Professional Documents
Culture Documents
Infeksi saluran kemih merupakan 40% dari seluruh infeksi nosokomial dan
dilaporkan 80% ISK terjadi setelah instrumenisasi, terutama oleh kateterisasi.
Infeksi ini terjadi akibat ketidakmampuan dalam mengendalikan maupun
menghindari faktor resiko. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di
ruang rawat inap penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh 2012. Jenis penelitian adalah correlation study. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara non probability sampling menggunakan teknik purposive
sampling dengan jumlah sampel sebanyak 35 perawat yang bekerja di ruang rawat
inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh. Pengumpulan data dengan lembar
observasi yang terdiri dari 27 item pernyataan dan 2 item hasil laboratorium.
Metode analisis data dengan menggunakan uji statistik Fisher Exact, hasil
penelitian adalah ada hubungan antara pemasangan kateter (P-value 0,019)
dengan kejadian infeksi saluran kemih di ruang rawat inap penyakit dalam
RSUDZA Banda Aceh. Saran bagi perawat adalah agar dapat meningkatkan
teknik aseptik serta perawatan yang dilakukan pada kateterisasi sehingga dapat
mencegah terjadinya kejadian infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.
A. LATAR BELAKANG
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran
kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme.
Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan
3
timbul dari infeksi saluran kemih diperkirakan lebih dari 13.000 (2,3% angka
kematian). Sementara itu, kurang dari 5% kasus bakteriuria berkembang
menjadi bakterimia. Infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan kateter
adalah penyebab utama infeksi sekunder aliran darah nosokomial. Sekitar 17%
infeksi bakterimia nosokomial bersumber dari infeksi saluran kemih, dengan
angka kematian sekitar 10% (Gould & Brooker, 2009).
Kateter urine adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih
untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih. Kateter urin sangat umum digunakan pada situasi
berikut: (1) retensi urin, (2) inkontinensia urin, dan (3) untuk memantau jumlah
haluaran urin dalam jangka waktu tertentu pada pasien yang lemah (Marrelli,
2007, p.265).
Kateter urin adalah penyebab yang paling sering dari bakteriuria. Risiko
bakteriuria pada kateter diperkirakan 5% sampai 10% per hari. Kemudian
diketahui, pasien akan mengalami bakteriuria setelah penggunaan kateter
selama 10 hari. Infeksi saluran kemih merupakan penyebab terjadinya lebih
dari 1/3 dari seluruh infeksi yang didapat di rumah sakit. Sebagian besar infeksi
ini (sedikitnya 80%) disebabkan prosedur invasif atau instrumentasi saluran
kemih yang biasanya berupa kateterisasi (Smeltzer & Bare, 2001, p.2419 &
p.1387).
Suatu kateter kandung kemih dimasukkan: setelah pembedahan, untuk
mendapatkan urine yang steril untuk pemeriksaan, untuk menentukan residu
urine (berapa urine yang tertinggal setelah pengeluaran urine spontan), jika
dilakukan pencucian kandung kemih, pada terjadinya retensi urine (jika
seorang pasien tidak mampu berkemih dan kandung kemih menjadi terlalu
penuh), pada inkontinensia urin. Lumen suatu kateter menjadi sumber yang
paling utama dari suatu infeksi. Keluhan-keluhan dan penyimpangan berikut ini
akan menunjukkan adanya infeksi saluran kemih: pada wanita sakit yang
membandel pada perut bagian bawah, pada pria sakit disekitar muara uretra,
urin yang baru dikeluarkan berbau agak menyengat dan agak berkabut, ada
peningkatan suhu tubuh (Stevens, 1999, p.328).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Afsah (2008), tentang tingkat
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan terpasang kateter urin di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta, menunjukkan bahwa dari 30 responden
terdapat angka infeksi saluran kemih sebanyak 20%.
Berdasarkan data rekam medis di RSUDZA Banda Aceh (2009-2011),
diketahui terjadi peningkatan kasus infeksi saluran kemih tiap tahunnya,
dengan rata-rata pertahun terdapat 75 kasus. Dari hasil pengamatan peneliti
pada minggu kedua bulan April 2012 lalu di ruang rawat inap penyakit dalam
RSUDZA Banda Aceh diketahui adanya keluhan dari beberapa pasien
5
B. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan antara pemasangan kateter dengan
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit
dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012.
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi perawat
Bagi perawat, khususnya perawat pada RSUDZA Banda Aceh, untuk
menambah pengetahuan serta sebagai bahan kajian keilmuan dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
2. Bagi institusi pendidikan keperawatan
Khususnya Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, sebagai bahan tinjauan keilmuan
khususnya dibidang ilmu keperawatan medikal bedah sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan peserta didik dalam melakukan peran
profesionalnya nanti.
3. Bagi penelitian keperawatan
Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan informasi bagi penelitian
selanjutnya dengan pembahasan yang sama.
4. Diagnosis
Diagnosis ISK umumnya bergantung pada identifikasi terhadap
organisme misalnya sel darah putih dalam spesimen urin yang diambil
langsung atau urin yang terdapat di kateter. Jumlah dari organisme
digunakan untuk menggambarkan kemungkinan infeksi yang biasanya
yaitu ada 100.000 unit koloni per millimeter (cfu/ml). Secara umum
adanya sel darah putih (biasanya > 10 wbc/mm) dalam spesimen urin
merupakan diagnostik kuat, dimana sel ini menandakan respon
peradangan pejamu terhadap organisme. Adanya organisme tanpa adanya
sel darah putih dipertimbangkan sebagai bakteriuria daripada dianggap
sebagai infeksi.
5. Tujuan pengobatan
Menurut Yogiantoro, dkk dalam Tjokroprawiro, dkk (2007, p.232)
tujuan dari pengobatan ISK:
a. Menghilangkan kuman dan koloni kuman
b. Menghilangkan gejala
c. Mencegah dan mengobati sepsis
d. Mencegah gejala sisa
E. Kateterisasi Perkemihan
1. Definisi dan Klasifikasi Kateterisasi
Kateter adalah alat bedah yang berupa selang atau pipa dan bersifat
lentur yang dimasukkan kedalam rongga tubuh untuk menghisap atau
memasukkan cairan (Dorland, 2010, p.357).
Kateter urine adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung
kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui
uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut
pendekatan suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007, p.265).
Ada tiga macam kateter kandung kemih, yaitu kateter dengan selang
pembuangan satu buah, dengan dua buah dan dengan tiga buah saluran
pembuangan. Saluran pembuangan ini dinamakan lumen. Kateter dengan
tiga lumen dengan sendirinya akan memiliki garis tengah (jadi lebih
gemuk) yang lebih besar dibanding kateter dengan satu lumen. Kateter
yang dipakai tergantung pada tujuan memakai kateter tersebut: kateter
dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu kali, kateter dengan dua
lumen adalah kateter yang ditinggal tetap disitu satu lumen dipakai sebagai
saluran pembuangan urine, lumen yang lain dipakai untuk mengisi dan
mengosongkan balon yang dipasang pada ujungnya. Balon ini diisi jika
kateter dimasukkan dengan cara yang tepat. Jumlah air destilasi tertentu,
yang menyebabkan kateter tidak dapat tergeser dan tetap berada dalam
9
kandung kemih. Baru setelah kateter akan dilepas, balon ini harus
dikosongkan. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai untuk tujuan
membilas kandung kemih. Disini satu lumen dipakai untuk memasukkan
cairan pembilas, satu sebagai saluran pembuangan cairan, dan satu untuk
balon penampungan (Stevens, 1999, p.328).
Menurut Hegner dan Caldwell (2003, p.579), ada dua jenis kateter
yang digunakan untuk mendrainase urin, yaitu:
a. Kateter french adalah selang berlubang. Biasanya terbuat dari karet
yang lembut atau plastik. Kateter ini digunakan untuk mengeringkan
kandung kemih dan tidak terus menerus berada di kandung kemih.
b. Kateter foley mempunyai balon di sekeliling bagian lehernya. Balon
ini diberi udara (air) setelah kateter masuk ke kandung kemih. Kateter
ini dikenal juga sebagai kateter retensi atau indweling.
Menurut Murwani (2009, p.42), terdapat 5 jenis kateter berdasarkan
bahan yang digunakan, yaitu:
a. Kateter plastik : digunakan sementara karena mudah rusak dan tidak
fleksibel.
b. Kateter latex/karet : digunakan untuk penggunaan/pemakaian dalam
jangka waktu sedang (kurang dari 3 minggu).
c. Kateter silikon murni/teflon : untuk penggunaan jangka waktu lama 2-
3 bulan karena bahan lebih lentur pada meatus uretra.
d. Kateter PVC (Polyvinylchloride) : sangat mahal, untuk penggunaan 4-
6 minggu, bahannya lembut, tidak panas dan nyaman bagi uretra.
e. Kateter logam : digunakan untuk pemakaian sementara, biasanya pada
pengosongan kandung kemih pada ibu yang melahirkan.
2. Indikasi dan kontra indikasi
Kateterisasi dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa,
khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu
melakukan urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain,
yaitu : untuk menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung
kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang
menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada
kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara
untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat
(Smeltzer & Bare, 2001, p.1387).
Menurut Charlene, dkk (2001, p.221), ada 8 indikasi penggunaan
kateter yaitu: untuk menyembuhkan retensi urin, mengurangi tekanan pada
kandung kemih, memudahkan pengobatan dengan operasi, mempercepat
pemulihan jaringan setelah operasi, memasukkan obat kedalam kandung
10
Perry dan Potter (2005, p.1721) menjelaskan bahwa perawatan pasien dengan
pemasangan kateter sebagai berikut:
1. Asupan cairan
Semua pasien yang terpasang kateter harus mengkonsumsi cairan
sebanyak 2000 sampai 2500 ml per hari, jika diizinkan. Jumlah cairan ini
dapat diperoleh dari asupan oral atau infus intravena. Asupan cairan dalam
jumlah besar menghasilkan volume urin yang besar, yang membilas
kandung kemih dan menjaga selang kateter bebas dari sedimen.
2. Higiene perineum
Pembentukan sekresi atau krusta pada tempat insersi kateter merupakan
sumber iritasi dan potensial menyebabkan infeksi. Perawat memberikan
perawatan kebersihan perineum sekurang-kurangnya dua kali sehari atau
sesuai kebutuhan klien yang terpasang kateter akibat retensi. Sabun dan air
efektif mengurangi jumlah organisme di sekitar uretra.
3. Perawatan kateter
Selain merawat kebersihan perineum secara rutin, banyak institusi
merekomendasikan supaya klien yang terpasang kateter mendapatkan
perawatan khusus tiga kali sehari dan setelah defekasi atau inkotinensia usus
untuk membantu meminimalkan rasa tidak nyaman dan infeksi.
I. Perawatan Kateter
Perawatan kateter tetap meliputi:
1. Bersihkan daerah sekitar kateter yang masuk ke dalam orifisium uretra
dengan sabun dan air saat memandikan atau membersihkan kotoran pasien.
2. Hindari menggunakan bedak dan spray pada daerah perineal.
3. Jangan menarik kateter selama pembersihan (Nursalam & Batticaca, 2009,
p.19).
Murwani (2009, p.44) menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam perawatan kateter adalah sebagai berikut:
1. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah perawatan kateter.
2. Jangan biarkan klep pada sistem drainase tersentuh area yang
terkontaminasi.
3. Jangan biarkan hubungan sistem drainase terbuka/terputus.
4. Jika selang pada sistem drainase terputus, jangan sentuh bagian ujung
kateter atau selang. Usapkan antimikrobial solution sebelum selang atau
ujung kateter dihubungkan kembali.
5. Cegah terjadinya refluks urin ke kandung kemih (letakkan kantong
penampung urin di bawah kandung kemih)
6. Kosongkan kantong urin setiap 8 jam, atau jika sudah penuh.
7. Ganti kateter sesuai rencana keperawatan / 3-4 hari sekali.
17
J. Mengirigasi Kateter
Tindakan ini dilakukan untuk membersihkan dan menjaga aliran kateter
tetap berjalan dengan baik. Irigasi ini dipertahankan dengan sistem irigasi
tertutup untuk menjamin sterilitas. Perry, dkk (2005, p. 320) menjelaskan
prosedur irigasi kateter sebagai berikut:
1. Jelaskan prosedur pada klien, cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
2. Kaji abdomen bawah untuk tanda distensi kandung kemih.
3. Dengan menggunakan teknik aseptik, masukkan ujung slang irigasi steril ke
dalam kantung yang berisi larutan irigasi.
4. Tutup klem slang dan gantung kantung larutan pada tiang penggantung IV.
5. Buka klem dan alirkan larutan melalui slang, pertahankan ujung slang
steril, tutup klem.
6. Putar off bagian irigasi kateter lumen tripel atau hubungkan konektor-Y
steril ke kateter lumen ganda, kemudian hubungkan ke slang irigasi
(pastikan kantung drainase dan slang terhubung dengan aman).
7. Klem slang pada sistem drainase untuk aliran intermiten, buka klem pada
slang irigasi, dan alirkan sejumlah cairan yang diprogramkan masuk ke
kandung kemih (100 ml adalah normal untuk orang dewasa). Tutup klem
slang irigasi, kemudian buka klem slang drainase.
8. Untuk irigasi kontinu, hitung kecepatan tetesan dan atur klem pada slang
irigasi secara tepat; yakinkan klem pada slang drainase terbuka dan periksa
volume drainase pada kantung drainase.
9. Buang alat yang terkontaminasi, lepaskan sarung tangan, dan cuci tangan.
10. Catat jumlah larutan yang digunakan sebagai irigan, jumlah kembali
seperti yang didrainase, serta konsistensi drainase pada catatan perawat dan
lembaran asupan dari haluaran. Laporkan oklusi kateter, perdarahan tiba-tiba
infeksi, atau peningkatan nyeri pada dokter.
11. Cuci tangan dan dokumentasi
19
K. Melepas Kateter
Mubarak (2007, p.309) menjelaskan langkah-langkah dalam melepas
kateter tetap sebagai berikut:
1. Persiapan alat
a. Perlak
b. Spuit
c. Bengkok
d. Sarung tangan bersih
e. Kertas kloset (tisu)
f. Handuk
g. Sampiran
2. Persiapan pasien
a. Jelaskan pada pasien tentang tujuan dan prosedur tindakan yang akan
dilakukan
b. Mengatur posisi pasien
3. Cara kerja
a. Cuci tangan
b. Pasang sampiran di sekeliling tempat tidur
c. Pasang sarung tangan
d. Tutup aliran kateter
e. Cabut kateter
1) Letakkan bengkok di bawah kateter
2) Isap cairan dari balon
3) Jepit kateter dan tarik keluar
4) Lap ujung kateter dengan tisu
5) Alirkan sisa urin ke kantong
6) Gulung kateter dan masukkan ke bengkok.
f. Berikan rasa nyaman pada pasien
g. Dokumentasi
L. Pencegahan Infeksi
Menurut sukandar (dalam sudoyo, dkk, 2006, p. 566), Sebagian besar
peneliti tidak menganjurkan antibiotika sebagai pencegahan infeksi saluran
kemih terkait kateter. Di negara maju seperti USA, menganjurkan penggunaan
kateter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk
mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter.
Menurut Potter dan Perry (2005, p.1724) kateterisasi dapat diindikasikan
untuk berbagai alasan. Apabila waktu kateterisasi pendek dan upaya untuk
meminimalkan infeksi merupakan suatu prioritas maka metode kateterisasi
20
intermitten adalah yang terbaik. Cara untuk mencegah infeksi pada klien yang
menjalani kateterisasi yaitu :
a. Lakukan teknik mencuci tangan yang benar
b. Upayakan supaya klep pada sistem drainase tidak menyentuh permukaan
yang terkontaminasi.
c. Jangan membuka titik-titik penghubung pada sistem drainase untuk
mengambil specimen urin.
d. Apabila sambungan selang drainase terputus, jangan menyentuh bagian
ujung kateter atau selang. Bersihkan ujung selang kateter dengan larutan
antimikroba sebelum menyambungnya kembali.
e. Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk mengukur urin
untuk mencegah kontaminasi silang.
f. Cegah pengumpulan urine di dalam selang dan refluks urine ke kandung
kemih.
1) Hindari meninggikan kantong drainase melebihi ketinggian kandung
kemih klien.
2) Apabila perlu meninggikan kantong selama memindahkan klien ke
tempat tidur atau ke kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan
isi selang ke dalam kantong drainase.
3) Hindari lekukan selang yang besar, terbentang di atas tempat tidur.
4) Alirkan urin dari selang ke kantong.
5) Sebelum melakukan latihan atau ambulasi keluarkan semua urin dari
selang ke dalam kantong drainase.
g. Hindari menekuk atau mengklem selang dalam jangka waktu yang lama.
h. Kosongkan kantung drainase sekurang-kurangnya setiap 8 jam. Apabila
haluaran urin banyak, kosongkan dengan lebih sering.
i. Lepaskan kateter segera setelah kondisi medis memungkinkan.
j. Plester atau fiksasi kateter dengan benar.
k. Lakukan praktik higiene rutin berdasarkan kebijakan lembaga dan setelah
defekasi atau inkotinensia urin.
Smeltzer dan Bare (2001, p.1390) juga menjelaskan cara mencegah
infeksi pada pasien yang mendapatkan kateterisasi sebagai berikut:
a. Diperlukan tindakan asepsis yang ketat pada saat memasang kateter.
b. Sistem drainase urin tertutup yang dirakit sebelumnya dan steril sangat
penting dan tidak boleh dilepas, sebelum, selama, atau sesudah pemasangan
kateter.
c. Untuk mencegah kontaminasi pada sistem tertutup, selang tidak boleh
dilepas dari kateter. Tidak boleh ada bagian kantong penampung urin atau
selang drainase yang terkontaminasi.
d. Kantong penampung urin tidak boleh ditinggikan di atas ketinggian
21
kandung kemih pasien karena tindakan ini akan menyebabkan aliran urin
yang terkontaminasi ke dalam kandung kemih dari kantong penampung.
e. Urin tidak boleh dibiarkan berkumpul dalam selang karena aliran urin yang
bebas harus dipertahankan untuk mencegah infeksi. Drainase yang tidak
sempurna akan terjadi bila selangnya tertekuk atau terpilin sehingga urin
akan berakumulasi dalam selang tersebut.
f. Kantong penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong dan selang
pengumpul harus segera diganti jika terjadi kontaminasi, aliran urin
tersumbat atau tempat pertemuan selang dengan kateter mulai bocor.
g. Kantong urin harus dikosongkan setiap 8 jam sekali melalui katup drainase
lebih sering jika urin terdapat dalam volume yang besar.
h. Irigasi kateter tidak boleh dilakukan sebagai tindakan rutin.
i. Kateter urin tidak boleh dilepaskan dari selang untuk mengambil sample
urin, mengirigasi kateter, memindahkan atau mengubah posisi pasien.
j. Jika kateter harus dibiarkan terpasan beberapa lama, kateter tersebut harus
diganti secara periodik, sekitar seminggu sekali, maka pemasangan kateter
tidak boleh dihentikan tanpa latihan kandung kemih.
k. Tindakan mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan setelah pemasangan
kateter, selang dan kantong penampung urin.
l. Kateter urin harus dicuci dengan sabun dan air sedikitnya dua kali sehari,
gerakan yang membuat kateter bergeser maju-mundur harus dihindari.
m. Ketika kateter dilepas, pasien harus dapat melakukan urinasi dalam waktu 8
jam, jika pasien tidak dapat melakukan urinasi, kateterisasi dilakukan
dengan kateter yang lurus.
n. Jika terlihat tanda-tanda infeksi, spesimen urin harus segera diperoleh untuk
pemeriksaan kultur.
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
A. Kerangka Kerja
Kerangka kerja yang digunakan pada penelitian ini menggambarkan
hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih
pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun
2012. Untuk melihat terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien yang
terpasang kateter di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh,
22
peneliti menggunakan konsep dari Smeltzer dan Bare (skema 3.1). Dimana
menurut Smeltzer & Bare diperlukan urinalisa untuk melihat adanya
bakteriuria dan piuria sebelum menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih.
Pemasangan kateter pada penelitian ini menjadi varibel bebas
(independen) yaitu variabel yang menentukan variabel lain. Sedangkan infeksi
saluran kemih menjadi variabel terikat (dependen) yaitu variabel yang nilainya
ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2011, p.97). Secara skematis kerangka
kerja penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Variabel independen Variabel dependen
C. Definisi Operasional
Hubungan Antara Pemasangan Kateter dengan Kejadian Infeksi
Saluran Kemih pada Pasien di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA
Banda Aceh Tahun 2012.
Tabel 3.1
Definisi Operasional
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
korelasi (correlation study). Menurut Notoatmodjo (2010, p.47), penelitian
studi korelasi merupakan penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan
antara dua variabel pada sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk melihat
hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Untuk mengetahui
korelasi antara suatu variabel dengan variabel lain tersebut dilakukan
identifikasi variabel yang ada pada suatu objek, kemudian diidentifikasi pula
variabel lain yang ada pada objek yang sama dan dilihat apakah terdapat
hubungan antara keduanya. Disini peneliti ingin melihat hubungan antara
pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di
ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012.
F. Pengolahan Data
Setelah kuesioner yang telah diisi oleh responden dikumpulkan lalu
dilanjutkan dengan melakukan pengolahan data. Pengolahan data dalam
penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah yang dikemukakan oleh
Budiarto (2001, p.29). Adapun langkah-langkah yang dilakukan:
1. Editing, yaitu mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam pengisian atau
pengambilan data. Pada tahap ini data dikumpulkan lalu dilakukan
pengecekan identitas responden, mengecek kelengkapan data dengan baik
dan tidak ditemukan data yang hilang.
2. Coding, yaitu memberikan kode berupa nomor pada setiap kuesioner
sesuai dengan responden yang diawali 01 untuk responden pertama
sampai 35 untuk responden terakhir.
3. Transfering, yaitu data yang telah diberi kode disusun secara berurutan
dari responden pertama sampai responden terakhir untuk dimasukkan
26
G. Analisa Data
Teknik analisa yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
1. Analisa univariat
Menurut Arikunto (2002, p.240), untuk mengetahui hubungan
pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih dilakukan
analisa data dengan mencari mean atau rata-rata dengan rumus:
x=
x
n
Keterangan:
x : mean (nilai rata-rata)
x : jumlah nilai mentah yang dimiliki subjek
n : banyak subjek yang diteliti
Untuk persentase tiap variabel digunakan rumus sebagai berikut:
keterangan:
p : persentase
fi : frekuensi teramati
n : jumlah sampel
2. Analisa bivariat
Pada peneitian ini, analisa bivariat yang digunakan untuk
mengukur hubungan adalah analisa silang dengan menggunakan tabel
silang yang di kenal dengan baris kali kolom (B x K) dengan derajat
kebebasan (df) yang sesuai dengan tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05)
(Candra, 2009, p.99).
Perhitungan statistik untuk analisa variabel penelitian tersebut
dilakukan dengan menggunakan program komputer yang diinterpretasikan
dalam nilai probabilitas (p-value). Pengolahan data diinterpretasikan
menggunakan nilai probabilitas dengan kriteria sebagai:
27
a. Bila pada tabel 2x2, dan tidak ada nilai E (harapan) <5, maka uji yang
di pakai sebaiknya Continuity Correction.
b. Bila pada tabel 2x2 di jumpai nilai E (harapan) <5, maka uji yang
digunakan adalah Fisher Exact.
c. Bila table lebih dari 2x2, misalnya 3x2, dan lain-lain, maka digunakan
uji Pearson Chi-Square.
Pengujian hipotesa dengan kriteria bahwa P-value > , maka
hipotesa (Ho) diterima dan sebalikanya apabila P-value , maka hipotesa
(Ho) ditolak (Hastono, 2006, p.103).
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pengumpulan data dilakukan selama 48 hari dimulai tanggal 03
Agustus -20 September 2012 di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA
Banda Aceh dengan jumlah responden 35 orang. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan tentang
prosedur kateterisasi sebanyak 27 item pernyataan dan tabel observasi hasil
laboratorium sebanyak 2 item observasi yaitu untuk melihat adanya bakteriuria
dan piuria. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah dilakukan,
diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Data demografi responden
Data demografi yang diukur meliputi: jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan lama masa kerja. Adapun distribusi frekuensinya dapat
dilihat pada tabel 5.1.
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 35 orang
responden, jenis kelamin terbanyak adalah wanita yaitu berjumlah 30
responden (85,7%), tingkat pendidikan pada kategori akper berjumlah 24
responden (68,6%) dan lama masa kerja di atas 2 tahun berjumlah 25
responden (71,4%).
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Data Demografi responden yang melakukan
pemasangan kateter di ruang rawat inap penyakit dalam
RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012
(n=35)
28
1. Analisa Univariat
a. Gambaran Pemasangan Kateter di Ruang Rawat Inap Penyakit
Dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012
Berdasarkan pengolahan data variabel pemasangan kateter di
ruang rawat inap penyakit dalam rsudza banda aceh tahun 2012
didapatkan nilai total 1815 dengan nilai rata-rata 51,9. Selanjutnya
pemasangan kateter dikatakan baik apabila x 51,9 dan buruk bila x <
51,9(lampiran). Hasil pengkategorian tersebut dapat dilihat pada tabel
5.2 dibawah ini:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Pemasangan Kateter di Ruang Rawat
Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh
Tahun 2012
(n=35)
No Kategori F (%)
1 Baik 28 80
2 Kurang 7 20
Jumlah 35 100
29
3. Analisa bivariat
a. Hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih
Untuk mengetahui hubungan antara pemasangan kateter dengan
kejadian infeksi saluran kemih di ruang rawat inap penyakit dalam
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2012
dapat dilihat pada tabel contingency 2x2 berikut:
Tabel 5.4
Hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam
RSUDZA Banda Aceh tahun 2012
Infeksi saluran kemih
Pemasangan Total P
Tidak Ada
Kateter Value
F % F % F %
Kurang 4 11,5 3 8,6 7 20
0,05 0,019
Baik 27 77,1 1 2,9 28 80
30
B. Pembahasan
Kateterisasi merupakan tindakan memasukkan selang plastik atau karet
melalui uretra ke dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2005, p.1710).
Pemasangan kateter semakin lama akan menurunkan sebagian besar daya
tahan alami pada traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus
periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur
artifisial untuk masuknya kuman (mikroba patogen) ke dalam kandung kemih
(Smeltzer & Bare, 2001, p.1387). Kemudian mikroba patogen tersebut akan
berkembang biak maka akan mengakibatkan kerusakan serta gangguan fungsi
organ semakin luas yang akhirnya memunculkan manifestasi klinis yang
signifikan untuk diagnosis infeksi saluran kemih (Darmadi, 2008,
p.26).Saluran kemih adalah tempat yang paling sering mengalami infeksi
nosokomial. Pemasangan kateter dan lamanya dipasang sangat mempengaruhi
kejadian terjadinya infeksi saluran kemih, tetapi tidak semua klien yang
dipasang kateter mengalami infeksi saluran kemih (Tessy, 2004, p.54).
Barbara & Smeltzer (2001 p.1385) menyatakan bahwa infeksi saluran
kemih menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di rumah sakit.80%
dari infeksi saluran kemih disebabkan oleh kateter uretra.Infeksi saluran
kemih setelah pemasangan kateter terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam
kandung kemih dengan jalan berenang melalui lumen kateter, rongga yang
terjadi antara dinding.kateter dengan mukosa uretra, sebab lain adalah bentuk
uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik. Sehingga pasien yang mengalami
infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan
yang lebih lama dari yang seharusnya sehingga biaya perawatan akan menjadi
bertambah dan masalah ini juga dapat memperburuk kondisi kesehatan klien,
31
ini dapat dicegah tentunya dengan teknik pemasangan kateter yang aseptik
serta perawatan kateter yang baik.Seseuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Potter & Perry (2005, p.1721) bahwa perawatan kateter adalah suatu
tindakan keperawatan dalam memelihara kateter dengan antiseptik untuk
membersihkan ujung uretra dan selang kateter bagian luar serta
mempertahankan kepatenan kelancaran aliran urin pada sistem drainase
kateter. Pasien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi saluran kemih
melalui berbagai cara. Perawatan kateter merupakan tindakan yang penting
untuk mengontrol infeksi.Perawatan kateter yang salah dapat menyebabkan
masuknya mikroorganisme.Daerah yang memiliki resiko masuknya
mikroorganisme ini adalah daerah insersi kateter, kantung drainase,
sambungan selang, klep, dan sambungan antara selang dan kantung.
C. Keterbatasan penelitian
Keterbatasan penelitian adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa hambatan yaitu:
1. Ketidak pastian adanya pasien yang sesuai dengan kriteria penelitian.
Sehingga membuat jangka waktu penelitian ini menjadi lebih lama.
2. Pasien wanita merasa tidak nyaman ketika peneliti melakukan observasi.