Professional Documents
Culture Documents
Peran oksigen sebagai obat makapemberian oksigen juga punya indikasi,dosis,cara pemberian dan efek samping yang berbahaya.
Untuk aman dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan sirkulasi dan sifat-sifat oksigen itu sendiri.
FUNGSI RESPIRASI:
Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow dan diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis dengan perkataan
lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi.
Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar kedalam paru untuk ditukar pada membran alveolo kapiler.
Prinsip pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana gas akan bergerak dari tekanan tinggi ketekanan rendah.
Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika inspirasi spontan dimulai akan terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis eksterna akibatnya
rongga dada berkembang maka tekanan intrapulmoner jadi negatif sehingga udara masuk kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang membutuhkan energi dimana diafragma
bertanggung jawab 60% udara ventilasi waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang ekspirasi merupakan proses passif oleh karena elastisitas jaringan paru.
Transport oksigen:
Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari udara luar ke sel mitokondria. Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan
terlarut dalam plasma.
Setiap 100 cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o cc, dimana hanya 3% yang dibawa terlarut dalam plasma. Oksigen diikat olehHb terutama oleh ion Fe
dari unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4 molekul oksigen untuk membentuk oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat reversible. Setiap eritrosit mempunyai 280 juta
molekul Hb, dimana setiap molekul Hb mempunyai 4 unit heme. Setiap eitrosit dapat membawa miliaran molekul oksigen.
Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi hemoglobin(SaO2). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen artinya saturasinya 100%.
Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan Hb.
Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh rantai polipeptide dimana tiap rantai mengandung kelompok heme yang mengandung Fe membawa satu
molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap molekul dapat mengikat 4 molekul oksigen. Kapasitas Hb membawa oksigen setiap gram Hb dapat mengikat 1,34 cc oksigen, maka
menurut persamaan :
Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru oksigen berikatan dengan Hb, bila PaO2 rendah seperti dalam kapiler jaringan oksigen dilepas dari Hb.
Fungsi utama sistem respirasi adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2 dalam darah arteri sedekat mungkin kenormal, dalam keadaan tertentu.
Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan cara lain hanya bisa menilai tidak adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin adekuatnya
fungsi respirasi.
Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas harus diketahui affinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika eritrosit melalui kapiler
alveoli; oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan PaO2 dan berikatan dengan Hb.
Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2, dimana kita dapat mengetahui sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2 mempengaruhi SaO2
secara bermakna, semakin besar saturasi semakin baik mutu Hb, semakin besar volume O2 yang dapat diangkut oleh darah kejaringan.
Menurut rumus :
g HbO2
SaO2 = x 100 %
hb total
g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb
Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar DO2 terpenuhi.
Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve berbentuk S disebut kurve disosiasi oxyhaemoglobine.
Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97% dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%.
PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan partiel tersebut Hb mengikat O2 hanya 50%, bila P50 diatas 27 mmHg maka artinya diperlukan PaO2 yang lebih tinggi untuk mengikat O2
dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi sulit melepaskannya kejaringan.
Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah :
80 95 orang tua
60 90 bahu kurva
(penurunan O2 yang bermakna)
Penurunan PaO2 kira-kira 25 mmHg dari 95 menjadi 70 mmHg hanya mempengaruhi sedikit perubahan pada oksihemoglobin sama artinya dengan situasi seorang mendaki ketinggian
6000 feet dari permukaan laut, atau bertambahnya umur dari 20 tahun menjadi 70 tahun, atau penderita penyakit paru yang moderate. Tetapi penurunan PaO2 sebesar 25 mmHg dari 6o
menjadi 35 mmHg lain halnya, akan terjadi perubahan yang serius.
Pengikatan PaO2 diatas 90 mmHg tidak akan mempengaruhi kemampuan Hb mengangkut O2 karena Hb cukup jenuh pada PaO2 80 mmHg. Penurunan affinitas oksigen digambarkan
dengan kurve bergeser kekanan. Sebaliknya peningkatan affinitas oksigen dengan gambran kurve bergeser kekiri. Jika pH darah menurun (asidosis) maka kurva bergeser kekanan artinya
oksigen lebih mudah dilepas dijaringan sebaliknya bila alkalosis maka affinitas Hb tehadap oksigen meningkat dan oksigen sukar dilepas. Disamping pH ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kurve bergeser kekanan:
Sebaliknya akan menggeser kurve kekiri dan Hb fetus dalam jumlah besar dalam darah akan menggeser kurve kekiri juga.
TERAPI OKSIGEN
Tujuan : Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.sehingga metabolisme intra selular berjalan lancar untuk memproduksi fosfat bernergi tinggi sebagai motor
Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus dikoreksi latar belakang penyebab terjadi gangguan oksigenasi mulai dari sumber oksigen,ventilasi,diffusi
perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima oksigen.
Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara
rendahnya kadar oksigen dijaringan disebut hipoksia.
Secara praktis hipoksia dengan sebab apapun dibagi atas :
1.Hipoksi hipoksemia:
Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2 dalam darah akibat gangguan mulai ventilasi, distribusi dan diffusi dalam paru.
Ventilasi bisa berupa obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi karena odem atau penebalan dinding alveoli.
2. Hipoksi anemia :
Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun oksigenasi baik, Transfusi adalah jalan keluarnya.
3. Hipoksia stagnasi :
Terlambatnya aliran darah karena viskositas meningkat, obstruksi, syok stadium lanjut.
4. Hipoksia histotoksik:
Kerusakan dijaringan/sel tidak mampu lagi menggunakan O2 yang dihantarkan pada keracunan atau sepsis yang berat
Indikasi :
Gagal nafas akut dibutuhkan pembebasan jalan nafas dan nafas bantu.
Infarct myocard acute dimana tidak seimbang oksigen demand dengan oksigen supply.
Dalam kondisi metabolisme rate tinggi( tirotokikosis, sepsis,hipertermia).dimana kebutuhan oksigen meningkat.
Keracunan gas CO (karbon monoksida) dimana affinitasnya terhadap Hb tinggi.
Untuk mengatasi keadaan seperti empisema paska bedah, pneumotorak, emboli udara.
Pemberian oksigen mampu mengusir gas nitrogen yang menumpuk dalam rongga tubuh.
Anemia berat, jumlah Hb maupun kualitas Hb yang kurang dalam transport oksigen.
Pemberian oksigen untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas akut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut.
b. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui kanul binasal.
c. Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang dapat memberi oksigen 100%.
d. Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri oksigen <50% , awasi ketat.
e. Atur kadar oksigen berdasarkan PaO2 atau SaO2 kalau ada fasilitas BGA
f. Dalam keaaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri 100% O2.
Persiapan alat :
Sungkup muka sederhana (simple mask);konsentrasi O2 yang masuk tergantung pada pola nafas dan kecepatan aliran O2.
Sungkup muka kantong rebreating;dilengkapi dengan kantong yang menampung aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan udara nafas tanpa valve sehingga terjadi
rebreathing.
Sungkup muka kantong non rebreating.
Dilengkapi dengan expiratory valve (katup ekspirasi,) sehinggan tidak rebreathing.
Sungkup venturi
Head box
ad.A1 Kanul binasal: Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan konsentrasi udara inspirasi (FiO2) 24-44% dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit.
Konsentrasi oksigen yang diberikan tergantung tingginya aliran dan volume tidal nafas pasien. Konsentrasi bertambah 4% untuk setiap tambahan 1 liter/menit O2, misalnya aliran 1
liter/menit = 24% .2 liter/menit 28% dan seterusnya maksimal 6 liter/menit.
Keuntungan :
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur, baik diberikan dalam jangka waktu lama. Pasien dapat bergerak bebas, Makan minum dan Bicara.
Kerugian :
Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat tali binasal. FiO2 akan berkurang bila pasien bernafas dengan mulut.
Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring, orofaring sebagai penyimpanan anatomik.
Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi dimana 1/3 bagian volume udara exhalasi masuk kekantong dan 2/3 nya melalui lubang-lubang bagian samping.
Udara inspirasi tak bercampur dengan udara ekspirasi(exhalasi) dan tidak dipengaruhi oleh udara luar.
Sungkup venturi:
Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan pasien dipakai pada pasien dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi dan hipoksemia sedang samapi berat.
Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang kita berikan dengan cara apapun dan berapa besar kebutuhan pasien.
Liter/menit %
3-4 30- 35
5-6 38 44
6-7 50
7-8 60
simpan 6 60
7 70
8 80
9-10 90-99
===========================================================
1. Oksigen sendiri tidak membakar tetapi adanya O2 berlebihan dalam udara kamar bila ada sumber api akan meningkatkan resiko kebakaran.
2. Hipoventilasi:
Penderita COPD(PPOM) pengendalian pusat nafas sentral oleh hipoksia (hypoxic drive) maka bila hipoksia dihilangkan tidak ada rangsangan pada pusat nafas terjadi hipoventilasi sampai
apnoe.
3. Hipoksia bisa terjadi kalau oksigen diberikan dengan tekanan tinggi secara mendadak.
4. Atelektase terjadi oleh karena pengusiran nitrogen dari alveoli akibat pemberian oksigen konsentrasi tinggi hampir 100% dalamwaktu yang lama.(>24 jam)
5. Keracunan oksigen :
Karena pemberian O2 dengan PaO2 >100 torr dalam waktu lama(bervariasi untuk setiap individu), pada keadaan akut bisa terjadi kejang dan pada keadaan kronis gejala nyeri retro sternal,
parestesia, mual dan muntah. Pada bayi prematur bisa terjadi retrolental fibroplasia karena penyempitan pembuluh darah retina akibat fibrosis.
Keracunan lokal terjadi kerusakan sel epitel kapiler paru sehingga difusi terganggu. Pencegahan jangan memberi oksigen konsentrasi >50% lebih dari 24 jam dan setiap pemberian oksigen
konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.
Ringkasan:
Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang terjadinya hipoksia dan didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi, sirkulasi dan sifat dari
oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai terapi haruslah dianggap sebagai obat dalam penggunaanya harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan cara mencegah/mengatasi efek
sampingnya.
Rujukan :
1. Stoelting RK Lungs in Pharmacology and physiology in anesthetic practice .4th ed. Philadelphia ,Lippincot William &Wilkins;2006.
2. Practical Physiology of the Pulmonary System,In:Pierce LN Guide to mechanical ventilation and Intensive Respiratory Care.Philadelphia WB Saunders 1995.
3. Dripps RD,Eckenhoof J,Vandam L,Respiration and Respiratory Care in Introduction to Anesthesia the principles of safe practice 6th ed Philadelphia :Saunders WBCompany 1982.
4. Guyton Ac,John E Hall,ventilasi paru dan prinsip pertukaran gas dalam Fisiologi manusia ,Ed3 Alih bahasa Andrianto P Jakarta, EGC, 1992.
5. Collins VJ Lungs,In Collins VJ,Editors,Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia 1st ed,Baltimore :William and Wilkins, 1996.
6. Terapi oksigen dalam Rahayoe AF,Djuhana,Advance cardiac life support :koka Pusdiklat RS Jantung Harapan Kita, 2003.
7. Oxygen Inhalation Therapy in marino PL The ICU Book 3th ed, Philadelphia, Lippincot William and Wilkins ;2007.
Kita sudah cukup mengetahui bahwa fungsi utama respiratory system adalah mempertahan tekanan partiel O2 dan CO2 sedekat mungkin kearah normal, dalam berbagai keadaan
tertentu. Disamping itu paru-paru juga punya fungsi yang lain seperti blood reservoir, filter, fluid and solute exchange.
Paru-paru merupakan satu mata rantai dalam system mata rantai yang komplex dalam mentransfer O2 dan CO2 antara darah dan udara. Adekuat tidaknya fungsi sistem respirasi diukur
dari normal tidaknya tekanan partiel O2 dan CO2 darah arteri, observasi fungsi pernafasan dengan cara lain hanya dapat menentukan tidak adekuatnya tetapi tak menjamin adekuatnya
fungsi respirasi.
Tiga faktor utama yang telibat dalam fungsi pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow dan diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis. Ventilasi bukan sekedar
mampu mendorong volume darah yang cukup tetapi juga harus mampu mendistribusikan keseluruh paru sesuai dengan distribusi dan jumlah pulmonary blood flow dan pada akhirnya setiap
gas harus bisa dengan mudah berdifussi melalui membran alveolaris.
Dengan perkataan lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi.
2. VENTILASI
Pertukaran udara antara alveoli dan udara luar disebut ventilasi.
A.TIDAL VOLUME :
Udara yang keluar masuk alveoli dalam satu kali pernafasan disebut udara tidal(tidal volume). Tidak semua udara tidal sampai ke alveoli dan ikut terlibat berdiffusi. Volume tidal yang ikut
dalam pertukaran gas disebut effective tidal volume.
Dalam satu penelitian sekumpulan pasien yang dianestesi dengan paru-paru yang sehat dilakukan ventilasi terkontrol selama 24 jam dengan tidal volume yang konstan kira-kira 7cc/kgBB
hanya dilakukan passive hyperinflasi dalam interval tertentu ternyata tidak dijumpai perubahan gradient antara tekanan partiel O2 dalam alveoli dan arteriel [;P (A-a)] O2. Dengan volume
tidal yang lebih besar terjadi penurunan P(A-a)O2.
Pada pasien-pasien yang sadar dengan volume tidal 7cc/kgBB walaupun dilakukan secara manual pernafasan yang dalam selama 24 jam ternyata kurang bisa ditolerir karena
menimbulkan kesan tak enak berupa dyspnoe walaupun tekanan partiel O2 dan CO2 arteri normal.
Dengan volume tidal sebesar 10-15cc/kgBB beratus ribu pasien yang diventilasi tak pernah dijumpai kerusakan paru-paru
B. MINUTE VOLUME :
Volume udara yang keluar masuk paru dalam satu menit disebut minute volume. Ini diperoleh dengan mengalikan tidal volume dan frekuensi pernafasan.
Kalau dijabarkan melalui satu rumus maka :
VE = VT x f
VE = minute volume
VT = tidal volume
f = frekuensi pernafasan
Minute volume bisa diukur dengan spirometer dalam satu menit dan tidal volume diperoleh dengan membaginya dengan frekuensi respirasi.
Minute volume bisa menurun dalam berbagai keadaan seperti high spinal anesthesia, halothan, cyclopropan, thiopentone dan ether yang dalam. Penurunan minute volume ini mungkin tak
mengganggu oksigenasi pasien tetapi tak mampu mengeluarkan CO2 secara adekuat.
C. DEAD SPACE VOLUME :
Bagian dari tidal volume yang tak ikut dalam pertukaran gas disebut dead space volume.
Bermacam-macam dead space :
1.ANATOMICAL SPACE
Saluran nafas yang tak ikut serta dalam pertukaran gas mulai dari hidung mulut, laryng, trachea sampai bronchioles terminalis.
Bervariasi menurut berat badan, umur, volume paru dan tidal volume. Faktor yang memegang peranan penting mempengaruhi dead space volume(VD) adalah tidal volume(VT).
Menurut REDFORD besarnya VD pada dewasa dan neonatus = 1/3 VT atau 20-40% dari VT atau diperkirakan kira-kira 2,2 cc/kgBB.
Depressi rahang bawah, flexi kepala akan mengurangi anatomy dead space lebih kurang 30cc sebaliknya extensi kepala akan meningkatkan kira-kira 40 cc.
Pneumectomy, tracheostomy, intubasi akan jelas menurunkan dead space volume atropin,insersi oral airway akan meningkatkan dead space volume.
2. ALVEOLAR DEAD SPACE
Alveoli yang baik ventilasinya tapi non perfdused disebut wasted ventilation. Pada keadaan paru overventilasi walaupun perfusi normal hal ini bisa menambah dead space volume. Pada
orang normal alveolar dead space ini minimal sehingga bisa diabaikan.
3.PHYSIOLOGICAL DEAD SPACE :
Ini merupakan penjumlahan anatomical dan alveolar dead space. Tapi dalam keadaan normal physiological dead space dianggap sama dengan anatomical dead space. Namanya
seharusnya bukan physiological dead space tetapi pathological dead space. Oleh karena alveolar dead space hanya bermakna dalam keadaan pathologis.
Physiological dead space akan meninggi pada tidal volume yang besa, respiratoy rate yang cepat, induksi anestesi, atropin dan penyakit paru bila saja hubungan
ventilasi berubah, umpama penyakit bronchitis atau asthma bronchiale,VD nya bisa mencapai 50-80% dari tidal volume. Oleh Frumin dan Nunn (1963) diketahui akibat perdarahan VD
nya akan meninggi dan selama kontrol hipotensi terutama bila pasien dalam posisi head up juga akan meninggi (Ashroff et all 1964). Selama intermitten positive pressure ventilation
(IPPV) kenaikan VD ini hampir dapat dikompensasi oleh intubasi yang dapat mengurangi dead space sd 50% (7). Oleh karena hubungan antara dead space dan tidal volume agak konstan
bila VT berubah,VD phys sering dinyatakan sebagai fraksi dari tidal volume (VD/VT) ratio, normalnya 0,25/0,4.
Pengaruh anestesi pada VD phys kelihatan sangat variabel tetapi biasanya baik VD phys maupun VD/VT ratio akan meninggi (normal =0,3).
Pasien yang dianestesi dengan kontrol ventilasi ratio VD/VT akan menjadi 0,3/0,45 tetapi bila efek intubasi dikoreksi maka VD/VT ratio menjdi 0,4/0,6.
Penelitian Keinn et all (1969), efek intubasi pada total fungsional dead space selama anestesi dengan halotan dan pernafasan spontan dengan memakai mask dan Frumin valve total dead
space meningkat sangat hebat (mean VD/VT=0,68,SD 0,062).
Ini bisa diturunkan dengan intubasi menjadi (mean VD/VT=0,51). Sehingga perbedaan yang nyata total dead space antara mask dan intubasi kira-kira 82 cc.Coopen 1967 telah
menetapkan bahwa VD phys selama anestesi dengan passive ventilasi secara kasar dihitung dari formula :
umur
VD/VT = 33 + %
3
Kenaikan VD/VT > 0,65 kemungkinan gagal nafas akut. Penyebab yang tersering kenaikan VD/VT ratio ini adalah hipotensi oleh sebab rendahnya tekanan arteri pulmonal.
Pengukuran VD phys biasanya dengan memakai Enghoffs modification dari Bohrs equation:
( PaCO2 PECO2 )
VD phys = - VD apparatus
PaCO2
PaCO2 = tekanan partial CO2 dalam darah arteri
PECO2 = tekanan partiel CO2 dalam udara expirasi
VD apparatus = Dead space volume karena apparatus anestesi.
Kenapa CO2 yang digunakan dalam rumus ini ?
Karena eliminasi CO2 dipengaruhi ventilasi. Caranya dengan mengumpulkan sample udara expirasi campuran dalam kantong Douglas beberapa kali pernafasan dan mengukur CO2
content serta total volume dan selama pengumpulan tersebut PaCO2 diukur. Nilai yang diperoleh untuk PECO2 dan VT lalu disubsitusikan dalam persamaan dan VD phys dihitung sebagai
fraksi dari VT maupun nilai absolut VD phys.
4.APPARATUS DEAD SPACE :
Merupakan volume udara yang terkandung dalam apparatus anestesi diantara pasien dan mesin anestesi (expiatory valve pada Magil System).
Ini memerlukan perhatian yang serius terutama bila yang dianestesi anak atau bayi. Pada Magil system dead space bisa bertambah lebih kurang 125 cc.
D. ALVEOLAR VENTILATION (VA) :
Bagian dari minute volume yang ikut serta dalam pertukaran gas. Nilai normal VA adalah 2,0 -2,4 L/menit /m2 BSA (body surface area) atau kira-kira 3,5-4,5 L/menit pada orang dewasa, ini
merupakan faktor yang terpenting dalam mengontrol excresi CO2 dari paru.
VA = (VT VD phys) x f
Dari rumus ini terlihat bahwa kenaikan VD phys atau penurunan frekuensi pernafasan akan mereduksi VA(alveolar ventilation), asal saja faktor-faktor lain tetap. Penurunan tidal volume
pada orang normal akan diikuti penurunan VD phys sehingga efek pada VA tak seberapa.
Sekiranya kita hitung VA dalam berbagai keadaan :
1.Normal : (450- 150) x 13 = 3,9 L/ menit ( PCO2 normal )
2.Tidal volume menurun : (300 150) x 13 = 2,6 L/ menit (PCO2 meninggi)
3.VD phys meningkat oleh alat anestesi (450 225) x 13 = 2,7 L/ menit (PCO2 meninggi)
4.Respiratory rate menurun : (450- 150) x 8 = 2,4 L/ menit (PCO2 meninggi)
Pengaruh ventilation pattern pada alveolar ventilation dapat terlihat sebagai berikut:
Pada pernafasan cepat dan dangkal : (200- 150) x 30 = 1500 cc / menit
Pada pernafasan dalam dan lambat : (600- 150) x 10 = 4500 cc / menit
Dari gambaran diatas dapat ditarik kesimpulan suatu pernafasan yang cepat dan dangkal akan menyebabkan ventilasi yang tidak efisien.
Ini disebabkan udara yang bergerak sebagian besar hanya mondar mandir dalam conducting airway.Terlihat dari minute volume yang sama menghasilkan alveolar ventilation yang sangat
berbeda dibawah pengaruh ventilation pattern. PaCO2 terutama dipengaruhi oleh alveolar ventilation tidak sama sekali oleh pulmonary blood flow sedangkan PaO2 terutama ditentukan
oleh cardiac output, pulmonary blood flow dan sekunder oleh alveolar ventilation.
Peninggian alveolar ventilation secara mendadak selama 3 menit bisa menurunkan separuh dari total PaCO2 sedangkan penurunan secara mendadak selam 16 menit bisa menaikkan
separoh dari total PaCO2(4). Pada praktisnya ada mekanisme fisiologis yang cenderung mengembalikan PaCO2 kearah normal dalam setiap menghadapi perubahan yang terjadi sehingga
perubahan alveolar ventilation tak begitu bermakna. Tetapi dibawah pengaruh sedative/anestesi respons fisiologis mungkin ditekan sehingga setiap perubahan alveolar ventilation oleh
bertambahnya apparatus dead space mungkin tak bisa dikompensir secara penuh. Suatu keadaan hipoventilasi dimana VA dibawah normal input O2 maupun output CO2 berkurang dengan
demikian suatu keadaan hipoksemia dann hiperkarbia bisa timbul bersama2 dalam situasi hipoventilasi.
Akan tetapi PaO2 bukanlah petunjuk yang tepat adanya non adekwat ventilasi karena banyak penyebab lain yang menyebabkan hipoksemia sebaliknya PaCO2 petunjuk yang tepat adanya
hypoventilation karena outputnya semata-mata tergantung alveolar ventilation. Pengeluaran CO2 yang adekuat memerlukan alveolar ventilation yang adekuat dengan perkataan lain
PaCO2 yang rendah menunjukkan alveolar ventilation yang
excessive sedangkan PaCO2 yang tinggi menunjukan alveolar ventilation non adequate. Deep anesthesia, respiratory depressant drug dan muscle relaxant semua cenderung mendepresi
alveolar ventilation. Ini akan meningkatkan PACO2 dan menurunkan PAO2 kecuali supply O2 ditambah dalam udara inspirasi. Ini dapat diterangkan bilamana tak ada perubahan pada
setiap gas campuran yang lain dalam paru dimana PAO2 dapat dihitung dari persamaan berikut(Alveolar air equation).(Coenroe et all 1962)
Alveolar CO2 tension
Alveolar oxygen tension (PAO2) = Inspired O2 tension-Respiratory Quotient
PAO2 = PIO2 PACO2/R
Kalau kita subsitusi angka2 normal pada persamaan ini :
150 40/0,8 = 100 mmHg
Bila PACO2 meningkat sampai 60 mmHg maka persamaan akan menjadi :
150 60/ 0,8 = 75 mmHg
Terlihat bahwa adanya kenaikan PACO2 mengakibatkan penurunan PAO2 maupun PaO2 dengan demikian bisa menimbulkan hipoksemia oleh sebab itu pada anestesi dengan spontan
respirasi ditambah perubahan lain akan cenderung menimbulkan hipoksemia maka dianjurkan memakai minimal 33% O2 dalam semua campuran gas anestesi untuk mengkompensir
setiap kenaikan PaCO2 dan perubahan paru yang terjadi.
Umpamanya 30% O2 diberikan maka persamaan tadi menjadi : 230 60/ 0,8 = 155 mmHg
Pengamatan reservoir bag, gerakan dada dan abdomen, frekuensi respirasi, pengukuran minute volume dengan spirometer, pengamatan warna darah capillarry bed merupakan tindakan
yang praktis selama operasi. Yang paling dapat dipercaya adalah spirometer tetapi yang lebih baik adalah analisa gas darah hanya tidak praktis dan fasilitasnya masih minim. Warna
capillary bed hanya untuk oksigenasi tetapi tidak menunjukkan adanya retensi CO2. Dengan meningkatkan konsentrasi O2 saja dalam udara inspirasi tanpa mengawasi ventilasi sangat
riskan.
Bila terjadi peningkatan ventilasi selama anestesi dengan respirasi spontan kemungkinan kausanya :
1. hipoksia
2. hiperkarbia
3. anestesi dangkal
4. reflex surgical stimulation
ad.1. hipoksia bekerja pada chemoreceptor merangsang respirasi.
ad.2. hiperkarbia menyebabkan perubahan acid base balance membasahi respiraytory center meningkatkan ventilasi.
ad.3. iritasi jalan nafas oleh zat volatile anestesi atau prosedur perangsangan yang lain.
ad.4.stimulasi dari lokasi operasi atau stimulasi mukosa bronchial, umpama penarikan mesenterium, dilatasi sphincter dengan anestesi ringan
dimana reflex suppression tak adekuat, menaikkan ventilasi, bila stimulasi lebih berat sedangkan anestesi tak adekuat bisa timbul laryngospasm.
Maka sikap kita bila menemukan respiratory rate meningkat durante operasi tensi naik nadi cepat singkirkan dulu hipoksia dan hiperkarbia baru boleh didalamkan anestesi.
Selama dianestesi haruslah diperiksa :
Tangki O2 berisi atau kosong (sumber O2 lancar)
FiO2 cukup/tidak
Ventilasi cukup ?
CO2 absorber bekerja atau tidak ?
One way valve bekerja atau tidak ?
Mendalamkan anestesi dalam kondisi hipoksia atau hiperkarbia mengundang bencana depressi yang lebih besar baik terhadap otak maupun cardio vascular.
E. LUNG VOLUME / CAPACITY :
Istilah yang digunakan untuk menjelaskan lung volume dan capacity digunakan oleh sekelompok American Physiologist untuk memudahkan pengertian telah dapat diterima oleh umum.
Nomenklatur untuk lung volume dan capacity dengan nilai normal pada orang dewasa diperoleh dari Needhan et all (1954).
Terminologi Keterangan N
ormal Value
M F
================================================================================================
Tidal volume(VT) Volume udara inspirasi & expiirasi setiap kali respirasi 660 550
(230) (160)
Inspiratory reserve volume(I R V) Maksimum udara yang dapat diinspirasi sesudah inspirasi normal 2240 1480
Expiratory reserve volume(ERV) Maksimum udara yang dapat diexpirasi sesudah expirasi normal 1240 730
(410) (300)
Residual volume(RV) Volume udara yang tinggal diparu sesudah expirasi maksimal 2100 1570
(520) (380)
Vital capacity (VC) Volume udara maksimum yang dapat diexpirasi sesudah inspirasi maksimal 4130 2760
.
(750) (540)
Total lung capacity (TLC) Total udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal 6230 4330
(830) (620)
Inspiratory capacity (IC) Volume udara maksimal yang dapat diinspirasi sesudah expirasi normal 2900 2030
Functional Residual Capacity (FRC) Volume udara yang tinggal diparu sesudah expirasi normal 3330 2300
(680) (490)
-
Yang dimaksud dengan capacity adalah jumlah dua atau lebih volume paru.
Tetapi yang paling penting dalam menilai faal paru adalah vital capacity,residual volume dan functional residual capacity.
VITAL CAPACITY :
Merupakan jumlah dari tidal volume 500 cc
Inspiratory reserve volume 2500 cc
Expiratory reserve volume 1000 cc
+
4000 cc
Penetapan VC secara sederhana dapat diukur dengan spirometer. Dapat dengan menghitung tinggi(cm) x 25 atau berat badan (kg)x 70.
Nilai normal VC : Atlit Pria Wanita
Rata-Rata VC dalam cc/m2 BSA 2800 2600 2100
Rata-Rata VC dalam cc/m tinggi 2900 2500 2000
Penetapan VC tak bisa dianggap abnormal bila variasi tak lebih 20% dari angka diatas, oleh karena VC tidak selalu konstant walau pada orang yang sehat dan selalu dipengaruhi oleh faktor
umur, latihan fisik, perubahan berat dan tinggi badan, sex dan lain-lain. Pada orang yang sama dari waktu kewaktu bisa berbeda oleh sebab itu penetapannya tak cukup sekali saja tapi
sebaiknya berulang, VC bisa menurun dalam berbagai
keadaan :
1.Perubahan kekuatan otot :
Jelasnya setiap obat yang mendepresi aktivitas mekanisma pernafasan apakah diotak,saraf,maupun serabut otot bisa menurunkan VC. Sama halnya lesi pada otak seperti tumor otak,
tekanan intracranial(ICP) meninggi, lesi pada saraf seperti poliomyelitis atau polineuritis, lesi pada neuro muscular junction seperti myasthenia gravis dapat menurunkan VC.
2.Penyakit paru:
Yang paling sering chronic bronchitis, pulmonary fibrosis, asthma bronchiale lobair pneumonia.
3.Space occupying lesion pada thorax :
Extra pleural tumor, pleural/pericardial effusion, kyposcoliosis, pneumothorax dan neurofibromatosis dan lain-lain.
4.Tumor abdomen :
Yang menghalangi turunnya diaphragma kecuali uterus yang membesar pada orang hamil walaupun mendorong diaphragma keatas namun VC tak turun malah naik 10% diatas normal
karena rangka thorax membesar transversal dan antroposterior serta sudut subcostal sangat miring waktu hamil.
5.Abdominal pain :
Nyeri post operatif mengenai otot abdomen akan menurunkan VC (70-75)% bila operasi abdomen bagian atas dan 50% bila andomen bagian bawah menurut Churchill 1925, angka ini
disetujui oleh Simpson s Cs yang mengusulkan teknik continous thoracic epidural untuk mengurangi nyeri post operatif sekaligus mampu memperbaiki VC. Tetapi yang menarik sangat
sedikit penderita yang kembali VC nya seperti preoperatif. Ini mungkin epidural sendiri dapat membatasi aktivitas respirasi namun Moir 1965 pada penelitian yang sama menyimpulkan
bahwa tidak dijumpai derajat paresis yang bermakna disebabkan epidural block
6 Abdominal splinting :
Pengikatan abdomen yang ketat akan membatasi respirasi, tetapi elastic strapping dalam vertical plane membantu kebebasan yang luas bagi respirasi post operatif.
7.Perubahan posture :
Pada pasien sadar akan terjadi perubahan VC yang besar disebabkan perubahan volume darah diparu. Dengan demikian VC akan lebih besar waktu berdiri dibandingkan
posisi duduk atau telentang. Selisih VC duduk dan berbaring kira-kiar 300 cc, dengan pooling darah dikaki akan mampu menambah VC 1/4-1/2 liter.
Berbagai posisi pasien yang dianestesi diata meja operasi akan mempengaruhi VC :
Posisi Hilangnya VC
Tredelenburg (20 derajat) 14,5 %
Lithotomi 18,0 %
Left lateral 10,0 %
Right lateral 12,0 %
Bridge in dorsal position 12,5 %
Prone position unsupported 10,0 %
RESIDUAL VOLUME AND FUNCTIONAL RESIDUAL CAPACITY:
=================================================
Residual volume jumlah udara yang masih ada diparu sesudah expirasi maksimal. FRC jumlah udara yang ada diparu sesudah expirasi normal, pada saat yang sama elastic coil paru
seimbang dengan elastic recoil dinding dada. Sayangnya tak ada satupun cara mengukur RV dan FRC secara langsung, cara tak langsung bisa dengan spirometer dengan mengusir kadar
N2 yang keluar dari paru pasien. Sesudah expirasi maksimal (kalau yang diukur RV) dan sesudah expirasi maksimal kalau yang diukur FRC, pasien disuruh menghirup O2 dari sumbernya
kemudian mengexpirasikan kedalam spirometer yang telah bebas N2.
Setelah beberapa menit hampir seluruh N2 dalam paru diusir keluar dari paru. Pada orang dewasa yang sehat ini hanya dicapai dalam 2 menit, tetapi pada pasien empysema yang berat
paling cepat dibutuhkan waktu 7-20 menit. Pada permulaan test semua N2 ada dalam paru tapi pada akhir test semuanya masuk respirator dan konsentrasi N2 dalam spirometer dapat
diukur. Volume total gas dalam spirometer diketahui maka total volume N2 dalam gas campuran juga dapat diketahui, maka total volume N2 sama dengan RV atau FRC.
Residual volume yang meningkat menunjukan volume paru lebih besar dari biasa dan tak dapat mengosongkan isinya secukupnya, biasanya bersamaan dengan emphysema paru tetapi
bisa juga terjadi temporer tanpa perubahan struktur paru. Residual bisa juga meningkat bila ada obstruksi jalan nafas seperti pada asthma bronchiale atau overinflasi sesudah thoracotomy.
Pada emphysema yang berat sebagian udara akan terkurung sempurna dalam alveoli dan tak bisa berkontak dengan udara respirasi.
Menurut Folger 1971, FRC lebih kurang 30cc/kg BB,menurun 1/3 bagian pada posisi telentang dibandingkan posisi tegak ini disebabkan lebih tingginya diphragma dan beratnya viscera.
Selama anestesi terutama waktu induksi apalagi pada orang tua terjadi penurunan FRC 16% sebabnya tak jelas.
Perbandingan dewasa dan neonatus dalam beberapa lung :
Adult Neonatus
FRC cc/kg BB 34 30
RV cc/kg BB 17 20
FRC/TLC 0,40 0,48
RV/TLC 0,20 0,33
Setiap kenaikan FRC biasanya diduga adanya perubahan emphysematous dalam paru. Pada neonatus FRC lebih mendekati RV dibandingkan dengan dewasa mungkin ada
kecenderungan kollapsnya alveoli setiap exhalasi pada neonatus. FRC menurun jelas pada post laparatomi oleh sebab abdominal distension atau spasmo otot abdomen yang dapat
menghalangi expansi paru.
Faktor yang paling dominan menurunkan FRC adalah perubahan mekanik dinding thorax umpama dinding dada yang kaku. Bila FRC/TLC dan RV/TLC meninggi mungkin ada gas trapping.
Kalau FRC menurun uptake gas anestesi juga menurun, hilangnya juga lambat terutama zat yang high soluble.
THORACIC GAS VOLUME
Menentukan total volume udara dalam thorax berdasarkan perubahan tekanan udara didalam dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba,biasanya pada akhir expirasi. Metode ini
dikombinasi dengan metode dilusi N2 mudah menentukan jumlah daerah nonventilated dari paru pasien tertentu. Pada emphysema bisa dijumpai 1-3 liter udara terkurung dalam alveoli.
CLOSING VOLUME
Volume udara dalam paru selama expirasi ketika small airway menutup. Kita ketahui dalam keadaan normal/sadar selama inspirasi tidak dijumpai penutupan airway ,semua daerah paru
terbuka, penutupan airway terjadi terutama kebanyakan pada dependent region dari paru dimana selama expirasi tekanan pleural lebih besar dari tekanan airway.
Dengan bertambahnya umur dimana terjadi penurunan elastic recoil secara progressif akan lebih besar tendency penutupan airway berarti meningkatnya closing volume (CV). Normal
closing volume umur 20 tahun kira-kia 1,5 liter dibawah FRC dan umur 65 thn sama dengan FRC saat posisi berdiri. Bila FRC lebih kecil dari CV menunjukkan adanya regional hipoventilasi
pada dependent area dari paru, shunt atau peninggian P(A-a) O2.
CV meninggi pada perokok berat walaupun test paru lain abnormal. Penutupan airway sangat mungkin oleh sebab hilangnya elastisitas jaringan paru mengakibatkan air trapping dan
perubahan ventilasi/perfusi. Ini mungkin penyebab hubungan terbalik yang normal diantara umur dan PaO2. CV meningkat dengan bertambahnya umur, obesitas, posisi berbaring, anestesi
apakah dengan spontan atau kontrol ventilasi. Penggunaan PEEP tampaknya sangat menolong pada situasi meningkatnya CV agar FRC bisa ditingkatkan diatas CV.
Closing capacity = Closing + Residual volume
Bila closing capacity(CC) lebih besar dari FRC maka penutupan airway akan terjadi selama pernafasan tidak meningkatkan AaDO2. Pada bayi atau anak dibawah 6 tahun, CC> FRC pada
dependent area dari paru oleh karena gravity dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba biasanya pada akhir expirasi. Methode pemakaian morphin dan derivatnya sebagai
penghilang nyeri post operataif cenderung mendepresi respirasi sehingga VC menurun. Spesific nerve block mungkin efektif.
F. COMPLIANCE (distensibility) (CL):
Paru-paru mempunyai sifat visco elastis:
1. Compliance (sifat mengembang dari paru paru).
2. Elastance (elastic resistance), rentan terhadap pengembangan paru pengukurannya pada saat aliran udaraberhenti(expirasi).
3. Vicance (rintangan sepanjang jalan nafas).
Dahulu digunakan istilah elastisitas paru menurun, saat ini tak dipakai lagi, seharusnya compliance menurun dan elastance meninggi.
Yang dimaksud dengan compliance sebenarnya hubungan antara tekanan dan perubahan volume paru. Setiap kenaikan tekanan 1 cm H2O berapa liter pertambahan volume paru disebut
compliance paru. Yang dinyatakan dalam L/cm H2O, bervariasi untuk tiap orang dan tiap keadaan pada orang yang sama,pada orang muda nilai normalnya =0,2 L/cm H2O artinya tiap
kenaikan tekanan 1 cm H2O akan bertambah volume paru sebesar 200 cc. Compliance dinding thorax (Ccw) (Chest wall compliance) besarnya juga 0,2 L/ cm H2O.
Total compliance bisa dihitung dengan rumus :
1 / CT = 1 / CL + 1 / Ccw
1 / CT = 1 / 0,2 + 1 / 0,2
CT = 0,1
Jadi diperlukan tekanan 1 cm H2O untuk mendorong 100 cc udara kedalam paru. Static compliance sehubungan dengan elastic resistance diukur waktu menahan nafas tanpa memandang
faktor flow sedangkan dinamic compliance (non elastic resistance) diukur selama bernafas spontan.
Non elastic resistance terdiri dari 2 komponen utama:
1.Viscous resistance terdiri dari paru dan dinding dada.(20 %)
2.Airflow resistance tergantung terutama pada airway, pattern dan flowrate.(70-80%)
Oleh sebab compliance punya hubungan erat dengan FRC dinyatakan sebagai spesific compliance.
Spesific compliance = Compliance ( L/cm H2O) : Volume paru pada FRC.
Normal = 0,5 L/cm H2O. Ratio ini sama untuk dewasa, anak dan neonatus.
Compliance paru sangat tergantung pada elastisitas paru dan volume paru sebelum diregang. Selama anestesi compliance paru menurun
mekanisme yang pasti belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang mungkin menyokong keadaan ini, antara lain :
1.Posture
Kebanyakan pasien yang di anestesi posisinya telentang yang dapat menurunkan volume paru dan akibatnya compliance paru menurun. Pada akhir expirasi diaphragma agak flaccid dan
posisinya ditentukan oleh perbedaan tekanan antara rongga abdomen dan pleura. Pada posisi head down, tengkurap, atau posisi gall blader/kidney akan memperhebat penurunan lebih
lanjut compliance thorax.
2. Ventilatory pattern :
Respirasi yang dangkal biarpun teratur akan menurunkan compliance paru secara progresif baik pada manusia maupun pada binatang. Ini bisa dikembalikan ke normal dengan over inflasi.
3. Perubahan pulmonary blood flow:
Shunting dapat menurunkan compliance paru.
4. Distribusi gas inspirasi :
Perubahan pattern dari distribusi gas inspirasi atau artficial ventilasi dapat berpengaruh. The Work of breathing adalah kerja untuk mengatasi elastic recoil paru dan frictional resistance dari
gas flow melalui airway, atau tekanan total yang diperlukan untuk memaksa sejumlah udara masuk kedalam paru, nilai normal = 0,5 kgm/menit.
Ini bisa meningkat 5-10 kali bila ada penyakit paru dan jantung. Diperkirakan konsumsi O2 untuk work of breathing 2% dari total konsumsi O2 seluruh tubuh. Pada respiratory distress
syndrome konsumsi O2 bisa meningkat lebih dari 30% dari total konsumsi O2 tubuh. Pada waktu istirahat metabolic cost of breathing normal 0,5-1 ml O2/liter ventilasi. Dengan
hyperventilasi bisa meningkatkan sampai 3-4 cc O2 / liter ventilasi.
G. Dynamic test of ventilation
Idealnya semua anesthesiologist pada preoperatif melakukan test faal paru untuk semua pasien yang diduga akan berkembang komplikasi pulmonal. Tetapi tak ada satu test pun yang ideal
begitupun untuk lebih cermat lebih baik dilakukan penggabungan berbagai test.
1. MBC (Maximum breathing capacity atau MBV(Maximum breathing ventilation):
Volume udara maksimal yang dinafaskan pasien dalam satu menit. Test ini diperkenalkan oleh Hermansen 1933 direncanakan untuk mengukur kecepatan dan effisiensi pengisian dan
pengosongan paru selama pernafasan maksimum dalam 1 menit. Biasanya diukur dalam 15 detik daan hasilnya dinyatakan flow permenit. Dengan demikian dynamic test bertentangan
dengan static test pada penetapan vital capacity.
Dengan bertambahnya umur akan diikuti penurunan MBC dan pasien empysema pulmonum penurunannya sangat menyolok. Demikian juga pada bronchospasm atau obstruksi bronchus.
Test ini juga digunakan untuk mentest efektifitas bronchodilator pada terapi bronchokonstriksi. Dan menurut Courmand dan Richards 1941 sesudah dilakukan reseksi iga ditemui turunnya
MBC sebesar 15%. Test ini sangat melelahkan kurang cocok pada pasien kondisinya jelek. Nilai normal berkisar antara 100-200 L/menit tergantung cara pengukurannya.
MBC sebanding dengan 35x forced expiratory volume pada detik pertama (FEV 1).
Breathing reserve = MBC Minute volume
Syarat timbulnya dyspnoe bila ratio breathing reserve (Breathing reserve/MBC)<65-70%,sebenarnya dyspnoe tak tergantung oksigen dan pH atau lainnya.
2. Forced expiratory volume (FEV)
Volume udara yang dikeluarkan sekuat-kuatnya dalam detik pertama sesudah inspirasi maximum.
Nilai ini dinyatakan sebagai ratio FEV/VC.
Bisa dibedakan apakah kelainan paru berupa obstruktif atau restriktif.(kapasitas ventilasi yang tidak sempurna), pasien diminta inspirasi semaksimal mungkin kemudian expirasi sekuat dan
secepat mungkin yang ia mampu kedalam spirometer dan jumlah total gas yang diexpirasikan setelah waktu tertentu dicatat. Interval waktu pengukuran jumlah udara yang diexpirasikan 0, 5,
1 ,2 ,3 detik pertama, tetapi biasanya pada detik pertama (FEV 1,0) volume ini disebut sebagai presentase dari Forced Vital Capacity (FVC).
Pada orang normal 83% VC seharusnya diexpirasikan pada detik pertama, batas minimal normal kira-kira 70%, sedangkan pada bronchitis chronica 50%. Dengan vitaloparagraph bisa
diukur sekaligus VC dan FEV 1,0. Bila tak ada resistensi terhadap airflow atau gerakan dada yang terbatas FEV 1,0 akan turun seimbang dengan penurunan VC.
Pada penyakit paru restrictif seperti pulmonary fibrosis semua lung volume menurun. Walaupun flow mungkin menurun tetapi sebanding dengan penurunan lung volume sehingga ratio FEV
1.0/FVC tetap normal.
3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) :
Sesudah inspirasi maksimum pasien disuruh expirasi sekuat mungkin dan mximum flow rate dari udara diukur. Pengukuran bisa dibuat dengan pneumotachograph atau alat khusus seperti
Wright flow meter. Batas normal PEFR 450-700 L/menit pada pria dewasa dan 400-500 L permenit pada wanita dewasa bervariasi menurut umur dan berat badan.
PEFR biasanya 4-5x MBC. Nilai rendah FEV 1,0 dan PEFR biasanya disebabkan naiknya resistensi air flow dalam conducting airway umpama bronchospasm, asthma
bronchiale atau bronchitis chronica. Beberapa pasien kelihatan VC menurun walau FEV 1.0 dan PEFR normal. Bila alat tak tersedia untuk mengukur beratnya lesi obstruktif kita dapat
lakukan test sederhana dimana pasien diminta bernafas dalam kemudian mengexpirasi sekuat mungkin melalui mulutnya, bila selesai paling lama 3 detik bisa dikatakan normal.
4. Bronchospirometry
Fungsi masing-masing paru dapat diteliti secara terpisah dengan bronchospirometri,keuntungan,alat ini dibandingkan test lain dapat mengukur ventilasi dan oksigen uptake pada saat sama.
Pada orang normal diharapkan 55% dari ventilasi dan konsumsi O2 dilakukan oleh paru kanan dan 45% oleh paru kiri. Test ini sangat berguna bila dipakai untuk menetapkan fungsi salah
satu paru kalau pneumectomy atau lobectomy dari sisi yang bertentangan dipertimbangkan.
5. Jalan udara inspirasi didistrubsikan ke alveoli mungkin dipengaruhi perubahan lokal dalam resistensi airway atau elastisitas paru.
Metode paling sederhana mendeteksi distribusi ventilasi abnormal dengan mempelajari eliminasi N2 dari alveoli bila bernafas dengan 100% O2.
Pasien diminta menghirup O2 100% selama 7 menit, pada akhir waktu ini konsentrasi N2 dalam udara alveolar diukur dengan nitrogen meter, bila konsentrasi N2 > 2% dianggap ada
distribusi abnormal dari paru. Harus diingat rate of N2 yang dikeluarkan dapat juga dipengaruhi oleh tidal dan minute volume dan FRC
6. Match test :
Berhasil atau tidaknya menghembus kertas tipis yang berjarak 15 cm dari mulut pasien yang membuka lebar, dengan syarat bibir tak boleh ikut bersama.
Bila pasien bisa melakukannya dianggap ventilasinya cukup. Terutama untuk pasien yang dipersiapkan untuk thoracotomy atau laparatomy.
Bila gagal melakukannya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
7. Auskultasi diatas trachea selama forced expirasi :
Bila didengar suara pernafasan > 6 detik kemungkinan ada obstruktif bila kurang dari 5 detik hampir dapat dikatakan tidak ada obstruksi pada jalan nafas.
8. Cara sederhana :
Pasien bernafas dengan O2 100% selama 3 menit tentukan tensi dan nadi. Kemudian bernafas dengan O2 21% selama satu menit, kemudian tentukan tensi dan nadi. Bila tensi dan nadi
naik >10% berarti ventilasi tak adekuat karena ada retensi CO2.
III. VENTILASI PERFUSI :
Normalnya pertukaran gas CO2 dan O2 tergantung pada normalnya hubungan antara alveolar ventilasi (VA) dan perfusi (Q),dengan perkataan lain adanya keseimbangan ventilasi perfusi.
Kita ketahui tekanan arteri pulmonal cukup rendah dalam keadaan normal sehingga waktu posisi berdiri, gravitasi sendiri dapat melemahkan perfusi pada unit paru bagian atas
sehingga ratio ventilasi perfusi (VA/Q) didaerah apex relatif tinggi, sebaliknya pada basis paru perfusi lebih tinggi dibandingkan ventilasi sehingga ratio ventilasi perfusi (VA/Q) jadi rendah.
Nilai VA/Q bervariasi antara 0 sampai tak berhingga.
Pada ratio VA/Q = 0 berarti perfusi baik tetapi tak ada ventilasi disebut wasted perfusion. Dalam keadaan ini didapati complete shunt dimana PaO2 = PvO2.
Diagnose shunt diketahui dengan peninggian gradient tekanan partiel O2 dan alvoli > 10 Besarnya % shunt bisa diketahui dengan memakai rumus :
0,0031 x (A-a) DO2
Bila PaO2 > 150 torr Qs / Qt =
{{0,0031x (A-a) DO2}} + (a-v) DDO2}
(CeO2 CaO2)
Bila PaO2 < 150 torr-Qs / Qt = -
(CaO2 CvO2)
normal = 2-5%
CO2 = O2 content
a = arteriel
v = venous
e = end capillary
Shunt > 30% mungkin terlihat pada CHD, trauma paru, fat emboli paru, pneumonia, gross ,obesity dan lain-lain.
Bila kita perhatikan besarnya shunt dengan respons terhadap pemberian O2 dalam udara inspirasi (FiO2) dapat kita duga besarnya shunt yang terjadi.
% shunt % FiO2 untuk mengembalikan PaO2 normal
10 30
20 57
30 97
40 tidak mungkin kembali normal
50 tidak ada efek sama sekali pada PaO2
Bila shunt 50% maka tidak ada effek terhadap PaO2 berapa besarpun FiO2 diberikan. Bila ratio VA / Q tidak berhingga berarti ventilasi baik tetapi tak ada perfusi disebut wasted ventilation
menyebabkan meningkatnya alveolar dead space ventilation. Unit paru yang perfusinya rendah relatif hiperventilasi ini akan mengakibatkan PACO2 yang sangat rendah dan PAO2 yang
tinggi. Yang sangat menarik unit paru ini sangat sedikit pengaruhnya pada PaCO2 dan PaO2 oleh karena perfusi yang jelek hanya memberikan sedikit darah sehingga sedikit gangguan
langsung pada PaO2 total.
Jika unit ini terkena cukup bermakna maka akan meningkatkan wasted ventilation dengan demikian peningkatan minute volume diperlukan untuk mempertahankan PaO2 yang normal
sebab bila PaCO2 meninggi maka PaO2 akan menurun.
Pada posisi berbaring blood flow kedaerah apex paru meningkat sedangkan kedaerah basal tetap. Dengan demikian distribusi darah jadi merata.
Dengan adanya distribusi darah/ventilasi yang berbeda dilapangan paru maka lapangan paru dapat dibagi atas zone I, II, III.
Zone I : daerah apex VA /Q = 0,6 / 0,2
P alv > P art > P ven capiller agak tertekan karena tekanan alveoli tekanan arteri sehingga deadspace meninggi.
Zone II : mid zone VA / Q = 1,0 / 1,0
P art > P alv > P ven blood flow tergantung perbedaan tekanan arteri dan alveoli.
Zone III: basal zone VA / Q = 2,4 / 3,8
P art > P ven > P alv blood flow tergantung perbedaan tekanan arteri dan vena.
IV. DIFFUSSION:
Diffusi adalah masuknya gas kedalam cairan melalui satu membran.
Koefisien diffusi adalah banyaknya gas yang masuk cairan melalui membran dalam waktu tertentu.
Pertukaran gas dalam paru terjadi melalui proses difusi pasif melalui membran alveolar capiler.Membran ini terdiri dari membran alveolar,cairan interstitial dan endothel capiler. Cepatnya
transfer gas tergantung dari luasnya membran, solubelity gas dalam cairan,perbedaan tekanan partiel melalui membran, tebalnya membran, sifat membran, molekul Hb dan capiler paru.
Karena difusi CO2 sangat mudah terjadinya maka tekanan CO2 capiler = tekanan CO2 alveolar.
Nilai normal 30 40 mmHG.
Pertukaran O2 walaupun cepat terjadinya tetapi tak semudah CO2, jika terjadi kelainan paru maka bukan difusi CO2 yang akan terganggu tetapi difusi O2 yang lebih dulu mengalami
perubahan.
Dalam keadaan normal ada anastomose antara arteri dan vena pulmonalis tetapi aliran darah tetap melalui capiler paru dulu baru mencapai vena pulmonalis, tetapi dalam keadaan
hipoksemia, dalam daerah paru yang hipoventilasi mungkin terjadi aliran langsung kedalam vena pulmonalios. (A-V pulmonary shunt). Difusi akan menurun oleh faktor sekunder pada
beberapa penyakit antara lain adanya alveolar capillary block, yang ditemukan pada Boecks sarcoid of the lung, asbestosis, pulmonary odema dan lain-lain.
Pulmonary diffusing capacity untuk CO :
ml CO yang ditransfer dari alveoli kedalam darah/menit
oksigen + +++ +
clearing
secretions ++ ++ +++
improving mechanic +++ + ++
Pemberian oksigen :
Merupakan material pokok yang harus diberikan.
Besarnya diberikan tergantung derajat gagal nafas dan kronisitas penyakit. Perlu diketahui bisa sebagai penyelamat dan bisa sebagai perusak.
Oleh karena itu harus tahu benar berapa besarnya FiO2 yang diberikan untuk mencapai PaO2 yang diharapkan ,diperlukan monitoring BGA(Blood Gas Analysis) Besarnya FiO2 bisa
diketahui dari dengan cara bagaimana O2 diberikan dan berapa flow O2 rate.
Cara Flow O2 FiO2
L/menit %
-
Nasal catheter 1-2 24-48
/canula. 3-4 30-35
5-6 38-44
Simple mask 5-6 40
6-7 50
7-8 60
Mask dengan Re-
servoir bag 6 60
7 70
8 80
9-10 90-99
Negative inspiratory force(NIF) dapat menilai tenaga otot-otot inspirasi dapat diketahui dengan manometer dihubungkan dengan tracheal tube dan pasien diminta bernafas sedalam
mungkin,
Normal lebih dari -80 cm H2O.
Bagaimana cara weaning ?
Ada 2 cara :
1.conservative
2.Intermitent mandatory ventilation.
1.Cara conservative :
Mula-mula pasien dilepas dari ventilator dan pipa tracheal dihubungkan T piece diberi FiO2 yang sama selama 5 menit amati frekwensi nafas,cyanosis,nadi dan tensi kemudian hubungkan
kembali ke ventilator selama 55 menit.
Bila pada jam pertama tak ada problema pada jam kedua lepaskan ventilator 10 menit. Ini dilakukan terus pada jam-jam berikutnya dengan periode lepas dua kali sebelumnya dengan
syarat tidak ditemukan tanda-tanda kesulitan nafas.
Bila telah mencapai periode lepas lebih dari 30 menit untuk mendeteksi ventilasi yang efisien lakukan evaluasi BGA,tidal volume,vital capacity dan NIF.
Bila pasien tak menunjukkan tanda keletihan dengan pernafasan spontan teruskan keproses weaning seterusnya. Tetapi bila ada tanda-tanda keletihan dipasang ventilator untuk beberapa
waktu. Prinsipnya waktu pelepasan ditambah sementara ke ventilator dikurangi.
Bila telah mampu mellampaui masa 4-6 jam tanpa menunjukkan tanda-tanda keletihan dianggap telah mampu bernafas sendiri tanpa ventilator. Namun demikian pasien tetap
terintubasi sambil mengamati tanda keletihan.
Bila ventilasi telah adekwat selama 72 jam dinilai dari NIF,VC,VT,dan BGA maka pasien boleh diextubasi.
Cara ini cukup lama, membosankan dan pasien sangat tergantung pada ventilator.
2.Cara IMV :
Prinsipnya mengurangi bantuan ventilator secara bertahap dengan cara mengurangi frekuensi IMV perlahan-lahan, Ventilator tak perlu dilepas dan pasien tak menyadari bahwa dia telah
berjuang sekuat tenaga untuk bernafas sendiri.
Penurunan frekuensi secara bertahap 2x/menit awasi vital sign,BGA,sesudah 1 jam bila normal turunkan lagi 2x/menit dan seterusnya sampai frekuensi IMV nol, pindahkan kepada
Tpiece dengan FiO2 yang sama awasi lagi, bila pernafasan adekuat lakukan extubasi dan pasien dioksigenasi dengan humidified 40% oksigen, melalui sungkup(mask) untuk mengurangi
keresahan akibat iritasi jalan nafas bagian atas selama periode intubasi,sesudah 1 jam extubasi diperiksa BGA lagi. Pemberian O2 diteruskan sampai BGA normal selama bernafas dengan
udara kamar. Cara ini mengatasi ketergantungan pasien pada ventilator.
IV.KESIMPULAN :
Telah dikemukakan dasar-dasar pengelolaan penderita gagal nafas. Telah dibicarakan pula beberapa kebijakan dalam terapi O2, pulmonary toilet, dan pemakaian ventilator. Perawatan
merupakan bagian yang menentukan nasib penderita. Peningkatan dan penyegaran ketrampilan dari personil yang terlibat adalah keharusan.
V. KEPUSTAKAAN :
1.Brawn AH Cs,introduction to respiratory physiology,2nd edit,Little Brown and Company,Boston,pp 111-116,128-130,1980.
2.Goudsouzien,Karmanian A,Physiology for the Anesthesiologist Appleton Century Crafts,Newyork,pp 189-198,1977.
3.Lebowitz WP,Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusets General Hospital,1st edition,Little Brown and Company,Boston,pp 389-410,1978.
4. Mushin W,William Cs, Automatic Ventilation of the Lung,3rd edit,Blackwell Scientific Publication,Oxford,London,Edinburg,Melbourne,pp 17-22,1978.
5. Quimby W,Charles,Anesthesiology A Manual of Concept and Management 2nd edit, Appleton Century Crafts, Newyork,pp 286-297,1979.
6. Raharjo Eddy, Anestesi untuk pembedahan darurat,makalah pada Kursus Penyegar Anestesi ke 2 di Surabaya,1983.
7. Snow CJ,Manual of Anesthesia,1st edit,Little Brown and Company Boston, Igaku Show Limited,Tokyo, pp 312-315,325-330,1977.
8.Tschirren B, Anesthetics Complication,1st edit,Hunj
TINGGALKAN KOMENTAR
ANATOMI PERNAFASAN
Juli 4, 2012, 5:48 am
Filed under: * Anestesi Lanjutan, Pernafasan
Pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi sistem respirasi merupakan salah satu modal dasar bagi ahli anestesi oleh karena hampir semua obat-obat anestesi yang diberikan diberikan
sangat mempengaruhi fungsi respirasi dan pemberiannya sebagian besar secara inhalasi.
Oleh karena obat-obatan anestesi dapat mendepresi pusat-pusat vital dalam otak sedangkan pengetahuan dibidang ini hanya dimiliki para dokter maka yang dibenarkan melakukan
tindakan anestesi hanya dokter.
Dengan bekal pengetahuan anatomi sistem respirasi diharapkan dapat dengan mudah mengenal kelainan sistem respirasi, prosedur tehnik anestesi serta penanggulan komplikasi yang
terjadi. Ahli anestesi bertanggung jawab atas cukup tidaknya oksigenasi dan ventilasi baik sebelum, selama dan sesudah anestesi.
ANATOMI SISTEM RESPIRASI
Terbagi dua bagian besar :
1. Tractus respiratorius bagian atas :
a. Hidung (nasal)
b. Pharyng
c. Laryng
2.Tractus respiratorius bagian bawah :
d. Trachea
e. Bronchus
f. Bronchiolus
terminalis
respiratori
g. Alveolar
ducts
sacs
h. Alveoli
Mulai dari hidung sampai bronchioles terminalis disebut conducting airway karena tidak terlibat langsung proses pertukaran gas tetapi fungsinya sangat penting adalah pemanasan,
humidifikasi (pelembaban), dan filtrasi (penyaringan) udara inspirasi sehingga begitu udara mencapai alveoli sudah siap pada suhu tubuh dan saturasi penuh. Setiap cell epitel kolumnar
mempunyai kira-kira 20 ciliari yang bergetar 10 15x/detik, yang mendorong dengan kuat dan cepat lapisan superficial mucus ke arah pharyng yang mengikat partikel-partikel asing seperti
debu, serbuk maupun bakteri.
Selama proses anestesi proses ini ditekan sehingga kecepatan aliran mukus trachea yang normalnya 20 mm per menit turun jadi 7 mm per menit, disamping itu juga viscositas sekret
menyebabkan pembentukan crustae yang dapat mengobstruksi airway(jalan nafas).
Dengan pemakaian pipa tracheal fungsi cilia/mukus akan hilang yang menyebabkan tracheobronchi hiperemia.
Jarak antara lobang hidung(nares externus) kepintu masuk laryng :
Umur cm
neonatus 9,5 10
6 bulan 11
1 tahun 11,5
4 tahun 13 14
8 tahun 15
12tahun 16
dewasa 17 18
Hal ini penting sejauh mana pipa nasotracheal masuk terutama dalam blind intubasi, sedangkan diameter pipa sebagai pedoman besarnya kelingking pasien.
Perubahan anatomi dalam hidung akan menimbulkan obstruksi airway sebaiknya dilakukan pemeriksaan rongga hidung sebelum anestesi dimulai agar terjamin patency airway demi
keamanan dan kelancaran anestesi.
Posisi kepala dalam keadaan defleksi maksimal untuk menjamin kebebasan jalan nafas dimana basis lidah tak lagi menutupi pintu masuk laryng seperti pada posisi flexi.
Pharyng merupakan pipa yang berhubungan ke laryng dan oesophagus, kemungkinan terjadinya aspirasi sebab akibat regurgitasi dan muntah selama anestesi bisa saja terjadi.
Untuk itu pasien haruslah dipersiapkan dengan lambung kosong sebelum dilakukan induksi anestesi pada pasien yang menjalani operasi elektif atau ditunggu sampai 6 jam sejak makan
minum terakhir,bagi pasien darurat dan kalau operasi benar emergensi pasien diberi antacid menetralkan asam lambung peroral, pemasangan pipa gaster dan intubasi trachea. Dan harus
diingat pasien yang sress akan memperlambat pengosongan lambung sehingga patokan puasa 6 jam tak menjamin aman dari aspirasi untuk itu persiapan pencegahan selalu siaga.
Adalah lebih aman rasanya bila setiap pasien operasi emergensi lakukan intubasi.
Dan setelah anestesi selesai buat posisi kepala miring, lebih rendah dan pasang pipa gudel sesuai umur untuk mencegah lidah pasien jatuh kebelakang kalau pasien belum sadar dan
terbaik extubasi sadar penuh. Namun pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi posisi demikian kontra indikasi. Resiko extubasi pasien setengah sadar bisa terjadi spasmo laryng dan
pipa trachea digigit pasien. Tetapi bisa dikurangi dengan extubasi waktu inspirasi. Seorang anestesi yang berpengalaman tahu berapa lama lagi operasi selesai dan kapan anestesi
dihentikan sehingga begitu operasi selesai pasien segera sadar.
LARYNG :
Terletak antara pharyng dan trachea memanjang dari pangkal lidah sampai trachea.
Lokasinya berhadapan dengan vertebra cervicalis 3, 4, 5 & 6 lebih tinggi pada wanita dewasa dan anak-anak.
Terbuka kebagian bawah pharyng udara dapat keluar masuk melalui jalan nafas lewat hidung dan pharyng juga rongga mulut kalau mulut terbuka. Panjang rata-rata pada pria 44 cm dan
wanita 36 cm.
Diameter : antro posterior transversal
Pria 36 mm 43 mm
Wanita 26 mm 41 mm
Tersusun dari tulang rawan (thyroid, cricoid, arytenoid, corniculate(Santorini), cuneiform(Wrisberg) & epiglottis.
Pintu atas laryng (apertura laryngeal superior) lebih lebar didepan dari belakang dan miring kebawah belakang dibatasi oleh sebelah depan : epiglottis lateral ; ery epiglottis fold.
belakang : arytenoid
Vocal cord (pita suara) terbentang dari cartilago thyroid sebelah depan dan cartilago arytenoid sebelah belakang, celah antara vocal cord disebut rima glottis merupakan bagian tersempit
dari laryng dengan diameter 2,5 cm dan pada wanita lebih pendek.
Pada anak-anak letak bagian tersempit ini tepat dibawah lipatan pada cricoid ring.Vocalcord bergerak merubah bentuk dan lebarnya glottis, ini tergantung dari pada situasi
dan kondisi apakah bersuara, bernafas dan tonus otot yang mengontrolnya. Bila terjadi spasmo, glottis akan menutup.
Dengan pelemas otot (muscle relaxant) vocal cord akan paralyse (lumpuh) dan posisinya antara abduksi dan adduksi disebut posisi Cadaveric, hal seperti ini terlihat pada saat efek muscle
relaxant mencapai maksimal. Ini penting untuk mempermudah prosedur intubasi atau bronchoscopy.
Vocal cord yang berwarna putih sebagai pedoman membedakan glottis dan oesophagusa.
Terutama waktu intubasi agar tak salah masuk ke oesophagus.
Dengan laryngoscope dapat dilihat dengan jelas dan dipermudah dengan posisi Sniffing dari kepala dimana occiput sedikit ditinggikan dengan penyokong rata ( 5-10 ) cm dan kepala di
extensikan pada persendian atlanto occipital diharapkan pintu masuk laryng dan hypopharyng tak terlipat dan membuat sumbu dari cavum oris dan pharyng serta trachea dalam satu garis
lurus sedangkan normal membentuk sudut.
Pada waktu inspirasi vocal cord saling menjauh (abduksi) sehingga rima glottis lebih lebar sehingga intubasi atau extubasi dilakukan saat inspirasi untuk mengurangi trauma.
Sedangkan waktu expirasi bersentuhan.
Diantara pangkal lidah dan epiglottis didapati valleculae dimana waktu melakukan intubasi nasotracheal secara blind, sering ujung pipa tachea tersangkut disitu. Waktu intubasi pastikan
dilihat lewat vocalcord bukan dengan menekan dada dan merasakan udara keluar lewat pipa karena misintubasi sering terjadi (malroute).
Pada sisi kiri kanan laryng didapati lekukan disebut fossa firiformis dibawah mukosanya didapati anyaman nervus laryngeal internus yang menginervasi mukosa laryngeal sampai setinggi
vocalcord ini bisa diblock bila larutan analgesik lokal di infilter didaerah ini.
Sewaktu pengikatan pembuluh darah thyroid superior waktu thyreodectomy sering nervus laryngeal externus yang mensupply cricothyroid muscle mengalami injury menyebabkan suara
serak post operatif yang temporer.
Bila nervus laryngeal recurrent yang terluka apalagi bilateral akan terjadi kesulitan bernafas dan bicara dengan obstruksi seperti valve dan terdengar stridor inspiratoir ini dapat dimengerti
karena semua otot-otot laryng kecuali cricothyroid muscle disupply oleh nervus laryngeal recurrent dimana otot-otot yang membuka menutup glottis serta mengontrol inlet laryng mengalami
inaktivasi.
Bila dilihat dengan laryngoscope posisi vocalcord saat begini dalam posisi adduksi (merapat) dimana yang berfungsi hanya arytenoid muscle yang menegangkan vocalcord sehingga
kesulitan bernafas.Tetapi kalau nervus laryngeal recurrent dan laryngeal superior paralyse
maka semua otot-otot laryng termasuk crycothyroid muscle mengalami inaktivasi sehingga posisi vocalcord antara abduksi dan adeduksi yang disebut posisi Cadaver.
Nervus laryngeal sinistra melingkari arcus aorta sering tertekan bila ada aneurysma aorta, sedangkan nervus laryngeal dextra melingkari arteri subclavia dextra. Nervus laryngeal mungkin
rusak akibat adanya penebalan pleura, tumor mediastinal, perluasan tumor-tumor daerah leher dan dada, luka dan operasi daerah leher, pembesaran atrium sinistra, dalam keadaan toksis
seperti influenza, diptheria dan keracunan Pb ini semua menyebabkan perubahan-perubahan pada laryng.
Epiglottis sebelah atas diinervasi oleh nervus glosso pharyngeus sedang sebelah bawah oleh nervus vagus cabangnya yaitu nervus laryngeal internus, oleh sebab itu stimulasi pada
permukaan superior epiglottis tidak akan menimbulkan laryngospasmo.
Dalam keadaan peradangan tertentu jaringan submukosa laryng sebelah atas mengalami infiltrasi cairan yang menimbulkan glottis odem sehingga menutupi rongga laryng sebelah atas
menimbulkan suffocasi (tercekik).
Perlekatan yang rapat membrana mukosa plica vocalis dapat mencegah odema yang meluas kelevel sebelah rima glottis. Posisi rima ghlottis bisa ditentukan dari permukaan dengan
menetukan satu titik pada garis tengah leher 8,5 cm dibawah insicura thyroid pada laki dan 6,5 cm pada wanita.
Otot-otot laryng
Inervasi
I. Intrinsix :
A.Sphincter of inlet
a. Oblique arytenoids nervus laryngeal recurrent
b. Ary epiglottis idem
c. Thyro epiglottis idem
B. Sphincter of vestibule
thyro arytenoids idem
C. Adjuster of laryng
cricothyroid nervus laryngeal externus.
D. Adjuster of rima glottis
a. Posterior crico arytenoids nervus laryngeal recurrent.
b. Lateral crico arytenoids idem
c. Transverse arytenoids idem
d. Vocal muscles idem
II. Extrinsix :
thyrohyoid, sternothyroid, inferior constrictor : idem
TRACHEA :
Struktur tubular yang berpangkal pada cartilago cricoid setinggi vertebra cervicalis VI memanjang lurus kebawah sedikit agak kekanan berakhir pada bifurcatio carina setinggi vertebra
thoracalis V, atau sesuai dengan sambungan antara corpus dan manubrium sterni (sudut dari Louis). Pada anak-anak carina setinggi cartilago costa III.
Panjangnya 10 cm dan diameter internal 1,5 2 cm, pada bayi diameternya kira-kira 3 mm kemudian bertambah sesuai pertambahan umur pertahun per mm. Lebih sempit diameter pada
wanita daripada pria. Dalam dindingnya tertanam cartilago berbentuk huruf C yang bersambung ke belakang dengan perantaraan serabut otot sebanyak 16-20 cartilago.
Penyempitan abnormal trachea sering pada sepertiga tengah menyebabkan kesulitan intubasi dengan tube yang adekuat, sedangkan pelebaran abnormal sering pada infeksi bronchitis
chronica. Tracheostomi sebaiknya dibawah cincin trachea pertama untuk menghindarkan stenosis, biasanya cincin 3 atau 4. Diameter trachea dapat berubah baik secara aktif oleh karena
kontraksi otot-otot polosnya maupun secara pasif karena kompressi dari luar.
Posisi ujung distal tracheal tube sebaiknya tak mencapai carina agar distribusi gas tak menuju kesatu paru saja.
Pasien-pasien yang dianestesi dengan spontan respirasi kadang-kadang kita jumpai gerakan-gerakan yang tajam dari laryng dan trachea selama inspirasi disebut tracheal tug. Ini mungkin
disebabkan antara lain :
a. Anestesi yang dalam (stadium 3, plane 3 atau 4 Guedel)
b. Depressi CNS (barbiturat, opiat).
c. Inkomplit decurarisasi
d. Collapse, shock & acidosis.
Dijelaskan oleh Compbell bahwa terjadinya ini oleh karena hilangnya tonus otot-otot stabilisator laryng dimana diaphragma menarik laryng dan trachea kebawah.
BRONCHUS :
Bifurcatio trachea pada carina tak simetris, bronchus kanan lebih lebar dan lebih mendekat ke garis tengah.
Bronchus kanan : Lebih pendek kira-kira 2.5 cm, diameternya lebih besar dari yang kiri, membentuk sudut 25 derajat dengan trachea, jadi lebih curam.
Memasuki paru kanan setinggi vertebra thoracalis V.
Pipa tracheal maupun corpus alineum lebih mudah memasuki bronchus kanan.
Bronchus kiri : Lebih panjang kira-kira 5 cm, diameternya lebih sempit dari yang kanan, membentuk sudut 45 derajat dengan trachea, tetapi anak dibawah 3 tahun sudut bronchus kanan
dan kiri sama besarnya.
Jika pipa tracheal masuk kedalaman selalu kekanan sehingga distribusi gas anestesi dan oksigen hanya keparu kanan dan paru kiri kempes berbahaya buat pasien, untuk itu setiap
melakukan intubasi pastikan kedudukan ujung distal pipa tracheal dengan auscultasi suara pernafasan simetris paru kanan & kiri.
Bronchioles :
Merupakan cabang bronchus karakteristiknya tak dijumpai certilago dan pita-pita muscular pada dindingnya, sehingga lebih gampang tertekan akan tetapi dapat dicegah karena lokasinya
tertanam dalam parenchyme paru dan sifat elastic recoil dari septa alveolar membuatnya tetap terbuka. Dengan demikian ukuran diameter yang sebesar 1 mm langsung berhubungan
dengan volume paru dan tak banyak dipengaruhi tekanan intrathorak seperti bronchus. Sampai level ini fungsi utamanya adalah penghantar udara (conducting airway) dan disupply oleh
cabang-cabanng sistemik vascular melalui circulasi bronchial sedangkan lewat level ini disupply oleh circulasi pulmonal.
Respiratory bronchioles :
Merupakan daerah transisi antara bronchioles dan ductus alveolaris, karakteristiknya mulai ada alveolar budding didindingnya. Sebelum level ini epitelnya berbentuk cuboid, tetapi pada
level ini berangsur-angsur jadi picak, dan akhirnya sama dengan epitel ductus alveolaris, pertukaran gas sudah dimulai di level ini.
Alveolar ducts dan alveolar sacs :
Tak ada perbedaan fungsionil antara keduanya, dibatasi oleh epitel alveolar. Sepanjang alveolar ducts didapati cincin terbuat dari septa alveolar. Septa ini berisi cell-cell otot polos dapat
berkontraksi menyebabkan menyempitnya lumen ductus. Satu-satunya perbedaan antara alveolar ducts dan sacs dimana alveolar sacs buntu. Separoh dari alveoli keluar dari ductus dan
separohnya dari alveolar sacs.
Alveoli :
Lebih besar pada paru bagian atas daripada bagian bawah karena pengaruh gravity, diameter rata-rata 0,2 mm.
Dinding alveolar diantara dua alveoli yang bersentuhan terdiri dari dua lapisan epitel alveolar masing-masing dengan basement membrane terpisah menutupi jaringan kapiler dimana kapiler
ini tertanam diantara serabut elastik, collagen, otot-otot polos dan nerves.
Dengan demikian satu molekul gas melewati dari sebelah dalam alveoli ke darah harus menyeberang menuruti lapisan-lapisan ini:
1. Lapisan tunggal epitel alveolar dengan basement membrane.
2. Ruangan yang berisi elastic/collagen tissue.
3. Basement membrane dan cell endotel dari kapiler.
Banyaknya elastic tissue pada alveoli membuat sifat elastic recoil dari paru yang berfungsi pada waktu expirasi. Serabut otot-otot polos yang mengelilingi airway hanya sampai respiratory
bronchioles. Ini berperan seperti sphincter kalau berkontraksi menyebabkan gerakan peristaltik untuk mengeluarkan benda asing yang mengiritasi. Peristaltik ini ditekan oleh opiat.
Sedangkan ciliated epithelium yang membatasi hanya sampai terminal bronchioles.
Yang mempunyai gerakan seperti gelombang menyerupai cornfield in breeze (ladang
gandum di hembus angin). Kerjanya diluar kontrol syaraf pusat di depres oleh general anestesi.
Primary lobule / Functional unit :
Area paru yang disupply respiratory brochioles, tiap unit berdiameter 3,5 mm dan mengandung 2000 alveoli.
Setiap primary lobule terdiri dari :
a. Respiratory bronchioles
b. Alvolar ducts
c. Alveolar sacs
d. Pulmonary Alveoli
Paru-Paru (Lung) :
Terdiri dari paru kanan dan kiri.
Setiap paru terdiri dari : Bronchus dan cabang-cabangnya.
Arteri Pulmonalis
Vena Pulmonalis
Pembuluh-Pembuluh Bronchial
Lymph Glands.
Paru kanan terdiri dari :
3 lobus : a. lobus superior 3 segment
b. lobus media 2 segment
c. lobus inferior 5 segment
Paru kiri terdiri dari :
2 lobus : a. lobus superior -5 segment
b. lobus inferior 4 segment
Pleura
Masing-masing paru terbungkus dari hillus dalam kantong tertutup disebut pleura yang terdiri dari :
a.Pleura visceralis
b.Pleura pariethalis
Pada waktu istirahat sifat elastic recoil paru dan dinding thorak cenderung memisah-misahkan kedua pleura dan menghasilkan tekanan negatif dalam ruangan antara pleura dibawah satu
atsmosfer. Jadi tekanan negatif ini disebabkan elastic recoil paru dan resistensi yang diberikan dinding thorak terhadapnya dimana waktu expirasi tekanan negatif -(5-8)mmHg sedangkan
waktu inspirasi 10-15 mmHg.
Tekanan negatif ini juga mempertahankan bentuk dari diaphragma dan memudahkan masuknya darah kedalam vena-vena besar di thorak sehingga ketika tekanan negatif ini menjadi positif
seperti mengeluarkan nafas sambil menutup glottis ketika defekasi ,akan menghalangi masuknya darah kevena-vena besar dalam thorak, terjadi bendungan vena-vena diluar thorak
akibatnya venous return menurun.
Tekanan negatif ini bervariasi menurut daerah dalam pleura dan posisi individu. Pada waktu posisi duduk tekanan pleura dekat apex paru 8 cmH2O dan pada basis paru 2 cmH2O, ini
disebabkan lobuis superior paru lebih mengembang dari pada lobus inferior dimana ukuran alveolar lobus superior paru lebih besar dan kepadatannya agak berkurang. Dalam cavum pleura
ada cairan sedikit kira-kira 2 cc berguna sebagai pelumas dan juga sebagai bantalan terhadap tekanan spontan diantara dinding thorak dan paru.
Dengan adanya cairan tersebut gerakan naik turun diaphragma tak hanya mengembangkan bagian bawah paru saja tetapi juga seluruh paru. Jika thorak dibuka pada kedua sisi paru perlu
tekanan sebesar 7 mmHg melalui trachea mencegah collapsnya paru.
Pleura pariethalis kaya dengan lymhatics yang mengalirkan cairan pleura, protein dan partikel-partikel, dalam keadaan normal mungkin tak begitu berfungsi tetapi dalam mekanisme darurat
cukup berperan.
Otot-otot pernafasan :
Terdiri dari inspiratory muscle dan expiratory muscle.
A. Inspiratory muscle :
1. Principle muscle :
a. Musculus intercostalis externus.
b. Diaphragma
c. Musculus levator costarius.
2.Ascessory muscle :
a. Musculus scaleneus.
b. Musculus sternomastoideus
c. Musculus trapezeus
d. Musculus pectoaralis minor.
e. Otot-otot punggung.
B.Expiratory muscle :
Yang paling penting :
1. Abdominal Muscle :
a. Musculus obliqus externus
b. Musculus obliqus internus
c. Musculus transversus abdominus
d. Musculus rectus abdominus
2. Musculus Intercostalis Internus.
Kontraksi otot-otot pernafasan menyebabkan gerakan aktif dari iga sedangkan gerakan pasif oleh karena elastisitas paru dan dinding thorak sendiri. Otot-otot pernafasan inspirasi yang
ascessorius hanya ikut aktif bila ventilasi lebih besar dari 50 liter permenit. Yang paling penting dari inspiratory muscle adalah otot-otot diaphragma, dimana pada pernafasan tenang
mungkin hanya diaphragma saja yang aktif.
Diameter cross section thorak setinggi diaphragma lebih 250 cm3 yaitu setengah jumlah tidal volume. Jika semua otot-otot pernafasan lain mengalami paralise seperti kedalaman anestesi
maka diaphragma sendiri dapat mempertahankan pernafasan adekuat.
Diperkirakan setiap inspirasi gerakan diaphragma secara vertikal sejauh 10-12 cm, Diaphragma di inervasi nervus phrenicus dari cervicla IV.
Otot pernafasan expirasi hanya berfungsi selama pernafasan berat atau obstruksi jalan nafas.
Kontraksi otot-otot abdomen menaikkan tekanan intra abdominal mendorong diaphragma ke atas juga menekan pinggir bawah rusuk.
Ini juga aktif selama batuk, mengejan, muntah dan hiperventilasi. Otot-otot expirasi inaktif pada permulaan anestesi tak masalah bagi orang sehat tapi akan menyulitkan pasien dengan
penyempitan jalan nafas.
Kesimpulan :
Telah dikemukakan secara sederhana anatomi tractus respiratorius serta organ-organ yang menunjang sekitarnya dimana perubahan disekitarnya haruslah diantisipasi dapat
merubah anatomi dari tractus respiratorius maupun fungsinya. Dan sebaiknya dievaluasi pre operatif
agar tak keliru apakah akibat tindakan pembedahan atau trauma anestesi atau mencegah penyulit perioperatif.
Dikemukakan pula alasan penempatan pipa trachea, ukuran yang ideal, lokasi tracheostomi,
serta posisi penderita tidak sadar, muntah dan lain-lain.
Referensi :
1. Atkinson, Rushman and Lee: Synopsis of Anesthesia, 8th edit, The English Book Society John Wright & Sons,Bristol.1972 pp 54-9.
2. Brown All, Introduction to Respiratory Physiology, 2nd edit, Little Brown and Company,Boston, 1974, pp 5-16.
3. Cunningham, Text Book of Anatomy 9th edit, Oxford Medical Publication, London, NewYork,Toronto, pp 690-704.
4. Goudsouzien, G.N. Karamanian A, Physiollogy for the Anesthesiologist, Appleton Century Crofts, Newyork, 1977, pp.121-5.
5. Snow C. John : Manual of Anesthesia, Asian edition, Little Brawn and Company, Boston,Igaku Shoin Ltd Tokyo, 1977, pp.312-13.