Professional Documents
Culture Documents
1
keseluruhan ilmu-ilmu sosial, hukum dan disiplin-disiplin yang lain. Ide ilmu-
ilmu kebijakan bukan semata pertumbuhan kepentingan akademik Lasswell
tetapi juga pengalaman praktisnya di pemerintahan. Lasswell adalah salah
seorang ilmuwan sosial profil tinggi yang membantu pemerintahan
memformulasikan kebijakan selama Perang Dunia II. Pengalaman ini
membantu kristalisasi gagasan Lasswell mengenai bidang baru yang dapat
dikembangkan dalam rangka mengkonesikan lebih baik antara pengetahuan
dan keahlian ilmu-ilmu sosial bagi dunia praktis politik dan pembuatan
kebijakan.
Esai Lasswell yang dipublikasikan pada tahun 1951 berjudul The
Policy Orientation ini menyusun target-target, metode-metode dan tujuan-
tujuan ilmu-ilmu kebijakan. Dari sini Lasswell mulai dengan gagasan yang
jelas mengenai konsep kebijakan publik. Kemudian kebijakan publik
merupakan respon terhadap pilihan-pilihan paling penting yang dihadapi oleh
pemerintah. Ilmu-ilmu kebijakan telah menjadi disiplin yang berkembang
untuk mengklarifikasi dan menginformasikan pilihan-pilihan tersebut dan
menilai dampak puncaknya. Lasswell selanjutnya meletakkan konsep
kebijakan publik pada karakteristik-karakteristik yang membedakan ilmu-ilmu
kebijakan yaitu dengan berorientasi pada masalah (problem oriented),
multidisipliner, teruji baik secara metodologi dan teori (methodologically and
theoritically sophisticated) serta berorientasi nilai-nilai (Smith and Larimer,
2009; 9-10, Deleon dalam Moran, et. al, 2006; 40-41).
Terkait orientasi pada nilai-nilai, Lasswell tidak hanya menghendaki
suatu perkembangan dari ilmu-ilmu kebijakan tetapi justru pada
pengembangan ilmu-ilmu kebijakan demokrasi. Dengan kata lain, ilmu-ilmu
kebijakan memiliki suatu orientasi nilai spesifik yang mana tujuan puncaknya
adalah memaksimalkan nilai-nilai demokratis. Dalam pernyataan Lasswell
bahwa the special emphasis is on the policy sciences of democracy, in
which the ultimate goal is the realization of human dignity in theory and fact
(Lasswell, 1951b; 15 dalam Smith and Larimer, 2009; 10).
2
B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK
3
C. PENDEKATAN-PENDEKATAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam proses pembuatan kebijakan publik dapat dikemukakan adanya
beberapa model/pendekatan, antara lain yaitu political system theory, group
theory, elite theory, rational-choice theory, institutionalism model (Anderson,
1994; 27-34, Henry, 1986; 246-259) dan participative theory/model
(Suprajogo, 1999, Lasker dan Guidry, 2009; 6, Creighton, 2005; 8).
Political system theory adalah model/pendekatan analisa sistem politik
yang dikembangkan oleh David Easton, yang mana kemudian dipakai
sebagai salah satu model/pendekatan dalam kebijakan publik/pembuatan
kebijakan publik. Menurut political system theory, kebijakan publik dipandang
sebai respon sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan (demand) yang
berkembang dari lingkungannya. Political system theory/model tergambarkan
dalam bagan di bawah ini :
Bagan. Political System Theory/Model
Sumber : David Easton, World Politics, Vol. 9, No. 3, April 1957, pp. 383-400, dipublikasi oleh
Cambridge University Press dan Trustees of Princeton University, JSTOR
4
individu yang biasanya berdasarkan basis sikap ataupun kepentingan-
kepentingan bersama, sebagai klaim (pembenaran) terhadap kelompok-
kelompok lain di masyarakat. Akan menjadi sebuah kelompok kepentingan
politik (political interest group) ketika ia membuat pembenaran melalui
ataupun melampaui apapun institusi pemerintahan. Banyak kelompok
melakukan hal tersebut. Individu signifikan dalam politik hanya sebagai
seorang partisipan ataupun wakil-wakil kelompok. Yang mana melalui
kelompok-kelompok itu, orang-perorang mencari untuk mengamankan
preferensi-preferensi kepentingan politik mereka (Ibid; 28). Gagasan
kelompok-kelompok penekan dan lobi-lobi memiliki relevansi (Henry, 1986;
246). Pertarungan antar kepentingan-kepentingan politik masing-masing
kelompok tersebut dalam proses kebijakan publik digambarkan pada bagan
sebagai berikut (Henry, 1986; 247) :
Bagan
The Group Model of Public Policy Making
Sumber : Nicholas Henry, 1986, Public Administration and Public Affairs, Third Edition,
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA, p. 247
5
preferensi yang dapat diterapkan pengaruhnya oleh para pejabat dan
lembaga-lembaga publik (Anderson, 1994; 29). Kebijakan mengalir ke bawah
dari elit ke massa. Masyarakat terbagi menjadi sekelompok kecil orang yang
memiliki kekuasaan (power) dan kebanyakan orang yang tidak memiliki
(Henry, 1986; 246). Hanya sejumlah kecil orang yang mengalokasikan nilai-
nilai untuk masyarakat, massa tidak memutuskan kebijakan publik (Dye dalam
Anderson, 1994; 30). Teori/model elit ini dapat digambarkan dalam bagan di
bawah ini (Henry, 1986; 247) :
Bagan. The Elite/Mass Model of Public Policy Making
Ruling
RuliR
Elite
Policy Output
Mass
Sumber : Nicholas L. Henry, 1986, Public Administration and Public Affairs, Third Edition,
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA, p. 247
6
maupun transaksi pembuatan keputusan semisal voting, juga memiliki
preferensi-preferensi yang bervariasi dari satu orang dengan orang yang
lain. Pada intinya, dalam pembuatan keputusan baik ekonomi ataupun
politik adalah dikendalikan oleh preferensi dan akan mencari untuk
memaksimumkan keuntungan-keuntungan mereka bisa peroleh
(Anderson, 1994; 32-33, Howlett dan Ramesh, 1995; 19-21). Oleh
karenanya, menurut teori ini, kebijakan publik tidak lain merupakan cerminan
tindakan rasional dalam mengejar dan memenuhi kepentingan pribadi (self
interest) daripada kepentingan bersama (masyarakat). Atau dengan kata lain,
kebijakan yang semata-mata ditentukan oleh permintaan-permintaan individu
ataupun tuntutan pasar.
Dimaksudkan dengan institutionalism theory adalah bagaimana
kebijakan publik ditentukan oleh institusi-institusi formal pada negara
sebagai lembaga politik baik meliputi fihak eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, yang mana organisasi formal, aspek-aspek legalitas, aturan-
aturan, fungsi-fungsi dan aktivitas-aktivitas prosedural yang membentuk
suatu kebijakan publik. Pendekatan ini berkonsentrasi pada
mendeskripsikan aspek-aspek yang lebih formal dan legal dari institusi
pemerintahan, organisasi formal mereka, kekuatan-kekuatan formal,
aturan-aturan procedural berikut fungsi-fungsi maupun aktivitasnya.
Hubungan-hubungan formal dengan institusi-institusi lain juga
dipertimbangkan. Biasanya sedikit ada yang dilakukan untuk menjelaskan
bagaimana institusi-institusi seharusnya dioperasikan sebagaimana
dilawankan terhadap bagaimana mereka adalah diharapkan untuk beroperasi,
guna menganalisa kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan oleh institusi-
institusi tersebut atau untuk menemukan hubungan-hubungan diantara
struktur dan kebijakan publik (Anderson, 1994; 31).
Participative theory/model ini memiliki banyak sebutan dan banyak
bentuk semisal public participation, citizen participation, civic engagement,
participatory democracy, deliberative democracy, community collaboration,
comprehensive community initiatives (Lasker dan Guidry, 2009; 6). Kata
partisipasi memiliki banyak pengertian yang berbeda, oleh karenanya tidak
mudah untuk memperoleh definisi yang tepat yang dapat diterima dan
dipergunakan oleh semua fihak. Penggunaan konsep partisipasi berbeda-
7
beda antara satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok
yang lain, dalam sebuah konteks tertentu yang berbeda dengan konteks yang
lain. Lasker dan Guidry (2009) mengartikan partisipasi adalah giving people
who have been excluded from decision making an influential voice about
issues that affect their lives (memberi masyarakat yang mereka
dikecualikan dari pembuatan keputusan- sebuah suara yang berpengaruh
mengenai isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka) (ibid, 6).
The International Association for Public Participation (IAP2)
menawarkan pengertian partisipasi dengan mendefinisikan nilai-nilai unggul
partisipasi publik sebagaimana dinyatakan di bawah ini (The International
Association for Public Participation, 2000 dalam Creighton, 2005; 8) :
The public should have a say in decisions about actions that affect
their lives. Public participation includes the promise that the publics
contribution will influence the decision. Public participation process
communicates the interests and meets the process needs of all
participants, seeks out and facilitates the involvement of those
potentially affected, involves participants in defining how they
participate, provides participants with the information they need to
participate in a meaningful way and communicates to participants how
their input affected the decision
8
menjelaskan kepada mereka mengenai cara bagaimana berpartisipasi secara
efektif dan bermakna (meaningfull).
Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat (public participation) dapat
difahami dengan cara yang terbaik sebagai sebuah continuum. Setidaknya
ada 4 (empat) item dapat disebutkan sebagai the continuum of participation
seperti yang dikutip Craight (2005) dari The International Association for
Public Participation yaitu (1) Inform the public, (2) Listen to the public, (3)
Engage in problem solving, dan (4) Develop agreements (Craight, 2005; 9).
9
Tatap Muka Ke-4 dan Ke-5
POLICY
STAKEHOLDERS
POLICY PUBLIC
ENVIRONMENT POLICY
Sumber : Diadopsi dari Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 3rd ed,
Englewood Cliffs, N.J., Prentice-Hall, Inc. 1978, p. 9
10
Bagan Actors and Institutions in the Policy Process
Policy
Actors
(Policy
Subsystem
)
Organization of
the International Organization of
System Society
Organization of the State
Sumber : Michael Howlett and M. Ramesh, Studying Public Policy : Policy Cycles and
Policy Subsyestems, 1995, Oxford University Press, p. 51.
11
etnis, agama, ideologi dan kepercayaan serta dari daerah manapun, baik
terdiri dari kegiatan dan profesi apapun, dari kalangan manapun dan
stratifikasi politik, sosial, ekonomi, hukum, pendidikan dan budayanya.
Mereka semua sebagai fihak yang menginisiasi dan mempengaruhi
kebijakan, demikian pula mereka sebagai fihak yang merasakan dampak dan
mendapatkan manfaat (Beneficiaries) kebijakan, adalah selaku the actors of
public policy/policy stakeholders. Sedangkan unsur lain dari para
aktor/pemangku kebijakan publik yang membuat dan terlibat dalam proses
perumusan kebijakan publik sering disebut secara spesifik dengan istilah
public policymakers, yaitu mereka adalah fihak yang memiliki kewenangan
legal untuk melaksanakan di dalam formulasi kebijakan publik (Anderson,
1994; 54). Mereka terdiri dari 3 (Tiga) cabang pemerintahan yang meliputi
fihak legislatif, eksekutif dan yudikatif (Nigro and Nigro, 1977; 18) yang
disebut sebagai the official policymakers (Anderson, 1994; 54-63).
Para pembuat kebijakan yang formal di pemerintahan dapat dibedakan
(Jones, 1984, 9-16, Anderson, 1994; 54-63, Hewlett and Ramesh, 1995; 52-
57) menjadi 2 (dua) macam yaitu :
Pertama, sebagai elected officials yaitu seluruh anggota legislatif dan
para pejabat politik di kalangan eksekutif mulai dari yaitu Presiden dengan
lembaga Kepresidenan atau Perdana Menteri dengan parlemennya, hingga
para menteri, seterusnya kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota;
Kedua, appointed officials yang meliputi para administrator atau
birokrat selaku pelaksana kebijakan dan penyelenggara administrasi
pemerintahan dengan birokrasi/badan-badan administrasi sebagai wadah
kelembagaannya.
Sedangkan aktor kebijakan/pemangku kepentingan kebijakan di luar
formal pemerintahan adalah kelompok-kelompok kepentingan (Interest
Groups), partai-partai politik, lembaga-lembaga riset, mass media, dan warga
negara secara individual juga organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti
para pebisnis, kelompok-kelompok buruh, dan organisasi lainnya (Jones,
1984, 14-17, Anderson, 1994; 63-71, Hewlett and Ramesh, 1995; 57-59). Dan
dalam konteks globalisasi saat ini tidak dapat dilepaskan perumusan
kebijakan publik di suatu negara dari pengaruh-pengaruh bahkan intervensi
12
lembaga-lembaga internasional antara lain organisasi perdagangan
internasional seperti GATT/WTO, rejim keuangan internasional semisal
International Monetery Fund (IMF), World Bank (Hewlett and Ramesh, 1995;
69-73), dan perusahaan- perusahaan lintas/antar negara (Multi National
Companies/MNC).
Sebagai contoh kebijakan, antara lain ketika pemerintah mengurangi
subsidi BBM bagi masyarakat dengan cara menaikkan harga BBM, tidak lain
adalah karena mempertimbangkan pasokan minyak di dalam negeri yang
kian menipis padahal kebutuhan akan pemenuhan tersedianya minyak di
tengah-tengah masyarakat sangat tinggi. Sedangkan di sisi lain, untuk
mensuplai keperluan minyak di dalam negeri, pemerintah telah mengimpor
minyak dari luar negeri, sehingga hal ini juga mempengaruhi devisa neraca
perdagangan Indonesia terhadap luar negeri kian berkurang. Banyak contoh-
contoh lain.
Dalam perkembangannya, aktor-aktor kebijakan publik sudah
mencakup lingkungan hidup. Hal ini terkait bahwa isu-isu kebijakan publik
yang fenomenal pada beberapa dekade terakhir adalah permasalahan
lingkungan hidup. Lingkungan hidup, dalam artian luas adalah meliputi segala
sesuatu yang ada di alam ini, baik ia berupa makhluk hidup maupun benda
mati serta apapun yang berada di sekitarnya. Termasuk di dalam konsep
makhluk hidup adalah manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pandangan
mengenai pengertian dan konsep aktor-aktor kebijakan yang merangkum di
dalamnya juga jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan serta alam sekitarnya
sebagai suatu kesatuan ekosistem,
Sejak tahun 1980-an itu, dengan atas nama faham demokrasi, Barat
mengklaim sebuah gagasan pro lingkungan hidup yang dijuluki
ecodemocracy atau green democracy. Meskipun sebenarnya secara
substansial tidak ada hubungan teoritik konseptual maupun logika antara
konsep democracy di satu sisi dan konsep environmentalism (Faham
Lingkungan Hidup) di sisi lain (Ball, 2005; 3). Karena pada dasarnya apapun
bentuk maupun sistem pemerintahan yang dianut suatu negara memiliki
kecenderungan dan peluang yang sama untuk bisa pro ataupun kontra
terhadap kepedulian lingkungan hidup. Bahkan, demokrasi liberal -yang
menjadi model umum hampir di sebagian besar negara-negara di dunia pada
13
era ini- terbukti tidak ramah lingkungan. Demokrasi liberal yang hampir selalu
berjodoh dengan ekonomi neo-liberal bahkan menjadi penyumbang terbesar
kerusakan lingkungan global.
Dalam kerangka pandang kebijakan publik, Terrance Ball (2001)
memperkenalkan gagasan Biokrasi ini sebagai pemerintahan yang
menimbang makhluk hidup, yang mana bukan saja manusia yang mesti
ditimbang dan diwakili kepentingannya, tetapi juga binatang, ekosistem, dan
generasi mendatang. Konsep ini pada intinya menegaskan bagaimana
pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif- dalam perumusan,
implementasi dan penghakiman kebijakan berorientasi pada pengarustamaan
lingkungan hidup (Ball, 2001: 101-102). Kebijakan publik pada
pengarusutamaan lingkungan hidup dalam praktek pemerintahan tampak di
bawah ini :
Sumber : Eep Saefulloh Fatah, Optimalisasi Kaukus Lingkungan Hidup, 2008, Makalah
FGD Penguatan Kapasitas Forum Kaukus Lingkungan Hidup Anggota DPRD, KLH
14
Tatap Muka Ke-
15
Tatap Muka Ke-
disebut sebagai the theory of policy stages. Secara evolusi, teori ini telah
sebagai berikut :
16
Tabel.
Evolusi Teori Tahap-tahap Kebijakan
Sumber : Kevin B. Smith and Christoper W. Larimer, 2009, The Public Policy Theory Primer,
Westview Press Publishing, Philadelpia, USA, pag. 30
17
18
Dalam tahap-tahap proses pembuatan kebijakan publik, baik secara
teoritik maupun tehnis dalam studi kebijakan publik, bermula dari mana
tampilnya persoalan masyarakat dan bagaimana suatu persoalan masyarakat
tersebut menjadi agenda publik yang akan ditangani oleh fihak yang memiliki
kewenangan baik legislatif maupun eksekutif dapat dilihat dari proses
penyusunan agenda publik yang bermula dari persoalan pribadi (private
problem) sebagaimana tergambar pada bagan di bawah ini :
Bagan
Proses Penyusunan Agenda Publik
Input Process
Institutional Public
Agenda Agenda
Sumber : Model dikutip dari James E. Anderson, Public Policy Making : An Introduction
Second Edition, 1994, Houghton Mifflin Company, Boston, USA, p. 90. dengan
modifikasi peneliti
19
7. Agenda : Sebuah istilah tentang pola-pola tindakan pemerintahan yang
spesifik sifatnya. Terutama dalam tahapan awal perkembangan suatu
kebijakan. Sebuah analisis tentang proses penyusunan yang akan
menjadi sebuah analisis tentang bagaimana suatu problem
dikembangkan, didefinisikan dan diformulasikan cara pemecahannya.
Juga turut di dalamnya legitimasi dari suatu tindakan terhadap tindakan
lainnya serta merancang sebuah sistem kebijakan yang berlandaskan
pada landasan yang tetap untuk menghadapi problem yang tengah
dihadapi tersebut.
20
Sebagai ilustrasi dari bagan proses penyusunan kebijakan publik,
persoalan yang semula dihadapi oleh orang-perorang ataupun segelintir
orang tertentu di tengah masyarakat tersebut apabila di dalam realita ternyata
juga terjadi pada orang lain, keluarga lain, kelompok masyarakat yang lain
dan seterusnya hingga berkembang menimpa kebanyakan orang di berbagai
tempat dan masyarakat telah terakumulasi dalam skala yang meluas maka
persoalan itu sudah dapat dikelompokkan sebagai public problem.
Kemudian ketika persoalan masyarakat tersebut telah berkembang
menjadi isu-isu -dalam istilah studi kebijakan publik- yaitu sebagai persoalan
umum yang bersifat kontroversial dan menuntut penanganan untuk dicarikan
pemecahannya maka isu-isu itu menjadi systemic agenda. Dimaksudkan
bahwa persoalan masyarakat itu akan menjadi systemic agenda apabila
semua isu yang secara umum diterima oleh anggota masyarakat secara
politis sebagai masalah yang pantas mendapatkan perhatian publik dan
sebagai masalah-masalah yang melibatkan jurisdiksi resmi otoritas
pemerintahan.
Berikutnya systemic agenda menjadi institutional agenda (agenda
kelembagaan) tatkala serangkaian persoalan itu benar-benar telah membuat
fihak legislatif dan eksekutif berkewajiban memberikan perhatian serius dan
aktif. Contoh pengalaman Indonesia misalnya, secara formal pembuatan
kebijakan dimulai dari Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi
hingga Pusat terdapat juga berbagai agenda institusional (kelembagaan),
maka agenda kelembagaan pada dasarnya adalah suatu agenda aksi yang
tentu harus lebih spesifik dan kongkrit dari sekedar agenda sistemik. Aspirasi
masyarakat yang nantinya akan diterima pemerintahan akan sangat banyak
sekali dan amat beragam yang mana tidak memungkinkan semuanya akan
menjadi suatu usulan yang akan ditindaklanjuti dalam area pengambilan
kebijakan. Oleh karena itu, pada akhirnya pada proses penyusunan agenda
publik, untuk menjadikan agenda kelembagaan benar-benar sebagai agenda
publik yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi agenda pemerintahan
haruslah memenuhi suatu kriteria tertentu. Proses berlangsungnya
pembuatan kebijakan publik dimulai dari adanya input, proses dan output
sampai outcomes. Secara bertahap proses tersebut berawal dari agenda
21
kebijakan, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi dan
evaluasi kebijakan.
Penulis menggunakan model yang dikemukakan oleh James E.
Anderson dan memadukannya dengan model/teori sistem politik David
Easton. Model tahap-tahap proses pembuatan kebijakan (the stages of public
policy making process) yang dikemukakan oleh James E. Anderson meliputi :
problem identification and agenda information, formulation, adoption,
implementation dan evalution (Smith dan Larimer, 2009; 30-31, Anderson,
1994; 37-38) dan teori/model Davis Easton yang terdiri dari input, proses,
ouput dan umpan balik (feed back). Anderson seperti Lasswell tidak hanya
memfokuskan pada output semata namun melihat tahap-tahap pembuatan
kebijakan sebagai suatu proses secara keseluruhan. Cara pandang ini yang
juga dianut oleh David Easton dalam mendekati konsep kebijakan publik yang
ia sebut sebagai the political system theory/model. Gambar bagan tahap-
tahap proses pembuatan kebijakan publik yang merupakan perpaduan model
yang ditawarkan oleh Anderson dan Easton digambarkan oleh peneliti seperti
tampak pada bagan di bawah ini :
22
STAGES OF PUBLIC POLICY MAKING PROCESS
Policy Formulation
Policy Monitoring
Problem Definition Policy Policy Adoption
Agenda Setting Formulation Policy Implementation
FEED BACK
1
Input berupa aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disampaikan
kepada pemerintah ataupun diserap oleh pemerintah pada akhirnya akan
menjadi suatu kebijakan yang merepresentasikan kepentingan masyarakat di
lembaga legislatif maupun eksekutif. Aspirasi dan tuntutan masyarakat yang
disampaikan oleh masyarakat ataupun diserap oleh pemerintah pada
akhirnya menjadi agenda publik berupa isu-isu maupun persoalan-persoalan
masyarakat yang sangat spesifik sesuai ruang lingkup tugas dan wewenang
pemerintahan yang harus mendapat perhatian dan layak untuk ditangani,
diformulasikan pemecahannya oleh pemerintahan guna menjawab aspirasi
dan tuntutan masyarakat tersebut.
Sebagaimana telah lazim proses yang berlangsung di dalam
pembuatan kebijakan publik, bahwa untuk menentukan suatu persoalan
publik (public problem) tertentu dari sekian banyak persoalan publik yang
telah masuk dan sudah diagendakan dapat benar-benar dipilih, ditetapkan
dan diprioritaskan untuk dibahas di institusi pembuat kebijakan publik
memerlukan beberapa tahapan yang harus dilalui. Tahapan mulai dari
inventarisasi persoalan-persoalan publik yang telah ditampung pemerintahan
menjadi agenda publik, identifikasi, pemilahan dan pemilihan, spesifikasi
persoalan dan penentuan persoalan sebagai persoalan publik yang strategis,
krusial dan prioritas yang harus dibahas untuk dicarikan alternatif-alternatif
pemecahan persoalannya dan ditemukan jalan keluarnya.
Secara konseptual hasil dari tindak lanjut berupa pemecahan masalah
publik (public problem solving) adalah output (keluaran) kebijakan berupa
produk-produk kebijakan yaitu peraturan dan perundang-undangan ataupun
usulan, masukan dan pertimbangan kepada lembaga-lembaga negara lain
yang terkait maupun institusi pemerintahan mitra parlemen (lembaga
legislatif) baik di pusat maupun di daerah. Output kebijakan yang dihasilkan
tentunya harus dapat menjawab tuntutan aspirasi masyarakat dan
menyelesaikan persoalan-persoalan publik yang mereka hadapi.
Pada akhirnya, masyarakat diharapkan akan mendapatkan dampak
(outcomes) kebijakan yang positif secara signifikan yang mana kepentingan-
kepentingan mereka terakomodir dan kemanfaatannya dirasakan secara luas
1
dan optimal oleh masyarakat selaku public policy beneficiaries (para
penerima manfaat kebijakan publik).
Merupakan suatu kelaziman bahwa institusi pembuat kebijakan publik
dan para penyelenggara pemerintahan usai merumuskan suatu kebijakan
-dan mengimplementasikannya-, dituntut mempertanggung jawabkan apapun
kebijakan yang telah dibuat dan yang diselenggarakannya kepada mereka
yang memberikan mandat (amanah).
Dalam konteks negara-negara yang menganut format dan sistem
Demokrasi, para pembuat kebijakan dan institusi pemerintahan adalah entitas
yang mendapatkan kekuasaan dari rakyat, oleh karenanya mereka
bertanggung jawab kepada masyarakat (accountable to people) dari setiap
kebijakan ( what is held be accountable) yang dirumuskan dan
ditetapkannya.
Selanjutnya, masyarakat sebagai fihak yang terkena dampak kebijakan
dan atau menerima manfaat kebijakan dapat pula memberikan tanggapan
(respons) kepada lembaga legislatif maupun eksekutif dalam bentuk umpan
balik (feedback) berupa masukan, usulan, kritikan pengaduan, gugatan, sikap
kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dihasilkan oleh
pemerintahan. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab partisipatif
(participative accountabiility) masyarakat berupa pengawasan publik (public
controlling) terhadap keseluruhan proses pembuatan kebijakan -dan termasuk
implementasinya-.
Masyarakat dapat menyampaikan respon balik tersebut kepada
anggota parlemen pada saat melakukan kegiatan di daerah maupun
kunjungan kerja (kuker). Ataupun juga bisa disampaikan melalui berbagai
saluran baik media cetak maupun elektronik. Apabila berupa pengaduan
ataupun gugatan publik terhadap peraturan perundang-undangan dapat
disampaikan dalam bentuk judicial review kepada institusi selevel Mahkamah
Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK) seperti dalam konteks
negara Indonesia.
2
3
CONTOH PRAKTEK PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA
RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7
(tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah
disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan
DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang
sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.
RUU beserta penjelasan/ keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari
Presiden disampaikan secara
tertulis kepada Pimpinan DPR
dengan Surat Pengantar
Presiden yang menyebut juga
Menteri yang mewakili
Presiden dalam melakukan
pembahasan RUU tersebut.
1
tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang
terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD.
RUU beserta
penjelasan/keterangan, dan atau
naskah akademis yang berasal dari
DPD disampaikan secara tertulis
oleh Pimpinan DPD kepada
Pimpinan DPR, kemudian
dalamRapat Paripurna berikutnya,
setelah RUU diterima oleh DPR,
Pimpinan DPR memberitahukan
kepada Anggota masuknya RUU
tersebut, kemudian
membagikannya kepada seluruh
Anggota. Selanjutnya Pimpinan
DPR menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Pimpinan
DPD mengenai tanggal
pengumuman RUU yang berasal
dari DPD tersebut kepada
Anggota dalam Rapat Paripurna.
Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan
mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau
Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3
(sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil
pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden
dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden
dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan
DPD untuk ikut membahas RUU tersebut.
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian
RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam
pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat
pembicaraan di DPR.
Keterangan:
Untuk proses secara lengkap, silahkan lihat Tatib (tatatertib DPR RI BAB: XVII
Pasal 121 sampai Pasal 139)
2
3
4