You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan


lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006)

Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya,
karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia
lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan
dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).

Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak
obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-
rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian
banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat
serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih
sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita
lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi,
gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus,
gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering
mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,
penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia
memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan polifarmasi ?


2. Apa saja prinsip-prinsip polifarmasi ?
3. Apa saja jenis-jenis polifarmasi ?
4. Apa saja keuntungan dan kerugian polifarmasi ?
5. Apa saja peran dan fungsi keluarga serta komunitas dalam polifarmasi ?

C. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian polifarmasi ?


2. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip-prinsip polifarmasi ?
3. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis polifarmasi ?
4. Mahasiswa dapat mengetahui keuntungan dan kerugian polifarmasi ?
5. Mahasiswa dapat mengetahui peran dan fungsi keluarga serta komunitas
dalam polifarmasi ?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Polifarmasi

Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau

lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya

berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk

mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):

1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas

2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama

3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi

4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat

5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.

Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat

dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya

perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis

ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan

perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie,

2004).
1.1 Farmakodinamik

Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh,

Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga

memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, perdarahan adalah efek

farmakodinamik dari ASA.

1.2 Efek Samping Obat

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya

efek samping obat dan interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus,

memang diperlukan terapi dengan beberapa agen (Terrie, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang

menyebabkan pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen

farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak adekuat, peresepan

yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian

juga menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang

mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5

macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie,

2004).

Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat

menyerupai sindrom geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh,

inkontinensia, retensi urin, dan malaise. Efek samping ini menyebabkan

dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).


Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat

bersifat iatrogenik. Diagnosis klinis berkaitan dengan penyakit cenderung

lebih kompleks pada orang tua, sehingga sulit untuk menentukan apakah

gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan

normal. Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua

disebabkan oleh penghentian obat. Penghentian obat menyebabkan banyak

gejala, seperti halusinasi dan kejang, yang perlu ditangani dengan obat-obatan

baru. Hal ini menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek

penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin lambat penghentian

penggunaannya. Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya.

Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu dilakukan penurunan dosis

menjadi sepertiganya. Penghentian obat harus diturunkan dosisnya perlahan-

lahan sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat dengan

masa kerja yang panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan penghentian

yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Karena risiko efek

samping obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi, penting

untuk menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).

1.3 Interaksi Obat

Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien

tua. Secara keseluruhan, insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat

secara eksponensial dengan banyaknya obat yang dikonsumsi. Interaksi obat

sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat
menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi metabolik

dapat meningkatkan kadar obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius

(Standridge, et al.,2010).

1.4 Inhibisi

Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal.

Interaksi yang signifikan secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering

digunakan, seperti warfarin, antibiotik, antidepresan, analgesik, dan HMG-

CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan

obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu penyerapan

tetrasiklin, perubahan pH lambung, gangguan flora usus, dan perubahan

motilitas saluran cerna. Penurunan keasaman lambung dan melambatnya

motilitas saluran cerna merupakan fenomena penuaan yang normal

(Standridge, et al.,2010).

1.5 Potensiasi

Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling

menguatkan adalah sebagai berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang

dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo biloba untuk memorinya. Pasien

mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk

mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan

warfarin mempengaruhi faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko

perdarahan. Ginkgo biloba dosis tinggi juga meningkatkan perdarahan.


Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan pada

pasien (Lin, 2003).

1.6 Akumulasi

Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko

mengalami hipoglikemia ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena

obat ini menghambat metabolisme glyburide oleh sistem enzim cytochrome

P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin dapat timbul pada pasien yang

diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein, sehingga

meningkatkan renal clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada

pasien yang diterapi dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors,

dan penggunaan bersamaan dengan potassium-sparing diuretics dapat

menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003).

Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai sistem enzim,

seperti cytochrome P450 (CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau

menginduksi jalur tertentu, dan menjadi substrat pada jalur lainnya. Eliminasi

obat melalui ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat

lainnya, mengubah glomerular filtration rate (GFR), sekresi tubulus, atau pH

urin. Diuretik dapat menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar obat

dalam serum (Standridge, et al.,2010).


2. Prinsip-prinsip Polifarmasi

1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi

yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya

2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan

tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya

3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa

diberikan pada orang dewasa yang masih muda.

4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan

memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih

rendah.

5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan

untuk memelihara kepatuhan pasien.

6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang

tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

Menurut Leipzig :

1. Riwayat pengobatan lengkap

2. Jangan memberikan obat sebelum waktunya

3. Jamgan menggunakan obat terlalu lama

4. Kenali obat yang digunakan

5. Mulai dengan dosis rendah naikan perlahan

6. Obat sesuai patokan


7. Dorongan untuk patuh berobat

3. Jenis-jenis Polifarmasi

Beberapa jenis polifarmasi yang sering diberikan ialah:

1. KOMBINASI ANTARA DUA JENIS OBAT ATAU LEBIH YANG

MEMPUNYAI EFEK YANG SAMA ATAU MIRIP UNTUK MENGOBATI

SATUSIMPTOM

Seringkali parasetamol dikombinasi dengan salicylamide dan acetylsalicylic acid

untuk mengobati pasien demam. Ketiga obat ini termasuk golongan antipyretic

analgetic yang digunakan untuk menghilangkan demam dan rasa nyeri. Tujuan

utama kombinasi obat sebenarnya untuk tercapainya potensiasi

dan menurunkan efek samping obat. Tapi, contoh kombinasi di atas tidak

menunjukkan adanya tujuan tersebut, malah menimbulkan efek samping yang

lebih banyak, yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat. Jenis kombinasi

seperti ini tidak saja ditulis secara tersendiri oleh

dokter, tapi juga telah ada sediaan obat dalam bentuk kombinasi tetap

seperti kombinasi antara parasetamol dengan salicylamide, antara acetyl

salicylic acid dengan parasetamol, atau antara metampyron dengan

salicylamide. Kombinasi analgesik ini tidak memberikan keuntungan secara

nyata, malah mungkin dapat menimbulkan bahaya dan yang jelas harganya akan

menjadi lebih mahal.


Menggunakan kombinasi analgesik juga akan mengkombinasi efek samping

masing-masing kelas analgesik sebagai konsekuensinya. Kombinasi ini lebih

sering menyebabkan kerusakan ginjal daripada penggunaan secara tunggal.

Banyak lagi contoh-contoh polifarmasi yang tersedia dalam bentuk kombinasi

tetap seperti obat reumatik, obat batuk, obat diare, obat asma bronkhiale,

dsb yang dianggap tidak rasional dan mengundang lebih bayak timbulnya efek

samping.

2. MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENGURANGI

ATAU MENGHILANGKAN EFEK SAMPING OBAT UTAMA

Sama seperti contoh di atas, kombinasi sejenis ini tidak saja ditulis secara

tersendiri oleh dokter, tapi juga tersedia dalam bentuk kombinasi tetap. Obat anti

rheumatic (anti inflamasi) secara umum dapat menimbulkan iritasi

mukosa lambung, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui

proses penekanan synthese prostaglandin. Untuk mengurangi efek iritasi ini

maka obat anti rheumatic ini dikombinasi dengan antasida, antagonis reseptor

H2 (cimetidine, ranitidine), proton pump inhibitor (PPI), atau dengan

derivate PGEI (misoprostol).

Tujuan kombinasi obat di sini ialah mengurangi efek samping obat utama,

tidak mengharapkan terjadinya potensiasi, tapi mengabaikan proses interaksi

obat yang dikombinasi, yang mungkin saja mengurangi efek obat utama. Dalam
hal ini, obat kombinasi yang diberikan juga mempunyai efek samping dan

kemungkinan lebih besar daripada obat utama. Kalau demikian halnya, maka

akan berderet jumlah obat yang fungsinya menghilangkan efek samping obat

lainnya, tapi justru akan menambah efek samping yang baru, sehingga akhirnya

menyimpang dari tujuan pengobatan semula.

Selain contoh obat kombinasi di atas, masih banyak lagi ditemukan di pasaran

obat kombinasi yang sejenis. Misalnya, efek ngantuk Chlorpheniramine maleate

dihilangkan dengan cafein, efek insomnia dari Aminophyline atau ephedrine

dengan phenobarbital.

3. MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD

MENINGKATKAN ABSORPSI (RATE OF ABSORPTION AND EXTEND

OF ABSORPTION) OBAT UTAMA

Secara klinis, kombinasi ini ada yang bermakna dan ada pula yang tidak

bermakna. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan tentang efikasi obat,

risk/benefit ratio, dan tentu saja harga.

Contoh yang menarik ialah kombinasi antara parasetamol dengan

metoklopramid. Metklopramid mempengaruhi rate of absorption paracetamol

sehingga puncak konsentrasi parasetamol dalam darah cepat dicapai. Tetapi,

tidak mempengaruhi extend of absorption, sehingga jumlah parasetamol yang

terdapat dalam darah tidak berubah. Efek yang sama efektifnya akan didapat
dengan memberikan parasetamol dosis yang agak lebih tinggi. Kalau

dipertimbangkan secara cost/benefit ratio maka didapat bahwa kombinasi antara

metoklopramid dan parasetamol sama efektifnya dengan parasetamol dosis agak

tinggi dengan harga yang jauh lebih murah dan tidak menambah efek samping

obat. Berbeda halnya dengan kombinasi antara ergotamin dengan kafein.

Ergotamin sulit diabsorpsi di saluran cerna sehingga untuk membantu

absorspsinya (rate & extend of absorption) setiap 1 mg ergotamin/dikombinasi

dengan 100 mg cafein. Kombinasi ini akan mempercepat dan memperbanyak

absorpsi ergotamine. Walaupun kombinasi ini secara cost/benefit ratio

menguntungkan, tapi tetap dianggap kurang rasional, karena ada cara pemberian

yang lebih efektif, yaitu pemberian secara intravena atau intramuskuler.

4. MEMBERIKAN KOMBINASI OBAT YANG TAK ADA HUBUNGANNYA

DENGAN KINETIK DAN DINAMIK OBAT SERTA DENGAN PENYAKIT

PASIEN.

Kombinasi antara metampiron dengan vitamin neurotropik (B1, B2, B6, B12)

banyak beredar di pasaran yang dikemas alam bentuk kombinasi tetap. Indikasi

utama pemberian vitamin adalah penderita defisiensi vitamin(5). Vitamin

neurotropik ini tidak menyembuhkan mialgia, sefalgia, ataupun atralgia dan

pemberiannya pada pasien yang tak memerlukan akan membuang-buang obat

dan uang. Contoh lain ialah pemberian antara antasid dengan tranquilizer seperti

diazepam atau klordiazepam pada pasien yang menderita gastritis.


Tranquilizer bukan obat gastritis, tapi obat penenang yang diberikan pada

pasien yang mengalami ansietas. Tidak menjadi masalah kalau pasiennya juga

menderita ansietas, tapi kalau tidak maka diazepam atau klordiazepoksid yang

diberikan akan menjadi mubazir. Malah akan menambah efek samping atau

menimbulkan masalah ketergantungan.

5. MEMBERIKAN OBAT LEBIH DARI 3 JENIS DALAM SEKALI

PEMBERIAN, JUGA TERMASUK KATEGORI POLIFARMASI.

Pemberian obat jenis ini sering diberikan pada pasien dengan banyak keluhan

atau memang menderita banyak penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,

hiperkolesterolemia, dan rheumathoid arthritis. Dalam keadaan seperti ini,

dokter harus bijaksana dalam mempertimbangkan dan menentukan penyakit

dasarnya serta penyakit yang merupakan komplikasi penyakit dasar.

6. MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN TUJUAN TIMBULNYA

EFEK POTENSIASI.

Pemberian kombinasi obat ini sering dilakukan pada antibiotika, baik secara

kombinasi tetap atau tidak tetap. Sampai saat sekarang, hanya ada dua jenis

antibiotika kombinasi tetap yang benar-benar bermakna secara klinik dan

diakui oleh WHO, yaitu kotrimaksazol (kombinasi antara trimethoprim dengan

sulfametoksazol) dan koamoksiklaf (kombinasi antara amoksilin dengan asam

klavulonat).
Sedangkan kombinasi lainnya harus dapat dibuktikan secara laboratoris

sebelum dipakai. Kombinasi jenis ini juga sering dilakukan pada analgesik,

terutama kombinasi dengan kafein. Banyak orang menganggap bahwa kafein

adalah suatu analgesik yang poten dan dapat meningkatkan efek analgesik obat

lain. Namun belum ada bukti penelitian yang menunjang pernyataan tersebut.

7. SEDIAAN OBAT POLIFARMASI

Tersedianya sediaan obat polifarmasi banyak memberi andil pada pemberian

obat secara polifarmasi. Sirup batuk bahkan ada yang mengandung 6 zat aktif,

seperti difeenhidramin, amonium klorida, mentol, alkohol, natrium sitrat,

dan dekstrometorfan. Yang paling tidak rasional terlihat dalam antara

ekspektoran (ammonium klorida, natrium sitrat) dengan antitusif

dekstrometorfan. Harus diingat bahwa batuk merupakan proses fisiologi untuk

mengeluarkan dahak atau lender yang mengental pada bronkhus pada jenis batuk

yang produktif. Kalau dikombinasi dengan antitusf maka batuk akan terhenti dan

dahak dan lender yang kental tidak bisa keluar dengan lancar. Sedangkan

antitusif hanya digunakan pada pasien yang batuk nonproduktif yang sampai

mengganggu tidurnya. Kalau diperhatikan maka sediaan obat batuk di atas

banyak mengandung zat aktif yang sebenarnya tidak diperlukan.

Ada pula sediaan obat flu yang mengandung 6 bahan aktif dalam satu tablet,

yaitu parasetamol, salisilamid, phenylpropanolamine (PPA), dekstrometorfan,


klorfeniramin, dan kafein. Obat flu ini dibuat untuk pasien flu dengan

gejala demam, hidung buntu, batuk, alergi dan ngantuk. Kombinasi ini

maksudnya ada untuk menguatkan obat lainnya. Ada pula yang bertujuan untuk

menghilangkan efek samping obat utama. Kalau semua gejala ada pada pasien,

mungkin obat kombinasi ini cocok dan pas untuk pasien ini. Tetapi, kalau

pasien hanya demam dan hidung buntu maka bahan aktif lainnya seperti

dektrometorfan, klorfeniramin, dan kafein menjadi mubazir, tidak diperlukan,

dan dapat menimbulkan efek samping obat.

Ada pula sediaan obat untuk asma bronkial yang terdiri dari prednisolon,

efedrin, teofilin, fenobarbital, dan klorfeniramin maleat(7). Penderita asma

bronkial yang ringan cukup diberikan efedrin dan teofiline, sedangkan

penggunaan prednisolon seharusnya diberikan pada pasien yang mengalami

status asthmaticus atau pasien dengan eksaserbasi akut yang berat(8).

Pemberian fenobarbital malah merupakan indikasi kontra pada pasien asma

bronkial karena dapat menyebabkan depresi nafas dan spasme bronkhus yang

menambah sesaknya pasien.

Begitu juga pemberian klorfeniramin maleat suatu antihistamin yang mempunyai

efek antikolinergik (atropin like effect) merupakan indikasi kontra pada

pasien asma bronkhiale, karena dapat mengentalkan cairan lendir bronkhus

sehingga pasien bertambah sulit bernapas.


Selain sediaan obat seperti disebutkan di atas, di bawah ini beberapa contoh

sediaan obat polifarmasi yang tidak rasional seperti:

a. obat antasid tersedia dalam bentuk kombinasi antara magnesium trisikat,

alumunium hidrosid, papaverin HCl, klordiazepoksid, vitamin B1, B2, B6, B12

kalsium pantothenat, nikotinamid;

b. obat anti asma yang terdiri dari ekstrak belladona, efedrin, kafein,

parasetamol, teofilin, khlorfeniramin,

c. obat antikolik yang terdiri dari metampiron, salisilamid, fenobarbital,

cafein, hiosin N, metilbromide,

d. obat analgesik yang terdiri dari metampiron, khlordiazepoksid, diazepam,

vitamin B1, B2, B6, B12, kafein,

e. obat anti reumatik yang terdiri dari prednisolon, sulfirin,

fenilbutazone, magnesium trisilicate.

Dari contoh di atas, terlihat banyak penggunaan kafein. Kafein bukanlah

suatu analgesik atau antiinflamasi, juga tidak dapat memperkuat efek

analgesik atau anti inflamasi obat lain. Malah, ia dapat meningkatkan efek

iritasi aspirin terhadap lambung.

8. RESIKO YANG DIHADAPI

Semakin banyak bahan aktif yang diminum oleh pasien, semakin banyak

kemungkinan efek samping yang akan timbul. Kalau pasien ternyata alergi
obat, sulit untuk menentukan bahan aktif yang mana sebagai penyebab

alerginya.

4. Keuntungan dan Kerugian Polifarmasi

Kerugian Polifarmasi

1. Efek samping meningkat

2. Bila timbul efek samping, sulit menentukan penyebabnya dan mengacaukan

antara gejala penyakit yang dialami pasien dengan gejala yang timbul akibat

efek samping.

3. Interaksi obat yang merugikan pasien, baik ikompatibilitas, pada

farmakokinetika maupun dinamik.

Keuntungan Polifarmasi

Obat untuk ganguan-ganguan tersebut sering kali memang sudah tersedia di

rumah, aman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat

diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat

self limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa perlu bertemu dokter, biaya

pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat

waktu karena tidak perlu menggunakan fasilitas atau profesi kesehatan,

kepuasan karena ikut berperan serta dalam sistem pelayanan kesehatan,

menghindari rasa malu atau stres apabila harus menampakkan bagian tubuh

tertentu di hadapan tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk

mengatasi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan di masyarakat,


5. Cara Meningkatkan ADHERENCE

Memberikan informasi akan manfaat dan pentingnya minum obat untuk

mencapai keberhasilan pengobatan

Meningkatkan pasien untuk minum obat demi keberhasilan pengobatan serta

menyuruh orang disekitarnya untuk selalu meningkatkan dan mengawasinya

Memberikan keyakinan akan efektifitas obat dalam penyembuhan

Memberikan informasi resiko ketidak patuhan

Meminimalkan Konsumsi obat


Daftar pustaka

http://www.academia.edu/9366209/portofolio_obat-obat_lansia dikutip (Jumat, 15

September 2017 14.00)

http://www.academia.edu./5728497/polifarmasi dikutip (Jumat, 15 September 2017

15.00)

You might also like