You are on page 1of 42

Bab I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Dalam beberapa dekade terakhir prevalensi obesitas pada usia remaja semakin
meningkat, menurut data WHO tahun 2014, diperkirakanterdapat 41 juta anak dibawah usia 5
tahun yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Sekarang ini secara global kejadian
obesitas lebih banyak kita jumpai jika dibandingkan dengan angka kejadian kurang gizi. Hal
initidak hanya ditemukan pada negara maju, namun juga di negara berkembang. Anak-anak di
negara berpenghasilan rendah dan menengah akan lebih rentan terhadap nutrisi yang tidak
memadai di masa prenatal, bayi, dan masa anak-anak yang kemudiaan, anak-anak ini akan
terpapar dengan makanan tinggi lemak, tinggi gula, tinggi garam, padat energi, dan makanan
yang kekurangan zat gizi mikro dimana jenis makanan inilah yang tersedia pada makanan
dengan biaya murah.1

Secara nasional prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun 2007 yaitu 7.95 persen menjadi 10.8 persen di tahun 2013.2,3Masalah gizi
banyak dialami oleh golongan rawan gizi yang memerlukan kecukupan zat gizi untuk
pertumbuhan. Kelompok anak hingga remaja awal (sekitar 10-14 tahun) merupakan kelompok
usia yang berisiko mengalami masalah gizi.Usia remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan
gizi karena berbagai sebab, diantaranya yaitu remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi
karena peningkatan pertumbuhan fisik. Kemudian, adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan
makan, kebiasaan makan yang berubah salah satunya terjadi karena adanya globalisasi secara
luas.4

Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan
yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik,
perkembangan, aktivitas, dan pemeliharaan kesehatan. Jika keadaan ini berlangsung terus
menerus (positive energy balance) dalam jangka waktu cukup lama, maka dampaknya adalah
terjadinya obesitas. Obesitas merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di
atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai jenis kelaminnya.5Sampai saat ini
mekanisme terjadinya obesitas belum diketahui secara pasti, diyakini sebagai multikausal dan
multidimensional karena tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, tetapi juga

1
sering terdapat pada sosio-ekonomi menengah, hingga menengah ke bawah. Faktor lingkungan,
gaya hidup, dan budaya lingkungan setempat diketahui memainkan peran penting dalam
meningkatkan prevalensi obesitas secara global.6

Nutrisi diketahui memainkan peranan penting dalam kondisi metabolik seperti obesitas,
diabetes, hiperkolesterolnemia, dan penyakit kardiovaskular. Belakangan ini, telah disepakati
kualitas dari pola konsumsi karbohidrat dapat dipertimbangkan sebagai faktor risiko penting
untuk penyakit kardiovaskular. Indeks glikemik atau Glycemic Index (GI) dan beban glikemik
atau Glycemic Load (GL) mencerminkan sifat karbohidrat yang menyebabkan peningkatan cepat
dari kadar gula darah setelah makan dan peningkatan insulin, dimana hal ini secara konsisten
telah diakui kontribusinya dalam menimbulkan dampak buruk dari berbagai faktor risiko
metabolik Hal ini berhubungan dengan pola konsumsi makanan yang mengandung indeks
glikemik atau beban glikemik tinggi, telah diakui dalam beberapa studi, memiliki peranan positif
dengan penambahan berat badan dan obesitas baik pada hewan maupun manusia, serta dalam
peningkatan kadar serum trigliserida, peningkatan level kolesterol LDL, dan peningkatan serum
faktor koagulasi.7

Remaja yang mengalami obesitasperlu diwaspadai karena cenderung akan berlanjut


menjadi orang dewasa yang mengalami obesitas pula, dan berisiko terkena diabetes, dan atau
penyakit kardiovaskular pada usia muda.8Obesitas di kalangan remaja tidak hanya
mempengaruhi kesehatan fisik, namun juga berdampak terhadap perkembangan sosial,
emosional, dan rasa percaya dirinya yang akan terbawa sampai masa dewasa nanti.1

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Obesitas saat ini menjadi permasalahan dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendeklarasikannya sebagai epidemic global. 40 juta anak di bawah usia 5 tahun
mengalami kelebihan berat badan
1.2.2 Secara nasional prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun 2007 yaitu 7.95 persen menjadi 10.8 persen di
tahun 2013.

2
1.2.3 Belum diketahuinya gambaran konsumsi makanan indeks glikemik tinggi dan faktor
faktorlainnya dengan kejadian obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 130 Jakarta periode Oktober 2017.

1.3 Hipotesis
1.3.1 Adanya hubungan antara konsumsi makanan indeks glikemik tinggi dan faktor
faktor lain dengan kejadian obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 130 Jakarta periode Oktober 2017.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

1.4.1.1 Mengetahui gambaran gambaran konsumsi makanan indeks glikemik tinggi dan faktor
faktor lainnya dengan kejadian obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 130 Jakarta periode Oktober 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya kejadian obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri
130 Jakarta periode Oktober 2017
1.4.2.2 Diketahuinya sebaran dari tingkat konsumsi makanan indeks glikemik tinggi,
aktivitas fisik, pola makan, emosional, pengetahuan tentang gizi, penyakit
sistemik, penggunaan obat, lingkungan, dan pendapatan orang tuadengan kejadian
obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 130 Jakarta periode
Oktober 2017
1.4.2.3 Diketahuinya hubungan antara konsumsi makanan indeks glikemik tinggi,
aktivitas fisik, pola makan, emosional, pengetahuan tentang gizi, penyakit
sistemik, penggunaan obat, lingkungan, dan pendapatan orang tuadengan kejadian
obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 130 Jakarta periode
Oktober 2017

3
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
1.5.1.2 Menerapkan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah untuk merumuskan dan
memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
1.5.1.3 Diharapkan penelitian ini akan memberikan wawasan dan pengetahuan baru
tentang faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada remaja
1.5.1.4 Mengembangkan daya nalar, minat, dan kemampuan dalam bidang penelitian.
1.5.1.5 Meningkatkan kemampuan berpikiran analitis dan sistematis dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan.
1.5.1.6 Meningkatkan kemampuan berkomunikasi langsung dengan masyarakat.
1.5.1.7 Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan
pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.

1.5.2 Bagi Perguruan Tinggi


Sebagai masukan dan acuan bagi mahasiswa fakultas kedokteran untuk penelitian
penelitian berikutnya dan diharapkan dapat menjadi data dasar atau pembanding
serta masukan bagi peneliti yang lain berkaitan dengan faktor faktor yang
berhubungan dengan kejadian obesitas pada remaja
1.5.3 Bagi Puskesmas
1.5.3.1 Adanya dukungan pendidikan dan pelatihan sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, khususnya di Puskesmas Kecamatan Pal Merah tentang
faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada remaja
1.5.3.2 Sebagai salah satu masukan sebagai bahaninformasi bagi petugas kesehatan
khususnya di PuskesmasKelurahan Kota Bambu Utara Jakarta Barat
1.5.3.3 Dengan diketahui faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian
obesitas pada remajaakan menjadi informasi bagi petugas kesehatanuntuk
dapatmemberikanpenyuluhanyangbaik dimulaipada saat kehamilan,perkembangan
dan pertumbuhan anak
1.5.3.4 Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi petugas
kesehatan untuk melakukan intervensi (penyuluhan dan atau pengobatan) terhadap
kejadian obesitas pada remaja
1.5.4 Bagi Sekolah

4
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang gambaran
makanan indeks glikemik tinggi dan faktor-faktor lainnya terhadap kejadian
obesitas, dan memberi masukan bagi institusi pendidikan yang bersangkutan, staf
pendidik dan pengajar untuk memperhatikan keadaan status gizi para murid.

1.5.5 Bagi Masyarakat


1.5.5.1 Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang
gambaran makanan indeks glikemik tinggi dan faktor-faktor lainnya terhadap
kejadian obesitas pada remaja
1.5.5.2 Sebagai informasi untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat

Bab II

5
Tinjauan Pustaka
2.1 Obesitas

2.1.1 Defenisi Obesitas

Obesitas adalah akumulasi lemak tubuh berlebih, dimana seseorang akan memiliki
kelebihan berat badan diatas 20% dari berat tubuh idealnya. Obesitas disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, dan pemeliharaan
kesehatan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus (positive energy balance) dalam jangka
waktu cukup lama, maka dampaknya adalah terjadinya obesitas.5

2.1.2 Penentuan Obesitas

Menentukan status gizi pada remaja adalah dengan mengukur Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau Body Mass Index (BMI). IMT dapat membantu untuk mengidentifikasi remaja yang
secara signifikan berisiko mengalami kelebihan berat badan. Rumus penghitungan IMT dan
klasifikasi adalah sebagai berikut6:

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Klasifikasi yang digunakan disini adalah kategori berdasarkan aturan untuk penduduk
Asia Pasifik. Indonesia termasuk bagian dari Asia Pasifik. Apabila nilai IMT atau BMI telah
diperoleh, maka hasilnya kemudian dibandingkan dengan ketentuan sebagai berikut1 :

Tabel 1. Klasifikasi berat badan

Sumber :

6
2.1.3 Epidemiologi
Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia mengalami peningkatan
dari tahun 2007 yaitu sebesar 7.95 persen menjadi 10.8 persen di tahun 2013, terdiri dari 8,3
persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas).2,3Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi
gemuk diatas nasional, yaitu Jawa Timur, Kepulauan Riau, DKI, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua2
Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil
pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk
tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U).
Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan
berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U.

Gambar 1Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13-15 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2013

Sumber: Riskesdas 2013

2.3Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obesitas pada Remaja

7
Menurut para ahli, didasarkan pada hasil penelitian, obesitas dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

2.3.1Pola Konsumsi
Beberapa faktor penyebab obesitas pada anak antara lain asupan makanan berlebih yang
berasal dari jenis makanan olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajanan seperti
makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai
makanan. Penyerapan glukosa yang cepat setelah konsumsi makanan dengan indeks glikemik
tinggi menyebabkan terjadinya perubahan hormonal dan metabolik di dalam tubuh yang dapat
meningkatkan konsumsi makanan pada subjek penelitian obesitas.9

Pola Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food)


Fast food yang dikonsumsi oleh subjek pada kelompok obesitas adalah beef burger, burger ring on, es
krim, steak, mie ayam, bakso, mi instan, batagor, siomay, sosis, tempura, dan tela-tela sedangkan pada kelompok
non-obesitas meliputi beef burger, cheese burger, burger regular, es krim, steak, mi ayam, bakso, mi instan, siomay,
batagor, dan sosis. Hasil wawancara dengan kelompok obesitas menyatakan bahwa subjek mengaku sering
mengkonsumsi fast food minimal 1x/bulan dan maksimal 1x/minggu. Hal ini karena setiap mengerjakan tugas
kelompok, subjek pasti pergi ke tempat-tempat yang menyediakan aneka jenis fast food seperti di KFC dan Mc
Donald. Selain itu, di sekitar sekolah juga banyak yang menjajakan makanan jenis fast food lokal, baik itu di kantin
sekolah maupun di luar sekolah seperti pedagang kaki lima. Sebaliknya, hasil analisis menunjukkan frekuensi
konsumsi fast food berlebih dapat menyebabkan risiko terjadinya obesitas. Hal ini karena fast food merupakan jenis
makanan cepat saji yang mengandung energi tinggi, banyak mengandung gula, tinggi lemak, dan rendah serat.10

Asupan karbohidrat
Asupan karbohidrat berlebih pada kelompok obesitas ditemukan lebih tinggi dibandingkan kelompok
tidak obesitas. Tingginya konsumsi karbohidrat disebabkan sebagian sampel penelitian mengkonsumsi makanan
tinggi karbohidrat pada jam istirahat (jajan) seperti nasi goreng, cilok, batagor, mie ayam, bakso, dan siomay. Selain
itu juga dari jenis makanan ringan seperti chitato, keripik singkong, dan keripik kentang. Kelebihan karbohidrat di
dalam tubuh akan diubah menjadi lemak. Perubahan ini terjadi di dalam hati. Lemak ini kemudian dibawa ke sel-sel
lemak yang dapat menyimpan lemak dalam jumlah tidak terbatas. Ukuran atau porsi makan yang terlalu berlebihan
juga dapat memiliki banyak kalori dalam jumlah banyak dibandingkan dengan apa yang dianjurkan untuk orang
normal untuk konsumsi sehari-harinya.11

Asupan protein

8
Asupan protein yang lebih pada kelompok non-obesitas ditemukan lebih tinggi
dibandingkan kelompok obesitas. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan asupan
protein bukan merupakan faktor risiko terjadinya obesitas. Namun sebaliknya, bahwa dalam
keadaan berlebihan, protein akan mengalami deaminase. Nitrogen dikeluarkan dari tubuh dan
sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan di dalam tubuh. Dengan
demikian, konsumai protein secara berlebihan juga dapat menyebabkan kegemukan dan
obesitas.10

Asupan lemak
Asupan lemak yang lebih ditemukan lebih banyak pada kelompok obesitas dibandingkan kelompok tidak
obesitas. Hasil penelitian tentang asupan lemak menunjukkan bahwa tingginya konsumsi lemak disebagian besar
sampel penelitian mengkonsumsi makanan tinggi lemak seperti gorengan yaitu tempe mendoan, tahu goreng,
lumpia, risoles, martabak, telur dadar dan biasanya makanan yang digoreng tersebut tinggi protein. Dengan
demikian makanan yang digoreng memiliki kontribusi yang besar dalam asupan lemak tiap harinya.
Hampir sepertiga anak Amerika usia 4-19 tahun mengkonsumsi lemak setiap hari yang mengakibatkan
penambahan berat badan 3 kg per tahun. Namun, masalah obesitas sesungguhnya bukan terletak pada pola santap
yang berlebihan, melainkan pada kesalahan memilih jenis santapan. Pada anak remaja, kudapan berkontribusi 30%
atau lebih dari total asupan kalori remaja setiap hari. Kudapan ini sering mengandung tinggi lemak, gula, dan
natrium sehingga dapat meningkatkan resiko kegemukan dan karies gigi.10

Asupan serat
Pola makan dan kebiasan makan pada subjek penelitian cenderung ke arah makanan
yang berlemak, berminyak serta mengandung banyak pati dan gula sehingga hal tersebut akan
menyebabkan asupan serat menjadi rendah. Selain itu, tersedianya kantin, restauran cepat saji,
dan pedagang keliling di sekitar area sekolah yang umumnya menyajikan makanan yang
berlemakdan berminyak juga mempengaruhi asupan serat pada remaja. Pola konsumsi yang
diterapkan remaja sekarang ini adalah makanan yang tinggi energi namun sedikit mengandung
serat
Sebagian besar asupan serat, baik itu pada kelompok obesitas maupun non-obesitas
masih kurang dari kecukupan. Hal ini terjadi karena rendahnya konsumsi sayur dan buah.
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar subjek pada kelompok non-obesitas menyatakan

9
bahwa mereka jarang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Dalam seminggu, subjek
mengaku maksimal 3 ksli mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, bahkan ada beberapa yang
sama sekali tidak mengkonsumsi sayuran. Banyak alasan yang menyebabkan subjek pada
penelitian ini jarang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, salah satunya karena kurang suka
dengan sayur dan tidak ada waktu di rumah untuk makan sayur dan buah akibat aktivitas yang
lebih banyak di luar rumah. Beberapa subjek mengaku bahwa orang tuanya jarang memasak
sayur karena kesibukannya. Selain itu, subjek juga mengaku lebih suka mengkonsumsi jenis
makanan kering seperti gorengan, aneka lauk (ayam, ikan, daging, dll), aneka jajanan (batagor,
sosis goreng, bakso, mi ayam), dan makanan manis seperti roti dan kue. Alasan-alasan tersebut
juga sering dikemukakan oleh beberapa subjek pada kelompok obesitas yang asupan seratnya
kurang.10

Kebutuhan Energi
Faktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan kebutuhan energi remaja adalah
aktivitas fisik, seperti olahraga yang diikuti, baik dalam kegiatan di sekolah maupun diluar
sekolah. Widyakarya Nasional Pangan Gizi VI (WKNPG VI) menganjurkan angka kecukupan
gizi (AKG) energi untuk remaja dan dewasa muda perempuan 2000-2200 kkal, sedangkan untuk
laki-laki antara 2400-2800 kkal setiap hari. AKG energi ini dianjurkan sekitar 60% berasal dari
sumber karbohidrat yaitu: beras, terigu dan hasil olahannya (mie, spagetti, makaroni), umbi-
umbian (ubi jalar, singkong), jagung, gula dan lain-lain.7
2.3.2 Aktivitas Fisik
Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh.
Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor :
1) Tingkat aktivitas dan olahraga secara umum
2) Tingkat metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi minimal tubuh.12
Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari
pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga
pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan
berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori
terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori secara

10
tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian
akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan
menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi sangat sulit
dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olah raga secara tidak langsung akan mempengaruhi
turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi olahraga sangat penting dalam penurunan
berat badan tidak saja karena dapat membaekar kalori, melainkan juga karena dapat membantu
mengatur berfungsinya metabolis normal.12

2.3.3 Herediter
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di
dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk
cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu
yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran
normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak
heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.Seorang
anak punya 40% kemungkinan mengalami kegemukan, bila salah satu orangtuanya obesitas. Bila
kedua orangtuanya kelebihan berat badan, maka kemungkinan seorang anak mengalami obesitas
pun naik hingga 80%.13
Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan genetik/hereditas anak dalam
mengalami obesitas. Kelebihan berat badan pada orangtua memiliki hubungan positif dengan
kelebihan berat badan anak. Faktor genetik berhubungan dengan pertambahan berat badan, IMT,
lingkar pinggang dan aktivitas fisik. Jika ayah dan/atau ibu menderita overweight (kelebihan
berat badan) maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40- 50%.
Apabila kedua orang tua menderita obese, kemungkinan anaknya menjadi obese sebesar 70-
80%.4

Menurut teori yang diungkapkan dari penelitian, beberapa variasi genetik yang
memodulasi insulin dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan fetus dan onset dini obesitas.
Teori ini mengatakan peran genetik juga mempengaruhi status obesitas anak disamping berat
badan lahir yang rendah. Faktor genetik yang menjadi penghubung antara munculnya obesitas
pada anak dengan berat badan lahir yang rendah diantaranya Glutamate Decarboxylase 2

11
(GAD2) dan mutasi small heterodimer partner (SHP) yang mengkode protein inhibisi key -cell-
expressed hepatocyte nuclear.14

2.3.4 Pendapatan Orang Tua


Peningkatan pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas maupun kuantitas yang lebih baik. Besar kecilnya pendapatan
keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi.Besarnya pendapatan mempengaruhi pemilihan
konsumsi makanan, maka perlu dilakukan analisis beberapa faktor risiko yang berhubungan
dengan overweight di SMA Batik I Surakarta, dengan pertimbangan prevalensi obesitas di SMA
Batik I Surakarta cukup besar yaitu 3,6%, serta lokasi sekolah yang berdekatan dengan pusat
perbelanjaan (mall) dan di sekitar sekolah terdapat banyak penjual makanan cepat saji.12
Kejadian obesitas banyak ditemukan pada golongan pendapatan orang tua tinggi
disebabkan konsumsi makanan yang berlemak tinggi sedangkan pada golongan pendapatan
orang tua rendah ditemukan kejadian obesitas disebabkan konsumsi makanan yang mengandung
banyak karbohidrat karena mereka kesulitan dalam membeli makanan berprotein tinggi.15

2.3.5Lingkungan
Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika
seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran
dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan
tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami
masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan.15
2.3.6 Pengaruh Globalisasi
Masa remaja merupakan usia dimana mereka sangat tertarik pada hal-hal baru. Kondisi
tersebut dimanfaatkan oleh pengusaha makanan untuk mempromosikan produk mereka dengan
cara yang sangat mempengaruhi remaja. Padahal, produk makanan tersebut bukanlah makanan
yang sehat bila dikonsumsi dalamjumlah yang berlebihanMasuknyaproduk-produk makanan
baru yang berasal dari negara lain secara bebas, mempengaruhi kebiasaan makan para
remaja.Jenis-jenis makanan cepat saji (fast food) yang berasal dari negara barat seperti hot dog,
pizza, hamburger,fried chicken dan french fries, sering dianggap sebagai lambang kehidupan
modern oleh para remaja. Padahal berbagai jenis fast food itu mengandung kadar garam, lemak
jenuh dan kolesterol yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Kerry N. Boutelle, dkk (2005)

12
menemukan bahwa konsumsi fast food berhubungan dengan berat badan orang dewasa namun
tidak pada remaja. Hal tersebut disebabkan karena remaja membutuhkan banyak kalori untuk
aktivitasnya, sehingga fast food tidak mempengaruhi status gizi mereka untuk menjadi obesitas.
Namun, kebiasaan mengkonsumsi fast food bisa meningkatkan risiko bagi para remaja untuk
menjadi obesitas pada saat dewasa nanti16

2.3.7 Aspek Psikologis


Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang
tidak teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan dianggap
sebagai simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi untuk pengganti
kepuasan lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya. Walaupun penjelasan demikian cocok
pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan berat badan tidaklah lebih terganggu
secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal. Meski banyak
pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya
ketidakbahagiaan batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut
karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga
orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri
terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan. Orang gemuk seringkali
mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka tegang atau cemas,
dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu
situasi yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang
kurang mencekam. Dalam suatu studi yang dilakukan pada kelompok orang dengan berat badan
berlebih dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik
(makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang
berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang
membosankan. Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik
setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosankan.
Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah
menonton film yang tegang maupun film yang membosankan.13

2.3.8 Pengetahuan Gizi

13
Tingkat pengetahuan gizi remaja adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya gizi lebih pada remaja. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan gizi yang kurang pada sebagian
besar remaja yang mengalami kegemukan memungkinkan remaja kurang dapat memilih menu
makanan yang bergizi. Sebagian besar kejadian masalah gizi lebih dapat dihindari apabila remaja
mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup tentang memelihara gizi dan mengatur makan13

2.3.9Penggunaan obat

Terapi kortikosetroid di bidang medis sebagai antiinflamasi dan dalam bidang


imunologi disorder telah diketahui memiliki banyak efek samping. Efek samping yang paling
sering ditemukan pada pasien pediatrik adalah obesitas cushingoid yang diinduksi oleh
pemakaian lama kortikosteroid dengan dosis sedang atau terapi dosisi tinggi17

2.3.10Penyakit Sistemik

Masalah obesitas/overweight pada anak dan remaja dapat meningkatkan kejadian


diabetes mellitus (DM) tipe 2. Obesitas pada remaja penting untuk diperhatikan karena remaja
yang mengalami obesitas 80% berpeluang untuk mengalami obesitas pula pada saat dewasa.
Selain itu, terjadi peningkatan remaja obesitas yang didiagnosis dengan kondisi penyakit yang
biasa dialami orang dewasa, seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi. Remaja obesitas sepanjang
hidupnya juga berisiko lebih tinggi untuk menderita sejumlah masalah kesehatan yang serius,
seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, asma, dan beberapa jenis kanker. Stigma obesitas juga
membawa konsekuensi psikologis dan sosial pada remaja, termasuk peningkatan risiko depresi
karena lebih sering ditolak oleh rekan-rekan mereka serta digoda dan dikucilkan karena berat
badan mereka.18

Sindroma Metabolik
Menurut beberapa penelitian persentase lemak tubuh bangsa Asia (terutama abdominal
obesity) 7%-10% lebih tinggi dibandingkan bangsa Kaukasian. yang mengakibatkan risiko
komorbiditas obesitas dan sindroma metabolik pada bangsa Asia juga lebih tinggi. Sindroma
metabolik sangat erat hubungannya dengan peningkatan risiko terhadap penyakit jantung koroner
dan penyakit metabolik seperti diabetes mellitus tipe 2 dan aterosklerosis. Individu dengan

14
obesitas sentral lebih berisiko untuk terjadi sindroma metabolik dibanding obesitas perifer.
Deteksi awal sindroma metabolik pada anak terutama yang berisiko mendapatkannya seperti
anak dengan obesitas sangatlah penting untuk mencegah komorbiditas obesitas di kemudian
hari.19
Obesitas pada anak dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan cenderung berlanjut
sampai dewasa. Obesitas meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (hipertensi,
arteriosklerosis, dan stroke) dan penyakit hormonal (dyslipidemia, hyperlipidemia, diabetes
mellitus tipe 2 dan metabolic syndrome) serta gangguan pada tulang dan kulit pada usia yang
lebih muda.20

Kerusakan otak
Otak merupakan system pengontrol pusat tubuh manusia. Sistem pengontrol yang
mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak yang disebut hipotalamus, sebuah
kumpulan inti sel dalam otak yang langsung berhubungan dengan bagian-bagian lain dari otak
dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh darah dari
daerahlain pada otak, sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah. Dua
bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang
menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus ventromedial (HVM) yang
bertugas merintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat kenyang). Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau minum, dan
akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi infus). Sedangkan bila kerusakan
terjadi pada bagian HVM maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.13

2.3.11 Riwayat BBLR


Penelitian yang dilakukan oleh Loaiza, dkk (2011) melaporkan bahwa berat badan lahir
dapat digunakan sebagai indikator risiko obesitas pada anak. Laporan penelitian lain oleh
Aggraini (2008) menyatakan berat badan lahir tidak normal (rendah/tinggi) memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami overweight dan obesitas serta diabetes mellitus tipe 2.20
Menurut teori yang diungkapkan dari penelitian Meyre D, et al (2005), beberapa variasi
genetik yang Variable Obes Non Obes P OR IK (95%) N= 43 N= 85 Lower Upper Berat Lahir
(n,%) 0,585 0,651 0,066 6,499 BBLR 1 (25) 3 (75) Non BBLR 42 (33,9) 82 (66,1) 8 memodulasi

15
insulin dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan fetus dan onset dini obesitas. 23 Teori ini
mengatakan peran genetik juga mempengaruhi status obesitas anak disamping berat badan lahir
yang rendah. Faktor genetik yang menjadi penghubung antara munculnya obesitas pada anak
dengan berat badan lahir yang rendah diantaranya Glutamate Decarboxylase 2 (GAD2) dan
mutasi small heterodimer partner (SHP) yang mengkode protein inhibisi key -cellexpressed
hepatocyte nuclear.20
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) disamping meningkatkan risiko akumulasi lemak
sentral, meningkatkan risiko resisten insulin, metabolic syndrome dan penyakit kardiovaskular
pada anak non obes juga dapat menimbulkan hal yang sama pada anak yang obesitas. Berat
Maximum Kehamilan (BMK) dapat meningkatkan risiko obesitas dan sindrom metabolik pada
beberapa kelompok etnis dan kasus diabetes gestasional.20
Berat badan lahir adalah berat bayi segera setelah dilahirkan, normalnya 2500-4000 gram.
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah berat lahir <2500 gram
Berat Maximum Kehamilan (BMK) adalah berat lahir >4000 gram

2.3.12 Pola Tidur


Tidur adalah suatu keadaan tidak sadar yang menyebabkan reaksi individu terhadap
lingkungan sekitar menurun bahkan hilang. Menurut National Sleep Foundation durasi tidur
untuk remaja usia 14- 17 tahun yaitu 8 10 jam dalam sehari. Sejumlah hormon memediasi
interaksi antara durasi tidur yang pendek, metabolisme dan tingginya IMT. Dua hormon kunci
yang mengatur nafsu makan yaitu leptin dan ghrelin. Kedua hormon ini memainkan peranan
yang signifikan dalam interaksi antara durasi tidur yang pendek dan tingginya IMT. Leptin
adalah adipocyte-derived hormon yang menekan nafsu makan. Ghrelin sebagian besar adalah
peptide yang berasal dari abdomen yang menstimulasi nafsu makan. Mediator lain yang memberi
kontribusi terhadap metabolisme adalah adiponektin dan insulin. Adiponektin adalah hormon
yang baru diketahui disekresi oleh adiposit dan berhubungan dengan sensitifitas insulin.Durasi
tidur yang pendek dapat meningkatan rasa lapar, meningkatkan kesempatan untuk makan, terjadi
perubahan termoregulasi, dan meningkatkan kelelahan. Peningkatan rasa lapar dan peningkatan
kesempatan untuk makan akan meningkatan asupan energi, sedangkan terjadinya perubahan
termoregulasi dan peningkatan kelelahan akan menurunkan energy expenditure.17

16
Peningkatan asupan energi yang tidak diimbangi denganenergy expenditure dapat
menyebabkan obesitasSalah satu mekanisme durasi tidur pendek yang dapat mempengaruhi
kenaikan berat badan adalah dengan meningkatnya asupan energi. Berdasarkan penelitian pada
hewan menunjukkan bahwa durasi tidur pendek dapat menyebabkan hyperphagia (peningkatan
rasa lapar) yang pada manusia juga menunjukkan efek yang sama. Penelitian ini membandingkan
4 jam dengan 10 jam tidur untuk setiap malam selama 2 hari yang hasilnya menunjukkan bahwa
subjek yang tidurnya 4 jam setiap malam mempunyai rasa lapar dan nafsu makan yang lebih
tinggi daripada yang tidurnya 10 jam dalam semalam. Peningkatan asupan makan tersebut
terutama makanan tinggi lemak dan tinggi karbohidrat. Perubahan ini berhubungan dengan
peningkatan ghrelin dalam serum dan penurunan leptin dalam serum. Hal ini membuktikan
bahwa kurang tidur dapat mempengaruhi regulator perifer rasa lapar.21

2.4Indeks Glikemik
Pangan mempunyai peran ganda dalam kesehatan. Pola makan yang benar dapat
meningkatkan derajat kesehatan individu. Sebaliknya, pola makan yang tidak tepat dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit termasuk penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung
koroner, diabetes melitus dan lain-lain. Pola makan yang tidak tepat juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya obesitas. Hal ini perlu diperhatikan karena obesitas dapat terjadi baik pada
kalangan anak-anak, remaja dan orang tua. 22
Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa
darah. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks
glikemik pangan lain. Meskipun demikian penggunaan roti tawar sebagai pangan acuan lebih
sering digunakan dalam penelitian. Hal ini didasari atas kelaziman mengonsumsi roti tawar
dibandingkan dengan glukosa murni.22Selama ini untuk pengendalian kadar glukosa darah pasien
DM menggunakan pendekatan farmakologi, namun beberapa uji klinik menunjukkan bahwa
kontrol diabetes dapat dilakukan dengan diet indeks glikemik rendah dari pada indeks glikemik
tinggi.23

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki
indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan
kata lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang
dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam

17
darah dengan lambat juga. Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang
sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet.22Makanan dengan indeks glikemik rendah
akan lebih lama menunda rasa lapar dibandingkan dengan makanan dengan indeks glikemik
tinggi. Sehingga indeks glikemik dapat membantu orang yang ingin menjalani program
penurunan berat badan dengan memilih makanan yang mempunyai indeks glikemik rendah.
Dengan mengetahui indeks glikemik suatu makanan, diharapkan setiap orang dapat menentukan
jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan glukosa darah ketingkat yang aman.

Secara tradisional karbohidrat telah dikategorikan berdasarkan struktur utama yang ada
didalamnya menjadi karbohidrat sederhana yaitu karbohidrat yang mengandung sebagian besar
mono-atau disakarida dan karbohidrat kompleks yang mengandung polisakarida atau pati.
Karena kategorisasi ini, telah terjadi salah asumsi dimana diasumsikan bahwa semua karbohidrat
sederhana akan memiliki respon glukosa yang cepat dalam tubuh manusia dengan demikian tidak
cocok untuk orang dengan obesitas, penderita diabetes dan orang dengan gangguan insulin,
sementara itu karbohidrat kompleks yang diyakini memiliki respon glukosa yang lebih kecil
dalam darah. 24

Nilai indeks glikemik dikatagorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah
dengan rentang nilai IG < 55, IG sedang dengan rentang nilai 56-69, dan IG tinggi dengan
rentang nilai >70. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain cara
pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan
amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta
kadar anti-gizi pangan.22
Proses pengolahan dapat menyebabkan meningkatnya nilai indeks glikemik pangan
karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap
sehingga dapat mengakibatkan kadar glukosa naik dengan cepat. Selain itu ukuran partikel yang
semakin kecil sehingga memudahkan terjadinya degradasi oleh enzim juga dapat menyebabkan
indeks glikemik semakin meningkat. Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabkan
terjadinya gelatinisasi pada pati. Dengan adanya proses pecahnya granula pati ini molekul pati
akan lebih mudah dicerna karena enzim pencerna pada usus mendapatkan tempat bekerja yang
lebih luas. Hal inilah yang menyebabkan proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan

18
terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan22Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar
amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin
lebih rendah setelah mengonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar
amilopektin tinggi.22Sebaliknya, bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar
amilosa, respon glukosa darah lebih tinggi.22Keberadaan serat pada pangan ternyata sangat
memberikan pengaruh pada kenaikan kadar glukosa dalam darah.24 Pengaruh serat pada indeks
glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik
pada pencernaan, maka indeks glikemik cenderung lebih rendah. Serat terlarut dapat
menurunkan respon glikemik pangan secara bermakna. Serat dapat memperlambat terjadinya
proses pencernaan di dalam tubuh sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah respon glukosa
darah akan lebih rendah25Konsumsi pangan IG tinggi dapat memicu peningkatan kadar gula
darah, resiko kerusakan jaringan vaskular dan organ lainnya.26Dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak sedikit masyrakat yang sering mengkonsumsi makanan dengan indeks
glikemik tinggi diantaranya nasi putih, bihun, kerupuk, umbi-umbian, dan lain-lain.27

2.4.1 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan


Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan dalam pengukuran IG, seperti metode
pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan
karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subjek, dan perhitungan IAUC.
Pengambilan sampel darah yang direkomendasikan untuk mengukur IG adalah pengambilan
sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan darah pada pembuluh darah kapiler lebih mudah untuk
didapatkan, selain itu kenaikan glukosa darah di plasma vena lebih besar dari darah kapiler.28
Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti
putih atau glukosa murni. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan
acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap
subjek. Dalam pengukuran indeks glikemik, porsi makanan yang diuji harus mengandung 50g
karbohidrat. Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50g karbohidrat dalam pangan acuan
ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan
karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut.28

19
Perhitungan IAUC (Incremental Area Under the Curve) merupakan salah satu hal yang
paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Pengukuran nilai indeks
glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut28:

IAUC food Wt Glucose


IG = IAUC glucose x (Wt Available Carbohydrate) x 100%

Dimana = 50 50 = 1 dengan demikian,

IAUC food
IG = IAUC glucose x 100%

Keterangan:
IG : Indeks Glikemik
IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji
IAUC glucose : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa
murni(pangan acuan)
Wt : Berat (gr)

Tabel 2.1 Nilai Rata-rata Indeks Glikemik 62 Jenis Makanan dari Penelitian Berbagai
Laboratorium Berbeda Tahun 2008

Dairy products and


alternatives Legumes Snack products Sugars
Susu, full fat 39 Chickpeas 28 Cokelat 40 Fruktosa 15 4
3 9 3
Susu, skim 37 Kacang tanah 24 Berondong Jagung 65 Sukrosa 65 4
4 4 (Popcorn) 5
Ice cream 51 Lentils 32 Potato crisps 56 Glukosa 103 3
3 5 3
Yogurt, buah 41 Kacang kedelai 16 Soft drink/soda 59 Madu 61 3
2 1 3
Susu kedelai 34 Kerupuk 87
4 2
Rice milk 86
7

Sumber :Institute of Obesity, Nutrition and Exercise,University of Sydney, New South Wales,
Australia; 2008

20
Tabel 2.2Nilai Rata-rata Indeks Glikemik 62 Jenis Makanan dari Penelitian Berbagai
Laboratorium Berbeda Tahun 2008
Makanan Tinggi Sarapan dan Buah dan
Karbohidrat Sereal Produk Buah Sayuran
White wheat bread* 75 Cornflakes 81 Buah Apel 36 Kentang, rebus 78
2 6 2 4
Whole wheat/whole 74 Biscuit, tepung 69 Buah Jeruk 43 Kentang, kemasan ditumbuk 87
meal bread 2 putih 2 3 (mash potato) 3
Specialty grain bread 53 Bubur, rolled oats 55 Buah Pisang 51 Kentang, goreng (french fries) 63
2 2 3 5
Unleavened wheat 70 Bubur oat instan 79 Buah Nanas 59 Wortel, kukus 39
bread 5 3 8 4
Wheat roti 62 Rice 78 Buah Manga 51 Ubi, kukus 63
3 porridge/congee 9 5 6
Chapatti 52 Millet porridge 67 Semangka 76 Labu, kukus 64
4 5 4 7
Corn tortilla 46 Muesli 57 Dates, mentah 42 Plantain/green banana 55
4 2 4 6
Nasi putih, kukus* 73 Persik, kaleng 43 Umbi, kukus 53
4 5 2
Brown rice, boiled 68 Strawberry 49 Sup sayuran 48
4 selai/jelly 3 5
Barley 28 Jus apel 41
2 2
Jagung manis 52 Jus jeruk 50
5 2
Spaghetti, white 49
2
Spaghetti, whole meal 48
5
Rice noodles 53
7
Mie Udon 55
7
Couscous 65
4
Sumber : Institute of Obesity, Nutrition and Exercise,University of Sydney, New South Wales,
Australia; 2008
Data are means SEM.

Nilai rata-rata dari data yang ada

21
2.5 Metode Pengukuran Asupan Makan
Metode pengukuran asupan makan menurut untuk mengukur asupan makanan individu
digunakan metode :
Metode Food Recall 24 jam
Dilakukan dengan cara petugas menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan
minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama 24 jam yang
lalu. Selain makanan utama, makanan kecil atau jajan juga dicatat, termasuk makanan yang
dimakan diluar rumah.
Kelebihan :
1. Mudah dilaksanakan, tidak terlalu membebani responden.
2. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas
untuk wawancara.
3. Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.
4. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga
dapat dihitung asupan zat gizi sehari.
Kekurangan :
1. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari , bila hanya dilakukan recall 1
hari.
2. Ketepatannya tergantung pada daya ingat responden.
3. Butuh tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu
URT.

Metode Estimated Food Records


Dilakukan dengan cara responden mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT.
Responden juga diminta untuk mencatat semua yang dimakan atau diminum setiap kali sebelum
makan.
Kelebihan :
1. Metode ini relatif murah dan cepat
2. Dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar
3. Dapat diketahui konsumsi zat gizi sehari

22
4. Hasilnya relatif lebih akurat
Kekurangan :
1. Metode ini terlalu membebani responden, sehingga sering menyebabkan responden
merubah kebisaan makannnya
2. Tidak cocok untuk responden yang buta huruf
3. Sangat tergantung pada kejujuran dan kemampuan responden dalam mencatat dan
memperkirakan jumlah konsumsi.

Metode Penimbangan Makanan (Food Weighing)


Petugas atau responden menimbang dan mencatat bahan makanan yang dikonsumsi
dalam gram, termasuk sisa makanan juga ditimbang untuk mengetahui jumlah sesungguhnya
makanan yang dikonsumsi.
Kelebihan : Data yang diperoleh lebih akurat atau teliti
Kekurangan :
1. Memerlukan waktu dan cukup mahal.
2. Bila penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama, maka responden dapat
merubah kebiasaan makan mereka.
3. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil.
4. Memerlukan kerjasama yang baik dengan responden.

Metode Dietary History


Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola konsumsi berdasarkan
pengamatan dalam waktu cukup lama (bisa 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun). Hal yang perlu
mendapat perhatian dalam mengumpulkan data adalah keadaan musim-musim tertentu dan hari-
hari istimewa seperti hari pasar, awal bulan, hari raya dan sebagainya. Gambaran konsumsi pada
hari-hari tersebut harus dikumpulkan.
Kelebihan :
1. Dapat memberikan gambaran konsumsi pada periode yang panjang secara kualitatif dan
kuantitatif.
2. Biaya relatif murah.

23
3. Dapat digunakan di gizi klinik untuk membantu mengatasi masalah kesehatan yang
berhubungan dengan diet pasien.
Kekurangan :
1. Terlalu membebani pihak pengumpul data dan responden.
2. Sangat sensitif dan membutuhkan pengumpul data yang sangat terlatih, tidak cocok
dipakai untuk survei-survei besar.
3. Data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif.
4. Biasanya hanya difokuskan pada makanan khusus, sedangkan variasi makanan sehari-
hari tidak diketahui.

Metode Frekuensi Makanan (Food Frekuency)


Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan
atau tahun. Dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi
bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat
membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling
sering digunakan dalam penelitian epidemologi gizi.
Kelebihan :
1. Relatif murah dan sederhana.
2. Dapat dilakukan sendiri oleh responden.
3. Tidak membutuhkan latihan khusus.
4. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.

Kekurangan :
1. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari.
2. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data.
3. Cukup menjemukan bagi pewawancara.
4. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang
akan masuk dalam daftar kuesioner.
5. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi

24
2.5 Kerangka Teori
Herediter

Aktivitas Fisik

Gen

Pola Tidur

Riwayat Berat
Penyakit Sistemik
Badan Lahir
Rendah
Pola Konsumsi

Sindroma Metabolik Kejadian Obesitas


dan Kerusakan Otak Murid SMP

Penggunaan Obat

Pengetahuan Gizi

Aspek Psikologis Lingkungan Pengaruh Pendapatan orang


Globalisasi tua

25
2.6 Kerangka Konsep

Pola Konsumsi

Aktivitas Fisik

Herediter

Pendapatan orang tua

Lingkungan Kejadian Obesitas


Murid SMP
Pengaruh Globalisasi

Aspek Psikologis

Pengetahuan Gizi

c Penggunaan Obat

Penyakit Sistemik

Riwayat BBLR

Pola Tidur

26
Bab III

Metode Penelitian

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain analitik dengan studicross sectional
mengenai gambaran konsumsi makanan indeks glikemik tinggi dan faktor-faktor lainnya dengan
kejadian obesitas di Sekolah Menengah Pertama Negeri 130 Jakarta periode Oktober 2017

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 130 Jakarta, periode Oktober 2017

3.3 Sumber Data dan Instrumen Penelitian


Sumber data terdiri dari data primer. Data primer diambil dari subjek penelitian dengan
melakukan penimbangan berat badan, dan pengukuran tinggi badan dan kuesioner pada murid
SMP Negeri 130 yang berusia 13 sampai 15 tahun dalam bulan Oktober 2017 di SMP Negeri
130 Jakarta.

3.4 Populasi

3.4.1. Populasi target : Semua siswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP
Negeri 130 Jakarta.
3.4.2. Populasi terjangkau : Semua siswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP
Negeri 130 Jakarta dalam bulan Oktober 2017.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi:


3.5.1.1. Semua siswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP Negeri 130 Jakarta
yang hadir saat penelitian dilakukan.
3.5.1.2. Siswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP Negeri 130 Jakarta yang
bersedia berpartisipasi mengikuti penelitian
3.5.1.3. Siswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP Negeri 130 Jakarta
Baratyang masuk dalam kategori obesitas

27
3.5.2. Kriteria Eksklusi:
3.5.2.1 Semua siswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP Negeri 130 Jakarta
yang tidak mengikuti proses penelitian sampai selesai

3.6. Sampel

3.6.1. Besar Sampel


Sampel adalah bagian dari populasi yang ingin diteliti. Penelitian dilakukan terhadap
semuasiswa murid SMP berusia 13 sampai 15 tahun di SMP Negeri 130 Jakarta yang
masuk kategori obesitas pada bulan Oktober 2017. Besar sampel ditentukan melalui
rumus seperti di bawah:
( ) .
=

N2 = N1 + (10% xN1 )

Keterangan :

N1 : Besar sampel minimal

N2 : Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen


responden yang mungkin keluar atau drop out)

Z : Nilai konversi pada tabel kurva normal, dengan nilai = 5%

DidapatkanZ pada kurva normal = 1.96

p : Proporsi variabel yang ingin diteliti


q : 1- p
L : Derajat kesalahan yang dapat ditolerir adalah 10% = 0.1

28
Tabel 3.1 Proporsi Variabel Independen
Variabel Peneliti Z()2 p Q n1
Pola Konsumsi 1,96
Aktivitas Fisik 1,96 0,030 0,97 11,17
Herediter Syamsinar (2016) 1,96 0,004 0,996 1,530
Pendapatan orang tua Syamsinar (2016) 1,96 0,017 0,983 6,419
Lingkungan 1,96 0,26 0,74 73,91
Pengaruh Globalisasi 1,96 0.00 1 0
Aspek Psikologis 1,96 0,01 0,99 3.80
Pengetahuan Gizi 1,96
Penggunaan Obat 1,96
Penyakit Sistemik Adrian (2007) 1,96 0,157 0,843 50,84
Riwayat BBLR Putu (2013) 1,96 0,585 0,415 93.26
Pola Tidur Syamsinar (2016) 1,96 0,654 0,346 86.92

Makaberdasarkanjumlahsampel yang didapatkan paling besardarihasilperhitungan,


berdasarkanrumusdiatasdidapatkanangkasebagaiberikut:
2 . . (1.96)2 0.462 0.538
1 = = = 95.48
2 (0.1)2
Untuk menjaga kemungkinan adanya subjek penelitian yang drop out, maka dihitung:
n2 =n1 + (10% . n1)
= 95.48 + (0,1 x 95.48)
= 95.48 + 9,548
= 105.028 Dibulatkan menjadi 106 subjek penelitian.

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah orang.

29
3.6.2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan metode probability sampling dengan
cara melakukan cluster sampling. Sampel yang diambil yaitusiswa murid SMP Negeri 130
Jakartapada bulan Oktober 2017, hingga didapatkan sebanyak jumlah sampel minimal sebanyak
subjek.

3.7. Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel independen (tidak terikat), dan variabel
dependen (terikat).

3.7.1. Variabel independen


Variabel independen pada penelitian ini berupa pola konsumsi, aktivitas fisik, herediter,
pendapatan orang tua, lingkungan, pengaruh globalisasi, aspek psikologis, pengetahuan gizi,
penggunan obat, penyakit sistemik, riwayat BBLR dan pola tidur.

3.7.2. Variabel dependen


Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian obesitas murid SMP.

3.8. Cara kerja


a. Peneliti mengumpulkan bahan ilmiah dari journal, konsensus, dan textbook serta
merencanakan desain penelitian.
b. Menentukan jumlah sampel minimal . orang dari semua siswa murid SMPyang berusia
13- 15 tahun pada bulan Oktober 2017 di SMP Negeri 130 Jakarta.
c. Menghubungi Kepala Puskesmas Kelurahan Kota Bambu Utara, Jakarta Barat untuk
meminta bantuan menyurati Kepala Sekolah SMP Negeri 130 Jakarta.
d. Silahturahmi ke Kepala Sekolah SMP Negeri 130Jakarta untuk meminta izin melakukan
penelitian.
e. Kemudian peneliti melakukan pengumpulan data primer berupa pengukuran tinggi badan
dan penimbangan berat badan, memberikan kuisioner kepada murid SMP Negeri 130,

30
dimana subjek tersebut memenuhi kriteria inklusi mulai dari bulan Oktober 2017. Data
primer yang diambil adalah kejadian obesitas, pola konsumsi, tingkat aktivitas fisik,
kejadian obesitas dalam keluarga, tingkat pendapatan keluarga, keadaan lingkungan,
pengaruh globalisasi, keadaanpsikologis, pengetahuan gizi, riwayat penggunaan obat,
riwayat penyakit, riwayat BBLR, dan pola tidur
f. Peneliti melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program Computer
Statistical Package for Social Science version 16 (SPSS)
g. Penulisan laporan penelitian.
h. Pelaporan penelitian.

3.9. Definisi operasional


3.9.1. Subjek penelitian
Subjek adalah murid SMP berusia 13-15 tahun yang mengalami obesitas di SMP Negeri
130 Jakarta pada bulan Oktober 2017.

3.9.1.1. Variabel Dependen


3.9.1.1.1. Kejadian Obesitas
Defenisi : Obesitas adalah akumulasi lemak tubuh berlebih, dimana seseorang akan memiliki
kelebihan berat badan diatas 20% dari berat tubuh idealnya, dengan nilai indeks massa tubuh
(IMT) 25
Alat ukur : Timbangan, Meteran
Cara ukur : Dilakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Selanjutnya
peneliti melakukan penghitungan indeks massa tubuh (IMT) dengan rumus:


=
( )2

Kategori status gizi sebagai berikut:


- < 18,5 : Kurang
- 18,5 22.9: Ideal
- 23 24.9 : Berisiko
- 25 : Obesitas

31
Hasil ukur :
< 18,5 = Gizi Kurang (1)
18,5 22,9 = Ideal (2)
23 24.9 = Berisiko(3)
25 = Obesitas (4)
Skala ukur : Kategorik - Ordinal
Koding:
Gizi Kurang (1)
Ideal (2)
Berisiko(3)
Obesitas (4)

3.9.1.2. Variabel Independen


3.9.1.2.1. Pola Konsumsi
Defenisi :Faktor penyebab obesitas pada anak antara lain asupan makanan berlebih yang berasal
dari pola konsumsi jenis makanan olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajanan
seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog). Penyerapan glukosa yang cepat setelah
konsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi menyebabkan terjadinya perubahan hormonal
dan metabolik di dalam tubuh yang dapat meningkatkan konsumsi makanan pada subjek
penelitian obesitas
Alat Ukur: Kuisioner (Food Frequency Questionnaire)
Cara Ukur:
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :

3.9.1.2.2. Aktivitas Fisik

32
Defenisi :Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh.
Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor yaitu tingkat aktivitas dan olahraga secara umum
dan tingkat metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan
fungsi minimal tubuh. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka
semakin banyak kalori yang hilang. Dimana, kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem
metabolisme basal.
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur:
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :

3.9.1.2.3. Herediter
Defenisi : Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan genetik/hereditas anak dalam
mengalami obesitas.
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur: From kuisioner diisi sendiri oleh responden
Hasil Ukur:
Tidak ada pengaruh
Ada pengaruh
Skala Ukur: Katergorikal-ordinal
Koding :
Tidak ada pengaruh (1)
Ada pengaruh (2)

3.9.1.2.4. Pendapatan Orang Tua


Defenisi :Peningkatan pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas maupun kuantitas yang lebih baik. Besar kecilnya pendapatan
keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur:

33
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :

3.9.1.2.5. Lingkungan
Defenisi :Faktor lingkungan dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika
seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran
dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur:
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :

3.9.1.2.6. Pengaruh Globalisasi


Defenisi :
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur:
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :

3.9.1.2.7. Aspek Psikologis


Defenisi :Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik
setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosankan.
Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah
menonton film yang tegang maupun film yang membosankan
Alat Ukur:
Cara Ukur: Kuisioner
Hasil Ukur:
Skala Ukur:

34
Koding :

3.9.1.2.8. Pengetahuan Gizi


Defenisi :
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur:
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :
Tidak ada pengaruh (1)
Ada pengaruh (2)

3.9.1.2.9. Penggunaan Obat


Defenisi :
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur:
Hasil Ukur:
Skala Ukur:
Koding :
Tidak ada pengaruh (1)
Ada pengaruh (2)

3.9.1.2.10. Penyakit Sistemik


Defenisi : Pengaruh obesitas pada remaja obesitas sepanjang hidupnya juga berisiko lebih tinggi
untuk menderita sejumlah masalah kesehatan yang serius, seperti penyakit jantung, stroke,
diabetes, asma, dan beberapa jenis kanker.
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur: From kuisioner diisi sendiri oleh responden
Hasil Ukur:
Tidak ada pengaruh

35
Ada pengaruh
Skala Ukur: Katergorikal-ordinal
Koding :
Tidak ada pengaruh (1)
Ada pengaruh (2)

3.9.1.2.11. Riwayat BBLR


Defenisi : Pengaruh berat badan lahir dapat digunakan sebagai indikator risiko obesitas pada
remaja.
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur: From kuisioner diisi sendiri oleh responden
Hasil Ukur:
Tidak ada pengaruh
Ada pengaruh
Skala Ukur: Katergorikal-ordinal
Koding :
Tidak ada pengaruh (1)
Ada pengaruh (2)

3.9.1.2.12. Pola Tidur


Defenisi : Pengaruh durasi tidur yang pendek dapat meningkatan rasa lapar, meningkatkan
kesempatan untuk makan, terjadi perubahan termoregulasi, dan meningkatkan kelelahan.
Peningkatan rasa lapar dan peningkatan kesempatan untuk makan akan meningkatan asupan
energi, sedangkan terjadinya perubahan termoregulasi dan peningkatan kelelahan akan
menurunkan energy expenditure. Peningkatan asupan energi yang tidak diimbangi denganenergy
expenditure dapat menyebabkan obesitas.
Alat Ukur: Kuisioner
Cara Ukur: From kuisioner diisi sendiri oleh responden
Hasil Ukur:
Tidak ada pengaruh

36
Ada pengaruh
Skala Ukur: Katergorikal-ordinal
Koding :
Tidak ada pengaruh (1)
Ada pengaruh (2)

3.10.Data
3.10.1. Pengolahan Data
Data data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, verifikasi, dan coding,
kemudian data diolah dengan menggunakan program komputer, yaitu program SPSS.
Pengolahan data untuk penelitian ini diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS yang terdiri dari
beberapa tahap, yaitu :
Editing: Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data, yang diperoleh atau editing
dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
Coding: Catatan untuk memberikan kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas
beberapa kategori.
Tabulating: Pada tahap ini, jawaban jawaban responden yang sama dikelompokan
dengan teliti dan teratur lalu dihitung lalu dijumlahkan kemudian dituliskan dalam bentuk
tabel tabel.

3.10.2. Penyajian Data


Data yang didapat disajikan secara tekstular, tabular dan grafikal.

3.10.3. Analisis Data


Terdapat dua cara analisis data yang digunakan yaitu analisis bivariat dengan distribusi
frekuensi dari setiap variabel bebas terhadap variabel terikat, dan analisis bivariat dengan uji
statistik chi square (x2) terhadap pasangan variabel tergantung dan variabel bebas tertentu.
Analisis univariat

37
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masing-masing variabel dengan tabel
distribusi frekuensi disertai penjelasan.
Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan
independen. Karena rancangan penelitian ini adalah Cross Sectional Study, dicari hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen. Teknis analisis data yang menggunakan
uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan () = 0,05 yang digunakan untuk menguji 2 variabel
yang disusun dalam table b x k (b = baris, k = kolom). Rumus: table 2x2.
Untuk membuktikan bahwa variabel-variabel bebas memiliki hubungan, maka akan di
lakukan uji dengan uji Chi square. Hasil uji Chi square dapat mengetahui ada tidaknya hubungan
antara dua variabel X dan Y yang bermakna secara statistik atau jika 2 hitung >2 tabel, maka
H0 ditolak, yang berarti ada hubungan dan jika 2 hitung < 2 tabel, maka H0 gagal ditolak,
yang berarti tidak ada hubungan.

3.10.4. Intepretasi Data


Data diintepretasi secara deskriptif analitik observasional antar variabel-variabel yang
telah ditentukan.

3.10.5. Pelaporan Data


Data disusun dalam bentuk laporan penelitian dan selanjutnya dipresentasikan dalam
forum pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat di depan staf pengajar Program Studi Pendidikan
Dokter (PSPD) Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana (FK UKRIDA).

38
Bab IV
Hasil Penelitian

Proses pengumpulan data yang dilakukan pada bulan Oktober 2017 didapatkan sampel
sebanyak subjek yaitu siswa murid SMP yang berusia 13- 15 tahun di SMP NEGERI130,
Jakarta Barat. Berikut adalah hasil penelitian yang disajikan dalam tabel sebagai berikut:

39
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Obesity and overweight 2016. Diakses pada tanggal 4
oktober 2017 dari www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/
2. Kementiran Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar tahun 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013. hal 216-22.
3. Kementiran Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar tahun 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2008. hal 45-7.
4. Sartika, RAD. Faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia. Makara,
Kesehatan, Vol. 15. Depok : Universitas Indonesia; 2011. hal 37-43.
5. Moreno, LA, Rodriguez, G. Dietary risk factors for development of childhood obesity.
University of Zaragoza, Spain: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p 334-40.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pencegahan obesitas pada remaja. 2017. Diakeses pada
tanggal 4 oktober 2017 dari www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/pencegahan-
obesitas-pada-remaja
7. Ding, EL, Malik VS. Convergence of obesity and high glycemic diet on compounding
diabetes and cardiovascular risks in modernizing China: An emerging public health
dilemma. Department of Nutrition, Harvard School of Public Health. BioMed Central Ltd
;2008. page 1-4.
8. Skinner, AC, Perrin, EM, Moss, LA, Skelton, JA. Cardiometabolic risks and severity of
obesity in children and young adults. The New England Journal of Medicine; 2015. p
1307-16.
9. Schwingshackl, G, Hoffmann. Long-term effects of low glycemic index/load vs. high
glycemic index/load diets on parameters of obesity and obesity-associated risks: a
systematic review and meta-analysis. Department of Nutritional Sciences, Faculty of Life
Sciences, University of Vienna, Austria; 2013. p 699-705.

40
10. Kurdantil, W, Suryanil, I, Syamsiatun, NH et all. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian obesitas pada remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia; 2015. hal 179-90.
11. Atkinson, FS, Powell, KF, Brand-Miller, JC. International tables of glycemic index and
glycemic load values: 2008. Institute of Obesity, Nutrition and Exercise,University of
Sydney, New South Wales, Australia; 2008. P 2281-82.
12. Martnez Vizcano,dkk. Assessment of an afterschool physical activity program to prevent
obesity among 9- to 10-year-oldchildren: a cluster randomized trial. International of
Obesity. 2008.
13. Salam Abdul. Faktor risiko kejadian obesitas pada remaja. Jurnal MKMI, Vol 6 No.3.
Makassar: Universitas Hasanudin; 2010. hal 37-43.
14. Wijaya Putu Austin Widyasari, Sidiartha I Gusti Lanang Sidiartha. Hubungan berat
badan lahir dengan status obesitas pada anak sekloh dasar. Denpasar : Universitas
Udayana; 2013.
15. Aini, SN. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian gizi lebih pada remaja di
perkotaan. Unnes Jurnal of Public Health, Universitas Negeri Semarang; 2013. hal 1-5.
16. Pengaruh globalisasi
17. Wulandari Syamsinar, Lestari Hariati. Faktor yang berhubungan dengan kejadian
obesitas pada remaja di SMAN 4 Kendari tahun 2016. Kendari: Universitas Halu Oleo;
2016.
18. Ginsburg, Gregory. Endocrine changes in obesity. Massachusetts, U.S.A: Harvard
Medical School; 2016. p 45
19. M. Mexitalia, Utari Agustini, dkk. Sindroma metabolik pada remaja obesitas. Media
medika indonesiana, Volume 43, Nomor 6. Semarang: Universitas Dipenogoro; 2009. h.
300-6.
20. Wijaya Putu Austin Widyasari, Sidiartha I Gusti Lanang Sidiartha. Hubungan berat
badan lahir dengan status obesitas pada anak sekloh dasar. Denpasar : Universitas
Udayana; 2013.
21. Marfuah Dewi, Hadi Haman, Huriyati Emy. Durasi dan kualitas tidur hubungannya
dengan obeistas pada anak sekolah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Jurnal
Gizi dan Dietetik Indonesia Vol 1 no 2. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2013. h
93-101.

41
22. Rimbawan, Siagian A. Indeks Glikemik pangan, cara mudah memilih pangan yang
menyehatkan. Jakarta: Penebar Swadaya; 2004.
23. Augustin, L. S. A., Kendall, C. W. C., Jenkins, D. J. A., Willett, W. C., Astrup, A.,
Barclay, A. W., Poli, A. Glycemic index, glycemic load and glycemic response: An
International Scientific Consensus Summit from the International Carbohydrate Quality
Consortium (ICQC). Nutrition, Metabolism and Cardiovascular Diseases ;2015.795
815.
24. Gibson, N. Development of a rapid assessment method for the glycaemic index. Thesis.
Pretoria : University of Pretoria; 2010
25. Hanifah N, Nindya T S. Hubungan kontribusi beban glikemik makanan dan aktivitas fisik
terhadap kejadian gizi lebih pada remaja SMP full day Surabaya. Universitas Airlangga.
Surabaya; 2013.
26. Abbas A, Murtaza S, Aslam F, Khawar A, Rafique S, Naheed S. Effect of processing on
nutritional value of rice (Oryza sativa). World Journal of MedicalSciences ;2011. 6873.
27. Astuti A, Maulani. Pangan indeks glikemik tinggi dan glukosa darah pasien diabetes
mellitus tipe II. STIKES Harapan Ibu. Jambi; 2017
28. Monro, J.A and M.Shaw. Glycemic impact, glycemic glucose equivalents, glycemic
index, and glycemic load : definitions, distinctions, and implications. Vol. 87 ;2008. 237-
243.

42

You might also like