You are on page 1of 413

The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral

Colloquium, and Accounting Workshop


Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KUALITAS


LABA DENGAN MANAJEMEN LABA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
(Studi Empiris pada Industri Perbankan di Indonesia
dengan Menggunakan Path Analysis)

Astri Dyah Kartikasari1


Doddy Setiawan
Universitas Sebelas Maret

Abstract

This research tried to explain phenomenon of the accounting information


quality, especially the informativeness of earnings that is determined by factors of
earnings management and corporate governance mechanism, namely board of
commissioner composition, the existence of audit committee, managerial ownership,
and institutional ownership.
The purpose of this research is to examine empirically the influence of both
corporate governance mechanism and earnings management to the informativeness
of earnings, which measured as earnings response coefficient (ERC). More
specifically, we use the informativeness of earnings to investors as a measure of
earnings quality.
Population of this research was the firms that are included in the categories of
banking industry. Purposive sampling method was used to determine research
sample. Sample used in this research was the public bank companies existed in
Indonesia in the year of 2001-2005 which were listed in Indonesia Stock Exchange.
In this research, specific accrual model are used to decomposition accrual total in to
discretionary and non-discretionary accrual. The existence of earnings management
in banking industries is indicated by discretionary accrual that not equal to zero.

1
Contact authors: star_capella03@yahoo.com/doddy.setiawan@gmail.com

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

By using path analysis, we examine causal association between exogenous


and endogenous variable. We find that board of commissioner composition, the
existence of audit committee, managerial ownership, and institutional ownership are
simultaneously and significantly affect the earnings management, but the effect was
weak. Only institutional ownership that partially and significantly affects the earnings
management. We also find both corporate governance mechanism and earnings
management are simultaneously and significantly affect earnings quality, the effect
was quite strong. Additionally, we find that the existence of audit committee,
managerial ownership, institutional ownership, and earnings management are
partially and significantly affect the earnings quality, whereas board of
commissioners do not significantly affect the earnings quality.

Keywords: corporate governance, board of commissioners, audit committee,


managerial ownership, institutional ownership, earnings management, specific
accrual model, earnings quality, the informativeness of earnings, earnings response
coefficient.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini corporate governance menjadi suatu buzzword yang semakin banyak

didengungkan. Sejak krisis moneter di era 1990-an terjadi, corporate governance dianggap

sebagai hal yang sangat krusial dalam pengelolaan perusahaan. Lemahnya corporate

governance seringkali disebut-sebut sebagai salah satu penyebab krisis keuangan tahun 1997-

1998 di negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia (Mitton, 2002, Alijoyo et al., 2004

dan Veronica et al., 2004). Namun, krisis jugalah yang membuat banyak pihak menyadari

pentingnya keberadaan konsep corporate governance. Mencuatnya konsep corporate

governance di Indonesia merupakan reaksi atas perilaku para pengelola perusahaan yang tak

memperhitungkan stakeholdernya, hal itu terungkap dengan jelas ketika krisis menimpa

negeri ini (Djatmiko, 2001).

Akan tetapi bertolak dari kesadaran tersebut, kenyataannya sampai sekarang good

corporate governance (GCG) belum benar-benar diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di

Indonesia. Masih banyak perusahaan yang menerapkan GCG sekedar untuk kosmetik guna

mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang (Poeradisastra, 2005).

Masih lemahnya praktik corporate governance di Indonesia ditunjukkan dengan terjadinya

berbagai skandal keuangan pada perusahaan publik. Tahun 1998-2001 tercatat skandal PT

Lippo Tbk., PT Kimia Farma Tbk. Tahun 2003 terbongkar kasus skandal Rp 1,7 triliun yang

melibatkan Bank Negara Indonesia (BNI), padahal tahun 2002 BNI menempati peringkat ke-

7 Corporate Governance Perception Index (CGPI), yang berarti perusahaan dinilai bagus

dalam menerapkan prinsip GCG.

Fenomena terjadinya berbagai skandal keuangan menjadi bukti masih lemahnya

praktik corporate governance sekaligus mengindikasikan kegagalan laporan keuangan

mencapai tujuannya dalam memenuhi kebutuhan informasi para penggunanya, dimana

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

laporan keuangan gagal menyajikan fakta riil mengenai kondisi ekonomis perusahaan yang

sesungguhnya. Padahal, laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi akuntansi

yang paling mendasar bagi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh investor pasar

modal. Seringkali investor dan pemakai laporan keuangan lainnya bergantung pada laporan

keuangan, terutama angka laba sebagai parameter utama dalam mengukur kinerja manajemen

perusahaan, tanpa memperhatikan lebih jauh terhadap prosedur yang digunakan untuk

menghasilkan angka laba tersebut. Ketergantungan tersebut turut mendorong manajer

melakukan manipulasi terhadap laba.

Akibat dari manipulasi tersebut, laba tidak dapat memberikan informasi guna

mendukung pengambilan keputusan. Laba semacam itu dikatakan sebagai laba yang

berkualitas rendah, karena angka laba tidak mencerminkan kondisi ekonomis perusahaan dan

nilai pasar perusahaan yang sebenarnya, sehingga dapat mengakibatkan interprestasi yang

keliru yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah bagi investor dan pemakai

laporan keuangan. Kualitas laba yang dilaporkan perusahaan akan sangat berpengaruh

terhadap reaksi pasar, dengan kata lain informasi laba yang dilaporkan memiliki kekuatan

respon (power of response). Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba menunjukkan

bahwa laba yang dilaporkan semakin berkualitas.

Banyak penelitian mengenai corporate governance menunjukkan bahwa corporate

governance merupakan aspek kritikal dalam pengelolaan perusahaan. Penelitian Black et al.

(2003) menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat antara corporate governance dengan

nilai pasar perusahaan. Joh (2003) menemukan bahwa praktik corporate governance yang

buruk mengakibatkan kinerja yang rendah. Penelitian mengenai corporate governance

banyak diantaranya yang berfokus pada karakteristik dewan komisaris dan komite audit

perusahaan. Penelitian Beasley (1996) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan

kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang signifikan lebih rendah

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dibanding perusahaan yang tidak melakukan kecurangan. Klein (2002) menemukan bahwa

bahwa struktur dewan dan komite audit yang independen terhadap CEO, efektif dalam

memonitor proses pelaporan akuntansi keuangan perusahaan. Xie et al. (2003) membuktikan

bahwa komite audit secara efektif mampu melindungi kepentingan investor, membatasi

kesempatan manajer untuk melakukan earnings management.

Penelitian corporate governance juga telah banyak dilakukan di Indonesia.

Darmawati et al. (2004) membuktikan bahwa penerapan corporate governance berhubungan

positif dengan kinerja operasional perusahaan. Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan

bahwa komite audit berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Akan tetapi,

Wedari (2004) justru menemukan bahwa corporate governance berhubungan positif dengan

earnings management. Artinya, praktik corporate governance di Indonesia tidak efektif,

belum mampu melindungi investor dari tindakan mementingkan diri yang dilakukan manajer.

Faisal (2004) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya

keagenan yang diukur dengan asset turnover dan berhubungan positif dengan operating

expense. Hal itu menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial belum berfungsi sepenuhnya

sebagai mekanisme pemanfaatan aktiva perusahaan dan belum dapat menekan diskresi

manajerial. Selanjutnya, ukuran dewan komisaris berhubungan positif dengan biaya

keagenan dan berhubungan negatif dengan operating expense. Hal itu justru menimbulkan

tanda tanya karena berlawanan dengan teori keagenan yang memprediksi bahwa semakin

besar ukuran dewan, maka semakin besar biaya operasi. Veronica dan Utama (2006)

menemukan bahwa praktik corporate governance yang diukur dari kualitas audit, proporsi

dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit, tidak terbukti secara signifikan

berpengaruh terhadap besaran manajemen laba yang dilakukan perusahaan.

Meski telah cukup banyak penelitian mengenai pengaruh dan keterkaitan antara

mekanisme corporate governance dan earnings management, namun jarang yang menguji

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pengaruhnya terhadap kualitas laba, hal itulah yang memotivasi penulis untuk melakukan

penelitian ini. Hal itu penting dilakukan karena praktik corporate governance yang baik

mempengaruhi kualitas laporan keuangan (Goodwin dan Seow dalam Setiawan, 2006).

Dikaitkan atau dipilihnya earnings management sebagai variabel intervening dalam

penelitian ini dikarenakan seringkali kualitas earnings suatu perusahaan dipengaruhi oleh

manajemen laba yang diproksikan dengan akrual kelolaan. Terlebih lagi manajemen laba

telah meluas dan ada di setiap pelaporan keuangan yang disampaikan oleh perusahaan

(temuan Gu dan Lee dalam Rahmawati, 2006).

Kualitas laba diduga kuat dipengaruhi oleh indikasi earnings management dan

mekanisme corporate governance. Hal itu karena rendahnya kualitas laba diduga disebabkan

karena lemahnya penerapan corporate governance, sedangkan ciri utama dari lemahnya

corporate governance sendiri adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri yang

dilakukan pihak manajer perusahaan (Darmawati et al., 2004), yang seringkali dilakukan

dalam bentuk manipulasi laba. Dengan kualitas laporan keuangan yang baik, pengumuman

laba akan mempunyai kandungan informasi yang kuat, yang tercermin dari reaksi pasar.

Dengan kata lain, laba yang memiliki kemampuan untuk memberikan respon kepada pasar

menunjukkan bahwa laba berkualitas.

Penelitian yang mengaitkan mekanisme corporate governance dan kualitas laba di

luar Indonesia diantaranya dilakukan oleh Warfield et al. (1995), hasil penelitian menemukan

bahwa kepemilikan manajerial secara positif berhubungan dengan kualitas informasi laba dan

sebaliknya berhubungan negatif dengan besarnya accounting accrual adjustments. Penelitian

Vafeas (2000) menunjukkan bahwa ukuran dewan yang lebih kecil dipahami lebih informatif

oleh pelaku pasar, sebaliknya tidak terdapat bukti bahwa ukuran dewan mengurangi kualitas

informasi laba. Anderson et al. (2003) membuktikan bahwa komite audit independen dan ahli

meningkatkan ERC perusahaan. Di Indonesia, Boediono (2005) menunjukkan bahwa

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pengaruh mekanisme corporate governance secara simultan terhadap manajemen laba adalah

lemah, sedangkan pengaruh corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas

laba secara simultan adalah cukup kuat. Sebelumnya Midiastuty dan Mahfoedz (2003)

melakukan penelitian sejenis, hasilnya juga secara simultan komponen corporate governance

berpengaruh terhadap ERC.

Tahun 2001-2005 dipilih sebagai periode dilakukannya penelitian, karena salah satu

tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas peraturan mengenai corporate

governance yang dikeluarkan oleh pihak regulator di Indonesia. Kerangka peraturan

mengenai penerapan corporate governance di Indonesia baru secara resmi tertuang dalam

Code for Good Corporate Governance tahun 2001. Selain itu peraturan mengenai good

corporate governance baru dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2000.

BEI mewajibkan perusahaan tercatat memiliki komisaris independen, komite audit, sekretaris

perusahaan melalui Surat Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-

315/BEJ/06-2000, yang dikeluarkan tanggal 30 Juni 2000 dan diberlakukan tanggal 1 Juli

2000.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menguji mekanisme corporate

governance yang difokuskan pada struktur internal governance devices perusahaan. Proksi

yang dipergunakan diantaranya: ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris,

keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional perusahaan.

Hal itu disebabkan karena salah satu faktor yang yang membedakan antar perusahaan dan

membatasi kemampuan manajer dalam mengatur laba meliputi struktur internal governance

perusahaan (Dechow et al., 1995). Pengelompokan mekanisme corporate governance

menjadi kategori eksternal dan internal sejalan dengan kerangka corporate governance

menurut World Bank. Komponen yang termasuk dalam kategori internal adalah yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

bersinggungan langsung dengan proses pengambilan keputusan perusahaan (Syakhroza,

2002).

Tidak seperti kebanyakan penelitian corporate governance di Indonesia lainnya yang

sampelnya adalah perusahaan manufaktur, penelitian ini mengambil sampel perusahaan

perbankan. Hal itu didasari oleh pentingnya fungsi dan peran strategis sektor perbankan

dalam perekonomian. Tumbuhnya sektor perbankan dengan sangat pesat tanpa

memperhatikan kekuatan dan kesehatan sektor perbankan, menyebabkan corporate

governance di level mikro berorientasi pada perbankan yang cacat (Syakhroza, 2002). Bank

adalah lembaga kepercayaan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, memberikan

pelayanan dalam lalu lintas sistem pembayaran, sekaligus sebagai sarana pelaksanaan

kebijakan moneter. Keberadaan bank yang sehat, baik secara individu maupun sebagai suatu

sistem, merupakan suatu prasyarat bagi suatu perekonomian yang sehat, prasyarat bagi

kebijakan moneter yang efektif. Tidak sehatnya sektor perbankan dapat mengakibatkan

rusaknya perekonomian suatu negara, terlebih mengingat hampir seluruh proses perputaran

uang terjadi melalui perbankan (Suseno dan Abdullah, 2004), selain itu sekitar 93% dari total

aset industri keuangan di Indonesia dikuasai oleh industri perbankan (Yunus dalam Suseno

dan Abdullah, 2004). Oleh karenanya, kondisi bank yang sehat yang didukung melalui

penerapan GCG mutlak diperlukan.

Aplikasi teori keagenan dalam industri perbankan menjadi unik karena berbeda

dengan industri yang lain, industri perbankan sarat dengan regulasi. Perbankan dilengkapi

dengan prudential banking regulation serta mekanisme pengaturan dan pengawasan

lainnya dalam rangka memelihara kesehatan sistem perbankan. Dengan adanya regulasi,

hubungan keagenan dalam perbankan melibatkan pihak lain, yaitu regulator, yang dalam hal

ini adalah pemerintah melalui Bank Indonesia (BI), hal itu mengakibatkan masalah keagenan

menjadi semakin kompleks. BI mengatur dan mengawasi operasi bisnis seluruh bank di

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Indonesia, dengan mempergunakan laporan keuangan sebagai dasar dalam penentuan status

suatu bank, apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak, oleh karena itu

manajer mempunyai insentif untuk melakukan earnings management supaya perusahaan

dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan BI (Setiawan dan Nasution, 2007).

Selain itu, untuk mengetahui adanya indikasi manajemen laba dalam perusahaan,

peneliti menggunakan model akrual khusus perbankan. Sebagaimana peneliti ketahui, belum

banyak penelitian yang mengeksplorasi perilaku manajemen laba di Indonesia dengan

menggunakan model akrual khusus. Sebagian besar penelitian mengenai manajemen laba

biasanya berfokus pada model akrual Jones, Jones modifikasian, Healy, De Angelo, atau

model industri untuk mendekomposisi total akrual. Oleh karenanya, dalam penelitian ini

digunakan model akrual khusus yang dikembangkan oleh Beaver dan Engel (1996). Model

tersebut telah diuji oleh Rahmawati (2006) dan dinyatakan sebagai model pemisahan akrual

yang paling baik dalam memisahkan akrual non-kelolaan dari total akrual untuk mendeteksi

manajemen laba perusahaan perbankan di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:

a. Apakah mekanisme corporate governance, dalam hal ini ukuran dewan komisaris,

komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, dan

kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba pada industri perbankan

di Indonesia?

b. Apakah mekanisme corporate governance, dalam hal ini ukuran dewan komisaris,

komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, dan

kepemilikan institusional perusahaan, serta manajemen laba terhadap kualitas laba?

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan bukti-bukti empiris

yang terkait dengan pertanyaan penelitian, permasalahan di atas.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi pemikiran,

kontribusi praktik, dan kontribusi kebijakan, diantaranya bagi:

1) Pihak regulator. Bagi BAPEPAM dan BEI, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

bukti empiris mengenai efektivitas peraturan yang telah dikeluarkan mengenai dewan

komisaris dan komite audit guna mendorong peningkatan praktik corporate governance

di Indonesia. Bagi BI, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam

melakukan pengawasan terhadap bank, yakni membantu mendeteksi manajemen laba

yang dilakukan bank-bank, misalnya dengan memperhatikan struktur governance atau

penerapan good corporate governance dalam perusahaan. Pengawasan kesehatan bank

yang dilakukan BI akan semakin lebih baik jika tidak hanya didasarkan pada laporan

keuangan yang diterbitkan perusahaan.

2) Pihak investor atau masyarakat pelaku pasar modal di Indonesia, diharapkan penelitian

ini turut memberikan informasi tentang bagaimana menggunakan informasi laba yang

dilaporkan perusahaan dan menggunakan pertimbangan yang lebih rasional ketika

berinvestasi. Hanya laba yang berkualitas yang dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan investasi maupun dalam pengambilan keputusan ekonomik.

3) Kreditor, analis keuangan, dan auditor. Penelitian ini diharapkan membantu memahami

angka laba yang dilaporkan perusahaan serta mengetahui mana laba yang benar-benar

berkualitas, mengingat laba dapat dinaikkan atau diturunkan dengan memanfaatkan

fleksibilitas kebijakan akuntansi yang ada.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4) Pihak perusahaan. Bagi pihak manajemen, yaitu memberikan pemahaman serta masukan

guna menelaah lebih jauh mengenai efektivitas dan dampak penerapan corporate

governance, sehingga perusahaan dapat mengoptimalkan fungsi mekanisme tersebut

dalam mengurangi tindakan manajemen laba dan meningkatkan nilai tumbuh perusahaan

di mata investor dan pihak-pihak pengguna laporan keuangan.

5) Pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi

dalam pengembangan akuntansi keuangan, secara khusus mengenai positive accounting

theory, agency theory, dan corporate governance theory. Dari penelitian diharapkan

dapat diperoleh model-model mekanisme corporate governance yang secara konseptual

mempengaruhi tindakan manajemen laba serta berdampak pada tingkat kekuatan

responsif laba yang dilaporkan perusahaan.

II. TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Komposisi Dewan Komisaris, Manajemen Laba, dan Kualitas Laba

Penelitian mengenai mengenai karakteristik dewan komisaris perusahaan banyak

dilakukan oleh para peneliti. Hal tersebut karena dewan komisaris secara luas dipercaya

memainkan peranan penting dalam corporate governance, khususnya dalam memonitor

manajemen tingkat atas. Penelitian mengenai komposisi dewan komisaris sebagian besar di

antaranya menyimpulkan bahwa masuknya dewan yang berasal dari luar perusahaan,

meningkatkan efektivitas dewan dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan

laporan keuangan, membatasi manajemen laba yang dilakukan manajer, diantaranya

penelitian yang dilakukan oleh Beasley (1996), Chtourou et al. (2001), Xie et al. (2003)

Penelitian mengenai keterkaitan antara karakteristik dewan komisaris dengan kualitas

pelaporan keuangan diantaranya dilakukan oleh Song dan Windram (2000). Penelitian

mereka melaporkan bahwa masuknya dewan komisaris non eksekutif dalam institusi dewan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

berhubungan secara signifikan dengan efektivitas pengawasan pelaporan keuangan.

Komposisi komisaris yang memiliki jabatan komisaris non eksekutif juga membantu

memperoleh pengalaman tertentu dalam pelaporan keuangan yang lebih cepat dan ekonomis.

Hasil tersebut mendukung diperkuatnya independensi dewan di Inggris, namun dengan tetap

memperhatikan bahwa terdapat komposisi dewan yang optimal untuk tiap perusahaan dengan

karakter yang berbeda. Vafeas (2000) menguji apakah kualitas informasi laba yang

diproksikan dengan earnings-returns relationship berkaitan dengan struktur dan ukuran

dewan komisaris. Akan tetapi dia tidak menemukan bukti bahwa komposisi dewan dapat

mengurangi earnings-returns relationship atau dengan kata lain komposisi dewan tidak

berpengaruh terhadap kandungan informasi laba.

Penelitian terkait dengan komisaris independen juga telah cukup banyak dilakukan di

Indonesia. Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan bahwa persentase dewan komisaris

independen tidak berkorelasi secara signifikan terhadap akrual kelolaan, walaupun begitu

interaksi antar variabel akrual kelolaan dan dewan komisaris independen menunjukkan

koefisien positif yang signifikan terhadap return perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa

semakin tinggi persentase dewan komisaris independen, maka akrual kelolaan semakin

berpengaruh terhadap return. Dengan menggunakan analisis jalur Boediono (2005) meneliti

mekanisme corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas laba. Dari hasil

penelitian diketahui bahwa secara individual pengaruh komposisi dewan komisaris terhadap

manajemen laba adalah sangat lemah. Hasil penelitian Veronica dan Utama (2006)

menyimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak terbukti secara signifikan

berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Setiawan

(2006) menunjukkan bahwa komisaris independen sebagai salah satu mekanisme corporate

governance dalam perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Karakteristik dewan komisaris memegang peran sukses tidaknya dewan dalam

menyelesaikan tugas yang diemban (Syakhroza, 2002). Karakteristik dewan komisaris secara

umum dan khususnya komposisi dewan komisaris dapat menjadi suatu mekanisme yang

menentukan tindakan manajemen laba. Dengan adanya komisaris independen, diharapkan

para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik (Gunarsih dan Hartadi, 2002).

Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional

perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi

yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau

kemungkinan terhindar dari kecurangan pelaporan keuangan (Boediono, 2005). Adanya

komisaris independen yang berasal dari luar perusahaan diharapkan akan direaksi positif oleh

pasar (investor), karena kepentingan investor akan lebih dilindungi. Dari situ terdapat dugaan

kuat bahwa komposisi dewan komisaris akan berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba

yang dilakukan perusahaan dan selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap kualitas laba

yang dilaporkan perusahaan. Maka, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1a : komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba

H2a : komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap kualitas laba

2.2 Keberadaan Komite Audit, Manajemen Laba , dan Kualitas Laba

Pengertian komite adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih

besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau tugas-tugas khusus. Komite audit adalah

suatu komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu tugas dan

fungsinya. Kehadiran komite audit disadari sangat penting, sehingga regulator perusahaan

negara maupun perusahaan publik mengharuskan pembentukan komite audit. Dalam rangka

penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik, BEI mewajibkan perusahaan yang

tercatat memiliki komite audit, melalui Surat Edaran Bursa Efek Indonesia No: SE-

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

008/BEI/12-2001 tanggal 7 Desember 2001, di dalamnya diatur mengenai keanggotaan

komite audit.

Keberadaan komite audit tentu saja sangat penting bagi pengelolaan perusahaan,

karena komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan

komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Komite audit

diperlukan untuk memenuhi market expectation mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap

conduct perusahaan, melindungi kepentingan investor (minority sahareholders),

meningkatkan kualitas laporan keuangan dan pengendalian internal, meningkatkan fungsi

auditor internal, serta mematuhi ketentuan regulasi, aturan BUMN, BAPEPAM, BEI, dan

Code of Corporate Governance (Habsyah dalam Salim, 2004). Komite audit berperan dalam

meningkatkan value of the firm dengan menyeimbangkan kepentingan stakeholders,

mempertahankan pertumbuhan, menjaga ethical business conduct serta mengelola risiko

bisnis perusahaan dan mencegah krisis.

Tugas dan fungsi komite audit adalah memberikan pendapat kepada dewan komisaris

atas laporan yang disampaikan oleh direksi, mengidentifikasi masalah yang perlu mendapat

perhatian dari dewan komisaris, menelaah kebijakan akuntansi yang ditetapkan oleh

perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal, dan

kepatuhan terhadap peraturan. Dalam pelaksanakan tugasnya, komite audit menyediakan

komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal, dan auditor internal

(Bradburry et al., 2004). Komite audit memiliki wewenang secara penuh terhadap sumber

daya perusahaan, untuk bekerjasama dengan auditor, dan memiliki akses terhadap direksi dan

informasi perusahaan. Komite audit memiliki tanggung jawab yang penting dalam

perusahaan. Menurut Salim (2004), secara umum tanggung jawab komite audit

dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: pengawasan proses pelaporan keuangan, pengawasan

proses manajemen risiko dan pengendalian, mereview kebijakan perusahaan yang terkait

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dengan hukum dan peraturan, etika bisnis, conflict of interest, review kebijakan perusahaan

yang terkait dengan hukum, peraturan, etika bisnis, conflict of interest, investigasi terhadap

fraud (hal-hal yang terkait dengan corporate governance).

Terdapat cukup banyak penelitian yang menguji hubungan antara komite audit dan

manajemen laba, beberapa diantaranya menyimpulkan bahwa keberadaan komite audit dapat

mengurangi aktivitas manajemen laba, yakni Chtourou et al. (2001), Xie et al. (2003),

Veronica dan Bachtiar (2004), Wedari (2004), dan Sugiarta (2004). Akan tetapi, sebagian

penelitian membuktikan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara keberadaan komite

audit terhadap manajemen laba atau kecurangan pelaporan keuangan, diantaranya penelitian

yang dilakukan Beasley (1996), Klein (2000), Veronica dan Utama (2006). Beberapa

penelitian yang menguji hubungan antara komite audit terhadap kualitas pelaporan keuangan,

seluruhnya cenderung mendukung keberadaan komite audit karena dianggap meningkatkan

kualitas pelaporan keuangan. Diantaranya adalah Song dan Windram (2000), Anderson et

al.(2003), dan Bradbury et al. (2004), Sugiarta (2004), Suaryana (2005), dan Setiawan

(2006). Hasil dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberadaan komite

audit meningkatkan kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan.

Peran komite audit sangat penting karena mempengaruhi kualitas laba perusahaan

yang merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat

digunakan oleh investor dalam menilai perusahaan. Hal itu karena komite audit bertugas

membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen

untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Dari situ, hipotesis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

H1b : keberadaan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba

H2b : keberadaan komite audit berpengaruh terhadap kualitas laba

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.3 Kepemilikan Manajerial, Manajemen Laba, dan Kualitas Laba

Konsep corporate governance sangat didominasi oleh pemisahan antara fungsi

kepemilikan dan fungsi pengelolaan perusahaan yang disebut dengan the separation the

decision-making and risk beating functions of the firm, yang selanjutnya dimodelkan sebagai

agency theory. Akibat pemisahan kedua fungsi tersebut, di dalam perusahaan terdapat

konflik kepentingan antara berbagai pihak yang memiliki tujuan yang berbeda, yang dikenal

dengan agency problems. Agency problems terjadi ketika manajer cenderung bertindak untuk

kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam pengambilan

keputusan perusahaan. Konflik keagenan tersebut pada akhirnya turut mendorong munculnya

hazard dari manajer, seperti perilaku oportunis manajer dengan cara memanipulasi laba.

Untuk mereduksi konflik keagenan diperlukan keberadaan aturan dan mekanisme

kontrol yang secara efektif dapat mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta

kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda

(Syakhroza, 2003). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi adalah dengan

memperhatikan struktur kepemilikan perusahaan sebagai dasar untuk mengidentifikasi

distribusi kekuasaan di antara berbagai pihak yang berkepentingan. Hal tersebut sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976), bahwa perilaku manipulasi

oleh manajer yang berawal dari konflik kepentingan dapat diminimumkan melalui suatu

mekanisme monitoring yang bertujuan untuk menyelaraskan (alignment) berbagai

kepentingan tersebut. Namun, munculnya mekanisme pengawasan tersebut akan

menimbulkan biaya yang disebut dengan agency cost. Salah satu alternatif untuk mengurangi

agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan saham manajerial. Jensen dan

Meckling dalam hipotesis pemusatan kepentingan (convergence of interest hypothesis),

menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan

antara pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dari keputusan yang diambil, juga kerugian yang muncul sebagai konsekuensi dari

pengambilan keputusan yang salah. Sehingga, semakin meningkat proporsi kepemilikan

saham manajerial pada akhirnya akan menyebabkan kinerja perusahaan semakin baik.

Secara umum persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen

cenderung mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer, pemikiran itu

didukung oleh hasil penelitian Warfield et al. (1995). Midiastuty dan Machfoedz (2003)

melakukan pengujian di Indonesia, hasilnya diperoleh kesimpulan bahwa kepemilikan

manajerial berhubungan negatif sangat signifikan dengan manajemen laba dan berhubungan

positif signifikan terhadap kualitas laba yang diukur dengan ERC. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa di Indonesia kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme good

corporate governance yang mampu mengurangi masalah ketidakselarasan kepentingan

antara manajer dengan pemilik atau pemegang saham. Namun, sebagian peneliti tidak

menemukan adanya pengaruh kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba yang

dilakukan perusahaan, diantaranya Wedari (2004) dan Boediono (2005).

Faisal (2004) menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang

lebih tinggi, lebih efisien dalam penggunaan aset dibanding perusahaan dengan kepemilikan

manajerial yang rendah, meski perbedaannya tidak signifikan. Selain itu, ditemukan bahwa

kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya keagenan yang diukur dengan

asset turnover, dan berhubungan positif dengan operating expense. Hal itu menunjukkan

bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi belum sepenuhnya dapat menekan biaya operasi

dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan.

Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi

manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba

yang berbeda pula, seperti antara owner-manager dan non-owner manager (Boediono, 2005).

Dengan adanya kepemilikan manajerial, manajer yang merangkap sebagai pemegang saham

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(owner manager) dapat ikut menentukan keputusan terhadap pemilihan kebijakan dan

metode akuntansi yang diterapkan perusahaan. Ketika manajer ikut memiliki perusahaan,

manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan principal, karenanya kepemilikan

manajerial dapat mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan manajemen laba, sehingga

laba yang dilaporkan dapat merefleksikan keadaan ekonomi dari perusahaan yang

bersangkutan. Semakin meningkat proporsi kepemilikan manajerial dalam perusahaan diduga

kuat akan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya tindakan manajemen laba yang

dilakukan oleh manajer dan turut berpengaruh terhadap kualitas laba yang dilaporkan.

Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini :

H1c : kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba

H2c : kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kualitas laba

2.4 Kepemilikan Institusional, Manajemen Laba, dan Kualitas Laba

Kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat

digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen. Investor

institusional sering disebut juga sebagai investor yang canggih (shopisticated) dan

seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang di dalam memprediksi laba

masa depan (Veronica dan Utama, 2006). Investor institusional diyakini mampu memonitor

tindakan para manajer dengan lebih baik dibanding investor individual. Adanya kepemilikan

institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan oleh

institusi lain akan mendorong peningkatan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen

(Wahidahwati, 2002).

Menurut Jensen & Meckling (1976), kepemilikan institusional merupakan salah satu

alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict. Dengan kata lain semakin

tinggi tingkat kepemilikan institusional, semakin kuat tingkat pengendalian yang dilakukan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

oleh pihak eksternal terhadap perusahaan, sehingga agency cost yang terjadi di dalam

perusahaan semakin berkurang dan nilai perusahaan juga dapat semakin meningkat. Selain

itu, dengan semakin kuatnya tingkat pengendalian yang dilakukan oleh pihak eksternal

tersebut, diharapkan tingkat pengendalian internal perusahaan juga semakin baik. Penelitian

Midiastuty dan Machfoedz (2003) mengindikasikan bahwa kepemilikan institusional

berpengaruh signifikan negatif terhadap discretionary accrual dan berhubungan positif

sangat signifikan terhadap kualitas laba. Boediono (2005) menyimpulkan bahwa mekanisme

kepemilikan institusional berpengaruh kuat terhadap manajemen laba, tetapi berpengaruh

lemah terhadap kualitas laba. Sedangkan Wedari (2004) menemukan bahwa kepemilikan

institusional tidak berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba.

Adanya investor institusional dapat berfungsi sebagai monitoring agent. Kepemilikan

institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunis manajer yang memanfaatkan

management discretion untuk kepentingan pribadinya yang kemungkinan dapat merugikan

pihak lain. Hal itu karena tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menyebabkan

pengawasan (monitoring) yang lebih besar dan lebih efektif. Dengan investor institusional

yang mampu memonitor kinerja manajemen dengan lebih baik maka tindakan manajemen

laba yang dilakukan manajer dapat dikurangi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan

kualitas laba yang dilaporkan. Dari situ, maka hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

H1d : kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba

H2d : kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kualitas laba

2.5 Manajemen Laba dan Kualitas Laba

Laba sebagai informasi yang terkandung dalam laporan keuangan yang diterbitkan

akan menyebabkan pasar bereaksi, dengan kata lain laba memiliki kekuatan respon (power of

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

response) pada pasar. Laba yang dipublikasikan dapat memberikan respon yang bervariasi,

yang menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap laba (Cho dan Jung dalam Boediono, 2005).

Reaksi yang ditunjukkan oleh pasar tergantung dari kualitas laba yang dilaporkan

perusahaan. Laba yang kredibel dan berkualitas akan direspon lebih kuat (Anderson et al.,

2003). Dalam penelitian ini, kualitas laba diproksikan dengan Earnings Response Coefficient

(ERC). Scott (2003) mendefinisikan ERC sebagai koefisien untuk mengukur unexpected

accounting earnings dalam regresi abnormal return saham dan varibel-variabel lain. Secara

intuitif besaran ERC mencerminkan kualitas earnings yang tinggi pula, semakin tinggi ERC

menunjukkan laba yang dilaporkan semakin berkualitas dan semakin rendah ERC

menunjukkan laba yang dilaporkan kurang atau bahkan tidak berkualitas.

Pelaporan earnings dilakukan oleh manajemen yang lebih mengetahui kondisi di

dalam perusahaan, hal itu diprediksi oleh Dechow et al. (1995) dapat menimbulkan masalah

karena manajemen sebagai pihak yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan

dievaluasi dan dihargai berdasarkan laporan yang dibuatnya sendiri. Padahal, seperti kita

ketahui bahwa dalam proses pengambilan berbagai keputusan ekonomi, investor dan

pemakai laporan keuangan lainnya sangat bergantung pada informasi dalam laporan

keuangan, khususnya informasi laba. Ketergantungan investor ditambah dengan

kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri (moral hazard)

mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba yang bersifat oportunis.

Manajemen laba merupakan campur tangan manajemen dalam proses pelaporan

keuangan eksternal dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri. Manajemen laba

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kredibilitas laporan keuangan.

Manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai

laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

tanpa rekayasa (Setiawati dan Naim, 2000). Dari situ diketahui bahwa kualitas laba suatu

perusahaan akan dipengaruhi oleh manajemen laba

Hasil penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) menunjukkan bahwa corporate

governance dan earnings management secara simultan berpengaruh terhadap ERC.

Penelitian Boediono (2005) mengindikasikan bahwa corporate governance dan manajemen

laba secara simultan menunjukkan pengaruh yang cukup kuat terhadap kualitas laba. Akan

tetapi, ia tidak berhasil membuktikan pengaruh manajemen laba terhadap kualitas laba,

secara parsial manajemen laba berpengaruh sangat lemah terhadap kualitas laba. Pudjiastuti

(2006) menemukan bahwa manajemen laba yang tinggi akan diikuti dengan kualitas laba

yang tinggi pula. Dari penjabaran di atas, maka selanjutnya hipotesis dalam penelitian ini

adalah :

H2e : manajemen laba berpengaruh terhadap kualitas laba

2.6 Kerangka Teoretis

Berdasarkan telaah literatur yang telah dikemukakan di atas, kerangka teoritis yang

menjadi dasar pengembangan hipotesis dapat digambarkan sebagai berikut:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Gambar 1. Kerangka Teoritis Penelitian

Komposisi
Dewan komisaris

Keberadaan
Komite Audit

Manajemen Kualitas
Laba Laba

Kepemilikan
Manajerial

Kepemilikan
Institusional

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang menjelaskan

mengenai sifat dari hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah

mekanisme corporate governance, diantaranya: komposisi dewan komisaris, keberadaan

komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional perusahaan berpengaruh

terhadap earnings management. Penelitian juga menguji pengaruh mekanisme corporate

governance dan earnings management terhadap kualitas laba.

3.2 Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang termasuk dalam

kategori industri perbankan di Indonesia pada periode pengamatan tahun 2001-2005.

Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1) Perusahaan telah go public atau terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia pada periode 2001-

2005.

2) Perusahaan tidak mengalami delisted dan sahamnya aktif diperdagangkan selama periode

2001-2005.

3) Perusahaan menerbitkan laporan keuangan tahunan yang dinyatakan dalam rupiah (Rp)

untuk periode yang berakhir 31 Desember tahun 2001-2005 yang dipublikasikan melalui

www.jsx.co.id., media cetak, atau situs resmi perusahaan.

4) Keseluruhan data dan laporan keuangan perusahaan secara lengkap tercantum dalam

publikasi Direktori Perbankan Indonesia tahun 2001-2006 yang diterbitkan oleh Bank

Indonesia.

5) Perusahaan secara lengkap memiliki data corporate governance yang dibutuhkan dalam

penelitian.

3.3 Variabel Penelitian dan Pengukuran

Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah mekanisme corporate governance yang

terdiri dari :

Komposisi Dewan Komisaris (X1)

Indikatornya adalah persentase jumlah anggota dewan komisaris independen yang

berasal dari luar perusahaan (outside directors) terhadap jumlah keseluruhan anggota

dewan komisaris.

Keberadaan Komite Audit (X2)

Variabel ini merupakan variabel dummy, ditunjukkan dengan ada atau tidaknya komite

audit dalam perusahaan. Bila diketahui perusahaan sampel memiliki komite audit, maka

dinilai 1, sebaliknya jika perusahaan tidak memiliki komite audit, maka dinilai 0.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kepemilikan Manajerial (X3)

Variabel ini merupakan variabel dummy, diukur berdasarkan ada atau tidaknya sejumlah

saham bagian dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar yang dimiliki pihak

manajemen perusahaan (baik eksekutif maupun direktur). Jika ada kepemilikan

manajerial, maka dinilai 1, sebaliknya jika tidak ada dinilai 0.

Kepemilikan Institusional (X4)

Diukur dari persentase jumlah saham yang dimiliki investor institusi dari total saham

yang beredar.

Sedangkan variabel endogen dalam penelitian yakni :

Manajemen laba (Y)

Manajemen laba dalam penelitian ini diproksikan oleh discretionary accrual. Variabel

ini berskala rasio. Untuk mendeteksi discretionary accrual dalam perusahaan sampel

digunakan model akrual khusus Beaver dan Engel (1996). Model tersebut merupakan

model yang paling sesuai untuk mendeteksi manajemen laba dalam industri perbankan di

Indonesia (Rahmawati, 2006). Model tersebut dituliskan sebagai berikut :

NDAit = 0 + 1COit + 2LOANit + 3NPAit + 4NPAit+1 + it

Dimana: COit = loan charge offs (pinjaman yang dihapus bukukan)

LOANit = loans outstanding ( pinjaman yang beredar)

NPAit = non performing assets (aktiva produktif yang bermasalah), terdiri

dari aktiva produktif perusahaan, yang berdasarkan tingkat

kolektibilitasnya digolongkan menjadi Dalam Perhatian Khusus

(DPK), Kurang lancar (KL), Diragukan (D), dan Macet (M)

NPAit+1= selisih non performing assets t+1 dengan non performing assets t

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Semua variabel dideflasi dengan nilai buku ekuitas plus cadangan kerugian pinjaman.

Selanjutnya, untuk menghitung total akrual :

TAit = NDAit + DAit

Dimana: DAit = akrual kelolaan (discretionary accrual)

TAit = total akrual

NDAit = akrual non kelolaan (non discretionary accrual)

Sehingga, untuk menghitung total akrual diperoleh model sebagai berikut :

TAit = 0 + 1COit + 2LOANit + 3NPAit + 4NPAit+1 + DA it +

Jika: DA it + = z it , maka: TAit = 0 + 1COit + 2LOANit + 3NPAit + 4NPAit+1 +

z it

Total akrual pada model dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan aktiva

produktif (PPAP).

Sebagaimana kita ketahui sebelumnya: TAit = NDAit + DAit

Sehingga untuk menghitung akrual kelolaan: DAit = TAit - N DAit

Kualitas Laba (Z)

Kualitas laba dalam penelitian ini diproksikan dengan Earnings Response Coefficient

(ERC). Perhitungan ERC dilakukan dengan meregresi Cumulative Abnormal Return

(CAR) dengan Unexpected Earnings (UE), sehingga koefisien beta merupakan ERC dari

tiap perusahaan. ERC pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan pendekatan

Firm Specific Coefficient Methodology (FSCM). Dalam pengujian hipotesis yang terkait

dengan pengaruh terhadap kualitas laba, ERC akan dihitung dalam periode bulanan dan

harian. Untuk periode harian akan dihitung dengan menggunakan market model dan

market adjusted model.

1) ERC periode bulanan

Untuk menghitung ERC periode bulanan, dipergunakan return bulanan (Ri,t).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

R i,t = Pt - Pt-1
Pt-1
Dimana : Pt = harga saham pada akhir bulan

Pt-1 = harga saham pada akhir bulan sebelumnya

Return bulanan pasar (Rmt) dihitung dengan dengan formula berikut:

Rmt = IHSGt - IHSGt-1


IHSGt-1
Dimana: IHSGt = indeks pasar pada perdagangan akhir bulan

IHSGt-1 = indeks pasar pada perdagangan akhir bulan sebelumnya

Abnormal return adalah return aktual perusahaan dikurangi dengan return pasar.

AR i,t = R i,t - Rmt

Dimana : AR i,t = abnormal return sekuritas i pada bulan ke-t

R i,t = return aktual sekuritas i pada bulan ke-t

Rmt = return pasar pada bulan ke-t

Selanjutnya dilakukan penghitungan CAR menjumlahkan abnormal return bulanan

selama tahun t.

CARi,t = AR i,t

Dimana : CAR i,t = cummulative abnormal return sekuritas i pada tahun t

AR i,t = abnormal return sekuritas i pada bulan ke-t

Unexpected earnings adalah selisih antara laba yang sesungguhnya dengan laba

ekspektasian.

UE i,t = Ei,t - Ei,t-1


[Ei,t-1]
Dalam hal ini : UE i,t = laba kejutan perusahaan i pada tahun t

Ei,t = laba akuntansi perusahaan i pada tahun t

Ei,t-1 = laba akuntansi perusahaan i pada tahun t-1

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Dalam penelitian ini, perhitungan unexpected earnings mempergunakan laba bersih,

karena laba bersih dianggap lebih bisa menggambarkan kinerja perusahaan secara

keseluruhan. Setelah CAR dan UE dihitung, maka dilakukan regresi dengan mengikuti

persamaan regresi berikut:

CARi,t = + UE i,t + i,t

Koefisien beta yang diperoleh dari hasil regresi merupakan koefisien respon laba (ERC)

tiap perusahaan.

2) ERC periode harian

Untuk periode harian akan dipergunakan metode market model dan market adjusted

model.

a) Market Model

Untuk perhitungan ERC periode harian dengan metode market model, digunakan event

studies, yaitu dengan menggunakan peristiwa pengumuman laba (t), yakni tanggal

penerbitan laporan keuangan tahunan perusahaan. Periode estimasi yang dipergunakan

adalah 200 hari dan periode jendela 10 hari, yakni 5 hari sebelum dan 5 hari sesudah

tanggal pengumuman laba perusahaan. Prosedur menghitung CAR adalah dengan

menggunakan perhitungan model ekspektasi (Ordinary Least Square), yaitu:

R i,t = i + i . Rmt + it

Dimana: R i,t = return aktual sekuritas i pada periode estimasi t

i = intercept untuk sekuritas i

i = koefisien slope yang merupakan beta dari sekuritas i

Rmt = return indeks pasar pada periode estimasi ke-t

it = kesalahan residu sekuritas i pada tahun t

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pengujian tersebut mengacu pada prosedur yang disarankan Hartono (2000). Return

harian aktual perusahaan (Ri,t) dihitung dengan cara mengurangkan harga saham pada

hari tersebut (Pt) terhadap harga saham pada hari sebelumnya (Pt-1), kemudian dibagi

dengan harga saham pada hari sebelumnya.

R i,t = Pt - Pt-1
Pt-1
Return harian pasar dihitung dengan cara mengurangkan indeks pada hari perdagangan

tersebut, dalam hal ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSGt) dengan indeks

perdagangan hari sebelumnya (IHSGt-1), kemudian dibagi dengan IHSGt-1. Secara

matematis dituliskan sebagai berikut:

Rmt = IHSGt - IHSGt-1


IHSGt-1
Pada penelitian ini peneliti mengasumsikan bahwa pasar bersifat efisien dan investor

memiliki expected return. Besarnya expected return pada tanggal pengumuman laba dan

periode jendela dapat dihitung setelah meregresi Ri,t dan Rmt periode estimasi dan

diperoleh besarnya nilai i dan i dari persamaan regresi. Besarnya expected return

dihitung dengan formula berikut :

E(Ri,t) = i + i . Rmt

Dimana : E(Ri,t) = expected return pasar pada hari ke-t

i = intercept untuk sekuritas i (merupakan hasil regresi periode estimasi

sekuritas i)

i = koefisien slope yang merupakan beta dari sekuritas i (hasil regresi

periode estimasi)

Rmt = return indeks pasar pada hari ke-t

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Abnormal return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap

return normal (Hartono, 2000). Abnormal return dihitung dengan menggunakan formula

berikut:

AR i,t = R i,t - E(R i,t)

Dimana : AR i,t = abnormal return sekuritas i pada hari ke-t

R i,t = return aktual sekuritas i pada hari ke-t

E(Ri,t) = expected return pasar pada hari ke-t

Selanjutnya dilakukan penghitungan cummulative abnormal return (CAR) dengan cara

menjumlahkan abnormal return hari t-5 sampai dengan t+5.

t+5
CAR i(t-5,t+5) = AR i,t
t-5

Unexpected earnings adalah selisih antara laba yang sesungguhnya dengan laba

ekspektasian.

UE i,t = Ei,t - Ei,t-1


[Ei,t-1]
Dalam hal ini : UE i,t = laba kejutan perusahaan i pada periode t

Ei,t = laba akuntansi perusahaan i pada periode t

Ei,t-1 = laba akuntansi perusahaan i pada periode t-1

Setelah itu dilakukan regresi atas persamaan regresi berikut: CAR i(t-5,t+5) = + UE i,t

Dimana : CAR i(t-5,t+5) = cummulative abnormal return perusahaan i

UE i,t = laba kejutan perusahaan i pada periode t

= kesalahan residu sekuritas i pada periode t

Koefisien beta yang diperoleh dari hasil regresi persamaan di atas merupakan ERC tiap

perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

b) Market Adjusted Model

Untuk perhitungan ERC periode harian dengan metode market adjusted model, return

harian aktual (Ri,t) dan return harian pasar (Rmt), dihitung dengan formula yang sama

seperti pada market model.

R i,t = Pt - Pt-1
Pt-1
Rmt = IHSGt - IHSGt-1
IHSGt-1
Model perhitungan abnormal return (AR i,t ) adalah sebagai berikut :

AR i,t = R i,t - E(R i,t)

Ketika menggunakan metode market adjusted model, besarnya return yang diharapkan

oleh investor untuk tiap sekuritas perusahaan (E(R i,t)) dianggap sama dengan besarnya

return indeks pasar (Rmt), sehingga:

AR i,t = R i,t - Rmt

Cummulative abnormal return dihitung dengan menjumlahkan abnormal return hari t-5

sampai dengan t+5.

t+5
CAR i(t-5,t+5) = AR i,t
t-5

Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan unexpected earnings (UE).

UE i,t = Ei,t - Ei,t-1


[Ei,t-1]
Selanjutnya juga dilakukan regresi atas persamaan regresi berikut : CARi(t-5,t+5) = +

UE i,t +

Penggunaan ketiga macam proksi kualitas laba tersebut dilakukan sebagai sensitivity

analysis, yakni apakah model ini dapat digunakan dalam berbagai keadaan. Untuk

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 30


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menentukan model pengukuran mana yang akan digunakan dalam analisis utama, akan

dilakukan analisis perbandingan antara ketiga model pengukuran tersebut. Model pengukuran

terbaik yang akan digunakan pada analisis atas pengujian hipotesis utama yang menguji

pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur kedua), sedangkan kedua model lain akan

digunakan dalam analisis sensitivitas.

3.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggambarkan pola hubungan yang mengungkapkan pengaruh

seperangkat variabel terhadap variabel lainnya, baik secara langsung maupun melalui

variabel lain sebagai variabel intervening. Dalam pengujian hipotesis digunakan metode

analisis jalur (path analysis) dalam menaksir hubungan kausalitas antar variabel (model

casual) yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori untuk mengetahui pengaruh

antara variabel eksogen dan variabel endogen. Analisis jalur berbeda dengan analisis regresi

lainnya, dimana analisis jalur memungkinkan pengujian dengan menggunakan variabel

intervening (Ghozali dan Fuad, 2005).

Pengujian hipotesis dilakukan dengan bantuan program SPSS for windows versi 15.0.

Sebelumnya untuk mempermudah pengujian, agar model penelitian dapat tergambar dengan

jelas, dapat dispesifikasi, serta dirumuskan persamaannya, maka disusun diagram alur dari

konseptualisasi model dalam rerangka teoritis. Dari hasil konseptualisasi model, kemudian

kita rumuskan hipotesis penelitian dalam persamaan struktural. Selanjutnya dilakukan uji

terhadap asumsi dasar yang melandasi path analysis, terdiri dari:

a) Uji Normalitas Data

Pada model path analysis hubungan antar variabel adalah bersifat linier, adaptif, dan

bersifat normal. Untuk menguji apakah variabel dependen dan independen dalam model

memiliki distribusi normal atau tidak digunakan uji Kolmogrov Smirnov. Kriteria yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 31


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

digunakan adalah pengujian dua arah (two tailed test), yaitu dengan membandingkan p

value yang diperoleh dengan taraf signifikansi yang digunakan.

b) Uji Linieritas

Dalam path analysis hubungan antar variabel harus bersifat linier dan adaptif. Uji

linieritas model dalam penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier yang

dikembangkan oleh Engle tahun 1982.

c) Uji Variance Influence Factor (VIF)

Dalam path analysis, hanya model recursive yang dapat dipertimbangkan, artinya hanya

sistem aliran kausal ke satu arah, tidak ada arah kausalitas yang berbalik. Suatu model

dikatakan recursive jika antara variabel epsilon ( ) saling bebas dan hubungan antara
i

variabel epsilon dengan variabel endogen saling bebas. Untuk menguji apakah model

recursive bisa digunakan uji variance influence factor (VIF), dimana suatu hubungan

antar variabel epsilon dikatakan saling bebas dan antara variabel epsilon dengan variabel

endogen memiliki hubungan yang saling bebas jika nilai VIF tidak lebih dari 10

(Algifari, 1997).

d) Memastikan variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan

rasio

e) Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran valid dan

reliable)

Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas, karena menggunakan

data sekunder.

f) Model yang dianalisis dispesifikasikan dengan benar (Model Fit)

Bila ingin dikatakan bahwa model tersebut adalah fit, seluruh hipotesis dan rancangan

model dalam penelitian dibangun berdasar teori dan konsep yang relevan didukung bukti

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 32


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

empiris yang memadai dari suatu hasil penelitian, artinya model diuji dibangun

berdasarkan kerangka teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas

antar variabel yang diteliti.

Selanjutnya kita akan melakukan pendugaan parameter, menentukan besarnya

koefisien tiap jalur () guna menghitung besarnya pengaruh terhadap earnings management

(y) dan earnings response coefficient (z). Menurut Riduwan dan Kuncoro (2007), pada

dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang distandarkan yaitu koefisien

regresi yang dihitung dari basis data yang telah diset dalam angka baku atau Z-score (data

yang diset dengan nilai rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Dalam path analysis, di

samping ada pengaruh langsung juga terdapat pengaruh tidak langsung dan pengaruh total.

Pengaruh langsung diambilkan dari hasil regresi yang ditunjukkan oleh output Coefficient

yang dinyatakan sebagai standardize coeficients beta dan diberi simbol Pyixi. Sedangkan

pengaruh tidak langsung merupakan perkalian antar Pyixi. Pengaruh total merupakan

penjumlahan dari pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung.

Setelah kita peroleh besarnya koefisien tiap jalur pada struktur model, selanjutnya

akan dapat kita lakukan pengujian hipotesis, kita tentukan besarnya pengaruh variabel

eksogen terhadap variabel endogen dengan uji validitas model. Sahih tidaknya suatu hasil

analisis tergantung dari terpenuhi atau tidaknya asumsi yang melandasinya. Indikator

validitas model di dalam path analysis menggunakan uji ketepatan parameter (koefisien
2
determinasi total). Koefisien determinasi total (R ) diuji dengan uji statistik F, sedangkan uji

validitas koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung menggunakan nilai p dari

uji statistik t. Hipotesis utama yang dibangun dan diuji dalam penelitian ini adalah sebanyak

11 hipotesis, sedangkan hipotesis tambahan yang muncul sebagai akibat dilakukannya

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 33


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

analisis sensitivitas adalah sebanyak 12 hipotesis. Analisis akan dibagi menjadi dua tahap :

Analisis Jalur Sub-Struktur Pertama dan Analisis Jalur Sub-Struktur Kedua.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Seleksi Sampel

Dari proses pengumpulan data dan penyeleksian sampel, diperoleh sampel sebanyak

21 perusahaan, dengan jumlah observasi sebanyak 105 observasi yang terdiri dari data tahun

2001-2005. Hasil seleksi sampel beserta data perusahaan sampel dapat dilihat pada bagian

lampiran.

B. Hasil Path Diagram Dari Konseptualisasi Model

Hasil penyusunan diagram alur dari konseptualisasi model yang digambarkan dalam

rerangka teoritis dapat dilihat pada bagian lampiran. Dari hasil konseptualisasi model,

diperoleh rumusan hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam persamaan struktural berikut

Y = yx1 x1 + yx2 x2 + yx3 x3 + yx4 x4 + y 1

Z = zx1 x1 + zx2 x2 + zx3 x3 + zx4 x4 + zy y + z 2

C. Hasil Uji Asumsi Dasar Path Analysis

Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa pada variabel residual

persamaan model pertama berdistribusi normal. Pada persamaan model kedua dengan

menggunakan ERC periode bulanan, variabel residualnya berdistribusi tidak normal, artinya

data tidak tersebar merata dalam tiap nilainya. Untuk mendapatkan hasil pengujian yang

lebih baik dan valid, maka dilakukan pengobatan, yakni dengan cara melakukan transformasi

data mentah ke dalam bentuk logaritma natural dari tiap-tiap data yang akan diuji.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 34


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Data yang telah ditransformasi mengalami perubahan terkait dengan sebaran data, hal

itu ditunjukkan dengan nilai p value > 0,05. Transformasi data telah mengubah jumlah data

yang valid dan dapat diolah menjadi 26 observasi. Untuk seterusnya, ketika digunakan data

ERC periode bulanan, jumlah observasi yang diuji adalah sejumlah tersebut. Hasil uji

normalitas dan pengobatan model dapat dilihat pada bagian lampiran.

Dari hasil uji linieritas dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier dapat

disimpulkan bahwa model berbentuk linier. Hal itu karena, nilai c2 hitung < c2 tabel, maka

dapat disimpulkan bahwa model bersifat linier. Hasil uji linieritas dapat dilihat pada bagian

lampiran.

Uji asumsi ketiga yakni apakah model memenuhi model rekursif atau tidak. Dari hasil

pengujian disimpulkan bahwa model memenuhi model rekursif. Hal itu ditunjukkan dengan

nilai VIF yang tidak lebih besar dari 10. Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran.

Uji asumsi keempat tentang apakah variabel terikat (endogen) minimal dalam skala

ukur interval atau rasio telah terpenuhi. Sebagaimana kita ketahui bahwa variabel endogen

dalam penelitian ini, yakni manajemen laba dan kualitas laba, keduanya berskala rasio. Uji

asumsi kelima tentang validitas tidak dilakukan, sebab data yang dikumpulkan merupakan

data skunder yang diumumkan kepada publik oleh BEI dan BI dengan tanggung jawab

hukum yang jelas, karena itu validitas data seharusnya tidak perlu diragukan lagi. Dari

landasan teori dan pengembangan hipotesis diketahui bahwa seluruh hipotesis dan rancangan

model penelitian dibangun berdasarkan teori dan konsep yang relevan yang didukung bukti

empiris. Oleh karena itu, model yang dirancang adalah fit, sehingga asumsi dasar keenam

juga terpenuhi.

D. Hasil Analisis atas Pengujian Hipotesis

Model yang digunakan dalam pengujian hipotesis utama yang menguji pengaruh

terhadap kualitas laba (sub-struktur kedua) dalam penelitian ini adalah model pengukuran

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 35


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang menggunakan ERC periode harianmarket adjusted model. Hal itu karena setelah

dilakukan analisis perbandingan antara ketiga model pengukuran, model tersebut merupakan

model pengukuran terbaik, yakni model yang mempunyai R2 (R square) paling tinggi,

ketepatan perkiraan (ketepatan prediksi terhadap membuktikan hipotesis yang diajukan

dalam penelitian), serta proporsi tanda koefisien yang sesuai prediksi paling tinggi.

a. Analisis Jalur Sub-Struktur Pertama

(Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran: hasil perhitungan analisis jalur sub-

struktur 1)

1) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit, Kepemilikan

Manajerial, dan Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba

Hasil uji statistik F ditunjukkan oleh Tabel Anova Model 1. Dari tabel Anova diperoleh

nilai F untuk Model 1 sebesar 2,163 dengan nilai probabilitas (Sig.) = 0,080. Karena 0,10

> Sig., maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan pada taraf signifikansi 10%,

yakni komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan

kepemilikan institusional berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap

manajemen laba. Berdasarkan nilai R2 pada hasil Model Summary, kita ketahui besarnya

pengaruh simultan variabel-variabel tersebut terhadap manajemen laba adalah sebesar

0,079 = 7,9%.

2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba

Dari tabel Coefficient, kita ketahui bahwa 0,05 < nilai probabilitas Sig., sehingga

pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba adalah tidak signifikan. Pengaruh

variabel komposisi dewan komisaris (X1) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan

dengan koefisien jalur sebesar 0,132 (yx1). Secara statistik pengaruh variabel X1

terhadap Y adalah tidak signifikan, yakni = 0,132 x 0,132 x 100% = 1,74%.

3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 36


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Dari hasil analisis kita ketahui bahwa 0,05 < nilai probabilitas Sig. (0,05 < 0,442), artinya

pengaruh keberadaan komite audit terhadap manajemen laba adalah tidak signifikan.

Pengaruh variabel keberadaan komite audit (X2) terhadap manajemen laba (Y)

ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,079 (yx2). Besarnya pengaruh variabel X2

terhadap Y adalah sebesar = 0,079 x 0,079 x 100% = 0,62%.

4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba

Kepemilikan manajerial juga berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba. Hal

itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas < nilai Sig. (0,05 < 0,920). Pengaruh variabel

kepemilikan manjerial (X3) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan besarnya

koefisien jalur sebesar 0,010 (yx3). Dari situ diketahui besarnya pengaruh X3 terhadap Y

hanya sebesar = 0,010 x 0,010 x 100% = 0,01%.

5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba

Karena 0,05 > nilai probabilitas Sig. (0,05 > 0,011), maka kepemilikan institusional

berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh

variabel kepemilikan institusional (X4) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan

koefisien jalur sebesar 0,266 (yx4). Secara statistik besarnya pengaruh X4 terhadap Y

adalah sebesar = 0,266 x 0,266 x 100% = 7,08%.

b. Analisis Jalur Sub-Struktur Kedua

(Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran: hasil perhitungan analisis jalur sub-

struktur 2)

1) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit, Kepemilikan

Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba

Hasil uji F ditunjukkan oleh Tabel Anova Model 2 yang menggunakan ERC periode

harian market adjusted model. Dari tabel diperoleh nilai F sebesar 6,551 dengan nilai

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 37


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

probabilitas (Sig.) = 0,000. Karena 0,05 > Sig., berarti signifikan, artinya komposisi

dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan

institusional, dan manajemen laba berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap

kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Berdasar nilai R2 (R square), kita ketahui

besarnya pengaruh simultan variabel-variabel tersebut terhadap kualitas laba adalah

sebesar 0,249 = 24,9%.

2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Kualitas Laba

Dari tabel Coefficient diperoleh nilai probabilitas Sig. variabel komposisi dewan

komisaris sebesar 0,156. Karena 0,05 < Sig., maka pengaruh komposisi dewan komisaris

terhadap kualitas laba adalah tidak signifikan. Pengaruh langsung komposisi dewan

komisaris (X1) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -

0,139 (zx1). Besarnya pengaruh langsung (direct effect) variabel X1 terhadap Z adalah =

(-0,139) x (-0,139) x 100% = 1,93%. Besarnya pengaruh tidak langsung (indirect effect)

harus dihitung dengan mengalikan koefisien tidak langsungnya. Pengaruh total (total

effect) variabel X1 terhadap Z diperoleh dengan menjumlahkan pengaruh langsung dan

pengaruh tidak langsungnya, yakni = zx1 + (yx1 x zy) = (-0,139) + (0,132 x (-0,177)) =

-0,162. Besarnya pengaruh total variabel komposisi dewan komisaris terhadap kualitas

laba adalah sebesar = (-0,162) x (-0,162) x 100% = 2,62%.

3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Kualitas Laba

Nilai probabilitas Sig. < 0,05 (0,05 < 0,017), artinya keberadaan komite audit

berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh

langsung variabel keberadaan komite audit (X2) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan

dengan koefisien jalur sebesar 0,227 (zx2). Besarnya pengaruh langsung variabel X2

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 38


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

terhadap Z adalah sebesar = 0,227 x 0,227 x 100% = 5,15%. Sedangkan pengaruh total

variabel X2 terhadap Z = zx2 + (yx2 x zy) = 0,227 + (0,079 x (-0,177)) = 0,213.

Sehingga, besarnya pengaruh total variabel X2 terhadap Z adalah sebesar = 0,213 x 0,213

x 100% = 4,54%.

4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kualitas Laba

Karena 0,05 > Sig. (0,05 > 0,001), maka kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan

terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh langsung kepemilikan

manajerial (X3) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -

0,325 (zx3). Besarnya pengaruh langsung variabel X3 terhadap Z = (-0,325) x (-0,325) x

100% = 10,56%. Pengaruh total variabel X3 terhadap Z adalah = zx3 + (yx3 x zy) = (-

0,325) + (0,010 x (-0,177)) = -0,327. Sehingga, besarnya pengaruh total X3 terhadap Z

adalah sebesar = (-0,327) x (-0,327) x 100% = 10,69%.

5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kualitas Laba

Kepemilikan institusional (X4) berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba perusahaan

perbankan, hal itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas > nilai probabilitas Sig. (0,05 >

0,002). Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan pada tingkat signifikansi 5%.

Pengaruh langsung variabel kepemilikan institusional (X4) terhadap kualitas laba (Z)

ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -0,314. Besarnya pengaruh langsung X4

terhadap Z adalah sebesar (-0,314) x (-0,314) x 100% = 9,86%. Pengaruh total variabel

X4 terhadap Z = zx4 + (yx4 x zy) = (-0,314) + (0,266 x (-0,177)) = -0,361. Jadi,

besarnya pengaruh variabel kepemilikan institusional terhadap kualitas laba adalah = (-

0,361) x (-0,361) x 100% = 13,03%.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 39


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

6) Pengaruh Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba

Nilai Sig. variabel manajemen laba yang diperoleh dari tabel Coefficient adalah 0,055.

Karena 0,10 < nilai Sig., artinya manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap

kualitas laba pada tingkat signifikansi 10%. Pengaruh variabel manajemen laba (Y)

terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -0,177 (zy).

Besarnya pengaruh Y ke Z adalah = (-0,177) x (-0,177) x 100% = 3,13%.

E. Pembahasan Hasil Analisis

a. Pembahasan Hasil Analisis atas Pengujian Hipotesis Pertama

1) Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Secara Simultan Terhadap Manajemen

Laba

Hasil analisis menujukkan bahwa mekanisme corporate governance, dalam hal ini

komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan

kepemilikan institusional berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap

manajemen laba perusahaan perbankan. Pengaruhnya teruji dengan tingkat pengaruh

sangat lemah, yakni sebesar 7,9%. Artinya bahwa manajemen laba dijelaskan oleh

variabel-variabel tersebut sebesar 7,9%, sisanya sebesar 92,1% dijelaskan oleh faktor-

faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam penelitian. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Boediono (2005).

2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1a)

Hipotesis 1a: ditolak, karena komposisi dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh

signifikan terhadap besaran manajemen laba, besarnya pengaruh hanya 1,74%. Namun,

jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya positif, artinya semakin besar

keanggotaan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan akan semakin

meningkatkan tindakan manajemen laba. Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 40


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Beasley (1996), Song dan Windram (2000), Chtorou et al. (2001), Xie et al. (2003), serta

Nasution dan Setiawan (2007) yang menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris

berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Namun, konsisten dengan beberapa hasil

penelitian lain di Indonesia, diantaranya: Veronica dan Bachtiar (2004), Veronica dan

Utama (2006), serta Boediono (2005). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar

komposisi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan, kemungkinan

dapat menyebabkan semakin menurunnya kemampuan dewan dalam melakukan

pengawasan karena timbulnya masalah dalam koordinasi, komunikasi, dan pembuatan

keputusan.

Kondisi tersebut ditegaskan oleh hasil survey Asian Development Bank dalam Boediono

(2005) bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas

menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan yang seharusnya

menjadi tanggung jawabnya menjadi tidak efektif. Terdapat kemungkinan penempatan

atau penambahan anggota dewan dari luar perusahaan dilakukan sekedar untuk

memenuhi ketentuan formal, sementara pemegang saham mayoritas/pengendali

(founders) masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan tidak meningkat,

bahkan bisa menurun.

3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1b)

Hipotesis 1b: ditolak, keberadaan komite audit tidak terbukti berpengaruh signifikan

terhadap besaran manajemen laba, besarnya pengaruh hanya sebesar 0,62%. Namun, jika

dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya adalah positif, artinya adanya komite audit

pada perusahaan perbankan justru meningkatkan manajemen laba. Hal tersebut berarti

bahwa keberadaan komite audit sebagai salah satu bentuk penerapan mekanisme

corporate governance belum berjalan efektif sebagaimana mestinya, belum mampu

mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 41


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hal itu kemungkinan karena pembentukan komite audit dilakukan sebatas untuk

pemenuhan regulasi, belum benar-benar dimaksudkan untuk menegakkan atau

menerapkan prinsip GCG. Kehadiran komite audit dalam perusahaan perbankan mungkin

masih belum dapat berfungsi optimal, sebagaimana dulu kehadiran dewan audit yang

kemudian digantikan dengan direktur kepatuhan tidak membawa dampak positif bagi

fungsi pengawasan perusahaan perbankan (Effendi dalam Nasution, 2007). Berdasarkan

review penelitian sebelumnya, tampak bahwa hasil penelitian ini tidak sejalan dengan

hasil penelitian Chtorou et al. (2001) , Xie et al. (2003), Veronica dan Bachtiar (2004),

Wedari (2004). Akan tetapi hasil penelitian ini mendukung penelitian Beasley (1996),

Klein (2000), Veronica dan Utama (2006).

4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1c)

Hipotesis 1c: ditolak, larena kepemilikan manajerial tidak terbukti berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba, pengaruhnya sangat kecil, yakni hanya sebesar 0,01%. Hasil

temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Wedari (2004) dan Boediono (2005), namun

berlawanan dengan penelitian Warfield et al. (1995), Midiastuty dan Machfoedz (2003).

Jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya adalah positif. Artinya adanya

kepemilikan manajerial justru meningkatkan manajemen laba. Menurut judgment

peneliti, proporsi kepemilikan manajerial dalam kebanyakan perusahaan perbankan yang

sangat kecil menyebabkan tidak/belum efektif dan optimalnya kepemilikan manajerial

dalam menyalaraskan kepentingan agent dan principal, sehingga belum mampu

mengurangi diskresi manajerial.

5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1d)

Hipotesis 1d: diterima, kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan

terhadap besaran manajemen laba. Pengaruhnya adalah sebesar 7,08%. Namun, jika

dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah positif. Hal itu berarti bahwa

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 42


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

semakin tinggi tingkat kepemilikan saham oleh institusi, maka semakin tinggi besaran

manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Midastuty dan

Machfoedz (2003) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh

negatif terhadap manajemen laba, namun sejalan dengan hasil penelitian Boediono

(2005). Hal itu kemungkinan karena emiten yang dianalisis (perusahaan perbankan

Indonesia) kebanyakan memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada suatu

institusi yang biasanya memiliki saham yang cukup besar yang mencerminkan

kekuasaan, sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi terhadap jalannya

perusahaan, sehingga manajer terpaksa melakukan tindakan manajemen laba untuk

memenuhi keinginan pihak tertentu.

b. Pembahasan Hasil Analisis atas Pengujian Hipotesis Kedua

1) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit, Kepemilikan

Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba

Hasil analisis menunjukkan komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit,

kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan manajemen laba berpengaruh

secara simultan dan signifikan terhadap kualitas laba. Jika besarnya pengaruh tersebut

diinteprestasikan lebih lanjut berdasarkan ukuran kuat lemahnya hubungan pengaruh,

maka besarnya pengaruh adalah cukup kuat, yakni sebesar 24,9%. Hal tersebut sejalan

dengan hasil penelitian yang dilakukan Midiastuty dan Machfoedz (2003) dan Boediono

(2005).

2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2a)

Hipotesis 2a: ditolak., komposisi dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh signifikan

terhadap kualitas laba perusahaan (ERC), pengaruh langsungnya tidak signifikan yakni

hanya sebesar 1,93%. Besarnya pengaruh total variabel komposisi dewan komisaris

terhadap kualitas laba adalah sebesar 2,62%. Jika ditinjau dari kuat-lemahnya hubungan,

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 43


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

maka pengaruhnya adalah sangat lemah. Artinya dewan komisaris sebagai salah satu

mekanisme corporate governance dianggap belum mampu meningkatkan kualitas laba.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Vafeas (2000) Boediono (2005), dan Setiawan

(2006).

3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2b)

Hipotesis 2b : diterima, keberadaan komite audit terbukti berpengaruh signifikan

terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh langsung keberadaan komite audit terhadap

kualitas laba adalah sebesar 5,15%, sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 4,54%.

Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah positif, artinya dengan

adanya komite audit, perusahaan dapat meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan

perusahaan. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa keberadaan komite audit

meningkatkan kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan, sehingga laba yang

dilaporkan oleh perusahaan yang membentuk komite audit dinilai memiliki kualitas yang

baik. Hasil tersebut sejalan dengan temuan Anderson et al. (2003), Suaryana (2005), dan

Setiawan (2006).

4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2c)

Hipotesis 2c: diterima, yakni kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap

kualitas laba. Besarnya pengaruh langsung variabel kepemilikan manajerial terhadap

kualitas laba adalah cukup kuat, yakni sebesar 10,56%, sedangkan pengaruh totalnya

adalah sebesar 10,69%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhya adalah

negatif. Artinya semakin tinggi kepemilikan manajerial, maka kualitas laba akan

menurun. Temuan ini berlawanan dengan hasil penelitian Warfield (1995), Midiastuty

dan Machfoedz (2003), dan Boediono (2005) yang menunjukkan kepemilikan manajerial

berhubungan positif dengan kualitas laba. Hal itu mungkin karena adanya kepemilikan

manajerial justru menimbulkan semacam mosi tidak percaya, keraguan bagi para

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 44


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pelaku pasar/investor di Indonesia pada perusahaan, mereka beranggapan bahwa pihak

manajerial tentu cenderung bertindak mementingkan perusahaan dibanding pemegang

saham, sehingga kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan menurun.

5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2d)

Hipotesis 2d: diterima, kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan

terhadap kualitas laba perusahaan. Pengaruhnya adalah negatif, artinya semakin tinggi

kepemilikan institusi dalam perusahaan, kualitas laba yang dilaporkan semakin menurun.

Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kualitas laba adalah sebesar 9,86%,

sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 13,03%. Temuan ini berlawanan dengan

hasil penelitian Midiastuty dan Mahfoedz (2003) dan Boediono (2005) yang menemukan

bahwa kepemilikan institusional berdampak positif terhadap kualitas laba. Hal tersebut

karena adanya kepemilikan institusional pada perusahaan perbankan di Indonesia belum

mampu mengurangi tindakan manipulasi laba pada perusahaan, pada akhirnya juga tidak

akan meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan perusahaan.

6) Pengaruh Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2e)

Hipotesis 2e diterima, manajemen laba terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas

laba pada tingkat signifikansi 10%. Pengaruh manajemen laba terhadap kualitas laba

adalah sebesar 3,13%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah

negatif. Hal itu berarti investor perusahaan perbankan dapat mendeteksi indikasi

manajemen laba, investor perusahaan perbankan biasanya merupakan investor institusi

yang tentunya shopisticated (canggih), sehingga bereaksi negatif ketika terdapat indikasi

perusahaan melakukan manajemen laba. Hasil penelitian ini berlawanan dengan

penelitian Pudjiastuti (2006).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 45


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

F. Hasil Analisis Sensitivitas

Pada penelitian ini digunakan 3 macam proksi kualitas laba, yakni ERC periode

bulanan dan harian market model dan market adjusted model untuk menguji sensitivitas dan

mengetahui apakah model dapat digunakan dalam berbagai keadaan, dalam pengujian

hipotesis yang terkait dengan pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur 2), Dari hasil

analisis sensitivitas, diketahui bahwa hasil uji pengaruh simultan corporate governance dan

manajemen laba terhadap kualitas laba (pengujian sub-struktur 2) dengan menggunakan ERC

periode bulanan maupun ERC periode harianmarket model konsisten dengan pengujian

hipotesis utama.

Hasil pengujian pengaruh individual/parsial yang menggunakan data ERC periode

harianmarket model umumnya konsisten dengan pengujian hipotesis utama. Perbedaannya,

keberadaan komite audit dan manajemen laba berpengaruh tidak signifikan terhadap kualitas

laba yang diproksikan dengan ERC periode harianmarket model, namun jika dilihat dari

pola, arah hubungan, hasilnya konsisten dengan hasil pengujian hipotesis utama.

Untuk hasil pengujian pengaruh individual/parsial yang menggunakan ERC periode

bulanan umumnya agak kurang konsisten dengan pengujian hipotesis utama. Hanya

kepemilikan institusional yang berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Jika dilihat dari

pola, arah hubungan, hasilnya juga tidak konsisten dengan hasil pengujian hipotesis utama.

Ketidakkonsistenan tersbut kemungkinan besar disebabkan karena data-data bulanan kurang

dapat memberikan gambaran serta merepresentasikan keadaan dan fluktuasi/perubahan

keadaan perusahaan yang sesungguhnya secara akurat. (NB: Hasil analisis sensitivitas secara

lengkap ada pada penulis)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 46


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Mekanisme corporate governance, dalam hal ini komposisi dewan komisaris,

keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terbukti

secara simultan dan signifikan berpengaruh terhadap manajemen laba. Pengaruh mekanisme

corporate governance terhadap manjemen laba teruji dengan tingkat pengaruh yang lemah.

Secara individual, hanya variabel kepemilikan institusional yang berpengaruh signifikan

terhadap besaran manajemen laba. Kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba, namun dengan arah positif, artinya semakin tinggi tingkat

kepemilikan institusional, maka semakin tinggi manajemen laba. Sedangkan ketiga variabel

mekanisme corporate governance lainnya, yakni komposisi dewan komisaris, keberadaan

komite audit, dan kepemilikan manajerial tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap

manajemen laba yang dilakukan perusahaan.

Mekanisme corporate governance dan manajemen laba terbukti berpengaruh secara

simultan dan signifikan terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh mekanisme corporate

governance dan manajemen laba teruji dengan tingkat pengaruh yang cukup kuat. Secara

individual, variabel keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan

institusional, dan manajemen laba masing-masing berpengaruh secara signifikan terhadap

kualitas laba, hanya variabel komposisi dewan komisaris yang tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap kualitas laba. Secara terperinci, pengaruh masing-masing mekanisme

corporate governance dan manajemen laba secara individual/parsial terhadap kualitas laba

adalah sebagai berikut:

a. Komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas

laba.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 47


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

b. Pengaruh keberadaan komite audit terhadap kualitas laba perusahaan adalah

signifikan dengan arah positif. Pengaruhnya terbukti, namun dengan tingkat

pengaruh yang lemah.

c. Kepemilikan manajerial terbukti berpengaruh signifikan dengan arah negatif

terhadap kualitas laba perusahaan. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap

kualitas laba adalah cukup kuat.

d. Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan dengan arah negatif terhadap

kualitas laba. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kualitas laba adalah

cukup kuat.

e. Manajemen laba berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap kualitas laba,

tetapi dengan tingkat pengaruh lemah.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial,

kepemilikan institusional, dan manajemen laba merupakan mekanisme yang turut

mempengaruhi respon yang dilakukan pasar serta berpengaruh terhadap kredibilitas dan

persepsi kualitas laba perusahaan di mata investor.

B. Keterbatasan

1. Hasil penelitian memiliki keterbatasan, karena jumlah sampel yang diperoleh dalam

penelitian ini cukup kecil, selain itu riset di Indonesia terbatas, hanya bisa dilakukan pada

perusahaan yang listed di BEI atau go public. Keterbatasan sampel dalam penelitian ini

disebabkan karena alasan jumlah perusahaan perbankan yang go public, yang bisa

dijadikan sampel sangat sedikit. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan

perbankan di Indonesia, dari sekitar 141 bank yang terdaftar pada tahun 2002, hanya 24

bank (17%) yang telah go public, itupun beberapa diantaranya mengalami delisting pada

periode pengamatan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 48


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2. Penggunaan proxy corporate governance yang tidak menangkap mekanisme corporate

governance sebagai satu kesatuan, karena corporate governance tidak diukur melalui

indeks tertentu, melainkan melalui variabel-variabel yang terpisah. Hal itu dikarenalan

terdapat pula keterbatasan mengenai data indeks corporate governance sebagai instrumen

pengukuran penerapan corporate governance di Indonesia.

3. Proxy kepemilikan institusional dalam penelitian ini mencakup seluruh investor yang

bersifat institusi, tidak memisahkan antara kepemilikan institusi pemerintah, swasta,

asing, maupun institusi keuangan. Hal tersebut karena terbatasnya pengungkapan data

detail mengenai kepemilikan perusahaan.

4. Untuk proxy komite audit dan dewan komisaris, masing-masing hanya digunakan satu

karakteristik.

5. Ketidakkonsistenan data-data yang tercantum pada laporan keuangan tahunan auditan

perusahaan yang dipublikasikan BEI dan BI, ketidakonsistenan data dari tahun ke tahun.

C. Saran

1. Perlu direkomendasikan kepada bank-bank untuk melakukan go public guna

meningkatkan market for corporate control, mengingat masih sangat sedikit perusahaan

perbankan yang go public.

2. Hasil penelitian akan lebih bisa merepresentasikan pengaruh mekanisme corporate

governance terhadap manajemen laba maupun kualitas laba, jika mekanisme tersebut

diukur sebagai suatu kesatuan melalui indeks tertentu. Sehingga perlu untuk

dikembangkan suatu instrumen pengukuran guna menghitung indeks corporate

governance perusahaan publik di Indonesia.

3. Penelitian selanjutnya dapat mencoba mengidentifikasi karakteristik lain dari dewan

komisaris dan komite audit, seperti ukuran/jumlah, kompetensi, latar belakang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 49


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pendidikan, pengalaman, dan sebagainya untuk digunakan sebagai proxy corporate

governance terkait dewan komisaris dan komite audit perusahaan.

4. Meski dalam penelitian telah digunakan model pengukuran manajemen laba yang dinilai

lebih akurat, yakni model akrual khusus, per indusri, peneliti lain dapat mengembangkan

model pengukuran yang lebih baik lagi, mengingat banyak sekali model lain untuk

menghitung discretionary accrual sebagai proksi dari manajemen laba, misalnya cross-

sectional abnormal accrual model (Peasnell), absolute discretionary accrual (Rajgofal et

al.), Healy Model, De Angelo Model, Industry Adjusted Model, dan sebagainya.

5. Untuk keterbatasan yang berupa keberadaan pengungkapan data dan ketidakkonsistenan

data, peneliti berharap akan adanya pengungkapan yang lebih detail, lengkap dan

perbaikan mengenai validitas dan kekonsistenan, baik terkait dengan data-data

perusahaan maupun laporan keuangan auditan perusahaaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 50


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. (2004). Good Corporate Governance Practice in Indonesia and Malaysia.
Manajemen Usahawan No. 10 Tahun XXXIII, Oktober.

Alijoyo, Antonius, Elmar Bouma, TB. M. Nazmudin Sutawinangun, dan M Doddy


Kusadrianto. (2004). Review of Corporate Governance in Asia: Corporate Governance
in Indonesia. Forum for Corporate Governance in Indonesia.

Anderson, Kirsten L., Daniel N. Deli, and Stuart L. Gillan. (2003). Boards of Directors,
Audit Committees, and the Information Content of Earnings Working paper. Available
on-line at http://www.lerner.udel.edu/ccg.

Assih, Prihat dan M. Gudono. (2000). Hubungan Tindakan Perataan Laba dan Reaksi Pasar
atas Pengumuman Informasi Laba Perusa.haan yang Terdaftar di BEJ. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No.1, Januari: 35-53.

Bank Indonesia. (1998). Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/148/KEP/DIR


tentang Pembentukan Penyisihan Pengkapusan Aktiva Produktif.

________. (2001-2006). Direktori Perbankan Indonesia.

Beasley, Mark S., (1996). An Empirical Analysis of The Relation Between The Board of
Director Composition and Financial Statement Fraud. The Accounting Review, Vol. 71,
No. 4, October, p. 443-465.

Beaver, William H. and Ellen E. Engel. (1996). Discretionary Behavior with Respect to
Allowances for Loan Losses and Behavior of Security Prices. Journal of Accounting and
Economics 22, p. 177-206.

Black, Bernard S., Hasung Jang, and Woochan Kim. (2003). Does Corporate Governance
Affect Firm Value? Evidence from Korea. Working Paper. Available on-line at
www.ssrn.com.

Boediono, Gideon SB., (2005). Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Paper
presented at Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 51


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Bradburry, M. E., Y. T. Mak., and S.M. Tan. (2004). Board Characteristics, Audit
Committee Characteristics, and Abnormal Accruals. Available on-line at
www.ssrn.com.

Bursa Efek Indonesia. (2001). Kep-315/BEI/07-2001. Ketentuan Umum Pencatatan Efek


Bersifat Ekuitas di Bursa.

Bursa Efek Indonesia. (2001). Kep-339/BEI/07-2001. Ketentuan Umum Pencatatan Efek


Bersifat Ekuitas di Bursa.

Bursa Efek Indonesia. (2001). SE-008/BEI/12-2001. Keanggotaan Komite Audit.

Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean Bedard, and Lucie Courteau. (2001). Corporate
Governance and Earnings Management. Available on-line at www.ssrn.com.

Darmawati, Deni, Khomsiyah, dan Rika Gelar Rahayu. (2004). Hubungan Corporate
Governance dan Kinerja Perusahaan. Paper presented at Simposium Nasional
Akuntansi 7, Denpasar.

Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan, and Amy P. Sweeney. (1995). Detecting Earnings
Management. The Accounting Review, Vol. 70, No. 2, p. 193-225.

Djatmiko, Harmanto Edy. (2001). Saatnya Menjadi Perusahaan Terpercaya. SWA


No.19/X7/20 September-30 Oktober.

Financial Accounting Standards Boards. (1980). Statement of Financial Accounting No.1:


Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises. Stanford, Connecticut.

Faisal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate
Governance. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.

_______. (2005). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate
Governance. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.8, No.2, Mei: 175-190.

Febrianto, Rahmat. 2005. The Effect of Ownership Concentration on the Earnings Quality:
Evidence from Indonesian Companies. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 8 No. 2,
Mei: 105-120.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 52


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2003). Indonesian Company Law. Available
on-line at www. fcgi.org.id.

Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi 3.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

_______ dan Fuad. (2005). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi
dengan Program Lisrel 8.54. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gujarati, Damodar. (2003). Basic Econometrics. International Edition. New York: MC.
Graw-Hill Inc.

Gumanti, Tatang Ary. (2003). Motivasi di balik Earnings Management. Manajemen


Usahawan No. 12 Tahun XXXII, Desember.

_______. (2006). Manajemen Laba: Apa dan Mengapa. Kajian Akuntansi, Vol. 1, No. 1,
Juni: 1-13.
Gunarsih, Tri dan Bambang Hartadi. Pengaruh Pengumuman Peningkatan Komisaris
Independen terhadap Return Saham di Bursa Efek Jakarta. Jurnal riset Akuntansi,
Manajemen, dan Ekonomi, Vol. 2, Agustus: 221-239.

Hadad, Muliaman D, Agus Sugiarto, Wini Purwanti, M. Jony Hermanto, dan Bambang
Arianto. (2003). Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank di Indonesia. Available
on-line at www.bi.go.id.

Harahap, Khairunnisa. (2004). Asosiasi antara Praktik Perataan Laba dengan Kofisien
Respon Laba. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar

Hartono, Jogiyanto. (2000). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi 2. Yogyakarta:
BPFE.

_______. (2004). Metodologi Penelitian: Pengalaman dan Salah Kaprah. Yogyakarta:


BPFE.

Haryono, Slamet. (2005). Struktur Kepemilikan dalam Bingkai Teori Keagenan. Jurnal
Akuntansi dan Bisnis, Vol . 5 (1): 63-71.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2007). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 53


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. (1976). Theory of Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Available on-line at www.ssrn.com.

Joh, Sung Wook. (2003). Corporate Governance and Firm Profitability: Evidence from Korea
before Economic Crises. Journal of Financial Economics (68): 267-273.

Kalihatu, Thomas S. (2006). Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia.


Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.8, No.1, Maret: 1-9.

Klein, April. (2000). Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings
Management. Available on-line at www.ssrn.com.

Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate


Governance Indonesia.

Midiastuty, Pratana Puspa dan Masud Machfoedz. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme
Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Paper presented at Simposium
Nasional Akuntansi 6, Surabaya.

Mitton, Todd. (2002). A Cross-Firm Analysis of the Impact of Corporate Governance on the
East Asian Financial Crisis. Available on-line at www.ssrn.com.

Nasution, Marihot. Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba di Industri


Perbankan Indonesia. Unpublished skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2007.
_______ dan Setiawan. (2007). Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba
di Industri Perbankan Indonesia. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 10,
Makasar.

Organisation for Economic Co-operation and Development. The OECD Prinnciples of


Corporate Governance. Available on-line at www.oecd.org/daf/governance. pinciples.

Poeradisastra, Teguh. (2005). 10 Peringkat Perusahaan Terpercaya 2005 (GCG). SWA No.
09/XXI/ 28, April.

Pudjiastuti, Widanarni, dan Aida Ainul Mardiyah. (2006). The Influence of Earnings
Management on Earnings Quality. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 9,
Padang.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 54


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Rahmawati. Pengaruh Asimetri Informasi, Regulasi Perbankan, dan Ukuran Perusahaan


pada Manajemen Laba dengan Model Akrual Khusus Perbankan. Unpublished doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada. 2005.

_______. (2006). Model Penelitian Manajemen Laba pada Industri Perbankan Publik di
Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perbankan. Paper presented at Seminar
Bulanan Jurusan Akuntansi FE-UNS.
_______ dan Zaki Baridwan. (2006). Pengaruh Asimetri Informasi, Regulasi Perbankan, dan
Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba dengan Model Akrual Khusus Perbankan.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 6, No. 2, Februari : 139-150.

Riduwan dan Engkos Ahmad Kuncoro. (2007). Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis
Jalur (Path Analysis). Bandung: Alfabeta.

Salim, Imbuh. (2005). Komite Audit : Peran yang Diharapkan dan Sejauh Mana
Eksistensinya. Manajemen Usahawan No. 11 Tahun XXXIV, November.

Sandra, Dessy dan Indra Wijaya Kusuma. (2004). Reaksi Pasar terhadap Tindakan Perataan
Laba dengan Kualitas Auditor dan Kepemilikan Manajerial sebagai Variabel
Pemoderasi. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.

Santoso, Singgih. (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Prametrik. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Scott, William. R. (2003). Financial Accounting Theory. 3rd Edition. Ontario: Prentice-Hall
Canada Inc.

Sekaran, Uma. (2003). Research Methods for Business: A skill Building Approach Fourth
Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Setiawan, Doddy. (2006). The Comparisons of Corporate Governance Practice in Indonesia,


Malaysia, and Singapore. Project Paper of Asia Europe Institute University of Malaya.

Setiawan, Wawan. (2006). Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap


Kualitas Laba. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 6, No. 2, Agustus: 163-172.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 55


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Setiawati, Lilis dan Ainun Naim. (2000). Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol.15, No.4, 424-441.

________. (2001). Bank Health Evaluation by Bank Indonesia and Earning Management in
Banking Industry. Gadjah Mada International Journal of Business, May, Vol. 3, No.2,
p. 159-176.

Song, Jihe, and Brian Windram. (2000). Benchmarking Audit Committee in The UK. Working
Paper from Napier University.

Suaryana, Agung. (2005). Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Paper presented
at Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.

Sugiarta, I Putu. (2004). Earnings Management and Information Content of Audit Committee
Announcement. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.

Suseno dan Piter Abdullah. (2004). Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia:
Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)-Bank
Indonesia.

Syakhroza, Ahmad. (2002). Mekanisme Pengendalian Internal dalam Melakukan Assessment


Pelaksanaan Good Corporate Governance. Manajemen Usahawan No. 08 Tahun XXXI,
Agustus: 41-52.

_______. (2003). Teori Corporate Governance. Manajemen Usahawan No. 08 Tahun


XXXII, Agustus :19-25.

Sutrisno. (2002). Studi Manajemen Laba: Evaluasi Pandangan Profesi Akuntansi,


Pembentukan dan Motivasinya. Kompak, No. 5, Mei: 158-179.

Vafeas, Nikos. (2000). Board Structure and the informativeness of earnings. Journal of
Accounting and PublicPolicy, Vol.19, p. 139-160.

Veronica, Silvia, dan Yanivi S Bachtiar. (2004). Good Corporate Governance Information
Asymetry and Earnings Management. Paper presented at Simposium Nasional
Akuntansi 7, Denpasar.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 56


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Veronica, Silvia, dan Siddharta Utama. (2006). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran
Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings
Management). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.9, No.3, September, 307-326.

Wahidahwati. (2002). Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional pada


Kebijakan Hutang Perusahaan: Sebuah Perspektif Theory Agency. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia, Vol. 5, No. 1, Januari: 1-16.

Wahyudi, Untung dan Hartini Prasetyaning Pawestri. Implikasi Struktur Kepemilikan


terhadap Nilai Perusahaan: dengan Keputusan Keuangan sebagai Variabel Intervening.
Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang.

Warfield, T.D., J.J. Wild, and K.L. Wild. (1995). Managerial Ownership, Accounting
Choices and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics 20, p.
61-91.

Watts, Ross L. And Zimmerman, Jerold L. (1986). Positive Accounting Theory. Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Wedari, Linda Kusumaning. (2004). Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan
Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajamen Laba. Paper presented at
Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.

Xie, Biao, Wallace N Davidson III, and Peter J. Dadalt. (2003). Earnings Management and
Corporate Governance: The Role of The Board and The Audit Committee. Journal of
Corporate Finance 9: 295-316.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV01- 57


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN

Doddy Setiawan
Universitas Sebelas Maret

Abstract

This research aims at examining the impact of corporate governance on the dividend
policy. The authors use Transparency and Disclosure Index (TDI) as a proxy of
corporate governance. There are two theories about the relation between corporate
governance and dividend policy: outcome theory and substitution theory. Outcome
theory argues the positive relation between corporate governance and dividend
policy while substitution theory argues the negative relation between corporate
governance and dividend policy. The samples of this research 248 firms from
Indonesian Stock Exchange during 2004-2006. The authors find that TDI Indonesian
firms are low, only 32% from the maximum scores. This score mean that Indonesian
corporate governance still low. The results show that there is negative relation
between corporate governance and dividend policy in Indonesia. Thus, the
Indonesian companies pay more dividends when corporate governance practice is
low.

Keywords: corporate governance, dividend policy, substitution theory

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

A. LATAR BELAKANG
Penelitian ini membahas isu pengaruh corporate governance terhadap
kebijakan dividen. Mitton (2004) berargumen bahwa isu mengenai dividen
merupakan hal yang penting bagi investor, terutama investor yang berada di negara
yang lemah pelaksanaan corporate governance. Berdasarkan teori agensi (Jensen
dan Meckling, 1976), terjadi konflik antara pemilik dan manajemen karena mereka
bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Di negara yang sedang berkembang
atau di negara yang struktur perusahaannya terkonsentrasi pada pemegang saham
utama, konflik agensi yang terjadi adalah antara pemiliki saham mayoritas dan
pemilik saham minoritas (Claessens, Djankov, and Lang, 2000; La Porta et al, 2000;
Tabalujan 2000, 2002; Nam and Nam, 2004). Pemilik saham mayoritas cenderung
melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri, namun merugikan
kepentingan pemilik saham minoritas. Salah satu mekanisme untuk melindungi hak
pemegang saham minoritas adalah dengan pelaksanaan mekanisme corporate
governance yang memadai.
La Porta et al (2000) menjelaskan keterkaitan antara teori agensi, keputusan
dividen dan corporate governance. La Porta et al (2000) dan Mitton (2004)
berargumen bahwa pemilik saham minoritas lebih menyukai pembagian dividen
daripada menginvestasikan kembali laba yang diperoleh perusahaan. La Porta et al
(2000) menyatakan ada dua teori yang menunjukkan hubungan antara tingkat
pelaksanaan corporate governance dan pembagian dividen: outcome dan substitusi.
Teori outcome berargumen bahwa pelaksanaan corporate governance yang baik
akan berimbas pada kesejahteraan bagi pemegang saham. Semakin baik
pelaksanaan corporate governance maka semakin tinggi kesejahteraan pemilik
saham. Ada hubungan positif antara pelaksanaan corporate governance dan
kesejahteraan pemilik saham. Penelitian yang dilakukan oleh La Porta et al (2000),
Mitton (2004), Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) mengkonfirmasi teori
outcome. Sedangkan teori substitusi menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki
praktik corporate governance yang buruk akan berusaha memperbaiki citranya
dengan memberikan dividen kepada pemegang saham. Ada hubungan negative
antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Penelitian Jiraporn dan Ning (2006) dan Reneboog dan Szilagzy (2007)
mengkonfirmasi teori substitusi.
Penelitian mengenai kebijakan dividen dan corporate governance di
Indonesia menarik untuk dilakukan, karena Indonesia saat ini sangat gencar untuk
menerapkan prinsip good corporate governance di tingkat perusahaan. Hal ini
dilakukan karena salah satu penyebab terjadinya krisis moneter di Indonesia pada
tahun 1997 adalah lemahnya corporate governance (Capulong et al., 2001;
Simandjuntak, 2001, Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2004; Nam and
Nam, 2004), sehingga pemerintah berusaha meningkatkan kualitas pelaksanaan
corporate governance. Akan tetapi, Tabalujan (2000, 2002) dan Setiawan (2006)
menunjukkan bahwa peraturan tentang corporate governance di Indonesia masih
banyak kelemahannya. Oleh karena itu penelitian ini menguji pengaruh corporate
governance terhadap kebijakan dividen di Indonesia. Bagaimanakah hubungan
antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen di Indonesia?
Apakah ada berhubungan positif atau negative? Dengan kata lain, apakah teori
outcome atau teori substitusi yang berlaku di Indonesia?
Penelitian mengenai corporate governance di Indonesia sudah banyak
dilakukan, misalnya: Midiastuty dan Machfoedz (2003), Veronica dan Bachtiar
(2004), Wedari (2004), dan Wilopo (2004), Boediono (2005), Veronica dan Utama
(2005), Sugiarta (2004) dan Nasution dan Setiawan (2007). Penelitian mereka
membahas tentang peran corporate governance dalam rangka mengurangi earnings
management di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawati et al (2005)
menguji pengaruh corporate governace terhadap kinerja perusahaan. Penelitian
yang menguji corporate governance terhadap kebijakan dividen di Indonesia masih
jarang dilakukan. Mahadwartha (2003) menguji kebijakan dividen terhadap
kepemilikan manajerial pada tahun selanjuntya. Hasilnya menunjukkan bahwa ada
hubungan negatif antara kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial. Semakin
rendah dividen yang dibayarkan, semakin tinggi kepemilikan manajerial pada tahun
selanjutnya. Dengan demikian Mahadwartha (2003) mengkonfirmasi teori substitusi
berlaku di Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan Mahadwartha (2003) dalam
beberapa hal. Yang utama, penelitian ini menggunakan pengukuran corporate
governance yang berbeda dengan Mahadwartha (2003). Penelitian ini

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menggunakan Transparency and Disclosure Index (TDI) yang diadopsi dari


Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007). TDI merefleksikan praktik corporate
governance di suatu perusahaan. TDI terdiri dari 3 subindex: (1) struktur dan
prosedur dewan komisaris, (2) pengungkapan, (3) pemegang saham. Pemisahan
komponen TDI kedalam 3 subindex ini akan lebih memperdalam pembahasan
tentang komponen corporate governance. Penelitian ini merupakan penelitian
pertama di Indonesia yang menggunakan TDI sebagai proksi mekanisme corporate
governance, sehingga diharapkan akan memberikan wawasan yang lebih banyak
dalam mengukur corporate governance. Perbedaan berikutnya, penelitian ini
menggunakan periode penelitian tahun 2004 2006, di mana corporate governance
sedang gencar-gencarnya diterapkan di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini
akan menggunakan lingkungan yang lebih tepat dalam menguji dampak corporate
governance dibandingkan Mahadwartha (2003). Selain itu, periode penelitian ini
adalah periode setelah krisis moneter, sedangkan penelitian Mahadwartha (2003)
pada periode sebelum dan selama krisis moneter, sehingga penelitian ini akan
menunjukkan pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen pada
periode setelah krisis moneter. Penelitian ini juga akan menggunakan variabel
ukuran perusahaan, pertumbuhan, dan profitabilitas. Penelitian yang dilakukan oleh
Mitton (2004), Denis dan Osobov (2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera
(2007), serta Jiraporn dan Ning (2006) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan
berpengaruh positif terhadap kebijaksanaan dividen. Sedangkan penelitian
mengenai pertumbuhan, menunjukkan bahwa pertumbuhan berpengaruh negatif
terhadap dividen (Mitton, 2004, Denis dan Osobov, 2007, dan Kowalewski, Stetsyuk,
dan Talavera, 2007, serta Jiraporn dan Ning, 2006). Sedangkan profitabilitas
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap kebijakan dividen Mitton (2004), Denis
dan Osobov (2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007), serta Jiraporn
dan Ning (2006).

B. TELAAH PENELITIAN TERDAHULU DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


B.1. Pengaruh Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen
Penelitian mengenai corporate governance memang akhir-akhir ini banyak
dilakukan mengingat pentingnya pengelolaan perusahaan yang baik, khususnya

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan publik karena berdampak pada keunggulan kompetitif perusahaan di


mata masyarakat. Kepercayaan investor terhadap perusahaan publik akan
tercermin pada kinerja dan laporan keuangan yang dipublikasikan. Kecenderungan
manajamen yang mempunyai kepentingan terhadap penilaian kinerja (earning
management)membuat masyarakat menjadi meragukan informasi laba yang
dipublikasikan perusahaan. Oleh karena itu, menganggapi perlunya good corporate
governance, maka perusahaan perlu memiliki pihak yang independen sehingga bisa
mengawasi pengelolaan perusahaan.
Pemerintah sebagai badan regulator pun turut menyikapi hal ini dengan
mengeluarkan peraturan pemerintah melalui Bapepam dan BEJ. Pemerintah
mengeluarkan peraturan berkaitan dengan kewajiban perusahaan memiliki dan
mengangkat dewan komisaris dan komite audit. Melalui Kep-45/PM/2004, maka
Bapepam memberikan aturan mengenai syarat dan tugas dewan komisaris (board
of director). Dewan komisaris secara umum bertugas dan bertanggung jawab
terhadap pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan.
Hal ini penting mengingat adanya kepentingan diri para manajer dalam pengelolaan
laba (earning management) sehingga berdampak pada kepercayaan investor.
Penelitian mengenai pengaruh struktur dewan komisaris terhadap nilai
perusahaan telah banyak dilakukan di luar negeri. Prevost, Rao dan Hossain (2002)
menguji efektifitas komisaris independen di Selandia Baru. Sampel penelitian terdiri
dari 284 pengamatan selama periode 1992-1995. Peneliti menggunakan metode
survey untuk mengetahui komposisi dewan komisaris, mekanisme corporate
governance dan laporan keuangan perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa komisaris independen merupakan perangkat yang efektif dalam mengatasi
agency problem antara manajer dan investor. Komisaris independen berhubungan
positif dengan profitabilitas perusahaan. Hossain, Prevost dan Rao (2001) menguji
dampak penerapan peraturan yang mensyaratkan pelaksanaan corporate
governance di Selandia Baru yang dikeluarkan pada tahun 1993 terhadap hubungan
antara komisaris independen dan kinerja perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa
komisaris independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan yang diukur
dengan tobin q.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Vafeas (1999) menguji mekanisme dewan komisaris dalam menghadapi


kondisi perusahaan yang mengalami penurunan. Hasilnya menunjukkan dewan
komisaris akan bertemu lebih sering jika perusahaan sedang mengalami penurunan
kinerja. Pada tahun berikutnya setelah dewan komisaris sering bertemu, ternyata
ada peningkatan kinerja perusahaan. Dewan komisaris ternyata efektif dalam
mengawasi kinerja perusahaan.
Penelitian mengenai efektifitas corporate governance di Indonesia juga telah
banyak dilakukan. Nasution dan Setiawan (2007) menguji pengaruh mekanisme
corporate governance terhadap praktik earnings management di perusahaan
perbankan di Indonesia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa mekanisme
corporate governance berpengaruh positif, artinya semakin baik praktik corporate
governance maka semakin berkurang praktik earnings management perusahaan
perbankan. Mekanisme corporate governance mampu melindungi kepentingan
investor.
Salah satu hak investor yang menanamkan modalnya terhadap perusahaan
adalah menerima dividen. Teori agency yang dikembangkan oleh Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa dalam pengelolaan perusahaan, manajemen
cenderung akan mementingkan diri mereka sendiri. Tindakan ini akan merugikan
pemilik saham. Ada konflik kepentingan antara pemilik dan manajemen. Akan tetapi
di Asia atau negara yang mempunyai struktur kepemilikan perusahaan yang
terkonsentrasi, suatu perusahaan biasanya dikuasai oleh pemegang saham
mayoritas yang biasanya adalah perusahaan keluarga, maka konflik kepentingan
yang terjadi adalah konflik antara pemegang saham mayoritas dan pemegang
saham minoritas. Pemegang saham mayoritas mempunyai kemampuan untuk
mengambil keputusan strategis seperti: penunjukan CEO, penunjukan anggota
dewan direksi dan dewan komisaris. Tindakan yang diambil oleh pemegang saham
mayoritas cenderung akan mengeksploitasi kepentingan pemegang saham
minoritas. Atau dengan kata lain, pemegang saham mayoritas mengambil tindakan
yang menguntungkan mereka tetapi merugikan kepentingan pemegang saham
minoritas (disebut dengan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas).
Untuk melindungi hak-hak pemegang saham minoritas, misalnya: dividen, peran
mekanisme corporate governance sangat penting. Penelitian yang dilakukan oleh

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kumar (2003) dan Carvalhal-da-silva dan Leal (2007) menunjukkan bahwa


mekanisme corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Pemegang saham minoritas lebih menyukai pembagian dividen daripada
menginvestasikan kembali laba kedalam perusahaan. Dengan pembagian dividen
berarti mereka akan memperoleh haknya. Dalam konteks ini, banyak penelitian yang
dilakukan tentang hubungan antara corporate governance dan kebijakan dividen.
Ada dua teori yang dikembangkan oleh La Porta et al. (2000) terkait dengan
hubungan antara corporate governance dan kebijakan dividen: Teori Outcome dan
Teori Substitusi. Teori outcome menyatakan bahwa mekanisme corporate
governance yang baik akan memberikan perlindungan yang baik kepada investor,
perusahaan yang mempunyai mekanisme corporate governance yang baik akan
memberikan dividen kepada pemegang saham. Praktik corporate governance
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Sedangkan teori substitusi
menyatakan bahwa perusahaan yang mekanisme corporate governance-nya buruk
akan memberikan dividen kepada investor. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
citra perusahaan. Dengan kata lain ada hubungan negative antara mekanisme
corporate governance dan kebijakan dividen menurut teori substitusi.
Penelitian yang dilakukan untuk menguji kedua teori tersebut dalam aplikasi
tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Penelitian yang dilakukan oleh Gugler
(2003), Mahadwartha (2003), Jiraporn dan Ning (2006), Gugler dan Yurtoglu
(2007), Knyazeva (2007), Reneboog dan Szylagyi (2007) menunjukkan bahwa
perusahaan yang mempunyai praktik corporate governance tidak bagus akan
memberikan dividen yang lebih kepada investor. Mereka berharap tindakan ini akan
memberikan insentif bagi investor untuk terus berinvestasi pada mereka. Dengan
kata lain, corporate governance berpengaruh negative terhadap kebijakan dividen
perusahaan.
Mahadwartha (2003) menguji aplikasi teori agensi dalam konteks hubungan
kepemilikan manajerial dan kebijakan dividen. Dia menguji dampak kebijakan
dividen tahun ini terhadap kepemilikan manajerial tahun berikutnya. Sampel
penelitian adalah perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia pada periode
1993-2001, sebanyak 80 perusahaan. Variabel independen adalah dividen yield:
dividen dibagi dengan harga pasar saham. Hasilnya menunjukkan dividen yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

rendah akan meningkatkan probabilitas kepemilikan manajerial pada tahun


selanjutnya. Hal ini menunjukkan hubungan substitusi, atau dengan kata lain
Mahadwartha (2003) mengkonfirmasi teori substitusi, antara kebijakan dividen dan
kepemilikan manajerial.
Gugler (2003) menguji pengaruh corporate governance terhadap kebijakan
dividen di Austria. Dia menguji dampak kepemilikan perusahaan, apakah
perusahaan milik negara atau perusahaan keluarga. Sampel perusahaan
merupakan perusahaan non financial pada periode 1991-1999. Salah satu
karakteristik penting perekonomian Austria adalah kepemilikan perusahaan yang
sangat terkonsentrasi, seperti halnya perusahaan di Asia. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa perusahaan milik negara cenderung melakukan tindakan
perataan dividen, sedangkan perusahaan keluarga tidak. Akan tetapi, pembayaran
dividen sangat rendah terutama perusahaan yang dimiliki oleh keluarga. Dengan
kata lain pemilik saham minoritas di Austria membutuhkan perlindungan yang lebih
baik untuk mempertahankan hak mereka.
Gugler dan Yurtoglu (2007) menguji dampak corporate governance terhadap
kebijakan dividen di Jerman selama periode 1992-1998. Mereka fokus pada konflik
yang terjadi pemilik saham mayoritas dan pemilik saham minoritas di Jerman. Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa pemilik saham mayoritas melakukan
ekspropriasi terhadap pemilik saham minoritas. Mereka mengharapkan peningkatan
perlindungan terhadap perlindungan hak-hak pemilik saham minoritas dan
peningkatan transparansi.
Jiraporn dan Ning (2006) menguji dampak corporate governance, yang
diproksikan dengan hak pemegang saham, terhadap kebijakan dividen di USA.
Sampel penelitiannya adalah 1500 perusahaandi NYSE, NASDAQ dan AMEX. Hasil
penelitian mereka menunjukkan hubungan negative antara hak pemegang saham
dan kebijakan dividen. Semakin kuat tekanan terhadap hak pemegang saham
semakin banyak dividen yang diberikan kepada mereka. Hasil ini mengkonfirmasi
teori substitusi yang diajukan oleh La Porta et al. (2000).
Knyazeva (2007) menguji pengaruh corporate governance terhadap perilaku
pembayaran dividen. Dia membuktikan bahwa semakin buruk praktik corporate
governance maka semakin besar tekanan dari pemilik saham untuk meminta hak

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dividen mereka. Perusahaan yang mempunyai skor corporate governance yang


rendah cenderung akan meningkatkan pembayaran dividen mereka. Knyazeva
(2007) mengkonfirmasi teori substitusi.
Reneboog dan Szilagyi (2007) menguji kebijakan dividen di negara yang
mempunyai perlindungan yang buruk terhadap pemilik saham. Mereka melakukan
penelitian di Belanda, yang mempunyai aturan lemah terhadap. perlindungan hak
pemilik saham. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dividen di Belanda secara
umum adalah rendah dan tidak responsive terhadap perubahan laba.
Di lain pihak, ada beberapa peneliti yang membuktikan teori outcome
.Penelitian yang dilakukan oleh La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera (2007) menunjukkan bahwa mekanisme corporate
governance berpengaruh positif terhadap dividend payout. La Porta et al. (2000) dan
Mitton (2004) melakukan pengujian di berbagai negara, di mana La Porta et al.
(2000) menguji negara maju dan negara berkembang, sedangkan Mitton (2004)
fokus pada negara berkembang, menunjukkan semakin baik praktik corporate
governance maka semakin tinggi dividen yang dibayarkan kepada investor.
Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) menguji dampak corporate governance
terhadap kebijakan dividen di Polandia. Mereka menguji kebijakan dividen
perusahaan manufaktur di Warsawa Stock Exchange selama periode 1998 sampai
dengan 2004. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan nilai corporate
governance, yang diproksikan dengan TDI, memberikan konsekuensi peningkatan
pada nilai rasio dividen terhadap arus kas. Dengan kata lain, praktik corporate
governance yang baik akan melindungi kepentingan pemilik saham.
Regulasi yang diterapkan oleh BAPEPAM dan BEJ bertujuan meningkatkan
praktik corporate governance. Yang pada gilirannya akan melindungi kepentingan
pemilik saham. Penelitian La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera (2007) menunjukkan pengaruh positif corporate governance
terhadap dividen. Berdasarkan telaah literatur yang telah dilakukan, maka hipotesis
pertama yang diajukan adalah:
H1 : Corporate governance berpengaruh terhadap dividen.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

B.2. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen


Penelitian yang dilakukan oleh Denis dan Osobov (2007) menunjukkan
ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Sampel yang
diambil oleh Denis dan Osobov (2007) adalah perusahaan yang berasal dari 6
negara maju: USA, Canada, Jepang, Inggris, Perancis, dan Jerman pada periode
1989-2002. Hasil mereka menunjukkan perusahaan besar cenderung memberikan
dividen yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang berskala kecil. Denis dan
Osobov (2007) berargumen bahwa ukuran perusahaan merupakan proksi life cycle
theory. Semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin matang perusahaan
tersebut. Perusahaan yang berada di tahap awal pertumbuhan cenderung akan
mengalokasikan labanya ke dalam perusahaan sendiri, untuk menunjang
pertumbuhannya. Sedangkan perusahaan yang telah matang akan cenderung
memilih membayarkan dividen daripada menginvestasikan labanya kembali.
Hasil Denis dan Osobov (2007) sesuai dengan penelitian oleh Mitton (2007)
yang menggunakan sampel perusahaan dari negara berkembang. Sampel
penelitian berasal dari 365 perusahaan di 19 negara berkembang. Ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap dividen. Semakin besar ukuran
perusahaan semakin tinggi dividen yang dibagikan. Penelitian Denis dan Osobov
(2007) dan Mitton (2004) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap dividen di negara maju dan berkembang.
Penelitian yang dilakukan spesifik pada suatu negara juga menunjukkan hasil
yang konsisten. Jiraporn dan Ning (2006) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan
di Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap dividen. Carvalhal-da-silva dan Leal
(2007) juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap
dividen di Brasil. Mereka memilah sampel mereka berdasarkan struktur kepemilikan,
dan menunjukkan bahwa pengujian ukuran perusahaan terhadap dividen pada satu
kepemilikan saham mayoritas, 3 pemilik saham minoritas, dan 5 pemilik saham
mayoritas tetap menunjukkan hasil yang konsisten.
Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) juga menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap dividen di negara yang sedang mengalami
transisi ekonomi, seperti Polandia. Renneboog dan Scilazyi (2007) mengkonfirmasi
pengaruh positif ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen dengan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menggunakan sampel perusahaan Belanda. Penelitian yang dilakukan Gugler


(2003) terhadap perusahaan Austria dan Gugler dan Yurtoglu (2007) terhadap
perusahaan Jerman juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen. Berdasarkan telaah litaratur yang telah dilakukan,
maka hipotesis kedua adalah:
H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan.

B.3. Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Dividen


Pengujian pengaruh profitabilitas terhadap dividen juga menunjukkan hasil
yang konsisten pada berbagai kondisi, baik dengan menggunakan sampel yang
berasal dari lintas negara (Mitton, 2004; Denis dan Osobov, 2007) dan pada satu
negara (Jiraporn dan Ning, 2006; Carvalhal-da-silva dan Leal, 2007; Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera, 2007; Renneboog dan Scilazyi, 2007; Gugler, 2003; Gugler
dan Yurtoglu, 2007), yaitu profitabilitas berpengaruh positif terhadap dividen.
Perusahaan yang memperoleh laba tinggi akan membayar dividen lebih banyak,
sedangkan perusahaan yang memperoleh laba rendah akan membayar dividen
lebih sedikit. Berdasarkan telaah literatur yang telah dilakukan, maka hipotesis yang
ketiga adalah:
H3 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap dividen.
B.4. Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadak Kebijakan Dividen
Perusahaan yang mempunyai pertumbuhan tinggi cenderung akan
menginvestasikan kembalinya ke dalam perusahaan. Semakin tinggi tinggi tingkat
pertumbuhannya, maka semakin tinggi kebutuhan dana untuk investasi. Dengan
demikian perusahaan akan menggunakan laba yang diperoleh untuk membiayai
investasinya, daripada membagikan dividen. Gugler (2003) secara jelas menyatakan
perusahaan di Austria, terutama perusahaan keluarga, memilih untuk menahan laba
untuk investasinya daripada membagikan dividen. Pengujian pengaruh
pertumbuhan perusahaan terhadap dividen juga menunjukkan hasil yang konsisten
pada berbagai kondisi, baik dengan menggunakan sampel yang berasal dari lintas
negara (Mitton, 2004; Denis dan Osobov, 2007) dan pada satu negara (Jiraporn dan
Ning, 2006; Carvalhal-da-silva dan Leal, 2007; Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera,
2007; Renneboog dan Scilazyi, 2007; Gugler, 2003; Gugler dan Yurtoglu, 2007),

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yaitu pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap dividen. Berdasarkan


telaah literatur yang telah dilakukan, maka hipotesis keempat yang diajukan adalah:
H4 : Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negative terhadap dividen.

C. METODOLOGI PENELITIAN
C.1. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Data publikasi laporan keuangan perusahaan sampel. Data ini diperoleh dari
Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id). Laporan keuangan yang dibutuhkan
adalah laporan keuangan yang lengkap, mencakup pengungkapan yang
lengkap. Bagian pengungkapan menjadi bagian yang vital karena penelitian ini
menggunakan TDI untuk mengukur praktik corporate governance.
2. Data pengumuman laba
3. Data pengumuman dividen
4. Data harga saham di Bursa Efek Indonesia
Pemilihan sampel menggunakan metode purposive, yaitu pemilihan sampel
yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Kriterianya
adalah perusahaan yang mengumumkan dividen periode 2004 2006.

C.2. Identifikasi dan Pengukuran Variabel


Berikut ini akan dibahas identifikasi dan pengukuran variable penelitian.
Pertama, dividen adalah dividen tunai yang dibayarkan oleh perusahaan.
Pengukuran dividen dalam penelitian ini aka menggunakan:

Dividend yield = Dividen per lembar saham

Harga perlembar saham

Corporate governance adalah praktik perlindungan terhadap kepentingan pemegang


saham. Praktik corporate governance yang baik diharapkan akan memberikan
kesejahteraan yang lebih bagi pemegang saham. Dalam penelitian ini corporate
governance diukur dengan menggunakan Transparency and Disclosure Index (TDI).
TDI terdiri dari 3 subindex: (1)TDI-dewan, yang menggambarkan struktur dan
prosedur yang berlaku di dewan komisaris, (2) TDI-disclosure, yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menggambarkan pengungkapan tentang hal-hal penting suatu perusahaan, dan (3)


TDI-shareholders, yang menggambarkan kondisi pemegang saham di dalam
perusahaan (item lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran).

Apabila perusahaan melaporkan item corporate governance, maka akan


diberi nilai 1. Sebaliknya jika tidak melaporkan maka akan diberi nilai 0. Sumber
mengenai TDI akan ditelusur melalui laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI,
website perusahaan di internet dan menelusur berita terkait mengenai perusahaan
tersebut di Harian Kompas. Kami memilih harian Kompas karena harian ini
merupakan harian nasional yang mempunyai oplah besar.

Variabel ketiga yang merupakan variable independent adalah ukuran


perusahaan. Ukuran perusahaan akan menggunakan total asset yang dimiliki oleh
perusahaan.

UKP = Total Aset

Variabel keempat adalah profitabilitas menggambarkan kemapuan perusahaan


untuk menghasilkan laba dibandingkan dengan asset yang dimilikinya. Profitabilitas
diukur dengan Return on Assets (ROA)
ROA = Laba
Total asset
Variabel kelima adalah pertumbuhan perusahaan menggambarkan tingkat
pertumbuhan perusahaan.
Growth = (jumlah lembar saham beredar x harga penutupan saham)

Total ekuitas

C.3. Model Penelitian

Dari hipotesis yang diajukan, maka model penelitian ini adalah sebagai
berikut.

Div = a + b1CG + b2UKP + b3ROA + b4Growth + e (1)

Div = dividen yield

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

CG = corporate governance (merupakan skor total Transparency and


Disclosure Index)
UKP = ukuran perusahaan (diukur dengan total asset)
ROA = return on asset (merupakan profitabilitas perusahaan)
Growth = pertumbuhan perusahaan (nilai pasar ekuitas/nilai buku ekuitas)

Model pertama menggambarkan dampak TDI secara menyeluruh. Untuk


mengetahui dampak masing-masing subindex maka akan dilihat pada persamaan
kedua berikut ini:
Div = a + b1TDI-Dewan + b2TDI disclosure + b3TDI-shareholders + b4UKP + b5
ROA + b6Growth + e (2)

Div = dividen yield


TDI-dewan = merupakan skor Transparency and Disclosure Index untuk struktur
dan prosedur yang terjadi di Dewan Komisaris
TDI-disclosure = merupakan skor TDI untuk pengungkapan di laporan keuangan
TDI = merupakan skor TDI untuk kepemilikan
UKP = ukuran perusahaan (diukur dengan total asset)
ROA = return on asset (merupakan profitabilitas perusahaan)
Growth = pertumbuhan perusahaan (nilai pasar ekuitas/nilai buku ekuitas)

D. ANALISIS HASIL PENELITIAN


D.1. STATISTIK DESKRIPTIF
Bagian ini akan membahas data statistik deskiptif penelitian ini.
TABEL 1 DI SINI
Berdasarkan kriteria pemilihan sampel yang telah ditetapkan, jumlah sampel untuk
penelitian ini adalah 248 perusahaan. Jumlah sampel penelitian ini berasal dari 74,
111 dan 63 perusahaan yang mengumumkan dividen pada tahun 2004, 2005 dan
2006. Sedangkan untuk data statistik deskriptif penelitian ini dapat dilihat pada tabel
2 berikut.
TABEL 2 DI SINI

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat kualitas pelaksanaan corporate governance di


Indonesia yang diukur dengan TDI Index. Nilai TDI Index perusahaan di Indonesia
secara keseluruhan adalah 10,48, sedangkan nilai maksimal adalah 32. Berarti
hanya 32,75% item yang ada di daftar TDI yang dilaksanakan oleh perusahaan.
Skor ini menunjukkan nilai yang rendah. Jadi, berdasarkan nilai TDI ini dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan corporate governance di Indonesia belum maksimal.
Analisis per sub-index menunjukkan bahwa sub-index 1 menunjukkan skor 3,65,
dari kemungkinan nilai maksimal 13, atau 27,08%. Sub-index menunjukkan struktur
dan prosedur Dewan Komisaris. Sedangkan untuk sub-index 2 yang menunjukkan
nilai pengungkapan di Laporan Kuangan menunjukkan skor 5,29, dari kemungkinan
nilai maksimum 13, atau 40,69%. Nilai ini menunjukkan nilai yang masih rendah,
tetapi jauh lebih baik dibandingkan sub index lainnya. Sedangkan sub-index terakhir
adalah tentang pemegang saham memperoleh nilai 1,68, dari kemungkinan nilai
maksimal 6, atau 28%. Data-data dari statistic deskriptif ini sejalan dengan temuan
Tabalujan (2003) dan Setiawan (2006) yang menunjukkan masih lemahnya
pelaksanaan corporate governance di Indonesia.

D.2. HASIL UJI HIPOTESIS


Bagian berikut ini akan membahas tentang uji statistic untuk menguji
hipotesis penelitian ini. Bagian pertama membahas tentang pengujian secara
keseluruhan sedangkan bagian kedua membahas tentang pengujian terhadap
masing-masing sub-index.
TABEL 3 DI SINI
Dari table 3 dapat dilihat bahwa corporate governance berpengaruh negatif terhadap
kebijakan dividen. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai
mekanisme corporate governance rendah akan meningkatkan pembagian
dividennya. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki citra perusahaan. Hasil ini
mengkonfirmasi teori substitusi, yang menyatakan adanya hubungan negative
antara corporate governance dan kebijakan dividen. Dengan demikian penelitian ini
sejalan dengan temuan Mahadwartha (2003) yang juga membuktikan bahwa teori
subtitusi yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga mengkonfirmasi penelitian
Gugler (2003), Jiraporn dan Ning (2006), Gugler dan Yurtoglu (2007), Knyazeva

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(2007), Reneboog dan Szylagyi (2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa corporate
governance di Indonesia masih rendah, sehingga perusahaan di Indonesia
cenderung untuk mengambil hati investor dengan cara meningkatkan nilai dividen
mereka.
Variabel lainnya menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh
terhadap kebijakan dividen, sedangkan tingkat profitabilitas dan pertumbuhan
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Semakin tinggi profit yang diperoleh
perusahaan, maka semakin tinggi dividen yang akan diberikan. Hasil ini
mengkonfirmasi penelitian sebelumnya, yaitu: Mitton (2004), Denis dan Osobov
(2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007), serta Jiraporn dan Ning
(2006). Akan tetapi variable pertumbuhan menunjukkan hasil yang bertentangan
dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini mmenunjukkan semakin tinggi tingkat
pertumbuhan perusahaan mereka justru semakin berani untuk memberikan nilai
dividen yang lebih tinggi (Mitton, 2004, Denis dan Osobov, 2007, dan Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera, 2007, serta Jiraporn dan Ning, 2006). Akan tetapi hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera (2007) yang membuktikan bahwa ada hubungan positif
antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen
Bagian berikut akan membahas tentang pengujian kedua, yaitu: pengujian
masing-masing sub-index terhadap kebijakan dividen.
TABEL 4 DI SINI

Berdasarkan table 4 dapat dilihat bahwa sub-index 1 yang menggambarkan tentang


struktur dan prosedur Dewan Komisaris berpengaruh negative terhadap kebijakan
dividen. Hal ini menunjukkan bahwa struktur dan prosedur Dewan yang tidak terlalu
bagus berhubungan negated dengan semakin tingginya dividen yang diterima oleh
investor. Begitu juga sub-index kedua yaitu pengungkapan berpengaruh negative
terhadap kebijakan dividen. Sedangkan sub-index ketiga tentang shareholders tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Hasil ini menunjukkan bahwa teori
substitusi yang berlaku di Indonesia terutama disebabkan oleh: (1) lemahnya
struktur dan prosedur Dewan Komisaris dan (2) pengungkapan di Laporan
Keuangan, sehingga perusahaan berusaha meningkatkan dividen dalam rangka

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

memperbaiki citra mereka. Pengujian terhadap variable lainnya: ukuran perusahaan,


profitabilitas dan pertumbuhan menunjukkan hasil yang sama dengan pengujian di
table 3.

E. KESIMPULAN
Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan corporate governance di
Indonesia masih rendah yang ditunjukkan dengan skor TDI yang rendah.
Perusahaan di Indonesia cenderung untuk mengkompensasikan lemahnya
corporate governance dengan semakin tingginya tingkat dividen yang diberikan.
Bukti ini menunjukkan bahwa teori substitusi yang terjadi di Indonesia, yaitu adanya
hubungan negative antara corporate governance dan kebijakan dividen. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Mahadwartha (2003) yang juga
membuktikan bahwa teori subtitusi yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga
mengkonfirmasi penelitian Gugler (2003), Jiraporn dan Ning (2006), Gugler dan
Yurtoglu (2007), Knyazeva (2007), Reneboog dan Szylagyi (2007). Analisis
terhadap masing-masing sub-index pada TDI menunjukkan bahwa lemahnya: (1)
struktur dan prosedur Dewan dan (2) pengungkapan merupakan bagian yang
berpengauh negative terhadap kebijakan dividen. Sedangkan sub index shareholder
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Pengujian terhadap variable lain
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan
dividen, sedangkan profitabilitas dan pertumbuhan berpengaruh postif terhadap
kebijakan dividen.
REFERENSI

Boediono, Gideon SB., 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis
Jalur. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8
Solo tanggal 15 - 16 September 2005
Capulong, Ma. Virginita, David Edwards, David Webb and Juzhong Zhuang. (2001).
Corporate Governance and Finance in East Asia: A Study of Indonesia, Republic
of Korea, Malaysia, Philippines, and Thailand Volume One (A Consolidated
Report). Asian Development Bank: Manila.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Claessens, Stjin, Simeon Djankov, and Larry H.P. Lang. (2000). The Separation of
Ownership and Control in East Asia Corporationss. Journal of Financial
Economics, 58, 81-112.
Denis, David J. dan Igor Osobov. 2007. Why do Firms Pay Dividends? International
Evidence on the Determinants of Dividend Policy. Available on-line at
www.ssrn.com
Forum Corporate Governance Indonesia. (2004). Review of Corporate Governance
in Asia: Corporate Governance in Indonesia. Asian Development Bank Institute:
Tokyo.
Gugler, Klaus dan B.B.Yurtoglu. 2007. Corporate Governance and Dividend Payout
Policy in Germany. Available on-line at www.ssrn.com
Gugler, Klaus. 2003. Corporate Governance, Dividend Payout Policy, and the
interrelation between dividends, R&D, and Capital Investment. Journal of
Banking & Finance 27: 1297-1321.
Hossain, Mahmud, Andrew K Prevost dan Ramesh P Rao. 2001. Corporate
Governance in New Zealand: The Effect of the 1993 Companies Act on the
Relation Between Board Composition and Firm Performance. Pacific-Basin
Finance Journal 9:119-145.
Jensen, MC dan WH Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior
Agency Costs and Capital Structure. Journal of Financial Economics:305-360
Jiraporn, Pornsit dan Yixi Ning. 2006. Dividend Policy, Shareholder Right, and
Corporate Governance. Available on-line at www.ssrn.com
Khrisnamurti, Chandrasekhar, Aleksandar Sevic, Zeljko Sevic. (2004). Legal
Environment, Firm-Level Corporate Governance and Expropriation of Minority
Shareholder in Asia. www.ssrn.com
Knyazeva, Anzhela. 2007. Delivering on the Dividend Promise: Corporate
Governance, Managerial Incentives and Dynamic Dividend Behavior.
Available on-line at http://pages.stern.nyu.edu
Kowalewski, Oskar, Ivan Stetsuk, dan Oleksandr Talavera. 2007. Corporate
Governance and Dividend Policy in Poland. Available on-line at
www.ssrn.com

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kumar, Jayesh. 2003. Ownership Structure and Dividend Payout Policy in India.
Available on-line at www.ssrn.com
La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer, and Robert Vishny.
2000. Investor Protection and Corporate Valuation. The Journal of Finance,
57, 3, 1147-1170.
Mahadwartha, Putu Anom. 2003. Predictability Power of Dividend Policy and
Leverage Policy to Managerial Policy in Indonesia: An Agency Theory
Perspective. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia 18 (3):
Midiastuty, Pratana P., dan Masud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan
Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Artikel
yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 6 Surabaya
tanggal 16-17 Oktober 2003
Mitton, Tod. 2004. Corporate Governance and Dividend Policy in Emerging Markets.
Available on-line at www.ssrn.com
Nam Sang-Woo and Il Chong Nam. 2004. Corporate Governance in Asia: Recent
Evidence from Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, and Thailand. Asian
Development Bank Institute: Tokyo.
Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. Pengaruh Corporate Governance
terhadap Earnings Management di Industri Perbankan Indonesia. Artikel yang
dipresentasikan di SNA X Makassar.
Prevost, Andrew K, Ramesh P Rao dan Mahmud Hossain. 2002. Board Composition
in New Zealand: An Agency Perspective. Journal of Business Finance &
Accounting 29:731-760.
Renneboog, Luc dan Peter G. Szilagyi. 2007. How Relevant is Dividend Policy
under Low Shareholder Protection? Available on-line at www.ssrn.com
Setiawan, Doddy. 2006. The Comparisons of Corporate Governance Practice in
Indonesia, Malaysia, and Singapore. Unpublished Project Paper Asia-Europe
Institute, University of Malaya.
Suaryana, Agung. 2005. Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Artikel
yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15
- 16 September 2005

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Sugiarta, I Putu. 2004. Earnings Management and Information Content of Audit


Committee Announcement. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium
Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -3 Desember 2004

Tabalujan, Benny Simon, 2002. Family Capitalism and Corporate Governance of


Family-controlled Listed Companies in Indonesia. University of New South
Wales Law Journal, 25, 2.
Tabalujan, Benny Simon. 2000. Why Indonesian Corporate Governance Failed
Conjectures Concerning Legal Culture. Columbia Journal of Asia Law, 29, 2,
141-171.
Vafeas, Nikos. 1999. Board Meeting Frequency and Firm Performance. Journal of
Financial Economics 53:113-142.
Veronica, Silvia dan Yanivi S Bachtiar. 2004. Good Corporate Governance
Information Asymetry and Earnings Management. Artikel yang
Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -
3 Desember 2004
Veronica, Sylvia, dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan,
Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap
Pengelolaan Laba (Earnings Management). Artikel yang Dipresentasikan
pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005
Wedari, Linda Kusumaning. 2004. Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan
Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajamen Laba. Artikel yang
Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -
3 Desember 2004

Wilopo. 2004. The Analysis of Relationship of Independent Board of Directors, Audit


Committee, Corporate Performance, and Discretionary Accruals. Ventura
Volume 7 No. 1 April: 73-83
Yermack, D., 1996. Higher Market Valuation of Companies with Small Board of
Directors. Journal of Financial Economics 40, 185-211.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

TRANSPARENCY AND DISCLOSURE INDEX (TDI)

A. Struktur dan prosedur Dewan Komisaris (TDI-Dewan)

1. Kriteria Independensi anggota Dewan Komisaris


2. Waktu yang telah dijalani anggota dewan komisaris sebagai bagian dari
Dewan Komisaris
3. Code of Conduct untuk anggota Dewan Komisaris
4. Gaji Manajer dan Anggota Dewan Komisaris
5. Bentuk pembayaran gaji manajer dan anggota dewan komisaris (apakah kas,
saham, atau opsi saham)
6. Alasan rasional terhadap nilai gaji manajer dan anggota dewan komisaris
7. Informasi apakah gaji manajer dan anggota dewan komisaris berdasarkan
kinerja mereka
8. Jumlah kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajer dan anggota dewan
komisaris
9. Jumlah dan persentase Komisaris Independen
10. Detail tentang pengangkatan anggota komisaris baru
11. Laporan mengenai anggota dewan komisaris yang tidak diangkat lagi
12. Komposisi komite lainnya (dalam hal ini adalah komite audit)
13. Detail tentang aktivitas komite audit

B. Disclosure (TDI-Disclosure)

1. Biografi tentang pejabat penting di perusahaan


2. Biografi Anggoat Dewan Komsiaris
3. Kalender mengenai peristiwa di masa dating
4. Website perusahaan yang menggunakan bahasa inggris
5. Indikator keuangan untuk 5 tahun ke belakang
6. Rencana strategis dan proyeksi untuk tahun depan
7. Publikasi tentang resolusi dari pertemuan anggota dewan komisaris
8. Publikasi hasil RUPS
9. Detail tentang pengangkatan anggota dewan komisaris yang baru

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

10. Detail tentang kehadiran pemegang saham minoritas dan pemegang saham
mayoritas pada pertemuan RUPS
11. Laporan tentang pemegagn saham yang keluar
12. Lamanya penggunaan auditor eksternal
13. Laporan Auditor Eksternal

C. Pemegang Saham (TDI-shareholders)

1. Detail tentang kepemilikan perusahaan


2. Tipe dan jumlah saham yang beredar
3. Dokumen mengenai standar iinternal corporate governance
4. Kebijakan dividen selama 5 tahun terakhir
5. Proyeksi kebijakan dividen untuk tahun depan
6. Alasan rasional tentang kebijakan dividen di masa lalu dan masa datang

Tabel 1
Pemilihan Sampel
Keterangan 2004 2005 2006 Total
Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI 322 330 339 991
Jumlah perusahaan yang tidak mengumumkan dividen (149) (164) (181) (494)
Jumlah perusahaan yang mengumumkan dividen 173 166 158 497
Jumlah perusahaan dengan data tidak lengkap (99) (55) (95) (249)
Jumlah perusahaan yang menjadi sampel 74 111 63 248

Tabel 2
Statistic Deskriptif
Keterangan Kisaran
Teoritis Minimum Maximum Mean
CG 0 - 32 1,00 19,00 10,4758

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Keterangan Kisaran
Teoritis Minimum Maximum Mean
CG1 0 - 13 0,00 9,00 3,6452
CG2 0 - 13 1,00 8,00 5,2903
CG3 0-6 0,00 5,00 1,6774
N = 248

Tabel 3
Hasil Uji Statistik Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen
Variabel Koefisien thitung Signifikansi
CG -1,243 -3,131 0,002*
UKP 0,010 0,156 0,876
ROA 0,679 12,084 0,000*
G 0,249 5,733 0,000*
* = signifikan 1%

Tabel 3
Hasil Uji Statistik Sub-index Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen
Variabel Koefisien thitung Signifikansi
CG1 -0,554 -1,797 0,074***
CG2 -1,116 -2,244 0,026**
CG3 -0,462 -1,537 0,126
UKP 0,073 1,084 0,280
ROA 0,656 11,169 0,000*
G 0,251 5,689 0,000*
*, **, *** = signifikan 1%, 5%, 10%

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV02- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

INVESTOR PROTECTION, REAL ACTIVITY MANIPULATION AND


ACCRUAL MANIPULATION: ASIAN COMPARISON

Ratna Candra Sari


Ph.D Student Gadjah Mada University
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract

This paper examines systematic differences in earnings management through real


activity manipulation and accrual manipulation across 5 Asia countries. We predict
that in economies with high investor protection, manager prefer to manage earnings
through real activity manipulation rather than through accrual manipulation. Because
accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real
decisions about pricing and production. Our findings are consistent with our
prediction. Despite being in economies with high investor protection, manager still
have bigger discretion in managing earnings through real activities rather than
accrual manipulation.

Keyword: earnings management, real activity manipulation, investor protection

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

INTRODUCTION

Legal systems protect investors by conferring on them rights to discipline


insiders (e.g., to replace managers), as well as by enforcing contracts designed to
limit insiders private control benefits (e.g., La Porta et al., 1998; Nenova, 2000;
Claessens et al., 2002; Dyck and Zingales, 2002).2 As a result, legal systems that
effectively protect outside investors reduce insiders need to conceal their activities.
Investor protection as a key institutional factor affecting corporate policy choices
(see Shleifer and Vishny, 1997; La Porta et al., 2000), we focus on investor
protection as a significant determinant of earnings management activity. Leuz (2003)
find: earnings management is more pervasive in countries where the legal protection
of outside investors is weak, because in these countries insiders enjoy greater
private control benefits and hence have stronger incentives to manipulate firm
performance. Leuz measure earnings management with accrual manipulation, but
beside manage earnings through accrual management, manager also can manage
earnings through other method such as real activity manipulation and classification
shifting. Accrual manipulation is more likely to draw auditor scrutiny than real
decision. Thus, the purpose of this study is to investigate does investor protection
reduce effectively earnings management through real activity manipulation and
accrual manipulation.

Roychowdhury (2006) find evidence that in US, suspect firms manipulating


earnings through real activity. US is characterized by large stock markets, low
ownership concentration, extensive outsider rights, high disclosure, and strong legal
enforcement. Roychowdhury find evidence suggesting price discounts to temporarily
increase sales, overproduction to report lower cost of goods sold, and reduction of
discretionary expenditures to improve reported margins. This is contrary to Leuz
finding that country with strong legal protection, manager less aggressive to manage
earnings through accrual manipulation.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

The manipulation of real activity potentially reduces firm value. Real activities
manipulation can reduce firm value because actions taken in the current period to
increase earnings can have a negative effect on cash flows in future periods. For
example, aggressive price discounts to increase sales volumes and meet some
short-term earnings target can lead customers to expect such discounts in future
periods as well. This can imply lower margins on future sales. Overproduction
generates excess inventories that have to be sold in subsequent periods and
imposes greater inventory holding costs on the company. And based on
Roychowdhury study, there is evidence that manager manipulating real activity in
strong investor protection country.

According to surveys conducted by Bruns and Merchant (1990) and Graham


et al. (2005), financial executives indicate a greater willingness to manipulate
earnings through real activities rather than accruals. There are at least two possible
reasons for this. First, accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator
scrutiny than real decisions about pricing and production. Second, relying on accrual
manipulation alone entails a risk. The realized year-end shortfall between
unmanipulated earnings and the desired threshold can exceed the amount by which
it is possible to manipulate accruals. If that happens, and reported income fall below
the threshold, real activities cannot be manipulated at year-end. So, we argued that
in country with high investor protection, manager dont have discretionary to manage
earnings through accrual manipulation because accrual manipulation is more easily
to detect, they prefer to manage earnings through real activities.

This study focus on Asia countries to make contributing to the future of our
society and Asia by expanding its range of the responsibilities through legal
enforcement and investor protection in order to enhance economic development,
mutual understanding and cooperation in Asia. The East Asian countries of
Malaysia, Singapore, Indonesia, Korea and Japan provide a useful setting for testing
the importance of investor protection. These countries have accounting standards
that are generally viewed as high-quality, but they have institutional structures that

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

give preparers incentives to issue low-quality financial reports. Reporting quality of


earnings ultimately is determined by the underlying economic and political factors
influencing managers and auditors incentives, and not by accounting standards per
se. Shareholder litigation is an important mechanism to enforce high quality financial
reportingparticularly timely loss recognitionin common-law countries. The Asian
countries experience comparatively little litigation. Saudagaran and Diga (2000)
report that there have been no cases of judicial actions against auditors in Malaysia
and Thailand. While there have been lawsuits against auditors in Singapore and
Hong Kong, they are less frequent than in common-law countries (Choi et al., 1999).

While prior research has provided evidence on managers incentives to


manage earnings through accrual manipulation but there is relatively little evidence
on incentive to manage earnings through real activity manipulation. Actually
manager have flexibility to manage earnings with accrual manipulation, real activities
manipulation or classification shifting. Earnings management through accrual
manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions
about pricing and production. So this paper attempts to provide evidence does
investor protection prevent effectively from earnings management activity through
accrual manipulation and real activity manipulation.

We believe these study is useful to enhance our understanding about


effectiveness of legal enforcement in protect outsider (minority) investor when
manager have flexibility to choose earnings management method.

HYPOTHESIS

Earnings management can be defined as non-neutral financial reporting in


which managers intervene intentionally in the financial reporting process to produce
some private gain (Schipper 1989). Managers can intervene by modifying how they
interpret financial accounting standards and accounting data, or by timing or
structuring transactions (Healy and Wahlen 1999).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Prior accounting research has documented three main methods of earnings


management. The most commonly studied method is accrual management (e.g.,
Healy 1985; Jones 1991; McNichols and Wilson 1988; Rangan 1998; Teoh et al.
1998; Phillips et al. 2003). Essentially, a manager can borrow earnings from future
periods, through the acceleration of revenues or deceleration of expenses, in order
to improve current earnings. In addition to the cost of detection, this method of
earnings management bears a one-to-one cost of earnings reduction in the future;
future-period earnings will be mechanically lower by the net income that was
accelerated to current earnings.A second type of earnings management can occur
through the manipulation of real activities, such as providing price discounts to
increase sales and cutting discretionary expenditures, such as R&D, to manage
earnings (e.g., Baber et al. 1991; Dechow and Sloan 1991; Bushee 1998). Such
actions can increase revenues or net income, but they are also costly. For example,
cutting R&D spending to manage earnings may result in the loss of future income
related to the forgone R&D opportunities. On the other hand, because the
manipulation of real activities is not a GAAP violation, this earnings management
tool is expected to have a lower cost of detection than accrual management. Third
potential earnings management tool is the misclassification of items within the
income statement (classification shifting).

We focus on accrual manipulation and real activities because in study


comparison accros countries, earnings management through classification shifting
can be detected if these countries use the same standard because classification
shifting need identification of special item in income statement.

Real activities manipulation as departures from normal operational practices,


motivated by managers desire to mislead at least some stakeholders into believing
certain financial reporting goals have been met in the normal course of operations.
These departures do not necessarily contribute to firm value even though they
enable managers to meet reporting goals. Certain real activities manipulation
methods, such as price discounts and reduction of discretionary expenditures, are

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

possibly optimal actions in certain economic circumstances. However, if managers


engage in these activities more extensively than is normal given their economic
circumstances, with the objective of meeting/beating an earnings target, they are
engaging in real activities manipulation (Roychowdhury, 2006).
A number of studies discuss the possibility that managerial intervention in the
reporting financial statement process can occur not only via accounting estimates
and methods, but also through operational decisions. Manipulation by management
through real activities is less likely to draw auditor or regulator scrutiny. In contrast
accrual manipulation is more easily to detect. Leuz (2003) find that earnings
management through accrual manipulation is less pervasive in countries where the
legal protection of outside investors is strong, because in these countries legal
system protect investor by conferring on them right to discipline insider.
There is evidence that manager in US suspect firms manipulating earnings
through real activity (Roychowdhury, 2006). US is characterized by large stock
markets, low ownership concentration, extensive outsider rights, high disclosure,
and strong legal enforcement. Leuz find that country with strong legal protection,
manager less aggressive to manage earnings through accrual manipulation.
Accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than
real decisions about pricing and production. Dechow, Sloan dan Sweeney (1996)
investigate SEC enforcement actions alleging earnings overstatement, they do not
list any action being initiated because of pricing or production decision, or decisions
on discretionary expenses. Manipulation by management through real activities is
less likely to draw auditor or regulator scrutiny. So we argue that in strong legal
enforcement economies, earnings management through accrual manipulation is less
aggressive than in weak legal enforcement economies because accrual
manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions
about pricing and production. We propose hypothesis 1 as follow:
H1: Earnings management through accrual manipulation is higher in economies with
low investor protection rather than in economies with strong investor protection.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

In hypothesis 2 we argue that when legal enforcement strong, manager prefer


to manage earnings through real activity manipulation because production and
pricing decision is less likely to draw auditor or regulator scrutiny than accrual
manipulation.
To detect real activities manipulation we investigate patterns in CFO and
production costs following Roychowdhury (2006). Sales manipulation as managers
attempts to temporarily increase sales during the year by offering price discounts or
more lenient credit terms. In general, sales management activities lead to lower
current-period CFO.
H2: Economies with high investor protection exhibit unusually cash flow from
operation lower than in economies with weak investor protection.
To manage earnings upward, managers of manufacturing firms can produce
more goods than necessary to meet expected demand. With higher production
levels, fixed overhead costs are spread over a larger number of units, lowering fixed
costs per unit. As long as the reduction in fixed costs per unit is not offset by any
increase in marginal cost per unit, total cost per unit declines. This implies that
reported COGS is lower, and the firm reports better operating margins.
Nevertheless, the firm incurs production and holding costs on the over-produced
items that are not recovered in the same period through sales. As a result, cash
flows from operations are lower than normal given sales levels. Ceteris paribus, the
incremental marginal costs incurred in producing the additional inventories result in
higher annual production costs relative to sales.
H3: Economies with high investor protection exhibit unusually production cost higher
than in economies with weak investor protection.

RESEARCH METHOD
We use industrial firms in 5 Asia countries (Malaysia, Singapore, Indonesia, Korea
and Japan). Data are obtained from in Osiris Database between 2005-2007.
MEASUREMENT OF EARNINGS MANAGEMENT THROUGH REAL ACTIVITY MANIPULATION

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Real activities manipulation is departures from normal operational practices,


motivated by managers desire to mislead at least some stakeholders into believing
certain financial reporting goals have been met in the normal course of operations
(Roychowdhury, 2006) These departures do not necessarily contribute to firm value
even though they enable managers to meet reporting goals. Certain real activities
manipulation methods, such as price discounts and reduction of discretionary
expenditures, are possibly optimal actions in certain economic circumstances.
However, if managers engage in these activities more extensively than is normal
given their economic circumstances, with the objective of meeting/beating an
earnings target, they are engaging in real activities manipulation.
Following Roychowdhury (2006), normal cash flow from operations as a linear
function of sales and change in sales in the current period. To estimate the model,
We run the following cross-sectional regression for every industry and year:
CFOt /At-1 = 0 + 1 (1/At-1) + 2 (St/At-1) + 3 (St / A t-1) + t
where At is the total assets at the end of period t, St the sales during period t and
St = St St-1. For every firm-year, abnormal cash flow from operations is the actual
CFO minus the normal CFO calculated using estimated coefficients from the
corresponding industry year model and the firm-years sales and lagged assets.
Abnormal level = Actual level Normal Level.
Production costs as PRODt = COGSt+ INVt. Using (2) and (3),normal production
costs from the following industry-year regression.
PRODt /At-1 = 0 + 1 (1/At-1) + 2 (St/At-1) + 3 (St / A t-1) + 4 (St-1 / A t-1) t
Discretionary expenses be expressed as a linear function of contemporaneous
sales, similar to COGS.. The relevant regression would then be:
MEASUREMENT ACCRUAL MANIPULATION
Signed abnormal accruals are used rather than absolute (unsigned) abnormal
accruals because signed abnormal accruals are a better measure of earnings quality
than the absolute or unsigned value of abnormal accruals (Hribar and Nichols,
2006). A cross-sectional Jones (1991) model is not practical for the calculation of
abnormal accruals with international data. The reason is that the number of industry

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

observations per country can be quite small, and this may explain, at least in part,
why Jones-type abnormal accruals perform unreliably in international settings
(Wysocki 2004; Meuwissen et al. 2005). We avoid this problem by using a linear
expectation model adapted from DeFond and Park (2001) which uses a firms own
prior year accruals in calculating the expectation benchmark. Specifically, expected
accruals are based on a firms prior year ratio of current accruals to sales, and the
prior years ratio of deprecation expense to gross property plant and equipment
(hereafter PPE). Another benefit of this approach is that we also implicitly control for
cross-country differences in accounting standards by using a firm as its own control
to compute abnormal accruals. Therefore abnormal accruals are contextualized
relative to the specific accounting standards of a particular country.
Using data from OSIRIS file, predicted accruals are calculated as:
Predicted accruals = {[Salest x (current accrualst-1 / salest-1] + gross PPEt x
(depreciationt-1 /gross PPEt-1/total assetst-1]}.
Abnormal accruals = firms actual total accrualst - predicted total accrualst.
Total accruals in year t are calculated as follows:
Total accruals = {Earnings before extraordinary items Operating cash flows}/ total
assetst-1
Current accruals = change in non-cash working capital = [total current assets
cash and short term investments treasury stock shown as current assets [total
current liabilities total amount of debt in current liabilities proposed dividends].

MEASUREMENT OF INVESTOR PROTECTION

We use Leuzs country cluster analysis, which groups countries with similar legal
and institutional characteristics. Three distinct clusters are identified:

Cluster 1: Outsider economies with large stock markets, dispersed ownership,


strong investor right and strong legal enforcement (Singapore, Malaysia)

Cluster 2: insider economies with less developed stock market, concentrated


ownership, weak investor protection but strong legal enforcement (Japan)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Cluster 3: insider economies with less developed stock market, concentrated


ownership, weak investor protection and weak legal enforcement (Indonesia,
Korea)

HYPOTHESIS TESTING

Analysis of Variance (ANOVA) was used to test H1 H3. ANOVA is a technique to


measure the differences for one metric dependent variables based on a set
categorical (nonmetric) variables acting as independent variables. The assumptions
for ANOVA are:

1. Population Normality: population from which the samples have been drawn
should be normal.

2. Homogeneity of variance the scores in each group should have


homogenous variances.

Model 1-3 to test Hypothesis 1-3 :

Model 1: AB_ACCRit = 0 + 1 Investor Protection+ eit

Model 2: AB_CFOit = 0 + 1 Investor Protection+ eit

Model 3: AB_PRODit = 0 + 1 Investor Protection+ eit

where:
AB_ACCRit = abnormal accruals scaled by lagged total assets for firm i in year t.
AB_CFO = abnormal cash flow
AB_Prod = abnormal production cost
Investor Protection = non metric variable (1: high investor protection; 2: middle; 3:
low investor protection)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

RESULT

Descriptive Statistic
Figure 1 present descriptive statistic comparing abnormal accrual between investor
protection level.

Figure 1

Abnormal Accrual in Economies with High vs Low


Investor Protection

0.12
0.1032
0.1

0.08

0.06 0.0519
0.0418
0.04

0.02

0
high ip midle ip low ip

Abnormal Accrual

Consistent with my first hypothesis and Leuzs study, the mean abnormal accrual in
economies with higher investor protection is lower than in economies with low
investor protection.

Figure 2 present descriptive statistic comparing CFO between investor protection


level.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Figure 2

Abnormal Cash Flow from Operation in


Economies With High Investor Protection vs
Low Investor Protection

0.014 midle ip,


0.0118
0.012
low ip, 0.0103
0.01

0.008

0.006

0.004

0.002

-0.002
high ip, -
-0.004 0.0019
Level of Investor Protection

Abnormal Cash Flow from Operation

Consistent with my second hypothesis, the mean abnormal cash flow from operation
in economies with high investor protection is lower than in economies with low
investor protection.
Figure 3

Abnormal Production Cost in Economies with


High vs Low Investor Protection
0.01

0.0002
0
high ip midle ip low ip

-0.01 -0.0068

-0.02

-0.03

-0.04

-0.05

-0.0535
-0.06

abnormal production cost

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Consistent with my third hypothesis, abnormal production cost is higher in


economies with high investor protection than in economies with low investor
protection.
Estimation Model.
Table 1 reports regression coefficient for some key regression used to estimate
normal level. The table reports the means coefficients across industry-year.

The coefficient of CFO on sales change is actually positive and significant in all
countries, indicating that conditional on contemporaneous sales, a higher change in
sales implies higher CFO. The average adjusted R2 across countries is 26% for
CFO and 69,6% for production cost.

Comparison of suspect firm-years with non suspect firm

Suspect firm-year have net income scaled by total asset that is greater than or equal
to zero but less than 0.005. Suspect firm are more aggressive in manage earnings
because they avoid to report losses. Annual losses are likely to be viewed more
seriously by the numerous stakeholders of firm such as lenders and supplier.

Consistent with Roychowdhury (2006), suspect firm exhibit unusually low


cash flow from operation and unusually high production cost (Figure 4 and 5)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting
Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Table 1
Model Parameters
Malaysia Singapore Japan Korea Indonesia
CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At-
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
intercept 0.713* -0.072* 0.020* -0.053* 0.062* -0.128* -0.024* 1.263* 0.057* -0.178
1/At-1 -1378.8* - -235.3* 502.086* - -3286.4* 136.024* - -900.88* -450.9
814.533* 886.678* 3648.24*
St/At-1 -1.106* 0.874* 0.030* 0.830* -0.007* 0.910* 0.33* 0.067* 0.033* 0.953
St/At-1 3.569* 0.161* 0.000* -0.722* 0.029 -0.168* 0.112* -0.028* 0.074* 0.073

St-1/At- -0.079* 0.193* 0.037* -0.117* -0.076


1
Adj R2 0.93 0.92 0.035 0.664 0.015 0.914 0.192 0.019 0.162 0.966

*signifikan at level 10%


This table reports the estimated parameters in following regression:
CFOt /At-1 = 0 + 1 (1/At-1) + 2 (St/At-1) + 3 (St / A t-1) + t
PRODt /At-1 = 0 + 1 (1/At-1) + 2 (St/At-1) + 3 (St / A t-1) + 4 (St-1 / A t-1) t

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Figure 4

Abnormal Cash Flow from Operation:


Suspect vs non Suspect Firm
non suspect
0.015 firm, 0.0129

0.01

0.005

-0.005

-0.01

-0.015

-0.02
suspect
-0.025 firm, -
0.0186
Abnormal Cash Flow from Operation

Figure 5

Abnormal Production Cost:


Suspect vs non Suspect Firm
suspect firm,
0.025 0.022
0.02

0.015

0.01

0.005

-0.005

-0.01

-0.015

-0.02
non suspect firm, -
-0.025 0.0206

abnormal production cost

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hypothesis Testing

To test hypothesis , I estimate model 1. The result of this estimation is when the
dependent variables is abnormal accrual, the coefficient on CLUSTER is significant
at level 5%, indicate that abnormal accrual is different accros cluster (Table 2). Table
2 show that the differences average abnormal accrual between cluster is statistically
significant. Outsider economies (cluster 1) exhibit lower level earnings management
through accrual manipulation than in insider economies (cluster 2 and 3). This third
cluster exhibits significantly higher level of earnings management through accrual
manipulation, highlighting the salient importance of legal enforcement. This result
consistent with H1.
Tabel 2
Pervasiveness of earnings management by cluster

Abnormal Abnormal CFO Abnormal


Accrual Production Cost
High Investor 0.0418 -0.0019 0.0002
protection (cluster 1)
Middle level of 0.0519 0.0118 -0.0068
Investor protection
(cluster 1)
Low Investor 0.1032 0.0103 -0.0535
protection (cluster 1)
Test of EM differences 0.018 0.028 0.000
between cluster (sign)

To test H2, I estimate model 2. The result of this estimation (the second column of
result in table 2) indicate that there is difference abnormal cash flow from operation
between cluster. The average abnormal cash flow from operation in cluster 1
(economies with high investor protection) is statistically significant lower than cluster

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2 and 3. This result consistent with H2, in economies with high investor protection
real manipulation with real activity is more aggressive because manipulation about
pricing and production decision is more difficult to detect than accrual manipulation.
I also examine differences mean abnormal CFO between suspect and non
suspect firm (see figure 4), the mean abnormal CFO suspect firm (-0.0186) is lower
than mean abnormal CFO non suspect firm (0.0129). Consistent with Roychowbury
that suspect firm more aggressive to manage earnings than non suspect firm
because they want meet earnings target.
When dependent variable is abnormal production cost, the result show that
the differences abnormal production cost across cluster is statistically significant
(column 3 table 2). The average abnormal production cost in cluster 1 (economies
with high investor protection) statistically significant higher than cluster 2 and 3. This
result consistent with H3. I also examine differences mean abnormal production cost
between suspect and non suspect firm (see figure 5), the mean abnormal production
cost of suspect firm (0.022) is higher than mean abnormal CFO non suspect firm
(-0.0206).

Conclusion
As prior literature show that investor protection is a key driving corporate choices. I
focus on the relation between legal investor protection and earnings management
practices. Insider (manager and controlling shareholders) have incentive to acquire
private control benefit. However the ability of insider to divert resources for their own
benefit is limited by legal system that protect the right of outside investors. As
outsider can only take disciplinary actions against insiders if outsiders detect the
private benefit, insider have an incentive to manipulate accounting reports in order to
conceal their activities. Prior accounting research has documented three main
methods of earnings management: accrual manipulation, real activity manipulation
and classification shifting. Accrual manipulation is more likely to draw auditor or
regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. Thus we expect
that in economies with high investor protection, manager prefer to manage earnings

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

through real activity manipulation than accrual manipulation when manager have
flexibility to engage both.
This paper provide evidence about differences in earnings management
method across Asian countries Consistent with the hypothesis, the result show that
earnings management through accrual manipulation is less aggressive in economies
with high investor protection. But earnings management through real activity
manipulation is more aggressive in economies with high investor protection than in
economies with low investor protection. Despite being in economies with high
investor protection, manager still have bigger discretion in managing earnings
through real activities rather than accrual manipulation.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

REFERENCES

ARTICLE IN PRESS

Baber, W., P. Fairfield, and J. Haggard. 1991. The effect of concern about reported
income on discretionary spending decisions: The case of research and
development. The Accounting Review 66 (4): 818829.

Ball. R. A. Robin, J Wu, 2003. Incentives versus standards: properties of accounting


income in four east asian countries. Journal of Accounting and Economics.

Ball. R. S. Kothari. A. Robin, 2000. The effect of international institutional factors on


properties of accounting earnings. Journal of Accounting and Economics. 29,
1-52.

Bhattacharya, U., H. Daouk, M. Welker, 2002. the world price of earnings opacity.

Bruns, W., Merchant, K., 1990. The dangerous morality of managing earnings.
Management Accounting 72, 2225.

Burgstahler, D., Dichev, I., 1997. Earnings management to avoid earnings


decreases and losses. Journal of Accounting and Economics 24, 99126.

Burgstahler, D., Eames, M., 1999. Management of earnings and analyst forecasts.
Working paper.

Burgstahler, D., J. Jiambalvo, and T. Shevlin. 2002. Do stock prices fully reflect the
implications of special items for future earnings? Journal of Accounting
Research 40 (3): 585612.

Bushee, B. 1998. The influence of institutional investors on myopic R&D investment


behavior. The Accounting Review 73 (3): 305333.

Bushman, R., J. Piotroski, and A. Smith. 2004. What determines corporate


transparency? Journal of Accounting Research 42 (May 2004): 207-252.

Choi, J.H., and T.J. Wong. 1999. Auditor choice and legal environments: an
international

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Claessens, S., S. Djankov, J. Fan, L. Lang, 2001. Disentangling the incentive and
earnings management. Working Paper. Cornell University, 2006. Available
on SSRN at entrenchment effects of large shareholdings. Forthcoming,
Journal of Finance.

DeAngelo, H., L. DeAngelo, and D. Skinner. 1994. Accounting choice in troubled


companies. Journal of Accounting and Economics 17 (1-2): 113143.

Dechow, and D. Skinner. 2000. Earnings management: Reconciling the views of


accounting academics, practitioners, and regulators. Accounting Horizons 14
(2): 235250

Dechow, M. Huson, and R. Sloan. 1994. The effect of restructuring charges on


executives cash compensation. The Accounting Review 69 (1): 138156.

Dechow, P., and R. Sloan. 1991. Executive incentives and the horizon problem: An
empirical investigation. Journal of Accounting and Economics 14 (1): 5189.

Dechow, P.M., Kothari, S.P., Watts, R.L., 1998. The relation between earnings and
cash flows. Journal of Accounting and Economics 25, 133168.

Dechow, P.M., Richardson, S.A., Tuna, I., 2003. Why are earnings kinky? Review of
Accounting Studies 8, 355384.

Dechow, P.M., Skinner, D.J., 2000. Earnings management: reconciling the views of
accounting academics, practitioners and regulators. Accounting Horizons 14,
235250.

Dechow, P.M., Sloan, R., Sweeney, A., 1996. Causes and consequences of
earnings manipulation: an analysis of firms subject to enforcement actions by
the SEC. Contemporary Accounting Research 13, 136.

Dechow, R. Sloan, and A. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The


Accounting Review 70 (2): 193225.

DeFond, M.L., and C. Park. 1997. Smoothing income in anticipation of future


earnings. Journal of Accounting and Economics 23: 115-139.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DeFond, M.L., and C.Park. 2001.The reversal of abnormal accruals and the market
valuation of earnings surprises. The Accounting Review 76 (July 2001): 375-
404.

DeFond, M.L., Jiambalvo, J., 1994. Debt covenant violation and manipulation of
accruals. Journal of Accounting and Economics 17, 145176.

Dyck, A., L. Zingales, 2002. Private benefits of control: An international comparison.

Dye, R. 2002. Classifications manipulation and Nash accounting standards. Journal


of Accounting Research 40 (4): 11251162.

Fudenberg, D., Tirole, J., 1995. A theory of income and dividend smoothing based
on incumbency rents. Journal of Political Economy 103, 7593.

Graham, J.R., Harvey, C.R., Rajgopal, S., 2005. The economic implications of
corporate financial reporting. Journal of Accounting and Economics 40, 373.

Hart, O. 1995. Firms, contracts, and financial structure (Oxford University Press,
London).

Hayn, C. 1995. The information content of losses. Journal of Accounting and


Economics 20 (2): 125153.

Healy, P. 1985. The effect of bonus schemes on accounting decisions. Journal of


Accounting and Economics 7 (1-3): 85107.

Healy, P.M., Wahlen, J.M., 1999. A review of the earnings management literature
and its implications for standard setting. Accounting Horizons 13, 365383.

Hribar, P., and D. Collins. 2002. Errors in estimating accruals: Implications for
empirical research. Journal of Accounting Review 40 (1): 105134.

Hribar, P., and D.C. Nichols. The use of unsigned earnings quality measures in
tests of

Hribar, P., Jenkins, N.T., Johnson, W.B., 2004. The use of stock repurchases to
manage earnings per share. Working paper.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

http://ssrn.com/abstract=908342.investigation. Working paper, Hong Kong


University of Science and Technology, 2002.

Jones, J. 1991. Earnings management during import relief investigations. Journal of


Accounting Research 29 (2): 193228.

La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer, and R. Vishny. 1998. Law and


finance. Journal of Political Economy 106 (December), 1113-1155.

La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer, and R. Vishny. 2000b, Investor


protection and corporate governance. Journal of Financial Economics 58
(January), 3-27.

La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, and A. Shleifer. 1999. Corporate ownership


around the world. Journal of Finance 54 (April), 471-517.

La Porta, R.. F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer, and R. Vishny. 2000a. Agency


problems and dividend policies around the world. Journal of Finance 55
(February), 1-33.

Leuz, Christian. Nanda, Dhananjay. Wysocki., D. Peter. 2003. Earnings


management and investor protection: an international comparison. Journal of
Financial Economics

Lev, B., and T. Sougiannis. 1996. The capitalization, amortization, and value-
relevance of R&D. Journal of Accounting and Economics 21 (1): 107138.

Levine, R. 1997. Financial development and economic growth: views and agenda.
Journal of Economic Literature 35 (June), 688-726.

Levine, R., and A. Demirguc-Kunt. 1996. Stock market development and financial
intermediary growth: stylized facts. World Bank Economic Review (May).

Levitt, A. 1998. The importance of high quality accounting standards. Accounting


Horizons 12 (March), 79-82.

McNichols, M., and G. Wilson. 1988. Evidence of earnings management from the
provision for bad debts. Journal of Accounting Research 26 (Supplement): 1
31.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

McNichols. 2000. Research design issues in earnings management studies. Journal


of Accounting and Public Policy 19 (4-5): 313345.

Meuwissen, R., F. Moers, E. Peek, AND A. Vanstraelen. An evaluation of abnormal


accruals measurement models in an international context. Working Paper,
2005. University of Maastricht and University of Antwerp, available on the
Social Science Research Network at:
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=442681.

Nelson, M., J. Elliott, and R. Tarpley. 2002. Evidence from auditors about managers
and auditors earnings management decisions. The Accounting Review 77
(Supplement): 175202.

Nenova, T., 2000. The value of corporate votes and control benefits: A cross-country

Phillips, J., M. Pincus, and S. Rego. 2003. Earnings management: New evidence
based on deferred tax expense. The Accounting Review 78 (2): 491521.

Rangan, S. 1998. Earnings management and the performance of seasoned equity


offerings. Journal of Financial Economics 50 (1): 101122.

Richardson, S., S. H. Teoh, and P. Wysocki. 2004. The walk-down to beatable


analyst forecasts: The role of equity issuance and insider trading incentives.
Contemporary Accounting Research 21 (4): 885924.

Roychowdhury, S., 2006. Earning management through real activities manipulation.


Journal of Accounting & Economic 42 (335-370),

Saudagaran, S.M., Diga, J.G., 2000. The institutional environment of financial


reporting regulation in ASEAN. The International Journal of Accounting 35, 1
26.

Shleifer, A., R. Vishny, 1997. A survey of corporate governance. Journal of Finance


52. 737-783.

Skinner, D., and R. Sloan. 2002. Earnings surprises, growth expectations, and stock
returns or dont let an earnings torpedo sink your portfolio. Review of
Accounting Studies 7 (2-3): 289312.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Sloan, R. 1996. Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows
about future earnings? The Accounting Review 71 (3): 289315.

Teoh, S. H., I. Welch, and T. Wong. 1998. Earnings management and the long-run
underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial
Economics 50 (1): 6399.

Teoh, S., Welch, I., Wong, T., 1998b. Earnings management and the long-run
underperformance of initial public offerings. Journal of Finance 53, 1935
1974.

Unpublished working paper. Indiana university.

Wysocki, P. Discussion of ultimate ownership, income management, and legal and


extra-legal institutions. Journal of Accounting Research 42 (May 2004): 463-
474.

Zingales, L., 1994. The value of the voting right: A study of the Milan Stock
exchange experience. Review of Financial Studies 7. 1250-148.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Appendix
Appendix 1: Output Abnormal Cash Flow from Operation
Abnormal CFO: suspect vs non suspect

Report

abncfo1
nita1_1 > 0.005 (FILTER) Mean N Std. Deviation
suspect -.0186 225 .08096
non suspect .0129 980 .07707
Total .0070 1205 .07874

Test of differences abnormal cash flow from operation between cluster

Between-Subjects Factors

Value Label N
cluster 1 high ip 381
2 middle ip 436
3 low ip 388

Descriptive Statistics
Dependent Variable: abncfo1
cluster Mean Std. Deviation N
high ip -.0019 .07590 381
middle ip .0118 .04829 436
low ip .0103 .10440 388
Total .0070 .07874 1205

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: abncfo1


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .044a 2 .022 3.582 .028
Intercept .055 1 .055 8.861 .003
cluster .044 2 .022 3.582 .028
Error 7.421 1202 .006
Total 7.524 1205
Corrected Total 7.465 1204
a. R Squared = .006 (Adjusted R Squared = .004)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Appendix 2: Output Abnormal Production Cost

Abnormal Production Cost: suspect vs non suspect

Report

abnprod1
nita1_1 > 0.005 (FILTER) Mean N Std. Deviation
0 .0220 152 .11750
1 -.0206 645 .11482
Total -.0125 797 .11647

Test of differences abnormal production cost between cluster

Between-Subjects Factors

Value Label N
cluster 1 high ip 310
2 middle ip 343
3 low ip 144

Descriptive Statistics

Dependent Variable: abnprod1


cluster Mean Std. Deviation N
high ip .0002 .11139 310
middle ip -.0068 .10178 343
low ip -.0535 .14766 144
Total -.0125 .11647 797

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: abnprod1


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .303a 2 .152 11.465 .000
Intercept .275 1 .275 20.802 .000
cluster .303 2 .152 11.465 .000
Error 10.495 794 .013
Total 10.922 797
Corrected Total 10.798 796
a. R Squared = .028 (Adjusted R Squared = .026)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV03- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN TERHADAP PENGUNGKAPAN


CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
DAN DAMPAKNYA TERHADAP REAKSI INVESTOR
(Studi pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

Rita Yuliana
Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo

Bambang Purnomosidhi
Eko Ganis Sukoharsono
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Abstrak

Akhir-akhir ini muncul wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau


corporate social responsibility (CSR). Wacana tersebut muncul dilandasi pemikiran
bahwa keberadaan perusahaan tidak lepas dari lingkungannya. Pada intinya CSR
adalah kewajiban organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang
bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Kenyataannya, praktik pengungkapan CSR telah banyak diterapkan
oleh perusahaan publik di Indonesia. Pada laporan tahunannya, perusahaan telah
menyebutkan aspek pertangungjawaban sosial walaupun dalam bentuk yang relatif
sederhana. Selanjutnya, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini
adalah (1) Apakah karakteristik perusahaan yang meliputi ukuran perusahaan,
profitabilitas, profile, ukuran dewan komisaris, dan konsentrasi kepemilikan
berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR, dan (2) apakah tingkat
keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor melalui
pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tipe penelitian ini dari sudut pandang kerangka berpikir tergolong penelitian
kuantitatif. Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan yang mengungkap
program CSR di Bursa Efek Indonesia. Metode pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling).
Berdasarkan seleksi yang telah dilakukan diperoleh 116 perusahaan sebagai
sampel penelitian. Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Partial Least Square (PLS).
Berdasarkan hasil analisis data, dari 6 hipotesis yang diajukan, terdapat 3
hipotesis yang diterima dan 3 hipotesis yang ditolak. Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis terlihat jelas bahwa penelitian ini menemukan bukti bahwa karakteristik
perusahaan yang mempengaruhi tingkat keluasan pengungkapan CSR adalah
profile dan konsentrasi kepemilikan, sedangkan ukuran perusahaan, profitabilitas,
dan ukuran dewan komisaris terbukti tidak berpengaruh terhadap tingkat keluasan
pengungkapan CSR. Penelitian ini juga membuktikan bahwa tingkat keluasan
pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor.

Kata kunci: karakteristik perusahaan, pengungkapan CSR, reaksi investor

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini muncul wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau
corporate social responsibility (CSR). Wacana tersebut muncul dilandasi pemikiran
bahwa keberadaan perusahaan tidak lepas dari lingkungannya. Oleh karena itu,
setiap tindakan yang diambil perusahaan berdampak nyata terhadap kualitas
kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, dan seluruh kehidupan di bumi.
Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan sekedar
kegiatan ekonomi, yaitu menciptakan laba demi kelangsungan usaha, melainkan
juga tanggung jawab sosial, dan lingkungan. Dasar pikirnya adalah bahwa
menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak menjamin
perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan (Djatmiko, 2006).
Fokus pada akuntabilitas korporasi saat ini masih terkonsentrasi atau
berorientasi pada para pemegang saham (stockholder). Praktik ini akhirnya
memunculkan suatu dilema tersendiri karena sesuatu yang telah diraih oleh entitas
bisnis sebagian dikembalikan kepada para pemegang saham dan manajemen,
seperti pemberian dividen, bonus, dan bentuk-bentuk kontra prestasi lainnya.
Tentunya hal ini tidak harus terjadi jika ada kesadaran bahwa kesinambungan hidup
suatu usaha (going concern of entity) tidak hanya bergantung pada pengelolaan
yang dilakukan oleh manajemen dan peran serta pemegang saham.
Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan menurut Plunkett dan Arthur
(1983: 174) dalam Purwati (2001), yaitu:
The moral and ethical content of managerial and corporate decision, that is,
the value used in bussiness decision over and abore the pragmatic imposed
by legal principles and the market economy.

Pada intinya tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social


responsibility) adalah kewajiban organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam
kegiatan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Disiplin akuntansi juga merespon perkembangan pertanggung-
jawaban sosial perusahaan, yaitu dengan melahirkan wacana baru. Salah satunya

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

adalah tema yang dikembangkan dalam wacana Social Responsibility Accounting


(SRA) atau akuntansi pertanggungjawaban sosial. Tema ini bertujuan untuk
mengungkapkan item-item individual yang mempunyai dampak sosial (Belkaoui,
2006: 349).
Praktik pengungkapan CSR telah banyak diterapkan oleh perusahaan publik
di Indonesia. Pada laporan tahunannya, perusahaan telah menyebutkan aspek
pertangungjawaban sosial walaupun dalam bentuk yang relatif sederhana.
Perusahaan berhak memilih bentuk pengungkapan yang sesuai dengan kebutuhan
dan kompleksitas organisasinya. Meskipun informasi mengenai CSR yang diungkap
dalam laporan tahunan tersebut belum mendetail, itikad baik perusahaan ini perlu
untuk mendapatkan apresiasi, setidaknya perusahaan telah menyadari pentingnya
informasi yang terkait dengan CSR.
Investor mengapresiasi praktik CSR ini dan melihat aktivitas CSR sebagai
rujukan untuk menilai potensi keberlanjutan suatu perusahaan. Bila perusahaan
tidak mengungkapkan program CSR, bisa jadi stakeholder menganggap
perusahaan yang bersangkutan tidak melakukan tanggung jawab sosialnya dan
meragukan going concern-nya (Pambudi, 2006b). Selanjutnya, investor akan menilai
perusahaan tidak mampu mempertahankan keberlanjutan usahanya sehingga
investor tidak tertarik untuk mengivenstasikan dananya pada perusahaan tersebut.

1.2 Motivasi Penelitian


1. Munculnya tren bagi perusahaan untuk berperilaku lebih etis dengan lebih
memperhatikan faktor lingkungan dan sosial.
2. Teori-teori yang mendasari CSR banyak yang menyebutkan kaitan antara
CSR dengan perusahaan dan investor.
3. Beragamnya hasil penelitian mengenai pengaruh karakteristik perusahaan
terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR.
4. Terdapat beragam bukti empiris mengenai pengaruh luas pengungkapan
sosial dalam laporan tahunan perusahaan terhadap reaksi investor.
5. Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan
oleh Zuhroh dan Sukmawati (2003) serta Sembiring (2005). Berikut ini
perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Zuhroh dan Sukmawati

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(2003) serta Sembiring (2005): (a) Periode amatan, (b) Jumlah sampel
penelitian, (c) Alat pengukur pengungkapan CSR, (d) Teknik pengukuran
tingkat keluasan pengungkapan CSR, (e) Alat pengukur reaksi investor, dan
(f) Karakteristik perusahaan.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian
ini adalah :
a. Apakah karakteristik perusahaan yang meliputi ukuran perusahaan, profita-
bilitas, profil, ukuran dewan komisaris, dan konsentrasi kepemilikan
berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR?
b. Apakah tingkat keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi
investor melalui pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah :
a. Menentukan karakteristik perusahaan apa saja yang terbukti berpengaruh
terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR.
b. Menunjukkan reaksi investor atas keluasan pengungkapan CSR melalui
pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham.

1.5 Kontribusi Penelitian


1. Kontribusi Teori
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti tambahan mengenai teori
yang terkait dengan pengungkapan sosial, antara lain : (a) Decision
usefulness theory, (b) Economic theory, dan (c) Social and political studies.
2. Kontribusi Praktik: (a) Bagi perusahaan dan (b) Bagi investor
3. Kontribusi Kebijakan: (a) Bagi Bapepam, dan (b) Bagi IAI

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Corporate Social Responsibility (CSR)


Disiplin akuntansi merespon perkembangan pertanggungjawaban sosial
perusahaan, yaitu dengan melahirkan wacana baru (Belkaoui, 2006: 349):
1. Social Responsibility Accounting (SRA)
2. Total Impact Accounting (TIA)
3. Sosio Economic Accounting (SEA)

2.2 Teori-teori yang Mendasari Praktik CSR


Gray, et al., (1995) mengemuka-kan beberapa teori yang melatar-belakangi
perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial, yaitu:

2.2.1 Decision Usefulness Studies


Teori ini memasukkan para pengguna laporan akuntansi yang lain selain para
investor ke dalam kriteria dasar pengguna laporan akuntansi sehingga suatu
pelaporan akuntansi dapat berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh
semua unsur pengguna laporan tersebut.

2.2.2 Economic Theory Studies


Studi ini berdasarkan pada economic agency theory. Teori tersebut
membedakan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan
menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggung-
jawaban atas segala sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik
perusahaan

2.2.3 Social and Political Studies


Sektor ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik, sosial, dan
kerangka institusional tempat ekonomi berada. Studi sosial dan politik mencakup
dua teori utama, yaitu: (1.) Stakeholder Theory dan (2.) Legitimacy Theory

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Teori-teori lain yang mendukung praktik pengungkapan sosial, yaitu teori


kontrak sosial. Teori tersebut menyatakan bahwa perusahaan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu komunitas.

2.3 Laporan Perusahaan


Terdapat beberapa prinsip penting berkaitan dengan laporan perusahaan,
yaitu:

2.3.1 Pengungkapan (Disclosure) dalam Laporan Tahunan


Pengungkapan didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien (Hendriksen,
1998:136). Dalam interpretasi yang lebih luas, pengungkapan terkait dengan
informasi baik yang terdapat dalam laporan keuangan maupun komunikasi
tambahan (suplementary communication) yang terdiri catatan kaki, informasi tentang
kejadian setelah tanggal laporan, analisis manajemen atas operasi perusahaan di
masa mendatang, perkiraan keuangan dan operasi, serta informasi lainnya (Zuhroh
dan Sukmawati, 2003).

2.3.2 Tujuan Pengungkapan


Tujuan pengungkapan menurut Securities Exchange Commision (SEC)
dikatagorikan menjadi dua, yaitu:
1. Protective disclosure, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan
terhadap investor.
2. Informative disclosure, yang bertujuan memberikan informasi yang layak
kepada pengguna laporan (Wolk dan Tearney dalam Utomo, 2000).

2.3.3 Kualitas Informasi yang Seharusnya Diungkapkan


Hendriksen (1998: 140) menyatakan tiga konsep umum tentang
pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu:
1. Pengungkapan yang cukup (adequate), merupakan pengungkapan yang
minim cukup untuk membuat laporan tidak menyesatkan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2. Pengungkapan yang wajar (fair), merupakan pengungkapan yang


memberikan perlakuan yang sama bagi semua pembaca potensial.
3. Pengungkapan yang lengkap (full), merupakan penyajian semua informasi
yang relevan.

2.3.4 Manfaat Pengungkapan Bagi Pemakai Informasi


Informasi dalam laporan tahunan yang disajikan oleh perusahaan terutama
perusahaan go public ditujukan kepada para pemakai laporan tahunan tersebut. IAI
dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan menyatakan
Pemakai laporan keuangan meliputi investor sekarang dan investor potensial,
karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha lainnya, pelanggan,
pemerintah serta lembaga-lembaganya, dan masyarakat.

2.4 Pedoman Global Reporting Initiative (GRI)


Isu mengenai CSR terkait erat dengan sustainability reporting. GRI
merupakan salah satu dari lembaga yang serius menangani permasalahan yang
berhubungan dengan sustainability. Sustainability reporting merupakan praktik
pengukurkuran, pengungkapan, dan pertanggungjawaban kepada stakeholder
internal dan eksternal perusahaan terkait dengan kinerja pencapaian tujuan
keberlangsungan perusahaan. Sustainability reporting merupakan terminologi yang
luas mengenai engungkapan kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial (misalnya
Triple Bottom Line, Corporate Social Responsibility, dan lain-lain) (GRI, 2006: 4).
Secara umum, pedoman GRI terdiri atas empat bagian. Bagian pertama
adalah pengantar. Bagian kedua berisi tentang penjelasan mengenai penggunaan
pedoman GRI. Bagian ketiga tentang prinsip-prinsip pelaporan, dan bagian keempat
menjelaskan isi pelaporan SR.

2.5 Karakteristik Perusahaan


Karakteristik perusahaan merupakan indikator yang dapat menunjukkan
kualitas perusahaan. Karakteristik tersebut, antara lain:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.5.1. Ukuran Perusahaan


Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan
untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Hal
ini jika dikaitkan dengan teori agensi, perusahaan besar yang memiliki biaya
keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk
mengurangi biaya keagenan tersebut. Di samping itu, perusahaan besar merupakan
emiten yang banyak disoroti, pengungkapan yang lebih besar merupakan
pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan
(Sembiring, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan terbukti
berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan tanggung jawab sosial
(Sembiring, 2005) dan Gray, et al., (2001). Demikian juga Belkaoui dan Karpik
(1989), Hackston dan Milne (1996), Adam, et al, (1998), Gray, et al, (2001),
Sembiring (2003), Anggraini (2006), dan Morrison dan Siegel (2006) yang berhasil
menemukan bukti empiris atas pengaruh ukuran perusahaan terhadap keluasan
pengungkapan CSR. Sementara Robert (1992) tidak berhasil menemukan
hubungan antara kedua variabel tersebut.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini, yaitu:
Ha1 = ukuran perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR

2.5.2. Profitabilitas
Shinghvi dan Desai (1971) dalam Simanjuntak dan Widiastuti (2004)
menyatakan bahwa rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan
mendorong manajer untuk memberikan informasi yang lebih terperinci. Hal tersebut
disebabkan manajer ingin meyakinkan investor akan profitabilitas perusahaan dan
selanjutnya akan mendorong kompensasi manajemen. Hasil penelitian tersebut
sesuai dengan signalling hypothesis yang menyatakan bahwa perusahaan yang
unggul dan mempunyai laba yang baik akan mengungkapkan informasi lebih rinci,
termasuk kebebasan dan keleluasaan untuk menunjukkan dan
mempertanggungjawabkan seluruh program sosialnya.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kebanyakan penelitian ilmiah mengenai hubungan profitabilitas dan


pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan memperlihatkan hasil yang
positif, seperti yang dibuktikan oleh Rashid dan Ibrahim (2002), ODwyer (2003),
Juholin (2004), Hopkins (2004), Raar (2004), Sembiring (2005), Baron (2005), dan
Anggraini (2006). Sebaliknya, Hackston dan Milne (1996) serta Sembiring (2003)
memperoleh bukti bahwa profitabilitas dan pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan tidak memiliki hubungan yang positif. Hasil yang lain ditunjukkan oleh
Capaldi (2006) yang menemukan bukti bahwa hubungan profitabilitas dengan
tingkat keluasan pengungkapan CSR dipengaruhi oleh cara pandang pengusaha
terkait dengan dualisme hubungan CSR dengan laba. Ada sebagian pengusaha
yang memandang CSR sebagai pengurang laba dan ada sebagian yang justru
berpandangan sebaliknya .
Terkait isu profitabilitas dengan pengungkapan CSR, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha2 = profitabilitas berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR

2.5.3. Profile
Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high profile menurut Robert
(1992) dalam Hackston dan Milne (1996) adalah perusahaan yang mempunyai
tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi
atau tingkat kompetisi yang ketat. Perusahaan-perusahaan high profile, pada
umumnya merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan dari masyarakat
karena aktivitas operasinya memiliki potensi untuk bersinggungan dengan
kepentingan luas. Masyarakat umumnya lebih sensitif terhadap tipe industri ini
karena kelalaian perusahaan dalam pengamanan proses produksi dan hasil
produksi dapat membawa akibat yang fatal bagi masyarakat. Sedangkan
perusahaan low profile adalah perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan
luas dari masyarakat manakala operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan
atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya. Bila
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan high profile, perusahaan yang
terkategori dalam industri low profile lebih ditoleransi oleh masyarakat luas
manakala melakukan kesalahan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Penelitian yang berkaitan dengan profile perusahaan kebanyakan


mendukung bahwa industri high-profile mengungkapkan informasi tentang tanggung
jawab sosialnya lebih banyak dari industri low-profile, seperti yang dibuktikan oleh
Hackston dan Milne (1996), Rashid dan Ibrahim (2002), Zuhroh dan Sukmawati
(2003), Juholin (2004), Sallyanne (2004), Jones, et al (2005), Branco dan Rodrigues
(2006), dan Jones, et al (2007). Hasil yang berbeda ditemukan oleh Sembiring
(2005) yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh profil perusahaan terhadap
pengungkapan CSR.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut, maka hipotesis yang
diajukan terkait dengan masalah profil perusahaan, yaitu:
Ha3 = profil perusahaan berpengaruh terhadap tingkat keluasan
pengungkapan CSR

2.5.4. Ukuran Dewan Komisaris


Implementasi program CSR merupakan hasil dari kebijakan strategis
perusahaan yang melibatkan seluruh manajemen tingkat atas dan juga komisaris.
Pelaksanaan CSR lebih optimal pada perusahaan yang mendapat dukungan penuh
dari dewan komisaris (Juholin, 2004). Keberadaan para profesional yang tergabung
dalam dewan komisaris juga menjadi pertimbangan manajemen perusahaan dalam
penentuan keputusan terkait dengan kebijakan keuangan, pencitraan, dan aksi
sosial perusahaan (Hines, 2002).
Penelitian empiris yang mendukung hubungan antara ukuran dewan
komisaris dengan praktik CSR, antara lain dilakukan oleh Cooper, et al (2004),
Hines (2002), Juholin (2004), dan Sembiring (2005). Penelitian-penelitian tersebut
menyatakan bahwa dewan komisaris merupakan pendukung utama dalam kegiatan
CSR perusahaan.
Hipotesis yang diajukan terkait dengan masalah ukuran dewan komisaris
perusahaan, yaitu:
Ha4 = ukuran dewan komisaris perusahaan berpengaruh terhadap keluasan
pengungkapan CSR

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.5.5. Konsentrasi Kepemilikan


Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena
berkaitan dengan pengendalian operasional perusahaan. Perusahaan yang proporsi
kepemilikan publiknya besar, maka memerlukan pengendalian yang lebih ketat.
Pengertian publik adalah pihak individu yang berada di luar manajemen dan tidak
memiliki hubungan istimewa terhadap perusahaan.
Terdapat beberapa penelitian tentang hubungan antara konsentrasi
kepemilikan dengan CSR. Rute, et al (2006) menemukan bukti bahwa praktik CSR
pada perusahaan di Portugal sangat dipengaruhi oleh basis ekonomi negara, yaitu
usaha kecil dan menengah sehingga faktor kepemilikan usaha menjadi hal yang
dipertimbangkan, sedangkan Hopkins (2004) menyatakan bahwa tujuan utama CSR
adalah masyarakat luas sebagai pemilik perusahaan mayoritas. Bukti lain
ditunjukkan oleh Sembiring (2003), yaitu bahwa ternyata konsentrasi kepemilikan
tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Hal tersebut diakibatkan oleh
rendahnya kekuatan individu-individu yang terpisah untuk menekan manajemen.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini, yaitu:
Ha5 = konsentrasi kepemilikan perusahaan berpengaruh terhadap keluasan
pengungkapan CSR

2.6 Saham
2.6.1 Pengertian Saham
Hartono (2003: 67) mendefinisikan saham adalah hak kepemilikan yang
dikeluarkan oleh perusahaan yang diserahkan kepada pihak-pihak yang menyetor
modal, sedangkan menurut Sumantoro 1990) dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003)
saham adalah sebagai penyertaan modal dasar suatu perseroan terbatas, sebagai
tanda bukti penyetoran tersebut dikeluarkan surat saham atau surat kolektif kepada
pemegang saham. Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
saham adalah tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan usaha dalam
suatu perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.6.2 Abnormal Return


Abnormal return atau excess return merupakan kelebihan dari return yang
sesungguhnya terjadi terhadap return normal. Return normal merupakan return
ekspektasi (return yang diharapkan oleh investor). Dengan demikian, abnormal
return adalah selisih antara return yang sesungguhnya yang terjadi dengan return
ekspektasi.
Dalam penelitian ini abnormal return yang dipakai adalah abnormal return
yang menggunakan model estimasi market adjusted model. Market adjusted model
menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu
sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Dengan menggunakan
model ini, maka tidak perlu menggunakan periode estimasi untuk membentuk model
estimasi karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks
pasar. (Hartono, 2003: 433).
Reaksi pasar dapat diukur dengan menggunakan return sebagai nilai
perubahan harga atau dengan menggunakan abnormal return. Jika digunakan
abnormal return, dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman yang mempunyai
kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada pasar, dan
sebaliknya pengumuman yang tidak memiliki kandungan informasi tidak akan
memberikan abnormal return kepada pasar.
Abnormal return sering kali dipakai sebagai proksi dalam menilai reaksi
pasar. Penelitian yang menunjukkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial
berpengaruh terhadap abnormal return, antara lain dilakukan oleh Frankental (2001)
yang membuktikan bahwa CSR merupakan salah satu temuan inovasi dalam
pencitraan perusahaan karena dapat mempengaruhi investor dengan pembuktian
adanya peningkatan abnormal return. Raar (2004) menyatakan bahwa perpaduan
antara nilai lingkungan dan sosial dalam kebijakan perusahaan bisa meningkatkan
citra perusahaan dan menciptakan kesejahteraan baik bagi perusahaan maupun
investor. Baron (2005) memperoleh bukti bahwa implementasi CSR secara strategis
dapat meningkatkan abnormal return, dan Rute, et al (2005) mengidentifikasi bahwa
salah satu motivasi penting pelaksanaan CSR adalah perolehan abnormal return.
Berdasarkan uraian tersebut penelitian ini menggunakan abnormal return sebagai
salah satu proksi reaksi pasar.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.6.3 Volume Perdagangan Saham


Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah
diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan pengukuran
ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis. Menurut Morse
(1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham dapat merefleksikan
semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan perdagangan saham di
pasar.
Pengujian terhadap reaksi pasar melalui indikator harga dan volume
perdagangan saham lebih dikaitkan dengan pengujian terhadap hipotesis efisiensi
pasar. Sebuah pasar yang efisien akan tercermin dari cepatnya investor bereaksi
terhadap masuknya informasi baru, yang mana bila pelaku pasar (investor)
menganggap informasi tersebut sebagai informasi yang baik (god news), akan ada
reaksi investor yang tercermin melalui peningkatan harga saham maupun volume
perdagangan saham (Hartono, 2003: 374).
Indikator reaksi pasar salah satunya adalah volume perdagangan. Terdapat
beberapa penelitian yang menggunakan volume perdagangan sebagai proksi dari
reaksi pasar. Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bukti bahwa
pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public
berpengaruh terhadap volume perdagangan. Demikian juga dengan Cetindamar dan
Husoy (2007) dan Lopez, et al (2007) yang menemukan bukti bahwa terdapat
perbedaan volume perdagangan antara perusahaan yang melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial dan yang tidak mengungkapkannya.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini juga menggunakan volume
perdagangan saham sebagai proksi reaksi pasar. Dengan demikian, dalam
penelitian ini terdapat dua proksi reaksi pasar, yaitu abnormal return dan volume
perdagangan saham.
Abnormal return sering kali dipakai sebagai proksi dalam menilai reaksi pasar
atas pengungkapan tanggung jawab sosial. Penelitian yang menunjukkan bahwa
pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh terhadap abnormal return,
antara lain Frankental (2001), Raar (2004), Baron (2005), dan Rute, et al (2005).
Penelitian yang menggunakan abnormal return sebagai alat pengukur reaksi
pasar akibat pengumuman laporan CSR juga dilakukan oleh Rakhmad (2006) dan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Indra (2008). Akan tetapi, kedua penelitian tersebut gagal menunjukkan pengaruh
pengumuman laporan CSR terhadap reaksi pasar. Kegagalan tersebut disebabkan
karena kecilnya sampel yang digunakan, yaitu kurang dari 10 perusahaan.
Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah
diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan pengukuran
ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis. Menurut Morse
(1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham dapat merefleksikan
semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan perdagangan saham di
pasar.
Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan volume perdagangan
sebagai proksi dari reaksi pasar. Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bukti
bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public
berpengaruh terhadap volume perdagangan. Demikian juga dengan Cetindamar dan
Husoy (2007) dan Lopez, et al (2007) yang menemukan bukti bahwa terdapat
perbedaan volume perdagangan antara perusahaan yang melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial dan yang tidak mengungkapkannya,
sedangkan Rakhmad (2006) dan Indra (2008) tidak berhasil menunjukkan pengaruh
pengumuman laporan CSR terhadap reaksi pasar. Sama halnya dengan abnormal
return, kegagalan tersebut disebabkan karena kecilnya sampel yang digunakan,
yaitu kurang dari 10 perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini
adalah:
Ha7= keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Tipe penelitian ini dari sudut pandang kerangka berpikir tergolong penelitian
kuantitatif. Kerangka berpikir jenis ini menguji teori-teori dengan menggunakan
angka dan metode statistik dalam melakukan analisis data (Indriantoro dan Supomo,
2002: 12).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang mengungkap
program CSR di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan data yang ada di website BEI,
pada tanggal 31 Desember 2006 terdapat 342 perusahaan yang tercatat.
3.2.2 Sampel
Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel
bertujuan (purposive sampling). Pengambilan sampel bertujuan dilakukan dengan
mengambil sampel dari populasi berdasarkan suatu kriteria tertentu (Hartono, 2004:
79).
Berdasarkan seleksi yang telah dilakukan, diperoleh 116 perusahaan sebagai
sampel penelitian. Berikut ini kriteria yang digunakan untuk menyeleksi sampel
penelitian:
1. Sampel penelitian merupakan perusahaan yang terdaftar di BEI per 31
Desember 2006.
2. Sampel penelitian harus merupakan perusahaan yang termuat dalam daftar
direktori laporan tahunan per 31 Desember 2006.
3. Sampel penelitian harus menyajikan laporan tahunan per 31 Desember 2006.
4. Sampel penelitian harus menyajikan pengungkapan CSR dalam laporan
tahunannya.
Berikut Tabel 3.1 yang memuat kriteria pemilihan sampel penelitian:
Tabel 3.1 Kriteria Pemilihan Sampel Penelitian
No. Kriteria Jumlah Perusahaan
1. Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI per 31
342
Desember 2006
2. Jumlah perusahaan yang terdaftar di direktori
210
laporan tahunan per 31 Desember 2006
3. Perusahaan yang menyajikan laporan tahunan per
200
31 Desember 2006
4. Perusahaan yang menyajikan pengungkapan CSR
116
dalam laporan tahunan per 31 Desember 2006
Sumber: Data BEI yang diolah.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.3 Horison Waktu


Sesuai dengan karakteristik masalah penelitian yang akan dijawab maka
penelitian ini tergolong studi cross-sectional, yaitu tipe studi satu tahap yang
datanya berupa beberapa subyek pada waktu tertentu (Indriantoro dan Supomo,
2002: 95).
Waktu amatan penelitian ditentukan pada tahun 2006 dengan alasan bahwa
tahun 2006 merupakan tahun peneliti bisa mendapatkan data terbaru berupa
laporan tahunan. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008, sedangkan database BEI
terakhir dimutakhirkan tahun 2007 yang berisi laporan tahunan dan laporan
keuangan tahun 2006. Selain itu, data abnormal return dan volume perdagangan
saham biasanya baru dipublikasikan 4 bulan setelah laporan keuangan diumumkan.
Pengamatan terhadap reaksi pasar menggunakan periode waktu 11 hari,
yaitu hari -5 sampai dengan hari +5 tanggal publikasi laporan tahunan. Penentuan
waktu amatan tersebut merujuk pada penelitian Zuhroh dan Sukmawati (2003).

3.4 Unit Analisis Data


Unit analisis merupakan tingkat agregasi data yang dianalisis dalam
penelitian (Indriantoro dan Supomo, 2002: 94). Sesuai dengan rumusan masalah
maka unit analisis data dalam penelitian ini tergolong tingkat perusahaan, yaitu
mencakup seluruh perusahaan yang terdaftar di suatu bursa efek.

3.5 Metode Statistik yang Digunakan


Berdasarkan pertimbangan tema penelitian dan nilai data, maka metode
statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Partial Least Square (PLS).
Wold (1985) dalam Ghozali (2006: 4) menyatakan bahwa PLS merupakan metode
analisis yang powerfull karena tidak didasarkan banyak asumsi.

3.6 Definisi Operasional Variabel


Penelitian ini menggunakan 8 variabel dan tiap-tiap variabel diukur dengan
menggunakan indikator tertentu. Berikut ini Tabel 3.2 yang berisi ringkasan variabel
penelitian beserta indikatornya:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 3.2 Variabel dan Indikator Penelitian


No. Variabel Indikator
1. Ukuran perusahaan (UP) a. Jumlah tenaga kerja (TK)
b. Total asset (TA)
2. Profitabilitas (PRF) a. Return on asset (ROA)
b. Return on equity (ROE)
3. Profile (PRL) Tipe industri (H/L)
4. Ukuran dewan komisaris Jumlah dewan komisaris (DK)
(KOM)
5. Konsentrasi kepemilikan Persentase jumlah saham perusahaan yang
(KP) dimiliki oleh publik (SP)
6. Luas pengungkapan CSR a. Kuantitas pengungkapan CSR (CSRD1)
(CSRD) b. Proporsi pengungkapan CSR (CSRD2)
c. Dimensi pengungkapan CSR (CSRD3)
d. Aspek pengungkapan CSR (CSRD4)
e. Indikator kinerja CSR (CSRD5)
7. Reaksi Investor a. Abnormal return (AR)
b. Trading volume activity (TVA)

4.7.1 Ukuran Perusahaan (UP)


Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan proksi jumlah tenaga kerja
(TK) yang ada dalam perusahaan (Gray, et al, 2001 dan Sembiring, 2005) dan total
asset (TA) (Machfoedz, 1994). Pengukuran ukuran perusahaan dengan
menggunakan proksi jumlah tenaga kerja dan total asset juga memperlihatkan
tingkat produktivitas dan skala ekonomi perusahaan (Morrison dan Siegel, 2006)

4.7.2 Profitabilitas (PRF)


Menurut Beard dan Dess (1979) dalam Martono (2002) konsep profitabilitas
mengacu pada dua perspektif, yakni dilihat dari kepentingan manajemen dan
kepentingan pemilik modal. Profitabilitas perusahaan diukur dengan menggunakan
indikator Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). Keunikan dari

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

interpretasi rasio profitabilitas industri yang diukur dari ROA dan ROE industri
adalah bahwa rasio ini mencerminkan daya tarik bisnis (business attractiveness).
Penggunaan ROA dan ROE juga konsisten dengan penelitian Hakston dan Milne
(1996). Tipe skala konstruk profitabilitas adalah rasio dan nilai datanya adalah
metrik.

4.7.3 Profile (PRL)


Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high profile menurut Robert
(1992) dalam Hackston dan Milne (1996) adalah perusahaan yang mempunyai
tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi
atau tingkat kompetisi yang ketat. Selanjutnya, perusahaan yang termasuk dalam
tipe industri low profile adalah perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan
luas dari masyarakat manakala operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan
atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya.
Klasifikasi tersebut telah digunakan dalam penelitian Hakston dan Milne
(1996), Zuhroh dan Sukmawati (2003), dan Sembiring (2005). Ketiga penelitian
tersebut merupakan penelitian yang mengidentifikasi pengaruh profil perusahaan
terhadap keluasan pengungkapan CSR.

4.7.4 Ukuran Dewan Komisaris (KOM)


Menurut Coller dan Gregory (1999) dalam Sembiring (2005) dewan komisaris
berfungsi untuk memonitor dan mengendalikan CEO. Semakin besar jumlah
anggota dewan komisaris (DK), maka akan semakin mudah untuk mengendalikan
CEO dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Ukuran dewan komisaris
yang digunakan dalam penelitian ini konsisten dengan penelitian Juholin (2004) dan
Sembiring (2005), yaitu jumlah anggota dewan komisaris. Tipe skala untuk variabel
ukuran dewan komisaris adalah rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik.

4.7.5 Konsentrasi Kepemilikan (KP)


Perusahaan yang proporsi kepemilikan publiknya besar, maka memerlukan
pengendalian yang lebih ketat (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu,

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan yang proporsi kepemilikan publiknya besar dituntut untuk membuat


pengungkapan kinerja yang lebih lengkap.
Konsentrasi kepemilikan dihitung dengan menggunakan persentase jumlah
saham perusahaan yang dimiliki oleh publik (SP) (Hopkins, 2004). Tipe skala untuk
konstruk konsentrasi kepemilikan adalah rasio, sedangkan nilai datanya adalah
metrik.

4.7.6 Luas Pengungkapan CSR (CSRD)


Tingkat keluasan pengungkapan CSR (CSRD) merupakan nilai kinerja
perusahaan atas praktik pertanggungjawaban sosialnya, yang terdiri atas kinerja
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tipe skala untuk variabel CSRD adalah rasio,
sedangkan nilai datanya adalah metrik. CSRD diukur dengan menggunakan alat
analisis isi (content analysis) yang bersumber dari data sekunder. Analisis isi
digambarkan sebagai suatu teknik penelitian untuk tujuan sistematika dan deskriptif
kuantitatif suatu manifestasi jawaban komunikasi (Cooper dan Emory, 1998: 10).
Acuan yang dipakai dalam melakukan analisis isi adalah pedoman indikator
kinerja GRI 2006. Pertimbangan pemakaian alat analisis tersebut adalah supaya
informasi yang diperoleh lebih berkualitas baik secara kuantitas maupun
kualitasnya. Hal tersebut terkait dengan seberapa besar perusahaan memiliki
kepedulian terhadap CSR. Hasil yang diperoleh dari penggunaan analisis konten
adalah berupa beberapa indikator yang representatif untuk mengukur tingkat
keluasan pengungkapan CSR. Berikut ini beberapa hal yang menjadi indikator
tingkat keluasan pengungkapan CSR:
1. Kuantitas pengungkapan CSR (CSRD1).
2. Proporsi pengungkapan CSR (CSRD2).
3. Dimensi pengungkapan CSR (CSRD3).
4. Aspek pengungkapan CSR (CSRD4).
5. Tingkat kesesuaian pengungkapan CSR dengan indikator kinerja yang ada pada
setiap aspek pengungkapan (CSRD5).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4.7.7 Reaksi Investor (RI)


Reaksi investor diukur dengan menggunakan indikator abnormal return dan
volume perdagangan saham.
1. Abnormal return (AR)
Abnormal return adalah selisih antara return sesungguhnya (actual return)
dengan expected return. Abnormal return digunakan untuk melihat harga
saham pada event window untuk tiap-tiap hari disekitar tanggal peristiwa.
Berdasarkan tipe skalanya, konstruk abnormal return berskala rasio,
sedangkan nilai datanya adalah metrik. Menurut Hartono (2000: 416)
abnormal return dapat dihitung dengan persamaan:

Keterangan :
ARit = abnormal return sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t
R it = actual return saham sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t
[RE it] = expected return sekuritas ke-i pada periode ke-t

2. Volume Perdagangan (TVA)


Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah
diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan
pengukuran ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis.
Menurut Morse (1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham
dapat merefleksikan semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara
keseluruhan perdagangan saham di pasar. Volume perdagangan saham
diukur berdasarkan volume perdagangan saham harian dengan
menggunakan Trading Volume Activity (TVA). Tipe skala variabel ini adalah
rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik.

4.8 Model Empiris dan Pengujian Hipotesis


4.8.1 Model Empiris
Terdapat 6 hipotesis yang diuji dalam penelitian ini. Keenam hipotesis
tersebut melibatkan 7 variabel dan 14 indikator. Bentuk model indikator dalam

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

penelitian ini adalah refleksif. Menurut Ghozali (2006: 7) model refleksif


mengasumsikan bahwa konstruk atau variabel laten mempengaruhi indikator (arah
hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator atau manifest). Bentuk model
hubungan antar variabel dan indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

TA
UP
TK
CSRD2

ROA
PRF CSRD1 CSRD3 AR
ROE

H/L PRL CSRD RI

DK KOM TVA
CSRD4 CSRD5

SP KP

Gambar4.1ModelPenelitian

4.8.2 Deskripsi Data


Data dalam penelitian ini terlebih dahulu dideskripsikan dengan
menggunakan Descriptive Statistic. Deskripsi ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai nilai Mean, Sum, Standar Deviasi, Variance, Range, Minimum
dan Maximum dari setiap data.

4.8.3 Uji Hipotesis


Pengujian hipotesis dilakukan secara serentak dengan menggunakan metode
PLS. PLS tidak mengasumsikan adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter
sehingga tidak diperlukan teknik parametrik untuk menguji signifikansi parameter
(Chin, 1998 dalam Ghozali, 2006: 24).
Alat yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Software Visual Partial
Least Square versi 1.04 (VisualPLS 1.04). Pengujian dengan metode PLS terdiri dari
pengujian outer model (measurement) dan inner (struktural) model.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Ringkasan hipotesis dan pengujiannya


Tabel 4.4 Pengujian Hipotesis
Pernyataan
No Hipotesis Nilai t hitung Simpulan
Hipotesis
1. Ha1 UP CSRD > 1,96 Diterima
2. Ha2 PRF CSRD > 1,96 Diterima
3. Ha3 PRL CSRD > 1,96 Diterima
4. Ha4 KOM CSRD > 1,96 Diterima
5. Ha5 KP CSRD > 1,96 Diterima
6. Ha6 CSRD AR > 1,96 Diterima
7. Ha7 CSRD TVA > 1,96 Diterima

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis Data


Pada tahap tabulasi data, terdapat sebagian perusahaan yang dijadikan
objek penelitian, ternyata datanya tidak lengkap. Ketidaklengkapan tersebut terkait
dengan ketiadaan pencantuman sebagian informasi yang diperlukan untuk
mengukur karakteristik perusahaan, misalnya ketiadaan informasi mengenai jumlah
tenaga kerja. Berdasarkan pertimbangan kelengkapan data maka jumlah
perusahaan yang dijadikan objek penelitian menjadi berkurang sebanyak 22,
sehingga akhirnya jumlah perusahaan yang dijadikan objek penelitian adalah 94
perusahaan .
Selanjutnya, data dari 94 perusahaan tersebut dihitung statistik deskriptifnya
untuk mengetahui karakteristik data. Kemudian data dianalisis dengan
menggunakan metode PLS untuk pengujian hipotesis. Dengan demikian,
berdasarkan hasil analisis tersebut dilakukan interpretasi beserta pembahasannya.

4.1.1 Deskripsi Data


Guna mengetahui karakteristik data yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dilakukan uji statistik deskriptif.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4.1.2 Hasil Uji Hipotesis


Pengujian dengan metode PLS terdiri dari pengujian outer model
(measurement) dan inner (struktural) model. Berikut ini hasil pengujian hipotesis
dengan menggunakan metode PLS:
4.1.2.1 Pengujian Outer Model (Measurement)
Terdapat tiga kriteria yang digunakan dalam penilaian outer model yaitu
convergent validity, discriminant validity, dan composite reliability. Berikut
penjelasan untuk tiap-tiap penilaian tersebut:
a. Convergent validity
Convergent validity dari model pengukuran dengan indikator refleksif dinilai
berdasarkan korelasi antar item score/component score dengan construct score
yang dihitung dengan PLS. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika
berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang ingin diukur. Meskipun
demikian, untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran
nilai loading 0,50 sampai 0,60 dianggap cukup.

Tabel 4.5 Hasil Uji Convergent Validity Tahap Kedua


Factor Loading, Residual and Weights
Construct Indicator Mean Stdev Loading Residual Weight
UP TK 4426.500000 9545.495786 1.000000 0.000000 1.000000
PRF ROA 0.056158 0.103919 1.000000 0.000000 1.000000
PRL H/L 0.308511 0.464355 1.000000 0.000000 1.000000
KOM DK 4.648936 1.927210 1.000000 0.000000 1.000000
KP SP 25.936717 18.144139 1.000000 0.000000 1.000000
CSRD4 2.808511 2.205938 0.984200 0.031400 0.507500
CSRD
CSRD5 3.851064 3.860351 0.984200 0.031300 0.508500
RI AR 163469085.106383 462841635.847038 1.000000 0.000000 1.000000
Sumber:Output VPLS.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh nilai loading factor tiap-tiap


indikator adalah lebih dari 0,5 sehingga hasil tersebut telah memenuhi convergent
validity.
b. Discriminant validity
Langkah selanjutnya adalah menilai discriminant validity indikator refleksif.
Discriminant validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai
berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk
dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, hal tersebut
menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih
baik daripada ukuran blok lainnya. Berikut ini hasil yang menunjukkan penilaian
cross loading tersebut:

Tabel 4.6 Hasil Uji Discriminant Validity


Factor Structure Matrix of Loadings and Cross-Loadings
Scale Items UP PRF PRL KOM KP CSRD RI
TK 1.0107 0.1437 0.1043 0.4938 0.1484 0.3534 0.0818
ROA 0.1439 1.0106 0.0781 0.1783 -0.1020 0.1623 -0.0796
H/L 0.1045 0.0778 1.0108 -0.0099 0.0291 0.2449 0.0365
DK 0.4938 0.1784 -0.0099 1.0108 -0.0482 0.2341 -0.0625
SP 0.1484 -0.1018 0.0291 -0.0482 1.0108 0.2039 0.3586
CSRD4 0.3370 0.1557 0.2499 0.2011 0.2145 0.9941 0.1910
CSRD5 0.3578 0.1635 0.2323 0.2587 0.1869 0.9947 0.1656
AR 0.0817 -0.0795 0.0366 -0.0627 0.3586 0.1816 1.0107
Sumber:Output VPLS.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa korelasi konstruk UP dengan


indikatornya (1.0109), yaitu TK, lebih tinggi dibandingan dengan korelasi indikator
TK dengan konstruk lainnya (PRF, PRL, KOM, KP, CSRD, dan RI). Hal ini juga
berlaku untuk korelasi kostruk dengan indikator yang lainnya. Dengan demikian

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

maka disimpulkan bahwa konstruk laten memprediksi indikator pada blok mereka
lebih baik dibandingkan dengan indikator pada blok lainnya.
c. Composite Reliability
Langkah selanjutnya adalah uji composite reliability dari blok indikator yang
mengukur konstruk. Composite reliability blok indikator yang mengukur suatu
konstruk dapat dievaluasi dengan menggunakan dua ukuran, yaitu internal
consistency dan cronbachs alpha. Model yang baik juga harus mempunyai
composite reliability di atas 0,8. Berikut hasil yang diperoleh:

Tabel 4.7 Uji Composite Reliability


Reliability and AVE
Composite
Construct AVE Cronbach Alpha
Reliability
UP 1.000000 1.000000 0.000000
PRF 1.000000 1.000000 0.000000
PRL 1.000000 1.000000 0.000000
KOM 1.000000 1.000000 0.000000
KP 1.000000 1.000000 0.000000
CSRD 0.984075 0.968650 0.893524
RI 1.000000 1.000000 0.000000
Sumber:Output VPLS.

Hasil composite reliability menunjukkan nilai yang memuaskan yaitu 1 untuk tiap-
tiap konstruk, kecuali konstruk CSRD yang bernilai 0,969. Hal ini menunjukkan
bahwa model yang dibentuk adalah baik karena nilai composite reliability lebih dari
0,8.

4.1.2.2 Pengujian Inner Model atau Model Struktural


Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R-square untuk konstruk
dependen, Stone-Geisser Q-square test untuk predictive relevance, dan uji t serta

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. Berikut ini gambar model yang
menunjukkan hasil pengujian model struktural:

Gambar 4.1 Hasil Pengujian Model Struktural

Sumber:Output VPLS.
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa model memberikan nilai R Square
sebesar 0,686 untuk pengaruh karakteristik perusahaaan terhadap
pengungkapan CSR dan 0,529 untuk pengaruh pengungkapan CSR terhadap
reaksi investor.

Tabel berikut memuat keterangan mengenai hasil uji model struktural:


Table 4.9 Hasil Uji Model Struktural
Structural Model--BootStrap
Entire Mean
Standard
Sample of T-Statistic
error
estimate Subsamples
up->csrd -0.0380 -0.0444 0.0345 -1.1026
prf->csrd -0.0830 -0.1005 0.1183 -0.7015
prl->csrd 0.6080 0.6354 0.1861 3.2673
kom->csrd -0.0230 -0.2682 0.2219 -0.1036

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kp->csrd 0.3150 0.2512 0.1541 2.0443


csrd->ri 0.7270 0.7202 0.0843 8.6220
Sumber:Output VPLS.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga jalur yang
memiliki nilai t statistik lebih dari 1,96, yaitu pengaruh profil terhadap pengungkapan
CSR, pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan CSR, dan
pengaruh pengungkapan CSR terhadap reaksi investor. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ketiga jalur tersebut signifikan pada 0,05 serta memiliki koefisien
parameter masing-masing -0,0830, 0,3150 dan 0,7270. Sedangkan ketiga jalur yang
lain memperoleh nilai t statistik yang kurang dari 1,96.
Hasil dari pengujian model struktural juga menunjukkan bahwa dari 6
hipotesis yang diajukan, 3 di antaranya diterima dan 3 yang lain ditolak. Hal tersebut
disebabkan perolehan nilai t statistik untuk 3 hipotesis yang diterima adalah lebih
dari 1,96, sedangkan 3 yang lain perolehan t statistiknya kurang dari 1,96.
Hipotesis yang diterima adalah:
Ha5 = konsentrasi kepemilikan perusahaan berpengaruh terhadap keluasan
pengungkapan CSR
Ha3 = profile perusahaan berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan
CSR
Ha6= keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor
Hipotesis yang ditolak adalah:
Ha1 = ukuran perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR
Ha2 = profitabilitas berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR
Ha4 = ukuran dewan komisaris perusahaan berpengaruh terhadap keluasan
pengungkapan CSR
5.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data, dari 6 hipotesis yang diajukan, terdapat 3
hipotesis yang diterima dan 3 hipotesis yang ditolak. Berikut ini ringkasan hasil
pengujian hipotesis yang telah dilakukan:
Tabel 4.10 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pernya taan
No Hipotesis Nilai t hitung Simpulan
Hipote sis
1. Ha1 UP CSRD -1.1026 Dito lak
2. Ha2 PRF CSRD -0.7015 Dito lak
3. Ha3 PRL CSRD 3.2673 Diterima
4. Ha4 KOM CSRD -0.1036 Dito lak
5. Ha5 KP CSRD 2.0443 Diterima
6. Ha6 CSRD RI 8.6220 Diterima

4.2.1 Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Tingkat Keluasan


Pengungkapan CSR
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas terlihat jelas bahwa penelitian
ini menemukan bukti bahwa karakteristik perusahaan yang mempengaruhi tingkat
keluasan pengungkapan CSR adalah profile dan konsentrasi kepemilikan,
sedangkan ukuran perusahaan, profitabilitas dan ukuran dewan komisaris terbukti
tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Berikut ini
pembahasan lebih lanjut mengenai hasil hipotesis tiap-tiap variabel:
4.2.1.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Keluasan
Pengungkapan CSR
Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh bukti bahwa ukuran perusahaan
tidak berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Hasil ini sama
seperti yang diperoleh Robert (1992). Penjelasan mengenai bukti ini salah satunya
bisa diperoleh dari karakteristik data yang digunakan untuk mengidentifikasi variabel
ukuran perusahaan.
Ukuran perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan 2
indikator, yaitu jumlah tenaga kerja dan total asset. Kedua indikator tersebut masing-
masing memiliki nilai deviasi standar yang relatif besar, yaitu 9,546 untuk tenaga
kerja dan Rp 41.399.752.092.910,00. Nilai deviasi standar mengukur rata-rata
penyimpangan tiap-tiap item data terhadap nilai yang diharapkan. Nilai yang
diharapan umumnya adalah nilai rata-rata (Hartono, 2004:164). Dibandingkan
dengan nilai rata-ratanya, kedua nilai deviasi standar tersebut jauh di bawah nilai

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

rata-ratanya. Selain itu, kedua indikator tersebut tidak terdistribusi secara normal.
Nilai skewness dan kurtosis kedua indikator tersebut adalah positif. Hal ini
menunjukkan bahwa pola distribusi data terpusat pada satu sisi saja.
Penjelasan mengenai karakteristik kedua indikator tersebut memberikan
alasan mengapa hipotesis mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat
keluasan pengungkapan CSR tidak dapat diterima atau ditolak. Penggunaan data
yang tidak berdistribusi normal menyebabkan hasil uji statistik akan terdegradasi
(Ghozali, 2005:28).
Selain alasan data yang tidak normal, penolakan hipotesis bisa juga
dijelaskan karena adanya faktor lain. Salah satu argumentasi penolakan hipotesis
adalah bahwa posisi ukuran perusahan dalam perumusan strategi perusahaan
(termasuk program CSR) terkait erat dengan formalitas dalam manajemen strategik.
Formalitas sistem manajemen strategik berbeda-beda di perusahaan yang berbeda.
Formalitas mengacu pada seberapa rinci tingkat tanggung jawab, wewenang, dan
keleluaasaan (discreation) pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan
(Pierce dan Robin, 1997: 29). Formalitas yang lebih besar biasanya berkorelasi
positif dengan biaya, kelengkapan (comprehensiveness), akurasi, dan keberhasilan
perencanaan.
Sejumlah faktor menentukan seberapa besar formalitas dibutuhkan dalam
manajemen strategik. Besar organisasi, gaya manajemen yang dominan,
kompleksitas lingkungan, proses produksi, masalah, serta tujuan sistem memainkan
peran dalam menentukan tingkat yang sesuai.
Penerapan program CSR ternyata juga tidak tergantung pada ukuran
perusahaan. Perusahan menghadapi isu-isu yang rumit menyangkut tanggung
jawab sosial. Isu-isu tersebut jumlahnya sangat banyak, kompleks, dan bergantung
pada situasi. Aturan bisnis yang kaku tidak dapat menangani hal tersebut. Setiap
perusahaan, tanpa melihat ukuran harus memutuskan bagaimana memenuhi
tanggung jawab sosialnya..
Terdapat berbagai variasi cara pandang perusahaan terhadap CSR, apakah
hal ini dianggap sebagai hal yang penting atau tidak. Cara pandang ini selanjutnya
akan mempengaruhi praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga akan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 30


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

berdampak pada pengungkapan CSR yang disusunnya. Sejauh ini terdapat tiga
cara perusahaan memandang CSR. Pertama, sebagai strategi perusahaan yang
pada akhirnya mendatangkan keuntungan. Kedua, sebagai compliance (kewajiban)
karena nantinya ada hukum yang memaksa penerapannya. Ketiga, yang
melakukannya beyond compliance karena perusahaan merasa sebagai bagian dari
komunitas (Pambudi, 2006a). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat faktor penting lain yang harus diperhatikan selain ukuran perusahaan, yaitu
cara pandang perusahaan terhadap CSR.

4.2.1.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Tingkat Keluasan Pengungkapan


CSR
Penelitian ini memperoleh bukti bahwa tidak terdapat bukti profitabilitas
berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Hasil tersebut sama
dengan penelitian Hackston dan Milne (1996) serta Sembiring (2003).
Indikator yang digunakan untuk menilai profitabilitas perusahaan adalah ROA
dan ROE. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai
skewness dan kurtosis untuk tiap-tiap indikator adalah lebih dari 0 sehingga dapat
dikatakan bahwa data ROA dan ROE tidak terdistribusi secara normal. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab tertolaknya hipotesis
mengenai pengaruh profitabilitas terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR
adalah tidak normalnya distribusi data.
Profitabilitas merupakan hasil bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan
yang diambil oleh manajemen suatu organisasi. Rasio-rasio profitabilitas
menunjukkan seberapa efektif pengelolaan keseluruhan perusahaan. Rasio
profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dalam satu waktu dan
dianalisis secara bersama-sama tanpa membedakan jenis industri. Hal tersebut bisa
menjadi salah satu penyebab tertolaknya hipotesis mengenai pengaruh profitabilitas
terhadap pengungkapan CSR.
Secara teori, penggunaan rasio ini dalam keputusan strategis perusahaan
ternyata tidak bisa jika hanya dalam satu waktu dan lintas industri. Argumen lain
terkait penolakan hipotesis tentang pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 31


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

CSR adalah terkait dengan kelemahan profitabilitas sebagai alat pengukur kinerja.
Secara teori, terdapat kelemahan analisis keuangan termasuk profitabilitas. Setiap
gambaran yang diberikan analisis tersebut didasarkan pada data masa lalu.
Meskipun kecenderungan layak diperhatikan, gambaran tersebut tidaklah otomatis
dapat diterapkan untuk masa mendatang. Selain itu, analisis ini bergantung pada
prosedur akuntansi yang digunakan untuk menyediakan informasi tersebut. Bila
melakukan perbandingan antar perusahaan, harus diingat bahwa prosedur
akuntansi yang digunakan suatu perusahaan mungkin berbeda dengan prosedur
akuntansi yang digunakan di perusahaan lain (Pierce dan Robin, 1997: 257).
Hasil temuan penelitian ini juga bisa dikonfirmasikan dengan penelitian
Capaldi (2006). Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa hubungan profitabilitas
dengan tingkat keluasan pengungkapan CSR dipengaruhi oleh cara pandang
pengusaha terkait dengan dualisme hubungan CSR dengan laba. Ada sebagian
pengusaha yang memandang CSR sebagai pengurang laba dan ada sebagian yang
justru berpandangan sebaliknya. Dengan demikian variabel profitabilitas
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR dengan syarat terdapat faktor lain dalam
hubungan tersebut, yaitu cara pandang pengusaha terhadap CSR.

4.2.1.3 Pengaruh Profile Perusahaan terhadap Tingkat Keluasan


Pengungkapan CSR
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh bukti bahwa terdapat
pengaruh profile perusahaan terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR.
Penelitian yang berkaitan dengan profile perusahaan kebanyakan mendukung
bahwa industri high-profile mengungkapkan informasi tentang tanggung jawab
sosialnya lebih banyak dari industri low-profile. Penelitian yang menemukan bukti
yang sama antara lain Hackston dan Milne (1996), Rashid dan Ibrahim (2002),
Zuhroh dan Sukmawati (2003), Juholin (2004), Sallyanne (2004), Jones, et al
(2005), Branco dan Rodrigues (2006), dan Jones, et al (2007).
Hasil tersebut memberi tambahan bukti bahwa profile perusahaan
menggambarkan kuantitas dan kualitas sumber daya keuangan, manusia dan fisik
perusahaan. Profile ini juga menilai kekuatan dan kelemahan manajemen dan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 32


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

struktur organisasi perusahaan, sehingga berpengaruh pada keputusan strategiknya


(Pierce dan Robin, 1997: 34).

4.2.1.4 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Tingkat Keluasan


Pengungkapan CSR
Sama seperti hipotesis tentang ukuran perusahaan dan profitabilitas,
hipotesis tentang pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap tingkat keluasan
pengungkapan CSR juga ditolak. Alasan di balik penolakan hipotesis tentang
pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR
bisa disebabkan oleh tidak normalnya distribusi data jumlah dewan komisaris.
Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, indikator ukuran dewan komisaris
memiliki nilai skewness dan kurtosis masing-masing adalah 1,030 dan 0,860.
Secara teori, tertolaknya hipotesis ini bisa dijelaskan melalui teori tentang
perumusan strategi perusahaan. Perumusan kebijakan strategi perusahaan yang
baik tidak hanya dilakukan oleh dewan komisaris. Tim manajemen strategi yang
ideal terdiri dari para pengambil keputusan dari ketiga tingkat keputusan, yaitu
korporasi, bisnis, dan fungsional. Selain itu, tim ini mendapat masukan dari staf
perencanaan perusahaan, bila ada, dan dari manajer dan penyelia tingkat bawah
(Pierce dan Robin, 1997: 23).
Keputusan strategik yang didasarkan pada kelompok mungkin sekali
dihasilkan dari alternatif terbaik yang ada. Proses manajemen strategik
menghasilkan keputusan yang lebih baik karena interaksi kelompok menghasilkan
strategi yang lebih beragam dan karena peramalan yang didasarkan pada
bermacam-macam spesialisasi anggota kelompok meningkatkan kemampuan
menyaring pilihan. Selain itu, keterlibatan karyawan dalam perumusan starategi
meningkatkan pemahaman mereka akan adanya hubungan produktibitas-imbalan di
setiap rencana strategik, sehingga mempertinggi motivasi mereka (Pierce dan
Robin, 1997: 31).
Selain faktor komposisi pembuat kebijakan strategis, hal lain yang perlu
diperhatikan terkait perumusan strategi perusahaan adalah tujuan perusahaan.
Pada umumnya, arah strategik perusahaan didominasi tiga tujuan ekonomis, yaitu

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 33


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kelangsungan hidp (survival), melalui pertumbuhan (growth), dan profitabilitas


(Pierce dan robin, 1997: 60).
Keberadaan dewan komisaris dalam sebuah perusahaan ternyata juga
dipengaruhi oleh posisinya. Pierce dan Robin (1997: 72) menyebutkan bahwa
terdapat survai terhadap 2.361 komisaris dari 291 perusahaan di Amerika Serikat
bagian tenggara. Hasil yang diperoleh survai tersebut antara lain menyatakan
bahwa komisaris memandang pihak-pihak yang berkepentingan secara berbeda-
beda, tergatung pada posisi mereka (komisaris direksi dan komisaris-bukan direksi)
serta tipe mereka (komisaris intern atau ekstern). Selain itu, survai tersebut juga
menunjukkan bahwa pihak yang berkepentingan bagi dewan komisaris menurut
urutan kepentingan mereka adalah pelanggan dan pemerintah, pemegang saham,
karyawan, dan masyarakat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penilaian tentang
dewan komisaris tidak cukup dari sisi kuantitas semata, melainkan terdapat faktor-
faktor lain yang harus diperhatikan.

4.2.1.5 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan terhadap Tingkat Keluasan


Pengungkapan CSR
Hipotesis yang menyataan bahwa terdapat pengaruh konsentrasi kepemilikan
terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR diterima. Hal ini dapat dilihat dari
nilai t-statistik yang lebih dari 1,96, yaitu 2,044.
Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena
berkaitan dengan pengendalian operasional perusahaan. Perusahaan yang proporsi
kepemilikan publiknya besar, maka memerlukan pengendalian yang lebih ketat.
Pengertian publik adalah pihak individu yang berada di luar manajemen dan tidak
memiliki hubungan istimewa terhadap perusahaan.
Terdapat beberapa penelitian tentang hubungan antara konsentrasi
kepemilikan dengan isu manajerial. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawati
(2006) menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan terbukti berpengaruh terhadap
kualitas corporate governance. Terkait dengan isu CSR, maka corporate
governance memiliki kesamaan dalam hal tata kelola perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 34


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Bukti tersebut juga selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Belkaoui
(2006:350). Menurutnya, secara implisit diasumsikan bahwa organisasi seharusnya
bertindak dalam cara yang memaksimalkan kesejahteraan sosial, seolah-oleh
terdapat kontrak sosial di antara organisasi dan masyarakat. Oleh karenanya,
organisasi mendapatkan semacam legitimasi organisasional vis-a-vis masyarakat.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dinyatakan dalam teori
keagenan. Teori tersebut membedakan antara pemilik perusahaan dengan
pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus
memberikan laporan pertanggung-jawaban atas segala sumber daya yang dimiliki
dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan. Selanjutnya, frase pemilik perusahaan
mengalami perkembangan lebih lanjut, tidak hanya pemilik modal (shareholder),
tetapi juga meluas ke unsur stakeholders lainnya, yaitu masyarakat luas termasuk
pemerintah dan lingkungan alam.
Hasil penelitian ini juga konsisten dengan teori legitimasi. Teori ini
mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders.
Fokus utama dalam teori ini, yaitu bagaimana perusahaan memonitor dan merespon
kebutuhan para stakeholders-nya. Perusahaan berusaha untuk mencari
pembenaran dari para stakeholders dalam menjalankan operasi perusahaan.
Semakin kuat posisi stakeholders, maka semakin kuat pula kecenderungan
perusahaan untuk beradaptasi sesuai keinginan mereka.
Teori-teori lain yang mendukung praktik pengungkapan sosial, yaitu teori
kontrak sosial. Teori tersebut menyatakan bahwa perusahaan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu komunitas. Perusahaan memiliki kontrak sosial dengan
masyarakat di sekitarnya untuk melaksanakan tugas tertentu dalam batasan-
batasan keadilan. Dengan demikian, hubungan yang terjadi adalah hubungan timbal
balik atau hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. Social cost yang
dibayar oleh masyarakat harus dikompensasi dengan social benefit yang diberikan
perusahaan kepada masyarakat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas
tertentu itulah, maka perusahaan melaksanakan pengungkapan sosial di samping
juga melakukan pengungkapan sukarela lainnya (Mathew, 1987) dalam (Pratiwi dan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 35


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Djamhuri, 2004). Penelitian tekah memberikan bukti tambahan mengenai


pentingnya posisi masyarakat bagi perusahaan.

4.2.2 Pengaruh Tingkat Keluasan Pengungkapan CSR terhadap Reaksi


Investor
Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat keluasan pengungkapan CSR
berpengaruh terhadap reaksi investor. Hal ini dibuktikan dari hasil perolehan t-
statistik yang nilainya lebih dari 1,96, yaitu 8,622. Dengan demikian penelitian ini
selaras dengan penelitian Frankental (2001), Raar (2004), Baron (2005), Rute, et al
(2005), Zuhroh dan Sukmawati (2003), Cetindamar dan Husoy (2007), dan Lopez, et
al (2007).
Penelitian ini mengukur reaksi investor dengan menggunakan dua indikator,
yaitu abnormal retun dan trading volume activity. Pengamatan atas reaksi investor
dilakukan selama 11 hari, yaitu 5 hari sebelum dan 5 hari setelah publikasi laporan
tahunan.
Hasil penelitian ini ini membuktikan bahwa CSR secara efektif adalah
perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya adalah untuk
memberikan informasi kepada investor (Belkaoui, 2006: 349).
Menurut Belkaoui (2006:350) pada dasarnya pengguna laporan keuangan
membutuhkan informasi sosial untuk keputusan alokasi pendapatan mereka.
Bahkan pada kenyataannya mereka ingin agar perusahaan mengarahkan sumber
daya yang mereka miliki untuk membersihkan pabrik mereka, menghentikan polusi
lingkungan, dan membuat produk-produk yang lebih aman.
Alasan yang melandasi perilaku investor tersebut antara lain investor
mengapresiasi praktik CSR ini dan melihat aktivitas CSR sebagai rujukan untuk
menilai potensi keberlanjutan suatu perusahaan. Bila perusahaan tidak
mengungkapkan program CSR, bisa jadi stakeholder menganggap perusahaan
yang bersangkutan tidak melakukan tanggung jawab sosialnya dan meragukan
going concern-nya (Pambudi, 2006b). Selanjutnya, investor akan menilai
perusahaan tidak mampu mempertahankan keberlanjutan usahanya sehingga
investor tidak tertarik untuk mengivenstasikan dananya pada perusahaan tersebut.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 36


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
bahwa :
1. Karakteristik perusahaan yang terbukti berpengaruh terhadap tingkat
keluasan pengungkapan CSR adalah profile perusahaan dan konsentrasi
kepemilikan. Sedangkan tiga karakteristik lainnya, yaitu ukuran perusahaan,
profitabilitas, dan ukuran dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh
terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR.
2. Terdapat reaksi investor atas keluasan pengungkapan CSR melalui
pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham.
5.2 Implikasi Penelitian
Penelitian ini telah memberikan temuan positif bagi berbagai pihak yang
berkepentingan yaitu :
1. Investor
Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa investor sudah mulai merespon dengan
baik informasi-informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan.
Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan
tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap abnormal return dan volume
perdagangan saham perusahaan yang ditunjukkan dengan terjadinya lonjakan
perdagangan dan abnormal return pada seputar publikasi laporan tahunan.
2. Perusahaan
Berdasarkan penelitian ini sebaiknya perusahaan mempertim-bangkan
kepemilikan saham oleh masyarakat dan juga profile-nya ketika menyusun program
CSR. Selain itu, perusahaan juga hendaknya lebih memperhatikan kualitas dan
kuntitas pengungkapan sosial yang dilakukan untuk periode berikutnya, karena
informasi tersebut akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
3. Pihak-pihak yang berkepentingan lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pihak yang
berkepentingan khususnya Pemerintah, Bapepam dan IAI dalam merumuskan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 37


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kebijakan, peraturan dan standar yang berkaitan dengan tanggungjawab sosial


perusahaan- perusahaan di Indonesia, baik yang telah go publik maupun belum.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Sebagaimana penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Zuhroh
dan Sukmawati (2003) serta Sembiring (2005), kelemahan/keterbatasan pada
penelitian ini antara lain:
1. Penyusunan daftar pengungkapan sosial cenderung bersifat subyektif dan
memungkinkan terlewatnya item-item tertentu yang seharusnya diungkap
oleh perusahaan.
2. Karena menggunakan tema yang beraneka ragam, mengakibatkan sulit
membedakan kualitas pengungkapan antara satu perusahaan dengan
perusahaan lain.
3. Penggunaan checklist mengakibatkan sulit membedakan kualitas
pengungkapan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Misalnya bila PT. ABC menjelaskan secara mendetail program-program
pendidikan dan latihan karyawannya, akan terlihat sama dengan PT. XYZ
yang hanya mengungkap ....telah mengadakan penelitian bagi karyawan
4. Penelitian ini hanya membatasi pada sisi pengungkapan sosial, bukan pada
aktifitas sosial. Bilamana perusahaan tidak memanfaatkan laporan tahunan
untuk menjelaskan seluruh aktivitas selama tahun pelaporan, akan muncul
kesenjangan antara aktivitas sosial dengan pengungkapan sosial. Akibatnya
laporan tahunan gagal menjelaskan seluruh aktivitas sosial perusahaan.
5.4 Saran untuk Peneliti Berikutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pembendaharaan referensi dalam
penelitian berikutnya. Adapun instrumen yang perlu ditambahkan dalam penelitian
selanjutnya adalah jumlah objek penelitian, periode pengamatan lebih diperpanjang
dan item pengungkapan sosial sebaiknya lebih disempurnakan lagi.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 38


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Adam, C.; W., Hill.; C., Roberts. (1998). Corporate Social Reporting Practices in
Western Europe. British Accounting Review, 30(1), 1-21.
Anggraini, F. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan
Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Bursa
Efek Jakarta). Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 9,
Universitas Andalas, Padang.
Ardiansyah, R. (2002). Pengaruh Pengumuman Saham Bonus Terhadap Volume
Perdagangan Saham. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, 2(2).
Baron, D. (2005). Corporate Social Responsibility and Social Entrepreneurship.
Research Paper No. 1916, Stanford Graduate School of Business.
Belkaoui, A. (2006). Accounting Theory. Fifth Edition. Thomson Learning,
Singapore. Diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto: Teori Akuntansi. Buku Satu,
Edisi Kelima. Salemba Empat, Jakarta.
Belkaoui, A.; P., Karpik. (1989). Determinants of the Corporate Decision to Disclose
Social Information. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 2(1), 36-
51.
Branco, M.; L., Rodrigues. (2006). Communication of corporate social responsibility
by Portuguese banks: A legitimacy theory perspective. Corporate
Communications: An International Journal, 11(3), 232-248.
Capaldi, N. (2005). Corporate Social Responsibility And The Bottom Line.
International Journal of Social Economics, 32(5), 408-423.
Cetindamar, D.; K., Husoy. (2007). Corporate Social Responsibility Practices And
Environmentally Responsible Behavior: The Case Of The United Nations
Global Compact. Journal Of Business Ethics, 76, 163176.
Cooper, D.R.; C.W., Emory, (1996). Business Research Methods. 5th Edition,
Richard D. Irwin, Inc., USA.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 39


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Cooper, C.; P., Taylor.; N., Smith.; L., Catchpowle. (2004). A Discussion of the
Political Potential of Social Accounting, Critical Perspectives on Accounting,
xxx, 1-24.
Darmawati, D. (2006). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Dan Faktor Regulasi
Terhadap Kualitas Implementasi Corporate. Paper presented at the
Simposium Nasional Akuntansi 9, Universitas Andalas, Padang.
Djatmiko, H. (2006, 11 Januari). Saatnya Menabur. Majalah SWA, 26(XXI/19).
Frankental, P. (2001). Corporate Social Responsibility - A PR Invention?. Corporate
Communications: An International Journal, 6(1), 18-23.
Ghozali, I. (2006). Structural Equation Modelling Metode Alternatif dengan Partial
Least Square (PLS). Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Global Reporting Initiatives. (2006). Sustainability Reporting Guidelines. GRI,
CERES Boston.
Gray, R.; R., Kouhy.; S., Lavers. (1995). Corporate Social And Environmental
Reporting: A Review of The Literature and A Longitudinal Study of UK
Disclosure. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 8(2), 47-77.
Gray, R.; M., Javad.; M., David. (2001). Social And Environmental Disclosure, and
Corporate Characteristic: A Research Note and Extension, Accounting,
Auditing, and Accountability Journal, 28(3), 327-356.
Hackston, D.; M., Milne. (1996). Some Determinants of Social And Environmental
Disclosures In New Zaeland Companies. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal, 9(1), 77-108.
Hartono, J. (2003). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi 3. BPFE UGM,
Yogyakarta.
--------------. (2004). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-
Pengalaman. Edisi 2003/2004, BPFE UGM, Yogyakarta.
Hendriksen, E. (1998). Accounting Theory. Fifth Edition. Diterjemahkan oleh Herman
Wibowo: Teori Akunting. Buku Satu, Edisi Kelima. Interaksara, Batam.
Hines, R. (1998). Financial Accounting Knowledge, Conceptual Framework Projects
And The Social Construction of The Accounting Profession. Accounting
Auditing And Accountability Journal, 22, 72-92.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 40


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hopkins, M. (2004). Corporate Social Responsibility: An Issues Paper. Working


Paper No. 27, International Labour Organization.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). (2002). Standar Akuntansi Keuangan. Salemba
Empat, Jakarta.
Indra, D. (2008). Respon Investor Terhadap Penerapan Corporate Social
Responsibility (CSR) (Studi Kasus Pada Perusahaan Pemenang CSR Award
yang Listing di Bursa Efek Indonesia. Unpublished Skripsi S1, Fakultas
Ekonomi Univeritas Brawijaya, Malang.
Indriantoro, N.; B., Supomo. (2002). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi
dan Manajemen. BPFE UGM, Yogyakarta .
Jensen, M.; Meckling. (1976). The Agency Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Awnership Structure. Journal of Financial
Economic, 3(4).
Jones, P.; D., Comfort.; D., Hillier. (2005). Corporate Social Responsibility And The
UKs Top Ten Retailers. International Journal of Retail & Distribution
Management, 33(12), 882-892.
Juholin, E. (2004). For Business Or The Good Of All? A Finish Approach To
Corporate Social Responsibility, Corporate Governance, 4(2), 20-31.
Lopez, M.; A., Garcia., L., Rodriguez. (2007). Sustainable Development And
Corporate Performance: A Study Based On The Dow Jones Sustainability
Index. Journal of Business Ethics, 75, 285300.
Machfoedz, M. (1994). Financial Ratio Analysis and The Prediction of Earnings
Changes in Indonesia. Kelola: Gajah Mada University Business Review, 7/III.
Martono, C. (2002). Analisis Pengaruh Profitabilitas Industri, Rasio Leverage
Keuangan Tertimbang Dan Intensitas Modal Tertimbang Serta Pangsa Pasar
Terhadap ROA dan ROE Perusahaan Manufaktur Yang Go- Public di
Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan, 4(2), 126-140.
Morrison, C.; D., Siegel. (2006). Corporate Social Responsibility And Economic
Performance, International Centre For Corporate Social Responsibility.
Workshop On Corporate Social Responsibility At The University Of Nottingham.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 41


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

O`Dwyer, B., (2003). Conceptions of Corporate Social Responsibility: The Nature


Managerial Capture. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 16(14),
523-557.
Pambudi, T. (2006a, 11 Januari). Perjalanan Si Konsep Seksi. Majalah SWA,
26(XXI/19), 44-45.
----------------. (2006b, 11 Januari). Reporting, Sukarela tapi Bernilai. Majalah SWA,
26(XXI/19), 46-47.
Pierce, R; R.,Junior (1997). Strategic Management. Richard D. Irwin, Diterjemahkan
oleh Agus Maulana: Manajemen Strategik Formulasi, Implementasi, dan
Pengendalian. Jilid Satu, Edisi Pertama. Binarupa Aksara, Jakarta.
Pratiwi, S.; A., Djamhuri. (2004). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik-praktik
Pengungkapan Sosial: Studi pada Perusahaan-perusahaan High-Profile yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. TEMA, 5(1).
Purwati, I. (2001). Analisis Pengaruh Luas Pengungkapan Sosial dalam Laporan
Tahunan Terhadap Reaksi Investor. Unpublished Skripsi S1, Fakultas Ekonomi
Univeritas Brawijaya, Malang.
Raar, J. (2004). Environmental And Social Responsibility: A Normative Financial
Reporting Concept. Accepted For Presentation At The Fourth Asia Pacific
Interdisciplinary Research In Accounting Conference, Singapore.
Rakhmad, B. (2006). Analisis Perbedaan Harga Dan Volume Saham Sebelum Dan
Sesudah Pengumuman Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) 2005
(Studi Kasus Pada Empat Perusahaan Pemenang Award. Unpublished Skripsi
S1, Fakultas Ekonomi Univeritas Brawijaya, Malang.
Rashid, A.; S., Ibrahim. (2002). Executive And Management Attitudes Towards
Corporate Social Responsibility In Malaysia. Corporate Governance, 2(4), 10-
16.
Rasmiati. (2002). Hubungan Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan
Perusahaan Dengan Volume Penjualan Saham: Studi Kasus Pada Perusahaan
High-Profile di BEJ. Unpublished Skripsi S1, Fakultas Ekonomi Univeritas
Merdeka, Malang.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 42


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Robert, R. (1992). Determinant of Social Corporate Disclosure: An Application of


Stakeholder Theory, Accounting, Organizations, and Society, 17(6).
Rute, A.; F., David.; D., Crowther. (2005). Corporate Social Responsibility In
Portugal: Empirical Evidence of Corporate Behaviour. Corporate Governance,
5(5), 3-18.
Sallyanne, D. (2004). Corporate Social Responsibility And Structural Change In
Financial Services. Managerial Auditing Journal, 19(6), 712-728.
Sembiring, E. (2003). Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan Pada
Hutang, dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Paper
presented at the Simposium Nasional Akuntansi 6, Universitas Airlangga,
Surabaya.
-----------------. (2005). Karakteristik Perusahaan Dan Pengungkapan Tanggung
Jawab Sosial: Study Empiris Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Bursa Efek
Jakarta. Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 8, Universitas
Negeri Sebelas Maret, Solo.
Simanjuntak, B.; L., Widiastuti. (2004). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 7(3).
Utomo, M. (2000). Praktik Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan
Perusahaan di Indonesia: Studi Perbandingan antara Perusahaan-perusahaan
High-Profile dan Low-Profile. Paper presented at the Simposium Nasional
Akuntansi 3.
Wibisomo, F. (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Fascho Publishing,
Gresik.
Zuhroh, D.; I., Sukmawati. (2003). Analisis Pengaruh Luas Pengungkapan Sosial
Dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap Reaksi Investor (Studi Kasus
Pada Perusahaan-perusahaan High Profile di BEJ). Paper presented at the
Simposium Nasional Akuntansi 6, Universitas Airlangga, Surabaya.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV04- 43


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH DIVERSIFIKASI TERHADAP


CORPORATE GOVERNANCE DAN NILAI PERUSAHAAN
(Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan
Struktural Equation Model)

Istianingsih
PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI FE UI

Abstract

The objective of this study is to examine the efect of diversificstion and insider
ownership on firm value. Sample used of this study is 95 firms annual report from
companies listed in Jakarta Stock Exchange in 2005. Structural Equation Approach
used in this study to examine the effect of diversification and the other variable
together on the firm value and the corporate governance.
The result of this study show that diversification significantly affect the insider
ownership. Furthermore, bussines diversification negatively significant affect the firm
value. On the other hand, I find no evidence the effect of diversification on corporate
governance index. The result of this study is different from the previous studies in
other country. The different result may caused by the different international
corporate governance practice.

Keywords: Diversification, Insider Ownership, Corporate Governance, Firm Value.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Perdebatan tentang manfaat diversifikasi usaha telah mendapat banyak
perhatian peneliti dalam bidang akuntansi. Terdapat anggapan bahwa perusahaan
yang didiversifikasi tidak baik karena cenderung menjadi powerful dan dalam hal
tertentu dapat melakukan subsidi silang antar unit bisnis untuk mendesak pesaing
keluar dari kompetisi. Perusahaan yang didiversifikasi menjadi cenderung anti
kompetisi dan tidak menambah nilai bagi bisnis utama (Porter, 1987).
Berbagai penelitian menemukan bahwa diversifikasi usaha berhubungan
dengan kinerja perusahaan dengan hasil yang bervariasi. Lang dan Stulz (1994),
menyatakan bahwa diversifikasi berhubungan negatif dengan Tobins Q. Berger dan
Ofek (1995) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi akan
mengalami penurunan nilai sekitar 15%. Sementara Graham, Lemmon, dan Wolf
(1998); juga Campa dan Kedia (1999) menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak
dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari diversifikasi, karena perusahaan yang
melakukan diversifikasi memang sudah mengalami penurunan ini sebelum
dilakukannya diversifikasi. Serveas (1996) tidak menemukan bukti bahwa
perusahaan yang didiversifikasi mendapatkan premium atas harga saham yang
lebih besar dari perusahaan yang tidak didiversifikasi.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, Antoinette Schoar (2002),
menemukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi memiliki produktivitas
yang tinggi dibandingkan yang stand alone firm. Graham, Lemmon, dan Wolf (2002)
menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi mendapat reaksi pasar yang
positif berupa excess value, tetapi excess value yang diterima akan segera turun
setelah event diversifikasi. Mereka juga menemukan bahwa excess value tersebut
tidak mengalami penurunan ketika perusahaan menaikkan jumlah segmen usaha.
Denis, Denis, dan Yost (2002) membuktikan bahwa peningkatan diversifikasi
geografis akan menurunkan excess value perusahaan, sebaliknya penurunan
diversifikasi geografis akan meningkatkan excess value. Lang dan Douklas (2003)
menguji hubungan antara investasi asing dengan diversifikasi dan kinerja
perusahaan menemukan bahwa diversifikasi geografis akan meningkatkan
shareholder value dan meningkatkan performa jangka panjang perusahaan ketika

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

diversifikasi ini dilakukan dalam investasi asing pada bisnis utama yang
berhubungan (Greenfield). Villalonga (2004) membuktikan bahwa perusahaan yang
didiversifikasi akan mendapatkan premium diversifikasi (excess value).
Selain dapat menurunkan dan menaikkan nilai perusahaan, penelitian lain
juga menemukan bahwa diversifikasi usaha juga berhubungan dengan corporate
governance. Anderson, Bates, Bizjak, dan Lemmon (2000), menemukan bahwa
corporate governance berhubungan dengan keputusan untuk melakukan
diversifikasi dimana karakteristik governance dapat menjelaskan nilai kerugian yang
timbul akibat diversifikasi. Antoinette Schoar (2002) membuktikan bahwa rendahnya
transparansi pada perusahaan yang didiversifikasi bukan penyebab adanya
perbedaan kinerja antara diversified firm dengan stand alone firm. Sementara
Jiraporn, Kim, Davidson, dan Singh (2005) menyatakan bahwa penurunan nilai
untuk perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha berkaitan dengan agency
theory. Dengan semakin luasnya kewenangan manajer dalam mengelola dan
mengambil keputusan atas perusahaan yang didiversifikasi, akan meyebabkan
terjadinya ekspropriasi terhadap pemegang saham.
Hasil-hasil penelitian di atas secara umum memberikan bukti tentang
pengaruh positif indeks CG terhadap nilai perusahaan. Akan tetapi, studi-studi
tersebut juga mengakui adanya isu penting yang mungkin dapat mempengaruhi
validitas hasil penelitian yang diperoleh. Isu tersebut terkait dengan adanya dugaan
reverse causality atau endogenitas pada hubungan indeks CG dan nilai perusahaan.
Adanya endogenitas ini tidak dapat diatasi dengan regresi ordinary least square
(OLS) karena teknik dinilai kurang tepat untuk mengestimasi koefesien variabel
pada model karena akan menghasilkan koefesien yang bias atau tidak konsisten,
sebesar apapun sampelnya. Gujarati (2003) menyatakan bahwa teknik estimasi
yang lebih tepat untuk model yang mengandung endogenitas adalah dengan
pendekatan persamaan simultan.
Keberadaan insider ownership (IO) juga memberi pengaruh terhadap
diversifikasi dan nilai perusahaan. Kim, Lee, dan Fancis (1988) menggunakan
pengelompokan IO untuk menguji hubungan antara kinerja (expected return)
perusahaan dengan keberadaan IO. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa
semakin tinggi IO akan semakin tinggi kinerja perusahaan. Penelitian Serveas

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(1996) hasilnya justru menunjukkan bahwa insider ownership akan berhubungan


negatif dengan diversifikasi.
Perbedaan berbagai hasil penelitian yang ada, menunjukkan masih perlu
dilakukannya penelitian tentang hubungan antara diversifikasi, insider ownership,
corporate governance, dan nilai perusahaan. Penelitian-penelitian sebelumnya,
sebagian besar hanya menguji secara terpisah hubungan antar variable dengan
persamaan regresi ordinary least square (OLS). Ada kemungkinan bahwa jika
dilakukan secara simultan, akan terdapat perbedaan hasil atas hubungan antar
variabel ini. Kontribusi penelitian ini adalah menguji secara simultan hubungan
antara variabel-variabel diversifikasi, insider ownership, corporate governance, dan
nilai perusahaan dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM).

1.2. Permasalahan Penelitian


Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh dari diversifikasi terhadap insider ownership, corporate
governance, dan nilai perusahaan?
2. Bagaimana pengaruh dari insider ownership terhadap corporate governance
dan nilai perusahaan?
3. Bagaimana pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan?
4. Bagaimana pengaruh dari nilai perusahaan terhadap corporate governance?
5. Apakah insider ownership merupakan variabel intervening antara diversifikasi
dengan corporate governance?

1.3. Tujuan Penelitian


Sejalan dengan permasalahan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis pengaruh dari diversifikasi terhadap, insider ownership,
corporate governance dan nilai perusahaan.
2. Menganalisis pengaruh dari insider ownership terhadap corporate
governance dan nilai perusahaan.
3. Menganalisis pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4. Menganalisis pengaruh dari nilai perusahaan terhadap corporate


governance.
5. Menguji apakah insider ownership merupakan variabel intervening antara
diversifikasi dengan corporate governance.

1.4. Manfaat Penelitian


Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
penelitian dalam bidang akuntansi khususnya mengenai hubungan antara
diversifikasi, insider ownership, dan corporate governance terhadap nilai
perusahaan menggunakan persamaan simultan dengan pendekatan yang berbeda
yaitu structural equation model (SEM). Penggunaan metode ini dapat memberikan
tambahan literature yang berbeda dengan penggunaan metode sebelumnya untuk
menguji masalah endogenitas yaitu metode ordinary least square(OLS) dan two
stage least square (2SLS).

Bagi Entitas Bisnis


Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan bagi
perusahaan mengenai hubungan antara diversifikasi, insider ownership, dan praktek
corporate governance terhadap nilai perusahaan. Terutama mengenai dampak
diversifikasi, penerapan corporate governance terhadap peningkatan nilai
perusahaan, hasil studi ini diharapkan akan memberikan informasi kepada emiten
mengenai pentingnya peran corporate governance yang baik dalam meningkatkan
kinerja perusahaan. Apabila hasilnya positif tentunya diharapkan makin mendorong
mereka untuk lebih menerapkan corporate governance dengan lebih baik di
perusahaannya.

Bagi Investor
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi kepada
investor mengenai hubungan antara diversifikasi usaha, insider ownership,
corporate governance, dan nilai perusahaan, sebagai dasar pengambilan keputusan
investasi. Studi ini diharapkan memberikan informasi kepada investor tentang faktor-

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

faktor yang mempengaruhi praktek CG, nilai perusahaan, dan kualitas pelaporan
perusahaan. Investor juga dapat memperoleh informasi tentang pola hubungan
antara diversifikasi usaha, insider ownership, corporate governance, dan nilai
perusahaan. Dengan mengetahui pola hubungan dan keterkaitan masing-masing
variabel tersebut, investor diharapkan akan dapat memberikan penilaian terhadap
informasi ini dalam mengambil keputusan investasi.

Bagi regulator
Bukti tentang dampak praktek CG terhadap nilai perusahaan, serta hubungan
praktek CG dengan variabel lain dalam penelitian ini, diharapkan menjadi informasi
bagi regulator untuk mengevaluasi efektifitas penerapan CG pada perusahaan di
Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat menambah bahan pertimbangan
regulator dalam merumuskan kebijakan selanjutnya untuk terus memotivasi
perusahaan meningkatkan efektifitas penerapan CG.

2. KERANGKA TEORI, PENELITIAN TERDAHULU, dan PEMBENTUKAN


HIPOTESA

2.1 Teori Kontrak dan Teori Keagenan


Sebelum tahun 1976, teori keuangan pada umumnya memakai model
ekonomi standar untuk menggambarkan perilaku perusahaan. Dalam model ini
perusahaan dianggap sebagai black box yang memproses input menjadi output
dengan respon rasional terhadap adanya insentif ekonomi. Jensen & Meckling
(1976) merupakan dua orang pertama yang memasukkan unsur manusia ke dalam
model terpadu tentang perilaku perusahaan. Mereka mendefinisikan perusahaan
sebagai sebagai kontrak dimana satu atau lebih orang (principal, yaitu shareholders)
menunjuk orang lain (agen, yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan
prinsipal, termasuk mendelegasikan kekuasaan untuk mengambil keputusan kepada
manajer.
Jika manajer melakukan tindakan-tindakan yang merugikan perusahaan,
maka pemegang saham dan kreditur dapat saja tidak akan dirugikan oleh tindakan
manajer tersebut karena adanya proteksi harga (price protection). Karena

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pemegang saham dan kreditur menyadari adanya kemungkinan manajer melakukan


tindakan yang merugikan tersebut maka mereka akan memasukkan faktor tersebut
ke dalam penetapan harga saham dan hutang, sehingga pada akhirnya manajer
yang akan menanggung kerugian akibat agency cost. Atas dasar hal ini manajer
memiliki insentif untuk menawarkan kontrak kepada pemilik bahwa ia akan
mengambil tindakan yang optimal.
Inti dari teori kontrak adalah bahwa perusahaan merupakan kumpulan
kontrak-kontrak antar individu (nexus of contract). Contoh kontrak tersebut adalah
kontrak antara manajemen dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham,
kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan kreditur. Teori kontrak
merupakan aplikasi dari teori ekonomi neoklasik dimana diasumsikan bahwa tiap
individu yang terlibat dalam kontrak bertujuan untuk memaksimumkan kepentingan
masing-masing. Jika setiap individu bertindak sesuai dengan kepentingannya
masing-masing, maka akan timbul konflik kepentingan. Oleh karena itu, masing-
masing individu masuk ke dalam kontrak yang bertujuan untuk memuaskan
kepentingan dari berbagai pihak, karena mereka menyadari bahwa jika kepentingan
bersama dapat terpenuhi akan terpenuhi juga kepentingan mereka.
Ketika proses pembentukan kontrak terjadi, akan muncul bermacam biaya,
seperti biaya negosiasi dan biaya legal yang terkait dengan kontrak. Pada tahap
pelaksanaan kontrak juga muncul biaya, seperti biaya untuk memonitor kinerja
kontrak. Jika kinerja tidak mencapai tujuan bersama seperti yang tercantum dalam
kontrak atau terjadi pelanggaran terhadap kontrak maka akan muncul biaya lagi,
seperti biaya renegosiasi, biaya membuat kontrak baru, dan biaya kehilangan
kepercayaan investor dan kreditor. Biaya-biaya tersebut, baik biaya financial
maupun non finansial, disebut sebagai biaya kontrak. Semua biaya kontrak tersebut
akan menjadi beban pemilik perusahaan. Akan tetapi, pemilik perusahaan dapat
menyewa jasa profesional untuk menjalankan kontrak untuk tujuan bersama. Jika
manajemen perusahaan tidak dapat menjalankan kontrak, maka pemilik perusahaan
dapat mengganti manajemen perusahaan dengan yang lain, sehingga dalam hal ini
manajemenlah yang menanggung biaya kontrak. Oleh karena itu, untuk
meminimalkan biaya kontrak yang ditanggungnya manajemen harus melakukan
sesuatu untuk mempertahankan kinerja perusahaan. Bagaimana meminimalkan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

biaya kontrak tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan menerapkan


mekanisme monitoring (Jensen dan Meckling, 1976). Mekanisme monitoring yang
mungkin dilaksanakan untuk mengurangi masalah agensi di perusahaan dapat
tercermin dalam penerapan corporate governance.

2.2. Corporate Governance


Corporate governance merupakan keseimbangan hubungan antar
stakeholder yang digunakan untuk menentukan arah dan pengendalian kinerja
perusahaan. Bagaimana pemilik perusahaan dapat memonitor dan mengendalikan
keputusan dan tindakan manajer puncak akan mempengaruhi implementasi strategi
perusahaan. Corporate governance yang efektif akan menyelaraskan kepentingan
manajer dan pemilik sehingga dapat menghasilkan keunggulan kompetitif bagi
perusahaan.
Berikut adalah berbagai definisi mengenai corporate governance dari berbagai
sumber.

1. Menurut OECD
Corporate Governance is the system by which business corporations are
directed and controlled. The Corporate governance structure specifies the
distribution of the right dan responsibilities among different participants in the
corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders,
and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs.
By doing this, it also provides this structure through which the company objectives
are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance.

2. Berdasarkan Surat Edaran Meneg. PM&P. BUMN No. 106/M.PM


P.BUMN/2000.
Corporate Governance berkaitan dengan proses pengambilan keputusan
yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses
bisnis, kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mendorong dan
mendukung pengembangan perusahaan; pengelolaan sumber daya dan risiko

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

secara lebih efisien dan efektif; pertanggungjawaban perusahaan kepada


Pemegang Saham dan stakeholders lainnya.

3. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)


Corporate governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan
hubungan antara Pemegang Saham, Pengurus, Kreditur, pemerintah, Karyawan
serta para Pemegang Kepentingan Internal dan Eksternal lainnya sehubungan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah
untuk menciptakan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan.
Prinsip-prinsip corporate governance adalah fairness (keadilan), transparency
(transparansi), accountability (akuntabilitas), dan responsibility (tanggungjawab).
Keadilan berkenaan dengan keadilan dan kesetaraan perlakuan pemegang saham
minoritas agar terlindungi dari kecurangan serta perdagangan dan penyalahgunaan
oleh orang dalam (self dealing atau insider wrong doing). Transparansi dilakukan
melalui penyempurnaan pengungkapan (disclosure) informasi kinerja perusahaan
secara akurat dan tepat waktu. Akuntabilitas manajemen dilakukan melalui
pengawasan efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pengawas,
pengurus, pemegang saham, dan auditor. Tanggung jawab perusahaan berkenaan
dengan perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk menaati hukum dan
bertindak sesuai lingkungan di mana perusahaan berada (Amin Wijaya Tunggal,
2007).
Penerapan corporate governance yang baik, diharapkan akan dapat lebih
melindungi pemegang saham minoritas dari kecurangan, terjadi transparansi
perusahaan dalam mengungkapkan informasi, serta menjamin pengawasan efektif
terhadap pertanggungjawaban manajemen, sehingga perusahaan akan lebih patuh
terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku. Penerapan prinsip GCG yang
efektif juga berarti pengelolaan perusahaan yang transparan, bertanggung jawab,
jujur dan adil, yang diwujudkan dalam pengungkapan informasi yang sebenar-
benarnya. Hal ini tentunya akan menekan biaya negosiasi, pengawasan, dan
pelanggaran dari kontrak. Pada akhirnya semua manfaat penerapan prinsip GCG ini
diharapkan dapat berbuah peningkatan nilai perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2. 3. Diversifikasi

Diversifikasi merupakan strategi yang dipilih perusahaan dengan tujuan untuk


meningkatkan sharehoder wealth (Serveas, 1996). Diversifikasi dapat dibedakan ke
dalam dua type yaitu related diversification dan unrelated diversification (Rumelt,
1974). Keterkaitan di sini mengacu pada hubungannya dengan bisnis utama yang
sedang digeluti, atau beberapa bisnis yang membentuk value chain dalam suatu
kelompok usaha. PSAK No.5 (revisi 2000) mendefinisikan segmen usaha dan
segmen geografis sebagai berikut:

Segmen usaha adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam


menghasilkan produk atau jasa (baik produk atau jasa individual maupun kelompok
produk atau jasa terkait) dan komponen itu memiliki risiko dan imbalan yang
berbeda dengan risiko dan imbalan segmen lain. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam menentukan terkait atau tidaknya produk atau jasa meliputi:
karakteristik produk atau jasa; karakteristik psoses produksi; jenis atau golongan
pelanggan (produk atau jasa); metode pendistribusian produk atau penyediaan jasa;
dan jika praktis, karakteristik iklim regulasi, misalnya dalam perbankan, asuransi,
atau public utilities.

Segmen geografis adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam


menghasilkan produk atau jasa pada lingkungan (wilayah) ekonomi tertentu dan
komponen itu memiliki risiko dan imbalan yang berbeda dengan risiko dan imbalan
pada komponen yang beroperasi pada lingkungan (wilayah) ekonomi lain. Faktor-
faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengidentifikasi segmen geografis
meliputi: kesamaan kondisi ekonomi dan politik; hubungan antar-operasi dalam
wilayah geografis berbeda; kedekatan geografis operasi; risiko khusus yang
terdapat dalam operasi di wilayah tertentu; regulasi pemgendalian mata uang; dan
risiko mata uang.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.4. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesa


2.4.1. Diversifikasi Usaha dan Nilai Perusahaan
Apakah strategi diversifikasi memberikan nilai positif atau negatif terhadap
perusahaan telah lama diperdebatkan. Berbagai hasil penelitian mengenai strategi
diversifikasi ini memberikan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian yang menemukan
adanya pengaruh positif dari diversifikasi antara lain Li dan Wong (2003) yang
berpendapat bahwa pemilihan strategi diversifikasi yang tepat dengan
mempertimbangkan faktor institusional akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Hasil penelitian mereka tentang dampak diversifikasi terhadap kinerja perusahaan-
perusahaan di Cina menunjukkan bahwa strategi diversifikasi yang dilakukan pada
bidang yang terkait (related diversification) menjadi kurang optimal akibat
ketidakpastian perilaku institusional. Perusahaan yang melakukan strategi
diversifikasi hanya pada bidang yang tidak terkait (unrelated diversification) akan
menurunkan nilai perusahaan. Kolaborasi antara strategi diversifikasi pada bidang
terkait dengan strategi pada bidang yang tidak terkait, merupakan strategi optimal
yang akan meningkatkan nilai perusahaan.
Dampak positif dari strategi diversifikasi terhadap nilai perusahaan juga
ditemukan dari hasil penelitian Antoinette Schoar (2002). Penelitiannnya
menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi memiliki produktivitas yang
tinggi dibandingkan yang stand alone firm. Graham, Lemmon, dan Wolf (2002)
menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi mendapat reaksi pasar yang
positif berupa excess value. Lang dan Douklas (2003) menguji hubungan antara
investasi asing dengan diversifikasi dan kinerja perusahaan. Hasil penelitian mereka
menemukan bahwa diversifikasi geografis akan meningkatkan shareholder value
dan meningkatkan performa jangka panjang perusahaan ketika diversifikasi ini
dilakukan dalam investasi asing yang dalam core bisnis yang berhubungan
(Greenfield).

Selain memberikan dampak positif, beberapa penelitian hasilnya


menunjukkan bahwa diversifikasi berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.
Jensen (1986) menyatakan bahwa manajer perusahaan yang memiliki free cash
flow free cash flow yang besar cenderung melakukan investasi pada proyek yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menurunkan nilai dan memiliki net present value yang negatif ketika
mengalokasikan pada segmen usaha mereka. Lang dan Stulz (1994) juga
menyatakan bahwa perusahaan yang didiversifikasi akan menempatkan investasi
yang terlalu besar pada lini usahanya yang mempunyai kesempatan invesatasi
rendah. Hasil penelitian mereka juga menemukan bahwa diversifikasi berhubungan
negatif dengan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobins Q.

Hasil penelitian Berger dan Ofek (1995) yang meneliti pengaruh diversifikasi
terhadap sampel sebanyak 5233 perusahaan selama tahun 1986 sampai 1991,
memberikan gambaran yang serupa. Mereka menunjukkan bahwa nilai perusahaan
yang didiversifikasi lebih rendah dibandingkan perusahaan yang beroperasi dalam
segmen usaha tunggal. Perbedaan nilai ini berkisar antara 13%-15% lebih rendah
dari single firm. Penurunan nilai ini akan berkurang apabila perusahaan melakukan
diversisifikasi pada bidang yang terkait (related diversification). Servaes (1996) juga
menyatakan bahwa diversifikasi perusahaan tidak memberikan kinerja yang lebih
baik dibandingkan dengan perusahaan yang fokus. Hal ini sejalan dengan adanya
kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahan-perusahaan yang didiversifikasi di
Amerika pada era tahun 90-an. Akibatnya, banyak perusahaan yang didiversifikasi
yang kemudian mengubah strategi bisnisnya kembali ke fokus.
Keberhasilan atau kegagalan diversifikasi dalam meningkatkan nilai
perusahaan terkait dengan masalah sinergi, karena sekedar menciptakan value bagi
shareholder saja tidak cukup. Sinergi antara bisnis utama dan bisnis baru hasil
diversifikasi baik yang terkait (related) maupun tak terkait (unrelated) diperlukan
guna memastikan tercapainya value yang maksimum dari langkah diversifikasi yang
diambil. Berdasarkan uraian dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini
menghipotesakan bahwa diversifikasi dapat berpengaruh positif terhadap nilai pasar
perusahaan. Argumen dari hipotesa ini adalah bahwa dengan didiversifikasi, maka
akan semakin banyak kesempatan untuk menanamkan investasi. Selain itu dengan
diversifikasi maka resiko yang dimiliki dalam berinvestasi juga akan terdiversifikasi.
Dengan demikian maka diversifikasi akan memberi manfaat dalam meningkatkan
nilai perusahaan.

H1. Diversifikasi usaha berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.4.2. Diversifikasi Usaha dan Corporate Governance


Masalah keagenan antara stockholder dengan manajer seringkali
berkontribusi terhadap adanya penurunan nilai perusahaan akibat diversifikasi.
Jensen (1986) dan Stulz (1990) menyatakan bahwa manajer mendiversifikasi
perusahaan untuk meningkatkan firm size dengan insentif untuk mendapatkan
power dan prestige karena mengelola perusahaan besar. Shleifer dan Vishny
(1989) menyatakan bahwa manajer dapat menggunakan diversifikasi untuk
membentengi diri mereka dan meminjam dari shareholder untuk melakukan
investasi tertentu yang menguntungkan mereka. Denis, Denis, dan Sarin (1999)
menyatakan bahwa diversifikasi merepresentasikan adanya konflik agen dan
penurunan agency cost berhubungan positif dengan level diversifikasi.
Hubungan antara diversifikasi dengan corporate governance juga telah diteliti
oleh beberapa peneliti antara lain Anderson, Bates, Bizjak, dan Lemmon (2000),
yang menemukan bahwa struktur corporate governance berhubungan dengan
keputusan untuk melakukan diversifikasi. Mereka menemukan bukti bahwa
karakteristik governance yang digunakan oleh perusahaan yang didiversifikasi dapat
menjelaskan nilai kerugian yang timbul akibat diversifikasi. Penemuan ini
menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi menggunakan
alternatif mekanisme governance sebagai substitusi atas sensitivitas pay
performance yang rendah dan kepemilikan CEO. Kesimpulannya, adalah bahwa
penurunan nilai perusahaan akibat diversifikasi tidak terkait dengan agency cost.
Hubungan antara diversifikasi dengan corporate governance ini juga telah
diteliti oleh Antoinette Schoar (2002). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa
perusahaan yang didiversifikasi memiliki transparansi yang lebih rendah
dibandingkan perusahaan yang stand alone. Akan tetapi bukan berarti bahwa
transparansi yang lebih rendah tersbut yang menjadi penyebab terjadinya
perbedaan produktivitas dan harga saham pada perusahaan yang didiversifikasi
dengan stand alone firm. Jiraporn, Kim, Davidson, dan Singh (2005) juga menguji
bagaimana kekuatan shareholder right mempengaruhi adanya diversifikasi
perusahaan dan excess value yang diatribusikan pada perusahaan yang
didiversifikasi. Hasil pengujian mereka memperlihatkan bahwa kekuatan shareholder

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

right berhubungan negatif dengan diversifikasi. Perusahaan dengan shareholder


right yang lebih dikontrol dengan CG yang terbatas, akan mendapatkan
diversification discount yang lebih banyak.
Beiner, Markus, dan Schmid (2005) menguji sebab dan konsekuensi dari
diversifikasi pada 159 perusahaan di Swiss. Dalam penelitian tersebut mereka
menyelidiki penyebab diversifikasi dan menghubungkannya dengan tingkat
corporate governance dengan menggunakan index CG. Mereka juga menggunakan
persamaan simultan untuk menguji interrelationship antara corporate diversification,
corporate governance index, dan nilai perusahaan. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa outside blockholding mempengaruhi diversifikasi.
Dari berbagai hasil studi di atas dapat disimpulkan bahwa diversifikasi
berhubungan dengan corporate governance. Secara konseptual argumen dari hal ini
adalah bahwa dengan terjadinya diversifikasi akan berpengaruh terhadap
peningkatan agency problem. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa dengan
diversifikasi, akan semakin kompleks masalahnya dan semakin besar kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh manajer. Dengan keluasan wewenang
yang dimiliki manajer pada perusahaan yang didiversifikasi, akan memperbesar
kemungkinan terjadinya ekspropriasi terahadap pemegang saham. Peningkatan
agency problem akan berdampak kepada index corporate governance yang
semakin rendah. Dengan demikian dihipotesakan dalam penelitian ini bahwa
diversifikasi mempunyai hubuangan negatif dengan corporate governance index.

H2. Diversifikasi usaha berpengaruh negatif terhadap corporate governance


index.

2.4.3. Diversifikasi Usaha dan Insider Ownership


Keberadaan insider ownership (IO) akan memberi pengaruh terhadap
diversifikasi. Penelitian Serveas (1996) hasilnya menunjukkan bahwa insider
ownership akan berhubungan negatif dengan diversifikasi. Anderson, Bates, Bizjak,
dan Lemmon (2000), menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi
menggunakan alternatif mekanisme governance sebagai substitusi atas sensitivitas
pay performance yang rendah dan kepemilikan CEO. Beiner, Markus, dan Schmid

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(2005) menggunakan persamaan simultan untuk menguji interrelationship antara


corporate diversification, corporate governance, dan nilai perusahaan. Hasil
penelitian mereka yang didasarkan atas index corporate governance menunjukkan
bahwa outside blockholding mempengaruhi diversifikasi. Sementara insider
ownership tidak mempengaruhi tingkat diversifikasi. Aggarwal dan Samwick (2003)
menemukan bahwa diversifikasi berhubungan positif dengan insentif manajerial.
Manajer melakukan diversifikasi sebagai respon terhadap adanya perubahan atas
keuntungan pribadi mereka. Dengan diversifikasi, manajer berharap akan dapat
memperluas kekuasaan dan memperkuat posisinya dalam perusahaan.
Dari berbagai hasil penelitian di atas, maka penelitian ini menghipotesakan
bahwa diversifikasi usaha berpengaruh positif terhadap insider ownership. Argumen
dari hipotesa ini, dengan melakukan diversifikasi, manajer berharap akan dapat
menambah prestige dan memperkuat posisinya di perusahaan.

H3 Diversifikasi berpengaruh positif terhadap insider ownership.

2.4.4. Insider Ownership dengan Corporate governance dan Nilai Perusahaan


Masalah agensi timbul karena adanya pemisahan antara pemilik (owner)
dengan pengelola (agent) perusahaan (Fama, 1986). Sebagai pengelola, agen
dapat melakukan dua fungsi yaitu sebagai enterpreneur dan juga sekaligus sebagai
risk bearer. Dengan fungsinya ini agen dapat saja melakukan moral hazard yaitu
memanfaatkan fasilitas perusahaan atau mengambil resiko berlebih demi
kepentingan pribadi atas biaya pemilik. Untuk mengurangi kemungkinan adanya
tindakan moral hazard ini pemilik dapat melakukan beberapa tindakan salah satunya
dengan memberikan hak kepada pengelola untuk memiliki saham (insider
ownership).
Dengan adanya insider ownership, diharapkan dapat menurunkan agency
cost. Penurunan biaya agensi ini dapat meningkatkan corporate governance.
Diharapkan juga dengan adanya IO, manajer akan bekerja maksimal untuk
meningkatkan nilai perusahaan. Hubungan ini diteliti oleh Kim, Lee, dan Fancis
(1988) menggunakan pengelompokan IO untuk menguji apakah kinerja (expected
return) perusahaan akan dipengaruhi oleh keberadaan IO yang dikelompokkan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menurut ranking kepemilikan manajer. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa


semakin tinggi IO akan semakin tinggi kinerja perusahaan.
Dari analisa atas hasil penelitan di atas maka dalam penelitian ini
dihipotesakan bahwa antara insider ownership dengan nilai perusahaan
berhubungan positif. Semakin tinggi kepemilikan dalam (IO) akan semakin tinggi
nilai perusahaan. Dan IO akan berpengaruh positif dengan corporate governance.

H4. Insider ownership berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.


H5. Insider ownership berpengaruh positif terhadap corporate governance
index.

2.4.5. Corporate Governance dan Nilai Perusahaan


Berbagai penelitian telah banyak yang menguji hubungan antara corporate
governance dan nilai perusahaan. Durnev & Kim (2002) menemukan bahwa
penerapan corporate governance dapat meningkatkan imbal hasil saham
perusahaan. Claessens dkk (2002) membuktikan bahwa semakin tinggi cash flow
rights akan semakin tinggi juga penilaian pasar, tetapi sebaliknya, semakin tinggi
voting rights justru akan berakibat pada penilaian pasar yang lebih rendah. La Porta
dkk (2002) menemukan bahwa perusahaan di negara yang perlindungan terhadap
pemegang sahamnya tinggi, akan memiliki Tobins Q yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan di negara yang perlindungan terhadap pemegang sahamnya rendah.
Sementara Mitton (2002) yang melakukan penelitian di 5 negara Asia Timur
menemukan bukti bahwa corporate governance memiliki pengaruh positif terhadap
terhadap kinerja perusahaan di Asia selama terjadinya krisis. Hasil penelitian
Klapper & Love (2004) yang menggunakan data ranking corporate governance dari
14 negara berkembang, menemukan bukti bahwa corporate governance
berhubungan positif dengan kinerja operasional dan penilaian pasar. Alves dan
Mendes (2004) juga membuktikan adanya pengaruh positif corporate governance
terhadap imbal hasil saham perusahaan.
Berbagai penelitian tersebut menggunakan regresi OLS untuk menguji
hubungan antara corporate governance dengan nilai perusahaan. Tetapi
penggunaan regresi OLS kurang tepat, karena antara corporate governance dan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

nilai perusahaan terdapat hubungan timbal balik. Hubungan tersebut adalah apakah
good corporate governance menyebabkan nilai perusahaan yang lebih tinggi atau
apakah perusahaan dengan nilai pasar yang lebih tinggi akan lebih besar akan
memilih struktur governance yang lebih baik untuk semakin meningkatkan nilai
perusahaan. Koefisien yang dihasilkan dari regresi OLS akan berakibat pada
adanya overstated dalam hubungan antar variabel (Beiner dkk, 2005).
Untuk mengatasi kelemahan dalam penggunaan OLS tersebut, Agrawal &
Knoeber (1996) hubungan antara 7 mekanisme kontrol dengan menggunakan 6
persamaan dalam model persamaan simultan. Dengan menggunakan OLS mereka
menemukan bahwa insider shareholdings, outside directors, utang, dan corporate
control activity mempengaruhi kinerja perusahaan jika tiap mekanisme tersebut
dimasukkan dalam regresi OLS yang terpisah. Tetapi, pengaruh insider
shareholdings, dan pengaruh utang serta corporate control activity, menjadi hilang
jika seluruh mekanisme dimasukkan dalam satu regresi OLS.
Black dkk (2005) dalam pengujiannya juga telah mengakomodasi adanya
unsur endogenitas antara indeks CG dan nilai perusahaan. Dari pengujian mereka
hasilnya memperkuat bukti mengenai adanya endogenitas atau hubungan saling
mempengaruhi antara indeks CG dan nilai perusahaan. Beiner dkk (2005) dengan
menggunakan persamaan simultan menemukan bahwa corporate governance
berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Mereka juga menemukan adanya
reverse causality dimana perusahaan dengan nilai yang lebih tinggi akan
mengadopsi praktek corporate governance yang lebih baik. Silveira dan Barros
(2006) menguji dampak indeks CG terhadap nilai pasar 154 perusahan publik di
Brazil pada tahun 2002 dengan menggunakan pendekatan OLS dan pendekatan
model simultan. Hasil pengujian mereka secara konsisten menunjukan hubungan
positif dan signifikan pengaruh dari indeks CG terhadap nilai pasar perusahaan.
Sementara penelitian Arsjah (2005) dengan menggunakan sampel perusahaan-
perusahaan yang terdaftar di Indonesia, menemukan bukti bahwa terdapat
hubungan positif antara indeks CG dan kinerja akuntansi perusahaan, namun
studinya tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara indeks CG dan
nilai perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini


menghipotesakan bahwa terdapat hubungan positif dari indeks CG terhadap nilai
pasar perusahaan. Argumen dari pembentukan hipotesa ini adalah bahwa
penerapan CG yang efektif akan dapat menekan biaya konflik dan meningkatkan
kinerja perusahaan, sehingga pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan.
Penelitian ini juga menduga bahwa terdapat reverse causality dimana perusahaan
dengan nilai yang lebih tinggi akan mengadopsi praktek corporate governance yang
lebih baik (Beiner dkk, 2005). Sehingga ada dua hipotesa yang dibangun untuk
hubungan antara corporate governance dengan nilai perusahaan.

H6. Corporate Governance berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.


H7. Nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap corporate governance.

Dari hasil pengkajian terhadap literatur yang dijelaskan di atas, penulis


melihat masih ada beberapa aspek dari penelitian mengenai diversifikasi, insider
ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan yang belum diteliti oleh
peneliti-peneliti sebelumnya:
1. Dalam penelitian sebelumnya, hubungan antara diversifikasi, insider ownership,
corporate governance, dan nilai perusahaan diuji dengan OLS. Penelitian ini akan
menggunakan persamaan simultan dengan structural equation model untuk melihat
hubungan antar variabel-variabel tersebut.
2. Variabel corporate governance biasanya menjadi variabel independen terhadap
nilai perusahaan. Dalam penelitian ini corporate governance merupakan variabel
intervening terhadap hubungan antara diversifikasi dengan nilai perusahaan.

2.5. Kerangka Konseptual


Dari penjelasan di atas, hubungan antara diversifikasi, insider ownership,
corporate governance, dan nilai perusahaan, dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Diversifikasi H1 ( +/- ) Nilai Perusahaan

H2 (-)
H3(+) H 6 (+ ) H7 (+)

H4 (+)

Insider Ownership Corporate


H5 (+) Governance

3. DESAIN PENELITIAN
3.1. Model Penelitian
Penelitian ini mengajukan tiga persamaan penelitian sebagai berikut:
OWNER = a0 + a1DDIV + e ............................................................................ (1)
CGI = b0 + b1PTQ + b2OWNER + b3DDIV + b4 SIZE + ............................. (2)
PTQ = c0 + c1CGI + c2OWNER + c3DDIV + c4 SIZE + c5LEV + ............... (3)
Penjelasan dari variabel-variabel yang digunakan dalam model penelitian di
atas adalah sebagai berikut:
DIVERS= Diversifikasi usaha, dengan nilai 1 jika perusahaan memiliki segmen
usaha lebih dari 1 segmen , 0 lainnya.
CGI = indeks corporate governance perusahaan tahun 2005 yang digunakan pada
penelitian Salis (2008) dengan perhitungan yang didasarkan pada penelitian
Rahadian (2007).
PTQ = merupakan nilai perusahaan dihitung berdasarkan Proxy Tobins Q. yang
dihitung dengan menggunakan rumus :
(MVE + DEBT) / (BVE + DEBT).
Dimana:
MVE = nilai pasar ekuitas
DEBT = total nilai utang (debt)
BVE = nilai buku ekuitas

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

OWNER = merupakan variabel dummy, dengan nilai 1 jika terdapat Insider


Ownership, dan 0 jika sebaliknya. Insider Ownership dihitung dengan menjumlahkan
kepemilikan saham dewan direksi dan dewan komisaris.
SIZE = logaritma dari total aktiva akhir tahun
LEV = leverage merupakan rasio antara total hutang dibagi dengan total ekuitas.

Persamaan (1) adalah untuk melihat hubungan antara insider ownership


dengan diversifikasi. Untuk perusahaan yang memiliki insider ownership diharapkan
akan berhubungan negatif dengan diversifikasi. Hal ini karena kemungkinan manajer
tahu bahwa setelah diversifikasi nilai perusahaan akan turun (Servaes, 1996)
sehingga mereka akan mengurangi kepemilikannya. Hasil yang diharapkan adalah
koefisien a1 < 0,
Persamaan (2) merupakan persamaan untuk melihat pengaruh diversifikasi
usaha, insider ownership, dan nilai perusahaan terhadap corporate governance.
Adanya insider ownership semestinya lebih efisien dibandingkan perusahaan yang
tidak mempunyai IO. Ekspektasi hasil dari persamaan ini adalah koefisien b1 > 0, b2
> 0, b3 < 0.
Persamaan (3) merupakan persamaan yang terkait dengan pengaruh diversifikasi,
corporate governance, dan insider ownership terhadap nilai perusahaan.
Diharapkan nilai perusahaan yang mempunyai insider ownership akan lebih tinggi
dibandingkan perusahaan lainnya (Kim, Lee, dan Fancis, 1988). Apakah corporate
governance menyebabkan nilai perusahaan lebih tinggi atau perusahaan dengan
nilai yang lebih tinggi secara sukarela memilih mekanisme corporate governance
yang lebih baik, perlu diuji secara simultan. Untuk itu maka PTQ dimasukkan
sebagai salah satu variabel independen yang mempengaruhi CG. Ekspektasi hasil
yang diharapkan koefisien c1 > 0, c2 > 0, c3 > 0.

3.2. Metode Analisis


Data dan hipotesa dalam penelitian ini akan diolah dengan menggunakan
Structural Equation Model (SEM). SEM adalah generasi kedua teknik analisis
multivariate ( Bagozzi dan Fornell 1982, dalam Ghazali 2005) yang memungkinkan
peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai


keseluruhan model. Pengujian model dalam penelitian ini dilakukan dua kali.
Pertama akan dilakukan pengujian terhadap model untuk variabel utama tanpa
memasukkan variabel kontrol. Selanjutnya akan diuji dengan memasukkan variabel
kontrol. Langkah-langkah ini dilakukan untuk melihat apakah hasil estimasi akan
berbeda jika dilakukan dengan dan tanpa variabel kontrol.
Analisis terhadap hasil estimasi akan dillakukan dengan dua tahap. Tahap
pertaman merupakan analisis atas kecocokan model keseluruhan. Analisa dilakukan
dengan mencocokan antara model dengan data dengan berdasarkan indikator
Goodness-of-fit Index (GFI) statistik dari output LISREL (Hair et al.,1995). Tahap
kedua dilakukan dengan path analysis atas hasil estimasi. Analisis ini dilakukan
terhadap koefisien-koefisien persamaan struktural dengan menspesifikasikan tingkat
signifikansi tertentu. Analisa model struktural ini untuk menguji hipotesa yang
diajukan dalam penelitian ini. Untuk tingkat signifikansi sebesar 0,05 maka nilai t dari
persamaan struktural harus lebih besar atau sama dengan 1,96 atau untuk
praktisnya lebih besar sama dengan 2 (Wijanto, 2008).

3.3. Operasionalisasi Variabel


Diversifikasi (DDIV).
Diversifikasi dilihat berdasarkan banyaknya segmen bisnis perusahaan yang
dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan. Variabel ini merupakan variabel
dummy dengan nilai 1 untuk perusahaan yang memiliki segmen lebih dari 1, dan
nilai 0 untuk lainnya.
Corporate Governance Index (CGI)
Indeks corporate governance dihitung berdasarkan corporate governance
checklist yang digunakan dalam penelitian Rahadian (2007) menggunakan data
sekunder. Item pertanyaan dalam checklist yang terdiri dari 5 kelompok akan diuji
Lisrel untuk menentukan validitasnya. Kelima kelompok tersebut adalah:
1. Rights of shareholders
2. Equal treatment of shareholders
3. Role of stakeholders
4. Disclosure and transparency

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

5. Board responsibilities
Insider Ownership (IO)
Variabel IO ini dilihat dari kepemilikan dalam dengan melihat apakah nama
dewan direksi dan atau komisaris merupakan pemegang saham perusahaan yang
bersangkutan. Variabel ini juga merupakan variabel dummy dengan nilai 1 untuk
kepemilikan dalam lebih dari 5% dan nilai 0 untuk lainnya.
Nilai Perusahaan (TPQ)
Variable nilai perusahaan dalam penelitian ini akan digunakan proxy Tobins
q, yang dihitung dengan menggunakan rumus :
(MVE + DEBT) / (BVE + DEBT).
Dimana:
MVE = nilai pasar ekuitas
DEBT = total nilai utang (debt)
BVE = nilai buku ekuitas

Variabel Kontrol
Penelitian ini menggunakan dua variabel kontrol yaitu ukuran peerusahaan
(size) dan besarnya rasio hutang terhadap ekuitas (lev). size dihitung dengan
menggunakan proxy logaritma dari total aktiva perusahaan perusahaan.
Dikhawatirkan bahwa penerpan praktik CG akan berbeda untuk perusahaan kecil
dengan perusahaan yang berukuran besar. Untuk itu variabel ini dimasukkan untuk
mengontrol kemungkinan adanya pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap
implementasi corporate governance.
Variabel kontrol kedua dalam penelitian ini adalah Leverage yang merupakan
perbandingan antara total kewajiban perusahaan terhadap total ekuitasnya. Variabel
ini dihitung dengan menggunakan rumus: total utang / total ekuitas. Variabel ini
dimasukkan untuk mengontrol kemungkinan bahwa untuk mendiversifikasi
perusahaan, manajer menggunakan dana dari hutang yang akan berpengaruh
terhadap nilai perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.4. Sumber dan Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan tahunan
untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2005 dari perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta, untuk melakukan menghitung indeks CG, data kepemilikan
dalam (IO) dan melihat banyaknya segmen usaha yang dimiliki perusahaan.
Selanjutnya, data harga saham untuk menghitung nilai pasar diperoleh dari situs
Bursa Efek Jakarta (www.jsx.co.id), Indonesian Capital Market Directory 2005.
Untuk memperoleh data-data perusahaan, seprti besarnya hutang, dan total ekuitas
dari database OSIRIS yang tersedia di FEUI. Dari 312 perusahaan yang terdaftar di
BEJ pada tahun 2005, maka penelitian ini pada awalnya menggunakan 100 sampel
perusahaan, yang terdiri dari berbagai industri. Besarnya sample ini ditentukan
berdasarkan data indeks CG yang sudah tersedia. Dari hasil pemeriksaan, terdapat
5 data yang outlier sehingga dikelurakan dari sampel, sehingga didapatkan sampel
akhir sebesar 95 perusahaan.

4. HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN


4.1. Kecocokan Model Keseluruhan
Analisa model struktural dalam SEM diawali dengan pengujian kecocokan
model keseluruhan yang dilihat berdasarkan indikator Goodness-of-fit Index (GFI)
statistik dari output LISREL (Hair et al.,1995). Secara keseluruhan ringkasan nilai
kritis dari pengujian kecocokan model keseluruhan untuk hasil pengujian variabel
utama dapat dilihat dari rangkuman dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Kecocokan Model Keseluruhan


Kriteria Tingkat
Indikator Tingkat Hasil Estimasi
Kecocokan Kecocokan
Kecocokan Model
Model Model
RMSEA RMSEA < 0,08 0,14 Kurang Baik
Nilai yang lebih kecil
M* = 0.34
dari Independence
ECVI S** = 0.33 Baik (Good fit)
dan lebih dekat ke
I*** = 0.23
Saturated Model

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kriteria Tingkat
Indikator Tingkat Hasil Estimasi
Kecocokan Kecocokan
Kecocokan Model
Model Model
Nilai yang lebih kecil
M* = 31.42
dari Independence
AIC S** = 30.00 Baik (Good fit)
dan lebih dekat ke
I*** = 38.89
Saturated Model
Nilai yang lebih kecil
M* = 77.35
CAIC dari Independence
S** = 82.99 Baik (Good fit)
dan lebih dekat ke ***
I = 38.89
Saturated Model
NFI NFI > 0,90 0.97 Baik (Good fit)
CFI CFI > 0,90 0,90 Baik (Good fit)
IFI IFI > 0,90 0,91 Baik (Good fit)
Critical N N > 200 152.50 Baik (Good fit)
GFI GFI >0,90 0,98 Baik (Good fit)

4.2.2. Path Analysis Hasil Estimasi


Hasil path analysis untuk model persamaan struktural dapat dilihat pada path
diagram berikut.
Gambar 2. Path Diagram

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hasil pengujian dengan SEM menghasilkan tiga persamaan struktural yang


merupakan persamaan yang untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini. Persamaan pertama merupakan persaaan untuk H3.

OWNER = 0.11*DDIV, Errorvar.= 0.0050, R = 0.27

Nilai t untuk persamaan pertama di atas adalah sebesar 5,86, yang di atas
nilai kritis 1,96. Hal ini berarti H3 terbukti signifikan. Diversifikasi perusahaan secara
signifikan berpengaruh positif terhadap insider ownership. Diversifikasi perusahaan
secara signifikan berpengaruh positif terhadap insider ownership. Hasil ini
mengindikasikan bahwa dengan diversifikasi maka manajer cenderung untuk
menambah kepemilikannya guna memperkuat posisinya dalam perusahaan.
Untuk menilai seberapa baik coefficient of determination dari persamaan
struktural, akan dilihat dari besaran dari R2 (Wijanto, 2006). Hasil pengujian Lisrel
yang didapatkan nilai R2 untuk persamaan pertama adalah 0.27. Hal ini dapat
diartikan bahwa dalam model ini, diversifikasi mampu menjelaskan 27% dari
perubahan pada variabel insider ownership.
Persamaan berikutnya yang dihsasilkan dari pengujian adalah persamaan
untuk menguji hipotesa H2, H5, dan H7.

CGI = - 0.0039*OWNER - 0.0084*PTQ - 0.037*DDIV + 0.017*SIZE, Errorvar.=


0.0050, R = 0.15

H2 yang menguji pengaruh diversifikasi terhadap corporate governance


koefisiennya tidak signifikan dengan nilai t sebesar -1.67. Dari persamaan juga
terlihat bawa H7 hasilnya negatif tidak signifikan. Hasil yang signifikan adalah
pengaruh dari variabel kontrol size terhadap CGI dengan nilai t sebesar 3.42. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan yang size-nya besar cenderung akan
menerapkan CG yang baik. Nilai R yang didapatkan dari pengujian adalah 0.15.
yang berarti variabel insider ownership, diversifikasi dan nilai perusahaan dalam
model ini hanya mampu menjelaskan 15% perubahan pada variabel CGI.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Persamaan ke tiga yang dihasilkan adalah untuk menguji H1, H4, dan H6. H1
adalah tentang pengaruh dari diversifikasi terhadap nilai perusahaan. H4 merupakan
hipotesa untuk pengaruh dari iinsider ownership terhadap nilai perusahaan. H6
menguji pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan. Persamaan
yang dihasilkan dari pengujian adalah sebagai berikut:

PTQ = - 0.15*CGI + 0.0044*OWNER - 0.050*DDIV + 0.020*LEV + 0.033*SIZE,


Errorvar.= 0.0050, R = 0.64

H1 yang menguji pengaruh dari diversifikasi perusahaan terhadap nilai


perusahaan terbukti signifikan negatif dengan nilai t sebesar -2.15. Hal ini
mengindikasikan bahwa diversifikasi berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.
H4 hasilnya tidak signifikan. Demikian juga dengan H6 juga tidak signifikan. Variabel
kontrol LEV signifikan positif berpengaruh terhadap nilai perusahaan dengan nilai t
sebesar 11.13. Sementara variabel kontrol size juga terbukti signifikan berpengaruh
positif terhadap nilai perusahaan dengan nilai t sebesar 6.54. Nilai R untuk
persamaan ini adalah 0.64. Hal ini berarti bahwa CGI, OWNER, dan DDIV mampu
menjelaskan 64% perubahan pada variabel nilai perusahaan. Ringkasan hasil
penelitian atas hipotesa utama ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 2. Path Analysis Model Struktural

OWNER = a0 + a1DDIV + e
CGI = b0 + b1PTQ + b2OWNER + b3DDIV + b4 SIZE +
PTQ = c0 + c1CGI + c2OWNER + c3DDIV + c4 SIZE + c5LEV +

OWNER CGI PTQ

Koef. Koef. Koef.


Path (t-value) (t-value) (t-value)

DDIV 0.11 -0.037 -0.050


(5.86) *** (-1.67) (-2.15) ***

PTQ -0.0084
(-0.096)

OWNER -0.0039 0.0044


(-0.037) (0.042)

CGI -0.15
(-1.08)

LEV 0.020 ***


(11.13)

SIZE 0.017 0.033


(3.42) *** (6.54) ***

R2 0.27 0.15 0.64


*** Signifikan

Keterangan:
DDIV : Dummy Variable untuk melihat diversifikasi perusahaan, yang dihitung
berdasarkan jumlah segmen yang dilaporkan dalam laporan keuangan
perusahaan pada tahun 2005

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

OWNER: Insider Ownership, yang dihitung dengan menjumlahkan kepemilikan


saham dewan direksi dan dewan komisaris perusahaan periode tahun
2005.
CGI : Corporate Governance Index yang mengukur jenis dari mekanisme CG
yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan keuangan perusahaan
tahun 2005.
PTQ : Proxy dari Tobins Q untuk mengukur nilai perusahaan. Dihitung dengan
rumus (MVE + DEBT) / (BVE + DEBT)
SIZE : Log dari total aset perusahaan yang merupakan proxy dari ukuran
perusahaan
LEV : Rasio utang atas ekuitas perusahaan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel insider ownership


(OWNER) terbukti secara signifikan merupakan variabel intervening terhadap
hubungan antara diversifikasi dan nilai perusahaan tetapi tidak signifikan sebagai
variabel intervening terhadap hubungan antara diversifikasi dengan corporate
governance.

5. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN


Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari diversifikasi perusahaan
dan insider ownership terhadap nilai perusahaan dan corporate governance. Data
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data laporan keuangan perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2005. Untuk mengestimasi hipotesa yang
dibangun dalam penelitian ini, digunakan pendekatan structural equation model.
Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk menguji secara bersama-sama
hubungan simultan antara variabel nilai perusahaan dan corporate governance dan
juga untuk menguji variabel intervening yang ada dalam model penelitian.
Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat bahwa H1 tentang pengaruh
diversifikasi terhadap nilai perusahaan terbukti signifikan negatif. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnay (Lang dan Stulz, 1994, Berger dan Ofek, 1995,
dan Servaes, 1996) bahwa diversifikasi tidak meningkatkan nilai perusahaan. H2

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

tentang pengaruh dari diversifikasi terhadap corporate governance, hasil pengujian


menunjukkan adanya korelsi negatif tetapi tidak signifikan. H3 terbukti positif
signifikan, yang berarti bahwa diversifikasi memberikan pengaruh positif terhadap
insider ownership. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajer melakukan
diversifikasi untuk memperkuat posisinya di perusahaan.
Pengujian terhadap H4 mengenai pengaruh dari insider ownership terhadap
nilai perusahaan hasilnya tidak signifikan. Sementara itu H5 juga tidak signifikan. H6
menguji pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan. Hasil
estimasi menunjukkan hipotesis ini tidak signifikan. H7 juga tidak signifikan pada.
Temuan penelitan ini mendukung pernyataan Lins dan Servaes (1999) bahwa
perbedaan internasional dalam praktek corporate govenane akan berpengaruh
terhadap hasil penelitian mengenai pengaruh diversifikasi terhadap nilai
perusahaan.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin mempengaruhi
hasil penelitian yang ingin dicapai. Keterbatasan-keterbatasan tersebut adalah:
1. Data yang digunakan bukan merupakan data terbaru karena hanya
menggunakan data laporan keuangan perusahaan tahun 2005. Hal ini
dilakukan karena penelitian ini menyesuaikan dengan data CG indeks telah
tersedia. Keterbatasan ini menimbulkan minimnya jumlah sampel yang
digunakan dan terbatas hanya pada tahun 2005 yang data indeksnya telah
tersedia. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menggunakan
data terbaru dan lebih lengkap dengan metode penghitungan index yang
berbeda dengan metode yang lebih baru.
2. Proxy yang digunakan untuk menghitung nilai perusahaan merupakan proxy
dari Tobins Q dimana Tobins Q sendiri merupakan suatu proxy dari nilai
perusahaan. Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan proxy lain atas
nilai perusahaan yang kemungkinan akan dapat memberikan hasil yang lebih
bervariasi misalnya price to book value (PBV).
3. Untuk melihat diversifikasi perusahaan, penelitian ini hanya menggunakan
jumlah segmen usaha yang dilaporkan dalam laporan tahunan. Jumlah segmen
ini belum dipisahkan untuk perusahaan yang melakukan diversifikasi terkait
dan yang tidak terkait. Penelitian ini juga belum menguji diversifikasi geografis

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang kemungkinan juga akan memberikan hasil yang bervariasi. Penelitian


berikutnya dapat dilakukan dengan membedakan antara diversifikasi usaha
terkait dan tidak terkait, serta diversifikasi geografis. Penelitian selanjutnya juga
dapat dilakukan dengan menguji tingkat diversifikasi yang dapat dihitung
dengan metode lain misalnya dengan herfindahl index.
4. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian hanya leverage dan ukuran
perusahaan. Kemungkinan masih banyak variabel kontrol lain yang dapat
digunakan dalam penelitian selanjutnya yang berpengaruh terhadap corporate
governance dan nilai perusahaan misalnya. Penelitian ini belum memasukkan
unsur lain yang kemungkinan akan sangat berpengaruh terhadap hasil
penelitian misalnya dengan mengontrol environtment di Indonesia yang
berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara lain.

---&&&---

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 30


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A. and C. R. Knoeber. 1996. Firm Performance and Mechanisms to Control


Agency Problems between Managers and Shareholders. Journal of Financial
and Quantitative Analysis, 31 (3), 377-397.

Alves, C. and V. Mendes. 2004. Corporate Governance Policy and Company


Performance: the Portuguese Case. Corporate Governance: An International
Review, Volume 12 (3).

Anderson, R.C., S.A. Mansi, and D.M. Reeb. 2002. Founding Family Ownership and
the Agency Cost of Debt. http://www.ssrn.com.

Andres, Pd, V. Azofra and F. Lopez. 2005. Corporate Boards in OECD Countries:
Size, Composition, Functioning and Effectiveness. Corporate Governance: An
International Review, 13 (2).

Amin Wijaya Tunggal, 2007.,Corporate Governance (Suatu Pengantar), Harvarindo.

Antoinette Schoar. 2002. Effects of Corporate Diversification on Productivity., The


Journal of Finance, Vol. 57, No. 6. (Dec., 2002), pp. 2379-2403.

Black B, JangH,HimW.Does corporate governance predict firm'smarket values?


Evidence from Korea. J Law Econ Organ 2006a;22:366413.

Beiner, S., W. Drobetz, M.M. Schmid, and H. Zimmermann. 2005. An Integrated


Framework of Corporate Governance and Firm Valuation. http://www.ssrn.com.

Berger, Philip, and Eli Ofek, 1995, Diversification's effect on firm value, Journal of
Financial Economics 37, 39-65.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 31


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Black, B.S., H. Jang, and W. Kim. 2003. Does Corporate Governance Affect Firm
Value? Evidence from Korea. http://www.sciencedirect.com.

____________. 2005. Predicting Firms Corporate Governance Choices: Evidence


from Korea. http://www.sciencedirect.com.

Blair, M.M. 1995. Ownership and Control: Rethinking Corporate Governance for the
Twenty- First Century. Working Paper Washington D.C: The Brookings
Institution.

Bodnar, G.M., Tang, C., Weintrop, J., 1999. Both sides of corporate diversification:
The value impacts of geographic and industrial diversification. Working Paper,
Johns Hopkins University.

B. V. Phani , V.N. Reddy , N. Ramachandran and Asish K. Bhattacharyya., 2005,


Insider Ownership, Corporate Governance and Corporate Performance.
http://www.ssrn.com.

Campa, J.M., Kedia, S., 2002. Explaining the diversification discount. Journal of
Finance 57, 17311762.

Chevalier, Judy, 1999, Why do firms undertake diversifying mergers? An


examination of the investment policies of merging firms, Working paper,
University of Chicago.

Chung, K.H. and S.W. Pruitt. 1996. Executive Ownership, Corporate Value, and
Executive Compensation: A Unifying Framework. Journal of Banking and
Finance 20, 1135- 1159.

Claessens, S., Djankov, S., Fan, J., Lang, L., 2002. Disentangling the Incentive and
Entrenchment Effects of Large Shareholdings. Journal of Finance 57, 2741
2771.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 32


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Comment, R., Jarrell, G., 1995. Corporate focus and stock returns. Journal of
Financial Economics 37, 6788.

David J. Denis; Diane K. Denis; Atulya Sarin., 1999. Agency Theory and the
Influence of Equity Ownership Structure on Corporate Diversification
Strategies. Strategic Management Journal, Vol. 20, No. 11. (Nov., 1999), pp.
1071-1076.

David J. Denis; Diane K. Denis; Keven Yost., 2002. Global Diversification, Industrial
Diversification, and Firm Value. The Journal of Finance, Vol. 57, No. 5. (Oct.,
2002), pp. 1951-1979.

Demsetz, H. and K. Lehn. 1985. The Structure of Corporate Ownership: Causes and
Consequences. Journal of Political Economy, Vol. 93, 1155-1177.

Denis, D.J., Denis, D.K., Sarin, A., 1997. Agency problems, equity ownership, and
corporate diversification. Journal of Finance 52, 135160.

Denis, D.J., Denis, D.K., Yost, K., 2002. Global diversification, industrial
diversification, and firm value. Journal of Finance 57, 19511979.

Fama, E., and M. Jensen. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of
Law and Economics 26, 301-325.

Graham, J.R., Lemmon, M., Wolf, J., 2002. Does corporate diversification destroy
value? Journal of Finance 59, 695720.

Gujarati, D.N. (2003), Basic Econometrics, 4th Edition, McGraw-Hill Higher


Education.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 33


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hair, J.F. Jr., Anderson, R.E., Tathan, R.L., dan Black, W.C. 1998. Multivariate Data
Analysis. Fifth Edition. Prentice-Hall International Inc.

Hyland, D., Diltz, D., 2002. Why firms diversify? An empirical examination. Financial
Management 31, 5182.

Ikatan akuntan Indonesia, 2007, Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat


Jakarta.

Imam Ghazali. (2005) Model Persamaan Struktural Badan Penerbit Universitas


Diponegoro.

Jensen, M. C. and W. H. Meckling (1976), Theory of the Firm: Managerial


Behaviour, Agency Cost, and Ownership Structure, Journal of Financial
Economics 3, 305-360.

_______ 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers.
American Economic Review Papers and Proceedings 76, 323329.

Jiraporn, P., Y.S. Kim and W.N. Davidson III (2005), CEO Compensation,
Shareholders Rights, and Corporate Governance, Journal of Economics and
Finance, Vol. 29, No. 2, 242-258.

John R. Graham; Michael L. Lemmon; Jack G. Wolf (2002)., Does Corporate


Diversification Destroy Value?. http://www.ssrn.com.

John A. Doukas; L. H. P. Lang (2003)., Foreign Direct Investment, Diversification


and Firm Performance. http://www.ssrn.com.

Karl Lins; Henri Servaes., 1999. International Evidence on the Value of Corporate
Diversification. The Journal of Finance, Vol. 54, No. 6. (Dec., 1999), pp. 2215-
2239.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 34


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Klapper, L.F. and I. Love. 2002. Corporate Governance, Investor Protection, and
Performance in Emerging Markets. http://econ.worldbank.org.

Kula, V. 2005. The Impact of the Roles, Structure and Process of Boards on Firm
Performance: Evidence from Turkey. Corporate Governance: An International
Review, 13 (2).

La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., 1999. Corporate ownership around
the world. Journal of Finance 54, 471517.

La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., Vishny, R., 2002. Investor Protection
and Corporate Valuation. Journal of Finance 57, 11471170.

Lang, Lany, and Ren6 M. Stulz, 1994, Tobin's q, corporate diversification and firm
performance, Journal of Political Economy 102, 1248-1280.

Lai, J., Sudarsanam, S., 1997. Corporate restructuring in response to performance


decline: impact of ownership, governance and lenders. European Finance
Review 1, 197233.

Lasfer, M., 1995. Agency costs, taxes and debt: the UK evidence. European
Financial Management 1, 265285.

Lopez-Itturiaga, F.J. and J.A. Rodriguez-Sanz. 2001. Ownership Structure,


Corporate Value, and Firm Investment: A Simulatenous Equation Analysis for
Spanish Companies. Journal of Management and Governance, 5 (2), p.179-
204.

Mak, Y.T. and Y. Li. 2001. Determinants of Corporate Ownership and Board
Structure: Evidence from Singapore. Journal of Corporate Finance 7, 235256.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 35


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Mansi, S., Reeb, D.M., 2002. Corporate diversification: What gets discounted?
Journal of Finance 57, 21672184.

McConnell, J., Servaes, H., 1990. Additional evidence on equity ownership


corporate value. Journal of Financial Economics 27, 595612.

Maury, B. 2006. Family Ownership and Firm Performance: Empirical Evidence from
Western European Corporations. Journal of Corporate Finance 12, 321 341.

McConnel, J.J. and H. Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and
Corporate Value. Journal of Financial Economics 27, 595-612.

Mitton, T. 2002. A Cross-Firm Analysis of the Impact of Corporate Governance on


the East Asian Financial Crisis. Journal of Financial Economics 64, 215241.

Morck, R., A. Shleifer, and R. Vishny. 1998. Management Ownership and Market
Valuation: An Empirical Analysis. Journal of Financial Economics 20, 293-316.

Nelson, J. 2005. Corporate Governance Practices, CEO Characteristics, and Firm


Performance. Journal of Corporate Finance 11, 197 228.

Owen A. Lamont; Christopher Polk., 2001., The Diversification Discount: Cash lows
versus Returns. The Journal of Finance, Vol. 56, No. 5. (Oct., 2001), pp. 693-
1721

Porter, Michael E., 1985., Competitive Advantage: creating and sustaining superior
performance: with a new introduction., New York Free Press.

Pornsit Jiraporn, Young Sang Kim, Wallace N. Davidson, Manohar Singh.,2005.


Corporate governance, shareholder rights and firm diversification: An empirical
analysis. http://www.ssrn.com.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 36


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pedersen, T. and S. Thomsen. 2001. The Causal Relationship between Insider


Ownership, Owner Identity and Market Valuation among the Largest European
Companies. Working Paper Copenhagen Business School.

Rahadian (2007) Investigasi Ulang Hubungan Nilai Perusahaan, Kebijakan Accrual,


Indeks Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Struktur Modal: Studi
Empiris di Indonesia. Thesis Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas
Ekonomi UI.

Rajan, Raghu, Henri Servaes, and Luigi Zingales, 1998, The cost of diversity: The
diversification discount and inefficient investment, Journal of Finance 55, 35-80.

Ronald C Anderson; Thomas W Bates; John M Bizjak; Michael L Lemmon. 2000.,


Corporate governance and firm diversification., Financial Management; 29, 1;
ABI/INFORM Global pg. 5

Rumelt, R P, 1974, Strategy, Structure and Economic Performance, Harvard


University Press, Cambridge, M A.

Salis Musta Ani, 2007, Pengaruh Governance terhadap Corporate Social


Responsibility (Studi empiris Pad Perusahaan Terdaftar Di BEJ 2004-2005)
Thesis Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi UI.

Sattar A. Mansi; David M. Reeb. 2002., Corporate Diversification: What Gets


Discounted?. The Journal of Finance, Vol. 57, No. 5, pp. 2167-2183.

Servaes, Henri, 1997, The value of diversification during the conglomerate merger
wave, Journal of Finance 51, 1201-1225.

Singh, Manohar, Mathur, I., Gleason, K.C., 2004. An analysis of interrelationship


among corporate governance, ownership structure and diversification
strategies. Financial Review 39, 489526.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 37


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Stefan Beinera and Markus M. Schmid, 2005, Agency Conflicts, Corporate


Governance, and Corporate Diversification Evidence from Switzerland
http://www.ssrn.com.

Surat Edaran Bapepam Nomor: SE-02/PM/2002. http://bapepam.go.id.

Villalonga, Belen, 2000, Diversification discount or premium? New evidence from


BITS establishment level data, Unpublished manuscript, University of
California, Los Angeles.

Villalonga, B., 2004. Does diversification cause the diversification discount. Financial
Management 33, 528.

Whited, T., 2001. Is it efficient investment that causes the diversification discount?
Journal of Finance 56, 1667 1692.

Wijanto, Setyo Hari, 2006, Structural Equation Model (SEM) dengan Lisrel 8.7,
Catatan Kuliah, Pascasarjana Ilmu Manajemen, Universitas Indonesia.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV05- 38


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE SERTA PENGALAMAN


INTERNASIONAL DAN GENDER DEWAN DIREKSI PERUSAHAAN PUBLIK
DI INDONESIA
TERHADAP PENGUNGKAPAN SOSIAL

Sari Atmini
Yeney Widya Prihatiningtias
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang

Abstract

The objectives of this research are to empirically examine the effects of independent
commissioner, audit committee characteristics (number of member, competencies,
independency and frequency of meeting), board of directors characteristics (size,
international experiences and gender) and structure of ownership (managerial and
blockholder ownership) to social disclosure. The sample of this research was
determined using purposive sampling method. There are 24 companies categorized
as high profile companies fulfill the criteria. Data were analyzed using multiple
regression analysis. The results of this research show that independent
commissioner, audit committee characteristics (number of member, competencies,
independency and frequency of meeting), board of directors characteristics (size,
international experiences and gender) and structure of ownership (managerial and
blockholder ownership) do not affect social disclosure.

Keywords: independent commissioner, audit committee, board of directors,


international experiences, gender, managerial ownership, blockholder ownership,
social disclosure

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. Latar Belakang Masalah


Pengungkapan sosial adalah salah satu bentuk pengungkapan sukarela.
Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang dilakukan perusahaan di luar
apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan Badan Pengawas
(Suwardjono 2005: 577). Pengungkapan sukarela didasari oleh signaling theory
(Eng & Mak 2003), stakeholder theory (Hasibuan-Sedyono 2006; Kiroyan 2006),
dan contracting theory (Watts & Zimmerman 1986).
Pengungkapan sosial merupakan subyek penelitian penting dalam dua
dekade terakhir. Alasan suatu perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara
sukarela sangat menarik perhatian peneliti empiris dan analitis dalam bidang
akuntansi. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada umumnya menguji sifat
dan pola pengungkapan sosial serta determinan dari pengungkapan sosial.
Penelitian analitis menguji pengaruh kompetisi terhadap pengungkapan serta
manfaat pengungkapan sebagai signal nilai perusahaan, sedangkan penelitian
empiris menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan (Eng &
Mak 2003; Haniffa & Cooke 2005; Gao et al. 2005).
Penelitian-penelitian mengenai pengungkapan sosial dalam beberapa tahun
terakhir ini telah mulai menghubungkan corporate governance dengan praktik
pengungkapan sosial (Forker 1992, Chan & Jaggi 2000 dalam Eng & Mak 2003;
Eng & Mak 2003). Pertimbangan corporate governance, yang mencakup struktur
kepemilikan serta komposisi dewan komisaris dan komite audit, merupakan hal
penting karena pengungkapan dalam laporan tahunan diputuskan oleh manajemen
puncak (Gibson et al. 1990 dalam Haniffa & Cooke 2005).
Dalam rangka menegakkan good corporate governance, perusahaan di
Indonesia diwajibkan membentuk komite audit (Khomsiyah dkk. 2005). Salah satu
tugas komite audit adalah melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang
akan dipublikasikan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi
keuangan lainnya. Peningkatan kualitas pelaporan keuangan merupakan tanggung
jawab utama komite audit. Efektivitas komite audit dalam menjalankan fungsi dan
perannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik komite audit, yang meliputi jumlah

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

anggota, tingkat keahlian anggota, independensi, serta frekuensi pertemuan komite


audit. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperoleh bukti empiris
mengenai pengaruh karakteristik komite audit terhadap pengungkapan seperti yang
dilakukan Mautz & Neary (1979), Jones (1986), Vicknair et al. (1993), De Fond &
Jiambalvo (1991), Sommer (1991), Kalbers & Fogarty (1993), McMullen (1996),
Bean (1999), Zulaikha et al. (1999), Kurnianingsih dan Supomo (1999), Abbott et al.
(2002), Ishak (2002), Felo et al. (2003), dan Utama (2004) [Khomsiyah dkk. 2005],
serta Khomsiyah dkk. (2005).
Corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan komisaris
independen, komite audit, dewan direksi, dan struktur kepemilikan. Penelitian ini
menguji karakteristik komite audit yang terdiri atas jumlah anggota, tingkat keahlian
anggota, independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit. Sedangkan
karateristik dewan direksi yang diuji adalah ukuran dewan direksi, pengalaman
internasional, dan gender anggota dewan direksi.
Karena dalam beberapa dekade terakhir ini perusahaan-perusahaan telah
melakukan transaksi tanpa dibatasi oleh negara, telah muncul pula beberapa
penelitian yang mengaitkan masalah pengungkapan dengan globalisasi atau
pengalaman internasional. Survey yang dilakukan Organization for Economics
Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2004 menemukan bukti bahwa
semakin tinggi pengalaman internasional suatu perusahaan, semakin baik
pengungkapan yang dilakukan perusahaan tersebut terhadap transaksi-transaksi
off-balance sheet dan kebijakan non keuangan (Luo 2005). Luo (2005) mengajukan
proposisi bahwa pengalaman internasional akan menjadikan perusahaan
melakukan pengungkapan keuangan dan non keuangan secara lebih menyeluruh.
Karakteristik unik yang menjadi fokus penelitian ini adalah karakteristik
perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Embrio dari perusahaan-perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah perusahaan keluarga sehingga
pengelolaan perusahaan di Indonesia adalah terpengaruh konsentrasi kepemilikan
saham keluarga pendiri (Claessens et al. 2000 dalam Achmad dkk. 2006). Dalam
perkembangannya, keluarga tersebut mengirim anak-anak mereka, pengelola
perusahaan di masa mendatang, untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri.
Semakin banyak pula keluarga menengah ke atas yang mengenyam pendidikan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

tinggi di luar negeri. Ketika aktif terjun dalam dunia bisnis, mereka telah
memperoleh pengalaman internasional terutama dari segi pendidikan formal.
Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI sebagian merupakan perusahaan
multinasional, yang direkturnya adalah ekspatriat yang sudah mempunyai
pengalaman internasional memimpin perusahaan di berbagai negara. Penelitian ini
berusaha menemukan bukti apakah pengalaman internasional, dari segi pendidikan
formal maupun pengalaman kerja, akan mempengaruhi pengungkapan sosial
perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris adanya pengaruh komisaris
independen, karakteristik komite audit (jumlah anggota, tingkat keahlian anggota,
independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit), karakteristik dewan direksi
(ukuran, pengalaman internasional, dan gender anggota dewan direksi), serta
struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan blockholder) terhadap
pengungkapan sosial.

2. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis


2.1. Pengungkapan Sosial
Pengungkapan sosial merupakan salah satu bentuk dari pengungkapan
sukarela. Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang dilakukan
perusahaan di luar apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan
Badan Pengawas (Suwardjono, 2005: 577).
Pengungkapan sukarela antara lain dilandasi oleh signaling theory.
Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut
pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan pemegang saham, khususnya
jika informasi tersebut merupakan berita baik (good news). Manajemen juga
berminat menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan kredibilitasnya dan
kesuksesannya meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan (Eng & Mak 2003).
Pengungkapan sosial juga didasari oleh stakeholder theory (Hasibuan-Sedyono
2006; Kiroyan 2006), yang menjelaskan bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai
kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham tetapi juga mempunyai
kewajiban terhadap stakeholder lain seperti kepada konsumen, pemasok,
karyawan, dan lingkungannya. Selain itu, di dalam contracting theory dijelaskan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab terhadap para pemegang kontrak,


termasuk di dalamnya kontrak dengan karyawan dan masyarakat (Watts &
Zimmerman 1986).
Studi longitudinal terhadap pengungkapan sosial menunjukkan adanya
peningkatan dari waktu ke waktu, baik dalam hal jumlah perusahaan yang
melakukan pengungkapan maupun dalam hal luas informasi yang diungkapkan
(Harte & Owen 1991, Deegan & Gordon 1996 dalam Haniffa & Cooke 2005). Teori
yang menjelaskan pola pengungkapan sosial adalah social contracting theory,
legitimacy theory, accountability theory, dan decision usefulness theory. Social
contracting theory menyatakan bahwa perusahaan mempunyai kontrak sosial
dengan masyarakat untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam rerangka keadilan.
Legitimacy theory memperluas social contracting theory dan mencakup respon
perusahaan terhadap permintaan berbagai pihak yang berkepentingan dengan cara
melegitimasi tindakan-tindakan mereka. Accountability theory juga memperluas
social contracting theory dan mempertimbangkan kepatuhan perusahaan terhadap
hukum, sedangkan decision usefulness theory mempertimbangkan juga pengguna
selain investor (Tilt 1994 dalam Haniffa & Cooke 2005).

2.2. Corporate Governance


Corporate governance dalam literatur keuangan dan akuntansi mainstream
diartikan sebagai rentang mekanisme pengendalian yang melindungi dan
meningkatkan kepentingan pemegang saham suatu perusahaan (Fama dan Jensen
1983 dalam Baker et al. 2002). Corporate governance adalah suatu sistem, proses,
dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders), terutama dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi, demi tercapainya tujuan
organisasi. Corporate governance dimaksudkan untuk mengatur hubungan-
hubungan ini, mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi
perusahaan, serta untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi
dapat diperbaiki dengan segera (Tjager, dkk, 2003: 28-29).
Prinsip-prinsip corporate governance yang ditawarkan oleh OECD adalah
kewajaran, pengungkapan/transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Untuk mendukung terwujudnya prinsip pengungkapan dan transparansi,


perusahaan dapat mengimplementasikan prinsip akuntabilitas yang didasarkan
pada sistem internal checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat.
Akuntabilitas dapat dicapai melalui pengawasan yang efektif yang didasarkan pada
keseimbangan kewenangan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi.
Praktik audit yang sehat dan independen sangat diperlukan untuk menunjang
akuntabilitas perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan
mengefektifkan peran komite audit (Djalil dalam Surya dan Yustiavandana, 2006:
77).
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pelaksanaan
corporate governance antara lain dapat dilihat dari komisaris independen dan
karakteristik komite audit yang dibentuk suatu perusahaan karena komisaris
independen dan komite audit merupakan unsur dari proses corporate governance.
Apabila proporsi komisaris independen terhadap jumlah anggota komisaris dalam
dewan komisaris meningkat serta karakteristik komite audit semakin baik,
diharapkan pelaksanaan corporate governance juga semakin baik.

2.3. Komisaris Independen


Proses pengungkapan sosial dapat dipandang sebagai strategi yang
ditujukan untuk mempersempit legitimacy gap antara manajemen dan pemegang
saham melalui komisaris independen. Komisaris independen berperan dalam
mekanisme check and balance, menjamin perusahaan bertindak tidak hanya untuk
kebaikan pemegang saham namun juga kebaikan pihak-pihak lain yang
berkepentingan, serta lebih tertarik untuk meningkatkan tanggung jawab sosial
perusahaan (Haniffa & Cooke 2005). Dewan komisaris independen yang kurang
sejajar dengan manajemen mungkin akan mendorong perusahaan untuk
mengungkapkan informasi yang lebih luas kepada investor luar (Eng & Mak 2003).
Dengan demikian, komisaris independen dapat menekan perusahaan untuk
melakukan pengungkapan sosial dalam rangka menjamin kongruensi antara
tindakan organisasi dan nilai-nilai sosial atau legitimasi organisasional (Haniffa &
Cooke 2005).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Chen & Jaggi (2000) menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif
proporsi komisaris independen terhadap pengungkapan. Haniffa & Cooke (2005)
menemukan bukti bahwa luas pengungkapan sosial adalah lebih besar untuk
perusahaan-perusahaan yang dewannya didominasi oleh non-executive directors.
Namun bukti empiris dari Eng dan Mak (2003) menunjukkan hal yang sebaliknya,
yaitu bahwa meningkatnya outside directors mengurangi pengungkapan sukarela.
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis:
H1A: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan sosial.
H1B: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap
variasipengungkapan sosial.

2.4. Karakteristik Komite Audit


2.4.1. Ukuran Komite Audit
Komite audit dibentuk dalam rangka menegakkan good corporate
governance. Efektivitas komite audit dalam menjalankan fungsi dan perannya
sangat dipengaruhi oleh karakteristiknya. Karakteristik komite audit ditunjukkan
dengan jumlah anggota atau ukuran komite audit, keahlian komite audit,
independensi komite audit, dan frekuensi pertemuan.
Salah satu tugas komite audit adalah melakukan penelaahan atas informasi
keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi,
dan informasi keuangan lainnya. Menurut rekomendasi dari the Blue Ribbon
Committee, dalam menjalankan tugasnya ini, komite audit yang dibentuk minimal
terdiri dari tiga orang anggota (Khomsiyah dkk. 2005). Beberapa penelitian yang
telah dilakukan menemukan bukti bahwa jumlah anggota komite audit kurang
signifikan terhadap efektivitas komite audit (Zulaikha dkk. 1999 dalam Khomsiyah
dkk. 2005) dan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib informasi laporan
keuangan (Khomsiyah dkk. 2005). Ukuran komite audit memiliki hubungan yang
sedikit atas terjadinya financial reporting misstatement (Abbot et al. 2002 dalam
Khomsiyah dkk. 2005). Namun, Felo et al. (2003) dalam Khomsiyah dkk. (2005)
menemukan bahwa ukuran komite audit berhubungan positif dengan kualitas
laporan keuangan. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

H2A: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial.
H2B: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan sosial.

2.4.2. Keahlian Komite Audit


The Blue Ribbon Committee merekomendasikan, minimal satu orang
anggota komite audit memiliki keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan.
Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A dan Keputusan Ketua Bapepam No: KEP-
41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003 menyatakan bahwa anggota komite audit
wajib memiliki keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan (Khomsiyah dkk.
2005). Beberapa penelitian terdahulu menemukan bukti, latar belakang pendidikan
dan pengalaman di bidang akuntansi dan keuangan berpengaruh terhadap
efektifitas komite audit (Kalbers & Fogarty 1993 dalam Khomsiyah dkk. 2005),
berpengaruh terhadap pencegahan terjadinya financial reporting misstatement
(Abbot et al. 2002 dalam Khomsiyah dkk. 2005), dan berpengaruh positif terhadap
kualitas laporan keuangan (Felo et al. 2003 dalam Khomsiyah dkk. 2005). Namun
Zulaikha dkk. (1999) dalam Khomsiyah dkk. (2005) menemukan bukti bahwa
kompetensi komite audit tidak berpengaruh terhadap efektivitas komite audit.
Demikian pula Khomsiyah dkk. (2005) tidak menemukan bukti adanya pengaruh
keahlian anggota komite audit terhadap tingkat pengungkapan wajib informasi
laporan keuangan. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis:
H3A: Keahlian komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial.
H3B: Keahlian komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.

2.4.3. Independensi Komite Audit


Komite audit akan dapat menjalankan tugasnya dengan efektif apabila
anggotanya memiliki sikap independen. Untuk menjaga sikap independen ini,
anggota komite audit tidak boleh dirangkap oleh anggota dewan direksi. Anggota
komite audit merupakan komisaris independen yang bertindak sebagai ketua komite
audit dan anggota lainnya adalah orang dari luar perusahaan yang tidak memiliki
hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan
(Business Week 2004 dalam Khomsiyah dkk. 2005). The Blue Ribbon Committee

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

juga merekomendasikan bahwa anggota komite audit tidak memiliki hubungan yang
dapat menyebabkan masalah dengan independensi dari pihak perusahaan maupun
manajemen. Selain itu, perusahaan yang memiliki modal lebih dari $200 juta
diharuskan memiliki komite audit yang independen (Khomsiyah dkk. 2005).
Hasil penelitian terdahulu menemukan bukti, independensi komite audit tidak
mempengaruhi efektivitas komite audit (Zulaikha dkk. 1999 dalam Khomsiyah dkk.
2005), tidak memiliki hubungan dengan kualitas laporan keuangan (Felo et al. 2003
dalam Khomsiyah dkk. 2005), dan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib
informasi laporan keuangan (Khomsiyah dkk. 2005). Abbot et al. (2002) dalam
Khomsiyah dkk. (2005) menemukan adanya hubungan negatif antara independensi
komite audit dengan terjadinya financial reporting misstatement. Berdasarkan uraian
tersebut dirumuskan hipotesis:
H4A : Independensi komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan
sosial.
H4B : Independensi komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.

2.4.4. Frekuensi Pertemuan Komite Audit


Komite audit melakukan komunikasi dengan beberapa pihak yaitu dengan
komisaris, manajemen, auditor internal, dan auditor eksternal. Komunikasi tersebut
berkaitan dengan pelaksanaan tugas komite audit. The Blue Ribbon Committee
merekomendasikan bahwa komite audit harus melakukan pertemuan dan
melakukan diskusi mengenai laporan keuangan perusahaan dengan pihak
manajemen dan dewan direksi serta dengan auditor eksternal. Pertemuan dan
hasilnya harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan dalam bagian
laporan komite audit. Berdasarkan Surat Edaran Bapepam No: SE-03/PM/2000,
komite audit wajib mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.
Selanjutnya peraturan tersebut diubah berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam No:
KEP-41/PM/2003 yang menyatakan bahwa komite audit mengadakan rapat
sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Hasil penelitian Abbot et al. (2002)
dalam Khomsiyah dkk. (2005) menunjukkan bahwa pertemuan rutin minimal tiga
kali dalam satu tahun berpengaruh negatif terhadap financial reporting

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

misstatement. Pertemuan rutin dengan eksternal auditor dapat meningkatkan


kualitas laporan keuangan sehingga laporan keuangan menjadi reliable bagi
pemakai (Ishak 2002 dalam Khomsiyah dkk. 2005). Namun Khomsiyah dkk. (2005)
tidak menemukan bukti pengaruh frekuensi pertemuan komite audit terhadap tingkat
pengungkapan wajib informasi laporan keuangan. Berdasarkan uraian tersebut
dirumuskan hipotesis:
H5A: Frekuensipertemuan komite audit berpengaruh positif terhadapluas
pengungkapan sosial.
H5B: Frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh positif terhadap variasi
pengungkapan sosial.

2.5. Karakteristik Dewan Direksi


2.5.1. Ukuran Dewan Direksi
Faisal (2005) dalam Victoria (2008) menyatakan bahwa peningkatan ukuran
dewan direksi akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya
network dengan pihak luar perusahaan untuk menjamin ketersediaan sumber daya.
Sumber daya yang handal dan berkualitas akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Perusahaan yang kinerjanya baik diduga mengungkapkan informasi lebih banyak,
termasuk pengungkapan informasi sosial, kepada pihak luar. Victoria (2008)
menemukan bukti adanya pengaruh positif ukuran dewan direksi terhadap tingkat
pengungkapan informasi sosial. Berdasarkan uraian tersebut dihipotesiskan:
H6A: Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial.
H6B: Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.

2.5.2. Pengalaman Internasional Dewan Direksi


Globalisasi merupakan tantangan yang menuntut pembelajaran
organisasional secara ekstensif untuk memenuhi tuntutan pihak asing. Pengalaman
merupakan sumber utama pembelajaran. Ada dua tipe pengalaman penting
berkaitan dengan globalisasi, pengalaman operasi internasional secara umum dan
pengalaman country-specific. Pengalaman internasional dapat mempengaruhi
corporate governance dan akuntabilitas antara lain karena pengalaman

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

internasional membantu perusahaan untuk menangani secara lebih baik akan


meningkatnya tuntutan pemegang saham dan stakeholder global terhadap
pengungkapan yang lebih luas dan penjelasan yang lebih transparan untuk
pengambilan keputusan (Luo 2005).
Transparansi informasi keuangan merupakan tulang punggung akuntabilitas.
Akuntabilitas perusahaan tidak hanya berkaitan dengan ketepatan dan reliabilitas
informasi keuangan, namun juga berkaitan dengan pengungkapan serta
ketepatwaktuan. Dengan demikian, akuntabilitas tidak hanya mencakup laporan
keuangan. Akuntabilitas juga mencakup pengungkapan informasi non keuangan
yang berkaitan dengan pemegang saham, karyawan, dan stakeholder. Secara lebih
spesifik, issue yang perlu diungkapkan antara lain adalah yang berkaitan dengan
manajemen sumber daya manusia, hubungan karyawan, masalah lingkungan
hidup, serta kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja (Luo 2005).
Dengan pengalaman internasional, perusahaan akan berada dalam posisi
yang lebih baik untuk memahami dan memutuskan frekuensi serta luas
pengungkapan informasi keuangan dan non keuangan yang akan dipublikasikan
oleh perusahaan kepada stakeholder. Survey yang dilakukan Organization for
Economics Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2004 menemukan
bukti bahwa semakin tinggi pengalaman internasional suatu perusahaan, semakin
baik pengungkapan yang dilakukan perusahaan tersebut terhadap transaksi-
transaksi off-balance sheet dan kebijakan non keuangan (Luo 2005). Luo (2005)
mengajukan proposisi bahwa pengalaman internasional akan menjadikan
perusahaan melakukan pengungkapan keuangan dan non keuangan secara lebih
menyeluruh.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengalaman
internasional yang lebih luas akan meningkatkan pengungkapan sosial. Dalam
penelitian ini, pengalaman internasional perusahaan dilihat dari pengalaman
internasional direksi perusahaan, dari segi pengalaman kerja dan pengalaman
pendidikan formal. Harapannya, semakin besar proporsi direktur perusahaan yang
pernah memimpin perusahaan di luar negeri serta semakin besar proporsi direktur
yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, maka semakin besar pula
usaha mereka untuk memenuhi tuntutan stakeholder akan pengungkapan terutama

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pengungkapan informasi non keuangan yang berkaitan dengan pemegang saham,


karyawan, dan stakeholder. Hal ini dirumuskan dalam hipotesis:
H7A: Pengalaman kerja internasional direktur berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan sosial.
H7B: Pengalaman kerja internasional direktur berpengaruh positif terhadap variasi
pengungkapan sosial.
H8A: Pengalaman pendidikan internasional direktur berpengaruh positif terhadap
luas pengungkapan sosial.
H8B : Pengalaman pendidikan internasional direktur berpengaruh positif terhadap
variasi pengungkapan sosial.

2.5.3. Gender Anggota Dewan Direksi


Laporan keuangan yang disajikan suatu perusahaan bukan semata-mata
serangkaian informasi keuangan, tetapi lebih dari itu, merupakan pernyataan etika
akuntansi universal. Laporan keuangan disajikan sebagai suatu identitas moral
entitas penyusunnya. Perspektif etika seseorang berkaitan dengan gender, dan
terdapat perbedaan standar etika antara pria dan wanita (Keller et al. 2007). Wanita
dipersepsikan lebih etis daripada pria dan merupakan pembuat keputusan yang
lebih etis daripada pria (Glover et al. 2002). Hasil penelitian Haniffa dan Cooke
(2005) menunjukkan bahwa pengungkapan sosial suatu perusahaan dipengaruhi
oleh budaya, nilai moral, dan etika yang dianut para anggota dewan direksi. Dengan
demikian diduga bahwa komposisi gender dalam susunan dewan direksi akan
mempengaruhi keputusan pengungkapan sosial. Semakin banyak wanita dalam
susunan dewan direksi, maka semakin etis dewan direksi tersebut, dan semakin
luas serta bervariasi pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan tersebut,
sehingga dirumuskan hipotesis:
H9A: Proporsi wanita dalam dewan direksi berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan sosial.
H9B: Proporsi wanita dalam dewan direksi berpengaruh positif terhadap variasi
pengungkapan sosial.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.6. Struktur Kepemilikan


2.6.1. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan persentase saham perusahaan yang
dimiliki oleh CEO dan direksi. Ketika kepemilikan manajerial rendah maka akan
muncul masalah keagenan (agency problem). Oleh karena itu, komisaris
independen akan meningkatkan pengawasan terhadap perilaku manajer-manajer
untuk mengurangi masalah keagenan (Jensen dan Meckling 1976). Pengawasan
oleh pemegang saham luar (outside shareholder) akan menaikkan biaya
perusahaan. Akan tetapi, pengawasan oleh pemegang saham luar mungkin akan
berkurang jika manajer dapat menyediakan pengungkapan sukarela. Karena itu,
pengungkapan sukarela adalah substitusi dari pengawasan (Eng & Mak 2003).
Hasil penelitian Ruland et al. (1990) dalam Eng & Mak (2003) serta Eng dan Mak
(2003) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh negatif
terhadap pengungkapan sukarela. Atas dasar hal tersebut, dirumuskan hipotesis:
H10A: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap luas pengungkapan
sosial.
H10B: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap variasi pengungkapan
sosial.

2.6.2. Kepemilikan Blockholder


Kepemilikan blockholder merupakan persentase saham perusahaan yang
dimiliki pemegang saham substansial, yaitu pemegang saham yang kepemilikannya
5% atau lebih. Blockholder ini dapat berupa individu/keluarga (individual
blockholder) atau institusi/ perusahaan (institutional blockholder). Ketika
kepemilikan saham tersebar, diperlukan monitoring yang lebih tinggi (Eng & Mak
2003). Dengan demikian diharapkan bahwa pengungkapan sosial akan meningkat
dengan menurunnya kepemilikan blockholder. Namun, Fama (1970) dan Hill & Snell
(1989) dalam Majidah (2005) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
bermanfaat untuk menanggulangi informasi yang tidak simetris. Penanggulangan
informasi yang tidak simetris melalui pengendalian yang dilakukan pemilik
institusional ini mengakibatkan upaya untuk mengimplementasikan transparansi
sebagai unsur proses tata kelola perusahaan dapat dilakukan (Majidah 2005).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

McKinnon & Dalimunthe (1993), Mitchell et al. (1995), Schadewitz & Blevins
(1998) dalam Eng & Mak (2003) menemukan bukti bahwa kepemilikan blockholder
berpengaruh negatif terhadap pengungkapan. Namun, Eng & Mak (2003) tidak
menemukan bukti adanya pengaruh tersebut. Hasil penelitian Eng & Mak (2003)
menunjukkan adanya hubungan positif, yang ditunjukkan dengan koefisien positif
dalam hasil analisis regresi, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H11A: Kepemilikan blockholder berpengaruh terhadap luas pengungkapan sosial.
H11B: Kepemilikan blockholder berpengaruh terhadap variasi pengungkapan sosial.

2.7. Faktor Penjelas


Beberapa penelitian terdahulu mendokumentasikan adanya pengaruh ukuran
perusahaan, profitabilitas, risiko, umur, dan jenis industri terhadap luas dan variasi
pengungkapan sosial. Perusahaan besar menjalankan aktivitas yang lebih
banyak dan membawa dampak yang lebih besar bagi masyarakat. Perusahaan
besar banyak diperhatikan oleh berbagai kelompok masyarakat sehingga selalu
berada dalam tekanan untuk mengungkapkan aktivitas sosialnya dalam rangka
melegitimasi usahanya (Trotman & Bradley 1981, Teoh & Thong 1984, Andrew et
al. 1989, Cowen et al. 1987 dalam Haniffa & Cooke 2005). Eng & Mak (2003) serta
Haniffa & Cooke (2005) menemukan bukti adanya pengaruh positif ukuran
perusahaan terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial.
Manajemen perusahaan mempunyai kebebasan dan fleksibilitas untuk
menjalankan program tanggung jawab sosial kepada pemegang saham secara
lebih luas. Perusahaan yang profitable mengungkapkan informasi sosial untuk
menunjukkan kontribusi perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat dan
melegitimasi keberadaannya. Eng & Mak (2003) menemukan bukti bahwa
profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, namun Haniffa
& Cooke (2005) tidak menemukan bukti tersebut.
Risiko perusahaan pada umumnya dilihat dari tingkat kewajiban perusahaan.
Semakin besar proporsi kewajiban terhadap ekuitas, maka perusahaan tersebut
semakin berisiko. Perusahaan yang memiliki tingkat kewajiban tinggi berupaya
untuk melegitimasi tindakannya kepada kreditur dan pemegang saham. Perusahaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

tersebut akan mengungkapkan lebih banyak informasi untuk meyakinkan kreditur


bahwa pemegang saham dan manajemen kemungkinan kecil akan mengabaikan
kepentingan kreditur. Haniffa & Cooke (2005) tidak menemukan bukti adanya
pengaruh rasio kewajiban terhadap ekuitas terhadap luas dan variasi
pengungkapan sosial, sebaliknya Eng & Mak (2003) menemukan pengaruh negatif
rasio kewajiban terhadap ekuitas terhadap pengungkapan sukarela. Semakin lama
suatu perusahaan berdiri, perusahaan tersebut akan semakin matang sehingga
diharapkan aktivitas sosial sudah menjadi kewajiban. Umur perusahaan mempunyai
hubungan positif dengan pengungkapan sosial (Roberts 1992).

3. Metoda Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan publik yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2007, berjumlah 343 perusahaan. Sampel
penelitian ditentukan dengan metoda purposive sampling dengan 2 kriteria:
tergolong kategori perusahaan high profile dan telah mempublikasikan laporan
tahunan (annual report) tahun 2007 di www.idx.ac.id. Terdapat 144 perusahaan
yang tergolong perusahaan high profile. Hanya 24 perusahaan yang telah
mempublikasikan laporan tahunan di www.idx.ac.id. sehingga diperoleh 24
perusahaan sebagai sampel penelitian.
Perusahaan dalam kategori high profile dipilih menjadi sampel penelitian
karena perusahaan high profile merupakan perusahaan dengan tingkat sensitivitas
tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau perusahaan
dengan tingkat kompetisi ketat. Perusahaan high profile umumnya memiliki jumlah
tenaga kerja banyak serta dalam proses produksinya mengeluarkan residu seperti
limbah cair dan polusi udara (Sembiring 2005). Perusahaan termasuk kategori high
profile adalah perusahaan bergerak dalam bidang perminyakan dan pertambangan,
kimia, hutan, kertas, otomotif, penerbangan, agribisnis, tembakau dan rokok, produk
makanan dan minuman, media dan komunikasi, energi (listrik), engineering,
kesehatan, transportasi, dan pariwisata (Anggraini 2006).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.2. Data Penelitian


Data penelitian ini adalah data sekunder. Data kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, dan komposisi dewan komisaris independen serta data
yang diperlukan untuk menghitung variabel kontrol diperoleh dari laporan keuangan
auditan perusahaan sampel tahun 2007. Karakteristik komite audit, pengalaman
internasional, serta item pengungkapan sukarela diperoleh dari laporan tahunan
perusahaan sampel tahun 2007. Laporan keuangan auditan dan laporan tahunan
diperoleh dari BEI yang dapat diakses melalui www.idx.ac.id.

3.3. Variabel Penelitian


Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan sosial.
Pengungkapan sosial perusahaan sampel ditentukan dengan menggunakan content
analysis, yaitu metode pengkodifikasian teks atau kandungan suatu tulisan ke
dalam berbagai macam kelompok atau kategori berdasarkan kriteria tertentu
(Weber 1988 dalam Haniffa & Cooke 2005). Instrumen penelitian yang digunakan
mencakup item pengungkapan sosial yang berkaitan dengan lima tema, yaitu
lingkungan, karyawan, masyarakat, produk, dan nilai tambah, seperti yang telah
digunakan oleh Haniffa & Cooke (2005) dan Sembiring (2005).
Dalam penelitian ini, pengungkapan sosial diukur menggunakan dua macam
ukuran, yaitu dalam bentuk Indeks Pengungkapan Sosial (IPS) dan Luas
Pengungkapan Sosial (LPS). Dalam menentukan IPS, perusahaan diberi skor 1 jika
mengungkapkan dan 0 jika tidak. Selanjutnya, IPS ditentukan dengan
membandingkan antara skor yang diperoleh perusahaan dengan skor seandainya
perusahaan mengungkapkan secara lengkap item pengungkapan sosial. LPS
dinyatakan dalam jumlah kata-kata yang digunakan perusahaan untuk melakukan
pengungkapan. IPS mengukur keragaman pengungkapan, sedangkan LPS
mengukur luas pengungkapan. Kedua pengukuran tersebut digunakan dalam
penelitian ini karena IPS tidak mampu membedakan kelengkapan pengungkapan
yang dilakukan perusahaan, sedangkan LPS tidak mampu mengukur
pengungkapan yang dinyatakan dalam bentuk grafik atau gambar. Padahal, grafik
dan gambar adalah metoda komunikasi yang sangat efektif.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Variabel independen dalam penelitian ini terdiri atas komisaris independen,


karakteristik komite audit, karakteristik dewan direksi, dan struktur kepemilikan.
Pengukuran variabel independen disajikan dalam Tabel 1. Variabel kontrol dalam
penelitian ini terdiri atas ukuran perusahaan, profitabilitas, umur, dan jenis industri.
Pengukuran variabel kontrol disajikan dalam Tabel 2.
3.4. Metoda Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi
berganda. Persamaan regresi yang digunakan adalah:
IPS = + 1KInd + 2UKA + 3KKA + 4IKA + 5FP + 6UDD + 7PP + 8PK
+ 9G + 10KM + 11KB +12Uk + 13ROE + 14DTE + 15Umur + 1
IPS = + 1KInd + 2UKA + 3KKA + 4IKA + 5FP + 6UDD + 7PP + 8PK
+ 9G + 10KM + 11KB +12Uk + 13ROE + 14DTE + 15Umur + 1

Notasi: IPS = Indeks Pengungkapan Sosial


LPS = Luas Pengungkapan Sosial
KInd = Komisaris Independen
UKA = Ukuran Komite Audit
KKA = Keahlian Komite Audit
IKA = Independensi Komite Audit
FP = Frekuensi Pertemuan
UDD = Ukuran Dewan Direksi
PP = Pengalaman Pendidikan
PK = Pengalaman Kerja
G = Jenis Kelamin Anggota Dewan Direksi
KM = Kepemilikan Manajerial
KB = Kepemilikan Blockholder
Uk = Ukuran Perusahaan (Total Aktiva)
ROE = Profitabilitas (Return on Equity)
DTE = Rasio leverage (Total Kewajiban Jangka Panjang/Total
Ekuitas)
Umur = Umur perusahaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Sebelum dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis regresi


berganda, dilakukan pengujian terhadap data yang digunakan untuk mengetahui
apakah data memenuhi asumsi klasik atau tidak. Asumsi klasik yang harus dipenuhi
adalah data harus berdistribusi normal, tidak ada multikolinearitas, serta tidak ada
heteroskedastisitas (Hair et al 1992).

4. Hasil Analisis dan Pembahasan


4.1. Statistik Deskriptif
Hasil uji statistik deskriptif disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat
diketahui bahwa perusahaan publik di Indonesia masih sangat terbatas dalam
melakukan pengungkapan sosial dalam laporan tahunannya, yaitu rata-rata sebesar
23% dan rata-rata menggunakan 715 kata. Sesuai dengan peraturan yang berlaku,
perusahaan telah memiliki komisaris independen dalam susunan dewan
komisarisnya, rata-rata sebesar 38% dari jumlah keseluruhan anggota dewan
komisaris. Namun, ada beberapa perusahaan yang belum memiliki komite audit.
Perusahaan publik di Indonesia dipimpin oleh direksi yang cukup memiliki
pengalaman internasional, yang ditunjukkan dengan rata-rata 25,17% anggota
dewan direksi memiliki pengalaman memimpin perusahaan di luar negeri dan rata-
rata 34% anggotanya berlatar belakang pendidikan dari perguruan tinggi di luar
negeri. Akan tetapi, jumlah direktur wanita masih sangat terbatas. Dalam struktur
kepemilikan, kepemilikan manajerial sangat rendah, rata-rata hanya 0,6%
sedangkan kepemilikan blockholder rata-rata 75,56%.

4.2. Hasil Uji Normalitas dan Uji Asumsi Klasik


Hasil uji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov Test serta hasil uji
heteroskedastisitas dengan metode Korelasi Spearman rho antara nilai residu dari
hasil regresi dengan masing-masing variabel independen disajikan dalam Tabel 4,
sedangkan hasil uji multikolinearitas dengan Tolerance Value dan Variance Inflation
Factor disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan hasil uji diketahui bahwa
semua variabel penelitian memiliki nilai Kolmogorov Smirnov dengan tingkat
signifikansi lebih dari 5% sehingga disimpulkan bahwa data berasal dari populasi

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang berdistribusi normal. Nilai korelasi Spearman rho kurang dari 0,7 yang
mengindikasikan tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Tolerance Value dan
Variance Inflation Factor variabel penelitian masing-masing lebih besar dari 0,1 dan
kurang dari 10, yang menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas.

4.3. Hasil Uji Hipotesis


Hasil uji hipotesis disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan kedua
tabel tersebut dapat dilihat bahwa semua variabel penelitian mempunyai tingkat
signifikansi lebih dari 5%. Dengan demikian, semua hipotesis yang diajukan tidak
didukung.

4.4. Pembahasan
Hipotesis satu yang menyatakan bahwa proporsi komisaris independen
berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial tidak berhasil
didukung oleh data dalam penelitian ini. Temuan ini tidak konsisten dengan hasil
penelitian Chen & Jaggi (2000), Haniffa & Cooke (2005), serta Eng dan Mak (2003).
Komisaris independen seharusnya berperan dalam mekanisme check and balance,
menjamin perusahaan bertindak tidak hanya untuk kebaikan pemegang saham
namun juga kebaikan pihak-pihak lain yang berkepentingan, serta lebih tertarik
untuk meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan (Haniffa & Cooke 2005).
Namun peran tersebut tampaknya tidak berjalan dengan baik di perusahaan publik
Indonesia. Kemungkinan, hal tersebut disebabkan keberadaan komisaris
independen masih hanya sebatas formalitas untuk mematuhi peraturan yang
berlaku.
Penelitian ini juga tidak mampu mendukung hipotesis dua, tiga, empat, dan
lima. Penelitian ini menemukan bukti bahwa ukuran, keahlian, independensi, dan
frekuensi pertemuan komite audit tidak berpengaruh terhadap luas dan variasi
pengungkapan sosial. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Zulaikha
dkk. (1999) dalam Khomsiyah dkk. (2005), Abbot et al. (2002) dalam Khomsiyah
dkk. (2005), serta Khomsiyah dkk. (2005). Tidak berpengaruhnya karakteristik
komite audit terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial ini kemungkinan
disebabkan masih adanya beberapa perusahaan yang tidak memiliki komite audit

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dalam struktur organisasinya, walaupun sebenarnya keberadaan komite audit


dalam suatu perusahaan publik adalah keharusan. Selain itu, komite audit lebih
berperan dalam penyusunan laporan keuangan perusahaan, bukan laporan
tahunan. Dengan demikian, peran komite audit kemungkinan akan lebih tampak
dalam kualitas laporan keuangan yang bersifat mandatory, bukan pada kualitas
pengungkapan sosial yang bersifat voluntary.
Hipotesis keenam yang menyatakan bahwa ukuran dewan direksi
berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial tidak berhasil
didukung. Hasil ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Faisal (2005) dalam
Victoria (2008) dan Victoria (2008). Penelitian ini juga tidak mampu mendukung
hipotesis tujuh dan delapan yang menyatakan bahwa pengalaman kerja
internasional direktur dan pengalaman pendidikan internasional direktur
berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial. Temuan ini
menunjukkan bahwa pengalaman internasional direktur bukan menjadi faktor
penentu luas dan variasi pengungkapan sosial. Hal ini kemungkinan karena
perusahaan sampel hanya terdaftar di BEI, yang masyarakatnya belum terlalu
concern terhadap masalah sosial dan lingkungan. Walaupun direktur perusahaan
berpengalaman internasional, tetapi ketika dihadapkan pada kondisi masyarakat
lokal yang belum terlalu concern terhadap masalah sosial dan lingkungan, maka
para direktur tersebut menjadi menganggap pengungkapan sosial bukan
merupakan informasi yang perlu disampaikan kepada publik. Temuan yang berbeda
kemungkinan akan diperoleh jika pengalaman internasional dilihat dari pengalaman
internasional perusahaan, misalnya apakah perusahaan juga terdaftar di bursa efek
asing. Hipotesis sembilan yang menyatakan bahwa proporsi wanita dalam dewan
direksi berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial juga
tidak berhasil didukung oleh data. Hal ini disebabkan masih sedikitnya jumlah
wanita yang menduduki jajaran dewan direksi, yaitu rata-rata sebesar 9,9% dari
seluruh jumlah anggota dewan direksi.
Hasil penelitian ini menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial sehingga tidak
mendukung hipotesis sepuluh. Temuan ini tidak konsisten dengan hasil penelitian
Ruland et al. (1990) dalam Eng & Mak (2003) serta Eng dan Mak (2003). Hasil ini

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

disebabkan persentase kepemilikan manajerial dalam susunan pemegang saham


perusahaan publik di Indonesia sangat kecil, yaitu rata-rata hanya sebesar 0,6%.
Dengan demikian, pihak manajerial tersebut tidak mempunyai cukup kekuasaan
untuk menentukan kebijakan perusahaan, termasuk kebijakan dalam hal
menentukan luas dan variasi pengungkapan sosial.
Hipotesis sebelas juga tidak berhasil didukung. Penelitian ini tidak
menemukan bukti adanya pengaruh kepemilikan blockholder terhadap luas dan
variasi pengungkapan sosial. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian Eng &
Mak (2003), namun tidak konsisten dengan hasil penelitian McKinnon & Dalimunthe
(1993), Mitchell et al. (1995), Schadewitz & Blevins (1998) dalam Eng & Mak
(2003). Blockholder di perusahaan publik di Indonesia pada umumnya hanya terdiri
dari beberapa institusi saja sehingga kepemilikan perusahaan publik tersebut hanya
terkonsentrasi pada beberapa pihak. Dengan demikian, blockholder tidak terlalu
memperhatikan kepentingan masyarakat umum di luar pihak mereka sendiri,
sehingga tidak mempengaruhi keputusan perusahaan dalam melakukan
pengungkapan sosial.
5. Penutup
Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal
mendukung seluruh hipotesis yang diajukan. Penelitian ini tidak berhasil
menemukan bukti adanya pengaruh komisaris independen, karakteristik komite
audit (jumlah anggota, tingkat keahlian anggota, independensi, serta frekuensi
pertemuan komite audit), karakteristik dewan direksi (ukuran, pengalaman
internasional, dan gender anggota dewan direksi), serta struktur kepemilikan
(kepemilikan manajerial dan kepemilikan blockholder) terhadap pengungkapan
sosial. Hasil uji hipotesis yang tidak signifikan tersebut kemungkinan disebabkan
keterbatasan utama penelitian ini, yaitu terbatasnya jumlah sampel penelitian, yang
hanya terdiri atas 24 perusahaan dengan perioda penelitian satu tahun. Ukuran
sampel yang kecil mempengaruhi power of test. Dengan demikian, penelitian
berikutnya diharapkan menggunakan ukuran sampel yang lebih besar. Selain itu,
terutama untuk variabel pengalaman internasional perusahaan, penelitian
berikutnya dapat dilakukan dengan memasukkan tempat terdaftarnya perusahaan di
bursa efek, apakah perusahaan juga terdaftar di bursa efek asing atau tidak

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

6. Referensi
Achmad, K., I. Subekti, dan S. Atmini. 2006. Investigasi Motivasi dan Strategi
Manajemen Laba pada Perusahaan Publik di Indonesia, Laporan Penelitian,
Hibah Penelitian PHK A 3 Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan
Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi
IX, Padang, pp. 1-21.
Baker, C.R. and D.M. Owsen. 2002. Increasing the Role of Auditing in Corporate
Governance. Critical Perspectives on Accounting, Vol. 13, pp. 783-795.
Chen, C.J.P, B. Jaggi, 2002. Association between Independent Non-executive
Directors, Family Control and Financial Disclosures in Hongkong. Journal of
Accounting and Public Policy 19, pp. 285-310.
Eng, L.L. and Y.T. Mak, 2003. Corporate Governance and Voluntary Disclosure.
Journal of Accounting and Public Policy 22, pp 325-345.
Foster, G., 1986. Financial Statement Analysis. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall International, Inc.
Gao, S.Simon., Saeed Heravi and Jason Zezheng Xiao. 2005. Determinants of
corporate social and environmental reporting in Hongkong: a research note.
Accounting Forum, Vol. 29, pp. 233-242.
Glover, S.H., M.A. Bumpus, G.F. Sharp, G.A. Munchus. 2002. Gender Differences
in Ethical Decision Making. Women in Management Review, Vol. 17, No. 5, pp.
217-227.
Hair, J.F., R.E. Anderson, R.L. Tatham, and W.C. Black. 1992. Multivariate Data
Analysis: With Readings. New York, New York: Macmillan Publishing
Company.
Haniffa, R.M. and T.E. Cooke. 2005. The impact of culture and governance on
corporate social reporting. Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 24,
pp. 391-430.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hasibuan, Chrysanti dan Sedyono. 2006. CSR communications: A challenge on its


own. Economics Business Accounting Review. Edisi III/ Sptember-Desember.
Hal. 71-82.
Jensen, M. C., and M. H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 20,
pp. 305-257.
Keller, A.C., K.T. Smith, L.M. Smith. 2007. Do Gender, Educational Level,
Religiosuty, and Work Experience Affect The Ethical Decision-Making of US
Accountants? Critical Perspectives on Accounting 18, pp. 299-314.
Khomsiyah, A. Jasin, M. Aditya. 2005. Karakteristik Komite Audit dan
Pengungkapan Informasi, Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional
Akuntansi, Peran Akuntan Dalam Membangun Good Corporate Governance,
Jakarta.
Kiroyan, Noke. 2006. Good corporate governance (GCG) dan corporate social
responsibility (CSR), adakah kaitan di antara keduanya? Economics Business
Accounting Review. Edisi III/ Sptember-Desember. Hal. 45-58.
Luo, Y. 2005. How Does Globalization Affect Corporate Governance and
Accountability: A Perspective from MNEs. Journal of International
Management, Vol. 11, pp. 19-41.
Majidah. 2005. Hubungan Kausalitas Mekanisme dan Proses Tata Kelola
Perusahaan Serta Kinerja Keuangan (Suatu Studi Pada Emiten di Bursa),
Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Akuntansi, Peran Akuntan
Dalam Membangun Good Corporate Governance, Jakarta.
Roberts, W. Robin. 1992. Determinants of corporate social responsibility disclosure:
An application of stakeholder theory. Accounting Organization and Society.
Vol.17., No. 6, pp. 595-612.
Santoso, S., 1999. SPSS: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Sembiring, E.R. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung
Jawab Sosial: Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek
Jakarta. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo, pp. 379-395.
Surya I. dan I. Yustiavandana. 2006. Penerapan Good Corporate Governance:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha. Jakarta:


LKPMK UI.
Suwardjono, 2005. Teori Akuntansi, Perekayasaan Pelaporan Keuangan.
Yogyakarta: BPFE.
Tjager, I N., F.A. Alijoyo, H.R. Djemat, B. Soembodo. 2003. Corporate Governance:
Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia.
Victoria, Mery. 2008. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Tingkat
Pengungkapan Informasi Sosial. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Watts. Ross. L. and Jerold L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory.
Prentice Hall, Contemporary Topics in Accounting Series.

Tabel 1
Pengukuran Variabel Independen

Variabel Independen Pengukuran


Komisaris Independen Proporsi jumlah komisaris independen
terhadap jumlah seluruh komisaris
dalam dewan komisaris
Karakteristik Komite Audit
Ukuran Komite Audit Jumlah anggota komite audit yang
dibentuk perusahaan
Keahlian Komite Audit Latar belakang pendidikan di bidang
akuntansi dan/atau keuangan, diukur
dengan proporsi jumlah anggota
komite audit yang memiliki latar
belakang pendidikan di bidang
akuntansi dan/atau keuangan
terhadap jumlah seluruh anggota
Independensi Komite Audit komite audit
Proporsi jumlah anggota komite audit

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Variabel Independen Pengukuran


yang berasal dari pihak eksternal
Frekuensi Pertemuan terhadap jumlah seluruh anggota
komite audit
Karakteristik Dewan Direksi Jumlah pertemuan atau rapat yang
Ukuran Dewan Direksi diadakan komite audit dalam satu
Pengalaman Internasional tahun
Pengalaman Kerja
Jumlah anggota dewan direksi
perusahaan

Pengalaman Pendidikan Proporsi jumlah anggota dewan direksi


yang pernah memimpin perusahaan
di luar negeri terhadap jumlah seluruh
direksi dalam dewan direksi
Gender Dewan Direksi Proporsi jumlah anggota dewan direksi
yang pernah menempuh pendidikan
tinggi di luar negeri terhadap jumlah
Struktur Kepemilikan seluruh direksi dalam dewan direksi
Kepemilikan Manajerial Proporsi jumlah direktur wanita terhadap
jumlah seluruh direktur dalam dewan
direksi

Kepemilikan Blockholder Proporsi jumlah lembar saham dimiliki


manajemen perusahaan terhadap
jumlah seluruh lembar saham yang
beredar
Proporsi jumlah lembar saham dimiliki
pemegang saham substansial
(kepemilikan 5% atau lebih) terhadap
jumlah seluruh lembar saham yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Variabel Independen Pengukuran


beredar

Tabel 2
Pengukuran Variabel Kontrol

Variabel Kontrol Pengukuran


Ukuran perusahaan Total aktiva perusahaan
Profitabilitas ROE (Laba setelah pajak/Total ekuitas)
Risiko Total kewajiban jangka panjang/Total
Umur ekuitas
Tahun berjalan tahun berdiri
perusahaan

Tabel 3
Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


IPS 24 .066667 .450000 .23541667 .093420314
LPS 24 62 2183 714.83 529.146
KInd 24 .000000 .666667 .38854167 .141246446
UKA 24 0 5 2.75 1.073
KKA 24 .000000 2.000000 .35208333 .498289647
IKA 24 .000000 2.000000 .37430556 .511887177
FP 24 0 28 5.25 6.016
UDD 24 2 9 4.58 1.840
PK 24 .000000 1.000000 .25165344 .275637015
PP 24 .000000 1.000000 .33998016 .288513700
G 24 .000000 .333333 .09900794 .130704483
KM 24 .000000 .081900 .00608708 .017450972
KB 24 .478700 .997700 .75560833 .158414431
Uk 24 209422000 453055086000000 25441723648849 92250194803413.6
ROE 24 -.159134 .295609 .09863063 .104138443
DTE 24 -1.558355 3.665786 .56272253 .943998339
Umur 24 5 51 29.25 10.995
Valid N (listwise) 24

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 4
Hasil Uji Normalitas Data dan Heteroskedastisitas

Variabel Kolmogorov-Smirnov Spearman rho Spearman rho


(dengan variabel (dengan variabel
dependen IPS) dependen LPS)
IPS 0.987
LPS 0.603
Kind 0.283 -0.03 -0.034
UKA 0.060 0.061 0.013
KKA 0.078 0.016 -0.046
IKA 0.064 -0.024 -0.024
FP 0.066 -0.032 0.021
UDD 0.188 0.047 0.034
PK 0.296 -0.043 0.002
PP 0.474 0.026 0.040
G 0.054 0.053 0.036
KM 0.720 0.103 0.017
KB 0.883 0.004 0.021
Uk 0.887 0.070 0.047
ROE 0.677 0.079 0.073
DTE 0.145 0.023 0.040
Umur 0.786 0.138 0.247

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 5
Hasil Uji Hipotesis dengan Variabel Dependen Indeks Pengungkapan Sosial (IPS)

ANOVAb

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .138 15 .009 1.184 .420a
Residual .062 8 .008
Total .201 23
a. Predictors: (Constant), Umur, G, KKA, PP, FP, Uk, DTE, ROE, PK, UKA, IKA, KB,
KInd, UDD, KM
b. Dependent Variable: IPS

Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) .026 .242 .108 .916
KInd .180 .264 .273 .682 .514 .243 4.116
UKA -2.4E-006 .030 .000 .000 1.000 .321 3.114
KKA .087 .098 .465 .892 .399 .143 7.005
IKA -.016 .062 -.088 -.258 .803 .332 3.009
FP .008 .008 .492 .932 .379 .139 7.183
UDD .009 .026 .171 .339 .743 .152 6.600
PK -.127 .109 -.376 -1.168 .276 .374 2.672
PP .067 .120 .208 .560 .591 .283 3.538
G .093 .175 .130 .530 .610 .650 1.539
KM -3.919 2.712 -.732 -1.445 .186 .151 6.609
KB -.026 .198 -.044 -.132 .899 .343 2.914
Uk 4.04E-017 .000 .040 .126 .903 .387 2.581
ROE .043 .253 .047 .168 .871 .488 2.050
DTE -.002 .032 -.024 -.074 .943 .368 2.719
Umur .003 .003 .299 .897 .396 .350 2.855
a. Dependent Variable: IPS

Tabel 6
Hasil Uji Hipotesis dengan Variabel Dependen Luas Pengungkapan Sosial (LPS)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

ANOVAb

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 4005714 15 267047.625 .878 .607a
Residual 2434183 8 304272.870
Total 6439897 23
a. Predictors: (Constant), Umur, G, KKA, PP, FP, Uk, DTE, ROE, PK, UKA, IKA, KB,
KInd, UDD, KM
b. Dependent Variable: LPS

Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) -213.619 1509.108 -.142 .891
KInd 576.210 1652.154 .154 .349 .736 .243 4.116
UKA -25.306 189.084 -.051 -.134 .897 .321 3.114
KKA 126.412 610.929 .119 .207 .841 .143 7.005
IKA -80.842 389.763 -.078 -.207 .841 .332 3.009
FP 47.440 51.239 .539 .926 .382 .139 7.183
UDD 61.726 160.629 .215 .384 .711 .152 6.600
PK -563.983 682.043 -.294 -.827 .432 .374 2.672
PP 238.439 749.879 .130 .318 .759 .283 3.538
G -113.482 1091.540 -.028 -.104 .920 .650 1.539
KM -22493.6 16943.872 -.742 -1.328 .221 .151 6.609
KB -92.000 1239.515 -.028 -.074 .943 .343 2.914
Uk -1.9E-014 .000 -.003 -.010 .993 .387 2.581
ROE 679.716 1581.331 .134 .430 .679 .488 2.050
DTE -34.496 200.899 -.062 -.172 .868 .368 2.719
Umur 15.704 17.676 .326 .888 .400 .350 2.855
a. Dependent Variable: LPS

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV06- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE, CORPORATE SOCIAL


RESPONSIBILITIES DAN CORPORATE FINANCIAL PERFORMANCE
DALAM SATU CONTINUUM

Etty Murwaningsari
Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti

Abstrak

This research aims to identify the influence of Good Corporate Governance,


represented by institutional ownership and managerial ownership, on Corporate
Social Responsibility and Corporate Financial Performance, and also to observe the
possible influence of Corporate Social Responsibility on Corporate Financial
Performance.
This research examines 126 manufacturing companies which are listed in
Indonesian Stock Exchange (ISX) and have issued an audited financial statement
for 2006. The statistical method used to test the hypothesis is Path Analysis.
The result suggests that Good Corporate Governance influences both the
disclosure of Corporate Social Responsibility and Corporate Financial Performance
and that Corporate Social Responsibility significantly influences Corporate Financial
Performance. The result also suggests that CEO Tenure, the controlling variable,
holds a significant influence on the disclosure of Corporate Social Responsibility.
Yet, there is no strong evidence to support the type of industries as an influencing
factor of Corporate Social Responsibility. Furthermore, we found that the latter
condition would also apply when we analyze the influence of Corporate Secretary
and Nomination and Remuneration Committee on Corporate Financial Performance.

Keyword: corporate governance, corporate social responsibilities, corporate


financial performance, Tobins Q, institutional ownership, managerial ownership,
CEO tenure, type of industries, corporate secretary, nomination and remuneration
committee.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

I. Pendahuluan
Pelaksanaan Good Corporate Governance sangat diperlukan untuk
memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasianoal sebagai syarat mutlak
bagi dunia perindustrian untuk berkembang dengan baik dan sehat yang tujuan
akhirnya untuk mewujudkan stakeholder value. Pengaturan dan
pengimplementasian Good Corporate Governance memerlukan komitmen dari
seluruh jajaran organisasi dan dimulai dengan penetapan kebijakan dasar serta tata
tertib yang harus dianut oleh top manajemen dan penerapan kode etik yang harus
dipatuhi oleh semua pihak yang ada didalamnya. Terdapat lima prinsip utama yang
terkandung dalam Good Corporate Governance (Achmad Daniri, 2006) yaitu;
kerterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban
(responsibility), kewajaran (fairness), dan independensi (independency).
Selanjutnya gagasan utama Good Coorporate Governance (GCG) atau tata
kelola perusahaan yang baik adalah mewujudkan tanggung jawab sosial (CSR). Hal
ini sejalan dengan kesimpulan yang terangkum dalam Konferensi CSR yang
diselenggarakan oleh Indonesia Business Links (IBL) pada 7-8 September 2006 di
Jakarta yaitu Responsible business is good business. Menteri Koordinator
Perekonomian, Dr Boediono (Republika, 2006) saat membuka konferensi ini
mengatakan, CSR merupakan elemen prinsip dalam tata laksana kemasyarakatan
yang baik. Bukan hanya bertujuan memberi nilai tambah bagi para pemegang
saham. Pada intinya, pelaku CSR sebaiknya tidak memisahkan aktifitas CSR
dengan Good Corporate Governance. Karena keduanya merupakan satu continuum
(kesatuan), dan bukan merupakan penyatuan dari beberapa bagian yang
terpisahkan.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial
(CSR) mempunyai keterkaitan erat dengan Good Coorporate Governance. Seperti
dua sisi mata uang, keduanya memiliki kedudukan yang kuat dalam dunia bisnis
namun berhubungan satu sama lain. Tanggung jawab sosial berorientasi kepada
para stakeholders hal ini sejalan dengan salah satu prinsip dari empat prinsip utama
Good Coorporate Governance yaitu responsibility. Karena itu, prinsip responsibility
di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Menurut Reksodiputro
(2004): Konsep Corporate Social Responsibilities merupakan bagian pedoman

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

melaksanakan Good Corporate Governance. Masalah etika bisnis dan akuntabilitas


bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang
biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan mulai terdengar suara
bahwa karena self-regulation terlihat gagal, maka diperlukan peraturan baru yang
akan memberikan higher standards for corporate pratice dan tougher penalties for
executive misconduct.
Pada saat ini telah terjadi pergeseran paradigma Good Coorporate
Governance yaitu dengan memperluas paradigma teoretis dari agency teory
menjadi stakeholder theory perspective. Akibat yang muncul dari pergeseran
paradigma ini, Good Coorporate Governance harus mempertimbangkan dan
memperhatikan masalah corporate social responsibility dalam suatu konteks
historis dan filosofi yang luas.
Pengungkapan (disclosure) terhadap aspek social, ethical, environmental
dan sustainability sekarang ini menjadi suatu cara bagi perusahaan untuk
mengkomunikasikan bentuk akuntabilitasnya kepada para stakeholder.
Sustainability reporting sebagaimana yang direkomendasikan oleh Global Reporting
Initiative terfokus pada tiga aspek kinerja yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial.
Ketiga aspek ini dikenal dengan Triple Bottom Line. Bentuk pelaporan ini
diharapkan mempunyai hubungan yang positif antara corporate social responsibility
dan corporate financial performance (CFP).
Berdasarkan uraian di atas permasalahan penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat pengaruh antara struktur Coorporate Governance yang
diproksikan sebagai kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial terhadap
corporate social responsibility ?
2. Apakah terdapat pengaruh antara struktur Coorporate Governance yang
diproksikan sebagai kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial terhadap
corporate financial performance?
3. Apakah terdapat pengaruh antara corporate social responsibility terhadap
corporate financial performance?

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

II. Kajian Pustaka


A. Pengertian Good Corporate Governance
Pada dasarnya Good Corporate Governance itu sendiri terkait dengan
stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun atas dasar
asumsi filosifi mengenai sifat manusia yakni pada hakekatnya manusia dapat
dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan
kejujuran pada pihak lain. Dengan kata lain teori ini memandang manajemen dapat
dipercaya untuk bertindak sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya
ataupun pemegang saham pada khususnya. Sementara itu, agency theory yang
dikembangkan oleh Michael Johnson dalam Achmad Daniri, 2006 memandang
bahwa manajemen perusahaan sebagai agents bagi para pemegang saham, akan
bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai
pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana
yang di asumsikan oleh stewardship model.
Melalui surat edaran No SE.03 IPM/ 2000, yang diterbitkan tanggal 5 Mei
2000 disebutkan bahwa dalam rangka Good Corporate Governance, perusahan
tercatat wajib memiliki komisaris independen, komite audit, dan sekretaris
perusahaan (Corporate Secretary). Dalam penelitian ini digunakan mekanisme
internal berupa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, CEO tenure,
Corporate Secretary dan Komite Nominasi & Remunerasi yang akan diuraikan
sebagai berikut:

Kepemilikan Manajerial
Menurut Downes dan Goodman (1999) kepemilikan manajerial adalah para
pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam
perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan.Dalam teori keagenan
dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham
mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan
kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan
pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan


penurunan deviden yang akan diterima.

Kepemilikan Institusional
Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya
institusi menyerahkan tanggungjawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi
perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan
investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat
tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Menurut Pozen (1994), investor
institusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu investor pasif dan investor aktif. Investor
pasif tidak terlalu ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial,
sedangkan investor aktif ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial.
Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi
perusahaan.

Corporate Secretary
Keberadaan Corporate Secretary di Indonesia tidak dikenal dalam UU
Persereoan Terbatas (UUPT) dmaupun UU Pasar Modal (UUPM) yang saat ini
berlaku. Namun, keberadaan Corporate Secretary diatur dalam Keputusan Ketua
BAPEPAM No. 63 tahun 1996. Dalam keputusan itu disebutkan, bahwa dalam
rangka meningkatkan pelayanannya terhadap investor, emiten dan perusahaan
public diwajibkan membentuk Corporate Secretary paling lambat 1 Januari 1997.
Dalam keputusan Ketua BAPEPAM tersebut empat peranan dan fungsi
pokok Corporate Secretary adalah: Pertama, mengikuti perkembangan peraturan
yang berlaku di Pasar Modal. Kedua, memberikan pelayanan informasi kepada
masyarakat yang berkaitan dengan kondisi emiten atau perusahaan publik. Ketiga,
memberikan masukan kepada direksi dalam rangka mematuhi ketentuan UUPM
dan peraturan pelaksanaannya. Terakhir, menjadi penghubung antara perusahaan
dengan BAPEPAM dan perusahaan dengan masyarakat.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Keputusan Ketua BAPEPAM tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan


keputusan direksi BEJ yang terakhir diberlakukan melalui Keputusan Direksi BEJ
No. 339 tahun 2001. Dalam keputusan direksi BEJ ini kewajiban membentuk
Corporate Secretary semakin dikukuhkan dengan fungsi yang semakin diperluas,
yaitu termasuk didalamnya: Pertama, menyiapkan daftar khusus yang berkaitan
dengan direksi, komisaris, dan keluarganya dalam perusahaan tersebut yang
mencakup kepemilikan saham, hubungan bisnis, dan peranan lainnya yang dapat
menimbulkan benturan kepentingan. Kedua, membuat daftar pemegang saham
termasuk kepemilikan 5% saham atau lebih. Ketiga, menghadiri rapat direksi dan
membuat berita acara rapat. Terakhir, bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
RUPS Perusahaan.
Dari uraian dua keputusan otoritas pasar modal tersebut dapat disimpulkan
Corporate Secretary memiliki peranan kunci dalam pelaksanaan Corporate
Governance (Sutawinangun, 2008).

Komite Nominasi ( Nomination / Governance Committee )


Komite Nominasi adalah komite yang terdiri dari tiga sampai lima eksternal
member yang mewakili stakeholders yang berpengaruh ditambah beberapa
komisaris independen komite tanggung jawab kepada dewan komisaris dan
membantu komisaris dalam mentukan profit kandidat untuk nominasi dewan
komisaris dan direksi walaupun tidak harus, ketua komite sebaiknya merupakan
satu dari komisaris independen.
Terdapat dua fungsi utama komite nominasi yakni untuk memberikan
rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai hal sebagai berikut : 1) daftar
calon direktur dan komisaris untuk dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham dan
direktur yang akan dipilih oleh dewan komisaris untuk mengisi kekosongan: 2)
komisaris yang akan dipilih untuk keanggotaan berbagai komite. Komite ini
bertanggung jawab dalam merekomendasi pemilihan anggota direksi kepada dewan
komisaris atau pemegang saham.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Komite Remunerasi / Kompensasi


Komite remunerasi adalah komite yang terdiri dari dua sampai tiga eksternal
member professional dalam executive compensation system. Komite bertanggung
jawab kepada dewan komisaris dan membantu board of commissioners dalam
menentukan execusive compensation package dan juga membantu dewan
komisaris untuk membantu menentukan remunerasi mereka sendiri yang diusulkan
kepada shareholder. Walaupun tidak harus, ketua komite dan remunerasi sebaiknya
merupakan satu dari komisaris independen .
Fungsi utama komite remunerasi menurut Corporate Governance dan Etika
Korporasi yang dikeluarkan kantor Menteri Negara BUMN tahun 1999, yakni : 1)
mengkaji dan merekomendasikan perubahan sistem remunerasi direksi, komisaris,
dan karyawan sehingga mencerminkan keterkaitan antara pencapaian target kinerja
perusahaan dengan tingkat reward atau punishment yang diterima; 2) mengkaji
serta merekomendasikan perubahan pemberian dan penggunaan fasilitas yang
disajikan oleh direksi, dewan komisaris, dan karyawan untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan yang menimbulkan pemborosan; 3) melaporkan hasil pengkajian
dan rekomendasi kepada dewan komisaris untuk dapat diteruskan pada RUPS
guna mendapatkan persetujuan.

CEO Tenure
Shen (2003) seperti dikutip oleh Zubaidah (2003) menyatakan bahwa
karakteristik dari CEO adalah sangat penting dalam Corporate Governance, oleh
karena itu, akan menjadi relevan dalam pelaporan Corporate Governance.
Tingkatan yang berbeda pada masa jabatan CEO akan mempengaruhi baik
pengembangan kepemimpinan CEO juga kesempatan untuk mengendalikan
manajemen. Luasnya kinerja dan masa jabatan CEO mempengaruhi tingkat
pelaporan Corporate Governance. Belum banyak dilakukan penelitian terhadap hal
tersebut. Shen(2003) menyatakan bahwa semakin lama masa jabatan CEO maka
dia akan mengungkapkan lebih rendah atau lebih sedikit praktek corporate
governance karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang
dimilikinya. Hubungan CEO Tenure dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial,

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menurut penelitian yang dilakukan oleh Barnea dan Rubin (2006), CEO Tenure
memiliki hubungan positif dengan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR)

B. Corporate Social Responsibilities (CSR)


Menurut Gray et. Al. (1987) perusahaan bertanggung jawab secara sosial
ketika manajemennya memiliki visi atas kinerja operasionalnya, tidak hanya
mengutamakan atas laba perusahaan tetapi juga dalam menjalankan aktivitasnya,
memperhatikan lingkungan yang ada disekitarnya. Ruang lingkup tanggung jawab
sosial (CSR) antara lain: (a) Basic Responsibility, tanggung jawab yang muncul
karena keberadaan perusahaan. Contohnya kewajiban membayar pajak, mentaati
hukum, memenuhi standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham (b)
Organizational Responsibility, tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi
kepentingan stakeholder, yaitu karyawan, konsumen, pemegang saham dan
masyarakat. (c) Societal Responsibility, tanggung jawab yang menjelaskan tahapan
ketika interaksi antara bisnis dan masyarakat sehingga perusahaan dapat tumbuh
dan berkembang secara berkesinambungan.
Di Indonesia praktek pengungkapan tanggung jawab sosial di atur oleh
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) No.1 Paragraf 9, yang meyatakan bahwa: Perusahaan dapat pula
menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan
laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana
factor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang
menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang
peranan penting
Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial ini juga terdapat dalam
keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No.kep-38/PM/1996
peraturan No.VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan. Peraturan ini berisi mengenai
kebebasan bagi perusahaan untuk memberikan penjelasan umum mengenai
perusahaan, selama hal tersebut tidak menyesatkan dan bertentangan dengan
informasi yang disajikan dalam bagian lainnya. Penjelasan umum tersebut dapat
berisi uraian mengenai keterlibatan perusahaan dalam kegiatan pelayanan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

masyarakat, program kemasyarakatan, amal, atau bakti sosial lainnya, serta uraian
mengenai program perusahaan dalam rangka pengembangan SDM.

C. Corporate Financial Performance (CFP)


Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektifiatas operasional
suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar
dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Terdapat beberapa model untuk
mengukur nilai suatu perusahaan. Model pengukur tersebut antara lain dengan
menggunakan Tobins Q ratio, yaitu:

a. White et al (2002)
Q = (MVE + D)/(BVE + D)

b. Chung dan Pruitt (1994


Tobins q = (MVE + PS + DEBT)/TA

c. Klapper dan Love (2002)


Tobins q = (MVE + DEBT)/TA

Q : nilai perusahaan
MVE : Market Value Equity yang diukur dengan Closing Price akhir tahun x
jumlah saham yang beredar akhir tahun
D : Total hutang
BVE : Nilai buku total aktiva (EquityBook Value)
PS : nilai likuidasi dari saham preferen
DEBT : (utang lancar-aktiva lancar) + nilai sediaan + utang jangka panjang
TA : total aktiva

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

D. Kerangka Pemikiran

Variabel Independen : Variabel Intervening Variabel Dependen

Corporate Kinerja
Kepemilikan manajerial Social Perusahaan
Kepemilikan Institusional H2 Responsibility H3(Tobins Q)
(CSR) Indeks
H1

H1

Variabel Kontrol
CEO Tenure
Jenis Industri (High-Low Profile)

Corporate Secretary
Komite Nominasi & Remunerasi

A.

E. Pengembangan Hipotesis
1a. Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan
Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham
dalam perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini perlu sebab akan terjadi
penyebaran pengambilan keputusan dan resiko. Para manajer umumnya
mempunyai kecenderungan untuk menggunakan kelebihan keuntungan untuk
konsumsi dan perilaku oportunistik. Para manajer juga mempunyai kecenderungan
untuk menggunakan hutang yang tinggi bukan untuk memaksimumkan nilai
perusahaan, melainkan untuk kepentingan oportunistik manajer. Hal ini akan
meningkatkan beban bunga hutang karena resiko kebangkrutan perusahaan yang
meningkat, sehingga agency cost of debt semakin tinggi. Agency cost of debt yang
tinggi pada gilirannya akan berpengaruh pada penurunan nilai perusahaan. Dengan
adanya kepemilikan saham oleh pihak insiders, maka insiders akan ikut
memperoleh manfaat langsung atas keputusan keputusan yang diambilnya,

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

namun juga akan menanggung resiko secara langsung bila keputusan itu salah.
Dengan demikian kepemilikan saham oleh insiders merupakan insentif untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian Suranta dan Machfoedz (2003) yang
menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang negatif
terhadap nilai perusahaan, yang berarti semakin tinggi kepemilikan manajerial akan
semakin menurunkan nilai perusahaan. Faisal (2004) menemukan kepemilikan
manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan
bahwa kepemilikan manajerial gagal menjadi mekanisme meningkatkan nilai
perusahaan. Euis Soliha & Taswan (2002), menemukan bahwa Insider Ownership
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian
hipotesis yang menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan oleh insider akan
menaikan nilai perusahaan adalah terbukti. Temuan dalam riset ini konsisten
dengan temuan Leland & Pyle (1977).
Atas alasan tersebut di atas maka hipotesis yang dapat dikembangkan
adalah sebagai berikut:

Ha1a epemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja


: Ke
perusahaan

1b. Kepemilikan Institutional dan Nilai Perusahaan


Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang
terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional
dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap
keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat
dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan
manipulasi laba. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Rajgopal et al., (1999), menyimpulkan bahwa investor institusional adalah
sophisticated investor yang memiliki pengetahuan yang lebih baik sehingga manajer
tidak dapat melakukan manipulasi laba karena adanya tekanan dari investor
institusional yang memiliki proporsi saham yang besar dan monitoring yang dilakukan
secara aktif dapat menekan terjadinya praktek manajemen laba. Shiller dan Pound

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(1989) menemukan bahwa investor institusional menghabiskan lebih banyak waktu


untuk melakukan analisis investasi dan mereka memiliki akses atas informasi yang
terlalu mahal perolehannya bagi investor lainnya. Mereka akan melakukan fungsi
monitoring dan tidak akan mudah diperdaya atau percaya dengan tindangan
manipulasi oleh manajer seperti tindakan manajemen laba.
Hasil penelitian Steiner (1996) seperti yang dikutip oleh Machfoedz (2003)
memberikan bukti bahwa kepemilikan institusional dan nilai perusahaan (Tobins Q)
memiliki hubungan yang signifikan. Penelitian Suranta dan Machfoedz (2003) juga
menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai
perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Larasanti (2003),
kepemilikan institusional belum berpengaruh secara signifikan terhadap nilai
perusahaan dan kinerja keuangan perusahan. Faizal (2004) menemukan bahwa
kepemilikan institusional belum efektif untuk memonitor manajemen dalam
mengingkatkan nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan
manajerial gagal menjadi mekanisme meningkatkan nilai perusahaan. Atas alasan
tersebut di atas maka hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:

Ha1b : Kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap


kinerja perusahaan

2a. Kepemilikan Manajerial dan CSR.


Menurut Jensen & Meckling (1976), konflik kepentingan manajer dengan
pemilik menjadi semakin besar ketika kepemilikan manajer terhadap perusahaan
semakin kecil, begitu pun sebaliknya. Semakin besar kepemilikan manajer di dalam
sebuah perusahaan, maka akan semakin produktif tindakan manajer dalam
memaksimalkan nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gray,et.al
(1988), manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi sosial dalam rangka
untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber
daya untuk aktivitas tersebut. Penelitian pertama dilakukan oleh Anggraini, (2006)
hasilnya ditemukan terdapat hubungan antara kepemilikan manajerial dan CSR.
Namun penelitian Widyasari dan Rahman (2007) tidak ditemukan hubungan antara
kepemilikan manajerial dan CSR. Hal serupa terjadi pada penelitian Barnea dan
Rubin (2006) tidak ditemukan hubungan antara Kepemilikan Manajerial dan CSR.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Ha2a : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap CSR

2b. Kepemilikan Institusional dan CSR


Penelitian yang dilakukan oleh Barnea dan Rubin (2006) menggunakan
sampel sebanyak 3000 perusahaan yang didapat dari database KLD. Sampel
tersebut dikategorikan dalam perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial
(Socially Responsible) dan tidak bertanggung jawab secara sosial (Socially
Irresponsible). Hasilnya adalah kepemilikan institusional tidak berhubungan dengan
CSR :
Ha2b : Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap CSR

3. Corporate Social Responsibility (CSR) dan Kinerja Perusahaan


Lajili dan Zeghal (2006) menemukan bahwa perusahaan yang lebih banyak
mengungkapkan informasi human capital (yang juga merupakan bagian dari CSR)
memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang
sedikit mengungkapkan informasi tersebut. Preston (1978) melaporkan bahwa
return on equity yang lebih tinggi untuk perusahaan yang membuat pengungkapan
dibandingkan perusahaan yang tidak membuat pengungkapan. Penelitian yang
dilakukan oleh Hackston dan Milne (1996) melaporkan bahwa pengungkapan
tanggung jawab sosial tidak signifikan berpengaruh terhadap profitabilitas.
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis adalah sebagai berikut:

Ha3 : Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh terhadap kinerja


perusahaan

III. Metodologi Penelitian

A. Variabel dan Pengukurannya


1. Variabel Dependen (Dependent Variable)
Kinerja Keuangan Perusahaan diukur dengan menggunakan Tobins Q
dengan yang dikembangkan oleh Klepper dan Love (2002)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tobins q = ( MVE + DEBT ) / TA

MVE = Harga penutupan saham diakhir tahun buku X banyaknya


saham biasa yang beredar.
PS = Nilai likuidasi dari saham perferen yang beredar.
DEBT = (Utang lancar aktiva lancar) + nilai buku sediaan + utang
jangka
panjang
TA = Nilai buku total aktiva.

2. Variabel Bebas (Independent Variable)


a. Kepemilikan manajerial
Kepemilikan manajerial adalah jumlah saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen dalam sebuah perusahaan. Proporsi kepemilikan manajerial
diukur berdasarkan persentase kepemilikannya. Rumusnya adalah :

% Kepemilikan manajerial = Jumlah saham Manajemen


Jumlah saham yang beredar

b. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Institusional adalah jumlah saham yang dimiliki oleh suatu
institusi dalam sebuah perusahaan. Proporsi Kepemilikan Institusional diukur
berdasarkan persentase kepemilikannya. Rumusnya adalah :

% Kepemilikan Institusional = Jumlah saham Institusional


Jumlah saham yang beredar
3. Variabel Intervening
Variabel intervening yang digunakan dalam penelitian ini adalah Corporate
Social Responsibility dengan melihat data fundamental perusahaan, yang
berasal dari laporan keuangan tahunan. Data tersebut berupa jumlah kalimat
pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) yang berhubungan dengan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kategori tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan yang bersangkutan. Kategori


yang menjadi acuan penulis merupakan kategori yang digunakan oleh Hakstom
and Milne (1996), antara lain : lingkungan, energi, keselamatan dan kesehatan
karyawan, lain-lain tenaga kerja, produk, keterlibatan dengan masyarakat dan
umum.

Ketujuh kategori tersebut terbagi dalam 90 item pengungkapan. Berdasarkan


peraturan Bapepam No. VIII.G.2 tentang laporan tahunan dan kesesuaian item
tersebut untuk diaplikasikan di Indonesia, maka dua belas item dihapuskan
karena kurang sesuai untuk diterapkan dengan kondisi di Indonesia sehingga
secara total tersisa 78 item pengungkapan. 78 item tersebut kemudian
disesuaikan kembali dengan masing-masing sektor industri sehingga item
pengungkapan yang diharapkan dari setiap sektor berbeda-beda.
Adapun rumus untuk menghitung indeks pengungkapan tanggung jawab sosial
adalah :

Xij
CSRIj =
nj

CSRIj : Corporate Social Responsibility Disclosure Index perusahaan j


nj : Jumlah item untuk perusahaan j, nj 78
Xij : dummy variable : 1 = jika item i diungkapkan; 0 = jika item i tidak

4. Variabel Kontrol (Control Variable)


a) Corporate secretary
Corporate secretary diukur dengan menggunakan skala nominal. Dimana
ada tidaknya corporate secretary dalam sebuah perusahaaan diukur dengan
cara 1 jika perusahaan tersebut memiliki corporate secretary dan 0 jika tidak
terdapat corporate secretary.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

b) Komite Nominasi dan Remunerasi


Anggota komite ini diukur dengan skala nominal. Dimana 1 untuk perusahan
yang memiliki komite nominasi dan remunerasi dan 0 untuk perusahaan yang
tidak terdapat komite nominasi dan remunerasi.

c) CEO Tenure
CEO adalah seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab dalam
mengelola dan menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Di Indonesia
CEO dipilih setiap 5 tahun sekali. CEO Tenure adalah jangka waktu yang
sudah dijalankan oleh seorang CEO mulai dari penunjukkannya sampai
dengan akhir tahun 2006.

d) Jenis Industri
Patten (1991) mengidentifikasikan perusahaan minyak, kimia, dan kertas
sebagai high-profile. Sementara Robert (1992) menggolongkan perusahaan
automobile, penerbangan, dan industri minyak sebagai high-profile.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hucston dan Milne (1992)
menambahkan media komunikasi sebagai high-profile. Klasifikasi tersebut di
atas yang menjadi dasar penentuan jenis industri dalam penelitian ini.
Variabel ini merupakan dummy veriabel yang ukurannya berupa angka 0 (low
profile) dan 1 (high profile).

B. Data dan Sampel


Penelitian menggunakan data sekunder berasal dari laporan tahunan 2006
perusahaan publik yang terdapat di Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) Bursa
Efek Indonesia (BEI) dan Pojok BEI Universitas Trisakti, JSX Statistic Quarteryl,
BAPEPAM, Internet.
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 126
perusahaan yang memenuhi kriteria-kriteria dari purposive sampling sebagai
berikut :
Jumlah dan Klasifikasi Sampel Penelitian

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

No Klasifikasi Jumlah
1 Perusahaan publik dalam sektor manufaktur terdaftar 150
BEI
2 Perusahaan yang tidak menerbitkan laporan tahunan (12)
periode 31 Desember 2006 dan mengungkapkan CSR
3 Perusahaan yang menggunakan mata uang selain (6)
Rupiah (Dollar) dalam dan laporan tahunan 31
Desember 2006
4 Perusahaan yang tidak menyajikan data yang (6)
digunakan dalam penelitian secara lengkap
TOTAL 126

C. Metode Analisis Data


Dalam penelitian ini pengujian hipotesa menggunakan Path Analisys untuk
mengetahui hubungan simultan pada beberapa variabel yang diuji (Hair, 1995).
Hubungan fenomena teoritis, riset empiris dan pengembangan hipotesis bisa dilihat
dari path diagram, adapun penyebaran ke persamaan struktural sebagai berikut.

Persamaan 1: Uji hipotesa 1


Tobins Q = 11 MGROWN + 12 INST + 13 CS + 14 KNR + e1

Persamaan 2: Uji hipotesa 2


CSR = 21 MGROWN + 22 INST + 23 CEOT + 24 JI + e2

Persamaan 3: Uji hipotesa 3


Tobins Q = 31 CSR + e3
Keterangan
CSR = Persentase pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Tobins Q = Performance Perusahaan
INST = Kepemilikan Institusional
MGROWN = Kepemilikan manajerial
CEOT = CEO Tenure

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

JI = Jenis Industri
CS = Corporate Secretary
KNR = Komite Nominasi & Remunerasi

Pengolahan data menggunakan program AMOS (Analysis of Moment


Structures) version 7. Dengan beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Uji Normalitas
Structural Equation Modeling mensyaratkan dipenuhinya asumsi normalitas.
Pengujian ini dilakukan pada saat operasi Amos berjalan. Terdapat dua cara
pegujian normalitas yaitu univariate dan multivariate normality. Suatu distribusi
data dapat dikatakan normal apabila nilai C.R. skewnes maupun kurtosis lebih
kecil dari nilai kritik tabel + 1,96 dengan tingkat signifikansi 0.05 (p-value 5%).
(Hair, edisi 5, hal 71), jika sebuah variabel adalah normal secara multivariat,
maka akan normal juga secara univariat. Tetapi tidak berlaku sebaliknya.

2. Uji Multicolinearity dan Singularity


Untuk melihat apakah terdapat multicolinearitas dan Singularity dalam sebuah
kombinasi variabel, perlu mengamati determinant matrix covariance. Untuk
mendeteksi multicoliniarity hanya disebutkan determinan yang benar-benar kecil
mengindikasikan adanya multikolinearitas, tanpa ada angka absolut.

3. Uji Kesesuaian Model


Sebelum menganalisa hipotesa yang diajukan, terlebih dahulu dilakukan
pengujian kesesuaian model (goodness-of-fit model). Pengujian dilakukan
dengan melihat beberapa kriteria pengukuran, yaitu :

a) Absolute fit measure yaitu mengukur model fit secara keseluruhan (baik
model struktural maupun model pengukuran secara bersamaan). Kriterianya
dengan melihat:
- X2 atau Chi Square Statistic. Dalam uji ini yang diperlukan adalah nilai
yang tidak signifikan. Semakin kecil, semakin baik model tersebut.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

- profitability. nilai terbaik adalah minimal 0,05 atau diatas 0.05


- goodness-of-fit-index (GFI), kriteria dari GFI adalah > 0,90 atau mendekati
1 semakin baik.
- root mean square error of approximation (RMSEA), tingkat penerimaan <
0,08.
b) Incremental fit measures yaitu ukuran untuk membandingkan model yang
diajukan (proposed model) dengan model lain yang dispesifikasi oleh peneliti.
Kriterianya dengan melihat:
- normed fit index (NFI), tingkat penerimaan > 0,90 atau mendekati 1.
- adjusted goodness-of-fit-index (AGFI), tingkat penerimaan > 0,90
- comparative fit index (CFI ). Indeks ini tidak dipengaruhi oleh sampel
sehingga sangat baik untuk mengukur tingkat penerimaan sebuah model.
Tingkat penerimaannya adalah > 0,90 atau semakin mendekati 1.

c) Parsimonious fit measures, yaitu melakukan adjusment terhadap pengukuran


fit untuk dapat diperbandingkan antar model dengan jumlah koefisien yang
berbeda. Kriterianya dengan melihat nilai: Normed chi-square. The minimum
sampel discrepancy function (CMIN) dibagi dengan degree of freedom akan
menghasilkan indeks Normed chi-square (CMIN/DF). Indeks yang memiliki
acceptabel fit batas bawah = 1 dan batas atas : 2, 3, atau 5.

Gambar : Model Penelitian

MGROWN

z1
INST 1

CSR

CEOT

JI

TOBINSQ
1
CS
z2

KNR

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Deskriptif Statistik
Deskriptif statistik menjelaskan tentang gambaran data yang digunakan
dalam penelitian ini.

Std.
Variabel Min. Max. Mean
Deviasi
MGROW
0,00 7,62 0,7356 1,8047
N
INST 0,00 59,80 11,5298 13,5297
CEOT 0,00 5,00 3,1270 1,6149
JI 0,00 1,00 0,5952 0,4928
CS 0,00 1,00 0,7698 0,4226
KNR 0,00 1,00 0,2698 0,4456
CSR 1,10 17,69 5,5431 4,0991
TobinsQ -0,56 2,75 0,7885 0,6807

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa nilai rata-rata kepemilikan


manajerial (MGROWN) adalah 0,7356% dengan nilai minimum 0% dan maksimum
7,62%. Rendahnya nilai rata-rata tersebut dikarenakan terdapat beberapa sampel
tidak memiliki saham managerial (0%). Sementara itu kepemilikan institusional
(INST) memiliki nilai rata-rata 11,5298% dengan nilai maksimum 59,80% dan nilai
minimum 0% (tidak ada saham yang dimiliki oleh institusi dalam sebuah
perusahaan).
Sebagai variabel control, rata-rata CEO menjalankan kegiatan operasional
perusahaan adalah 3 tahun. Nilai maksimum umur CEO adalah 5 tahun. Adapun
nilai minimum 0 menunjukkan CEO yang baru saja bergabung di perusahaan.
Penelitian ini juga mengamati jenis industri (JI) sebagai dummy veriabel yang
ukurannya berupa 1 (high profile) yaitu peusahaan minyak, kimia dan kertas dan
angka 0 (low profile) untuk jenis industri lainnya. Demikian pula Corporate Secretary
(CS) sebagai dummy variabel, angka maksimum 1 menunjukkan perusahaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

memiliki corporate secretary dan angka minimum 0 menunjukkan perusahaan tidak


memiliki corporate secretary.
Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki nilai rata-rata 5,5431. Indeks
minimum CSR sebesar 1,10 dan nilai indeks maksimum 17,69. Kinerja perusahaan
yang diukur melalui TobinsQ memiliki nilai rata-rata 0,7885. Angka minimum -0,56
mencerminkan kinerja perusahaan yang kurang baik. Sementara itu angka
maksimum 2,75 menunjukkan kinerja perusahaan yang cukup baik.

2. Pengujian Normalitas
Suatu distribusi data dapat dikatakan normal apabila nilai C.R. skewnes
maupun kurtosis lebih kecil dari nilai kritik tabel + 1,96, tingkat signifikansi 0.05 (p-
value 5%).
Hasil Pengujian Normalitas
Variabel min max skew c.r. kurtosis c.r.
KNR 0,000 1,000 1,037 4,752 -0,925 -2,118
CS 0,000 1,000 -1,282 -5,875 -0,356 -0,816
JI 0,000 1,000 -0,388 -1,778 -1,849 -4,238
CEOT 0,000 5,000 -0,401 -1,839 -0,999 -2,289
INST 0,000 59,800 1,567 7,182 1,866 4,277
MGROWN 0,000 7,620 2,491 11,413 4,851 11,116
CSR 1,100 17,692 1,049 4,809 0,309 0,708
TOBINSQ -0,559 2,747 0,791 3,626 -0,095 -0,218
Multivariate 3,756 1,667

Pada tabel yang disajikan diatas, dengan analisis secara univariate, diketahui
bahwa variabel penelitian berdistribusi tidak normal, karena nilai C.R. skewnes dan
C.R. kurtosis lebih besar dari nilai kritik tabel + 1,96. Jika pengujian dianalisis
secara multivariate, diketahui bahwa C.R. kurtosis sebesar 1,667 kurang dari nilai
kritik tabel 1,96. Maka dapat dinyatakan bahwa distribusi data adalah normal secara
multivariate.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini
terdistribusi normal untuk sebagian variabel secara univariate dan terdistribusi
Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

normal secara multivariate. Oleh karena itu asumsi normalitas dapat terpenuhi. Hair
(edisi 5, hal 71) menyebutkan jika sebuah variabel adalah normal secara
multivariate, maka akan normal juga secara univariat. Tetapi tidak berlaku
sebaliknya.

3. Pengujian Multicolinearity dan Singularity


Untuk melihat apakah terdapat multicolinearitas dan singularity dalam
sebuah kombinasi variabel, peneliti perlu mengamati determinant matrix covariance.
Determinan yang benar-benar kecil mengindikasikan adanya multikolinearitas. Pada
model penelitian yang digunakan, nilai determinan matrik kovarians yang diperoleh
dari hasil perhitungan AMOS adalah 44,540. Nilai tersebut sangat menjauhi nilai
nol, sehingga model penelitian dinyatakan terbebas dari permasalahan
multicolinearitas dan singularity.

4. Pengujian Kesesuaian Model


Sebelum menganalisa hipotesa yang diajukan, terlebih dahulu dilakukan
pengujian kesesuaian model (goodness-of-fit model). Hasil di bawah ini :

Pengukuran Tingkat Kesesuaian (goodness-of-fit model)

Pengukuran Batas Penerimaan


Nilai
Goodness-of-fit Yang Disarankan
Chi-square semakin rendah 4,998
p-value > 0,05 0,288
GFI > 0,90 0,990
RMSEA < 0,08 0,045
NFI > 0,90 0,949
AGFI > 0,90 0,912
CFI > 0,90 0,986
Batas bawah : 1,0
Normed chi-square Batas atas : 2,0 ; 3,0 atau 1,249
5,0

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai chi-square sebagai syarat utama
pada uji kesesuaian model sebesar 4,998 dengan p-value 0,288. Sehingga uji
kesesuaian model dengan melihat nilai chi-square dapat terpenuhi. Sedangkan
hasil uji kesesuaian yang ditinjau melalui kriteria absolute fit measure lainnya,
seperti GFI dan RMSEA telah memenuhi kriteria yang disarankan. Demikian pula
hasil uji kesesuaian yang ditinjau melalui kriteria incremental fit measures seperti
NFI, AGFI, CFI juga telah memenuhi kriteria yang disarankan. Pada kriteria
parsimonious fit measures sebesar 1,249 berada diantara batas bawah 1,0 dan
batas atas 2,0.

5. Pengujian Hipotesa

Hasil Pengujian Hipotesa


C.R.
Std.
Path Analisis (t- p-value Kesimpulan
Estimate
value)
H1a : MGROWN TOBINSQ 0,379 4,944 0,000 positif, signifikan
H1b : INST TOBINSQ 0,155 2,004 0,045 positif, signifikan
H2a : MGROWN CSR 0,203 2,338 0,019 positif, signifikan
H2b : INST CSR 0,189 2,165 0,030 positif, signifikan
H3 : CSR TOBINSQ 0,358 4,718 0,000 positif, signifikan

Hasil pengujian H1a diketahui p-value 0,000 < alpha 0,05, maka Ha1a dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,379 menunjukkan pengaruh antara
ke
epemilikan manajerial (MGROWN) terhadap kinerja perusahaan (TOBINSQ)
adalah positif. Artinya jika ke
epemilikan manajerial naik sebesar 1% maka kinerja
perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar 0,379.
Hasil pengujian H1b diketahui p-value 0,045 < alpha 0,05, maka Ha1b dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,155 menunjukkan pengaruh antara
kepemilikan institusional (INST) terhadap kinerja perusahaan (TOBINSQ) adalah

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

positif. Artinya jika kepemilikan institusional naik sebesar 1% maka kinerja


perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar 0,155.
Hasil pengujian H2a diketahui p-value 0,019 < alpha 0,05, maka Ha2a dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,203 menunjukkan pengaruh antara
ke
epemilikan manajerial (MGROWN) terhadap Corporate Social Responsibility
Indeks (CSR) adalah positif. Artinya jika ke
epemilikan manajerial naik sebesar 1%
maka Corporate Social Responsibility Indeks akan mengalami peningkatan sebesar
0,203.
Hasil pengujian H2b diketahui p-value 0,030 < alpha 0,05, maka Ha2b dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,189 menunjukkan pengaruh antara
kepemilikan institusional (INST) terhadap Corporate Social Responsibility Indeks
(CSR) adalah positif. Artinya jika kepemilikan institusional naik sebesar 1% maka
Corporate Social Responsibility Indeks akan mengalami peningkatan sebesar
0,189.
Hasil pengujian H3 diketahui p-value 0,000 < alpha 0,05, maka Ha3 dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,358 menunjukkan pengaruh antara
Corporate Social Responsibility Indeks (CSR) terhadap kinerja perusahaan
(TOBINSQ) adalah positif. Artinya jika Corporate Social Responsibility Indeks naik
sebesar 1 satuan maka kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar
0,358.
Hasil Pengujian Variabel Control
C.R.
Std.
Path (t- p-value Kesimpulan
Estimate
value)
CEO T CSR 0,174 1,986 0,047 positif, signifikan
JI CSR 0,006 0,064 0,949 positif, tidak signifikan
CS TOBINSQ -0,043 -0,573 0,567 negatif, tidak signifikan
KNR TOBINSQ 0,015 0,199 0,843 positif, tidak signifikan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pada model penelitian yang diajukan ini, terdapat empat variabel kontrol
yaitu CEO Tenure (CEOT), Jenis Industri (JI), Corporate Secretary (CS), dan
Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR). Hasil pengujian yag ditunjukkan pada
tabel diatas, diketahui terdapat pengaruh positif yang signifikan antara CEO Tenure
terhadap Corporate Social Responsibility Indeks (p-value 0,047 < alpha 0,05). Untuk
variabel kontrol lainnya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
variabel dependennya karena p-value > alpha 0,05.

Gambar : Final Model

z1
MGROWN
0,20 1
-0,19

0,19 CSR
0,17

INST 0,36
0,08

0,38
-0,09

0,16 TOBINSQ

1
CEOT
z2

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :


1. Mayoritas perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2006 sudah melakukan praktik pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal
ini didasari oleh hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa dari 150
perusahaan manufaktur yang terdaftar, sebanyak 138 perusahaan sudah
melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut. Tema sosial yang
paling sering diungkapkan adalah tema lain-lain tenaga kerja, dengan itemnya
yaitu pelatihan tenaga kerja melalui program tertentu di dalam perusahaan. Hal

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

ini menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap tenaga kerjanya yang


merupakan asset dalam keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan.
2. Melalui pendekatan analisa jalur (path analysis) menunjukkan Good Corporate
Governance yaitu kepemilikan managerial dan institusional mempunyai
pengaruh terhadap kinerja perusahaan (TOBINSQ). Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Leland & Pyle (1977), Euis
Soliha & Taswan (2002), Suranta dan Machfoedz (2003).
3. Selanjutnya hasil penelitian ini dapat membuktikan bahwa Good Corporate
Governance yang diamati melalui kepemilikan managerial dan institusional,
mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR). Hasil ini sejalan dengan penelitian Anggraini (2006). Namun
temuan tersebut tidak sejalan dengan penelitian Widyasari dan Rahman (2007),
Barnea dan Rubin (2006). Demikian pula dengan pengaruh kepemilikan
institusional terhadap CSR, dalam penelitian Barnea dan Rubin (2006) tidak
ditemukan adanya pengaruh yang signifikan.
4. Sementara itu, CSR berpengaruh singnifikan terhadap kinerja perusahaan.
Temuan tersebut sejalan dengan Lajili dan Zeghal (2006); Preston (1978)
Namun temuan dalam penelitian ini tidak sejalan dengan Hackston dan Milne
(1996).
5. Pengujian variabel control yaitu CEO Tenure mempunyai pengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Sementara itu Jenis
Industri tidak mempunyai pengaruh terhadap CSR. Corporate Secretary dan
Komite Nominasi dan Remunerasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kinerja
perusahaan.

B. Keterbatasan

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu :


1. Periode penelitian hanya satu tahun, sehingga memungkinkan praktek
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang diamati kurang
menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Periode penelitian yang lebih

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

panjang akan memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk memperoleh


hasil yang lebih mendekati kondisi sebenarnya.
2. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada perusahaan
yang dikelompokkan sebagai perusahaan manufaktur.

C. Saran

Penelitian selanjutnya hendaknya :


1. Menggunakan periode waktu yang lebih panjang serta jumlah sampel yang tidak
membatasi kelompok industri tertentu

2. Item-item pengungkapan tanggung jawab social perusahaan hendaknya


senantiasa diperbaharui sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat. Hal ini
mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan para aktivis social.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Nenny.(2007). Corporate Social Responsibility. Buletin Ekonomi,
Vol.10, No.2, September 2007 : 40-46
Boediono, Dr. (2006), CSR, Elemen Utama Tata Laksana Kemasyarakatan yang
Baik Republika 17 September 2006
Barnea, Amir & Amir Rubin.(2006). Corporate Social Reponsibility as a Conflict
between Shareholders.Paper presented to EFA 2006 Zurich Meeting,Swiss,
Europe.
Chung & Pruitt (1994) A Simple Approximation of Tobins Q, Financial Management
Daniri, Mas Achmad. (2005). Good Corporate Governance, Konsep dan
Penerapannya Dalam Konteks Indonesia. Jakata:PT Ray Indonesia
Downes, J. & Goodman, JE (1998) Dictionary of Finance and Investment Term,
Barrons Educational Series
Euis Soleha, Taswan. 2002. Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai
Perusahaan Serta Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya. Jurnal Bisnis
dan Ekonomi Vol. 9, no.2.
Faizal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme
Corporate Governance, Simposium Nasional Akuntansi VII Denpasar-Bali.
Hal 197-207.
Gray, R., Owen, D., and Maunders, K., (1987) Corporate Social Reporting:
Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London
Hackston, David & Milne, Marcus J., (1996) Some Determinant of Social and
Environmental Disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing
and Accountability Journal, Vol.9, No.1, pp.77-108
Hair JE, Jr., Anderson RE, Tatham, RL., Black WG., (1998). Multivariate Data
Analysis, Prentice Hall International Inc. New York.

Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics 3.

Klapper, Leora F and I Love. ( 2002 ). Corporate Governance, Investor Protection,


and performance in emerging markets. World Bank Working Paper. http://
ssrn.com.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Lajili & Zeghal (2006) Market Performance Impact on Capital Disclosure, Journal of
Accounting and Public Policy, Vol.25, Issue 2, pp. 171-194, Elsevier
Lastanti, Hexana Sri. (2005). Hubungan Struktur Corporate Governance dengan
Kinerja Perusahaan dan Reaksi Pasar, Konferensi Nasional Akuntansi.
Jakarta. (September). pp: 1-18.
Leland, HE. and Pyle, DH (1977) Informational Asymmetries, Financial Structure
and Financial Intermediation, Journal of Finance, Vol.32 (2), pp.371-387
Patten, DM. (1991), Exposure, Legitimacy and Social Disclosure, Journal of
Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308
Pozen, Robert C. (1994).Institutional Investor: The Reluctant Activists.Harvard
Business Review.Boston:Jan/Feb 1994. vol. 72.Iss 1: pp140
Rajgopal, Shivaram, dan Mohan Venkatachalam dan James Jiambalvo.1999. Is
Institutional Ownership Associated with Earnings Management and The
Extent to which Stock Price Reflect Future Earnings?. Working Papetionr.
Robert, RW. (1992), Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure: An
Application of Stakeholder Theory, Accounting, Organization and Society,
Vol.17, No. 6, pp. 595-612
Suranta, Eddy dan Masud Machfoedz. (2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai
Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi, Simposium Nasional
Akuntansi VI. Surabaya
Sutawinangun, TB M Nazmudin. (2008). Peranan dan fungsi Corporate Secretary,
Forum For Corporate Governance in Indonesia (FCGI).
White et al., (2003). The Analysis and use of Financial Statements. Third Edition,
John Wiley
Widyasari, Kurnia Nur & Arief Rahman .(2007). The Analysis of Company
Characteristic Influence toward CSR Disclosure Emprical Evidence of
Manufacturing Companies Listed in JSX 2003-2005.
Zubaidah (2003) Pengaruh Biaya Sosial Terhadap Kinerja keuangan Perusahaan
Semen yang Listing di Bursa Efek Jakarta, Balance, Vol. 1(1), August 2003

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY AND FIRM PERFORMANCE:


SUSTAINABILITY REPORTING POLICIES

Linda
Rika Nurlela
FE Unsyiah

Abstract

Sustainability Reporting in Indonesia is not yet mandatory but voluntary, therefore


the existence of a policy is needed for company to implemate. Theoritical model
about supply and demand has still debated, whether this social reporting will
improve, reduce or have no the impact on the firm performance. The purpose of this
research are to discover the difference between the firm performance that reported
sustainability reporting and do not report, and how their relationship between
Corporate Social Responsibility (CSR) and firm value. The result shows that the
significant, financial performance of company that reported the Sustanainability
Reporting difference from that do not report. And there is relationship between CSR
and firm value. This condition identified the existence of supply and demand
supported each other to make Sustainability Reporting have a strong impact on firm
performance.

Keywords: Sustainability Reporting, Voluntary, Mandatory, Supply, Demand,


Corporate Social Responsibility and Firm Value

1
Dosen FE Unsyiah, email: cutnajwa@yahoo.com, Hp: 0811688254
2
Alumni FE Unsyiah, email: reecha_84@yahoo.com, Hp:081370008853

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Kelansungan hidup suatu perusahaan tidak hanya ditentukan oleh pemegang
saham tetapi stakeholder secara keseluruhan, yang menyebabkan pandangan
pemegang saham dan pengguna laporan keuangan pada saat ini telah berubah.
Mereka tidak hanya memfokuskan pada pelaporan laba perusahaan tetapi juga
memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Berdasarkan
konsep ini dalam membuat pertimbangan investasi, investor memasukkan
pertimbangan-pertimbangan etika, dan moral selain pertimbangan financial. Konsep
ini dikenal dengan Socially Responsible Investment (SRI). Pertanggungjawaban
sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) diungkapkan di
dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting, yang melaporkan aspek
keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang terjadi di perusahaan. Bahkan
lebih jauh dari itu perusahaan juga harus mampu menjaga sustainability nya.
Sustainability Reporting di Indonesia pada saat ini masih bersifat voluntary
(sukarela) bukan mandatory ( kewajiban). Untuk itu, dalam penerapannya diperlukan
political will yang kuat dari manajemen tingkat atas. Sebab merekalah yang
menentukan kebijakan perusahaan. Namun, apabila faktor internal ini lemah maka
diperlukan dorongan yang kuat dari faktor eksternal. Dorongan ini dapat dilakukan
oleh pemerintah, media masa atau lembaga swadaya masyarakat. Melalui
Sustainability Reporting inilah perusahaan dapat menjaga reputasi, membangun
kepercayaan stakeholder, menunjukkan adanya akuntabilitas dan meningkatkan firm
value. Namun sebaliknya kegagalan dalam memahami dan menggunakan informasi
non keuangan ini dapat menjadi pukulan berat bagi perusahaan, bahkan kadangkala
dapat merusak kinerja perusahaan secara perlahan (Media Akuntansi : Juli 2005).
Di satu sisi, keseimbangan harga saham dari perusahaan yang melaporkan
Sustainability Reporting sama dengan perusahaan yang tidak membuat
Sustainability Reporting (traditional profit maximizing firm) tapi earning pershare
tidak sama. Dana sosial diasumsikan menambah biaya dan bukanlan pendapatan
(non revenue). Sustainability Reporting telah menghabiskan biaya secara ekonomi
yang akan menurunkan net earning perusahaan. Oleh karena itu EPS perusahaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang membuat Sustainability Reporting lebih rendah dari EPS perusahaan yang
tidak membuat Sustainability Reporting.
Sebuah model teoritis yang didebatkan dimana supply dan demand untuk
pelaporan sosial menggambarkan apakah aktivitas ini akan memperbaiki,
mengurangi atau tidak memiliki pengaruh terhadap market value perusahaan.
Aktivitas pertanggungjawaban sosial dapat mengurangi present value cash flows
perusahaan terhadap market value perusahaan, dimana hal ini tergantung pada
demand dan supply. Jika demand untuk Socially Responsible Investment (SRI) lebih
besar dibandingkan dengan supply maka perusahaan yang melakukan aktivitas
investasi sosial dan pelaporannya berupa Sustainability Reporting dapat
menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan. Jika kondisi supply dan demand tidak
saling mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market
value perusahaan secara nyata. Hasil penelitian Mackey al, (2004) menunjukkan
manajer perusahaan dagang menemukan aktivitas pelaporan sosial tidak saja
memaksimumkan present value tapi juga memaksimumkan market value
perusahaan.
Hasil penelitian di beberapa negara maju, dimana Sustainability Reporting
sudah bersifat mandatory, membuktikan bahwa investor memasukkan variable
sustainability (berkaitan dengan masalah kelestarian lingkungan) dalam proses
pengambilan keputusan investasi. Dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat
terhadap perusahaan-perusahaan yang membuat Sustainability Reporting
menjadikan nilai perusahaan meningkat. (Djohan Pinnarwan dalam Zuhroh dan
Sukmawati 2003)
Dari hasil studi sebelumnya, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui:
- Adakah perbedaan kinerja keuangan perusahaan yang membuat
Sustainability Reporting dengan yang tidak membuat Sustainability Reporting.
- Seberapa besar variable CSR dan kepemilikan manajemen dapat
menjelaskan nilai perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dalam Laporan Tahunan
Stakeholder perusahaan terdiri dari beragam pihak. Ada pemegang
saham, pemerintah dan masyarakat secara umum. Pemegang saham tentu
menginginkan agar investasi yang ditanamkan di perusahaan tersebut selalu
berkembang, dan pemerintah juga menginginkan agar perusahaan melakukan
pelaporan kepada stakeholder. Pemerintah berkeinginan agar perusahaan
mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang pada intinya adalah
agar kepentingan masyarakat secara umum tidak tergangggu, dimana perusahaan
diharapkan mampu melakukan proses produksi yang ramah lingkungan sehingga
tidak merusak kehidupan hayati.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR), adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela
mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya
dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di
bidang hukum (Darwin, 2004). Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan
di dalam laporan Sustainability Reporting, adalah pelaporan mengenai kebijakan
ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya
didalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan, dan
pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability Report harus menjadi
dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan, dan
peluang sustainability development yang membawa menuju kepada core business
dan sector industrinya ( Anggraini, 2006).
Untuk mendukung upaya pelaporan yang sustainibilitas pada tahun 1997 di
bentuk sebuah organisasi Global Reporting Initiative (GRI). GRI mempunyai misi
sebagai lembaga yang merancang, mengembangkan, dan menyebarluaskan
pedoman penerapan Sustainability Reporting. GRI telah menerbitkan pedoman
Sustainability Reporting. Selanjutnya direvisi pada tahun 2002 dan 2006. (Media
Akuntansi, Juli:2005).
Pedoman GRI membahas isi Sustainability Reporting (SR) dalam suatu
bagian tersendiri. Isi SR menurut pedoman GRI terdiri dari lima bagian, yaitu:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. Visi dan strategi.

Bagian ini menjelaskan visi dan strategi perusahaan berkaitan dengan


sustainability.

2. Profil Perusahaan.

Bagian ini merupakan overview struktur organisasi operasi perusahaan serta


ruang lingkup pelaporan.

3. Sistem manajemen dan struktur pengelolaan.

Dalam bagian ini perusahaan harus mengungkapkan struktur organisasi,


kebijakan-kebijakan yang diambil, dan sistem manajemen. Termasuk dalam
bagian ini usaha-usaha perusahaan dalam melibatkan stakeholder

4. GRI Content Index.

Bagian ini berisikan table yang mengidentifikasikan letak setiap elemen isi
laporan GRI berdasarkan bagian dan indikatornya. Tujuan bagian ini
memudahkan pengguna laporan keuangan agar dapat mengakses secara
cepat informasi dan indikator yang terdapat dalam pedoman GRI.

5. Sustainability Reporting dan indikator kinerja

Table 1

Katagori Aspek

Kinerja Ekonomi

Pengaruh Pelanggan, pemasok, karyawan, penyedia modal dan sektor


ekonomi publik
secara lansung

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kinerja Lingkungan

Hal-hal yang Bahan baku, energi air, keanekaragaman hayati


berkaitan (biodiversity), emisi, sungai, dan sampah, pemasok, produk
dengan dan jasa, pelaksanaan, dan angkutan.
lingkungan

Kinerja Sosial

Praktik Kerja Keamanan dan keselamatan tenaga kerja, pendidikan dan


training, kesempatan kerja.

Hak manusia Strategi dan manajemen, non diskriminasi, kebebasan


beserikat dan berkumpul, tenaga kerja di bawah umur,
kedisiplinan, keamanan, dll.

Sosial Komunitas, korupsi, kompetisi dan penetapan harga

Tanggung Kesehatan dan keamanan pelanggan, iklan yang peduli


jawab terhadap terhadap hak pribadi.
produk

Sifat dan volume pelaporan mengenai pertanggungjawaban sosial


perusahaan bervariasi antar waktu dan antar negara, hal ini disebabkan oleh isu-isu
yang dipandang penting oleh suatu negara mungkin akan menjadi kurang penting
bagi negara lain. Lewis Unerman (1999) mengatakan bahwa variasi pelaporan
tersebut disebabkan oleh budaya atau norma yang berlaku pada masing-masing
negara. (Grey .,1995 dalam Anggraini 2006).

2.2. Kinerja Keuangan Dan Kebijakan Penerapan Sustainibility Reporting

Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dan Profitabilitas


Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas
dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

saham [Heize (1976) dalam Anggraini (2006)]. Sehingga semakin tinggi tingkat
profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial.
[Bowman dan Haire 1976). Sedangkan Hactson & Milne (1996) menemukan tidak
ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan
informasi sosial. Belkaoi dan Karpik (1989) mengatakan bahwa dengan
kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk
membuat perusahaan menjadi profitable, hal ini di perkuat oleh hasil penelitian nya,
yaitu: perusahaan yang mengungkapkan informasi social menunjukkan (1)
keikutsertaannya dalam kegiatan sosial, (2) memiliki resiko sistimatis dan tingkat
leverage yang rendah, (3) cenderung perusahaan berskala besar.
Sebaliknya Vence (1975) mempunyai pandangan, bahwa pengungkapan
sosial perusahaan justru memberikan kerugian kompetitif karena perusahaan harus
mengeluarkan tambahan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Hal ini
sejalan dengan pendapat Mackey at al.,2004, dimana keseimbangan harga saham
dari perusahaan yang melaporkan Sustainability Reporting sama dengan
perusahaan yang tidak membuat Sustainability Reporting (traditional profit
maximizing firm) tapi earning pershare tidak sama. Dana sosial diasumsikan
menambah biaya dan bukanlah pendapatan (non revenue). Sustainability Reporting
telah menghabiskan biaya secara ekonomi yang akan menurunkan net earning
perusahaan. Oleh karena itu EPS perusahaan yang membuat Sustainability
Reporting lebih rendah dari EPS perusahaan yang tidak membuat Sustainability
Reporting.
Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dan Market Value
Informasi yang dibutuhkan oleh investor dalam pengambilan keputusan
menjadi semakin bervariasi yang mencakup informasi keuangan dan non keuangan.
Kondisi ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap
aktivitas bisnis dan para pelaku bisnis yang terkait di dalamnya, termasuk investor.
Investor memasukkan pertimbangan-pertimbangan etika, tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan selain pertimbangan financial. Konsep ini dikenal dengan
Socially Responsible Investment (SRI).
Menurut (Mackey al., 2004) aktivitas pertanggungjawaban sosial dapat
mengurangi present value cash flows perusahaan terhadap market value

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan, hal ini tergantung pada demand dan supply. Jika demand untuk
Socially Responsible Investment (SRI) lebih besar dibandingkan dengan supply
maka perusahaan yang melakukan aktivitas investasi sosial dan pelaporannya
berupa Sustainability Reporting dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan.
Kemampuan perusahaan menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan maka nilai
perusahaan akan meningkat. Jika kondisi supply dan demand tidak saling
mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market value
perusahaan secara nyata.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar.
Karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara
maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga
saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai
perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para
profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.
Samuel (2000) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga
sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor,
karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan.
Sedangkan Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan
harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut di jual.
Penelitian yang dilakukan oleh Grey et al.,(1995) diantaranya menyimpulkan
bahwa (1). Tidak ditemukan bukti pengungkapan sosial berhubungan dengan
profitabilitas perusahaan, minimal tidak pada tahun yang sama. (2) terdapat
hubungan yang sangat kuat antara pengungkapan sosial dengan ukuran
perusahaan. (3) Terdapat hubungan antara antara tipe industri dan pengungkapan
sosial, artinya daripada industri yang low-profile. (4) Faktor negara asal perusahaan
dan negara yang menjadi tempat pelaporan memiliki efek yang signifikan terhadap
pengungkapan sosial. (5) Ada beberapa karakteristik khas perusahaan yang
mempengaruhi aktivitas corporate social reporting suatu perusahaan seperti adanya
komite pertanggungjawaban sosial di dalam perusahaan, sikap eksekutif senior,
negara asal atau negara tempat perusahaan menyatakan laporan dan capital
intensity perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Shane dan Spicer (1983), meneliti tentang pelaporan polusi terhadap harga
saham selama 6 hari sebelum dan sesudah penerbitan pelaporan polusi pada 72
perusahaan pada 4 industri yang berbeda. Penelitian tersebut menyatakan sampel
perusahaan yang diambil menunjukkan abnormal return negatif yang cukup besar
dalam dua hari sebelum publikasi dari pelaporan polusi terdapat hubungan yang
sedikit antara return yang negatif pada saat publikasi.
Penelitian di Indonesia, Utomo (2000) memperlihatkan bahwa pengungkapan
sosial di Indonesia relatif rendah, namun perusahaan high-profile ternyata
melakukan pengungkapan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan low-
profile. Lutfi (2001) meneliti pengaruh praktek pengungkapan sosial yang dilakukan
oleh perusahaan terhadap perubahan harga saham membuktikan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan dari praktek pengungkapan sosial yang telah
dilaporkan oleh perusahaan terhadap perubahan harga saham.
Penelitian tersebut pada umumnya menggunakan data tahunan antara tahun
1997 sampai dengan 1999, sementara pada priode tahun tersebut kinerja
perusahaan sangat dipengaruhi oleh krisis moneter dan investor lebih fokus pada
situasi ekonomi secara makro. Namun hasil penelitian selanjutnya adalah bahwa
praktek pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan semakin baik dan
investor mulai merespon pengungkapan sosial sebagai suatu good news. Zuhroh
dan Sukmawati (2003).
Ha1 = Adakah perbedaan kinerja keuangan perusahaan yang membuat
Sustainability Reporting dengan yang tidak membuat Sustainability Reporting.

Biaya politis

Perusahaan yang besar cenderung mempunyai biaya politis yang besar


dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung akan memberikan
informasi laba sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan kecil, sehingga
perusahaan besar cenderung akan mengeluarkan biaya untuk pengungkapan
informasi sosial yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. (Anggraini, 2006).

Menurut hipotesis biaya politis, semakin besar biaya politis yang dihadapi
oleh perusahaan, maka manajer akan memilih prosedur akuntansi yang dapat

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

menghasilkan laba sekarang lebih rendah dibandingkan masa depan. Dengan


demikian semakin tinggi biaya politis yang dihadapi perusahaan maka perusahaan
akan semakin banyak mengeluarkan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial
(sustainability reporting), sehingga laba yang dilaporkan menjadi lebih rendah. (Watt
&Zimmerman, 1990).

Sustainability Reporting di Indonesia pada saat ini masih bersifat voluntary


(sukarela) bukan mandatory (kewajiban). Untuk itu, dalam penerapannya diperlukan
political will yang kuat dari manajemen tingkat atas. Sebab merekalah yang
menentukan kebijakan perusahaan. Born (1988) dalam Junaidi (2006) menyatakan
bahwa kepemilikan manajemen adalah persentase kepemilikan saham yang dimiliki
oleh direksi, manajer dan dewan komisaris. Dengan adanya kepemilikan
manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik
bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang
meningkat.
Jensen & Meckling (1976) menganalisis bagaimana nilai perusahaan
dipengaruhi oleh distribusi kepemilikan antara pihak manajer yang menikmati
manfaat dan pihak luar yang tidak menikmati manfaat. Dalam kerangka ini,
peningkatan kepemilikan manajemen akan mengurangi agency difficulties melalui
pengurangan insentif untuk mengkonsumsi manfaat/keuntungan dan mengambil alih
kekayaan pemegang saham. Pengurangan ini sangat potensial dalam misalokasi
resources, yang pada gilirannya untuk peningkatan nilai perusahaan.
Ha2: Seberapa besar CSR dan kepemilikan manajemen dapat menjelaskan nilai
perusahaan.

3. METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang listing di Bursa Efek
Indonesia (BEI), penentuan sample dengan menggunakan purposive sampling
method dengan kriteria tertentu, yaitu:
Perusahaan non keuangan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Perusahaan yang menyampaikan Sustainibility Reporting yang


mengungkapkan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial pada periode
2003 sampai dengan 2005. Untuk Ha1 perusahaan yang hanya
mengungkapkan tema pengembangan sumber daya manusia tidak
dimasukkan sebagai populasi penelitian karena hampir semua
perusahaan mengungkapkan tema ini.
Untuk Ha2 perusahaan yang menyampaikan Sustainibility Reporting yang
mengungkapkan semua aspek ekonomi, lingkungan dan sosial pada
periode 2005 dan 2006 yang menyampaikan Sustainibility Reporting yang
mengungkapkan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial pada periode
2003 sampai dengan 2005, karena pada tahun 2005 dan 2006
perusahaan yang menyampaikan Sustainibility Reporting sudah
bertambah jumlahnya.
melakukan screening baik positif maupun negative, penentuan ini
berdasarkan penelitian Barnet dan Salomon (2002)
Screening positif, untuk mendapatkan perusahaan dengan
sustainablilty yang tinggi.
Screening negative dilakukan untuk menghindari dichotomous
variable, dimana dalam konsep Socially Responsible Investment (SRI),
investor menghindar dari investasi dari sektor-sektor tertentu, misalnya
rokok, minuman keras, senjata api dan perjudian.

Untuk Ha1 diperoleh sampel 24 perusahaan, untuk Ha2 diperoleh sampel 35


perusahaan

3.3. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pooling data. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Laporan Tahunan Emiten
yang listing di BEJ.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.4. Definisi Operasional Variabel


a. Sesuai dengan kerangka pemikiran dari hipotesis, variabel-variabel tersebut
dapat diidentifikasikan menjadi variabel independent untuk Ha1:
Earning pershare
Adalah pendapatan bersih perusahaan selama setahun dibagi dengan
jumlah rata-rata saham yang beredar.
Market value
Diukur dengan Return saham, yaitu keuntungan yang diterima dari
investasi saham selama satu tahun, yang secara matematis diperoleh
pit pit 1
dengan rumus: Rit =
pit 1

Dimana: Rit = Return Realisasi untuk saham i pada bulan ke t

Pit = Harga penutupan saham saham i pada bulan ke t

Pit 1 = Harga penutupan saham saham i pada bulan ke t-1

Harga saham penutupan pada penelitian ini adalah -5 dan +5 sebelum


dan sesudah tanggal penyampaian laporan keuangan perusahaan.
Tingkat Leverage
Diukur dengan rasio Utang /Ekuitas
b. Untuk Ha2 variabel yang digunakan adalah :
Varibel independen:
Sustainibility Reporting yang disimbol dengan (X 1 ), yang diukur dengan skor total
Sustainibility Reporting yang dilaporkan dibagi dengan skor total Sustainability
Reporting Indeks . Skala pengukuran yang digunakan untuk indeks Sustainibility
Reporting adalah skala nominal. Variabel Sustainibility Reporting merupakan
variable dummy, sebuah item diberi skor 1 jika dilaporkan dan skor 0 jika tidak
diungkapkan

Kepemilikan manajemen, yang disimbol dengan (X 2 )


Kepemilikan manajemen diberi simbol MGR yang diukur dengan % saham yang
dimiliki oleh manajer, dewan direksi dan komisaris.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Variabel Dependen
Nilai Perusahaan yang disimbolkan dengan (Y).
Nilai perusahaan diukur dengan menggunakan Tobins q. Menurut Wennerfield
(1988) di dalam Suranta dan Machfoedz (2003) Tobins Q dapat digunakan sebagai
alat ukur dalam menentukan dalam menentukan kinerja perusahaan.
( EMV + D)
q=
( EBV + D)
Dimana :
Q = nilai perusahaan
EMV = nilai pasar ekuitas (EMV = closing price x jumlah saham yang beredar)
D = nilai buku dari total hutang
EBV = nilai buku dari total aktiva

3.5. Analisa Data


1. Pengujian Ha1 dengan menggunakan Independen sampel T test (Independent
Sample T test) yaitu membandingkan rata-rata dari dua grup yang tidak
berhubungan satu sama lain. Independent Sample T test merupakan statistik
parametrik oleh karena itu distribusi data harus normal. Untuk menguji
kenormalan data ini dapat dengan menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov.
2. Pengujian Ha2 dengan menggunakan analisa regresi berganda (multiple
regression analysis).
Y = + 1X1 + 2 X 2 + e
Keterangan :
Y = Nilai Perusahaan
= Konstanta
1 - 2 = Koefisien Regresi

X1 = Corporate Social Responsibility

X2 = Kepemilikan Manajemen
e = Error Term

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Analisa regresi berganda untuk data pooling memerlukan pengujian apakah


data tersebut dapat dipoolkan? (Dillon and Goldstein, 1984). Untuk pengujian
nya dapat mengguakan Chow test.
Sebelum dilakukan analisa regresi berganda perlu dilakukan pengujian
asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik penting dilakukan agar diperoleh
parameter yang valid dan handal, terdiri dari uji normalitas, uji multikolinieritas, uji
autokorelasi dan uji heterokedastisitas.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1. Pengujian Ha1
Hasil pengujian Ha1 pada tabel 1 dan 2 menunjukkan perbandingan rata-rata
dari perusahaan yang melaporkan Sustainibility Reporting dengan yang tidak
melaporkan Sustainibility Reporting dengan menggunakan analisis uji statistik
Independen sampel T test.
Tabel 1
Group Statistics

Std. Error
kinerja N Mean Std. Deviation Mean
eps sr 60 4.2030 2.54863 .32903
ns 49 3.8910 1.67691 .23956
lev sr 64 1.8658 2.16886 .27111
ns 56 1.5752 2.38944 .31930
ret sr 59 4.2086 2.57012 .33460
ns 32 -.9087 1.46888 .25966

Tabel 2
Independent Samples Test

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper
eps Equal variances
2.413 .123 .736 107 .463 .31198 .42374 -.52804 1.15200
assumed
Equal variances
.767 102.669 .445 .31198 .40700 -.49523 1.11919
not assumed
lev Equal variances
.012 .911 .698 118 .486 .29060 .41616 -.53351 1.11472
assumed
Equal variances
.694 112.047 .489 .29060 .41887 -.53933 1.12054
not assumed
ret Equal variances
5.016 .028 10.366 89 .000 5.11739 .49367 4.13649 6.09830
assumed
Equal variances
12.083 88.703 .000 5.11739 .42354 4.27580 5.95899
not assumed

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pada Tabel 1 ringkasan statistik menunjukkan rata-rata return untuk


perusahaan yang menyampaikan sustainability reporting 4,2086 jauh di atas rata-
rata perusahaan yang tidak menyampaikan sustainability reporting, yaitu -0.9087.
Rata-rata return pada penelitian ini berbeda secara signifikan, hasil pengujian
statistik (tabel 2) menunjukkan F hitung 5,016 dengan probabilitas 0,028. Oleh
karena probabilitas <0,05 maka Ha diterima atau kedua varians berbeda secara
signifikan, yang berarti investor telah merespon dengan baik informasi-informasi
sosial. Menurut Mackey al, (2004): jika kondisi supply dan demand Sustainability
Reporting sudah saling mendukung, maka aktivitas Sustainability Reporting tidak
saja memaksimumkan present value tapi juga memaksimumkan market value
perusahaan.
Rata-rata earning pershare (EPS) untuk perusahaan yang menyampaikan
sustainability reporting 4,20 yang juga di atas rata-rata perusahaan yang tidak
menyampaikan sustainability reporting, yaitu 3,89. Perbedaan ini tidak signifikan,
hasil pengujian statistik menunjukkan F hitung untuk earning pershare adalah 2,413
dengan probabilitas 0,123. Oleh karena probabilitas >0,05 maka Ho diterima. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grey (1995), yaitu, tidak
ditemukan bukti pengungkapan sosial berhubungan dengan profitabilitas
perusahaan, minimal tidak pada tahun yang sama.
Rata-rata leverage untuk perusahaan yang menyampaikan sustainability
reporting dengan yang tidak menyampaikan sustainability reporting, masing-masing
yaitu 1,87 dan 1,56. Perbedaan ini tidak signifikan, karena hasil pengujian statistik
menunjukkan F hitung untuk earning pershare adalah 0,012 dengan probabilitas
0,911. Oleh karena probabilitas >0,05 maka Ha diterima atau kedua varians sama.
Rata-rata leverage untuk perusahaan yang menyampaikan sustainability reporting
hanya sedikit lebih tinggi dengan rata-rata perusahaan yang tidak menyampaikan
sustainability reporting. Menurut Schipper 1981, perusahaan dengan rasio leverage
yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas dari pada
perusahaan dengan rasio leverage yang rendah agar dapat memberikan
kepercayaan pada masyarakat. Namun hasil penelitian ini belum dapat di generalisir
karena tidak berbeda secara nyata.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4.2. Pengujian Ha2


Chow Test untuk data Pooling
Prosedur Standar untuk memutustan apakah dua (atau lebih) regresi dapat di
poolkan dapat menggunakan Chow Test, dengan langkah-langkah sebagai berikut
(Dillon and Goldstein, 1984):
1. Kombinasikan n1+n2 observasi dalam satu analisa regresi berganda untuk
memperoleh nilai residual sums-of-square SSE (1) dari n1 + n2 k df.
2. Run bagian-bagian regresi untuk memperoleh nilai residual sums-of-square
SSE(2) dan SSE (3) dengan n1 k df. dan n1 k df. Tambahkan kedua SSE
tersebut dan denotasikan dengan SSE(4)
3. Hitung SSE (5) = SSE(1)-SSE(4)
SSE (5) / k
4. Hitung Q=
SSE (4) /( n1 + n2 2k )

5. Q F :( k .n1 + n2 2 k )

Jika Q > F :( k .n1 + n 2 2 k ) , dapat disimpulkan bahwa dua regresi tersebut tidak sama

(tolak hipotesis persamaan dua regresi).


Hasil perhitungan untuk data penelitian ini nilai Q= -11,4857 sedangkan nilai F =
0.38911 maka Q < F :( k .n1 = n2 2 k ) maka dua regresi tersebut sama, maka data

penelitian ini dapat di poolkan

Uji Asumsi Klasik


Pengujian kenormalan data menggunakan Kolmogrov-Smirnov test menunjukkan
bahwa nilai residual variabel kepemilikan manajemen dan nilai buku pada model
tidak berdistribusi normal, dimana nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05. Agar
data dapat berdistribusi normal maka data ordinal tersebut dapat di Log atau Ln
(J.Supranto, 2001). Data setelah di Ln menunjukkan nilai residual berdistribusi
normal (Tabel 3).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 3
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Ln nilai
CSRInorasio Ln Kep.Manaj Perusahaan
N 70 26 70
Normal Parameters a,b Mean .2081 -2.3925 .0225
Std. Deviation .06589 2.69312 .69457
Most Extreme Absolute .161 .166 .142
Differences Positive .161 .166 .142
Negative -.084 -.133 -.092
Kolmogorov-Smirnov Z 1.344 .844 1.190
Asymp. Sig. (2-tailed) .054 .474 .118
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Untuk mendeteksi multikolinieritas dapat dengan menggunakan Variance


Inflation Factor (VIF), dan pearson Correlation Matrix (Gujarati, 1995). Sebagai
rule of thumb, jika nilai VIF sama dengan satu, tidak menunjukkan adanya
kolinieritas antar variable independent, dan bila nilai VIF kurang dari 10 maka
tingkat multikolinieritas belum tergolong bahaya. Pada tabel 4 menunjukkan
nilai VIF untuk variable independent 1,044 maka tidak ada terjadi
multikolinieritas.
Autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan Durbin Watson Statistik,
sebagai rule of thumb jika du<d<4-du maka tidak terdapat autokorelasi baik
positif mauoun negative (Gujarati, 1995). Pada table 4 dw-statistic: 2,181.
Berdasarkan table dw dengan n= 70 dan parameter (k) = 2 nilai du = 1,52 maka
dapat disimpulkan tidak terjadi autokorelasi pada persamaan regresi
Untuk mendeteksi adanya gejala heterokedastisitas dalam model persamaan
regresi dapat digunakan metode park (Gujarati,1995) dan hasil pendeteksian
tidak terdapatnya gejala heterokedastisitas.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pengujian Statistik Analisa Regresi Berganda

Tabel 4
Model Summaryb

Change Statistics
Adjusted Std. Error of R Square Durbin-
Model R R Square R Square the Estimate Change F Change df1 df2 Sig. F Change Watson
1 .479a .230 .163 .38911 .230 3.428 2 23 .050 2.181
a. Predictors: (Constant), Ln Kep.Manaj, CSRInorasio
b. Dependent Variable: Ln nilai Perusahaan

Tabel 5

Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients 95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF
1 (Constant) -.938 .299 -3.141 .005 -1.556 -.320
CSRInorasio 2.864 1.167 .459 2.455 .022 .450 5.278 .405 .456 .449 .958 1.044
Ln Kep.Manaj -.041 .030 -.262 -1.399 .175 -.102 .020 -.167 -.280 -.256 .958 1.044
a. Dependent Variable: Ln nilai Perusahaan

Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan menggunakan bantuan


program SPSS pada tabel 4 dan 5, maka diperoleh persamaan regresi berganda
sebagai berikut:
Y = -0.938 + 0,037X1 + -0.041X2 + +
2
dengan nilai R = 0,230 pada tingkat signifikan 0,05 maka Ha2 diterima. Ini
mengindikasikan sustainability reporting (SR) dan kepemilikan manajemen secara
bersamaan dapat menjelaskan variabel nilai buku sebesar 23%.
Coefficient Estimated (SR) adalah 0.037 pada tingkat signinifikan 0,022 atau
p<0.05, hubungan (SR) dengan nilai buku yang positif, berarti investor memasukkan
pertimbangan-pertimbangan etika, tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan selain pertimbangan financial, dimana demand untuk Socially
Responsible Investment (SRI) lebih besar dibandingkan dengan supply sehingga
perusahaan yang melakukan aktivitas investasi sosial dan pelaporannya berupa
Sustainability Reporting dapat memberikan nilai ekonomi bagi perusahaan.
Kemampuan perusahaan menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan maka nilai
perusahaan akan meningkat. Jika kondisi supply dan demand tidak saling

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market value


perusahaan secara nyata. Mackey al, (2004)
Dari hasil terlihat pula bahwa coefficient estimated variabel kepemilikan
adalah -0.041 dengan tingkat signifikan 0.175 atau p>0.05. Hubungan antara
kepemilikan manajemen dengan nilai perusahaan yang negatif dan tidak signifikan
mengindikasikan bahwa kepemilikan manajemen yang kecil dalam perusahaan,
menyebabkan manajemen tidak memiliki wewenang yang cukup besar dalam
pembuatan kebijakan perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai
perusahaan, karena pembuatan kebijakan di dalam suatu perusahaan lebih banyak
di kendalikan oleh pemegang saham mayoritas. Berdasarkan pengamatan peneliti,
penelitian mengenai kepemilikan manajemen di Indonesia hasilnya berbeda dengan
penelitian di negara-negara luar karena kepemilikan saham di perusahaan
Indonesia lebih cenderung dimiliki oleh pihak asing. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sudarman (2003) dan Spica (2006).
Penelitian Haruman (2008) juga menunjukaan variabel managerial ownership
dan institutional ownership berpengaruh dengan arah hubungan negative yang
berarti tidak semua pemilik saham manajerial menginginkan investasi yang tinggi,
karena menginginkan kesejahteraan melalui pembayaran dividen. Inilah salah satu
tindakan opportunistik para pemegang saham managerial.

5. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Perbedaan return saham perusahaan yang menyampaikan dengan yang
tidak menyampaikan Sustainability Reporting menunjukkan bukti bahwa investor
telah merespon dengan baik informasi-informasi sosial yang disampaikan dalam
laporan tahunan perusahaan. Kondisi supply dan demand terhadap Sustainability
Reporting yang sudah saling mendukung ini menjadikan aktivitas Sustainability
Reporting tidak saja memaksimumkan present value tapi juga memaksimumkan
market value perusahaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan positif yang
signifikan antara CSR dengan Nilai Perusahaan.
5.2. Keterbatasan dan Saran

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak adanya memisahkan perusahaan


yang memiliki tingkat rasio leverage yang tinggi dengan yang rendah. Sehingga
untuk penelitian kedepan perlu melakukan pemisahan antara perusahaan yang
memiliki tingkat leverage yang tinggi dengan yang rendah dan hendaknya periode
pengamatannya lebih di perpanjang.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Fr. Reni Retno, (2006) Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam
Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposum Nasional
Akuntansi. Padang.

Barnet, Michael L and Salomon, Robert M (2002) Unpacking Social


Responsibility: The Curvlinier Relationship Between Social and
Financial Performance. Academy of Management Proceeding. New York.

Darwin, Ali (2006) Sustainability Reporting/ Laporan Keberlanjutan. Makalah


disajikan pada Kuliah Perdana di Banda Aceh: Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Unsyiah, 1 September 2006.

________,(2006) Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, dan Pengungkapan


CSR bagi Perusahaan di Indonesia. Economics Business & Accounting
Review. Edisi III/ September-Desember.

Dillon, William R and Goldstein, Mattew (1984) Multivate Analysis Method and
Aplication John Willey and Sons Inc. USA

Ghozali, Imam (2001) Analisis Multivariate dengan Program SPSS. UNDIP,


Semarang.

Gray,Rob; Reza Kouhy and Simon Lavers, (1995) Corporate Social and
Evirontmental Reporting: A Review of Literature and Longitudinal Study
of UK Disclosure Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol 8,
No.2, p.47-77.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Gujarati, Damodar, (1995) Ekonometrika Dasar Terjemahan Sumarno Zain,


Erlangga, Jakarta.

Hasnawati, Sri (2005) Dampak Set Peluang Investasi Terhadap Nilai


Perusahaan Publik di BEJ. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indinesia. Vol
9,No.2:153-165.

Hartanti, Dwi (2006) Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan


Perkembangannya. Economics Business & Accounting Review. Edisi III/
September-Desember.

Hasibuan, Chrysanti dan Sedyono (2002) Etika bisnis, Corporate Social


Responsibility (CSR) dan PPM. PPM Institute of Managemant, 27
November.

________,(2006) CSR Communications: A Challenge On Its Own. Economics


Business & Accounting Review. Edisi III/ September-Desember.

Hendriksen, Eldon S dan Widjajant, Nugroh Teori Akuntansi. Edisi ke-4 jilid 2.
Jakarta: Erlangga.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (1999) Standar Akuntansi Keuangan. Buku


Satu. Jakarta: Salemba Empat.

Jensen, MC and Meckling (1976) Theory of the Firm: Managerial Behavior,


Agency Costs and Ownership Structur. Journal of Financial Economics.
Vol 3, p.305-360.

Junaidi, Muhammad AR (2006) Pengaruh Kepemilikan Manajemen dan


Kebijakan Hutang Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di BEJ. Thesis, Unsyiah.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Lewis, Linda and Jefrrey Unerman, (1999) Ethical Relatism: A Reason for
Difference in Corporate Social Reporting Critical Perspective on
Accounting. Vol 8, No.1,p.38-62

Mackey, Alison; Mackey, Tyson,. and Barney, Jay B,. (2004) Corporate Social
Responsibility and Firm Performance: Investor Preferences and
Corporate Strategies Forthcoming in Academy of Management Review,
Ohio StateUniversity.

Media Akuntansi. Juli 2005. Jakarta

Rasyid, Abdul Idris Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan
Implementasi. Fajar Online. 22 November 2005.

Supranto,J (2001) Statistik Teori Dan Aplikasi Erlangga. Jakarta


Siahaan, Hinsa (2003) Analisa Saham Dengan Menggunakan Gordon Model.
Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol 7, No.1.

Sigit, Soehardi 1 (1999) Pengantar Metodologi Penelitian Sosial-Bisnis-


Manajemen. FE Universitas Sarjanawijaya Tamansiswa.

Suranta, Edi dan Puspita, Pratama Merdistuti (2004) Income Smoothing, Tobins
Q, Agency Problem dan Kinerja Perusahaan. Simposium Nasional
Akuntansi VII. Denpasar Bali, 2-3 Desember.

Syafri, Sofyan Harahap (2002) Teori Akuntansi. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Syahriza, Muhammad (2006) Tinjauan Penerapan Akuntansi


Pertanggungjawaban Sosial Pada Perusahaan Perkebunan di
Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Skripsi Universitas Syiah
Kuala.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Utomo, Muhammada Muslim (2000) Prektek Pengungkapan Sosial pada


Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia (Studi Perbandingan antara
Perusahaan-perusahaan High Profile dan Low Profile). Makalah
disajikan pada SNA III.

Wahyudi, Untung dan Prasetyaning, Hartini Pawestri Implikasi Struktur


Kepemilikan Terhadap Nilai Perusahaan : Dengan Keputusan Keuangan
Sebagai Variabel Intervening. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang
23-26 Agustus.

Woodward, David,. Edwards, Pam,. and Birkin, Frank, (2001) Some Evidence On
Exceutiveviews Of Corporate Social Responsibility British Accounting
Review.

Yakub, Riawandi (2004) Corporate Social Responsibility: Perilaku Korporasi


dan Peran Civil Society. IPDF Online Service, 14 September.

Zuhroh, Diana dan Heri, I Putu Pande Sukmawati (2003) Analisis Pengaruh luas
Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap
Reaksi Investor. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya,16-17
Agustus

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV08- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

SLACK RESOURCES, CORPORATE PHILANTHROPY DAN


KINERJA PERUSAHAAN
DENGAN PENDEKATAN STRUCTURAL EQUATION MODEL

Nur Kholifah
Progam Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi
Universitas Indonesia

Chaerul D. Djakman
Universitas Indonesia

Abstract

The objective of this study is to examine the influence of slack resources, corporate
philanthropy and firm financial performance. The slack resources, corporate
philanthropy and firm financial performance are conceptually interrelated and to
examine them using structural equation modeling with 71 Indonesian listed
companies in 2006 that have donation reported on their annual report. Cash flow
represents slack resources measurement because it shows the uncommitted money
that are available for charity and other discretionary purposes. In this study, the
firms donation represents corporate philanthropy. While cummulative abnormal
return represents firms financial performance measure because that measuring is
based on its total stock market return is particular describe the effect of corporate
philanthropy. This study is based on Seifert et al (2004) and to prove are the
Indonesian companies consistent with Seiferts et al (2004) hypothesis. The result
suggests that cash flow does not impact on firm donation, on the other hand the
donation has a significant effect on firm financial performance. This finding supports
the view of corporate philanthropy as discretionary social responsibility that would
increase firm image and finally enhance firm financial performance.

Keyword : slack resources, corporate philanthropy and firm financial performance.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1.1 Latar Belakang


Desakan dari masyarakat yang semakin tinggi agar perusahaan tidak menjadi
entitas yang selfish, mendorong banyak perusahaan melakukan aktivitas tanggung
jawab sosial perusahaan, yang dikenal dengan corporate social responsibility
(CSR). Akhir-akhir ini perusahaan berlomba-lomba untuk hadir di tengah-tengah
masyarakat melalui berbagai program sosial, seperti: pemberian beasiswa,
pelayanan kesehatan, masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup, bantuan
korban bencana dan lain-lain (Suara Pembaruan,11 Mei 2006).
Alasan perusahaan memberikan sumbangan antara lain karena motivasi
profit dan untuk pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan (Johnson, 1966),
ataupun adanya perubahan cara pandang organisasi, tidak hanya fokus pada hasil
keuangan tetapi juga permasalahan sosial (Waddock & Graves, 1997).
Corporate philanthropy selama ini dilihat sebagai suatu bentuk tanggung
jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/ CSR), sehingga sering
digunakan sebagai ukuran social performance perusahaan/ CSP (Carroll,1979).
Corporate social performance (CSP) merupakan suatu konsep yang
menggambarkan kinerja sosial perusahaan dan diharapkan dapat bermanfaat bagi
pelaku bisnis dan bagi akademisi. Untuk akademisi, konsep Corporate social
performance dapat menjembatani berbagai perbedaan definisi Corporate Social
Responsibility yang ada, sedangkan bagi pelaku bisnis, konsep tersebut
memberikan pemahaman arti Corporate Social Responsibility, bahwa CSR tidak
terpisah dan tidak berbeda dengan economic performance tetapi merupakan satu
bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan secara menyeluruh (Carroll, 1979).
Berbagai penelitian tentang hubungan Corporate Social Performance dengan
kinerja perusahaan sudah banyak dilakukan namun hasilnya masih berbeda-beda.
Menurut Waddock & Graves (1997) melakukan hal yang baik memungkinkan untuk
melakukan hal yang bagus (doing well enable doing good) adalah merupakan
gagasan bahwa profitability akan menyebabkan timbulnya slack resources yang
dapat digunakan untuk implementasi tanggung jawab sosial. Pendapat tersebut
didukung oleh asumsi dalam literatur bisnis dan sosial yang menyatakan bahwa
corporate philanthropy itu tergantung pada ketersediaan slack dalam organisasi
(Seifert et al., 2004) dan secara empiris telah dibuktikan Bucholtz et al (1999).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Terdapat dua prinsip utama yang mendukung teori CSR yaitu: the charity
principle, dan the stewardship prinsiple (Frederik, 1978). Prinsip pertama, terkait
dengan peran perusahaan dalam membantu masyarakat sekitar dan bersifat suka
rela. Sedangkan prinsip kedua merupakan peran perusahaan dalam mengelola
sumber daya. Perusahaan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang
dipercayakan oleh masyarakat dengan baik sehingga prinsip kedua ini bersifat
compulsory. Dengan demikian pemahaman corporate philanthropy sebagai salah
bentuk corporate social responsibility sesuai dengan prinsip tanggung jawab sosial
yang dikemukan Frederik (1978) yaitu tentang charity principle.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan keuangan perusahaan
dengan corporate philanthropy, khususnya menguji hubungan antara dana yang
dimiliki perusahaan dan pemberian sumbangan (having dan giving), dan hubungan
antara corporate philanthropy dengan kinerja perusahaan (having & getting). Dalam
menguji keterkaitan keduanya, dilakukan secara bersama-sama dengan
menggunakan structural equation model (SEM).
Ketertarikan pada masalah ini karena masih banyak perusahaan di Indonesia
yang menganggap sumbangan itu merupakan salah satu bentuk CSR. Hal ini
terlihat pada laporan tanggung jawab sosial perusahaan dalam annual report.
Dengan dilakukannya studi ini kami ingin mengetahui apakah perusahaan di
Indonesia dalam memberikan sumbangannya dipengaruhi oleh ketersediaan dana
bebas yang dimiliki (slack resources) dan bagi perusahaan yang telah memberikan
sumbangan, apakah hal itu akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan.
Selain itu, sejauh ini belum ditemukan adanya penelitian yang menguji
permasalahan ini dengan sampel perusahaan listed di BEI.

1.2 Perumusan Masalah


Masih banyak perusahaan di Indonesia yang menganggap implementasi
tanggung jawab sosial perusahaan dengan memberikan sumbangan (corporate
philanthropy) baik bersifat rutin seperti bantuan pendidikan ataupun insidentil seperti
sumbangan kemanusiaan dan bencana alam. Sampai saat ini tanggung jawab
sosial perusahaan bersifat suka rela.
Dalam literatur bisnis dan sosial adanya asumsi bahwa corporate
philanthropy dipengaruhi oleh ketersediaan sumber dana bebas (slack resources),

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yaitu dana yang dapat digunakan untuk diskresi. Oleh karenanya, perusahaan
dituntut untuk memiliki kinerja yang bagus agar memiliki slack resources yang dapat
digunakan untuk corporate philanthropy (pemberian sumbangan).
Alasan perusahaan memberikan sumbangan antara lain motivasi profit dan
untuk pemenuhan tanggung jawab sosial (Johnson, 1966). Dengan adanya
pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan dapat meningkatkan
image bagus perusahaan sehingga akan berpengaruh pada pendapatan
perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan.
Untuk membuktikan berbagai pendapat tersebut di atas, apakah terbukti
apabila diuji dengan menggunakan sampel perusahaan listed di Indonesia maka
timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ketersediaan slack resources akan mempengaruhi corporate
philanthropy?
2. Apakah corporate philanthropy memiliki pengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris apakah slack
resources berpengaruh positif terhadap corporate pihilanthropy dan apakah
corporate philanthropy berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan pada
sampel perusahaan listed di Indonesia.

1.4 Kontribusi Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk memiliki
keuangan yang bagus sehingga mempunyai dana bebas (slack resources) yang
dapat digunakan untuk pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan melalui
pemberian sumbangan (corporate philanthropy). Selain itu, diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih luas akan pentingnya pemberian sumbangan
(corporate philanthropy). Corporate philanthropy jangan dilihat sebagai cost tetapi
sebagai investasi sosial karena diharapkan dapat meningkatkan image bagus
perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.
Kontribusi lainnya adalah sejauh ini penelitian yang sesuai dengan
permasalahan slack resources, corporate philanthropy dan kinerja perusahaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

belum pernah dilakukan dengan menggunakan perusahaan sampel yang terdaftar


di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Tulisan ini terdiri dari 5 bagian, yaitu Pendahuluan meliputi: Latar Belakang, pokok
permasalahan, tujuan penelitian dan kontribusi penelitian. Bagian kedua tentang
landasan teori dan penelitian sebelumnya. Bagian ketiga menerangkan metodologi
& sampel penelitian. Bagian ke-empat menjelaskan analisa hasil penelitian dan
bagian terakhir merupakan kesimpulan, saran dan keterbataan penelitian.

II. LANDASAN TEORI


Teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah, slack resources theory dan
legitimacy theory. Slack resources theory menyatakan bahwa perusahaan yang
memiliki potensi ketersediaan sumber bebas dari kinerja keuangan yang kuat/
bagus, maka perusahaan tersebut memiliki kebebasan untuk membelanjakan
dananya untuk kepentingan sosial. Hal ini berarti suatu perusahaan terlebih dahulu
harus fokus pada kinerja keuangan agar dapat memiliki sumber dana lebih yang
dapat digunakan untuk merealisasikan kebijakan sosial perusahaan seperti
philanthropy (Waddock & Graves (1997). Teori ini mendukung pendapat beberapa
peneliti lainnya yang menyatakan bahwa profitability akan menimbulkan adanya
slack resources yang dapat digunakan untuk implementasi tanggung jawab sosial
perusahaan (Waddock & Graves, 1997 dan George, 2005).
Teori Slack resources sejalan dengan pendapat Frederik (1978), yang
mengungkapkan adanya 2 prinsip utama CSR yaitu charity principle dan the
stewardship principle. Hal ini berarti, perusahaan wajib melaksanakan prinsip
ekonomi yang bersifat compulsary dengan baik sehingga dapat merealisasikan
prinsip tanggung jawab sosial lainnya yaitu charity.
Perubahan cara pandang organisasi yang tidak hanya fokus pada sektor
ekonomi sebagai salah satu alasan pemberian sumbangan didasari oleh teori
legitimasi (Waddock & Graves, 1997). Legitimacy theory menjelaskan perusahaan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungannya tempat
perusahaan beroperasi (Dowling & Pfeffer,1975 dalam Basamalah dan Jermias,
2005). Oleh karenanya, saat ini perusahaan semakin menyadari bahwa
kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi (Sayekti &


Wondabio, 2007).
Pemberian sumbangan dengan motivasi profit mengharapkan terciptanya
image bagus perusahaan pada masyarakat sekitar, investor dan customers
sehingga akan mempengaruhi mereka untuk membeli produk/ jasa perusahaan
yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan profit perusahaan serta kinerja
perusahaan. Dalam hal ini sumbangan tidak lagi dianggap sebagai beban melainkan
suatu investasi yang akan memberikan manfaat bagi perusahaan meskipun hasilnya
tidak terlihat dalam waktu cepat (Bucholtz et al, 2003).

2.1 Slack resources


Slack resources merupakan konsep utama teori organisasi. Menurut Cyert &
March (1963) dalam Nohria & Gulati (1996), slack resources mempunyai peran
penting dalam menyelesaikan konflik organisasi dan merupakan cerminan dana
yang dapat dipakai untuk menyetujui berbagai hal yang belum pasti. Sedangkan
Hambrick & Snow (1977) berpendapat dengan adanya slack resources, maka
organisasi dapat melakukan uji coba yang lebih aman sesuai dengan perubahan
lingkungan ataupun untuk suatu strategi baru. Oleh karena itu, slack resources
dapat meningkatkan kemampuan kompetitif perusahaan (George,2005) dan dapat
melindungi perusahaan dari berbagai variasi perubahan lingkungan (Thompson,
1967 dalam Bourgeois III, 1981).
Beberapa ukuran slack resources, antara lain dengan melihat retained
earnings (RE), ratio antara working capital dengan sales (WC/S), price to earnings
ratio (P/E) (Bourgeois, III, 1981), debt to equity ratio dan melihat perubahan divident
(Navaro, 1988), net income to sales (NI/S) atau net income to total assets (Adam &
Hardwick, 1998) dan cash flow to sales (Seifert et al, 2004). Dari kesemua ukuran
slack resources terlihat, hanya perusahaan yang sehat dan kuat yang dapat memiliki
slack resources yang bagus sehingga dapat digunakan untuk diskresi.
Penelitian yang dilakukan oleh Waddock & Graves (1997) membuktikan
bahwa kegiatan sosial perusahaan itu tergantung pada financial performance
dimana hubungan tersebut adalah positif. Hal ini mendukung teori slack resources,
yang menyatakan perusahaan yang memiliki potensi ketersediaan sumber dari

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kinerja keuangan yang kuat, maka perusahaan tersebut memiliki kebebasan untuk
membelanjakan dananya untuk kepentingan sosial.
Temuan tersebut mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Cyert dan
March (1963) dalam Bourgeois III, (1981) bahwa kemampuan untuk berinovasi
dihubungkan dengan kehadiran sumber slack dalam suatu organisasi yang dikenal
dengan slack resources. Artinya, inovasi & kebijakan organisasi tergantung pada
ketersediaan slack resources. Dalam berbagai literatur, pengertian slack resources
diartikan sebagai sumber slack yang ada dalam suatu organisasi (slack organisasi)
sehingga dalam hal ini pengertian slack organisasi adalah sama dengan slack
resources dan untuk selanjutnya dalam tulisan ini hanya akan dipakai istilah slack
resources.

2.2 Corporate philanthropy


Corporate philanthropy merupakan suatu bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan yang secara langsung berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial
seperti pemberian social charity (Sasse & Trahan, 2007). Menurut Johnson (1966),
corporate philanthropy merupakan kontribusi perusahaan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, keagamaan, pendidikan, berbagai organisasi kemanusiaan dan
sumbangan lainnya. Kontribusi tersebut didefinisikan sebagai donasi dalam bentuk
nilai dollar (mata uang) yang dapat mengurangi pendapatan perusahaan.
Sedangkan Seifert et al., (2004) menganggap corporate philanthropy sebagai
monetary donasi perusahaan yang mencerminkan tanggung jawab sosial
perusahaan dan digunakan sebagai ukuran social performance perusahaan. Semua
pengeluaran cash perusahaan untuk donasi digunakan untuk mengukur corporate
philanthropy.

2.3 Kinerja Perusahaan


Kinerja perusahaan merefleksikan kinerja fundamental suatu perusahaan.
Dalam rangka membentuk suatu keadaan agar evaluasi kinerja perusahaan dapat
dilakukan maka sangatlah penting untuk mendefinisikan tujuan akhir suatu
perseroan, yaitu kinerja perusahaan jangka panjang (Monks dan Minow, 2001).
Terdapat berbagai ukuran kinerja perusahaan yang banyak digunakan dalam
berbagai penelitian, meliputi accounting measures dan market measures (ukuran

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pasar). Accounting measures yang banyak digunakan sebagai proksi kinerja


perusahaan antara lain: Return on equity (ROE), Return on Investment (ROI)
pertumbuhan laba operasi, pertumbuhan assets, sedangkan market measures
banyak menggunakan Cummulative abnomal return (CAR), Price/earnings, share
price growth dan lain-lain (Margolis & Walsh, 2001).

2.4 Slack resources dan Corporate philanthropy


Penelitian sebelumnya yang menguji pengaruh slack resources terhadap
corporate philanthropy dilakukan oleh Bucholtz et al (1999), mereka menemukan
bukti adanya hubungan positif antara slack resources dengan pemberian
philanthropy dalam dua industri (Seifert et al., 2004). Penelitian lainnya dilakukan
oleh Nohria & Gulati (1996) dan Sharma (2000), yaitu menggunakan ukuran
persepsi atas slack resources untuk menguji hubungan antara slack resources dan
phenomena non-philanthropic. Navarro (1988), melihat efek hutang atas slack
resources dan dividen terhadap corporate philanthropy. Hasilnya adalah
perusahaan yang memiliki hutang lebih tinggi akan berpengaruh pada penurunan
dalam pemberian sumbangan dan sebalikanya, jika dividen naik, maka philanthropy
akan naik yaitu memiliki hubungan positif (Seifert et.al 2004).
Seifert et al., (2004) dalam penelitiannnya yang berjudul having ,giving and
getting: slack resources, corporate philanthropy and firm financial performance,
dengan 157 sample perusahaan menemukan bukti adanya hubungan positif
signifikan antara slack resources yang diukur dengan cash flow dengan corporate
philanthropy. Hal ini mendukung pendapat beberapa ahli sebelumnya yang
menyatakan bahwa corporate philanthropy itu dipengaruhi oleh slack resources.

2.5 Corporate philanthropy dan Kinerja Perusahaan


Penelitian yang melihat hubungan antara corporate philanthropy dengan
profitability perusahaan menunjukkan hasil yang inconclusive (Seifert et al., 2004).
Berman et al., (1999) menemukan adanya hubungan positif antara keduanya,
sementara. Griffin & Mahon, (1997) tidak menemukan adanya keterkaitan antara
kinerja perusahaan dengan corporate philanthropy. Demikian juga dengan penelitian
yang dilakukan oleh Seifert et al (2004), mereka juga tidak menemukan bukti
signifikan pengaruh antara corporate philanthropy dengan kinerja keuangan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan yang diproxikan dengan cummulative abnomal return perusahaan


(Seifert et al., 2004).
Penelitian lainnya dilakukan oleh Waddock & Graves (1997) namun mereka
menguji keterkaitan corporate social performance dengan kinerja perusahaan dan
hasilnya menemukan bukti pengaruh positif signifikan. Dalam penelitian ini,
pengaruh corporate philanthropy secara langsung tidak terlihat karena corporate
philanthropy merupakan salah satu ukuran kinerja sosial perusahaan (corporate
social performance/ CSP) yang mana dalam penelitian tersebut tidak diterangkan
dengan detail.

2.6 Pengembangan Hipotesis


Prinsip utama CSR adalah the stewardship principle bersifat compulsary dan
charity principle lebih bersifat sukarela (Frederik, 1978). Dengan demikian, tanggung
jawab sosial perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan tujuan ekonomi
perusahaan. Sektor ekonomi merupakan sesuatu yang wajib, perusahaan harus
mampu memiliki kinerja keuangan yang bagus untuk memenuhi charity principle.
Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian lainnya yang membuktikan
bahwa corporate philanthropy dipengaruhi oleh ketersediaan slack resources yang
diukur dengan income dibanding sales (Adam & Hardwick, 1998), return (Bucholtz,
1999), debt to equity & perubahan dividen (Navaro, 1988) dan cash flow to sales
(Seifert et al., 2004). Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 1 dalam
penelitian ini adalah:

H1: Slack resources berpengaruh terhadap Corporate philanthropy


Motivasi pemberian sumbangan yang dilandasi oleh teori legitimasi dan
profit (Johnson, 1966) mendorong harapan akan timbul pengaruh positif atas
corporate philanthropy yang diberikan, yaitu adanya image baik perusahaan
kepada pelanggan, masyarakat sekitar ataupun investor yang akhirnya
diharapkan dapat memperbaiki kinerja perusahaan (Seifert et al., 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 2 dalam penelitian ini adalah:
H2: Corporate philanthropy berpengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2.7 Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan hipotesis pada point 2.6 dapat digambarkan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:
Gambar 1.
Kerangka konsep penelitian

Slack
resources Corporate Kinerja
(cash flow) philanthropy Perusahaan
H1 H2

III. METODOLOGI PENELITIAN


Pada bagian ini akan dibahas mengenai obyek penelitian, metode pengumpulan
data, model penelitian, teknik analisa data serta definisi variabel operasional.
3.1 Obyek Penelitian/ Unit Analisa
Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling
yaitu pemilihan sampel yang dilakukan secara tidak acak dengan jumlah sampel
yang sudah ditentukan. Obyek penelitian adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) untuk periode tahun 2006, Sedangkan perusahaan yang
diambil sebagai sampel adalah semua perusahaan yang mengeluarkan sumbangan
dan mencantumkannya dalam annual report.
Tabel 1.
Perusahaan Sampel

NO KETERANGAN JLM FIRM


1. Perusahaan listed di BEI th 332
2006
2. Perusahaan yang memberikan 90
sumbangan
3. Perusahaan yang memberikan 16
sumbangan tetapi data tdk
lengkap
4. Perusahaan outlier 3
5. Perusahaan sample 71

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Perusahaan sampel dibagi dalam 2 kelompok industri: non jasa keuangan


dan jasa keuangan karena dalam data sampel terdapat industri jasa keuangan yang
memiliki aturan khusus (regulated). Oleh karenanya, dalam penelitian ini kami ingin
mengetahui apakah corporate philanthropy pada kelompok industri non jasa
keuangan berbeda dengan kelompok industri jasa keuangan. Terlapir rangkuman
kelompok industri data sample (table 2).
Data sample penelitian adalah 71 perusahaan listed di BEI. Sampel yang
diperlukan sebanyak 45 perusahaan. Artinya jumlah sampel telah sesuai dan
memenuhi syarat analisis dengan menggunakan metode Maximum Likelihood pada
SEM (Structural Equation Model ), yaitu sampel minimal sebanyak lima kali variable
bebas yang akan dianalisa (Hair, Anderson et al, 1995)
3.2 Metode Pengumpula Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder diperoleh
dari database BEI yang memuat informasi mengenai laporan keuangan perusahaan
sampel. Sedangkan data tambahan diperoleh dari ICMD (Indonesian Capital Maket
Directory) dan OSIRIS.

3.2 Operasional Variabel


Variabel utama penelitian adalah slack resources, corporate philanthropy dan
kinerja perusahaan. Selain itu, terdapat juga variabel kontrol. Operasional variabel
dijelaskan berdasarkan kelompok variabel terikat, bebas dan kontrol.

3.2.1 Variabel Terikat


Corporate Philanthropy dan kinerja perusahaan adalah variable terikat.
- Corporate Philanthropy (CPH)
Corporate philanthropy diproksikan dengan pengeluaran cash untuk
donasi/ sumbangan dibagi dengan sales, yaitu sumbangan perusahaan baik
diberikan kepada individu, kelompok/ yayasan ataupun bersifat insidentil
seperti sumbangan bencana alam. Proxy ini sebagaimana yang dilakukan oleh
Seifert et al., (2004).
- Kinerja Perusahaan (CAR)
Menurut Seifert et al., 2004, ukuran kinerja perusahaan berdasarkan
total return stock market adalah tepat apabila digunakan untuk melihat efek

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

atas corporate philanthropy. Dengan perusahaan melakukan corporate


philanthropy melalui pemberian sumbangan, maka diharapkan investor akan
secara langsung memberikan reaksi melalui perubahan harga saham, tanpa
harus menunggu hasil laporan keuangan perusahaan.
Return dihitung dengan dua pendekatan yaitu, cummulative abnomal
return (CAR) seperti yang dilakukan dalam penelitian Teoh et al (1998),
dimana return diperoleh dari return harian baik untuk return perusahaan
maupun return pasar.
Rumus perhitungan CAR adalah sebagai berikut :

ARit = Rit - (Rmt) ...................(3.3)

Dengan Rit : return harian perusahaan

Rmt : return IHSG

CAR dihitung secara harian untuk periode 15 bulan mulai dari 1


Januari 2006 s/d 31 Maret 2007. Pengukuran abnormal return dalam
penelitian ini mengunakan market adjusted model, yaitu expected return
saham perusahaan telah disesuaikan dengan return index pasar.

3.2.2 Variabel Bebas


Slack resources (SR) sebagai variabel bebas model persamaan
pertama dan corporate philanthropy (CPH) variable bebas persamaan kedua.
- Slack resources (SR)
Pengukuran Slack resources dalam penelitian ini sebagaimana
dilakukan oleh Seifert et al, (2004), diproksikan dengan cash flow. Cash flow
sebagai cerminan Slack resources sesuai pendekatan yang dilakukan oleh
Lehn and Poulsen (1989) and Lang, Stulz and Walking (1991) yaitu
merupakan laba operasi sebelum penyusutan dikurangi dengan bunga
hutang, berbagai pajak dan dividen yang dikeluarkan perusahaan. Untuk
mengukur relative cash flow maka hasil cash flow sebagaimana tersebut di
atas di bagi dengan sales.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.2.3 Variabel Kontrol Corporate Philanthropy (Model Persamaan 1)


SIZE, differentiation dan industry merupakan variabel kontrol model
persamaan pertama
- Ukuran Perusahaan (SIZE)
Perusahaan besar akan memiliki cash flow yang lebih bagus sehingga
lebih banyak konsentrasi pada corporate citizenship khususnya philanthropy
(Seifert et al., 2004). Size diukur dengan ln Market Capitalisasi.
- Differentiation (DIFF)
Corporate philanthropy merupakan salah satu feature khusus yang
ditawarkan oleh perusahaan (Williams & Siegel, 2001) shg dapat diartikan
sebagai strategi yang membedakan dengan perusahaan lain. Differentiation
di-Proxy-kan dengan pengeluaran biaya penjualan, umum dan adminstrasi
dibagi dengan sales (SG&A to sales) sebagaimana yang digunakan Seifert et
al., (2004) dan Hambricks (1983). Differentiation diartikan sebagai
kemampuan kompetisi dan strategi yang mempengaruhi keputusan dalam
memberikan sumbangan (Williams & Siegel, 2001). Masyarakat masih
percaya bahwa peningkatan image suatu produk antara lain dikarenakan
adanya sejumlah dana yang dikeluarkan untuk Cause-Related Marketing,
yang berarti bahwa perusahaan memberikan sumbangan bersama-sama
dengan pembelian barang oleh customers atau menggabungkan iklan produk
dengan charity secara khusus (Varadarajan & Menon, 1988 dalam Alif, 2006).
Secara teknik, Cause-Related Marketing merupakan biaya marketing yang
tercantum dalam biaya penjualan, umum dan adminstrasi (SG&A).
- Industri (IND)
Masing-masing industri memiliki produk ataupun jasa yang berbeda
sehingga sasaran dan konsentrasi atas corporate philanthropy berbeda-beda
(Buchholtz et al, 1999 & Useem, 1988 dalam Seifert et al, 2004). Industri
merupakan dummy variable

3.2.4 Variabel Kontrol Kinerja Perusahaan (Model Persamaan 2)


Variabel kontrol model persamaan 2 adalah: ukuran perusahaan
(SIZE), risiko (RISK) dan DEBT.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

- Ukuran perusahaan (SIZE)


Ukuran perusahaan berpengaruh pada kinerja perusahaan (Waddock
& Garves, 1997; Williams and Siegel; 2000, Seifert et al., 2004, Mahoney
et.al, 2007), diproksikan dengan ln Market Capitalisation.
- Risiko (RISK)
Risiko diproxikan dengan koefisien beta (). Beta mengukur sensitifitas
pendapatan suatu saham terhadap pendapatan pasar dan diukur dengan
pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM). CAPM adalah suatu model
keseimbangan harga surat berharga yang dikembangkan oleh Sharp (1964),
Lintner (1965) dan Mossin (1966). Untuk menghindari adanya volatilitas yang
tinggi, dalam menghitung beta digunakan return perusahaan dan return pasar
mingguan selama 1 tahun.
it = cov ( Rit, Rmt ) ......................(3.4)
2
(Rmt)
Keterangan :
it : Beta yang mengukur sensitivitas return suatu saham terhadap
return
pasar.
Rit : Return perusahaan pada periode t
Rmt : Return pasar pada perusahaan t

Return pasar (Rmt) = IHSGt IHSGt-1 .......(3.5)

IHSGt1
Return perusahaan (Rit)) = Pt Pt-1 ...............(3.6)

Pt1
Keterangan :
IHSGt : IHSG pada waktu t
IHSGt-1 : IHSG pada waktu t-1
t : periode pengamatan
Pt : harga saham pada waktu t
Pt-1 : harga saham pada waktu t-1

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

- Debt
Debt digunakan untuk mengukur seberapa besar perusahaan
tergantung pada kreditur dalam membiayai asset perusahaan. Debt
diproksikan dengan debt to equity ratio (Robert ,1992); Kokuba et al., 2001
dan Sembiring, 2003).

3.3 Model Penelitian


Dalam penelitian ini digunakan 2 model persamaan, sebagai berikut:
CPHi = 0 + 1 SRi + 2 SIZEi + 3 DIFFi + 4 INDi + it.... ( 3.1 )
CARi = 0 + 1 CPHi + 2 SIZEi + 3 RISKi + 4 DEBTi + it.... ( 3.2 )

Definisi Variabel :
CPH = Corporate philanthropy yaitu pengeluaran cash perusahaan
untuk sumbangan dibagi sales
SR = Slack resources (cash flow), yaitu laba operasi sebelum
penyusutan dikurangi bunga hutang, pajak dan dividen di bagi
sales
Size = Logaritma natural dari kapitalisasi pasar (maket capitalisation)
yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan.
Diff = Differentiation : selling, general & administration to sales
(SG&A/sales)
Industri =Dummy variables, terdiri dari industri non jasa keuangan (1)
dan industri jasa keuangan (0).
CAR = Cummulative abnomal return yang dihitung selama periode 15
bulan mulai 1 januari 2006 sampai dengan 31 Maret 2007 yang
merupakan proxy dari kinerja perusahaan.
Risk =Maket Risk, diproksikan dengan Beta. Data ini berasal dari
perhitungan slope antara return perusahaan dibagi dengan
return pasar yang dilihat dari return IHSG
Debt = Total hutang dibagi dengan equity yang digunakan untuk
melihat efek hutang terhadap return.
0 = Konstanta
1 4 = Koefisien Regresi

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

= error
Model (3.1) untuk menguji hipotesis 1 yaitu melihat pengaruh slack resources
(cash flow) terhadap corporate philanthropy. Sedangkan model (3.2) untuk menguji
hipotesis 2 yaitu pengaruh corporate philanthropy terhadap kinerja perusahaan.
Model ini sebagaimana model penelitian yang dilakukan oleh Seifert et al. (2004),
tetapi dengan berbagai pertimbangan tidak semua variabel kontrol yang digunakan
Seifert et al., (2004) dimasukkan dalam model penelitian ini.

3.5 Teknik Analisa Data


Penelitian ini menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan teknik
Estimasi Path Analysis untuk menguji model yang dihipotesakan. Path diagram
merupakan sarana komunikasi yang efektif untuk menyampaikan ide konsep dasar
model SEM (Hoyle, 1995 dalam Wijanto, 2006).
- Uji Kualitas Data
Uji kualitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data sample
perusahaan itu normal dan memenuhi uji asumsi klasik.
- Uji Keccocokan (Keseluruhan) Model
Uji kecocokan ditujukan untuk mengevaluasi secara umum derajat kecocokan
atau goodness of fit (GOF) antara data dengan model, yaitu dengan melihat
Goodness of Fit Index (GFI).

IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN


4.1 Statistik Deskriptif Sampel
Tabel 3
Descriptive Statistics

Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
CPH 71 .00001 .00711 .0014490 .00158767
SR 71 .00251 .71532 .1199992 .13252007
SIZE 71 21.11666 31.81397 27.3737669 2.40120178
DIFF 71 .00007 2.30826 .2618844 .31830624
IND 71 .00000 1.00000 .7183099 .45302471

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

CAR 71 -4.00778 3.82964 .3244271 1.13332855


RISK 71 -3.28765 1.99264 .3885541 .67269873
DEBT 71 .02000 15.28000 2.7305634 3.36883103
Valid N
71
(listwise)

Definisi Variabel :
CPH = Corporate philanthropy yaitu pengeluaran cash perusahaan
untuk sumbangan dibagi sales
SR = Slack resources (cash flow), yaitu laba operasi sebelum
penyusutan dikurangi bunga hutang, pajak dan dividen di bagi
sales
SIZE = Logaritma natural dari kapitalisasi pasar (maket capitalisation)
yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan.
DIFF = Differentiation : selling, general & administration to sales
(SG&A/sales)
IND = Dummy variables, terdiri dari industri non jasa keuangan (1)
dan industri jasa keuangan (0).
CAR = Cummulative abnomal return yang dihitung selama periode 15
bulan mulai 1 januari 2006 sampai dengan 31 Maret 2007 yang
merupakan proxy dari kinerja perusahaan.
RISK =Maket Risk, diproksikan dengan Beta. Data ini berasal dari
perhitungan slope antara return perusahaan dibagi dengan
return pasar yang
43 dilihat dari return IHSG
DEBT =Total hutang dibagi dengan equity yang digunakan untuk
melihat efek hutang terhadap return.

Berdasarkan statistik deskriptif pada table 3, rata-rata corporate philanthropy


(CPH) yang diukur dengan sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan dibagi
dengan sales dari sampel perusahaan sebanyak 71 adalah 0.0014490 dengan
standar deviasi sebesar 0.00158767, minimal CPH = 0.00001 dan maximum
0.00711. Hal ini mengindikasikan perusahaan yang termasuk dalam sampel

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

penelitian secara rata-rata memiliki sumbangan yang relatif kecil dengan rata-rata
sebesar 0.0014490 atau 0.145% dari penjualan. Kecilnya rata-rata sumbangan
perusahaan sampel diperkirakan karena sumbangan bersifat sukarela.
Slack resources (SR) yang diproksikan dengan relative cash flow (cash flow
dibagi dengan sales) menunjukkan minimal 0.00251, max 0.71532, rata-rata
0.119992 dengan standart deviasi .13252007. Hal ini menunjukkan range slack
resources sample perusahaan sangat jauh yaitu antara 0.00251 dengan 0.71532.
Ini dapat diartikan bahwa slack resources perusahaan sample sangat bervariasi.
Ukuran perusahaan yang diproksikan sengan market kapitalisasi (ln M-cap)
memperlihatkan minimal size 21,1166 atau sebesar Rp.1.482.000.000, maksimum
size 31,81397 atau sebesar Rp.65.559.178.000.000 dengan rata rata 27,3737 atau
sebesar Rp.6.826.653.380.282. Artinya range ukuran perusahaan sampel cukup
jauh dan bervariasi.
Rata-rata kinerja perusahaan sample yang diproksikan dengan Cummulative
abnomal return (CAR) sebesar 0,3244271. Minimum CAR -4,00778 yang berarti
return perusahaan tersebut lebih kecil dari return pasar dan maximum CAR 3,8264
dengan standar deviasi sebesar 1,13332855. Ini berarti rata-rata perusahaan
sample dan maximum CAR memiliki return positif, yaitu return perusahaan lebih
besar dari return pasar.
4.2 Uji Kualitas Data dan Uji Asumsi Klasik
Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan normal probability plot
dengan software SPSS 13.3 dapat disimpulkan bahwa kedua model regresi
mempunyai data yang berdistribusi mendekati normal, karena data menyebar
disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Hal ini berarti model
regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas data (Gambar 2&3
terlampir).
Hasil uji asumsi klasik terlihat bahwa kedua model persamaan penelitian
telah memenuhi uji asumsi klasik sehingga dapat dikatakan BLUE dan dapat
digunakan sebagai model persamaan penelitian (hasil uji asumsi klasik terlampir).

4.3 Hasil Pengujian Keseluruhan Model


Ukuran goodness of fit index (GFI) menunjukkan secara keseluruhan model
yang dihasilkan adalah baik (Saturated). Ini dikarenakan variabel-variabel yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

digunakan merupakan variabel terukur dan bukan variabel laten sehingga


kecocokan model dan variabel yang teramati sangat baik. Adapun ringkasan hasil uji
kecocokan keseluruhan model dapat dilihat pada table 7 (terlampir).

4.4 Pengujian Hipotesis


Berdasarkan output path diagram dengan software LISREL 8.8 student
version, diperoleh hasil output path diagram sebagaimana gambar 4 dan dirangkum
dalam table 8.

Gambar 4
Path Diagram t-value

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 8
Hasil Output path diagram dengan
Stuctural Equation Model (SEM)

Variabel Terikat : CPH (H1)


t-value Keterangan
SR 1.48 Tidak Signifikan
SIZE 1.01 Tidak signifikan
DIFF * 2.45 Positif signifikan pd alpha
5%
IND * 2.23 Positif signifikan pd alpha
5%
R square = 0.16
Variabael Terikat: CAR
(H2)
t-value Keterangan
CPH ** 1.71 Positif signifikan pd alpha
10%
SIZE ** -1.74 Negatif signifikan pd alpha
10%
RISK * -2.16 Negatif signifikan pd alpha
5%
DEBT 0.75 Tidak Signifikan
R square = 0.14

- Uji Hipotesis 1: Slack resources berpengaruh positif terhadap Corporate


Philanthrophy
Nilai t-value variabel slack resources sebesar 1.48, yaitu lebih kecil dari t-
value 1.96 pada alpha 5% ataupun 1.68 pada alpha=10% sehingga dapat dikatakan
tidak terbukti signifikan. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis 1 yang menyatakan
bahwa slack resources berpengaruh positif terhadap corporate philanthropy tidak

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

terbukti secara signifikan, meskipun tanda koefisien sesuai dengan tanda yang
diharapkan (positif).
Menurut pendapat kami, data sampel penelitian tidak dapat mendukung
hipotesis 1 (tidak terbukti secara signifikan) antara lain dikarenakan sumbangan
yang diberikan perusahaan sampel relatif kecil, dengan rata-rata sumbangan
sebesar 0.0014490 atau 0.145% dari sales. Apabila dibandingkan dengan rata-rata
slack resources sebesar 0.11999 atau 12% dari rata-rata sales, maka dalam
memberikan sumbangan tidak harus mempertimbangkan besarnya sumber dana
bebas yang tersedia (slack resources).
Penelitian sebelumnya yang menguji pengaruh slack resources yang
diproksikan dengan cash flow dengan corporate philanthropy baru pertama kali
dilakukan oleh Seifert et.al (2004) yang secara empiris menemukan bukti yang
signifikan adanya pengaruh positif antara slack resousrces dengan corporate
philanthropy

- Uji Hipotesis 2: Corporate philanthropy berpengaruh positif terhadap


Kinerja Perusahaan
Temuan penelitian ini terhadap uji hipoteasis 2 yaitu corporate philanthropy
berpengaruh positif terhadap kinerja adalah berpengaruh positif signifikan (t-
value=1.71 pada alpha=10%). Artinya data sampel mendukung hipotesis 2. Hasil ini
sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Waddock dan
Graves (1997) ; Mc Gaire et al (1988); Preston & OBannon (1997) Kinerja
perusahaan diproksikan dengan cummulative abnormal return (CAR) karena
mencerminkan reaksi pasar atas sumbangan yang diberikan perusahaan melalui
perubahan harga saham perusahaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pasar
merespon positif atas sumbangan yang diberikan oleh perusahaan dan
membuktikan bahwa corporate philanthropy dapat meningkatkan image perusahaan
yang akhirnya juga berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa data sampel mendukung hipotesis 2.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

V. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
1. Hasil penelitian kami tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara
slack resources dengan corporate philanthropy (H1), tetapi ditemukan
adanya pengaruh positif signifikan antara corporate philanthropy dengan
kinerja perusahaan (H2). Hipotesis 1 tidak terbukti berpengaruh signifikan
kemungkinannya adalah perusahaan sampel hanya memberikan sedikit
sumbangan sehingga tidak akan mengganggu sumber dana yang telah
dicadangan untuk operasional perusahaan. Artinya, dalam memberikan
sumbangan perusahaan tidak harus mempertimbangkan besarnya dana
bebas yang dapat digunakan untuk diskresi (slack resources).
2. Uji hipotesis 2, ditemukan bukti pengaruh positif signifikan antara Corporate
philanthropy dengan kinerja perusahaan pada alpha=10%. Hal ini
mendukung pemahaman bahwa pasar tidak hanya melihat laporan
keuangan perusahaan tetapi juga merespon berbagai kegiatan perusahaan
lainnya seperti pemberian sumbangan.
3. Variabel kontrol yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap corporate
philanhropy adalah differentiation (DIFF) dan industri (IND). Sedangkan
variabek kontrol yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap kinerja
adalah RISK (t-value= -2.16) dan SIZE (t-value= -1.74), meskipun tanda
koefisien tidak sesuai dengan tanda yang diharapkan (negatif)
5.2 Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian yang mungkin mempengaruhi hasil
penelitian, baik terkait dengan sampel, model, maupun operasionalisasi variabel-
variabel penelitiannya.
o Hanya menggunakan data sampel untuk periode tahun 2006 sehingga
hasil penelitian belum 56
dapat mengakomodasi kemungkinan hubungan
antar variabel penelitian dalam jangka panjang.
o Tidak dilengkapi data primer yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian misalnya persepsi manajemen dan stakeholders atas
pemahaman corporate philanthropy dan seberapa jauh komitmen mereka
terhadap permasalahan tersebut.
o

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

5.3 Saran
Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka penulis memberikan saran untuk penelitian dimasa yang akan
datang, yaitu :
- Penelitian dimasa yang akan datang sebaiknya menggunakan data sampel lebih
dari 1 tahun sehingga dapat mengakomodasi kemungkinan hubungan antar
variabel penelitian dalam jangka panjang.
- Menggunakan data primer untuk melihat persepsi manajemen ataupun
stakholders atas pemahaman terhadap corporate philanthropy dan data tentang
bentuk sumbangan yang menjadi fokus perusahaan.
- Dari hasil penelitian diketahui bahwa kontribusi variabel bebas terhadap variabel
terikat (R Square) masih rendah, hal ini berarti masih terdapat variabel-variabel
lainnya yang dapat menambah kontribusi sehingga dalam pengukuran corporate
philanthropy dan kinerja perusahaan dapat menggunakan proksi yang berbeda
atau memasukkan variabel bebas ainnya sehingga dapat diperoleh hasil yang
lebih beragam.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Aupperle et al. (1985). An Empirical Examination of the Relationship between


Corporate Social Responsibility and Profitability. The Academy of
Management Journal, Vol. 28 No. 2 (Jun.,1985), pp. 446-463
Atkinson & Galaskiewicz (1988). Stock Ownership and Company Contribution to
Charity. Administrative Sciece Quarterly, Vol.33 No.1 (Mar.,1988) pp.82-100.
Alif, Gunawan (2006). :Pengaruh Persepsi Sosial terhadap Produk, Realitas
Sumbangan, pembingkaian pesan dan Minat berfikir terhadap respon
konsumen dalam penawaran Cause-Related Marketing. Disertasi Program
Studi Ilmu Manajemen, FE UI, 2006
Basamalah & Jermias (2005). Social and Environmental Reporting and Auditing in
Indonesia: Maintaining Organizational Legitimacy?. Gajah Mada International
journal of Business, January April 2005.
Burke and Logsdon (1996). How Corporate Social Responsibility pay Off.Long
Range Planning, Vol. 29 No. 4, pp. 495 502.

Bourgeois, III (1981). On the Measurement of Organizational Slack. The Academy


of Management Review, Vol. 6 No. 1 (Jan.,1981), pp. 29-39.
Carroll (1979). A three-Dimensional Consep Model of Corporate Performance.
The Academy of Management Review, Vol. 4, No. 4. (Oct., 1979), pp. 497-
505.
Cohran (2007). The evolution of corporate social responsibility. Business Horizon
(2007) 50, 449-454.
Fauzi et al., (2007). The Link Between Corporate Social Performance and Financial
Performance: Evideence from Indonesian Companies. Social and
Environmental Accounting, vol1, No. 1 June 2007.
Frederick, W. C (1978). From CSR1 to CSR2: The maturing of business and society
thought. University of Pittsburgh Graduate School of Business.
George (2005). Slack Resources and The Performance of Privately Held Firms.
Academy of Management Journal 2005
Hair & Anderson (2007). Multivariate Data Analysis, 6th Edition, Pearson
International Edition.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Istianingsih dan Wijanto, (2007). Analisa Keberhasilan Software Akuntansi Ditinjau


dari Persepsi Pemakai (Studi Implementasi Model Keberhasilan Sistem
Informasi). The first Accounting Conference.
Johnson (1966). Corporate philanthropy: An Analysis of Corporate Contribution.
The Journal of Business, Vol. 39, No. 4. (Oct., 1966), pp.489-504.
Matten & Crane (2005). Corporate Citizenship: Toward an extended theoretical
conceptualization. Academy of Management Review.
Mc.Guire et al (1988). Corporate Social Responsibility and Firm Financial
Performance. The Academy of Management Journal, Vol. 31 No. 4 (Decc.,
1988),pp 854-872.
Margolis & Walsh, (2001)/ People and Profit?. The search for a link between a
companys social and finacial performance.Lawrence Erlbaum Associates,
Marwah, New Jersey, London
Margiono, Ari (2006). Menuju Corporate Social Leadership. Suara Pembaruan, 11
May 2006.
Munandar, A. (2003) Pengaruh Market Beta, Size Perusahaan, Prospek
Perusahaan, Tingkat Financial Leverage, Proporsi Kepemilikan Investor
Asing dan Sektor Industri terhadap Imbal Hasil Saham Saham yang tercatat
di BEJ tahun 1997 2001. Tesis Pascasarjana Ilmu Manajemen FE UI.
Nachrowi, Nachrowi Djalal, dan Hardius Usman (2006). Pendedkatan Populer dan
Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Nachrowi, Nachrowi Djalal, dan Hardius Usman (2005). Penggunaan Teknik
Ekonometri: Pendekatan Populer dan Praktis Dilengkapi Teknik Analisis dan
Pengolahan Data dengan menggunakan Paket Program SPSS. PT Raja
Grafindo Persada.
Navaro, P. (1988). Why do corporation give to charity, journal of Business, 61, 65-
93
Nohria and Gulati (1996). Is Slack good or Bad for Innovation? The Academy of
Management Review, Vol. 39 No. 5 (Oct.,1996), pp. 1245-1264.
Palupi dan Hutagaol (2007). Analisa Hubungan Variabel Akuntansi Terhadap
Return dedngan Beta sebagai Variabel Intervenig (Studi Empiris dengan
menggunakan Structural Ecuation Model). The first Accounting Conference.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Prahalad & Hamel (1994). Strategy as a field of study: Why search for a new
paradigm?. Strategy Management Journal, 15, pp5-6.
Sasse & Trahan (2007). Rethinking the new corporate philanthropy Business
Horizon (2007) 50, 29-38.
Sayekti dan Wondabio (2007). Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning
Response Coeffisient (Suatu Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar
di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi X.
Sembiring (2003). Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan pada
Hutang, dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Simposium Nasional Akuntansi VI.
Seifert, Morris and Bartkus (2004). Having, Giving, and Getting: Slack resources,
Corporate philanthropy, and Firm Financial Perfromance. Business and
Society; Jun 2004.
Sharfman et al. (1988). Antecedents of Organizational Slack. The Academy of
Management Review, Vol. 13 No. 4 (Oct.,1988), pp. 601-604.
Useem (1988). Market and Institutional factors in corporate contribution. Califor nia
management review.
Waddock & Graves (1997). The Corporate Social Performance-Fiancial
Performance Link.Strategic Management Journal, Vol. 18, No. 4 (Apr.),pp
303-319.
Wijanto (2008). Structural Equation Modeeling dengan LISREL 8.8. Graha Ilmu
Williams and Siegel (2000). Corporate Social Responsibility and Finacial
Performance: Correlation or Misspecification?. Strategic Management
Journal, Vol. 21 No. 5, (May, 2000), pp.603-609.
Williams and Siegel (2001). Corporate Social Responsibility: A theory of the firm
perspective. The academy of management review, vol 26 No. 1 (Jan.,2001)
pp.117-127

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

LAMPIRAN :
1. Kelompok Industri:
Tabel 2.
Pengelompokkan Industri Perusahaan Sampel

NO KELOMPOK INDUSTRI Jumlah JUMLAH


masing2 PERUSAHAAN
kelompok
1. Non Jasa Keuangan: 51
Property 9
Retail Trade 7
Telecommunication & 7
Transport
Mining 6
Manufaktur 10
Others 12
2 Jasa keuangan : 20
Perbankan 9
LKBB 3
Securities 4
Asuransi 4
Jumlah perusahaan 71
sampel

Data

2. Uji Normalitas Data


Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan normal probability plot
dengan software SPSS 13.3 untuk kedua model terdapat pada gambar 2 & 3 di
bawah ini:

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Gambar 2
Scatter plot model persamaan 1:

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: CPH


1.0

Expected Cum Prob 0.8

0.6

0.4

0.2

0.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

Gambar 3
Scatter plot model persamaan 2

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: CAR


1.0

0.8
Expected Cum Prob

0.6

0.4

0.2

0.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3. Uji Asumsi Klasik


Dalam melakukan uji model regresi, harus memenuhi syarat BLUE (Best Linier
Unbiased Estimator), yaitu harus dilakukan uji multikoliniaritas, uji otokorelasi
dan uji heteroskedastis.
- Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variable bebas (independent). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variable
bebas. Hasil uji korelasi masing-masing varibel bebas dilihat dari nilai
Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4
Uji Multikolinieritas

Model Variabel Tolerance VIF


Persamaan Bebas
Model 1 SR 0,895 1,118
SIZE 0,944 1,059
DIFF 0,955 1,047
IND 0,901 1,110
Model 2 CPH 0,976 1,025
SIZE 0,931 1,074
RISK 0,979 1,021
DEBT 0,923 1,084

Hasil pengujian multikolinieritas model persamaan 1 dan 2 dapat dilihat


pada table 4, menunjukkan bahwa semua variabel bebas baik untuk
model 1 maupun model 2 mempunyai nilai VIF (Variance Inflation Factor
) lebih kecil dari 5 atau nilai tolerancenya mendekati angka 1. Dengan
demikian dapat disimpulkan, baik pada persamaan model 1 maupun 2,
tidak terdapat multikolinieritas yang berarti bahwa pada kedua model
persamaan tersebut tidak ada korelasi yang kuat antar variabel bebas.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

- Uji Heteroskedastisitas
Tabel 5
Uji Heteroskedastisitas
Model Probability Keterangan
Obs.R-Square
Persamaan 1 0.310138 >0.05 :
homoskedastis
Persamaan 2 0.854553 >0.05:
homoskedastis

Uji heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah menggunakan uji white


heteroskedasticity test dengan menggunakn software E-views yang
melihat angka probabilitas pada observasi di X dengan R2 harus lebih
besar dari 0,05. Pada table 5 dapat dilihat bahwa nilai R2 pada
persamaan 1 adalah sebesar 0,300583 dan R2 persamaan 2 nilai juga
lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,854553.
Dari hasil uji white heteoskedasticity menunjukkan bahwa pada kedua
model persamaan tersebut terjadi adanya ketidaksamaan variance dari
residual. Dengan demikian error bersifat homoskedattis.

Uji Autokorelasi
Tabel 6
Uji Autokorelasi

Model Nilai Durbin- Keterangan


Persamaan Watson (DW)
Model 1 1.839 Bagus
Model 2 1.686 Bagus

Uji autokorelasi yang paling sederhana dilakukan dengan menguji


apakah dalam sebuah model regresi terdapat hubungan serial antara
error pada observasi yang satu dengan error pada observasi yang
berikutnya. Model regresi yang terbaik adalah model regresi yang bebas

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 30


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dari autokorelasi, yakni bila angka Durbin Watson berada diantara -2


sampai +2 ( Santoso, 2001 ) dengan menggunakan SPSS 13. Hasil
dapat dilihat pada lampiran yang mana nilai DW atas persamaan model
peneiltian masing masing sebesar11.839 dan 1.686 yang berarti kedua
model persamaan penelitian tidak terdapat otokorelasi.
Dari hasil uji asumsi klasik tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
kedua model persamaan penelitian telah memenuhi uji asumsi klasik
sehingga dapat dikatakan BLUE dan dapat digunakan sebagai model
persamaan penelitian.

4. Hasil Pengujian Keseluruhan Model


Tabel 7
Uji kecocokan keseluruhan model.

Ukuran Target Hasil Tingkat


GOF Tingkat Estimasi Kecocokan
Kecocokan
Chi-Square Nilai yang X2 =6,25 Baik (Good
Df kecil 5 fit)
>0 Baik (Good fit
RMSEA RMSEA < 0.062 Baik (Good
P (close fit)- 0.08 fit)
keseluruhan P > 0.50 P= 0.28274
model Baik (Good
fit)

ECVI Nilai yang M = 1.07


lebih kecil dari I = 1.13 Baik (Good
Independence S = 1.12 fit)
dan lebih
dekat ke
Saturated
Model

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 31


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Ukuran Target Hasil Tingkat


GOF Tingkat Estimasi Kecocokan
Kecocokan
AIC Nilai yang M = 68.25 Baik (Good
lebih kecil dari I = 72.06 fit)
Independence S = 72.00
dan lebih
dekat ke
Saturated
Model
CFI CFI > 0.90 0.94 Baik (Good
fit)
GFI GFI > 0.90 Goodness of Baik. (Good
fit Index Fit)
(GFI)=0.98
IFI GFI > 0.90 Incremental Baik (Good
Fit Index (IFI) fit)
= 0.97

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV09- 32


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH KONSENTRASI KEPEMILIKAN, UKURAN PERUSAHAAN, DAN


MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN
SUKARELA1

Nuryaman
Universitas Widyatama, Bandung

Abstract
The background fenomena of this study is the fact that low of disclosure practice on
the financial reporting. The objectives of the research are to find out empirical
evidence of the effect of ownership concentration, firms size, and corporate
governance mechanisms on voluntary disclosure. The corporate governance
mecanisme of this research are composition of board of commissioner and audit
quality. Audit quality were measure by industry specialize audit firm. This study is
explanatory research. The target population was listed companies in the
manufacturing sector at the Jakarta Stock Exchange. The sample determined based
on purposive samping methode, andin conformity with the following criteria : (a) the
annual report ended 31 December 2005 ; (b) book value of equity is positive. There
were 101 companies meeting the criteria. The research hyphotesis were tested
using multiple regression analysis.The result of this research show that: (1)
ownership concentration had significantly positive influence on voluntary disclosure;
(2) firms size had significantly positive influence on voluntary disclosure; (3)
composition of board of commissioner had no influence on voluntary disclosure; (4)
audit quality wich measured by proxy industry specialize audit firm had significantly
positive influence on voluntary disclosure.

Keywords : ownerships concentration, firms size, corporate governance mechanisms,


voluntary disclosure.

1
Disajikan pada 2nd.Accounting Conference di Universitas Indonesia, November 2008.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. Pendahuluan
Informasi pada pelaporan keuangan sangat membantu investor dalam
pengambilan keputusan transaksi investasi di Pasar modal. Bagi pihak-pihak di luar
manajemen perusahaan, laporan keuangan merupakan media informasi untuk
mengetahui kondisi perusahaan. Sejauh mana informasi dapat diperoleh tergantung
pada sejauh mana keterbukaan informasi dan pengungkapan (disclosure) pada
pelaporan keuangan emiten.
Dalam Tahun 2004 sampai dengan Maret 2005, Bapepam mencatat ada 44
kasus pelanggaran pasar modal, 42% di antaranya adalah perusahaan manufaktur.
Dari 44 kasus pasar modal tersebut terdapat 26 kasus (60 %) menyangkut benturan
kepentingan, keterbukaan informasi dan penyajian laporan keuangan (Bapepam,
2005). Benturan kepentingan dan tidak diungkapkannya informasi penting akan
menyebabkan kerugian bagi fihak investor eksternal.
Hasil survey Pricewaterhouse and Coopers terhadap investor-investor
internasional di Asia, menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu yang
terendah dalam bidang standar pengungkapan dan transparansi, serta penerapan
auditing. Posisi Indonesia dibandingkan dengan negara Asia lainnya dan Australia
dalam hal praktik pengungkapan dalam laporan keuangan, Indonesia
dikelompokkan pada kelompok paling buruk bersama dengan Thailand, China dan
India (FCGI,2004).
Pengungkapan dalam laporan keuangan akan memberikan stimulus bagi
pertumbuhan ekonomi sebagai efek dari efisiensi pasar modal. Beberapa hasil riset
telah memberikan kesimpulan bahwa pengungkapan sukarela berguna untuk
mengurangi kesenjangan informasi antar para pelaku pasar modal, sehingga
investor percaya bahwa transaksi saham di pasar modal terjadi pada harga yang
wajar. Kepercayaan investor ini kemudian akan diikuti dengan peningkatan likuiditas
saham (Jiambalvo,1996), penurunan biaya modal (Botosan, 1997), dan pada
akhirnya menciptakan pasar modal yang efisien (Healy, 1999 dan Bailey, 2002).
Dalam sudut pandang teori keagenan, rendahnya pengugkapan informasi pada
pelaporan keuangan timbul sebagai dampak persoalan keagenan yaitu adanya
ketidak selarasan kepentingan antar pemilik dan manajemen (Beneish, 2001).
Menurut teori keagenan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan tata

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kelola perusahaan yang baik (good corporate governance=GCG). Corporate


Governance (CG) merupakan suatu mekanisme yang digunakan pemegang saham
dan kreditor perusahaan untuk mengendalikan tindakan manajer (Dallas, 2004).
Mekanisme tersebut dapat berupa mekanisme internal yaitu; struktur kepemilikan
yang salah satu aspeknya adalah konsentrasi kepemilikan saham, struktur dewan
komisaris yang salah satu aspeknya adalah komposisi Dewan Komisaris, dan
mekanisme eksternal yaitu; pengendalian oleh pasar, kepemilikan institusional, serta
audit oleh auditor eksternal (Babic 2001).
Pengungkapan informasi yang kurang memadai dapat merugikan pemegang
saham, dan informasi yang disajikan dapat menyebabkan keputusan investasi yang
salah, karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini
untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela, yang pada
penelitian terdahulu hasilnya belum konsisten. Faktor-faktor tersebut adalah
konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, dan mekanisme corporate
governance. Mekanisme corporate governance dalam hal ini adalah komposisi
Dewan komisaris dan kualitas audit oleh auditor eksternal dengan proksi spesialisasi
industri Kantor Akuntan Publik (KAP).
Zaki Baridwan et al 2001 (Utami 2005) meneliti praktik pengungkapan wajib
(mandatory) emiten di Bursa Efek Jakarta. Indek pengungkapan dari 100 sampel
laporan keuangan emiten tahun 2000 rata-rata adalah 96 %, artinya emiten telah
memenuhi pengungkapan 96 % dari 721 item yang wajib diungkapkan menurut
standar akuntansi dan peraturan Bapepam. Hasil penelitian tersebut menunjukan
praktek pengungkapan wajib sudah ditaati oleh emiten. Penelitian ini meneliti
pengungkapan sukarela, karena dipandang lebih relevan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam beberapa hal: (1)
penelitian ini menekankan pada konsentrasi kepemilikan oleh individu sebagai
mekanisme corporate governance. Beberapa penelitian terdahulu di Indonesia lebih
menekankan pengujian pada kepemilikan saham oleh kelompok tertentu sebagai
suatu mekanisme corporate governance; dan (2) Penelitian terdahulu di Indonesia
(Veronica 2005) menggunakan ukuran KAP sebagai proksi kualitas audit.
Penggunakan proksi ukuran KAP mendapat kritikan setelah merebaknya kasus
Enron yang melibatkan KAP besar.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Berdasarkan uraian yang di muka, maka secara spesifik dapat dirumuskan


masalah-masalah penelitian sebagai berikut : (1) Apakah konsentrasi kepemilikan
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela; (2) apakah ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela; (3) apakah komposisi dewan
komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela; dan (4) apakah kualitas
audit dengan proksi spesialisasi industri KAP berpengaruh terhadap pengungkapan
sukarela

2. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian


Kepemilikan terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim ditemukan di
negara dengan ekonomi sedang bertumbuh seperti Indonesia dan di negara-negara
continenal Europe. Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan
Amerika Serikat, struktur kepemilikan relatif sangat menyebar (La Porta dan Silanez,
1999). Kepemilikan saham dikatakan terkonsentrasi jika sebagian besar saham
dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok, sehingga pemegang saham
tersebut memiliki jumlah saham yang relatif dominan dibandingkan dengan lainnya.
(Dallas, 2004).
Konsentrasi kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan
manajemen, sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk
meningkatkan efektivitas monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar
menjadikan pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk
mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen (Hubert dan
Langhe, 2002).Jika ini dapat diwujudkan maka tindakan moral hazard manajemen
berupa menyembunyikan informasi dapat dikurangi.
Lakhal (2004) berpendapat konsentrasi kepemilikan saham dapat
mempengaruhi luas pengungkpan pada laporan keuangan. Menurutnya, pada
perusahaan yang kepemilikan sahamnya terkonsentrasi, fihak insider yaitu
pemegang saham pengendali kurang tertarik dengan pengungkapan sukarela,
karena mereka dapat mengakses langsung informasi tanpa melalui laporan
keuangan, sehingga konsentrasi kepemilikan saham diduga berhubungan negatif
dengan pengungkapan sukarela. Namun sebaliknya, Haniffa (2003) dan Mohd
(2005) menyatakan bahwa untuk mengurangi asimetri informasi maka pemegang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

saham pengendali akan meningkatkan pengungkapn informasi, untuk


menselaraskan kepentingan antar pemegang saham pengendali dengan pemegang
saham minoritas.
Peningkatan kepemilikan saham, akan berbanding lurus dengan cash flow
terhadap pemegang saham. Jika harga saham atau nilai perusahaan turun maka
pemegang saham pengandali yang paling banyak merasakan dampak kerugian dari
penurunan nilai perusahaan tersebut. Capital markets transactions hypothesis
(Healy dan palepu 2000) menghipotesiskan bahwa ketika manajemen/pemegang
saham pengendali perusahaan berada pada posisi superior information, maka akan
menimbulkan asimetri informasi antar pemegang saham pengendali/manajemen
dengan pemegang saham minoritas. Tingginya asimetri informasi akan
meningkatkan biaya modal, sehingga akan menurunkan harga saham perusahaan
tersebut, oleh karena itu pemegang saham pengendali harus menjaga kepentingan
pemengang saham minoritas dengan mendorong manajemen untuk meningkatkan
pengungkapan informasi guna mengurangi asimetri informasi.
Hipotesis penelitian kesatu :
Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap Pengungkapan sukarela.

Perusahaan yang berukuran besar memiliki basis pemegang kepentingan yang


lebih luas, sehingga berbagai kebijakan perusahaan besar akan berdampak lebih
besar terhadap kepentingan publik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Bagi
investor, kebijakan perusahaan akan berimplikasi terhadap prospek cash flow
dimasa yang akan datang. Sedangkan bagi regulator (pemerintah) akan berdampak
terhadap besarnya pajak yang akan diterima, serta efektifitas peran pemberian
perlindungan terhadap masyarakat secara umum.
Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi pengungkapan sukarela. Semakin
besar perusahaan akan menghadapai biaya politik yang tinggi, perusahaan besar
akan menghadapi tuntutan lebih besar dari para stakeholder untuk menyajikan
laporan keuangan yang lebih transparan. Penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian Marwata (2001), Haniffa and Cooke2(2002), dan Leung (2005). Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berhubungan positif
dengan pengungkapan sukarela. Halim, dkk (2005) meneliti hubungan ukuran

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan dengan pengungkapan sukarela, dengan sampel 37 perusahaan


kelompok LQ 45 data Tahun 2001. Hasilnya menyimpulkan ukuran perusahaan
memiliki hubungan positif yang lemah dengan pengungkapan sukarela.Dari segi
metodologi, sample penelitian Halim (2005) kurang representative.
Hipotesis penelitian kedua:
Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela.

Problem keagenan terjadi ketika timbul konflik antar tujuan pemilik (prinsipal)
dengan para direksi/top management sebagai agen. Para pemilik mengalami
kesulitan untuk memverifikasi apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh manajemen.
Konflik kepentingan tersebut dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme yang
mampu mensejajarkan kepentingan pemegang saham selaku pemilik dengan
kepentingan manajemen. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah good corporate
governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnisnya
(Tjager, 2003).
Corporate governance merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur
dan mengelola perusahaan dengan maksud untuk meningkatkan kemakmuran dan
akuntabilitas perusahaan, yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan shareholders
value. Pengendalian diarahkan pada pengawasan perilaku manajer, sehingga
tindakan yang dilakukan manajer dapat bermanfaat bagi perusahaan dan pemilik
(Monk dan Minow, 2001). Babic (2005) menyatakan bahwa sistem corporate
governance dapat berbeda tergantung atas bagaimana mekanisme pemilik
perusahaan mempengaruhi manajer. Secara umum mekanisme corporate
governance terdiri atas dua jenis yaitu: (1) The internal mechanisms of corporate
governance; dan (2) The external mechanismst of corporate governance.
Mekanisme internal adalah cara-cara pengendalian perusahaan dengan
menggunakan berbagai elemen yang ada di dalam organisasi misalnya komposisi
dewan komisaris. .Mekanisme eksternal adalah cara-cara mengendalikan
perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan
diantaranya menghadirkan para agen yang dikenal karena reputasinya (reputational
agent) dalam hal ini termasuk profesi akuntan (World Bank, 1999). Faktor

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

eksternal dimakusudkan untuk mendisiplinkan perilaku fihak insider agar lebih


transparan, akuntabel dalam mengelola korporasi.
Peranan dewan komisaris dapat dilihat dari karakteristik dewan, salah satunya
adalah komposisi keanggotaannya. Efektivitas fungsi pengawasan dewan tercermin
dari komposisinya, apakah pengangkatan anggota dewan berasal dari dalam
perusahaan dan/atau dari luar perusahaan. Komposisi keanggotaan dewan dalam
hal ini, semakin besar persentase anggota yang berasal dari luar perusahaan, akan
mejadikan peranan dewan komisaris semakin efektif dalam melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan, karena dianggap semakin
independen. Di Indonesia anggota dewan yang berasal dari luar perusahaan
digunakan terminologi komisaris ekstern atau independen.
Barnhart & Rosenstein 1998 membuktikan bahwa semakin tinggi perwakilan dari
outside director (komisaris independen) maka semakin tinggi independensi dan
efektivitas board of director dalam menjalankan perannya. Disamping itu, Komisarin
independen dapat berfungsi untuk menselaraskan kepentingan para pemegang
saham dalam rangka melindungi hak-hak pemegang saham minoritas. Penelitian
Willekens et al (2003), Lueng (2005), Cheng and Courteney (2004), dan Susilowati
et al (2005) memberikan simpulan bahwa komposisi dewan komisaris di perusahaan
dapat mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela pada laporan tahunan.

Hipotesis penelitian ketiga:


Komposisi anggota Dewan Komisaris berpengaruh ositif
terhadap pengungkapan sukarela.

Eksternal auditor dapat menjadi mekanisme pengendalian terhadap


manajemen. Sebagai reputational agent, akuntan melakukan audit atas laporan
keuangan, untuk memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan
yang disajikan manajemen, oleh karena itu dilihat dari sisi hubungan keagenan
maka eksternal auditor merupakan agen yang bekerja untuk kepentingan prinsipal.
IAI dalam pernyataan Standar Auditing (PSA No.4 tahun 1994) menyatakan
bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis cukup sebagai auditor. Dari penjelasan di muka nampak bahwa

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

agar akuntan eksternal berperan optimal maka harus memberikan jasa audit
berkualitas. Kualitas audit dapat dipenuhi jika, audit dilakukan oleh auditor kompeten
dan independen. Dengan demikian kompetensi dan independensi merupakan
dimensi dari kualitas audit. Chen et al (2005) mengembangkan dua dimensi kualitas
audit. Pertama, kualitas audit adalah audit yang dapat mendeteksi kesalahan
penyajian informasi keuangan. Kedua, salah saji yang material pada laporan
keuangan harus disajikan pada laporan audit.
Menurut Dunn and Mayhew (2004), kualitas audit dengan menggunakan proksi
spesialisasi industri KAP dapat mempengaruhi pengungkapan pada laporan
keuangan. Auditor spesialis industri dapat membantu perusahaan klien dalam
penyajian pengungkapan di luar yang dipersyaratkan oleh GAAP. Industry specialis
auditor yang memiliki pengetahuan dan keahlian industru tertentu dapat
dimanfaatkan secara cost effektive oleh klien untuk membantu klien dalam
mengembangkan strategi pengungkapan spesifik industri. Pemilihan auditor
spesialis juga merupakan sinyal (isyarat) terhadap investor, bahwa perusahaan
bermaksud menyajikan pengungkapan informasi berkualitas .Penelitian mereka
memberikan simpulan bahwa spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap
tingkat pengungkapan sukarela pada laporan tahunan perusahaan.

Hipotesis penelitian keempat :


Spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela.

3. Metodologi Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi sasaran penelitian ini adalah perusahaan publik sektor manufaktur
yang aktif selama Tahun 2005, yaitu sebanyak 137 perusahaan
(www.Bapepam.com). Dari Populasi tersebut sampel ditentukan yang memenuhi
empat kriteria sebagai berikut: (1) Emiten mempunyai Tahun buku yang berakhir 31
Desember 2005; (2) Emiten mempunyai nilai ekuitas positif untuk 2005; (3)
Tersedia Laporan keuangan tahunan emiten 2005 di BEJ; dan (4) Terdapat minimal
30 perusahaan dalam setiap kelompok industri manufaktur.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.2. Definisi dan Operasionalisasi Variabel Penelitian


1) Konsentrasi Kepemilikan Saham
Kepemilikan saham terkonsentasi (KS) adalah suatu kondisi di mana sebagian
besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu/kelompok, sehingga individu atau
kelompok tersebut memiliki jumlah saham relatif dominan dibandingkan dengan
pemegang saham lainnya. Konsentrasi kepemilikan saham pada penelitian ini
diproksi dengan jumlah kepemilikan terbesar oleh individu.

2) Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan (LOG PNJ) adalah besar kecilnya perusahaan. Pada
penelitian ini ukuran perusahaan menggunakan nilai log total penjualan perusahaan
pada akhir tahun. Penggunaan nilai log penjualan dimaksudkan untuk menghindari
problem data natural yang tidak berdistribusi normal (Chen, 2005)

3) Komposisi Dewan Komisaris


Komposisi Dewan Komisaris (BOD) adalah susunan keanggotaan yang terdiri
dari komisaris dari luar perusahaan (komisaris independen) dan komisaris dari
dalam perusahaan. Variabel ini dihitung dengan membagi jumlah komisaris
independen terhadap jumlah total anggota komisaris.

4) Spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP)


Spesialisasi industri KAP (AUDIT) menggambarkan keahlian dan pengalaman
audit KAP pada bidang industri tertentu, yang diproksi dengan konsentrasi jasa
audit KAP pada bidang industri tertentu. Spesialisasi industri KAP pada penelitian ini
adalah KAPi yang memiliki volume klien minimal 15 % dari jumlah klien pada
kelompok industri tertentu (Craswell, 1995; Mayangsari, 2003; dan Chen, 2005b).
Pengukuran variabel ini yaitu beri nilai 1 jika perusahaan diaudit oleh KAP spesialis,
dan 0 jika lainnya (variabel dummy). Berdasarkan definisi Craswell (1995) industri
manufaktur di BEJ (BEI) terklasifikasi dalam tiga kelompok yaitu industri: (1) dasar
dan kimia; (2) aneka industri; dan (3) barang konsumsi. Kemudian pada masing-
masing kelompok tersebut, suatu KAP akan ditetapkan sebagai KAP spesialis jika

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

KAP tersebut memiliki klien minimal 15% dari jumlah klien perusahaan pada
masing-masing kelompok industri manufaktur.

5) Pengungkapan Sukarela

Pelaporan keuangan (Financial reporting) lebih luas dari laporan keuangan.


Pelaporan keuangan meliputi laporan keuangan dan berbagai informasi
tambahannya. Financial reporting meliputi laporan keuangan itu sendiri ditambah
berbagai suplemennya dalam berbagai bentuk agar dapat memberikan gambaran
keuangan dan operasi perusahaan secara memadai untuk kepentingan pemakai
laporan keuangan.
Dalam SFAC No.5 dijelaskan bahwa financial reporting mencakup: (1) Basic
financial statement; (2) supplementary information; dan (3) Other means of financial
reporting. Basic Financial Statement meliputi: (1) Statement of financial position; (2)
Statement of earnings and comprehensive income; (3) Statement of cash flow; (4)
statement of invesment by and distributions to owners; dan (5) Notes to Financial
Statement. Basic financial statement inilah yang harus taat pada standar akuntansi
dan merupakan laporan yang diaudit.
Manajemen perusahaan bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian
laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang lengkap menurut
pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK no.1, par.7) terdiri dari komponen-
komponen: (a) neraca; (b) laporan laba-rugi; (c) laporan perubahan ekuitas; (d)
laporan arus kas; dan (e) catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan harus
menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas,
dan arus kas perusahaan dengan menerapkan PSAK secara benar disertai
pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam catatan atas laporan keuangan.
Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar
walaupun pengungkapan tersebut tidak diharuskan oleh standar akuntansi (PSAK
no.1 par.10)
Selain catatan atas laporan keuangan, perusahaan juga dianjurkan untuk
memberikan informasi tambahan. Informasi tambahan yang dianjurkan meliputi: (1)
telaah keuangan yang menjelaskan karakteristik utama yang mempengaruhi kinerja

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan; (2) posisi keuangan perusahaan; (3) kondisi ketidakpastian; (4) laporan
mengenai lingkungan hidup; dan (5) laporan nilai tambah (PSAK no.1 par,8,9).
Dari sumber PSAK tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Catatan atas laporan keuangan adalah merupakan pengungkapan yang
diharuskan oleh standar akuntansi.
2. Informasi lain (informasi tambahan) adalah merupakan pengungkapan yang
dianjurkan (tidak diharuskan) dan diperlukan dalam rangka memberikan
penyajian yang wajar dan relevan dengan kebutuhn pemakai.
Dengan demikian, informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) pengungkapan wajib (mandatory
disclosure) adalah pengungkapan informasi yang diharuskan menurut ketentuan
yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam; (2)
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang melebihi
dari yang diwajibkan. Diluar yang diharuskan oleh peraturan adalah merupakan
pengungkapan sukarela manajemen.
Pengungkapan sukarela menurut Choi (1999) praktik pengungkapan yang tidak
diharuskan oleh standar akuntansi dan regulasi adalah pengungkapan sukarela
(voluntary disclosure). Praktik pengungkapan sukarela dari studi komparatif
beberapa negara dapat meliputi (Choi 1994,1999) :
1. Disclosure of forward-looking information, hal ini mencakup :
a.Forecasts of revenue, income, eps, capital, expenditure and other
financial item
b.Prospective information about future economic performance or position
that is less definite than forecast in terms in projected item, fiscal periode,
and projected amount.
c. Statement of managements plans and objective for future operations
2. Social responsibility disclosure
3. Special disclosure for non domestic financial statement users
4. Employee disclosure
5. Value added disclosure
6. Enviromental concern

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PSAK dan SFAC secara implisit menyebutkan bahwa kualitas pengungkapan


terkait dengan relevansi infomasi yang diungkapkan untuk menghasilkan penyajian
yang wajar. Kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan dikenal
dengan berbagai konsep antara lain kecukupan (adequty), kelengkapan
(compleetness), informatip (informativeness) dan tepat waktu (time lines) (Marwata,
2001).
Imhoff (1992) menunjuk pada tingkat kelengkapan (completeness) sebagai
karakteristik kualitas pengungkapan. Indikator empirisnya berupa indek
pengungkapan (disclosure index) yang merupakan rasio antara jumlah elemen
(item) informasi yang dipenuhi dengan jumlah elemen informasi yang mungkin
dipenuhi. Makin tinggi indeks pengungkapan, makin tinggi kualitas pengungkapan.
Penelitian ini dibatasi pada upaya untuk melihat tingkat kelengkapan
pengungkapan sukarela perusahaan publik sektor manufaktur di Indonesia, sebagai
salah satu dimensi kualitas pengungkapan. Penelitin ini tidak mengukur
kejelasan/kerincian pengungkapan, serta ketepatan waktu pengungkapan.
Instrumen pengukuran pengungkapan sukarela dalam penelitian ini dirancang
dengan mengacu pada peraturan Bapepam Nomor.VIII G.2 /1996, tentang
penyampaian laporan tahunan yang akan dimodifikasi dengan instrumen dari: (1)
penilaian laporan tahuan perusahaan publik (annual report award) dari Bapepam
(2005); (2) Khomsiyah dan Utami (2005); (3) Botosan (1997); (4) Chau and Gray
(2002); serta (5) Suripto dan Baridwan (1999).
Dalam penelitian ini kelengkapan pengungkapan diukur dengan item
pengungkapan tanpa memberikan pembobotan. Pemakaian pendekatan tersebut
didasarkan pada dua alasan : (1) laporan tahunan didasarkan untuk tujuan umum,
sehingga terdapat kemungkinan suatu item informasi penting untuk fihak tertentu
tetapi tidak penting untuk fihak lain; dan (2) untuk menghindari subyektivitas
pemberian bobot kepada masing-masing item pertanyaan pada instrumen
pengungkapan.
Perhitungan indeks kelengkapan pengungkapan sukarela (IKPS) dilakukan
dengan memberi skor untuk setiap item pengungkapan secara dikotomis. Jika suatu
item diungkapkan diberi skor 1, dan jika tidak diungkapkan mendapat nilai 0. Skor

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang diperoleh setiap perusahaan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total. IKPS
dihitung sebagai berikut :
Q
IKPS = --------- x 100 %
S

Keterangan :
IKPS = Indek kelengkapan pengungkapan sukarela
Q = Item kelengkapan pengungkapan sukarela yang disajikan dalam laporan
tahunan
S= Semua item kelengkapan pengungkpan sukarela yang diharapkan, terdapat
pada instrumen.
Data pengungkapan sukarela dapat diperoleh dari laporan tahunan perusahaan.

3.3. Metode Pengumpulan Data


Data-data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data kuantitatif yang
diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal di BEI, berupa laporan keuangan dan
laporan tahunan 2005 perusahaan industri sektor manufaktur yang tersedia.

3.4. Rancangan Model Analisis.


Rancangan model analisis menggunakan regresi berganda sebagai berikut :

PSi = a + d1 KS + d2 LOG PNJ i + d3 BOD i + d4 AUDIT i + 2.i


Di mana :
PS = Indeks pengungkapan sukarela
a = Konstanta
d1,2,3,4 = Koefisien variabel ke 1 sampai dengan 4
KS = Persentase kepemilikan saham terbesar dari total saham beredar
LOG PNJ = Log total penjualan, yaitu proksi dari ukuran perusahaan
BOD = Proporsi komisaris independen dari total anggota dewan
komisaris

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

AUDIT = Dummy variabel, 1 untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP


spesialis, yaitu KAPi yang memiliki pangsa pasar minimal 15% klien
perusahaan dari jumlah klien pada kelompok industri tertentu, dan 0
jika lainnya.
2.it = residual of error
it = perusahaan ke i

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Statistik Deskriptif


Seperti disajikan pada Tabel 1, sampel penelitian ini berjumlah 101 perusahaan
atau 73,7 % dari 137 emiten manufaktur populasi target penelitin ini. Jumlah ini
ditentukan sesuai dengan laporan tahunan yang berhasil diperoleh penulis, serta
memenuhi kriteria sampel seperti yang ditetapkan

Tabel 1. :Presentase Perusahaan Sampel Menurut Jenis Industri


No. Kelompok & Sub Industri Jumlah Jumlah Persentase
Manufaktur Perusahaan Sampel Sampel
Kel. Industri Dasar dan
Kimia
1. Semen 3 2 66, 70
2. Keramik dan Porselin 5 4 80
3. Logam dan Sejenisnya 10 9 90
4. Kimia 10 10 100
5. Plastik dan kemasan 11 8 72,73
6. Pakan ternak 4 3 75
7. Kayu & pengolahannya 5 4 80
8. Pulp & kertas 5 3 60
Kel. Aneka Industri
9. Otomotif & komponennya 15 11 80

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

No. Kelompok & Sub Industri Jumlah Jumlah Persentase


Manufaktur Perusahaan Sampel Sampel
10. Tekstil dan garmen 21 9 42,86
11. Alas kaki 3 1 33,33
12. Kabel 6 4 66,67
Kel. Barang Konsumsi
13. Makanan & minuman 17 14 82,35
14. Rokok 4 3 75
15. Farmasi 10 8 80
16. Kosmetik dan Keperluan 3 3 100
rumah tangga
17. Peralatan rumah tangga 5 5 100
Jumlah Total 137 101 73,7 %

Pada Tabel 2 terlihat bahwa konsentrasi kepemilikan saham di industri


manufaktur relatif tinggi. Rata-rata konsentrasi kepemilikan saham sebesar 50,11 %,
dengan standar deviasi 23,03 %. Statistik deskriptif ukuran perusahaan menunjukan
log total penjualan sangat variatif dengan rata-rata 5,79 dengan standar deviasi
0,61. Rata-rata komposisi dewan komisaris (BOD) sebesar 35,88 % dengan
standar deviasi 11,34 %. komposisi minimun 0 % dan komposisi maksimum 66,66
%. Penelitian Budiwijaksono (2005) melaporkan rata-rata komposisi dewan
komisaris pada Tahun 2001 dan 2002 masing-masing 35,03 % dan 37,35 %. Jika
komposisi tersebut diperbandingkan, nampak komposisi dewan komisaris pada
emiten industri manufatur tidak mengalami perubahan signifikan. Pengungkapan
sukarela (PS) menunjukkan bahwa rata-rata pengungkapan hanya 43,70 %, artinya
pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan hanya berkisar 43,70 % dari
seluruh total item pengungkapan yang diharapkan.
Tabel 2: Statsistik deskriptif Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan,
Komposisi Dewan Komisaris.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Descriptive Statistics

Minimu Maximu Std.


N m m Mean Deviation
KS 101 3.14 99.50 50.1070 23.02721
LOG.PNJ 101 4.25 7.79 5.7913 .61267
BOD 101 .00 66.66 35.8843 11.34982
PS 101 20.00 78.00 43.7079 12.88706
Valid N
101
(listwise)

Tabel 3 menunjukkan terdapat 75 perusahaan (74,3%) diaudit oleh KAP non


spesialis (dummy,audit=0), dan 26 perusahaan (25,7%) diaudit oleh KAP spesialis
(dummy,audit=1).
Tabel 3: Statistik Deskriptif Spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik.
Firm
Frequen Cumulat
cy Perce Valid ive
nt Percent Percent
Non
Spesiali 75 73.5 74.3 74.3
s KAP
Spesiali
26 25.5 25.7 100.0
s KAP
Total 101 99.0 100.0
Missin System
1 1.0
g
Total 102 100.0

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4.2. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan


Analisis regresi digunakan untuk menguji hubungan pengaruh konsentrasi
kepemilikan, ukuran perusahaan, dan mekanisme corporate governance terhadap
pengungkapan sukarela. Berdasarkan pengujian data terhadap ketiga kaedah yang
mendasari asumsi klasik diperoleh hasil sebagai berikut : (a) Model analisis
tersebut tidak terjadi multikolinieritas, memiliki nilai variance inflation factor (VIF)
kurang dari 10 (VIF<10); (b) Uji heteroskedatisitas menggunakan uji Glejser
(Gujarati, 2003). Seluruh koefisien regresi variabel independen disimpulkan tidak
terjadi heteroskedastisitas, karena koefisien regresi variable bebas terhadap nilai
obsolut disturbance error tidak signifian (nilai SIG>0,05); (c) selanjutnya uji
normalitas menggunakan uji kolmogorov-Smirnov. Pada bagian uji normalitas
disimpulkan bahwa data penelitian relatif berdistribusi normal.
Tabel berikut menyajikan ringkasan hasil regresi persamaan
Tabel 4
Ringkasan Hasil Regresi Variabel Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran perusahaan,
Komposisi Dewan Komisaris, dan Spesialisasi Industri KAP terhadap
Pengungkapan Sukarela
Keterangan Variabel dependen pengungkapan sukarela
Variabel Unstandardized Standardized Signifikansi
independen Coefficients Coefficient
Konsentrasi 0,084 0, 150 0,095
Kepemilikan
(KS)

Ukuran 9.610 0, 457 0,000


Perusahaan
(LOG PNJ)

Komposisi 0,055 0,048 0,594


dewan
komisaris

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(BOD)

Var. dummy 5, 695 0, 194 0,031


Spesialisasi
industri
KAP
(AUDIT)

Adjusted R sequare = 0,227


F = 6,868
F.test signifikansi = 0,000
Koefisien korelasi KS dengan PS= 0,166.

1) Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Sukarela


Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa koefisien regresi variabel konsentrasi
kepemilikan adalah 0,084 dengan tingkat signifikansi 0,095. Koefisien tersebut
bertanda plus menunjukkan arah hubungan positif, sesuai dengan teori yang
dihipotesiskan. Jika memperhatikan tingkat signifikansi berarti konsentrasi
kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela, pada tingkat
signifikansi 0,1. Dengan demikian hipotesis kesatu yang menyatakan bahwa
konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela
diterima. Hal ini berarti bahwa semakin besar kepemilikan saham oleh pemegang
saham mayoritas (terbesar) maka semakin meningkat pengungkapan sukarela pada
pelaporan keuangan emiten.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa koefisien regresi konsentrasi
kepemilikan adalah 0,084 koefisien korelasi 0,166. Meskipun secara statistik
signifikan pada 0,1 namun demikian konsentrasi kepemilikan hanya mampu
menjelaskan secara langsung 2,75% variasi pengungkapan sukarela, sisanya
dijelaskan oleh faktor lain. Beberapa alasan yang dapat digunakan mengapa
pemegang saham mayoritas tidak terlalu tertarik terhadap pengungkapan informasi
pada pelaporan keuangan adalah sebagai berikut: (1) Pemegang saham pengendali
tidak terlalu tertarik dengan pengungkapan pada pelaporan keuangan, karena
Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

mereka dapat mengakses informasi yang diperlukan secara langsung ke


perusahaan tanpa melalui laporan keuangan dan laporan tahunan; dan (2) sebagai
strategi dalam persaingan, beberapa informasi penting sengaja ditahan oleh
manajemen dan atau pemegang saham mayoritas untuk menghindari
dimanfaatkannya informasi tersebut oleh para pesaing perusahaan.

2) Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Pengungkapan Sukarela


Sebagaimana tersaji pada Tabel 4 koefisien regresi ukuran perusahaan
menunjukkan sebesar 9,610 dengan tingkat signifikansi 0,000. Dengan
memperhatikan tingkat signifikansi, maka ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
pengungkapan sukarela pada tingkat signifikansi 0,01. Koefisien bertanda positif
menunjukkan semakin besar ukuran perusahaan, maka pengungkapan sukarela
semakin meningkat. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela diterima.
Hal bermakna bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin meningkat
pengungkapan sukarela. Hasil temuan penelitian ini konsisten dengan Marwata
(2001), Haniffa dan Cooke (2002), serta Leung et al (2005) yang menyatakan bahwa
ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan pengungkapan sukarela.
Tetapi hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Halim dkk. (2005). Hasil
penelitian Halim di BEI menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan memiliki
hubungan positif yang lemah dengan pengungkapan sukarela.

3) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan Sukarela


Sebagaimana disajikan pada Tabel 4 koefisien regresi komposisi Dewan
Komisaris menunjukkan sebesar 0,055 dengan tingkat signifikansi 0,594. Koefisien
regresi bertanda plus, menunjukkan variabel komposisi dewan komisaris
mempunyai hubungan positif dengan pengungkapan sukarela, sesuai dengan teori.
Namun jika memperhatikan tingkat signifikansi berarti komposisi dewan komisaris
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Dengan demikian hipotesis ketiga
yang menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
pengungkapan sukarela ditolak.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hasil penelitian yang menunjukkan lemahnya hubungan komposisi dewan


komisaris dengan pengungkapan sukarela dapat disebabkan oleh: (1) Rendahnya
komposisi dewan komisaris, data statistik menunjukan rata-rata komposisi dewan
sebesar 35,80 %.; dan (2) Masih banyak emiten menempatkan komisaris
independen yang tidak memiliki kompetensi pada bidang akuntansi dan atau
keuangan. Dari 46 emiten yang melaporkan latar belakang komisaris independen,
terdapat 43,40 % emiten menempatkan komisaris independen yang tidak memiliki
kompetensi pada bidang akuntansi dan atau keuangan.

4) Pengaruh Kualitas Audit dengan Proksi Spesialisasi Industri KAP


terhadap Pengungkapan Sukarela.
Sebagaimana tersaji pada Tabel 4 menunjukkan bahwa spesialisasi industri
KAP berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, sesuai dengan teori.
Jika memperhatikan tingkat signifikansinya berarti spesialisasi industri KAP
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela pada tingkat signifikansi 0,05.
Dengan demikian hipotesis keempat yang menyatakan bahwa kualitas audit
dengan proksi spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap
pengungkapan sukarela diterima. Hal ini berarti bahwa penggunaan KAP
spesialisasi industri pada audit keuangan perusahaan dapat meningkatkan
pengungkapan sukarela. Hal ini mengindikasikan bahwa : (a) pengalaman serta
pengetahuan KAP spesialis tentang industri dan kebijakan penyajian pelaporan
keuangan perusahaan industri, telah dimanfaatkan oleh klien dalam rangka
pengembangan kebijakan pengungkapan di perusahaannya; (b) dalam rangka
menjaga reputasi, menghindari litigasi, dan kegagalan audit, KAP spesialis
mendorong kliennya untuk memberikan pengungkapan tambahan.
Berdasarkan review terhadap penelitian sebelumnya, hasil temuan penelitian
ini mendukung hasil penelitian Dunn dan Mayhew (2004), serta Schauer (2004),
yang menyatakan bahwa spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap
pengungkapan sukarela. Temuan penelitian di BEI ini tidak mendukung hasil
penelitian Peters et al (2005) yang menyimpulkan spesialisasi industri KAP tidak
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitin Peter et al (2005),


disebabkan oleh perbedaan dalam pengukuran pengungkapan sukarela. Peters
dalam penelitiannya menggunakan instrumen untuk mengukur praktik
pengungkapan tentang produk dan turunannya (derifative product) dengan berbagai
aspeknya, di antaranya pengungkapan atas; pengelompokan produk derifatif,
pengaruh fluktuasi harga produk derifatif, laba atau rugi derifatif, nilai produk
derifatif, dan sebagainya. Dengan demikian, instrumen penelitian Peter tidak cocok
apabila digunakan untuk mengukur praktik pengungkapan sukarela pada pelaporan
keuangan. Sedangkan instrumen pengungkapan pada penelitian ini adalah
instrumen untuk mengukur praktik pengungkapan secara umum pada pelaporan
keuangan. Jika dilihat dari tujuan pelaporan keuangan yaitu menyampaikan
informasi yang relevan untuk memenuhi kebutuhan informasi semua fihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan, maka instrumen pengungkapan yang
digunakan pada penelitian ini lebih valid bila dibandingkan dengan instrumen
penelitian Peters (2005), sebab instrumen yang dikembangkan pada penelitian ini
dimaksudkan untuk mengukur berbagai aspek informasi yang selayaknya
diungkapan pada pelaporan keuangan.

5. Kesimpulan dan Saran


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1) Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela.
Ini bermakna semakin terkonsentrasi kepemilikan saham semakin tinggi
pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan. Dalam rangka
pengendalian kebijakan pengungkapan informasi pada pelaporan keuangan,
hasil penelitian ini membuktikan bahwa konsentrasi kepemilikan dapat menjadi
mekanisme corporate governance di perusahaan.
2) Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Ini
bermakna, semakin besar ukuran perusahaan maka pengungkapan sukarela
pada pelaporan keuangan semakin meningkat. Ini mengindikasikan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan (besar) yang banyak disorot oleh publik dan analis pasar modal
akan memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil.
3) Komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
sukarela. Komposisi dewan komisaris menunjukkan arah hubungan positif
dengan pengungkapan sukarela tetapi tidak signifikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh: (a) rendahnya komposisi dewan komisaris, data statistik
menunjukkan rata-rata komposisi dewan komisaris 35,80%,dan (b) masih
banyak komisaris independen perusahaan yang belum memiliki kompetensi
pada bidang akuntansi dan atau keuangan.
4) Kualitas audit dengan proksi spesialisasi industri Kantor Akuntan Publik (KAP)
berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Ini bermakna bahwa
kualitas audit dapat meningkatkan pengungkapan sukarela pada pelaporan
keuangan perusahaan.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan kesimpulan, maka diajukan saran-
saran untuk kepentingan pengembangan ilmu dan operasional.

5.2.1 Untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu


1) Variabel konsentrasi kepemilikan pada penelitian ini menggunakan ukuran
kepemilikan saham mayoritas pada individu. Dalam kenyataannya dapat terjadi
manajemen dikendalikan oleh sekelompok pemegang saham pengendali secara
kolektif. Untuk itu, peneliti berikutnya perlu mencoba menggunakan proksi
konsentrasi kepemilikan oleh kelompok tertentu misal kepemilikan oleh keluarga,
atau kepemilikan oleh kelompok bisnis.
2) Peneliti yang akan datang disarankan menganalisis karakteristik lain komisarin
independen selain karakteristik komposisi dewan, diantaranya kompetensi
dewan komisaris.
3) Rendahnya pengungkapan sukarela oleh emiten di pasar modal rata-rata
43,70% tentu akan memberikan dampak yang kurang baik untuk perkembangan
pasar modal di Indonesia. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan tentang faktor-

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

faktor yang mempengaruhi kesediaan emiten untuk memberikan pengungkapan


pada pelapora keuangan.
4) Pengukuran variabel pengungkapan sukarela dalam penelitian ini tidak
mempertimbangkan bobot relevansi item pengungkapan. Jika item-item
pengungkapan diberi bobot relevansi berdasarkan prosedur tertentu, mungkin
akan memberikan hasil pengukuran pengungkapan sukarela yang berbeda,
serta hasil penelitian yang berbeda. Untuk itu, peneliti yang akan datang
disarankan memberikan bobot relevansi terhadap item pengungkapan sukarela.

5.2.2 Untuk Kepentingan Operasional


Saran yang diajukan untuk kepentingan operasional adalah sebagai berikut :
1) Bagi perusahaan disarankan untuk meningkatkan transparansi informasi dengan
lebih meningkatkan pengungkapan pada pelaporan keuangan.
2) Konsentrasi kepemilikan saham oleh pemegang saham mayoritas dapat
dijadikan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan informasi
pada pelaporan keuangan.
3) Untuk mendukung efektivitas pengendalian terhadap proses penyusunan laporan
keuangan diperlukan suatu dewan komisaris yang memiliki karakteristik
independen, kompeten dalam bidang akuntansi dan atau keuangan, serta
kredibel baik secara individu maupun secara institusi.
4) Hasil penelitian yang menunjukkan terdapat pengaruh positif dan signifikan
kualitas audit yang diproksi dengan spesialisasi industri KAP terhadap
pengugkapan sukarela, memberikan bukti empirik terhadap para praktisi,
perusahaan dan regulator bahwa audit yang berkualitas dapat dijadikan model
mekanisme corporate governance terhadap praktik pengungkapan pada
pelaporan keuangan.
5) Badan regulasi pasar modal dalam hal ini Bapepam, atau lembaga terkait lainnya
harus lebih pro aktif menciptakan kondisi, situasi bisnis yang lebih kondusif.
Misalnya memberikan sanksi tegas terhadap emiten yang terbukti melakukan
pelanggaran pasar modal dengan sengaja menyembunyikan informasi penting
yang dapat merugikan investor, atau dengan sengaja melakukan manajemen
laba.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Daftar Pustaka

Babic, Verica. 2005. Corporate Governance Problem in Trasition Economies.


Ekonomist, Vol.33, No.2,pp. 133-143

Badan Pengawas Pasar Modal.1996. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar


Modal nomor Kep-38/PM/1996 tentang Laporan Tahunan.

__________2002. Pedoman penyajian dan pengungkapan Laporan Keuangan


Emiten atau Perusahaan Publik Industri Manufaktur

__________ 2005. Laporan Tahunan 2004, Anunual Report. Bapepam,


www.Bapepam.com

__________ 2006. Kriteria Penilaian Annual Report Award 2006,


http://www.bapepam.go.id/profil/news/2006_maret/ara_2006.htm

Bailey, B, et al , et al. The Economic Consequences of Increased Disclosure:


Evidence from International Cross Listing. Working Paper. Cornel University . at
al wbb @ cornel.edu

Barnhart, Scott and Rosentein, Stuar.1998. Board Composition ,Managerial


Ownership, and Firm Performance : An Empirical Analysis.The Financial
Review . November 1998 : 33,4

Beneish, M.D. 2001. Earnings Management. A Perspective Management Finance,


vol.27. Number 12.

Botosan ,C. 1997. Disclosure Level and The Cost of Equity Capital. The Accounting
ReviewVol 72, No.3,July: 323-349.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Chau, Gerald K. and Sidney J.Gray. 2002. Ownership Structure and Corporate
Voluntary Disclosure in Hongkong and Singapore. The International journal of
accounting 37 p 247-267.

Chen, Gongmeng, Michael Firth, Daniel N.Gao and Oliver M.Rui. 2005. Ownership
structure, Corporate Governance, and Fraud: Evidence from China. Journal of
Corporate finance , XX (2005) , XXX-XXX

Chen, Key,Y, Kuen Lin Lin, Jian Zhou. 2005. Audit Quality and Earnings
Management for Taiwan IPO Firms. Managerial Auditing Journal, Vol
20.1.pp.86-104.

Cheng, Eugene C.M. and Stephen M.C. 2004. Board Composition, Regulatory
Regime and Voluntary Disclosure. Working paper research projects. Nanyang
Technological Univercity.
http://www.business.Utuc.edu/ciera/conference

Choi, Frederik, D.S. 1992. International Accounting, Second Ed. Prentice


Hall.Inc.New Jersey.

Craswell, Allen T., Jere R. Francis dan Stephen L. Taylor. 1995. Auditor Brand
Name and Reputations and Industry Specialization. Journal of Accounting and
Economics (20). 297-322.

Dallas, George .2004. Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors,
Managers, Directors and Stakeholders, p.21. Standard and Poor. Governance
Services, MC. Graw Hill. New York

Dunn, Kimberly A and Mayhew, Brian W. 2004. Audit Firm Industry Specialization
and Client Disclosure Quality. Review of Accounting Studies, Vol. 9, pp 35-
58. Kluwer Academic Publishers. Manufactured in The Netherlands.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Financial Accounting Standards Boards.1983. Accounting Standards; Statement of


Financial Accounting Concept 1-6,McGraw-Hill Book Company.USA.

_______1997. Statement of Financial Accounting Concepts Nomor 1 :Objevtives of


Financial Reporting by Business Enterprises. Stanford
Connecticut.November.

Fitriany, 2001. Signifikansi perbedaan tingkat kelengkapan pengungkapan wajib dan


sukarela pada Laporan keuangan perusahaan public yang terdaftar di Bursa
Efek Jakarta, SNA IV Bandung)

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). 2004. Seri Tata Kelola
Perusahaan (Corporate Governance), Jilid 1, edisi 3, Jakarta

_______ 2006. Peran Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan
Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). www.fcgi.or.id

Hair,JR., Joseph, Rolph E.Anderson, Ronald L.Tatham, William G.Black.


Multivariate Data Analysis. Fourt Edition.1995. Prentice Hall International, Inc.
United stated of America.

Halim, Julia, Carmel Meiden, Rudolf Lumban Tobing. 2005. Pengaruh Manajemen
Laba pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan
Manufaktur yang termasuk pada LQ-45. SNA VIII Solo. Ikatan Akuntan
Indonesia.

Haniffa, R.M and T.E. Cooke, 2002, Culture, Corporate Governance and Disclosure
in Malaysian Corporation. ABACUS, Vol. 38. No 3, 2002.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Healy,P.M and Krisnan,G. Palepu. 2001. Information asymmetry, Corporate


Disclosure, and Capital Market. A Review of Empirical Disclosure literature.
Journal of Accounting and Economic 31. p.405-440

Hubert Ooghe and Tine De Langhe, 2002. The Anglo-American Versus the
Continental European Corporate Governance Model: Empirical Evidence of
Board Composition in Belgium. European Business Review, volume 14-number
6-2002-pp.437-449.

Jiambalvo,James.1996. Causes and Consequences of earning Manipulation : An


Analysis of Firms Subject to Enforcement Action by the SEC. Contemporary
Accounting Research Vol 13 No.1,p.37-47.

La Porta R,.F. and Lopez-de Silanes. 1999. Corporate Ownership around the word.
Journal of Finance 54, 471-518.

Lakhal, Faten. 2004. Voluntary Earnings Disclosure and Corporate Governance:


Evidance from France, working paper, Institute de Recherche en Gestion and
ESA Universite Paris XII, faten_lakhal@yahoo.fr

Lueng ,C.,Stephen et al .2005. Determinants of Corporate Disclosure and


Transparency: Evidance from Hong Kong and Thailand. City University of Hong
Kong. Piman.limpaphayom@sasin.edu

Marwata. 2001. Hubungan Karakteristik Perusahaan dan Kualitis Ungkapan


Sukarela dalam Laporan Tahunan Prusahaan Publik di Indonesia, Simposium
Nasional Akuntansi IV. Ikatan Akuntan Indonesia.

Mayangsari, Sekar. 2003. Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta


Mekanisme Corporate Governance terhadap Integritas Laporan Keuangan.
Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Mohd,N.,Norita and Shamsul Nahar Abdullah. 2005. Voluntary Disclosure and


Corporate Governance among Financially Distresses Firms in Malaysia.
Monash University Malaysia
norita.nasir@buseco.monash.edu.my, snahar@uum.edu.my

Monks, R.A.G and N.Minow. 2001. Corporate Governance, 2nd ed, Blackwell
Publishing

Peters, Gary F, Lawrence J.Abbott, Susan Parker. 2005. Voluntary Disclosure and
Auditor Specialization: The Case of Commodity Derivative Disclosure. Working
paper, University of Georgia.

Schauer, Paul C. 2000. The Effect of Industry dpecialization on Audit Quality : An


Examination Using Bid-ask Spreads. Artikel ringkaaan disertasi. Departmen of
Accounting and MIS Bowling Green State University Bowling Green, Ohio.
schauer@cba.bgsu.edu

Susilowati,Isabelly, Richrd D.Morris, Sidney J.Gray.2005. Factors influencing


Corporate Transparency: A Comparative Empirical. Iniversity Working paper
disertasi.Sidney.i.susilowati@econ.usyd.edu.au

Tjager (2003). Corporate governance. Tantangan dan kesempatan bagi Komunitas


Bisnis Indonesia. PT. Prenhalindo, Jakarta.

Utami, Wiwik. 2005. Dampak Pengungkapan Sukarela dan Manajemen laba


terhadap Biaya Modal Ekuitas dengan Asimetri Informasi sebagai Variabel
Intervening, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung

Veronica N.P Siregar, Sylvia dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur
Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktik Corporate Governance terhadap
Pengelolaan Laba. Simpsium Nasional Akuntansi VIII. Ikatan Akuntan
Indonesia.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Willekens, Marleen, Heidi Vader Bauhede, Ann Gaeremynck, Linda Van De Gucht,
2003. The Impact of Internal and External Governance Mechanisms on the
Voluntary Disclosure of Financial and Non-financial Performance. Marleen
.willekens@econ.kulueven.ac.be

World Bank. 1999. Corporate Governance: Framework for Implementation,


Overview. www.wordbank.org.pp.5

_______________________________

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV10- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR KEPEMILIKAN SAHAM,


KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN KONSERVATISME

Safrida Rumondang Parulian


Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi
FEUI

Abstract

Agency theory explained the existence of conflict of interests between parties, especially
managers, shareholders and bondholders, found in many studies. This conflict tells and
warns the opened opportunity for manager to make decisions benefiting themselves, and
sacrificing others interests and could finally lowering the value of the firms. Conservatism
in financial reporting is believed as one of many solutions to this conflict. Other solution for
this conflict could be the good corporate governance practiced by firms. The objective of
this study is to examine if ownership structures (ownership by institutional investors,
managers/director and block ownership), and the existence of independent commissioners
significantly associated to the level of conservatism in firms. Using two models for
conservatism, this study found that institutional investor has significant association to
conservatism, but without consistent direction. Firms with more institutional investors tend
to have financial numbers that are less conservative. But, this study failed to find significant
association between conservatism and insiders or block ownership. The existence of
independent commissioners is also not related to conservatism, in this study. Controlling the
model with firms characteristics, firm size and leverage were found to be related to
conservatism. A larger or a more leveraged firm, tend to be less conservative.

Key words : conservatism, institutional ownership, block ownership, managerial


ownership, good corporate governance

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Penelitian

Agency theory menjelaskan adanya konflik kepentingan terhadap kebijakan


dividen antara fixed claimants (bondholder) dan residual claimants (shareholder)
dalam suatu perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Konflik kepentingan
tersebut membuka peluang bagi manajer untuk melakukan aktivitas yang
menguntungkan dirinya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham, yang
pada akhirnya dapat menurunkan nilai perusahaan. Namun, konflik ini tidak dapat
diatasi secara sempurna melalui kontrak, karena selain karena kontrak itu mahal,
kontrak yang sempurna juga sulit untuk ditegakkan (Fama dan Jensen, 1983; Hart,
1995). Dalam Efficient contracting theory, dinyatakan bahwa adalah kepentingan
semua pihak dalam perusahaan untuk menemukan cara mengatasi konflik ini.
(Watts dan Zimmerman, 1983). Dan, konservatisme dalam pelaporan keuangan
dianggap sebagai salah satu hal hal yang dapat membantu terjadinya efficient
contracting antara manajer dan pemegang saham untuk mengatasi masalah
keagenan (agency problem) dalam perusahaan (Ball, 2001; Watts, 2003a). Angka
akuntansi yang konservatif dapat digunakan dalam kontrak antara pihak-pihak yang
berbeda dalam perusahaan untuk mengurangi masalah moral hazard yang
diciptakan oleh information asymmetries. Kontrak yang didasarkan pada angka-
angka yang konservatif akan mengurangi kemungkinan ekspropriasi yang dilakukan
oleh manajer terhadap sumberdaya pemegang saham, atau distribusi sumber daya
yang berlebihan bagi pemegang saham dengan biaya kreditur/debtholder lain
(Watts, 2003a).

Penelitian Watts (2003a), mengaitkan kompensasi untuk manajer dengan


perubahan pada nilai buku akuntansi atau laba, yang bersamaan dengan pelaporan
yang konservatif akan menghalangi manajer untuk melakukan aktivitas yang
menurunkan nilai perusahaan dan akan menunda kompensasi untuk manajer
sampai benefit bagi perusahaan benar-benar telah direalisasi. Hal ini akan
mengurangi kesempatan bagi manajer untuk melebihsajikan perubahan kumulatif

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dalam nilai perusahaan, dan manajer diharapkan akan mengelola perusahaan


secara optimal.
Sementara itu, dalam penelitian Ball (2001), manajer seringkali memiliki
insentif untuk menunda penyelesaian proyek yang menyebabkan kerugian karena
proyek tersebut berkontribusi untuk laba berjalan, dan untuk kepentingan pribadi
manajer.
Masalah keagenan seperti dalam penelitian Watts (2003) dan Ball (2001) di
atas pada dasarnya bermula saat kepentingan manajer dan pemegang saham
tidak sejalan. Jika konservatisme berperan dalam mengatasi masalah keagenan
antara manajer dan pemegang saham, maka diperkirakan bahwa apabila
kepentingan manajer dengan pemegang saham kurang sejalan, kebutuhan untuk
konservatisme akan semakin besar, ceteris paribus.
Dalam dunia dengan kontrak yang tidak sempurna, masalah keagenan di
atas diharapkan juga dapat diatasi dengan mekanisme Corporate governance,
selain dengan penggunaan akuntansi yang konservatif. Studi empiris tentang
mekanisme governance yang ideal, akan menguji secara bersamaan keseluruhan
mekanisme internal dan eksternal dari corporate governance. Namun, dalam
penelitian ini, hanya difokuskan pada struktur kepemilikan dan komisaris
independen.
Selain pemisahan antara kepemilikan dengan pengendalian, yang perlu
diperhatikan dalam pelaporan keuangan adalah peranan dewan komisaris
(boards) sebagai puncak dari sistem pengendalian keputusan di perusahaan,
(Fama dan Jensen, 1983). Dewan komisaris membutuhkan informasi yang dapat
diverifikasi untuk dapat memonitor manajer secara efektif. Menurut Watts dan
Zimmerman (1986), Bushman dan Smith (2001), sistem akuntansi dan sistem
pelaporan keuangan adalah suatu sumber yang penting untuk informasi yang
dapat diverifikasi, yang berguna untuk memonitor dan mengevaluasi manajer
beserta keputusan dan strateginya. Dan, konservatisme adalah suatu karakteristik
yang penting dalam suatu sistem akuntansi perusahaan yang dapat mendisiplinkan
sumber informasi lainnya sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Watts,
2003a, 2006).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Mekanisme corporate governance memainkan peranan yang penting dalam


pelaksanaan akuntansi yang konservatif. Corporate governance meliputi semua
bentuk dan mekanisme yang menjamin bahwa aset perusahaan dikelola secara
efisien dan sesuai dengan kepentingan pemilik dana. Penelitian Beekes et al
(2004) menemukan hubungan positif antara independensi dewan dengan
konservatisme. Mereka menguji hubungan antara corporate governance dan
konservatisme akuntansi dan menemukan bahwa perusahaan yang persentase
non-executive director nya lebih tinggi, cenderung untuk mengakui bad news lebih
cepat, dengan menggunakan metode Basu (1997). Konsisten dengan penelitian
ini, Ahmed dan Duellman (2007) mendokumentasikan bahwa pada perusahaan-
perusahaan di AS : (i) persentase inside directors berhubungan negatif dan (ii)
persentase outside director berhubungan positif dengan konservatisme. Garcia
Lara et al (2007) juga menemukan hubungan yang positif antara konservatisme
akuntansi dan corporate governance untuk perusahaan-perusahaan AS. Wright
(1997) menemukan hubungan positif antara outside board dengan peringkat
kualitas pelaporan keuangan oleh analis. Dan salah satu komponen dari karaktek
kualitatif laporan keuangan yang digunakan adalah tingkat konservatisme (Beekes
et al., 2004),

Struktur kepemilikan perusahaan dalam berbagai penelitian ditemukan


berhubungan dengan kualitas pelaporan perusahaan. Velury dan Jenkis (2006)
menemukan bahwa kepemilikan institusional memiliki asosiasi positif dengan
kualitas pelaporan. Mereka menjelaskan bahwa investor institusional memiliki
beberapa insentif untuk memonitor pelaporan keuangan. Alasan pertama adalah
karena laporan keuangan adalah sumber informasi yang penting tentang
perusahaan dan dapat digunakan dalam menilai investasi mereka. Alasan kedua,
investor institusional lebih baik dalam menganalisis laporan keuangan daripada
investor individual
Penelitian Bushee, 1993; Chung et al, 2002; Jiambalvo et al., 2002,
menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar
cenderung untuk tidak melakukan manajemen laba. Sementara itu, penelitian oleh
Wang (2006) menemukan, bahwa perusahaan yang dimiliki oleh pendiri

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan cenderung untuk menampilkan lower persistence of negative earnings.


Lower persistence of negative earnings adalah implikasi tidak lagsung dari
konservatisme (Basu, 1997). Ball dan Shivakumar (2005) menemukan bahwa
perusahaan privat, dengan kepemilikan manajerial yang lebih sedikit dibandingkan
perusahaan publik, kurang konservatif dibandingkan perusahaan publik, dan
perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur corporate governance
antara perusahaan public dan perusahaan non-publik. LaFond dan Roychowdhury
(2007) menemukan hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan
tingkat konservatisme. Semakin besar kepemilikan manajerial, perusahaan semakin
tidak konservatif.
Salah satu bentuk kepemilikan lain yang dalam banyak penelitian ditemukan
memiliki korelasi dengan pengelolaan perusahaan adalah kepemilikan yang
terkonsentrasi (block ownership). Shleifer dan Vishny (1986) menyebutkan bahwa
kepemilikan yang terkonsentrasi dapat memonitor manajer dengan lebih baik. Hal
serupa diungkapkan antara lain oleh oleh Holderness dan Sheehan (1988), Barclay
dan Holderness (1989). Dalam penelitian ini juga akan diuji, apakah dengan
kepemilikan yang terkonsentrasi dapat membuat proses monitoring terhadap
manajemen dapat dilakukan dengan lebih baik dan dapat memastikan
digunakannya akuntansi yang konservatif dalam penyiapan laporan keuangan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah
sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh struktur kepemilikan perusahaan
dan karakteristik dewan komisaris terhadap pelaporan keuangan yang
konservatif di Indonesia ?
Selanjutnya, tulisan ini akan disajikan sebagai berikut. Bagian 2 akan berisi
latar belakang teoritis tentang konservatisme dan hubungannya dengan struktur
kepemilikan dan komisaris independen. Bagian 3 akan merinci disain penelitian
yang menjelaskan ukuran-ukuran yang digunakan dalam pengujian. Bagian 4 akan
menjelaskan hasil penelitian dan kesimpulan akan disajikan di bagian 5.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Konservatisme
Hendriksen dan Van Breda (1992) mendefinisikan konservatisme sebagai
berikut : Conservatism is, at best, a very poor method of treating the existence of
uncertainty in valuation and income. At its worst, it results in a complete distortion of
accounting data.
Watts (2003a) mendefinisikan konservatisme sebagai suatu differential
verifiability required for recognition of profits versus losses. Secara ekstrim, definisi
konservatisme adalah, jangan mengantisipasi profit, tapi antisipasi semua kerugian
(Bliss, 1924). Namun konservatisme tidak berarti bahwa keuntungan hanya dapat
diakui bila semua kas telah diterima, karena masalahnya adalah pada verifiability.
Terhadap suatu kemungkinan profit, harus dilakukan verifikasi tingkat tinggi,
sedangkan suatu berita buruk dapat diakui sebagai suatu kerugian (Basu, 1997).
Sebagai contoh, aktiva tak berwujud biasanya tidak dimasukkan dalam aktiva
bersih, karena secara konservatif nilainya tidak dapat diverifikasi (Holthousen dan
Watts, 2001).
Menurut Watts (2003a), konservatisme menyajikan laba dan aktiva dengan
prinsip menunda pengaikuan keuntungan dan secepatnya mengakui adanya
kerugian. Prinsip ini memang akan menyebabkan laba dan aktiva periode berjalan
menjadi lebih rendah. Bila terjadi kenaikan laba dan aktiva di masa datang akibat
penerapan prinsip ini, hal tersebut disebabkan keuntungan yang semula ditunda
pengakuannya dan kemudian telah diakui oleh perusahaan karena dipastikan akan
terealisasi, bukan karena perusahaan tidak konservatif di masa mendatang.

Ahmed et al (1998) menemukan bahwa akuntansi yang konservatif dapat


memberikan informasi dalam penilaian perusahaan. Penelitian Givoly dan Hayn
(2002) menunjukkan bahwa peningkatanan penggunaan konservatisme di Amerika
disebabkan oleh tingginya potensi tuntutan hukum apabila laporan keuangan
disajikan secara overstatement. Karena itu, auditor dan manajer perusahaan
memilih metode akuntansi yang konservatif.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Penelitian-penelitian yang didokumentasikan oleh Watts (2003b)


memberikan sejumlah penjelasan tentang pelaporan yang bersifat konservatif, dan
semuanya menyatakan bahwa konservatisme memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang terkait dengan perusahaan yang melaporkan tersebut. Salah satu
alasannya adalah bahwa konservatisme muncul karena adanya kontrak dengan
pihak-pihak luar. Dengan kata lain, kontrak-kontrak antara pihak dalam perusahaan
menggunakan angka-angka akuntansi yang konservatif untuk mengurangi agency
cost dalam perusahaan tersebut, baik kontrak utang, kontrak kompensasi, maupun
kontrak penjualan (Watts dan Zimmerman, 1986).
Penggunaan angka akuntansi yang konservatif diyakini akan memberikan
manfaat yang signifikan bagi pemakai laporan keuangan. Watts (2003b)
menjelaskan bahwa kontrak-kontrak antar pihak yang berbeda dalam perusahaan,
yang menggunakan angka yang konservatif, akan mengurangi masalah asimetri
informasi dan moral hazard yang disebabkan oleh konflik keagenan. Juga, akan
mengurangi kemungkinan terjadinya ekspropriasi oleh manajemen terhadap
sumberdaya perusahaan, atau distribusi yang berlebihan terhadap sumberdaya ini.
Maka, diharapkan konservatisme akan mengurangi peluang dilakukannya aktivitas
manajer yang oportunistik. Efek-efek yang bermanfaat dari konservatisme ini
secara umum dianggap sebagai indikator dari kualitas laba, atau sifat dari laba
akuntansi yang diharapkan (Givoly et al., 2008; Ball dan Shivakumar, 2005; Francis
et al., 2004; Watts, 2003b)

Mekanisme corporate governance dibutuhkan karena adanya konflik


keagenan antara berbagai pihak yang berbeda dalam perusahaan, dan khususnya
karena adanya asimetri dalam insentif dan tujuan dari manajer dan dari penyedia
dana, yang timbul dari adanya pemisahan antara kepemilikan dengan
pengendalian (Berle dan Means, 1932; Jensen dan Meckling, 1976). Maka,
pelaksanaan corporate governance yang lebih kuat diperkirakan akan
menyebabkan adanya permintaan yang lebih tinggi untuk informasi yanglebih tepat
waktu dan untuk mencegah manajer menyembunyikan informasi yang kurang
baik. Informasi yang tepat waktu tentang potensi kerugian (bad news) akan
menjadi sinyal peringatan bagi board untuk sesegera mungkin mencari tahu

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

penyebab bad news tersebut sesegera mungkin. Perusahaan dengan mekanisme


corporate governance yang lebih baik ditemukan menjadi lebih konservatif dalam
akuntansinya (Garcia Lara et al., 2005).

2.2. Struktur Kepemilikan dan Konservatisme


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konflik kepentingan antara
manajer dan pihak lain dalam perusahaan muncul karena manajer secara efektif
mengendalikan asset perusahaan namun memiliki kepentingan yang tidak sejalan
dengan pemegang saham, apabila manajer tidak ikut memiliki perusahaan. (Jensen
dan Meckling, 1976). Manajer memiliki informasi yang lebih baik daripada pihak
lainnya, dan juga memiliki insentif untuk melakukan bias terhadap informasi yang
mereka berikan kepada pihak lain dan mengambil keuntungan dari tindakannya
tersebut (Jensen Meckling, 1976; Watts dan Zimmerman, 1986). Sebagai contoh,
manajer dapat mengurangi nilai perusahaan melalui konsumsi kompensasi atau
Non Pecuniary yang berlebihan. Hal ini mengurangi sumber daya yang tersedia
untuk melakukan investasi yang menguntungkan, sehingga perusahaan mengalami
kerugian karena mengabaikan investasi yang menguntungkan (deadweight losses).
Atau, manajer melakukan investasi pada proyek yang tidak menguntungkan
perusahaan secara keseluruhan (hanya menguntungkan dirinya sendiri), dan/ atau
melakukan manipulasi laba.
Masalah keagenan akan lebih tajam apabila kepentingan antara manajemen
dengan pemegang saham tidak selaras. Keselarasan ini, berhubungan positif
dengan tingkat kepemilikan saham oleh manajemen. Dengan kata lain, jika manajer
juga adalah pemegang saham, maka kepentingan dia akan lebih selaras dengan
kepentingan pemegang saham lainnya. Seperti yang dijelaskan Jensen Meckling
(1976), owner manager bersedia untuk mengurangi Non Pecuniary Benefitnya
untuk mencegah penurunan nilai perusahaan yang lebih besar. Dengan selarasnya
kepentingan manajer dan pemegang saham, maka tuntutan untuk akuntansi yang
lebih konservatif akan berkurang. Dengan penelitian ini akan diuji apakah hasilnya
konsistensi dengan penelitian Wang (2006), Ball dan Shivakumar (2005) dan
LaFond dan Roychowdhury (2007), yang menemukan hubungan negatif antara

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kepemilikan manajerial dengan konservatisme. Sehingga, hipotesis pertama adalah


:
Hipotesis 1 : Kepemilikan saham oleh manajer (atau direksi) berhubungan
negatif dengan praktik akuntansi konservatif dalam perusahaan

Sebaliknya, hubungan yang berbeda diprediksi terjadi apabila perusahaan


dimiliki oleh lebih banyak investor luar, dalam hal ini diwakili oleh investor
institusional. Investor institusional dalam hal ini adalah investor yang berasal dari
lembaga keuangan seperti bank, perusahaan asuransi, reksadana, dan perusahaan
keuangan lainnya, yang dianggap sangat memiliki kepentingan untuk
mengendalikan aktivitas manajemen, salah satunya melalui aktivitas pelaporan
yang konservatif. Investor institusional ingin memastikan bahwa manajer tidak
segera mengakui keuntungan yang masih bersifat potensial yang pengakuannya
akan meningkatkan reputasi manajemen saja, namun tidak menambah nilai bagi
perusahaan. Penelitian ini akan menguji konsistensi dari temuan Velury dan Jenkis,
2006, Bushee, 1993; Chung et al, 2002; Jiambalvo et al., 2002 yang menemukan
asosiasi positif antara kepemilikan institusional dengan kualitas pelaporan.
Maka, hipotesis yang kedua adalah :

Hipotesis 2 : Kepemilikan saham oleh investor institusional berhubungan


positif dengan praktik akuntansi konservatif dalam perusahaan.

Penelitian tentang Salah kepemilikan yang terkonsentrasi (block ownership)


memang lebih banyak dikaitkan dengan nilai perusahaan. Berbagai penelitian
menemukan hubungan positif maupun negatif antara block ownership dengan nilai
perusahaan seperti penelitian LaPorta et al. (2002), Klaper dan Love (2003),
Johnson, LaPorta, Shleifer dan Vishny (2000), dan Berkman et al. (2008). Namun
masih sedikit yang meneliti apakah block ownership berasosiasi dengan bagaimana
perusahaan menyiapkan laporan keuangannya (praktik akuntansinya).
Selain mempengaruhi nilai perusahaan, block ownership juga ditemukan
memiliki hubungan dengan bagaimana perusahaan dapat mengkontrol manajemen.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Holderness dan Sheehan (1988), Barclay dan Holderness (1989) menyebutkan


bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi dapat memonitor manajer dengan lebih
baik. Penelitian ini juga menguji, apakah proses monitoring terhadap manajemen,
dalam hal ini untuk memastikan digunakannya akuntansi yang konservatif dalam
penyiapan laporan keuangan, dapat dilakukan dengan lebih baik dengan adanya
block ownership. Hipotesis untuk block ownership adalah :

Hipotesis 3 : Block ownership memiliki asosiasi dengan praktik akuntansi


yang konservatif falam perusahaan

2.3. Komisaris dan Konservatisme


2.3.1. Komisaris Independen

Menurut Ball (2001), konservatisme memainkan peranan penting dalam


memonitor kebijakan investasi perusahaan. Dengan pengakuan kerugian
ekonomi yang lebih tepat waktu, memberikan sinyal bagi dewan komisaris untuk
menginvestigasi aktivitas ekonomi yang dilakukan manajer, dan manajer itu sendiri.
Hal ini menjelaskan bahwa konservatisme adalah suatu alat yang potensial bagi
dewan komisaris (khususnya komisaris dari luar/independen) untuk menjalankan
tugas mereka dalam meratifikasi dan memonitor kebijakan-kebijakan yang penting.
Karena dewan komisaris yang kuat akan lebih baik dalam memahami aktivitas
yang efisien, mereka akan membutuhkan praktik akuntansi yang lebih konservatif
untuk mendukung peran mereka tersebut.

Di sisi lain, dewan komisaris yang berasal dari dalam perusahaan, atau
dewan direksi yang memiliki kelemahan dalam memonitoring, akan memberikan
peluang bagi manajer untuk melakukan aktivitas yang lebih agresif (kurang
konservatif). Penelitian ini akan menguji apakah terdapat hubungan positif antara
persentase komisaris independen dengan akuntansi konservatif seperti yang
ditemukan dalam penelitian-penelitian Beekes et al (2004), Ahmed dan Duellman
(2007), Garcia Lara et al (2007) dan Wright (1997). Sehingga, hipotesis ketiga
adalah :

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hipotesis 4: Persentase komisaris independen berhubungan positif dengan


praktik akuntansi konservatif dalam perusahaan

2.3.2. Jumlah komisaris

Walaupun jumlah komisaris yang paling ideal tidak ditentukan oleh Bursa
Efek Indonesia, dan juga bukan merupakan sutu mekanisme dari corporate
governance, namun penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Conyon dan Peck
(1998) dan Eisenberg (1998) menyatakan bahwa jumlah komisaris memiliki
pengaruh negatif terhadap bagaimana manajemen mengelola perusahaan. Dalam
penelitian ini akan diuji pula apakah jumlah komisaris akan mempengaruhi
bagaimana manajemen mengelola laporan keuangannya, atau dengan kata lain,
apakah jumlah komisaris berasosiasi dengan konservatisme akuntansi perusahaan.
Hipotesis untuk hal ini adalah :

Hipotesis 5 : Jumlah komisaris berasosiasi dengan praktik akuntansi


konservatif dalam perusahaan

2.4 Variabel Kontrol

Tingkat pelaksanaan mekanisme corporate governance adalah fungsi dari


karakteristik perusahaan Garcia Lara et al. (2005). Karena itu, penelitian ini juga
akan menggunakan beberapa variabel control yang merupakan karakteristik dari
perusahaan sbb:
Firm Size, dikontrol karena perusahaan besar biasanya memiliki biaya politis
yang lebih besar yang mendorong mereka untuk menggunakan akuntansi yang lebih
konservatif (Watts dan Zimmerman, 1978). Namun, biaya politis ini dapat
didominasi oleh efek asimetri informasi dan efek aggregasi. LaFond dan Watts
(2006) menyatakan bahwa asimetri informasi biasanya lebih kecil pada perusahaan
besar, karena mereka memproduksi informasi public yang lebih banyak.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Leverage, dikontrol karena perusahaan yang tingkat leveragenya besar,


cenderung untuk memiliki konflik yang lebih besar antara shareholder dengan
bondholder, yang kemudian akan mempengaruhi permintaan kontraktual terhadap
akuntansi yang konservatif. Menurut Garcia Lara (2005), dengan tingkat leverage
yang lebih tinggi maka akan meningkatkan pengawasan oleh institusi keuangan,
sehingga akan mendorong perusahaan untuk lebih konservatif.
Profitability. Garcia Lara (2005), Hermalin dan Weisbach (1988)
mendokumentasikan hubungan antara praktik akuntansi yang konservati dengan
tingkat profitabilitasnya. Tingkat profitabilitas masa lalu akan mempengaruhi praktik
corporate governance perusahaan dan meningkatkan penggunaan konservatisme
akuntansi.

3. Disain Penelitian
3.1 Data dan Sampel
Populasi dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah seluruh perusahaan di
BEJ yang tercatat pada periode tahun 2006 (satu tahun). Sampelnya adalah
perusahaan dari seluruh industri kecuali industri keuangan, karena memiliki struktur
pelaporan yang berbeda dengan industri lainnya. Dari seluruh perusahaan di
tahun 2006, dipilih 100 perusahaan secara random yang memiliki kelengkapan data
untuk menguji hipotesis. Data kepemilikan dan komisaris independen diambil dari
Annual Report selama periode 2005-2006 dan seluruh data keuangan didapat dari
database OSIRIS.

3.2. Pengukuran Variabel Konservatisme


Konservatisme dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan dua
model, yaitu yang digunakan oleh Givoly dan Hayn (2000) dan model Ball dan
Shivakunmar (2005) yang didasarkan pada hubungan antara total akrual dan arus
kas operasi.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.2.1. Model Givoly dan Hayn (2000)

Model Givoly dan Hayn (2000) mengukur konservatisme dengan melihat


kecenderungan dari akumulasi akrual perusahaan. Akrual yang dimaksud adalah
selisih antara laba bersih sebelum depresiasi/amortisasi dan arus kas dari kegiatan
operasi. Apabila terjadi akrual negatif (laba bersih lebih kecil daripada arus kas dari
kegiatan operasi), maka merupakan indikasi diterapkannya konservatisme.
Semakin besar akrual negatif yang diperoleh, maka semakin konservatif akuntansi
yang diterapkan. Rumus dari proksi konservatisme tersebut adalah sebagai berikut
:

CONACCit = NIit CFOit


CONACCit = Tingkat konservatisme perusahaan i pada tahun t
NIit = laba bersih sebelum extraordinary item ditambah depresiasi
dan amortisasi dari perusahaan i pada tahun t
CFOit = cash flow dari kegiatan operasi perusahaan i pada tahun t

Hasil perhitungan CONACC tersebut dikalikan dengan -1, sehingga semakin besar
konservatisme ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai CONACC

3.2.2. Model Ball dan Shivakumar (2005)

Intuisi dari model Ball dan Shivakumar serupa dengan model yang digunakan oleh
Basu (2007), yaitu bahwa laba akuntansi cenderung untuk mengantisipasi
pengakuan bad news dan menunda pengakuan good news. Total akrual mengakui
akibat dari peristiwa ekonomis yang negatif pada periode terjadinya, dan efek ini
akan cenderung mempengaruhi cash flow, sehingga hubungan akrual dengan cash
flow menjadi negatif. Hubungan negatif antara total akrual dengan cash flow juga
didokumentasikan dalam penelitian lain seperti penelitian Dechow (1994).
Model Ball dan Shivakumar (2005) yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
ACCRit = 0 + 1 DCFit + 2 CFit + 3 DCFit CFit + it

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

ACCR : adalah total akrual yang diskalakan dengan total asset di awal periode.
CF : adalah operating cash flows yang diskalakan dengan total asset di awal
periode
DCF : adalah variabel dummy yang akan bernilai 1 jika CF berada pada tingkat
terendah 5% dari distribusi cash (menangkap situasi saat cash flows bernilai
negatif atau sangat rendah ), dan bernilai 0 jika selain itu. Variabel dummy ini
menangkap peristiwa saat bad news (economic losses) terjadi pada suatu periode,
yang menyebabkan cash flow menjadi rendah

2 diharapkan akan bernilai negatif signifikan, yang merefleksikan hubungan


negatif antara cash flow dan total akrual.
3 diharapkan akan bernilai positif, yang mengindikasikan bahwa kerugian
ekonomis direfleksikan oleh cash flow dan akrual pada saat yang sama. Penelitian
Ball dan Shivakumar (2005) menemukan bahwa 2 (3) bernilai negatif (positif).

3.4 Model Empiris untuk Menguji Hipotesis

Dengan Model Givoly dan Hayn, model untuk menguji hipotesis adalah sebagai
berikut :

CONACCit = 0 + 1 INSOWNit + 2 BLOCKit + 3 MGRit + 4 INDPBOARDit


+ 5BSIZEit + 6 LNSIZE + 7 EPSit + 3 LEVit + it (1)
Untuk menguji seluruh hipotesis dengan model kedua, mengikuti metode
yang digunakan oleh Garcia Lara et al. (2005) yang menggunakan model Ball dan
Shivakumar (2005), berbagai hipotesis di atas akan diuji dengan model empiris
sebagai berikut :

ACCRit = 0 + 1 DCFit + 2 CFOit + 3 DCFit *CFOit + 4 DCFit*


CFOit*INSOWNit + 5DCFit*CFOt*BLOCKit +6DCFit*CFOit*MGRit
+7DCFit*CFOit*INDPBOARDit+7DCFit*CFOit*BSIZEit

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

+9DCFit*CFOit*LNSIZEit+10DCFit*CFOit*EPSit+11DCFit*CFOit*LEVit +
it...(2)

Operasionalisasi Variabel Independen dan Variabel Kontrol:

INSOWN : Persentase kepemilikan oleh investor institusional yang


dapatdiidentifikasi sebagai institusi keuangan seperti bank,
perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, dan perusahaan
keuangan lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Institusi yang tidak dapat diidentifikasi sebagai institusi keuangan
tidak diikutkan.

BLOCK : Mengikuti definisi yang digunakan oleh Randy dan Sanjay (2003),
yaitu persentase kepemilikan oleh 3 (tiga) pemegang saham
terbesar yang kepemilikannya di atas 5%

MGR : Persentase kepemilikan oleh direksi atau manajemen


perusahaan

INDPBOARD : Persentase komisaris independen dalam perusahaan

BSIZE : Jumlah komisaris yang dimiliki oleh perusahaan

LNSIZE : Logaritma Natural dari Kapitalisasi pasar saham pada akhir tahun
2006

EPS : Rasio Earning per Share berdasarkan laporan keuangan per 31


Desember 2006

LEV : Rasio Leverage tahun 2006

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4. Hasil

Tabel 4.1 Deskripsi Statistik

CONA INSO BLOC INDPB BOARD LNSIZ LEVO


CC WN K3 MGR ORD SIZE E EPS 6
-
46674 8.154. 4.972. 8.617. 1.19E+ 4.112.24 1.81E 21178 1.31E
Mean .43 490 622 347 08 5 +09 .78 +09

Media 2.060. 0.000 5.732. 0.000 3.300.0 3.000.00 1.30E 2.208. 8.35E
n 000 000 000 000 00 0 +09 500 +08

Maxim 14855 8.848. 9.464. 2.381. 8.33E+ 1.000.00 9.99E 39745 8.95E
um 63. 000 000 000 08 0 +09 7.0 +09
- -
Minim 13790 0.000 4.600. 0.000 0.0000 2.000.00 10858 5.000. 1.75E
um 636 000 000 000 00 0 999 000 +09

Std. 14335 1.637. 3.150. 3.696. 1.89E+ 1.888.01 1.99E 71360 1.54E
Dev. 67. 099 499 339 08 2 +09 .30 +09
- -
Skewn 9.092. 2.512. 0.379 5.282. 1.400.5 1.417.20 3.253. 4.560. 2.227.
ess 886 791 535 780 96 2 668 493 302

Kurtos 8.803. 9.794. 1.642. 3.134. 4.342.1 4.675.32 1.241. 2.277. 9.632.
is 031 600 397 137 56 4 900 358 699

Berdasarkan deskripsi statistik di atas, terlihat bahwa untuk setiap variabel,


terdapat variasi (standar deviasi) yang cukup tinggi, kecuali untuk komisaris dan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Institusional investor. Bahkan variasi untuk independen board sangat kecil, karena
secara rata-rata semua perusahaan yang menjadi sampel telah memiliki komisaris
independen sesuai aturan BEI, yaitu minimal 30%. Variasi yang kecil pada investor
institusional terjadi karena secara rata-rata hanya sedikit persentase investor yang
merupakan lembaga keuangan pada tiap perusahaan. Manajer yang memegang
saham cukup bervariasi, karena ada perusahaan yang memiliki cukup banyak
manajerial investor, namun lebih banyak yang tidak memiliki manajemen yang tidak
memiliki saham pada perusahaan.

Tabel 4.2. Korelasi Antar Variabel

CONACC INSOWN BLOCK MGR INDPBORD BOARDSIZE LNSIZE EPS LEVO6

- -
CONACC 0.225916 0.057280 0.014810 0.075255 -0.142085 0.305217 0.005564 -0.312217
-
INSOWN -0.225916 -0.029850 -0.025879 -0.036374 0.001995 0.057336 -0.128626 0.055712
- -
BLOCK3 0.057280 0.029850 -0.181680 -0.030346 -0.015271 0.039860 -0.300596 0.118934
- -
MGR 0.014810 0.025879 -0.181680 -0.052233 0.093496 0.043378 -0.058044 0.138063
- -
INDPBORD 0.075255 0.036374 -0.030346 -0.052233 0.063121 0.063872 0.039996 -0.106530

BOARDSIZE -0.142085 0.001995 -0.015271 0.093496 0.063121 0.054737 -0.031216 0.127081


-
LNSIZE -0.305217 0.057336 -0.039860 -0.043378 -0.063872 0.054737 0.212499 0.164230
-
EPS 0.005564 0.128626 -0.300596 -0.058044 0.039996 -0.031216 0.212499 -0.077184

LEVO6 -0.312217 0.055712 0.118934 0.138063 -0.106530 0.127081 0.164230 -0.077184

Dari tabel 4.2 di atas terlihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi
melebihi 0,4. Korelasi tertinggi adalah antara tingkat LEV dengan CONACC, yaitu
sebesar 31%. Hasil pengujian heteroskedastisitas dengan White Heterosedasticity
juga menunjukkan bahwa tidak ada masalah heteroskedastisitas dalam sample.

4.3. Regresi Cross Sectional

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 4.3. Regresi Cross Sectional antara Konservatisme dengan struktur


kepemilikan dan komisaris perusahaan serta variabel control

a. Dengan Model Givoly-Hayn (2000)

Dependent Variable: CONACC


Method: Least Squares
Sample: 1 100
Included observations: 98
Excluded observations: 2

Variable Coefficie Std. Error t-Statistic Prob.


nt

C 798470.6 436177.3 1.830610 0.0705


INSOWN - 82.49195 -2.289785 0.0244
188.8888
BLOCK 43.03492 45.85367 0.938527 0.3505
MGR 246.7404 376.0092 0.656208 0.5134
INDPBORD 0.000254 0.000711 0.357486 0.7216
BOARDSIZE - 71559.76 -1.056374 0.2937
75593.86
LNSIZE - 7.01E-05 -2.785483 0.0065
0.000195
EPS 0.867995 2.036029 0.426318 0.6709
LEV - 9.08E-05 -2.624252 0.0102
0.000238

R-squared 0.234584 Mean dependent -


var 46674.4
3
Adjusted R- 0.165783 S.D. dependent 143356
squared var 7.
S.E. of regression 1309356. Akaike info 31.0953

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

criterion 1
Sum squared 1.53E+1 Schwarz criterion 31.3327
resid 4 1
Log likelihood - F-statistic 3.40958
1514.670 3
Durbin-Watson 2.240190 Prob(F-statistic) 0.00183
stat 8

Berdasarkan tabel 4.3 terlihat bahwa secara keseluruhan model tersebut


2
menunjukkan hasil R sebesar 23,5 % dan dengan dengan nilai F-stat yang
signifikan pada tingkat Alpha 1%. Hal ini menunjukkan bahwa model Givoly dan
Hayn adalah model yang baik untuk menjelaskan hubungan antara konservatisme
dengan berbagai variabel penjelas di atas dalam penelitian ini. Namun, dari
berbagai variabel di atas, yang signifikan adalah variabel INSOWN pada level 5%,
LNSIZE pada pada level 1% dan Lev pada level 5%. Dan, hubungan ketiganya
dengan konservatisme adalah negatif. Dari kelima hipotesis, pengujian dengan
model Givoly dan Hayn hanya menemukan hubungan yang signifikan antara
investor institusional dengan konservatisme. Hipotesis lainnya tidak terbukti.

Hubungan negatif antara LNSIZE dan konservatisme menunjukkan bahwa


semakin tinggi ukuran perusahaan, maka justru cenderung untuk tidak konservatif.
Hal ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang mendokumentasikan
hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat konservatisme.

Untuk LEV, semakin tinggi tingkat leverage justru semakin rendah


konservatismenya. Di satu sisi, hasil ini menunjukkan keanehan karena biasanya
perusahaan yang memiliki tingkat utang yang tinggi dituntut oleh kreditur untuk
menyajikan laporan yang konservatif. Namun, hasil ini juga dapat berarti bahwa
semakin tinggi tingkat utang perusahaan, maka perusahaan akan cenderung untuk
tidak konservatif, yang mungkin karena perusahaan ingin agar tidak melanggar

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

persyaratan utang dari kreditur. Hal ini juga mungkin dapat diartikan bahwa kreditur
tidak terlalu menekankan praktik akuntansi yang konservatif untuk debiturnya.

b. Dengan Model Ball dan Shivakumar (2005)

Pengujian dengan Model Ball dan Shivakumar menunjukkan hasil yang tidak
signifikan baik untuk model maupun untuk keseluruhan variabel Hal ini menunjukkan
bahwa model tersebut tidak dapat digunakan untuk menjelaskan hipotesis dalam
penelitian ini. Karena itu, hasilnya tidak ditampilkan dalam tulisan ini.

5. Kesimpulan, Keterbatasan dan Penelitian Selanjutnya

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah struktur kepemilikan dan
komisaris dalam perusahaan memiliki asosiasi dengan tingkat konservatisme
akuntansi pada perusahaan. Investor institusional, investor dari direksi, dan
konsentrasi kepemilikan merupakan proksi dari struktur kepemilikan.

Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan model Givoly dan Hayn


(2000) untuk mengukur konservatisme menunjukkan hanya investor institusional
yang memiliki asosiasi dengan konservatisme, dengan arah hubungan yang negatif.
Artinya, perusahaan yang memiliki investor institusional lebih banyak, justru
cenderung untuk tidak konservatif. Perlu diteliti lebih lanjut apakah hal ini
disebabkan karena investor institusional justru cenderung untuk tidak konservatif
dalam laporan keuangan.

Hipotesis yang lainnya tidak terbukti secara signifikan, yang hasilnya mungkin
disebabkan karena sedikitnya jumlah perusahaan yang dijadikan sampel, dan
karena penelitian dilakukan dalam waktu hanya satu tahun. Ini juga yang menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menemukan hubungan yang
negatif antara ukuran perusahaan dan tingkat leverage dengan konservatisme.
Semakin besar dan semakin tinggi tingkat leverage perusahaan, justru semakin
tidak konservatif perusahaan.

Pengujian hipotesis dengan menggunakan model Ball dan Shivakumar


(2005) tidak menunjukkan hasil yang signifikan baik untuk model maupun untuk tiap

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

variabelnya, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan dengan menggunakan model


ini. Untuk penelitian lebih lanjut, dengan penambahan jumlah sampel mungkin dapat
meningkatkana signifikansi model ini. Penelitian lanjutan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan ukuran-ukuran konservatisme lainnya seperti model pasar
yang digunakan oleh Basu (1997), yang tidak digunakan dalam penelitian ini karena
keterbatasan waktu dan data.

Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti apakah mekanisme atau praktik


corporate governance yang lain, atau indeks corporate governance memiliki
hubungan dengan praktik akuntansi yang konservatif, dengan jumlah sampel dan
tahun yang lebih besar

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4. Daftar Pustaka
Ahmed, A.S., and Duellman, S. (2007) Accounting conservatism and board of
directors characteristics: An empirical analysis, Journal of Accounting and
Economics, 43, pp. 411-437.
Ball, R. 2001. Infrastructure Requirements for an Economically Efficient System of
Public Financial Reporting and Disclosure. Brookings-Wharton Papers on
Financial Services 2001, 127-182.
Ball, R., S. Kothari and A. Robin. 2000. The Effect of Institutional Factors on
Properties on Accounting Earnings: International Evidence. Journal of
Accounting and Economics 29: 1-52.
Ball, R., Robin, A., and Sadka, G. 2006. Is Accounting Conservatism Due to Debt or
Equity Markets? An International Test of "Contracting" and "Value Relevance".
Working Paper, University of Chicago.
Ball, R., and L. Shivakumar. 2005. Earnings Quality in U.K. Private Firms. Journal of
Accounting and Economics 39: 83-128.
Basu, S. 1997. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of
Earnings. Journal of Accounting and Economics 24: 3-37.
Beatty, A., J.Weber, and Yu, 2006. Conservatism and debt. Working Paper MIT.
Berle, A., and Means, G. 1932. The Modern Corporation and Private Property.
Harcourt, Brace, & World, New York.
Bushman, R., Q. Chen, E. Engel and A. Smith. 2004. Financial accounting
information, organizational complexity and corporate governance systems.
Journal of Accounting and Economics 37: 167-201.
Bushman, R. and J. Piotroski. 2005. Financial Reporting Incentives for Conservative
Accounting: The Influence of Legal and Political Institutions. Journal of
Accounting and Economics (forthcoming).
Cheng, Q., and Warfield, T. 2005. Equity Incentives and Earnings Management. The
Accounting Review, Vol. 80 Issue 2, 441-476.
Dechow, P.M., 2006, Discussion: Asymmetric sensitivity of CEO cash compensation
to stock returns. Journal of Accounting and Economics 42, 193-202.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Demsetz, H., Lehn, K., 1985. The structure of corporate ownership: causes and
consequences. Journal of Political Economy 93, 11551177.
Demsetz H., and Villalonga, B., 2001, Ownership structure and corporate
performance, Journal of Corporate Finance 7, 209-233.
Francis, J., Philbrick, D., and Schipper, K., 1998, Shareholder litigation and
corporate disclosures, Journal of Accounting Research 32, 137-64
Frankel, R.M. and Roychowdhury, S., 2005, Testing the clientele effect: an
explanation for non-GAAP earnings adjustments used to compute I/B/E/S
earnings. Working Paper, MIT.
Givoly, D., and C. Hayn, 2000, The changing time series properties of earnings,
cash flows and accruals: has financial reporting become more conservative?,
Journal of Accounting & Economics 29, 287-320.
Guay, W., 1999, The sensitivity of CEO wealth to equity risk: an analysis of the
magnitude and determinants, Journal of Financial Economics 53, 43-71.
Hermalin, B.E., and Weisbach, M.S., 1991, The effects of board composition and
direct incentives on firm performance, Financial Management 20, 101-112
Himmelberg, C., Hubbard, R., and Palia, D. 1999. Understanding the determinants
of managerial ownership and the link between ownership and performance,
Journal of Financial Economics 53, 353-384.
Jensen, M. and W. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3:
305-360.
Jensen, M., 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance, and takeovers.
American Economic Review 76, 323-329.
Kwon, Y.K., Newman, D.P. and Suh Y.S., 2001, The demand for accounting
conservatism for management control, Review of Accounting Studies 6, 29-51.
LaFond, R. and Watts, R., 2006. The Information Role of Conservative Financial
Statements. Working Paper MIT-Sloan School of Management.
LaFond R and Sugata Roychowdhury, 2007, Managerial Ownership and Accounting
Conservatism. working paper MIT-Sloan School of Management

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Leone, A., Wu, J., and Zimmerman, J., 2006. Asymmetric sensitivity of CEO cash
compensation to stock returns. Journal of Accounting and Economics 42, 167-
192.
Morck, R., Shleifer, A., Vishny, R., 1988. Management ownership and market
valuation: an empirical analysis. Journal of Financial Economics 20, 293315.
Ofek, E., and Yermack, D. 2000. Taking Stock: Equity-Based Compensation and the
Evolution of Managerial Ownership. Journal of Finance 55 (3), 1367-1384.
Roychowdhury, S. and Watts, R. 2006. Asymmetric Timeliness of Earnings, Market-
to-Book and Conservatism in Financial Reporting. Journal of Accounting and
Economic (forthcoming).
Ryan, H.E., and Wiggins, R.A., 2002, The interactions between R&D investment
decisions and compensation policy, Financial Management 31, 5-29
Smith, C.W, and Watt, R.L. 1992. The investment opportunity set and corporate
financing, dividend and compensation policies, Journal of Financial Economics
32, 263-292.
Wang, D. 2006. Founding Family Ownership and Earnings Quality. Journal of
Accounting Research (forthcoming).
Warfield, T., Wild, J., and Wild, K. 1995. Managerial Ownership, Accounting
Choices, and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and
Economics 20 (1), 61-91.
Watts, R., 2003a. Conservatism in accounting part I: Explanations and implications.
Accounting Horizons 17 (3), 207-221.
Watts, R., 2003b, Conservatism in accounting part II: Evidence and research
opportunities. Accounting Horizons 17 (4).
Zhang, J., 2004, Efficiency gains from accounting conservatism: benefits to lenders
and borrowers, working paper, MIT.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV011- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PENGARUH KINERJA PERUSAHAAN TERHADAP


CORPORATE GOVERNANCE REPORTING DENGAN VARIABEL MODERATING
CEO TENURE

Titik Aryati
Universitas Trisakti Jakarta,
Mahasiswa PIA FEUI

Abstract

This study examines the relationship between CEO tenure, firm performance and
corporate governance (CG) reporting. This study hypothesizes that (1) firm
performance have positif relationship to CG reporting; (2) CEO tenure have negative
relationship to CG reporting; (3) CEO tenure can possibly mitigate the relationship
between firm performance and CG reporting. Data are collected from Indonesia
Stock Exchange, with sample 30 companies on 2005. CG reporting use CG Index
(Silveira & Barros, 2006), proxies firm performance are Return on Equity (ROE) and
stock return and control variable are borrowing and firms age.
The result show that firm performance have positif relationship to CG reporting but
not significant, CEO tenure have negative significant relationship to CG Reporting.
However, CEO tenure can not mitigate the relationship between firm performance
and CG reporting.

Keywords : Corporate governance reporting, CEO tenure, firm performance.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Berbagai peristiwa dalam dasawarsa terakhir ini telah menjadikan isu
corporate governance menjadi penting di berbagai belahan dunia. Penelitian yang
berkaitan dengan isu ini juga menjadi banyak dilakukan. Good corporate
governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnis
merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan
maksud untuk meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas perusahaan, yang
tujuan akhirnya untuk mewujudkan shareholder value (Solomon dan Solomon:
2004). Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai
perusahaan diantaranya kinerja keuangan, mengurangi resiko yang merugikan
akibat tindakan pengelolaan yang cenderung menguntungkan diri sendiri, dan
umumnya good corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor
(Tjager dkk:2003).
Karena pentingnya mekanisme corporate governance, banyak penelitian
yang meneliti hubungan corporate governance dengan kinerja dan return saham.
Mengingat keuntungan yang akan didapat oleh shareholder dan makin baiknya
performance perusahaan itu sendiri, maka penerapan good corporate governance
harus dilakukan. Lastanti (2004), menyatakan bahwa terdapat hubungan struktur
corporate governance dengan kinerja perusahaan dan reaksi pasar, Pendapat ini
didukung juga oleh Mayangsari (2003), Majidah (2004) dan Suranta (2004). Namun
belum banyak penelitian yang melihat informasi corporate governance yang harus
diungkapkan kepada stakeholders. Corporate governance reporting/ disclosure
memberikan informasi seperti manajemen, controlling, transparansi dan
akuntabilitas kepada pemakai laporan keuangan di pasar modal. Informasi ini
diperlukan agar pemakai dapat membedakan mana perusahaan yang praktek
governancenya baik atau buruk, yang akhirnya akan berinvestasi pada perusahaan
yang agency problemnya kecil. Hal ini dapat dipahami karena perusahaan yang
agency problemnya kecil akan berakibat pada kinerja perusahaan yang lebih tinggi.
Kinerja perusahaan sangat penting jika dikaitkan dengan penelitian disclosure
dan corporate governance. Beberapa penelitian yang menghubungkan kinerja

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

perusahaan dengan disclosure misalnya Miller (2002); Lang & Lundholm (1993).
Gonedes, Dopuch, and Penman (1976) meneliti mengenai aturan pengungkapan
dan sejauh mana aturan pengungkapan konsisten dengan alokasi sumber daya
secara optimal. Penelitian ini ingin mengembangkan kerangka corporate
governance disclosure. Bapepam telah mengeluarkan peraturan mengenai
corporate governance disclosure yang bersifat mandatory pada tahun 2006 yang
harus ditaati oleh perusahaan pada tahun 2007. Meskipun banyak penelitian yang
melihat hubungan corporate governance disclosure dengan faktor-faktor lain
misalnya earnings management (Chtoutou et al 2001; Kasznik 1999, Klein A 2002;
Siregar, dan Siddharta Utama (2006), kinerja perusahaan (Darmawati dkk 2005),
aktivitas luar negeri dan proprietary costs (Depoers,2004), namun belum banyak
riset corporate governance yang menghubungkan pengaruh CEO tenure (lamanya
menjadi CEO) atas corporate governance disclosure.
Karakteristik CEO adalah penting dalam corporate governance (Shen, 2003)
sehingga juga relevan dalam corporate governance reporting. Perbedaan waktu
memimpin akan mempengaruhi pengendalian manajerial perusahaan.
Pengendalian manajerial ini pada akhirnya juga mempengaruhi kinerja perusahaan,
sehingga CEO tenure akan mempengaruhi tingkat corporate governance reporting.
Zuraidah dan Norman M Saleh (2005) menguji hubungan antara kinerja perusahaan
dengan corporate governance reporting dengan variabel moderating CEO tenure.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan yang lemah antara kinerja
perusahaan dengan corporate governance reporting dapat dijelaskan karena
perbedaan CEO tenure.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Zuraidah dan Norman M
Saleh (2005) yang dilakukan di Malaysia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya dalam hal pengukuran variabel yang digunakan, periode penelitian dan
lokasi. Motivasi penelitian ini adalah ingin menguji kembali penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya mengenai pengaruh kinerja perusahaan terhadap disclosure.
Penelitian ini ingin menguji hubungan langsung antara kinerja perusahaan dan CEO
tenure terhadap corporate governance (CG) reporting. Pertama, ingin diuji pengaruh
langsung kinerja perusahaan dan CEO tenure terhadap praktek corporate

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

governance reporting. Yang kedua penelitian ini ingin menguji apakah CEO tenure
memoderasi hubungan antara kinerja perusahaan dengan CG reporting.
Shen (2003) dalam Zuraidah (2005) menyatakan bahwa semakin lama masa
jabatan CEO maka dia akan mengungkapkan lebih rendah praktek corporate
governance karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang
dimilikinya, juga rendahnya pengawasan dari board of director. Sebaliknya masa
jabatan CEO yang lebih pendek, maka lebih besar pengawasan dari board of
director dan stakeholders, belum mempunyai posisi yang aman dilihat dari
kekuasaannya, sehingga akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate
governance.
Kontribusi penelitian ini adalah agar investor memiliki pengetahuan mengenai
kinerja perusahaan dilihat dari corporate disclosure reporting dan CEO tenure.
Selain itu penelitian ini membantu para manajer dapat mengambil keputusan yang
tepat dalam rangka perbaikan kinerja sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai, juga diharapkan penelitian
ini menambah kajian literature tentang hubungan antara kinerja perusahaan dengan
corporate governance disclosure yang tidak konsisten. Dengan menambah
moderating variabel CEO tenure diharapkan penelitian ini dapat berkontribusi pada
manajemen dan perusahaan dalam memberikan perhatian terhadap kinerjanya.
Sistematika pembahasan dalam paper ini adalah pendahuluan, kerangka
teoritis dan pengembangan hipotesis, metodologi penelitian, analisis pembahasan
dan kesimpulan.

Kerangka teoritis
1. Corporate governance Reporting dan Kinerja perusahaan
Pengaruh kinerja perusahaan terhadap disclosure adalah isu dasar dalam
literatur voluntary disclosure (Miller, 2002). Lang & Lundholm (1993) menemukan
bahwa secara keseluruhan perusahaan akan mendisclose lebih banyak dalam tahun
dimana annual earnings sangat tinggi. Namun masih terdapat bukti yang kontradiksi
mengenai hubungan antara kinerja dengan disclosure, misalnya Raffournier (1995)
menemukan bahwa profitability tidak signifikan mempengaruhi voluntary disclosure.
Gonedes, Dopuch, and Penman (1976) meneliti mengenai aturan pengungkapan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

dan sejauh mana aturan pengungkapan konsisten dengan alokasi sumber daya
secara optimal.
Verrecchia (1983 dan 1990) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara kinerja perusahaan dan kualitas disclosure. Kinerja yang bagus akan
memotivasi manager untuk mendisclose informasi perusahaan lebih detail
(termasuk praktek corporate governance) agar dapat mendorong posisi yang
berkelanjutan dan insentive yang besar (Raffournier, 1995).
Sebuah survey yang dilakukan oleh McKinsey & Co menunjukkan bahwa
corporate governance menjadi perhatian utama para investor menyamai kinerja
financial dan potensi pertumbuhan, khususnya bagi pasar-pasar yang sedang
berkembang. Investor cenderung menghindari perusahaan yang buruk dalam
penerapan corporate governance (Tjager, dkk :2003).
Salah satu keputusan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan adalah
melakukan pelaporan corporate governance dengan mengungkapkan informasi
kepada para stakeholders. Pengungkapan informasi yang memadai diberikan oleh
perusahaan karena mempunyai kepentingan yaitu adanya harapan mengenai
dampak positif dari pengungkapan informasi yang disampaikan. Manajemen akan
memberikan dan mengungkapkan informasi secara sukarela dipengaruhi oleh biaya
dan manfaat yang diperoleh. Manajemen akan mengungkapkan informasi secara
sukarela bila manfaat yang diperoleh dari pengungkapan informasi tersebut lebih
besar dari biayanya ( Elliot dan Jacobson,1994 dalam Gulo ,2000). Elliot dan
Jacobson (1994) dalam Gulo(2000) menemukan bahwa manfaat pengungkapan
informasi secara sukarela adalah semakin kecilnya biaya modal (cost of capital).
Penelitian tentang kelengkapan pengungkapan (disclosure) dalam laporan
tahunan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah dilakukan oleh beberapa
peneliti seperti Simanjuntak dan Lusy Widiastuti (2004) dan Aryati (2006). Penelitian
Kusumawati dan Bambang Riyanto (2006) berusaha untuk menginvestigasi apakah
investor benar-benar rela membayar premium yang lebih tinggi jika praktek
corporate governance dilaporkan dalam annual report perusahaan.
KNKG (Komite Nasional Kebjakan Governance) telah mengeluarkan
pedoman mengeluarkan pedoman umum tentang good corporate governance di
Indonesia tahun 2006. Pedoman ini diterbitkan untuk menyempurnakan pedoman

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang telah diterbitkan pada tahun 2001. Pada tahun 2006, bapepam juga telah
mengeluarkan peraturan mengenai Corporate governance yang wajib ditaati oleh
perusahaan pada tahun 2008.
Kinerja perusahaan sangat penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan
pengungkapan dan Corporate governance (Zuraidah, 2005). Beberapa penelitian
yang menjelaskan hubungan antara kinerja perusahaan dan pengungkapan seperti
Miller (2002), Lang & Lundholm (1993), dan Darmawati,dkk (2005), menyatakan
bahwa terdapat hubungan struktur corporate governance dengan kinerja
perusahaan dan reaksi pasar. Pendapat ini didukung juga oleh Mayangsari (2003),
Majidah (2004) dan Suranta (2004). Serta penelitian Darmawati (2004), Majidah
(2004), Suranta (2004) yang mengukur struktur Corporate governance dengan
kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan return on asset (ROA) dan return
on equity (ROE). Hal ini dapat dijadikan dasar umum dalam mengembangkan
kerangka kerja dari pengungkapan CG. Walaupun mereka mencoba menguji faktor
lain seperti ukuran perusahaan (Raffourner,1995), dan aktivitas luar negeri dan
biaya kepemilikan (Depoers,2004), earnings management (Chtoutou et al 2001;
Kasznik 1999, Klein A 2002; Siregar, dan Siddharta Utama (2006), kinerja
perusahaan (Darmawati dkk 2005). Arsjah (2002) menggunakan skor dari survei
peringkat CG yang dilakukan IICG dan CLSA sebagai ukuran dari CG. Sedangkan
PBV digunakan sebagai ukuran pengukuran kinerja perusahaan dengan variabel
kontrol yaitu ROE, Growth, dan Beta saham perusahaan.

2. Corporate governance Reporting, Kinerja dan CEO tenure


Jensen dan Meckling (1976) menunjukkan adanya unsur tambahan yang
dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Salah satu unsur
tersebut adalah bekerjanya pasar tenaga kerja. Agen bisa tidak bermasa depan
bila kinerjanya buruk. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan
pengelola yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari
keinginan pemegang saham yang dikelolanya.
Shen (2003) seperti dikutip oleh Zuraidah (2005) menyatakan bahwa
karakteristik dari CEO adalah sangat penting dalam Corporate governance, oleh
karena itu, akan menjadi relevan dalam pelaporan Corporate governance. Tingkatan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

yang berbeda pada masa jabatan CEO akan mempengaruhi baik pengembangan
kepemimpinan CEO juga kesempatan untuk mengendalikan manajemen. Luasnya
kinerja dan masa jabatan CEO mempengaruhi tingkat pelaporan Corporate
governance belum banyak dilakukan penelitian terhadap hal tersebut. Shen (2003)
menyatakan bahwa semakin lama masa jabatan CEO maka dia akan
mengungkapkan lebih rendah atau lebih sedikit praktek corporate governance
karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang dimilikinya, juga
rendahnya pengawasan dari board of director. Sebaliknya masa jabatan CEO yang
lebih pendek, maka lebih besar pengawasan dari board of director dan stakeholders,
belum mempunyai posisi yang aman dilihat dari kekuasaannya, sehingga akan
mengungkapkan lebih banyak praktek corporate governance. Dalam Zuraidah
(2005) menyatakan bahwa masa jabatan CEO yang lebih pendek akan
mendisclose lebih banyak dibandingkan masa jabatan CEO lebih lama. Variabel
CEO tenure dalam penelitiannya juga menunjukkan prediktor CG Reporting yang
signifikan.

Variabel Kontrol
Terdapat dua variabel kontrol yang akan dimasukkan dalam penelitian ini.
Pertama, seperti Bushman et al. (2004), dalam penelitian ini juga akan dimasukkan
umur perusahaan. Kedua, variabel borrowing juga akan dimasukkan sebagai
variabel control. Borrowing/ gearing diukur dengan total hutang dibagi dengan total
assets (Banhart & Rosenstein, 1998; Hutchinson & Gul, 2004) dalam Zuraidah
(2005).
Oleh karena itu dua variable control yang akan dimasukkan dalam penelitian ini ,
yaitu :
a. Umur perusahaan
Umur perusahaan dapat diukur dengan tepat dari tanggal berdirinya
perusahaan.
b. Borrowing
Pinjaman perusahaan dapat dihitung dengan total utang atas harta.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Rerangka Model Penelitian


Hubungan antar variable dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 Rerangka Model Penelitian

Variabel Independen:
Variabel Dependen:
Firm Performance
CorporateGovernance
Variabel Control : Reporting
Firms Age
Borrowing
Variabel Moderating :
CEO tenure

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pengujian hipotesis.
Penelitian ini ingin menguji hubungan antara kinerja perusahaan dengan CG
Reporting dengan variabel moderating CEO tenure. Selain itu juga akan dimasukkan
variabel kontrol yaitu : umur perusahaan, tingkat hutang, dan kinerja lingkungan.
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan go publik yang terdaftar di BEJ
pada tahun 2005.

Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga hipotesis yaitu:
H1 :Terdapat korelasi positif antara kinerja perusahaan dengan Corporate
governance Reporting
H2 : Perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih pendek akan mengungkapkan
lebih banyak dalam praktek Corporate governance dibanding dengan
perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih lama.
H3 : Hubungan antara kinerja perusahaan dan pelaporan Corporate
governance
adalah lebih kuat untuk perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih
pendek dibanding dengan masa jabatan CEO lebih lama.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Variabel dan Pengukuran


1. Dependent Variable : Corporate governance Reporting
Variabel ini mengukur berapa banyak butir laporan tahunan yang
diungkap oleh perusahaan. Butir pengungkapan corporate governance dalam
laporan tahunan yang diukur meliputi yang bersifat sukarela (voluntary).
Penelitian ini menggunakan Indeks Corporate governance (CGIX) yang
dikembangkan oleh Silveira & Baros (2006) dengan beberapa modifikasi. CGIX
yang dikembangkan dalam penelitian ini mengikuti cara pembentukan indeks oleh
Silveira & Barros (2006) dengan penyesuaian terhadap keadaan dan peraturan yang
berlaku di Indonesia. Indeks dari Silveira & Barros ini dijadikan acuan dalam
pengukuran CG karena Brazil sebagai negara tempat penelitian mereka memiliki
karakter yang cukup mirip dengan Indonesia yaitu developed country dengan
kepemilikan saham yang terkonsentrasi pada keluarga.
Terdapat 22 item pertanyaan dengan jawaban biner (Ya-Tidak) dalam
menghitung indeks CG ini. Setiap jawaban positif (Ya) akan diberi nilai 1, jika tidak
dijawab atau tidak terdapat informasinya dalam Laporan Tahunan, keuangan, dan
website perusahaan atau jawabannya negatif (Tidak) akan diberi nilai 0 sehingga
range nilai untuk setiap perusahaan berkisar antara 0 sampai 22.
Perusahaan dengan angka indeks yang lebih tinggi menunjukkan bahwa
perusahaan tersebut melakukan praktik pengungkapan secara lebih
komprehensif relatif dibanding perusahaan lain. Daftar item pengungkapan dapat
dilihat dalam lampiran 1.
2. Independent Variable : Kinerja Perusahaan (Firms Performance)
Shen menyatakan (2003), dalam Zuraidah (2005) menyatakan bahwa kinerja
perusahaan dapat diukur dengan banyak indikator, termasuk tingkat pengembalian
keuangan perusahaan (accounting based performance) dan posisi persaingan di
pasar (market based performance). Penelitian ini menggunakan Accounting Based
Performance (ROE) dan Market Based Performance (return saham).
Accounting Based Performance (ROE) digunakan rasio untuk mengukur
kinerja keuangan yaitu Return On Equity, dengan rumus:
Return On Equity (ROE) = Net Income
Stockholders Equity

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Market Based Performance (return saham) = Closing Price t Cl. Price t-1
Closing Price t-1

Data Harga saham yang tersedia dalam ICMD adalah data bulanan yang
akan dihitung rata-ratanya selama setahun.

3. Moderating Variable
Masa jabatan seorang CEO di suatu perusahaan dapat dihitung dengan
jumlah tahun CEO itu menjabat di posisinya. Mengikuti penelitian sebelumnya
(Pallant, 2001 dan Zuraida , 2005), dalam penelitian ini umur CEO juga diukur
dengan kuadrat dari umur CEO.

4. Control Variable
Dua variabel yang digunakan sebagai variable control di dalam penelitian ini,
adalah :
a. Firms Age
Mengikuti Bushman et.al. (2004) maka dalam penelitian ini dimasukkan umur
perusahaan sebagai variabel control. Umur Perusahaan diukur dari tanggal
berdirinya perusahaan yang diakarkuadratkan ( Pallant, 2001).
b. Borrowing
Pinjaman perusahaan dapat dihitung dengan total utang atas harta.

Teknik Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data berupa
laporan tahunan perusahaan tahun 2005. Populasi penelitian ini adalah semua
perusahaan manufacturing yang terdapat di Bursa Efek Jakarta. Sampel dipilih
dengan metode purposive random sampling dengan kriteria:

1. Emiten mempunyai tahun buku yang berakhir 31 Desember.


2. Emiten mempunyai nilai buku ekuitas positif untuk tahun 2005.
Emiten dengan nilai ekuitas negatif tidak dipilih karena dengan ekuitas negatif
berarti emiten dalam keadaan insolvent atau mengalami kesulitan keuangan yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

serius. Data pelaporan corporate governance dihitung dari annual report dan dari
web perusahaan. Data lain diambil dari ICMD, laporan keuangan perusahaan dan
dari annual report.
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 perusahaan.

Metode Analisis Data


Pengujian data dilakukan dengan regresi berganda setelah melakukan uji asumsi
klasik berupa uji multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Terdapat tiga Model Persamaan yang akan diuji yaitu :
1. CGIX = +1 Age + 2Borrowing+ .(1)
2. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 Firms Performance
+ 4 CEO + (2)
3. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3Firms Performance
+ 4 CEO + 5 Firms Perf x CEO + .(3)
Persamaan 1 untuk menguji pengaruh control variables umur dan Borrowing
terhadap CGIX.
Persamaan 2 dilakukan untuk menguji variable utama yaitu kinerja perusahaan dan
CEO tenure dan control variable terhadap CGIX.
Persamaan 3 dilakukan untuk melihat efek interaksi antara CEO tenure terhadap
hubungan antara firm performance dan GCIX. Jika terjadi pengaruh yang signifikan
dalam efek interaksi antara firm performance dan CEO tenure maka terdapat efek
moderating. Efek moderating tersebut ada CEO tenure memoderating hubungan
antara firm performance dan CGIX.

4. Analisis dan Pembahasan


Tabel 1 berikut ini merupakan statistic deskriptif semua variabel yang
dianalisis. Nilai rata-rata corporate governance indeks sebesar 0.59 dengan
standar deviasi sebesar 1.13. Sedangkan tabel 2 menunjukkan matriks korelasi
antar semua variabel. Baik ROE maupun Returns berhubungan positif dengan CG
Indeks. Korelasi yang significan adalah antara CG Indeks dengan Borrowing dengan
korelasi 0.369 signifikan pada level 0.05.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 1
Statistik Deskriptif
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
INDEKS 30 .40910 .95450 .5863600 .13150529
BORROW 30 .10450 .83240 .4413600 .18978135
CEO 2.249443
30 1.00000 2.82843 .64861059
1
AGE 5.034060
30 3.00000 7.34850 .99565599
0
ROE 30 .00340 .97100 .1367833 .17796274
RETURNS 30 .00030 .08090 .0114033 .01482901
Valid N
30
(listwise)

Tabel 2
Matriks Korelasi Variabel

Correlations

INDEKS BORROW CEO AGE ROE RETURNS


INDEKS Pearson Correlation 1 .369* -.319 .122 .172 .172
Sig. (2-tailed) . .045 .086 .521 .365 .363
N 30 30 30 30 30 30
BORROW Pearson Correlation .369* 1 .136 .162 -.248 -.248
Sig. (2-tailed) .045 . .475 .393 .187 .187
N 30 30 30 30 30 30
CEO Pearson Correlation -.319 .136 1 -.002 -.206 -.206
Sig. (2-tailed) .086 .475 . .990 .275 .275
N 30 30 30 30 30 30
AGE Pearson Correlation .122 .162 -.002 1 .138 .137
Sig. (2-tailed) .521 .393 .990 . .468 .469
N 30 30 30 30 30 30
ROE Pearson Correlation .172 -.248 -.206 .138 1 1.000**
Sig. (2-tailed) .365 .187 .275 .468 . .000
N 30 30 30 30 30 30
RETURNS Pearson Correlation .172 -.248 -.206 .137 1.000** 1
Sig. (2-tailed) .363 .187 .275 .469 .000 .
N 30 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Dalam melihat pengaruh kinerja perusahaan terhadap CG Indeks terdapat


dua konstruk kinerja yang berbeda, yaitu kinerja akuntansi dan kinerja pasar. Kinerja
akuntansi menggunakan ROE dan hasil pengujiannya dapat dilihat dalam Tabel 3,
sementara kinerja pasar menggunakan returns saham yang hasil pengujiannya
dapat dilihat dalam Tabel 4.
Pengujian dilakukan dengan melakukan uji asumsi klasik terhadap
otokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearity. Pengujian terhadap otokorelasi
dan heteroskedastisitas terhadap seluruh model sudah lolos, kecuali uji
multikolinearitas antara variabel kinerja dan variabel interaksi kinerja dan CEO
Tenure. Hal ini dapat dipahami karena variabel interaksi adalah perkalian antara
variabel CEO dengan Kinerja.
Tabel 3 merupakan hasil regresi kinerja akuntansi (ROE) dan CEO tenure
terhadap CG Indeks dengan menggunakan tiga model. Model pertama hanya
memasukkan variabel kontrol yaitu umur perusahaan dan borrowing; model kedua
dengan menambahkan pengaruh langsung ROE dan CEO tenure; dan model ketiga
dengan menambahkan interaksi antara ROE dengan CEO tenure.
Berdasarkan Model pertama, variabel kontrol dapat menjelaskan 7.7% variasi
CG Reporting ( CG Indeks). Dari dua variabel kontrol Borrowing dan umur
perusahaan, variabel borrowing ternyata signifikan menjelaskan CG Reporting pada
level 10% dengan arah positif. Hipotesis 1 yang memprediksikan bahwa CG
Reporting mempunyai hubungan positif dengan kinerja perusahaan dapat dilihat
dalam model kedua. Berdasarkan model kedua dapat dilihat bahwa CG reporting
dan ROE berhubungan positif tetapi tidak signifikan.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 3
Regresi Model 1,Model 2, dan Model 3 dengan kinerja ROE

1. CGIX = +1 Age + 2Borrowing+ .(1)


2. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 ROE
+ 4 CEO + (2)
3. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 ROE
+ 4 CEO + 5 ROE x CEO + .(3)

Variabel Model 1 Model 2 Model 3


intercept 0.434** 0.566*** 0.505***
Borrowing 0.249* 0.323** 0.309*
FirmsAge 0.008 0.002 0.002

Efek Utama:
ROE 0.159 0.595
CEO tenure -0.068* -0.036

Interaksi:
ROE x CEO tenure -0.236

R2 0.14 0.319 0.335


Adj R2 0.077 0.210 0.196
Perubahan Adj R2 0.077 0.133 -0.14
F-stat 2.205 2.924 2.413
signifikansi 0.130 0.041** 0.066*
*** signifikan pada level 0.01
** signifikan pada level 0.05
* signifikan pada level 0.10
Hipotesis 2 memprediksikan bahwa umur CEO yang lebih pendek
mengungkapkan lebih banyak CG reporting dapat dilihat pada model 2. Hasilnya
ternyata CEO tenure mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap CG

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Reporting pada level 10%. Dengan kata lain semakin lama umur CEO maka akan
mengungkapkan corporate governance yang lebih sedikit. Hasil ini mendukung
hipotesis kedua. Jika dilihat dari nilai adjusted R square maka terdapat perubahan
adjusted r square sebesar 13.3% antara model 1 dan model 2. Hal ini dapat
dikatakan bahwa model 2 dapat menjelaskan variasi variabel utama dengan lebih
baik. Hasil F statistik model 2 sebesar 2.924 dan signifikan pada level 5%, artinya
secara bersama-sama, variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen.
Model 3 merupakan model yang memasukkan unsur interaksi antara CEO
Tenure dengan ROE. Hipotesis 3 memprediksikan bahwa CEO Tenure memoderasi
hubungan antara ROE dan CG Reporting. Jika dilihat hasil regresi model 3,
koefisien interaksi ternyata tidak signifikan mempengaruhi hubungan ROE dan CG
Reporting dengan koefisien interaksi sebesar -0.236. Hasil ini ternyata tidak
konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zuraidah (2005) di
Malaysia, dimana CEO Tenure memoderasi hubungan antara ROE dan CG
Reporting. Variabel CEO tenure yang pada model kedua hasilnya signifikan, namun
pada model 3 ternyata menjadi tidak signifikan lagi. Variabel kontrol yaitu borrowing
ternyata signifikan mempengaruhi CG Reporting dengan tingkat signifikansi 10%.
Jika dilihat secara keseluruhan dari Model 3 dapat dikatakan bahwa variasi
seluruh variabel independen dan variabel kontrol dapat menjelaskan variasi variabel
CG Reporting sebesar 33.5%, sedangkan sisanya sebesar 66.5% dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak masuk dalam model. Dari Uji F, dapat dilihat bahwa secara
bersama-sama variabel independen dan variabel kontrol dapat menjelaskan variabel
CG Reporting dengan signifikansi 10%.
Jika sebelumnya kinerja perusahaan diproksikan dengan ROE, maka berikut
ini kinerja perusahaan diproksikan dengan return saham. Tabel 4 menunjukkan hasil
pengujian regresi antara efek utama, interaksi, dan CEO tenure terhadap CG
Reporting dengan tiga tahap regresi. Model pertama hanya memasukkan variable
control yaitu umur perusahaan dan borrowing. Model kedua menambahkan variable
utama yaitu returns saham dan CEO Tenure; dan Model 3 memasukkan variable
interaksi antara Returns saham dan CEO Tenure.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Tabel 4
Regresi Model 1, Model 2 dan Model 3 dengan Kinerja Returns
1 CGIX = +1 Age + 2Borrowing+ .(1)
2. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 Returns
+ 4 CEO + (2)
3. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 Returns
+ 4 CEO + 5 Returns x CEO + .(3)

Variabel Model 1 Model 2 Model 3


intercept 0.434** 0.565*** 0.504***
Borrowing 0.249* 0.323** 0.309*
FirmsAge 0.008 0.002 0.002

Efek Utama:
Returns 1.914 7.274
CEO tenure -0.068* -0.035

Interaksi:
Returns x CEO -2.899
tenure

R2 0.14 0.319 0.335


Adj R2 0.077 0.210 0.197
Perubahan Adj R2 0.077 0.133 -0.13
F-stat 2.205 2.928 2.425
signifikansi 0.130 0.041** 0.065*
*** signifikan pada level 0.01 * signifikan pada level
0.10
** signifikan pada level 0.05

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Hipotesis 1 memprediksi bahwa CG Reporting mempunyai hubungan positif


dengan kinerja perusahaan, sedangkan hipotesis 2 memprediksikan bahwa CEO
Tenure berhubungan negatif dengan CG Reporting. Setelah memasukkan variabel
kontrol umur perusahaan dan borrowing, Model 2 memperlihatkan bahwa returns
saham tidak signifikan mempengaruhi CG Reporting, namun mempunyai arah yang
positif sesuai dengan hipotesis. Hasil model kedua ternyata tidak mendukung
hipotesis pertama. Hal ini ternyata juga sama dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Zuraidah (2005) yang tidak mendukung hipotesis pertama. Di lain pihak, CEO
Tenure ternyata merupakan faktor yang signifikan ( pada p < 0.01) mempengaruhi
CG Reporting dengan arah negatif. Hal ini berarti hipotesis 2 didukung. Model ini
memiliki kekuatan menjelaskan sebesar 13.3% dibandingkan model 1.
Hipotesis 3 berhubungan dengan pengaruh interaksi antara CEO Tenure
dengan Returns saham terhadap CG Reporting. Seperti pada analisis model 3
dengan kinerja ROE, maka pada model 3 dengan memasukkan pengaruh interaksi
interaksi menaikkan kekuatan model sangat kecil yaitu sebesar 1.6% ( R2= 1.6%).
Variabel interaksi ternyata tidak signifikan dengan koefisien -2.899. Model 3 tidak
mendukung hipotesis 3. Namun jika dilihat dari uji F, dapat dilihat bahwa secara
bersama-sama variable independen dan variable control dapat menjelaskan variabel
CG Reporting dengan signifikansi 10%.

Pembahasan
Pengujian H1 dan H2
Regresi bertahap dengan tiga model digunakan untuk menguji Hipotesis 1
dan Hipotesis 2. Dalam Hiptesis 1, Kinerja perusahaan mempunyai hubungan
positif dengan CG Reporting, digunakan dua pengukuran yang berbeda, yaitu
kinerja akuntansi dan kinerja saham. Hasilnya menunjukkan bahwa jika digunakan
kedua kinerja tersebut, maka Kinerja perusahaan berhubungan positif dengan CG
Reporting tetapi tidak signifikan. Oleh karena itu, kedua variabel pengukuran kinerja
tersebut tidak dapat mendukung hiptesis pertama. Hasil ini konsisten dengan
Raffournier (1995), Labelle (2002), dan Zuraidah (2005) yang menemukan
hubungan yang lemah antara kinerja perusahaan dengan disclosure.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Penelitian ini juga ingin melihat efek CEO tenure dan kinerja perusahaan
dalam mempengaruhi CG Reporting. H2 menyatakan bahwa semakin pendek umur
CEO akan mendisclose lebih banyak dibandingkan dengan Umur CEO yang lebih
panjang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa CEO Tenure merupakan variabel
yang signifikan mempengaruhi CG Reporting. Dalam tahap awal umurnya, sebagian
besar manager menggunakan waktunya untuk beradaptasi dengan perubahan, dan
untuk memahami operasi dan orang-orang yang mendukung perusahaan. Sesuai
dengan adverse selection dan information asymetry, hasil ini mendukung, bahwa
manager yang muda akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate
governance. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepercayaan stakeholders
kepadanya, dan akhirnya dia dalam posisi yang aman dalam pekerjaannya maupun
promosi yang lebih baik. Oleh karena itu, CEO yang baru cenderung untuk
mendisclose lebih banyak dibandingkan dengan CEO yang lama.

Pengaruh Interaksi (H3)


Selain melakukan pengujian terhadap pengaruh variable utama yaitu kinerja
dan CEO Tenure, penelitian ini juga menguji pengaruh interaksi kinerja dengan CEO
Tenure. Diharapkan hubungan yang positif antara kinerja perusahaan dengan CG
Reporting akan dimoderating dengan CEO Tenure ( H3). Hasil analisis baik
menggunakan kinerja akuntansi maupun kinerja saham ternyata tidak mendukung
pengaruh interaksi CEO Tenure dengan kinerja terhadap CG Reporting. Bagi
manajer yang relatif baru di perusahaan, mereka akan tidak banyak melakukan
pengungkapan corporate governance walaupun kinerja perusahaan rendah. Di lain
pihak, manajer yang sudah lama justru akan melakukan pengungkapan yang lebih
banyak, walaupun kinerja perusahaan sudah baik.
Hasil hipotesis 3 ternyata tidak konsisten dengan penelitian Zuraidah (2005),
walaupun hubungannya lemah. Dalam penelitian ini, manajer yang baru tidak
banyak melakukan pengungkapan walaupun kinerja perusahaan baik, sebaliknya
manajer yang lama juga tidak banyak mengungkapkan walaupun kinerja
perusahaan baik. Hal ini cukup menarik untuk dilakukan penelitian lanjutan
mengenai earnings manajemen yang berkaitan dengan CEO Tenure.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan pada literatur voluntary disclosure dan corporate governance,
penelitian ini ingin menguji pengaruh kinerja perusahaan, CEO Tenure terhadap CG
Reporting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja perusahaan berhubungan
positif dengan CG Reporting, namun tidak signifikan. Sementara itu, hasil pengujian
terhadap CEO Tenure menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan terhadap
CG Reporting. Hal ini berarti bahwa manajer yang relatif baru akan melakukan
pengungkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan manajer yang relatif sudah
lama.
Hasil analisis hipotesis 3 baik menggunakan kinerja akuntansi maupun
kinerja saham ternyata tidak mendukung pengaruh interaksi CEO Tenure dengan
kinerja terhadap CG Reporting.

Keterbatasan
1. Penelitian ini menggunakan sampel yang sedikit karena keterbatasan waktu.
Diharapkan penelitian berikutnya menambah jumlah sampel dan jenis industri
agar kesimpulan lebih dapat digeneralisasikan.
2. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel size sebagai variabel utama yang
mempengaruhi disclosure, seperti Raffournier (1995) dan Depoers (2000),
sehingga penggunaan variabel size sebagai variabel utama dapat
dipertimbangkan.
3. Pengukuran variabel CG Reporting juga mempunyai keterbatasan karena
perdebatan yang panjang.

Saran
1. Penelitian berikutnya dapat dipertimbangkan faktor-faktor organisasional yang
lain, seperti heterogenitas team manajemen perusahaan, umur dan kepemilikan
perusahaan. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian mengenai earnings
manajemen yang dikaitkan dengan CEO Tenure.
2. Perlu juga dipertimbangkan mengenai kapan dan bagaimana perusahaan
tertentu mempunyai kualitas disclosure yang lebih baik dibandingkan
perusahaan yang lain, sehingga dapat diketahui pengaruh langsung atau tidak
langsung CG Reporting dalam isu corporate Governance dapat lebih dipahami.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Arsjah, Regina Jansen .2002. Pengaruh Corporate governance pada kinerja


perusahaan di BEJ, Thesis, Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas
Ekonomi, Universitas

_________________, 2005. Hubungan Corporate governance, Nilai Perusahaan


dan
Pengelolaan Laba di Bursa Efek Jakarta, Disertasi, Program Pascasarjana
Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Aryati, Titik., 2006. Pengaruh Leverage, Saham Publik, dan Reputasi Auditor
terhadap Disclosures. Jurnal Akuntansi. Th X/02/Mei/2006 Universitas
Tarumanagara. Jakarta.

__________, 2004. Analisis Luas Pengungkapan Sosial Dalam Laporan Tahunan


Perusahaan Terhadap reaksi Investor. Jurnal Akuntansi, Vol 4 Nomor 3 Sept
2004. Ukrida. Jakarta.

__________, dan Nindhita Gita Meidiyani, 2005. Analisis Hubungan antara Struktur
Corporate governance dengan Nilai Perusahaan dan Kinerja
Keuangan.Jurnal Ekonomi STEI, Jakarta.

Darmawati, Deni., Rika Gelar Rahayu. 2004. Hubungan Corporate governance dan
kinerja perusahaan. Simposium Nasional Akutansi VII . Denpasar Bali, hal.
391-405.

____________, Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu. 2005. Hubungan Corporate


governance dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia.
Vol8.No.1 Januari 2005.65-81.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Damiri, Mas Achmad. 2005. Good Corporate governance Konsep dan Penerapan
dalam Konteks Indonesia. Gloria Printing, Jakarta.

Depoers, F. 2000. A cost-benefit study of voluntary disclosure : some empirical


evidence from French listed companies. The Eropean Review, 9 : 245-263.

Gonedes, Nicholas j, N. Dopuch, and S.H. Penman. 1976. Disclosure Rules,


Information Production, and Capital Market Equilibrium : The Case of
Forecast Disclosure Rules. Journal of Accounting Research, Spring. Pp 89-
136.

Gulo, Yamotuho.2000. Analisis Efek Luas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan


Tahunan Terhadap Cost of Equity Capital Perusahaan. Jurnal Bisnis dan
Akuntansi.Vol 2. No.1,April 2000,45-62.

Jensen, M.C, & Meckling, W.H. 1976. Theory of the Firm : Managerial Behavior,
Agency cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics,3:305-
360.

Komite Nasional Kebijakan Corporate governance. Konsep dan Implementasi


Perusahaan Publik dan Koporasi di Indonesia. Jakarta: YPPMI Institute FCGI,
2002.

Kusumawati, Dwi Novi dan Bambang Riyanto Ls. 2006. Transparency and
Corporate governance : Analysis of Factors Affecting Transparancy and Its
Effect on Market Value of the Firm. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 9.
No 2 Mei 2006.115-135.

Lang, M.H. and R.J Lundholm.1993. Cross-sectional Determinants of Analyst


Ratings of Corporate Disclosures. Journal of Accounting Researsh 31 : 246-
271.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Lastanti, Hexana S. 2003. Hubungan Struktur Corporate governance dengan Kinerja


Perusahaan dan Reaksi Pasar. Konferensi Nasional Akutansi, Peran Akuntan
dalam Membangun Good Corporate governance sesi Akutansi Manajement,
pp. 1-15.

Majidah. 2004. Hubungan Kausalia Mekanisme dan Proses Tata Kelola Perusahaan
Serta Kineja Keuangan. Proceding Konfrensi Nasional Akutansi, Topik
Akutansi Keuangan, Sesi II. Universitas Trisakti, Jakarta, hal 1-14.

Mayangsari, Sekar. 2003. Analisa Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, Serta


Mekanisme Corporate governance Terhadap Integritas Laporan Keuangan.
Simposium Nasional Akutansi VI , pp. 1255-1267.

Raffournier, B. 1995. The Determinants of voluntary financial disclosure by Swiss


listed companies. The Eropean Accounting Review, 4 : 261 -280.

Shen,W.2003. The Dynamics of the CEO-board relationship : an evolutionary


perspective, Academy of Management Review, Vol 28 No 3, 466-476.

Silveira and Barros .2006. Corporate governance Quality and Firm Value in Brazil.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=923310

Solomon, Jill dan Aris Solomon. 2004. Corporate Governance and Accountability.
John Willey and Son.

Sulistiyanto, Sri., 2003. Good Corporate governance: Bisakah Meningkatkan


Kepercayaan Masyarakat?. Jurnal Ekonomi & Bisnis-EKOBIS,
vol./No.1/Januari 2003, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung
semarang.

Suranta, Eddy., dan Pratana P Midiastuty. 2004. Pengaruh Good Corporate


governance terhadap praktek manajement laba. Proceeding Konfrensi

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Nasional Akutansi, Bidang Ilmu, Topik Akutansi Manajement, Sesi 1.


Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 1-18.

Suratno, Ignatius Bondan, Darsono, dan Siti Mutmainah.2007. Pengaruh


Environmental Performance Disclosure dan Economic Performance (Studi
Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta
Periode 2001-2004). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia.Vol 10 No 2 Mei
2007.hal 199-214.

Simanjuntak,Binsar.H,dan Lusy Widiastuti.2004.Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntasi
Indonesia. Vol.7,No.3.Hal.351-366.

Siregar, Sylvia Veronica, dan Siddharta Utama. 2006. Pengaruh Struktur


Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate governance
terhadap Pengelolaan Laba ( Earnings Management). Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia. Vol 9 no 3 September 2006..

Tjager, I Nyoman, Antonius Alijoyo, Humphrey R Djemat dan Bambang Soembodo.


2003. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi komunitas
bisnis Indonesia. FCGI. Prenhallindo.
Verrecchia, R.E. 1983. Discretionary Disclosure. Journal of Accounting & Economics
5 : 179-194.
_____________. 1990. Information Quality and Discretionary Disclosure. Journal of
Accounting & Economics 4 : 365-381.

Zuraidah,MS. dan Norman M saleh.2005.The Moderating Effect of CEO tenure on


The Firm Performance and Corporate governance Reporting
Relationship.Conference Proceedings, Asean Academic Accounting
Assosiation Conference.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

LAMPIRAN 1 : Daftar Pertanyaan CGIX

Dimensi No. Pertanyaan Corporate Governance Index


1 Apakah perusahaan memiliki website ?
2 Apakah Laporan Tahunan dipublikasikan melalui website
perusahaan?
Akses 3 Apakah website perusahaan mempublikasikan dokumen
Informasi mengenai implementasi CG?
4 Apakah website perusahaan menyediakan dua bahasa
(bilingual) atau hanya berbahasa Inggris?
5 Apakah perusahaan memiliki bagian Investor Relations
atau Sekretaris Perusahaan?
6 Apakah faktor risiko yang dihadapi perusahaan
diungkapkan dalam Laporan Tahunan?
7 Apakah terdapat deskripsi implementasi penerapan
corporate governance di Laporan Tahunan perusahaan?
8 Apakah laporan keuangan perusahaan telah diaudit oleh
auditor yang independen?
9 Apakah laporan keuangan dibuat berdasarkan PSAK?
Isi Informasi 10 Apakah Laporan Tahunan menyediakan data mengenai
proyeksi atas sasaran di masa datang?
11 Apakah Laporan Tahunan menyediakan data mengenai
praktik perusahaan terhadap lingkungan (CSR),
kesehatan, dan keamanan pegawainya?
12 Apakah Laporan Tahunan menyediakan data mengenai
kompensasi bagi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris?
13 Apakah Laporan Tahunan menyediakan informasi
tentang riwayat hidup anggota Dewan Komisaris dan
Dewan Direksi?
14 Apakah Laporan Tahunan menydiakan data informasi
daftar kepemilikan saham perusahaan?
15 Apakah fungsi CEO dan Presiden Komisaris dipegang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Dimensi No. Pertanyaan Corporate Governance Index


oleh orang yang berbeda?
16 Apakah proporsi komisaris independen lebih dari atau
Struktur sama dengan 30% dari jumlah total anggota Dewan
Dewan Komisaris?
Komisaris dan 17 Apakah perusahaan memiliki komite audit, komite
Komite remunerasi, dan atau komite nominasi dan
keberadaannya diungkapkan dalam Laporan Tahunan?
18 Apakah salah sat anggot komite audit yang diungkapkan
dalam Laporan Tahunan memiliki kompetensi dalam
akuntansi?
19 Apakah perusahaan hanya mengeluarkan saham biasa?
Struktur 20 Apakah jumlah saham preferen yang beredar lebih dari
Kepemilkan 50% dari total saham tersebut?
dan 21 Apakah pemegang saham pengendali memiliki
Perusaahaan kepemilikan kurang dari 70% dari total saham biasa
beredar?
22 Apakah perusahaan memiliki divisi internal audit yang
keberadaannya diungkapkan dalam Laporan Tahunan?

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV012- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

ANALISIS DAMPAK PRAKTEK CORPORATE GOVERNANCE DAN LUAS


PENGUNGKAPAN SUKARELA TERHADAP EARNINGS RESPONSE
COEFFICIENT PADA PRAKTEK PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA
EFEK JAKARTA*)

Vinola Herawaty
Dosen Universitas Trisakti sedang menempuh Program Doktor Ilmu Akuntansi
Pasca Sarjana Universitas Indonesia

Abstract

This study extends the prior research on corporate governance and voluntary
disclosure and examines whether corporate governance and voluntary disclosure
have impacts to the informativeness of earnings, proxied by the earnings response
coefficient. Corporate Governance Practice is proxied by Institusional Ownership,
Independent Directors, Manajerial Ownership and Audit Quality. The hypothesis is
that there is a positive association between corporate governance practice and the
informativeness of earnings and there is a negative association between voluntary
corporate disclosure and the value relevance of earnings. The sample consist of 63 firms
year of companies listed on The Jakarta Stock Exchange in the year period of 2004-
2006. To test the hypothesis, cumulative abnormal returns was regressed against current
earnings changes , corporate governance practice and disclosures index level. The
result suggests a positif association between ERC and two corporate governance
practices: Independent Directors and Manajerial Ownership; and negative
association between audit quality and ERC. On the other hand, there is no evidence
suggesting association between ERC and the other corporate governance practice;
Institusional Ownership and voluntary disclosure. It means that Institusional
Ownership and Voluntary Disclosure have no effect on the value relevance of

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 1


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Earnings The posibble reason is that the market believes that institusional ownership
of the company does not improve the monitoring ability to the management and do
not reduce managements ability to manipulate earnings.The other posibble reason
for the insignificant association of that voluntary disclosures with earning response
coefficient because in annual report insufficiently revealed the information about the
future prospect of the company.

Keywords: Corporate Governance, Earnings Response Coefficient, Voluntary


Disclsure.

*)sekarang Bursa Efek Indonesia

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 2


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. Pendahuluan

Tujuan utama dari penerapan prinsip Corporate Governance adalah


meningkatkan kinerja perusahaan melalui mekanisme supervisi atau pemantauan
kinerja manajemen dan sebagai upaya untuk memperkuat dan mempertegas
pertanggungjawaban dewan direksi dan tim manajemen kepada pihak pemegang
saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan (Keasey &
Wright, 1997; dan Sim & Teoh, 1997) serta mewujudkan sustainability
(kesinambungan) dari perusahaan. Dewan komisaris bertanggung jawab untuk
memonitor integritas laporan keuangan perusahaan. Dewan komisaris perusahaan
dapat dibentuk dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan dari organisasi.
Strukturnya yang bervariasi tersebut mencerminkan dua pandangan yang berbeda.
Di satu sisi, diyakini bahwa dewan komisaris yang dibentuk untuk memaksimalkan
kontrol dari perusahaan (Berle dan Means 1932; Mace 1971) Dengan pandangan ini
diyakini perusahaan akan menerapkan struktur yang dapat mengkontrol manajemen
perusahaan, yang akan menghasilkan kinerja perusahaan yang superior
sebagaimana manajemen memiliki informasi yang yang lebih dan memiliki
pengetahuan yang lebih baik atas kebutuhan perusahaan dibanding dewan
komisaris independen. Disisi lain, diyakini bahwa dewan komisaris dibentuk untuk
meminimalisir agency cost (Fama 1980; Fama dan Jensen 1983). Pemegang
pandangan ini meyakini bahwa perusahaan akan menerapkan struktur dan
membutuhkan ratifikasi dan monitoring dari tingkah laku manajemen oleh komisaris
independen yang dapat meminimalisir perbedaan kepentingan antara manajemen
dan pemegang saham. Tjager et al (2003) juga menyatakan bahwa sentralisasi isu
corporate governance juga dilatarbelakangi beberapa permaslahan diantaranya
adanya tuntutan akan transparansi dan independensi . Tuntutan akan transparansi
dan independensi terlihat dari adanya tuntutan agar perusahaan memiliki lebih
banyak komisaris independen yang mengawasi tindakan-tindakan para eksekutif.
Selain peran monitoring yang dilakukan dewan komisaris independen
(Barnhart & Rosenstein, 1998), praktek Corporate corporate oleh manajemen dapat
melalui mekanisme monitoring untuk menyelaraskan (alignment) perbedaan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 3


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kepentingan pemilik dan manajemen antara lain dengan (1) memperbesar


kepemilikan saham perusahaan manajer perusahaan oleh manajemen (manajerial
ownership) (Jensen Meckling, 1976) (2) kepemilikan saham oleh institusional karena
mereka dianggap sebagai sophisticated investor dengan jumlah kepemilikan yang
cukup signifikan dapat memonitor manajemen yang berdampak mengurangi
motivasi manajer untuk melakukan ekspropriasi terhadap pihak minoritas dan
mendisiplinkan manajer untuk lebih memfokuskan pada peningkatan nilai
perusahaan jangka panjang, (3) kualitas audit yang dilihat dari peran auditor yang
memiliki kompetensi yang memadai dan bersikap independen sehingga menjadi
pihak yang dapat memberikan kepastian terhadap integritas angka-angka akuntansi
yang dilaporkan manajemen (Mayangsari, 2003). Kualitas audit juga diharapkan
dapat meningkatkan kualitas dari pelaporan keuangan, menurut De Angelo (1981)
kualitas audit merupakan probabilitas seorang auditor dapat menemukan fraud
dalam sistem akuntansi dan melaporkan fraud, sehingga diharapkan kualitas audit
dapat meningkatkan praktek good corporate governance. Petra (2006) membuktikan
bahwa terdapat hubungan positif antara proporsi komisaris independen dan ERC,
tetapi tidak ada bukti terdapat hubungan antara non CEO duality, independen audit,
komite kompensasi dan nominating commitees.
Keterbukaan informasi di pasar modal sangat penting bagi investor dalam
pengambilan keputusan investasinya. Untuk dapat bersaing dalam era globalisasi
ini, perusahaan dituntut untuk lebih transparan dalam mengungkapkan informasi
perusahaannya. Salah informasi yang diungkapkan oleh perusahaan adalah
informasi laba karena informasi laba akan direspon oleh investor karena
memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan. Karena informasi laba saja
tidak cukup sebagai dasar pengambilan keputusan, maka investor membutuhkan
informasi lain yang mencerminkan kondisi perusahaan secara keseluruhan.
Informasi tersebut dapat diperoleh dalam laporan tahunan. Dengan adanya
informasi dalam laporan tahunan, investor tidak hanya mempertimbangkan informasi
laba saja yang dapat bias tetapi juga memperhatikan infomasi lain yang ada dalam
laporan tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 4


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan


pengungkapan yang diwajibkan berdasarkan aturan yang berlaku sedangkan
pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi yang melebihi yang
diwajibkan.
Penelitian mengenai luas ungkapan telah dilakukan. Botosan (1997) yaitu meneliti
hubungan antara tingkat ungkapan dengan biaya ekuitas. Dengan meregresikan biaya
ekuitas, ukuran perusahaan dan tingkat ungkapan, Botosan menemukan bahwa luas
ungkapan berhubungan negatif dengan biaya modal. Sengupta (1998), yang melakukan
penelitian mengenai kaitan kualitas ungkapan dengan biaya hutang, menyimpulkan
adanya hubungan negatif antara kualitas ungkapan dengan biaya hutang. Selain itu
hasil penelitian yang lain juga menyimpukan bahwa luas ungkapan berhubungan positif
dengan likuiditas pasar (Diamond dan Verechia 1991 dalam Widiastuti 2002), berhubungan
negatif dengan bid-ask spread (Greenstein dan Sami 1994) dan berhubungan positif
dengan kinerja saham (Palepu et at 1999).Ronen, dkk (2003) membuktikan bahwa jika
perusahaan tidak memanajemen laba, pengungkapan tambahan tidak tidak memiliki
efek terhadap ERC, tetapi jika perusahaan memanajemen laba maka response
terhadap berita negatif atas laba lebih besar dibanding berita positif atas laba. Widiastuti
(2002), yang melakukan penelitian dengan menggunakan 67 perusahaan sampel di BEJ,
tidak berhasil membuktikan bahwa luas ungkapan sukarela berhubungan negatif
dengan value relevance informasi laba. Yeterina (2006) dalam pengujiannya untuk
mengetahui apakah luas ungkapan sukarela berhubungan negatif dengan ERC
menunjukkan hasil yang tidak signifikan. dan pengujiannya untuk mengetahui
apakah luas ungkapan sukarela berhubungan positifdengan volume perdagangan
saham juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dari kedua hasil pengujian
tersebut bisa disimpulkan bahwa luas ungkapan sukarela tidak berhubungan negatif
dengan ERC dan tidak berhubungan positif dangan volume perdagangan saham di
seputar tanggal pengumuman laba.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Widiastuti
(2002) dan Yeterina (2006), adalah dengan melihat value relevance laba yang diukur
dengan menggunakan slope koefisien regresi return saham terhadap informasi laba

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 5


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

(Earnings Response Coefficient atau ERC) dengan praktek corporate governance


dan luasnya pengungkapan sukarela.
Sehingga penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi dampak praktek
corporate governance dan pengungkapan sukarela terhadap keinformatifan laba
yang diproksikan dengan Earnings Response Coefficient. Hasil dari penelitian ini
diharapkan memberikan kontribusi bagi penelitian di bidang akuntansi, yaitu terjawabnya
dugaan bahwa praktek corporate governance merupakan salah satu faktor meningkatnya
keinformatifan earnings dan informasi ungkapan sukarela merupakan salah satu penyebab
menurunnya value relevance informasi laba. Selain itu, penelitian ini juga
mengkonfirmasikan hasil penelitian sebelumnya tentang determinan ERC, yaitu risiko
sistematik, persistensi laba, leverage, pertumbuhan laba dan ukuran perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian adalah:
z Apakah praktek Corporate Governance berasosiasi positif terhadap Earnings
Response Coefficient?
z Apakah Pengungkapan Sukarela berasosiasi negatif terhadap Earnings
Response Coefficient?

2. Tinjauan Literatur dan Pengembangan Hipotesa


Earnings Response Coefficient sebagai proksi keinformatifan laba
Koefisien respon laba atau Earnings Response Coefficient (ERC) merupakan
ukuran tingkat abnormal return sekuritas dalam merespon komponen unexpected earnings
yang dilaporrkan dari perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Scott (1997).
Beaver (1968) dalam Yeterina (2006) mengemukakan bahwa ERC merupakan sensitivitas
perubahan harga saham terhadap perubahan laba akuntansi. Warfield et.al. 1995 dan
Vafeas 2000 mengatajkan keinformativan dari laba diproksikan dengan baik oleh
hubiungannya dengan return pasar. Lev dan Zarowin (1999) menggunakan ERC sebagai
alternatif untuk mengukur value-relevance informasi laba. Cho dan Jung (1991) menyatakan
bahwa ERC biasanya diukur dengan slopa koefisien regresi antara abnormal return saham
dengan unexpected earnings (Dewi 2003). Rendahnya ERC menunjukkan bahwa laba
kurang informatif bagi investor dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 6


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Praktek Corporate Governance dan Earnings Response Coefficient


1. Komisaris dependen dan ERC
Dengan menggunakan analisis regresi terhadap 75 perusahaan yang
melakukan kecurangan laporan keuangan dan 75 perusahaan yang tidak melakukan
kecurangan laporan keuangan, Beasley (1996) menemukan bahwa perusahaan
yang tidak curang memiliki dewan direksi yang persentase anggotanya lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan yang curang. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa kemungkinan dilakukannya kecurangan pelaporan keuangan akan menurun
sejalan dengan peningkatan pengalaman dan keahlian dewan penurunan
kemungkinan outside directors juga sebagai outside directors perusahaan lain.
Beasley (2000) menemukan adanya perbedaan karakteristik antara perusahaan
yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan perusahaan yang tidak
melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Perusahaan yang melakukan
kecurangan dalam pelaporan keuangan biasanya akan memperoleh respon pasar
yang rendah terhadap pengumuman laba yang dilakukan oleh perusahaan.
Hipotesa 1 Earnings Response Coefficient berasosiasi positif dengan
Komisaris Independen

2. Kepemilikan Institusional dan ERC


Investor institusional yang sering sebut sebagai investor yang canggih
(sophisticated) sehingga seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode
sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibanding investor non instusional.
Balsam dkk (2002) menemukan hubungan yang negatif antar discretionary accrual
yang tidak diekspektasi dengan imbal hasil di sekitar tanggal pengumuman. Hasil
penelitian Jiambavo dkk (1996) menemukan bahwa nilai diskresionery akrual
berhubungan negatif dengan kepemilikan investor institusional. Nilai diskresional
akrual merupakan cerminan dari rendahnya kualitas laba, semakin kecil nilai
diskresional akrual maka semakin berkualitas laba. Analogi dengan penelitian
sebelumnya maka dengan adanya asosiasi negatif antara kepemilikan institusional
dan diskretionary accrual, maka juga berarti terdapat hubungan positif antara
kepemilikian institusional dengan laba yang berkualitas yang akan berdampak

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 7


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

terdapat imbal hasil positif disekitar tanggal pengumaman, maka dapat


dihipotesiskan sebagai berikut:
Hipotesa 2 Earnings Response Coefficient berasosiasi positif dengan
Kepemilikan Institusional

3. Kepemilikan Manajerial dan ERC


Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwa kepemilikan manajerial
berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer
dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang
saham. Penelitian mereka menemukan bahwa kepentingan manajer dengan
pemegang saham eksternal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer
diperbesar sehingga manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya.
Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan
terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer dan Vishny, 1986).
Warfield et al (1995) dalam penelitiannya yang menguji kepemilikan manajerial
dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti
bahwa kepemilikan manajerial berhubungan dengan negatif dengan discretionary
accrual. Secara intuitif maka kepemilikan manajerial dapat dikatakan berasosiasi
positif dengan nondisrecionary accrual yang merupakan komponen laba yang lebih
berkualitas dan pasar lebih menghargai komponen laba yang berkualitas tersebut.
Dengan demikian jika dikaitkan dengan ERC, dapat dihubungkan dengan semakin
informatif laba karena memiliki kualitas dikarenakan adanya adanya kepemilikan
manajerial. Dengan adanya kepemilikan manajerial maka akan semakin berkualitas
laba yang hanya mengandung unsur discretionary accrual yang kecil, maka semakin
informatif laba akan kemudian akan direspon positif oleh investor.
Hipotesa 3 Earnings Response Coefficient berasosiasi positif dengan
Kepemilikan Manajerial.

4. Kualitas audit
Beberapa peneliti sebelumnya menunjukan bahwa auditor menawarkan
berbagai tingkat kualitas audit untuk merespon adanya variasi permintaan klien

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 8


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

terhadap kualitas audit (Watts dan Zammerman 1986). Penelitian ini membedakan
kualitas auditor berdasarkan big 4 dan nonbig 4. Teoh dan Wong (1993)
barargumen bahwa kualits audit berhubungan positif dengan kualitas earnings, yang
diukur dengan earnings response coefficient (ERC). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas audit, yang diproksikan
dengan brand name big 8 vs non-big eight, dengan ERC. Penelitian yang dilakukan
Becker dkk (1998) menemukan bahwa klien dari auditor Non Big 6 melaporkan
discretionary accrual yang secara rata-rata lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh
klien auditor Big 6. Berarti dapat disimpulkan klien dari auditor non Big 6 cenderung
lebih tinggi dalam melakukan earnings management yang menyebabkan kualitas
laba yang rendah. Karena pada saat penelitian ini Big 6 telah berubah menjadi Big
4, juga diduga bahwa klien dari auditor non Big 4 cenderung menghasilkan kualitas
audit yang rendah. Rendahnya kualitas audit ini juga diprediksi dihasilkan oleh
perusahaan auditan dengan kualitas laba yang rendah. Sehingga jika dikaitkan
dengan ERC maka, kualitas audit yang tinggi yang berasosiasi positif dengan
kualitas laba juga akan berasosiasi positif dengan respon pasar.
Hipotesa 4 ERC berasosiasi positif dengan Kualitas Audit

Pengungkapan Sukarela dan Earnings Response Coefficient


2. Luas Ungkapan Dan Pengukurannya
Ungkapan (disclosure) didefinisi sebagai penyediaan sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien (Hendricksen
dan Brenda, 1992). Dalam interpretasi yang lebih luas, ungkapan terkait dengan
informasi baik yang terdapat dalam laporan keuangan maupun komunikasi
tambahan (supplementary communications) yang terdiri dari catatan kaki, informasi
tentang kejadian setelah tanggal laporan, analisis manajemen atas operasi
perusahaan dimasa mendatang, prakiraan keuangan dan operasi, serta informasi
lainnya (Wolk dan Tearney,1997)
Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan emiten dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu ungkapan wajib(mandatory disclosure) dan
ungkapan sukarela (voluntary disclosure). Ungkapan wajib adalah informasi yang

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 9


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal disuatu
negara. Sedangkan ungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi
melebihi persyaratan minimum dari peraturan pasar modal yang berlaku.
Perusahaan memiliki keleluasaan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam
laporan tahunan sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas
ungkapan sukarela antar perusahaan.
Ungkapan dalam penelitian ini terbatas pada ungkapan sukarela dalam
laporan tahunan, dengan asumsi bahwa jumlah informasi sukarela yang ditemukan
dalam laporan tahunan menjadi proksi bagi jumlah ungkapan keseluruhan yang
disediakan oleh perusahaan. Asumsi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Lang
dan Lundholm (1993) bahwa terdapat korelasi rank-order yang signifikan antara
ungkapan dalam laporan tahunan (annual report disclosures) dengan ungkapan
publikasi lain (other publication disclosures) dan ungkapan hubungan investor
(investor relations disclosure). Penggunaan istilah luas ungkapan dalam penelitian
ini mencakup kuantitas dan kualitas ungkapan. Hal ini didasarkan pada asumsi dan
hasil beberapa penelitian bahwa kuantitas dan kualitas ungkapan secara positif
berhubungan (Botosan, 1997).
Beberapa penelitian tentang topik ini menggunakan indeks ungkapan
(disclosure index) sebagai indikator empiris luas ungkapan. Indeks ungkapan
merupakan rasio antara jumlah elemen (item) informasi yang dipenuhi dengan
jumlah elemen informasi yang mungkin dipenuhi. Makin tinggi angka indeks
ungkapan, makin tinggi luas ungkapan.
Cakupan elemen informasi dalam laporan tahunan yang digunakan untuk
menghitung indeks ungkapan bervariasi antar peneliti satu dengan peneliti lainnya.
Cooke (1992) menggunakan 165 elemen, Botosan (1997) menggunakan elemen,
Susanto (1994) menggunakan 30 elemen, Subiyantoro (1997) menggunakan 89
elemen, dan Suripto (1998) menggunakan 33 elemen. Jumlah elemen informasi
yang digunakan oleh Susanto (1994) dan Suripto (1998) relatif sedikit karena hanya
memfokuskan pada ungkapan sukarela.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 10


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3. Pengaruh Luas Ungkapan Terhadap ERC


Permintaan terhadap informasi laporan keuangan dipengaruhi oleh dua hal
yaitu pertama, seberapa besar informasi laporan keuangan dapat mengurangi
ketidakpastian dan perannya dalam merevisi belief tentang ketidakpastian, dan
kedua, ketersediaan sumber informasi lain. Informasi keuangan merupakan bagian
dari berbagai macam ungkapan perusahaan maupun laporan lain yang diungkapkan
oleh pihak eksternal. Isi dan waktu ungkapan lain selain informasi laporan keuangan
dapat mempengaruhi kegunaan informasi laporan keuangan (Foster, 1986).
Dengan mengadopsi model ERC yang dikembangkan oleh Holthausen dan
Verrecchia (1988) dan Lev (1989), berbagai studi telah menguji perbedaan reaksi
pasar (ERC) terhadap pengumuman laba dengan didasarkan pada premis bahwa
keinformatifan informasi laba akan semakin besar ketika terdapat ketidakpastian
tentang prospek perusahaan dimasa mendatang. Semakin tinggi ketidakpastian
prospek perusahaan dimasa mendatang, semakin tinggi keinformatifan laba (ERC).
Dengan mendasarkan pada premis tersebut, peneliti kemudian mencari proksi untuk
ketidakpastian prospek perusahaan dimasa mendatang.
Beberapa peneliti menguji manfaat meningkatnya luas ungkapan, seperti
menurunnya biaya modal (Botosan, 1997; Sengupta, 1998). Meningkatkan likuiditas
pasar (Diamond dan Verrechia, 1991) dan mengurangi bid-ask spreads (Greenstain
dan Sami, 1994; Coller dan Yohn, 1997; Lim dan Yeo, 1999), mengurangi disperse
dan volatilitas revisi prakiraan laba analis (Lang dan Lundholm, 1996), dan
meningkatkan kinerja saham (Healy, Hutton, dan Palepu, 1999).
Lang dan Lundholm (1993) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi
peringkat perusahaan yang dibuat oleh analis. Secara keseluruhan hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa skor ungkapan adalah lebih tinggi untuk perusahaan yang
memiliki kinerja baik, untuk perusahaan yang lebih besar, untuk perusahaan dengan
korelasi laba-return yang lebih lemah, dan untuk perusahaan yang menerbitkan
sekuritas.
Penelitian Lang dan Lundholm (1993) menggunakan korelasi earnings-return
sebagai proksi asimetri informasi dalam konteks model adverse selection. Korelasi
earnings-return yang rendah menunjukkan bahwa informasi laba hanya memberikan

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 11


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

sedikit informasi tentang nilai perusahaan sehingga asimetri informasi tetap lebih
tinggi. Oleh karena itu, dengan tujuan mengurangi asimetri informasi, ungkapan
akan lebih banyak pada perusahaan yang memiliki korelasi earning-return lebih
rendah atau dengan kata lain korelasi earnings-return berhubungan negatif dengan
luas ungkapan.
Gelb dan Zarowin (2000) menguji hubungan antara luas ungkapan sukarela
dan keinformatifan harga saham. Penelitian ini menghipotesiskan bahwa semakin
banyak ungkapan, semakin tinggi keinformatifan harga yang diukur dengan future
ERC, ceteris paribus. Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, penelitian ini
menemukan bahwa future ERC untuk perusahaan high disclosers secara signifikan
lebih besar daripada future ERC untuk perusahaan low disclosers.
Gelb dan Zarowin (2000) tidak secara khusus menguji hubungan luas
ungkapan sukarela dengan current ERC. Mereka menyatakan bahwa pengaruh
keinformatifan ungkapan terhadap current ERC mungkin positif atau negative.
Menurutnya, pengaruh luas ungkapan terhadap current ERC mungkin positif, karena
biasanya perusahaan yang banyak mengungkapkan informasi (high discloser firms)
adalah perusahaan yang memiliki kabar baik (good news). Basu (1997) menemukan
bahwa good news firms memiliki laba yang lebih persisten dan ERC yang lebih
tinggi dibanding bad news firms. Alternative lainnya, pengaruh luas ungkapan
terhadap current ERC mungkin negatif dengan alasan bahwa informasi yang
terkandung dalam laba sekarang telah tercermin dalam harga saham periode
sebelumnya.
Hipotesa 4 Earnings Response Coefficient berasosiasi negatif
dengan Luasnya pengungkapan sukarela.

3. Metode Penelitian

3.1 Rancangan Pengumpulan Data


Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan go publik yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
sebanyak dengan kriteria :

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 12


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

1. Perusahaan non keuangan yang telah listing di Bursa Efek Jakarta tahun 2004,
2005, dan 2006.
2. Perusahaan yang menerbitkan laporan tahunan (annual report) yang berakhir
pada tanggal 31 Desember selama periode pengamatan 2004, 2005, dan 2006.
3. Perusahaan memiliki data pasar dan data keuangan lengkap
Pengambilan data secara acak diperoleh data sebanyak 63 perusahaan untuk 3
periode tahun pengamatan.

3.2. Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder berupa: Data
praktek CG, Data item ungkapan sukarela, data mengenai tanggal pengumuman laba, data
keuangan, jumlah laba tahunan, harga saham harian, indeks harga saham gabungan berasal
dari database Bursa Efek Jakarta yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal BEJ,
yang berupa Laporan Tahunan yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di BEJ, Indonesian Capital Market Directory (ICMD), JSX Statistics, Fact
Book dan Daftar Kurs Efek (DKE).

3.3. Metoda Analisis Data


3.3.1. Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan uji hipotesa terlebih dahulu dilakukan pengujian
asumsi klasik terutama menyangkut heteroskedasitas karena data yang digunakan
adalah pooled data Uji inidengan menggunakan uji White. Selain itu juga dilakukan
uji multikolinearitas dan autocorelation. antar variabel independen) agar memenuhi
sifat estimasi regresi bersifat BLUES (Best Linear Unbiased Estimator).

3.4. Model Penelitian dan Variabel Penelitian

1. Variabel Penelitian

CAR (Cumulative Abnormal Return),

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 13


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

merupakan variabel dependen dalam model penelitian. CAR merupakan proksi dari return
saham yang menunjukkan besarnya reaksi pasar terhadap informasi pengumuman laba
Perhitungan CAR adalah sebagai berikut: CAR = ARit

Periode CAR adalah 1 hari sebelum tanggal pengumuman laba, 1 hari tanggal pengumuman
laba dan 1 hari setelah tanggal pengumuman laba.
Sesuai dengan Pincus (1993), estimate abnormal returns dalam penelitian ini
diperoleh menggunakan model disesuaikan-pasar (market-adjusted model) yang
menganggap bahwa penduga terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas
adalah return indeks pasar. Perhitungan abnormal return dilakukan dengan rumus-
rumus berikut : AR i,t = R i,t - Rmt
Keterangan:
AR i,t = abnormal return untuk perusahaan i ke t.
R i,t = return harian saham perusahaan i pada hari t
Rmt = return indeks saham pada hari t.

2. VARIABEL INDEPENDEN
1. Unexpected Earnings (UE).
Unexpected Earnings didefinisi sebagai selisih laba akuntansi yang direalisasi
dengan laba akuntansi yang diekspektasi oleh pasar. Penelitian ini menggunakan
model random walk sebagai proksi ekspektasi laba oleh pasar sehingga ekspektasi
laba adalah laba aktual tahun sebelumnya. Variabel ini diukur sesuai dengan
penelitian Kalapur (1994) :
(E it - E t-1 )
UE i,t =
Pt-1

Eit = Unexpected earnings perusahaan i pada periode t


Eit = Earnings perusahaan i pada periode t
Pit-1 = Harga saham perusahaan i pada periode t-1

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 14


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

2. Luas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Keuangan


Pengukuran variabel ini dilakukan dengan instrument pengukuran luas
ungkapan sukarela yang dikembangkan dan digunakan oleh Suripto (1998), dengan
jumlah elemen informasi sebanyak 33 buah. Indeks ungkapan sukarela untuk setiap
perusahaan sampel diperoleh dengan cara membandingkan skor yang diperoleh
perusahaan dengan skor yang mungkin dapat diperoleh perusahaan tersebut.
Perusahaan diberi skor 1 apabila mengungkapkan elemen informasi dalam
instrument dan diberi skor 0 apabila tidak mengungkapkan.

3. Good Corporate Governance


Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Manajerial diukur dengan dummy variable dengan nilai 1 jika
ada kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya. Adanya kepemilikan manajerial dari
segi nilai ekonomisnya memiliki insentif menyelaraskan kepentingan dengan
principals
Kepemilikan Institusional
Adanya kepemilikan institusional adalah untuk memantau secara profesional
perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tingkat
manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Kepemilikan
institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti
asuransi, bank, dana pensiun dan investment banking dengan proporsi lebih dari
5% dari saham yang beredar. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan dummy
variable = 1 untuk perusahaan yang memenuhi syarat kepemilikan institusional dan
dummy variable = 0 untuk lainnya.

Komisaris Independen
Komisaris independen yang memiliki sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah seluruh anggota komisaris, berarti telah memenuhi pedoman
good corporate governance guna menjaga independensi, pengambilan keputusan
yang efektif, tepat, dan cepat. Komisaris Independen diukur dengan persentase
komisaris independen dibanding total dewan komisaris yang ada

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 15


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Kualitas Audit
Untuk mengukur kualitas audit digunakan Ukuran Kantor Akuntan Publik
(KAP). Jika perusahaan diaudit oleh KAP Besar pada saat penelitian ini yaitu KAP
Big4 maka kualitas auditnya tinggi dan jika diaudit oleh KAP Non Big 4 (KAP kecil)
maka kualitas auditnya rendah. Banyak penelitian menemukan kualitas audit
berkorelasi positif dengan kredibilitas auditor dan berkorelasi negatif dengan
kesalahan laporan keuangan. Laporan keuangan yang berkualitas merupakan salah
satu elemen penting dari Corporate Governance. Kualitas Audit diukur dengan
dummy variable dengan nilai 1 jika diaudit oleh KAP Big 4 dan 0 sebaliknya

3. VARIABEL KONTROL (CONTROL VARIABEL)


Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian untuk menghindari bias yang
biasa terjadi karena adanya faktor-faktor lain:

1. Persistensi Laba
Persisten digunakan untuk melihat harapan seberapa jauh peningkatan dari
laba saat ini bertahan di masa yang akan datang. Kormendi dan Lipe (1987)
menemukan bahwa ERC akan lebih tinggi untuk perusahaan dengan Unexpected
Current Earnings yang memiliki persistensi di masa datang. Oleh karena itu
diprediksi terdapat hubungan positif antara ERC dan Persistensi.
Penelitian ini menggunakan koefisien regresi dari regresi antara laba periode
sekarang dengan peride sebelumnya, seperti digunakan oleh Kormendi dan Lipe
(1987), dan dihitung menggunakan laba triwulan selama 12 triwulan dari tahun
2002-2006. Adapun persamaan regresinya adalah
Xit = + i Xt-1 + i

2. Risiko Sistematis
Diprediksi hubungan Beta terhadap ERC adalah negatif, sejalan dengan
meningkatnya resiko perusahaan, pasar bereaksi negatif terhadap Unexpected
Earnings.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 16


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Beta diestimasi menggunakan model pasar selama satu tahun, yang dihitung
berdasarkan persamaan Ri = i + i.Rm + ei
Dimana i adalah beta sekuritas i
Rit adalah return perusahaan i pada periode t
Rmt adalah return pasar pada periode t

3.Pertumbuhan Laba (Growth)


Growth diprediksikan berhubungan positif dengan ERC (Collins dan Kothari,
1989; Martikainen,1997; Bae dan Sami,1999). Growth diukur dengan rasio nilai
pasar ekuitas terhadap nilai buku ekuitas pemegang saham (market to book ratio)
dari masing-masing perusahaan pada periode akhir periode laporan keuangan.

4.Leverage
Leverage diprediksikan berhubungan negative dengan ERC (Biddle dan
Seow, 1991). Dhaliwal et.al (1991) juga menemukan ERC yang lebih rendah untuk
perusahaan dengan tingkat leverage tinggi dari perusahaan dengan tingkat leverage
rendah. Oleh karena itu, tingkat keinformatifan earnings berhubungan dengan
besarnya hutang. Leverage diukur berdasarkan rasio total hutang dengan total
ekuitas perusahaan.

5. Size
Perusahaan yang besar cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi
sehingga harga pasar saham cenderung merupakan penjumlahan semua informasi
yang diketahui publik, dimana informasi tersebut termasuk informasi akuntansi dan
informasi non akuntansi. Konsekwensinya semakin informatif harga saham, maka
semakin kecil muatan informasi laba saat ini. Chaney dan Jeter (1991) menunjukkan
bahwa besaran perusahaan berpengaruh negatif terhdap ERC. Hal ini bertentangan
dengan pendapat Easton dan Zmijweski (1989) menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan bukan variabel penjelas yang signifikan untuk ERC. Ukuran
Perusahaan diukur dengan Log natural dari asset.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 17


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3.4.2. Metode Analisis


Model Penelitian

Model yang digunakan untuk memperoleh ERC dalam pengujian hipotesis penelitian
ini adalah metode cross sectional regression seperti model yang pernah digunakan oleh
Gelb dan Zarowin (2000), Teets dan Wasley (1996), Widiastuti (2002), dan Syafrudin
(2004).. Dengan metode cross sectional, CAR dan UE seluruh sampel diregresikan,
sehingga diperoleh satu estimasi ERC. Menurut metode ini, ERC tidak diperlakukan
secara khusus sebagai variabel dependen yang diregresikan dengan praktek CG
dan ungkapan sukarela, tetapi untuk melihat hubunean ERC dengan praktek CG dan
ungkapan sukarela dilihat dari arah dan signifikansi koefisien regresi 12 sampai dengan
16 (koefisien interaksi unexpected earnings dengan praktek CG dan disclosures
index yang diregresikan dengan cumulative abnormal return)
CARit =0 + 1 UEit + 2 Discit +3 KIit + 4 KAit+ 5 Instit+6 KM it+7 UPit
+8 Beta +9 Levit +10 Growthit +11 Persistit++ 12UEit KIit +
13UEitKAit+ 14 UE it Instit++15 UE it KM it+ 16 UE it Discit +17 UE it
UPit +19 UE it Beta +20 UE it Levit +21 UEit Growthit +22 UE it

Persistit+ it

Keterangan:
CAR = Cumulaive Abnormal Return perusahaan I
pada t-1 sampai t+1
UE = Unexpected Earnings
KI = Komisaris Independen = persentase
komisaris independen dibanding total
dewan komisaris yang ada
KM = Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat
kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA = Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP
Big 4 dan o sebaliknya
Inst = Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 18


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

kepemilikan institusional dan o sebaliknya


Disc = Indeks Pengungkapan Sukarela atas
laporan tahunan perusahaan.
UP = Ukuran Perusahaan diukur dengan Log
natural dari asset
Beta = Risiko pasar diukur menggunakan market
model
Lev = Leverage diukur rasio total hutang
dengan total ekuitas perusahaan
Growth = rasio nilai pasar ekuitas terhadap nilai
buku ekuitas
Persist = Koefisien regresi atas perbedaan laba
saat ini dengan laba sebelumnya

Analisis Hasil

4.1 Statistik Deskriptif


Analisis pertama yang dilakukan adalah menganalisis data dengan
menggunakan statistik deskriptif (Tabel 1). Sampel yang digunakan dalam penelitian
diambil secara acak sebanyak 63 perusahaan dari industri Consumer Goods. Rata-
rata Cumulatice Abnormal Return (CAR) sebesar -.0261 dengan standar deviasi
sebesar 0.07754 menunjukkan rata-rata reaksi pasar yang negatif untuk 3 hari
sekitar penyampaian laporan tahunan ke Bapepam. CAR yang negatif ini tidak jauh
berbeda dengan penelitian lainnya seperti Teoh dan Wong dengan rata-rata skor
CAR sekitar -0.0247, Mayangsari (2004) sekitar -0.023. Rata-rata Unexpected
Earnings (UE) sebesar 0.0171 dengan standar deviasi sebesar 0.13531. Hal ini
menunjukkan sebagian besar perusahaan memiliki UE positif untuk periode tahun
2004-2006 dimana perusahaan-perusahaan mulai bangkit setelah mengalami krisis
pada tahun 1999an. Rata-rata komisaris Independen sebesar 0.3607. Rata-rata
pengungkapan sularela sebesar 0.598 dengan standar deviasi 0.033.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 19


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Rata-rata Komisaris Independen adalah 36.07% dan standar deviasi 0.08


yang berarti komisaris independen yang dibentuk oleh perusahaan telah memenuhi
persyaratan independesi. Ukuran independensi tersebut dilihat dari sudut pandang
peraturan yaitu minimal jumlah komisaris independen sebesar 30% dari jumlah
dewan komisaris. Proporsi perusahaan yang memiliki kepemilikan manajerial dalam
sampel penelitian hanya sebesar 28.57%. Proporsi audit oleh Big 4 dalam sampel
penelitian sebesar 52.24% dan non Big 4 sebesar 47.62%. Rata-rata ukuran
perusahaan 13.55 dengan standar deviasi 1.43. Proporsi perusahaan yang memiliki
kepemilikan manajerial dalam sampel penelitian hanya sebesar 19.05 % dan yang
tidak memiliki kepemilikan manajerial sebesar 80.95%.

4.2 Korelasi Pearson


Dari tabel 2, KM berkorelasi negatif dengan CAR sedangkan UP berkorelasi
positif dengan CAR Pasar akan bereaksi negatif terhadap perusahaan yang memiliki
kepemilikan manajerial, mungkin disebabkan pasar tidak merespon akan
keberadaan kepemilikan manajerial yang seharusnya dapat menyelaraskan
perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham. KomIns
berkorelasi positif dengan UE tetapi OwnIns berkorelasi negatif dengan UE berarti
UE akan tinggi untuk perusahaan yang memiliki Komisaris Independen
dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki Komisaris Independen. Adanya
Komisaris Independen akan mendorong manajemen untuk meningkatkan Earnings.
Tetapi UE akan lebih tinggi perusahaan yang tidak memiliki kepemilikan
institusional. Disc hanya mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
Kepemilikan Manajerial yaitu hubungan negatif artinya perusahaan yang memilki
kepemilikan manajerial lebih sedikit melakukan pengungkapan sukarela dibanding
perusahaan yang tidak memilki kepemilikan manajerial. Kemungkinan dengan
adanya kepemilikan manajerial, mendorong manajemen untuk sedikit melakukan
pengungkapan sukarela karena manajemen memiliki motivasi tertentu

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 20


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

4.4. Uji Asumsi Klasik


Hasil uji asumsi klasik tidak menunjukkkan adanya masalah autokorelasi
karena nilai d=1.994 berada dalam range tidak adanya autokorelasi. Pengujian
heteroskedasitas dengan uji White menunjukkan prob. 0.781830 menunjukkan tidak
ada masalah heteroskedasitas tetapi terdapat masalah multikolinearitas. Terjadinya
multikolinearitas ini biasa terjadi untuk model regresi dimana terjadi interaksi antar
variabel independennya., demikian penelitian dapat dilanjutkan.

4.5 Analisa Regresi


Hasil regresi ditunjukkan pada tabel 3, Kualitas Audit memiliki hubungan
negatif terhadap ERC , Komisaris Independen dan Kepemilikan Manajerial memiliki
hubungan positif dengan ERC. Hubungan yang negatif antara Kualitas Audit dan
ERC menunjukkan praktek Corporate Governance tersebut direspon negatif oleh
investor ketika pengumuman laba, sebaliknya pasar bereaksi positif terhadap
besarnya
Tabel 3
Hasil Regresi Uji Statistik
Variabel Prediksi Koefisien t p-value
c -0.452 -2.278 0.028**
KomInd + -0.058 -0.437 0.664
OwnIns + 0.060 2.216 0.032**
KA + 0.000 -0.021 0.983
KM + -0.052 -1.802 0.079*
UE + -0.546 -0.175 0.862
Disc - 0.391 1.185 0.243
Growth + 0.000 0.081 0.936
UP - 0.017 2.024 0.050**
Pers + -0.011 -0.473 0.639
Lev - -0.073 -1.598 0.118
UexKomInd + 2.610 2.540 0.015**

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 21


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Variabel Prediksi Koefisien t p-value


UexOwnIns + -0.547 -1.485 0.145
UExKA + -0.755 -1.941 0.059*
UexKM + 0.914 2.243 0.030**
UExDisc - -0.193 -0.053 0.958
UExGrowth + 0.015 0.385 0.702
UExUP - 0.068 0.441 0.661
UExBeta - -0.107 -0.676 0.503
UExPers + 0.837 2.038 0.048**
UExLev - -2.266 -2.750 0.009***
Dependent variable : CAR

Komisaris Independen pada saat pengumuman laba. Dengan kata lain pada
saat pengumuman laba, investor memandang besarnya komisaris independen
memberi manfaat bagi investor karena dianggap dapat memonitor manajemen
dengan baik. Demikian hanya dengan Kepemilikan Manajerial yang berasosiasi
positif menandakan investor merespon secara positif adanya kepemilikan manajerial
pada saat pengumuman laba tersebut karena yakin kepemilikan manajerial dapat
menyelaraskan perbedaan kepentingan dengan investor dan manajemen. Selain itu
variabel kontrol yang , berasosiasi dengan ERC adalah Persisten dan Leverage,
arah koefisien keduanya sesuai prediksi. Perusahaan yang memiliki persistensi
tinggi akan meningkatkan respond investor pada saat pengumuman earnings,
sedangkan perusahaan dengan leverage yang tinggi akan memiliki nilai ERC yang
rendah, menandakan pelaku pasar kurang merespond saham perusahaan dengan
leverege yang tinggi. Pengungkapan Sukarela tidak berpengaruh signifikan terhadap
ERC,menunjukkan bahwa investor belum merespon pengungkapan sukarela yang
diinformasikan oleh perusahaan ketika terjadi pengumuman laba, konsisten dengan
penelitian Yeterina (2006). Kemungkinan hal ini disebabkan tidak dicerminkannya
informasi yang tersedia dalam pengungkapan sukarela kurang memberikan prospek
perusahaan. (Widiastuti, 2002)

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 22


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

5. Kesimpulan, Keterbatasan penelitian dan implikasi penelitian

Kesimpulan
Motivasi penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh Praktek Corporate
Governance dan Luas Pengungkapan Sukarela terhadap keinformatifan Earnings
yang diproksi dengan ERC.
Hasil penelitian membuktikan terdapa asosiasi positif antara ERC dengan 2
proksi Praktek Corporate Governance yaitu Komisaris Independen dan Kepemilikan
Manajerial. Penelitian juga menemukan adanya hubungan negatif antara kualitas
audit dan ERC. Kedua hasil penelitian tersebut membuktikan praktek Corporate
Governance direspon oleh investor pada saat pengumuman laba dengan reaksi
yang berbeda, walaupun tidak sepenuh semua praktek Corporate Governance
memiliki asosiasi dengan ERC seperti Kepemilikan Institusional. Ketidaksignifikan
kepemilikan institusional mungkin disebabkan pada perusahaan sampel belum
banyak yang memiliki kepemilikan institusional. Pengungkapan Sukarela yang
diprediksi memiliki asosiasi negatif dengan ERC juga tidak terbukti, menunjukkan
pasar belum / mungkin juga tidak merespon luasnya pengungkapan sukarela, yang
mungkin disebabkan pengungkapan sukarela tersebut belum mengungkapkan
informasi yang berhubungan dengan prospek perusahaan di masa yang akan
datang.

Keterbatasan penelitian dan implikasi penelitian antara lain:

1. Penelitian ini hanya menggunakan satu periode pengamatan yaitu 3 hari (t-1
sampai dengan t+1), sehingga ada kemungkinan investor belum merespon
atas pengumaman laba. Penelitian selanjutnya dapat mencoba dengan
mengganti periode pengamatan.
2. Unsur subyektivitas dalam pengukuran indeks pengungkapan sukarela.
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menentukan cara lain yang lebih
objektivitas dalam pengukuran indeks pengungkapan sukarela.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 23


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

3. Jumlah sampel dan periode tahun yang digunakan dalam penelitian yang
hanya berjumlah 63 perusahaan dan 3 tahun, untuk penelitian selanjutnya
dengan menambah sampel dan jangka waktu penelitian.
4. Variabel praktek Corporate Governance yang digunakan hanya
menggunakan empat proksi praktek Corporate Governance saja, karena
peneliti belum berhasil mendapatkan indeks terbaru, maka digunakan 4
proksi tersebut. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan Corporate
Governance Index yang terbaru dikeluarkan oleh Forum ICGI,

Tabel 1

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


CAR 63 -.23 .27 -.0261 .07754
UE 63 -.42 .61 .0171 .13531
KOMINS 63 .20 .60 .3607 .08655
OWNINS 63 .00 1.00 .2857 .45538
KA 63 .00 1.00 .5238 .50344
KM 63 .00 1.00 .1905 .39583
DISC 63 .58 .70 .5998 .03362
GROWTH 63 -2.64 38.15 2.7307 5.53970
UP 63 10.98 16.60 13.5527 1.43674
BETA 63 -1.29 3.29 .5028 .71767
PERS 63 -.35 1.43 .3758 .47888
LEV 63 .09 1.09 .4468 .24351
Valid N (listwise) 63

Proporsi Proporsi
Dummy=1 Dummy=0
Kepemilikan Institusional 28.57% 71.4%
KA 52.24% 47.62%
Kepemilikan Manajerial 19.05% 80.95%
Keterangan:
CAR = Cumulaive Abnormal Return perusahaan I
pada t-1 sampai t+1
UE = Unexpected Earnings

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 24


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

KI = Komisaris Independen = persentase


komisaris independen dibanding total
dewan komisaris yang ada
KM = Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat
kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA = Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP
Big 4 dan o sebaliknya
Inst = Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat
kepemilikan institusional dan o sebaliknya
Disc = Indeks Pengungkapan Sukarela atas
laporan tahunan perusahaan.
UP = Ukuran Perusahaan diukur dengan Log
natural dari asset
Beta = Risiko pasar diukur menggunakan market
model
Lev = Leverage diukur rasio total hutang
dengan total ekuitas perusahaan

Tabel 2
Korelasi Pearson
CAR KOMI OWN KA KM UE DISC GRO UP BET PER LEV
ND INS WTH A S
CAR 1.000 - 0.069 0.11 - - 0.162 0.83 0.266 - 0.052 0.36
0.008 0.296 0.466 0.24 0.129 0.103 0.258 0.017 0.008 0.341 0.389
0.476 5 0.157 ** 0.475
0.02
6**
UE - 0.237 - - - 1.000 0.163 0.005 0.037 0.023 - 0.069
0.245 0.031 0.173 0.170 0.09 0.102 0.484 0.387 0.429 0.040 0.296
0.157 ** 0.088 0.092 5 0.377
* * 0.23
0

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 25


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

KomIn - 1.000 0.206 - 0.07 0.237 - - - - - 0.139


0.008 0.053 0.281 9 0.031 0.009 0.072 0.112 0.107 00.21 0.138
0.476 * 0.013 0.26 ** 0.472 0.287 0.191 0.203 0.434
** 8
OwnIn 0.069 0.206 1.000 - 0.49 - - - - - - 0.046
s 0.296 0.053 0.241 9 0.173 0.105 0.159 0.111 0.019 0.166 0.361
* 0.028 0.00 0.088 0.207 0.106 0.192 0.441 0.097
** 0*** * *
KA - - - 1.000 - - -.052 0.149 0.114 - 0.401 -
0.245 0.281 0.241 0.26 0.170 0.342 0.122 0.187 0.089 0.001 0.011
0.466 0.013 0.028 6 0.092 0.245 *** 0.465
** ** 0.01 *
8**
KM - 0.079 0.499 - 1.00 - - - - 0.189 - -
0.129 0.268 0.000 0.266 0 0.095 0.166 0.162 0.311 0.069 0.299 0.092
0.026 *** 0.018 0.230 0.097 0.102 0.006 ** 0.009 0.237
** ** * *** ***
Disc 0.162 - - 0.052 - 0.163 1.000 - 0.322 - 0.113 0.092
0.103 0.009 0.105 0.342 0.16 0.102 0.484 0.071 0.429 0.072 0.296 0.000
0.472 0.207 6 0.387 0.377 ***
0.09
7*
Growth 0.083 - - 0.149 - 0.005 - 1.000 - - 0.063 -
0.258 0.072 0.159 0.122 0.16 0.071 0.005 0.272 0.311 0.040
0.287 0.106 2 0.289 0.484 0.015 0.176
0.10
2
UP 0.266 - - 0.114 - 0.037 0.322 - 1.000 - 0.388 0.199
0.017 0.112 0.111 0.187 0.31 0.387 0.005 0.005 0.048 0.001 0.059
** 0.191 0.192 1 *** 0.484 0.355 *** **
0.00
6***
Beta - - - - 0.18 0.023 - - 1.000 - 0.016 0.033

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 26


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

0.008 0.107 0.019 0.089 9 0.429 0.072 0.048 0.096 0.451 0.389
0.475 0.203 0.441 0.245 0.06 0.287 0.015 0.227
9*
Pers 0.052 - - 0.401 - - 0.113 0.063 0.388 - 1.000 -0164
0.341 0.021 0.166 0.001 0.29 0.040 0.189 0.311 0.001 0.096 0.451 0.398
0.434 0.097 *** 9 0.377 *** 0.227
* 0.00
9***
Lev 0.036 0.139 0.046 - - 0.069 0.092 - 0.199 0.016 - 1.000
0.389 0.138 0.361 0.011 0.09 0.296 0.236 0.040 0.059 0.451 0.164 0.200
0.465 2 0.379 0.100
0.23
7
*** signifikan 1%, ** signifikan 5%, signifikan 10% (two tail)
Angka diagonal merupakan korelasi Pearson
Angka dicetak tebal menunjukkan p-value dari koefisien korelasi
CAR = Cumulaive Abnormal Return perusahaan I
pada t-1 sampai t+1
UE = Unexpected Earnings
KI = Komisaris Independen = persentase
komisaris independen dibanding total dewan
komisaris yang ada
KM = Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat
kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA = Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP Big 4
dan o sebaliknya
Inst = Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat
kepemilikan institusional dan o sebaliknya
Disc = Indeks Pengungkapan Sukarela atas
laporan tahunan perusahaan.
UP = Ukuran Perusahaan diukur dengan Log
natural dari asset

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 27


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Beta = Risiko pasar diukur menggunakan market


model
Lev = Leverage diukur rasio total hutang dengan
total ekuitas perusahaan

Lampiran
Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients 95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF
1 (Constant) -.452 .199 -2.278 .028 -.853 -.051
KOMINS -.058 .132 -.064 -.437 .664 -.323 .208 -.008 -.068 -.049 .574 1.741
OWNINS .060 .027 .351 2.216 .032 .005 .114 .069 .327 .247 .494 2.025
KA .000 .022 -.003 -.021 .983 -.044 .044 .011 -.003 -.002 .619 1.614
KM -.052 .029 -.267 -1.802 .079 -.111 .006 -.245 -.271 -.201 .564 1.772
UE -.546 3.125 -.952 -.175 .862 -6.856 5.765 -.129 -.027 -.019 .000 2397.167
DISC .391 .330 .169 1.185 .243 -.275 1.056 .162 .182 .132 .607 1.647
GROWTH .000 .002 .010 .081 .936 -.003 .004 .083 .013 .009 .779 1.284
UP .017 .008 .307 2.024 .050 .000 .033 .266 .301 .225 .539 1.856
BETA .012 .018 .107 .632 .531 -.025 .049 -.008 .098 .070 .431 2.320
PERS -.011 .024 -.071 -.473 .639 -.060 .037 .052 -.074 -.053 .557 1.796
LEV -.073 .046 -.229 -1.598 .118 -.165 .019 .036 -.242 -.178 .605 1.653
UUXKOMIN 2.610 1.027 2.199 2.540 .015 .535 4.685 -.063 .369 .283 .017 60.430
UEXOWNIN -.547 .368 -.614 -1.485 .145 -1.290 .197 -.226 -.226 -.165 .072 13.796
UEXKA -.755 .389 -.630 -1.941 .059 -1.540 .031 -.054 -.290 -.216 .118 8.487
UEXKM .914 .407 .602 2.243 .030 .091 1.736 .068 .331 .250 .172 5.800
UEXDISC -.193 3.626 -.201 -.053 .958 -7.516 7.129 -.121 -.008 -.006 .001 1141.454
UEGROWTH .015 .038 .072 .385 .702 -.062 .091 .035 .060 .043 .351 2.845
UEXUP .068 .154 1.531 .441 .661 -.242 .378 -.123 .069 .049 .001 970.909
UEXBETA -.107 .158 -.204 -.676 .503 -.426 .212 -.111 -.105 -.075 .136 7.362
UEXPERSI .837 .411 .600 2.038 .048 .008 1.666 .148 .303 .227 .143 6.996
UEXLEV -2.266 .824 -2.322 -2.750 .009 -3.929 -.602 -.067 -.395 -.306 .017 57.486
a. Dependent Variable: CAR

Model Summaryb

Change Statistics
Adjusted Std. Error of R Square Durbin-W
Model R R Square R Square the Estimate Change F Change df1 df2 Sig. F Change atson
1 .701a .492 .231 .06799 .492 1.888 21 41 .040 1.994
a. Predictors: (Constant), UEXLEV, UP, GROWTH, LEV, OWNINS, BETA, UEXKM, KA, DISC, KOMINS, PERS, KM, UEXPERSI, UEGROWTH,
UEXOWNIN, UEXBETA, UEXKA, UUXKOMIN, UEXUP, UEXDISC, UE
b. Dependent Variable: CAR

ANOVAb

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .183 21 .009 1.888 .040a
Residual .190 41 .005
Total .373 62
a. Predictors: (Constant), UEXLEV, UP, GROWTH, LEV, OWNINS, BETA, UEXKM, KA,
DISC, KOMINS, PERS, KM, UEXPERSI, UEGROWTH, UEXOWNIN, UEXBETA,
UEXKA, UUXKOMIN, UEXUP, UEXDISC, UE
b. Dependent Variable: CAR

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 28


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Uji heteroskedasitas
White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.758148 Probability 0.78183


0
Obs*R-squared 35.43558 Probability 0.63323
1

Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 05/30/08 Time: 12:49
Sample: 1 63
Included observations: 63

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.472643 0.414563 -1.140101 0.2660


UE 0.805484 0.669254 1.203555 0.2410
UE^2 -1.979711 2.486801 -0.796087 0.4341
BETA -0.000354 0.002074 -0.170458 0.8661
BETA^2 -0.000455 0.002196 -0.207037 0.8378
DISC 1.488958 1.259616 1.182072 0.2493
DISC^2 -1.217557 1.016332 -1.197991 0.2431
GROWTH -3.64E-05 0.000791 -0.046013 0.9637
GROWTH^2 -1.42E-05 1.97E-05 -0.722450 0.4773
KA -0.000873 0.002675 -0.326409 0.7471
KM -0.004402 0.005062 -0.869673 0.3935
KOMINS 0.056012 0.144504 0.387620 0.7019
KOMINS^2 -0.045427 0.174370 -0.260519 0.7968
LEV -0.001709 0.024423 -0.069983 0.9448
LEV^2 0.012590 0.025353 0.496582 0.6242
OWNINS -0.000769 0.003697 -0.207989 0.8371

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 29


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

PERSIST -0.001701 0.010159 -0.167450 0.8685


PERSIST^2 0.001634 0.006948 0.235136 0.8162
UEXBETA -0.022373 0.035425 -0.631564 0.5339
UEXBETA^2 0.056774 0.097955 0.579595 0.5678
UEXDISC -1.449044 1.120527 -1.293182 0.2088
UEXDISC^2 12.31603 8.780727 1.402621 0.1741
UEXGROWTH 0.007017 0.009545 0.735177 0.4697
UEXGROWTH^2 0.011672 0.010501 1.111493 0.2778
UEXKA 0.183815 0.085345 2.153790 0.0420
UEXKA^2 -0.659716 0.491576 -1.342042 0.1927
UEXKM 0.007469 0.065473 0.114072 0.9102
UEXKM^2 -0.435706 0.714266 -0.610006 0.5478
UEXKOMINS -0.116773 0.243052 -0.480445 0.6354
UEXKOMINS^2 -0.243375 1.874123 -0.129861 0.8978
UEXLEV 0.377344 0.177027 2.131568 0.0439
UEXLEV^2 0.851216 0.942231 0.903404 0.3757
UEXOWNINS -0.040859 0.082342 -0.496212 0.6245
UEXOWNINS^2 0.261783 0.603329 0.433898 0.6684
UEXPERSIS -0.212430 0.081798 -2.597020 0.0161
UEXPERSIS^2 1.646511 1.254924 1.312040 0.2025
UEXUP -0.008608 0.020172 -0.426736 0.6735
UEXUP^2 -0.017475 0.015197 -1.149903 0.2620
UP 0.001884 0.013842 0.136096 0.8929
UP^2 -8.16E-05 0.000488 -0.167116 0.8687

R-squared 0.562470 Mean dependent 0.00300


var 9
Adjusted R- -0.179430 S.D. dependent 0.00464
squared var 0
S.E. of regression 0.005039 Akaike info -
criterion 7.48084
3

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 30


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Sum squared 0.000584 Schwarz criterion -


resid 6.12012
3
Log likelihood 275.6466 F-statistic 0.75814
8
Durbin-Watson 1.785355 Prob(F-statistic) 0.78183
stat 0

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 31


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Daftar Pustaka
Balsam, S., E. Bartov and C. Marquardt. (2002). Accrual Management, Investor
Sophisticated, and Equity Valuation: Evidence from 10-Q Fillings. Journal of
Accounting Research Vol.40 No.4, p.987-1012.

Jehsen, Michael C. & W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behaviuor, Agency Cost and Ownwership Structure. Journal of Financial
Economics 3. pp. 305-360.

Dhaliwal DS, Lee KJ, Fargher NL .1991. The association betweenGovernance


Structure and Corporate Performance in entrepreneurial firms. J Bus Ventur
7 : 375-386
Jiambavo, J. (1996). Discussion of Causes and Consequenses of Earnings
Manipulation. Contemporary Accounting Research. Vol 13. Spring, p 37-47.

Kallapur, Sanjay. 1994. Dividend pay out ratio as determinants of earnings response
coefficient. Journal Accounting and Economics 15; 143-171

Keasey, K, Thompson S, Wright M.1997. Corporate Governance :economic and


financial issues. Oxford University Press, Oxford, pp 1-17

Kothari,S.P dan Richard G.Sloan. 1992. Information in prices about future earnings:
Implication for Earnings Response Coefficient. Journal of Accounting and
Economics 15; 143-171

Lipe, R.C. 1990. The relation between stock return, accounting earnings and
alternative information. The accounting review (january): 49-71

Mayangsari, Sekar. 2004. Bukti Empiris Pengaruh Spesialisasi Industri Auditor


terhadap Earnings Response Coefficient. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia.
Vol.7 No.2, Mei 2004, 154-178.

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 32


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Mayangsari, Sekar. (2003). Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta


Mekanisme Corporate Governance Terhadap Integritas Laporan Keuangan.
Simposium Nasional Akuntansi VI, pp 1255-1267.
Naimah,Zahroh dan Utama, Sidharta, 2007. Pengaruh Persistensi Laba dan Laba
Negatif Terhadap Koefisien Respon Laba dan Koefisien Respon Nilai Buku
Ekuitas pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesi. Vol 10.No.3. September 2007: 268-286.

Nugrahanti, Yeterina Widi. 2006 Hubungan Luas Ungkapan Sukarela dalam


Laporan Tahunan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol.XII No.2, 152-171

Petra., Steven T. 2007. Effect of Corporate Governance on The Informativeness of


Earnings. Economics of Governance 8 : 129-152

Scott, William R. (2006). Financial Acconting theory. 4th Edition. Canada Inc :
Pearson Education.

Siallagan, Hamonangan dan Machfoedz, Masud (2006), Mekanisme Corporate


Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional
Akuntansi IX, Padang, 23-26 Agustus 2006.

Siregar,Sylvia Veronica N.P & Bachtiar, Yanivi S.(2004). Good Corporate


Governance, Information Asymmetry, and Earnings Management,
Simposium Nasional Akuntansi VII. Denpasar-Bali : hal 57-69.

Siregar,.Sylvia. Veronica N.P, dan Utama, Siddharta. (2006) Pengaruh Struktur


Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance
terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management), Journal Riset
Akuntansi Indonesia Vol 9 No.3. Hal 307-326

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 33


The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008

Shleifer, A dan R.W. Vishny (1997). A Survey of Corporate Governance. Journal of


Finance. Vol 52. No.2 Juni. 737-783.

Sloan, Richard G. (1996). Do Stock fully Reflect Information in Accrual and Cash
Flow About Future Earning, the Accounting Review, p.289-315.

Suripto, Bambang, 1998, Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Luas


Pengungkapan Sukarela Dalam Laporan Tahunan,. Tesis S2 UGM

Teets, Walter R. dan Charles E. Wasley. 1996. Estimating Earnings Response


Coefficient: Pooled versus Firm Specific Models. Journal of Accounting and
Economics 21: 279-295.

Teoh, Siew Hong dan T,J Wong. 1993. Perceived Auditor Quality and the Earnings
Response Coefficient. The Accounting Review; 346-366.

Utama, Siddharta (2003). Corporate Governance, Disclosure and its Evidence in


Indonesia. Usahawan no.04 th XXXII. hlm. 28-32

Tjager, I Nyoman, F. Antonius Alijoyo, Humpery R., Djemat, dan Bambang


Soembodo. (2003). Corporate Governance: Tantangan Dan Kesempatan
Bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: PT. Prenhalindo.

Vafeas N (2000) Board Structure and the informativeness of Earnings. J Account


Public Policy 19 (2): 132-160

Warfield T, Wild J, Wild K (1995) Managerial Ownership, accounting choices and


informativeness of earnings, J Account Econ 20 (1): 61-91.
Wedari, L.K.(2004). Analisis Pengaruh Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite
Audit Terhadap Aktivitas Manajemen Laba. Makalah SNA VII. Denpasar.
963-974
Watts R. and J.L. Zimmerman. (1986). Positive Accounting Theory. New York:
Prentice Hall. Wright, 1997;
Waterhouse & Svendsen, 1998; Cragg & Diyck, 1999;

Bridging the Gap between Theory and Practice GOV013- 34

You might also like