You are on page 1of 12

BUDAYA ORGANISASI DAN EFEKTIFITAS PENERAPAN

E-GOVERNMENT

Rigel Nurul Fatah 11919003

Ratri Paramitalaksmi 11919007

Wuku Astuti 11919009

Magister Akuntansi
Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia
2012
1. PENDAHULUAN
Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) menjadi pendorong bagi
pemerintah tingkat pusat hingga daerah di Indonesia berusaha meningkatkan kualitas dan
kinerjanya. E-government diyakini menjadi salah satu cara mewujudkan good governance.
Seiring perkembangan e-government di Indonesia, beberapa kabupaten/kota di Indonesia
menjadi rujukan pengembangan e-government bagi daerah lain, menyusul manfaat nyata dari
penerapan e-government (Faizah dan Sensuse, 2009).

Penerapan e-government merupakan upaya pemerintah mengadopsi teknologi


informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Model kepemerintahan e-
government adalah menempatkan masyarakat sebagai konsumen dari bisnis jasa
pelayanan publik pemerintah. Layanan yang dikembangkan oleh pemerintah berorientasi
pada kebutuhan masyarakat bukan pada kepentingan pemerintah (Wijaya, 2007).

Terintegrasinya sistem teknologi dan informasi dewasa ini mempengaruhi lembaga


publik seperti pemerintah daerah. Sistem pemerintahan daerah sekarang ini sudah mulai
diintegrasikan dalam suatu teknologi yang dapat dikendalikan dari pusat pemerintahan.
Sebagai contoh adalah dengan adanya penerapan electronic-government (e-government) yang
mulai diterapkan di Indonesia. Sebagai gambaran, e-government tidak membutuhkan
penyelenggara negara (aparatur pemerintah) yang banyak, melainkan sedikit tapi handal,
memenuhi prinsip efektifitas dan efisiensi dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang bisa
melahirkan profesionalitas. Inilah salah satu tantangan pemerintah daerah saat ini dan masa
datang. Dan untuk menghadapi perubahan tersebut, idealnya dari sekarang sudah diupayakan
penataan terhadap sumber daya manusianya (Putera dan Valentina, 2010).

Pengembangan e-government perlu strategi terarah dan berkesinambungan yang


bersifat jangka pendek maupun panjang. Pengembangan e-government instansi pemerintah
pusat maupun daerah di Indonesia seharusnya mengacu kepada pentahapan pengembangan e-
government secara nasional dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di setiap lembaga
pemerintah, yaitu tahap persiapan, tahap pematangan, tahap pemantapan, dan tahap
pemanfaatan (Inpres No. 3 Tahun 2003). Namun kenyataannya pengembangan e-government
bukanlah perkara yang mudah dan tidak sedikit yang mengalami kegagalan. Permasalahan ini
timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman tentang konsep e-government yang diartikan
sebagai penggunaan internet yang dipahami secara dangkal. Hal ini membawa akibat kepada
inefisiensi dan inefektifitas anggaran dan aktivitas pengelolaan pemerintahan. Permasalahan
ini dialami oleh berbagai instansi atau perusahaan, sehingga diperlukan koordinasi antar
sektor dan antar tingkat pemerintahan untuk dapat mengatasinya (Menkominfo, 2002).

Secara umum praktik e-government di Indonesia memang belum diposisikan secara


strategis atau hanya sebatas supporting program saja. Di sisi lain membangun sebuah situs
pemerintah sudah mulai banyak dilakukan, sebagai salah satu bentuk dari penerapan konsep
e-government, meskipun di Indonesia secara umum baru memasuki tingkatan interaksi. Satu
hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian situs adalah konsistensi informasi, sehingga
dapat mengantisipasi munculnya keraguan masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah
sebagai penyaji situs (Maria, 2005).

Teknologi berperan sebagai alat yang diyakini dapat meningkatkan efiensiensi dan
efektifitas pelayanan. Permasalahan dalam efektifitas e-government akan menyentuh hal hal
yang berkaitan dengan masalah organisasi dengan tidak meninggalkan masalah berbau
teknologi. Budaya organisasi merupakan masalah organisasi yang terkait dengan masalah
kesiapan penerapan e-government (Wijaya, 2007).

2. BUDAYA ORGANISASI
Definisi budaya organisasi menurut Cameron dan Quinn (Handayaningsih dan
Surendro, 2010) budaya organisasi adalah adanya suatu perekat sosial yang ada dalam
organisasi, mengandung nilai, kebiasaan, kepercayaan yang mencirikan karakteristik
organisasi dan seluruh anggota organisasi.

Beberapa definisi budaya organisasi dikemukakan oleh para ahli. Moeljono


Djokosantoso (2003: 17 dan 18) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen
atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebar
luaskan didalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Susanto (1997; 3)
memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber
daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke
dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai
yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.

Robbins (1998; 248) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)


sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins (1998; 248)
menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang
sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan
seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi ("a system of shared meaning held by
members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared
meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values").
Robbins memberikan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut: (1) Inovasi dan
keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking), adalah sejauh mana organisasi
mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. Selain itu
bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan risiko oleh karyawan dan
membangkitkan ide karyawan; (2) Perhatian terhadap detil (Attention to detail), adalah sejauh
mana organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian
kepada rincian. (3) Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation), adalah sejauh mana
manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses
yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. (4) Berorientasi kepada manusia (People
orientation), adalah sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil
pada orang-orang di dalam organisasi. (5) Berorientasi tim (Team orientation), adalah sejauh
mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu untuk
mendukung kerjasama. (6) Agresifitas (Aggressiveness), adalah sejauh mana orang orang
dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-
baiknya. (7) Stabilitas (Stability), adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status
quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

Framework sebagai model yang dapat digunakan untuk memahami budaya organisasi.
Strategi secara sistematik untuk melakukan perubahan pada budaya organisasi. Dimensi yang
menjadi indikator dalam framework adalah (Wijaya, 2007) :
Dimensi yang menjadi indikator dalam framework ini adalah (Handayaningsih dan Surendro,
2010):

1. Dimensi Pertama
Dimensi pertama meliputi hal-hal yang terkait dengan faktor internal yaitu seperti
fleksibilitas, kebijakan dan dinamisasi meliputi hal-hal stabilisasi, masukan dan kontrol.
Beberapa organisasi melihatnya dari bagaimana organisasi dapat melakukan perubahan,
beradaptasi dan alami. Selain itu dapat juga dipandang efektiv jika suatu organisasi
mampu bekerjasama, terprediksi dan cara kerjanya termekanisasi.

2. Dimensi Kedua
Dimensi kedua orientasi pada faktor internal yaitu integrasi dan faktor eksternal yaitu
ditekankan pada faktor-faktor pembeda dan persaingan. Beberapa organisasi melihat
keefektivan dari karakteristik internal organisasi yang harmonis.

Kedua dimensi ini dibagi dalam empat kuadran yang menggambarkan indikator
efektif suatu organisasi. Gambar 1 mengilustrasikan hubungan antara satu dimensi dengan
dimensi yang lain. Indikator keefektifan menggambarkan nilai yang dianut dan menyangkut
performansi (Handayaningsih dan Surendro, 2010).

Budaya klan
Organisasi dengan budaya klan adalah organisasi yang memiliki karakteristik
memusatkan pada kondisi internal, integrasi, fleksibilitas dan kebebasan dalam memilih.
Kondisi ini mirip sebuah keluarga besar. Beberapa indikator yang dapat ditemukan dalam
organisasi tersebut antara lain pemimpin yang bertindak sebagai mentor; terdapat tradisi dan
kesetiaan yang kuat; manajemen SDM merupakan dasar pengembangan kerjasama,
konsensus dan partisipasi;kriteria keberhasilan lebih menitikberatkan pada pengembangan
SDM, kerjasama, komitmen karyawan dan perhatian pada SDM. Organisasi dengan budaya
klan adalah organisasi yang memiliki karakteristik memusatkan pada kondisi internal,
integrasi, fleksibilitas dan kebebasan dalam memilih.

Budaya Hirarki
Organisasi dengan budaya hirarki cenderung bersifat memusatkan pada kondisi
internal, integrasi, stabilitas dan pengendalian. Beberapa indikator dalam organisasi ini antara
lain tempat kerja formal dan terstruktur; prosedur menjadi acuan utama dalam bekerja;
pimpinan merupakan kordinator dan pengatur yang baik dalam efisiensi kerja; perhatian
jangka panjang adalah pada kinerja yang efisien; kriteria keberhasilan adalah pada
penyampaian
hasil yang dapat diandalkan, penjadwalan yang baik dan biaya yang efisien.

Budaya Market
Organisasi dengan budaya market memiliki kecenderungan untuk memfokuskan pada
stabilitas, pengendalian, fokus pada kondisi eksternal serta diferensiasi. Indikator yang dapat
ditemukan dalam organisasi ini antara lain kepemimpinan yang agresif dan berorientasi pada
hasil; pola manajerial yang bersifat kompetitif dan berorientasi pada tujuan; perekat dalam
organisasi adalah keunggulan dalam pasar, pencapaian tujuan. Pada umunya organisasi ini
memiliki dorongan yang kuat dalam bersaing dan menang.

Budaya adhocracy
Organisasi dengan budaya adhocracy memiliki karakteristik berorientasi pada pihak
luar, diferensiasi, fleksibel dan kebebasan untuk memilih. Indikator yang ditemukan dalam
organisasi seperti ini adalah kepemimpinan yang bertindak sebagai inovator dan pengabil
resiko;pengelolaan SDM. berdasarkan kemampuan individu dalam mengambil resiko, inovasi
dan keunikan; perekat organisasi adalah komitmen untuk berinovasi dan pengembangan;
strategi organisasi berorientasi pada sumberdaya baru dan menciptakan tantangan;kriteria
keberhasilan adalah pada produk atau layanan yang unik dan berbeda.

Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang


berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya
organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya
organisasi mendukung strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau
mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat. Dalam beberapa literatur pemakaian
istilah corporate culture biasa digantidengan istilah organization culture. Kedua istilah ini
memiliki pengertian yang sama.

Komponen budaya oranisasi meliputi beberapa hal yaitu (Handayaningsih dan


Surendro, 2010):

a. Nilai dan Kepercayaan


Nilai didefinisikan sebagai karakter dan gerak dalam melakukan suatu keputusan
dalam organisasi tersebut. Nilai suatu organisasi dapa dilihat dari kebiasaan atau rutinitas
keseharian.
b. Leadership
Leadership fokus pada segala hal yang berhubungan pimpinan. Kepemimpinan yang
benar adalah pimpinan yang mampu menunjukkan kepercayaan pada anggota organisasi, dan
menjadikan inspirasi anggota organisasi sebagai team untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Leadership yang tepat dapat dimulai dengan menggunakan model manajemen.

c. Sistem Sumber Daya Manusia


Budaya harus dikelola untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Ketidakpahaman
akan budaya yang ada pada organisasi mengakibatkan usaha yang lebih berat dalam
memahamkan budaya yang hendak diterapkan sebelum pencapaian hasil yang lebih tinggi.
Untuk itu dibutuhkan sebuah departemen yang mengurusi segala sesuatu yang berhubungan
dengan sumber daya manusia (SDM), dimana SDM merupakan penggerak dalam organisasi.

d. Karakter Organisasi
Karakter organisasi adalah ekspresi dalam berkomunikasi dan feedback yang timbal
balik, selain itu kemampuan untuk melakukan perubahan pada lingkungan organisasi.
Kekuatan karakter organisasi merupakan kekuatan karakter masing-masng individu.

3. E-GOVERNMENT
Secara umum definisi e-government dipahami sebagai penyampaian layanan
pemerintah secara otomatis. Menurut Wyld (2004) e-government merupakan suatu
pemrosesan secara elektronik yang digunakan oleh pemerintah untuk mengkomunikasikan,
menyebarkan atau mengumpulkan informasi, sebagai fasilitas transaksi dan perijinan untuk
suatu tujuan tertentu (Maria, 2005). E-government menurut definisi dari The World Bank
Group adalah:

E-government refers to the use by government agencies of information


technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing)
that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other
arms of government.

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) memiliki peran dalam


melakukan koordinasi dan percepatan implementasi e-government secara Nasional.
Depkominfo mengeluarkan beberapa kebijakan dan peraturan-peraturan pendukung yang
dapat dijadikan acuan utama dalam pengembangan e-government, baik di lingkungan
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pengertian mengenai e-government dalam penelitian ini mengacu pada Inpres no 3
Tahun 2003 yaitu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
kualitas layanan publik (Handayaningsih dan Surendro, 2010). Sedangkan menurut Pascual
(dalam Edhy Sutanta). E-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat
meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain, didalamnya melibatkan
otomisasi dan komputerisasi pada prosedur paperbased yang akan mendorong cara baru
dalam kepemimpinan, cara baru dalam mendiskusikan dan menetapkan strategi, cara baru
dalam transaksi bisnis, cara baru dalam mendengarkan warga dan komunitas, serta cara baru
dalam mengorganisasi dan menyampaikan informasi (Pascual, 2003). Dari beberapa
pengertian tersebut definisi e-government secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik. Teknologi informasi berperan sebagai alat dalam mendorong efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik (Wijaya, 2007).

Penerapan e-government di setiap lembaga pemerintah mengacu kepada pentahapan


pengembangan e-government secara nasional, dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di
setiap lembaga pemerintah mencakup (Inpres No. 3 Tahun 2003):

a. Tingkat persiapan, meliputi: 1) pembuatan situs web pemerintah di setiap lembaga; 2)


pendidikan dan pelatihan SDM, 3) penyediaan sarana akses publik, 4) sosialisasi
keberadaan layanan informasi elektronik, baik untuk publik maupun penggunaan internal,
5) pengembangan e-leadership dan awareness building, serta 6) penyiapan peraturan
pendukung

b. Tingkat pematangan, meliputi: 1) pembuatan situs informasi layanan publik interaktif, dan
2) pembuatan hyperlink.

c. Tingkat pemantapan, meliputi: 1) penyediaan fasilitas transaksi secara elektronik, dan 2)


penyatuan penggunaan aplikasi dan data dengan lembaga lain (interoperabilitas).

d. Tingkat pemanfaatan, meliputi: 1) pembuatan berbagai aplikasi untuk pelayanan G2G,


G2B, dan G2C yang terintegrasi; 2) pengembangan proses layanan e-Gov yang efektif dan
efisien, dan 3) penyempurnaan menuju kualitas layanan terbaik (best practice).

Meskipun banyak memiliki keunggulan, tetapi penerapan e-government juga tidak


lepas dari berbagai macam masalah. Ketika organisasi pemerintah menjadi sangat banyak
dalam menggunakan teknologi informasi, seringkali tidak dibarengi dengan kemampuan
meningkatkan produktivitasnya, termasuk juga kualitas dan layanan jasa kepada masyarakat
luas. Dalam beberapa kasus, beberapa keuntungan dapat diperoleh dari pengaruh teknologi
untuk mentransformasi system operasi organisasi pemerintah yang lama. Ada empat
permasalahan utama dalam organisasi pemerintah yang menyulitkan dalam mencapai
peningkatan produktivitasnya (Maria, 2005):
Program Performance Value: Pemerintah melakukan evaluasi terhadap system
dalam teknologi informasinya berdasarkan seberapa baik mereka melayani kebutuhan
masyarakat, dan bukan pada seberapa baik mereka merespon kebutuhan masyarakat
luas.
Technology Leverage: Sekitar tahun 1990-an pemerintah (khususnya di Eropa dan
Amerika) menggunakan teknologi informasi untuk mengotomatisasi proses dalam
sistem operasi yang ada pada saat itu, dibandingkan meningkatkan solusi dan hasil
yang lebih efektif dan efisien. Saat ini e-government yang diterapkan oleh beberapa
organisasi pemerintah di Indonesia masih berada pada kondisi tersebut. Sebagai suatu
pertimbangan, mestinya perkembangan commercial e-business saat ini dapat
dipelajari untuk kemudian diterapkan, sehingga efiseiensi dan efektiuvitas dapat
dicapai.
Islands of Automation: Secara umum pemerintah membangun system operasinya
secara elektronik untuk memenuhi kebutuhan dalam perspektif internalnya saja.
Sistem ini jarang yang dapat melakukan inter-operate atau komunikasi dengan
organisasi pemerintah yang lain. Konsekuensinya, masyarakat luas harus melakukan
searching terhadap seluruh organisasi pemerintah untuk mendapatkan layanan jasa.
Selain itu para pelaku bisnis juga harus melakukan filing sendiri terhadap informasi
yang sama dalam beberapa waktu.
Resistance to Change: Proses penyusunan anggaran dan budaya organisasi
pemerintah cenderung mempertahankan system layanan yang birokratis. Proses
tersebut tidak menyediakan sebuah mekanisme untuk investasi dalam bentuk
teknologi informasi yang diterapkan di setiap pihak yang terkait. Bahkan ada
kecenderungan merasa takut untuk melakukan reorganisasi sehingga terjadi
resistensi terhadap integrasi tugas dan sharing penggunaan sistem di beberapa divisi
dalam organisasi pemerintah yang bersangkutan.

Menurut Mlki, Anttiroiko dan Savolainen (2004) manfaat yang dapat diperoleh dari
e-Government [1] , diantaranya:
Pelurusan operasi pemerintah untuk menjamin kecepatan respons terhadap kebutuhan
masyarakat. Pelayanan yang lebih baik dan cepat kepada masyarakat.
Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum.
Dengan adanya keterbukaan (transparansi) diharapkan hubungan antara berbagai
pihak menjadi lebih baik.
Pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh.
Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh, koordinasi
pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing.
Menghapus lapisan dalam manajemen pemerintahan.
Memungkinkan masyarakat, bisnis, level pemerintah lainnya dan karyawan untuk
secara mudah menemukan informasi dan mendapatkan.
Menyederhanakan proses bisnis dan mengurangi biaya melalui integritas dan
penghapusan sistem yang berlebihan.
Memungkinkan pencapaian elemen dari agenda manajemen pemerintahan.

4. BUDAYA ORGANISASI DAN ADOPSI TIK


Berdasarkan konsep competing values framework yang membedakan budaya
organsasi menjadi budaya klan, hierarki , market dan adhocracy maka konsep pemanfaatan
teknologi akan berbeda pada masing masing budaya organisasi. Orientasi organisasi akan
mempengaruhi arah pemanfaatan teknologi tersebut. Peran teknologi informasi akan lebih
ditekankan sesuai dengan budaya organisasi tersebut. Dalam budaya klan yang memiliki
orientasi pada kondisi internal, teknologi akan berperan sebagai alat yang mampu
menyelesaikan masalah internal aktivitas organisasi dan dikembangkan berdasarkan
kemampuan SDM yang ada (Wijaya, 2010).

Rumusan definisi e-government telah menunjukkan bahwa orientasi pemanfaatan


teknologi informasi adalah kebutuhan pelayanan publik bukan kepentingan pemerintah.
Konsep ini membawa implikasi bahwa segala aktivitas pemerintah berorientasi pada
kebutuhan konsumen atau publik (Wijaya, 2010).

Dalam organisasi yang cenderung berbudaya hierarki maka teknologi akan


diperankan sebagai alat yang mampu membantu penyelesaian masalah yang terkait dengan
prosedur dan aturan. Dalam organisasi yang bersifat adhocracy maka teknologi informasi
merupakan alat yang dapat digunakan untuk menciptakan inovasi produk dan layanan.
Organisasi yang cenderung berbudaya market akan memanfaatkan teknologi sebagai alat
untuk memenangkan pasar. Pendekatan definisi budaya organisasi dalam competing values
framework meletakkan budaya organisasi yang berorientasi pada pihak luar dan konsumen
pada budaya market. Tetapi tidak sepenuhnya budaya market memiliki kesamaan konsep
dengan definisi dan strategi e-government (Wijaya, 2010).

Dalam pendekatan competing values framework dapat dirumuskan bahwa organisasi


dapat secara efektif menerapkan e-government jika memiliki kecenderungan untuk
berorientasi pada pihak luar, stabil, dan efisien. Berorientasi pada pihak luar berarti
memusatkan segala aktivitas pada pelayanan publik sebagai konsumen, meletakkan
pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik.
Kriteria keberhasilan bukanlah pada sebarapa banyak ragam teknologi untuk pelayanan
publik tetapi pada seberapa puas publik yang memanfaatkan pelayanan digital (Wijaya,
2007).

Tabel 1 merupakan propose indikator dalam mengukur keselarasan budaya


organisasi dengan efektifitas penerapan e-government.

No Indikator Keselarasan dengan e-government

1 Arah pemanfaatan teknologi informasi Berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik

2 Keberhasilan penerapan TI Diukur berdasarkan kepuasan pengguna

3 Pengembangan SDM Diukur berdasarkan kebutuhan pelayanan publik

Jelas dan mampu mengakomodasi kebutuhan layanan


4 Prosedur dan aturan
publik
Mengarah pada ketaatan terhadap aturan tanpa
5 Model kepemimpinan
menomorduakan pelayanan terhadap konsumen
.

5. PENUTUP
E-government merupakan alat dari perubahan sistem dalam pemerintahan. Pada
intinya e-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan
hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain. Dimana didalamnya melibatkan
otomatisasi dan komputerisasi pada prosedur paper-based yang ada yang akan mendorong
cara baru dalam kepemimpinan, cara baru dalam mendsikusikan dan menetapkan strategi,
cara baru dalam transaksi bisnis, cara baru dalam mendengarkan warga dan komunitas, serta
cara baru dalam mengorganisasi dan menyampaikan informasi.

Pelaksanaan e-government pada suatu pemerintahan akan memiliki kekhasan


tersendiri, disesuaikan dengan tugas, fungsi, prioritas permasalahan yang dihadapi, dan
potensi yang dimiliki. Walaupun perkembangan e-government di Indonesia dapat dikatakan
masih rendah, akan tetapi akhir-akhir ini dirasakan sudah menunjukkan peningkatan.
Penerapan egovernment diharapkan dapat memberikan pelayanan terbaik dari pemerintah
kepada masyarakat luas.dengan mendasarkan pada pelayanan yang berkualitas, lebih cepat,
dan lebih mudah. Dengan demikian pemerintah dapat mencapai efektivitas dan efisiensi
dalam layanan atau kinerjanya (Maria, 2005).
Kebutuhan akan lingkungan budaya organisasi yang berorientasi pada pihak luar atau
publik merupakan prinsip utama dalam e-government (Wijaya, 2007). Secara umum terlihat
bahwa dalam kepengelolaan TIK menuju e-government, terdapat pemasalahan dalam budaya
organisasi. Kesenjangan dalam budaya organisasi merupakan penghambat yang intangible
bagi penerapan e-government.

You might also like