Professional Documents
Culture Documents
http://dinkes.bengkuluprov.go.id/ver1/index.php/116-faktor-dan-dampak-stunting-
pada-kehidupan-balita-balita-pendek
http://www.who.int/nutgrowthdb/about/introduction/en/index2.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Stunted_growth
Gizi kurang atau malnutrisi adalah kondisi kekurangan gizi akibat jumlah
kandungan mikronutrien dan makronutrien tidak memadai. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh malabsorbsi (missal fibrosis kistik) yaitu ketidak mampuan mengonsumsi nutrient.
Malnutrisi dapat menyebabkan penyakit seperti skorbut (malnutrisi akibat kekurangan
asupan vitamin C dalam diet) atau obesitas (malnutrisi akibat asupan energy yang
berlebihan).
Anak pendek mempengaruhi jauh lebih banyak anak miskin. Proporsi anak
pendek dalam
kuintil penduduk termiskin hampir dua kali lipat proporsi anak dalam kuintil kekayaan
tertinggi. Daerah perdesaan memiliki proporsi yang lebih besar untuk anak pendek (40
persen) dibandingkan dengan daerah perkotaan (33 persen). Prevalensi anak pendek
yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan
adalah 1,7 kali lebih tinggi daripada prevalensi di antara anak-anak yang tinggal di rumah
berpendidikan tinggi.
Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH menyatakan bahwa ada tiga masalah
gizi yang sudah dapat dikendalikan, yaitu Kekurangan Vitamin A pada anak Balita,
Gangguan Akibat Kurang Iodium dan Anemia Gizi. Menkes menjelaskan bahwa masalah
gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun
2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan
besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi
17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi
gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai.
A. PENGERTIAN STUNTING
Menurut data yang dilansir WHO, 178 juta anak di bawah lima tahun
mengalami stunted. Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek
hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang
menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan
berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan
dengan anak anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang
kurang menurut umur (<-2SD), ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang
mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai
usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan
dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada
anak.
Menurut UNICEF, penyebab utama gizi buruk dan stunting adalah kemiskinan.
Bangsa kita agak kesulitan mengatasi masalah ini karena kemiskinan belum bisa diatasi
dengan sempurna," kata guru besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian
Bogor (IPB), Prof Dr Ir Ali Khomsan MS, usai gebyar posyandu tumbuh aktif tanggap
(TAT) di Gedung Basket, Gelora Bung Karno, Jl Asia Afrika, Senayan, Jakarta, dan ditulis
pada Minggu.
Dipaparkan Prof Ali satu dari 3 balita memiliki ukuran badan yang lebih pendek
dari standar tinggi badan yang diharapkan. Indonesia berada di peringkat ke-lima negara
dengan jumlah anak stunting terbanyak, sekitar 7,8 juta anak. Umumnya anak yang
stunting karena gizi buruk kemampuan membaca dan belajarnya menurun.
Anak stunting juga dikaitkan dengan budaya dan pengetahuan masyarakat akan gizi.
Namun kedua faktor ini masih belum menjadi faktor penyebab utama kemiskinan.
Pemenuhan gizi yang kurang pada masyarakat dengan kemiskinan merupakan salah
satu biang kerok munculnya anak stunting. Karena pola makan sering kali seiring dengan
kondisi kesejahteraan. Konsumsi ikan laut masyarakat masih rendah, padahal protein
dan omega yang dikandung sangat bermanfaat bagi anak. Sangat ironis memang, karena
Indonesia merupakan negara bahari.
1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada
anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental
sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak-
anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama
masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan
status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunted pada usia lima
tahun cenderung menetapsepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini
berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang
stunted dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga
meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya
pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan
berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.
F. PENCEGAHAN
Stunting atau tubuh pendek dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain:
- Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawasan berat badan secara
teratur dan terus menerus
- Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI sepanjang
ibu masih mampu menghasilkan ASI, terutama pada usia dibawah empat bulan
- Meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya
mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja dengan
diimbangi dengan penggunaan uang yang terarah dan efisien. Cara lain yang dapat
ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan keterampilan dan kewirausahaan
- Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi (KIE) kepada masyarakaat,
terutama para ibu mengenai pentingnya konsumsi zat besi yang diatur sesuai
kebutuhan. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan posyandu.
G. PENANGGULANGAN
Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai sejak janin
dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut dengan periode emas
(seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu perbaikan gizi diprioritaskan pada usia
seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada
kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya.
Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan
masalah kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua hal
yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah ketersediaan
makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi dan pelayanan
kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu
kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan sumberdaya, lingkungan,
teknologi, serta kependudukan.
Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama
kehidupan, meliputi :
1. Pada ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi
stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil
dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka
perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.
Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama
kehamilan.
Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif)
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian
ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih.
Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar lengkap.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah
tangga.
DAFTAR PUSTAKA
http://gizi.depkes.go.id/1000-hari-mengubah-hidup-mengubah-masa-depan
http://health.detik.com/read/2013/03/17/115246/2196066/1301/kemiskinan-faktor-
utama-penyebab-anak-kuntet
http://www.indonesian-publichealth.com/2013/01/dampak-dan-penyebab-
stunted.html
http://www.unicef.org/indonesia/id/A6_-_B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf
Pengertian stunting
Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara
jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi
biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan
kesehatan (Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan
sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan
untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat (Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan gizi.
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga
melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary &
Solomons, 2009). Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai
potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (Fitri, 2012).
Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk
menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal
kehidupan, yang terkait dengan proses stunting, menyebabkan kerusakan permanen.
Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat
diukur dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak
kurang dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam
dua tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang
akhirnya tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan
perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan
dalam stunting. Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual
ditekankan pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan
lingkungan.
Kegagalan pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan menyebabkan tinggi badan
pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan (catch-up growth) di
masa anak-anak.
http://wwwrorowashilatur.blogspot.co.id/2015/05/pengertian-stunting.html
Makalah Masalah Gizi penyebab Stunting (Pendek)
Reply
Tugas Kuliah
4:30:00 PM
A+ A-
Print Email
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek
(stunting). Pada tahun 2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara
tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah
turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs
sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun
2015 diperkirakan dapat dicapai.
1. Defenisi Stunting
2. Penyebab stunting
3. Faktor yang mempengaruhi trjadinya stunting
4. Penilaian stunting secara antopometri
5. Dampak stuntig
6. Cara mencegah stunting
7. Zat gizi mikro yang berperan untuk menghindari stunting (pendek)
8. Pemfokusan tenaga kesehatan
9. Usaha pemerintah dalam masalah stunting
BAB II
PEMBAHASAN
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin
mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir
dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja
seperti yang telah dijelaskan diatas, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana
faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnnya. Terdapat tiga
faktor utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut :
1. Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam
makanan yaitu karbohidrat, protein,lemak, mineral, vitamin, dan air).
2. Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR),
3. Riwayat penyakit.
1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang
parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan
fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan
stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah
dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan
datang.
2. Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor
dasar yang menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan intelektual. Penyebab dari stunted adalah bayi berat lahir rendah,
ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang,
dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak
dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan
rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga
banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunted pada usia
lima tahun cenderung menetapsepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak
usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita
dewasa yang stunted dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan
produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung
menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat
melahirkan.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam
kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu
hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi,
mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya.
Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan
(eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI)
yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup
gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau
dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin
dan benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang
sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan,
sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting.
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam
mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga
apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami
KurangEnergiKronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada
ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah,
minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu
tidak mengalami sakit.
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan
anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar lengkap.
Jumlah makanan untuk ibu yang sedang menyusui lebih besar dibanding dengan
ibu hamil, akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan
mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi tinggi, seperti diisarankan
untuk minum susu sapi, yang bermanfaat untuk mencegah kerusakan gigi serta
tulang. Susu untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan flour dalam ASI. Jika
kekurangan unsur ini maka terjadi pembongkaran dari jaringan (deposit) dalam
tubuh tadi, akibatnya ibu akan mengalami kerusakan gigi. Kadar air dalam ASI
sekitr 88 gr %. Maka ibu yang sedang menyusui dianjurkan untuk minum
sebanyak 22,5 liter (8-10 gelas) air sehari, di samping bisa juga ditambah
dengan minum air buah.
Pada usia 0 6 bulan sebaiknya bayi cukup diberi Air Susu Ibu (ASI). ASI adalah
makanan terbaik bagi bayi mulai dari lahir sampai kurang lebih umur 6 bulan.
Menyusui sebaiknya dilakukan sesegara mungkin setelah melahirkan. Pada usia
ini sebaiknya bayi disusui selama minimal 20 menit pada masing-masing
payudara hingga payudara benar-benar kosong. Apabila hal ini dilakukan tanpa
membatasi waktu dan frekuensi menyusui,maka payudara akan memproduksi
ASI sebanyak 800 ml bahkan hingga 1,5 2 liter perhari.
a. Kalsium
Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang serta gigi, pembekuan darah dan
kontraksi otot. Bahan makanan sumber kalsium antara lain : ikan teri kering,
belut, susu, keju, kacang-kacangan.
b. Yodium
Yodium sangat berguna bagi hormon tiroid dimana hormon tiroid mengatur
metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Yodium juga penting
untuk mencegah gondok dan kekerdilan. Bahan makanan sumber yodium : ikan
laut, udang, dan kerang.
c. Zink
Zink berfungsi dalam metabolisme tulang, penyembuhan luka, fungsi kekebalan
dan pengembangan fungsi reproduksi laki-laki. Bahan makanan sumber zink :
hati, kerang, telur dan kacang-kacangan.
d. Zat Besi
Zat besi berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh, pertumbuhan otak, dan
metabolisme energi. Sumber zat besi antara lain: hati, telur, ikan, kacang-
kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan.
e. Asam Folat
Asam folat terutama berfungsi pada periode pembelahan dan pertumbuhan sel,
memproduksi sel darah merah dan mencegah anemia. Sumber asam folat antara
lain : bayam, lobak, kacang-kacangan, serealia dan sayur-sayuran.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin
mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir
dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan.Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunted antara lain
kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek
pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam
kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu
hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi,
mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya.
Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan
(eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI)
yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup
gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan Tahunan Indonesia. 2013. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar
2013.
http://www.stbm-indonesia.org/dkconten.php?id=5433
http://kualitasnews.com/stunting-dan-dampak-kehidupannya-kedepan/
http://catatanseorangahligizi.wordpress.com/2012/01/06/stunting/
Faktor Langsung
a. Asupan Makan
Asupan zat-zat gizi yang lengkap masih terus dibutuhkan anak selama proses
tumbuh kembang masih berlanjut karena proses tumbuh kembang ini dipengaruhi
oleh makanan yang diberikan pada anak. Makanan yang diberikan harus tepat
baik jenis dan jumlahnya hingga kandungan gizinya. Zat gizi yang dibutuhkan
anak ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan.
Tubuh anak tetap membutuhkan semua zat gizi utama yaitu karbohidrat, lemak,
protein, serat, vitamin dan mineral (Marimbi, 2010).
Menurut Marimbi (2010) antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus
ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Penilaian status gizi
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi dapat dilakukan
melalui survey konsumsi makanan (Depkes Malang, 2008). Menurut Supariasa et
al. (2012) ada beberapa metode pengukuran konsumsi makanan. Untuk
menentukan jumlah konsumsi rata-rata dari sekelompok responden maka dapat
menggunakan metode recall 2x24 jam atau penimbangan selama satu hari sudah
cukup. Sedangkan untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari
sekelompok masyarakat, maka dapat menggunakan metode frekuensi makanan.
Berikut ini langkah-langkah penggunaan metode recall 2x24 jam dan frekuensi
makanan :
1) Metode Food Recall 2x24 jam
Langkah pelaksanaan recall 2x24 jam, sebagai berikut :
a) Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan
dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT)
selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Selain dari makann utama, makanan kecil
atau jajan juga dicatat, termasuk makanan yang dimakan diluar rumah.
b) Pewawancara melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram).
Dalam menaksir/ memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara
menggunakan berbgai alat bantu seperti ukuran rumah tangga (piring, gelas,
sendok, dan lain-lain) atau model dari makanan (food model). Makanan yang
dikonsumsi dapat dihitung dengan alat bantu ini atau dengan menimbang
langsung contoh makanan yang dikonsumsi.
c) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
d) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKGA) atau
Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia
2) Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)
Langkah pelaksanaan Frekuensi Makanan (Food Frequency), sebagai berikut
:
a) Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada
kuesioner mengenai frekuensi penggunaanya dan ukuran porsinya
b) Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan
terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama
periode tertentu.
Untuk menilai tingkat konsumsi makanan (energi dan zat gizi), diperlukan
standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance (RDA)
untuk populasi yang diteliti. Menurut Permenkes (2013) angka kecukupan gizi
yang dianjurkan berdasarkan AKG (2012) sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kebutuhan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari
Lemak (g) Karboh Sera
Kelompok BB* TB* Energi Protein Air
idrat t
umur (Kg) (cm) (Kkal) (g) Total n-6 n-3 (mL)
(g) (g)
0-6 bulan 6 61 550 12 34 4,4 0,5 58 0 -
7-11 bulan 9 71 725 18 36 4,4 0,5 82 10 800
1-3 tahun 13 91 1125 26 44 7,0 0,7 155 16 1200
4-6 tahun 19 112 1600 35 62 10,0 0,9 220 22 1500
7-9 tahun 27 130 1850 49 72 10,0 0,9 254 26 1900
Sumber : Permenkes RI (2013)
Tabel 2.3 Kebutuhan Mineral Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata
perhari
Kelompok Umur
Mineral
0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun
Kalsium (mg) 200 250 650 1000 1000
Fosfor (mg) 100 250 500 500 500
Magnesium (mg) 30 55 60 95 120
Natrium (mg) 120 200 1000 1200 1200
Kalium (mg) 500 700 3000 3800 4500
Mangan (mg) - 0,6 1,2 1,5 1,7
Tembaga (mg) 200 220 340 440 570
Kromium (mcg) - 6 11 15 20
Besi (mg) - 7 8 9 10
Iodium (mg) 90 120 120 120 120
Seng (mg) - 3 4 5 11
Selenium (mcg) 5 10 17 20 20
Fluor (mcg) - 0,4 0,5 0,9 1,2
Sumber : Permenkes RI (2013)
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas Depkes RI (1990),
klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi makro dibagi menjadi empat dengan cut point
masing-masing sebagai berikut (Supariasa et al., 2012) :
- Lebih : 120% AKG
- Baik : 100-119% AKG
- Sedang : 80-99% AKG
- Kurang : 70-79% AKG
- Defisit : < 70% AKG
Sedangkan untuk klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi mikro dibagi menjadi
dua dengan cut point sebagai berikut (Gibson, 2005):
- Kurang : < 77% AKG
- Cukup : 77% AKG
Terdapat beberapa zat gizi baik zat gizi makro dan mikro yang berhubungan
dengan pertumbuhan pada balita, yaitu:
1) Zat Gizi Makro (Energi dan Protein)
Masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan tulang,
gigi, otot, dan darah, maka pada masa ini memerlukan zat gizi lebih dibandingkan
orang dewasa. Energi yang dibutuhkan oleh anak-anak dipengaruhi oleh basal
metabolisme, laju pertumbuhan, dan energi yang dikeluarkan untuk melakukan
aktifitas (Mahan et al., 2012). Selain itu, menurut Almatsier (2009) pertumbuhan
tinggi badan bisa terhambat bila seorang anak mengalami defisiensi protein
(meskipun konsumsi energinya cukup). Jika tubuh kekurangan khususnya
karbohidrat dan lemak maka cadangan protein akan dirombak untuk menutupi
kekurangan tersebut dan digunakan sebagi sumber energi. Pada anak yang
megalami kurang energi protein akan terhambat pertumbuhannya, rentan terhadap
penyakit terutama infeksi dan mengakibatkan rendahnya prestasi belajar anak.
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan
2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein
anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan
tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai
rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada
standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asupan energi dan protein
berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan Fitri (2012)
berdasarkan data RISKESDAS 2010 di Sumatera menyebutkan bahwa asupan zat
gizi berupa energi dan protein menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap
kejadian stunting. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Oktarina
(2012) bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan kejadian
stunting pada balita, namun tidak ditemukan hubungan antara tingkat konsumsi
protein dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan Anisa (2012) dalam
penelitiannya ditunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan
protein dengan kejadian stunting.
2) Zat Gizi Mikro (Kalsium, Besi, dan Zink)
Kalsium merupakan salah satu makro elemen, yaitu mineral yang dibutuhkan
oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Sumber utama kalsium dalam
makanan terdapat pada susu dan hasil olahnya, seperti keju atau yogurt. Sumber
kalsium selain susu juga penting untuk memenuhi kebutuhan kalsium, baik yang
berasal dari hewani atau nabati. Sumber kalsium yang berasal dari hewani, seperti
sarden, ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan
sumber kalsium yang baik. Sumber kalsium yang berasal dari nabati, seperti
serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe, dan
sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan
ini mengandung banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat,
fitat, dan oksalat (Almatsier, 2009).
Tabel 2.4 Nilai Kalsium dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan Mg Bahan Makanan mg
Ikan tawar 346 Kacang panjang 60
Kelor 255 Wortel 45
Tahu 223 Jeruk 33
Kacang hijau 223 Ubi jalar 30
Sawi 220 Bayam 27
Telur bebek 150 Pepaya 23
Telur ayam 147 Mangga 20
Susu 143 Daging ayam 13
Udang 136 Roti 10
Tempe 129 Pisang 9
Ikan laut 92 Semangka 7
Singkong 77 Jagung 6
Kentang 63 Apel 6
Biscuit 62 Daging sapi 3
Tabel 2.5 Nilai Zat Besi dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan Mg Bahan Makanan mg
Udang 8 Daging ayam 1,5
Kacang hijau 7,5 Roti 1,5
Telur ayam 7,2 Jagung 1,1
Telur bebek 7 Singkong 1,1
Kelor 6 Mangga 1
Tempe 4 Wortel 1
Bayam 3,5 Ikan tawar 0,9
Tahu 3,4 Pisang 0,9
Sawi 2,9 Kentang 0,7
Daging sapi 2,8 Kacang panjang 0,6
Biskuit 2,7 Jeruk 0,4
Ikan laut 1,7 Ubi jalar 0,4
Papaya 1,7 Apel 0,3
Susu 1,7 Semangka 0,2
b. Penyakit Infeksi
Konsumsi diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang normal,
karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat
mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan
defisit pertumbuhan pada anak (Anisa, 2012). Menurut Suiraoka et al. (2011)
hubungan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan
timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi
dan keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah seseorang terkena penyakit
infeksi yang akibatnya dapat menurunkan nafsu makan, adanya gangguan
penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh
adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi.
Anak dengan penyakit infeksi dapat mengganggu proses pertumbuhannya.
Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan KEP adalah diare dan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Suryono et al., 2004). Menurut
Supariasa et al. (2012) ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri,
virus, dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang
sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi akan
mempengaruhi zat gizi dan mempercepat malnutrisi.
Berdasarkan penelitian Masithah et al. (2005) status kesehatan berupa
penyakit infeksi memiliki hubungan positif terhadap indeks status gizi TB/U.
Menurut Astari et al. (2005) penyakit infeksi seperti diare dan ISPA yang
disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk, berhubungan dengan
kejadian stunting pada bayi usia 6 12 bulan. Tando (2012) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa status kesehatan berupa frekuensi dan durasi sakit pada balita
memberikan resiko kemungkinan terjadinya stunting pada anak SD di Kecamatan
Malayan Kota Manado.
c. Berat Lahir
Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal,
dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan pengembangan
jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO
yaitu berat lahir kurang dari 2500 gr. Anak yang BBLR kedepannya akan
memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang
lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang stunted
sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti
dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan menjadi
perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan membentuk siklus sama seperti
sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
Fitri (2012) menyebutkan bahwa berat lahir secara bermakna berhubungan
dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Oktarina (2012) yang
menyebutkan bahwa berat lahir merupakan faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian stunting.
Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan
terjadinya stunting atau underweight pada umumnya terjadi dalam periode yang
singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun), namun mempunyai
konsekuensi yang serius kemudian hari. Seorang anak laki-laki yang kelak akan
menjadi dewasa stunted dapat mengakibatkan produksi kerja yang kurang hingga
berdampak terhadap status ekonomi. Sedangkan seorang anak perempuan yang
mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa stunted,
apabila kelak hamil akan lahir seorang bayi dengan berat lahir rendah
(Kusharisupeni, 2002).
d. Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses
pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi,
dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan
intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap
rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Soetjiningsih,
1995). Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi
(seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang
membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen
tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat
kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi
badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko yang lain (Amigo
et al., 1997 dalam Nashikah, 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan tinggi badan orang
tua dengan kejadian stunting. Nashikah (2012) dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting. Hasil ini sejalan dengan penelitian Aditianti (2010)
yang menyebutkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu merupakan faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap kejadian stunting.
c. Pekerjaan Ibu
Menurut Zakiah (1998) dalam Aditianti (2010) status pekerjaan orang tua
mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu,
dapat menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk anak lebih sedikit
dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian Diana (2006)
mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan
dengan pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak
tidak terawatt, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau
anggota keluarga yang lain. Selain itu, ibu yang bekerja diluar rumah cenderung
memiliki waktu yang lebih terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga
dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan
berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan
terganggu.
g. Umur
Laju pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan adalah lebih cepat
dibandingkan pada usia lainnya. Jika dilihat dari umur balita, ternyata kejadian
stunting banyak terdapat pada usia 12 hingga 59 bulan (Fitri, 2012). Menurut
Pudjiadi (2005) bertambahnya panjang badan lebih cepat pada tahun pertama
dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Dilahirkan dengan panjang badan
50 cm, pada umur 50 cm, pada umur 1 tahun naik menjadi 75 cm (kenaikan 25
cm), pada umur 2 tahun 87 cm (bertambah 12 cm dalam tahun kedua) pada umur
3 tahun 92 cm (naik hanya 7 cm).
h. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi
seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan
wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa
dilakukan oleh wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas
membutuhkan lebih banyak daripada pria (Fitri, 2012). Dalam penelitian Aditianti
(2010) menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin anak dengan status
gizi. anak laki-laki lebih banyak mengalami stunting dibandingkan dengan anak
perempuan.
i. Sanitasi lingkungan
Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia adalah air
bersih dan sanitasi yang baik. Menurut WHO, dampak kesehatan dari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya terlihat
pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus berisiko
terhadap penyakit bersumber air, seperti diare. Penyakit diare yang dialami pada
awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap
tinggi badan menurut umur (Aditianti, 2010).
j. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga
terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti
imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,
penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti
posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air
bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak
mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala
masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang
tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak (Aditianti, 2010).
Kejadian penyakit infeksi (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh
terhadap status gizi. upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan statis
gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses pelayanan
kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu
(Hidayat et al., 2009).
k. Status Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal atau
dapat melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya dalam
bentuk vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan
yang digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi
vaksin atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah
dilemahkan atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian
sistem kekebalan tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan
dan melawan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika
menyerang tubuh kita di kemudian hari (Immunizations, 2010).
Menurut Marimbi (2010) jenis imunisasi yang wajib diberikan pada balita
di bawah 12 bulan adalah BCG, hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Penelitian
Taguri et al. (2007) menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap
memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada anak usia < 5
tahun.
Sumber :
ACC/SCN & International Food Policy Research Institute (IFRI). 2000. 4th Report on The
World Nutrition Situation, Nutrition Throughout The Life Cycle.
Adeladza, T.A. 2009. The Influence of Socio-Economic and Nutritional Characteristics
on Child Growth in Kwale District of Kenya. African Journal of Agriculture and
Development. Vol. 9 (7).
Aditianti. 2010. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Indonesia.
Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Adriani, M dan Wiratmadi, B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Amigo, H., Buston, P., Radrigan, ME. 1997. Is there a relationship between parents short
height and their childrens? Social interclass epidemiologic study. Rev Med Child;
Aug; 125 (8).
Anindita, P. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Protein & Zink dengan Stunting (pendek) pada Balita Uisa 6-35 Bulan di
Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1
(2): 617-626.
Anisa, P. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita
Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012. Skripsi. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Anugraheni, H.S. 2012. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di
Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Artikel Penelitian. Semarang: Program Studi
Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Astari, L.D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C.M. 2005. Hubungan Karakteristik Keluarga,
Pola Pengasuhan dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan. Jurnal Media Gizi
& Keluarga, 29 (2) : 40-46.
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur dapat merefleksikan keadaan gizi
kurang dalam jangka waktu yang lama (Rosha et al., 2012). Berdasarkan
karakteristik tersebut, maka indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu
(Supariasa et al., 2012). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang
disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi
kronis berulang yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia
(TB/U) < -2 SD berdasarkan standar WHO (WHO, 2010). Retardasi pertumbuhan
atau stunting pada anak-anak di negara berkembang terjadi terutama sebagai
akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi yang mempengaruhi 30%
dari anak-anak usia di bawah lima tahun (UNSCN, 2004).
http://www.indonesian-publichealth.com/stunted-pada-balita/
1. Gizi Seimbang adalah susunan hidangan makanan sehari yang terdiri atas
berbagai ragam bahan makanan yang berkualitas dalam jumlah dan
proporsi yang sesuai dengan aktifitas fisik, umur, jenis kelamin dan
keadaan fisiologi tubuh sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi
seseorang, guna pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses
kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan secara optimal.
2. Keluarga Sadar Gizi yang selanjutnya disingkat KADARZI adalah suatu
keluarga yang mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi
setiap anggotanya.
3. Pelayanan Gizi adalah rangkaian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan gizi
perorangan dan masyarakat melalui upaya pencegahan, peningkatan,
penyembuhan, dan pemulihan yang dilakukan di masyarakat dan fasilitas
pelayanan kesehatan.
4. Angka Kecukupan Gizi adalah suatu nilai acuan kecukupan rata-rata zat
gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin,
ukuran tubuh, aktivitas fisik untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal.
5. Tenaga Gizi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan di bidang gizi
sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(1) Setiap orang harus mengonsumsi makanan sesuai dengan standar angka
kecukupan gizi.
(2) Menteri menetapkan standar angka kecukupan gizi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya setiap 4 (empat) tahun sekali.
(3) Standar angka kecukupan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
digunakan untuk:
a. acuan dalam menilai kecukupan gizi;
b. acuan dalam menyusun makanan sehari-hari;
c. acuan perhitungan dalam perencanaan penyediaan pangan tingkat regional
maupun nasional;
d. acuan pendidikan gizi; dan
e. acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi.
Pasal 9
(1) Setiap penyelenggara usaha jasa boga harus memberikan informasi tentang
komposisi makanan-minuman dan nilai gizinya.
(2) Penilaian terhadap informasi diatas dilaksanakan bersamaan dengan penilaian
untuk mendapatkan sertifikat higiene sanitasi.
Pasal 10
(1) Setiap penyelenggara usaha pangan industri rumah tangga harus memberikan
informasi tentang komposisi makanan-minuman dan nilai gizinya.
Tata laksana gizi kurang merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk
pemulihan status gizi dengan prioritas menurunkan angka kesakitan pada balita
gizi kurang. Tata laksana gizi kurang dilaksanakan oleh masyarakat dan fasilitas
pelayanan kesehatan.
Pasal 21
Tata laksana gizi lebih merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk
mencapai status gizi baik dan menurunkan risiko timbulnya penyakit gangguan
metabolik dan degenerative; Dilakukan melalui tindakan yang bersifat
pencegahan, peningkatan, penyembuhan dan pemulihan.
Pasal 27
Pemenuhan gizi dalam situasi darurat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi
terjadinya penurunan status gizi secara cepat dan tepat; Dilakukan terhadap
masyarakat akibat korban bencana, masyarakat di pengungsian, dan masyarakat di
penampungan. Upaya ini dilakukan sampai dengan dikeluarkannya pernyataan
selesainya situasi darurat oleh kepala daerah.
Selain berbagai hal diatas, pada lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Upaya Perbaikan Gizi, juga dijelaskan
tentang Keluarga Sadar Gizi disertai contoh dan cara pengisian formulirnya,
diantaranya:
a. Pendampingan Keluarga Menuju Keluarga Sadar Gizi)
b. Strategi Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)