You are on page 1of 30

MATA KULIAH : KEBIJAKAN PUBLIK

DOSEN : DR. TJAHJO SUPRAJOGO, MSI

Tatap Muka Ke-1

A. SEJARAH LAHIRNYA KEBIJAKAN PUBLIK


Menelusuri secara historis asal muasal kebijakan publik hingga
perkembangan pada saat ini. Sesungguhnya kebijakan publik sebagai pilihan
tindakan apa yang pemerintah harus lakukan ataupun tidak melakukannya,
telah menempati perhatian dan kepentingan manusia bahkan sejak
pemerintahan itu sendiri ada (Smith dan Larimer, 2009; 7). Menurut versi
William N. Dunn, sejarah perkembangan kebijakan publik (analisa kebijakan
publik) dapat dilacak sejak dari masa kota Mesopotamia kuno yang
didasarkan pada sumber the Hammurabi Code (Kode Hammurabi) yang
merupakan peraturan hukum pertama kali di abad 21 sebelum Masehi. Yaitu
2000 ribu tahun sebelum Aristoteles (384-322 SM), Konfusius (551-479 SM),
dan Kautilya (300 SM) yang menghasilkan kontrak-kontrak klasik tentang
pemerintahan dan politik (Dunn, 1981; 8-9). Kenyataan historis tersebut dapat
ditemui pula di Mesir, Yunani, China, India dan Persia.
Perkembangan studi kebijakan publik berlanjut hingga abad
pertengahan dan disusul adanya spesialisasi pengetahuan di masyarakat
yang memiliki peradaban urban, terdapat political politicians (istilah Max
Weber) ataupun akademisi yang terlatih di bidang kebijakan publik yang
bervariasi. Kemajuan kajian ini berlangsung hingga abad 19 dan 20.
Dalam perkembangannya, studi kebijakan publik kian menemukan
posisi dan bentuknya dimulai oleh Harold D. Laswell yang meletakkan grand
vision tentang apa yang ia sebut ilmu-ilmu pengetahuan kebijakan (policy
sciences) di tahun-tahun pertengahan abad 20 (Smith and Larimer, 2009; 8),
persisnya di awal 1940-an dan akhir 1950-an ditandai dengan tulisan esainya
The Policy Orientation yang menjadi bab pembuka bagi Laswell dan Daniel
Lerner dalam bukunya The Policy Sciences (1951) (Deleon dalam Moran,
et. al, 2006; 39-40).
Dalam beberapa cara, visi Laswell mengenai ilmu-ilmu kebijakan
merupakan suatu visi apa yang ilmu politik seharusnya menjadi (lihat Laswell,
1951 dan 1956). Ilmu-ilmu kebijakan dulu adalah menggambarkan

1
keseluruhan ilmu-ilmu sosial, hukum dan disiplin-disiplin yang lain. Ide ilmu-
ilmu kebijakan bukan semata pertumbuhan kepentingan akademik Lasswell
tetapi juga pengalaman praktisnya di pemerintahan. Lasswell adalah salah
seorang ilmuwan sosial profil tinggi yang membantu pemerintahan
memformulasikan kebijakan selama Perang Dunia II. Pengalaman ini
membantu kristalisasi gagasan Lasswell mengenai bidang baru yang dapat
dikembangkan dalam rangka mengkonesikan lebih baik antara pengetahuan
dan keahlian ilmu-ilmu sosial bagi dunia praktis politik dan pembuatan
kebijakan.
Esai Lasswell yang dipublikasikan pada tahun 1951 berjudul The
Policy Orientation ini menyusun target-target, metode-metode dan tujuan-
tujuan ilmu-ilmu kebijakan. Dari sini Lasswell mulai dengan gagasan yang
jelas mengenai konsep kebijakan publik. Kemudian kebijakan publik
merupakan respon terhadap pilihan-pilihan paling penting yang dihadapi oleh
pemerintah. Ilmu-ilmu kebijakan telah menjadi disiplin yang berkembang
untuk mengklarifikasi dan menginformasikan pilihan-pilihan tersebut dan
menilai dampak puncaknya. Lasswell selanjutnya meletakkan konsep
kebijakan publik pada karakteristik-karakteristik yang membedakan ilmu-ilmu
kebijakan yaitu dengan berorientasi pada masalah (problem oriented),
multidisipliner, teruji baik secara metodologi dan teori (methodologically and
theoritically sophisticated) serta berorientasi nilai-nilai (Smith and Larimer,
2009; 9-10, Deleon dalam Moran, et. al, 2006; 40-41).
Terkait orientasi pada nilai-nilai, Lasswell tidak hanya menghendaki
suatu perkembangan dari ilmu-ilmu kebijakan tetapi justru pada
pengembangan ilmu-ilmu kebijakan demokrasi. Dengan kata lain, ilmu-ilmu
kebijakan memiliki suatu orientasi nilai spesifik yang mana tujuan puncaknya
adalah memaksimalkan nilai-nilai demokratis. Dalam pernyataan Lasswell
bahwa the special emphasis is on the policy sciences of democracy, in
which the ultimate goal is the realization of human dignity in theory and fact
(Lasswell, 1951b; 15 dalam Smith and Larimer, 2009; 10).

2
B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK

3
C. PENDEKATAN-PENDEKATAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam proses pembuatan kebijakan publik dapat dikemukakan adanya
beberapa model/pendekatan, antara lain yaitu political system theory, group
theory, elite theory, rational-choice theory, institutionalism model (Anderson,
1994; 27-34, Henry, 1986; 246-259) dan participative theory/model
(Suprajogo, 1999, Lasker dan Guidry, 2009; 6, Creighton, 2005; 8).
Political system theory adalah model/pendekatan analisa sistem politik
yang dikembangkan oleh David Easton, yang mana kemudian dipakai
sebagai salah satu model/pendekatan dalam kebijakan publik/pembuatan
kebijakan publik. Menurut political system theory, kebijakan publik dipandang
sebai respon sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan (demand) yang
berkembang dari lingkungannya. Political system theory/model tergambarkan
dalam bagan di bawah ini :
Bagan. Political System Theory/Model

Sumber : David Easton, World Politics, Vol. 9, No. 3, April 1957, pp. 383-400, dipublikasi oleh
Cambridge University Press dan Trustees of Princeton University, JSTOR

Menurut group theory/model, kebijakan publik merupakan produk dari


pertarungan kelompok. Ada yang menyebutkan bahwa kebijakan publik
adalah ekuilibrium yang dicapai dalam pertarungan (kelompok) di setiap
momen yang terjadi dan merepresentasikan suatu keseimbangan yang
mana faksi-faksi atau kelompok-kelompok yang berjuang secara konsisten
berusaha untuk memperberat dalam dukungan mereka. Sejumlah kebijakan
publik bekerja merefleksikan aktivitas-aktivitas kelompok (Anderson, 1994;
27). Interaksi dan pertarungan diantara kelompok-kelompok adalah fakta-
fakta dari kehidupan politik. Suatu kelompok adalah kumpulan individu-

4
individu yang biasanya berdasarkan basis sikap ataupun kepentingan-
kepentingan bersama, sebagai klaim (pembenaran) terhadap kelompok-
kelompok lain di masyarakat. Akan menjadi sebuah kelompok kepentingan
politik (political interest group) ketika ia membuat pembenaran melalui
ataupun melampaui apapun institusi pemerintahan. Banyak kelompok
melakukan hal tersebut. Individu signifikan dalam politik hanya sebagai
seorang partisipan ataupun wakil-wakil kelompok. Yang mana melalui
kelompok-kelompok itu, orang-perorang mencari untuk mengamankan
preferensi-preferensi kepentingan politik mereka (Ibid; 28). Gagasan
kelompok-kelompok penekan dan lobi-lobi memiliki relevansi (Henry, 1986;
246). Pertarungan antar kepentingan-kepentingan politik masing-masing
kelompok tersebut dalam proses kebijakan publik digambarkan pada bagan
sebagai berikut (Henry, 1986; 247) :
Bagan
The Group Model of Public Policy Making

Sumber : Nicholas Henry, 1986, Public Administration and Public Affairs, Third Edition,
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA, p. 247

Dimaksudkan dengan elit theory/model adalah dimana kebijakan publik


dipandang sebagai refleksi nilai-nilai dan preferensi-preferensi elit yang
mengatur. Argumentasi esensial teori ini adalah bahwa kebijakan publik tidak
semata ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan dan tindakan-tindakan
masyarakat atau massa tetapi lebih oleh elit berkuasa yang memiliki

5
preferensi yang dapat diterapkan pengaruhnya oleh para pejabat dan
lembaga-lembaga publik (Anderson, 1994; 29). Kebijakan mengalir ke bawah
dari elit ke massa. Masyarakat terbagi menjadi sekelompok kecil orang yang
memiliki kekuasaan (power) dan kebanyakan orang yang tidak memiliki
(Henry, 1986; 246). Hanya sejumlah kecil orang yang mengalokasikan nilai-
nilai untuk masyarakat, massa tidak memutuskan kebijakan publik (Dye dalam
Anderson, 1994; 30). Teori/model elit ini dapat digambarkan dalam bagan di
bawah ini (Henry, 1986; 247) :
Bagan. The Elite/Mass Model of Public Policy Making

Ruling
RuliR
Elite

Policy Output

Mass

Sumber : Nicholas L. Henry, 1986, Public Administration and Public Affairs, Third Edition,
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA, p. 247

Rational-choice theory yang disebut juga public choice ataupun


formal theory berasal dari para ekonom yang berpendapat bahwa aktor-
aktor politik bertindak seperti para pelaku ekonomi, yang mana mereka
bertindak secara rasional dalam memperoleh kepentingan pribadi milik
mereka sendiri (their own self-interest). James Buchanan seorang
penggagas teori ini mengemukakan bahwa para politisi adalah dirahkan
oleh kepentingan-kepentingan pribadi mereka dibandingkan komitmen
altruistik (berbuat kebaikan untuk sesama) terhadap tujuan-tujuan
sebagai kenegarawanan ataupun kepentingan-kepentingan nasional.
Menurutnya, ini seharusnya bukan hal yang mengejutkan, karena
pemerintahan adalah terbentuk dari individu-individu dan tiap-tiap
individu bergerak dari kepentingan pribadi ketika mereka terlibat di
dalam suatu sistem pertukaran, apakah berada pada ekonomi pasar
ataupun di politik. Individu-individu yang terlibat dalam pertukran

6
maupun transaksi pembuatan keputusan semisal voting, juga memiliki
preferensi-preferensi yang bervariasi dari satu orang dengan orang yang
lain. Pada intinya, dalam pembuatan keputusan baik ekonomi ataupun
politik adalah dikendalikan oleh preferensi dan akan mencari untuk
memaksimumkan keuntungan-keuntungan mereka bisa peroleh
(Anderson, 1994; 32-33, Howlett dan Ramesh, 1995; 19-21). Oleh
karenanya, menurut teori ini, kebijakan publik tidak lain merupakan cerminan
tindakan rasional dalam mengejar dan memenuhi kepentingan pribadi (self
interest) daripada kepentingan bersama (masyarakat). Atau dengan kata lain,
kebijakan yang semata-mata ditentukan oleh permintaan-permintaan individu
ataupun tuntutan pasar.
Dimaksudkan dengan institutionalism theory adalah bagaimana
kebijakan publik ditentukan oleh institusi-institusi formal pada negara
sebagai lembaga politik baik meliputi fihak eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, yang mana organisasi formal, aspek-aspek legalitas, aturan-
aturan, fungsi-fungsi dan aktivitas-aktivitas prosedural yang membentuk
suatu kebijakan publik. Pendekatan ini berkonsentrasi pada
mendeskripsikan aspek-aspek yang lebih formal dan legal dari institusi
pemerintahan, organisasi formal mereka, kekuatan-kekuatan formal,
aturan-aturan procedural berikut fungsi-fungsi maupun aktivitasnya.
Hubungan-hubungan formal dengan institusi-institusi lain juga
dipertimbangkan. Biasanya sedikit ada yang dilakukan untuk menjelaskan
bagaimana institusi-institusi seharusnya dioperasikan sebagaimana
dilawankan terhadap bagaimana mereka adalah diharapkan untuk beroperasi,
guna menganalisa kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan oleh institusi-
institusi tersebut atau untuk menemukan hubungan-hubungan diantara
struktur dan kebijakan publik (Anderson, 1994; 31).
Participative theory/model ini memiliki banyak sebutan dan banyak
bentuk semisal public participation, citizen participation, civic engagement,
participatory democracy, deliberative democracy, community collaboration,
comprehensive community initiatives (Lasker dan Guidry, 2009; 6). Kata
partisipasi memiliki banyak pengertian yang berbeda, oleh karenanya tidak
mudah untuk memperoleh definisi yang tepat yang dapat diterima dan
dipergunakan oleh semua fihak. Penggunaan konsep partisipasi berbeda-

7
beda antara satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok
yang lain, dalam sebuah konteks tertentu yang berbeda dengan konteks yang
lain. Lasker dan Guidry (2009) mengartikan partisipasi adalah giving people
who have been excluded from decision making an influential voice about
issues that affect their lives (memberi masyarakat yang mereka
dikecualikan dari pembuatan keputusan- sebuah suara yang berpengaruh
mengenai isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka) (ibid, 6).
The International Association for Public Participation (IAP2)
menawarkan pengertian partisipasi dengan mendefinisikan nilai-nilai unggul
partisipasi publik sebagaimana dinyatakan di bawah ini (The International
Association for Public Participation, 2000 dalam Creighton, 2005; 8) :
The public should have a say in decisions about actions that affect
their lives. Public participation includes the promise that the publics
contribution will influence the decision. Public participation process
communicates the interests and meets the process needs of all
participants, seeks out and facilitates the involvement of those
potentially affected, involves participants in defining how they
participate, provides participants with the information they need to
participate in a meaningful way and communicates to participants how
their input affected the decision

Dari pengertian yang telah dikemukakan, diantaranya oleh Lasker dan


Guidry (2009), Craight (2005) diatas, peneliti juga memiliki definisi yang sama
dengan mereka mengenai pengertian sederhana dari konsep partisipasi yaitu
memberi masyarakat suatu hak untuk menyampaikan pendapat guna
mempengaruhi proses pengambilan keputusan ataupun kebijakan publik
mengenai berbagai hal yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka
(Suprajogo, 1999). Yang mana konsep partisipasi adalah menjanjikan bagi
kontribusi masyarakat dalam ikut memperngaruhi setiap pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan publik. Masyarakat
dalam kerangka partisipasi adalah memiliki kesempatan untuk menyatakan
kepentingannya, mereka memperoleh fasilitasi dalam pelibatan hal-hal yang
secara potensial berpengaruh dan mengkomunikasikan kepada mereka
bagaimana masukan dan usulan mereka mempengaruhi keputusan-
keputusan dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kehidupan
mereka. Tugas yang harus diperankan oleh para pembuat kebijakan adalah
menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat untuk berpartisipasi dan

8
menjelaskan kepada mereka mengenai cara bagaimana berpartisipasi secara
efektif dan bermakna (meaningfull).
Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat (public participation) dapat
difahami dengan cara yang terbaik sebagai sebuah continuum. Setidaknya
ada 4 (empat) item dapat disebutkan sebagai the continuum of participation
seperti yang dikutip Craight (2005) dari The International Association for
Public Participation yaitu (1) Inform the public, (2) Listen to the public, (3)
Engage in problem solving, dan (4) Develop agreements (Craight, 2005; 9).

9
Tatap Muka Ke-4 dan Ke-5

D. AKTOR-AKTOR, INSTITUSI DAN INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

Mempelajari kebijakan publik dalam suatu sistem kebijakan tidak dapat


diabaikan untuk membahas terlebih dahulu 3 (Tiga) elemen penting yang
perlu diketahui yaitu :
Bagan. Tiga Elemen Dalam Suatu Sistem Kebijakan

POLICY
STAKEHOLDERS

POLICY PUBLIC
ENVIRONMENT POLICY

Sumber : Diadopsi dari Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 3rd ed,
Englewood Cliffs, N.J., Prentice-Hall, Inc. 1978, p. 9

Mengkaji suatu proses pembuatan kebijakan, tidak dapat dipisahkan


dari siapa saja yang menjadi aktor kebijakan, baik secara individual,
kelompok maupun institusional. Karena aktor dan institusi merupakan
variabel penting dalam suatu proses perumusan kebijakan publik. Meminjam
konsep Michael Howlett dan Ramesh (1995), mereka telah menggambarkan
aktor dan institusi kebijakan dalam proses perumusan kebijakan
sebagaimana bagan di bawah ini :

10
Bagan Actors and Institutions in the Policy Process

Policy
Actors
(Policy
Subsystem
)

Organization of
the International Organization of
System Society
Organization of the State

Sumber : Michael Howlett and M. Ramesh, Studying Public Policy : Policy Cycles and
Policy Subsyestems, 1995, Oxford University Press, p. 51.

Aktor kebijakan atau -pemangku kepentingan kebijakan (Policy


Stakeholders) dalam istilah Thomas R. Dye (1978), William N. Dunn (1981)-,
menurut Howlett dan Ramesh mencakup baik aktor-aktor negara dan
kemasyarakatan, yaitu mereka yang secara intim terlibat di dalam proses
kebijakan ketika fihak-fihak lain juga terlibat hanya secara marjinal (Hewlett
and Rames, 1995; 51).
Dimaksudkan sebagai aktor kebijakan adalah siapa saja yang
menginisiasi adanya kebijakan, yang terkena kebijakan, yang mendapatkan
manfaat ataupun dampak kebijakan, yang ikut mempengaruhi kebijakan dan
mereka yang terlibat dalam proses pembuatan dan atau perumusan
kebijakan. Pengertian dan konsep aktor kebijakan yang dianut dan dipakai
penulis adalah pengertian dan konsep yang diterima dari Profesor Agus
Dwiyanto, sebagai dosen dan pembimbing penulis, beliau Guru Besar Ilmu
Administrasi Negara Program Studi Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada
Yogyakarta.
Dalam pengertian dan konsep ini, maka siapapun mereka yang terkait
-dalam artian luas- dengan proses pembuatan dan atau perumusan kebijakan
publik, adalah aktor kebijakan publik. Entah mereka berasal dari beragam ras,

11
etnis, agama, ideologi dan kepercayaan serta dari daerah manapun, baik
terdiri dari kegiatan dan profesi apapun, dari kalangan manapun dan
stratifikasi politik, sosial, ekonomi, hukum, pendidikan dan budayanya.
Mereka semua sebagai fihak yang menginisiasi dan mempengaruhi
kebijakan, demikian pula mereka sebagai fihak yang merasakan dampak dan
mendapatkan manfaat (Beneficiaries) kebijakan, adalah selaku the actors of
public policy/policy stakeholders. Sedangkan unsur lain dari para
aktor/pemangku kebijakan publik yang membuat dan terlibat dalam proses
perumusan kebijakan publik sering disebut secara spesifik dengan istilah
public policymakers, yaitu mereka adalah fihak yang memiliki kewenangan
legal untuk melaksanakan di dalam formulasi kebijakan publik (Anderson,
1994; 54). Mereka terdiri dari 3 (Tiga) cabang pemerintahan yang meliputi
fihak legislatif, eksekutif dan yudikatif (Nigro and Nigro, 1977; 18) yang
disebut sebagai the official policymakers (Anderson, 1994; 54-63).
Para pembuat kebijakan yang formal di pemerintahan dapat dibedakan
(Jones, 1984, 9-16, Anderson, 1994; 54-63, Hewlett and Ramesh, 1995; 52-
57) menjadi 2 (dua) macam yaitu :
Pertama, sebagai elected officials yaitu seluruh anggota legislatif dan
para pejabat politik di kalangan eksekutif mulai dari yaitu Presiden dengan
lembaga Kepresidenan atau Perdana Menteri dengan parlemennya, hingga
para menteri, seterusnya kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota;
Kedua, appointed officials yang meliputi para administrator atau
birokrat selaku pelaksana kebijakan dan penyelenggara administrasi
pemerintahan dengan birokrasi/badan-badan administrasi sebagai wadah
kelembagaannya.
Sedangkan aktor kebijakan/pemangku kepentingan kebijakan di luar
formal pemerintahan adalah kelompok-kelompok kepentingan (Interest
Groups), partai-partai politik, lembaga-lembaga riset, mass media, dan warga
negara secara individual juga organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti
para pebisnis, kelompok-kelompok buruh, dan organisasi lainnya (Jones,
1984, 14-17, Anderson, 1994; 63-71, Hewlett and Ramesh, 1995; 57-59). Dan
dalam konteks globalisasi saat ini tidak dapat dilepaskan perumusan
kebijakan publik di suatu negara dari pengaruh-pengaruh bahkan intervensi

12
lembaga-lembaga internasional antara lain organisasi perdagangan
internasional seperti GATT/WTO, rejim keuangan internasional semisal
International Monetery Fund (IMF), World Bank (Hewlett and Ramesh, 1995;
69-73), dan perusahaan- perusahaan lintas/antar negara (Multi National
Companies/MNC).
Sebagai contoh kebijakan, antara lain ketika pemerintah mengurangi
subsidi BBM bagi masyarakat dengan cara menaikkan harga BBM, tidak lain
adalah karena mempertimbangkan pasokan minyak di dalam negeri yang
kian menipis padahal kebutuhan akan pemenuhan tersedianya minyak di
tengah-tengah masyarakat sangat tinggi. Sedangkan di sisi lain, untuk
mensuplai keperluan minyak di dalam negeri, pemerintah telah mengimpor
minyak dari luar negeri, sehingga hal ini juga mempengaruhi devisa neraca
perdagangan Indonesia terhadap luar negeri kian berkurang. Banyak contoh-
contoh lain.
Dalam perkembangannya, aktor-aktor kebijakan publik sudah
mencakup lingkungan hidup. Hal ini terkait bahwa isu-isu kebijakan publik
yang fenomenal pada beberapa dekade terakhir adalah permasalahan
lingkungan hidup. Lingkungan hidup, dalam artian luas adalah meliputi segala
sesuatu yang ada di alam ini, baik ia berupa makhluk hidup maupun benda
mati serta apapun yang berada di sekitarnya. Termasuk di dalam konsep
makhluk hidup adalah manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pandangan
mengenai pengertian dan konsep aktor-aktor kebijakan yang merangkum di
dalamnya juga jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan serta alam sekitarnya
sebagai suatu kesatuan ekosistem,
Sejak tahun 1980-an itu, dengan atas nama faham demokrasi, Barat
mengklaim sebuah gagasan pro lingkungan hidup yang dijuluki
ecodemocracy atau green democracy. Meskipun sebenarnya secara
substansial tidak ada hubungan teoritik konseptual maupun logika antara
konsep democracy di satu sisi dan konsep environmentalism (Faham
Lingkungan Hidup) di sisi lain (Ball, 2005; 3). Karena pada dasarnya apapun
bentuk maupun sistem pemerintahan yang dianut suatu negara memiliki
kecenderungan dan peluang yang sama untuk bisa pro ataupun kontra
terhadap kepedulian lingkungan hidup. Bahkan, demokrasi liberal -yang
menjadi model umum hampir di sebagian besar negara-negara di dunia pada

13
era ini- terbukti tidak ramah lingkungan. Demokrasi liberal yang hampir selalu
berjodoh dengan ekonomi neo-liberal bahkan menjadi penyumbang terbesar
kerusakan lingkungan global.
Dalam kerangka pandang kebijakan publik, Terrance Ball (2001)
memperkenalkan gagasan Biokrasi ini sebagai pemerintahan yang
menimbang makhluk hidup, yang mana bukan saja manusia yang mesti
ditimbang dan diwakili kepentingannya, tetapi juga binatang, ekosistem, dan
generasi mendatang. Konsep ini pada intinya menegaskan bagaimana
pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif- dalam perumusan,
implementasi dan penghakiman kebijakan berorientasi pada pengarustamaan
lingkungan hidup (Ball, 2001: 101-102). Kebijakan publik pada
pengarusutamaan lingkungan hidup dalam praktek pemerintahan tampak di
bawah ini :

Sumber : Eep Saefulloh Fatah, Optimalisasi Kaukus Lingkungan Hidup, 2008, Makalah
FGD Penguatan Kapasitas Forum Kaukus Lingkungan Hidup Anggota DPRD, KLH

14
Tatap Muka Ke-

E. KARAKTERISTIK KEBIJAKAN PUBLIK

(1) Kebijakan publik adalah proses politik

(2) Kebijakan publik adalah dialektika dan konfrontasi perspektif

subyektivitas dan obyektivitas

(3) Kebijakan publik adalah nilai-nilai

15
Tatap Muka Ke-

F. PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK

Terkait proses pembuatan kebijakan publik terdapat teori yang

menekankan pada proses dari tahap-tahap pembuatan kebijakan yang

disebut sebagai the theory of policy stages. Secara evolusi, teori ini telah

dikemukakan oleh beberapa pakar ilmu politik maupun administrasi negara

sebagai berikut :

16
Tabel.
Evolusi Teori Tahap-tahap Kebijakan

Sumber : Kevin B. Smith and Christoper W. Larimer, 2009, The Public Policy Theory Primer,
Westview Press Publishing, Philadelpia, USA, pag. 30

17
18
Dalam tahap-tahap proses pembuatan kebijakan publik, baik secara
teoritik maupun tehnis dalam studi kebijakan publik, bermula dari mana
tampilnya persoalan masyarakat dan bagaimana suatu persoalan masyarakat
tersebut menjadi agenda publik yang akan ditangani oleh fihak yang memiliki
kewenangan baik legislatif maupun eksekutif dapat dilihat dari proses
penyusunan agenda publik yang bermula dari persoalan pribadi (private
problem) sebagaimana tergambar pada bagan di bawah ini :
Bagan
Proses Penyusunan Agenda Publik

Input Process
Institutional Public
Agenda Agenda

Systemic Issue Public Private


Agenda Problem Problem

Sumber : Model dikutip dari James E. Anderson, Public Policy Making : An Introduction
Second Edition, 1994, Houghton Mifflin Company, Boston, USA, p. 90. dengan
modifikasi peneliti

Terdapat istilah-istilah yang dipergunakan dalam kaitan Problem


Definition and Agenda Setting :
1. Events (Peristiwa-peristiwa) : Tindakan yang bersifat alami dan
manusiawi yang dirasa memiliki konsekuensi-konsekuensi sosial.

2. Problems (Masalah) : Kebutuhan manusia, entah bagaimana cara


mengenalnya, yang tetap ada jalan keluarnya (Charles O. Jones)

3. Private Problems : Persoalan-persoalan yang nyata hanya mengenai


seseorang ataupun sejumlah kecil orang

4. Public Problems : Adalah persoalan-persoalan yang mempunyai


dampak luas termasuk konsekuensi-konsekuensi bagi orang-orang
yang tidak secara langsung terlibat

5. Issues (Isu-isu) : Permasalahan umum yang bersifat kontroversial

6. Issues Areas (Bidang-bidang isu) : Kumpulan permasalahan umum


yang bersifat controversial

19
7. Agenda : Sebuah istilah tentang pola-pola tindakan pemerintahan yang
spesifik sifatnya. Terutama dalam tahapan awal perkembangan suatu
kebijakan. Sebuah analisis tentang proses penyusunan yang akan
menjadi sebuah analisis tentang bagaimana suatu problem
dikembangkan, didefinisikan dan diformulasikan cara pemecahannya.
Juga turut di dalamnya legitimasi dari suatu tindakan terhadap tindakan
lainnya serta merancang sebuah sistem kebijakan yang berlandaskan
pada landasan yang tetap untuk menghadapi problem yang tengah
dihadapi tersebut.

8. Systemic Agenda : Semua isu yang secara umum diterima oleh


anggota masyarakat politik sebagai masalah publik dan masalah-
masalah yang terlibat dalam jurisdiksi resmi otoritas pemerintahan
yang ada.

9. Institutional Agenda : Serangkaian masalah yang mana fihak legislatif


dan pejabat publik merasa berkewajiban (harus) untuk memberikan
perhatian serius dan aktif.

Seperangkat pertanyaan secara logis yang terkait cara kerja


pemerintah adalah sebagai berikut :
No. Kegiatan Pertanyaan
1. Persepsi/Definisi Apa yang menjadi permasalahan pada
saat proposal diajukan ?
2. Agregasi Berapa banyak orang yang berfikir bahwa
hal ini merupakan persoalan penting ?
3. Organisasi Bagaimana orang-orang tersebut
diorganisasikan ?
4. Representasi Bagaimana memelihara bagi akses
pembuat keputusan ?
5. Penyusunan Agenda Bagaimana status agenda didapatkan ?
6. Formulasi Siapa yang mengusulkan ? Siapa yang
mengembangkannya dan bagaimana ?
7. Legitimasi Siapa yang mendukung dan bagaimana
dukungan mayoritas dipertahankan ?
8. Penganggaran Berapa banyak uang yang disediakan ?
(Budgeting) Apakah dirasakan cukup memadai ?
9. Pelaksanaan kebijakan Siapa yang menjalankan dan bagaimana
(Implementation) mereka memelihara dukungan yang
didapat ?
10. Evaluasi Siapa yang menilai prestasi-prestasi
tersebut dan apa metode penilaiannya ?
11. Penyesuaian (Adjustment) Bagaimana penyesuaian-penyesuaian
/Terminasi dilakukan dan bagaimana penyesuaian
tersebut terjadi ?

20
Sebagai ilustrasi dari bagan proses penyusunan kebijakan publik,
persoalan yang semula dihadapi oleh orang-perorang ataupun segelintir
orang tertentu di tengah masyarakat tersebut apabila di dalam realita ternyata
juga terjadi pada orang lain, keluarga lain, kelompok masyarakat yang lain
dan seterusnya hingga berkembang menimpa kebanyakan orang di berbagai
tempat dan masyarakat telah terakumulasi dalam skala yang meluas maka
persoalan itu sudah dapat dikelompokkan sebagai public problem.
Kemudian ketika persoalan masyarakat tersebut telah berkembang
menjadi isu-isu -dalam istilah studi kebijakan publik- yaitu sebagai persoalan
umum yang bersifat kontroversial dan menuntut penanganan untuk dicarikan
pemecahannya maka isu-isu itu menjadi systemic agenda. Dimaksudkan
bahwa persoalan masyarakat itu akan menjadi systemic agenda apabila
semua isu yang secara umum diterima oleh anggota masyarakat secara
politis sebagai masalah yang pantas mendapatkan perhatian publik dan
sebagai masalah-masalah yang melibatkan jurisdiksi resmi otoritas
pemerintahan.
Berikutnya systemic agenda menjadi institutional agenda (agenda
kelembagaan) tatkala serangkaian persoalan itu benar-benar telah membuat
fihak legislatif dan eksekutif berkewajiban memberikan perhatian serius dan
aktif. Contoh pengalaman Indonesia misalnya, secara formal pembuatan
kebijakan dimulai dari Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi
hingga Pusat terdapat juga berbagai agenda institusional (kelembagaan),
maka agenda kelembagaan pada dasarnya adalah suatu agenda aksi yang
tentu harus lebih spesifik dan kongkrit dari sekedar agenda sistemik. Aspirasi
masyarakat yang nantinya akan diterima pemerintahan akan sangat banyak
sekali dan amat beragam yang mana tidak memungkinkan semuanya akan
menjadi suatu usulan yang akan ditindaklanjuti dalam area pengambilan
kebijakan. Oleh karena itu, pada akhirnya pada proses penyusunan agenda
publik, untuk menjadikan agenda kelembagaan benar-benar sebagai agenda
publik yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi agenda pemerintahan
haruslah memenuhi suatu kriteria tertentu. Proses berlangsungnya
pembuatan kebijakan publik dimulai dari adanya input, proses dan output
sampai outcomes. Secara bertahap proses tersebut berawal dari agenda

21
kebijakan, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi dan
evaluasi kebijakan.
Penulis menggunakan model yang dikemukakan oleh James E.
Anderson dan memadukannya dengan model/teori sistem politik David
Easton. Model tahap-tahap proses pembuatan kebijakan (the stages of public
policy making process) yang dikemukakan oleh James E. Anderson meliputi :
problem identification and agenda information, formulation, adoption,
implementation dan evalution (Smith dan Larimer, 2009; 30-31, Anderson,
1994; 37-38) dan teori/model Davis Easton yang terdiri dari input, proses,
ouput dan umpan balik (feed back). Anderson seperti Lasswell tidak hanya
memfokuskan pada output semata namun melihat tahap-tahap pembuatan
kebijakan sebagai suatu proses secara keseluruhan. Cara pandang ini yang
juga dianut oleh David Easton dalam mendekati konsep kebijakan publik yang
ia sebut sebagai the political system theory/model. Gambar bagan tahap-
tahap proses pembuatan kebijakan publik yang merupakan perpaduan model
yang ditawarkan oleh Anderson dan Easton digambarkan oleh peneliti seperti
tampak pada bagan di bawah ini :

22
STAGES OF PUBLIC POLICY MAKING PROCESS

Policy Formulation

Policy Monitoring
Problem Definition Policy Policy Adoption
Agenda Setting Formulation Policy Implementation

INPUT PROCESS OUTPUT OUTCOMES

FEED BACK

Policy Evaluation Policy Evaluation

1
Input berupa aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disampaikan
kepada pemerintah ataupun diserap oleh pemerintah pada akhirnya akan
menjadi suatu kebijakan yang merepresentasikan kepentingan masyarakat di
lembaga legislatif maupun eksekutif. Aspirasi dan tuntutan masyarakat yang
disampaikan oleh masyarakat ataupun diserap oleh pemerintah pada
akhirnya menjadi agenda publik berupa isu-isu maupun persoalan-persoalan
masyarakat yang sangat spesifik sesuai ruang lingkup tugas dan wewenang
pemerintahan yang harus mendapat perhatian dan layak untuk ditangani,
diformulasikan pemecahannya oleh pemerintahan guna menjawab aspirasi
dan tuntutan masyarakat tersebut.
Sebagaimana telah lazim proses yang berlangsung di dalam
pembuatan kebijakan publik, bahwa untuk menentukan suatu persoalan
publik (public problem) tertentu dari sekian banyak persoalan publik yang
telah masuk dan sudah diagendakan dapat benar-benar dipilih, ditetapkan
dan diprioritaskan untuk dibahas di institusi pembuat kebijakan publik
memerlukan beberapa tahapan yang harus dilalui. Tahapan mulai dari
inventarisasi persoalan-persoalan publik yang telah ditampung pemerintahan
menjadi agenda publik, identifikasi, pemilahan dan pemilihan, spesifikasi
persoalan dan penentuan persoalan sebagai persoalan publik yang strategis,
krusial dan prioritas yang harus dibahas untuk dicarikan alternatif-alternatif
pemecahan persoalannya dan ditemukan jalan keluarnya.
Secara konseptual hasil dari tindak lanjut berupa pemecahan masalah
publik (public problem solving) adalah output (keluaran) kebijakan berupa
produk-produk kebijakan yaitu peraturan dan perundang-undangan ataupun
usulan, masukan dan pertimbangan kepada lembaga-lembaga negara lain
yang terkait maupun institusi pemerintahan mitra parlemen (lembaga
legislatif) baik di pusat maupun di daerah. Output kebijakan yang dihasilkan
tentunya harus dapat menjawab tuntutan aspirasi masyarakat dan
menyelesaikan persoalan-persoalan publik yang mereka hadapi.
Pada akhirnya, masyarakat diharapkan akan mendapatkan dampak
(outcomes) kebijakan yang positif secara signifikan yang mana kepentingan-
kepentingan mereka terakomodir dan kemanfaatannya dirasakan secara luas

1
dan optimal oleh masyarakat selaku public policy beneficiaries (para
penerima manfaat kebijakan publik).
Merupakan suatu kelaziman bahwa institusi pembuat kebijakan publik
dan para penyelenggara pemerintahan usai merumuskan suatu kebijakan
-dan mengimplementasikannya-, dituntut mempertanggung jawabkan apapun
kebijakan yang telah dibuat dan yang diselenggarakannya kepada mereka
yang memberikan mandat (amanah).
Dalam konteks negara-negara yang menganut format dan sistem
Demokrasi, para pembuat kebijakan dan institusi pemerintahan adalah entitas
yang mendapatkan kekuasaan dari rakyat, oleh karenanya mereka
bertanggung jawab kepada masyarakat (accountable to people) dari setiap
kebijakan ( what is held be accountable) yang dirumuskan dan
ditetapkannya.
Selanjutnya, masyarakat sebagai fihak yang terkena dampak kebijakan
dan atau menerima manfaat kebijakan dapat pula memberikan tanggapan
(respons) kepada lembaga legislatif maupun eksekutif dalam bentuk umpan
balik (feedback) berupa masukan, usulan, kritikan pengaduan, gugatan, sikap
kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dihasilkan oleh
pemerintahan. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab partisipatif
(participative accountabiility) masyarakat berupa pengawasan publik (public
controlling) terhadap keseluruhan proses pembuatan kebijakan -dan termasuk
implementasinya-.
Masyarakat dapat menyampaikan respon balik tersebut kepada
anggota parlemen pada saat melakukan kegiatan di daerah maupun
kunjungan kerja (kuker). Ataupun juga bisa disampaikan melalui berbagai
saluran baik media cetak maupun elektronik. Apabila berupa pengaduan
ataupun gugatan publik terhadap peraturan perundang-undangan dapat
disampaikan dalam bentuk judicial review kepada institusi selevel Mahkamah
Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK) seperti dalam konteks
negara Indonesia.

2
3
CONTOH PRAKTEK PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA

PROSES PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

DPR memegang kekuasaan membentuk


undang-undang. Setiap Rancangan
Undang-Undang dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. Rancangan Undang-Undang
(RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden,
atau DPD.

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU


yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada 2 (dua) RUU yang
diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah
RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.

RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7
(tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah
disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan
DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang
sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.

PROSES PEMBAHASAN RUU DARI PEMERINTAH DI DPR RI

RUU beserta penjelasan/ keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari
Presiden disampaikan secara
tertulis kepada Pimpinan DPR
dengan Surat Pengantar
Presiden yang menyebut juga
Menteri yang mewakili
Presiden dalam melakukan
pembahasan RUU tersebut.

Dalam Rapat Paripurna


berikutnya, setelah RUU
diterima oleh Pimpinan DPR,
kemudian Pimpinan DPR
memberitahukan kepada
Anggota masuknya RUU

1
tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang
terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD.

Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas


dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili
Presiden.

PROSES PEMBAHASAN RUU DARI DPD DI DPR RI

RUU beserta
penjelasan/keterangan, dan atau
naskah akademis yang berasal dari
DPD disampaikan secara tertulis
oleh Pimpinan DPD kepada
Pimpinan DPR, kemudian
dalamRapat Paripurna berikutnya,
setelah RUU diterima oleh DPR,
Pimpinan DPR memberitahukan
kepada Anggota masuknya RUU
tersebut, kemudian
membagikannya kepada seluruh
Anggota. Selanjutnya Pimpinan
DPR menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Pimpinan
DPD mengenai tanggal
pengumuman RUU yang berasal
dari DPD tersebut kepada
Anggota dalam Rapat Paripurna.

Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan
mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau
Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3
(sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil
pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.

RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden
dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden
dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan
DPD untuk ikut membahas RUU tersebut.

Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian
RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam
pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat
pembicaraan di DPR.

Keterangan:
Untuk proses secara lengkap, silahkan lihat Tatib (tatatertib DPR RI BAB: XVII
Pasal 121 sampai Pasal 139)

2
3
4

You might also like