You are on page 1of 85

KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN BAGI

PEMANFAATAN PERIKANAN BERBASIS RANCHING


DAN BUDIDAYA IKAN KJA DI WADUK MALAHAYU

KADRI LAETJE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Daya Dukung


Lingkungan Perairan Bagi Pemanfaatan Perikanan Berbasis Ranching Dan
Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

Kadri Laetje
NIM C251090021
ABSTRACT

KADRI LAETJE. Carrying capacity Assessment of Environment for the Use of


Fisheries Ranching based and KJA Fish Cultivation in Malahayu
Reservoir. Guided by KADARWAN SOEWARDI and NIKEN T.M. PRATIWI.

The study was conducted to determine the Carrying capacity of Malahayu water
reservoirs in sub-district of Banjarharjo, district of Brebes, Central Java Province.
By knowing the capacity of the water, the water can be used for fisheries
development activities for the purpose of welfare of fishing community. The
capacity of water, was done by the observation of water quality which consists of
parameters of physics, chemistry and biology aquatic performed both in Situ/Lake
and laboratory analysis. Data of Physical conditions of Malahayu water reservoir
was obtained through interviews with the authorities of Malahayu Mater
reservoir. While to know the welfare of fishing communities (Nila Jaya) was
obtained by spreading quisioner. The study took place in the dry season in August
to November, 2011. The method used to determine the Carrying capacity of the
fisheries and fish farming of Ranching, fish cultivation of KJA used Beveridge
methods,1996. The observation results which were obtained were: temperature
27-28oC, the brightness of 83 - 146 cm, flow rate 1.5 / 5 dt-1, 5/7 dt. The
Analaisis of nutrient indicated status of oligotrofik waters to mesotrofik of <0.1
mg/l. Biological parameters: chlorophyll-a with the observations is 14 - 21.4 mg /
l, primary productivity from 6 - 13.6 mg / l, phytoplankton found were
cholorophyceae class, bacillarophyceae, euglenophyceae, cyanophyceae and
dinophyceae, the highest number of genara was in cholorophyceae and the lowest
was in the dinophyceae class. Carrying capacity of the fisheries development of
Ranching is 207.522 tons/year, the number of seeds dispersed was 2.07522 fry /
year. Support capability of KJA fish farming is 2.128 tons / year, the KJA unit
number is 2.128 units, with the Malahayu water reservoir area which was required
417.088 m2. The results of water quality analysis and water capacity of Malahayu
reservoir showed that, Malahayu reservoir can be developed together for the
development of fisheries and Ranching fish farming. This design, can increase the
welfare of fishing communities (Nila Jaya) in Malahayu Reservoir.

Key words: Carrying capacity, Ranching, KJA Cultivation, Malahayu Reservoir.


RINGKASAN

KADRI LAETJE. Kajian Daya Dukung Lingkungan bagi Pemanfaatan Perikanan


Berbasis Ranching dan Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu. Dibimbing oleh
KADARWAN SOEWARDI dan NIKEN T.M. PRATIWI.

Waduk Malahayu, merupakan salah satu waduk tertua di Indonesia yang


dibangun di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes Jawa
Tengah oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1933 dan beroperasi pada tahun
1935. Pembangunan awal dengan luas 925 ha dan kedalaman 12,75 m, serta
secara geografis berada pada koordinat 108o4912BT dan 07o0148 LS.
Pengembangan perikanan berbasis ranching dilakukan, karena terjadi penurunan
hasil tangkapan alamiah di Waduk Malahayu yang sangat mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat nelayan. Penurunan ini disebabkan oleh ketersediaan
pakan alami, serta degradasi lingkungan oleh aktivitas pertanian dan penebangan
hutan di hulu sungai Cisanggarung dan Cikabuyutan sehingga terjadi erosi yang
mempengaruhi kualitas perairan.
Pembangunan waduk saat ini dimanfaatkan untuk irigasi, pengendali
banjir, kebutuhan domestik, usaha perikanan tangkap berbasis ranching. Untuk
pengembangan usaha perikanan ranching dan budidaya ikan KJA harus diketahui
daya dukung perairan, sehingga pemanfaatan perikanan dapat berkelanjutan.
Kajian daya dukung perairan untuk mengetahui kapasitas perairan dengan
menganalisis kualitas perairan yang terdiri dari parameter fisika, kimia dan biologi
perairan. Pengamatan ketiga parameter tersebut di perairan Waduk Malahayu
dilakukan pada musim kemarau bulan Agustus-November 2011, dengan
menggunakan metode sampling dan analisis laboratorium untuk pengumpulan
data primer dan sekunder, untuk analisis daya dukung perairan digunakan metode
Beveridge, 1996.
Hasil pengamatan parameter fisika menunjang kehidupan organisme
akuatik (fitoplankton), dengan nilai suhu optimum yang diperoleh 27-28oC,
kecerahan 83-146 cm, kecepatan arus 1,5/5 dt-1,5/7 dt. Parameter kimia (unsur
hara) menunjukan status perairan oligotrofik menuju mesotrofik karena
konsentarsi yang diperoleh <0,1 mg/l. Parameter biologi teridentifikasi klorofil-a
dengan hasil pengamatan adalah 14-21,4 mg/l, produktivitas primer 6-13,6 mg/l,
juga teridentifikasi fitoplankton dari kelas cholorophyceae, bacillarophyceae,
euglenophyceae, cyanophyceae dan dinophyceae, jumlah genara yang tertinggi
terdapat pada kelas cholorophyceae dan terendah terdapat pada kelas
dinophyceae. Kajian daya dukung untuk pengembangan perikanan ranching
dengan potensi produksi adalah 207.522 ton/tahun dengan jumlah benih yang
ditebar 2.07522 ekor benih/tahun. Sedangkan untuk daya dukung budidaya ikan
KJA, hasilnya diperoleh dalam bobot produksi adalah 2.128 ton/tahun, jumlah
unit KJA sebanyak 2.128 unit, dengan luas area perairan Waduk Malahayu yang
dibutuhkan 417.088 m2.

Kata kunci: Daya dukung, ranching, budidaya KJA, Waduk Malahayu.


KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN BAGI
PEMANFAATAN PERIKANAN BERBASIS RANCHING DAN
BUDIDAYA IKAN KJA DI WADUK MALAHAYU

KADRI LAETJE

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Kajian Daya Dukung Lingkungan Perairan Bagi


Pengembangan Perikanan Berbasis Ranching dan
Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu.

Nama : Kadri Laetje

NIM : C251090021

Mayor : Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi


Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal ujian: 30 April 2012 Tanggal lulus:


PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Kuasa atas anugerah-Nya sehingga penulisan tesis ini, yang berjudul Kajian
Daya Dukung Lingkungan Perairan Bagi Pemanfaatan Perikanan Berbasis
Ranching dan Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu, bisa diselesaikan. Tesis
ini disususn sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga dan pengghargaan yang sedal-dalamnya kepada semua pihak yang
dengan ikhlas membantu penyelesaian studi ini, yaitu:
1. Prof.Dr.Ir. Kadarwan Soewardi selaku ketua komisi pembimbing atas
bimbingannya yang tak kenal waktu, ide, gagasan dan konsep kepada
penulis dalam menyempurnakan penulisan ini.
2. Dr.Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. (anggota komisi pembimbing) atas
waktu, ide, gagasan koreksi sehingga penulis terus berusaha
menyelesaikan penulisan ini.
3. Ayahanda Nongko Laetje dan Ibunda Hamida Maligano, istri Endang
setyowati, anakku tersayang M. Isra dan Ramlah, adik-adikku Ratni, sarni
dan nani yang telah menjadi inspirasi buat penulis dalam menyelesaikan
studi di Institut Pertanian Bogor.
4. Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Maluku Utara yang telah memberikan ijin studi di Institut
Pertanian Bogor.
5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang telah memberikan
ijin dan rekomendasi kepada penulis untuk melaksanakan studi di Institut
Pertanian Bogor.
6. Bapak Hartono. Direktur Rimba Kurnia Alam, GPS yang telah membantu
penulis dalam penelitian maupun studi di Institut Pertanian Bogor.
7. Pihak otoritas waduk dan nelayan di Desa Malahayu Kecamatan
Banjarrejo Kabupaten Brebes Jawa Tengah yang telah memberikan ijin
dan dukungan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian di Waduk
Malahayu.
8. Saudaraku, sahabatku Siti Aminah tersayang. Rekan-rekan SDP angkatan
2009, yang atas kerjasamanya dan diskusi selama penulis studi di Institut
Pertanian Bogor.

Selanjutnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang


telah membantu penulis selama studi di Institut Pertanian Bogor, Semoga Tuhan
Yang Kuasa membalas jasa baik mereka.
Akhir kata, Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua orang yang
berkepentingan dalam bidang yang Penulis tekuni. Atas saran dan masukan yang
bersifat konstruktif sangat Penulis harapkan.

Bogor, Mei 2012

KADRI LAETJE
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Laiwui Obi Kabupaten Halmahera Selatan


Propinsi Maluku Utara, pada tanggal 28 Maret 1974. Merupakan
putra pertama dari empat bersaudara dari ayah Nongko Laetje
dan Ibu Hamida Maligano.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah
pertama di Laiwui Kecamatan Obi Kabupaten Halmahera Selatan. Pendidikan
menengah atas diselesaikan di SMA Negeri I Ternate pada tahun 1992, dan
melanjutkan studi kesarjanaan pada program studi Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, diterima
melalui tes UMPTN. Pada Tahun 1997 Penulis menyelesaikan pendidikan S1,
dan pada Tahun 1998-2000 Penulis diterima bekerja sebagai karyawan perusahan
pengalengan PT. Biak Mina Jaya Djayanti Grup di Kabupaten Biak Numfor.
Tahun 2001 Penulis diangkat menjadi Pegawai negeri Sipil Daerah pada Dinas
Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara samapai sekarang. Tahun 2004
Penulis diminta untuk membantu menjadi tenaga dosen honor pada Program
Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
Penulis melanjutkan studi pada program Magister pada Tahun 2009 di Institut
Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN.i
PRAKATA......ii
DAFTAR ISI.....iii
DAFTAR LAMPIRAN.iv

1. PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumasan Masalah ...................................................................................... 2
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................................5

2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 6
2.1.Deskripsi Waduk Malahayu ..........................................................................6
2.2.Morfometri Waduk Malahayu ...................................................................... 6
2.3. Hidroklimatologi dan DAS Waduk Malahayu ............................................ 7
2.4. Daya dukung ekosistem Perairan Waduk ....................................................8
2.5. Kapasitas asimilasi daya dukung perairan................................................... 9
2.6. Estimasi daya dukung peraiaran .................................................................10
2.7. Karakteristik badan air dan kualitas lingkungan ....................................... 10
2.8. Status trofik periaran .................................................................................11
2.9. Faktor Fisika Perairan ............................................................................... 14
2.9.1.. Suhu .................................................................................................14
2.9.2. Kecerahan .........................................................................................14
2.10.Faktor Kimia Perairan ...............................................................................16
2.10.1. PH ...................................................................................................16
2.10.2. Oksigen terlarut (Desolved Oxygen) ..............................................16
2.10.3. Fosfat-total ................................................................................... 18
2.10.4. Nitrogen-total............................................................... ................. 20
2.11.Faktor Biologi Perairan................................................ .............................23
2.11.1. Produktivitas primer........................................................... ............23
2.11.2. Klorofil-a.................................................. ......................................23
2.11.3. Plankton (fitoplankton)........................................................... .......24
2.12. Kesejahteraan nelayan................................................ ..............................25

3. METODE PENELITIAN ...................................................................................28


3.1. Waktu dan Tempat........................................................... ......................28
3.2. Bahan dan Alat....................................................... ................................... 28
3.3. Metode Penelitian.............................................................. ........................ 28
3.3.1. Penentuan stasiun.............................................. .............................. 28
3.3.2. Pengumpulan data.. ..........................................................................30
3.3.3. Pengambilan contoh air.............................................. ..................... 31
3.3.4. Perlakuan contoh air.. .......................................................................31
3.3.5. Analisa contoh air.................................................................... 31

3.4. Analisa data ............................................................................................32


3.4.1. Analisis produktivitas primer ...........................................................32
4.4.2. Analisis kuantitaif fitoplankton ........................................................33
3.4.3. Analisis kelimpahan sel ....................................................................33
3.4.4. Analisis indeks diversitas ................................................................33
3.4.5. Analisis indeks keseragaman............................................................34
3.4.6. Analisis klorofil-a .............................................................................35
3.4.7. Analisis fosfat-total(Pf) ....................................................................36
3.5.8. Analisis daya dukung perikanan ranching .......................................36
3.5.9. Analisis daya dukung budidaya ikan KJA .......................................37
3.5.10. Analisis kesejahteraan nelayan Waduk Malahayu .........................39
3.5.10. Analisis pendapatan nelayan Waduk Malahayu .............................39

4. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................41


4.1. Kondisi fisik Waduk Malahayu........................................................... ...41
4.2. Kualitas perairan Waduk Malahayu....................................................... ... 42
4.2.1. Parameter fisika-kimia perairan .......................................................42
4.2.2. Unsur hara perairan ..........................................................................44
4.2.3. Parameter biologi perairan ...............................................................47
4.2.3.1. Klorofil-a ......................................................................................47
4.2.3.2. Komunitas fitoplankton .................................................................48
4.2.3.3. Kelimpahan sel fitoplankton .........................................................51
4.2.3.4. Produktivitas primer ......................................................................53
4.2.3.5. Nilai fosfat-total(Pf) ....................................................................54
4.2.3.6. Kajian daya dukung perikanan ranching .......................................54
4.2.3.6.1. Kajian daya dukung perikanan ranching optimum ....................55
4.2.3.6.2. Kajian daya dukung perikanan ranching maksimum .................55
4.2.3.7. Kajian daya dukung budidaya ikan KJA .......................................56
4.2.4. Kesejahteraan nelayan .....................................................................60
4.2.4.1. Analisis peluang pendapatan .........................................................61
4.2.5. Skenario pendapatan nelayan ...........................................................62
4.2.5.1. Analisis regresi logistik (skenario pendapatan) ............................63

5. KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................65


5.1. Kesimpulan........................................................... ..................................65
5.2. Saran....................................................... ................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................66


LAMPIRAN ...........................................................................................................70
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kriteria klasifikasi status trofik untuk perairan danau dan waduk
(RYDING & RAST, 1989; WETZEL, 2001). ........................................ 12
2. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan berdasarkan unsur hara dan
biomassa fitoplankton (chlorophyl-a) .................................................... 14
3. Lokasi pengambilan sampel selama penelitian ...................................... 28
4. Parameter, metode dan peralatan penelitian ........................................... 30
5. Konfersi efisiensi PP .............................................................................. 37
6. Kisaran parameter fisika-kimia .............................................................. 44
7. Kisaran unsur hara .................................................................................. 47
8. Parameter daya dukung perairan ............................................................ 58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram pendekatan permasalahan optimalisasi daya dukung
perairan bagi pengelolaan waduk yang berkelanjutan. ........................... 4
2. Stasiun Peta Waduk Malahayu .............................................................. 29
3. Histogram kandungan Konsentrasi klorofil-a di Stasiun 1, Stasiun 2,
Stasiun 3 dan setiap kedalaman perairan. ............................................... 48
4. Rataan genera fitoplankton stasiun 1. .................................................... 49
5. Rataan genera fitoplankton stasiun 2. .................................................... 50
6. Rataan genera fitoplankton stasiun 3. .................................................... 51
7. Histogram rataan kelimpahan fitoplankton . .......................................... 52
8. Histogram kandungan Produktivitas primer (NPP) di Stasiun 1,
Stasiun2, Stasiun 3 dan setiap kedalaman perairan. ............................... 53
9. Piechart pendapatan nelayan................................................................... 62
10. Piechart skenario pendapatan nelayan. ................................................... 64
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data pengamatan suhu perairan setiap stasiun Waduk Malahayu. ........ 72
2. Datas pengamatan kecerahan setiap stsiun Waduk Malahayu .............. 73
3. Data pengamtan pH perairan setiap stasiun Waduk Malahayu. ............ 74
4. Datas pengamtan DO perairan setiap stsiun Waduk Malahayu ............. 75
5. Data pengamtan total-nitrogen perairan . ............................................... 76
6. Datas pengamtan total- fosfat perairan .................................................. 77
7. Data pengamatan nitrat-nitrogen perairan. ............................................. 78
8. Data pengamatan ortofosfat perairan ..................................................... 79
9. Data pengamatan Amonium perairan. .................................................... 80
10. Datas pengamtan klorofil-a .................................................................... 81
11. Data pengamatan produktivitas primer .................................................. 82
12. Datas kelimpahan fitoplankton stasiun 1 .............................................. 83
13. Datas pengamtan fitoplankton staiun 2 .................................................. 84
14. Data pengamatan fitoplankton stasiun 3 . ............................................... 85
15. Datas perhitungan daya dukung perikanan ranching optimum ............. 86
16. Data perhitungan daya dukung perikanan ranching maksimum. ........... 87
17. Data perhitungan daya dukung Budidaya ikan KJA.............................. 88
19. Data analisis kesejahteraan terhadap variabel kerja . ............................. 89
20. Data analisis kesejahteraan terhadap variabel tangkapan ...................... 90
1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Waduk merupakan danau buatan yang dibuat dengan cara membendung


aliran sungai. Pembangunan waduk pada umumnya ditujukan sebagai tempat
penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, untuk
memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti
pembangkit listrik tenaga air (PLTA), irigasi, pengendali banjir, sumber baku air
minum, usaha perikanan dan pariwisata.
Waduk Malahayu, merupakan salah satu waduk tertua yang dibangun pada
tahun 1933 di desa Malahayu, Kecamatan Banjarrejo Kabupaten Brebes Jawa
Tengah, oleh Pemerintah Belanda. Secara geografis Waduk Malahayu berada
pada koordinat 108o 4912Bujur Timur dan 07o0148 Lintang Selatan. Kondisi
fisik waduk saat ini telah mengalami perubahan karena lajunya sedimentasi,
sehingga mengakibatkan terjadinya penyempitan genangan perairan yang semula
925ha saat ini tersisa 720 ha dengan volume air (37.074 m 3) Wahyudi, et al.
(2002). Pada tahun 1984 hingga saat ini, dibentuk kelompok Nelayan Nila Jaya
untuk memanfaatkan perairan waduk sebagai kegiatan usaha perikanan berbasis
(ranching), dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Kegiatan perikanan berbasis ranching adalah kegiatan usaha perikanan, dengan
cara menebarkan benih ikan (stoking), dan dibiarkan selama empat bulan, baru
dilakukan kegiatan penangkapan. Benih yang ditebarkan setiap tahun 600.000-
800.000 benih/tahun.
Berdasarkan data produksi perikanan ranching saat ini, telah mengalami
penurunan. Data hasil produksi saat ini adalah 70 ton/tahun, dengan hasil
tangkapan yang dijual 3 kg/hari/nelayan. Penurunan hasil tangkapan ini diduga
karena berkurangnya pakan alami (fitoplankton) serta menurun produktivitas
perairan, rendahnya benih yang ditebarkan setiap tahun serta perubahan kualitas
perairan dan kondisi fisik waduk.
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes melalui SK Bupati
No.523/177 tahun 2007 memberikan izin pemanfaatan perairan Waduk Malahayu
sebesar 10% untuk pengembangan usaha perikanan budidaya (KJA). Izin
2

pemanfaatan tersebut, tidak didasarkan atas kajian teknis daya dukung perairan
(carrying capacity). Penebaran benih untuk kegiatan usaha perikanan ranching
maupun budidaya ikan KJA tanpa didasarkan atas kajian daya dukung, maka
kemungkinan yang terjadi adalah over capacity atau under capacity yang akan
mengakibatkan terjadinya kerugian, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat nelayan.
Daya dukung perairan berperan dalam mempertahankan potensi
maksimum dari spesies atau populasi dalam kaitannya dengan sumber-sumber
pakan alami dan kualitas perairan (FAO, 1992). Berdasarkan hal tersebut maka
diperlukan kajian daya dukung perairan Waduk Malahayu untuk pengembangan
kegiatan perikanan ranching maupun pemanfaatan budidaya ikan (KJA).
Pemanfaatan sebagian perairan waduk untuk kegiatan perikanan budidaya (KJA),
agar perikanan ranching di perairan umum mendapat tambahan pakan dari
limpasan pakan komersial (KJA) yang memiliki kandungan protein tinggi,
sehingga pertumbuhan optimum ikan dapat dicapai dan pengelolaan usaha
perikanan dapat berkelanjutan. Pertumbuhan ikan yang optimum dapat
meningkatkan hasil produksi sehingga masyarakat nelayan (Nila Jaya) di Waduk
Malahayu akan sejahtera.

1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan usaha perikanan yang optimal dan berkelanjutan dapat


tercapai jika memperhatikan beberapa aspek, yaitu; (1) mempertahankan
ketersediaan stok perikanan di perairan, (2) mempertahankan kelestarian dan
kualitas lingkungan (3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan
tersebut, (4) meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di
sekitar kawasan dan menetapkan zona pengembangannya.
Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes dan masyarakat nelayan Nila Jaya,
telah mengarahkan pengembangan Waduk Malahayu dalam bentuk usaha
perikanan tangkap pola ranching. Pada tahun 2007 melalui SK Bupati No.523/177
memberikan ijin 10 % pemanfaatan Waduk Malahayu untuk budidaya ikan
(KJA). Dengan lahirnya SK tersebut tentu memberi konsekuensi pada pengelolaan
yang terpadu dan terencana dalam pemanfaatan perairan waduk untuk perikanan
3

ranching dan KJA. Keterpaduan ini dapat terlihat dengan adanya dukungan
Pemerintah Daerah dalam memberikan sumbangan pengadaan beberapa sarana
dan prasarana; balai pembenihan, balai pertemuan, peralatan penangkapan, agar
masyarakat nelayan dapat meningkatkan kesejahteraan.
Kondisi saat ini setiap tahun, dari tahun 2001-2008 Waduk Malahayu
mendapat bantuan benih ikan nila (Oreochrromis niloticus). Penebaran dengan
jumlah rata-rata 800 000 benih untuk perikanan ranching yang disumbangkan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, Pemerintah Provinsi dan hasil
swadaya kelompok nelayan (Nila Jaya). Hasil panen sampai saat ini, diduga
belum dapat mensejahterakan masyakat nelayan, karena hasil tangkapan rata-rata
berukuran kecil 125 gr/ekor dengan jumlah hasil tangkapan setiap nelayan untuk
dijual rata-rata 3 kg/hari.
Kegiatan Penebaran benih (stocking) yang telah dikembangkan setiap
tahun hingga saat ini, tidak mengacu pada standar dan kriteria teknis kapasitas
daya dukung perairan waduk, untuk mentolelir hasil produksi (carrying capacity).
Benih yang ditebarkan menggunakan pendekatan perkiraan, sehingga
kemungkinan terjadi adalah over capacity atau under capacity. Penebaran benih
terlampaui sedikit akan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan. demikian pula
jumlah benih terlampau banyak dan tidak sesuai kapasitas perairan akan
mengalami kerugian (kematian benih) karena ketersediaan pakan alami, dan
produktivitas perairan.
Upaya agar ikan di perairan umum (ranching) dapat tumbuh optimum
sesuai target adalah dikembangkan pula usaha perikanan budidaya ikan sistim
(KJA), agar terjadi input pakan komersial yang terbuang cukup tinggi, keluar
dari jaring apung sehingga ikan di perairan umum mendapat tambahan protein.
Pengelolaan area perairan Waduk Malahayu untuk kedua kegiatan usaha
pengembangan perikanan pola ranching dan pemanfaatan budidaya (KJA),
dibutuhkan peran Pemerintah Daerah bersama masyarakat nelayan (Nila Jaya)
dalam menata pemanfaatan area perairan, yang didasarkan atas kajian daya
dukung perairan (carrying capacity), sehingga tercipta lingkungan pengelolaan
perairan yang seimbang dan berkelanjutan.
4

Berdasarkan hal tersebut, maka penting diperlukan suatu penelitian


tentang kajian daya dukung perairan, dalam pengembangan kegiatan usaha
perikanan ranching dan pemanfaatan budidaya KJA di perairan Waduk Malahayu.

Bio ekologi
Budidaya
KJA

Potensi Waduk
Pemanfaatan

Daya
Pengeloaan
dukung ? perairan

Fisika, kimia Ranching ?

Kondisifisik,
kedalaman,
volume air, luas
Unsur Hara
area permukaan
peraiaran, debit air
,outflow, inflow
fulshingreat.

Input proses output

Gambar 1. Diagram pendekatan permasalahan kajian daya dukung peraiaran bagi


pengelolaan Waduk Malahayu.
5

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:


1. Mengetahui kualitas perairan Waduk Malahayu.
2. Mengatahui daya dukung perairan Waduk Malahayu, dalam
pengembangan perikanan ranching.
3. Mengetahui daya dukung perairan Waduk Malahayu untuk pemanfaatan
budidaya perikanan sistem KJA.
4. Analisis kesejahteraan masyarakat nelayan (Nila Jaya) Waduk Malahayu.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan teknis bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, masyarakat nelayan (Nila
Jaya), sekaligus sebagai pedoman pengelolaan perairan yang sesuai dengan daya
dukung (carrying capacity), untuk kegiatan usaha perikanan ranching dan KJA
di Waduk Malahayu.

1.5. Hipotesis
Apabila pengelolaan perairan sesuai daya dukung (carrying capacity),
maka pemanfaatan kegiatan perikanan ranching dan KJA mantap dan
berkelanjutan, sehingga kesejahteraan masyarakat nelayan di Waduk Malahayu
akan meningkat.
6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Waduk Malahayu.

Waduk Malahayu berada di Desa Malahayu Kecamatan Banjarharjo,


Kabupaten Brebes Jawa Tengah, dan terletak di daerah aliran sungai Cikabuyutan.
Waduk ini mulai dibangun pada bulan Desember tahun 1933 dan mulai beroperasi
tahun 1935. Pemanfaatan air Waduk Malahayu yang semula adalah untuk irigasi,
pengendali banjir, pertanian, peternakan, pariwisata dan saat ini telah berkembang
menjadi kegiatan penebaran benih ikan untuk usaha perikanan (ranching).
Menurut Wahyudi et al. (2002), telah tarjadi terjadi penyusutan volume
tampungan waduk akibat sedimentasi yaitu dari 41,88 juta m3 pada tahun 1995
menjadi 37,074 juta m3. Kondisi ini mengindikasikan Daerah Aliran Sungai
(DAS) waduk mengalami erosi dan terbawa ke reservoir. Karakteristik daerah
tangkapan tersebut 50% erosi dan cenderung menimbulkan sedimen di dalam
tampungan waduk yang perlu untuk direhablitasi sehingga tidak terjadi
pendangkalan yang mempengaruhi umur waduk, elevasi tertinggi daerah
tangkapan air mencapai +957 mdpl. Menurut Ilyas et al. (1992) umur pelayanan
waduk merupakan fungsi dari volume tangkapan aktif menandakan semakin
pendek umur pelayanan operasional waduk.

2.2. Morfometri Waduk Malahayu

Pengetahuan mengenai morfometrik waduk sangat penting dalam kajian


budidaya perikanan. Pengetahuan morfologi waduk dapat memberikan gambaran
tentang perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perubahan-perubahan
tersebut meliputi perubahan debit air, keanekaragaman ikan, dan tingkat
kesuburan, tingkat kesuburan sangat penting karena merupakan faktor yang
mempengaruhi budidaya perikanan.
Menurut Wahyudi et al. (2002) ciri morfometrik Waduk Malahayu
termasuk perairan terbuka, tepian perairan dan daerah derodon sedang, sebagian
besar terdiri dari daerah datar dan kemiringan landai sampai daerah kemiringan
sedang, kemiringan hilir 1:2,25. Aliran yang masuk ke tampungan waduk
mencapai 78 juta km2 dalam evaluasi tertinggi mencapai tampungan waduk + 987
7

mdpl. Terdapat tepian dinding waduk bagian selatan digunakan dinding batuan
dengan lebar dinding batuan yang digunakan sekitar 100 meter yang menjurus
sampai ke dasar waduk, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang dan
daerah tangkap hujan luas. Bentuk gradien longitudal perairan Waduk Malahayu
secara umum dibagi dalam zona mengalir (riverin), dan zona (lakustrin). Zona
mengalir dari sumber utama berbeda di inlet waduk yang terjadi pengaliran air
masuk dari sungai Cikabuyutan, zona mengalir mempunyai kekuatan arus yang
cukup keras tergantung musim, ketersediaan hara tinggi serta terjadi penetrasi
cahaya optimal, dangkal. Sedangkan zona tergenang terdapat pada daerah
penebaran benih. Berdasarkan Ace et al. (1988) dalam Wahyudi et al. (2002)
Secara fisik bangunan utama Waduk Malahayu dibuat dengan ketinggian 24
meter, berupa timbunan tanah dan inti lempeng kemiringan 1:2,25 dengan tiga
dam selebar 1,7 meter pada elevasi 59,25 meter, panjang mercu 177 meter,
pelimpah dibuat dari pasangan batu pada elevasi mercu 55,75 meter dan panjang
40,22 meter, bangunan intake berupa menara beton setinggi 30 meter dengan
diameter 4,9 meter.
Luas genangan air 9,25 km2 dengan ketinggian muka air +55,75 meter
diatas air laut, volume air 38.880.080 m3 dan kedalaman air rata-rata 12,75 meter
(Wahyudi et al. 2002). Air waduk dialirkan ke Bendung Nambe kemudian
digunakan untuk operasional irigasi dari daerah Kabuyutan.

2.3. Hidroklimatologi dan DAS Waduk Malahayu.

Curah hujan rata-rata pertahun dapat dibagi menjadi bagian hulu dan
bagian hilir. Bagian hilir pada elevasi +56 m, curah hujan rata-rata 1.506-3.513
mm. Sedangkan pada bagian hulu pada elevasi +90 m, curah hujan rata-rata
1.753-4.268 mm, aliran yang masuk tampungan waduk rata-rata pertahun
mencapai 78 juta km3 yang dapat diperinci 77,5% aliran masuk pada bulan Januari
sampai April, 17,13% aliran masuk pada bulan Mei sampai Juni, Desember dan
5,2% aliran masuk pada bulan Juli (Wahyudi et al. 2004). Daerah Aliran Sungai
(DAS) Waduk Malahayu seluas 64 km2 pada posisi koordinat 70 725 LS, sekitar
40% dari luas DAS merupakan daerah berbukit-bukit dan berupa hutan pohon jati
(Widyayanti, 2007).
8

2.4. Daya Dukung Ekosistem Perairan waduk.

Waduk biasanya dibentuk dengan membangun dan melintasi sungai


sehingga air bendungan berada dibelakang dam (Ryding dan Rast, 1989).
Biasanya waduk memiliki drainase, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum,
luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal
yang lebih pendek dibanding danau. (Straskraba dan Tundisi, 1999) yang
menyatakan bahwa waduk dibuat dan diciptakan manusia untuk tujuan tertentu.
Waduk telah memberikan keuntungan dan konstribusi yang sangat besar untuk
manusia karena bisa dimanfaatakn untuk pembangkit tenaga listrik, irigasi,
ekoturisme, pertanian irigasi dan air minum. Namun peruntukan yang paling
banyak adalah sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Kondisi lingkungan
waduk sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama adalah faktor dari
alam, yaitu semakin lama umur waduk akan mengalami pendangkalan karena
sedimentasi. Pendangkalan tentu akan berpengaruh terhadap volume air,
kandungan oksigen, plankton-plankton, yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap biota perairan yang hidup. Faktor yang kedua adalah faktor manusia juga
mendapat peran yang sangat penting terhadap memburuknya kondisi lingkugan
waduk.
Pengetahuan tentang konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan
dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan
pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang
kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi
budidaya perikanan, nilai daya dukung dimasukkan sebagai faktor penting untuk
dapat menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama. Pengertian tentang daya
dukung lingkungan perairan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan
produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya, daya dukung lingkungan perairan
itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua
unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan suatu
ekosistem (Poernomo, 1994). Daya dukung suatu lingkungan (ekologi) berperan
terhadap mempertahankan maksimum potensi produksi suatu spesies atau
populasi dalam kaitannya dengan sumber makanan alami di ekosistem tersebut
9

(FAO, 1992). Dalam budidaya air tawar, daya dukung dipahami dan ditegakkan
untuk perlindungan sumberdaya perairan sehingga hasil produksi maksimal dapat
dicapai (Buyukcapar et al. 2006).
Perkiraan daya dukung untuk budidaya perairan tawar adalah masalah
yang kompleks. Kompleksitas tersebut banyak berasal dari interaksi antara faktor
fisik, kimia dan biologi di lingkungan budidaya (Duarte et al. 2003). Daya
dukung kualitas perairan yang meliputi fisika, kimia dan biologi dipengaruhi oleh
aktifitas pertanian, pemukiman penduduk, pasar maupun industri yang berada
disekitar aliran sungai. Odum (1993) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang
cenderung makin meningkat terutama di daerah aliran sungai memberikan
dampak terhadap perubahan kualitas perairan disekitarnya. Kualitas air dapat
dideteksi dengan berbagai cara, seperti dengan analisa fisika, kimia dan analisis
biologi (Hynes, 1978 dalam Rosenbreg, 1993). Perubahan lingkungan yang
mempengaruhi daya dukung dapat menyebabkan kepunahan spesies ikan dalam
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (Akpalu, 2009).

2.5. Kapasitas Asimilasi Daya Dukung Perairan.

Konsep daya dukung lingkungan beserta ukuran-ukuran kuantitatifnya


dimasing-masing lokasi (danau/waduk) menjadi sangat penting untuk diketahui.
Ukuran mengetahui daya dukung dengan mengetahui beban limbah yang berada
di dalam maupun yang masuk ke badan perairan budidaya. Limbah yang masuk
ke dalam sistem budidaya dapat berasal dari perairan sekitarnya di samping
sumbangan terbesar masukan dalam budidaya yang menghasilkan sisa pakan dan
kotoran yang terlarut ke dalam perairan sekitarnya Boyd dan Lichtkoppler,
(1979). Limbah tersebut akan diencerkan oleh perairan penerimanya dan akan
diasimilasi (didegradasi) menjadi unsur hara oleh mikroba yang ada di perairan
penerima. Kapasitas dan daya tampung perairan penerima limbah berbanding
lurus dengan kualitas dan kuantitas perairan (Widigdo et al. 2000).
Limbah yang masuk ke dalam lingkungan budidaya dalam jumlah
berlebihan akan menurunkan kualitas perairan dan dapat menghambat
pertumbuhan ikan budidaya, kosentrasi limbah pada batas tertentu dapat
menimbulkan kematian organisme. Untuk menghindari kondisi lingkungan yang
10

tidak diinginkan tersebut, perlu diketahui kemampuan perairan di dalam


menerima limbah tersebut sampai pada batas (nilai ambang) yang aman, artinya
tidak mengganggu siklus produksi budidaya.

2.6. Estimasi Daya Dukung Perairan Tawar.

Estimasi daya dukung dalam budidaya perikanan tawar dengan media


budidaya seperti di waduk atau danau jauh lebih mudah dan sederhana
dibandingkan untuk perairan terbuka seperti di estuari atau teluk. Daya dukung
lingkungan perairan sangat erat kaitannya dengan asimilasi dari lingkungan yang
menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa
menyebabkan polusi. ( UNEP, 1993). Kesederhanaan formula dan perhitungan-
perhitungan daya dukung perairan waduk atau danau karena disebabkan hidrologi
yang mempengaruhi dinamika limbah budidaya tidaklah tinggi bahkan kerap
dianggap stagnan (Beveridge, 1987)
Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan
perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala
usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem
budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan
(Piper et al. 1982 dalam Ali, 2004).

2.7. Karakteristik Badan Air dan Kualitas Lingkungan Perairan.

Parameter kualitas lingkungan perairan seperti suhu, pH, nitrogen,


phosphor, oksigen terlarut, dan sejumlah variabel penting lainnya sebagai
parameter kualitas perairan yang diteliti sebagai acuan pengembangan budidaya
ikan, harus berada dalam kisaran yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan
spesies yang dibudidayakan (Lawson, 1995). Empat variabel daya dukung yang
mempengaruhi budidaya di Waduk yaitu temperatur, pH, DO, dan kedalaman
secchi Beveridge, (1996).
Karakteristik ekologi waduk, inflow dan outflow, volume harus
dipertimbangkan dalam menentukan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya
yang sesuai dengan kondisi suatu lingkungan (Buyukcapar et al. 2006). Badan
air dicirikan oleh empat komponen utama, yaitu komponen hidrologi, komponen
11

fisika, kimia, dan komponen biologi. Effendi, ( 2003) mengatakan air berasal dari
dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water).
Air permukaan adalah air yang berasal dari sungai, danau, waduk, rawa dan badan
air lain yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Kedalaman badan air
memberikan dampak terhadap peningkatan beban nutrient waduk.
Kualitas perairan yang buruk sering terjadi pada waduk yang telah tua
karena telah terjadi pembentukan sedimentasi di dasar perairan, dan genangan
perairan yang relatif permanen seperti pada Waduk Malahyu dan juga waduk lain
di Indonesia. Waduk Malahayu memiliki berbagai potensi pemanfaatan untuk
masyarakat baik dibidang sosial ekonomi, tempat budidaya ikan, tempat
pariwisata. Pemanfaatan ini harus berkelanjutan, untuk itu proses perubahan
kearah penurunan kualitas badan air Waduk Malahayu harus dihindarkan dengan
mendorong pemerintah untuk melakukan rehablitasi pengerukan sedimen dan
pembilasan. Thornton et al. (1990) menyatakan pelepasan musiman nutrient dari
tempat penyimpanan ke waduk (contoh sedimen) memberikan pengaruh terhadap
status nutrient waduk terutama selama periode ketika input dari sumber eksternal
minimal (Cooke et al. 1977 dalam Thornton et al. 1990).
Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Antropogenik)
merupakan permasalahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perairan waduk
(Gambar 2). Pada ekosistem tergenang seperti danau atau waduk, unsur yang
berperan terhadap penurunan kualitas perairan adalah phosphor yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas perairan yang bersangkutan.

2.8. Stasus Trofik


Status trofik suatu perairan mencerminkan tingkat kesuburan perairan
sehingga berguna untuk pengelolaan. Status trofik dapat ditentukan berdasarkan
beberapa parameter seperti nutrien (nitrat) dan (fosfat), klorofil-a dan kecerahan.
Konsentrasi N dan P merupakan salah satu indikator kualitas air dengan
hubungannya dengan kesuburan perairan. Kedua unsur ini sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan fitoplankton. Sumber N dan P dapat berasal dari luar dan dari
dalam badan air. Sumber yang berasal dari luar antara lain dari atmosfer ke
permukaan air melalui hujan; jatuhan partikel kering (dry fallout); run off dari
12

lahan pertanian, peternakan, hutan dari limbah domestik maupun limbah industri.
Sumber yang berasal dari badan air sendiri antara lain dari proses dekomposisi
nutrien pada sedimen, tumbuhan air serta fiksasi N udara bebas oleh
mikroorganisme menjadi N organik (Ryding dan Rast, 1989).
Kualitas air sering dipakai sebagai acuan terhadap pendekatan tingkat
kesuburan suatu perairan, dan tingkat kesuburan perairan juga ditentukan oleh
unsur hara di dalamnya. Menurut USEPA dalam Henderson-Seller dan
Markland, (1987) menyebutkan bahwa secara garis besar suatu badan air telah
mengalami proses eutrofikasi dengan ditandai adanya penurunan konsentrasi
oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion, kenaikan konsentrasi nutrien N dan P,
kenaikan Suspended solid terutama material organik, penurunan penetrasi cahaya
(kecerahan menurun), terjadi blooming alga, konsentrasi fosfor dan sedimen serta
keragaman jenis alga rendah tetapi padat serta tinggi produktivitasnya. Perairan
yang mengalami eutrofikasi mengakibatkan terjadinya kematian masal ikan dari
ukuran benih ikan hingga ikan dewasa yang berada dalam perairan tersebut.
Kematian masal ikan merupakan akibat dari akumulasi bahan organik baik pada
dasar perairan maupun pada kolom perairan. Tingkat kesuburan suatu perairan
adalah suatu gambaran yang mencerminkan kaya miskinnya sistem trofik dari
suatu ekosistem. (Odurn, 1971). Status trofik suatu perairan pada Tabel 1
(Wetzel, 2001).

Tabel 1. Kriteria klasifikasi status trofik perairan danau dan waduk (Ryding &
Rast, 1989; Wetzel, 2001).

Status Trofik
Parameter
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipereutrofik
Fosfat-Total (mg/m3)
Rata-rata 8,0 26,7 84,4 -
Antara 3,0-17,7 10,9-95,6 16,2-386 750 -1200
Nitrogen-Total
(mg/m3)
Rata-rata 661 753 1875 -
Antara 307-1387 361-1630 393-6100 -
Klorofil-a (mg/m3)
Rata-rata 1,7 4,7 14,3 -
Antara 0,3-4,5 3 -11 3-78 100 -150
Kedalaman Sekki (m)
Rata-rata 9,9 4,2 2,45 -
Jarak 5,4-28,3 1,5-8,1 1,5-7,0 0,4-0,5
13

Masuknya unsur hara kedalam badan air menyebabkan terjadinya proses


eutrofikasi perairan. Ciri-ciri perairan yang mengalami proses eutrofikasi adalah:
kensentrasi oksigen terlarut di zona hipolimnion menurun, konsentrasi unsur hara
meningkat, padatan tersuspensi terutama bahan organik meningkat, dominasi
diatom digantikan oleh alga biru dan alga hijau dan penetrasi cahaya menurun
(Henderson & Markland, 1987).
Perairan waduk berdasarkan tingkat kesuburannya diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu oligotrofik, eutrofik dan mesotrofik menurut Colle, 1988 dalam
Effendi, (2003).
a. Perairan oligotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburannya rendah
dengan beberapa ciri sebagai berikut:
Sangat dalam, termoklin tinggi, hipolimnion, suhu epoliminion lebih
dingin.
Kandungan bahan organik yang tersuspensi dan didasar perairan kecil.
Kandungan kalsium, fosfat, dan nitrat miskin, bahan humus sangat sedikit
atau hampir tidak ada.
Kandungan oksigen terlarut tinggi pada seluruh kedalaman dan umumnya
terjadi sepanjang tahun;
Tanaman air tingkat tinggi sangat sedikit.
Kualitas (populasi) plankton terbatas.
b. Perairan mesotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburanya sedang
dengan beberapa ciri sebagai berikut:
Umumnya dangkal, temperatur bervariasi.
Kandungan humus tinggi.
c. Perairan eutrofikasi merupakan perairan yang tingkat kesuburanya tinggi
dengan beberapa ciri sebagai berikut:
Umumnya dangkal
Kandungan oksigen terlarut sedikit bahkan hampir tidak ada pada lapisan
hipolimnion .
Keanekaragaman algae rendah, densitas tinggi, produtivitas tinggi sering
didominasi oleh Cyanophiceae, sering terjadi peledakan pertumbuhan
algae.
14

Unsur hara tinggi, produktivitas hewan akuatik tinggi.


Menurut (Sukadi, 2007), klasifikasi tingkat kesuburan perairan secara
umum dan status trofik disajikan pada (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan berdasarkan unsur hara dan


biomassa fitoplankton (klorofil-a)
Parameter Klasifikasi kesuburan
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hypereutrofik
Rata-rata Total N (Ug/L) 661 753 1875 Tinggi

Rata-rata Total P 8,0 26,7 84,4 >200

Rata-rata 1 4,7 14,3 100-200>


Klorofil-a (ug/L)
Puncak konsentrasi 4,2 16,1 42,6 >500
klorofil-a (ug/L)
Sumber: UNEP-ELEC, Vol.3, 2001 dalam Sukadi, 2007

2.9. Faktor Fisika Perairan


2.9.1. Suhu
Suhu adalah parameter lingkungan perairan yang merupakan salah satu
parameter yang mengatur baik proses fisika maupun proses kimia yang terjadi di
dalam suatu perairan untuk mengetahui daya dukung. Suhu perairan akan
mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun
kecepatan reaksi kimia di dalam air.
Di air tawar suhu kolam air stabil akan menurun dengan bertambahnya
kedalaman jika suhu air lebih besar 40C. Peningkatan suhu juga menyebabkan
penurunan kelarutan gas dalam air. Menurut Effendi, (2003) Peningkatan suhu
menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga
menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.
Suhu dapat menyebabkan stratifikasi pada danau/waduk. Lapisannya di bedakan
antara lain; epilimnion adalah lapisan bagian atas yang lebih hangat, hypolimnion
adalah lapisan bagian bawah yang lebih dingin, dan metalimnion dengan
thermoklin di antara kedua lapisan tersebut (Goldman, dan Horne, 1983).
Thermoklin adalah lapisan air yang berada diantara lapisan permukaan yang lebih
15

hangat (epilimnion) dan lapisan dasar yang lebih dingin (hipolimnion) (Hehanusa
& Haryani, 2001).
Menurut Effendi (2003) menyatakan, pada lapisan thermoklin terjadi
penurunan suhu secara tajam. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk dalam
suatu perairan akan menentukan derajat panas perairan, yakni semakin banyak
sinar matahari yang masuk kedalam suatu perairan, semakin tinggi suhu airnya.
Namun semakin bertambahnya kedalaman, akan menurunkan suhu perairan
(Welch, 1980). Variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang stabil dimana
suhu < 40C. Pada kasus ini kolom air lebih dingin daripda diatasnya sehingga suhu
yang lebih rendah ditemukan di permukaan. Kolom air meskipun demikian, stabil
karena densitas air tawar meningkat dengan bertambahnya suhu pada suhu di
bawah 40C (Liaws, 1993). Ketiak terjadi stratifikasi suhu musim panas, danau
memasuki periode stagnan, sampai di mana air dihioliminium menjadi stagnan
selama musim panas.

2.9.2. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukan tingkat intensitas cahaya matahari yang
mampu menembus kolom air hingga mendukung proses fotosintesis fitoplankton.
Sinar matahari dibutuhkan oleh fitoplankton dan tumbuhan air untuk untuk
fotosintesis yang menghasilkan oksigen (Effendi., 2003). Kecerahan air
tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi
perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan sechi disk (true
color) dan warna tampak (apparent color) (Effendi, 2003).
Kecerahan perairan menurut (Parson & Takahashi, 1973) merupakan suatu
kondisi yang menggambarkan suatu kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk
menembus permukaan air sampai kedalaman tertentu. Bersarnya kecerahan suatu
perairan sangat tergantung pada warna air dan kekeruhan, dalam hal ini semakin
gelap warnanya akan semakin keruh, maka kecerahannya semakin rendah.
Kecerahan ditentukan secara visual dengan menggunakan piring sechi dan
nilainya dinyatakan dalam satuan meter atau persen nilai kecerahan sangat
dipengaruhi oleh cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi serta ketelitian
pengukuranya.
16

2.10. Faktor Kimia Perairan


2.10.1. pH
PH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan
yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Menurut Makereth et
al. (1989) pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan
alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa tidak terdeteksi. Makin
tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan
karbon dioksida bebasnya. Toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh
pH. Nilai pH normal suatu perairan danau adalah 6-9 (Goldman & Horne, 1983).
Senyawa amonium yang dapat terionisasi benyak ditemukan pada perairan dengan
pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Pada suasana alkalis (pH
tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi (unionized) dan
bersifat toksik. Amonia lebih mudah terserap kedalam tubuh organisme akuatik
dibandingkan amonium. Proporsi dari total amonia nitrogen yang tidak terionisasi
(NH3) akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH. Pengaruh dari pH bagi
konsentrasi amonia tidak terionisasi sangat tinggi dibandingkan pengaruh dari
suhu (Boyd, 1982). Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat
dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam.
Pada pH 4,5 -5,5 proses nitrifikasi akan terhambat (Novonty & Olem, 1994 dalam
Effendi, 2003). Selanjutnya Effendi, (2003) menjelaskan bakteri pada umumnya
tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu proses
dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan
alkalis. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil
dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Didalam
karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat (Moss, 1993), keadaan ini
juga bisa terjadi jika 1% dari karbon dioksida bereaksi dengan air, sehingga
membentuk asam karbonat (Cole, 1988).

2.10.2. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen )


Komponen yang paling penting bagi ekosistem danau atau waduk adalah
oksigen terlarut dalam air untuk metabolisme tumbuhan dan hewan akuatik.
17

(Lytras, 2007). Dinamika distribusi oksigen terlarut diperairan merupakan dasar


untuk mengetahui perilaku organisme yang tumbuh diperairan, kelarutan oksigen
umumnya dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Distribusi oksigen dalam kolom air
danau bervariasi saat fotosintetik berlangsung yang disebabkan oleh oksidasi
biochemichal dan kehadiran oksigen terlarut (Lytras, 2007).
Oksigen terlarut adalah salah satu parameter paling mendasar diperairan
karena mempengaruhi kehidupan organisme akuatik (Alabstar dan Liyod, 1980
dalam Hamilton dan Schaldov, 1994). Atmosfier bumi mengandung oksigen
sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam
perairan. Kadar oksigen yang terlarut diperairan alami bervariasi, tergantung pada
suhu, salinitas dan turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan
ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut
semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).
Proses fotosintesis mengahasilkan oksigen, yang merupakan input utama
di perairan yang subur (Seller dan Markland, 1987; Thornton et al. 1990). dan
perubahan kimia di sedimen interfase (Mortimer, 1971, Bostrim et al. 1982 dalam
Hamilton dan Schaldow, 1994). Fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse
oksigen diepiliminion waduk.
Oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang
terlarut di dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau
tumbuhan air lainnya di zone eufotik, serta difusi dari udara (APHA, 1989).
Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem kehidupan di
perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan
mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari fotosintesis.
Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan
organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA, 1989),
sehingga jika ketersedian oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan
lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus
akan menurunkan kualitas air. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara
harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing), dan
pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah
(effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).
18

Kadar oksigen terlarut diperairan yang sama dengan kadar oksigen teoritis
disebut kadar oksigen jenuh atau saturasi. Sedangkan kadar oksigen yang lebih
kecil dari kadar oksigen secara teoritis disebut tidak jenuh, yang melebihi nilai
jenuh disebut super saturasi. Kejenuhan oksigen diperairan dinyatakan dengan
persen saturasi (Jeffries & Mills 1996 dalam Effendi, 2003). Kandungan oksigen
terlarut di danau dapat menentukan daerah trofik. Perairan yang oligotrofik
menunjukan variasi yang kecil dari oksigen saturasi, sedangkan perairan yang
eutrofik kisaran oksigen saturasinya bisa mencapai 250%. Selain itu bahan
organik dari sumber alam atau dari domestik dan industri merupakan limbah yang
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kelarutan oksigen di perairan (Golman
& Horne, 1983).
Sumber oksigen terlarut di hipoliminium hampir tidak ada. Setelah
stratifikasi suhu yang permanen pada musim panas, danau akan mengalami
periode stagnan di bawah termoklin, dengan suhu yang rendah, densitas yang
lebih tinggi, lebih kental daripada lapisan atas, dimana gas-gas dan produk
dekomposisi terakumulasi (Welch, 1980). Sumber oksigen terlarut di perairan
yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi
oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi
sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Adsorpsi oksigen dari udara
ke air melalui dua cara yaitu: Difusi langsung ke permukaan air atau melalui
berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air tejun, turbulensi
(Wrlch, 1952). Sumber oksigen terlarut sebagian adalah aerasi permukaan (Seller
dan Markland, 1987). Susupan oksigen terlarut ke badan air dapat terjadi karena
inflow. Di waduk inflow yang utama masuk di bagian atas. Jika densitas inflow
berbeda dengan dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak
di waduk sebagai arus densitas.

2.10.3. Fosfat
Kadar fosfat yang tinggi dalam perairan melebihi kebutuhan normal
organisme akan menyebabkan eutrofikasi yang memungkinkan plankton
berkembang dalam jumlah melimpah kemudian akan mengalami kematian masal.
Kematian masal plankton akan menurunkan oksigen terlarut secara drastis dan
19

kondisi ini akan membahayakan biota yang dibudidayakan. Kadar fosfat perairan
yang aman dan baik adalah 0,2-0,5 mg/l (Mayunar et al., 1995). Ortofosfat adalah
bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik.
Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk Ortofosfat
sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting
dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor
pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont, 1980). Keberadaan
fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada
nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan
sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari
pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati.
Di alam biasanya fosfat berasal dari erosi batuan disebabkan perubahan
iklim, atau ekskresi manusia dan detergen serta pertanian atau penggunaan lahan
(Golterman, 1973). Pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat
dalam bentuk fosfat organik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari
penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal
dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik berasal dari makanan dan
buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis
menjadi fosfat organik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat
energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan
faktor yang menentukan produktivitas badan air.
Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya
terbentuk Ortofosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Menurut
Sutamihardja (1978) dalam Prihadi (2005) kandungan fosfat terlarut dalam
perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/L. Jika dalam suatu perairan
terjadi masukkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan
kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses
eutrofikasi atau keadan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan
plankton yang tidak terkendali.
Phosphor memiliki peran utama dalam mengendalikan produktivitas di
perairan tawar (Linkes, 1972) dan merupakan elemen pertama pembatas di
perairan. Rasio N:P bervariasi sebagai bahan dasar dalam struktur tubuh
20

fitoplankton (Lytras, 2007). Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas
sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut
(Ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Effendi,
2003).
Total P adalah salah satu nutrien yang penting untuk mengetahui mengenai
eutrofikasi. Fosfor sering digunakan sebagai kunci untuk menjelaskan kualitas
algae yang ada di danau. Soegiarto dan Birowo, (1976) menyatakan kandungan
fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah daripada lapisan bawahnya, sehingga
kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi
terjadinya proses penaikan masa air.
Fosfor merupakan unsur esensial bagi pembentukan protein dan
metabolisme sel organisme dan fosfor terdapat dalam bentuk senyawa orthofosfat
(P0430), metafosfat (P3O930 )dan polifosfat (PiO430) serta dalam bentuk organik
(Wardoyo, 1982). Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton
berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm (Bruno et al.1979 dalam Widjaja et al.1994).
Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai
fosfat rendah (0,00-0,02 ppm) akan dijumpai dominasi diatom terhadap
fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02-0,05
ppm) akan banyak dijumpai jenis Cholorohyceae, sedangkan pada perairan
dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophiceae
(Moyle 1946 dalam Kaswadji, (1976). Menurut (Hans W., Paerl et al. 2010)
Ledakan Cyanobacterial (Microcystis) mencerminkan ekosistem perairan tawar
terjadi eutrofikasi, karena perairan telah menunjukan peningkatan N & P
berlebihan. Upaya yang dilakukan dalam manajemen tradisional adalah
mengontrol terjadinya ledakan dengan cara pengurangan input Phospor.

2.10.4. Nitrogen Total


Nitrogen dan senyawa tersebar secara luas di biosfer. Lapisan atmosfer
bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung
nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai
penyusun protein dan klorofil. (Efendi, 2003). Total nitrogen adalah penjumlahan
dari nitrogen anorganik berupa NO3-N, N02-N, NH3-N yang bersifat terlarut dan
21

nitrogen organik yang berupa partikulat, dan tidak larut dalam air (Makereth et al,
1989). Nitrogen organik adalah bentuk nitrogen yang terikat pada senyawa
organik terutama nitrogen bervalensi tiga, biasanya berupa partikulat yang tidak
larut dalam air. Nitrogen organik mencakup protein, polipeptida, asam amino,
urea, dan senyawa lainnya. Nitrogen adalah nutrisi utama yang mempengaruhi
produktivitas perairan, Nitrogen terdapat dalam perairan danau dalam bentuk
nitrat dan ammonia. Konsentrasi kedua bentuk nitrogen tergantung pada
satratifikasi dan aktifitas biologis dalam kolom air. (Lytras, 2007).
Nitrogen yang terdapat di perairan tawar ditemukan dalam berbagai bentuk
diantaranya molekul N2 terlarut, asam amino, ammonia (NH3), amonium (NH44),
nitrit (NO2"), dan nitrat (NO3"). Sumber nitrogen alami berasal dari air hujan
(presipitasi), fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan limpasan dari daratan dan
air tanah (Wetzel, 1983). Goldman & Horne, (1983) menyatakan bahwa nitrogen
dapat berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri. Nitrogen di
perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri
atas amonia (NH3), amonium (NH4'K), nitrit (N02"), nitrat (N03"), dan molekul
nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino,
dan urea. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari proses pembusukan
makhluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida terdapat pada
semua makhluk hidup sedangkan sumber antropogenik (akibat aktivitas manusia)
adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan,
dan limbah domestik (Effendi, 2003).
Nitrogen ditemukan melimpah dalam bentuk gas di atmosfer, namun tidak
dapat digunakan secara langsung oleh organisme karena memerlukan energj yang
besar untuk memecah ikatan rangkap tiga gas nitrogen. Di perairan nitrogen
ditemukan dalam dua bentuk yaitu; nitrogen terlarut (disolved) dan tidak terlarut
(particulate) dan keduanya tidak dapat langsung digunakan oleh organisme yang
lebih tinggi, melainkan harus ditransformasikan terlebih dahulu oleh bakteri dan
jamur (Goldman dan Horne, 1983). Effendi, (2003) menjelaskan Bentuk-bentuk
nitrogen tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen
yaitu:
22

a. Asimilasi nitrogen anorganik (ammonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan


mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino
dan protein. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotrof dan
tumbuhan;
b. Fiksasi gas nitrogen menjadi amonia dan nitrogen organik oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh
beberapa jenis algae Cyanophyta (blue-green algae) dan bakteri;
c. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat dan nitrat. Proses oksidasi ini
dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8
dan pH < 7 berkurang secara nyata. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik,
menyukai suhu 30C.
d. Amomfikasi nitrogen organik untuk menghasilkan amonia selama proses
dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan
jamur. Autolisis (pecahnya) sel dan ekskresi amonia oleh zooplankton dan
ikan juga berperan sebagai pemasok amonia.
e. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit, dinitrogen oksida (N2O), dan
molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimum pada kondisi
anoksik (tak ada oksigen). Proses ini juga melibatkan bakteri dan jamur.
Dinitrogen oksida adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan
dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen adalah
produk utama dari proses denitrifikai pada perairan dengan kondisi anaerob.

Transformasi nitrogen yang tidak melibatkan faktor biologi adalah


volauisasi, penyerapan, dan pengendapan (sedimentasi). Sumber utama nitrogen
antropogenik di kegiatan domestik Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih
dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3 baru bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan
hewan. Proses ini akan meningkat pada danau yang telah mengalami eutrofikasi
(Goldman & Horne, 1983). Fiksasi nitrogen berdasarkan kedalaman mirip dengan
proses fotosintesis. Pada intensistas cahaya matahari yang tinggi proses fiksasi
akan terhambat pada permukaan, dan menjadi maksimum pada kedalaman
tertentu dan menurun drastis secara ekponensial dengan bertambahnya kedalaman.
Fiksasi nitrogen berkorelasi positif dengan konsentrasi bahan organik terlarut
yang terdapat pada perairan (Wetzel, 1983).Denitrifikasi tidak membebaskan
23

danau atau waduk dari input N berlebihan. Hasil menunjukan perlu mengurangi
nutrient yang masuk ke perairan baik N maupun P untuk mengendalikan
eutrofikasi jangka panjang hypereutrofik (Hans W. Paerl et al., 2010).

2.11. Faktor Biologi perairan


2.11.1. Produktivitas Primer
Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan fitoplankton dengan
produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton disuatu perairan tinggi, maka
perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi pula (Raymont,
1963). Odum (1971) mendefinisikan produktivitas primer sebagai derajat
penyimpanan energi dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis dan
kemosintesis dari produsen primer.
Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses
metabolik yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar
produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan
Barnabe, 2000). Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi
energi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Melalui proses ini
fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton
inilah yang disebut produktivitas primer. Pengukuran produktivitas primer
fitoplankton merupakan suatu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi
ekosistem perairan.

2.11.2. Klorofil -a
Klorofil adalah molekul komplek yang tersusun dari 4 cicin karbon
nitrogen yang mengelilingi satu atom Mg, dan bila Mg tersebut terlepas dari
krorofil (mati/terdegradasi), maka krorofil tersebut disebut phaeophitin atau
phaeofigmen. Klorofil a adalah klorofil yang dapat dilalui elektron, dalam hal ini
dengan adanya sinar matahari akan mengakibatkan elektron berpindah, dan
elektron ini selanjutnya diubah menjadi energi kimia yang berperan dalam
fotosintesis. Klorofil amempunyai kemampuan maksimum dalam menyerap sinar
matahari, kemampuan ini paling optimum dalam wilayah sinar merah yang
panjang gelombang 680 nm. Berdasarkan konsentrasi klorofil a (Ryding & Rast,
1989) mengklasifikasikan tingkat kesuburan perairan menjadi 3, yaitu jika suatu
24

perairan kandungan klorofil a-nya < 8 mg/m3 berarti perairan tersebut termasuk
perairan oligotrofik, jika konsentrasinya 8-25 mg/m3 dikategorikan pada perairan
mesotropik, dan jika mencapai 25 -27 mg/m3 masuk pada perairan eutrofik.
Klorofil-a merupakan 1-2 % dari berat kering seluruh organism fitoplankton
(APHA, 1980).

2.11.3. Plankton (Fitoplankton)


Pertumbuhan fitoplankton berinteraksi dengan serapan unsur hara
(Thomann, et al. 1987). Plankton adalah organisme renik yang bergerak melayang
dalam air atau kalaupun mampu berenang, kemampuan berenangnya sangat
lemah, pergerakannya selalu dipengaruhi oleh gerakan massa air. Pada dasamya
plankton dapat berupa tumbuhan (fitoplankton) dan juga berupa hewan
(zooplankton). Komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai diperairan
tawar berasal dari kelas Bacillarophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae,
Crysophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, Euglenophyceae, dan
Xanthophyceae. Kelas Cyanophyceae dan Crysophyceae merupakan jenis
fitoplankton dominan diperairan tawar yang tergenang (Ruttner, 1973).
Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat
menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar
produsen mata rantai makanan (Dawes, 1981). Kehadirannya disuatu perairan
juga dapat menggambarkan status suatu perairan apakah berada dalam keadaan
subur atau tidak.
Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa
parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan kelimpahan
fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap
perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi
(Reynolds et al.,1984). Muatan unsur hara yang berlebihan dapat merangsang
pertumbuhan fitoplankton dengan cepat dan berlimpah sehingga dapat
mempengaruhi fluktuasi dan kelimpahan fitoplankton di perairan. Fitoplankton
sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh
organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan penting dalam
menunjang produktivitas perairan.
25

Keberadaan fitoplankton dapat dilihat berdasarkan kelimpahannya di


perairan, yang dipengaruhi oleh parameter lingkungan perairan tersebut.
Komposis dan kelimpahan fitoplankton akan berbeda di setiap lapisan kedalaman
sebagai akibat dari perbedaan kondisi perairan pada masing-masing lapisan
tersebut. Kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan sangat mpengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan yang meliputi faktor fisika, kimia, dan biologi, yakni
suhu, kekeruhan, kecerahan, Ph, gas terlarut, unsur hara serta dipengaruhi pula
oleh adanya interaksi dengan organisme lain. Proses eutrofikasi pada sistem
perairan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis fitoplankton. Kondisi
ini mengakibatkan dominasi dari jenis tertentu dan tumbuh secara berlebihan
(blooming). Blooming dapat menyebabkan komposisi fitoplankton berbeda di
setiap kedalaman. Pada kondisi demikian fitoplankton yang terdapat pada masing-
masing lapisan tersebut juga berbeda.
Menurut Davis, (1955) pada suatu perairan pada lokasi tertentu sering
didapat jumlah individu plankton yang berlimpah, sedangkan pada lokasi lainnya
diperairan yang sama, jumlahnya sangat sedikit. Keadaan ini merupakan suatu
petunjuk bahwa distribusi plankton di suatu perairan belum tentu homogen.
Selajutnya dikatakan bahwa kelimpahan fitoplankton terbesar ada pada beberapa
centi meter di bawah permukaan air.

2.12. Kesejahteraan Rakyat


Kesejahteraan adalah suatu ukuran tingkat kehidupan masyarakat yang
layak di mana tingkat kesejahteraan tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
dapat diukur berdasarkan variabel pendapatan. Kegiatan-kegiatan yang mencakup
berbagai upaya baik langsung maupun tidak langsung yang ditujukan untuk
pengembangan sumberdaya manusia, perbaikan kualitas kehidupan,
penyembuhan, dan pencegahan masalah-masalah sosial dipandang sebagai
kegaiatan kesejahteraan sosial. Kebutuhan manusia pada dasarnya dibedakan
menjadi dua aspek yaitu kebutuhan jasmaniah bersifat fisiologis untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan, sehingga diperlukan makan, pakaian, tempat
tinggal, pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup. Sedangkan aspek
26

rohaniyah dipenuhi melalui pemenuhan rasa aman, ketentraman dan perlindungan


baik hubungan antar manusia maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Dimensi kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat visible, jika dilihat dari
aspek tertentu. Menurut BPS, (2000) indikator kesejahteraan rakyat diamati dari
berbagai aspek spesifik yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, kesejahteaan,
ketenagakerjaan, konsumsi rumah tangga dan perumahan. Masyarakat
dikategorikan miskin jika pengeluaran perkapita <Rp.925.564 pengeluaran
keluarga/bulan (BPS, 2000). Dalam penelitian ini kesejahteraan rakyat difokuskan
pada masyarakat nelayan tangkap (nila jaya) Waduk Malahayu. Berkembangnya
kegiatan perikanan tangkap dan minawisata, pengembangan KJA di Waduk
Malahayu diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena
terjadi peningkatan pendapatan ekonomi karena terdapat variatif usaha tersebut.
Tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan dapat diukur dari tingkat
pendapatan yang dibandingkan dengan kebutuhan minimal untuk kebutuhan hidup
layak. Selain aspek kesehatan, pendidikan, pendapatan dan kondisi perumahan,
rasa aman merupakan kebutuahan manusia yang makin mendesak sejalan dengan
kemajuan ekonomi. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Nasional (1999) diacu
dalam Sulaksmi (2007) menyebutkan bahwa keluarga sejahtera adalah: (1)
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggota baik sandang, pangan dan
papan, sosial maupun agama. (2) keluarga yang mempunyai penghasilan antara
penghasilan dengan jumlah anggota keluarganya dan (3) keluarga yang dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan
masyarakat sekitar, beribadah khusuk, disamping terpenuhinya kebutuhan
pokoknya.
Disamping indikator-indikator tersebut di atas, untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat nelayan juga dinyatakan dalam tingkat kemiskinan.
Rumah tangga miskin ditentukan berdasarkan sejumlah variabel yang berkaitan
dengan masalah kemiskinan yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok ciri tempat tinggal:


a. Luas lantai per kapita/anggota rumah tangga
27

b. Jenis lantai
c. Fasilitas jamban
d. Fasilitas air bersih
2. Aspek Pangan (makanan) yaitu variasi konsumsi lauk pauk dalam seminggu
3. Aspek sandang yaitu kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel setahun
untuk setiap anggota rumah tangga
4. Kepemilikan aset yaitu ada tidaknya meja dan kursi tamu.

Keberadaan Waduk Malahayu memberikan dampak baik langsung


maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya khususnya masyarakat
nelayan tangkap yang berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarejo Kabupaten
Brebes. Untuk menganalisis kesejahteraan masyarakat nelayan tangkap (Nila
Jaya) yang mengambil manfaat dengan keberadaan Waduk Malahayu, maka
dilakukan survei untuk memperoleh data pendapatan nelayan tangkap setiap hari,
bulan dan tahun.
28

3. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Waduk Malahayu, Jawa Tengah. Kegiatan
penelitian meliputi dua macam kegiatan yakni kegiatan di lapangan pengambilan
data primer dan sekunder dan kegiatan di laboratorium. Kegiatan di laboratorium
berupa analisis kualitas air yang dilakukan di Laboratorium Pengujian
Produktivitas dan Lingkungan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Kegiatan di lapangan
dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada akhir Agustus sampai awal bulan
November 2011.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh air dan
plankton yang diambil dari setiap stasiun pengamatan, air destilasi, dan bahan
kimia baik untuk analisis kualitas air, maupun untuk keperluan pengawetan.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah GPS (Global
Positioning System). Kemmerer water sampler, Secchi disk, botol sampel, cool
box, peralatan analisis kimia di laboratorium, pH meter (YSI 556), DO meter
(YSI 556), plankton net 35 milimikron.

3.3. Metode Penelitian


3.3.1. Penentuan Stasiun
Lokasi pengambilan sampel terdiri atas 3 stasiun yang dianggap mewakili
semua lokasi waduk sebagai berikut: outlet, kawasan penebaran benih , inlet.

Tabel 3. Lokasi pengambilan sampel selama penelitian


Stasiun Letak Astronomi
BT LS
0 0
1. Outlet 108 4829,9 07 0226,4
2. Reservat/Daerah penebaran benih 10804922,2 0700214,9
3. Inlet 10804908,6 0700148,9
29

Gambar 3. Stasiun Peta Waduk Malahayu


30

3.3.2. Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi data kualitas perairan yang terdiri dari parameter fisika, kimia dan
biologi yang diperoleh dari pengukuran di lapangan, wawancara dengan
menggunakan kuisioner. Data sekunder meliputi data fisik waduk, peta
lingkungan waduk. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebanyak
tiga kali pengambilan sampel, pada tiga stasiun (outlet, daerah penebaran benih,
inlet) dan tiga lapisan perairan (0 m, 2 m dan 6 m). Pengambilan pertama pada
bulan agustus, pengambilan kedua pada bulan September dan pengambilan ketiga
pada bulan oktober 2011. Kondisi pengambilan sampel dilakukan pada musim
kemarau.

Tabel 4. Parameter, metode dan peralatan penelitian.

No Parameter Satuan Metode dan Alat Tempat

I. Fisika
0
1 Suhu C Thermometer In situ
2 Kecerahan M Visual,secchi disc In situ

II. Kimia
1 pH - pH meter In situ
2 DO mg /l DO meter In situ
3 Ortofosfat mg /l Asorbic acid Laboratorium
4 Nitrat-Nitrogen mg /l Brucine sulfat Laboratorium
5 Amonia-Nitrogen mg/l Phenate method Laboraotorium
6 Nitrogen-total mg/l Phenate method Laboratorium
7 Fosfat-total mg/l Asorbic acid meth Laboratorium

III Biologi
1 Produktivitas primer Metode oksigen Laboratorium
2 Fitoplankton Plankton net Laboratorium
3 Klorofil-a Spektofotometer Laboratorium
31

3.3.3. Pengambilan Contoh Air


Proses pengambilan contoh air dan specimen fitoplankton diambil dari
setiap titik lapisan fotik atau kolom air dengan menggunakan Van Dorn Water
Sampler berkapasitas 2 liter. Pembagian kedalaman pada station (1). dengan
kedalaman 0 meter, 2 meter, 6 meter. Station (2). dengan kedalaman 0 meter, 2
meter, 6 meter. Station (3). 0 meter, 2 meter, 6 meter. Pembagian beberapa
kedalaman tersebut dimaksudkan karena distribusi vertikal cahaya akan semakin
berkurang dengan bertambahnya kedalaman serta distribusi vertikal unsur hara
konsentrasinya selalu bervariasi dengan kecendrungan akan semakin besar dengan
bertambahnya kedalaman.
Contoh air tesebut didistribusikan untuk analisis struktur komunitas
fitoplankton sebanyak 1000 ml, biomassa (klorofil-a) sebanyak 250 ml, dan untuk
analisis oksigen terlarut, fosfat-total, ortofosfat, nitrogen-total, nitrat-nitrogen,
ammonium, fitoplankton dan klorofil-a sebanyak 50 ml. Parameter suhu, pH dan
produktivitas primer dapat diukur langsung di lapangan.

3.3.4. Perlakuan Contoh Air.


Contoh air yang telah diambil hendaknya ditangani dengan baik selama
tarnsportasi ke laboratorium pengujian untuk diuji setiap parameter yang
dikehendaki. Caranya adalah contoh air disimpan dalam Cool box berisi es (2-
40C) dan sebagian diberi bahan pengawet.
Untuk analisis struktur komunitas fitoplankton, contoh air diawetkan
dengan larutan lugol (0,3 ml/100 ml) dan untuk analisis biomassa diawetkan
dengan menggunakan MgCO3 (Vollenweider, 1974). Ortofosfat disimpan di Cool
box tanpa diberikan pengawet. Untuk analisis nitrat, nitrit, ammonia, ammonium
diberi pengawet asam sulfat (APHA, 2005). Sedangkan untuk analisis oksigen
terlarut, pH dan suhu air ditera secara langsung.

3.3.5. Analisis Contoh Air.


Metode dan peralatan yang digunakan untuk mengukur parameter air
disajikan ke dalam Tabel 1. Teknis analisis untuk pengukuran contoh air dan
analisis fitoplankton mengikuti petunjuk (APHA, 2005). Suhu air, kecerahan, pH,
32

oksigen terlarut (DO) dianalisis secara in situ. Sedangkan analisis komunitas


fitoplankton, ortofosfat, fosfat-total, nitrogen-total, nitrat-nitrogen, ammonium
dilakukan di laboratorium.

3.4. Analisa Data


3.4.1. Analisis Produktivitas Primer
Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol
terang-botol gelap. Prinsip kerja metode adalah mengukur perubahan kandungan
oksigen dalam botol terang dan botol gelapyang berisi contoh air setelah
diinkubasikan pada perairan yang menndapat sinar matahari.
Produktivitas primer bersih dengan nilai oksigen terlarut dikonversi
kedalam satuan mgC/m/jam (Umaly dan Cuvin 1988) sebagai berikut:

Dimana:
NPP = Produktivitas primer bersih (mg C/m3/jam)
O2BT = Oksigen pada botol terang (BT) setelah inkubasi (mg/l)
O2BA = Oksigen pada botol inisial (BI) (mg/l)
PQ = Photosintetic Question = 1,2; dengan asumsi bahwa hasil
metabolism sebagian besar didominasi oleh fitoplankton
t = Waktu inkubasi (jam)
1000 = Konversi liter menjadi m3
0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi carbon (=12/32)

Catatan: PQ meruapakan perbandingan O2 yang dihasilkan dengan CO2 yang


digunakan melalui proses fotosintesis. Nilai PQ berkisar 1,1-1,3 (Ryther 1965 in
Parsons et al. 1984; Lalli dan Parsons 1973).
33

3.4.2. AnaIisisis Kuantitatif Plankton


Analisa kuantitatif plankton meliputi perhitungan jumlah individu atau
kelimpahan yang dinyatakan sebagai jumlah individu plankton per satuan volume
air (APHA, 1989). Untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik struktur
komunitas fitoplankton antar zona dan lapisan fotik perairan Waduk Malahayu,
dilakukan dengan pendekatan kelimpahan sel dan indeks biologi (indeks
diversitas, ekuitabilitas dan dominasi).

3.4.3. Analisis Kelimpahan Sel


Kelimpahan fitoplankton dinyatakan dalam jumlah sel perliter. Penentuan
kelimpahan sel fitoplankton dilakukan dengan menggnkan metode (APHA, 1989),
adalah sebagai berikut :

N = n x A/B x C/D x 1/E

Keterangan:
N = Kelimpahan total fitoplankton
n = Jumlah rataan total individu
A = Luas gelap penutup (mm2)
B = Luas satu lapang pandang (mm2)
C = Volume air terkonsentrasi (ml)
D = Volume air (ml)
E = Volume air yang disentrifyus (1)

3.4.4. Analisis Indeks Diversitas


Indeks diversitas Shanon-Weiver yaitu suatu perhitungan secara
matematik yang menggambarkan analisis informasi mengenai jumlah individu
serta beberapa banyak jenis yang ada dalam suatu komunitas. Indeks diversitas
Shanon dan Weaver dapat diperhitungkan sebagai berikut:
34

Keterangan:
H = Indeks diversitas Shannon-Weiver
Pi = ni/N
ni : = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah seluruh individu.
Jika nilai H lebih kecil dari 1,0 berarti keanekragaman komunitas rendah,
antara 0,1-3,0 berarti keanekargaman komunitas rendah,antara 0,1-3,0 berarti
keanekaragaman sedang, dan jika lebih besar dari 3,0 berarti keankeragaman
tinggi. Penggunaan indeks keanekaragaman bertujuan untuk mengetahui
perbandingan antara jumlah spesies dengan jumlah individu (Odum, 1971).

3.4.5. Analisis Indeks Keseragaman (E) Plankton


Indeks keseragaman plankton dihitung dengan menggunakan rumus Pielou
(1975) sebagai berikut:

Keterangan:
E = Indeks Keseragaman
H' = Indeks Keanekaragaman.
H,maks= 0 Ln S
S = jumlah spesies.
Indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E, semakin
kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap
spesies tidak sama dan ada kecendrungan terjadi dominasi oleh spesies satu
spesies dari satu jenis yang ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang
mendominasi antar jenis yang ada (Odum, 1971).
35

Untuk melihat adanya dominasi oleh spesies tertentu pada suatu populasi
digunakan indeks dominasi Simpson yaitu :

Indeks dominasi berkisar antara 0-1, bila D mendekati 0 berarti dalam


struktur komunitas biota tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi
spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang
sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1971).
Hubungan antara H, E, dan D adalah apabila nilai indeks keanekaragaman (H)
spesies tinggi berarti nilai keseragaman (E) rendah dan tidak ada spesies yang
mendominasi spesies lainnya (rendah).

3.4.6. Analisis Klorofil-a


Contoh air diambil sebanyak 1 liter dan dimasukan ke dalam botol
polietilen kapasitas 1 liter (ditutup rapat dengan plastik hitam) dan disimpan
dalam box ice bersuhu 2-4 derajat celsius untuk dianalisis di laboratorium.
Konsentrasi klorofil-a diukur dengan menggunakan spektofotometer. Konsentrasi
klorofil a dihitung dengan menggunakan persamaan menurut APHA (1989),
sebagai berikut :

Dimana : V1 = Volume yang diekstrak


Keterangan:
V2 = Volume sampel (M3)
664b = Abs. pada 664 nm-abs.pada 750 nm, sebelum pengasaman
665a = Abs. pada 665 nm-abs.pada 750 nm,setelah pengasaman
I = Panjang kuvet (cm).
36

3.4.7. Kandungan toleransi fosfat-total.


Kandungan fosfat-total, yang dapat ditolelir di peraiaran budidaya ikan
KJA, dapat diketahui dengan menggunakan analisis hubungan klorofil-a, dengan
fosfat-total. Nilai klorofil-a yang digunakan pada stasus peraiaran eutrofik. Untuk
mengetahui nilai fosfat-total yang dapat ditolelir di perairan (nilai pf), nilai pf
digunakan dalam menentukan daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya ikan
sistem KJA, semakin besar fosfat-total yang ditolelir diperairan (pf), maka
semakin besar daya dukung perairan. Nilai fosfat-total yang dapat ditolelir dalam
perairan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Log (klorofil a) = -1,09
+ 1,46 Log Pt. (Effendi, 2003).

3.4.8. Analisis Daya dukung perikanan (ranching).


Daya dukung perikanan ranching, dapat diketahui dengan menggunkan
pendekatan, analisis kandungan produktivitas primer di suatu perairan. Hasil
analisis, dapat diketahui kapasitas perairan untuk memprodukasi hasil tangkapan
serta dapat diketahui jumlah benih yang layak ditebarkan. Perhitungan dengan
menggunakan pendekatan model Beveridge, (1984) .

Data tentang produktivitas primer, diperoleh dari hasil monitoring


Produktivitas Primer di perairan Waduk Malahayu selama tiga kali pengambilan
sampel di musim kemarau (bulan agustus, bulan September dan bulan oktober
2011), dengan menggunakan metode botol gelap dan terang pada setiap stasiun (
satsiun outlet, satsiun penebaran benih dan satsiun inlet) dengan tiga lapisan
perairan (0 m, 2 m dan 6 m). Hasilnya kita dapat menghitung produktivitas primer
bruto tahunan (annual gross primery production) = pp (g C/m2/th) daerah yang
akan digunakan.

Nilai tersebut kita konfersikan pp menjadi potensial panen ikan tahunan=


FY dengan menggunakan tabel konversi sesuai nilai persen yang telah ditetapkan
untuk merubah karbon planktonik menjadi karbon ikan. Dalam hal ini
diasumsikan kandungan fish karbon = 10% berat basah ikan.
37

Tabel 4. Konversi Effisiensi pp dengan areal ikan yang dapat dipanen pada
perairan dengan produktivitas yang berbeda, (Beveridge,1984).

PP(gC/m2/th) % konfersi Keareal ikan Nilai %


(g ikan C/m/t)
<100 1-1,2
1000-1.500 1.2-1.5
1.500-2.000 1.5-2.1
2.000-2.500 2.1-3.2 2.5
2.500-3.000 3.2-2.1
3.000-3.500 2.1-1.5
3.500-4000 1.5-1.2 1.5
4.000-4.500 1.2-1.0
>4.500 -1.0

3.4. 9. Analisis Daya Dukung Budidaya Ikan KJA


Analisi data daya dukung untuk penerapan skenario pengmbangan KJA
digunakan dengan pendekatan Model Beveridge, (1996) Daya Dukung
Lingkungan perairan bagi pengembangan budidaya intensif dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Tentukan/ ukur [P], berdasarkan pemantauan, misalnya [P]i, sebelum
kegiatan budidaya ikanKJA. Sample yang representatif diperoleh dari badan
air yang diteliti
2. Tentukan [P]f maksimum yang dapat diterima, setelah nanti ada kegiatan
budidaya keramba jaring apung .Penetuan digunakan rumus hubungan
klorofil-a dengan Produktivitas primer. Nilai klorofil pada perairan
eutrofikasi(nilai maksimum). Log (klorofil a) = -1,09 + 1,46 Log Pt.
3. Menentukan kapasitas badan air untuk budidaya secara intensif [P], yaitu
selisih antara [P] sebelum dimanfaatkan untuk budidaya [P], dengan [P]
maksimum yang dapat diterima [P]f setelah keberadaan KJA, sehingga:

P= [P]f-[P]i

= [P]f-[P]i
38

Oleh karena [P], berhubungan dengan beban (P) dari keramba budidaya
ikan (Lfish), Luas danau (A), serta kemampuan perairan untuk menahan
beban loading (p), yaitu fraksi (L fish) yang ditahan sedimen.

[P] = Lfish /(1-Rfish)/z.

Lfish=[P].z. /(1-Rfish)

/(1-Rfish)
Lfish = P loading dari jaring apung
= Koefisien flashing rate air danau
Rfish merupakan parameter yang sulit diestimasi, Philips et al., (1995), untuk
jarring apung tilapia dan carp sekitar 45-55% dari total P loading akan hilang
sebagai dampak pengendapan partikel padat (fese dan sisa pakan). Oleh
karena itu hanya 45-55% total P dalam bentuk terlarut yang ada dalam
perairan sebagai limbah budidaya.
Rfish dapat dihitung sbb.

Rfish= X+[(l-x)R]

Dengan :
R fish= Proporsi Total P yang hilang secara permanen kesedimen
X = Proporsi total P yang masuk kesedimen secara tetap sebagai hasil
deposisi solid(0,5-0,55)
R = Proporsi total P terlarut dalam sediemn = 1/1+ p05) untuk
tambak/reservoir=0,76
4. Jika total P loading yang diizinkan yang dapat diterima sudah dihitung atau
ditentukan, Lfish sudah dihitung, maka produksi ikan (ton/tahun) dalam
budidaya keramba intensif dapat diduga dengan cara membagi Lfish dengan
limbah total P rata-rata setiap ton ikan yang diproduksi.
5. Z dapat dihitung dengan Z= V/A (z= kedalaman rata-rata, V= Volume
perairan, A= Luas area perairan.
6. =Q/V (Q= Rata-rata volume yang mengalir keluar dari danau.
39

3.4.10. Analisis Kesejahteraan Masyarakat Nelayan.


Tingkat kesejahteraan pada penelitian ini dibedakan atas tiga kelompok
yaitu; tinggi, sedang, rendah. Indikator ini diadopsi dari indikator kesejahteraan
BPS yang diacu dalam Agusniatih (2002). Tingkat kesejahteraan masyarakat
nelayan tangkap dilihat berdasarkan indikator-indikator kesejahteraan yang
meliputi tingkat pendapatan, tingkat konsumsi/ pengeluaran, Pendidikan, Kondisi
perumahan. Indikator-indikator tersebut dianalisis secara deskriptif dengan sistem
skor yang kemudian di kelompokan berdasarkan kategori-kategori tertentu.
Indikator kesejahteraan untuk tingkat pendapatan diukur dari besarnya
pendapatan RT per kapita dalam sebulan dibagi kedalam tiga kategori interval
yang sama dalam satuan rupiah, sebagai berikut:
Pendapatan tinggi dengan nilai > Rp.433.333, pendapatan sedang Rp.216.666-
Rp.433.333(skor 2) sedangkan pendapatan rendah< Rp.216.666 (skor 1).
Pengeluaran tinggi >Rp.140.000. (skor 3), pengeluaran sedang Rp.93.333-
Rp.140.000 (skor 2), sedangkan pengeluaran rendah <Rp.93.333 (skor 1). Tingkat
pendidikan keluarga >60% jumlah keluarga tamat SD kategori tinggi, (skor 3),
30-60% jumlah anggota keluarga tamat Sd kategori sedang, (skor 1), kesehatan
keluarga <25% jumlah anggota keluarga sering sakit kategori baik (skor 3), 25%-
50% jumlah keluarga sering sakit kategori sedang (skor 2), sedangkan >50%
jumlah keluarga sering sakit kategori buruk (skor 1). Tingkat kondisi perumahan
permanen skor (15-21), semi permanen (skor10-14) dan tidak permanen (skor 5-
9). Tingkat kesejahteraan tinggi jika skor 14-18, tingkat kesejahteraan sedang jika
skor (10-13), dan tingkat kesejahteraan rendah jika (skor 6-9). Penentuan ketiga
klasifikasi tingkat kesejahteraan tersebut adalah dengan melihat jumlah skor
tertinggi dikurangi skor terendah yang kemudian dibagi menjadi tiga kategori
dengan interval yang sama secara statistik.

3.4.11. Analisis Pendapatan


Untuk mengetahui variabel yang memberikan peluang terhadap
pendapatan dengan menggunakan analisis regresi logistik ordinal untuk
40

mengetahui ods ratio dari variabel kerja (kerja sampingan), dan variabel jumlah
hasil tangkapan (jumlah ikan yang ditangkap).
Persamaan sebagai berikut:

exp 0 x
1 1 ... p xp
x
1 exp 0 1 1x ... p xp

Keterangan:
Phi(x)= Penduga logistik, sebagai fs linier dari peubah penjelas
B0= Intersep konstanta
Bp= Menyatakan parameter xp.
41

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Fisik Waduk Malahayu


Waduk Malahayu merupakan salah satu dari 24 waduk besar di Jawa
Tengah, dan sebagai waduk utama yang berfungsi sebagai penyokong kegiatan
pertanian di Kabupaten Brebes. Waduk tersebut menampung air dari sungai
Cikabuyutan yang terletak pada daerah aliran sungai kabuyutan. Waduk Malahayu
terdiri dari tiga DPS irigasi yaitu, DPS Jengklok, DPS Malahayu dan DPS
Babakan.
Waduk Malahayu menyuplai air untuk 14.247 hektar sawah yang berada
pada lima kecamatan yakni Kecamatan Banjarharjo, Kecamatan Losari,
Kecamatan Tanjung, Kecamatan Kersana dan Kecamatan Ketanggungan. Debit
air Waduk Malahayu yang terletak di Kecamatan Banjarejjo, Kabupaten Brebes
mulai menyusut. Saat dibangun tahun 1935 dasar bendungan pada elevasi rata-
rata + 32,00 m. Tahun 2002 diketahui terjadi pengendapan yang besar sehingga
elevasi dasar bendungan rata-rata menjadi -44,00 m. Dalam kondisi banjir,
elevasi dan muka air waduk mencapai 70,20 hektar. Volume air pertama dibangun
adalah 69.074,000 m3. Kondisi volume air saat ini tinggal 37.047,664 m 3, dengan
endapan lumpur 3.999,336 m3. Kondisi ini mengakibatkan usia efektif waduk
yang awalnya 150 tahun, kini diperkirakan hanya 50 tahun lagi. Widyayanti,
(2007).
Kondisi perubahan fisik juga dipengaruhi oleh laju sedimen dan tingginya
pengendapan lumpur yang secara terus menerus, dan berlangsung lama seperti
terlihat saat ini. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas
perairan Waduk Malahayu, sehingga kedepan perairan waduk tidak dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Upaya yang harus dilakukan, untuk mempertahankan kuantitas dan
kualitas perairan, agar kembali sebagaimana mestinya untuk pemanfaatan yang
berkelanjutan adalah mengembalikan debit volume air yang hilang sekitar 50%.
Proses dilakukan dengan pola kerjasama semua pihak, masyarakat, nelayan
tangkap dan stake holder lainnya bersama Pemerintah Kabupaten Brebes dan
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dalam proses penggerukan lumpur di dasar
perairan dan perbaikan kondisi fisik waduk.
42

4.2 Kualitas Perairan Waduk Malahayu


4.2.1. Parameter fisika-kimia perairan

Pengamatan suhu di perairan Waduk Malahayu berkisar 26-29oC, yang


diperoleh dari nilai rata-rata pengamatan setiap stasiun (stasiun 1, 2, 3). Hasil
pengamatan suhu di seluruh stasiun menunjukan, suhu perairan tertinggi
terdapat pada stasiun 3(inlet) dengan nilai suhu 29 oC, dan terendah 26 oC terdapat
pada stasiun 1(outlet) dan 2 (penebaran benih). Pada lapisan perairan 0 m, 2 m
dan 6 m, suhu tertinggi terdapat pada bagian permukaan perairan 0 m dengan
nilai rata-rata 29 oC dan terendah terdapat pada kedalaman perairan 6 m di stasiun
2 dengan nilai rata-rata 26 oC. Hasil tersebut menunjukan bahwa suhu setiap
stasiun dan lapisan di perairan Waduk Malahayu tidak berbeda signifikan, dan
cenderung menyebar merata. Menurut Effendi, (2003) kisaran suhu optimum
untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30oC. Berdasarkan definisi
ini maka dapat dikatakan perairan Waduk Malahayu di musim kemarau memiliki
kandungan suhu yang masih dapat ditolelir, karena nilai suhu yang diamati
berada dalam kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton dan
produktivitas perairan.
Pengamatan nilai kecerahan di perairan Waduk Malahayu berkisar 83-146
cm, yang ditunjukan dengan hasil pengamatan setiap stasiun dan lapisan perairan.
Nilai kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 1(116-146 cm), dan terendah
terdapat pada stasiun 3 (83-111 cm). Hasil pengamatan kecerahan pada setiap
stasiun menunjukan tingkat kecerahan perairan Waduk Malahayu yang rendah,
rendahnya tingkat kecerahan ini disebabkan karena tingginya kandungan material
yang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik, masukan jasad renik, detritus dan
bahan organik dan anorganik yang masuk ke perairan, melalui aliran sungai
cikabuyutan dan cisanggarung. Limpasan run off dari kegiatan pertanian dan
perkebunan yang berlangsung setiap saat masuk ke perairan waduk, dapat
menghalangi penetrasi cahaya matahari masuk ke perairan.
Pengamatan kecepatan arus pada stasiun 1 dan 3 relatif tinggi, berkisar
1,5 m/5 dt hingga 1,5 m/7 dt. Tingginya kecepatan arus pada stasiun 1 dan 3
diduga karena letak stasiun yang lebih terbuka, yang dapat dipengaruhi oleh
43

gerakan angin. Sedangkan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 2(1,5
m/7 dt), rendahnya kecepatan arus pada stasiun 2 karena letak bagian ini lebih
terlindung.
Pengamatan nilai pH di perairan Waduk Malahayu berkisar 6,9-7,8 dan
nilai pH setiap stasiun dan lapisan perairan tidak berbeda signifikan, sehingga
dapat dikatakan relatif menyebar merata. Hasil pengamatan ini, dapat ditunjukan
dengan nilai pH sebagai berikut: Pada stasiun 1(outlet) nilai rata-rata 7,6 stasiun
2(penebaran benih) nilai rata-rata pH 7,3 dan stasiun 3(inlet) nilai rata-rata pH
7,4. Sedangkan untuk pengamatan berdasarkan lapisan perairan, nilai pH terjadi
penurunan secara merata seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Nilai
tertinggi terdapat pada permukaan perairan 0 m dengan nilai pH 7,7 pada perairan
dengan kedalaman 2 m nilai rata-rata pH 7,4 dan pada perairan dengan kedalaman
6 m nilai rata-rata pH 7,1.
Pengamatan nilai rata-rata pH yang diperoleh tersebut diatas menunjukan
bahwa, nilai pH di perairan Waduk Malahayu berfluktuasi sangat kecil dan
masih berada dalam kondisi stabil dan dapat menunjang kehidupan fitoplankton.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Pescod, 1973) bahwa
kehidupan fitoplankton dalam suatu perairan dengan konsentrasi nilai pH yaitu
6,5-8,5.
Pengamatan konsentrasi oksigen terlarut (DO) di perairan Waduk
Malahayu, yang ditujukan dengan nilai selama pengamatan pada tiga stasiun dan
lapisan perairan. Nilai pengamatan (DO) diperoleh berkisar antara 4,6-7,2 mg/l.
Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 3 (inlet) dengan nilai konsentrasi (6,2
mg/l), dan terendah terdapat pada stasiun 2(penebaran benih) dengan nilai (5,66
mg/l), pengamatan pada tiap lapisan perairan, nilai tertinggi terdapat pada bagian
permukaan perairan 0 m dengan konsentrasi (7.0 mg/l) dan terendah terdapat pada
lapisan perairan 6 m dengan konsentasi (4.9 mg/l).
Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut (DO) selama pengamatan
menunjukan pola kecenderungan yang hampir sama pada ke 3 stasiun dan lapisan
perairan, sehingga dapat dikatakan kandungan DO diperairan Waduk Malahayu
relatif (homogen) dan cenderung terdistribusi merata dan menurun secara vertikal.
Pengamatan nilai konsentrasi DO dikategorikan sedang, hal ini diduga telah
44

dimanfaatkan oleh benih ikan (ranching) dalam proses respirasi. Nilai


pengamatan kandungan konsentrasi fisika kimia perairan di Waduk Malahayu
dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kisaran parameter fisika-kimia perairan pada stasiun penelitian.

ST /Var I (Outlet) II (Reservat) III (Inlet)

Suhu(oC) 27-28 26-27 27-29


Kecerahan (cm) 116-146 91-116 92-111
Kecepata arus 1,5 m/7 dt 1,5m/8 dt 1,5m/5 dt
PH 7,41-7,81 6,95-7,85 5,33-6,97
Desolved
Oksigen (mg/l) 5,0-7,26 4,64-6,81 5,3-6,9

4.2.2. Unsur hara perairan


Unsur hara N dan P merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme
peraiaran (plankton). Pengamatan unsur hara di perairan Waduk Malahayu
meliputi (nitrogen-total, nitrat-nitrogen, ammonium- nitrogen, fosfat-total,
ortofosfat).
Hasil pengamatan untuk nilai nitrogen-total pada setiap stasiun dan
kedalaman rata-rata berkisar (0,1-0,5 mg/l). Pengamatan setiap stasiun, diperoleh
nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai berkisar (0,1-0,5 mg/l) dan
terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai berkisar (0,13-0,19 mg/l).
Hasil pengamatan tersebut diatas, mencirikan kandung nitrogen-total di
perairan Waduk Malahayu relatif sedang dan (homogen), karena hasilnya
ditemukan nitrogen-total terdistribusi merata secara vertikal. Kondisi ini diduga
masa air peraiaran Waduk Malahayu mengalami pencampuran yang merata,
sehingga setiap lapisan perairan memiliki kandungan konsentarsi nitrogen-total
yang hampir sama. Faktor lain adalah kondisi di musim kemarau panjang yang
terjadi di bulan (agustus, september, november). Musim kemarau yang panjang
sehingga terjadi pendangkalan perairan waduk yang diikuti dengan tingginya
kecepatan arus 1,5 meter/5 dtk yang dapat mengerakan beban limbah organik dan
45

anorganik, limbah pertanian, runn off yang terakumulasi dalam perairan.


Kandungan nitrogen-total di perairan Waduk Malahayu, juga diduga berasal dari
amonia yang teroksidasi menjadi nitrat karena ditemukan perairan yang dangkal
tersedia cukup oksigen, untuk proses oksidasi. Berdasrkan hasil pengamatan
kandungan nitrogen-total diperairan, hasilnya menunjukan bahwa kalsifikasi
perairan Waduk Malahayu berada dalam kondisi mesotrofik.
Pengamatan konsentrasi nitrat yang didapatkan untuk semua stasiun dan
kedalaman perairan memperoleh nilai berkisar (0,2-0,8 mg/l). Hasil pengamatan
nilai konsentarsi nitrat yang dominan untuk tiga stasiun, nilai tertinggi terdapat
pada stasiun 3(0,2-0,8 mg/l) dan terendah terdapat pada stasiun 1(0,2-0,3 mg/l).
Kosentarsi nitrat yang diperoleh, dapat dikelompokan perairan Waduk Malahayu
berada pada klasifikasi perairan miskin kandungan nitrat, yang disebut perairan
oligotrofik.
Pengamatan amonium-nitrogen setiap stasiun dan kedalaman perairan,
hasil pengamatan diperoleh nilai konsentarsi amonium di perairan Waduk
Malahayu berkisar (0,03-0,31 mg/l). Konsentarsi amonium rata-rata untuk tiga
stasiun tidak berbeda signifikan, dapat dilihat dengan nilai pengamatan yang
diperoleh. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan konsentarsi ammonium-
nitrogen (0,05-0,31 mg/l), dan nilai konsentrasi terendah terdapat pada stasiun
3(0.086-0,14 mg/l).
Konsentrasi ammonium-nitrogen yang diperoleh pada tiga stasiun dan
lapisan perairan menujukan, nilai konsentrasi ammonium-nitrogen di perairan
Waduk Malahayu dikategorikan rendah. Rendahnya kandungan ammonium di
perairan tentu dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme akuatik (ikan), hal ini
sesuai dengan kondisi pertumbuhan ikan di peraiaran umum (ranching) yang
relatif berukuran kecil, dengan hasil tangkapan dominan 8 ekor/kg.
Fosfor digunakan pula sebagai kunci untuk menjelaskan keberadaan
plankton sebabagi indikator status suatu perairan seperti oligotrofik, mesotrofik
dan eutrofikasi. Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas
sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut.
Nilai penyebaran kandungan fosfat-total di perairan Waduk Malahayu,
dapat dilihat dengan hasil yang ditunjukan pada pengamatan di 3 stasiun dan
46

lapisan perairan. Hasil pengamatan fosfat-total di peraiaran Waduk Malahayu,


nilai yang diperoleh berkisar antara (0,01-0,05 mg/l) dengan rata-rata (0,011
mg/l). Kandungan fosfat-total yang diperoleh pada pengamatan setiap
stasiun1,2,3) dan lapisan perairan (0 m,2 m dan 3m), maka secara repsentatif
dapat diklasifikasikan kondisi perairan Waduk Malahayu berada pada tingkat
perairan mesotrofik yaitu tingkat kesuburannya sedang, karena kandungan
fosfat-total (<0.1 mg/liter). Keberadaan kandungan fosfat-total diperairan Waduk
Malahayu diduga karena 1). Aktifitas masyarakat pertanian padi dan bawang
yang memanfaatkan perairan tergenang di pinggiran waduk, sehingga limpasan
pupuk sangat mudah masuk kedalam badan perairan 2). Pengembangan
peternakan itik dalam perairan waduk 3). Limpasan limbah dari kegiatan
masyarakat antropogenik,limbah (organik dan anorganik), limbah domestik
(detergen) sebagai bahan pencuci yang terikut melalui aliran sungai masuk
kebadan perairan Waduk Malahayu.
Pengamatan ortofosfat untuk semua stasiun dan kedalaman perairan
memperoleh nilai ortofosfat yang menyebar merata dan berkisar antara (0,01-0,05
mg/l). Nilai kandungan ortofosfat perairan disemua stasiun menunjukan hasil
yang tidak berbeda signifikan dan dapat dikategorikan penyebaran konsentrasi
ortofosfat sangat merata. Nilai konsentarsi ortofosfat, dapat dilihat dengan hasil
pengamatan pada stasiun 1 (0,02-0,05 mg/l), stasiun 2 (0,02-0,04 mg/l) dan
stasiun 3 konsentarsi ortofosfat (0,01-0,05 mg/l). Hasil pengamatan menunjukan
konsentari yang hampir sama dan stabil pada setiap stasiun dan lapisan perairan.
Kandungan konsentrasi ortofosfat yang ditemukan diperairan Waduk
Malahayu, dapat dikategorikan status perairan berada pada tingkat (mesotrofik).
Nilai konsentrasi ortofosfat yang diperoleh dengan nilai konsentrasi (<0,1 mg/l) ,
sehingga dapat dikatakan perairan Waduk Malahayu memiliki kesuburan sedang.
Kandungan ortofosfat yang terdapat di perairan, akan dimanfaatakan secara
maksimal untuk pertumbuhan fitoplankton, sehingga kegiatan usaha perikanan
ranching yang menebar benih ikan dengan mengaharapkan fitoplankton sebagai
makanan alami, mengalami pertumbuhan yang optimum.
47

Hasil pengamatan, diperoleh kandungan konsentrasi unsur hara yang diuji


di Laboratorium terdiri dari: fosfat-total, nitrogen-total, ortofosfat, nitrat-nitrogen,
ammonium-nitrogen. Nilai yang diperoleh dalam tiga kali pengambilan sampel
air, pada tiga stasiun (outlet, daerah penebaran benih/reservat dan inlet) dengan
tiga lapisan perairan (0 m, 2 m dan 3 m) di perairan Waduk Malahayu, yang
berlangsung pada musim kemarau pada bulan agustus, September sampai bulan
oktober tahun 2011 dapat dilihat pada (Tabel 7).

Tabel 7. Kisaran unsur hara pada stasiun penelitian.


ST /Var I (Outlet) II (Reservat) III (Inlet)

N-total (mg/l) 0,1-0,2 0,13-0,19 0,1-0,5


P-total(mg/l) 0,02-0,04 0,04-0,06 0,03-0,05
Ortofosfat(mg/l) 0,02-0,05 0,02-0,04 0,01-0,05
Nitrat-nitrogen(mg/l) 0,25-0,41 0,50-0,77 0,29-0,83
Amonium (mg/l) 0,05-0,31 0,033-0,21 0,08-0,14

4.2.3 Parameter biologi perairan


4.2.3.1. Klorofil-a

Klorofil-a dapat dijadikan indikator kesuburan suatu perairan. Kandungan


klorofil-a di perairan Waduk Malahayu, dapat dilihat dengan nilai pengamatan
pada tiga stasiun dan lapisan perairan. Hasil pengamatan ditemukan kandungan
klorofil-a tidak berbeda signifikan di setiap staiun dengan nilai (14,32-26,74 mg/l)
yang diwakili oleh pengamatan pada tiga stasiun dan kedalaman perairan.
Hasil pengamatan pada stasiun 1(outlet) nilai klorofil-a rata-rata (16,59
mg/l), pengamatan pada stasiun 2(daerah penebaran benih) nilai klorofil-a rata-
rata (17,88 mg/l), dan pada stasiun 3(inlet) nilai klorofil-a rata-rata (18,72 mg/l).
Nilai yang diperoleh pada setiap stasiun menunjukan bahwa distribusi klorofil-a
merata pada perairan Waduk Malahayu, sesuai dengan penyebaran unsur hara dan
fitoplankton. Menyebar merata klorofil-a diduga karena pergerakan arus
diperairan waduk yang cukup tinggi (1,5 m/5 dtk), yang mempengaruhi
penyebaran fitoplankton pada setiap stasiun dan stratifikasi perairan. Pengamatan
lapisan perairan, ditemukan penyebaran yang merata pada tiap tiga lapisan
48

perairan. Nilainya dapat dilihat pada pengamatan untuk lapisan permukaan


perairan 0 m nilai klorofil-a (18,4 0 mg/l), pada kedalaman 2 m (17,32 mg/l)
sedangkan pada kedalaman 6 m nilai klorofil-a (17,49 mg/l). Kandungan klorofil-
a yang tinggi pada stasiun 3 dan menurun pada stasiun 1 dan 2, disebabkan
karena wilayah ini (stasiun 3) adalah bagian (inlet) yang pertama mendapat
pengaliran air yang kaya akan kandungan nutrient dari Sungai Cikabuyutan dan
Cisanggarung kedalam perairan waduk, sehingga kelimpahan sel fitoplankton
cukup tinggi pada stasiun 3, yang dapat dilihat pada Gambar 4.
pada stasiun 2(reservat) nilai rata-rata klorofol-a 17,88 mg/l, sedangkan
Clorofil-a mg/l
pada stasiun
30,00 3(inlet) nilai klorofil-a meningkat 18,72 mg/l.

20,00 Kedalaman 0
Kedalaman 2
10,00
Kedalaman
Gambar 13. Grafik kandungan Konsentrasi klorofil-a di Stasiun 6
1, Stasiun 2,
0,00 Stasiun 3 dan setiap kedalaman perairan.
ST1 ST2 ST3
Hasil pengamatan pada stasiun 1(outlet) nilai klorofil-a rata-rata 16,59 mg/l,
Gambar 4. Histogram kandungan klorofil-a di setiap stasiun.

Hasil pengamatan yang diperoleh menunjukan bahwa klorofil-a di perairan


berada dalam kondisi sedang, dan menyebar merata (homogen) sehingga dapat
dikatakan kesuburan perairan Waduk Malahayu berada pada tingkat kesuburan
sedang kandungan klorofil-a.

4.2.3.2. Komunitas Fitoplankton


Pengamatan di perairan Waduk Malahayu telah ditemukan dan
teridentifikasi beberapa kelas fitoplankton yang terdiri dari Cholorophyceae,
Bacillariophyceae, Euglenophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Lima
kelas fitoplankton yang tersebar pada perairan Waduk Malahayu , disampling
pada tiga stasiun yaitu stasiun 1 (Outlet) stasiun 2 (reservat ) stasiun 3 (Inlet) dan
tiga lapisan perairan (0 m, 6 m dan 6 m).
Hasil pengamatan dan identifikasi di laboratorium ditemukan beberapa
kelas dengan genus sebagai berikut; Kelas Cholorophyceae yang terdiri dari
Ankistrodesmus sp. Scenedesmus sp. Euastrum sp. Chorella sp. Elakatothrix sp.
Crucgenia sp. Pediastrum sp. ActinastrumTetraedron sp. Treoboxia sp.
49

staurastrum sp. Gloeocystis sp. Ulotrhrix sp. Kelas Bacillarophyceae terdiri dari
Nitzschia sp. Naviculla sp. Cymbella sp. Pleurosigma sp. Eunotia sp.
Gomphonema sp. Surirella sp. asterionella sp. Tabellaria sp. Chaetoceros sp.
Amphora sp. Melosira sp. Kelas Euglenophyceae yang terdiri dari Euglena sp.
Trachelomonas sp. Kelas Cyanophyceae yang terdiri dari Oscillatoria sp.
Anabaena sp,Raphidiopsis sp. Kelas Dinophyceae yang terdiri dari Gymnodinium
sp.
Pada stasiun 1 dengan lapisan perairan (0 m, 2 m dan 6 m) menunjukan
rata-rata tertinggi genera pada fitoplankton kelas Cholorophyceae. Nilai genera
fitoplankton ini dapat dilihat pada setiap lapisan perairan.
Pada permukaan perairan 0 m terdapat (9 genera), pada kedalaman 2`m
(12 genera) kedalaman 6 m (12 genera). Genera terendah terdapat pada kelas
Dinophyceae, pada permukaan perairan 0 m (1 genera), kedalaman 2 m (1 genera)
dan kedalaman 6 m (1 genera). Hasil pengamatan fitoplankton yang tersebar pada
tiga stasiun dan tiga lapisan perairan dapat dilihat pada (Gambar 5).

Stasiun I
6m 2m 0m

1
Dinophyceae 1
1
3
Euglenophyceae 1
1
3
Cyanophyceae 2
3
8
Bacillariophyceae 6
6
12
Cholorophyceae 12
9

Gambar 5. Rataan Genera Fitoplankton Pada stasiun1(outlet) dan kedalaman


perairan
50

Pada stasiun 2 dengan lapisan perairan (0 m, 2 m dan 6 m) menunjukan


rata-rata tertinggi genera pada fitoplankton kelas Cholorophyceae. Pada
permukaan perairan 0 m terdapat (13 genera), dan pada kedalaman 2`m (12
genera), sedangkan kedalaman 6 m (9 genera).
Genera terendah terdapat pada kelas Dinophyceae. Pada permukaan
perairan 0 m (1 genera), kedalaman 2 m (1 genera) dan kedalaman 6 m (1 genera).
Hasil pengamatan satiun 2 dapat dilihat pada (Gambar 6).

Stasiun II
6m 2m 0m

1
Dinophyceae 1
1
2
Euglenophyceae 1
2
3
Cyanophyceae 3
3
7
Bacillariophyceae 6
6
10
Cholorophyceae 13
13

Gambar 6. Rataan Genera Fitoplankton Pada stasiun 2(reservat) dan kedalaman


perairan

Hasil pengamatan pada stasiun 3 (inlet) dengan lapisan perairan (0 m, 2 m


dan 6 m) menunjukan nilai rata-rata tertinggi, terdapat pada genera fitoplankton
kelas Cholorophyceae. Berdasrkan lapisan perairan, terdapat pada permukaan
perairan 0 meter dengan jumlah genera (12 genera), dan pada kedalaman 2
terdapat (7 genera) sedangkan pada kedalaman 6 m terdapat (5 genera).
Nilai genera terendah terdapat pada kelas Dinophyceae, pada bagian
permukaan perairan 0 m dengan nilai (1 genera), pada kedalaman 2 m (1 genera)
dan kedalaman 6 m (1 genera). Hasil pengamatan stasiun 3 dapat dilihat pada
(Gambar 7).
51

Stasiun III
6m 2m 0m

1
Dinophyceae 1
1
1
Euglenophyceae 1
1
2
Cyanophyceae 3
3
7
Bacillariophyceae 6
6
6
Cholorophyceae 8
13

Gambar 7. Rataan Genera Fitoplankton Pada stasiun 3(inlet) dan kedalaman


perairan

4.2.3.3. Kelimpahan fitoplankton

Hasil pengamatan secara periodik pada tiga stasiun dan lapisan perairan
menunjukan tingkat kelimpahan sel fitoplankton sebagai berikut: Kelimpahan sel
rata-rata pada stasiun 1 (outlet) di permukaan perairan 0 m (6.474.667 sel/m3 ),
kedalaman perairan 2 meter (5.239000 sel/m3), kedalaman 6 m (5.187.667 sel/
m3). Pada stasiun 2 (reservat) rata-rata kelimpahan sel di permukaan perairan 0 m
(3.747.667 sel/ m3), kedalaman perairan 2 m (2.732.333 sel/m3), kedalaman 6 m
(3.552.033 sel/ m3 ). Pada stasiun 3 (inlet) di permukaan perairan 0 m jumlah rata-
rata kelimpahan sel fitoplnakton (3.222.000 sel/m3 ), kedalaman perairan 2 m
(4.040.000 sel/m3) dan kedalaman 6 meter (3.17.000 sel/m3 ).
Hasil pengamatan kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun dan lapisan
perairan tersebut diatas, dapat dikatakan kelimpahan fitoplankton di perairan
Waduk Malahayu berada dalam jumlah kelimpahan yang sedang, hal ini diduga
keberadaan fitoplankton di perairan Waduk Malahayu telah dimanfaatkan oleh
ikan-ikan pemakan fitoplankton (Oreochrromis niloticus), yang ditebar setiap
tahun di perairan. Hasil pengamatan kelimpahan sel fitoplankton dapat dilihat
pada (Gambar 8).
52

7000000
6000000
5000000
4000000
0M
3000000 2M
2000000 6M
1000000
0
ST1 ST2 ST3
Stasiun

Gambar 8. Histogram Rataan Kelimpahan sel Fitoplankton Pada setiap Stasiun


dan Kedalaman Perairan (sel/m3).

Kisaran indeks keanekaragaman (H) untuk setiap periode pada ketiga


stasiun sebagai berikut; periode pertama untuk ketiga stasiun dengan indeks
keragaman berkisar antara 1.75-2.42. Periode kedua untuk ketiga stasiun dengan
indeks keragaman berkisar antara 1.49-2.25. Periode ketiga untuk ketiga stasiun
dengan nilai berkisar antara 1.42-2.33. Kisaran indeks keanekaragaman tertinggi
terdapat pada periode pertama stasiun kedua dengan kedalaman 2 m, nilainya
(2.42) dan terendah terdapat pada periodik ketiga stasiun 3 dengan kedalaman 6
meter (1.42).
Berdasarkan kriteria (Wilhm et al. dalam Masson 1981) maka perairan
Waduk Malahayu kategori sedang (2.3062<H<6.9078) yakni keanekeragaman
sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang, sehingga dapat dikatakan
kestabilan komunitas sedang.
Indeks keseragaman yang diperoleh setiap periode untuk ketiga stasiun
adalah sebagai berikut; Periode pertama untuk ketiga stasiun dengan nilai indeks
keseragaman berkisar antara (0.52-0.73), periode kedua untuk ketiga stasiun
dengan nilai berkisar antara (0.57-0.79), periode ketiga untuk ketiga stasiun
dengan nilai berkisar anatara (0.53-0.76). Kisaran indeks keseragaman tertinggi
terdapat pada Periode kedua, stasiun 1 dengan kedalaman 6 meter nilainya (0.79).
Sedangan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada periode pertama,
stasiun 1 di permukaan periaran 0 m nilainya (0,52). Nilai indeks keseragaman
53

yang dihasilkan dalam pengamatan tergolong tinggi baik pada setiap stasiun
maupun kedalaman perairan. Indeks keseragaman yang diperoleh, tergolong
tinggi (mendekati 1) maka dapat dikatakan perairan Waduk Malahayu penyebaran
jumlah individu setiap spesies merata dan tidak berbeda signifikan.
Kisaran indeks dominasi setiap periode pada tiga stasiun selama
pengamatan adalah: Periode pertama, tiga stasin berkisar antara 0.13-0.31,
Periode kedua untuk tiga stasiun berkisar antara 0.13-0.24 dan Periode ketiga
untuk tiga stasiun berkisar antara 0.10-0.22. Pengamatan indeks dominasi
menunjukan bahwa tidak ada dominasi, tingkat penyebaran merata, antar stasiun
maupun kedalaman, sehingga dapat dikatakan ekosistem perairan Waduk
Malahayu seimbang.

4.2.3.4. Produktivitas Primer


Produktivitas primer di perairan Waduk Malahayu, dapat ditunjukan
dengan hasil pengamatan produktivitas primer bersih di tiga stasiun 1 (Outlet), 2
(penebaran benih) 3 (Inlet) dan kedalam perairan 0 m, 2 m dan 6 m. Hasil
pengamtan ditemukan berkisar (7,8-13,9 mgC/m3/4 jam), dapat dilihat pada
Gambar 18.

30,00
Kedalaman 0
20,00
Kedalaman 2
10,00
Kedalaman 6
0,00
ST1 ST2 ST3

Gambar 9. Histogram kandungan Produktivitas primer (NPP) pada tiga stasiun


dan kedalaman perairan.

Pada setiap Stasiun jumlah produktivitas primer bervariasi dan tidak


berbeda signifikan. Berdasarkan stasiun nilai tertinggi terdapat pada stasiun
1(11,5 mg/C3/m/4 jam), sedangkan berdasarkan kedalaman nilai tertinggi terdapat
pada permukaan perairan 0 m, dengan nilai rata-rata (11.56 mg C/m3/4 jam) dan
terendah terdapat pada perairan dengan kedalaman 6 m, dengan nilai (8.2 mg
C/m3/4 jam). Tingginya produktivitas primer pada stasiun 1, karena masukan
54

intensitas cahaya matahari yang tinggi sehingga dapat meningkatkan proses


fotosinetsis oleh fitoplankton di perairan. Total hasil menunjukan PP di perairan
Waduk Malahayu berada dalam konsentrasi optimum untuk pertumbuhan
organisme perairan.

4.2.3.5. Nilai fosfat-total daya dukung perairan budidaya KJA

Untuk menentukan daya dukung di perairan, dalam pengembangan


budidaya ikan system KJA, maka perlu diketahui nilai fosfat-total yang dapat
ditolelir di suatu perairan. Hasil perhitungan dengan mengunakan pendekatan log
klorofil-a, dengan nilai klorofil-a pada suatu perairan yang dikategorikan
eutrofikasi dengan kandungan nilai klorofil-a adalah (100 mg/m3/th). Hasil
diperoleh dengan perhitungan mengguankan pendekatan log Klorifil-a dapat
diperoleh hasil fosfat-total (Pt) yang dapat ditolelir adalah (130 mg/m3/th). Hasil
tersebut akan digunakan dalam menentukan daya dukung perairan untuk
pengembangan budidaya KJA.

4.2.3.6. Kajian daya dukung perikanan Ranching


Ranching adalah salah satu pola pengembangan perikanan, dengan cara
menebar benih ikan di perairan waduk dan dibiarakan beberapa bulan, sampai
diduga ikan telah tumbuh besar baru dilakukan kegiatan penangkapan dengan
menggunakan jaring, selama penebaran tidak diberikan pakan komersial, seluruh
makanan ikan bersumber dari perairan secara alamiah (plankton).
Prinsip daya dukung perikanan alamiah, untuk pemanfaatan dan
pengembangan kegiatan perikanan di perairan waduk penting untuk diketahui.
Menentukan daya dukung perairan untuk pengembangan kegiatan perikanan
ranching, seperti di Waduk Malahayu adalah; pertama yang harus diketahui
tingkat kesuburan perairan dengan pendekatan jumlah produktivitas primer di
perairan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam menentukan daya dukung perairan
alami.
Dengan mengetahui daya dukung perairan, maka dapat menentukan
jumlah benih ikan yang yang tepat untuk ditebar kedalam perairan waduk setiap
tahun, serta benih yang ditebar dapat mengalami pertumbuhan yang optimum,
55

sehingga pengelolaan dan pemanfaatan perairan untuk pengembangan perikanan


ranching dapat berkelanjutan.

4.2.3.6.1. Daya dukung perikanan Ranching pada area optimum


Perhitungan daya dukung perairan Waduk malahayu, dengan pendekatan
jumlah produktivitas primer di perairan yang diasumsikan pada area perairan
dangkal 4 meter (daerah pinggiran waduk) dengan luasan area optimum (320 ha).
Diukur produktivitas primer pada tiga stasiun dengan tiga lapisan perairan yaitu
permukaan 0 m, kedalaman 2 m, dan kedalaman 4 meter, maka diperoleh jumlah
gross primary production adalah 3.843 gC/m2. Hasil produktivitas primer
tersebut dikonversikan pada tabel konversi effisiensi (beveridge, 1984)
ditemukan nilai persen (1,5%). Hasil yang diperoleh dikalikan dengan luas area
perairan optimum waduk 360 ha (3.600.000 m2), maka diperoleh daya dukung
yang dihitung dengan nilai kapasitas produksi adalah 207,522 ton/tahun.
Daya dukung perairan optimum, sesuai dengan nilai kapasitas produksi
yang dihasilkan adalah 207,522 ton, artinya kemampuan optimum perairan
waduk secara alami dapat memproduksi ikan sebanyak 207,522 ton. Benih ikan
yang ditebarkan dengan ukuran 25 gr/ekor, dan saat eksploitasi diperoleh hasil
tangkapan dengan ukuran 125 gr/ekor. Sesuai hasil tersebut maka diketahui
perubahan bobot adalah 100 gr, sehingga nilai hasil produksi dibagikan dengan
nilai perubahan bobot adalah (207,522 ton/100 gr), maka jumlah benih optimum
yang dapat ditebarkan adalah 2,07522 ekor ikan setiap tahun.

4.2.3.6.2. Daya dukung perikanan Ranching pada area maksimum


Berdasarkan pengujian dan perhitungan dengan pendekatan jumlah
produktivitas primer di perairan Waduk Malahayu pada luasan area perairan
waduk yang maksimum (720 ha) dengan total kedalalaman 8 meter. Diukur
produktivitas primer pada tiga stasiun dengan tiga lapisan perairan yaitu
permukaan 0 m, kedalaman 2 m, dan kedalaman 6 meter, maka diperoleh jumlah
gross primary production adalah 2.220 gC/m2.
Hasil produktivitas primer tersebut dikonversikan pada tabel konversi
effisiensi (Beveridge, 1984), hasil yang diperoleh dikalikan dengan luas area
56

perairan waduk (7200.000m2), maka diperoleh daya dukung yang dihitung dengan
pendekatan nilai kapasitas produksi.
Hasil perhitungan diketahui, daya dukung perairan sesuai dengan kapasitas
produksi yang dihasilkan adalah 399 ton. Artinya kemampuan perairan waduk
secara alami dapat memproduksi ikan sebanyak 399 ton. Sesuai hasil wawancara
dengan nelayan tangkap diperoleh informasi bahwa benih ikan yang ditebarkan
dengan ukuran 25 gr/ekor, dan saat eksploitasi diperoleh hasil tangkapan dengan
ukuran 125 gr/ekor sesuai hasil tersebut maka diketahui perubahan bobot adalah
100 gr, sehingga nilai hasil produksi dibagikan dengan nilai perubahan bobot
adalah (399 ton/100 gr), maka jumlah benih yang dapat ditebarkan sesuai daya
dukung perairan Waduk Malahayu adalah 3.996.000 ekor ikan setiap tahun.
Data penebaran benih setiap tahun di perairan Waduk Malahayu diketahui
jumlah penebaran sekitar 800.000 benih/tahun. Hal ini berarti, masih terdapat
kekurangan jumlah benih yang ditebarkan sesuai hasil kajian daya dukung untuk
luasan perairan optimum maupun luasan perairan maksimum.

4.2.3.7. Kajian daya dukung budidaya ikan (KJA)


Pengembangan kegiatan perikanan di waduk Malahayu khususnya
kegiatan perikanan budidaya KJA, harus didasarkan pada kapasitas dan daya
dukung lingkungan perairan. Kegiatan budidaya KJA sangat menguntungkan bagi
perekonomian masyarakat sekitar, jika dikelola dengan baik dan benar sesuai
prinsip-prinsip daya dukung guna menunjang kegiatan budidaya perikanan yang
berkelanjutan. Disamping dampak positif terhadap peningkatan ekonomi
masyarakat, juga terdapat dampak negatif yang ditimbulakan jika pengelolaan
dan pengembangan budidaya KJA tidak memperhitungkan aspek daya dukung,
sehingga terjadi kerugian kematian masal ikan yang diakibatkan oleh blooming
algae.
Menurunnya kualitas perairan karena terjadi kelebihan masukan bahan
organik dan anorganik yang masuk, dan menumpuk didasar perairan karena
pemberaian pakan yang tidak efektif, dan tidak sesuai dengan daya dukung
perairan. Salah satu unsur hara yang mempengaruhi kesuburan perairan adalah
fosfat-total yang terdapat dalam pakan komersial sebagai sumber nutrisi dan
57

protein ikan budidaya KJA yang harus dikendalikan. Tingginya kandungan


fosfat-total dapat meningkatkan kesuburan perairan (eutrofikasi dan hypereutrof)
yang dapat menimbulakan bahaya kematian ikan karena bloming algae, dampak
negatif ini, telah terjadi pada beberapa Waduk dan danau besar di Indonesia yang
dalam pengelolaan tidak memperhitungkan daya dukung sejak dini sebelum
pengembangan usaha budidaya KJA dilakukan.
Kondisi saat ini di Waduk Malahayu belum dimanfaatakan, kegiatan
budidaya ikan KJA. Saat ini yang dimanfaatkan adalah perikanan ranching yang
mengharapkan sumber nutrisi dari pakan alamiah diperairan. SK Bupati
Kabupaten Brebes No.523/177 tahun 2007 yang mengijinkan perairan Waduk
Malahayu dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan budidaya KJA, namun
perijinan tersebut tidak didasarkan atas kajian teknis daya dukung perairan,
sehingga dikhawatirkan akan terjadi kerugian baik ekonomi, sosial maupun
ekologi. Dengan ini maka sangat penting diperlukan untuk mengetahui daya
dukung perairan agar jika dikembangakan budidaya ikan KJA, akan terhindar
dari dampak negatif dan bahaya lain yang ditimbulkan.
Keuntungan lain yang diperoleh jika pengembangan KJA, pada sebagian
area perairan Waduk Malahayu adalah: pakan yang terbuang sangat tingi 20%
keluar dari jarring KJA, dan dapat dimanfaatkan sebagai makanan tambahan yang
kaya akan kandungan protein untuk pertumbuhan ikan di peraiaran umum
ranching, sehingga sisa pakan tidak dapat mengendap didasar perairan sebagai
limbah organik, yang terakumulasi menjadi racun. Penyebaran konsentrasi fosfat-
total di perairan umum akan lebih rendah, karena pakan yang terbuang keluar
KJA telah dimanfaatakan oleh ikan perairan umum (ranching), bahkan
ditargetkan habis termanfaatkan, sehingga tidak terjadi endapan yang
mempengaruhi kualitas perairan.
Berdasarkan hasil yang diuji, diketahui nilai fosfat- total monitoring
sebelum adanya kegiatan eksploitasi KJA adalah (11 mg/m3), diperoleh dari
pengamatan setiap stasiun dan kedalaman perairan yang rata-rata (0,011 mg/l).
Nilai fosfat-total yang ditolelir adalah (130 mg/m3), nilai fosfat-total yang
diperoleh, memiliki hubungan dengan daya dukung perairan semakin besar fosfat-
total yang dapat diterima, maka semakin besar pula daya dukung perairan begitu
58

sebaliknya. Nilai yang diperoleh dari pendekatan log klorofil-a dengan tipe
perairan eutrofikasi adalah (100 mg/m3).
Kandungan fosfor yang digunakan adalah kandungan yang terdapat pada
pakan komersial untuk budidaya ikan tilapia (ikan nila) nilainya adalah (1,3%) per
berat pakan, jika pakan yang diguanakan adalah 1 ton maka kandungan fosfor
adalah 13 kg. Nilai FCR dalam pembudidayaan ikan nila, digunakan nilai FCR
1,5; 1 artinya dengan pemberian pakan 1,5 kg dapat menghasilkan berat ikan
hingga panen adalah 1 kg. Semakin besar nilai FCR dapat mengakibatkan
kerugian secara ekonomi.
Hasil data kondisi fisik Waduk Malahayu yang diperoleh dari wawancara,
dengan otoritas waduk, dapat diketahui kedalaman perairan maksimal rata-rata
adalah 12 meter, pada musim kemarau kedalaman tersisa 8 meter. Besarnya
jumlah air yang keluar atau hilang setiap tahun dari waduk melalui outflow adalah
44.000.000. m3/th. Secara lengkap data yang diperoleh melalui pengujian
laboratorium, wawancara dengan otoritas waduk dapat disajikan pada (Tabel 9).

Tabel 9. Parameter daya dukung perairan Waduk Malahayu


No Parameter Nilai
1 Luas permukaan (m2) 720 ha 7.200.000
2 Rata-rata kedalaman (m) 8
3 Fosfat- total monitoring (mg/m3) Pi 11
4 Fosfat- total yang ditolelir (mg/m3) 130
5 Kandungan fosfor dalam pakan(%) 1,3
3
6 Rata-rata air keluar/tahun (m /tahun) 44.000.000.
7 R fish(%) 0.75
8 FCR 1,5
9 Flushing rate koefisient 1

Berdasarkan data pada (Tabel 8)., dapat kita lanjutkan untuk menghitung
daya dukung perairan Waduk Malahayu dalam pemanfaatan dan pengembangan
kegiatan perikanan KJA. Perhitungan daya dukung perairan yang dimulai dengan
menghitung kapasitas perairan (P), dengan mengacu pada metode (Beveridge,
59

1996). Kapasitas perairan (P), berhubungan dengan beban masukan (P) dari
eksploitasi KJA yang selanjutnya disebut sebagai (Lfish). Lfish berhubungan
dengan nilai Rfish. Rfish merupakan parameter yang sulit diestimasi menurut
Philips et al. (1985), dan untuk jaring apung tilapia sekitar 45-55% dari total p
loading akan hilang sebagai dampak pengendapan partikel padat (faeces), oleh
karena itu hanya 45-55% total P dalam bentuk terlarut yang ada dalam perairan
sebagai limbah budidaya.
Berdasarkan persamaan yang dihitung, maka dapat diketahui kapasitas
perairan (P) adalah 119 mg/m3/th, hasil tersebut adalah selisih antara fosfat-total
yang dapat ditolelir dikurangi fosfat-total yang diukur sebelum eksploitasi (p
intial). Hasil perhitungan untuk nilai (Lfish) adalah 4.760 mg/m2/th yang
diperoleh dari hasil perhitungan; perkalian kapasitas perairan ((P), kedalaman
perairan, nilai row hasilnya dibagikan dengan nilai Rfish. Karena luas area
perairan Waduk Malahayu adalah 720 ha (7200.000 m2), maka nilai Lfish dikalikan
dengan luas area. Hasilnya total p loading (total acceptable loading) yang dapat
diterima adalah 34,272.000 g/tahun.
Hasil p loading untuk ikan tilapia adalah 16,1 kg/ton ikan, maka diperoleh
besar daya dukung (carying capacity) dalam bentuk bobot produksi adalah; total
acceptable loading/(p) loading tiap ton pakan (34,272.000 /16,1 ). Hasilnya
dalam bentuk bobot ikan yang dapat diproduksi adalah 2,128 ton/ tahun artinya
daya dukung perairan Waduk Malahayu dengan pendekatan fosfat-total sebagai
limiting faktor dapat mendukung produksi ikan sebanyak 2,128 ton/tahun, jika
produksi tiap unit adalah 1 ton maka jumlah KJA yang dibutuhkan adalah 2.128
unit.
Luasan area perairan 1 unit KJA dengan ukuran 14x14 dengan jumlah 4
petak yang berukuran 7x7 maka tiap unit KJA memanfaatakan area perairan
seluas 196m2, sehingga luasan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk total KJA
adalah 417,088 m2. Kandungan konsentrasi fosfat-total di perairan saat eksploitasi
adalah 0,0009 mg/l, konsentarsi tersebut dapat diklasifikasikan perairan berada
pada tingkat oligotrofik.
Berdasarkan kajian daya dukung yang telah dikemukakan tersebut, maka
dapat dijadikan pedoman pemanfaatan budidaya KJA yang berkelanjutan. SK
60

Bupati No.523/177 tahun 2007 tentang pemanfaatan area 10% untuk kegiatan
budidaya KJA di perairan Waduk Malahayu, setelah dianalisis masih memenuhi
syarat daya dukung perairan.
Kajian daya dukung yang telah dihasilkan tersebut, dapat memberikan
peluang pemanfaatan yang optimum dalam pengembangan perairan Waduk
Malahayu yang pola pemanfaatan dengan pola kombinasi, yakni perairan waduk
dapat dimanfaatakan secara bersama- sama untuk kegiatan perikanan ranching
dan budidaya ikan KJA, (KJA, and Ranching).
Pola ini diyakini sangat tepat, untuk diterapkan dalam pengelolaan
sumberdaya perairan yang diperuntukan pada kegiatan usaha perikanan, karena
hasilnya sangat menguntungkan. Kehadiran KJA dapat memberikan kontribusi
sumbangan pakan berprotein tinggi ke perikanan ranching di perairan umum,
sehingga pertumbuhan ikan dapat mencapai pertumbuhan yang optimum sesuai
target, sehingga masyarakat nelayan (Nila Jaya) di Waduk Malahayu akan
sejahtera.

4.2.4. Analisis Kesejahteraan nelayan di Waduk Malahayu

Dalam kegiatan perikanan ranching saat ini, benih yang ditebarkan adalah
800.000 ekor/tahun dengan jumlah nelayan tangkap di Waduk Malahayu yang
aktif menangkap adalah 70 orang nelayan. Waktu penangkapan rata-rata 25 hari
setiap bulan. Hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner ditemukan jumlah
hasil tangkapan berkisar 4-5 kg/hari, rata-rata yang dijual adalah 3 kg/hari, dengan
harga Rp.7000/kg dengan ukuran (8 ekor/kg).
Dalam sebulan, setiap nelayan memperoleh pendapatan dari hasil
penjualan ikan rata-rata adalah Rp.525.000/bln. Hasil pendapatan tersebut
tergolong rendah (tidak sejahtera) untuk memenuhi kelayakan kesejahteraan
kehidupan keluarga nelayan. Berdasarkan ketetapan (BPS, 2000), maupun
ketetapan kesejahateraan oleh Bank Dunia. Kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai jika pendapatan (>Rp.433.333) perkapita/bulan atau dalam sebulan
pendapatan adalah (Rp.1.733.332), baru dapat dikategorigan sejahtera,
sedangakan penetapan Bank dunia 2$ perkapita/hari.
61

Untuk mewujudkan kesejahteraan sesuai ketetapan tersebut, maka upaya


yang dapat dilakukan dalam meningkatkan hasil tangkapan sesuai target adalah:
1) Menambah jumlah penebaran benih, sesuai kajian daya dukung optimum atau
daya dukung maksimum yang telah diuraikan 2). Memberikan tambahan pakan
komersial ke perikanan ranching.

4.2.4.1.Analisis peluang pendapatan (regresi logistik ordinal)


Analisis regresi logistik ordinal digunakan untuk mengetahui peluang
pendapatan nelayan (Nila Jaya) di Waduk Malahayu saat ini. Sehingga pola
pemanfaatan dan pengembangan ke depan dapat memberikan konstribusi kearah
peningkatan pendapatan nelayan. Analisis peluang pendapatan dengan
menggunakan regresi logistik ordinal terhadap variabel kerja dan variabel jumlah
hasil tangkapan, yang masing-masing akan menghasilkan nilai odds ratio yang
berbeda.
Hasil wawancara dengan nelayan tangkap Waduk Malahayu, kedua
variabel (variabel kerja dan variabel jumlah hasil tangkapan) memegang peranan
yang sangat penting terhadap pendapatan nelayan (Nila Jaya) di Waduk Malahayu.
Hasilnya dapat dilihat dengan nilai ods ratio sebagai berikutt:
Dalam parameter variabel kerja, hasil analisis menunjukkan nilai odds
ratio sebesar 25,70 ini dapat diartikan bahwa, nelayan yang memiliki pekerjaan
tambahan dengan memanfaatkan waktu diluar kegiatan menangkap, memiliki
peluang pendapatan jauh lebih tinggi. Nelayan yang tidak memiliki pekerjaan
tambahan diluar kegiatan nelayan, hasil pendapatan setiap bulan lebih rendah
dibandingkan dengan nalayan yang memiliki pekerjaan tambahan. Nelayan yang
memiliki pekerjaan tambahan mempunyai peluang yang lebih sejahtera (25,70)
kali.
Dalam parameter variabel jumlah hasil tangkapan (kg ikan), hasil analisis
menunjukan nilai odds ratio yang diperoleh sebesar (2,14), ini dapat diartikan
bahwa nelayan yang aktif menangkap dan dapat memperoleh hasil tangkapan
rata-rata satu kilogram lebih banyak memiliki peluang pendapatan jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan nelayan yang memilki rata-rata hasil tangkapan lebih
sedikit , artinya nelayan yang memilki jumlah tangkapan lebih banyak (1 kg)
62

memiliki peluang pendapatan adalah 2,14 kali lebih tinggi. Kedua variabel
tersebut diatas, sangat mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan nelayan
dalam kegiatan usaha perikanan tangkap. Hasil analisis kedua variabel tersebut
dalam usaha kegiatan nelayan tangkap (Nila Jaya) di Waduk Malahayu saat ini,
diketahui 67% nelayan di Waduk Malahayu pendapatan perkapita rendah
(<Rp.216.666), dan 27% dikategorikan sedang dengan pendapatan perkapita
(Rp.216.666-Rp.433.333) dan dikategorikan pendapatan tinggi hanya 6% dengan
pendapatan perkapita (>Rp.433.333). Nilai pendapatan dapat disajikan pada
(Gambar 10).

6%

27% Rendah

67% Sedang
Tinggi

Gambar 10. Pendapatan nelayan di Waduk Malahayu

4.2.5. Skenario peningkatan pendapatan nelayan


Jumlah benih dan pakan yang ditebarkan sangat mempengaruhi hasil
tangkapan, benih yang ditebarkan untuk kegiatan perikanan ranching saat ini
adalah 800.000 ekor benih setiap tahun. Jumlah hasil tangkapan/hari tiap nelayan
untuk dijual adalah 3 kg/hari, hasil tangkapan tersebut tidak dapat memberikan
konstribusi pendapatan yang signifikan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan
adalah, menambah jumlah penebaran benih sesuai daya dukung perairan yang
telah dikemukakan diatas yaitu dari 800.000 ditingkatkan menjadi 2.07522 ekor
benih/tahun sebagai batas optimum, atau 3014.000 ekor benih/tahun sebagai batas
maksimum. Dengan tujuan agar hasil tangkapan meningkat sesuai target 10
kg/hari/nelayan untuk mencapai kesejahteraan. Jika nelayan dapat menangkap 10
kg/hari maka selama sebulan (25 hari menangkap) adalah 250 kg/nelayan,
sehingga setiap bulan untuk 70 orang nelayan, dapat memperoleh hasil tangkapan
63

sebanyak 17,500 kg/bln sehingga dalam setahun adalah 210.000 kg/ikan (210)
ton yang sesuai batas optimum daya dukung.
Benih yang dapat ditebarkan, jika tiap kg ikan panen dengan jumlah 8
ekor/kg, maka total jumlah benih adalah 1.680.000 ekor benih/tahun, namun benih
ikan mudah mengalami kematian karena kondisi lingkungan yang mengkibatkan
stress, sehingga ditingkatkan jumlah penebaran benih menjadi 2800.000. Jumlah
tersebut masih berada pada batas optimum dan maksimum daya dukung perairan
untuk kegiatan perikanan ranching. Skenario penebaran 2800.000 ekor benih tiap
tahun di perairan Waduk Malahayu, dengan tujuan agar hasil tangkapan
meningkat sesuai target pencapaian kesejahteraan.

4.2.5.1. Analisis regresi logistik ordinal (skenario pendapatan)


Pendapatan yang dihasilkan dengan skenario meningkatkan jumlah benih
yang ditebarkan 2.800.000 benih/tahun, dihitung dengan menggunakan analisis
regresi logistik dengan nilai ods ratio 2,14/kg. Jika target meningkatkan jumlah
hasil tangkapan nelayan dari 3 kg/hari menjadi 10 kg/harin, maka nelayan dapat
memperoleh pendapatan Rp. 70.000/hari/nelayan sehingga dalam sebulan (25 hari
menangkap) pendapatan adalah Rp.1750.000. Hasil tersebut dapat dikategorikan
kesejahteraan tinggi dan masyarakat nelayan diklasifikasikan sejahtera menurut
ketetapan (BPS, 2000).
Hasil analisis regresi logistik ordinal menujukan bahwa; jika hasil
tangkapan nelayan waduk Malahayu ditingkatkan dari 3 kg menjadi 10 kg/hari
maka hasil ods ratio yang diperoleh adalah 202,9 kali. Artinya nelayan yang
jumlah tangkapan 10 kg/hari memiliki peluang pendapatan yang tinggi 202 kali,
dibandingkan dengan nelayan yang hasil tangkapan 3 kg/hari.
Hasil analisis regresi logistik ordinal yang diperoleh, dengan skenario
jumlah hasil tangkapan ditingkatkan menjadi 10 kg/hari, hasilnya adalah: 73%
nelayan di Waduk Malahyu sejahtera dengan pendapatan yang dikategorikan
tinggi (>Rp.433.333) perkapita/bulan dan 27%, dikategorikan kesejahteraan
sedang (Rp.216.000-Rp.433.333). Kesejahteraan nelayan yang dikategorikan
sedang, diduga karena jumlah keluarga dan kebutuhan yang sangat tinggi.
64

Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa peluang kesejahteraan dapat


dicapai, jika penebaran benih ditingkatakan sesuai daya dukung perairan.
Pemanfaatan dan pengeloaan dapat dikombinasikan dengan usaha budidaya KJA
secara bersamaan, maka dapat diestimasikan peluang pendapatan dan
kesejahteraan nelayan tangkap (Nila Jaya) di Waduk Malahayu jauh lebih tinggi.
Skenario pendapatan dapat dilihat pada (Gambar 11).

0%

27%
Rendah

73% Sedang
Tinggi

Gambar 10. Skenario pendapatan nelayan tangkap Waduk Malahayu.


65

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Kualitas perairan Waduk Malahayu, baik secara fisika,kimia dan biologi
yang diteliti pada musim kemaru (agustus hingga november), hasilnya
masih dapat mendukung kegiatan usaha perikanan ranching dan budidaya
ikan KJA, secara berkelanjutan.
2. Kelimpahan fitoplankton dan produktivitas perairan Waduk Malahayu,
dikategorikan rendah, dan didominasi oleh kelas Cholorophyceae.
3. Kajian daya dukung pengembangan perikanan ranching di perairan
Waduk Malahayu dengan pendekatan produktivitas primer, diperoleh hasil
daya dukung optimum dengan pendekatan bobot produksi adalah 207 ton
ikan/tahun dikonversikan dalam jumlah benih ikan 2.07522 ekor/tahun.
4. Daya dukung untuk pengembangan budidaya ikan KJA diperoleh
besarnya daya dukung dalam bobot produksi adalah 2.128 ton ikan / tahun.
5. Kajian daya dukung menunjang, pemanfaatan area perairan Waduk
Malahayu untuk pengembangan secara bersama-sama kegiatan perikanan
ranching dan KJA.
5.2. Saran.

Pemanfaatan perairan Waduk Malahayu berdasarkan daya dukung


lingkungan perairan untuk pemanfaatan kegiatan usaha perikanan yang
berkelanjutan maka disarankan:
1. Penelitian lanjutan dapat dilaksanakan dengan melihat daya dukung
perairan Waduk Malahayu pada musim hujan dengan interval waktu 6
bulan.
2. Mempelajari tingginya laju sedimentasi di perairan Waduk Malahayu.
66

DAFTAR PUSTAKA

Agusniatih, A. 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Wisata dan Pengaruhnya


terhadap Kesejahteraan Masyarakat. [Tesis] Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.

Akpalu,Worku T. Bitew 2009. Species diversity, fishing induced change in


carrying capacity and sustainable fisheries management. 16pp.
Ali, F. 2003. Hubungan antara Penggunaan Pelindung Buatan dengan
Kelangsungan Hidup Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Pusat
Penelitian Limnologi-LIPI. Jakarta hal 1-3.

APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. 17th Edition. American Public
Health Association/American Water Work Association/Water
Environment Federation Washington. DC. 3464pp.

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. 21th Edition. American Public
Health Assosiation/American Water Work Association/Water Enviroment
Federation Washington. DC. USA: 1100 pp.

Barnabe, G. and R. Barnabe, 2000. Ecology and Management of Coastal Waters;


the Aquatic Environment. Praxis Publishing Ltd, Chichester, UK. France.

Beveridge, MCM.1987. Cage Aquaculture. Fishing News Book, Ltd Fornham


Survey, England.

Beveridge, MCM.1996. Cage Aquaculture. Fishing News Books. London. 346p.

Birowo, S. dan H. Uktolseja. 1976. Sifat-sifat osenografis perairan pantai


Indonesia. Prosiding Simposium Pendekatan Ekologis untuk Pengelolaan
Daerah Pesisir, Bogor 21-31 Maret 1976. IPB, Bogor.

Boyd, CE. dan F. Lichtkoppler. 1979. Water Quality Management in Pond Fish
Culture. International Center Aquaculture, Agrricultural Experiment
Station, Aubun University-Alabama.

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2000. Keadaan Rumah Tangga Miskin di


Kotamadya Jakarta Utara tahun 2000.

Buyukcapar and A.AIp 2006. The Carrying Capacity and Sustainability of the
Menzelet Reservoir (Kahramanmaras-Turkey) for Trout Culture in Terms
of Water Quality.6 (13):2774-2778.
67

Chen, Y.W., Qin, B.Q., Teubner,K., Dokulil, M.T., 2003. Long-term dynamics of
phytoplankton assemblages: Microcystis-domination in Lake Taihu,a
Large shallow lake in China. Journal of plankton Research 25,445-453.

Cole, G. A. 1988. Textbook of Limnologi 3.rd edition. Waveland Press, inc.


Illionnis. USA.

Dawes, J.C. 1981. Marine Botany. A Willey Intersciene Publication. University of


South Florida. 628p.

Davis CC.1995. The Marien and Freshwater Plankton. Michigan State University
Press. USA.

Duarte, P., R. Meneses, A.J.S. Hawkins, M.Zhu,J. Fang and J. Grant, 2003.
Mathematical Modeling to assess the carrying capacity for multi-species
culture withincoastal waters. Ecol. Model.,168:109-143.

Dugan, P.R., 1972. Biochemical Ecology of water pollution. Plenum press. New
York.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan


lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta.

FAO, 1992. Guidelines for the promotion of Enviromental Management of


Coastal Aquaculture Development Fish. Tech. Paper, 328:131.

Goldman, C.R. and A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc Graw-Hill International


Book Company. New York.464p.

Golterman, H.L.1973. Natural Phosphate Sources in Relation to Phosphate


Budgets : A Contribution to the Understanding of Eutrophication. Water
Res., Amsterdam.7 : 3.

Hans W. Paerl, Hai Xu, Mark J. McCarthy, Guangwei zhu, Bogiang Qin, Yiping
Li, Wayne S. Gardner 2010. Controling harmful cyanobacterial blooms in
a hyper-eutrophic lake (Lake Taihu, China): The need for a dual nutrient
(N&P) management startegy.Jornal water research. Vol 45. 29:1973-1983.

Hamilton, D.P. dan S.G. Schaldow.1994. Modeling the sources of oxygen in an


Australian Reservoir. Vert.Internat.Verein.Limnol.25:128-1285.

Henderson-Seller, B. and H. R. Markland. 1987. Decaying Lakes. John wiley And


Sons Ltd. Chichester.

Hehanusa P.E dan Haryani G.S. 2001. Kamus Limnologi (Perairan Darat). IHP-
UNESCO
68

Hynes, H.B.N. 1978. The Ecology Of Running Waters. Universiti Press. Liver-
pool.

Ilyas, S. 1992. Pedoman teknis pengelolaan peraiaran umum bagi perikanan. Seri
Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/Kan/09/1992. Badan
Litbang Pertanian. 80 p.

Kaswadji, R.F. 1976. Studi Pendahuluan Tentang Penyebaran dan Kelimpahan


Fitoplankton di Delta Upang Sumatera Selatan. Skripsi dalam Bidang
Biologi Perikanan Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. Second Edition. CRC Press. Boca
Ration. Florida.

Lawson, T.B. 1995. Fundamentals of Aquacultural Engineering. Chapman and


Hall, New York, pp: 1-335.

Liaws, E.A. 1993. Aquatic Pollution: An Introductory Test 2 Ed. John Wiley &
Sons,Inc.New York.

Linkes, G.E.,1972. In: Nutrients and Eutrophication Americ. Soc. Limnol.


Oceanog. Spesial Symp.1.

Lytras, 2007. Developing Models for lake Management. Journal Desalination 213:
129-134.

Masson, C.V. 1981. Biology of Freshwater pollution. Longman Scientific and


Technical. Longman Singapore Publisher Ptc. Ltd., Singapore.

Makereth, F.J.H., Heron, J. And Talling, J.F.1989. Water Analysis. Freshwater


Biological Association. London.415p.

Mayunar, R.Purba dan P.T. Ismanto.1995. Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan
laut. Di dalam: Achmad Sudrajad et al, editor. Prosiding Temu Usaha
Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring bagi Budidaya Laut, Jakarta,
12-13 April 1995. PPP Perikanan-FKPPA.

Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya, 2000. Perancangan Dengan Aplikasi SAS dan
MINITAB, jilid I. IPB, Bogor.

Moss, B. 1993. Ecology of Freshwaters. Second edition. Blackwell Scientific


Publications. London, UK.

Odum EDP. 1971. Fundamentalis of Ecology. Ed. Ke-3. WB Saunders Company.


Phililadelphia. 574p.
69

Odum EDP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Vol ke-3. Samingan, penerjemaah


Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Terjemahan dari:
Fundamental of Ecology.

Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi: Terjemahan dari Fundamental of


Ecology. Alih Bahasa Samingan, T.Edisi Ketiga. Universitas Gajah mada
Press, Yogyakarta.67p.

Parsons, T dan M. Takashi 1973. Biological Oceanography Processes. Inst. Oce.


University of British Columbia Pergamon Press. Oxford

Parsons TR, M Takashi, B Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes.


Ed. Ke-3. Pergamon Press. Oxford.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for
Tropical Countries. Bangkok; AIT.

Philips, M.J., M.C.M. Beveridge and L.G. Ross,1985. The environmental impact
of salmonid cage culture on inland fisheries; present status and future
trends. J. Fish. Biol.,27: 123-127.

Poernomo, K. 1994. Beberapa aspek biolimnologi dan sumberdaya perikanan di


danau Singkarak. Bul. Penel. Perik. Darat. Vol 12. No.2 Hal: 166-170.

Prihadi, Tri, H. 2005. Pengelolaan Budi Daya Ikan Secara Lestari Di Waduk.
(Studi Kasus Di Perairan Waduk Cirata Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.

Pulatsu, 2003. The Aplication of a Phosphorus Budget Model Estimating the


Carrying Capacity of Kesikopru Dam Lake.27: 1127-1130.

Qiu, D.,L. Hiuang, J.Zhang, S.Lin 2010. Phytoplankton Dynamic,dan Silikat


(SiO2) mic in and Near The Highly Eutrophic Pearl River Estuary,South
China Sea.Continental Shelf Research 30 : 178-186.

Ray, P., N.O.S. Rao. 1964. Density of Fresh Water Diatom in Relations to Some
Physico Chemical Condition of Water. Indian Journal Fish. 11(1):479-484.

Raymont, J.E.G. 1980. Plankton and Productivity in the Ocean. New York : Mc.
Millan Co.

Rahmansyah, Makmur dan kamaruddin. 2004. Pendugaan laju sedimentasi dan


disperse limbah parteikel orgaic dari budi daya banding dalam karamba
jarring apung dilaut. JPPI, Vol.10 (2):89-99.

Reynolds, C.S., J.G. Tundisi and K. Hino. 1984. Observation on a Metalimnetic


Phytoplankton Population in a Stably Tropical lake. Arch.Hydrobyol.
Argentina. 97: 7-17.
70

Reynolds, C.S. 2006. The Ecology of phytoplankton. Cambridge University Press.


UK.

Rosenberg, D.M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic


Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London.

Ruttner, F. 1973. Fundamental of Limnology. Third Edition. Univeristy of


Toronto Press, Canada.

Ryding, S.O., W. Rast (Editor) 1989. The Control of Eutrophication of lakes and
Reservoirs. The Parthenon Publishing Group,Paris.

Sellers, B.H. and H.R. Markland. 1987. Decaying Lakes : The Origins and
Control of Culture Eutrophication. John Wiley & Sons Ltd., New York.
253 p.

Straskraba, M., J.G. Tundisi. 1999. Guidelines of lake Management.Vol: 9


Reservoir water Quality Management. International Lae environment
Commite, Shiga-Japan.

Sterner, T. 2007. Unobeserved diversity,depletion and irrevesiblity:the importance


of subpopulation for management of cod stock Ecological Economics 16
(2) 566-574.

Sukadi. F, Endi. S.K, Sony. K, Maskur, Sutrisno. S, Rina, Agus. S, Murtiati,


Fatriandi.N.P, Deni.J, Chairulwan.U, 2007. Petunjuk Teknis Pengelola
Perikanan Bersama Pada Perikanan Waduk Di Indonesia, Departemen
Kelautan Dan Perikanan, Australian Centre For International Agricultural
Research. 57 p.

Sulaksmi, R. 2007. Analisis Dampak Parawisata Terhadap Pendapatan dan


Kesejahteraan Masyarakat sekitar Kawasan Taman Wisata alam laut Pulau
Weh Kota Sabang. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Straskraba, M., J.G. Tundisi. 1999. Guidelines of lake Management.Vol: 9


Reservoir water Quality Management. International Lae environment
Commite, Shiga-Japan.

Sterner, T. 2007. Unobeserved diversity,depletion and irrevesiblity:the importance


of subpopulation for management of cod stock Ecological Economics 16
(2) 566-574.

Thomann, R.V., Mueller, J.A., 1987. Principles of Surface Water Quality


Modeling and Control. Harper Collins Publishers, New York,664 pp.

Thornton, K.W, B.L. Kimmel and F.E.Payne. 1990. Reservoir Limnology :


Ecology Perspective. John Wiley & Sons. Inc,New York. 246p.
71

(UNEP) United Nations Environment Programme. 1993. Training Manual on


Assessment of the Wuantity and Type of Land-Based Pollutiont
Discharges Into the Marine and Coastal Environment. RCU/EAS
Technical Reports Series No.1.

Umaly, R.C dan M.A.L.A. Cuvin. 1988. Limnologi Laboratory and Field Guide
Physicochemical Factors, Biological Factors. National Book Store
Publisher. Manila. Philippines.

Vollenweider R.A. 1974. A Manual on Method for Measuring Primary Production


in Aquatic Environments. IBP Handbook No.12. Blackwell Scientific
Publication, Oxpord.359 p.

Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas`Air Untuk keperluan Pertanian dan


Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. PPLH-UNDP, PUSDI-
PSL. Institut Pertanian Bogor.

Wahyudi, S.I. Esti Santoso. 2002. Kaji Ulang Pedoman Operasioanal dan
Pengukuran Ecahounding Waduk Malahayu. Laporan Akhir Dinas PSDA
Jawa Tengah dan Linmit Unisula Semarang.

Wahyudi S.I, Fauzi Fahrudin 2004. Pemutakhiran Pedoman Operasional Waduk


Malahayu. Laporan Akhir Dinas PSDA Jawa Tengah dan Limit Unisula
Semarang.

Wetzel, R.G. 1975. Limnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia, Pennsylvania.

Welch, E.B. 1980. Ecological effects of wastewater. Cambridge University Press.


Cambridge,London.337.p.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Second edition.CBS College Publishing United


States of America.

Wetzel, R.G. 2001. Limnology. Lake and River Ecosiytem 3 Ed.Academic Press.
London.

Widjaja, F. and E.M. Adiwilaga. 1995. Trophic Status Evaluation of the Main
Reservoir in Citarum Watershed, West Java. Tropical Limnology, Tropical
Lakes and Reservoirs. Proceeding of the International Conference on
Tropical Limnology in Commermoration of the 65, Salatiga. 12 : 287-293.

Widigdo, B. 2000. Penyusunan Kriteria Ekobiologis untuk pemulihan dan


Pelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL, Bogor.

Widyayanti, I.D. 2007. Analisis Hubungan Pengunaan Lahan Terhadap Erosi dan
Sedimentasi dengan menggunakan Model Answer Pada Sub DAS .

You might also like