Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Sains, Teknologi, dan Masyarakat
yang dibimbing oleh Bapak Drs. Kadim Masjkur, M.Pd. dan Ibu Erni Yulianti,
S.Pd., M.Pd.
Oleh :
Kelompok 1 / OFF. A
Aditya Pratama Hari Kurniawan (140351601054)
Badi Silvana (140351603379)
Binti Aliatul Mutmainah (140351604360)
Linda Nur Rohmah (140351601801)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah yang berjudul Literasi Sains ini dapat tersusun hingga
selesai. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sains,
Teknologi, dan Masyarakat
Kami berterima kasih pada Bapak Drs. Kadim Masjkur, M.Pd. dan Ibu
Erni Yulianti, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen mata kuliah Sains, Teknologi, dan
Masyarakat yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai Literasi Sains.
Malang, Februari
2017
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
1
Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
definisi literasi sains PISA dapat dicirikan oleh empat aspek yang saling terkait,
yaitu aspek konteks, pengetahuan, kompetensi, dan sikap sains (OECD, 2007).
Aspek konteks mengarahkan peserta didik untuk dapat mengenali situasi
dalam kehidupan yang melibatkan sains dan teknologi. Hal ini bertujuan agar
peserta didik dapat memahami bahwa ilmu pengetahuan memiliki nilai tertentu
bagi individu dan masyarakat dalam meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup dan dalam pengembangan kebijakan publik.
Aspek pengetahuan mengarahkan peserta didik untuk dapat memahami alam
atas dasar pengetahuan ilmiah yang mencakup pengetahuan alam dan pengetahuan
tentang ilmu pengetahuan itu sendiri. Tujuannya adalah untuk menggambarkan
sejauh mana peserta didik dapat menerapkan pengetahuan mereka dalam konteks
yang relevan dengan kehidupan mereka (Ekohariadi, 2009).
Aspek kompetensi dalam literasi sains PISA memberikan prioritas terhadap
beberapa kompetensi, yaitu: (1) mengidentifikasi isu ilmiah, yaitu mengenai isu
yang mungkin diselidiki secara ilmiah, mengidentifikasi kata-kata kunci untuk
informasi ilmiah, mengenal ciri khas penyelidikan ilmiah; (2) menjelaskan
fenomena ilmiah, yaitu mengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang
diberikan, mendeskripsikan atau menafsirkan fenomena dan memprediksi
perubahan, mengidentifikasi deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang sesuai.; dan
(3) menggunakan bukti ilmiah, yaitu menafsirkan bukti ilmiah dan menarik
kesimpulan, memberikan alasan untuk mendukung atau menolak kesimpulan dan
mengidentifikasikan asumsi-asumsi yang dibuat dalam mencapai kesimpulan,
mengomunikasikan kesimpulan terkait bukti dan penalaran dibalik kesimpulan
dan membuat refleksi berdasarkan implikasi sosial dari kesimpulan ilmiah.
Aspek sikap sains menunjukkan minat dalam ilmu pengetahuan, dukungan
untuk penyelidikan ilmiah, dan motivasi untuk bertindak secara bertanggung
jawab terhadap, misalnya, sumber daya alam dan lingkungan. Perhatian PISA
untuk sikap terhadap ilmu pengetahuan didasarkan pada keyakinan bahwa literasi
sains seseorang mencakup sikap tertentu, kepercayaan, orientasi motivasi, rasa
self efficacy, nilai-nilai, dan tindakan utama. Merujuk pada PISA 2006, sikap
sains dalam literasi sains terdiri dari tiga kategori, yaitu: (1) mendukung inkuiri
4
sains, (2) ketertarikan terhadap sains, dan (3) tanggung jawab terhadap sumber
daya lingkungan.
Menurut Poedjiadi (2005), seseorang yang memiliki kemampuan Literasi
sains dan teknoogi adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains yang diperoleh dalam
pendidikan. Pengembangan literasi sains sangat penting karena ia dapat memberi
konstribusi bagi kehidupan sosial dan ekonomi serta untuk memperbaiki
pengambilan keputusan di tingkat masyarakat dan personal (Laugksch, 2000).
Sedangkan Miller (1983) mendefinisikan Literasi sains sebagai kemampuan
membaca dan menulis tentang sains dan teknologi.
Literasi sains menurut National Science Education Standards (1995) adalah:
Scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes
required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs, and
economic productivity. It also includes specific types of abilities. Literasi sains yaitu
suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang
akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan
pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya
dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik yang
dimilikinya. Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan
aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008). Jadi, dapat
disimpulkan bahwa literasi sains merupakan suatu kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengatasi suatu permasalahan dengan menggunakan konsep-
konsep sains.
5
Literacy, selain menyebutkan pemahaman tentang konsep-konsep fundamental
sains juga memotret hakikat sains (NOS) dan inkuiri ilmiah (scientific inquiry)
sebagai komponen kunci dalam literasi sains.
Pentingnya literasi sains juga sudah menjadi perhatian pemerintah dan
para praktisi pendidikan sains di Indonesia. Meskipun istilah literasi sains tidak
dicantumkan secara eksplisit pada Kurikulum 2013, namun dari kandungan
kompetensi inti dan kompetensi dasar mencerminkan pengembangan literasi sains
peserta didik sebagai salah satu tujuan pendidikan IPA di SMP.
National Science Education Standards (NSES) dalam NRC (1996)
menyatakan bahwa seseorang yang melek sains akan memiliki pemahaman
terhadap enam unsur utama dari literasi sains, yaitu:
(1) sains sebagai inkuri,
(2) konten sains,
(3) sains dan teknologi,
(4) sains dalam perspektif pribadi dan sosial,
(5) sejarah dan sifat sains, dan
(6) kesatuan konsep dan proses.
Secara lebih jelas, OECD (2013) mendeskripsikan karakteristik seseorang
yang melek sains, yaitu seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan sains, untuk mengidentifikasi pertanyaan dan menarik
kesimpulan berdasarkan bukti dalam rangka untuk memahami dan membantu
membuat keputusan tentang lingkungan alam dan perubahan yang diakibatkan
dari kegiatan manusia. Dengan melek sains, maka seseorang memiliki
kemampuan untuk terlibat dengan isu-isu terkait sains, dan dengan gagasan-
gagasan sains sebagai cerminan masyarakat (OECD, 2013). Berdasarkan
karakteristik tersebut, maka literasi sains tidak hanya dibutuhkan oleh orang yang
ingin menjadi ilmuwan di masa depannya, tetapi juga merupakan kemampuan
yang sangat penting dikuasai oleh semua warga negara. Hal ini didukung oleh
pernyataan Roberts (2007) sebagaimana dikutip oleh Millar (2008) bahwa terjadi
pergeseran penekanan dari pengajaran yang didesain untuk mengajar berbagai
pemahaman tentang sains yang hanya dibutuhkan oleh ilmuan masa depan,
6
kepada pengajaran yang mencoba untuk membangun berbagai pemahaman
tentang sains yang dibutuhkan oleh semua warga negara.
Pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat di
bidang teknologi juga merupakan urgensi literasi sains. Literasi sains akan dapat
menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains, mengenal
teknologi yang ada beserta dampaknya di sekitar, mampu menggunakan produk
teknologi dan memeliharanya, kreatif membuat produk teknologi sederhana, dan
mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai.Dengan literasi sains ini,
perkembangan teknologi akan terus berkembang dan terus mengalami
peningkatan, karena antara sains dan teknologi saling melengkapi satu dengan
yang lainnya. Literasi sains akan memperoleh Penemuan dalam sains yang
memungkinkan pengembangan teknologi, dan teknologi menyediakan instrument
yang baru lagi yang memungkinkan mengadakan observasi dan eksperimentasi
dalam sains.
Masih rendahnya tingkat literasi sains siswa menjadi salah satu
permasalahan pendidikan di Indonesia. Meskipun pentingnya literasi sains sudah
diakui oleh semua pendidik, tidak berarti bahwa literasi sains siswa terlatihkan
dengan baik. Hal ini didukung oleh data pencapaian literasi sains siswa Indonesia
dalam asesmen literasi sains PISA. Selama tiga kali mengikuti assesmen literasi
sains PISA tahun 2006, 2009, dan 2012, rata-rata pencapaian skor literasi sains
siswa masih dalam rentang skor 382 395. Hal ini berarti bahwa kemampuan
literasi sains siswa Indonesia masih rendah dibandingkan rata-rata kemampuan
literasi sains siswa dari negara-negara peserta yang lainnya (Toharudin, dkk.,
2011).
Sejak sains menjadi domain asesmen utama pada tahun 2006, PISA
menggunakan enam level kecakapan dalam skala penilaian sains. Level-level ini
juga digunakan pada PISA 2009, 2012, dan 2015. Tingkat kemampuan pada tiap-
tiap level berhubungan dengan jenis-jenis kompetensi yang harus dicapai siswa
pada level tertentu. Level yang menjadi baseline dari literasi sains adalah level 2.
Hasil analisis PISA 2012 berdasarkan level kemampuan ini, sebanyak 24,7%
siswa Indonesia berada di bawah level 1, 41,9% berada pada level 1, 26,3%
berada pada level 2, 6,5% berada pada level 3, dan 0,6% berada pada level 4.
7
Tidak ada siswa Indonesia yang mampu mencapai level 5 dan level 6.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, didapatkan informasi bahwa sebagian besar
siswa Indonesia masih memiliki pengetahuan ilmiah yang terbatas yang hanya
dapat diterapkan pada beberapa situasi saja. Mereka baru mampu memberikan
penjelasan ilmiah yang sudah jelas dan mengikuti bukti-bukti yang eksplisit.
Dapat dilihat bahwa hanya sedikit siswa yang mampu menjelaskan secara
langsung dan membuat interpretasi harfiah dari hasil inkuiri ilmiah atau
pemecahan masalah terkait teknologi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya literasi sains
siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah, pertama, rendahnya kemampuan
literasi sains siswa dapat disebabkan kebiasaan pembelajaran IPA yang masih
bersifat konvensional serta mengabaikan pentingnya kemampuan membaca dan
menulis sains sebagai kompetensi yang harus dimiliki siswa. Kedua, kemampuan
siswa dalam menginterpretasikan grafik/tabel yang disajikan dalam soal. Siswa
terbiasa hanya mengisi tabel yang telah disediakan oleh guru, sehingga
kemampuan siswa dalam menginterpretasikan grafik/tabel juga terbatas. Ketiga,
siswa tidak terbiasa mengerjakan soal tes literasi sains. Faktor-faktor tersebut
menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah sangat berpengaruh terhadap
pencapaian literasi sains siswa. Selain itu, guru mempunyai peran penting dalam
mengembangkan literasi sains siswa dalam proses pembelajaran (Morris &Pillips,
2003)
Karakteristik Pebelajar yang Melek Sains
8
Jadi melek sains dapat diartikan adalah kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains serta
dampaknya dalam kehidupan sehari hari, kreatif dan mampu mengambil
keputusan dalam kehidupannya. Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari yang
menunjukkan orang itu tidak melek sains seperti, memasang spanduk pada tiang
listrik apalagi dalam keadaan basah, orang tidak menyadari bahwa yang namanya
listrik itu selalu menuju ke tanah dan mencari perantara yang bersifat konduktor.
Manusia dan tiang listrik adalah konduktor yang baik, apalagi dalam keadaan
basah karena air merupakan penghantar listrik yang baik juga, sehingga orang
yang menyentuhnya mudah terkena sengatan listrik dan bisa berakibat fatal.
Menurut Shen (1975) dalam Bybee (1986), ada 3 bentuk melek Sains yang
berbeda namun berkaitan Yaitu : Praktis, yang bersifat kewarganegaraan, dan
yang bersifat kultural.
9
b. Melek Sains yang bersifat kewarganegaraan ditandai dengan adanya
kesadaran bahwa Sains dan teknologi itu berkaitan dengan masalah-masalah
sosial, yang memungkinkan waga negara dan wakil-wakilnya menerapkan
isu-isu sosial.
c. Melek Sains yang bersifat kultural ditandai dengan pemahaman bahwa Sains
dan teknologi merupakan hasil kerja manusia yang utama. Melek Sains
secara kultural tidak hanya memecahkan masalah praktis atau memecahkan
isu-isu kewarganegaraan tetapi menjembatani kesenjangan antara kedua
kebudayaan ini.
Bybee (1995) menyebutkan macam-macam dimensi melek Sains. Dimensi
Pertama meliputi perbendaharaan kata atau istilah-istilah tertulis Sains dan
teknologi. Inilah yang disebut melek SAINS fungsional. Siswa yang telah mampu
melek Sains secara fungsional dapat mengunakan istilah ilmiah secara tepat dan
memadai. Siswa diharapkan akan memenuhi standar minimum melek Sains dan
teknologi yaitu bahwa pada usia dan tingkat perkembangan tertentu, kelas
tertentu, siswa harus mampu membaca dan menulis wacana yang mengandung
perbendaharaan sains dan teknologi.
Perbedaan sudut pandang ini dapat mengarahkan kepada guru seperti apa
cara pembelajaran sains yang dipilih. Sains sebagai cara berpikir meliputi
keyakinan,rasa ingin tahu, imaginasi, penalaran, hubungan sebab-akibat,
pengujian diri dan skeptis, keobjektifan dan berhati terbuka . Sains sebagai cara
untuk menyelidiki dapat berupa metode ilmiah, yang titik beratnya adalah
10
berhipotesis, pengamatan, melakukan eksperimen, dan menggunakan matematika.
Sains sebagai pengetahuan ( body of knowledge) meliputi fakta, konsep- konsep,
hukum-hukum dan prinsip-prinsip, teori -teori dan model model. Sains dalam
interaksinya dengan teknologi dan masyarakat telah banyak dipelajari dalam
berbagai bentuk pembelajaran seperti STS, serta pembelajaran sains kontektual
seperti CTL(Liliasari, 2011).
Oleh sebab itu pembelajaran IPA yang berbasis literasi sains adalah
pembelajaran yang bukan sekedar memindahkan konsep yang dimiliki oleh guru
berupa menghafal rumus, latihan soal tanpa makna dan sebagainya yang berlaku
selama ini, tetapi pembelaran sains harus tanggap dalam berbagai hal (Hasrudin,
2009 : 37). Pembelajaran sains masa kini dan masa datang ditujukan untuk
membentuk individu-individu yang melek sains, yang paham sains, teknologi dan
masyarakat, saling mempengaruhi dan saling bergantung, dan mampu
mempergunakan pengetahuannya dalam membuat keputusan-keputusan yang
tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ilmiah yang terbentuk dalam diri
individu meliputi menghargai pembuktian, sabar, kritis, kreatif, berdaya cipta,
tidak berprasangka, mawas diri, jujur, bertanggung jawab, peka terhadap
lingkungan, dapat bekerja sama, rasa mencintai serta menghargai kebesaran dan
keagungan Allah SWT dan dapat memecahkan masalah secara sistematis dan
rasional.
11
dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan,
budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik
yang dimilikinya. Melek MIPA dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan
aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008). Sehingga dalam
pengertian tersebut kita dapat mengetahui bagaimana ciri ciri orang yang melek
sains yaitu :
12
6. Memilki sikap dan nilai yang selaras dengan konsep, prinsip, hukum dan
nilai sains dan nilai masyarakat luas.
7. Mengembangkan minat terhadap sains yang akan membawanya kehidupan
yang lebih kaya dan lebih memuaskan, yaitu kehidupan yang
memanfaatkan sains dan konsep belajar seumur hidup.
Berpikir sains dapat membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini dapat dibekalkan untuk membentuk
karakter bangsa. Misalnya bila warganegara mampu berpikir kritis, maka tak akan
begitu mudah terjadi benturan kelompok-kelompok sosial seperti tawuran, karena
setiap individu dalam masyarakat tidak akan mudah tertipu oleh isu. Menurut
Moore dan Parker (2009) berpikir kritis memiliki sejumlah karakteristik, yaitu: (1)
menentukan informasi mana yang tepat atau tidak tepat; (2) membedakan klaim
yang rasional dan emosional; (3) memisahkan fakta dari pendapat;(4) menyadari
apakah bukti itu terbatas atau luas; (5) menunjukkan tipuan dan kekurangan dalam
argumentasi orang lain; (6) menunjukkan analisis data atau informasi; (7)
menyadari kesalahan logika dalam suatu argumen; (8) menggambarkan hubungan
antara sumber-sumber data yang terpisah dan informasi; (9) memperhatikan
nformasi yang bertentangan, tidak memadai, atau bermakna ganda; (10)
membangun argumen yang meyakinkan berakar lebih pada data daripada
pendapat, (11) memilih data penunjang yang paling kuat; (12) menghindarkan
kesimpulan yang berlebihan, (13) mengidentifikasi celah-celah dalam bukti dan
menyarankan pengumpulan informasi tambahan; (14) menyadari ketidak-jelasan
atau banyaknya kemungkinan jawaban suatu masalah; (15) mengusulkan opsi lain
dan mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan; (16)
mempertimbangkan semua pemangku kepentingan atau sebagiannya dalam
mengusulkan penyebab tindakan; (17) menyatakan argumen dan konteks untuk
apa argumen itu; (18) menggunakan bukti secara betul dan tepat untuk
menyanggah argumen; (19) menyusun argumen secara logis dan kohesif; (20)
menghindarkan unsurunsur luar dalam penyusunan argumen; (21) menunjukkan
bukti untuk mendukung argumen yang meyakinkan.
13
Tunggal Ika. Bagaimana sains dapat merupakan kesatuan dalam keragaman,
yaitu dengan adanya tema umum dalam mempelajari sains. Ada lima tema umum
yang secara keseluruhan mendukung sains secara utuh, yaitu sistem, model,
kekekalan, perubahan, dan skala.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Literasi sains adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi
suatu permasalahan dengan menggunakan konsep-konsep sains. Ada dua
kelompok orang yang memiliki pandangan tentang literasi sains yaitu kelompok
science literacy dan kelompok scientific literacy. Merujuk pada PISA 2006,
sikap sains dalam literasi sains terdiri dari tiga kategori, yaitu: (1) mendukung
inkuiri sains, (2) ketertarikan terhadap sains, dan (3) tanggung jawab terhadap
sumber daya lingkungan.
Urgensi literasi sains dalam masyarakat, dapat menyelesaikan masalah
dengan menggunakan konsep-konsep sains sehingga bisa menghasilkan suatu
penemuan yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan teknologi. Seseorang
yang melek sains akan memiliki 6 unsur pemahaman yaitu sains sebagai inkuiri,
konten sains, sains dan teknologi, sains dalam perspektif pribadi dan sosial,
sejarah dan sifat sains, dan kesatuan konsep dan proses.
Pembelajaran sains untuk membentuk individu yang melek sains dengan
memiliki sikap ilmiah meliputi menghargai pembuktian, sabar, kritis, kreatif,
berdaya cipta, tidak berprasangka, mawas diri, jujur, bertanggung jawab, peka
terhadap lingkungan, dapat bekerja sama, rasa mencintai serta menghargai
kebesaran dan keagungan Allah SWT dan dapat memecahkan masalah secara
sistematis dan rasional.
15
DAFTAR RUJUKAN
Echols, J.M. & Shadily, H. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia
Ekohariadi. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Literasi Sains Siswa
Indonesia Berusia 15 Tahun. Jurnal Pendidikan Dasar,VOL.10 NO. 1
Hasruddin. 2009. Peran Multi Media dalam Pembelajaran Biologi. Jurnal
Tabularasa Unimed. Vol. 6. No. 2. Medan: Universitas Negeri Medan
Hoolbrook & Rannikmae, 2009. The Meaning of Scientific Literacy. International
Journal of Environmental & Science Education Vol. 4, No. 3, July 2009,
275-288.
Laugksch, R. C. 2000. Scientific literacy: A conceptual overview. Science
Education, (1), 7194.
Liliasari. 2005. Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia Melalui
Pendidikan Sains. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Pendidikan IPA pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam UPI, Bandung, Bandung
Liliasari. 2010. Pengembangan Berpikir Kritis Sebagai Karakter Bangsa
Indonesia Melalui Pendidikan Sains Berbasis ICT, Potret Profesionalisme
Guru dalam Membangun Karakter Bangsa: Pengalaman Indonesia dan
Malaysia. Bandung: UPI
Liliasari. 2011. Membangun Masyarakat Melek Sains Berkarakter Bangsa Melalui
Pembelajaran. Makalah yang disajikan pada nasional Universitas Negeri
Semarang. (Online),(http://liliasari.staf.upi.edu/files/2011/05/Makalah
Semnas-UNNES-2011.Liliasari.pdf), diakses 12 Februari 2017
Mahyuddin. 2007. Pembelajaran Asam Basa dengan Pendekatan Kontekstual
untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMA. Tesis pada SPS UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Millar, R. 2008. The role of Practical Work in The Teaching and Learning of
Science. Paper prepared for The Committee: High School Science
Laboratories: Role and Vision, National Academy of
Sciences,mwashington, DC. (Toharudin, dkk., 2011).
Miller, J.D. 1983. Scientifik literacy: A conceptual and empirical review. Journal
of the American academy of arts and siences, 112 (2). 29-48
16
Moore and Parker .2009. Critical Thinking, New York: McGraw-Hill Co. Inc.
Morris, Fries, Mehr, Philips, Mor, Lipsitz. 2003. Development of a MDS
Cognitive Performance Scale. Journal of Gerontology;49(4):174-82
NRC (National Research Council). (1996). Inquiry and the National Science
Education Standards: A Guid for Teaching and Learning. Washington:
National Academy Press.
NSES .1996. National Science Education Standard, Washington, DC: National
Academy Press
OECD. 1999. Measuring Student Knowledge and Skills: A New Framework for
Assessment. Paris: OECD.
OECD. 2003. Literacy Skills for the World of Tomorrow- Further Result from The
OECD Programme for International Student Assesment (PISA) 2000/
[Online]. Tersedia: http:www.oecd.org/[11 Februari 2017]
OECD. 2013. PISA 2006 Science Competencies for Tomorrows World: Volume 1
Analysis. Paris: OECD.
Poedjiadi, A. 2005. Sains Teknologi Masyarakat Model Pembelajaran
Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Rustaman, N. 2004. Ringkasan Eksekutif: Analisis PISA Bidang Literasi Sains.
Puspendik
Rychen, D.S. & Salganik, L.H. 2003. Key Competencies For a Successful Life
Anda Well Functioning Society. Cambridge, MA: Hogrefer & Huber.
Settlage, J and Southerland, S.A, 2007, Teaching Science to Every Child. Taylor
and Francis Group. New York London.
Toharudin, U. dkk. (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung:
UPI
Toharudin, Uus. dkk. 2011. Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung :
Humaniora
Widyatiningtyas, R. 2008. Pembentukan Pengetahuan Sains, Teknologi dan
Masyarakat dalam Pandangan Pendidikan IPA. (Online). http://educare.e-
fkipunla.net, diakses pada 12 Februari 2017
17