You are on page 1of 26

Laporan Hasil Belajar Mandiri

Skenario C Blok 23 Tahun 2016


Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1
Elfandari Taradipa/04011181419006/Beta 2014/Kelompok 8

I. Analisis Masalah
1. Ny M usia 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD dengan keluhan
sesak nafas sejak 6 jam yang lalu disertai dengan keluhan ujung-ujung tangan dan
kakinya dingin.
a. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan sesak napas yang disertai dengan
ujung-ujung tangan dan kaki dingin?

antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan
ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan
merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk
reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor
cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh
reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor
baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikatbantigen
yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.

Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini
akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk
ikatan IgE Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine,
kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya
menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos bronkus sehingga
menyebabkan vasodilatasi terjadi syok.

a. Tahapan Syok
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan
ireversibel (tidak dapat pulih).
1) Tahap kompensasi
2) adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya. Tanda
atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan
denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian pembuluh darah
yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu
yang mengalami syok terlihat normal.
3) Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-
fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu
dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan
aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya
adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit
dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu.
4) Tahap ireversibel dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak
dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin,
maka aliran darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan
tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan
aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal
menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun
dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang terjadi telah menetap
dan tidak dapat diperbaiki.

Masuknya alergen berupa debu, zat kimia (histamin, metakolin) ke dalam


tubuh akan diolah oleh APC untuk selanjutnya akan dikomunikasikan kepada
sel Th yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar
sel-sel plasma membentuk IgE dan sel-sel radang lainnya yang mengeluarkan
mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, leukotrin, platelet activating
factor, bradikinin, tromboksin , dll) yang akan membuat obstruksi saluran
nafas, kerusakan epitel dan gangguan pada otot polos saluran nafas.

b. Bagaimana tindakan awal jika ditemukan keluhan seperti pada kasus?

I. Terapi medikamentosa
1. Adrenalin
merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu:
A) Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan
cepatterhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
B) Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang
kuatsehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
C) Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic
AMPsehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau
berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat
diulangi 5 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja
adrenalincukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif,
dapat diberi secaraintravenous setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit
10 ml dengan NaClf isiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan,
sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin
tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit,sehingga absorbsi obat tidak terjadi

2.Aminofilin dan Kortikosterois


Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang
dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit
intravena.Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3.Antihistamin dan kortikosteroid.


Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya
padatingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical
mediatorsyang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah
gejala klinik mulaimembaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum
sickness atau prolongedeffect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untukgolongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison 100 250 mg IV.

2. Sejak dua hari yang lalu pasien mengeluh demam dan batuk yang diobati dengan
obat kotrimoksasol tablet, parasetamol tablet, dan sirup obat batuk. Dua belas jam
setelah makan obat terus muncul bengkak pada mata, bibir, lalu timbul bentol
disertai gatal pada kedua lengan, tungkai hingga seluruh badan dan mual.
a. Bagaimana cara kerja, efek samping, dan kontraindikasi dari obat parasetamol?

Obat Parasetamol memiliki nama lain acetaminophen. obat ini termasuk sebagai
analgesik (antinyeri) dan antipiretik (penurun panas). Mekanisme kerja paracetamol
yaitu sebagai inhibitor prostaglandin yang lemah. Jadi mekanisme kerjanya dengan
menghalangi produksi prostaglandin, yang merupakan bahan kimia yang terlibat
dalam transmisi pesan rasa sakit ke otak. Mekanisme kerja yang sebenarnya dari
parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat produksi
prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit
memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu
mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga
menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga
bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik
belum diketahui.

Dengan mengurangi produksi prostaglandin, parasetamol membantu meredakan rasa


sakit, seperti sakit kepala, sakit/nyeri pada anggota tubuh lainnya dan demam atau
panas.

Indikasi Paracetamol

Indikasi utama paracetamol yaitu digunakan sebagai obat penurun panas (analgesik)
dan dapat digunakan sebagi obat penghilang rasa sakit dari segala jenis seperti sakit
kepala, sakit gigi, nyeri pasca operasi, nyeri sehubungan dengan pilek, nyeri otot
pasca-trauma, dll. Sakit kepala migrain, dismenore dan nyeri sendi juga dapat
diringankan dengan obat parasetamol ini. Pada pasien kanker, parasetamol digunakan
untuk mengatasi nyeri ringan atau dapat diberikan dalam kombinasi dengan opioid
(misalnya kodein). Paracetamol telah dibandingkan dengan banyak analgesik lain dan
dianggap kurang equipotent jika dibandingkan dengan aspirin (asam asetilsalisilat).
Dengan demikian, secara umum, parasetamol kurang mujarab ketimbang salisilat dan
agen antirematik lainnya jika digunakan sebagai obat anti-inflamasi dan antinyeri.

Kontraindikasi

Obat parasetamol tidak boleh digunakan pada orang dengan kondisi sebagai berikut:
Alergi parasetamol atau acetaminophen Gangguan fungsi hati dan penyakit hati
Gangguan Fungsi Ginjal Serius, Shock Overdosis Acetaminophen Gizi Buruk

Efek Samping

Paracetamol Walaupun efek samping paracetamol jarang, namun jika itu terjadi maka
ditandai dengan: Ruam atau pembengkakan ini bisa menjadi tanda dari reaksi alergi
Hipotensi (tekanan darah rendah) ketika diberikan di rumah sakit dengan infus.
Kerusakan hati dan ginjal, ketika diambil pada dosis lebih tinggi dari yang
direkomendasikan (overdosis)
b. Bagaimana mekanisme munculnya alergi obat pada kasus? (hipersensitivitas)

antigen dalam akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil
ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan
merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk
reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor
cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh
reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor
baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikatbantigen
yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.

Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini
akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk
ikatan IgE Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine,
kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya
menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi
hipersensitivitas.

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang


meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan local. Sehingga secara klinis tampak edema local disertai eritem.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anafilacsis (SRSA) dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Patogenesis
angidema sama dengan urtikaria.

3. Dua bulan yang lalu pasien pernah makan obat yang sama karena keluhan diare
tetapi tidak ada gejala seperti saat ini setelah makan obat.
a. Apa kemungkinan obat yang dikonsumsi pasien saat diare dari tiga obat yang
dikonsumsi sekarang?
Kotrimoksazol

4. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu menderita eksim. Riwayat asma
pada pasien disangkal.
a. Bagaimana pengaruh genetik terhadap keluhan pada kasus?
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih
banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai
5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen
6p yang dekat dengan kompleks HLA.

5. Pemeriksaan penunjang
Hb:12,2gr%; leukosit: 8400/mm3; hitung jenis: 2/6/4/62/20/6; ureum: 18 mg/dL;
kreatinin: 0,46mg/dL; Na: 144mEq/L; kalium 4,2mEq/L.
a. Bagaimana intepretasi dan mekanisme abnormal pada kasus?

No. Hasil pemeriksaan Nilai normal interpretasi

1. Hb:12,2gr% 12 - 15,8 g/dl Normal

2. Leukosit: 8400/mm3 3.500 - 9000/mm3 Normal

3. Hitungjenis: 2/6/4/62/20/6 0-2% Normal


0-6%
0-5%
40-70%
20-50%
4-8%

4. ureum: 18 mg/dL 15-40 mg/dl Normal

5. kreatinin: 0,46mg/dL 0,5-0,9 ng/mL Normal

6. Na: 144mEq/L 136-146mEq/L Normal

7. kalium 4,2mEq/L

6. Aspek Klinis
a. DD 7,8,9
(Bagaimana cara membedakan reaksi anafilaksis karena jenis obat dan dosis
obat/overdosis?)
Reaksi anafilaktik melibatkan respon imunologis sedangkan overdosis tidak. Selain
itu reaksi overdosis obat biasanya berlangsung sangat cepat.

b. Etiologi
a. Dicetuskan bahan-bahan inhalan seperti tepung sari, serpihan kulit hewan
dan spora jamur
b. Dicetuskan bahan-bahan makanan tertentu seperti buah-buahan, udang,
ikan, produk susu, coklat, kacang-kacangan dan obat
c. Pressure urticaria, disebabkan membawa tas yang cukup berat di bahu,
berlari atau mengangkat beban pada kaki dan lengan.
d. Urtikaria kolinergik disebabkan demam, madi air hangat atau olahraga
yang meningkatkan suhu tubuh
e. Cold urticaria, terpajan udara dingin dan es batu.
f. Solar urticaria, disebabkan cahaya
g. Aquagenic urticaria
h. Contact urticaria, kontak dengan bahan kimia (lateks

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu:

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi: asam lambung,


enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya: IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.

c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan


alergen bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus: faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).

b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya:


ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

c. Patofisiologi --> Di LI ya ipik :)


d. Komplikasi --> Syok anafilaktik

IV. Learning Issue


a. Reaksi hipersensitivitas I, II, III dan IV

Reaksi Hipersensitifitas 1: Reaksi Alergi dan Anafilaktik

Reaksi hipersensitifitas menurut Robert Coombs dan Philip HH Gell dibagi menjadi 4
tipe yaitu:

Tipe 1: Reaksi IgE atau reaksi anafilaktik


Tipe 2: Reaksi sitotoksik
Tipe 3: Reaksi kompleks antigen-antibodi
Tipe 4: Reaksi hipersensitifitas tertunda/terlambat atau reaksi selular 1,2
Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik

Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen.
Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinassi antigen
dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi
terhadap antigen. 3 Reaksi ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen yang
berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis
alergi, urtiakria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas
yang paling sering terjadi.

Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga,
merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan
kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin.

Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi
hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang
terhirup atau tertelan.

Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih
banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode
sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-
CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.

Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang
ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot
polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit
sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis
alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24
jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam
beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil,
basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali
bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.

Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase
aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan.
Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan
menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan
IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.

1. Fase Sensitisasi

Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat
ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan
bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka
gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda tersebut
dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang
dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang
senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).

Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan,
atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah
mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh
mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan
sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa
minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.

2. Fase Aktivasi

Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat


sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti
kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang
diujikan.

Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan
ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain
mastosit, sel basofil juga berperan.

Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil


mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen
spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul
reseptor yang mekanisme bisa berupa:

1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE
2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor
Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau
reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan
berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi
anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan
mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.

Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan
perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti
masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi
tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat
degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu,
aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan
mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.
3. Fase Efektor

Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang
dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator
yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

HYPERLINK "http://www.medicinesia.com/wp-
content/uploads/2012/03/hipersensitivitas-tipe-i.jpg"

Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I1

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin
yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator
baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator
yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4,


protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.
Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF
Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik eosinofil dan
netrofil.
a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)
Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi
perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh
influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas
akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakan granul-granul ke
permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi.
Peningkatan cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan
memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak
menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh
dari anafilatoksis, c3a dan c5a.

Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat
granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi
berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai
efek.

Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul
dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang
dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang
menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan
oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan.

Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada
membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan
balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru
menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut.

Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit
teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id anaphylaxis)
untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis)
untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil,
eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit.

Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat
sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.

b. Mediator Jenis Kedua


Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada
kenaikan kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A
(inflammatory factor of anaphylaxis). IFA-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih
besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan
yang perlahan membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan.

Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat
juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator
yang dilepaskan akan berperan daam vaodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal
dan mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil

b. Mediator Jenis Ketiga

Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang
bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi substrat enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan
prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus
pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi lipooksigenase akan menghasilkan
leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali disebut sebagai SRS-A (slow reactive
substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.

LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan


produksi mukus. Leuktrien B4mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan
eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut.

Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling
penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel
epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik
berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik
terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan leukotrien
C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator.
Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon
inflamasi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu.
Hipersensitivitas Tipe 2:
Sitotoksik
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada
proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas.Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi
hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi
menurut berbagai cara. Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH
Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi.

REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU SITOLITIK

Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi
karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen
yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau
molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan
efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R
dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan
melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.

Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel
normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil
dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada
reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini,
menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik,
menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit
dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-
sel ini memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom
yang merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan
platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit
penjamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung
menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang
dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan
paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon
fisiologis; seperti pada Graves disease, dimana antibodi terhadap reseptor TSH
menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.

Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi
antijaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan
konsekuensi jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada kasus yang parah,
plasmaferesis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat
ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal.
dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B
dependen sel Th).

Reaksi transfusi

Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi
reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B
yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi
dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas
dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan
hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar
tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan
dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.

Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat
transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan
golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang
ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran
golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.

Hemolytic diseases of the newborn (HDN)

Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG


yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin
dan melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas
tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai
janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat
persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru
pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat
menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan
eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).
Anemia hemolitik

Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi


nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

HYPERLINK "http://www.medicinesia.com/wp-content/uploads/2012/03/Tabel-
Penyakit.jpg"
Hipersensitivitas Tipe 3:
Reaksi Kompleks Antigen
Antibodi
Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang
mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan
tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi
baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada
ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera
dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat
yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Di sana,
terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada
permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh
kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.

HYPERLINK "http://www.medicinesia.com/wp-content/uploads/2012/03/Slide8.gif"

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing
yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang
menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang
dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi
dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal
(glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. 2Reaksi
hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang
tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu
sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang
telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat.
Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga
mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon
peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat.
Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya
netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.

Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute
serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness pada masa
sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini
dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda
yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.

Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang


berlangsung melalui 4 tahap yaitu: 1,2

Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun


Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya
produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut
disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang
masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi.

Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal
dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi
jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang
berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring
pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih
sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus
dan sendi.

Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan
berkumpul di daerah pengendapan
Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi inflamasi
akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi
klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia), pembesaran nodus limfa, dan
proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi
inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah,
glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi pada sendi,
dan sebagainya.

Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang
mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi patologis.
Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang
biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.

Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi
cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum
sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang atau berkepanjangan.
Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang berkaitan dengan respon antibodi
persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan
morfologis dan terdapat temuan deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak
diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.

Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area terlokalisasi
yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada kulit.
Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan suatu antigen
pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang
melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi
ikatan yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk
secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan
menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera
berupa iskemik.
Hipersensitifitas Tipe 4:
Delayed Type Hypersensitivity
Tipe IV
Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan penyebab dari
autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel
dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi
sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas
jaringan dapat juga mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai
contoh, pada tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan
responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi. Inflamasi
granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan
normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis,
virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik
terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyebabkan jejas pada liver.

Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang
dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh limfosit T sitolitik CD8+.
Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T
untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap
antigen sel atau jaringan dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal
dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel
radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autolog dapat langsung
membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang dimediasi sel T,
terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya
berkontribusi dalam jejas jaringan.

Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya


menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas
lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin,
anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi
inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap sitokin seperti TNF,
dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin.
Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis
dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk
menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk sitokin
seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti B7.

Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi
melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui selCD8+.

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV

Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi
intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen
dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi
kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam
24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel
mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah perivascular
cuffing. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang
disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma
akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang
terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada
lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan
hipertrofi atau hiperplasia endotel.

Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang
berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di
awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang
terakumulasi seringkali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip
sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit,
disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas
tipe IV ini disebut dengan inflamasi granulomatosa.

Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika seorang
individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli, sel
CD4+ T nave mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II
pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ nave menjadi sel
Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH bergantung
pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1 akan
memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu yang
lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya
terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang
ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama
IFN-, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling
relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb:

IL-12, sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi respons Th1
dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel dendritik menyekresi IL-12,
yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan
diproduksinya sitokin lain, yang disebutkan di bawah ini. IL-12 juga merupakan inducer
poten dari sekresi IFN- oleh sel T dan sel NK. IFN- akan memperbanyak diferensiasi sel
Th1.
IFN- memiliki banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling penting adalah
merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam
mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap
berlanjut dan terbentuk fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi di
situs DTH.
TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel endotel: (1)
peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah dan menyebabkan
vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul adhesi yang
mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin
seperti IL-8.
Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut lebih banyak lagi leukosit ke situs
reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.
Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan terhadap beragam
patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu, dan juga
berperan dalam rejeksi transplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga
dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas
jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan
urushiol, komponen antigen dari poison ivy atau poison oak dan bermanifestasi dalam
bentuk dermatitis vesikular. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan
sebelumnya untuk sensitivitas tuberculin. Pada pajanan berulang terhadap tanaman
tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi
menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan sitokin yang merusak
keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel=sel ini dan pembentukan vesikel
intraepidermal.
Formasi Granuloma pada Hipersensitivitas Tipe IV

T Cell-Mediated Cytotoxicity

Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel
target antigen. Sel efektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi
jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang
dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan
penting dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap
infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan molekul
kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke permukaan sel dalam bentuk
kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+ sitotoksik. Lisis dari sel yang
terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.

Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui:
(1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas ligand-dependent killing.
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di
dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma
dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+
mendekati sel taget, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang
dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-
lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut
granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk perforin. Saat
berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi
apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke
dalam sel, menyebabkan lisis osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi
apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan
Fas ligan, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis.

Daftar Pustaka

1 Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung


Seto; 2010.p. 31-84.

2 Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The


Immune System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.

1 Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9thed. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI;2010.p.383-9

2 Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung


Seto; 2010.p. 31-84.

3 Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The


Immune System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.

4 Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology.


6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. P. 423-5.
5 Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar
Imunologi. 5thed. Jakarta: Penerbit FKUI;2009. P. 45-6.

You might also like