You are on page 1of 8

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filasafat adalah cinta pada kebenaran atau ilmu pengetahuan dan suka pada
hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, seseorang yang dikatakan berfilsafat adalah
orang yang selalu mencintai ilmu pengetahuan kebenaran dan memiliki
kebijaksanaan (Jalaluddin & Idi, 2010).
Filsafat di zaman lahirnya ilmu-ilmu baru ini terbagi menjadi 2 aliran yang
saling bertentangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme khas untuk
filsafat Descartes yang tertarik pada metode deduksi matematika. Filsafat
empirisme mencapai puncaknya pada tokoh yang bernama David Hume yang
tertarik pada metode observasi yang langsung terbuka bagi indera (Copleston
dalam Snijders, 2009).
Pada zaman ini, empirisme menjadi dasar sebuah penelitian ilmiah.
Pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris. Sikap empiris ini cukup
menggejala di Inggris, sehingga kerap kali tradisi Anglosakson disamakan dengan
tadisi empiris. Pemikiran Francis Bacon diakhir Renaisans sudah menjelaskan
tentang empirisme ketika beliau menjelaskan metode induksi. Akan tetapi, baru
setelah filsafat Hobbers, Locke, Berkeley, dan Hume mendapatkan pengalaman
yang bersifat indrawi atau batiniah empirisme menjadi refleksi utama. Hal itulah
yang menyebabkan kita menyebut keempat filsuf ini sebagai perintif dari sikap
empiris pada zaman ilmu dan teknologi dewasa ini (Hardiman, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah konsep empirisme dalam filsafat?
2. bagaimanakah pendapat tokoh tokoh empirisme tentang aliran empirisme ini?

1,3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini antara lain:
1. untuk mengetahui konsep dari empirisme
2. untuk mengetahui pendapat tokoh tokoh empirisme tentang aliran empirisme.

1
2

1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu:
1. mahasiswa bisa memahami aliran empirisme dalam menemukan teori
kebenaran
2. mahasiswa bisa menentukan kevalidan aliran empirisme dalam menentukan
teori kebenaran.
3

BAB II
ISI
2.1 Konsep Empirisme
Kebimbangan orang kepada sains dan agama pada Zaman Modern filsafat
ditimbulkan oleh berbagai hal, antara lain oleh ajaran empirisme. Empirisme
adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peranan
akal. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan dari rasionalisme (Tafsir,
2016).
Empirisme berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti pengalaman
inderawi. Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan.
Pengalaman ini baik pengalaman lihiriah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Aliran ini berpendapat
bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi
merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna (Bertens, 1975).
Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari
dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berada dari alam
bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Ciri pokok empirisme ada dua yaitu:
1. Teori tentang makna
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori
tentang asal pengetahuan, yaitu asal usul idea atau konsep. Pada Abad
Pertengahan, teori ini diringkas tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain
didahului oleh pengalaman. Pernyataan ini sebenarnya di ambil dari tesis
milik Locke yang terdapat dalam bukunya yang berjudul An Essay
Concerning Human Understanding yang dikeluarkan tatkala ia menentang
ajaran idea bawaan pada orang orang rasionalisme. David Hume
mempertegas teori ini dengan cara membedakan antara idea dan kesan. Kesan
itu mencakup penginderaan, passion, dan emosi.
Pada abad ke-20, kaum empiris cenderung menggunakan teori makna
mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau
tidak, bukan pada asal usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan

3
4

empirisme secara prakmatis ini ialah pada Charles Sanders Peirce dalam
kalimat tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat
dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang objek
tersebut.
Teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang epiris jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat
diindera dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama (Tafsir,
2016).
2. Teori tentang pengetahuan
Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti setiap
kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, dan beberapa
prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya
yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi
rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi
rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang
diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori.

Prinsip prinsip aliran empirisme antara lain:


1. pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk
dengan menggabungkan apa yang dialami
2. pengalaman inderawi adalah satu satunya sumber pengetahuan dan bukan
akal atau rasio
3. semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi
4. semua pengetahuan turun secara langsung atau disimpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika
dan matematika)
5. akal budi tidak dapat memberikan pengetahuan tentang realitas tanpa acuan
pada pengalaman inderawi
6. empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengaku bahwa pengalaman sebagai
satu satunya sumber pengetahuan (Poedjawijatna dalam Iqbal dkk, 2015).
5

2.2 Tokoh Tokoh Empirisme


Tokoh tokoh perintis aliran empirisme antara lain:
1. Thomas Hobbes (1588 1679).
Thomas Hobbes menganggap pengalaman inderawi sebagai permulaan
segala pengenalan (Bertens, 1975). Pengenalan intelektual tidak lain daripada
semacam perhitungan, yaitu penggabungan data data inderawi yang sama
dengan cara berlainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan
sebagai penganut materialists. Karena itu, ajaran Hobbes merupakan sistem
materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda dngan Francis
Bacon yang meletakkan eksperimen eksperimen sebagai metode penelitian,
Hobbes memandangnya sebagai doktrin. Hobbes juga tidak menyetujui
pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani. Menurut Hobbes,
seluruh dunia, termasuk juga manusia merupakan suatu proses yang
berlangsung dengan tiada henti hentinya atas dasar hukum hukum
mekanisme saja (Praja, 2008).
Hobbes berpendapat bahwa perkembangan anak menjadi manusia
dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungan-nya atauoleh
pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Manusia-manusia
dapat dididik apa saja (ke arah yang baik dan ke arah yang buruk) menurut
kehendak lingkungan atau pendidikan. Dalam hal ini, alamlah yang
membentuknya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal
dengan nama optimisme paedagogis (Suryabrata dalam Nadirah, 2013).

2. John Locke (1632 2704).


John Locke adalah filosof Inggris.Ia lahir di Wrington, Somersetshire
pada tahun 1632. Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima
keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi
yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes
dan menggantinya dengan generalisasi (induksi) berdasarkan pengalaman.
Bahkan Locke juga menolak akal. Ia hanya menerima pemikiran matematis
yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi (Tafsir,2016).
6

Menurut Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebuah kertas


putih dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Pengalaman memiliki 2
macam yaitu pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Kedua sumber
pengalaman tersebut akan menghasikan ide-ide tunggal yang nantinya bisa
menjadi ide majemuk atau substansi. Namun, kita hanya mengenal ciri-
cirinya. (Bertens, 1975).

3. George Berkeley (1685 1753).


Berdasarkan prinsip-prinsip empirisme, Berkeley merancang teori yang
dinamakan imaterialisme. Berbeda dengan Locke yang masih menerima
adanya substansi substansi di luar kita, Berkeley berpendapat bahwa tidak
ada substansi substansi materiil. Namun yang ada hanyalah ciri ciri yang
diamati atau dengan kata lain yang ada hanyalah pengalaman roh saja (ideas).
Menurut Berkeley, dunia materiil sama saja dengan ide ide yang saya alami,
misalnya gambar gambar film pada layar putih dilihat oleh penonton
sebagai benda benda yang real atau hidup (Bertens, 1975).

4. David Hume (1711 1776).


Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada David
Hume. Hal ini disebabkan karena David menggunakan prinsip prinsip
empirisme dengan cara yang paling radikal. Terutama pengertian substansi
dan kausalitas (sebab akibat) menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima
substasi, sebab secara ilmiah kesan kesan saja tentang beberapa ciri yang
selalu ada bersama sama (misalnya, putih, licin, dan sebagainya). Tatapi,
atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa dibelakang ciri ciri
itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya, sehelai kertas memiliki ciri
ciri putih) (Praja, 2003).
7

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yaitu:
1. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan
peranan akal
2. Tokoh tokoh perintis aliran empirisme antara lain Thomas Hobbes, John
Locke, George Berkeley, dan David Hume.

3.2 Saran/Rekomendasi
Mahasiswa diharapkan bisa membaca lebih banyak referensi dan bisa lebih
memahami implementasi aliran ini dalam kehidupan sehari hari.

7
8

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius


Hardiman, F.B. 2007. Filsafat Modern (dari Machiavelli sampai Nietzsche).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Iqbal, M, dkk. 2015. Makalah Empirisme Filsafat Umum, (online),
(http://www.perkuliahan.com/makalah-empirisme-filsafat-umum/), diakses
09 September 2017
Jalaluddin & A. Idi. 2010. Filsafat Pendidikan (manusia, filsafat, dan
pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Nadirah, S. 2013. Anak Didik Perspektif Nativisme, Empirisme, dan
Konvergensi. Jurnal Lentera Pendidikan, 16(2), 188 195
Praja, J. 2008. Aliran Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media
Snijders, A. 2009. Seluas Segala Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius
Tafsir, Ahmad. 2016. Filsafat Umum ( Akal dan Hati Sejak Thales sampai
Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya

You might also like