You are on page 1of 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2016


UNIVERSITAS PATTIMURA

MENUJU ERADIKASI POLIO 2020

Disusun oleh:

Felmi V. I. de Lima
(2009 83 018)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016

MENUJU ERADIKASI POLIO 2020

1
A. PENDAHULUAN

Pemberian imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti

paling cost-effective serta berdampak positif untuk mewujudkan derajat kesehatan

ibu dan anak di Indonesia. Imunisasi tidak hanya melindungi seseorang tetapi juga

masyarakat dengan memberikan perlindungan komunitas atau yang disebut

dengan herd immunity. Banyak kematian dan kecacatan yang dapat dicegah

dengan imunisasi.

Imunisasi polio merupakan salah satu imunisasi dasar yang diberikan bayi

sebelum berusia 1 tahun. Pada bulan Mei 2012 World Health Assembly (WHA)

menetapkan bahwa pemberantasan polio adalah salah satu isu kedaruratan

kesehatan masyarakat dunia dan perlu disusun suatu strategi menuju eradikasi

polio (Polio Endgame Strategy). Eradikasi polio secara global akan memberi

keuntungan secara finansial. Biaya jangka pendek yang dikeluarkan untuk

mencapai tujuan eradikasi tidak akan seberapa dibanding dengan keuntungan yang

akan didapat dalam jangka panjang. Tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi

cacat karena polio sehingga biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi penderita

polio dan biaya untuk imunisasi polio akan dapat dihemat.

Indonesia telah berhasil menerima sertifikasi bebas polio bersama dengan

negara anggota WHO di South East Asia Region (SEAR) pada tanggal 27 Maret

2014. Sementara itu, masih ada negara lain yang belum bebas polio yaitu

Afganistan, Pakistan dan Nigeria. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut

dan untuk melaksanakan strategi menuju eradikasi polio di dunia, Indonesia

melakukan beberapa rangkaian kegiatan yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)

Polio, penggantian vaksin trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV) ke bivalent Oral

2
Polio Vaccine (bOPV) dan introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV). Pada akhir

tahun 2020 diharapkan penyakit polio telah berhasil dihapus dari seluruh dunia.

Meskipun kasus polio sudah lama tidak ditemukan di Indonesia namun

berdasarkan laporan dari provinsi, cakupan imunisasi Polio 4 telah melebihi 90%

namun tidak merata di seluruh provinsi. Apabila dibandingkan dengan data Riset

Kesehatan Dasar tahun 2013, cakupan imunisasi rutin Polio 4 adalah 77%.

Data dari surveilans AFP tahun 2011 sampai 2014 menunjukkan bahwa 20%

kasus non polio AFP tidak mendapatkan imunisasi polio lengkap. Gambaran ini

serupa dengan keadaan pada tahun 2005 pada saat terjadi KLB polio di Indonesia.

Selain itu, berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan oleh WHO tahun 2011

sampai 2014, Indonesia dinyatakan berisiko tinggi terhadap importasi virus polio

dan Komite Penasehat Ahli Imunisasi (ITAGI) merekomendasikan Indonesia

untuk melaksanakan kegiatan PIN Polio pada balita (anak usia 0-59 bulan) untuk

memberikan perlindungan yang optimal bagi seluruh anak terhadap virus polio.

B. STATUS POLIO DI INDINESIA

Setelah dilaksanakan PIN Polio tiga tahun berturut-turut pada tahun 1995,

1996 dan 1997, virus polio liar asli Indonesia (indigenous) sudah tidak

ditemukanlagi sejak tahun 1996. Namun pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan

kasus polio importasi pertama di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa

Barat.

Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB yang menyerang 305 orang

dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006. KLB ini tersebar di 47

kabupaten/kota di 10 provinsi. Selain itu juga ditemukan 46 kasus Vaccine

3
Derived Polio Virus (VDPV) dimana 45 kasus di antaranya terjadi di semua

kabupaten di Pulau Madura dan satu kasus terjadi di Probolinggo, Jawa Timur.

Setelah dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI), dua kali mop-up, lima

kali PIN, dan dua kali Sub-PIN, KLB dapat ditanggulangi sepenuhnya.

Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir yang mengalami kelumpuhan

ditemukan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh

Darussalam. Sejak tahun 2006 hingga sekarang tidak pernah lagi ditemukan kasus

Polio. Tahun 2014 Indonesia telah mendapat sertifikasi bebas polio tingkat

regional SEAR, sementara dunia masih menunggu negara lain yang belum bebas

polio yaitu Afganistan , Pakistan dan Nigeria.

Berdasarkan hasil pertemuan desk review pada tanggal 20-23 Oktober 2014

yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan bersama WHO, UNICEF, dan

melibatkan para pakar dan akademisi serta organisasi profesi, maka

direkomendasikan untuk melakukan PIN Polio pada anak usia 0-59 bulan untuk

memberikan perlindungan yang optimal bagi seluruh anak terhadap virus polio.

C. VIRUS DAN PENYAKIT POLIO

Polio atau Poliomielitis adalah suatu penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi virus dari famili Picornaviridae dengan genus Enterovirus

yang patogenik pada manusia.dan mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di

kornu anterior medula spinalis, batang otak (dapat pula mengenai mesensefalon,

serebelum, ganglia basal) dan area motorik kortex cerebri.

Virus polio adalah virus RNA tanpa envelope, virus menjadi sangat resisten

terhadap lingkungan asam, detergen, alkohol dan bahan antiseptik lain, hanya mati

4
dengan antiseptik golongan chlorine. Virus polio adalah virus RNA, terdiri dari 3

serotipe yaitu serotipe 1 (Brunhilde), serotipe 2 (Lansig) dan serotipe 3 (Leon).

Selama ini virus hanya dapat hidup pada manusia dan di luar tubuh manusia

hanya dapat bertahan selama beberapa hari, dalam lemari es beberapa minggu,

namun pada keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Virus ini dapat bertahan

lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilometer dari

sumber penularan, sedangkan dalam feses tahan sampai berbulan-bulan. Virus

polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan dari apusan tenggorokan,

darah, liquor, dan feses.

Poliomyelitis merupakan penyakit yang sangat menular dan ditularkan

melalui fekal-oral. Masa inkubasi diperkirakan 7-14 hari. Gejala klinik bermacam-

macam mulai dari yang asimptomatik, hanya muncul gejala-gejala prodormal,

seperti anoreksia, mual, konstipasi, nyeri abdomen, disertai nyeri tenggorokan,

demam ringan dan sakit kepala. Dapat pula ditemukan tanda-tanda rangsangan

meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Pada pemeriksaan didapatkan bila penderita

di tegakkan kepala akan terjatuh kebelakang (head drops) atau bila anak

berusaha duduk dari sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk dengan menunjang

kebelakang dan terlihat kekakuan otot spinal (tripod sign). Hingga kemudian

disertai kelumpuhan yang biasanya timbul 3 hari setelah stadium preparalitik.

Mula-mula otot yang terkena terasa nyeri dan spastik, kemudian paralitik.

Polio dapat menyebar luas diam-diam karena sebagian besar penderita yang

terinfeksi virus polio tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu kalau mereka

sendiri sedang terjangkit. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika

seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses. Setelah

5
seseorang terkena infeksi, virus akan keluar melalui feses selama beberapa

minggu dan saat itulah dapat terjadi penularan virus sehingga menciptakan bahaya

dan kemungkinan terjadinya Kejadian Luar Biasa.

D. IMUNISASI DAN VAKSIN POLIO

Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan

serum konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun

berbagai cara penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang

kontroversial, namun akhirnya terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini

tidak mempunyai manfaat yang bermakna secara statistik.

Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal.

Penelitian berkembang menjadi dua arah yaitu inaktifasi virus dengan

menggunakan fenol/formalin (IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine-

OPV) dengan cara melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara

menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama adalah IPV dan disusul

dengan OPV. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan

angka kesakitan akibat virus polio, namun harus dipilih vaksin mana yang lebih

baik untuk memberantas penyakitnya. Kriteria vaksin tersebut adalah vaksin itu

harus antigenik, proporsi vaksin trivalen harus sesuai dengan virus liar yang ada

di lingkungan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal.

Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan

berbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral

yang dapat menghambat virus polio menimbulkan infeksi di SSP, namun juga

merangsang secretory IgA, antibodi sekretori yang mencegah perlekatan dan

6
replikasi virus di epitel usus. Virus vaksin dapat bertahan sampai 17 bulan setelah

imunisasi dan pada anak dengan agammaglobulinemia, bahkan dapat bereplikasi

terus sampai 684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral

yang tinggi, namun karena tidak menimbulkan kekebalan intestinal yang cukup

IPV tidak bisa menghentikan transmisi virus polio liar (VPL).

Data cakupan Imunisasi polio kabupaten dan kota di Provinsi Maluku tahun

2014 dan 2015 dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 1. Cakupan Imunisasi Polio 4 Per Kab/Kota Provinsi Maluku Bulan


Januari S/D September 2014

7
Gambar 2. Cakupan Imunisasi Polio 4 Per Kab/Kota Provinsi Maluku Bulan
Januari S/D September 2015

Vaksin polio OPV dan IPV

Pada permulaan tahun lima puluhan, ditemukan cara membiakkan virus

polio pada a jaringan embrio, sehingga dapat dibuat vaksin dari virus tersebut

yang ternyata dapat mencegah manifestasi klinik polio bahkan kemudian ternyata

dapat memutus rantai penularan virus polio. Virus ditumbuhkan pada sel kultur

ginjal kera atau continuos cell-line (Vero atau Sel Diploid). Setiap dosis OPV

berisi 3 type virus polio dengan titer tipe 1, tipe 2 dan tipe 3.

Inactivated (Salk) Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun

1955 dan langsung digunakan secara luas. Pada tahun 1963, mulai digunakan

trivalen virus polio secara oral (OPV) secara luas. Enhanced potency IPV (eIPV)

yang menggunakan molekul yang lebih besar dan menimbulkan kadar antibody

lebih tinggi mulai digunakan tahun 1988. IPV merupakan vaksin yang cukup

efektif, 2 dosis akan menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90%

resipien, sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai 99%.

Protektifitas terhadap kelumpuhan berkaitan dengan tingginya kadar antibody

8
serum. Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah dinonaktifkan sehingga

tidak bisa replikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan kelumpuhan

akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita defisiensi imun, meskipun

vaksin tersebut tetap dibuat dari virus polio liar. Kerugiannya adalah vaksin ini

harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA

sekretori di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan, replikasi virus

polio liar dan tidak dapat menghentikan transmisi virus tersebut.

Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat

menimbulkan antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan kekebalan

pada 50% resipien, 3 dosis akan meningkatkan kekebalan sampai 95%. Kekebalan

yang terjadi tidak timbul secara bersamaan tetapi bersifat sekuensial. Respon

pertama terutama terhadap virus tipe 1 (paling imunogenik) disusul virus tipe 2

dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi paling cepat dengan tipe 1, sedang

protektifitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan pada penelitian di

Cuba, protektifitas diatas 95 % tercapai setelah dosis kedelapan. Keuntungan

vaksin ini adalah mudah diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya jauh lebih

murah dibanding IPV. OPV selain dapat mencegah kelumpuhan, juga merangsang

timbulnya kekebalan usus dan menghambat penempelan, invasi dan replikasi

virus liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah akan menaikkan

kadar secretory IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai hidup virus liar.

Berikut kelebihan dan kekurangan dari OPV dan IPV.

Tabel 1. Perbandingan kelebihan dan kekurangan penggunaan OPV dan IPV


Kelebihan dan Kekurangan penggunaan OPV

9
Kelebihan OPV Kekurangan OPV
Harga terjangkau Dapat menyebabkan kelumpuhan pada
Mudah cara pemberiannya penerima vaksin (VAPP)
Dapat mengimunisasi secara alami Virus hidup yang dapat diekskresi lewat feces
kepada anak yang kontak dengan dan menularkan pada anak yang kontak
penerima vaksin. dengan penerima vaksin (kontak VAPP).
Menimbulkan mocosal immunity pada Dapat bermutasi menjadi ganas kembali
intestinum (IgA) dan oropharyng (VDVP)
Memberikan kekebalan humoral Tidak dapat digabung/dikombinasi dengan
seumur hidup. antigen/vaksin lain.
Tidak dapat diberikan kepada anak yang
immunodeficiency/immunocompromise.
Ekskresi virus vaksin lewat feces pada anak
yang sehat dapat berlangsung sampai 4-6
minggu, dan pada anak yang
immunodeficiency bisa sampai 10 tahun.

Kelebihan dan Kekurangan penggunaan IPV


Kelebihan IPV Kekurangan IPV
Memberikan serokonversi yang sangat Harga mahal
tinggi. Pemberiannya lebih sulit karena harus
Pemberiannya dapat dicombinasi disuntikkan.
dengan antigen/vaksin lain (DPT-HB- Tidak/sedikit menimbulkan mucosal
IPV). immunity pada intestinum
Virus mati, sehingga tidak menularkan Tidak dapat memberikan kekebalan alami
kepada anak yang kontak. kepada anak yang kontak dengan penerima
Tidak menyebabkan kelumpuhan vaksin.
(VAPP) pada penerima
vaksin/kontaknya.
Tidak akan terjadi mutasi virus vaksin
menjadi ganas (VDVP)
Menimbulkan mucosal immunity pada
oropharynx.

E. STRATEGI ERADIKASI POLIO

Pada bulan Mei 2012 World Health Assembly (WHA) menetapkan bahwa

pemberantasan polio adalah salah satu isu kedaruratan kesehatan masyarakat

dunia dan menetapkan agar Direktur Jendral WHO menyusun strategi eradikasi

polio yang komprehensif. Dokumen rencana strategis 2013 2018 dan inisiatif

pencapaian eradikasi polio global, telah disetujui oleh Badan Eksekutif WHO

pada Januari 2013. Dalam rencana strategis tersebut dibutuhkan komitmen global

bahwa setiap negara perlu melaksanakan tahapan tahapan yaitu :

10
1. Maret 2016, akan dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio,

dengan target seluruh anak usia 0-59 bulan

2. April 2016, penggantian jenis vaksin trivalent oral polio vaccine (tOPV)

ke bivalent oral polio vaccine (bOPV)

3. Juli 2016, Introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV)

4. Tahun 2018: Penghentian penggunaan seluruh oral polio vaccine (OPV)

setelah semua kasus polio liar sudah berhasil dieradikasi.

1. PEKAN IMUNISASI NASIONAL (PIN) POLIO TAHUN 2016

PIN Polio adalah penggerakan kelompok sasaran imunisasi untuk mendapatkan

imunisasi polio tanpa memandang status imunisasi yang dilakukan berdasarkan hasil

evaluasi program dan kajian epidemiologi. Jika pada pelaksanaan PIN Polio

ditemukan anak yang seharusnya mendapatkan Imunisasi Polio rutin, maka

pemberian Imunisasi Polio pada waktu PIN dicatat sebagai Imunisasi PIN.

Selanjutnya anak tersebut harus tetap melengkapi Imunisasi dasar. Anak-anak yang

sedang dirawat di Rumah Sakit selama masa pelaksanaan PIN Polio agar diberikan

imunisasi Polio segera setelah sembuh.

Tujuan dari PIN polio ialah Tercapainya eradikasi polio di dunia pada akhir

tahun 2018. Selain itu pelaksanaan PIN Polio bertujuan untuk memastikan tingkat

imunitas terhadap polio di populasi (herd immunity) cukup tinggi dengan cakupan >

95% juga memberikan perlindungan secara optimal dan merata pada kelompok umur

0-59 bulan terhadap kemungkinan munculnya kasus polio yang disebabkan oleh virus

polio Sabin.

PIN Polio telah dilaksanakan selama satu pekan pada tanggal 8 sd 15 Maret

2016 dengan sasaran semua anak usia 0 s.d 59 bulan. Kegiatan PIN Polio

11
dilaksanakan pada di seluruh provinsi di Indonesia kecuali Daerah Istimewa

Yogyakarta. Pemberian imunisasi polio dilaksanakan di Posyandu, Polindes,

Poskesdes, Puskesmas, Puskesmas pembantu, dan Rumah Sakit serta pos pelayanan

imunisasi lainnya di bawah koordinasi Dinas Kesehatan setempat.

Pada saat pelaksanaanya petugas kabupaten/kota bertanggungjawab untuk

menyediakan vaksin, logistik lainnya, bahan-bahan KIE, format pencatatan dan

pelaporan cakupan dan logistik sesuai dengan kebutuhan masing-masing Puskesmas.

Pendistribusian vaksin dan logistik ke Puskesmas dapat dilakukan dengan cara diantar

oleh petugas kabupaten/kota atau diambil oleh petugas Puskesmas. Vaksin,

dropper/penetes, dan logistik lainnya dibawa ke pos pelayanan pada hari pelaksanaan

PIN Polio. Vaksin dibawa dengan vaccine carrier yang menggunakan dua sampai

empat buah cool pack, sedangkan dropper/penetes jangan dimasukkan di vaccine

carrier.

12
Gambar 3. Cara penyimpanan vaksin adalam vaccine carrier

Kebutuhan logistik di pos pelayanan imunisasi meliputi vaksin,

dropper/penetes, formulir pencatatan dan pelaporan cakupan dan logistik, formulir

laporan KIPI, formulir investigasi KIPI, kit anafilaktik. Berikut dijelaskan

beberapa hal teknis terkait pelaksanaan PIN Polio 2016.

a. Pemakaian Vaksin Polio

1. Vaksin yang akan dipakai dalam kondisi baik (label masih ada, tidak

terendam air, disimpan dalam suhu 2-8o C), belum kadaluarsa dan VVM

dalam kondisi A atau B.

Gambar 4. Status VVM pada Vaksin Polio

2. Buka penutup vial vaksin, kemudian pasangkan penetes vaksin. Gunakan

satu penetes untuk satu vial vaksin. Tidak diperkenankan membuka vial

vaksin baru sebelum vaksin yang sedang digunakan habis terpakai.

3. Sasaran imunisasi polio adalah balita usia 0 59 bulan tanpa melihat status

imunisasi.

4. Dosis pemberian adalah 2 tetes secara oral.

b. Pemeliharaan cold chain selama pelaksanaan pelayanan imunisasi

1. Vaksin Polio adalah vaksin sensitif panas. Oleh karena itu di Pos pelayanan

vaksin harus tetap disimpan pada suhu 2-80C, dengan menggunakan

13
vaccine carrier yang berisi minimal 2-4 buah cool pack (tergantung pada

jenis vaccine carrier yang digunakan). Jangan menyimpan barang lain

selain vaksin di dalam vaccine carrier.

2. Vaccine carrier jangan terpapar sinar matahari langsung.

3. Vaksin yang sudah dipakai ditempatkan pada spons atau busa penutup

vaccine carrier, sedangkan vaksin yang belum dipakai tetap disimpan di

dalam vaccine carrier.

4. Selalu perhatikan kondisi VVM setiap akan menggunakan vaksin. Vaksin

yang bisa digunakan adalah kondisi VVM A atau B.

Gambar 5. Cara melakukan vaksinasi polio yang sudah dipakai.

c. Pemakaian Vaksin Sisa

Vaksin yang belum terbuka diberi tanda dan dibawa kembali ke Puskesmas

untuk disimpan di dalam lemari es pada suhu 2-8oC dengan memperhatikan

kondisi VVM. Vaksin tersebut didahulukan penggunaannya pada pelayanan

berikutnya. Vaksin yang sudah dibuka dan masih tersisa di akhir sesi pelayanan

(di fasilitas pelayanan luar gedung) tidak boleh digunakan lagi.

Vaksin polio sangat aman diberikan, walaupun demikian terdapat beberapa

kontra indikasi pemberian vaksin polio oral, yaitu:

14
1. Infeksi HIV atau kontak HIV serumah. Pasien dengan HIV dapat diberikan

imunisasi dengan mikroorganisme yang inaktif.


2. Immunodefisiensi (contohnya pada pasien dengan keganasan hematologi

atau tumor padat, sedang mendapatkan terapi immuno supresan jangka

panjang).
3. Balita yang tinggal serumah dengan penderita imunodefisiensi dianjurkan

untuk diberikan Inactivated Polio Vaccine (IPV)


4. Anak yang menderita diare dan demam, pemberian imunisasi polio ditunda

sampai anak tersebut sembuh


5. Bagi anak-anak dengan imunokompromais (rawat jalan maupun rawat inap

di rumah sakit) serta bagi balita yang tinggal serumah dengan pasien

tersebut agar diberikan Inactivated Polio Vaccine (IPV) di rumah sakit


6. Bayi dengan berat badan lahir rendah ( 2000 gram) pemberian imunisasi

polio ditunda sampai berat badan lebih dari 2000 gram atau usia lebih dari 2

bulan (dengan kondisi klinis stabil)

Imunisasi tetap boleh diberikan pada sasaran dengan kondisi:

1. Malnutrisi

2. Sedang dalam terapi antibiotik

3. Sedang mendapat ASI

Limbah imunisasi tidak boleh dibuang di tempat terbuka, tetapi harus

dikelola dengan cara:

1. Sisa vaksin polio kemasan 20 dosis yang belum dibuka segera

dikumpulkan, dicatat dan dikirimkan ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota

setelah pelaksanaan PIN selesai. Selanjutnya dimusnahkan sesuai dengan

prosedur pemusnahan dalam juknis penggantian tOPV menjadi bOPV 2.


2. Sisa vaksin PIN yang sudah dibuka, dimusnahkan sesuai prosedur

imunisaasi rutin

15
Setiap selesai pelayanan imunisasi, kader mengidentifikasi anak-anak yang

belum mendapatkan imunisasi polio dan menyampaikannya pada tenaga

pelaksana imunisasi untuk melakukan sweeping segera setelah pelayanan berakhir

atau dalam kurun waktu maksimal 3 hari.

Berdasarkan analisis laporan yang masuk, petugas kabupaten/kota

mengidentifikasi Puskesmas-Puskesmas yang belum mencapai target (< 95 %).

Hasil analisis tersebut dikomunikasikan kepada Puskesmas yang bersangkutan

untuk mengetahui kendala dan merencanakan tindak lanjut. Melalui kegiatan ini

diharapkan tidak ada puskesmas yang tidak mencapai target cakupan. Melalui

penilaian cepat atau Rapid Convenient Assessment yang sudah dilakukan di

suatu daerah, dapat diketahui alasan tidak terimunisasinya sasaran dan kisaran

cakupan di daerah tersebut.

Sasaran yang belum mendapatkan imunisasi dirujuk ke pos pelayanan

imunisasi atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi polio, dan petugas

diminta untuk kembali mencari sasaran lain yang mungkin belum terimunisasi.

Anak yang tidak datang dan belum mendapatkan imunisasi harus dikunjungi

(sweeping) dan diberikan imunisasi Polio dalam kurun waktu maksimal 3 hari.

Mengingat pentingnya kegiatan PIN Polio, diperlukan komitmen dan upaya serius

dari pemerintah, pusat maupun daerah, lintas sektor terkait serta tenaga kesehatan

di lapangan. Diharapkan melalui upaya tersebut status eradikasi polio di Indonesia

dapat dipertahankan dan Indonesia dapat berkontribusi dalam mewujudkan Dunia

Bebas Polio.

16
Dari laporan final pelaksanaan PIN Polio pada bulan maret di Propinsi

Maluku di ketahui bahwa semua kabupaten kota yang ada telah mencapai target >

95%. Data ini dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 6. Cakupan PIN Polio Kabupaten / Kota di Provinsi Maluku tahun 2016
Sumber : Data PUSDATIN

Gambar 7. Cakupan PIN Polio Kabupaten / Kota di Provinsi Maluku tahun 2016
Sumber : Data Daerah

2. Penggantian Trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV) Menjadi Bivalent Oral


Polio Vaccine (bOPV)

17
Penarikan OPV harus dilaksanakan untuk mencegah risiko munculnya kasus

polio yang disebabkan oleh virus polio liar Sabin. Fase pertama dari penarikan

OPV adalah penggantian dari trivalent oral polio vaccine (tOPV) yang

mengandung antigen virus polio tipe 1, 2, dan 3, menjadi bivalent oral polio

vaccine (bOPV) yang hanya mengandung virus polio tipe 1 dan 3. Penggunaan

tOPV memberikan dampak positif yaitu telah berhasil dieradikasinya virus polio

liar tipe 2, dengan kasus terakhir di dunia (virus polio liar tipe 2) ditemukan tahun

1999. Virus polio liar yang masih bersikulasi sampai tahun 2015 adalah virus

polio liar tipe 1, sedangkan tipe 3 terakhir ditemukan pada 2012.

Penggantian ini juga didasarkan pada empat dari enam regional WHO telah

tersertifikasi bebas polio. Penggantian dari tOPV menjadi bOPV mencegah

cVDPV dan VAPP. Lebih dari 90% kasus cVDPV dan kira-kira 40% kasus VAPP

disebabkan oleh komponen tipe 2 dari tOPV. Komponen tipe 2 tOPV juga

mempengaruhi respon imun terhadap virus polio tipe 1 dan 3. Dengan adanya

risiko komponen tipe 2 dari tOPV, maka tOPV digantikan dengan bOPV untuk

program imunisasi rutin maupun tambahan (SIAs). Vaksin bOPV mengandung

serotipe 1 dan 3 saja yang dapat menghentikan transmisi virus polio liar tipe 1 dan

3 serta mengurangi risiko VAPP dan cVDPV

Penggantian tOPV ke bOPV di Indonesia akan dilaksanakan secara serentak

pada 4 April 2016. Tanggal ini merupakan tanggal dimulainya penggunaan bOPV

dan dihentikannya penggunaan tOPV.

Sebelum melakukan penarikan tOPV dan introduksi bOPV pada April 2016 dapat

dilakukan :

18
Mengoptimalkan penggunaan tOPV sebelum pelaksanaan penggantian ke

bOPV dengan memastikan setiap bayi mendapatkan imunisasi


Memastikan ketersediaan vaksin tOPV sebelum penggantian dan bOPV

sesudah penggantian sesuai dengan jumlah sasaran


Memastikan bahwa tidak ada lagi tOPV yang disimpan di dalam cold

chain dan digunakan sesudah penggantian


Memastikan bahwa vaksin tOPV yang tersisa diinventarisasi dan disimpan

secara terpisah sebelum dimusnahkan


Memastikan bahwa seluruh tOPV sudah dimusnahkan

2. Introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV)

Vaksin IPV telah memperoleh prekualifikasi dari WHO. Vaksin ini tersedia

dalam kemasan tunggal 1 dosis, 5 dosis dan 10 dosis per vial. Indonesia

menggunakan vaksin IPV 10 dosis. Satu satunya propinsi di Indonesia yang

menggunakan vaksin IPV adalah Derah Istimewa Yogyakarta dengan

menggunakan vaksin 10 dosis. Pada awal introduksi vaksin IPV secara nasional

akan dimulai dengan menggunakan vaksin IPV 10 dosis dan secara bertahap akan

beralih kepada vaksin IPV 5 dosis.

Hal penting yang harus diingat adalah :

Vaksin IPV sensitive terhadap panas dan beku, harus disimpan dengan baik

pada suhu 20C 80C.

Vaksin IPV tidak boleh beku. Uji kocok tidak dapat mendeteksi kerusakan

vaksi IPV akibat pembekuan

Vaksin IPV yang sudah dibuka di pelayanan luar gedung harus dibuang

setelah pelayanan imunisasi selesai, sedangkan vaksi yang sudah dibuka di

pelayanan dalam gedung masih dapat digunakan kembali sampai 4 minggu

dengan syarat tertentu

19
Vaksin IPV dapat bertahan (masih tetap poten) selama 24 36 bulan apabila

disimpan dalam lemari es pada suhu 20C 80C dan terlindung dari cahaya.

Semua bayi harus mendapatkan 1 dosis IPV terbaik pada usia 4 bulan,

bersamaan dengan pemberian OPV dan pentavalent (DPT HB Hib). Bayi yang

berusia 4 11 bulan yang belum pernah atau belum lengkap mendapatkan

imunisasi OPV harus mendapatkan IPV dan OPV secara bersamaan terlebih

dahulu selanjutnya dosis OPV dilengkapi. Bayi yang berusia 4 11 bulan yang

terlambat mendapatkan IPV harus tetap diberikan 1 dosis IPV. IPV diberikan

sebagai tambahan dari 4 dosis OPV dan tidak menggantikan OPV.

Target cakupan imunisasi IPV tahun 2016 sebesar 35% karena pelaksanaan

IPV baru dilakukan pada bulan Juli 2016. Berikut tabel target cakupan imunisasi

IPV tahun 2016 2019.

Tabel 3. Target cakupan imunisasi IPV tahun 2016 2019.


Tahun 2016 2017 2018 2019
Target 35% 75% 85% 95%

Pemberian IPV dilakukan dengan cara menyuntikan 0,5 ml valsin dari vial

menggunakan auto-disable syringe (ADS). IPV tidak dapat di campurkan dengan

vaksin lain dalam satu syringe. Penyuntikan vaksin IPV secara intramuscular (IM)

pada antero lateral paha kiri. Setelah penyuntikan bayi baiknya diminta menunggu

30 menit di tempat imunisasi guna menilai kejadian ikutan pasca imunisasi

(KIPI).

KIPI didefinisiskan sebagai kejadian medik yang berhubungan dengan

imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi

sensitifitas efek farmakologis meupunkesalaha program, koinsidensi, reaksi

suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.

20
IPV adalah vaksin yang aman. Reaksi yang terjadi setelah pemberian IPV

kemasan tunggal pada umumnya adalah reaksi non serius. KIPI yang pernah

dilaporkan antara lain adalah kemerahan pada lokasi suntik (0,5% - 1,5%),

bengkak (3% - 11%) dan sakit/nyeri (14% - 29%). Kejadian demam ringan juga

pernah dilaporkan, namun demam > 400C hanya dilaporkan terjadi pada <0,1%

bayi. IPV aman diberikan pada anak anak dengan imunodefisiensi (misalnya

HIV, imunodefisiensi kongenital atau didapat, penyakit sickle cell) dalam keadaan

imunokompeten setelah mendapat keterangan dari dokter.

Berikut ini adalah yang harus dilaporkan oleh petugas kesehatan sesegera

mungkin (< 24 jam) seperti :

KIPI serius yaitu kejadian medis yang memerlukan rawat inap, berakibat

pada kematian, kecacatan, atau mengancam jiwa;

Kejadian yang berhubungan dengan introduksi vaksin baru;

KIPI yang kemungkinan disebabkan oleh kesalahan prosedur pemberian

imunisasi;

Kejadian yang terjadi dalam waktu 30 hari setelah imunisasi;

Kejadian yang menyebabkan keprihatinan orang tua atau masyarakat;

Bengkak, kemerahan , nyeri, ditempat suntikan jika itu berlangsung

selama lebih dari 3 hari atau pembengkakan meluas kearah persendian.

Meskipun KIPI serius yang diakibatkan oleh IPV sangat jarang, namun tetap

harus diwaspadai mengingat KIPI serius dan peliputan oleh media dapat

melemahkan kegiatan imunisasi.

21
3. Penghentian Penggunaan Seluruh OPV Setelah Semua Kasus Polio Liar
Sudah Berhasil Dieradikasi

Eradikasi virus polio di dunia sudah mendekati fase akhir. Bila transmisi

virus polio liar telah berhasil dihentikan, maka penggunaan OPV yang terus

menerus akan dapat menimbulkan banyak masalah. OPV adalah virus vaksin yang

hidup, selain dapat menimbulkan kelumpuhan pada penerima vaksin (VAPP),

penggunaan yang lama akan menyebabkan virus yang lemah dapat bermutasi

menjadi ganas yang biasa disebut dengan VDPV (vaccine derived polio virus),

selain itu virus tersebut dapat menimbulkan outbreak paralytic poliomyelitis.

Outbreak yang disebabkan oleh VDVP telah terjadi di beberapa negara termasuk

di Indonesia. Oleh karena itu setelah sertifikasi bebas polio secara global tercapai,

maka penggunaan OPV harus dihentikan.

Penghentian imunisasi dengan OPV memerlukan strategi waktu yang tepat

guna, yaitu harus dilakukan pada saat kekebalan populasi cukup tinggi dan

surveilens mempunyai sensitifitas yang tinggi. Salah satu strategi yang dapat

diambil untuk mempertahankan status kekebalan populasi tetap tinggi adalah

dengan mengganti OPV dengan IPV (Inactivated Polio Vaccine).

Imunisasi dengan IPV telah banyak dilakukan di negara maju dengan iklim

subtropik dengan hasil yang sangat baik. Namun penggunaan IPV di negara

berkembang dengan iklim tropis masih sangat terbatas dan belum ada informasi

efektifitasnya.

Oleh karena itu sejak tahun 2002, WHO bekerja sama dengan Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan R.I., Dinas

Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta dan unit Epidemiologi Klinik Universitas

22
Gajah Mada telah merintis suaru penelitian penggunaan IPV di Propinsi

Yogyakarta, dengan tujuan untuk mengetahui serokonversi antibodi anak setelah

mendapat IPV, masalah-masalah operational di lapangan dan monitoring virus

oral polio vaksin yang bersirkulasi di polulasi sebelum dan sesudah penggunaan

IPV.

Hasil penelitian ini akan menjadi masukan sangat penting bagi program

imunisasi khususnya tentang penggunaan IPV di negara berkembang dengan iklim

tropis seperti Indonesia dan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan.

Hasil sementara menunjukkan bahwa ternyata ada korelasi antara cakupan

imunisasi OPV4 yang tinggi dengan hasil isolasi virus polio di lingkungan dan

status antibodi anak terhadap virus polio. Hasil isolasi virus polio dari lingkungan

(limbah) menunjukkan adanya sirkulasi virus polio di masyarakat yang

diakibatkan oleh imunisasi dengan oral polio vaksin. Dengan cakupan imunisasi

yang tinggi (99%) maka akan ditemukan pula sirkulasi virus polio vaksin yang

cukup tinggi juga di masyarakat (65,7%). Demikian juga dengan status antibodi

anak, dengan cakupan imunisasi yang tinggi dan sirkulasi virus polio yang tinggi

maka status antibodi anak terhadap virus polio akan tinggi (100%) karena adanya

re-infeksi secara alami dari virus yang bersirkulasi sehingga infeksi virus tersebut

merupakan booster dari vaksinasi yang sudah didapatkan dari imunisasi. Dengan

demikian status antibodinya juga akan meningkat sesuai dengan booster yang

didapatkan secara alami di masyarakat.

Sesudah dihentikannya imunisasi OPV dan diganti dengan IPV maka ada

perubahan sirkulasi virus polio di masyarakat. Dari hasil isolasi virus polio di

lingkungan (limbah) maka ternyata hanya 4,8% virus polio yang ditemukan. Ini

23
berarti bahwa sirkulasi virus polio di masyarakat sudah turun cukup bermakna.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa imunisasi polio dengan IPV pada anak-

anak dapat menghambat sirkulasi virus polio di masyarakat. Penelitian ini akan

diteruskan untuk membuktikan apakah benar bahwa IPV dapat menghentikan

sirkulasi virus polio di masyarakat menjadi nol. Demikian juga akan di survei

cakupannya apakah cakupan juga akan mempengaruhi terhadap keberhasilan

imunisasi IPV dalam menghentikan sirkulasi virus polio. Selanjutnya juga akan

diteliti apakah imunisasi dengan IPV dapat memberikan status antibodi yang

tinggi pada anak-anak seperti pada imunisasi dengan OPV. Direncanakan

penelitian lanjutan tersebut akan dilakukan pada tahun 2010. Jika ternyata bahwa

hasil penelitian-penelitian tersebut dapat membuktikan bahwa IPV dapat

menghentikan sirkulasi virus polio dan memberikan serokonversi antibodi yang

tinggi kepada penerima vaksin IPV, maka hasil tersebut akan digunakan sebagai

bahan masukan pada program nasional dan global untuk mempertimbangkan

penggunaan IPV di seluruh Indonesia atau dunia dalam rangka mengeradikasi

virus polio dari muka bumi.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Kementrian kesehatan RI. Peunjuk teknis pekan imunisasi nasional (PIN) polio tahun

2016. Jakarta. Kementrian RI. 2015.


2. World Health Organization. WHO global action plan to minimize poliovirus facility-

associated risk in the posteradication/post-OPV era. The 3rd edition. 2007.


3. WHO. Global Polio Eradication Initiative: strategic plan 2004-2008.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2013.

Tentang Penyelengaraan Imunisasi. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Jakarta. 2013
5. Ismaedijanto. Eradikasi polio dan permasalahannya. Surabaya. Divisi penyakit

infeksi dan pediatri tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair RSU Dr.

Soetomo. 2014
6. Kementrian kesehatan RI. Peunjuk teknis penggantian trivalent oral polio vaccine

(tOPV) menjadi bivalent oral polio vaccine (bOPV) dan Introduksi Inactivated Polio

Vaccine (IPV). Jakarta. Kementrian RI. 2015.


7. Gendrowahyuhono, Harianja H, Anggraini N. D, Bachtiar N. S. E radikasi polio dan

IPV (inactivated polio vaccine).Jakarta. Media Litbang Kesehatan Volume

XXNomor 4. 2010.

25

You might also like