaman
terutama di negara-negara maju. Namun di beluntas, yang berupa serbuk didapat dengan
negara berkembang termasuk Indonesia, cara menggiling bahan baku dengan
cukup sulit menemukan senyawa aktif menggunakan mesin penepung (hummer
27
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

mills). Untuk pembuatan serbuk digunakan menggunakan ekstraksi sokhlet pada suhu
ukuran 40-60 mesh. 65o C selama 3 jam. Pelarut metanol
Metode ekstraksi metabolit sekunder diuapkan dengan rotary evaporator. Ekstrak
yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang diperoleh disimpan pada suhu 4o C.8,9
maserasi menggunakan pelarut metanol 70-
90%. Cara ekstraksi yaitu mencampurkan HASIL
bahan baku yang sudah berupa serbuk Quercetin adalah senyawa dengan massa
dengan pelarutnya (metanol). Diaduk dengan atom relatif sebesar 302,236. Langkah
alat ekstraktor selama minimal 2 jam. pertama yang dilakukan adalah menentukan
Setelah diaduk didiamkan 24 jam kemudian jumlah massa quercetin (gram) yang
disaring sehingga dihasilkan filtrate/ekstrak dibutuhkan untuk membuat ekstrak
cair. Cairan ekstrak dipisah dan didapatkan berdasarkan rumus konversi massa sebagai
filtrate-1. Pada ampas ditambah 1 liter berikut10 :
metanol 70% dimaserasi kembali

Sehingga harus dilakukan penghitungan dilakukan dengan menggunakan rumus


jumlah massa (gram) quercetin yang terdapat sebagai beiikut
dalam 20 mol/L quercetin. Penghitungan

Massa quercetin (gram)/ 1 liter = (20 mol/L x 302,236)/ 1 liter


= 6044,72 gram/10-3 mg
= 6.04472 mg

Sehingga ekstrak kering daun beluntas yang dengan konsentrasi 20 mol/L quercetin
harus diambil untuk membuat larutan adalah sebagai berikut:

Massa quercetin (gram) = Massa quercetin (gram)/ 1 liter x 100


Massa Atom Relatif (MR)
= 6.04472 x 100
2163,59
= 27.9 mg

Selanjutnya jumlah massa hasil PEMBAHASAN


penghitungan dilarutkan dalam 100 mL Beluntas (Pluchea indica Less.), dalam
pelarut 0,0125% DMSO/DMEM sehingga bahasa Thailand dikenal dengan Khlu.
terbentuk larutan 20 mol/L. Perhitungan Suku Indian mengenalnya dengan Rasna,
dengan cara yang sama juga digunakan flash fleabane atau camphorweed. Di negara
untuk mendapatkan jumlah massa (gram) Cina disebut Kuo bao ju, sedangkan di India
ekstrak daun beluntas yang dibutuhkan Munjhu rukha atau Kukrakonda. Rumpun
untuk membuat larutan dengan konsentrasi melayu termasuk Indonesia menyebutnya
ekstrak daun beluntas 40 mol/L, 80 dengan Beluntas atau Bluntas. Tanaman ini
mol/L, dan kadar konsentrasi lain yang merupakan tanaman obat herbal yang
diinginkan peneliti. Perhitungan ekstrak berasal dari divisi plantae, filum
quercetin dilakukan di Dermama magnoliaphyta, kelas magnoliopsida, ordo
laboratorium Surakarta. asterales, famili Asteraceae, genus Pluchea
dan spesies Pluchea indica Less. Beluntas

28
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

dapat ditemukan secara mudah di negara-


negara beriklim hangat seperti Indonesia,
Thailand, Malaysia, Australia, Taiwan, India
dan Meksiko.6
Beluntas seperti tampak pada gambar
1, merupakan tanaman yang memiliki
habitat perdu dengan tinggi 1 1.5 m.
Batangnya berkayu, bulat, tegak, bercabang,
bila masih muda berwarna ungu setelah tua
putih kotor. Daunnya tunggal, berbentuk Gambar 1.Beluntas (Pluchea indica Less.)11
bulat telur, tepi rata, ujung runcing, pangkal
tumpul, berbulu halus, panjang 3.8 6.4 cm, Beluntas diketahui memiliki efek
lebar 2 4 cm, pertulangan menyirip, warna antiinflamasi dan antioksidan. Senyawa
hijau muda hingga hijau. Bunganya polifenol seperti flavonoid dan tannin
majemuk, mahkota lepas, putik bentuk menekan inflamasi sitokin/kemokin,
jarum, panjang sekitar 6 mm, berwarna menyaring radikal bebas, dan menghambat
hitam kecoklatan, kepala sari berwarna aktivitas xantin oksidase. Flavonoid, tannin,
ungu, memiliki dua kepala putik yang saponin, steroid dan alkaloid juga diketahui
berwarna putih atau putih kekuningan. Akar memiliki efek menghambat infeksi bakteri
beluntas merupakan akar tunggang dan dan penyakit gastrointestinal dengan
bercabang.11 memodulasi beberapa enzim maupun sel
Pengobatan tradisional menggunakan reseptor.1 Sebuah penelitian menggunakan
bagian dari tanaman maupun ekstraknya daun dan batang beluntas melaporkan bahwa
telah banyak diterapkan karena memiliki ekstrak tanaman ini dapat meningkatkan
potensial tinggi dalam hubungannya dengan aktivitas antioksidan dan menghambat
proses penyembuhan luka. Sumber natural aktivitas antikolinesterase.15
ini dapat menginduksi regenerasi jaringan Ekstrak daun tanaman ini juga
melalui berbagai mekanisme, disebut juga memiliki aktivitas antibakteri terbesar
phytomedicines.12 Beluntas digunakan terhadap Methicillin Resistant Stapylococcus
sebagai tanaman pagar dan pembatas di aureus dan telah digunakan sebagai terapi
perkebunan. Secara tradisional daunnya disuria dan hemorrhoid.16-18 Akar tanaman
digunakan sebagai obat untuk ini juga telah dilaporkan memiliki aktifitas
menghilangkan bau badan, obat penurun antiinflamasi,19 aktifitas antiulkus20 dan
panas, obat batuk, obat antidiare dan obat antioksidan.19-21 Aplikasi topikal daun
nyeri. Daun beluntas yang telah direbus beluntas biasa digunakan sebagai obat
sering pula digunakan untuk mengobati tradisional penyembuh trauma minor.22
penyakit kulit. Selain itu daun beluntas juga Flavonoid adalah istilah umum yang
sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai diberikan pada lebih dari empat ribu
lalapan. Beluntas berbau khas aromatik dan senyawa yang memiliki struktur rantai
rasanya getir. Kandungan kimia dalam daun karbon C6 C3 C6 (cincin A-B-C) dan
beluntas adalah alkaloid, flavonoid, tannin, secara luas terdistribusi pada tanaman.23
minyak atsiri, asam klorogenik, natrium, Flavonoid merupakan substansi polifenolik
kalium, magnesium dan fosfor. Sedangkan dengan berat molekul rendah berdasar
akar beluntas mengandung tannin dan nukleus flavan. Aktivitas biokimia flavonoid
flavonoid.13,1 dan metabolismenya tergantung dari struktur
kimia dan gugus molekulnya. Klasifikasi
flavonoid yaitu terbagi atas kelas flavavones,
flavones, flavonols, flavanols (atau
catechins), anthocianidins, isoflavons,
dihidroflavonols dan chalcones.24 Dalam

29
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

flavonols terkandung quercetin (5,7,3,4,- Quercetin merupakan merupakan


pentahydroxy-III).25 Quercetin adalah suatu flavanoid dengan nama lain 2-(3,4-
senyawa bioaktif terbanyak yang ditemukan Dihydroxyphenyl)-3,5,7-trihydroxy-4H-1-
dalam Pluchea indica.6 benzopyran-4-one.26 Rumus kimia dari
Dalam sebuah penelitian ditunjukkan Quercetin adalah C15H10O7 dengan masa
bahwa pengujian total flavonoid pada molekul relatif sebesar 302.24 dan memiliki
berbagai tingkat ruas daun beluntas kelarutan 60 mg/L dalam air pada suhu
menunjukkan kadar total flavonoid yang 160C.27 Senyawa ini juga sangat larut dalam
berbeda. Ekstrak kering daun beluntas metanol dan eter. Dalam DMSO, quercetin
dengan ruas daun yang lebih sedikit dapat larut sampai 100 mM dengan faktor
memiliki kandungan Quercetin yang lebih konversi mg/m3 sebesar 12,36xppm.28 Pada
tinggi, yakni sebesar 2163,59 mg/100 gram penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa
untuk beluntas dengan ruas daun 1-3, 1000 quercetin memiliki efek antifibrosis dengan
mg/100 gram untuk beluntas dengan ruas menghambat aktifasi fibroblas dan
daun 4-6, dan 310 mg/100 gram untuk penghambatan mTOR serta transduksi sinyal
beluntas dengan ruas daun 1-3. Penelitian -catenin. Quercetin juga dapat menginduksi
yang ditunjukkan pada gambar 2 dan 3 ini aktifasi matrix metalloproteinase 2 dan 3
juga menunjukkan bahwa Quercetin sehingga dapat menurunkan indeks
merupakan flavanoid tertinggi.8 fibrosis. 29-30

Khasiat Pluchea indica


Less.terhadap penyembuhan luka pertama
kali diteliti secara ilmiah pada tahun 1991.
Penelitian pendahuluan ekstrak metanol
pada P. indica menunjukkan adanya
kandungan flavonoid, alkaloid, triterpenoid
dan glikosid. Flavonoid diketahui
menurunkan kadar lipid peroksidase tidak
hanya dengan cara mencegah ato
memperlambat onset nekrosis sel, namun
Gambar 2. Segmentasi daun beluntas8 juga dengan meningkatkan vaskuralisasi.
Oleh sebab itu obat yang dapat menghambat
lipid peroksidase dianggap dapat
meningkatkan viabilitas fibril kolagen
dengan meningkatkan kekuatan fibril
kolagen, meningkatkan sirkulasi, mencegah
kerusakan sel dan mempromosikan sintesis
DNA. Flavonoid dan triterpenoid diketahui
dapat mempromosikan proses penyembuhan
luka terutama sebagai zat astringent dan
antimikrobial yang bertanggungjawab dalam
kontraksi luka serta peningkatan epitelisasi.
Potensi penyembuhan luka oleh ekstrak P.
indica pada penelitian hewan coba ini,
mungkin terjadi akibat adanya unsur
Gambar 3. Total kandungan flavonoid
tanaman obat herbal yang ada didalamnya,
beluntas8
dimana efeknya berasal dari faktor individu
maupun faktor aditif masing-masing
phytoconstituen dalam mempercepat proses
penyembuhan luka.5

30
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

Dalam penelitian untuk memisahkan pelarut murni atau campuran azeotropik dan
bahan aktif dari simplisia adalah dengan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi
menggunakan ekstraksi. Ekstraksi adalah dengan campuran pelarut karena uapnya
pemisahan senyawa aktif dari suatu bahan akan mempunyai komposisi yang berbeda
dengan bantuan pelarut yang sesuai sehingga dalam pelarut cair di dalam wadah.32
didapatkan ekstrak. Terdapat macam-macam Destilasi uap adalah sebuah proses di mana
teknik ekstraksi terdiri dari perkolasi, campuran cairan atauuap dari dua atau lebih
maserasi, Hot Continuous Extraction zat dipisahkan menjadi fraksi komponen
(Sokletasi), destilasi uap, (MAE) Microwave kemurnian yang diinginkan dengan
Assisted Extraction, ekstraksi ultrasound memperhatikan titik didih zat panas. Tujuan
(Sonication) dan ekstraksi Supercritical dari destilasi uap air adalah untuk
Fluid. Perkolasi adalah ekstraksi dengan melarutkan bahan yang mengandung minyak
cara mengalirkan pelarut untukmelewati volatil atau mengandung komponen kimia
bahan padat yang akan diekstraksi. Pada yang mempunyai titik didih tinggi pada
poses ini pelarut yang memiliki kemampuan tekanan udara normal.33
melarutkan bahan yang baik dapat lolos Microwave Assisted Extraction
dengan mudah melewati bahan (MAE) merupakan metodeekstraksi modern
padat.Keuntungan metode ini adalah tidak dimana microwave bekerja dengan
memerlukan langkah tambahan. memancarkan radiasi gelombang
Kerugiannya adalah kontak antara sampel elektromagnetik non ionik yang berada di
padat tidak merata atau terbatas antara frekuensi 300 MHz hingga 300
dibandingkan dengan metode refluks, dan GHz.34 Ultrasound adalah teknik ekstraksi
pelarut menjadi dingin selama proses yang memanfaatkan gelombang ultrasound.
perkolasi sehingga tidak melarutkan Ultrasound adalah getaran mekanik pada
komponen secara efisien.31 solid, liquid ataupun gas.gelombang
Sokletasi atau Hot Continuous mekanik menyebabkan kompresi dan
Extraction merupakan ekstraksi secara ekspansi pada medium saat
berkesinambungan, dimana pelarut merambat.Terjadinya perulangan gelombang
dipanaskan hingga menguap dan uap pelarut yang periodik menyebabkan terjadinya
akan terkondensasi menjadi molekul- siklus ekspansi dan kompresi.Siklus
molekul air oleh pendingin balik dan turun kompresi mendorong molekul untuk
melarutkan bahan dalam klongsong dan bergabung, dan siklus ekspansi menarik
selanjutnya masuk kembali ke dalam labu molekul untuk menjauh.35 Cairan superkritis
alas bulat setelah melewati pipa. (Supercritical Fluid) adalah salah satu teknik
Keuntungan metode ini adalah dapat ekstraksi dimana pengambilan substansi
digunakan untuk sampel dengan tekstur yang aktif dari bahan pada keadaan suhu dan
lunak dan tidak tahan terhadappemanasan tekanan diatas titik kritisnya. Saat substansi
secara langsung, memerlukan sedikit pelarut berada pada titik kritisnya, substansi tersebut
serta pemanasannya dapat diatur.Sedangkan tidak dapat dibedakan fase gas atau fase
kerugian dari metode ini adalah karena cair.36
pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul Maserasi merupakan salah satu
pada wadah di sebelahbawah terus-menerus proses ekstraksi simplisia yang
dipanaskan sehingga dapat menyebabkan menggunakan pelarut dengan beberapa kali
reaksiperuraian oleh panas. Selain itu jumlah pengocokan atau pengadukan pada suhu
total senyawa-senyawa yangdiekstraksi akan kamar. Metode maserasi digunakan untuk
melampaui kelarutannya dalam pelarut memperoleh komponen yang diinginkan
tertentu sehingga dapat mengendap dalam dengan mengekstrak simplisia menggunakan
wadah dan membutuhkan volume pelarut pelarut tanpa suhu tinggi.37 Proses maserasi
yang lebih banyak untuk melarutkannya. sangat menguntungkan dalam isolasi
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan senyawa bahan alam karena murah dan
31
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

mudah dilakukan. Maserasi ini cocok untuk sampel dan pelarut dapat ditingkatkan
mengekstrak komponen-komponen yang apabila didukung dengan adanya
tidak tahan akan suhu tinggi. Pada pengocokan agar kontak antara sampel dan
perendaman sampel tumbuhan akanterjadi pelarut semakin sering terjadi, sehingga
pemecahan dinding dan membran sel akibat proses ekstraksi lebih sempurna.37-38
perbedaan tekananantara di dalam dan di Pada penelitian ini digunakan ekstrak
luar sel, sehingga metabolit sekunder yang kering daun beluntas dengan ruas daun 1-3
ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam dengan kandungan Quercetin sebesar 2163,
pelarut. Pelarut yang mengalir ke dalam sel 59 mg/100 gram. Quercetin adalah senyawa
dapat menyebabkan protoplasma dengan massa atom relatif sebesar 302,236.
membengkak dan bahan kandungan selakan Ekstrak quercetin dari daun beluntas didapat
larut sesuai dengan kelarutannya. Lamanya dengan teknik maserasi. Langkah
waktu ekstraksi menyebabkan terjadinya selanjutnya adalah menentukan jumlah
kontak antara sampel dan pelarut lebih massa quercetin (gram) yang dibutuhkan
intensif sehingga hasilnya juga bertambah untuk membuat ekstrak berdasarkan rumus
sampai titik jenuh larutan. Kontak antara konversi massa sebagai berikut10 :

KESIMPULAN KEPUSTAKAAN
Beluntas merupakan tanaman obat 1. Sakong P, Khampitak T. Antioxidant
tradisional yang mudah ditemukan dan activity and bioactive phytochemical
banyak tumbuh di negara berkembang contents of traditional medicinal
termasuk Indonesia. Salah satu zat yang plants in northeast Thailand. J med
terdapat dalam beluntas adalah flavonoid. plants res. 2011; 5 (31): 6822-31
Quercetin adalah senyawa flavonols yang 2. Kumar Pal dan Shukla. Herbal
paling banyak terkandung dalam beluntas. medicine: current atatus and the future.
Senyawa ini memiliki berbagai manfaat Asian pasific journal of cancer
diantaranya sebagai antioksidan, prevention. 2003; Vol 4: p. 281-8
antiinflamasi dan antifibrotik. Studi 3. Goyal PK, Aggarwal RR. A review on
menggunakan ekstrak murni quercetin telah Phytochemical and biological
banyak dilakukan. Namun karena ekstrak investidation of plant genus pluchea.
murni quercetin masih mahal dan sulit Indo American journal of pharm
didapat, dikembangkan penelitian mengenai research. 2013; 3 (4): 3373-91
quercetin dengan cara menghitung kadar 4. Sharma SK dan Goyal N. Biological
konsentrasinya dari ekstraksi daun tanaman studies of the plants from genus
obat tradisional. pluchea. Biological research. 2011; 2
(3): 25-34
5. Pramanik KC, Chatterjee TK. Invitro
and invivo antibacterial activities of root
extract of tissue cultured of Pluchea
indica (L.) Less Against bacillary
dessentry. Phcog mag. 2008; 4 (14): 78-
83
6. Suriyaphan O. Nutrition, health benefits
and application of Pluchea indica (L.)
leaves. Mahidol University J of
Pharmaceutical sciences. 2014; 41 (4):
1-10
32
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

7. Ezhilarasan D, dkk. Plant derived Y, Watanabe H. Neuropharmacological


antioxidants and antifibrotic drugs: past, actions of Pluchea indica Less.root
present and future. Journal of Coastal extract in socially isolated mice. Biol
Life Medicine. 2014; 2(9): 738-745 Pharm Bull. 1996; 19: 37983
8. Widyawati PS, Wijaya CH, 19. Sen T, Nag Chaudhuri AK.
Hardjosworo PS, Sajuthi D. Evaluasi Antiinflammatory evaluation of Pluchea
aktivitas antioksidatif ekstrak daun indica root extract. J Ethnopharmacol.
beluntas (Pluchea indica) berdasarkan 1991; 33: 13541.
perbedaan ruas daun. Rekapangan 20. Pal S, Nag Chaudhuri AK. Studies on
Jurnal Teknologi Pangan. 2011; Vol 5: the effect of Pluchea indica Less. root
1-14 extract on gastroduodenal ulcer models
9. Rosadi D, et al. Standarisasi simplisia in rats and guinea pig. Phytother Res.
dan ekstrak pekat terstandar tanaman 1989; 3: 156 8.
sambiloto.Laporan teknis Balittro. 21. Sen T, Dhara AK, Bhattacharjee S, Pal
Bogor. 2004 S, Nag Chaudhuri AK. Antioxidant
10. Himmelblau DM dan Riggs JB. Basic activity of the methanol fraction of
Principles and Calculations in Chemical Pluchea indica root extract. Phytother
Engineering eight edition. Ann Arbor: Res. 2002; 16: 3315.
Prentice Hal. 2004; Halaman 42 22. Rahman MRA, Razak FA, et al.
11. Syamsuhidayat SS, Hutapea R. Evaluation of wound closure activity of
Inventaris tanaman obat Indonesia. nigella sative, melastoma
Jakarta: departemen kesehatan republic malabathricum, pluchea indica, and
Indonesia. 1991; H. 470-1 piper sarmentosum extracts on scratched
12. Maver T, Maver U, et al. A review of monolayer human gingival fibroblas.
herbal medicines in wound healing. Int Evidence-based complementary and
journal of dermatology. 2015; 54: 740- alternative med. 2014; 1-9
51 23. Kumazawa Y, Kawaguchi K, et al.
13. Winarno MW, Sundari D. Pemanfaatan Immunomodulating effects of
tumbuhan sebagai obat diare di flavonoids on acute and chronic
Indonesia.Cermin dunia kedokteran. inflammatory responses by tumor
1998; 109: 25-32 necrosis factors . Current
14. Dalimartha S. Tanaman obat di pharmaceutical design. 2006; 12: 4271-
lingkungan sekitar. Jakarta: Puspa 9
swara. 2005; p. 5 24. Cook NC, Samman S. Flavonoids-
15. Noridayu AR, Hii YF, et al. Antioxidant chemistry, metabolism, cardioprotective
and antiacetylcholinesterase activities of effects and dietary sources. J nutr
pluchea indica Less. International food biochem. 1996; 7: 66-76
research journal. 2011; 18 (3): 925-9 25. Kuhnau J. The flavonoids, a class of
16. Sulistiyaningsih. Potensi daun beluntas semi-essential food components: their
(Pluchea Indica Less.) Sebagai Inhibitor role in human nutrition. Wld rev
Terhadap Pseudomonas Aeruginosa nutrition diet. 1976; 24: 117-91
Multi Resistant dan Methicillin 26. Spencer PE, et al. Intracellular
Resistant Stapylococcus Aureus. metabolism and bioactivity of quercetin
Fakultas Farmasi Universitas and its in vivo metabolites.Biochem. J.
Padjadjaran Bandung. 2009 2003; 372. 17381
17. Farnsworth NR, Bunyapraphatsara N. 27. Abcam (a). Quercetin ab120247:
Thai Medicinal Plants. Prachachon Co. Product Datasheet.
1992; Bangkok, 2001. www.abcam.com/Quercetin-
18. Thongpraditchote S, Matsumoto K, ab120247.pdf (diakses 23 November
Temsiririrkkul R, Tohda M, Murakami 2016)
33
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

28. WHO. Quercetin. Dalam IARC Sambiloto (Andrographis paniculata


Monograph on the evaluation of (Burm.F.) Nees). Bogor Agricultural
carcinogenic risks to human. 2016; p. Univercity:Bogor. 2010; 93-111.
497 38. Koirewoa, Y.A., Fatimawali, and W.I.
29. Ren J, Li J,Liu X, Feng Y, Gui Y, Yang Wiyono. Isolasi dan Identifikasi
J et al. Quercetin Inhibits Fibroblast Senyawa Flavonoid dalam Daun
Activation and Kidney Fibrosis Beluntas (Pluchea indica L.).
Involving the Suppression of Universitas Sam Ratulangi: Manado.
Mammalian Target of Rapamycin and 2008; 83-96.
-catenin Signaling. Sci Rep. 2016; 6:
23968.
30. Hernndez O, Alcntar D, Ruiz C,
Sandoval R, Bueno T, Armendariz B,
Salazar M. Quercetin improves hepatic
fibrosis reducing hepatic stellate cells
and regulating pro-fibrogenic/anti-
fibrogenic molecules balance. J
Gastroenterol Hepatol. 2012;
27(12):1865-72. doi: 10.1111/j.1440-
1746.2012.07262.x.
31. Gamse, T., Extraction. Graz University
of Technology: Barcelona. 2004; p. 148-
156.
32. Jensen, w.B., The Origin of the Soxhlet
Extractor. Journal of Chemical
Education. 2007; 84(12): 1913.
33. Tam, M.T., Distillation. R.C. Costello
and Associated. Inc. 2009
34. Tatke, P. and Y. Jaiswal. An Overview
of Microwave Assisted Extraction and
its Applications in Herbal Drug
Research. Research Journal of
Medicinal Plant. 2011; 5: 21-31.
35. Rahardjo, A. and F. Salim. Ekstraksi
Senyawa Fenolik dari Daun Sirih Untuk
Antioksidan Antibakteri Alami dengan
Metode Ultrasound-Assisted Extraction.
2013; Universitas Katolik Widya
Mandala: Surabaya: 17-21.
36. Rahmawati, A. and D.S. Pang.
Extraction of Phytochemicals from
Mimosa pudica Linn using Supercritical
CO2: Effect of Pressure, Temperature,
and CO2 Loading. Universitas katolik
widya mandala: Surabaya. 2013; p. 28-
36.
37. Pratiwi E. Perbandingan Metode
Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan
Reperkolasi dalam Ekstraksi Senyawa
Aktif Andrographolide dari Tanaman
34
Sakti Charlia Maharani, Suci Widhiati, Indah Julianto, Harijono Kariosentono ISSN: 2301-6736
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin,

35
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

Nilai Scorten Pada Kejadian Mortalitas Pada Pasien Nekrotik Epidermal Toksik Di
Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto


Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi / Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK
Latar Belakang:
Severity of Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis (SCORTEN) adalah suatu sistem
skoring yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit, dirancang secara
spesifik untuk Nekrolitik Epidermal Toksik (NET)/Sindrom Steven Johnson (SSJ),
dengan memperkirakan angka mortalitas yang dihitung dalam 24 jam pertama sejak pasien
dirawat. Nekrolitik Epidermal Toksik adalah suatu penyakit yang berat, akut dan
mengancam jiwa, ditandai dengan pengelupasan kulit yang luas dan erosi membran
mukosa.
Tujuan:
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai SCORTEN dengan terjadinya mortalitas
pada pasien NET di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi retrospektif pasien NET yang dirawat inap di RSUD Dr.
Moewardi selama periode 1 Januari 2015 31 Mei 2016. Penelitian dilakukan dengan
melihat data rekam medis yang mencakup jumlah pasien, umur, jenis kelamin, obat
penyebab yang dicurigai, angka mortalitas dan nilai SCORTEN. Kemudian dilakukan
analisis uji T menggunakan SPSS 19 for Window.
Hasil:
Didapatkan 10 pasien NET. Kasus terbanyak terjadi pada kelompok umur 41-60 tahun
(40%), Pasien laki-laki (60%) lebih banyak daripada perempuan (40%). Obat
penyebab yang dicurigai paling banyak adalah parasetamol (20%). Mortalitas terjadi
pada 2 pasien (20%). Empat pasien (40%) termasuk ke dalam nilai SCORTEN 0-1, 1
pasien (10%) termasuk ke dalam nilai 2, 4 pasien (40%) termasuk ke dalam nilai 3, dan
1 pasien (10%) termasuk ke dalam nilai 4, serta tidak ada pasien dengan nilai 5.
Terdapat hubungan antara SCORTEN dengan kejadian mortalitas (p=0,291).
Kesimpulan:
Terdapat hubungan antara Nilai SCORTEN dengan kejadian mortalitas pada pasien NET di
RSUD Dr Moewardi.

Kata Kunci: nekrolitik epidermal toksik, SCORTEN, Nekrotik Epidermal Toksik

35
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

PENDAHULUAN merupakan reaksi hipersensitivitas berat


Pada tahun 1922, istilah Sindrom dimana terjadi aktivasi dari limfosit T
Steven Johnson (SSJ) pertama kali sitotoksik dan sel natural killer (NK).
digunakan oleh 2 o r a ng do kt er Pada aktivasi ini, berbagai sinyal
sp e s ia l is a na k dar i A me r ik a ya ng sitotoksik, termasuk granulisin,
ber na ma S t e ve n da n Jo hnso n u nt uk perforin/granzim B, Fas/ligan Fas dan
menggambarkan suatu sindrom sitokin/ kemokin akan dilepaskan
mukokutan akut yang terjadi pada 2 sehingga terjadi kematian keratinosit
anak lelaki yang ditandai oleh yang luas pada kulit. 5 Beberapa jenis
konjungtivitis purulen yang berat, obat yang berhubungan dengan
stomatitis berat dengan nekrosis terjadinya SSJ/NET adalah antiepilepsi
mukosa yang luas dan lesi kulit yang aromatik (misalnya karbamazepin,
menyerupai erit ema mult iforme. fosfenit oin, lamotrigin,
Selanjut nya SSJ dikenal sebagai okskarbazepin, fenobarbit al,
penyakit mukokutan berat dengan fenit oin), alopurinol, nevirapin dan
perjalanan penyakit yang panjang serta sulfametoksazol.6
bersifat fatal. Seorang dokter spes ia l is Severity of Illness Score for Toxic
ku lit da n ke la min ya ng ber na ma Epidermal Necrolysis (SCORTEN)
Ala n L ye l l, pada t ahu n 1956 adalah suatu indeks untuk menilai
per t ama ka l i menggunakan istilah keparahan penyakit yang spesifik untuk
nekrolitik epidermal toksik (NET), 1 SSJ atau NET. 7 Sistem skoring ini
untuk menggambarkan 4 pasien dengan dikembangkan pertama kali oleh
erupsi yang menyerupai pengelupasan kulit.2 Rojeau JC pada tahun 2000, 8 dihitung
Baik SSJ maupun NET ditandai dengan pada saat kedatangan pasien di rumah
adanya keterlibatan kulit dan membran sakit dan akan memberikan estimasi yang
mukosa. Karena adanya persamaan akurat terhadap risiko kematian.9
secara klinis, gambaran histopatologi,
faktor risiko, obat penyebab dan METODE
mekanisme, kedua kondisi ini Penelitian dilakukan secara retrospektif.
dipertimbangkan sebagai varian tingkat Data diambil dari rekam medis kasus
keparahan dari suatu proses yang sama, NET di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.
dibedakan hanya dari luas permukaan Moewardi Surakarta selama periode 1
tubuh yang terkena. 3 Jika mengenai Jan uari 2015 31 Mei 2016, meliput i
kurang dari 10% luas permukaan tubuh jumlah pasien, jenis kelamin, umur,
maka disebut sebagai SSJ, 10%-30% obat penyebab yang dicur igai, angka
luas permukaan tubuh disebut SSJ mortalitas dan nilai SCORTEN.
overlap NET, dan jika mengenai lebih Kemudian dianalisa hubungan antara
dari 30% luas permukaan tubuh disebut nilai SCORTEN dengan angka
NET . 4 mortalitas dengan analisis uji T
Meskipun mekanisme patogen menggunakan SPSS for Window 19,
dari NET belum sepenuhnya dapat dengan tingkat signifikasi p < 0,05.
dimengert i, Penelit ian
farmakogenomik terbaru telah HASIL
menunjukkan adanya hubungan antara Jumlah pasien SSJ / NET di
gen human leukocyte antigen (HLA) Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.
dengan SSJ/NET. Dengan Moewardi selama periode 1 Januari
terident ifikasinya alel HLA spesifik 2015 31 Mei 2016 adalah sebanyak 17
sebagai faktor predisposisi, pasien, yang terdapat nilai SCORTEN
memperjelas bahwa SSJ/NET sebanyak 10 pasien. Berdasarkan data,

36
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

dapat dilihat bahwa pasien laki-laki kelompok umur 41-60 tahun (Tabel 1).
(60%) lebih banyak daripada Obat penyebab yang dicurigai terbanyak
perempuan (40%) dengan jumlah adalah parasetamol (Tabel 2)
pasien terbanyak adalah pada

Tabel 1. Kelompok Umur dan jenis kelamin pasien SSJ/NET di instalasi Rawat Inap RSUD Dr.
Moewardi Periode Januari 2015-Mei 2016

Periode Kelompok Umur Jumlah Jumlah


(%) (%)
0-20 21-40 41-60 >61

2015 1(10 1(1) 2(20) 1(10) 1(10 1(10 1(10 0(0) 5(50) 3(3 8(80)
) ) ) ) 0)
2016 0(00 0(00 0(00) 0(00) 0(00 0(00 0(00 0(0 1(10 1(1 2(20)
) ) ) ) ) 0) ) 0)
Jumlah 1(10 1(10 2(20) 1(10) 2(20 2(20 1(10 0(0) 6(60 4(40 10(100)
(%) ) ) ) ) ) ) )
2(20) 3(30) 4(40) 1(10)
Tabel 2. Jenis obat penyebab yang dicurigai pada pasien SSJ/NET di instalasi Rawat Inap RSUD
Dr. Moewardi Periode Januari 2015-Mei 2016

No. Nama Obat Jumlah Pasien


1. Parasetamol 2
2. Antalgin 1
3. Alopurinol 1
4. Karbamazepin 1
5. Obat Anti Tuberculosis 1
6. Nevirapin 1
7. Seftriakson 1
8. Fenitoin 1
9. Tidak Diketahui Penyebabnya 1
Jumlah 10
Tabel 3. Mortalitas dan SCORTEN pasien SSJ / NET di Instalasi Raw at Inap RSUD Dr.
Moewardi per iode Januari 2015 Mei 2016.
No. Nama Mortalitas SCORTEN
0-1 2 3 4 5
1. Tn. WD + +
2. Tn. NS - +
3. Nn. D - +
4. Tn. AW - +
5. Ny. BD + +
6. Tn. S - +
7. Ny. G - +
8. Tn. DS - +
9. Tn. P - +
10 Ny. P - +
Jumlah 2 (20%) 4 1 4 1 0

37
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

Mortalitas terjadi pada 2 pasien (20%) Reaksi terhadap antibiotik sulfonamid 34


dengan nilai SCORTEN 4 dan 2 (Tabel tidak berarti sensitif terhadap
3). Hasil analisis data menunjukkan sulfo namid non ant ibiot ik sepert i
bahwa t idak terdapat hubungan diuret ik t iazid, sulfo nilurea,
antara nilai SCORTEN dengan furosemid at au inhibit or
mortalitas dengan nilai p = 0,291. siklooksigenase-2. Antikonvulsan
aromatik karbamazepin, fenitoin dan
PEMBAHASAN fenobarbital merupakan penyebab
Penyakit NET merupakan suatu reaksi utama dan dapat bereaksi silang
terhadap obat yang jarang terjadi terhadap satu sama lain. Risiko paling
tetapi berpotensi untuk mengancam tinggi terjadi pada 8 minggu pertama
jiwa, 10 ditandai dengan adanya terapi dan 10x lebih tinggi pada pasien yang
pengelupasan epidermis yang luas dan sebelumnya telah mendapat obat
mukositis. 11 Pengelupasan epidermis antikonvulsan. Pada pengguna baru
yang terjadi berhubungan dengan obat antikonvulsan, lebih dari 90%
kematian keratinosit yang luas melalui kasus SSJ/NET terjadi pada 63 hari
apoptosis yang diperantarai oleh pertama terapi, dan risiko keseluruhan
protein sitotoksik granulisin dan terjadinya severe cutaneous adverse
interaksi antara Fas dengan ligan Fas. 12 reaction (SCAR) diperkirakan 1-10
Insidensi bervariasi mulai dari 1,2- orang/10.000 pengguna baru obat anti
6/juta/tahun untuk SSJ dan 0,4- konvulsan. 17 Pada penelitian ini, obat
1,2/juta/tahun untuk NET.1 3 Usia tua penyebab yang dicurigai terbanyak adalah
2,7 kali lebih sering terkena daripada parasetamol (20%).
dewasa muda. 14 Wanita lebih sering Angka mortalitas dari SSJ / NET
terkena daripada pria dengan rasio dapat mencapai 1%-5% untuk SSJ dan
1,5:1, tidak ada perbedaan etnis, 25%-20% untuk NET. Sepsis yang
insidensi meningkat sesuai dengan menyebabkan t er jadinya kegagalan
bertambahnya usia dan 1000 kali lebih mult i organ merupakan penyebab
tinggi pada pasien dengan human kematian yang paling sering terjadi,
immunodeficiency virus (HIV) dan dengan morbiditas lain berupa
acquired immuno deficiency syndrome perdarahan saluran cerna, embolisme
(AIDS). 15 Pada penelitian ini, pasien pulmoner, infark miokard dan edema
laki-laki lebih banyak daripada pulmo. Suatu sistem skoring yang
perempuan dengan jumlah pasien disebut SCORTEN dibuat untuk
terbanyak pada kelompok umur 41-60 menilai keparahan dari penyakit dan
tahun. memperkirakan angka mortalitas (Tabel
Patofisiologi dari SSJ/NET sampai 5). Mortalitas meningkat dari 3,1%
saat ini masih belum jelas, namun obat pada pasien dengan nilai 0-1 menjadi
merupakan faktor etiologi yang utama 35,3% untuk pasien dengan nilai 3 dan
(Tabel 4). 3 Jika seseorang mengalami menjadi > 90% pada pasien dengan
reaksi terhadap satu golongan obat, nilai 5.
misalnya antibiotik sulfonamid, maka
pasien tersebut tidak mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami reaksi terhadap
obat dari golongan kimia yang berbeda,
misalnya tetrasiklin. Akan tetapi, dapat
terjadi reaksi silang antara golongan
antibiotik beta laktam yang berbeda
misalnya penisilin dan sefalosporin.

38
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

Tabel 4. Obat yang berhubungan dengan risiko terjadinya SSJ/NET berdasarkan Euro-
SCAR tahun 2008.16 Keterangan: AINS, anti inflamasi non steroid; ACE, angiotensin
converting enzyme; SSRI, selective serotonin reuptake inhibitor; SCAR, severe cutaneous
adverse reaction.

Risiko rendah Risiko potensial Tidak ada risiko


(memerlukan yang dapat
penelitian ditentukan
lebih lanjut)
Nevirapin Sertralin Pantoprazol Statin
Lamotrigin AINS asam asetat Kortikosteroid Sulfonamid yang
berhubungan dengan
diuretik / antidiabetes
Karbamazepin Makrolid Pirazolon Beta blocker
Fenitoin Kuinolon Asam aset Inhibitor ACE
ilsalisilat
Fenobarbital Sefalosporin Tramadol Calcium Channel
blockers
Kotrimoksazol Tetrasiklin Nimesulfid Diuretik tiazid
dan anti
Infeksi Aminopenisilin Parasetamol Furosemid
sulfonamid lain
Sulfasalazin Ibuprofen Insulin
Alopurinol AINS asam propionik
AINS oksikam Proton pump inhibitors
non pantoprazol
SSRI non sertralin

Penilaian SCORTEN harus


dilakukan pada hari ke-1 dan ke-3
setelah masuk rumah sakit untuk
mendapatkan nilai prediktif yang
optimal. 18,19 Pada penelitian ini,
mortalitas terjadi pada 2 pasien (20%).
Hasil dari SCORTEN adalah 4 pasien
(40%) termasuk ke dalam nilai 0-1,
1 pasien (10%) termasuk termasuk ke
dalam nilai 2, 4 pasien (40%) termasuk
ke dalam nilai 3, 1 pasien (10%)
termasuk ke dalam nilai 4, dan tidak ada
pasien dengan nilai 5.

39
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

Tabel 5. SCORTEN.18

Kriteria : nilai 1 tiap variabel Skor Total Mortalitas


Usia > 40 tahun 0-1 3,2%
Denyut jantung >120x/menit 2 12,2%
Keganasan 3 35,5%
Pengelupasan epidermis >10% luas permukaan tubuh 4 58,3%
Serum urea nitrogen >28 mg/dL 5 90,0%
Glukosa >252 mg/dL
Bikarbonat <20 mEq/L

Pada penelitian yang dilakukan KEPUSTAKAAN


Salem dkk, disebutkan bahwa 1. French LE. Toxic epider mal
SCORTEN tidak akurat dalam necrolysis and stevens johnson
menentukan prediksi mortalitas dan syndrome: our current
tidak terdapat hubungan antara understanding. Allergol Int. 2006;55:9-
prediksi mortalitas dan mort alit as 16.
yang t erjadi pada set iap level nilai 2. Harr T, French LE. Severe cutaneous
dan secara keseluruhan. 2 0 Thong adverse reactions: acute generalized
dkk menyat akan bahwa S CORTEN exanthematous pustulosis, toxic
t idak dapat menjad i indeks epidermal necrolysis ans stevens-
prognost ik yang ideal unt uk johnson syndrome. Med Clin N Am.
mortalit as pada pasien dengan 2010;94:727-42.
penyakit kronis non hematologi at au 3. Allanore LV, Roujeau JC.
non onkologi. 2 1 Pada penelitian ini, Epidermal necrolysis (stevens-
tidak terdapat hubungan antara nilai johnson syndrome and toxic
SCORTEN dengan mortalitas (p = epidermal necrolysis). Dalam:
0,291). Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wo lff K,
KESIMPULAN edit or. Fit zpat rick`s Der mat ology
Telah dilakukan penelitian In General Medicine. New York:
retrospektif tentang penyakit SSJ / McGraw Hill; 2012. h. 439-48.
NET di Instalasi Rawat Inap RSUD 4. Verma CR, Vasudevan CB, Pragasam
Dr. Moewardi Surakarta selama CV. Severe cutaneous adverse drug
periode Januari 2015 - Mei 2016 reactions. Med J Armed Forces India.
terdapat 10 kasus. Jumlah pasien laki- 2013;69:375-83.
laki lebih banyak dar ipada 5. Su SC, Chung WH. Cytotoxic
perempuan. Mayoritas angka proteins and theurapeut ic targets in
kejadian pada kelompok umur 41-60 severe cutaneous adverse reactions.
tahun. Sebagian besar pasien termasuk Toxins. 2014;6:194-210.
ke dalam nilai 0-1 (40%) dan nilai 3 6. Chung WH, Hung SI. Recent
(40%) berdasarkan SCORTEN. advances in t he genet ics and
Mort alit as t erjadi pada 2 pasien immunology of st evensjohnson
(20%). Tidak t erdapat hubungan antara syndrome and toxic epidermal necrosis.
nilai SCORTEN dengan mortalitas. J Dermatol Sci. 2012;66:190-6.
7. Ho YL, Chang YT, Chu YT, Wu SC.
Perfomance of the SCORTEN in
taiwanese patients with stevens

40
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

johnson syndrome and toxic C. Toxic epidermal necrolysis


epidermal necrolysis. (lyell`s disease). Burns. 2010;36:152-
Dermatologica Sinica. 2010;28:15-20. 63.
8. Hu CH, Chang NJ, Liu W, Chung 16. Downey A, Jackson C, Harun N,
WH, Yang JY. SCORTEN and Cooper A. Toxic epider mal
impaired renal function relat ed to necrolysis: review of pathogenesis
mort alit y of t oxic epider mal and management. J Am Acad Dermatol.
necro lysis syndro me pat ient s in 2012;66:995-1003.
t he asian population. J Eur Acad 17. Pereir a FA, Mudg il AV, Rosmar in
Dermatol Venereol. 2012:1-6. DM. Toxic epider ma l necro lys is.
9. Roujeau JC, Bastuji-Garin S. J Am Acad Dermatol. 2007; 56:181-
Systemat ic review of treat ments 200.
for stevens johnsons syndrome and 18. Schwartz RA, McDonough PH, Lee
toxic epider mal necrolysis using BW. Toxic epidermal necrolysis part
t he SCORTEN score as a tool for II. Prognosis, sequelae, diagnosis,
evaluating mortality. Ther Adv Drug different ial diagnosis, prevent ion
Saf. 2011;2(3):87-94. and treat ment . J Am Acad
10. Borcher s AT, Lee JL, Naguwa Dermatol. 2013;69:187.e1-16.
SM, Cheema GS, Gershwin ME. 19. Kirchhof MG, Miliszewski MA,
St evens- jo hnson syndrome and toxic Sikora S, Papp A, Dutz JP.
epidermal necrolysis. Autoimmun Rev. Retrospective review of stevens-
2008;7:598-605. johnson syndrome/toxic epidermal
11. Heng YK, Lee HY, Roujeau JC. necrolysis treatment comparing
Epidermal necrolysis: 60 years of intravenous immunoglobulin with
errors and advances. Br J Dermatol. cyclosporine. J Am Acad Dermatol.
2015;173:1250-4. 2014;71:941-7.
12. Fr ench LE, Pr ins C. Er yt he ma 20. Salem CB, Badreddine A,
mu lt ifor me, st evens- jo hnso n Belajouza O, Belajouza C, Ghariani
syndro me and t oxic epidermal N, Houssem H. Toxic epidermal
necrolysis. Dalam: Bolognia JL, necrolysis: a retrospective analysis
Jorizzo JL, Schaffer JV, editor. of 17 cases from central tunisia. Pan
Dermatology. 3 ed. Philadelphia: Afr Med J. 2014;19:1-3.
Elsevier Saunders; 2012. h. 319-32. 21. Thong BY. Stevens-johnson
13. Tan SK, Tay YK. Profile and pattern syndrome / toxic epider mal
of stevens-johnson syndrome and necrolysis: an asia-pacific
toxic epidermal necrolysis in a perspective. Asia Pac Allergy.
general hospital in singapore: 2013;3:215-23.
treatment outcomes. Acta Derm
Venereol. 2012;92:62-6.
14. Stella M, Clemente A, Bollero D,
Risso D, Dalmasso P. Toxic
epidermal necrolysis (NET) and
stevens-johnson syndrome (SSJ):
experience wit h high-dose
intravenous immunoglobulins and
topical conservative approach, a
retrospective analysis. Burns. 2007;
33:452-9.
15. Lissia M, Mulas P, Bulla A, Rubino

41
Rini Hastuti, Imroatul Ulya, Muhammad Eko Irawanto ISSN: 2301-6736
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, RSUD Dr. Moewardi /
FK-UNS Surakarta

42
JUR NAL MEDIK A MOEWAR DI
VOL.04, NO.02, November 2015 IISSN:
S S N : 2301-6736
2 30 1- 67 36

PEDOMAN PENULISAN N ASKAH


Persyaratan Umum
1. Naskah yang diterima merupakan karya original, yang hanya diperuntukan buat jurnal
medika moewardi dan belum pernah dipublikasikan pada media lain. (Kecuali Abstrak atau
dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah).
2. Naskah yang masuk jurnal ini dikaji secara ilmiah oleh para mitra bestari (peer reviewer) yang
ditunjuk. Dewan redaksi dan berhak melakukan editing tanpa mengurangi substansi atau isi
makalah.
3. Naskah yang masuk tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Untuk penulis
kelompok/team, urutan nama penulis sudah mendapat persetujuan seluruh penulis.
4. Naskah dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam bentuk CD atau disket dengan program MS
Word dan disertai 2 (dua) hardcopy.
5. Pencantuman nama penulis berdasarkan kontribusi yang bermakna dalam hal peran
sertanya pada grand design, konsep, analisis, penulisan atau suntingan yang
dipublikasikan. Apabila ada perubahan dalam pencantuman nama penulis diberikan
secara tertulis dengan disertai persetujuan seluruh penulis.
6. Seluruh pernyataan dalam makalah ini merupakan tanggung jawab penulis.
Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah maksimal 200 kata
tidak terstruktur dan maksimal 250 kata untuk abstrak yang terstruktur. Untuk naskah penelitian
abstrak berisi tentang latar belakang, tujuan, metode, hasil yang utama dan kesimpulan inti.
Abstrak harus dibuat secara ringkas dan jelas sehingga memungkinkan dipahami tentang berbagai
aspek yang baru dan penting tanpa harus membaca keseluruhan makalah atau naskah. Kata Kunci
dicantumkan di bawah abstrak terdiri dari 3-10 kata.
Gambar/Foto
Gambar atau foto dicetak dalam kertas mengkilat, hitam putih, dengan format ukuran 3 R atau 4
R. Keterangan gambar atau foto diletakkan di bagian belakang dengan tulisan pinsil.
Referensi
Daftar rujukan mengacu pada aturan penulisan Vancouver yang telah diperbaruhi sesuai dengan
aturan yang baku. Dilakukan urutan kepustakaan sesuai urutan kemunculan dalam keseluruhan
teks, tidak menurut abjad. Nama penulis dicantumkan semua apabila kurang dari 6 orang, apabila
lebih dari 6 orang tulis keenam nama penulis pertama kemudian disertai oleh et al.,. Jumlah
rujukan dibatasi maksimal 30 buah dengan mempertimbangkan:
Usia referensi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
Bila rujukan berupa jurnal, singkatan harus memenuhi Index Medicus.

Kriteria Naskah
1. Naskah Asli merupakan hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran maupun ilmu
kesehatan lain pada umumnya. Format naskah meliputi : Pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan cara : berisis disan penelitisan, tempat

R S D M ,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah J urnal Medika Moewardi


JURNAL MEDI KA MOEWARDI
IISSN:
S S N : 2301-6736
23 01 -6 73 6
VOL.04, NO.02, November 2015

dan waktu, populasi dan sampel, pengukuran dan analisis data. Hasil : dapat dikemukakan
dalam bentuk tabel, grafik maupun tekstural. Diskusi berisi tentang pembahasan
mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Kesimpulan : berisi pendapat penulis
berdasarkan hasil penelitian, ditulis secara lugas dan relevan dengan hasil penelitian.
2. Tinjauan Pustaka merupakan naskah review dari jurnal maupun buku teks mengenai
berbagai hal mutahir dalam ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran.
3. Laporan Kasus: berisi paparan kasus yang ditemukan di klinik atau di lapangan yang
merupakan kasus yang jarang atau menarik. Format penulisan Laporan Kasus meliputi:
Pendahuluan, Laporan Kasus dan Diskusi.
Alamat Pengiriman Naskah :
Jurnal Medika Moewardi : Bagian Diklit RSUD Dr. Moewardi Jalan Kol.Soetarto 132 Telp.
(0217)634634 Ext 153 Fax. (0217) 666954 E-mail :medikamoewardi@yahoo.co.id
Kepastian naskah dimuat atau ditolak akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang
naskahnya dimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak satu eksemplar.

R S D M ,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah J urnal Medika Moewardi

You might also like