You are on page 1of 33

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Theodora Dolorosa
112015219
RS Panti Wilasa Dr. Cipto
Jl. Dr. Cipto No. 50, Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Telp. (024) 3546040
theodora.dolorosa@yahoo.com

PENDAHULUAN

Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari
posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3, sebagai
penyebab kematian terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok ditengarai
penyebab meningkatnya prevalensi penderita penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK).1
Alasan dibuatnya laporan penulisan ini adalah karena penulis tertarik
tentang bagaimana penyakit PPOK dapat sangat mempengaruhi kelangsungan
hidup penderitanya terutama dalam aktivitas sehari-hari. Selain itu, prevalensi pria
dan wanita yang menderita PPOK juga tidak jauh berbeda walaupun pria dominan
sebagai perokok aktif. Tujuan laporan penulisan ini juga untuk memberikan
informasi kepada masyarakat mengenai penyakit PPOK, langkah-langkah
penanganannya, serta pencegahan supaya orang sehat tidak sampai terkena PPOK
dan yang sudah mempunyai riwayat PPOK tidak sampai bertambah buruk.

Secara global, sejak 2010, COPD memengaruhi sekitar 329 juta orang (4,8% dari
populasi dunia) dan lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada
perempuan. Perbandingan ini adalah yang dilakukan di antara 64 juta yang
terpengaruh COPD pada 2004. Kenaikan jumlah di negara-negara berkembang
yang terjadi antara 1970 dan 2000-an diyakini terkait dengan semakin tingginya
perilaku merokok di wilayah ini, populasi yang meningkat dan populasi yang
menua yang disebabkan karena berkurangnya kematian karena akibat lain seperti
penyakit-penyakit menular. Angka prevalensi COPD ini meningkat di beberapa
negara maju, dan di beberapa negara maju lainnya stabil dan menurun. Jumlah
global diperkirakan akan terus meningkat karena faktor risiko masih sama dan
populasi semakin menua.

1
Antara 1990 dan 2010 angka kematian yang disebabkan oleh COPD sedikit
menurun dari 3,1 juta menjadi 2,9 juta. Secara umum COPD menjadi penyebab ke
empat kematian tertinggi. Di beberapa negara, mortalitas menurun pada laki-laki,
namun meningkat pada perempuan. Kemungkinan terbesarnya adalah karena
angka merokok pada perempuan dan laki-laki semakin mirip. COPD lebih banyak
terjadi pada orang tua; ini berdampak pada 34-200 dari 1000 orang yang berusia
lebih dari 65 tahun, bergantung pada populasi yang dilihat.

Di Inggris, kira-kira 0,84 juta orang (dari 50 juta) terdiagnosis mengalami COPD;
yang berarti sekitar satu dari 59 orang terdiagnosis COPD semasa hidupnya. Di
wilayah dengan kondisi sosioekonomi yang paling rendah di Inggris, satu dari 32
orang terdiagnosis COPD, dibandingkan dengan satu di antara 98 di wilayah yang
paling kaya. Di Amerika Serikat, sekitar 6,3% dari populasi dewasa, dari sekitar
15 juta orang, telah terdiagnosis terkena COPD. 25 juta orang mungkin terkena
COPD jika kasus yang tidak terdiagnosis diperhitungkan. Pada 2011, terdapat
sekitar 730.000 rawat inap pasien COPD di Amerika Serikat.2

Prevalensi
Estimasi dengan pemodelan di 12 negara Asia Tenggara diperkirakan prevalensi
PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi maksimum ada di negaraVietnam (6,7%)
dan RRC (6,5%) . Hasil Penelitian lain dari Bold Study pada 12 negara di dunia
dengan jumlah sampel total sebesar 9425 responden yang telah dilakukan
pemeriksaan spirometri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala respirasi, status
kesehatan dan faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK
menurut jenis kelamin sebagai berikut3 :

2
Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa secara umum prevalensi PPOK lebih tinggi
pada laki-lakidibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan
menunjukkan prevalensi PPOK tertinggi baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan kota Lexington di Amerika Serikat prevalensi PPOK tertinggi kedua
pada kelompok perempuan namun pada laki-laki hanya menunjukan prevalensi
kelima dari 12 negara yang diteliti.

1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel2.(guideline GOLD terbaru)

Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh


diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara
lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi
sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam
saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya
kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway disease]]) dan destruksi
parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru, yang juga
disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada
saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.

Banyak definisi terdahulu menekankan emfisema dan bronkitis kronis,


yang sekarang sudah tidak termasuk dalam definisi PPOK. Emfisema atau
kerusakan permukaan pertukaran gas paru (alveoli), adalah kata patologis yang
sering digunakan dan menjelaskan, hanya satu dari beberapa abnormalitas
struktural yang terjadi pada penderita PPOK, dengan kata lain emfisema
merupakan suatu diagnosis patologik. Bronkitis kronis, atau batuk dan produksi
sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 tahun, tetap merupakan konsep
definitif yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis
dianggap sebagai diagnosis klinis.

2. Etiologi
a. Genetik.

3
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan
merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan.
Faktor resiko genetik yang telah diketahui adalah defisiensi
alpha-1 antitrypsin, suatu penghambat yang bersikulasi dari
protease serine.1
b. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita
gejala dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap
tahun dan angka mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko
PPOK pada perokok, bergantung pada banyaknya rokok
yang dikonsumsi, usia pertama kali mulai merokok, jumlah
total rokok yang dihisap pertahun dan status merokok saat
ini.
c. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan
faktor resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia
dan debu organik dan anorganik serta bau-bauan.

d. Polusi Udara Dalam Rumah.


Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi
dengan baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam
ruangan.
e. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan
PPOK tidak jelas, tetapi tampaknya lebih kecil
dibandingkan merokok. Polusi udara dari pembakaran
hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
f. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang
dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel
lainnya, atau secara eksogen dari polusi udara atau asap
rokok. Akibat dari ketidakseimbangan antara oksidan dan

4
anti oksidan maka paru-paru mengalami stress oksidatif.
Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga
mengaktivase mekanisme molekuler yang menginisiasi
inflamasi paru.
g. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi
saluran nafas, dapat juga berperan dalam eksaserbasi.
Akibatnya akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.
h. Status Sosioekonomi
i. Nutrisi.
j. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat
lebih besar menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa
tanpa menderita asma

3. Patofisiologi
PATOLOGI
Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru-
paru yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada
penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan
parenkim (menyebabkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan
mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan
patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan saluran nafas yang
progresif.
PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK
Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya
menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.

5
Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)

Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel


limfoid, fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,
eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon
inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T
Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel dan
endotel.
Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling
banyak pada perokok)
Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi
(banyak terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)
Vaskular Pulmonal

Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.


Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel

SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK


Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan
penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan
cairan lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi
dalam jaringan paru. Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease
pada pasien PPOK, sebagai respon terhadap asap rokok dan dapat menyebabkan
fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.
Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,
kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.

6
Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi

PATOGENESIS
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai
mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik),
memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi perubahan
struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel
inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi
antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.5

PATOGENESIS

7
Asap rokok, Partikel dan gas beracun

Faktor penjamu

Inflamasi paru

Antioksidan Antiprotease

Stress oksidatif Protease

Mekanisme Mekanisme perbaikan


perlindungan

Patologi PPOK

PATOFISIOLOGI
Berbagai kelainan fungsi paru terjadi pada PPOK namun penurunan yang terus
menerus aliran ekpirasi paksa maksimal merupakan gambaran fisiologis.22
Sebagai konsekuensi patologis, peradangan pada PPOK menginduksi serangkaian
perubahan fisiologis yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dan
kelangsungan hidup pasien PPOK. Pertama proteolisis elastin mengakibatkan
penurunan elastisitas paru, sedangkan integritas dan pergerakan udara di
bronkiolus terutama bergantung pada elastic recoil yang disebabkan oleh jaringan
elastis di sekitarnya. Kerusakan elastin menyebabkan penyempitan saluran napas
yang signifikan dengan penurunan aliran Universita Sumatera Utara udara di
bronkiolus dan air trapping di paru-paru. Kedua, remodeling dari jaringan yang
mengalami fibrosis yang menghasilkan saluran napas menyempit hingga
menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas yang tidak sepenuhnya
kembali bahkan dengan pemberian bronkodilator. Ketiga, apoptosis dari sel
alveolar dan sel-sel epitel bronkiolar dan pembuluh kapiler paru dan apoptosis
kapiler paru pada gambaran histologis seperti emfisema dan gambaran fisiologis
seperti penurunan luas permukaan alveoli untuk pertukaran gas dan ventilasi-
sirkulasi mismatch (V/Q). Emfisema juga mengurangi tekanan elastisitas paru-

8
paru yang menyebabkan berkurangnya aliran ekspirasi melalui saluran udara yang
menyempit. 6
Obstruksi jalan napas tetap menjadi tanda utama dalam mendiagnosis
PPOK dan derajat keparahannya sesuai dengan gambaran intensitas peradangan
saluran napas kecil (edema mukosa, remodeling saluran napas dan fibrosis
impaksi mukosa) dan mungkin meningkatkan efek kolinergik otot polos saluran
napas. Sejalan dengan obstruksi saluran napas dan resistensi saluran napas yang
meningkat dijumpai aliran udara berkurang selama ekspirasi. Gambaran fisiologis
PPOK biasanya terdeteksi dengan menggunakan spirometri yaitu menggunakan
rasio volume udara dalam detik pertama (VEP1) dan volume total udara (KVP)
selama ekspirasi kuat setelah inhalasi maksimal nilainya kurang dari 0,7
(VEP1/KVP <0,7). Penurunan VEP1 adalah ciri obstruksi jalan napas, dan pada
pasien PPOK biasanya dijumpai penurunan progresif 50-60 ml nilai VEP1 setiap
tahun dibandingkan 20-30 ml pada orang dewasa normal.

4. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa
banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila :
(i) mengalami batuk kronis yang umumnya muncul pada siang hari,
jarang pada malam hari,
(ii) memproduksi sputum kronis,
(iii) sering mengalami bronkitis akut,
(iv) sesak nafas setiap hari, memburuk pada saat melakukan aktivitas dan
terkena infeksi,
(v) punya riwayat terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun
perokok pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di tempat kerja,
ataupun asap hasil pembakaran alat masak, misalnya kayu bakar, arang
yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun), disertai dengan
pemeriksaan faal paru.

9
Indikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan
sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik,
produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam
lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid
yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali
terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat
badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak
PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya
infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.

5. DIAGNOSIS PPOK

Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau
spirometri.

I. Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara
bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai
dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,
terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk
prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,
kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu untuk
melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap
penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum
dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan
rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok,
dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin
berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan
bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum

10
pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi
purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak bertambah berat bila
terdapat infeksi.7
II. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang kadang
terdengar ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,
akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda tanda overinflasi
paru seperti diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ),
kifosis, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang
dari 3 jari, iga lebih horisontal dan sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil
dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas
paru hati lebih rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler
berkurang dengan ekspirasi memanjang atau kadang normal. Kadang disertai
kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Lebih sering didapatkan dengan
hernia inguinalis.7
III. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada
kelainan, dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang menebal,
corakan bronkovaskuler meningkat, bula, diapragma letak rendah dan
mendatar, paru-paru lebih hiperlusen karena adanya air trapping, disertai
posisi jantung yang menggantung.7
IV. Pemeriksaan Fungsi Paru
Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan
keluar paru-paru. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume
tidal dan kapasitas paru, seperti kapasitas total.
Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70%
dan VEP1 / KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.

11
DIAGNOSIS PPOK

Faktor resiko Sesak nafas


Usia Batuk kronik disertai dahak
Riwayat pajanan : asap rokok, polusi Keterbatasan aktifiti
udara, polusi tempat kerja

Pemeriksaan fisik *

Curiga PPOK ** Pemeriksaan foto Infiltrat, massa, dll


torak

Fasiliti spirometri (-) Fasiliti spirometri (+)

Normal 30% < VEP1 < 70 % prediksi


VEP1 / KVP < 80 %

PPOK secara Beresiko PPOK PPOK Bukan PPOK


klinis derajat 0 Derajat I/II/III/IV

KETERANGAN

12
* Pemeriksaan fisik :
a. Normal
b. Kelainan
Bentuk dada : Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernapasan
Pelebarab sela iga
Hipertrofi otot bantu nafas
Fremitus melemah, sela iga melebar
Hipersonor
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi

**Foto toraks curiga PPOK


a. Normal
b. Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler meningkat
Bullae
Jantung pendulum

KLASIFIKASI PPOK
DERAJAT KLINIS FAAL PARU
Derajat 0 : Gejala kronik (batuk, dahak) Spirometri normal
beresiko Terpajan faktor resiko
Derajat I : Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Ringan klinik ( VEP1 80% prediksi
Derajat II A: Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Sedang klinik 50 % VEP1 80% prediksi

13
Derajat II B: Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Sedang klinik 30 % VEP1 50% prediksi

Derajat III: Gagal napas atau gagal VEP1/KVP < 75%


PPOK Berat jantung kanan VEP1 30% prediksi

Diagnosis Banding PPOK :


1. Pada Asma
a. Onset usia dini
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol
d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
e. Riwayat asma dalam keluarga
f. Hambatan aliran udaranya reversibel

2. Pada Gagal Jantung Kongestif


a. Riwayat hipertensi
b. Rankhi basah halus di basal paru
c. Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema
d. Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)

4. Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)

5. Pada Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)


a. Riwayat terapi TB adekuat
b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal
c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversibel

14
6. PENATALAKSANAAN

Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada


derajat keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging
berdasarkan spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada
implementasi praktis dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi
umum untuk dilakukan pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan
gejala, mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi
kesehatan dan meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1. Mencegah progresivitas penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian

Berdasarkan dari tujuan penatalaksanaan PPOK maka program berhenti


merokok juga menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab
terpenting bagi timbulnya PPOK.
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen
program tatalaksana :
1. Evaluasi dan monitor penyakit
Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien
yang telah di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring
penyakit :
a. Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan.
b. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit

15
c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya Asma
dan TB paru.
d. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat
penyakit paru kronik lainnya.
e. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik
atau penyakit yang menyebabkan keterbatasan aktifitas.
f. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
g. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti
keterbatasan aktifitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh
ekonomi, dan perasaan cemas.
h. Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti
merokok.
i. Dukungan dari keluarga.

Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif,


artinya fungsi paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan
produksi sputum, dapat mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas.
Meski PPOK didefinisikan atas dasar keterbatasan aliran nafas, pada
prakteknya keputusan untuk mendapatkan pertolongan medis umumnya
ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas hidup pasien. Untuk
itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan gejala
klinis dan fungsi paru penderita.
2. Menurunkan faktor resiko
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progesifitas penyakit.
Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah
membalik telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau
perlu bisa dibantu dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan
bisa masuk kategori candu karena begitu seseorang mencoba merokok
maka nikotin yang terserap dalam darah akan diteruskan ke otak dan
ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang pelepasan

16
dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat seseorang
berhenti merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan hilangnya
rasa nyaman selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk merokok,
terjadilah lingkaran setan yang akan sangat sulit diputuskan.
Untuk itu bagi kita para dokter telah dibuatkan strategi untuk
membantu pasen berhenti merokok. Dikenal dengan istilah 5 A:
a. Ask ( Tanyakan )
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Asdvise ( Nasihati )
Beri dorongan yang kuat untukberhenti merokok.
c. Assessment ( menilai )
Keinginan untuk usaha berhenti merokok.
d. Assist ( membantu )
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling dan merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.

3. Tatalaksana PPOK stabil

17
Tatalaksana PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

Berhenti merokok REGULER Rehabilitasi


Pengetahuan Bronkodilator Terapi oksigen
dasar PPOK Anti kolinergik Vaksinasi *
Obat-obatan 2 Agonis Nutrisi
Pencegahan Xantin Ventilasi non mekanik
perburukan Kombinasi SABA + Intervensi bedah
penyakit Antikolinergik
Menghindari Kombinasi LABA +
pencetus Kortikosteroid
Penyesuaian Antioksidan
aktifitas
Dipertimbangkan
mukolitik

Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid
positif. Uji steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral
selama 10-14 hari atau inhalasi selama 6 minggu 3 bulan
menujukkan perbaikan gejala klinisatau fungsi paru.
SABA : short acting 2 Agonis
LABA : long actng 2 Agonis
* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :
Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat
4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah,
dalam perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan
dispnea, batuk, dan atau produksi sputum yang jauh dari normal.

Gejala eksaserbasi akut :

18
Batuk bertambah
Produksi sputum bertambah
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktifitas bertambah
Penurunan kesadaran

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK


1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan
a. Bronkodilator
Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik
perinhalasi (nebuliser)
Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
Gol. Makrolid baru
Gol. Kuinolon
Sefalosporin generasi III / IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2. Terapi oksigen
3. Terapi nutrisi
4. Rehabilitasi fisik dan respirasi
5. Evaluasi progesifitas penyakit
6. Edukasi

Penatalaksanaan pasien PPOK eksaserbasi akut bisa dilakukan dengan


rawat jalan atau rawat inap bergantung pada kondisi pasien.

TERAPI OKSIGEN
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat

19
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :


- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan
gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK
eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian
oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

20
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di
atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.

REHABILITASI pada PENDERITA PPOK

Pada penderita PPOK, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas


pada sistim pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-
hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas akan
meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin
lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan
stamina fisiknya.
Parameter penting keberhasilan penanganan pasien PPOK adalah
meningkatnya kualitas hidup pasien. Dalam mengelola penderita PPOK, di
samping pemberian obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi
tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut yakni rehabilitasi
medis, khususnya fisioterapi pernapasan.
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis
yang bertujuan mengurangi cacat atau ketidak mampuan penderita, dan
diharapkan penderita merasa terbantu untuk mengatasi ketidak mampuannya

21
sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang
lain. Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para dokter bahkan sering
kali dilupakan orang.8

TUJUAN REHABILITASI PARU


Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi
fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya
menurut kemampuannya. Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan
program rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapasan, dan
tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktor-faktor yang berpengaruh
pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan untuk membawa
penderita. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang
optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-
hari. Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan,
dan harus ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi
ketergantungan pada keluarga dan masyarakat.8

REHABILITASI PARU PADA PPOK


Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru
(rehabilitasi pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
1.2. Terapi fisik dada
1.3. Latihan pernapasan
1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:
2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga
2.2. Latihan pekerjaan
2.3. Penempatan tugas
2.4. Latihan merawat diri sendiri

22
Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola
semua penderita PPOK tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya.
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadiun lanjut dari
penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan napasnya seefektif
mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh potensi yang
optimal bagi kegiatan fisiknya.
Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila penderita
tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti
biasanya. Bila pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi
ditujukan untuk memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan
kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri.8

I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu
merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan
ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama
bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke
depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil
setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan
pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan.
Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi
yang nyaman yaitu telentang dengan bantal menyangga kepala dan guling
di bawah lutut atau sambil duduk.

II. Terapi fisik dada


Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan
menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi

23
pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah
obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu
mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret
merupakan penyulit yang cukup serius.
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan
membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea; dapat
dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada, vibrasi
menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat (mekanik).
Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan (clapping),
atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki
mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru pada penderita
PPOK dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari). Pada
penderita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas,
penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOK dengan produksi
sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada tidak berefek dan
bahkan membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.
Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama 5 menit. Sebelum dilakukan
drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan
mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengaliran
sekret.8

III. Latihan pernapasan


Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai
penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:
1. Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air
trapping
2. Memperbaiki fungsi diafragma
3. Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
4. Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas
tanpa meningkatkan kerja pernapasan

24
5. Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga
bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.

Selain itu pada penderita PPOK tendapat hambatan aliran udara


terutama pada waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah
dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga secara mekanis otot-otot
pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya fungsi diafragma
penderita PPOK kurang dan 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu
menggunakan otot-otot bantu pernapasan. Latihan otot-otot pernapasan
akan meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan tekanan
ekspirasi (PE max) sekitar 37%.
Latihan pernapasan meliputi:
a) Latihan pernapasan diafragma
Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan
diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
pernapasan mengalami relaksasi.
Manfaat pernapasan diafragma:
1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan waktu
melakukan pekerjaan/latihan.
2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.
Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan
volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan
ambilan oksigen optimal.
b) Pursed lips breathing
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas
(inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik
napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas
(ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul,
lamanya ekspirasi 2-3 kali lamanya inspirasi, sekitar 4-6 detik. Penderita
tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras.

25
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama
ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui
hidung, karena terjadi elevasi involunter dari palatum molle yang menutup
lubang nasofaring. Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi
peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan
diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air
trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini akan
menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi
ventilasi merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di
alveol. Selain itu PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi
napas, meningkatkan volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah,
menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan subjektif karena
mengurangi rasa sesak napas pada penderita. Pursed lips breathing akan
menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
diafragma. Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan
berlangsung lebih dari 10 menit.8
c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda
asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus
memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal
yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi
kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga
menimbulkan tekanan intratorak Tungkai bawah fleksi pada paha dan
lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita diminta menarik napas
melalui hidung, kemudian menahan napas sejenak, disusul batuk dengan
mengkontraksikan otot-otot dinding perut serta badan sedikit
membungkuk ke depan.

26
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase
ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai. Penderita yang
mengeluh sesak napas saat latihan batuk, diistirahatkan dengan melakukan
Iatihan pernapasan diantara dim latihan batuk. Bila penderita tidak mampu
batuk secara efektif, dilakukan rangsangan dengan alat penghisap (refleks
batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea) atau menekan
trakea dari satu sisi ke sisi yang lain.8

IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik


Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan
meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan
lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan
yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat
toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang
dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan latihan
dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu dengan
pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi oksigen secara
drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi
dengan baik, secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada
penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah retensi CO2
yang berlebihan.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai
penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun dapat
dikurangi.8

7. PENCEGAHAN

Kebanyakan kasus COPD berpotensi untuk bisa dicegah melalui penurunan


paparan terhadap asap dan peningkatan kualitas udara.

Vaksinasi

27
Vaksinasi flu tahunan pada mereka yang menderita COPD menurunkan
keparahan, lamanya rawat inap dan kematian. Vaksin
pneumokokal bisa juga bermanfaat.

Berhenti Merokok

Mencegah orang agar tidak mulai merokok adalah aspek utama dari
pencegahan COPD. kebijakan-kebijakan dari pemerintah, badan-badan
kesehatan umum dan organisasi-organisasi anti rokok bisa menurunkan
tingkat merokok dengan mencegah orang agar tidak mulai merokok
dan menganjurkan orang untuk berhenti merokok. Larangan
merokokdi tempat-tempat umum dan tempat kerja adalah sarana
penting untuk menurunkan paparan asap sekunder. Walaupun banyak
tempat sudah menerapkan larangan merokok, dianjurkan agar lebih
banyak lagi. Di kalangan mereka yang merokok, berhenti
merokok adalah satu-satunya cara yang terbukti untuk memperlambat
memburuknya COPD. Bahkan pada tahap lanjut dari penyakit ini,
berhenti merokok bisa menurunkan tingkat memburuknya fungsi paru-
paru dan memperlambat serangan awal kecacatan dan
kematian. Penghentian merokok mulai dengan keputusan untuk
berhenti merokok, kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk berhenti.
Sering beberapa upaya diperlukan sebelum pantang jangka panjang
tercapai. Upaya melebihi 5 tahun membawa kesuksesan dalam hampir
40% orang. Beberapa perokok bisa berhasil berhenti merokok jangka
panjang melalui tekad yang keras. Namun merokok sangat adiktif, dan
banyak perokok memerlukan bantuan lebih lanjut. Kesempatan untuk
berhenti meningkat dengan dukungan sosial, keterlibatan dalam
program penghentian merokok dan penggunaan obat-obatan
seperti terapi penggantian nikotin, bupropion atau vareniklin.

Kesehatan kerja

Sejumlah tindakan sudah diambil untuk menurunkan kemungkinan pekerja


di industri-industri yang berisiko - seperti pertambangan batubara,
konstruksi dan batu bata - terserang COPD. Contoh-contoh dari tindakan

28
pencegahan ini termasuk: pembuatan kebijakan umum, pendidikan pekerja
dan manajemen risiko, mempromosikan penghentian
merokok, pemeriksaan pekerja apakah ada tanda-tanda awal COPD, dan
penggunaan respirator, dan pengontrolan debu. Pengontrolan debu yang
efektif bisa dicapai dengan memperbaiki ventilasi, menggunakan
semprotan air dan dengan menggunakan teknik-teknik pertambangan yang
meminimalkan timbulnya debu. Bila seorang pekerja terserang COPD,
kerusakan paru-paru selanjutnya bisa diturunkan dengan menghindari
paparan debu yang berkelanjutan, misalnya dengan mengubah peran
kerjanya.

Polusi udara

Kualitas udara di dalam atau di luar ruang bisa ditingkatkan, yang bisa
mencegah COPD atau memperlambat penyakit yang sudah ada. Ini bisa
dicapai dengan upaya kebijakan umum, perubahan budaya, dan
keterlibatan pribadi. Sejumlah negara maju sudah berhasil meningkatkan
kualitas udara luar melalui peraturan-peraturan. Ini menghasilkan
peningkatan dalam fungsi paru-paru penduduknya. Penderita COPD bisa
mengalami lebih sedikit gejala-gejala penyakit bila mereka tinggal di
dalam ruangan saat kualitas udara luar buruk. Satu upaya penting adalah
menurunkan paparan terhadap asap dari bahan bakar untuk memasak dan
pemanas melalui ventilasi rumah yang lebih baik serta kompor dan
cerobong asap yang lebih baik. Kompor yang tepat bisa meningkatkan
kualitas udara dalam ruang hingga 85%. Penggunaan sumber energi
alternatif seperti memasak dengan panel surya dan pemanas listrik efektif,
demikian juga penggunaan bahas bakar seperti minyak tanah dan batubara
dibandingkan penggunaan biomassa.8

Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan

29
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan
pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat
ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik
rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan
memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu
cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita.8
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan

30
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu
atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :


Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

31
- Penggunaan oksigen di rumah

DAFTAR PUSTAKA

1. Isselbacher, et al, Harrison, 2013, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam,


Edisi 13, Vol. 2, Penerbit EGC, Jakarta, hal. 906-909.
2. Manfaat Rehabilitasi Paru dalam Meningkatkan atau Mempertahankan
Kapasitas Fungsional dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

32
Kedokteran Universitas Indonesia
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/
3. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran edisi keempat, Media
Aesculapius, 2014. Hal 824-827.
4. Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
5. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institutes.
Global Iniatiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2014
6. Penyakit paru obstruktif kronik. Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_paru_obstruktif_kronik
7. PPOK. ETHICAL DIGEST, Semijurnal Farmasi dan Kedokteran no 37 Maret
2007.
8. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan
Indonesia Volume 4, Nomor 2 September 2008 ISSN 1411 8742 dan
Volume 4, Nomor 3 Desember 2008 ISSN 1411 8742

33

You might also like