Professional Documents
Culture Documents
Indra
Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi
dan berbeda antara satu instansi/lembaga dengan yang lainnya. Menurut Departemen
Kehutanan tahun 2004, seperti yang termuat dalam Buku II Blue Print Aceh pasca tsunami
bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346.838 ha,
dengan rincian 296.078 ha terletak di Pantai Timur, 49.760 ha di Pantai Barat, dan 1.000 ha
di Pulau Simeulue.
Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 1989), luas hutan
mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi
sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 1990 dan kini
diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 12.500 ha. Data ini berbeda jauh
dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias
saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah
tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003
adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.
Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan
bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove
di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana
pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen
dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh,
sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh
di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai
Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah
jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora
apiculata dan Avicennia marina.
Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di
Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini
diperkirakan mencapai 27.000 ha. Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari
Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi.
Secara umum, semakin ke arah timur tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten
Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa,
dan Tamiang relatif tidak rusak.
Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke
depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan
hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2.467
km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt
yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Untuk
itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah melakukan penanaman kembali
areal mangrove yang rusak karena tsunami, namun hasil pemantauan di lapangan
menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan kurang
dari 50 persen.
Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang
dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang
telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau)
dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 30 50 cm). Bibit mangrove ditanam oleh
masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak
mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal,
secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara
satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan
terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah
mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang
tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang
sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.
Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman
mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan
mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen
mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian
secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena
gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk
penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi
(lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke
depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk
ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan,
keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan jangka panjang.
Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu Pusat Rehabilitasi Mangrove (Pusat
Remang). Selanjutnya dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai
untuk membantu sosialisasi dan pengawasan program-program yang akan dibuat. Lembaga
harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Beberapa tugas
pokok dari Pusat Remang adalah (1) meningkatkan akses informasi kepada masyarakat
tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, (2) untuk melakukan training dalam usaha
penanaman mangrove, (3) menyediakan informasi dalam opsi-opsi pemanfaatan hutan
mangrove ke depan, dan (4) mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove,
rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen
pengelolaan sumber daya.
Menurut beberapa penelitian bahwa tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir
(sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah
Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata. Sedangkan di
Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam),
jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia
alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans
yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh.
Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca
tsunami adalah 447.061 ha, yang terdiri dari 297.464 ha di lahan kahayan (KHY), 61.888 ha
di lahan kajapah (KJP), dan 87.709 ha di lahan puting (PTG).
Menurut data dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh, bencana tsunami
di Aceh telah menyebabkan kerusakan mangrove seluas 174.590 ha (Noor, et
al.,2006). Sejak saat itu perhatian terhadap pentingnya ekosistem mangrove
mengalami peningkatan karena mangrove dianggap sebagai green belt (sabuk
hijau) yang berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap bencana tsunami.