Visus Buta

You might also like

You are on page 1of 5

LAPORAN

PRAKTIKUM VISUS ANOMALI REFRAKSI


DAN TES BUTA WARNA
A. TUJUAN
1. Mampu memahami fungsi dan mekanisme kerja indera penglihatan
2. Mampu mengukur ketajaman penglihatan
3. Mampu memahami mekanisme persepsi penglihatan warna

B. HASIL

Data Naracoba Visus dan Refraksi Normal

Naracoba yang mengaku ametrop

Nama Mahasiswa : Lisa Gosal


Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun

Naracoba yang mengaku emetrop

Nama Mahasiswa : Yulius Dennis Ariel


Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun

Tanggal Praktikum : 25 Oktober 2017

Hasil yang diperoleh


Naracoba dengan kondisi ametrop mengaku mengalami miop pada kedua
indera penglihatan

Hasil visus sebelum dikoreksi :

Occulus Dexter (OD) / Mata Kanan : 20/120 (miop)


Occulus Sinister (OS) / Mata Kiri : 20/120 (miop)

Naracoba dengan kondisi emetrop mengaku tidak mengalami gangguan


ketajaman pada kedua indera penglihatan
Hasil visus sebelum dikoreksi :
Occulus Dexter (OD) / Mata Kanan : 15/20 (normal)
Occulus Sinister (OS) / Mata Kiri : 15/20 (normal)
Hasil visus setelah dikoreksi dengan lensa sferis positif 0,5 D
Occulus Dexter (OD) / Mata Kanan : 15/20
Occulus Sinister (OS) / Mata Kiri : 15/20
Kesimpulan :
Refraksi OD dan OS pada naracoba mengalami hypermetrop fakultatif

Data Naracoba Tes Buta Warna


Nama naracoba : Deddy Cervin J
NIM : 41160014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 19

Nama pembanding : I Made Agus J


NIM : 41160096
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 19

Naracoba dan pembanding sudah pernah melakukan tes buta warna setahun yang lalu
Hasil Pengamatan
No Terlihat oleh Naracoba Terlihat oleh Pembanding
1 12 12
2 8 8
3 5 5
4 29 29
5 71 71
6 7 7
7 45 45
8 2 2
9 X X
10 16 10
11 Bisa melalui pola garis Bisa melalui pola garis
12 35 35
13 96 96
14 Bisa melalui 2 pola garis Bisa melalui 2 pola garis
C. PEMBAHASAN

Indra penglihatan dapat mencitrakan suatu objek bila objek tersebut dapat
memantulkan cahaya. Pantulan cahaya dari objek yang dapat dicitrakan oleh indera
penglihatan disebut dengan foton. Foton yang dapat dicitrakan oleh otak memiliki
beberapa proses sala satunya yakni proses refraksi. Proses refraksi atau pembiasan
merupakan proses pembelokan cahaya yang memiliki tujuan membawa bayangan ke
suatu titik fokus yakni macula pada retina sehingga dapat dicitrakan melalui nervus
optikus menuju otak. (Sherwood, 2012)
Kemampuan mata untuk menghasilkan refraksi dipengaruhi oleh beberapa
bagian mata diantaranya kornea yang selain berfungsi sebagai pelindung mata pada
barisan terdepan, kornea juga berfungsi sebagai pengontrol refraksi cahaya yang bersifat
konsisten. Adapula pupil yang terlibat dalam mekanisme refraksi bertugas sebagai pintu
masuk cahaya yang akan diproses pada retina. Terdapat pula lensa yang banyak
mempengaruhi gangguan pada refraksi karena sifatnya yang elastis sehingga kurang
konsisten dalam mempertahankan fokus. Hanya sifat yang elastis pada lensa ini
berfungsi untuk menentukan ketajaman dan banyaknya cahaya yang masuk pada mata.
Ketiga struktur tersebut merupakan bagian yang ikut andil dalam menentukan
ketajaman visual dari gambar yang dapat ditangkap mata, disamping ada beberapa
struktur lain yang terlibat seperti corpus viterus, camera oculi anterior dan posterior.
(Moore,2013)
Kondisi mata yang secara normal dapat memfokuskan bayangan tepat di tengah
retina seringkali disebut dengan emetrop. Namun pada kenyataanya ada beberapa
kondisi yang menyebabkan bayangan tidak dapat jatuh tepat di tengah macula pada
retina atau mengalami anomali refraksi yang seringkali disebut dengan ametrop.
Ametrop sendiri dapat dibedakan menjadi hipermetrop, miop dan astigmatisme.
(Sherwood, 2012)
Sebenarnya kondisi ametrop sendiri sangat beragam namun pada praktikum ini
hanya di sorot keadaan seperti hipermetrop, miop dan astigmatisme. Astigmatisme
merupakan kondisi mata yang menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis
fokus yang multipel hal ini dikarenakanan terdapat kekuatan konstan di sepanjanga
lubang pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Sedangkan miopia merupakan
kelainan refraksi dimana berkas-berkas cahaya dari sebuah objek hanya dapat
difokuskan di sebelah anterior retina dan hipermetrop merupakan kelainan refraksi mata
dimana bayangan dari sinar masuk kemata lalu direfraksikan di bagian posterior retina.
(Biswell, 2009)
Untuk menilai ketajaman penglihatan digunakan sebuah tabel yang disebut
dengan Snellen chart. Snellen chart digunakan untuk mengukur ketajaman penglihatan
sentral yang diletakkan pada jarak 6 meter atau 20 kaki dari mata. Dimana naracoba
diminta untuk membaca huruf acak yang tersusun mengecil dengan bergantian pada
masing-masing mata. Setelah naracoba selesai membaca tabel Snellen. Pemeriksa
menentukan dua angka skor yang sudah tertera di tabel Snellen dengan rumus V = d/D
(Visus = jarak yang dapat dibaca oleh naracoba / jarak yang dapat dibaca oleh orang
normal) (Biswell, 2009)
Pada percobaan kali ini dipilih dua naracoba yang satu mengaku emetrop dan
satu mengaku ametrop. Naracoba pertama mengaku mengalami miop dan dalam
kesehariannya telah menggunakan kacamata dengan sferis negatif. Sedangkan naracoba
mengaku dalam kondisi emetrop. Setelah diuji naracoba pertama mampu membaca
tabel Snellen dengan jarak visus 20/120 pada kedua occulus. Setelah itu naracoba
diminta untuk menggunakan kacamata sferis (-2,0) dan refraksi naracoba membaik jauh
dari kondisi sebelum menggunakan kacamata sferis. Sedangkan pada naracoba yang
mengaku emetrop dapat membaca dengan lancar tabel Snellen hingga mendapatkan
jarak visus 15/20. Lalu naracoba di minta untuk mengenakkan lensa sferis (+0,5) dan
naracoba tetap mendapatkan jarak visus 15/20.
Kondisi pada naracoba pertama dimungkinkan terjadi karena lensa mata pada
naracoba sudah mengalami perubahan bentuk sehingga cahaya yang masuk hanya bisa
disebarkan ke anterior retina. Namun ketika naracoba dipasangkan kacamata sferis (-
2,0). Refraksi cahaya naracoba kembali seperti semula. Hal ini terjadi karena lensa sferis
yang terpasang sudah mengalami aberasi atau perluasan pembiasan cahaya. Lensa
sferis terbagi menjadi dua koreksi. Sferis pertama dengan lensa konveks untuk
hipermetrop dan Sferis kedua dengan koreksi lensa konkaf untuk miop. Sedangkan pada
pasien dengan astigmatisma menggunakan lensa silindris. Sedangkan pada naracoba
kedua dapat disimpulkan bahwa naracoba mengalami hipermetrop fakultatif yang
artinya naracoba mengalami hipermetrop namun mata dapat mengakomodasi dengan
cara mengubah-ubah daya bias agar fokus tetap pada objek dekat (Biswell,2009)
Selain memfokuskan cahaya sehingga dapat di citrakan oleh otak. Indera
penglihatan juga berfungsi untuk memberi persepsi pada warna suatu objek. Hal ini
terjadi karena pada retina terdapat lapisan berpigmen di sebelah luar dan jaringan saraf
di sebelah belakang dan terakhir terdapat rods (sel batang) dan cones (sel kerucut) yang
merupakan fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf.
(Sherwood, 2012)

D. KESIMPULAN
E. DAFTAR PUSTAKA ,.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 6. Jakarta. EGC

Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME. 2013. Anatomi berorientasi klinis. Edisi ke5.
Jakarta: Erlangga.

Biswell R., Vaughan D.G., Asbury T., 2009, Ophtalmology Umum Ed. 14. Jakarta. EGC

You might also like