Professional Documents
Culture Documents
Abstract
1
Contact authors: star_capella03@yahoo.com/doddy.setiawan@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini corporate governance menjadi suatu buzzword yang semakin banyak
didengungkan. Sejak krisis moneter di era 1990-an terjadi, corporate governance dianggap
sebagai hal yang sangat krusial dalam pengelolaan perusahaan. Lemahnya corporate
governance seringkali disebut-sebut sebagai salah satu penyebab krisis keuangan tahun 1997-
1998 di negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia (Mitton, 2002, Alijoyo et al., 2004
dan Veronica et al., 2004). Namun, krisis jugalah yang membuat banyak pihak menyadari
governance di Indonesia merupakan reaksi atas perilaku para pengelola perusahaan yang tak
memperhitungkan stakeholdernya, hal itu terungkap dengan jelas ketika krisis menimpa
Akan tetapi bertolak dari kesadaran tersebut, kenyataannya sampai sekarang good
Indonesia. Masih banyak perusahaan yang menerapkan GCG sekedar untuk kosmetik guna
mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang (Poeradisastra, 2005).
berbagai skandal keuangan pada perusahaan publik. Tahun 1998-2001 tercatat skandal PT
Lippo Tbk., PT Kimia Farma Tbk. Tahun 2003 terbongkar kasus skandal Rp 1,7 triliun yang
melibatkan Bank Negara Indonesia (BNI), padahal tahun 2002 BNI menempati peringkat ke-
7 Corporate Governance Perception Index (CGPI), yang berarti perusahaan dinilai bagus
laporan keuangan gagal menyajikan fakta riil mengenai kondisi ekonomis perusahaan yang
sesungguhnya. Padahal, laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi akuntansi
yang paling mendasar bagi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh investor pasar
modal. Seringkali investor dan pemakai laporan keuangan lainnya bergantung pada laporan
keuangan, terutama angka laba sebagai parameter utama dalam mengukur kinerja manajemen
perusahaan, tanpa memperhatikan lebih jauh terhadap prosedur yang digunakan untuk
Akibat dari manipulasi tersebut, laba tidak dapat memberikan informasi guna
mendukung pengambilan keputusan. Laba semacam itu dikatakan sebagai laba yang
berkualitas rendah, karena angka laba tidak mencerminkan kondisi ekonomis perusahaan dan
nilai pasar perusahaan yang sebenarnya, sehingga dapat mengakibatkan interprestasi yang
keliru yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah bagi investor dan pemakai
laporan keuangan. Kualitas laba yang dilaporkan perusahaan akan sangat berpengaruh
terhadap reaksi pasar, dengan kata lain informasi laba yang dilaporkan memiliki kekuatan
respon (power of response). Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba menunjukkan
governance merupakan aspek kritikal dalam pengelolaan perusahaan. Penelitian Black et al.
(2003) menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat antara corporate governance dengan
nilai pasar perusahaan. Joh (2003) menemukan bahwa praktik corporate governance yang
banyak diantaranya yang berfokus pada karakteristik dewan komisaris dan komite audit
kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang signifikan lebih rendah
dibanding perusahaan yang tidak melakukan kecurangan. Klein (2002) menemukan bahwa
bahwa struktur dewan dan komite audit yang independen terhadap CEO, efektif dalam
memonitor proses pelaporan akuntansi keuangan perusahaan. Xie et al. (2003) membuktikan
bahwa komite audit secara efektif mampu melindungi kepentingan investor, membatasi
positif dengan kinerja operasional perusahaan. Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan
bahwa komite audit berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Akan tetapi,
Wedari (2004) justru menemukan bahwa corporate governance berhubungan positif dengan
belum mampu melindungi investor dari tindakan mementingkan diri yang dilakukan manajer.
Faisal (2004) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya
keagenan yang diukur dengan asset turnover dan berhubungan positif dengan operating
expense. Hal itu menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial belum berfungsi sepenuhnya
sebagai mekanisme pemanfaatan aktiva perusahaan dan belum dapat menekan diskresi
keagenan dan berhubungan negatif dengan operating expense. Hal itu justru menimbulkan
tanda tanya karena berlawanan dengan teori keagenan yang memprediksi bahwa semakin
besar ukuran dewan, maka semakin besar biaya operasi. Veronica dan Utama (2006)
menemukan bahwa praktik corporate governance yang diukur dari kualitas audit, proporsi
dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit, tidak terbukti secara signifikan
Meski telah cukup banyak penelitian mengenai pengaruh dan keterkaitan antara
mekanisme corporate governance dan earnings management, namun jarang yang menguji
pengaruhnya terhadap kualitas laba, hal itulah yang memotivasi penulis untuk melakukan
penelitian ini. Hal itu penting dilakukan karena praktik corporate governance yang baik
mempengaruhi kualitas laporan keuangan (Goodwin dan Seow dalam Setiawan, 2006).
penelitian ini dikarenakan seringkali kualitas earnings suatu perusahaan dipengaruhi oleh
manajemen laba yang diproksikan dengan akrual kelolaan. Terlebih lagi manajemen laba
telah meluas dan ada di setiap pelaporan keuangan yang disampaikan oleh perusahaan
Kualitas laba diduga kuat dipengaruhi oleh indikasi earnings management dan
mekanisme corporate governance. Hal itu karena rendahnya kualitas laba diduga disebabkan
karena lemahnya penerapan corporate governance, sedangkan ciri utama dari lemahnya
corporate governance sendiri adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri yang
dilakukan pihak manajer perusahaan (Darmawati et al., 2004), yang seringkali dilakukan
dalam bentuk manipulasi laba. Dengan kualitas laporan keuangan yang baik, pengumuman
laba akan mempunyai kandungan informasi yang kuat, yang tercermin dari reaksi pasar.
Dengan kata lain, laba yang memiliki kemampuan untuk memberikan respon kepada pasar
luar Indonesia diantaranya dilakukan oleh Warfield et al. (1995), hasil penelitian menemukan
bahwa kepemilikan manajerial secara positif berhubungan dengan kualitas informasi laba dan
Vafeas (2000) menunjukkan bahwa ukuran dewan yang lebih kecil dipahami lebih informatif
oleh pelaku pasar, sebaliknya tidak terdapat bukti bahwa ukuran dewan mengurangi kualitas
informasi laba. Anderson et al. (2003) membuktikan bahwa komite audit independen dan ahli
pengaruh mekanisme corporate governance secara simultan terhadap manajemen laba adalah
lemah, sedangkan pengaruh corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas
laba secara simultan adalah cukup kuat. Sebelumnya Midiastuty dan Mahfoedz (2003)
melakukan penelitian sejenis, hasilnya juga secara simultan komponen corporate governance
Tahun 2001-2005 dipilih sebagai periode dilakukannya penelitian, karena salah satu
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas peraturan mengenai corporate
mengenai penerapan corporate governance di Indonesia baru secara resmi tertuang dalam
Code for Good Corporate Governance tahun 2001. Selain itu peraturan mengenai good
corporate governance baru dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2000.
BEI mewajibkan perusahaan tercatat memiliki komisaris independen, komite audit, sekretaris
perusahaan melalui Surat Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-
315/BEJ/06-2000, yang dikeluarkan tanggal 30 Juni 2000 dan diberlakukan tanggal 1 Juli
2000.
governance yang difokuskan pada struktur internal governance devices perusahaan. Proksi
Hal itu disebabkan karena salah satu faktor yang yang membedakan antar perusahaan dan
membatasi kemampuan manajer dalam mengatur laba meliputi struktur internal governance
menjadi kategori eksternal dan internal sejalan dengan kerangka corporate governance
menurut World Bank. Komponen yang termasuk dalam kategori internal adalah yang
2002).
perbankan. Hal itu didasari oleh pentingnya fungsi dan peran strategis sektor perbankan
governance di level mikro berorientasi pada perbankan yang cacat (Syakhroza, 2002). Bank
pelayanan dalam lalu lintas sistem pembayaran, sekaligus sebagai sarana pelaksanaan
kebijakan moneter. Keberadaan bank yang sehat, baik secara individu maupun sebagai suatu
sistem, merupakan suatu prasyarat bagi suatu perekonomian yang sehat, prasyarat bagi
kebijakan moneter yang efektif. Tidak sehatnya sektor perbankan dapat mengakibatkan
rusaknya perekonomian suatu negara, terlebih mengingat hampir seluruh proses perputaran
uang terjadi melalui perbankan (Suseno dan Abdullah, 2004), selain itu sekitar 93% dari total
aset industri keuangan di Indonesia dikuasai oleh industri perbankan (Yunus dalam Suseno
dan Abdullah, 2004). Oleh karenanya, kondisi bank yang sehat yang didukung melalui
Aplikasi teori keagenan dalam industri perbankan menjadi unik karena berbeda
dengan industri yang lain, industri perbankan sarat dengan regulasi. Perbankan dilengkapi
lainnya dalam rangka memelihara kesehatan sistem perbankan. Dengan adanya regulasi,
hubungan keagenan dalam perbankan melibatkan pihak lain, yaitu regulator, yang dalam hal
ini adalah pemerintah melalui Bank Indonesia (BI), hal itu mengakibatkan masalah keagenan
menjadi semakin kompleks. BI mengatur dan mengawasi operasi bisnis seluruh bank di
Indonesia, dengan mempergunakan laporan keuangan sebagai dasar dalam penentuan status
suatu bank, apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak, oleh karena itu
Selain itu, untuk mengetahui adanya indikasi manajemen laba dalam perusahaan,
peneliti menggunakan model akrual khusus perbankan. Sebagaimana peneliti ketahui, belum
menggunakan model akrual khusus. Sebagian besar penelitian mengenai manajemen laba
biasanya berfokus pada model akrual Jones, Jones modifikasian, Healy, De Angelo, atau
model industri untuk mendekomposisi total akrual. Oleh karenanya, dalam penelitian ini
digunakan model akrual khusus yang dikembangkan oleh Beaver dan Engel (1996). Model
tersebut telah diuji oleh Rahmawati (2006) dan dinyatakan sebagai model pemisahan akrual
yang paling baik dalam memisahkan akrual non-kelolaan dari total akrual untuk mendeteksi
a. Apakah mekanisme corporate governance, dalam hal ini ukuran dewan komisaris,
di Indonesia?
b. Apakah mekanisme corporate governance, dalam hal ini ukuran dewan komisaris,
1) Pihak regulator. Bagi BAPEPAM dan BEI, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
bukti empiris mengenai efektivitas peraturan yang telah dikeluarkan mengenai dewan
komisaris dan komite audit guna mendorong peningkatan praktik corporate governance
di Indonesia. Bagi BI, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam
yang dilakukan BI akan semakin lebih baik jika tidak hanya didasarkan pada laporan
2) Pihak investor atau masyarakat pelaku pasar modal di Indonesia, diharapkan penelitian
ini turut memberikan informasi tentang bagaimana menggunakan informasi laba yang
berinvestasi. Hanya laba yang berkualitas yang dapat digunakan sebagai bahan
3) Kreditor, analis keuangan, dan auditor. Penelitian ini diharapkan membantu memahami
angka laba yang dilaporkan perusahaan serta mengetahui mana laba yang benar-benar
4) Pihak perusahaan. Bagi pihak manajemen, yaitu memberikan pemahaman serta masukan
guna menelaah lebih jauh mengenai efektivitas dan dampak penerapan corporate
dalam mengurangi tindakan manajemen laba dan meningkatkan nilai tumbuh perusahaan
theory, agency theory, dan corporate governance theory. Dari penelitian diharapkan
dilakukan oleh para peneliti. Hal tersebut karena dewan komisaris secara luas dipercaya
manajemen tingkat atas. Penelitian mengenai komposisi dewan komisaris sebagian besar di
antaranya menyimpulkan bahwa masuknya dewan yang berasal dari luar perusahaan,
penelitian yang dilakukan oleh Beasley (1996), Chtourou et al. (2001), Xie et al. (2003)
pelaporan keuangan diantaranya dilakukan oleh Song dan Windram (2000). Penelitian
mereka melaporkan bahwa masuknya dewan komisaris non eksekutif dalam institusi dewan
Komposisi komisaris yang memiliki jabatan komisaris non eksekutif juga membantu
memperoleh pengalaman tertentu dalam pelaporan keuangan yang lebih cepat dan ekonomis.
Hasil tersebut mendukung diperkuatnya independensi dewan di Inggris, namun dengan tetap
memperhatikan bahwa terdapat komposisi dewan yang optimal untuk tiap perusahaan dengan
karakter yang berbeda. Vafeas (2000) menguji apakah kualitas informasi laba yang
dewan komisaris. Akan tetapi dia tidak menemukan bukti bahwa komposisi dewan dapat
mengurangi earnings-returns relationship atau dengan kata lain komposisi dewan tidak
Penelitian terkait dengan komisaris independen juga telah cukup banyak dilakukan di
Indonesia. Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan bahwa persentase dewan komisaris
independen tidak berkorelasi secara signifikan terhadap akrual kelolaan, walaupun begitu
interaksi antar variabel akrual kelolaan dan dewan komisaris independen menunjukkan
koefisien positif yang signifikan terhadap return perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa
semakin tinggi persentase dewan komisaris independen, maka akrual kelolaan semakin
berpengaruh terhadap return. Dengan menggunakan analisis jalur Boediono (2005) meneliti
mekanisme corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas laba. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa secara individual pengaruh komposisi dewan komisaris terhadap
manajemen laba adalah sangat lemah. Hasil penelitian Veronica dan Utama (2006)
menyimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak terbukti secara signifikan
berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Setiawan
(2006) menunjukkan bahwa komisaris independen sebagai salah satu mekanisme corporate
menyelesaikan tugas yang diemban (Syakhroza, 2002). Karakteristik dewan komisaris secara
umum dan khususnya komposisi dewan komisaris dapat menjadi suatu mekanisme yang
para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik (Gunarsih dan Hartadi, 2002).
perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi
yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau
komisaris independen yang berasal dari luar perusahaan diharapkan akan direaksi positif oleh
pasar (investor), karena kepentingan investor akan lebih dilindungi. Dari situ terdapat dugaan
kuat bahwa komposisi dewan komisaris akan berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba
yang dilakukan perusahaan dan selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap kualitas laba
yang dilaporkan perusahaan. Maka, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pengertian komite adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih
besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau tugas-tugas khusus. Komite audit adalah
suatu komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu tugas dan
fungsinya. Kehadiran komite audit disadari sangat penting, sehingga regulator perusahaan
negara maupun perusahaan publik mengharuskan pembentukan komite audit. Dalam rangka
tercatat memiliki komite audit, melalui Surat Edaran Bursa Efek Indonesia No: SE-
komite audit.
Keberadaan komite audit tentu saja sangat penting bagi pengelolaan perusahaan,
karena komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan
komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Komite audit
auditor internal, serta mematuhi ketentuan regulasi, aturan BUMN, BAPEPAM, BEI, dan
Code of Corporate Governance (Habsyah dalam Salim, 2004). Komite audit berperan dalam
Tugas dan fungsi komite audit adalah memberikan pendapat kepada dewan komisaris
atas laporan yang disampaikan oleh direksi, mengidentifikasi masalah yang perlu mendapat
perhatian dari dewan komisaris, menelaah kebijakan akuntansi yang ditetapkan oleh
komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal, dan auditor internal
(Bradburry et al., 2004). Komite audit memiliki wewenang secara penuh terhadap sumber
daya perusahaan, untuk bekerjasama dengan auditor, dan memiliki akses terhadap direksi dan
informasi perusahaan. Komite audit memiliki tanggung jawab yang penting dalam
perusahaan. Menurut Salim (2004), secara umum tanggung jawab komite audit
dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: pengawasan proses pelaporan keuangan, pengawasan
proses manajemen risiko dan pengendalian, mereview kebijakan perusahaan yang terkait
dengan hukum dan peraturan, etika bisnis, conflict of interest, review kebijakan perusahaan
yang terkait dengan hukum, peraturan, etika bisnis, conflict of interest, investigasi terhadap
Terdapat cukup banyak penelitian yang menguji hubungan antara komite audit dan
manajemen laba, beberapa diantaranya menyimpulkan bahwa keberadaan komite audit dapat
mengurangi aktivitas manajemen laba, yakni Chtourou et al. (2001), Xie et al. (2003),
Veronica dan Bachtiar (2004), Wedari (2004), dan Sugiarta (2004). Akan tetapi, sebagian
penelitian membuktikan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara keberadaan komite
audit terhadap manajemen laba atau kecurangan pelaporan keuangan, diantaranya penelitian
yang dilakukan Beasley (1996), Klein (2000), Veronica dan Utama (2006). Beberapa
penelitian yang menguji hubungan antara komite audit terhadap kualitas pelaporan keuangan,
kualitas pelaporan keuangan. Diantaranya adalah Song dan Windram (2000), Anderson et
al.(2003), dan Bradbury et al. (2004), Sugiarta (2004), Suaryana (2005), dan Setiawan
Peran komite audit sangat penting karena mempengaruhi kualitas laba perusahaan
yang merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat
digunakan oleh investor dalam menilai perusahaan. Hal itu karena komite audit bertugas
membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen
untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Dari situ, hipotesis dalam penelitian ini
kepemilikan dan fungsi pengelolaan perusahaan yang disebut dengan the separation the
decision-making and risk beating functions of the firm, yang selanjutnya dimodelkan sebagai
agency theory. Akibat pemisahan kedua fungsi tersebut, di dalam perusahaan terdapat
konflik kepentingan antara berbagai pihak yang memiliki tujuan yang berbeda, yang dikenal
dengan agency problems. Agency problems terjadi ketika manajer cenderung bertindak untuk
kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam pengambilan
keputusan perusahaan. Konflik keagenan tersebut pada akhirnya turut mendorong munculnya
hazard dari manajer, seperti perilaku oportunis manajer dengan cara memanipulasi laba.
kontrol yang secara efektif dapat mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta
(Syakhroza, 2003). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi adalah dengan
distribusi kekuasaan di antara berbagai pihak yang berkepentingan. Hal tersebut sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976), bahwa perilaku manipulasi
oleh manajer yang berawal dari konflik kepentingan dapat diminimumkan melalui suatu
menimbulkan biaya yang disebut dengan agency cost. Salah satu alternatif untuk mengurangi
agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan saham manajerial. Jensen dan
antara pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat
dari keputusan yang diambil, juga kerugian yang muncul sebagai konsekuensi dari
saham manajerial pada akhirnya akan menyebabkan kinerja perusahaan semakin baik.
cenderung mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer, pemikiran itu
didukung oleh hasil penelitian Warfield et al. (1995). Midiastuty dan Machfoedz (2003)
manajerial berhubungan negatif sangat signifikan dengan manajemen laba dan berhubungan
positif signifikan terhadap kualitas laba yang diukur dengan ERC. Hasil tersebut
antara manajer dengan pemilik atau pemegang saham. Namun, sebagian peneliti tidak
lebih tinggi, lebih efisien dalam penggunaan aset dibanding perusahaan dengan kepemilikan
manajerial yang rendah, meski perbedaannya tidak signifikan. Selain itu, ditemukan bahwa
kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya keagenan yang diukur dengan
asset turnover, dan berhubungan positif dengan operating expense. Hal itu menunjukkan
bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi belum sepenuhnya dapat menekan biaya operasi
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi
manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba
yang berbeda pula, seperti antara owner-manager dan non-owner manager (Boediono, 2005).
Dengan adanya kepemilikan manajerial, manajer yang merangkap sebagai pemegang saham
(owner manager) dapat ikut menentukan keputusan terhadap pemilihan kebijakan dan
metode akuntansi yang diterapkan perusahaan. Ketika manajer ikut memiliki perusahaan,
manajerial dapat mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan manajemen laba, sehingga
laba yang dilaporkan dapat merefleksikan keadaan ekonomi dari perusahaan yang
kuat akan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya tindakan manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer dan turut berpengaruh terhadap kualitas laba yang dilaporkan.
institusional sering disebut juga sebagai investor yang canggih (shopisticated) dan
seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang di dalam memprediksi laba
masa depan (Veronica dan Utama, 2006). Investor institusional diyakini mampu memonitor
tindakan para manajer dengan lebih baik dibanding investor individual. Adanya kepemilikan
institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan oleh
institusi lain akan mendorong peningkatan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen
(Wahidahwati, 2002).
Menurut Jensen & Meckling (1976), kepemilikan institusional merupakan salah satu
alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict. Dengan kata lain semakin
tinggi tingkat kepemilikan institusional, semakin kuat tingkat pengendalian yang dilakukan
oleh pihak eksternal terhadap perusahaan, sehingga agency cost yang terjadi di dalam
perusahaan semakin berkurang dan nilai perusahaan juga dapat semakin meningkat. Selain
itu, dengan semakin kuatnya tingkat pengendalian yang dilakukan oleh pihak eksternal
tersebut, diharapkan tingkat pengendalian internal perusahaan juga semakin baik. Penelitian
sangat signifikan terhadap kualitas laba. Boediono (2005) menyimpulkan bahwa mekanisme
lemah terhadap kualitas laba. Sedangkan Wedari (2004) menemukan bahwa kepemilikan
institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunis manajer yang memanfaatkan
pihak lain. Hal itu karena tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menyebabkan
pengawasan (monitoring) yang lebih besar dan lebih efektif. Dengan investor institusional
yang mampu memonitor kinerja manajemen dengan lebih baik maka tindakan manajemen
laba yang dilakukan manajer dapat dikurangi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas laba yang dilaporkan. Dari situ, maka hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini
Laba sebagai informasi yang terkandung dalam laporan keuangan yang diterbitkan
akan menyebabkan pasar bereaksi, dengan kata lain laba memiliki kekuatan respon (power of
response) pada pasar. Laba yang dipublikasikan dapat memberikan respon yang bervariasi,
yang menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap laba (Cho dan Jung dalam Boediono, 2005).
Reaksi yang ditunjukkan oleh pasar tergantung dari kualitas laba yang dilaporkan
perusahaan. Laba yang kredibel dan berkualitas akan direspon lebih kuat (Anderson et al.,
2003). Dalam penelitian ini, kualitas laba diproksikan dengan Earnings Response Coefficient
(ERC). Scott (2003) mendefinisikan ERC sebagai koefisien untuk mengukur unexpected
accounting earnings dalam regresi abnormal return saham dan varibel-variabel lain. Secara
intuitif besaran ERC mencerminkan kualitas earnings yang tinggi pula, semakin tinggi ERC
menunjukkan laba yang dilaporkan semakin berkualitas dan semakin rendah ERC
dalam perusahaan, hal itu diprediksi oleh Dechow et al. (1995) dapat menimbulkan masalah
karena manajemen sebagai pihak yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan
dievaluasi dan dihargai berdasarkan laporan yang dibuatnya sendiri. Padahal, seperti kita
ketahui bahwa dalam proses pengambilan berbagai keputusan ekonomi, investor dan
pemakai laporan keuangan lainnya sangat bergantung pada informasi dalam laporan
kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri (moral hazard)
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kredibilitas laporan keuangan.
Manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai
laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba
tanpa rekayasa (Setiawati dan Naim, 2000). Dari situ diketahui bahwa kualitas laba suatu
laba secara simultan menunjukkan pengaruh yang cukup kuat terhadap kualitas laba. Akan
tetapi, ia tidak berhasil membuktikan pengaruh manajemen laba terhadap kualitas laba,
secara parsial manajemen laba berpengaruh sangat lemah terhadap kualitas laba. Pudjiastuti
(2006) menemukan bahwa manajemen laba yang tinggi akan diikuti dengan kualitas laba
yang tinggi pula. Dari penjabaran di atas, maka selanjutnya hipotesis dalam penelitian ini
adalah :
Berdasarkan telaah literatur yang telah dikemukakan di atas, kerangka teoritis yang
Komposisi
Dewan komisaris
Keberadaan
Komite Audit
Manajemen Kualitas
Laba Laba
Kepemilikan
Manajerial
Kepemilikan
Institusional
Jenis penelitian ini adalah pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang menjelaskan
mengenai sifat dari hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang termasuk dalam
Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:
1) Perusahaan telah go public atau terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia pada periode 2001-
2005.
2) Perusahaan tidak mengalami delisted dan sahamnya aktif diperdagangkan selama periode
2001-2005.
3) Perusahaan menerbitkan laporan keuangan tahunan yang dinyatakan dalam rupiah (Rp)
untuk periode yang berakhir 31 Desember tahun 2001-2005 yang dipublikasikan melalui
4) Keseluruhan data dan laporan keuangan perusahaan secara lengkap tercantum dalam
publikasi Direktori Perbankan Indonesia tahun 2001-2006 yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
5) Perusahaan secara lengkap memiliki data corporate governance yang dibutuhkan dalam
penelitian.
Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah mekanisme corporate governance yang
terdiri dari :
berasal dari luar perusahaan (outside directors) terhadap jumlah keseluruhan anggota
dewan komisaris.
Variabel ini merupakan variabel dummy, ditunjukkan dengan ada atau tidaknya komite
audit dalam perusahaan. Bila diketahui perusahaan sampel memiliki komite audit, maka
dinilai 1, sebaliknya jika perusahaan tidak memiliki komite audit, maka dinilai 0.
Variabel ini merupakan variabel dummy, diukur berdasarkan ada atau tidaknya sejumlah
saham bagian dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar yang dimiliki pihak
Diukur dari persentase jumlah saham yang dimiliki investor institusi dari total saham
yang beredar.
Manajemen laba dalam penelitian ini diproksikan oleh discretionary accrual. Variabel
ini berskala rasio. Untuk mendeteksi discretionary accrual dalam perusahaan sampel
digunakan model akrual khusus Beaver dan Engel (1996). Model tersebut merupakan
model yang paling sesuai untuk mendeteksi manajemen laba dalam industri perbankan di
NPAit+1= selisih non performing assets t+1 dengan non performing assets t
Semua variabel dideflasi dengan nilai buku ekuitas plus cadangan kerugian pinjaman.
z it
Total akrual pada model dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan aktiva
produktif (PPAP).
Kualitas laba dalam penelitian ini diproksikan dengan Earnings Response Coefficient
(CAR) dengan Unexpected Earnings (UE), sehingga koefisien beta merupakan ERC dari
tiap perusahaan. ERC pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan pendekatan
Firm Specific Coefficient Methodology (FSCM). Dalam pengujian hipotesis yang terkait
dengan pengaruh terhadap kualitas laba, ERC akan dihitung dalam periode bulanan dan
harian. Untuk periode harian akan dihitung dengan menggunakan market model dan
R i,t = Pt - Pt-1
Pt-1
Dimana : Pt = harga saham pada akhir bulan
Abnormal return adalah return aktual perusahaan dikurangi dengan return pasar.
selama tahun t.
CARi,t = AR i,t
Unexpected earnings adalah selisih antara laba yang sesungguhnya dengan laba
ekspektasian.
karena laba bersih dianggap lebih bisa menggambarkan kinerja perusahaan secara
keseluruhan. Setelah CAR dan UE dihitung, maka dilakukan regresi dengan mengikuti
Koefisien beta yang diperoleh dari hasil regresi merupakan koefisien respon laba (ERC)
tiap perusahaan.
Untuk periode harian akan dipergunakan metode market model dan market adjusted
model.
a) Market Model
Untuk perhitungan ERC periode harian dengan metode market model, digunakan event
studies, yaitu dengan menggunakan peristiwa pengumuman laba (t), yakni tanggal
adalah 200 hari dan periode jendela 10 hari, yakni 5 hari sebelum dan 5 hari sesudah
R i,t = i + i . Rmt + it
Pengujian tersebut mengacu pada prosedur yang disarankan Hartono (2000). Return
harian aktual perusahaan (Ri,t) dihitung dengan cara mengurangkan harga saham pada
hari tersebut (Pt) terhadap harga saham pada hari sebelumnya (Pt-1), kemudian dibagi
R i,t = Pt - Pt-1
Pt-1
Return harian pasar dihitung dengan cara mengurangkan indeks pada hari perdagangan
tersebut, dalam hal ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSGt) dengan indeks
memiliki expected return. Besarnya expected return pada tanggal pengumuman laba dan
periode jendela dapat dihitung setelah meregresi Ri,t dan Rmt periode estimasi dan
diperoleh besarnya nilai i dan i dari persamaan regresi. Besarnya expected return
E(Ri,t) = i + i . Rmt
sekuritas i)
periode estimasi)
Abnormal return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap
return normal (Hartono, 2000). Abnormal return dihitung dengan menggunakan formula
berikut:
t+5
CAR i(t-5,t+5) = AR i,t
t-5
Unexpected earnings adalah selisih antara laba yang sesungguhnya dengan laba
ekspektasian.
Setelah itu dilakukan regresi atas persamaan regresi berikut: CAR i(t-5,t+5) = + UE i,t
Koefisien beta yang diperoleh dari hasil regresi persamaan di atas merupakan ERC tiap
perusahaan.
Untuk perhitungan ERC periode harian dengan metode market adjusted model, return
harian aktual (Ri,t) dan return harian pasar (Rmt), dihitung dengan formula yang sama
R i,t = Pt - Pt-1
Pt-1
Rmt = IHSGt - IHSGt-1
IHSGt-1
Model perhitungan abnormal return (AR i,t ) adalah sebagai berikut :
Ketika menggunakan metode market adjusted model, besarnya return yang diharapkan
oleh investor untuk tiap sekuritas perusahaan (E(R i,t)) dianggap sama dengan besarnya
Cummulative abnormal return dihitung dengan menjumlahkan abnormal return hari t-5
t+5
CAR i(t-5,t+5) = AR i,t
t-5
UE i,t +
Penggunaan ketiga macam proksi kualitas laba tersebut dilakukan sebagai sensitivity
analysis, yakni apakah model ini dapat digunakan dalam berbagai keadaan. Untuk
menentukan model pengukuran mana yang akan digunakan dalam analisis utama, akan
dilakukan analisis perbandingan antara ketiga model pengukuran tersebut. Model pengukuran
terbaik yang akan digunakan pada analisis atas pengujian hipotesis utama yang menguji
pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur kedua), sedangkan kedua model lain akan
seperangkat variabel terhadap variabel lainnya, baik secara langsung maupun melalui
variabel lain sebagai variabel intervening. Dalam pengujian hipotesis digunakan metode
analisis jalur (path analysis) dalam menaksir hubungan kausalitas antar variabel (model
casual) yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori untuk mengetahui pengaruh
antara variabel eksogen dan variabel endogen. Analisis jalur berbeda dengan analisis regresi
Pengujian hipotesis dilakukan dengan bantuan program SPSS for windows versi 15.0.
Sebelumnya untuk mempermudah pengujian, agar model penelitian dapat tergambar dengan
jelas, dapat dispesifikasi, serta dirumuskan persamaannya, maka disusun diagram alur dari
konseptualisasi model dalam rerangka teoritis. Dari hasil konseptualisasi model, kemudian
kita rumuskan hipotesis penelitian dalam persamaan struktural. Selanjutnya dilakukan uji
Pada model path analysis hubungan antar variabel adalah bersifat linier, adaptif, dan
bersifat normal. Untuk menguji apakah variabel dependen dan independen dalam model
memiliki distribusi normal atau tidak digunakan uji Kolmogrov Smirnov. Kriteria yang
digunakan adalah pengujian dua arah (two tailed test), yaitu dengan membandingkan p
b) Uji Linieritas
Dalam path analysis hubungan antar variabel harus bersifat linier dan adaptif. Uji
linieritas model dalam penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier yang
Dalam path analysis, hanya model recursive yang dapat dipertimbangkan, artinya hanya
sistem aliran kausal ke satu arah, tidak ada arah kausalitas yang berbalik. Suatu model
dikatakan recursive jika antara variabel epsilon ( ) saling bebas dan hubungan antara
i
variabel epsilon dengan variabel endogen saling bebas. Untuk menguji apakah model
recursive bisa digunakan uji variance influence factor (VIF), dimana suatu hubungan
antar variabel epsilon dikatakan saling bebas dan antara variabel epsilon dengan variabel
endogen memiliki hubungan yang saling bebas jika nilai VIF tidak lebih dari 10
(Algifari, 1997).
d) Memastikan variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan
rasio
reliable)
Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas, karena menggunakan
data sekunder.
Bila ingin dikatakan bahwa model tersebut adalah fit, seluruh hipotesis dan rancangan
model dalam penelitian dibangun berdasar teori dan konsep yang relevan didukung bukti
empiris yang memadai dari suatu hasil penelitian, artinya model diuji dibangun
koefisien tiap jalur () guna menghitung besarnya pengaruh terhadap earnings management
(y) dan earnings response coefficient (z). Menurut Riduwan dan Kuncoro (2007), pada
dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang distandarkan yaitu koefisien
regresi yang dihitung dari basis data yang telah diset dalam angka baku atau Z-score (data
yang diset dengan nilai rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Dalam path analysis, di
samping ada pengaruh langsung juga terdapat pengaruh tidak langsung dan pengaruh total.
Pengaruh langsung diambilkan dari hasil regresi yang ditunjukkan oleh output Coefficient
yang dinyatakan sebagai standardize coeficients beta dan diberi simbol Pyixi. Sedangkan
pengaruh tidak langsung merupakan perkalian antar Pyixi. Pengaruh total merupakan
Setelah kita peroleh besarnya koefisien tiap jalur pada struktur model, selanjutnya
akan dapat kita lakukan pengujian hipotesis, kita tentukan besarnya pengaruh variabel
eksogen terhadap variabel endogen dengan uji validitas model. Sahih tidaknya suatu hasil
analisis tergantung dari terpenuhi atau tidaknya asumsi yang melandasinya. Indikator
validitas model di dalam path analysis menggunakan uji ketepatan parameter (koefisien
2
determinasi total). Koefisien determinasi total (R ) diuji dengan uji statistik F, sedangkan uji
validitas koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung menggunakan nilai p dari
uji statistik t. Hipotesis utama yang dibangun dan diuji dalam penelitian ini adalah sebanyak
analisis sensitivitas adalah sebanyak 12 hipotesis. Analisis akan dibagi menjadi dua tahap :
Dari proses pengumpulan data dan penyeleksian sampel, diperoleh sampel sebanyak
21 perusahaan, dengan jumlah observasi sebanyak 105 observasi yang terdiri dari data tahun
2001-2005. Hasil seleksi sampel beserta data perusahaan sampel dapat dilihat pada bagian
lampiran.
Hasil penyusunan diagram alur dari konseptualisasi model yang digambarkan dalam
rerangka teoritis dapat dilihat pada bagian lampiran. Dari hasil konseptualisasi model,
diperoleh rumusan hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam persamaan struktural berikut
persamaan model pertama berdistribusi normal. Pada persamaan model kedua dengan
menggunakan ERC periode bulanan, variabel residualnya berdistribusi tidak normal, artinya
data tidak tersebar merata dalam tiap nilainya. Untuk mendapatkan hasil pengujian yang
lebih baik dan valid, maka dilakukan pengobatan, yakni dengan cara melakukan transformasi
data mentah ke dalam bentuk logaritma natural dari tiap-tiap data yang akan diuji.
Data yang telah ditransformasi mengalami perubahan terkait dengan sebaran data, hal
itu ditunjukkan dengan nilai p value > 0,05. Transformasi data telah mengubah jumlah data
yang valid dan dapat diolah menjadi 26 observasi. Untuk seterusnya, ketika digunakan data
ERC periode bulanan, jumlah observasi yang diuji adalah sejumlah tersebut. Hasil uji
Dari hasil uji linieritas dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier dapat
disimpulkan bahwa model berbentuk linier. Hal itu karena, nilai c2 hitung < c2 tabel, maka
dapat disimpulkan bahwa model bersifat linier. Hasil uji linieritas dapat dilihat pada bagian
lampiran.
Uji asumsi ketiga yakni apakah model memenuhi model rekursif atau tidak. Dari hasil
pengujian disimpulkan bahwa model memenuhi model rekursif. Hal itu ditunjukkan dengan
nilai VIF yang tidak lebih besar dari 10. Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran.
Uji asumsi keempat tentang apakah variabel terikat (endogen) minimal dalam skala
ukur interval atau rasio telah terpenuhi. Sebagaimana kita ketahui bahwa variabel endogen
dalam penelitian ini, yakni manajemen laba dan kualitas laba, keduanya berskala rasio. Uji
asumsi kelima tentang validitas tidak dilakukan, sebab data yang dikumpulkan merupakan
data skunder yang diumumkan kepada publik oleh BEI dan BI dengan tanggung jawab
hukum yang jelas, karena itu validitas data seharusnya tidak perlu diragukan lagi. Dari
landasan teori dan pengembangan hipotesis diketahui bahwa seluruh hipotesis dan rancangan
model penelitian dibangun berdasarkan teori dan konsep yang relevan yang didukung bukti
empiris. Oleh karena itu, model yang dirancang adalah fit, sehingga asumsi dasar keenam
juga terpenuhi.
Model yang digunakan dalam pengujian hipotesis utama yang menguji pengaruh
terhadap kualitas laba (sub-struktur kedua) dalam penelitian ini adalah model pengukuran
yang menggunakan ERC periode harianmarket adjusted model. Hal itu karena setelah
dilakukan analisis perbandingan antara ketiga model pengukuran, model tersebut merupakan
model pengukuran terbaik, yakni model yang mempunyai R2 (R square) paling tinggi,
dalam penelitian), serta proporsi tanda koefisien yang sesuai prediksi paling tinggi.
(Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran: hasil perhitungan analisis jalur sub-
struktur 1)
Hasil uji statistik F ditunjukkan oleh Tabel Anova Model 1. Dari tabel Anova diperoleh
nilai F untuk Model 1 sebesar 2,163 dengan nilai probabilitas (Sig.) = 0,080. Karena 0,10
> Sig., maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan pada taraf signifikansi 10%,
yakni komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan
manajemen laba. Berdasarkan nilai R2 pada hasil Model Summary, kita ketahui besarnya
0,079 = 7,9%.
Dari tabel Coefficient, kita ketahui bahwa 0,05 < nilai probabilitas Sig., sehingga
pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba adalah tidak signifikan. Pengaruh
variabel komposisi dewan komisaris (X1) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan
dengan koefisien jalur sebesar 0,132 (yx1). Secara statistik pengaruh variabel X1
Dari hasil analisis kita ketahui bahwa 0,05 < nilai probabilitas Sig. (0,05 < 0,442), artinya
pengaruh keberadaan komite audit terhadap manajemen laba adalah tidak signifikan.
Pengaruh variabel keberadaan komite audit (X2) terhadap manajemen laba (Y)
ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,079 (yx2). Besarnya pengaruh variabel X2
Kepemilikan manajerial juga berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba. Hal
itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas < nilai Sig. (0,05 < 0,920). Pengaruh variabel
kepemilikan manjerial (X3) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan besarnya
koefisien jalur sebesar 0,010 (yx3). Dari situ diketahui besarnya pengaruh X3 terhadap Y
Karena 0,05 > nilai probabilitas Sig. (0,05 > 0,011), maka kepemilikan institusional
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh
variabel kepemilikan institusional (X4) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan
koefisien jalur sebesar 0,266 (yx4). Secara statistik besarnya pengaruh X4 terhadap Y
(Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran: hasil perhitungan analisis jalur sub-
struktur 2)
Hasil uji F ditunjukkan oleh Tabel Anova Model 2 yang menggunakan ERC periode
harian market adjusted model. Dari tabel diperoleh nilai F sebesar 6,551 dengan nilai
probabilitas (Sig.) = 0,000. Karena 0,05 > Sig., berarti signifikan, artinya komposisi
institusional, dan manajemen laba berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap
kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Berdasar nilai R2 (R square), kita ketahui
Dari tabel Coefficient diperoleh nilai probabilitas Sig. variabel komposisi dewan
komisaris sebesar 0,156. Karena 0,05 < Sig., maka pengaruh komposisi dewan komisaris
terhadap kualitas laba adalah tidak signifikan. Pengaruh langsung komposisi dewan
komisaris (X1) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -
0,139 (zx1). Besarnya pengaruh langsung (direct effect) variabel X1 terhadap Z adalah =
(-0,139) x (-0,139) x 100% = 1,93%. Besarnya pengaruh tidak langsung (indirect effect)
harus dihitung dengan mengalikan koefisien tidak langsungnya. Pengaruh total (total
pengaruh tidak langsungnya, yakni = zx1 + (yx1 x zy) = (-0,139) + (0,132 x (-0,177)) =
-0,162. Besarnya pengaruh total variabel komposisi dewan komisaris terhadap kualitas
Nilai probabilitas Sig. < 0,05 (0,05 < 0,017), artinya keberadaan komite audit
berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh
langsung variabel keberadaan komite audit (X2) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan
dengan koefisien jalur sebesar 0,227 (zx2). Besarnya pengaruh langsung variabel X2
terhadap Z adalah sebesar = 0,227 x 0,227 x 100% = 5,15%. Sedangkan pengaruh total
Sehingga, besarnya pengaruh total variabel X2 terhadap Z adalah sebesar = 0,213 x 0,213
x 100% = 4,54%.
Karena 0,05 > Sig. (0,05 > 0,001), maka kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan
terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh langsung kepemilikan
manajerial (X3) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -
100% = 10,56%. Pengaruh total variabel X3 terhadap Z adalah = zx3 + (yx3 x zy) = (-
perbankan, hal itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas > nilai probabilitas Sig. (0,05 >
Pengaruh langsung variabel kepemilikan institusional (X4) terhadap kualitas laba (Z)
terhadap Z adalah sebesar (-0,314) x (-0,314) x 100% = 9,86%. Pengaruh total variabel
Nilai Sig. variabel manajemen laba yang diperoleh dari tabel Coefficient adalah 0,055.
Karena 0,10 < nilai Sig., artinya manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap
kualitas laba pada tingkat signifikansi 10%. Pengaruh variabel manajemen laba (Y)
terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -0,177 (zy).
Laba
Hasil analisis menujukkan bahwa mekanisme corporate governance, dalam hal ini
sangat lemah, yakni sebesar 7,9%. Artinya bahwa manajemen laba dijelaskan oleh
variabel-variabel tersebut sebesar 7,9%, sisanya sebesar 92,1% dijelaskan oleh faktor-
faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam penelitian. Hasil penelitian ini sejalan
Hipotesis 1a: ditolak, karena komposisi dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh
signifikan terhadap besaran manajemen laba, besarnya pengaruh hanya 1,74%. Namun,
jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya positif, artinya semakin besar
keanggotaan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan akan semakin
meningkatkan tindakan manajemen laba. Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian
Beasley (1996), Song dan Windram (2000), Chtorou et al. (2001), Xie et al. (2003), serta
Nasution dan Setiawan (2007) yang menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Namun, konsisten dengan beberapa hasil
penelitian lain di Indonesia, diantaranya: Veronica dan Bachtiar (2004), Veronica dan
Utama (2006), serta Boediono (2005). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar
komposisi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan, kemungkinan
keputusan.
Kondisi tersebut ditegaskan oleh hasil survey Asian Development Bank dalam Boediono
(2005) bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas
menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan yang seharusnya
atau penambahan anggota dewan dari luar perusahaan dilakukan sekedar untuk
(founders) masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan tidak meningkat,
Hipotesis 1b: ditolak, keberadaan komite audit tidak terbukti berpengaruh signifikan
terhadap besaran manajemen laba, besarnya pengaruh hanya sebesar 0,62%. Namun, jika
dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya adalah positif, artinya adanya komite audit
pada perusahaan perbankan justru meningkatkan manajemen laba. Hal tersebut berarti
bahwa keberadaan komite audit sebagai salah satu bentuk penerapan mekanisme
Hal itu kemungkinan karena pembentukan komite audit dilakukan sebatas untuk
menerapkan prinsip GCG. Kehadiran komite audit dalam perusahaan perbankan mungkin
masih belum dapat berfungsi optimal, sebagaimana dulu kehadiran dewan audit yang
kemudian digantikan dengan direktur kepatuhan tidak membawa dampak positif bagi
review penelitian sebelumnya, tampak bahwa hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
hasil penelitian Chtorou et al. (2001) , Xie et al. (2003), Veronica dan Bachtiar (2004),
Wedari (2004). Akan tetapi hasil penelitian ini mendukung penelitian Beasley (1996),
Hipotesis 1c: ditolak, larena kepemilikan manajerial tidak terbukti berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba, pengaruhnya sangat kecil, yakni hanya sebesar 0,01%. Hasil
temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Wedari (2004) dan Boediono (2005), namun
berlawanan dengan penelitian Warfield et al. (1995), Midiastuty dan Machfoedz (2003).
Jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya adalah positif. Artinya adanya
terhadap besaran manajemen laba. Pengaruhnya adalah sebesar 7,08%. Namun, jika
dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah positif. Hal itu berarti bahwa
semakin tinggi tingkat kepemilikan saham oleh institusi, maka semakin tinggi besaran
manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Midastuty dan
negatif terhadap manajemen laba, namun sejalan dengan hasil penelitian Boediono
(2005). Hal itu kemungkinan karena emiten yang dianalisis (perusahaan perbankan
institusi yang biasanya memiliki saham yang cukup besar yang mencerminkan
secara simultan dan signifikan terhadap kualitas laba. Jika besarnya pengaruh tersebut
maka besarnya pengaruh adalah cukup kuat, yakni sebesar 24,9%. Hal tersebut sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Midiastuty dan Machfoedz (2003) dan Boediono
(2005).
Hipotesis 2a: ditolak., komposisi dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh signifikan
terhadap kualitas laba perusahaan (ERC), pengaruh langsungnya tidak signifikan yakni
hanya sebesar 1,93%. Besarnya pengaruh total variabel komposisi dewan komisaris
terhadap kualitas laba adalah sebesar 2,62%. Jika ditinjau dari kuat-lemahnya hubungan,
maka pengaruhnya adalah sangat lemah. Artinya dewan komisaris sebagai salah satu
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Vafeas (2000) Boediono (2005), dan Setiawan
(2006).
terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh langsung keberadaan komite audit terhadap
kualitas laba adalah sebesar 5,15%, sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 4,54%.
Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah positif, artinya dengan
adanya komite audit, perusahaan dapat meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan
meningkatkan kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan, sehingga laba yang
dilaporkan oleh perusahaan yang membentuk komite audit dinilai memiliki kualitas yang
baik. Hasil tersebut sejalan dengan temuan Anderson et al. (2003), Suaryana (2005), dan
Setiawan (2006).
kualitas laba adalah cukup kuat, yakni sebesar 10,56%, sedangkan pengaruh totalnya
adalah sebesar 10,69%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhya adalah
negatif. Artinya semakin tinggi kepemilikan manajerial, maka kualitas laba akan
menurun. Temuan ini berlawanan dengan hasil penelitian Warfield (1995), Midiastuty
dan Machfoedz (2003), dan Boediono (2005) yang menunjukkan kepemilikan manajerial
berhubungan positif dengan kualitas laba. Hal itu mungkin karena adanya kepemilikan
manajerial justru menimbulkan semacam mosi tidak percaya, keraguan bagi para
terhadap kualitas laba perusahaan. Pengaruhnya adalah negatif, artinya semakin tinggi
kepemilikan institusi dalam perusahaan, kualitas laba yang dilaporkan semakin menurun.
sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 13,03%. Temuan ini berlawanan dengan
hasil penelitian Midiastuty dan Mahfoedz (2003) dan Boediono (2005) yang menemukan
bahwa kepemilikan institusional berdampak positif terhadap kualitas laba. Hal tersebut
mampu mengurangi tindakan manipulasi laba pada perusahaan, pada akhirnya juga tidak
laba pada tingkat signifikansi 10%. Pengaruh manajemen laba terhadap kualitas laba
adalah sebesar 3,13%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah
negatif. Hal itu berarti investor perusahaan perbankan dapat mendeteksi indikasi
yang tentunya shopisticated (canggih), sehingga bereaksi negatif ketika terdapat indikasi
Pada penelitian ini digunakan 3 macam proksi kualitas laba, yakni ERC periode
bulanan dan harian market model dan market adjusted model untuk menguji sensitivitas dan
mengetahui apakah model dapat digunakan dalam berbagai keadaan, dalam pengujian
hipotesis yang terkait dengan pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur 2), Dari hasil
analisis sensitivitas, diketahui bahwa hasil uji pengaruh simultan corporate governance dan
manajemen laba terhadap kualitas laba (pengujian sub-struktur 2) dengan menggunakan ERC
periode bulanan maupun ERC periode harianmarket model konsisten dengan pengujian
hipotesis utama.
keberadaan komite audit dan manajemen laba berpengaruh tidak signifikan terhadap kualitas
laba yang diproksikan dengan ERC periode harianmarket model, namun jika dilihat dari
pola, arah hubungan, hasilnya konsisten dengan hasil pengujian hipotesis utama.
bulanan umumnya agak kurang konsisten dengan pengujian hipotesis utama. Hanya
kepemilikan institusional yang berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Jika dilihat dari
pola, arah hubungan, hasilnya juga tidak konsisten dengan hasil pengujian hipotesis utama.
keadaan perusahaan yang sesungguhnya secara akurat. (NB: Hasil analisis sensitivitas secara
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
secara simultan dan signifikan berpengaruh terhadap manajemen laba. Pengaruh mekanisme
corporate governance terhadap manjemen laba teruji dengan tingkat pengaruh yang lemah.
terhadap manajemen laba, namun dengan arah positif, artinya semakin tinggi tingkat
kepemilikan institusional, maka semakin tinggi manajemen laba. Sedangkan ketiga variabel
komite audit, dan kepemilikan manajerial tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap
simultan dan signifikan terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh mekanisme corporate
governance dan manajemen laba teruji dengan tingkat pengaruh yang cukup kuat. Secara
kualitas laba, hanya variabel komposisi dewan komisaris yang tidak berpengaruh secara
corporate governance dan manajemen laba secara individual/parsial terhadap kualitas laba
laba.
cukup kuat.
e. Manajemen laba berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap kualitas laba,
mempengaruhi respon yang dilakukan pasar serta berpengaruh terhadap kredibilitas dan
B. Keterbatasan
1. Hasil penelitian memiliki keterbatasan, karena jumlah sampel yang diperoleh dalam
penelitian ini cukup kecil, selain itu riset di Indonesia terbatas, hanya bisa dilakukan pada
perusahaan yang listed di BEI atau go public. Keterbatasan sampel dalam penelitian ini
disebabkan karena alasan jumlah perusahaan perbankan yang go public, yang bisa
dijadikan sampel sangat sedikit. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan
perbankan di Indonesia, dari sekitar 141 bank yang terdaftar pada tahun 2002, hanya 24
bank (17%) yang telah go public, itupun beberapa diantaranya mengalami delisting pada
periode pengamatan.
governance sebagai satu kesatuan, karena corporate governance tidak diukur melalui
indeks tertentu, melainkan melalui variabel-variabel yang terpisah. Hal itu dikarenalan
terdapat pula keterbatasan mengenai data indeks corporate governance sebagai instrumen
3. Proxy kepemilikan institusional dalam penelitian ini mencakup seluruh investor yang
asing, maupun institusi keuangan. Hal tersebut karena terbatasnya pengungkapan data
4. Untuk proxy komite audit dan dewan komisaris, masing-masing hanya digunakan satu
karakteristik.
perusahaan yang dipublikasikan BEI dan BI, ketidakonsistenan data dari tahun ke tahun.
C. Saran
meningkatkan market for corporate control, mengingat masih sangat sedikit perusahaan
governance terhadap manajemen laba maupun kualitas laba, jika mekanisme tersebut
diukur sebagai suatu kesatuan melalui indeks tertentu. Sehingga perlu untuk
4. Meski dalam penelitian telah digunakan model pengukuran manajemen laba yang dinilai
lebih akurat, yakni model akrual khusus, per indusri, peneliti lain dapat mengembangkan
model pengukuran yang lebih baik lagi, mengingat banyak sekali model lain untuk
menghitung discretionary accrual sebagai proksi dari manajemen laba, misalnya cross-
al.), Healy Model, De Angelo Model, Industry Adjusted Model, dan sebagainya.
data, peneliti berharap akan adanya pengungkapan yang lebih detail, lengkap dan
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno. (2004). Good Corporate Governance Practice in Indonesia and Malaysia.
Manajemen Usahawan No. 10 Tahun XXXIII, Oktober.
Anderson, Kirsten L., Daniel N. Deli, and Stuart L. Gillan. (2003). Boards of Directors,
Audit Committees, and the Information Content of Earnings Working paper. Available
on-line at http://www.lerner.udel.edu/ccg.
Assih, Prihat dan M. Gudono. (2000). Hubungan Tindakan Perataan Laba dan Reaksi Pasar
atas Pengumuman Informasi Laba Perusa.haan yang Terdaftar di BEJ. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No.1, Januari: 35-53.
Beasley, Mark S., (1996). An Empirical Analysis of The Relation Between The Board of
Director Composition and Financial Statement Fraud. The Accounting Review, Vol. 71,
No. 4, October, p. 443-465.
Beaver, William H. and Ellen E. Engel. (1996). Discretionary Behavior with Respect to
Allowances for Loan Losses and Behavior of Security Prices. Journal of Accounting and
Economics 22, p. 177-206.
Black, Bernard S., Hasung Jang, and Woochan Kim. (2003). Does Corporate Governance
Affect Firm Value? Evidence from Korea. Working Paper. Available on-line at
www.ssrn.com.
Boediono, Gideon SB., (2005). Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Paper
presented at Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.
Bradburry, M. E., Y. T. Mak., and S.M. Tan. (2004). Board Characteristics, Audit
Committee Characteristics, and Abnormal Accruals. Available on-line at
www.ssrn.com.
Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean Bedard, and Lucie Courteau. (2001). Corporate
Governance and Earnings Management. Available on-line at www.ssrn.com.
Darmawati, Deni, Khomsiyah, dan Rika Gelar Rahayu. (2004). Hubungan Corporate
Governance dan Kinerja Perusahaan. Paper presented at Simposium Nasional
Akuntansi 7, Denpasar.
Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan, and Amy P. Sweeney. (1995). Detecting Earnings
Management. The Accounting Review, Vol. 70, No. 2, p. 193-225.
Faisal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate
Governance. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.
_______. (2005). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate
Governance. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.8, No.2, Mei: 175-190.
Febrianto, Rahmat. 2005. The Effect of Ownership Concentration on the Earnings Quality:
Evidence from Indonesian Companies. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 8 No. 2,
Mei: 105-120.
Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2003). Indonesian Company Law. Available
on-line at www. fcgi.org.id.
Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi 3.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
_______ dan Fuad. (2005). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi
dengan Program Lisrel 8.54. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gujarati, Damodar. (2003). Basic Econometrics. International Edition. New York: MC.
Graw-Hill Inc.
_______. (2006). Manajemen Laba: Apa dan Mengapa. Kajian Akuntansi, Vol. 1, No. 1,
Juni: 1-13.
Gunarsih, Tri dan Bambang Hartadi. Pengaruh Pengumuman Peningkatan Komisaris
Independen terhadap Return Saham di Bursa Efek Jakarta. Jurnal riset Akuntansi,
Manajemen, dan Ekonomi, Vol. 2, Agustus: 221-239.
Hadad, Muliaman D, Agus Sugiarto, Wini Purwanti, M. Jony Hermanto, dan Bambang
Arianto. (2003). Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank di Indonesia. Available
on-line at www.bi.go.id.
Harahap, Khairunnisa. (2004). Asosiasi antara Praktik Perataan Laba dengan Kofisien
Respon Laba. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar
Hartono, Jogiyanto. (2000). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi 2. Yogyakarta:
BPFE.
Haryono, Slamet. (2005). Struktur Kepemilikan dalam Bingkai Teori Keagenan. Jurnal
Akuntansi dan Bisnis, Vol . 5 (1): 63-71.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2007). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. (1976). Theory of Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Available on-line at www.ssrn.com.
Joh, Sung Wook. (2003). Corporate Governance and Firm Profitability: Evidence from Korea
before Economic Crises. Journal of Financial Economics (68): 267-273.
Klein, April. (2000). Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings
Management. Available on-line at www.ssrn.com.
Midiastuty, Pratana Puspa dan Masud Machfoedz. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme
Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Paper presented at Simposium
Nasional Akuntansi 6, Surabaya.
Mitton, Todd. (2002). A Cross-Firm Analysis of the Impact of Corporate Governance on the
East Asian Financial Crisis. Available on-line at www.ssrn.com.
Poeradisastra, Teguh. (2005). 10 Peringkat Perusahaan Terpercaya 2005 (GCG). SWA No.
09/XXI/ 28, April.
Pudjiastuti, Widanarni, dan Aida Ainul Mardiyah. (2006). The Influence of Earnings
Management on Earnings Quality. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 9,
Padang.
_______. (2006). Model Penelitian Manajemen Laba pada Industri Perbankan Publik di
Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perbankan. Paper presented at Seminar
Bulanan Jurusan Akuntansi FE-UNS.
_______ dan Zaki Baridwan. (2006). Pengaruh Asimetri Informasi, Regulasi Perbankan, dan
Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba dengan Model Akrual Khusus Perbankan.
Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 6, No. 2, Februari : 139-150.
Riduwan dan Engkos Ahmad Kuncoro. (2007). Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis
Jalur (Path Analysis). Bandung: Alfabeta.
Salim, Imbuh. (2005). Komite Audit : Peran yang Diharapkan dan Sejauh Mana
Eksistensinya. Manajemen Usahawan No. 11 Tahun XXXIV, November.
Sandra, Dessy dan Indra Wijaya Kusuma. (2004). Reaksi Pasar terhadap Tindakan Perataan
Laba dengan Kualitas Auditor dan Kepemilikan Manajerial sebagai Variabel
Pemoderasi. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.
Santoso, Singgih. (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Prametrik. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Scott, William. R. (2003). Financial Accounting Theory. 3rd Edition. Ontario: Prentice-Hall
Canada Inc.
Sekaran, Uma. (2003). Research Methods for Business: A skill Building Approach Fourth
Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Setiawati, Lilis dan Ainun Naim. (2000). Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol.15, No.4, 424-441.
________. (2001). Bank Health Evaluation by Bank Indonesia and Earning Management in
Banking Industry. Gadjah Mada International Journal of Business, May, Vol. 3, No.2,
p. 159-176.
Song, Jihe, and Brian Windram. (2000). Benchmarking Audit Committee in The UK. Working
Paper from Napier University.
Suaryana, Agung. (2005). Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Paper presented
at Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.
Sugiarta, I Putu. (2004). Earnings Management and Information Content of Audit Committee
Announcement. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.
Suseno dan Piter Abdullah. (2004). Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia:
Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)-Bank
Indonesia.
Vafeas, Nikos. (2000). Board Structure and the informativeness of earnings. Journal of
Accounting and PublicPolicy, Vol.19, p. 139-160.
Veronica, Silvia, dan Yanivi S Bachtiar. (2004). Good Corporate Governance Information
Asymetry and Earnings Management. Paper presented at Simposium Nasional
Akuntansi 7, Denpasar.
Veronica, Silvia, dan Siddharta Utama. (2006). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran
Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings
Management). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.9, No.3, September, 307-326.
Warfield, T.D., J.J. Wild, and K.L. Wild. (1995). Managerial Ownership, Accounting
Choices and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics 20, p.
61-91.
Watts, Ross L. And Zimmerman, Jerold L. (1986). Positive Accounting Theory. Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Wedari, Linda Kusumaning. (2004). Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan
Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajamen Laba. Paper presented at
Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.
Xie, Biao, Wallace N Davidson III, and Peter J. Dadalt. (2003). Earnings Management and
Corporate Governance: The Role of The Board and The Audit Committee. Journal of
Corporate Finance 9: 295-316.
Doddy Setiawan
Universitas Sebelas Maret
Abstract
This research aims at examining the impact of corporate governance on the dividend
policy. The authors use Transparency and Disclosure Index (TDI) as a proxy of
corporate governance. There are two theories about the relation between corporate
governance and dividend policy: outcome theory and substitution theory. Outcome
theory argues the positive relation between corporate governance and dividend
policy while substitution theory argues the negative relation between corporate
governance and dividend policy. The samples of this research 248 firms from
Indonesian Stock Exchange during 2004-2006. The authors find that TDI Indonesian
firms are low, only 32% from the maximum scores. This score mean that Indonesian
corporate governance still low. The results show that there is negative relation
between corporate governance and dividend policy in Indonesia. Thus, the
Indonesian companies pay more dividends when corporate governance practice is
low.
A. LATAR BELAKANG
Penelitian ini membahas isu pengaruh corporate governance terhadap
kebijakan dividen. Mitton (2004) berargumen bahwa isu mengenai dividen
merupakan hal yang penting bagi investor, terutama investor yang berada di negara
yang lemah pelaksanaan corporate governance. Berdasarkan teori agensi (Jensen
dan Meckling, 1976), terjadi konflik antara pemilik dan manajemen karena mereka
bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Di negara yang sedang berkembang
atau di negara yang struktur perusahaannya terkonsentrasi pada pemegang saham
utama, konflik agensi yang terjadi adalah antara pemiliki saham mayoritas dan
pemilik saham minoritas (Claessens, Djankov, and Lang, 2000; La Porta et al, 2000;
Tabalujan 2000, 2002; Nam and Nam, 2004). Pemilik saham mayoritas cenderung
melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri, namun merugikan
kepentingan pemilik saham minoritas. Salah satu mekanisme untuk melindungi hak
pemegang saham minoritas adalah dengan pelaksanaan mekanisme corporate
governance yang memadai.
La Porta et al (2000) menjelaskan keterkaitan antara teori agensi, keputusan
dividen dan corporate governance. La Porta et al (2000) dan Mitton (2004)
berargumen bahwa pemilik saham minoritas lebih menyukai pembagian dividen
daripada menginvestasikan kembali laba yang diperoleh perusahaan. La Porta et al
(2000) menyatakan ada dua teori yang menunjukkan hubungan antara tingkat
pelaksanaan corporate governance dan pembagian dividen: outcome dan substitusi.
Teori outcome berargumen bahwa pelaksanaan corporate governance yang baik
akan berimbas pada kesejahteraan bagi pemegang saham. Semakin baik
pelaksanaan corporate governance maka semakin tinggi kesejahteraan pemilik
saham. Ada hubungan positif antara pelaksanaan corporate governance dan
kesejahteraan pemilik saham. Penelitian yang dilakukan oleh La Porta et al (2000),
Mitton (2004), Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) mengkonfirmasi teori
outcome. Sedangkan teori substitusi menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki
praktik corporate governance yang buruk akan berusaha memperbaiki citranya
dengan memberikan dividen kepada pemegang saham. Ada hubungan negative
antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen perusahaan.
Penelitian Jiraporn dan Ning (2006) dan Reneboog dan Szilagzy (2007)
mengkonfirmasi teori substitusi.
Penelitian mengenai kebijakan dividen dan corporate governance di
Indonesia menarik untuk dilakukan, karena Indonesia saat ini sangat gencar untuk
menerapkan prinsip good corporate governance di tingkat perusahaan. Hal ini
dilakukan karena salah satu penyebab terjadinya krisis moneter di Indonesia pada
tahun 1997 adalah lemahnya corporate governance (Capulong et al., 2001;
Simandjuntak, 2001, Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2004; Nam and
Nam, 2004), sehingga pemerintah berusaha meningkatkan kualitas pelaksanaan
corporate governance. Akan tetapi, Tabalujan (2000, 2002) dan Setiawan (2006)
menunjukkan bahwa peraturan tentang corporate governance di Indonesia masih
banyak kelemahannya. Oleh karena itu penelitian ini menguji pengaruh corporate
governance terhadap kebijakan dividen di Indonesia. Bagaimanakah hubungan
antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen di Indonesia?
Apakah ada berhubungan positif atau negative? Dengan kata lain, apakah teori
outcome atau teori substitusi yang berlaku di Indonesia?
Penelitian mengenai corporate governance di Indonesia sudah banyak
dilakukan, misalnya: Midiastuty dan Machfoedz (2003), Veronica dan Bachtiar
(2004), Wedari (2004), dan Wilopo (2004), Boediono (2005), Veronica dan Utama
(2005), Sugiarta (2004) dan Nasution dan Setiawan (2007). Penelitian mereka
membahas tentang peran corporate governance dalam rangka mengurangi earnings
management di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawati et al (2005)
menguji pengaruh corporate governace terhadap kinerja perusahaan. Penelitian
yang menguji corporate governance terhadap kebijakan dividen di Indonesia masih
jarang dilakukan. Mahadwartha (2003) menguji kebijakan dividen terhadap
kepemilikan manajerial pada tahun selanjuntya. Hasilnya menunjukkan bahwa ada
hubungan negatif antara kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial. Semakin
rendah dividen yang dibayarkan, semakin tinggi kepemilikan manajerial pada tahun
selanjutnya. Dengan demikian Mahadwartha (2003) mengkonfirmasi teori substitusi
berlaku di Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan Mahadwartha (2003) dalam
beberapa hal. Yang utama, penelitian ini menggunakan pengukuran corporate
governance yang berbeda dengan Mahadwartha (2003). Penelitian ini
C. METODOLOGI PENELITIAN
C.1. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Data publikasi laporan keuangan perusahaan sampel. Data ini diperoleh dari
Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id). Laporan keuangan yang dibutuhkan
adalah laporan keuangan yang lengkap, mencakup pengungkapan yang
lengkap. Bagian pengungkapan menjadi bagian yang vital karena penelitian ini
menggunakan TDI untuk mengukur praktik corporate governance.
2. Data pengumuman laba
3. Data pengumuman dividen
4. Data harga saham di Bursa Efek Indonesia
Pemilihan sampel menggunakan metode purposive, yaitu pemilihan sampel
yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Kriterianya
adalah perusahaan yang mengumumkan dividen periode 2004 2006.
Total ekuitas
Dari hipotesis yang diajukan, maka model penelitian ini adalah sebagai
berikut.
(2007), Reneboog dan Szylagyi (2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa corporate
governance di Indonesia masih rendah, sehingga perusahaan di Indonesia
cenderung untuk mengambil hati investor dengan cara meningkatkan nilai dividen
mereka.
Variabel lainnya menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh
terhadap kebijakan dividen, sedangkan tingkat profitabilitas dan pertumbuhan
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Semakin tinggi profit yang diperoleh
perusahaan, maka semakin tinggi dividen yang akan diberikan. Hasil ini
mengkonfirmasi penelitian sebelumnya, yaitu: Mitton (2004), Denis dan Osobov
(2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007), serta Jiraporn dan Ning
(2006). Akan tetapi variable pertumbuhan menunjukkan hasil yang bertentangan
dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini mmenunjukkan semakin tinggi tingkat
pertumbuhan perusahaan mereka justru semakin berani untuk memberikan nilai
dividen yang lebih tinggi (Mitton, 2004, Denis dan Osobov, 2007, dan Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera, 2007, serta Jiraporn dan Ning, 2006). Akan tetapi hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski,
Stetsyuk, dan Talavera (2007) yang membuktikan bahwa ada hubungan positif
antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen
Bagian berikut akan membahas tentang pengujian kedua, yaitu: pengujian
masing-masing sub-index terhadap kebijakan dividen.
TABEL 4 DI SINI
E. KESIMPULAN
Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan corporate governance di
Indonesia masih rendah yang ditunjukkan dengan skor TDI yang rendah.
Perusahaan di Indonesia cenderung untuk mengkompensasikan lemahnya
corporate governance dengan semakin tingginya tingkat dividen yang diberikan.
Bukti ini menunjukkan bahwa teori substitusi yang terjadi di Indonesia, yaitu adanya
hubungan negative antara corporate governance dan kebijakan dividen. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Mahadwartha (2003) yang juga
membuktikan bahwa teori subtitusi yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga
mengkonfirmasi penelitian Gugler (2003), Jiraporn dan Ning (2006), Gugler dan
Yurtoglu (2007), Knyazeva (2007), Reneboog dan Szylagyi (2007). Analisis
terhadap masing-masing sub-index pada TDI menunjukkan bahwa lemahnya: (1)
struktur dan prosedur Dewan dan (2) pengungkapan merupakan bagian yang
berpengauh negative terhadap kebijakan dividen. Sedangkan sub index shareholder
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Pengujian terhadap variable lain
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan
dividen, sedangkan profitabilitas dan pertumbuhan berpengaruh postif terhadap
kebijakan dividen.
REFERENSI
Boediono, Gideon SB., 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis
Jalur. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8
Solo tanggal 15 - 16 September 2005
Capulong, Ma. Virginita, David Edwards, David Webb and Juzhong Zhuang. (2001).
Corporate Governance and Finance in East Asia: A Study of Indonesia, Republic
of Korea, Malaysia, Philippines, and Thailand Volume One (A Consolidated
Report). Asian Development Bank: Manila.
Claessens, Stjin, Simeon Djankov, and Larry H.P. Lang. (2000). The Separation of
Ownership and Control in East Asia Corporationss. Journal of Financial
Economics, 58, 81-112.
Denis, David J. dan Igor Osobov. 2007. Why do Firms Pay Dividends? International
Evidence on the Determinants of Dividend Policy. Available on-line at
www.ssrn.com
Forum Corporate Governance Indonesia. (2004). Review of Corporate Governance
in Asia: Corporate Governance in Indonesia. Asian Development Bank Institute:
Tokyo.
Gugler, Klaus dan B.B.Yurtoglu. 2007. Corporate Governance and Dividend Payout
Policy in Germany. Available on-line at www.ssrn.com
Gugler, Klaus. 2003. Corporate Governance, Dividend Payout Policy, and the
interrelation between dividends, R&D, and Capital Investment. Journal of
Banking & Finance 27: 1297-1321.
Hossain, Mahmud, Andrew K Prevost dan Ramesh P Rao. 2001. Corporate
Governance in New Zealand: The Effect of the 1993 Companies Act on the
Relation Between Board Composition and Firm Performance. Pacific-Basin
Finance Journal 9:119-145.
Jensen, MC dan WH Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior
Agency Costs and Capital Structure. Journal of Financial Economics:305-360
Jiraporn, Pornsit dan Yixi Ning. 2006. Dividend Policy, Shareholder Right, and
Corporate Governance. Available on-line at www.ssrn.com
Khrisnamurti, Chandrasekhar, Aleksandar Sevic, Zeljko Sevic. (2004). Legal
Environment, Firm-Level Corporate Governance and Expropriation of Minority
Shareholder in Asia. www.ssrn.com
Knyazeva, Anzhela. 2007. Delivering on the Dividend Promise: Corporate
Governance, Managerial Incentives and Dynamic Dividend Behavior.
Available on-line at http://pages.stern.nyu.edu
Kowalewski, Oskar, Ivan Stetsuk, dan Oleksandr Talavera. 2007. Corporate
Governance and Dividend Policy in Poland. Available on-line at
www.ssrn.com
Kumar, Jayesh. 2003. Ownership Structure and Dividend Payout Policy in India.
Available on-line at www.ssrn.com
La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer, and Robert Vishny.
2000. Investor Protection and Corporate Valuation. The Journal of Finance,
57, 3, 1147-1170.
Mahadwartha, Putu Anom. 2003. Predictability Power of Dividend Policy and
Leverage Policy to Managerial Policy in Indonesia: An Agency Theory
Perspective. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia 18 (3):
Midiastuty, Pratana P., dan Masud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan
Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Artikel
yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 6 Surabaya
tanggal 16-17 Oktober 2003
Mitton, Tod. 2004. Corporate Governance and Dividend Policy in Emerging Markets.
Available on-line at www.ssrn.com
Nam Sang-Woo and Il Chong Nam. 2004. Corporate Governance in Asia: Recent
Evidence from Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, and Thailand. Asian
Development Bank Institute: Tokyo.
Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. Pengaruh Corporate Governance
terhadap Earnings Management di Industri Perbankan Indonesia. Artikel yang
dipresentasikan di SNA X Makassar.
Prevost, Andrew K, Ramesh P Rao dan Mahmud Hossain. 2002. Board Composition
in New Zealand: An Agency Perspective. Journal of Business Finance &
Accounting 29:731-760.
Renneboog, Luc dan Peter G. Szilagyi. 2007. How Relevant is Dividend Policy
under Low Shareholder Protection? Available on-line at www.ssrn.com
Setiawan, Doddy. 2006. The Comparisons of Corporate Governance Practice in
Indonesia, Malaysia, and Singapore. Unpublished Project Paper Asia-Europe
Institute, University of Malaya.
Suaryana, Agung. 2005. Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Artikel
yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15
- 16 September 2005
B. Disclosure (TDI-Disclosure)
10. Detail tentang kehadiran pemegang saham minoritas dan pemegang saham
mayoritas pada pertemuan RUPS
11. Laporan tentang pemegagn saham yang keluar
12. Lamanya penggunaan auditor eksternal
13. Laporan Auditor Eksternal
Tabel 1
Pemilihan Sampel
Keterangan 2004 2005 2006 Total
Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI 322 330 339 991
Jumlah perusahaan yang tidak mengumumkan dividen (149) (164) (181) (494)
Jumlah perusahaan yang mengumumkan dividen 173 166 158 497
Jumlah perusahaan dengan data tidak lengkap (99) (55) (95) (249)
Jumlah perusahaan yang menjadi sampel 74 111 63 248
Tabel 2
Statistic Deskriptif
Keterangan Kisaran
Teoritis Minimum Maximum Mean
CG 0 - 32 1,00 19,00 10,4758
Keterangan Kisaran
Teoritis Minimum Maximum Mean
CG1 0 - 13 0,00 9,00 3,6452
CG2 0 - 13 1,00 8,00 5,2903
CG3 0-6 0,00 5,00 1,6774
N = 248
Tabel 3
Hasil Uji Statistik Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen
Variabel Koefisien thitung Signifikansi
CG -1,243 -3,131 0,002*
UKP 0,010 0,156 0,876
ROA 0,679 12,084 0,000*
G 0,249 5,733 0,000*
* = signifikan 1%
Tabel 3
Hasil Uji Statistik Sub-index Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen
Variabel Koefisien thitung Signifikansi
CG1 -0,554 -1,797 0,074***
CG2 -1,116 -2,244 0,026**
CG3 -0,462 -1,537 0,126
UKP 0,073 1,084 0,280
ROA 0,656 11,169 0,000*
G 0,251 5,689 0,000*
*, **, *** = signifikan 1%, 5%, 10%
Abstract
INTRODUCTION
The manipulation of real activity potentially reduces firm value. Real activities
manipulation can reduce firm value because actions taken in the current period to
increase earnings can have a negative effect on cash flows in future periods. For
example, aggressive price discounts to increase sales volumes and meet some
short-term earnings target can lead customers to expect such discounts in future
periods as well. This can imply lower margins on future sales. Overproduction
generates excess inventories that have to be sold in subsequent periods and
imposes greater inventory holding costs on the company. And based on
Roychowdhury study, there is evidence that manager manipulating real activity in
strong investor protection country.
This study focus on Asia countries to make contributing to the future of our
society and Asia by expanding its range of the responsibilities through legal
enforcement and investor protection in order to enhance economic development,
mutual understanding and cooperation in Asia. The East Asian countries of
Malaysia, Singapore, Indonesia, Korea and Japan provide a useful setting for testing
the importance of investor protection. These countries have accounting standards
that are generally viewed as high-quality, but they have institutional structures that
HYPOTHESIS
RESEARCH METHOD
We use industrial firms in 5 Asia countries (Malaysia, Singapore, Indonesia, Korea
and Japan). Data are obtained from in Osiris Database between 2005-2007.
MEASUREMENT OF EARNINGS MANAGEMENT THROUGH REAL ACTIVITY MANIPULATION
observations per country can be quite small, and this may explain, at least in part,
why Jones-type abnormal accruals perform unreliably in international settings
(Wysocki 2004; Meuwissen et al. 2005). We avoid this problem by using a linear
expectation model adapted from DeFond and Park (2001) which uses a firms own
prior year accruals in calculating the expectation benchmark. Specifically, expected
accruals are based on a firms prior year ratio of current accruals to sales, and the
prior years ratio of deprecation expense to gross property plant and equipment
(hereafter PPE). Another benefit of this approach is that we also implicitly control for
cross-country differences in accounting standards by using a firm as its own control
to compute abnormal accruals. Therefore abnormal accruals are contextualized
relative to the specific accounting standards of a particular country.
Using data from OSIRIS file, predicted accruals are calculated as:
Predicted accruals = {[Salest x (current accrualst-1 / salest-1] + gross PPEt x
(depreciationt-1 /gross PPEt-1/total assetst-1]}.
Abnormal accruals = firms actual total accrualst - predicted total accrualst.
Total accruals in year t are calculated as follows:
Total accruals = {Earnings before extraordinary items Operating cash flows}/ total
assetst-1
Current accruals = change in non-cash working capital = [total current assets
cash and short term investments treasury stock shown as current assets [total
current liabilities total amount of debt in current liabilities proposed dividends].
We use Leuzs country cluster analysis, which groups countries with similar legal
and institutional characteristics. Three distinct clusters are identified:
HYPOTHESIS TESTING
1. Population Normality: population from which the samples have been drawn
should be normal.
where:
AB_ACCRit = abnormal accruals scaled by lagged total assets for firm i in year t.
AB_CFO = abnormal cash flow
AB_Prod = abnormal production cost
Investor Protection = non metric variable (1: high investor protection; 2: middle; 3:
low investor protection)
RESULT
Descriptive Statistic
Figure 1 present descriptive statistic comparing abnormal accrual between investor
protection level.
Figure 1
0.12
0.1032
0.1
0.08
0.06 0.0519
0.0418
0.04
0.02
0
high ip midle ip low ip
Abnormal Accrual
Consistent with my first hypothesis and Leuzs study, the mean abnormal accrual in
economies with higher investor protection is lower than in economies with low
investor protection.
Figure 2
0.008
0.006
0.004
0.002
-0.002
high ip, -
-0.004 0.0019
Level of Investor Protection
Consistent with my second hypothesis, the mean abnormal cash flow from operation
in economies with high investor protection is lower than in economies with low
investor protection.
Figure 3
0.0002
0
high ip midle ip low ip
-0.01 -0.0068
-0.02
-0.03
-0.04
-0.05
-0.0535
-0.06
The coefficient of CFO on sales change is actually positive and significant in all
countries, indicating that conditional on contemporaneous sales, a higher change in
sales implies higher CFO. The average adjusted R2 across countries is 26% for
CFO and 69,6% for production cost.
Suspect firm-year have net income scaled by total asset that is greater than or equal
to zero but less than 0.005. Suspect firm are more aggressive in manage earnings
because they avoid to report losses. Annual losses are likely to be viewed more
seriously by the numerous stakeholders of firm such as lenders and supplier.
Table 1
Model Parameters
Malaysia Singapore Japan Korea Indonesia
CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At- CFOt/At- Prodt/At-
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
intercept 0.713* -0.072* 0.020* -0.053* 0.062* -0.128* -0.024* 1.263* 0.057* -0.178
1/At-1 -1378.8* - -235.3* 502.086* - -3286.4* 136.024* - -900.88* -450.9
814.533* 886.678* 3648.24*
St/At-1 -1.106* 0.874* 0.030* 0.830* -0.007* 0.910* 0.33* 0.067* 0.033* 0.953
St/At-1 3.569* 0.161* 0.000* -0.722* 0.029 -0.168* 0.112* -0.028* 0.074* 0.073
Figure 4
0.01
0.005
-0.005
-0.01
-0.015
-0.02
suspect
-0.025 firm, -
0.0186
Abnormal Cash Flow from Operation
Figure 5
0.015
0.01
0.005
-0.005
-0.01
-0.015
-0.02
non suspect firm, -
-0.025 0.0206
Hypothesis Testing
To test hypothesis , I estimate model 1. The result of this estimation is when the
dependent variables is abnormal accrual, the coefficient on CLUSTER is significant
at level 5%, indicate that abnormal accrual is different accros cluster (Table 2). Table
2 show that the differences average abnormal accrual between cluster is statistically
significant. Outsider economies (cluster 1) exhibit lower level earnings management
through accrual manipulation than in insider economies (cluster 2 and 3). This third
cluster exhibits significantly higher level of earnings management through accrual
manipulation, highlighting the salient importance of legal enforcement. This result
consistent with H1.
Tabel 2
Pervasiveness of earnings management by cluster
To test H2, I estimate model 2. The result of this estimation (the second column of
result in table 2) indicate that there is difference abnormal cash flow from operation
between cluster. The average abnormal cash flow from operation in cluster 1
(economies with high investor protection) is statistically significant lower than cluster
2 and 3. This result consistent with H2, in economies with high investor protection
real manipulation with real activity is more aggressive because manipulation about
pricing and production decision is more difficult to detect than accrual manipulation.
I also examine differences mean abnormal CFO between suspect and non
suspect firm (see figure 4), the mean abnormal CFO suspect firm (-0.0186) is lower
than mean abnormal CFO non suspect firm (0.0129). Consistent with Roychowbury
that suspect firm more aggressive to manage earnings than non suspect firm
because they want meet earnings target.
When dependent variable is abnormal production cost, the result show that
the differences abnormal production cost across cluster is statistically significant
(column 3 table 2). The average abnormal production cost in cluster 1 (economies
with high investor protection) statistically significant higher than cluster 2 and 3. This
result consistent with H3. I also examine differences mean abnormal production cost
between suspect and non suspect firm (see figure 5), the mean abnormal production
cost of suspect firm (0.022) is higher than mean abnormal CFO non suspect firm
(-0.0206).
Conclusion
As prior literature show that investor protection is a key driving corporate choices. I
focus on the relation between legal investor protection and earnings management
practices. Insider (manager and controlling shareholders) have incentive to acquire
private control benefit. However the ability of insider to divert resources for their own
benefit is limited by legal system that protect the right of outside investors. As
outsider can only take disciplinary actions against insiders if outsiders detect the
private benefit, insider have an incentive to manipulate accounting reports in order to
conceal their activities. Prior accounting research has documented three main
methods of earnings management: accrual manipulation, real activity manipulation
and classification shifting. Accrual manipulation is more likely to draw auditor or
regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. Thus we expect
that in economies with high investor protection, manager prefer to manage earnings
through real activity manipulation than accrual manipulation when manager have
flexibility to engage both.
This paper provide evidence about differences in earnings management
method across Asian countries Consistent with the hypothesis, the result show that
earnings management through accrual manipulation is less aggressive in economies
with high investor protection. But earnings management through real activity
manipulation is more aggressive in economies with high investor protection than in
economies with low investor protection. Despite being in economies with high
investor protection, manager still have bigger discretion in managing earnings
through real activities rather than accrual manipulation.
REFERENCES
ARTICLE IN PRESS
Baber, W., P. Fairfield, and J. Haggard. 1991. The effect of concern about reported
income on discretionary spending decisions: The case of research and
development. The Accounting Review 66 (4): 818829.
Bhattacharya, U., H. Daouk, M. Welker, 2002. the world price of earnings opacity.
Bruns, W., Merchant, K., 1990. The dangerous morality of managing earnings.
Management Accounting 72, 2225.
Burgstahler, D., Eames, M., 1999. Management of earnings and analyst forecasts.
Working paper.
Burgstahler, D., J. Jiambalvo, and T. Shevlin. 2002. Do stock prices fully reflect the
implications of special items for future earnings? Journal of Accounting
Research 40 (3): 585612.
Choi, J.H., and T.J. Wong. 1999. Auditor choice and legal environments: an
international
Claessens, S., S. Djankov, J. Fan, L. Lang, 2001. Disentangling the incentive and
earnings management. Working Paper. Cornell University, 2006. Available
on SSRN at entrenchment effects of large shareholdings. Forthcoming,
Journal of Finance.
Dechow, P., and R. Sloan. 1991. Executive incentives and the horizon problem: An
empirical investigation. Journal of Accounting and Economics 14 (1): 5189.
Dechow, P.M., Kothari, S.P., Watts, R.L., 1998. The relation between earnings and
cash flows. Journal of Accounting and Economics 25, 133168.
Dechow, P.M., Richardson, S.A., Tuna, I., 2003. Why are earnings kinky? Review of
Accounting Studies 8, 355384.
Dechow, P.M., Skinner, D.J., 2000. Earnings management: reconciling the views of
accounting academics, practitioners and regulators. Accounting Horizons 14,
235250.
Dechow, P.M., Sloan, R., Sweeney, A., 1996. Causes and consequences of
earnings manipulation: an analysis of firms subject to enforcement actions by
the SEC. Contemporary Accounting Research 13, 136.
DeFond, M.L., and C.Park. 2001.The reversal of abnormal accruals and the market
valuation of earnings surprises. The Accounting Review 76 (July 2001): 375-
404.
DeFond, M.L., Jiambalvo, J., 1994. Debt covenant violation and manipulation of
accruals. Journal of Accounting and Economics 17, 145176.
Fudenberg, D., Tirole, J., 1995. A theory of income and dividend smoothing based
on incumbency rents. Journal of Political Economy 103, 7593.
Graham, J.R., Harvey, C.R., Rajgopal, S., 2005. The economic implications of
corporate financial reporting. Journal of Accounting and Economics 40, 373.
Hart, O. 1995. Firms, contracts, and financial structure (Oxford University Press,
London).
Healy, P.M., Wahlen, J.M., 1999. A review of the earnings management literature
and its implications for standard setting. Accounting Horizons 13, 365383.
Hribar, P., and D. Collins. 2002. Errors in estimating accruals: Implications for
empirical research. Journal of Accounting Review 40 (1): 105134.
Hribar, P., and D.C. Nichols. The use of unsigned earnings quality measures in
tests of
Hribar, P., Jenkins, N.T., Johnson, W.B., 2004. The use of stock repurchases to
manage earnings per share. Working paper.
Lev, B., and T. Sougiannis. 1996. The capitalization, amortization, and value-
relevance of R&D. Journal of Accounting and Economics 21 (1): 107138.
Levine, R. 1997. Financial development and economic growth: views and agenda.
Journal of Economic Literature 35 (June), 688-726.
Levine, R., and A. Demirguc-Kunt. 1996. Stock market development and financial
intermediary growth: stylized facts. World Bank Economic Review (May).
McNichols, M., and G. Wilson. 1988. Evidence of earnings management from the
provision for bad debts. Journal of Accounting Research 26 (Supplement): 1
31.
Nelson, M., J. Elliott, and R. Tarpley. 2002. Evidence from auditors about managers
and auditors earnings management decisions. The Accounting Review 77
(Supplement): 175202.
Nenova, T., 2000. The value of corporate votes and control benefits: A cross-country
Phillips, J., M. Pincus, and S. Rego. 2003. Earnings management: New evidence
based on deferred tax expense. The Accounting Review 78 (2): 491521.
Skinner, D., and R. Sloan. 2002. Earnings surprises, growth expectations, and stock
returns or dont let an earnings torpedo sink your portfolio. Review of
Accounting Studies 7 (2-3): 289312.
Sloan, R. 1996. Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows
about future earnings? The Accounting Review 71 (3): 289315.
Teoh, S. H., I. Welch, and T. Wong. 1998. Earnings management and the long-run
underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial
Economics 50 (1): 6399.
Teoh, S., Welch, I., Wong, T., 1998b. Earnings management and the long-run
underperformance of initial public offerings. Journal of Finance 53, 1935
1974.
Zingales, L., 1994. The value of the voting right: A study of the Milan Stock
exchange experience. Review of Financial Studies 7. 1250-148.
Appendix
Appendix 1: Output Abnormal Cash Flow from Operation
Abnormal CFO: suspect vs non suspect
Report
abncfo1
nita1_1 > 0.005 (FILTER) Mean N Std. Deviation
suspect -.0186 225 .08096
non suspect .0129 980 .07707
Total .0070 1205 .07874
Between-Subjects Factors
Value Label N
cluster 1 high ip 381
2 middle ip 436
3 low ip 388
Descriptive Statistics
Dependent Variable: abncfo1
cluster Mean Std. Deviation N
high ip -.0019 .07590 381
middle ip .0118 .04829 436
low ip .0103 .10440 388
Total .0070 .07874 1205
Report
abnprod1
nita1_1 > 0.005 (FILTER) Mean N Std. Deviation
0 .0220 152 .11750
1 -.0206 645 .11482
Total -.0125 797 .11647
Between-Subjects Factors
Value Label N
cluster 1 high ip 310
2 middle ip 343
3 low ip 144
Descriptive Statistics
Rita Yuliana
Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo
Bambang Purnomosidhi
Eko Ganis Sukoharsono
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Abstrak
Tipe penelitian ini dari sudut pandang kerangka berpikir tergolong penelitian
kuantitatif. Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan yang mengungkap
program CSR di Bursa Efek Indonesia. Metode pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling).
Berdasarkan seleksi yang telah dilakukan diperoleh 116 perusahaan sebagai
sampel penelitian. Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Partial Least Square (PLS).
Berdasarkan hasil analisis data, dari 6 hipotesis yang diajukan, terdapat 3
hipotesis yang diterima dan 3 hipotesis yang ditolak. Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis terlihat jelas bahwa penelitian ini menemukan bukti bahwa karakteristik
perusahaan yang mempengaruhi tingkat keluasan pengungkapan CSR adalah
profile dan konsentrasi kepemilikan, sedangkan ukuran perusahaan, profitabilitas,
dan ukuran dewan komisaris terbukti tidak berpengaruh terhadap tingkat keluasan
pengungkapan CSR. Penelitian ini juga membuktikan bahwa tingkat keluasan
pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor.
I. PENDAHULUAN
(2003) serta Sembiring (2005): (a) Periode amatan, (b) Jumlah sampel
penelitian, (c) Alat pengukur pengungkapan CSR, (d) Teknik pengukuran
tingkat keluasan pengungkapan CSR, (e) Alat pengukur reaksi investor, dan
(f) Karakteristik perusahaan.
2.5.2. Profitabilitas
Shinghvi dan Desai (1971) dalam Simanjuntak dan Widiastuti (2004)
menyatakan bahwa rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan
mendorong manajer untuk memberikan informasi yang lebih terperinci. Hal tersebut
disebabkan manajer ingin meyakinkan investor akan profitabilitas perusahaan dan
selanjutnya akan mendorong kompensasi manajemen. Hasil penelitian tersebut
sesuai dengan signalling hypothesis yang menyatakan bahwa perusahaan yang
unggul dan mempunyai laba yang baik akan mengungkapkan informasi lebih rinci,
termasuk kebebasan dan keleluasaan untuk menunjukkan dan
mempertanggungjawabkan seluruh program sosialnya.
2.5.3. Profile
Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high profile menurut Robert
(1992) dalam Hackston dan Milne (1996) adalah perusahaan yang mempunyai
tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi
atau tingkat kompetisi yang ketat. Perusahaan-perusahaan high profile, pada
umumnya merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan dari masyarakat
karena aktivitas operasinya memiliki potensi untuk bersinggungan dengan
kepentingan luas. Masyarakat umumnya lebih sensitif terhadap tipe industri ini
karena kelalaian perusahaan dalam pengamanan proses produksi dan hasil
produksi dapat membawa akibat yang fatal bagi masyarakat. Sedangkan
perusahaan low profile adalah perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan
luas dari masyarakat manakala operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan
atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya. Bila
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan high profile, perusahaan yang
terkategori dalam industri low profile lebih ditoleransi oleh masyarakat luas
manakala melakukan kesalahan.
2.6 Saham
2.6.1 Pengertian Saham
Hartono (2003: 67) mendefinisikan saham adalah hak kepemilikan yang
dikeluarkan oleh perusahaan yang diserahkan kepada pihak-pihak yang menyetor
modal, sedangkan menurut Sumantoro 1990) dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003)
saham adalah sebagai penyertaan modal dasar suatu perseroan terbatas, sebagai
tanda bukti penyetoran tersebut dikeluarkan surat saham atau surat kolektif kepada
pemegang saham. Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
saham adalah tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan usaha dalam
suatu perusahaan.
Indra (2008). Akan tetapi, kedua penelitian tersebut gagal menunjukkan pengaruh
pengumuman laporan CSR terhadap reaksi pasar. Kegagalan tersebut disebabkan
karena kecilnya sampel yang digunakan, yaitu kurang dari 10 perusahaan.
Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah
diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan pengukuran
ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis. Menurut Morse
(1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham dapat merefleksikan
semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan perdagangan saham di
pasar.
Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan volume perdagangan
sebagai proksi dari reaksi pasar. Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bukti
bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public
berpengaruh terhadap volume perdagangan. Demikian juga dengan Cetindamar dan
Husoy (2007) dan Lopez, et al (2007) yang menemukan bukti bahwa terdapat
perbedaan volume perdagangan antara perusahaan yang melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial dan yang tidak mengungkapkannya,
sedangkan Rakhmad (2006) dan Indra (2008) tidak berhasil menunjukkan pengaruh
pengumuman laporan CSR terhadap reaksi pasar. Sama halnya dengan abnormal
return, kegagalan tersebut disebabkan karena kecilnya sampel yang digunakan,
yaitu kurang dari 10 perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini
adalah:
Ha7= keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor
interpretasi rasio profitabilitas industri yang diukur dari ROA dan ROE industri
adalah bahwa rasio ini mencerminkan daya tarik bisnis (business attractiveness).
Penggunaan ROA dan ROE juga konsisten dengan penelitian Hakston dan Milne
(1996). Tipe skala konstruk profitabilitas adalah rasio dan nilai datanya adalah
metrik.
Keterangan :
ARit = abnormal return sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t
R it = actual return saham sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t
[RE it] = expected return sekuritas ke-i pada periode ke-t
TA
UP
TK
CSRD2
ROA
PRF CSRD1 CSRD3 AR
ROE
DK KOM TVA
CSRD4 CSRD5
SP KP
Gambar4.1ModelPenelitian
maka disimpulkan bahwa konstruk laten memprediksi indikator pada blok mereka
lebih baik dibandingkan dengan indikator pada blok lainnya.
c. Composite Reliability
Langkah selanjutnya adalah uji composite reliability dari blok indikator yang
mengukur konstruk. Composite reliability blok indikator yang mengukur suatu
konstruk dapat dievaluasi dengan menggunakan dua ukuran, yaitu internal
consistency dan cronbachs alpha. Model yang baik juga harus mempunyai
composite reliability di atas 0,8. Berikut hasil yang diperoleh:
Hasil composite reliability menunjukkan nilai yang memuaskan yaitu 1 untuk tiap-
tiap konstruk, kecuali konstruk CSRD yang bernilai 0,969. Hal ini menunjukkan
bahwa model yang dibentuk adalah baik karena nilai composite reliability lebih dari
0,8.
signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. Berikut ini gambar model yang
menunjukkan hasil pengujian model struktural:
Sumber:Output VPLS.
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa model memberikan nilai R Square
sebesar 0,686 untuk pengaruh karakteristik perusahaaan terhadap
pengungkapan CSR dan 0,529 untuk pengaruh pengungkapan CSR terhadap
reaksi investor.
Pernya taan
No Hipotesis Nilai t hitung Simpulan
Hipote sis
1. Ha1 UP CSRD -1.1026 Dito lak
2. Ha2 PRF CSRD -0.7015 Dito lak
3. Ha3 PRL CSRD 3.2673 Diterima
4. Ha4 KOM CSRD -0.1036 Dito lak
5. Ha5 KP CSRD 2.0443 Diterima
6. Ha6 CSRD RI 8.6220 Diterima
rata-ratanya. Selain itu, kedua indikator tersebut tidak terdistribusi secara normal.
Nilai skewness dan kurtosis kedua indikator tersebut adalah positif. Hal ini
menunjukkan bahwa pola distribusi data terpusat pada satu sisi saja.
Penjelasan mengenai karakteristik kedua indikator tersebut memberikan
alasan mengapa hipotesis mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat
keluasan pengungkapan CSR tidak dapat diterima atau ditolak. Penggunaan data
yang tidak berdistribusi normal menyebabkan hasil uji statistik akan terdegradasi
(Ghozali, 2005:28).
Selain alasan data yang tidak normal, penolakan hipotesis bisa juga
dijelaskan karena adanya faktor lain. Salah satu argumentasi penolakan hipotesis
adalah bahwa posisi ukuran perusahan dalam perumusan strategi perusahaan
(termasuk program CSR) terkait erat dengan formalitas dalam manajemen strategik.
Formalitas sistem manajemen strategik berbeda-beda di perusahaan yang berbeda.
Formalitas mengacu pada seberapa rinci tingkat tanggung jawab, wewenang, dan
keleluaasaan (discreation) pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan
(Pierce dan Robin, 1997: 29). Formalitas yang lebih besar biasanya berkorelasi
positif dengan biaya, kelengkapan (comprehensiveness), akurasi, dan keberhasilan
perencanaan.
Sejumlah faktor menentukan seberapa besar formalitas dibutuhkan dalam
manajemen strategik. Besar organisasi, gaya manajemen yang dominan,
kompleksitas lingkungan, proses produksi, masalah, serta tujuan sistem memainkan
peran dalam menentukan tingkat yang sesuai.
Penerapan program CSR ternyata juga tidak tergantung pada ukuran
perusahaan. Perusahan menghadapi isu-isu yang rumit menyangkut tanggung
jawab sosial. Isu-isu tersebut jumlahnya sangat banyak, kompleks, dan bergantung
pada situasi. Aturan bisnis yang kaku tidak dapat menangani hal tersebut. Setiap
perusahaan, tanpa melihat ukuran harus memutuskan bagaimana memenuhi
tanggung jawab sosialnya..
Terdapat berbagai variasi cara pandang perusahaan terhadap CSR, apakah
hal ini dianggap sebagai hal yang penting atau tidak. Cara pandang ini selanjutnya
akan mempengaruhi praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga akan
berdampak pada pengungkapan CSR yang disusunnya. Sejauh ini terdapat tiga
cara perusahaan memandang CSR. Pertama, sebagai strategi perusahaan yang
pada akhirnya mendatangkan keuntungan. Kedua, sebagai compliance (kewajiban)
karena nantinya ada hukum yang memaksa penerapannya. Ketiga, yang
melakukannya beyond compliance karena perusahaan merasa sebagai bagian dari
komunitas (Pambudi, 2006a). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat faktor penting lain yang harus diperhatikan selain ukuran perusahaan, yaitu
cara pandang perusahaan terhadap CSR.
CSR adalah terkait dengan kelemahan profitabilitas sebagai alat pengukur kinerja.
Secara teori, terdapat kelemahan analisis keuangan termasuk profitabilitas. Setiap
gambaran yang diberikan analisis tersebut didasarkan pada data masa lalu.
Meskipun kecenderungan layak diperhatikan, gambaran tersebut tidaklah otomatis
dapat diterapkan untuk masa mendatang. Selain itu, analisis ini bergantung pada
prosedur akuntansi yang digunakan untuk menyediakan informasi tersebut. Bila
melakukan perbandingan antar perusahaan, harus diingat bahwa prosedur
akuntansi yang digunakan suatu perusahaan mungkin berbeda dengan prosedur
akuntansi yang digunakan di perusahaan lain (Pierce dan Robin, 1997: 257).
Hasil temuan penelitian ini juga bisa dikonfirmasikan dengan penelitian
Capaldi (2006). Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa hubungan profitabilitas
dengan tingkat keluasan pengungkapan CSR dipengaruhi oleh cara pandang
pengusaha terkait dengan dualisme hubungan CSR dengan laba. Ada sebagian
pengusaha yang memandang CSR sebagai pengurang laba dan ada sebagian yang
justru berpandangan sebaliknya. Dengan demikian variabel profitabilitas
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR dengan syarat terdapat faktor lain dalam
hubungan tersebut, yaitu cara pandang pengusaha terhadap CSR.
Bukti tersebut juga selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Belkaoui
(2006:350). Menurutnya, secara implisit diasumsikan bahwa organisasi seharusnya
bertindak dalam cara yang memaksimalkan kesejahteraan sosial, seolah-oleh
terdapat kontrak sosial di antara organisasi dan masyarakat. Oleh karenanya,
organisasi mendapatkan semacam legitimasi organisasional vis-a-vis masyarakat.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dinyatakan dalam teori
keagenan. Teori tersebut membedakan antara pemilik perusahaan dengan
pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus
memberikan laporan pertanggung-jawaban atas segala sumber daya yang dimiliki
dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan. Selanjutnya, frase pemilik perusahaan
mengalami perkembangan lebih lanjut, tidak hanya pemilik modal (shareholder),
tetapi juga meluas ke unsur stakeholders lainnya, yaitu masyarakat luas termasuk
pemerintah dan lingkungan alam.
Hasil penelitian ini juga konsisten dengan teori legitimasi. Teori ini
mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders.
Fokus utama dalam teori ini, yaitu bagaimana perusahaan memonitor dan merespon
kebutuhan para stakeholders-nya. Perusahaan berusaha untuk mencari
pembenaran dari para stakeholders dalam menjalankan operasi perusahaan.
Semakin kuat posisi stakeholders, maka semakin kuat pula kecenderungan
perusahaan untuk beradaptasi sesuai keinginan mereka.
Teori-teori lain yang mendukung praktik pengungkapan sosial, yaitu teori
kontrak sosial. Teori tersebut menyatakan bahwa perusahaan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu komunitas. Perusahaan memiliki kontrak sosial dengan
masyarakat di sekitarnya untuk melaksanakan tugas tertentu dalam batasan-
batasan keadilan. Dengan demikian, hubungan yang terjadi adalah hubungan timbal
balik atau hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. Social cost yang
dibayar oleh masyarakat harus dikompensasi dengan social benefit yang diberikan
perusahaan kepada masyarakat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas
tertentu itulah, maka perusahaan melaksanakan pengungkapan sosial di samping
juga melakukan pengungkapan sukarela lainnya (Mathew, 1987) dalam (Pratiwi dan
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
bahwa :
1. Karakteristik perusahaan yang terbukti berpengaruh terhadap tingkat
keluasan pengungkapan CSR adalah profile perusahaan dan konsentrasi
kepemilikan. Sedangkan tiga karakteristik lainnya, yaitu ukuran perusahaan,
profitabilitas, dan ukuran dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh
terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR.
2. Terdapat reaksi investor atas keluasan pengungkapan CSR melalui
pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham.
5.2 Implikasi Penelitian
Penelitian ini telah memberikan temuan positif bagi berbagai pihak yang
berkepentingan yaitu :
1. Investor
Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa investor sudah mulai merespon dengan
baik informasi-informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan.
Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan
tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap abnormal return dan volume
perdagangan saham perusahaan yang ditunjukkan dengan terjadinya lonjakan
perdagangan dan abnormal return pada seputar publikasi laporan tahunan.
2. Perusahaan
Berdasarkan penelitian ini sebaiknya perusahaan mempertim-bangkan
kepemilikan saham oleh masyarakat dan juga profile-nya ketika menyusun program
CSR. Selain itu, perusahaan juga hendaknya lebih memperhatikan kualitas dan
kuntitas pengungkapan sosial yang dilakukan untuk periode berikutnya, karena
informasi tersebut akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
3. Pihak-pihak yang berkepentingan lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pihak yang
berkepentingan khususnya Pemerintah, Bapepam dan IAI dalam merumuskan
DAFTAR PUSTAKA
Adam, C.; W., Hill.; C., Roberts. (1998). Corporate Social Reporting Practices in
Western Europe. British Accounting Review, 30(1), 1-21.
Anggraini, F. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan
Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Bursa
Efek Jakarta). Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 9,
Universitas Andalas, Padang.
Ardiansyah, R. (2002). Pengaruh Pengumuman Saham Bonus Terhadap Volume
Perdagangan Saham. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, 2(2).
Baron, D. (2005). Corporate Social Responsibility and Social Entrepreneurship.
Research Paper No. 1916, Stanford Graduate School of Business.
Belkaoui, A. (2006). Accounting Theory. Fifth Edition. Thomson Learning,
Singapore. Diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto: Teori Akuntansi. Buku Satu,
Edisi Kelima. Salemba Empat, Jakarta.
Belkaoui, A.; P., Karpik. (1989). Determinants of the Corporate Decision to Disclose
Social Information. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 2(1), 36-
51.
Branco, M.; L., Rodrigues. (2006). Communication of corporate social responsibility
by Portuguese banks: A legitimacy theory perspective. Corporate
Communications: An International Journal, 11(3), 232-248.
Capaldi, N. (2005). Corporate Social Responsibility And The Bottom Line.
International Journal of Social Economics, 32(5), 408-423.
Cetindamar, D.; K., Husoy. (2007). Corporate Social Responsibility Practices And
Environmentally Responsible Behavior: The Case Of The United Nations
Global Compact. Journal Of Business Ethics, 76, 163176.
Cooper, D.R.; C.W., Emory, (1996). Business Research Methods. 5th Edition,
Richard D. Irwin, Inc., USA.
Cooper, C.; P., Taylor.; N., Smith.; L., Catchpowle. (2004). A Discussion of the
Political Potential of Social Accounting, Critical Perspectives on Accounting,
xxx, 1-24.
Darmawati, D. (2006). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Dan Faktor Regulasi
Terhadap Kualitas Implementasi Corporate. Paper presented at the
Simposium Nasional Akuntansi 9, Universitas Andalas, Padang.
Djatmiko, H. (2006, 11 Januari). Saatnya Menabur. Majalah SWA, 26(XXI/19).
Frankental, P. (2001). Corporate Social Responsibility - A PR Invention?. Corporate
Communications: An International Journal, 6(1), 18-23.
Ghozali, I. (2006). Structural Equation Modelling Metode Alternatif dengan Partial
Least Square (PLS). Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Global Reporting Initiatives. (2006). Sustainability Reporting Guidelines. GRI,
CERES Boston.
Gray, R.; R., Kouhy.; S., Lavers. (1995). Corporate Social And Environmental
Reporting: A Review of The Literature and A Longitudinal Study of UK
Disclosure. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 8(2), 47-77.
Gray, R.; M., Javad.; M., David. (2001). Social And Environmental Disclosure, and
Corporate Characteristic: A Research Note and Extension, Accounting,
Auditing, and Accountability Journal, 28(3), 327-356.
Hackston, D.; M., Milne. (1996). Some Determinants of Social And Environmental
Disclosures In New Zaeland Companies. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal, 9(1), 77-108.
Hartono, J. (2003). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi 3. BPFE UGM,
Yogyakarta.
--------------. (2004). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-
Pengalaman. Edisi 2003/2004, BPFE UGM, Yogyakarta.
Hendriksen, E. (1998). Accounting Theory. Fifth Edition. Diterjemahkan oleh Herman
Wibowo: Teori Akunting. Buku Satu, Edisi Kelima. Interaksara, Batam.
Hines, R. (1998). Financial Accounting Knowledge, Conceptual Framework Projects
And The Social Construction of The Accounting Profession. Accounting
Auditing And Accountability Journal, 22, 72-92.
Istianingsih
PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI FE UI
Abstract
The objective of this study is to examine the efect of diversificstion and insider
ownership on firm value. Sample used of this study is 95 firms annual report from
companies listed in Jakarta Stock Exchange in 2005. Structural Equation Approach
used in this study to examine the effect of diversification and the other variable
together on the firm value and the corporate governance.
The result of this study show that diversification significantly affect the insider
ownership. Furthermore, bussines diversification negatively significant affect the firm
value. On the other hand, I find no evidence the effect of diversification on corporate
governance index. The result of this study is different from the previous studies in
other country. The different result may caused by the different international
corporate governance practice.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Perdebatan tentang manfaat diversifikasi usaha telah mendapat banyak
perhatian peneliti dalam bidang akuntansi. Terdapat anggapan bahwa perusahaan
yang didiversifikasi tidak baik karena cenderung menjadi powerful dan dalam hal
tertentu dapat melakukan subsidi silang antar unit bisnis untuk mendesak pesaing
keluar dari kompetisi. Perusahaan yang didiversifikasi menjadi cenderung anti
kompetisi dan tidak menambah nilai bagi bisnis utama (Porter, 1987).
Berbagai penelitian menemukan bahwa diversifikasi usaha berhubungan
dengan kinerja perusahaan dengan hasil yang bervariasi. Lang dan Stulz (1994),
menyatakan bahwa diversifikasi berhubungan negatif dengan Tobins Q. Berger dan
Ofek (1995) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi akan
mengalami penurunan nilai sekitar 15%. Sementara Graham, Lemmon, dan Wolf
(1998); juga Campa dan Kedia (1999) menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak
dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari diversifikasi, karena perusahaan yang
melakukan diversifikasi memang sudah mengalami penurunan ini sebelum
dilakukannya diversifikasi. Serveas (1996) tidak menemukan bukti bahwa
perusahaan yang didiversifikasi mendapatkan premium atas harga saham yang
lebih besar dari perusahaan yang tidak didiversifikasi.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, Antoinette Schoar (2002),
menemukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi memiliki produktivitas
yang tinggi dibandingkan yang stand alone firm. Graham, Lemmon, dan Wolf (2002)
menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi mendapat reaksi pasar yang
positif berupa excess value, tetapi excess value yang diterima akan segera turun
setelah event diversifikasi. Mereka juga menemukan bahwa excess value tersebut
tidak mengalami penurunan ketika perusahaan menaikkan jumlah segmen usaha.
Denis, Denis, dan Yost (2002) membuktikan bahwa peningkatan diversifikasi
geografis akan menurunkan excess value perusahaan, sebaliknya penurunan
diversifikasi geografis akan meningkatkan excess value. Lang dan Douklas (2003)
menguji hubungan antara investasi asing dengan diversifikasi dan kinerja
perusahaan menemukan bahwa diversifikasi geografis akan meningkatkan
shareholder value dan meningkatkan performa jangka panjang perusahaan ketika
diversifikasi ini dilakukan dalam investasi asing pada bisnis utama yang
berhubungan (Greenfield). Villalonga (2004) membuktikan bahwa perusahaan yang
didiversifikasi akan mendapatkan premium diversifikasi (excess value).
Selain dapat menurunkan dan menaikkan nilai perusahaan, penelitian lain
juga menemukan bahwa diversifikasi usaha juga berhubungan dengan corporate
governance. Anderson, Bates, Bizjak, dan Lemmon (2000), menemukan bahwa
corporate governance berhubungan dengan keputusan untuk melakukan
diversifikasi dimana karakteristik governance dapat menjelaskan nilai kerugian yang
timbul akibat diversifikasi. Antoinette Schoar (2002) membuktikan bahwa rendahnya
transparansi pada perusahaan yang didiversifikasi bukan penyebab adanya
perbedaan kinerja antara diversified firm dengan stand alone firm. Sementara
Jiraporn, Kim, Davidson, dan Singh (2005) menyatakan bahwa penurunan nilai
untuk perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha berkaitan dengan agency
theory. Dengan semakin luasnya kewenangan manajer dalam mengelola dan
mengambil keputusan atas perusahaan yang didiversifikasi, akan meyebabkan
terjadinya ekspropriasi terhadap pemegang saham.
Hasil-hasil penelitian di atas secara umum memberikan bukti tentang
pengaruh positif indeks CG terhadap nilai perusahaan. Akan tetapi, studi-studi
tersebut juga mengakui adanya isu penting yang mungkin dapat mempengaruhi
validitas hasil penelitian yang diperoleh. Isu tersebut terkait dengan adanya dugaan
reverse causality atau endogenitas pada hubungan indeks CG dan nilai perusahaan.
Adanya endogenitas ini tidak dapat diatasi dengan regresi ordinary least square
(OLS) karena teknik dinilai kurang tepat untuk mengestimasi koefesien variabel
pada model karena akan menghasilkan koefesien yang bias atau tidak konsisten,
sebesar apapun sampelnya. Gujarati (2003) menyatakan bahwa teknik estimasi
yang lebih tepat untuk model yang mengandung endogenitas adalah dengan
pendekatan persamaan simultan.
Keberadaan insider ownership (IO) juga memberi pengaruh terhadap
diversifikasi dan nilai perusahaan. Kim, Lee, dan Fancis (1988) menggunakan
pengelompokan IO untuk menguji hubungan antara kinerja (expected return)
perusahaan dengan keberadaan IO. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa
semakin tinggi IO akan semakin tinggi kinerja perusahaan. Penelitian Serveas
Bagi Investor
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi kepada
investor mengenai hubungan antara diversifikasi usaha, insider ownership,
corporate governance, dan nilai perusahaan, sebagai dasar pengambilan keputusan
investasi. Studi ini diharapkan memberikan informasi kepada investor tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi praktek CG, nilai perusahaan, dan kualitas pelaporan
perusahaan. Investor juga dapat memperoleh informasi tentang pola hubungan
antara diversifikasi usaha, insider ownership, corporate governance, dan nilai
perusahaan. Dengan mengetahui pola hubungan dan keterkaitan masing-masing
variabel tersebut, investor diharapkan akan dapat memberikan penilaian terhadap
informasi ini dalam mengambil keputusan investasi.
Bagi regulator
Bukti tentang dampak praktek CG terhadap nilai perusahaan, serta hubungan
praktek CG dengan variabel lain dalam penelitian ini, diharapkan menjadi informasi
bagi regulator untuk mengevaluasi efektifitas penerapan CG pada perusahaan di
Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat menambah bahan pertimbangan
regulator dalam merumuskan kebijakan selanjutnya untuk terus memotivasi
perusahaan meningkatkan efektifitas penerapan CG.
1. Menurut OECD
Corporate Governance is the system by which business corporations are
directed and controlled. The Corporate governance structure specifies the
distribution of the right dan responsibilities among different participants in the
corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders,
and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs.
By doing this, it also provides this structure through which the company objectives
are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance.
2. 3. Diversifikasi
menurunkan nilai dan memiliki net present value yang negatif ketika
mengalokasikan pada segmen usaha mereka. Lang dan Stulz (1994) juga
menyatakan bahwa perusahaan yang didiversifikasi akan menempatkan investasi
yang terlalu besar pada lini usahanya yang mempunyai kesempatan invesatasi
rendah. Hasil penelitian mereka juga menemukan bahwa diversifikasi berhubungan
negatif dengan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobins Q.
Hasil penelitian Berger dan Ofek (1995) yang meneliti pengaruh diversifikasi
terhadap sampel sebanyak 5233 perusahaan selama tahun 1986 sampai 1991,
memberikan gambaran yang serupa. Mereka menunjukkan bahwa nilai perusahaan
yang didiversifikasi lebih rendah dibandingkan perusahaan yang beroperasi dalam
segmen usaha tunggal. Perbedaan nilai ini berkisar antara 13%-15% lebih rendah
dari single firm. Penurunan nilai ini akan berkurang apabila perusahaan melakukan
diversisifikasi pada bidang yang terkait (related diversification). Servaes (1996) juga
menyatakan bahwa diversifikasi perusahaan tidak memberikan kinerja yang lebih
baik dibandingkan dengan perusahaan yang fokus. Hal ini sejalan dengan adanya
kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahan-perusahaan yang didiversifikasi di
Amerika pada era tahun 90-an. Akibatnya, banyak perusahaan yang didiversifikasi
yang kemudian mengubah strategi bisnisnya kembali ke fokus.
Keberhasilan atau kegagalan diversifikasi dalam meningkatkan nilai
perusahaan terkait dengan masalah sinergi, karena sekedar menciptakan value bagi
shareholder saja tidak cukup. Sinergi antara bisnis utama dan bisnis baru hasil
diversifikasi baik yang terkait (related) maupun tak terkait (unrelated) diperlukan
guna memastikan tercapainya value yang maksimum dari langkah diversifikasi yang
diambil. Berdasarkan uraian dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini
menghipotesakan bahwa diversifikasi dapat berpengaruh positif terhadap nilai pasar
perusahaan. Argumen dari hipotesa ini adalah bahwa dengan didiversifikasi, maka
akan semakin banyak kesempatan untuk menanamkan investasi. Selain itu dengan
diversifikasi maka resiko yang dimiliki dalam berinvestasi juga akan terdiversifikasi.
Dengan demikian maka diversifikasi akan memberi manfaat dalam meningkatkan
nilai perusahaan.
nilai perusahaan terdapat hubungan timbal balik. Hubungan tersebut adalah apakah
good corporate governance menyebabkan nilai perusahaan yang lebih tinggi atau
apakah perusahaan dengan nilai pasar yang lebih tinggi akan lebih besar akan
memilih struktur governance yang lebih baik untuk semakin meningkatkan nilai
perusahaan. Koefisien yang dihasilkan dari regresi OLS akan berakibat pada
adanya overstated dalam hubungan antar variabel (Beiner dkk, 2005).
Untuk mengatasi kelemahan dalam penggunaan OLS tersebut, Agrawal &
Knoeber (1996) hubungan antara 7 mekanisme kontrol dengan menggunakan 6
persamaan dalam model persamaan simultan. Dengan menggunakan OLS mereka
menemukan bahwa insider shareholdings, outside directors, utang, dan corporate
control activity mempengaruhi kinerja perusahaan jika tiap mekanisme tersebut
dimasukkan dalam regresi OLS yang terpisah. Tetapi, pengaruh insider
shareholdings, dan pengaruh utang serta corporate control activity, menjadi hilang
jika seluruh mekanisme dimasukkan dalam satu regresi OLS.
Black dkk (2005) dalam pengujiannya juga telah mengakomodasi adanya
unsur endogenitas antara indeks CG dan nilai perusahaan. Dari pengujian mereka
hasilnya memperkuat bukti mengenai adanya endogenitas atau hubungan saling
mempengaruhi antara indeks CG dan nilai perusahaan. Beiner dkk (2005) dengan
menggunakan persamaan simultan menemukan bahwa corporate governance
berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Mereka juga menemukan adanya
reverse causality dimana perusahaan dengan nilai yang lebih tinggi akan
mengadopsi praktek corporate governance yang lebih baik. Silveira dan Barros
(2006) menguji dampak indeks CG terhadap nilai pasar 154 perusahan publik di
Brazil pada tahun 2002 dengan menggunakan pendekatan OLS dan pendekatan
model simultan. Hasil pengujian mereka secara konsisten menunjukan hubungan
positif dan signifikan pengaruh dari indeks CG terhadap nilai pasar perusahaan.
Sementara penelitian Arsjah (2005) dengan menggunakan sampel perusahaan-
perusahaan yang terdaftar di Indonesia, menemukan bukti bahwa terdapat
hubungan positif antara indeks CG dan kinerja akuntansi perusahaan, namun
studinya tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara indeks CG dan
nilai perusahaan.
H2 (-)
H3(+) H 6 (+ ) H7 (+)
H4 (+)
3. DESAIN PENELITIAN
3.1. Model Penelitian
Penelitian ini mengajukan tiga persamaan penelitian sebagai berikut:
OWNER = a0 + a1DDIV + e ............................................................................ (1)
CGI = b0 + b1PTQ + b2OWNER + b3DDIV + b4 SIZE + ............................. (2)
PTQ = c0 + c1CGI + c2OWNER + c3DDIV + c4 SIZE + c5LEV + ............... (3)
Penjelasan dari variabel-variabel yang digunakan dalam model penelitian di
atas adalah sebagai berikut:
DIVERS= Diversifikasi usaha, dengan nilai 1 jika perusahaan memiliki segmen
usaha lebih dari 1 segmen , 0 lainnya.
CGI = indeks corporate governance perusahaan tahun 2005 yang digunakan pada
penelitian Salis (2008) dengan perhitungan yang didasarkan pada penelitian
Rahadian (2007).
PTQ = merupakan nilai perusahaan dihitung berdasarkan Proxy Tobins Q. yang
dihitung dengan menggunakan rumus :
(MVE + DEBT) / (BVE + DEBT).
Dimana:
MVE = nilai pasar ekuitas
DEBT = total nilai utang (debt)
BVE = nilai buku ekuitas
5. Board responsibilities
Insider Ownership (IO)
Variabel IO ini dilihat dari kepemilikan dalam dengan melihat apakah nama
dewan direksi dan atau komisaris merupakan pemegang saham perusahaan yang
bersangkutan. Variabel ini juga merupakan variabel dummy dengan nilai 1 untuk
kepemilikan dalam lebih dari 5% dan nilai 0 untuk lainnya.
Nilai Perusahaan (TPQ)
Variable nilai perusahaan dalam penelitian ini akan digunakan proxy Tobins
q, yang dihitung dengan menggunakan rumus :
(MVE + DEBT) / (BVE + DEBT).
Dimana:
MVE = nilai pasar ekuitas
DEBT = total nilai utang (debt)
BVE = nilai buku ekuitas
Variabel Kontrol
Penelitian ini menggunakan dua variabel kontrol yaitu ukuran peerusahaan
(size) dan besarnya rasio hutang terhadap ekuitas (lev). size dihitung dengan
menggunakan proxy logaritma dari total aktiva perusahaan perusahaan.
Dikhawatirkan bahwa penerpan praktik CG akan berbeda untuk perusahaan kecil
dengan perusahaan yang berukuran besar. Untuk itu variabel ini dimasukkan untuk
mengontrol kemungkinan adanya pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap
implementasi corporate governance.
Variabel kontrol kedua dalam penelitian ini adalah Leverage yang merupakan
perbandingan antara total kewajiban perusahaan terhadap total ekuitasnya. Variabel
ini dihitung dengan menggunakan rumus: total utang / total ekuitas. Variabel ini
dimasukkan untuk mengontrol kemungkinan bahwa untuk mendiversifikasi
perusahaan, manajer menggunakan dana dari hutang yang akan berpengaruh
terhadap nilai perusahaan.
Kriteria Tingkat
Indikator Tingkat Hasil Estimasi
Kecocokan Kecocokan
Kecocokan Model
Model Model
Nilai yang lebih kecil
M* = 31.42
dari Independence
AIC S** = 30.00 Baik (Good fit)
dan lebih dekat ke
I*** = 38.89
Saturated Model
Nilai yang lebih kecil
M* = 77.35
CAIC dari Independence
S** = 82.99 Baik (Good fit)
dan lebih dekat ke ***
I = 38.89
Saturated Model
NFI NFI > 0,90 0.97 Baik (Good fit)
CFI CFI > 0,90 0,90 Baik (Good fit)
IFI IFI > 0,90 0,91 Baik (Good fit)
Critical N N > 200 152.50 Baik (Good fit)
GFI GFI >0,90 0,98 Baik (Good fit)
Nilai t untuk persamaan pertama di atas adalah sebesar 5,86, yang di atas
nilai kritis 1,96. Hal ini berarti H3 terbukti signifikan. Diversifikasi perusahaan secara
signifikan berpengaruh positif terhadap insider ownership. Diversifikasi perusahaan
secara signifikan berpengaruh positif terhadap insider ownership. Hasil ini
mengindikasikan bahwa dengan diversifikasi maka manajer cenderung untuk
menambah kepemilikannya guna memperkuat posisinya dalam perusahaan.
Untuk menilai seberapa baik coefficient of determination dari persamaan
struktural, akan dilihat dari besaran dari R2 (Wijanto, 2006). Hasil pengujian Lisrel
yang didapatkan nilai R2 untuk persamaan pertama adalah 0.27. Hal ini dapat
diartikan bahwa dalam model ini, diversifikasi mampu menjelaskan 27% dari
perubahan pada variabel insider ownership.
Persamaan berikutnya yang dihsasilkan dari pengujian adalah persamaan
untuk menguji hipotesa H2, H5, dan H7.
Persamaan ke tiga yang dihasilkan adalah untuk menguji H1, H4, dan H6. H1
adalah tentang pengaruh dari diversifikasi terhadap nilai perusahaan. H4 merupakan
hipotesa untuk pengaruh dari iinsider ownership terhadap nilai perusahaan. H6
menguji pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan. Persamaan
yang dihasilkan dari pengujian adalah sebagai berikut:
OWNER = a0 + a1DDIV + e
CGI = b0 + b1PTQ + b2OWNER + b3DDIV + b4 SIZE +
PTQ = c0 + c1CGI + c2OWNER + c3DDIV + c4 SIZE + c5LEV +
PTQ -0.0084
(-0.096)
CGI -0.15
(-1.08)
Keterangan:
DDIV : Dummy Variable untuk melihat diversifikasi perusahaan, yang dihitung
berdasarkan jumlah segmen yang dilaporkan dalam laporan keuangan
perusahaan pada tahun 2005
---&&&---
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.C., S.A. Mansi, and D.M. Reeb. 2002. Founding Family Ownership and
the Agency Cost of Debt. http://www.ssrn.com.
Andres, Pd, V. Azofra and F. Lopez. 2005. Corporate Boards in OECD Countries:
Size, Composition, Functioning and Effectiveness. Corporate Governance: An
International Review, 13 (2).
Berger, Philip, and Eli Ofek, 1995, Diversification's effect on firm value, Journal of
Financial Economics 37, 39-65.
Black, B.S., H. Jang, and W. Kim. 2003. Does Corporate Governance Affect Firm
Value? Evidence from Korea. http://www.sciencedirect.com.
Blair, M.M. 1995. Ownership and Control: Rethinking Corporate Governance for the
Twenty- First Century. Working Paper Washington D.C: The Brookings
Institution.
Bodnar, G.M., Tang, C., Weintrop, J., 1999. Both sides of corporate diversification:
The value impacts of geographic and industrial diversification. Working Paper,
Johns Hopkins University.
Campa, J.M., Kedia, S., 2002. Explaining the diversification discount. Journal of
Finance 57, 17311762.
Chung, K.H. and S.W. Pruitt. 1996. Executive Ownership, Corporate Value, and
Executive Compensation: A Unifying Framework. Journal of Banking and
Finance 20, 1135- 1159.
Claessens, S., Djankov, S., Fan, J., Lang, L., 2002. Disentangling the Incentive and
Entrenchment Effects of Large Shareholdings. Journal of Finance 57, 2741
2771.
Comment, R., Jarrell, G., 1995. Corporate focus and stock returns. Journal of
Financial Economics 37, 6788.
David J. Denis; Diane K. Denis; Atulya Sarin., 1999. Agency Theory and the
Influence of Equity Ownership Structure on Corporate Diversification
Strategies. Strategic Management Journal, Vol. 20, No. 11. (Nov., 1999), pp.
1071-1076.
David J. Denis; Diane K. Denis; Keven Yost., 2002. Global Diversification, Industrial
Diversification, and Firm Value. The Journal of Finance, Vol. 57, No. 5. (Oct.,
2002), pp. 1951-1979.
Demsetz, H. and K. Lehn. 1985. The Structure of Corporate Ownership: Causes and
Consequences. Journal of Political Economy, Vol. 93, 1155-1177.
Denis, D.J., Denis, D.K., Sarin, A., 1997. Agency problems, equity ownership, and
corporate diversification. Journal of Finance 52, 135160.
Denis, D.J., Denis, D.K., Yost, K., 2002. Global diversification, industrial
diversification, and firm value. Journal of Finance 57, 19511979.
Fama, E., and M. Jensen. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of
Law and Economics 26, 301-325.
Graham, J.R., Lemmon, M., Wolf, J., 2002. Does corporate diversification destroy
value? Journal of Finance 59, 695720.
Hair, J.F. Jr., Anderson, R.E., Tathan, R.L., dan Black, W.C. 1998. Multivariate Data
Analysis. Fifth Edition. Prentice-Hall International Inc.
Hyland, D., Diltz, D., 2002. Why firms diversify? An empirical examination. Financial
Management 31, 5182.
_______ 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers.
American Economic Review Papers and Proceedings 76, 323329.
Jiraporn, P., Y.S. Kim and W.N. Davidson III (2005), CEO Compensation,
Shareholders Rights, and Corporate Governance, Journal of Economics and
Finance, Vol. 29, No. 2, 242-258.
Karl Lins; Henri Servaes., 1999. International Evidence on the Value of Corporate
Diversification. The Journal of Finance, Vol. 54, No. 6. (Dec., 1999), pp. 2215-
2239.
Klapper, L.F. and I. Love. 2002. Corporate Governance, Investor Protection, and
Performance in Emerging Markets. http://econ.worldbank.org.
Kula, V. 2005. The Impact of the Roles, Structure and Process of Boards on Firm
Performance: Evidence from Turkey. Corporate Governance: An International
Review, 13 (2).
La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., 1999. Corporate ownership around
the world. Journal of Finance 54, 471517.
La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., Vishny, R., 2002. Investor Protection
and Corporate Valuation. Journal of Finance 57, 11471170.
Lang, Lany, and Ren6 M. Stulz, 1994, Tobin's q, corporate diversification and firm
performance, Journal of Political Economy 102, 1248-1280.
Lasfer, M., 1995. Agency costs, taxes and debt: the UK evidence. European
Financial Management 1, 265285.
Mak, Y.T. and Y. Li. 2001. Determinants of Corporate Ownership and Board
Structure: Evidence from Singapore. Journal of Corporate Finance 7, 235256.
Mansi, S., Reeb, D.M., 2002. Corporate diversification: What gets discounted?
Journal of Finance 57, 21672184.
Maury, B. 2006. Family Ownership and Firm Performance: Empirical Evidence from
Western European Corporations. Journal of Corporate Finance 12, 321 341.
McConnel, J.J. and H. Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and
Corporate Value. Journal of Financial Economics 27, 595-612.
Morck, R., A. Shleifer, and R. Vishny. 1998. Management Ownership and Market
Valuation: An Empirical Analysis. Journal of Financial Economics 20, 293-316.
Owen A. Lamont; Christopher Polk., 2001., The Diversification Discount: Cash lows
versus Returns. The Journal of Finance, Vol. 56, No. 5. (Oct., 2001), pp. 693-
1721
Porter, Michael E., 1985., Competitive Advantage: creating and sustaining superior
performance: with a new introduction., New York Free Press.
Rajan, Raghu, Henri Servaes, and Luigi Zingales, 1998, The cost of diversity: The
diversification discount and inefficient investment, Journal of Finance 55, 35-80.
Servaes, Henri, 1997, The value of diversification during the conglomerate merger
wave, Journal of Finance 51, 1201-1225.
Villalonga, B., 2004. Does diversification cause the diversification discount. Financial
Management 33, 528.
Whited, T., 2001. Is it efficient investment that causes the diversification discount?
Journal of Finance 56, 1667 1692.
Wijanto, Setyo Hari, 2006, Structural Equation Model (SEM) dengan Lisrel 8.7,
Catatan Kuliah, Pascasarjana Ilmu Manajemen, Universitas Indonesia.
Sari Atmini
Yeney Widya Prihatiningtias
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang
Abstract
The objectives of this research are to empirically examine the effects of independent
commissioner, audit committee characteristics (number of member, competencies,
independency and frequency of meeting), board of directors characteristics (size,
international experiences and gender) and structure of ownership (managerial and
blockholder ownership) to social disclosure. The sample of this research was
determined using purposive sampling method. There are 24 companies categorized
as high profile companies fulfill the criteria. Data were analyzed using multiple
regression analysis. The results of this research show that independent
commissioner, audit committee characteristics (number of member, competencies,
independency and frequency of meeting), board of directors characteristics (size,
international experiences and gender) and structure of ownership (managerial and
blockholder ownership) do not affect social disclosure.
tinggi di luar negeri. Ketika aktif terjun dalam dunia bisnis, mereka telah
memperoleh pengalaman internasional terutama dari segi pendidikan formal.
Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI sebagian merupakan perusahaan
multinasional, yang direkturnya adalah ekspatriat yang sudah mempunyai
pengalaman internasional memimpin perusahaan di berbagai negara. Penelitian ini
berusaha menemukan bukti apakah pengalaman internasional, dari segi pendidikan
formal maupun pengalaman kerja, akan mempengaruhi pengungkapan sosial
perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris adanya pengaruh komisaris
independen, karakteristik komite audit (jumlah anggota, tingkat keahlian anggota,
independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit), karakteristik dewan direksi
(ukuran, pengalaman internasional, dan gender anggota dewan direksi), serta
struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan blockholder) terhadap
pengungkapan sosial.
Chen & Jaggi (2000) menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif
proporsi komisaris independen terhadap pengungkapan. Haniffa & Cooke (2005)
menemukan bukti bahwa luas pengungkapan sosial adalah lebih besar untuk
perusahaan-perusahaan yang dewannya didominasi oleh non-executive directors.
Namun bukti empiris dari Eng dan Mak (2003) menunjukkan hal yang sebaliknya,
yaitu bahwa meningkatnya outside directors mengurangi pengungkapan sukarela.
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis:
H1A: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan sosial.
H1B: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap
variasipengungkapan sosial.
H2A: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial.
H2B: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan sosial.
juga merekomendasikan bahwa anggota komite audit tidak memiliki hubungan yang
dapat menyebabkan masalah dengan independensi dari pihak perusahaan maupun
manajemen. Selain itu, perusahaan yang memiliki modal lebih dari $200 juta
diharuskan memiliki komite audit yang independen (Khomsiyah dkk. 2005).
Hasil penelitian terdahulu menemukan bukti, independensi komite audit tidak
mempengaruhi efektivitas komite audit (Zulaikha dkk. 1999 dalam Khomsiyah dkk.
2005), tidak memiliki hubungan dengan kualitas laporan keuangan (Felo et al. 2003
dalam Khomsiyah dkk. 2005), dan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib
informasi laporan keuangan (Khomsiyah dkk. 2005). Abbot et al. (2002) dalam
Khomsiyah dkk. (2005) menemukan adanya hubungan negatif antara independensi
komite audit dengan terjadinya financial reporting misstatement. Berdasarkan uraian
tersebut dirumuskan hipotesis:
H4A : Independensi komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan
sosial.
H4B : Independensi komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.
McKinnon & Dalimunthe (1993), Mitchell et al. (1995), Schadewitz & Blevins
(1998) dalam Eng & Mak (2003) menemukan bukti bahwa kepemilikan blockholder
berpengaruh negatif terhadap pengungkapan. Namun, Eng & Mak (2003) tidak
menemukan bukti adanya pengaruh tersebut. Hasil penelitian Eng & Mak (2003)
menunjukkan adanya hubungan positif, yang ditunjukkan dengan koefisien positif
dalam hasil analisis regresi, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H11A: Kepemilikan blockholder berpengaruh terhadap luas pengungkapan sosial.
H11B: Kepemilikan blockholder berpengaruh terhadap variasi pengungkapan sosial.
3. Metoda Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan publik yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2007, berjumlah 343 perusahaan. Sampel
penelitian ditentukan dengan metoda purposive sampling dengan 2 kriteria:
tergolong kategori perusahaan high profile dan telah mempublikasikan laporan
tahunan (annual report) tahun 2007 di www.idx.ac.id. Terdapat 144 perusahaan
yang tergolong perusahaan high profile. Hanya 24 perusahaan yang telah
mempublikasikan laporan tahunan di www.idx.ac.id. sehingga diperoleh 24
perusahaan sebagai sampel penelitian.
Perusahaan dalam kategori high profile dipilih menjadi sampel penelitian
karena perusahaan high profile merupakan perusahaan dengan tingkat sensitivitas
tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau perusahaan
dengan tingkat kompetisi ketat. Perusahaan high profile umumnya memiliki jumlah
tenaga kerja banyak serta dalam proses produksinya mengeluarkan residu seperti
limbah cair dan polusi udara (Sembiring 2005). Perusahaan termasuk kategori high
profile adalah perusahaan bergerak dalam bidang perminyakan dan pertambangan,
kimia, hutan, kertas, otomotif, penerbangan, agribisnis, tembakau dan rokok, produk
makanan dan minuman, media dan komunikasi, energi (listrik), engineering,
kesehatan, transportasi, dan pariwisata (Anggraini 2006).
yang berdistribusi normal. Nilai korelasi Spearman rho kurang dari 0,7 yang
mengindikasikan tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Tolerance Value dan
Variance Inflation Factor variabel penelitian masing-masing lebih besar dari 0,1 dan
kurang dari 10, yang menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas.
4.4. Pembahasan
Hipotesis satu yang menyatakan bahwa proporsi komisaris independen
berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial tidak berhasil
didukung oleh data dalam penelitian ini. Temuan ini tidak konsisten dengan hasil
penelitian Chen & Jaggi (2000), Haniffa & Cooke (2005), serta Eng dan Mak (2003).
Komisaris independen seharusnya berperan dalam mekanisme check and balance,
menjamin perusahaan bertindak tidak hanya untuk kebaikan pemegang saham
namun juga kebaikan pihak-pihak lain yang berkepentingan, serta lebih tertarik
untuk meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan (Haniffa & Cooke 2005).
Namun peran tersebut tampaknya tidak berjalan dengan baik di perusahaan publik
Indonesia. Kemungkinan, hal tersebut disebabkan keberadaan komisaris
independen masih hanya sebatas formalitas untuk mematuhi peraturan yang
berlaku.
Penelitian ini juga tidak mampu mendukung hipotesis dua, tiga, empat, dan
lima. Penelitian ini menemukan bukti bahwa ukuran, keahlian, independensi, dan
frekuensi pertemuan komite audit tidak berpengaruh terhadap luas dan variasi
pengungkapan sosial. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Zulaikha
dkk. (1999) dalam Khomsiyah dkk. (2005), Abbot et al. (2002) dalam Khomsiyah
dkk. (2005), serta Khomsiyah dkk. (2005). Tidak berpengaruhnya karakteristik
komite audit terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial ini kemungkinan
disebabkan masih adanya beberapa perusahaan yang tidak memiliki komite audit
6. Referensi
Achmad, K., I. Subekti, dan S. Atmini. 2006. Investigasi Motivasi dan Strategi
Manajemen Laba pada Perusahaan Publik di Indonesia, Laporan Penelitian,
Hibah Penelitian PHK A 3 Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan
Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi
IX, Padang, pp. 1-21.
Baker, C.R. and D.M. Owsen. 2002. Increasing the Role of Auditing in Corporate
Governance. Critical Perspectives on Accounting, Vol. 13, pp. 783-795.
Chen, C.J.P, B. Jaggi, 2002. Association between Independent Non-executive
Directors, Family Control and Financial Disclosures in Hongkong. Journal of
Accounting and Public Policy 19, pp. 285-310.
Eng, L.L. and Y.T. Mak, 2003. Corporate Governance and Voluntary Disclosure.
Journal of Accounting and Public Policy 22, pp 325-345.
Foster, G., 1986. Financial Statement Analysis. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall International, Inc.
Gao, S.Simon., Saeed Heravi and Jason Zezheng Xiao. 2005. Determinants of
corporate social and environmental reporting in Hongkong: a research note.
Accounting Forum, Vol. 29, pp. 233-242.
Glover, S.H., M.A. Bumpus, G.F. Sharp, G.A. Munchus. 2002. Gender Differences
in Ethical Decision Making. Women in Management Review, Vol. 17, No. 5, pp.
217-227.
Hair, J.F., R.E. Anderson, R.L. Tatham, and W.C. Black. 1992. Multivariate Data
Analysis: With Readings. New York, New York: Macmillan Publishing
Company.
Haniffa, R.M. and T.E. Cooke. 2005. The impact of culture and governance on
corporate social reporting. Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 24,
pp. 391-430.
Tabel 1
Pengukuran Variabel Independen
Tabel 2
Pengukuran Variabel Kontrol
Tabel 3
Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
Tabel 4
Hasil Uji Normalitas Data dan Heteroskedastisitas
Tabel 5
Hasil Uji Hipotesis dengan Variabel Dependen Indeks Pengungkapan Sosial (IPS)
ANOVAb
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .138 15 .009 1.184 .420a
Residual .062 8 .008
Total .201 23
a. Predictors: (Constant), Umur, G, KKA, PP, FP, Uk, DTE, ROE, PK, UKA, IKA, KB,
KInd, UDD, KM
b. Dependent Variable: IPS
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) .026 .242 .108 .916
KInd .180 .264 .273 .682 .514 .243 4.116
UKA -2.4E-006 .030 .000 .000 1.000 .321 3.114
KKA .087 .098 .465 .892 .399 .143 7.005
IKA -.016 .062 -.088 -.258 .803 .332 3.009
FP .008 .008 .492 .932 .379 .139 7.183
UDD .009 .026 .171 .339 .743 .152 6.600
PK -.127 .109 -.376 -1.168 .276 .374 2.672
PP .067 .120 .208 .560 .591 .283 3.538
G .093 .175 .130 .530 .610 .650 1.539
KM -3.919 2.712 -.732 -1.445 .186 .151 6.609
KB -.026 .198 -.044 -.132 .899 .343 2.914
Uk 4.04E-017 .000 .040 .126 .903 .387 2.581
ROE .043 .253 .047 .168 .871 .488 2.050
DTE -.002 .032 -.024 -.074 .943 .368 2.719
Umur .003 .003 .299 .897 .396 .350 2.855
a. Dependent Variable: IPS
Tabel 6
Hasil Uji Hipotesis dengan Variabel Dependen Luas Pengungkapan Sosial (LPS)
ANOVAb
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 4005714 15 267047.625 .878 .607a
Residual 2434183 8 304272.870
Total 6439897 23
a. Predictors: (Constant), Umur, G, KKA, PP, FP, Uk, DTE, ROE, PK, UKA, IKA, KB,
KInd, UDD, KM
b. Dependent Variable: LPS
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) -213.619 1509.108 -.142 .891
KInd 576.210 1652.154 .154 .349 .736 .243 4.116
UKA -25.306 189.084 -.051 -.134 .897 .321 3.114
KKA 126.412 610.929 .119 .207 .841 .143 7.005
IKA -80.842 389.763 -.078 -.207 .841 .332 3.009
FP 47.440 51.239 .539 .926 .382 .139 7.183
UDD 61.726 160.629 .215 .384 .711 .152 6.600
PK -563.983 682.043 -.294 -.827 .432 .374 2.672
PP 238.439 749.879 .130 .318 .759 .283 3.538
G -113.482 1091.540 -.028 -.104 .920 .650 1.539
KM -22493.6 16943.872 -.742 -1.328 .221 .151 6.609
KB -92.000 1239.515 -.028 -.074 .943 .343 2.914
Uk -1.9E-014 .000 -.003 -.010 .993 .387 2.581
ROE 679.716 1581.331 .134 .430 .679 .488 2.050
DTE -34.496 200.899 -.062 -.172 .868 .368 2.719
Umur 15.704 17.676 .326 .888 .400 .350 2.855
a. Dependent Variable: LPS
Etty Murwaningsari
Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti
Abstrak
I. Pendahuluan
Pelaksanaan Good Corporate Governance sangat diperlukan untuk
memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasianoal sebagai syarat mutlak
bagi dunia perindustrian untuk berkembang dengan baik dan sehat yang tujuan
akhirnya untuk mewujudkan stakeholder value. Pengaturan dan
pengimplementasian Good Corporate Governance memerlukan komitmen dari
seluruh jajaran organisasi dan dimulai dengan penetapan kebijakan dasar serta tata
tertib yang harus dianut oleh top manajemen dan penerapan kode etik yang harus
dipatuhi oleh semua pihak yang ada didalamnya. Terdapat lima prinsip utama yang
terkandung dalam Good Corporate Governance (Achmad Daniri, 2006) yaitu;
kerterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban
(responsibility), kewajaran (fairness), dan independensi (independency).
Selanjutnya gagasan utama Good Coorporate Governance (GCG) atau tata
kelola perusahaan yang baik adalah mewujudkan tanggung jawab sosial (CSR). Hal
ini sejalan dengan kesimpulan yang terangkum dalam Konferensi CSR yang
diselenggarakan oleh Indonesia Business Links (IBL) pada 7-8 September 2006 di
Jakarta yaitu Responsible business is good business. Menteri Koordinator
Perekonomian, Dr Boediono (Republika, 2006) saat membuka konferensi ini
mengatakan, CSR merupakan elemen prinsip dalam tata laksana kemasyarakatan
yang baik. Bukan hanya bertujuan memberi nilai tambah bagi para pemegang
saham. Pada intinya, pelaku CSR sebaiknya tidak memisahkan aktifitas CSR
dengan Good Corporate Governance. Karena keduanya merupakan satu continuum
(kesatuan), dan bukan merupakan penyatuan dari beberapa bagian yang
terpisahkan.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial
(CSR) mempunyai keterkaitan erat dengan Good Coorporate Governance. Seperti
dua sisi mata uang, keduanya memiliki kedudukan yang kuat dalam dunia bisnis
namun berhubungan satu sama lain. Tanggung jawab sosial berorientasi kepada
para stakeholders hal ini sejalan dengan salah satu prinsip dari empat prinsip utama
Good Coorporate Governance yaitu responsibility. Karena itu, prinsip responsibility
di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Menurut Reksodiputro
(2004): Konsep Corporate Social Responsibilities merupakan bagian pedoman
Kepemilikan Manajerial
Menurut Downes dan Goodman (1999) kepemilikan manajerial adalah para
pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam
perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan.Dalam teori keagenan
dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham
mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan
kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan
pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya
Kepemilikan Institusional
Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya
institusi menyerahkan tanggungjawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi
perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan
investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat
tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Menurut Pozen (1994), investor
institusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu investor pasif dan investor aktif. Investor
pasif tidak terlalu ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial,
sedangkan investor aktif ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial.
Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi
perusahaan.
Corporate Secretary
Keberadaan Corporate Secretary di Indonesia tidak dikenal dalam UU
Persereoan Terbatas (UUPT) dmaupun UU Pasar Modal (UUPM) yang saat ini
berlaku. Namun, keberadaan Corporate Secretary diatur dalam Keputusan Ketua
BAPEPAM No. 63 tahun 1996. Dalam keputusan itu disebutkan, bahwa dalam
rangka meningkatkan pelayanannya terhadap investor, emiten dan perusahaan
public diwajibkan membentuk Corporate Secretary paling lambat 1 Januari 1997.
Dalam keputusan Ketua BAPEPAM tersebut empat peranan dan fungsi
pokok Corporate Secretary adalah: Pertama, mengikuti perkembangan peraturan
yang berlaku di Pasar Modal. Kedua, memberikan pelayanan informasi kepada
masyarakat yang berkaitan dengan kondisi emiten atau perusahaan publik. Ketiga,
memberikan masukan kepada direksi dalam rangka mematuhi ketentuan UUPM
dan peraturan pelaksanaannya. Terakhir, menjadi penghubung antara perusahaan
dengan BAPEPAM dan perusahaan dengan masyarakat.
CEO Tenure
Shen (2003) seperti dikutip oleh Zubaidah (2003) menyatakan bahwa
karakteristik dari CEO adalah sangat penting dalam Corporate Governance, oleh
karena itu, akan menjadi relevan dalam pelaporan Corporate Governance.
Tingkatan yang berbeda pada masa jabatan CEO akan mempengaruhi baik
pengembangan kepemimpinan CEO juga kesempatan untuk mengendalikan
manajemen. Luasnya kinerja dan masa jabatan CEO mempengaruhi tingkat
pelaporan Corporate Governance. Belum banyak dilakukan penelitian terhadap hal
tersebut. Shen(2003) menyatakan bahwa semakin lama masa jabatan CEO maka
dia akan mengungkapkan lebih rendah atau lebih sedikit praktek corporate
governance karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang
dimilikinya. Hubungan CEO Tenure dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Barnea dan Rubin (2006), CEO Tenure
memiliki hubungan positif dengan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR)
masyarakat, program kemasyarakatan, amal, atau bakti sosial lainnya, serta uraian
mengenai program perusahaan dalam rangka pengembangan SDM.
a. White et al (2002)
Q = (MVE + D)/(BVE + D)
Q : nilai perusahaan
MVE : Market Value Equity yang diukur dengan Closing Price akhir tahun x
jumlah saham yang beredar akhir tahun
D : Total hutang
BVE : Nilai buku total aktiva (EquityBook Value)
PS : nilai likuidasi dari saham preferen
DEBT : (utang lancar-aktiva lancar) + nilai sediaan + utang jangka panjang
TA : total aktiva
D. Kerangka Pemikiran
Corporate Kinerja
Kepemilikan manajerial Social Perusahaan
Kepemilikan Institusional H2 Responsibility H3(Tobins Q)
(CSR) Indeks
H1
H1
Variabel Kontrol
CEO Tenure
Jenis Industri (High-Low Profile)
Corporate Secretary
Komite Nominasi & Remunerasi
A.
E. Pengembangan Hipotesis
1a. Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan
Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham
dalam perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini perlu sebab akan terjadi
penyebaran pengambilan keputusan dan resiko. Para manajer umumnya
mempunyai kecenderungan untuk menggunakan kelebihan keuntungan untuk
konsumsi dan perilaku oportunistik. Para manajer juga mempunyai kecenderungan
untuk menggunakan hutang yang tinggi bukan untuk memaksimumkan nilai
perusahaan, melainkan untuk kepentingan oportunistik manajer. Hal ini akan
meningkatkan beban bunga hutang karena resiko kebangkrutan perusahaan yang
meningkat, sehingga agency cost of debt semakin tinggi. Agency cost of debt yang
tinggi pada gilirannya akan berpengaruh pada penurunan nilai perusahaan. Dengan
adanya kepemilikan saham oleh pihak insiders, maka insiders akan ikut
memperoleh manfaat langsung atas keputusan keputusan yang diambilnya,
namun juga akan menanggung resiko secara langsung bila keputusan itu salah.
Dengan demikian kepemilikan saham oleh insiders merupakan insentif untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian Suranta dan Machfoedz (2003) yang
menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang negatif
terhadap nilai perusahaan, yang berarti semakin tinggi kepemilikan manajerial akan
semakin menurunkan nilai perusahaan. Faisal (2004) menemukan kepemilikan
manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan
bahwa kepemilikan manajerial gagal menjadi mekanisme meningkatkan nilai
perusahaan. Euis Soliha & Taswan (2002), menemukan bahwa Insider Ownership
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian
hipotesis yang menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan oleh insider akan
menaikan nilai perusahaan adalah terbukti. Temuan dalam riset ini konsisten
dengan temuan Leland & Pyle (1977).
Atas alasan tersebut di atas maka hipotesis yang dapat dikembangkan
adalah sebagai berikut:
b. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Institusional adalah jumlah saham yang dimiliki oleh suatu
institusi dalam sebuah perusahaan. Proporsi Kepemilikan Institusional diukur
berdasarkan persentase kepemilikannya. Rumusnya adalah :
Xij
CSRIj =
nj
c) CEO Tenure
CEO adalah seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab dalam
mengelola dan menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Di Indonesia
CEO dipilih setiap 5 tahun sekali. CEO Tenure adalah jangka waktu yang
sudah dijalankan oleh seorang CEO mulai dari penunjukkannya sampai
dengan akhir tahun 2006.
d) Jenis Industri
Patten (1991) mengidentifikasikan perusahaan minyak, kimia, dan kertas
sebagai high-profile. Sementara Robert (1992) menggolongkan perusahaan
automobile, penerbangan, dan industri minyak sebagai high-profile.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hucston dan Milne (1992)
menambahkan media komunikasi sebagai high-profile. Klasifikasi tersebut di
atas yang menjadi dasar penentuan jenis industri dalam penelitian ini.
Variabel ini merupakan dummy veriabel yang ukurannya berupa angka 0 (low
profile) dan 1 (high profile).
No Klasifikasi Jumlah
1 Perusahaan publik dalam sektor manufaktur terdaftar 150
BEI
2 Perusahaan yang tidak menerbitkan laporan tahunan (12)
periode 31 Desember 2006 dan mengungkapkan CSR
3 Perusahaan yang menggunakan mata uang selain (6)
Rupiah (Dollar) dalam dan laporan tahunan 31
Desember 2006
4 Perusahaan yang tidak menyajikan data yang (6)
digunakan dalam penelitian secara lengkap
TOTAL 126
JI = Jenis Industri
CS = Corporate Secretary
KNR = Komite Nominasi & Remunerasi
1. Uji Normalitas
Structural Equation Modeling mensyaratkan dipenuhinya asumsi normalitas.
Pengujian ini dilakukan pada saat operasi Amos berjalan. Terdapat dua cara
pegujian normalitas yaitu univariate dan multivariate normality. Suatu distribusi
data dapat dikatakan normal apabila nilai C.R. skewnes maupun kurtosis lebih
kecil dari nilai kritik tabel + 1,96 dengan tingkat signifikansi 0.05 (p-value 5%).
(Hair, edisi 5, hal 71), jika sebuah variabel adalah normal secara multivariat,
maka akan normal juga secara univariat. Tetapi tidak berlaku sebaliknya.
a) Absolute fit measure yaitu mengukur model fit secara keseluruhan (baik
model struktural maupun model pengukuran secara bersamaan). Kriterianya
dengan melihat:
- X2 atau Chi Square Statistic. Dalam uji ini yang diperlukan adalah nilai
yang tidak signifikan. Semakin kecil, semakin baik model tersebut.
MGROWN
z1
INST 1
CSR
CEOT
JI
TOBINSQ
1
CS
z2
KNR
1. Deskriptif Statistik
Deskriptif statistik menjelaskan tentang gambaran data yang digunakan
dalam penelitian ini.
Std.
Variabel Min. Max. Mean
Deviasi
MGROW
0,00 7,62 0,7356 1,8047
N
INST 0,00 59,80 11,5298 13,5297
CEOT 0,00 5,00 3,1270 1,6149
JI 0,00 1,00 0,5952 0,4928
CS 0,00 1,00 0,7698 0,4226
KNR 0,00 1,00 0,2698 0,4456
CSR 1,10 17,69 5,5431 4,0991
TobinsQ -0,56 2,75 0,7885 0,6807
2. Pengujian Normalitas
Suatu distribusi data dapat dikatakan normal apabila nilai C.R. skewnes
maupun kurtosis lebih kecil dari nilai kritik tabel + 1,96, tingkat signifikansi 0.05 (p-
value 5%).
Hasil Pengujian Normalitas
Variabel min max skew c.r. kurtosis c.r.
KNR 0,000 1,000 1,037 4,752 -0,925 -2,118
CS 0,000 1,000 -1,282 -5,875 -0,356 -0,816
JI 0,000 1,000 -0,388 -1,778 -1,849 -4,238
CEOT 0,000 5,000 -0,401 -1,839 -0,999 -2,289
INST 0,000 59,800 1,567 7,182 1,866 4,277
MGROWN 0,000 7,620 2,491 11,413 4,851 11,116
CSR 1,100 17,692 1,049 4,809 0,309 0,708
TOBINSQ -0,559 2,747 0,791 3,626 -0,095 -0,218
Multivariate 3,756 1,667
Pada tabel yang disajikan diatas, dengan analisis secara univariate, diketahui
bahwa variabel penelitian berdistribusi tidak normal, karena nilai C.R. skewnes dan
C.R. kurtosis lebih besar dari nilai kritik tabel + 1,96. Jika pengujian dianalisis
secara multivariate, diketahui bahwa C.R. kurtosis sebesar 1,667 kurang dari nilai
kritik tabel 1,96. Maka dapat dinyatakan bahwa distribusi data adalah normal secara
multivariate.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini
terdistribusi normal untuk sebagian variabel secara univariate dan terdistribusi
Bridging the Gap between Theory and Practice GOV07- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
normal secara multivariate. Oleh karena itu asumsi normalitas dapat terpenuhi. Hair
(edisi 5, hal 71) menyebutkan jika sebuah variabel adalah normal secara
multivariate, maka akan normal juga secara univariat. Tetapi tidak berlaku
sebaliknya.
Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai chi-square sebagai syarat utama
pada uji kesesuaian model sebesar 4,998 dengan p-value 0,288. Sehingga uji
kesesuaian model dengan melihat nilai chi-square dapat terpenuhi. Sedangkan
hasil uji kesesuaian yang ditinjau melalui kriteria absolute fit measure lainnya,
seperti GFI dan RMSEA telah memenuhi kriteria yang disarankan. Demikian pula
hasil uji kesesuaian yang ditinjau melalui kriteria incremental fit measures seperti
NFI, AGFI, CFI juga telah memenuhi kriteria yang disarankan. Pada kriteria
parsimonious fit measures sebesar 1,249 berada diantara batas bawah 1,0 dan
batas atas 2,0.
5. Pengujian Hipotesa
Hasil pengujian H1a diketahui p-value 0,000 < alpha 0,05, maka Ha1a dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,379 menunjukkan pengaruh antara
ke
epemilikan manajerial (MGROWN) terhadap kinerja perusahaan (TOBINSQ)
adalah positif. Artinya jika ke
epemilikan manajerial naik sebesar 1% maka kinerja
perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar 0,379.
Hasil pengujian H1b diketahui p-value 0,045 < alpha 0,05, maka Ha1b dapat
didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,155 menunjukkan pengaruh antara
kepemilikan institusional (INST) terhadap kinerja perusahaan (TOBINSQ) adalah
Pada model penelitian yang diajukan ini, terdapat empat variabel kontrol
yaitu CEO Tenure (CEOT), Jenis Industri (JI), Corporate Secretary (CS), dan
Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR). Hasil pengujian yag ditunjukkan pada
tabel diatas, diketahui terdapat pengaruh positif yang signifikan antara CEO Tenure
terhadap Corporate Social Responsibility Indeks (p-value 0,047 < alpha 0,05). Untuk
variabel kontrol lainnya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
variabel dependennya karena p-value > alpha 0,05.
z1
MGROWN
0,20 1
-0,19
0,19 CSR
0,17
INST 0,36
0,08
0,38
-0,09
0,16 TOBINSQ
1
CEOT
z2
A. Kesimpulan
B. Keterbatasan
C. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Nenny.(2007). Corporate Social Responsibility. Buletin Ekonomi,
Vol.10, No.2, September 2007 : 40-46
Boediono, Dr. (2006), CSR, Elemen Utama Tata Laksana Kemasyarakatan yang
Baik Republika 17 September 2006
Barnea, Amir & Amir Rubin.(2006). Corporate Social Reponsibility as a Conflict
between Shareholders.Paper presented to EFA 2006 Zurich Meeting,Swiss,
Europe.
Chung & Pruitt (1994) A Simple Approximation of Tobins Q, Financial Management
Daniri, Mas Achmad. (2005). Good Corporate Governance, Konsep dan
Penerapannya Dalam Konteks Indonesia. Jakata:PT Ray Indonesia
Downes, J. & Goodman, JE (1998) Dictionary of Finance and Investment Term,
Barrons Educational Series
Euis Soleha, Taswan. 2002. Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai
Perusahaan Serta Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya. Jurnal Bisnis
dan Ekonomi Vol. 9, no.2.
Faizal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme
Corporate Governance, Simposium Nasional Akuntansi VII Denpasar-Bali.
Hal 197-207.
Gray, R., Owen, D., and Maunders, K., (1987) Corporate Social Reporting:
Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London
Hackston, David & Milne, Marcus J., (1996) Some Determinant of Social and
Environmental Disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing
and Accountability Journal, Vol.9, No.1, pp.77-108
Hair JE, Jr., Anderson RE, Tatham, RL., Black WG., (1998). Multivariate Data
Analysis, Prentice Hall International Inc. New York.
Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics 3.
Lajili & Zeghal (2006) Market Performance Impact on Capital Disclosure, Journal of
Accounting and Public Policy, Vol.25, Issue 2, pp. 171-194, Elsevier
Lastanti, Hexana Sri. (2005). Hubungan Struktur Corporate Governance dengan
Kinerja Perusahaan dan Reaksi Pasar, Konferensi Nasional Akuntansi.
Jakarta. (September). pp: 1-18.
Leland, HE. and Pyle, DH (1977) Informational Asymmetries, Financial Structure
and Financial Intermediation, Journal of Finance, Vol.32 (2), pp.371-387
Patten, DM. (1991), Exposure, Legitimacy and Social Disclosure, Journal of
Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308
Pozen, Robert C. (1994).Institutional Investor: The Reluctant Activists.Harvard
Business Review.Boston:Jan/Feb 1994. vol. 72.Iss 1: pp140
Rajgopal, Shivaram, dan Mohan Venkatachalam dan James Jiambalvo.1999. Is
Institutional Ownership Associated with Earnings Management and The
Extent to which Stock Price Reflect Future Earnings?. Working Papetionr.
Robert, RW. (1992), Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure: An
Application of Stakeholder Theory, Accounting, Organization and Society,
Vol.17, No. 6, pp. 595-612
Suranta, Eddy dan Masud Machfoedz. (2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai
Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi, Simposium Nasional
Akuntansi VI. Surabaya
Sutawinangun, TB M Nazmudin. (2008). Peranan dan fungsi Corporate Secretary,
Forum For Corporate Governance in Indonesia (FCGI).
White et al., (2003). The Analysis and use of Financial Statements. Third Edition,
John Wiley
Widyasari, Kurnia Nur & Arief Rahman .(2007). The Analysis of Company
Characteristic Influence toward CSR Disclosure Emprical Evidence of
Manufacturing Companies Listed in JSX 2003-2005.
Zubaidah (2003) Pengaruh Biaya Sosial Terhadap Kinerja keuangan Perusahaan
Semen yang Listing di Bursa Efek Jakarta, Balance, Vol. 1(1), August 2003
Linda
Rika Nurlela
FE Unsyiah
Abstract
1
Dosen FE Unsyiah, email: cutnajwa@yahoo.com, Hp: 0811688254
2
Alumni FE Unsyiah, email: reecha_84@yahoo.com, Hp:081370008853
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Kelansungan hidup suatu perusahaan tidak hanya ditentukan oleh pemegang
saham tetapi stakeholder secara keseluruhan, yang menyebabkan pandangan
pemegang saham dan pengguna laporan keuangan pada saat ini telah berubah.
Mereka tidak hanya memfokuskan pada pelaporan laba perusahaan tetapi juga
memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Berdasarkan
konsep ini dalam membuat pertimbangan investasi, investor memasukkan
pertimbangan-pertimbangan etika, dan moral selain pertimbangan financial. Konsep
ini dikenal dengan Socially Responsible Investment (SRI). Pertanggungjawaban
sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) diungkapkan di
dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting, yang melaporkan aspek
keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang terjadi di perusahaan. Bahkan
lebih jauh dari itu perusahaan juga harus mampu menjaga sustainability nya.
Sustainability Reporting di Indonesia pada saat ini masih bersifat voluntary
(sukarela) bukan mandatory ( kewajiban). Untuk itu, dalam penerapannya diperlukan
political will yang kuat dari manajemen tingkat atas. Sebab merekalah yang
menentukan kebijakan perusahaan. Namun, apabila faktor internal ini lemah maka
diperlukan dorongan yang kuat dari faktor eksternal. Dorongan ini dapat dilakukan
oleh pemerintah, media masa atau lembaga swadaya masyarakat. Melalui
Sustainability Reporting inilah perusahaan dapat menjaga reputasi, membangun
kepercayaan stakeholder, menunjukkan adanya akuntabilitas dan meningkatkan firm
value. Namun sebaliknya kegagalan dalam memahami dan menggunakan informasi
non keuangan ini dapat menjadi pukulan berat bagi perusahaan, bahkan kadangkala
dapat merusak kinerja perusahaan secara perlahan (Media Akuntansi : Juli 2005).
Di satu sisi, keseimbangan harga saham dari perusahaan yang melaporkan
Sustainability Reporting sama dengan perusahaan yang tidak membuat
Sustainability Reporting (traditional profit maximizing firm) tapi earning pershare
tidak sama. Dana sosial diasumsikan menambah biaya dan bukanlan pendapatan
(non revenue). Sustainability Reporting telah menghabiskan biaya secara ekonomi
yang akan menurunkan net earning perusahaan. Oleh karena itu EPS perusahaan
yang membuat Sustainability Reporting lebih rendah dari EPS perusahaan yang
tidak membuat Sustainability Reporting.
Sebuah model teoritis yang didebatkan dimana supply dan demand untuk
pelaporan sosial menggambarkan apakah aktivitas ini akan memperbaiki,
mengurangi atau tidak memiliki pengaruh terhadap market value perusahaan.
Aktivitas pertanggungjawaban sosial dapat mengurangi present value cash flows
perusahaan terhadap market value perusahaan, dimana hal ini tergantung pada
demand dan supply. Jika demand untuk Socially Responsible Investment (SRI) lebih
besar dibandingkan dengan supply maka perusahaan yang melakukan aktivitas
investasi sosial dan pelaporannya berupa Sustainability Reporting dapat
menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan. Jika kondisi supply dan demand tidak
saling mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market
value perusahaan secara nyata. Hasil penelitian Mackey al, (2004) menunjukkan
manajer perusahaan dagang menemukan aktivitas pelaporan sosial tidak saja
memaksimumkan present value tapi juga memaksimumkan market value
perusahaan.
Hasil penelitian di beberapa negara maju, dimana Sustainability Reporting
sudah bersifat mandatory, membuktikan bahwa investor memasukkan variable
sustainability (berkaitan dengan masalah kelestarian lingkungan) dalam proses
pengambilan keputusan investasi. Dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat
terhadap perusahaan-perusahaan yang membuat Sustainability Reporting
menjadikan nilai perusahaan meningkat. (Djohan Pinnarwan dalam Zuhroh dan
Sukmawati 2003)
Dari hasil studi sebelumnya, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui:
- Adakah perbedaan kinerja keuangan perusahaan yang membuat
Sustainability Reporting dengan yang tidak membuat Sustainability Reporting.
- Seberapa besar variable CSR dan kepemilikan manajemen dapat
menjelaskan nilai perusahaan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dalam Laporan Tahunan
Stakeholder perusahaan terdiri dari beragam pihak. Ada pemegang
saham, pemerintah dan masyarakat secara umum. Pemegang saham tentu
menginginkan agar investasi yang ditanamkan di perusahaan tersebut selalu
berkembang, dan pemerintah juga menginginkan agar perusahaan melakukan
pelaporan kepada stakeholder. Pemerintah berkeinginan agar perusahaan
mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang pada intinya adalah
agar kepentingan masyarakat secara umum tidak tergangggu, dimana perusahaan
diharapkan mampu melakukan proses produksi yang ramah lingkungan sehingga
tidak merusak kehidupan hayati.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR), adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela
mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya
dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di
bidang hukum (Darwin, 2004). Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan
di dalam laporan Sustainability Reporting, adalah pelaporan mengenai kebijakan
ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya
didalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan, dan
pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability Report harus menjadi
dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan, dan
peluang sustainability development yang membawa menuju kepada core business
dan sector industrinya ( Anggraini, 2006).
Untuk mendukung upaya pelaporan yang sustainibilitas pada tahun 1997 di
bentuk sebuah organisasi Global Reporting Initiative (GRI). GRI mempunyai misi
sebagai lembaga yang merancang, mengembangkan, dan menyebarluaskan
pedoman penerapan Sustainability Reporting. GRI telah menerbitkan pedoman
Sustainability Reporting. Selanjutnya direvisi pada tahun 2002 dan 2006. (Media
Akuntansi, Juli:2005).
Pedoman GRI membahas isi Sustainability Reporting (SR) dalam suatu
bagian tersendiri. Isi SR menurut pedoman GRI terdiri dari lima bagian, yaitu:
2. Profil Perusahaan.
Bagian ini berisikan table yang mengidentifikasikan letak setiap elemen isi
laporan GRI berdasarkan bagian dan indikatornya. Tujuan bagian ini
memudahkan pengguna laporan keuangan agar dapat mengakses secara
cepat informasi dan indikator yang terdapat dalam pedoman GRI.
Table 1
Katagori Aspek
Kinerja Ekonomi
Kinerja Lingkungan
Kinerja Sosial
saham [Heize (1976) dalam Anggraini (2006)]. Sehingga semakin tinggi tingkat
profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial.
[Bowman dan Haire 1976). Sedangkan Hactson & Milne (1996) menemukan tidak
ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan
informasi sosial. Belkaoi dan Karpik (1989) mengatakan bahwa dengan
kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk
membuat perusahaan menjadi profitable, hal ini di perkuat oleh hasil penelitian nya,
yaitu: perusahaan yang mengungkapkan informasi social menunjukkan (1)
keikutsertaannya dalam kegiatan sosial, (2) memiliki resiko sistimatis dan tingkat
leverage yang rendah, (3) cenderung perusahaan berskala besar.
Sebaliknya Vence (1975) mempunyai pandangan, bahwa pengungkapan
sosial perusahaan justru memberikan kerugian kompetitif karena perusahaan harus
mengeluarkan tambahan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Hal ini
sejalan dengan pendapat Mackey at al.,2004, dimana keseimbangan harga saham
dari perusahaan yang melaporkan Sustainability Reporting sama dengan
perusahaan yang tidak membuat Sustainability Reporting (traditional profit
maximizing firm) tapi earning pershare tidak sama. Dana sosial diasumsikan
menambah biaya dan bukanlah pendapatan (non revenue). Sustainability Reporting
telah menghabiskan biaya secara ekonomi yang akan menurunkan net earning
perusahaan. Oleh karena itu EPS perusahaan yang membuat Sustainability
Reporting lebih rendah dari EPS perusahaan yang tidak membuat Sustainability
Reporting.
Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dan Market Value
Informasi yang dibutuhkan oleh investor dalam pengambilan keputusan
menjadi semakin bervariasi yang mencakup informasi keuangan dan non keuangan.
Kondisi ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap
aktivitas bisnis dan para pelaku bisnis yang terkait di dalamnya, termasuk investor.
Investor memasukkan pertimbangan-pertimbangan etika, tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan selain pertimbangan financial. Konsep ini dikenal dengan
Socially Responsible Investment (SRI).
Menurut (Mackey al., 2004) aktivitas pertanggungjawaban sosial dapat
mengurangi present value cash flows perusahaan terhadap market value
perusahaan, hal ini tergantung pada demand dan supply. Jika demand untuk
Socially Responsible Investment (SRI) lebih besar dibandingkan dengan supply
maka perusahaan yang melakukan aktivitas investasi sosial dan pelaporannya
berupa Sustainability Reporting dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan.
Kemampuan perusahaan menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan maka nilai
perusahaan akan meningkat. Jika kondisi supply dan demand tidak saling
mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market value
perusahaan secara nyata.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar.
Karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara
maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga
saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai
perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para
profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.
Samuel (2000) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga
sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor,
karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan.
Sedangkan Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan
harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut di jual.
Penelitian yang dilakukan oleh Grey et al.,(1995) diantaranya menyimpulkan
bahwa (1). Tidak ditemukan bukti pengungkapan sosial berhubungan dengan
profitabilitas perusahaan, minimal tidak pada tahun yang sama. (2) terdapat
hubungan yang sangat kuat antara pengungkapan sosial dengan ukuran
perusahaan. (3) Terdapat hubungan antara antara tipe industri dan pengungkapan
sosial, artinya daripada industri yang low-profile. (4) Faktor negara asal perusahaan
dan negara yang menjadi tempat pelaporan memiliki efek yang signifikan terhadap
pengungkapan sosial. (5) Ada beberapa karakteristik khas perusahaan yang
mempengaruhi aktivitas corporate social reporting suatu perusahaan seperti adanya
komite pertanggungjawaban sosial di dalam perusahaan, sikap eksekutif senior,
negara asal atau negara tempat perusahaan menyatakan laporan dan capital
intensity perusahaan.
Shane dan Spicer (1983), meneliti tentang pelaporan polusi terhadap harga
saham selama 6 hari sebelum dan sesudah penerbitan pelaporan polusi pada 72
perusahaan pada 4 industri yang berbeda. Penelitian tersebut menyatakan sampel
perusahaan yang diambil menunjukkan abnormal return negatif yang cukup besar
dalam dua hari sebelum publikasi dari pelaporan polusi terdapat hubungan yang
sedikit antara return yang negatif pada saat publikasi.
Penelitian di Indonesia, Utomo (2000) memperlihatkan bahwa pengungkapan
sosial di Indonesia relatif rendah, namun perusahaan high-profile ternyata
melakukan pengungkapan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan low-
profile. Lutfi (2001) meneliti pengaruh praktek pengungkapan sosial yang dilakukan
oleh perusahaan terhadap perubahan harga saham membuktikan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan dari praktek pengungkapan sosial yang telah
dilaporkan oleh perusahaan terhadap perubahan harga saham.
Penelitian tersebut pada umumnya menggunakan data tahunan antara tahun
1997 sampai dengan 1999, sementara pada priode tahun tersebut kinerja
perusahaan sangat dipengaruhi oleh krisis moneter dan investor lebih fokus pada
situasi ekonomi secara makro. Namun hasil penelitian selanjutnya adalah bahwa
praktek pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan semakin baik dan
investor mulai merespon pengungkapan sosial sebagai suatu good news. Zuhroh
dan Sukmawati (2003).
Ha1 = Adakah perbedaan kinerja keuangan perusahaan yang membuat
Sustainability Reporting dengan yang tidak membuat Sustainability Reporting.
Biaya politis
Menurut hipotesis biaya politis, semakin besar biaya politis yang dihadapi
oleh perusahaan, maka manajer akan memilih prosedur akuntansi yang dapat
3. METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang listing di Bursa Efek
Indonesia (BEI), penentuan sample dengan menggunakan purposive sampling
method dengan kriteria tertentu, yaitu:
Perusahaan non keuangan
3.3. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pooling data. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Laporan Tahunan Emiten
yang listing di BEJ.
Variabel Dependen
Nilai Perusahaan yang disimbolkan dengan (Y).
Nilai perusahaan diukur dengan menggunakan Tobins q. Menurut Wennerfield
(1988) di dalam Suranta dan Machfoedz (2003) Tobins Q dapat digunakan sebagai
alat ukur dalam menentukan dalam menentukan kinerja perusahaan.
( EMV + D)
q=
( EBV + D)
Dimana :
Q = nilai perusahaan
EMV = nilai pasar ekuitas (EMV = closing price x jumlah saham yang beredar)
D = nilai buku dari total hutang
EBV = nilai buku dari total aktiva
X2 = Kepemilikan Manajemen
e = Error Term
Std. Error
kinerja N Mean Std. Deviation Mean
eps sr 60 4.2030 2.54863 .32903
ns 49 3.8910 1.67691 .23956
lev sr 64 1.8658 2.16886 .27111
ns 56 1.5752 2.38944 .31930
ret sr 59 4.2086 2.57012 .33460
ns 32 -.9087 1.46888 .25966
Tabel 2
Independent Samples Test
5. Q F :( k .n1 + n2 2 k )
Jika Q > F :( k .n1 + n 2 2 k ) , dapat disimpulkan bahwa dua regresi tersebut tidak sama
Tabel 3
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Ln nilai
CSRInorasio Ln Kep.Manaj Perusahaan
N 70 26 70
Normal Parameters a,b Mean .2081 -2.3925 .0225
Std. Deviation .06589 2.69312 .69457
Most Extreme Absolute .161 .166 .142
Differences Positive .161 .166 .142
Negative -.084 -.133 -.092
Kolmogorov-Smirnov Z 1.344 .844 1.190
Asymp. Sig. (2-tailed) .054 .474 .118
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Tabel 4
Model Summaryb
Change Statistics
Adjusted Std. Error of R Square Durbin-
Model R R Square R Square the Estimate Change F Change df1 df2 Sig. F Change Watson
1 .479a .230 .163 .38911 .230 3.428 2 23 .050 2.181
a. Predictors: (Constant), Ln Kep.Manaj, CSRInorasio
b. Dependent Variable: Ln nilai Perusahaan
Tabel 5
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients 95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF
1 (Constant) -.938 .299 -3.141 .005 -1.556 -.320
CSRInorasio 2.864 1.167 .459 2.455 .022 .450 5.278 .405 .456 .449 .958 1.044
Ln Kep.Manaj -.041 .030 -.262 -1.399 .175 -.102 .020 -.167 -.280 -.256 .958 1.044
a. Dependent Variable: Ln nilai Perusahaan
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Fr. Reni Retno, (2006) Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam
Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposum Nasional
Akuntansi. Padang.
Dillon, William R and Goldstein, Mattew (1984) Multivate Analysis Method and
Aplication John Willey and Sons Inc. USA
Gray,Rob; Reza Kouhy and Simon Lavers, (1995) Corporate Social and
Evirontmental Reporting: A Review of Literature and Longitudinal Study
of UK Disclosure Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol 8,
No.2, p.47-77.
Hendriksen, Eldon S dan Widjajant, Nugroh Teori Akuntansi. Edisi ke-4 jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Lewis, Linda and Jefrrey Unerman, (1999) Ethical Relatism: A Reason for
Difference in Corporate Social Reporting Critical Perspective on
Accounting. Vol 8, No.1,p.38-62
Mackey, Alison; Mackey, Tyson,. and Barney, Jay B,. (2004) Corporate Social
Responsibility and Firm Performance: Investor Preferences and
Corporate Strategies Forthcoming in Academy of Management Review,
Ohio StateUniversity.
Rasyid, Abdul Idris Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan
Implementasi. Fajar Online. 22 November 2005.
Suranta, Edi dan Puspita, Pratama Merdistuti (2004) Income Smoothing, Tobins
Q, Agency Problem dan Kinerja Perusahaan. Simposium Nasional
Akuntansi VII. Denpasar Bali, 2-3 Desember.
Syafri, Sofyan Harahap (2002) Teori Akuntansi. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Woodward, David,. Edwards, Pam,. and Birkin, Frank, (2001) Some Evidence On
Exceutiveviews Of Corporate Social Responsibility British Accounting
Review.
Zuhroh, Diana dan Heri, I Putu Pande Sukmawati (2003) Analisis Pengaruh luas
Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap
Reaksi Investor. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya,16-17
Agustus
Nur Kholifah
Progam Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi
Universitas Indonesia
Chaerul D. Djakman
Universitas Indonesia
Abstract
The objective of this study is to examine the influence of slack resources, corporate
philanthropy and firm financial performance. The slack resources, corporate
philanthropy and firm financial performance are conceptually interrelated and to
examine them using structural equation modeling with 71 Indonesian listed
companies in 2006 that have donation reported on their annual report. Cash flow
represents slack resources measurement because it shows the uncommitted money
that are available for charity and other discretionary purposes. In this study, the
firms donation represents corporate philanthropy. While cummulative abnormal
return represents firms financial performance measure because that measuring is
based on its total stock market return is particular describe the effect of corporate
philanthropy. This study is based on Seifert et al (2004) and to prove are the
Indonesian companies consistent with Seiferts et al (2004) hypothesis. The result
suggests that cash flow does not impact on firm donation, on the other hand the
donation has a significant effect on firm financial performance. This finding supports
the view of corporate philanthropy as discretionary social responsibility that would
increase firm image and finally enhance firm financial performance.
Terdapat dua prinsip utama yang mendukung teori CSR yaitu: the charity
principle, dan the stewardship prinsiple (Frederik, 1978). Prinsip pertama, terkait
dengan peran perusahaan dalam membantu masyarakat sekitar dan bersifat suka
rela. Sedangkan prinsip kedua merupakan peran perusahaan dalam mengelola
sumber daya. Perusahaan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang
dipercayakan oleh masyarakat dengan baik sehingga prinsip kedua ini bersifat
compulsory. Dengan demikian pemahaman corporate philanthropy sebagai salah
bentuk corporate social responsibility sesuai dengan prinsip tanggung jawab sosial
yang dikemukan Frederik (1978) yaitu tentang charity principle.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan keuangan perusahaan
dengan corporate philanthropy, khususnya menguji hubungan antara dana yang
dimiliki perusahaan dan pemberian sumbangan (having dan giving), dan hubungan
antara corporate philanthropy dengan kinerja perusahaan (having & getting). Dalam
menguji keterkaitan keduanya, dilakukan secara bersama-sama dengan
menggunakan structural equation model (SEM).
Ketertarikan pada masalah ini karena masih banyak perusahaan di Indonesia
yang menganggap sumbangan itu merupakan salah satu bentuk CSR. Hal ini
terlihat pada laporan tanggung jawab sosial perusahaan dalam annual report.
Dengan dilakukannya studi ini kami ingin mengetahui apakah perusahaan di
Indonesia dalam memberikan sumbangannya dipengaruhi oleh ketersediaan dana
bebas yang dimiliki (slack resources) dan bagi perusahaan yang telah memberikan
sumbangan, apakah hal itu akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan.
Selain itu, sejauh ini belum ditemukan adanya penelitian yang menguji
permasalahan ini dengan sampel perusahaan listed di BEI.
yaitu dana yang dapat digunakan untuk diskresi. Oleh karenanya, perusahaan
dituntut untuk memiliki kinerja yang bagus agar memiliki slack resources yang dapat
digunakan untuk corporate philanthropy (pemberian sumbangan).
Alasan perusahaan memberikan sumbangan antara lain motivasi profit dan
untuk pemenuhan tanggung jawab sosial (Johnson, 1966). Dengan adanya
pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan dapat meningkatkan
image bagus perusahaan sehingga akan berpengaruh pada pendapatan
perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan.
Untuk membuktikan berbagai pendapat tersebut di atas, apakah terbukti
apabila diuji dengan menggunakan sampel perusahaan listed di Indonesia maka
timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ketersediaan slack resources akan mempengaruhi corporate
philanthropy?
2. Apakah corporate philanthropy memiliki pengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan?
Tulisan ini terdiri dari 5 bagian, yaitu Pendahuluan meliputi: Latar Belakang, pokok
permasalahan, tujuan penelitian dan kontribusi penelitian. Bagian kedua tentang
landasan teori dan penelitian sebelumnya. Bagian ketiga menerangkan metodologi
& sampel penelitian. Bagian ke-empat menjelaskan analisa hasil penelitian dan
bagian terakhir merupakan kesimpulan, saran dan keterbataan penelitian.
kinerja keuangan yang kuat, maka perusahaan tersebut memiliki kebebasan untuk
membelanjakan dananya untuk kepentingan sosial.
Temuan tersebut mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Cyert dan
March (1963) dalam Bourgeois III, (1981) bahwa kemampuan untuk berinovasi
dihubungkan dengan kehadiran sumber slack dalam suatu organisasi yang dikenal
dengan slack resources. Artinya, inovasi & kebijakan organisasi tergantung pada
ketersediaan slack resources. Dalam berbagai literatur, pengertian slack resources
diartikan sebagai sumber slack yang ada dalam suatu organisasi (slack organisasi)
sehingga dalam hal ini pengertian slack organisasi adalah sama dengan slack
resources dan untuk selanjutnya dalam tulisan ini hanya akan dipakai istilah slack
resources.
Slack
resources Corporate Kinerja
(cash flow) philanthropy Perusahaan
H1 H2
IHSGt1
Return perusahaan (Rit)) = Pt Pt-1 ...............(3.6)
Pt1
Keterangan :
IHSGt : IHSG pada waktu t
IHSGt-1 : IHSG pada waktu t-1
t : periode pengamatan
Pt : harga saham pada waktu t
Pt-1 : harga saham pada waktu t-1
- Debt
Debt digunakan untuk mengukur seberapa besar perusahaan
tergantung pada kreditur dalam membiayai asset perusahaan. Debt
diproksikan dengan debt to equity ratio (Robert ,1992); Kokuba et al., 2001
dan Sembiring, 2003).
Definisi Variabel :
CPH = Corporate philanthropy yaitu pengeluaran cash perusahaan
untuk sumbangan dibagi sales
SR = Slack resources (cash flow), yaitu laba operasi sebelum
penyusutan dikurangi bunga hutang, pajak dan dividen di bagi
sales
Size = Logaritma natural dari kapitalisasi pasar (maket capitalisation)
yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan.
Diff = Differentiation : selling, general & administration to sales
(SG&A/sales)
Industri =Dummy variables, terdiri dari industri non jasa keuangan (1)
dan industri jasa keuangan (0).
CAR = Cummulative abnomal return yang dihitung selama periode 15
bulan mulai 1 januari 2006 sampai dengan 31 Maret 2007 yang
merupakan proxy dari kinerja perusahaan.
Risk =Maket Risk, diproksikan dengan Beta. Data ini berasal dari
perhitungan slope antara return perusahaan dibagi dengan
return pasar yang dilihat dari return IHSG
Debt = Total hutang dibagi dengan equity yang digunakan untuk
melihat efek hutang terhadap return.
0 = Konstanta
1 4 = Koefisien Regresi
= error
Model (3.1) untuk menguji hipotesis 1 yaitu melihat pengaruh slack resources
(cash flow) terhadap corporate philanthropy. Sedangkan model (3.2) untuk menguji
hipotesis 2 yaitu pengaruh corporate philanthropy terhadap kinerja perusahaan.
Model ini sebagaimana model penelitian yang dilakukan oleh Seifert et al. (2004),
tetapi dengan berbagai pertimbangan tidak semua variabel kontrol yang digunakan
Seifert et al., (2004) dimasukkan dalam model penelitian ini.
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
CPH 71 .00001 .00711 .0014490 .00158767
SR 71 .00251 .71532 .1199992 .13252007
SIZE 71 21.11666 31.81397 27.3737669 2.40120178
DIFF 71 .00007 2.30826 .2618844 .31830624
IND 71 .00000 1.00000 .7183099 .45302471
Definisi Variabel :
CPH = Corporate philanthropy yaitu pengeluaran cash perusahaan
untuk sumbangan dibagi sales
SR = Slack resources (cash flow), yaitu laba operasi sebelum
penyusutan dikurangi bunga hutang, pajak dan dividen di bagi
sales
SIZE = Logaritma natural dari kapitalisasi pasar (maket capitalisation)
yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan.
DIFF = Differentiation : selling, general & administration to sales
(SG&A/sales)
IND = Dummy variables, terdiri dari industri non jasa keuangan (1)
dan industri jasa keuangan (0).
CAR = Cummulative abnomal return yang dihitung selama periode 15
bulan mulai 1 januari 2006 sampai dengan 31 Maret 2007 yang
merupakan proxy dari kinerja perusahaan.
RISK =Maket Risk, diproksikan dengan Beta. Data ini berasal dari
perhitungan slope antara return perusahaan dibagi dengan
return pasar yang
43 dilihat dari return IHSG
DEBT =Total hutang dibagi dengan equity yang digunakan untuk
melihat efek hutang terhadap return.
penelitian secara rata-rata memiliki sumbangan yang relatif kecil dengan rata-rata
sebesar 0.0014490 atau 0.145% dari penjualan. Kecilnya rata-rata sumbangan
perusahaan sampel diperkirakan karena sumbangan bersifat sukarela.
Slack resources (SR) yang diproksikan dengan relative cash flow (cash flow
dibagi dengan sales) menunjukkan minimal 0.00251, max 0.71532, rata-rata
0.119992 dengan standart deviasi .13252007. Hal ini menunjukkan range slack
resources sample perusahaan sangat jauh yaitu antara 0.00251 dengan 0.71532.
Ini dapat diartikan bahwa slack resources perusahaan sample sangat bervariasi.
Ukuran perusahaan yang diproksikan sengan market kapitalisasi (ln M-cap)
memperlihatkan minimal size 21,1166 atau sebesar Rp.1.482.000.000, maksimum
size 31,81397 atau sebesar Rp.65.559.178.000.000 dengan rata rata 27,3737 atau
sebesar Rp.6.826.653.380.282. Artinya range ukuran perusahaan sampel cukup
jauh dan bervariasi.
Rata-rata kinerja perusahaan sample yang diproksikan dengan Cummulative
abnomal return (CAR) sebesar 0,3244271. Minimum CAR -4,00778 yang berarti
return perusahaan tersebut lebih kecil dari return pasar dan maximum CAR 3,8264
dengan standar deviasi sebesar 1,13332855. Ini berarti rata-rata perusahaan
sample dan maximum CAR memiliki return positif, yaitu return perusahaan lebih
besar dari return pasar.
4.2 Uji Kualitas Data dan Uji Asumsi Klasik
Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan normal probability plot
dengan software SPSS 13.3 dapat disimpulkan bahwa kedua model regresi
mempunyai data yang berdistribusi mendekati normal, karena data menyebar
disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Hal ini berarti model
regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas data (Gambar 2&3
terlampir).
Hasil uji asumsi klasik terlihat bahwa kedua model persamaan penelitian
telah memenuhi uji asumsi klasik sehingga dapat dikatakan BLUE dan dapat
digunakan sebagai model persamaan penelitian (hasil uji asumsi klasik terlampir).
Gambar 4
Path Diagram t-value
Tabel 8
Hasil Output path diagram dengan
Stuctural Equation Model (SEM)
terbukti secara signifikan, meskipun tanda koefisien sesuai dengan tanda yang
diharapkan (positif).
Menurut pendapat kami, data sampel penelitian tidak dapat mendukung
hipotesis 1 (tidak terbukti secara signifikan) antara lain dikarenakan sumbangan
yang diberikan perusahaan sampel relatif kecil, dengan rata-rata sumbangan
sebesar 0.0014490 atau 0.145% dari sales. Apabila dibandingkan dengan rata-rata
slack resources sebesar 0.11999 atau 12% dari rata-rata sales, maka dalam
memberikan sumbangan tidak harus mempertimbangkan besarnya sumber dana
bebas yang tersedia (slack resources).
Penelitian sebelumnya yang menguji pengaruh slack resources yang
diproksikan dengan cash flow dengan corporate philanthropy baru pertama kali
dilakukan oleh Seifert et.al (2004) yang secara empiris menemukan bukti yang
signifikan adanya pengaruh positif antara slack resousrces dengan corporate
philanthropy
5.3 Saran
Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka penulis memberikan saran untuk penelitian dimasa yang akan
datang, yaitu :
- Penelitian dimasa yang akan datang sebaiknya menggunakan data sampel lebih
dari 1 tahun sehingga dapat mengakomodasi kemungkinan hubungan antar
variabel penelitian dalam jangka panjang.
- Menggunakan data primer untuk melihat persepsi manajemen ataupun
stakholders atas pemahaman terhadap corporate philanthropy dan data tentang
bentuk sumbangan yang menjadi fokus perusahaan.
- Dari hasil penelitian diketahui bahwa kontribusi variabel bebas terhadap variabel
terikat (R Square) masih rendah, hal ini berarti masih terdapat variabel-variabel
lainnya yang dapat menambah kontribusi sehingga dalam pengukuran corporate
philanthropy dan kinerja perusahaan dapat menggunakan proksi yang berbeda
atau memasukkan variabel bebas ainnya sehingga dapat diperoleh hasil yang
lebih beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Prahalad & Hamel (1994). Strategy as a field of study: Why search for a new
paradigm?. Strategy Management Journal, 15, pp5-6.
Sasse & Trahan (2007). Rethinking the new corporate philanthropy Business
Horizon (2007) 50, 29-38.
Sayekti dan Wondabio (2007). Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning
Response Coeffisient (Suatu Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar
di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi X.
Sembiring (2003). Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan pada
Hutang, dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Simposium Nasional Akuntansi VI.
Seifert, Morris and Bartkus (2004). Having, Giving, and Getting: Slack resources,
Corporate philanthropy, and Firm Financial Perfromance. Business and
Society; Jun 2004.
Sharfman et al. (1988). Antecedents of Organizational Slack. The Academy of
Management Review, Vol. 13 No. 4 (Oct.,1988), pp. 601-604.
Useem (1988). Market and Institutional factors in corporate contribution. Califor nia
management review.
Waddock & Graves (1997). The Corporate Social Performance-Fiancial
Performance Link.Strategic Management Journal, Vol. 18, No. 4 (Apr.),pp
303-319.
Wijanto (2008). Structural Equation Modeeling dengan LISREL 8.8. Graha Ilmu
Williams and Siegel (2000). Corporate Social Responsibility and Finacial
Performance: Correlation or Misspecification?. Strategic Management
Journal, Vol. 21 No. 5, (May, 2000), pp.603-609.
Williams and Siegel (2001). Corporate Social Responsibility: A theory of the firm
perspective. The academy of management review, vol 26 No. 1 (Jan.,2001)
pp.117-127
LAMPIRAN :
1. Kelompok Industri:
Tabel 2.
Pengelompokkan Industri Perusahaan Sampel
Data
Gambar 2
Scatter plot model persamaan 1:
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Gambar 3
Scatter plot model persamaan 2
0.8
Expected Cum Prob
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
- Uji Heteroskedastisitas
Tabel 5
Uji Heteroskedastisitas
Model Probability Keterangan
Obs.R-Square
Persamaan 1 0.310138 >0.05 :
homoskedastis
Persamaan 2 0.854553 >0.05:
homoskedastis
Uji Autokorelasi
Tabel 6
Uji Autokorelasi
Nuryaman
Universitas Widyatama, Bandung
Abstract
The background fenomena of this study is the fact that low of disclosure practice on
the financial reporting. The objectives of the research are to find out empirical
evidence of the effect of ownership concentration, firms size, and corporate
governance mechanisms on voluntary disclosure. The corporate governance
mecanisme of this research are composition of board of commissioner and audit
quality. Audit quality were measure by industry specialize audit firm. This study is
explanatory research. The target population was listed companies in the
manufacturing sector at the Jakarta Stock Exchange. The sample determined based
on purposive samping methode, andin conformity with the following criteria : (a) the
annual report ended 31 December 2005 ; (b) book value of equity is positive. There
were 101 companies meeting the criteria. The research hyphotesis were tested
using multiple regression analysis.The result of this research show that: (1)
ownership concentration had significantly positive influence on voluntary disclosure;
(2) firms size had significantly positive influence on voluntary disclosure; (3)
composition of board of commissioner had no influence on voluntary disclosure; (4)
audit quality wich measured by proxy industry specialize audit firm had significantly
positive influence on voluntary disclosure.
1
Disajikan pada 2nd.Accounting Conference di Universitas Indonesia, November 2008.
1. Pendahuluan
Informasi pada pelaporan keuangan sangat membantu investor dalam
pengambilan keputusan transaksi investasi di Pasar modal. Bagi pihak-pihak di luar
manajemen perusahaan, laporan keuangan merupakan media informasi untuk
mengetahui kondisi perusahaan. Sejauh mana informasi dapat diperoleh tergantung
pada sejauh mana keterbukaan informasi dan pengungkapan (disclosure) pada
pelaporan keuangan emiten.
Dalam Tahun 2004 sampai dengan Maret 2005, Bapepam mencatat ada 44
kasus pelanggaran pasar modal, 42% di antaranya adalah perusahaan manufaktur.
Dari 44 kasus pasar modal tersebut terdapat 26 kasus (60 %) menyangkut benturan
kepentingan, keterbukaan informasi dan penyajian laporan keuangan (Bapepam,
2005). Benturan kepentingan dan tidak diungkapkannya informasi penting akan
menyebabkan kerugian bagi fihak investor eksternal.
Hasil survey Pricewaterhouse and Coopers terhadap investor-investor
internasional di Asia, menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu yang
terendah dalam bidang standar pengungkapan dan transparansi, serta penerapan
auditing. Posisi Indonesia dibandingkan dengan negara Asia lainnya dan Australia
dalam hal praktik pengungkapan dalam laporan keuangan, Indonesia
dikelompokkan pada kelompok paling buruk bersama dengan Thailand, China dan
India (FCGI,2004).
Pengungkapan dalam laporan keuangan akan memberikan stimulus bagi
pertumbuhan ekonomi sebagai efek dari efisiensi pasar modal. Beberapa hasil riset
telah memberikan kesimpulan bahwa pengungkapan sukarela berguna untuk
mengurangi kesenjangan informasi antar para pelaku pasar modal, sehingga
investor percaya bahwa transaksi saham di pasar modal terjadi pada harga yang
wajar. Kepercayaan investor ini kemudian akan diikuti dengan peningkatan likuiditas
saham (Jiambalvo,1996), penurunan biaya modal (Botosan, 1997), dan pada
akhirnya menciptakan pasar modal yang efisien (Healy, 1999 dan Bailey, 2002).
Dalam sudut pandang teori keagenan, rendahnya pengugkapan informasi pada
pelaporan keuangan timbul sebagai dampak persoalan keagenan yaitu adanya
ketidak selarasan kepentingan antar pemilik dan manajemen (Beneish, 2001).
Menurut teori keagenan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan tata
Problem keagenan terjadi ketika timbul konflik antar tujuan pemilik (prinsipal)
dengan para direksi/top management sebagai agen. Para pemilik mengalami
kesulitan untuk memverifikasi apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh manajemen.
Konflik kepentingan tersebut dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme yang
mampu mensejajarkan kepentingan pemegang saham selaku pemilik dengan
kepentingan manajemen. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah good corporate
governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnisnya
(Tjager, 2003).
Corporate governance merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur
dan mengelola perusahaan dengan maksud untuk meningkatkan kemakmuran dan
akuntabilitas perusahaan, yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan shareholders
value. Pengendalian diarahkan pada pengawasan perilaku manajer, sehingga
tindakan yang dilakukan manajer dapat bermanfaat bagi perusahaan dan pemilik
(Monk dan Minow, 2001). Babic (2005) menyatakan bahwa sistem corporate
governance dapat berbeda tergantung atas bagaimana mekanisme pemilik
perusahaan mempengaruhi manajer. Secara umum mekanisme corporate
governance terdiri atas dua jenis yaitu: (1) The internal mechanisms of corporate
governance; dan (2) The external mechanismst of corporate governance.
Mekanisme internal adalah cara-cara pengendalian perusahaan dengan
menggunakan berbagai elemen yang ada di dalam organisasi misalnya komposisi
dewan komisaris. .Mekanisme eksternal adalah cara-cara mengendalikan
perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan
diantaranya menghadirkan para agen yang dikenal karena reputasinya (reputational
agent) dalam hal ini termasuk profesi akuntan (World Bank, 1999). Faktor
agar akuntan eksternal berperan optimal maka harus memberikan jasa audit
berkualitas. Kualitas audit dapat dipenuhi jika, audit dilakukan oleh auditor kompeten
dan independen. Dengan demikian kompetensi dan independensi merupakan
dimensi dari kualitas audit. Chen et al (2005) mengembangkan dua dimensi kualitas
audit. Pertama, kualitas audit adalah audit yang dapat mendeteksi kesalahan
penyajian informasi keuangan. Kedua, salah saji yang material pada laporan
keuangan harus disajikan pada laporan audit.
Menurut Dunn and Mayhew (2004), kualitas audit dengan menggunakan proksi
spesialisasi industri KAP dapat mempengaruhi pengungkapan pada laporan
keuangan. Auditor spesialis industri dapat membantu perusahaan klien dalam
penyajian pengungkapan di luar yang dipersyaratkan oleh GAAP. Industry specialis
auditor yang memiliki pengetahuan dan keahlian industru tertentu dapat
dimanfaatkan secara cost effektive oleh klien untuk membantu klien dalam
mengembangkan strategi pengungkapan spesifik industri. Pemilihan auditor
spesialis juga merupakan sinyal (isyarat) terhadap investor, bahwa perusahaan
bermaksud menyajikan pengungkapan informasi berkualitas .Penelitian mereka
memberikan simpulan bahwa spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap
tingkat pengungkapan sukarela pada laporan tahunan perusahaan.
3. Metodologi Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi sasaran penelitian ini adalah perusahaan publik sektor manufaktur
yang aktif selama Tahun 2005, yaitu sebanyak 137 perusahaan
(www.Bapepam.com). Dari Populasi tersebut sampel ditentukan yang memenuhi
empat kriteria sebagai berikut: (1) Emiten mempunyai Tahun buku yang berakhir 31
Desember 2005; (2) Emiten mempunyai nilai ekuitas positif untuk 2005; (3)
Tersedia Laporan keuangan tahunan emiten 2005 di BEJ; dan (4) Terdapat minimal
30 perusahaan dalam setiap kelompok industri manufaktur.
2) Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan (LOG PNJ) adalah besar kecilnya perusahaan. Pada
penelitian ini ukuran perusahaan menggunakan nilai log total penjualan perusahaan
pada akhir tahun. Penggunaan nilai log penjualan dimaksudkan untuk menghindari
problem data natural yang tidak berdistribusi normal (Chen, 2005)
KAP tersebut memiliki klien minimal 15% dari jumlah klien perusahaan pada
masing-masing kelompok industri manufaktur.
5) Pengungkapan Sukarela
perusahaan; (2) posisi keuangan perusahaan; (3) kondisi ketidakpastian; (4) laporan
mengenai lingkungan hidup; dan (5) laporan nilai tambah (PSAK no.1 par,8,9).
Dari sumber PSAK tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Catatan atas laporan keuangan adalah merupakan pengungkapan yang
diharuskan oleh standar akuntansi.
2. Informasi lain (informasi tambahan) adalah merupakan pengungkapan yang
dianjurkan (tidak diharuskan) dan diperlukan dalam rangka memberikan
penyajian yang wajar dan relevan dengan kebutuhn pemakai.
Dengan demikian, informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) pengungkapan wajib (mandatory
disclosure) adalah pengungkapan informasi yang diharuskan menurut ketentuan
yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam; (2)
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang melebihi
dari yang diwajibkan. Diluar yang diharuskan oleh peraturan adalah merupakan
pengungkapan sukarela manajemen.
Pengungkapan sukarela menurut Choi (1999) praktik pengungkapan yang tidak
diharuskan oleh standar akuntansi dan regulasi adalah pengungkapan sukarela
(voluntary disclosure). Praktik pengungkapan sukarela dari studi komparatif
beberapa negara dapat meliputi (Choi 1994,1999) :
1. Disclosure of forward-looking information, hal ini mencakup :
a.Forecasts of revenue, income, eps, capital, expenditure and other
financial item
b.Prospective information about future economic performance or position
that is less definite than forecast in terms in projected item, fiscal periode,
and projected amount.
c. Statement of managements plans and objective for future operations
2. Social responsibility disclosure
3. Special disclosure for non domestic financial statement users
4. Employee disclosure
5. Value added disclosure
6. Enviromental concern
yang diperoleh setiap perusahaan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total. IKPS
dihitung sebagai berikut :
Q
IKPS = --------- x 100 %
S
Keterangan :
IKPS = Indek kelengkapan pengungkapan sukarela
Q = Item kelengkapan pengungkapan sukarela yang disajikan dalam laporan
tahunan
S= Semua item kelengkapan pengungkpan sukarela yang diharapkan, terdapat
pada instrumen.
Data pengungkapan sukarela dapat diperoleh dari laporan tahunan perusahaan.
Descriptive Statistics
(BOD)
perusahaan (besar) yang banyak disorot oleh publik dan analis pasar modal
akan memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil.
3) Komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
sukarela. Komposisi dewan komisaris menunjukkan arah hubungan positif
dengan pengungkapan sukarela tetapi tidak signifikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh: (a) rendahnya komposisi dewan komisaris, data statistik
menunjukkan rata-rata komposisi dewan komisaris 35,80%,dan (b) masih
banyak komisaris independen perusahaan yang belum memiliki kompetensi
pada bidang akuntansi dan atau keuangan.
4) Kualitas audit dengan proksi spesialisasi industri Kantor Akuntan Publik (KAP)
berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Ini bermakna bahwa
kualitas audit dapat meningkatkan pengungkapan sukarela pada pelaporan
keuangan perusahaan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan kesimpulan, maka diajukan saran-
saran untuk kepentingan pengembangan ilmu dan operasional.
Daftar Pustaka
Botosan ,C. 1997. Disclosure Level and The Cost of Equity Capital. The Accounting
ReviewVol 72, No.3,July: 323-349.
Chau, Gerald K. and Sidney J.Gray. 2002. Ownership Structure and Corporate
Voluntary Disclosure in Hongkong and Singapore. The International journal of
accounting 37 p 247-267.
Chen, Gongmeng, Michael Firth, Daniel N.Gao and Oliver M.Rui. 2005. Ownership
structure, Corporate Governance, and Fraud: Evidence from China. Journal of
Corporate finance , XX (2005) , XXX-XXX
Chen, Key,Y, Kuen Lin Lin, Jian Zhou. 2005. Audit Quality and Earnings
Management for Taiwan IPO Firms. Managerial Auditing Journal, Vol
20.1.pp.86-104.
Cheng, Eugene C.M. and Stephen M.C. 2004. Board Composition, Regulatory
Regime and Voluntary Disclosure. Working paper research projects. Nanyang
Technological Univercity.
http://www.business.Utuc.edu/ciera/conference
Craswell, Allen T., Jere R. Francis dan Stephen L. Taylor. 1995. Auditor Brand
Name and Reputations and Industry Specialization. Journal of Accounting and
Economics (20). 297-322.
Dallas, George .2004. Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors,
Managers, Directors and Stakeholders, p.21. Standard and Poor. Governance
Services, MC. Graw Hill. New York
Dunn, Kimberly A and Mayhew, Brian W. 2004. Audit Firm Industry Specialization
and Client Disclosure Quality. Review of Accounting Studies, Vol. 9, pp 35-
58. Kluwer Academic Publishers. Manufactured in The Netherlands.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). 2004. Seri Tata Kelola
Perusahaan (Corporate Governance), Jilid 1, edisi 3, Jakarta
_______ 2006. Peran Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan
Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). www.fcgi.or.id
Halim, Julia, Carmel Meiden, Rudolf Lumban Tobing. 2005. Pengaruh Manajemen
Laba pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan
Manufaktur yang termasuk pada LQ-45. SNA VIII Solo. Ikatan Akuntan
Indonesia.
Haniffa, R.M and T.E. Cooke, 2002, Culture, Corporate Governance and Disclosure
in Malaysian Corporation. ABACUS, Vol. 38. No 3, 2002.
Hubert Ooghe and Tine De Langhe, 2002. The Anglo-American Versus the
Continental European Corporate Governance Model: Empirical Evidence of
Board Composition in Belgium. European Business Review, volume 14-number
6-2002-pp.437-449.
La Porta R,.F. and Lopez-de Silanes. 1999. Corporate Ownership around the word.
Journal of Finance 54, 471-518.
Monks, R.A.G and N.Minow. 2001. Corporate Governance, 2nd ed, Blackwell
Publishing
Peters, Gary F, Lawrence J.Abbott, Susan Parker. 2005. Voluntary Disclosure and
Auditor Specialization: The Case of Commodity Derivative Disclosure. Working
paper, University of Georgia.
Veronica N.P Siregar, Sylvia dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur
Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktik Corporate Governance terhadap
Pengelolaan Laba. Simpsium Nasional Akuntansi VIII. Ikatan Akuntan
Indonesia.
Willekens, Marleen, Heidi Vader Bauhede, Ann Gaeremynck, Linda Van De Gucht,
2003. The Impact of Internal and External Governance Mechanisms on the
Voluntary Disclosure of Financial and Non-financial Performance. Marleen
.willekens@econ.kulueven.ac.be
_______________________________
Abstract
Agency theory explained the existence of conflict of interests between parties, especially
managers, shareholders and bondholders, found in many studies. This conflict tells and
warns the opened opportunity for manager to make decisions benefiting themselves, and
sacrificing others interests and could finally lowering the value of the firms. Conservatism
in financial reporting is believed as one of many solutions to this conflict. Other solution for
this conflict could be the good corporate governance practiced by firms. The objective of
this study is to examine if ownership structures (ownership by institutional investors,
managers/director and block ownership), and the existence of independent commissioners
significantly associated to the level of conservatism in firms. Using two models for
conservatism, this study found that institutional investor has significant association to
conservatism, but without consistent direction. Firms with more institutional investors tend
to have financial numbers that are less conservative. But, this study failed to find significant
association between conservatism and insiders or block ownership. The existence of
independent commissioners is also not related to conservatism, in this study. Controlling the
model with firms characteristics, firm size and leverage were found to be related to
conservatism. A larger or a more leveraged firm, tend to be less conservative.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Penelitian
2.1 Konservatisme
Hendriksen dan Van Breda (1992) mendefinisikan konservatisme sebagai
berikut : Conservatism is, at best, a very poor method of treating the existence of
uncertainty in valuation and income. At its worst, it results in a complete distortion of
accounting data.
Watts (2003a) mendefinisikan konservatisme sebagai suatu differential
verifiability required for recognition of profits versus losses. Secara ekstrim, definisi
konservatisme adalah, jangan mengantisipasi profit, tapi antisipasi semua kerugian
(Bliss, 1924). Namun konservatisme tidak berarti bahwa keuntungan hanya dapat
diakui bila semua kas telah diterima, karena masalahnya adalah pada verifiability.
Terhadap suatu kemungkinan profit, harus dilakukan verifikasi tingkat tinggi,
sedangkan suatu berita buruk dapat diakui sebagai suatu kerugian (Basu, 1997).
Sebagai contoh, aktiva tak berwujud biasanya tidak dimasukkan dalam aktiva
bersih, karena secara konservatif nilainya tidak dapat diverifikasi (Holthousen dan
Watts, 2001).
Menurut Watts (2003a), konservatisme menyajikan laba dan aktiva dengan
prinsip menunda pengaikuan keuntungan dan secepatnya mengakui adanya
kerugian. Prinsip ini memang akan menyebabkan laba dan aktiva periode berjalan
menjadi lebih rendah. Bila terjadi kenaikan laba dan aktiva di masa datang akibat
penerapan prinsip ini, hal tersebut disebabkan keuntungan yang semula ditunda
pengakuannya dan kemudian telah diakui oleh perusahaan karena dipastikan akan
terealisasi, bukan karena perusahaan tidak konservatif di masa mendatang.
Di sisi lain, dewan komisaris yang berasal dari dalam perusahaan, atau
dewan direksi yang memiliki kelemahan dalam memonitoring, akan memberikan
peluang bagi manajer untuk melakukan aktivitas yang lebih agresif (kurang
konservatif). Penelitian ini akan menguji apakah terdapat hubungan positif antara
persentase komisaris independen dengan akuntansi konservatif seperti yang
ditemukan dalam penelitian-penelitian Beekes et al (2004), Ahmed dan Duellman
(2007), Garcia Lara et al (2007) dan Wright (1997). Sehingga, hipotesis ketiga
adalah :
Walaupun jumlah komisaris yang paling ideal tidak ditentukan oleh Bursa
Efek Indonesia, dan juga bukan merupakan sutu mekanisme dari corporate
governance, namun penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Conyon dan Peck
(1998) dan Eisenberg (1998) menyatakan bahwa jumlah komisaris memiliki
pengaruh negatif terhadap bagaimana manajemen mengelola perusahaan. Dalam
penelitian ini akan diuji pula apakah jumlah komisaris akan mempengaruhi
bagaimana manajemen mengelola laporan keuangannya, atau dengan kata lain,
apakah jumlah komisaris berasosiasi dengan konservatisme akuntansi perusahaan.
Hipotesis untuk hal ini adalah :
3. Disain Penelitian
3.1 Data dan Sampel
Populasi dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah seluruh perusahaan di
BEJ yang tercatat pada periode tahun 2006 (satu tahun). Sampelnya adalah
perusahaan dari seluruh industri kecuali industri keuangan, karena memiliki struktur
pelaporan yang berbeda dengan industri lainnya. Dari seluruh perusahaan di
tahun 2006, dipilih 100 perusahaan secara random yang memiliki kelengkapan data
untuk menguji hipotesis. Data kepemilikan dan komisaris independen diambil dari
Annual Report selama periode 2005-2006 dan seluruh data keuangan didapat dari
database OSIRIS.
Hasil perhitungan CONACC tersebut dikalikan dengan -1, sehingga semakin besar
konservatisme ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai CONACC
Intuisi dari model Ball dan Shivakumar serupa dengan model yang digunakan oleh
Basu (2007), yaitu bahwa laba akuntansi cenderung untuk mengantisipasi
pengakuan bad news dan menunda pengakuan good news. Total akrual mengakui
akibat dari peristiwa ekonomis yang negatif pada periode terjadinya, dan efek ini
akan cenderung mempengaruhi cash flow, sehingga hubungan akrual dengan cash
flow menjadi negatif. Hubungan negatif antara total akrual dengan cash flow juga
didokumentasikan dalam penelitian lain seperti penelitian Dechow (1994).
Model Ball dan Shivakumar (2005) yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
ACCRit = 0 + 1 DCFit + 2 CFit + 3 DCFit CFit + it
ACCR : adalah total akrual yang diskalakan dengan total asset di awal periode.
CF : adalah operating cash flows yang diskalakan dengan total asset di awal
periode
DCF : adalah variabel dummy yang akan bernilai 1 jika CF berada pada tingkat
terendah 5% dari distribusi cash (menangkap situasi saat cash flows bernilai
negatif atau sangat rendah ), dan bernilai 0 jika selain itu. Variabel dummy ini
menangkap peristiwa saat bad news (economic losses) terjadi pada suatu periode,
yang menyebabkan cash flow menjadi rendah
Dengan Model Givoly dan Hayn, model untuk menguji hipotesis adalah sebagai
berikut :
+9DCFit*CFOit*LNSIZEit+10DCFit*CFOit*EPSit+11DCFit*CFOit*LEVit +
it...(2)
BLOCK : Mengikuti definisi yang digunakan oleh Randy dan Sanjay (2003),
yaitu persentase kepemilikan oleh 3 (tiga) pemegang saham
terbesar yang kepemilikannya di atas 5%
LNSIZE : Logaritma Natural dari Kapitalisasi pasar saham pada akhir tahun
2006
4. Hasil
Media 2.060. 0.000 5.732. 0.000 3.300.0 3.000.00 1.30E 2.208. 8.35E
n 000 000 000 000 00 0 +09 500 +08
Maxim 14855 8.848. 9.464. 2.381. 8.33E+ 1.000.00 9.99E 39745 8.95E
um 63. 000 000 000 08 0 +09 7.0 +09
- -
Minim 13790 0.000 4.600. 0.000 0.0000 2.000.00 10858 5.000. 1.75E
um 636 000 000 000 00 0 999 000 +09
Std. 14335 1.637. 3.150. 3.696. 1.89E+ 1.888.01 1.99E 71360 1.54E
Dev. 67. 099 499 339 08 2 +09 .30 +09
- -
Skewn 9.092. 2.512. 0.379 5.282. 1.400.5 1.417.20 3.253. 4.560. 2.227.
ess 886 791 535 780 96 2 668 493 302
Kurtos 8.803. 9.794. 1.642. 3.134. 4.342.1 4.675.32 1.241. 2.277. 9.632.
is 031 600 397 137 56 4 900 358 699
Institusional investor. Bahkan variasi untuk independen board sangat kecil, karena
secara rata-rata semua perusahaan yang menjadi sampel telah memiliki komisaris
independen sesuai aturan BEI, yaitu minimal 30%. Variasi yang kecil pada investor
institusional terjadi karena secara rata-rata hanya sedikit persentase investor yang
merupakan lembaga keuangan pada tiap perusahaan. Manajer yang memegang
saham cukup bervariasi, karena ada perusahaan yang memiliki cukup banyak
manajerial investor, namun lebih banyak yang tidak memiliki manajemen yang tidak
memiliki saham pada perusahaan.
- -
CONACC 0.225916 0.057280 0.014810 0.075255 -0.142085 0.305217 0.005564 -0.312217
-
INSOWN -0.225916 -0.029850 -0.025879 -0.036374 0.001995 0.057336 -0.128626 0.055712
- -
BLOCK3 0.057280 0.029850 -0.181680 -0.030346 -0.015271 0.039860 -0.300596 0.118934
- -
MGR 0.014810 0.025879 -0.181680 -0.052233 0.093496 0.043378 -0.058044 0.138063
- -
INDPBORD 0.075255 0.036374 -0.030346 -0.052233 0.063121 0.063872 0.039996 -0.106530
Dari tabel 4.2 di atas terlihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi
melebihi 0,4. Korelasi tertinggi adalah antara tingkat LEV dengan CONACC, yaitu
sebesar 31%. Hasil pengujian heteroskedastisitas dengan White Heterosedasticity
juga menunjukkan bahwa tidak ada masalah heteroskedastisitas dalam sample.
criterion 1
Sum squared 1.53E+1 Schwarz criterion 31.3327
resid 4 1
Log likelihood - F-statistic 3.40958
1514.670 3
Durbin-Watson 2.240190 Prob(F-statistic) 0.00183
stat 8
persyaratan utang dari kreditur. Hal ini juga mungkin dapat diartikan bahwa kreditur
tidak terlalu menekankan praktik akuntansi yang konservatif untuk debiturnya.
Pengujian dengan Model Ball dan Shivakumar menunjukkan hasil yang tidak
signifikan baik untuk model maupun untuk keseluruhan variabel Hal ini menunjukkan
bahwa model tersebut tidak dapat digunakan untuk menjelaskan hipotesis dalam
penelitian ini. Karena itu, hasilnya tidak ditampilkan dalam tulisan ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah struktur kepemilikan dan
komisaris dalam perusahaan memiliki asosiasi dengan tingkat konservatisme
akuntansi pada perusahaan. Investor institusional, investor dari direksi, dan
konsentrasi kepemilikan merupakan proksi dari struktur kepemilikan.
Hipotesis yang lainnya tidak terbukti secara signifikan, yang hasilnya mungkin
disebabkan karena sedikitnya jumlah perusahaan yang dijadikan sampel, dan
karena penelitian dilakukan dalam waktu hanya satu tahun. Ini juga yang menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menemukan hubungan yang
negatif antara ukuran perusahaan dan tingkat leverage dengan konservatisme.
Semakin besar dan semakin tinggi tingkat leverage perusahaan, justru semakin
tidak konservatif perusahaan.
4. Daftar Pustaka
Ahmed, A.S., and Duellman, S. (2007) Accounting conservatism and board of
directors characteristics: An empirical analysis, Journal of Accounting and
Economics, 43, pp. 411-437.
Ball, R. 2001. Infrastructure Requirements for an Economically Efficient System of
Public Financial Reporting and Disclosure. Brookings-Wharton Papers on
Financial Services 2001, 127-182.
Ball, R., S. Kothari and A. Robin. 2000. The Effect of Institutional Factors on
Properties on Accounting Earnings: International Evidence. Journal of
Accounting and Economics 29: 1-52.
Ball, R., Robin, A., and Sadka, G. 2006. Is Accounting Conservatism Due to Debt or
Equity Markets? An International Test of "Contracting" and "Value Relevance".
Working Paper, University of Chicago.
Ball, R., and L. Shivakumar. 2005. Earnings Quality in U.K. Private Firms. Journal of
Accounting and Economics 39: 83-128.
Basu, S. 1997. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of
Earnings. Journal of Accounting and Economics 24: 3-37.
Beatty, A., J.Weber, and Yu, 2006. Conservatism and debt. Working Paper MIT.
Berle, A., and Means, G. 1932. The Modern Corporation and Private Property.
Harcourt, Brace, & World, New York.
Bushman, R., Q. Chen, E. Engel and A. Smith. 2004. Financial accounting
information, organizational complexity and corporate governance systems.
Journal of Accounting and Economics 37: 167-201.
Bushman, R. and J. Piotroski. 2005. Financial Reporting Incentives for Conservative
Accounting: The Influence of Legal and Political Institutions. Journal of
Accounting and Economics (forthcoming).
Cheng, Q., and Warfield, T. 2005. Equity Incentives and Earnings Management. The
Accounting Review, Vol. 80 Issue 2, 441-476.
Dechow, P.M., 2006, Discussion: Asymmetric sensitivity of CEO cash compensation
to stock returns. Journal of Accounting and Economics 42, 193-202.
Demsetz, H., Lehn, K., 1985. The structure of corporate ownership: causes and
consequences. Journal of Political Economy 93, 11551177.
Demsetz H., and Villalonga, B., 2001, Ownership structure and corporate
performance, Journal of Corporate Finance 7, 209-233.
Francis, J., Philbrick, D., and Schipper, K., 1998, Shareholder litigation and
corporate disclosures, Journal of Accounting Research 32, 137-64
Frankel, R.M. and Roychowdhury, S., 2005, Testing the clientele effect: an
explanation for non-GAAP earnings adjustments used to compute I/B/E/S
earnings. Working Paper, MIT.
Givoly, D., and C. Hayn, 2000, The changing time series properties of earnings,
cash flows and accruals: has financial reporting become more conservative?,
Journal of Accounting & Economics 29, 287-320.
Guay, W., 1999, The sensitivity of CEO wealth to equity risk: an analysis of the
magnitude and determinants, Journal of Financial Economics 53, 43-71.
Hermalin, B.E., and Weisbach, M.S., 1991, The effects of board composition and
direct incentives on firm performance, Financial Management 20, 101-112
Himmelberg, C., Hubbard, R., and Palia, D. 1999. Understanding the determinants
of managerial ownership and the link between ownership and performance,
Journal of Financial Economics 53, 353-384.
Jensen, M. and W. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3:
305-360.
Jensen, M., 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance, and takeovers.
American Economic Review 76, 323-329.
Kwon, Y.K., Newman, D.P. and Suh Y.S., 2001, The demand for accounting
conservatism for management control, Review of Accounting Studies 6, 29-51.
LaFond, R. and Watts, R., 2006. The Information Role of Conservative Financial
Statements. Working Paper MIT-Sloan School of Management.
LaFond R and Sugata Roychowdhury, 2007, Managerial Ownership and Accounting
Conservatism. working paper MIT-Sloan School of Management
Leone, A., Wu, J., and Zimmerman, J., 2006. Asymmetric sensitivity of CEO cash
compensation to stock returns. Journal of Accounting and Economics 42, 167-
192.
Morck, R., Shleifer, A., Vishny, R., 1988. Management ownership and market
valuation: an empirical analysis. Journal of Financial Economics 20, 293315.
Ofek, E., and Yermack, D. 2000. Taking Stock: Equity-Based Compensation and the
Evolution of Managerial Ownership. Journal of Finance 55 (3), 1367-1384.
Roychowdhury, S. and Watts, R. 2006. Asymmetric Timeliness of Earnings, Market-
to-Book and Conservatism in Financial Reporting. Journal of Accounting and
Economic (forthcoming).
Ryan, H.E., and Wiggins, R.A., 2002, The interactions between R&D investment
decisions and compensation policy, Financial Management 31, 5-29
Smith, C.W, and Watt, R.L. 1992. The investment opportunity set and corporate
financing, dividend and compensation policies, Journal of Financial Economics
32, 263-292.
Wang, D. 2006. Founding Family Ownership and Earnings Quality. Journal of
Accounting Research (forthcoming).
Warfield, T., Wild, J., and Wild, K. 1995. Managerial Ownership, Accounting
Choices, and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and
Economics 20 (1), 61-91.
Watts, R., 2003a. Conservatism in accounting part I: Explanations and implications.
Accounting Horizons 17 (3), 207-221.
Watts, R., 2003b, Conservatism in accounting part II: Evidence and research
opportunities. Accounting Horizons 17 (4).
Zhang, J., 2004, Efficiency gains from accounting conservatism: benefits to lenders
and borrowers, working paper, MIT.
Titik Aryati
Universitas Trisakti Jakarta,
Mahasiswa PIA FEUI
Abstract
This study examines the relationship between CEO tenure, firm performance and
corporate governance (CG) reporting. This study hypothesizes that (1) firm
performance have positif relationship to CG reporting; (2) CEO tenure have negative
relationship to CG reporting; (3) CEO tenure can possibly mitigate the relationship
between firm performance and CG reporting. Data are collected from Indonesia
Stock Exchange, with sample 30 companies on 2005. CG reporting use CG Index
(Silveira & Barros, 2006), proxies firm performance are Return on Equity (ROE) and
stock return and control variable are borrowing and firms age.
The result show that firm performance have positif relationship to CG reporting but
not significant, CEO tenure have negative significant relationship to CG Reporting.
However, CEO tenure can not mitigate the relationship between firm performance
and CG reporting.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Berbagai peristiwa dalam dasawarsa terakhir ini telah menjadikan isu
corporate governance menjadi penting di berbagai belahan dunia. Penelitian yang
berkaitan dengan isu ini juga menjadi banyak dilakukan. Good corporate
governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnis
merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan
maksud untuk meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas perusahaan, yang
tujuan akhirnya untuk mewujudkan shareholder value (Solomon dan Solomon:
2004). Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai
perusahaan diantaranya kinerja keuangan, mengurangi resiko yang merugikan
akibat tindakan pengelolaan yang cenderung menguntungkan diri sendiri, dan
umumnya good corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor
(Tjager dkk:2003).
Karena pentingnya mekanisme corporate governance, banyak penelitian
yang meneliti hubungan corporate governance dengan kinerja dan return saham.
Mengingat keuntungan yang akan didapat oleh shareholder dan makin baiknya
performance perusahaan itu sendiri, maka penerapan good corporate governance
harus dilakukan. Lastanti (2004), menyatakan bahwa terdapat hubungan struktur
corporate governance dengan kinerja perusahaan dan reaksi pasar, Pendapat ini
didukung juga oleh Mayangsari (2003), Majidah (2004) dan Suranta (2004). Namun
belum banyak penelitian yang melihat informasi corporate governance yang harus
diungkapkan kepada stakeholders. Corporate governance reporting/ disclosure
memberikan informasi seperti manajemen, controlling, transparansi dan
akuntabilitas kepada pemakai laporan keuangan di pasar modal. Informasi ini
diperlukan agar pemakai dapat membedakan mana perusahaan yang praktek
governancenya baik atau buruk, yang akhirnya akan berinvestasi pada perusahaan
yang agency problemnya kecil. Hal ini dapat dipahami karena perusahaan yang
agency problemnya kecil akan berakibat pada kinerja perusahaan yang lebih tinggi.
Kinerja perusahaan sangat penting jika dikaitkan dengan penelitian disclosure
dan corporate governance. Beberapa penelitian yang menghubungkan kinerja
perusahaan dengan disclosure misalnya Miller (2002); Lang & Lundholm (1993).
Gonedes, Dopuch, and Penman (1976) meneliti mengenai aturan pengungkapan
dan sejauh mana aturan pengungkapan konsisten dengan alokasi sumber daya
secara optimal. Penelitian ini ingin mengembangkan kerangka corporate
governance disclosure. Bapepam telah mengeluarkan peraturan mengenai
corporate governance disclosure yang bersifat mandatory pada tahun 2006 yang
harus ditaati oleh perusahaan pada tahun 2007. Meskipun banyak penelitian yang
melihat hubungan corporate governance disclosure dengan faktor-faktor lain
misalnya earnings management (Chtoutou et al 2001; Kasznik 1999, Klein A 2002;
Siregar, dan Siddharta Utama (2006), kinerja perusahaan (Darmawati dkk 2005),
aktivitas luar negeri dan proprietary costs (Depoers,2004), namun belum banyak
riset corporate governance yang menghubungkan pengaruh CEO tenure (lamanya
menjadi CEO) atas corporate governance disclosure.
Karakteristik CEO adalah penting dalam corporate governance (Shen, 2003)
sehingga juga relevan dalam corporate governance reporting. Perbedaan waktu
memimpin akan mempengaruhi pengendalian manajerial perusahaan.
Pengendalian manajerial ini pada akhirnya juga mempengaruhi kinerja perusahaan,
sehingga CEO tenure akan mempengaruhi tingkat corporate governance reporting.
Zuraidah dan Norman M Saleh (2005) menguji hubungan antara kinerja perusahaan
dengan corporate governance reporting dengan variabel moderating CEO tenure.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan yang lemah antara kinerja
perusahaan dengan corporate governance reporting dapat dijelaskan karena
perbedaan CEO tenure.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Zuraidah dan Norman M
Saleh (2005) yang dilakukan di Malaysia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya dalam hal pengukuran variabel yang digunakan, periode penelitian dan
lokasi. Motivasi penelitian ini adalah ingin menguji kembali penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya mengenai pengaruh kinerja perusahaan terhadap disclosure.
Penelitian ini ingin menguji hubungan langsung antara kinerja perusahaan dan CEO
tenure terhadap corporate governance (CG) reporting. Pertama, ingin diuji pengaruh
langsung kinerja perusahaan dan CEO tenure terhadap praktek corporate
governance reporting. Yang kedua penelitian ini ingin menguji apakah CEO tenure
memoderasi hubungan antara kinerja perusahaan dengan CG reporting.
Shen (2003) dalam Zuraidah (2005) menyatakan bahwa semakin lama masa
jabatan CEO maka dia akan mengungkapkan lebih rendah praktek corporate
governance karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang
dimilikinya, juga rendahnya pengawasan dari board of director. Sebaliknya masa
jabatan CEO yang lebih pendek, maka lebih besar pengawasan dari board of
director dan stakeholders, belum mempunyai posisi yang aman dilihat dari
kekuasaannya, sehingga akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate
governance.
Kontribusi penelitian ini adalah agar investor memiliki pengetahuan mengenai
kinerja perusahaan dilihat dari corporate disclosure reporting dan CEO tenure.
Selain itu penelitian ini membantu para manajer dapat mengambil keputusan yang
tepat dalam rangka perbaikan kinerja sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai, juga diharapkan penelitian
ini menambah kajian literature tentang hubungan antara kinerja perusahaan dengan
corporate governance disclosure yang tidak konsisten. Dengan menambah
moderating variabel CEO tenure diharapkan penelitian ini dapat berkontribusi pada
manajemen dan perusahaan dalam memberikan perhatian terhadap kinerjanya.
Sistematika pembahasan dalam paper ini adalah pendahuluan, kerangka
teoritis dan pengembangan hipotesis, metodologi penelitian, analisis pembahasan
dan kesimpulan.
Kerangka teoritis
1. Corporate governance Reporting dan Kinerja perusahaan
Pengaruh kinerja perusahaan terhadap disclosure adalah isu dasar dalam
literatur voluntary disclosure (Miller, 2002). Lang & Lundholm (1993) menemukan
bahwa secara keseluruhan perusahaan akan mendisclose lebih banyak dalam tahun
dimana annual earnings sangat tinggi. Namun masih terdapat bukti yang kontradiksi
mengenai hubungan antara kinerja dengan disclosure, misalnya Raffournier (1995)
menemukan bahwa profitability tidak signifikan mempengaruhi voluntary disclosure.
Gonedes, Dopuch, and Penman (1976) meneliti mengenai aturan pengungkapan
dan sejauh mana aturan pengungkapan konsisten dengan alokasi sumber daya
secara optimal.
Verrecchia (1983 dan 1990) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara kinerja perusahaan dan kualitas disclosure. Kinerja yang bagus akan
memotivasi manager untuk mendisclose informasi perusahaan lebih detail
(termasuk praktek corporate governance) agar dapat mendorong posisi yang
berkelanjutan dan insentive yang besar (Raffournier, 1995).
Sebuah survey yang dilakukan oleh McKinsey & Co menunjukkan bahwa
corporate governance menjadi perhatian utama para investor menyamai kinerja
financial dan potensi pertumbuhan, khususnya bagi pasar-pasar yang sedang
berkembang. Investor cenderung menghindari perusahaan yang buruk dalam
penerapan corporate governance (Tjager, dkk :2003).
Salah satu keputusan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan adalah
melakukan pelaporan corporate governance dengan mengungkapkan informasi
kepada para stakeholders. Pengungkapan informasi yang memadai diberikan oleh
perusahaan karena mempunyai kepentingan yaitu adanya harapan mengenai
dampak positif dari pengungkapan informasi yang disampaikan. Manajemen akan
memberikan dan mengungkapkan informasi secara sukarela dipengaruhi oleh biaya
dan manfaat yang diperoleh. Manajemen akan mengungkapkan informasi secara
sukarela bila manfaat yang diperoleh dari pengungkapan informasi tersebut lebih
besar dari biayanya ( Elliot dan Jacobson,1994 dalam Gulo ,2000). Elliot dan
Jacobson (1994) dalam Gulo(2000) menemukan bahwa manfaat pengungkapan
informasi secara sukarela adalah semakin kecilnya biaya modal (cost of capital).
Penelitian tentang kelengkapan pengungkapan (disclosure) dalam laporan
tahunan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah dilakukan oleh beberapa
peneliti seperti Simanjuntak dan Lusy Widiastuti (2004) dan Aryati (2006). Penelitian
Kusumawati dan Bambang Riyanto (2006) berusaha untuk menginvestigasi apakah
investor benar-benar rela membayar premium yang lebih tinggi jika praktek
corporate governance dilaporkan dalam annual report perusahaan.
KNKG (Komite Nasional Kebjakan Governance) telah mengeluarkan
pedoman mengeluarkan pedoman umum tentang good corporate governance di
Indonesia tahun 2006. Pedoman ini diterbitkan untuk menyempurnakan pedoman
yang telah diterbitkan pada tahun 2001. Pada tahun 2006, bapepam juga telah
mengeluarkan peraturan mengenai Corporate governance yang wajib ditaati oleh
perusahaan pada tahun 2008.
Kinerja perusahaan sangat penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan
pengungkapan dan Corporate governance (Zuraidah, 2005). Beberapa penelitian
yang menjelaskan hubungan antara kinerja perusahaan dan pengungkapan seperti
Miller (2002), Lang & Lundholm (1993), dan Darmawati,dkk (2005), menyatakan
bahwa terdapat hubungan struktur corporate governance dengan kinerja
perusahaan dan reaksi pasar. Pendapat ini didukung juga oleh Mayangsari (2003),
Majidah (2004) dan Suranta (2004). Serta penelitian Darmawati (2004), Majidah
(2004), Suranta (2004) yang mengukur struktur Corporate governance dengan
kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan return on asset (ROA) dan return
on equity (ROE). Hal ini dapat dijadikan dasar umum dalam mengembangkan
kerangka kerja dari pengungkapan CG. Walaupun mereka mencoba menguji faktor
lain seperti ukuran perusahaan (Raffourner,1995), dan aktivitas luar negeri dan
biaya kepemilikan (Depoers,2004), earnings management (Chtoutou et al 2001;
Kasznik 1999, Klein A 2002; Siregar, dan Siddharta Utama (2006), kinerja
perusahaan (Darmawati dkk 2005). Arsjah (2002) menggunakan skor dari survei
peringkat CG yang dilakukan IICG dan CLSA sebagai ukuran dari CG. Sedangkan
PBV digunakan sebagai ukuran pengukuran kinerja perusahaan dengan variabel
kontrol yaitu ROE, Growth, dan Beta saham perusahaan.
yang berbeda pada masa jabatan CEO akan mempengaruhi baik pengembangan
kepemimpinan CEO juga kesempatan untuk mengendalikan manajemen. Luasnya
kinerja dan masa jabatan CEO mempengaruhi tingkat pelaporan Corporate
governance belum banyak dilakukan penelitian terhadap hal tersebut. Shen (2003)
menyatakan bahwa semakin lama masa jabatan CEO maka dia akan
mengungkapkan lebih rendah atau lebih sedikit praktek corporate governance
karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang dimilikinya, juga
rendahnya pengawasan dari board of director. Sebaliknya masa jabatan CEO yang
lebih pendek, maka lebih besar pengawasan dari board of director dan stakeholders,
belum mempunyai posisi yang aman dilihat dari kekuasaannya, sehingga akan
mengungkapkan lebih banyak praktek corporate governance. Dalam Zuraidah
(2005) menyatakan bahwa masa jabatan CEO yang lebih pendek akan
mendisclose lebih banyak dibandingkan masa jabatan CEO lebih lama. Variabel
CEO tenure dalam penelitiannya juga menunjukkan prediktor CG Reporting yang
signifikan.
Variabel Kontrol
Terdapat dua variabel kontrol yang akan dimasukkan dalam penelitian ini.
Pertama, seperti Bushman et al. (2004), dalam penelitian ini juga akan dimasukkan
umur perusahaan. Kedua, variabel borrowing juga akan dimasukkan sebagai
variabel control. Borrowing/ gearing diukur dengan total hutang dibagi dengan total
assets (Banhart & Rosenstein, 1998; Hutchinson & Gul, 2004) dalam Zuraidah
(2005).
Oleh karena itu dua variable control yang akan dimasukkan dalam penelitian ini ,
yaitu :
a. Umur perusahaan
Umur perusahaan dapat diukur dengan tepat dari tanggal berdirinya
perusahaan.
b. Borrowing
Pinjaman perusahaan dapat dihitung dengan total utang atas harta.
Variabel Independen:
Variabel Dependen:
Firm Performance
CorporateGovernance
Variabel Control : Reporting
Firms Age
Borrowing
Variabel Moderating :
CEO tenure
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pengujian hipotesis.
Penelitian ini ingin menguji hubungan antara kinerja perusahaan dengan CG
Reporting dengan variabel moderating CEO tenure. Selain itu juga akan dimasukkan
variabel kontrol yaitu : umur perusahaan, tingkat hutang, dan kinerja lingkungan.
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan go publik yang terdaftar di BEJ
pada tahun 2005.
Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga hipotesis yaitu:
H1 :Terdapat korelasi positif antara kinerja perusahaan dengan Corporate
governance Reporting
H2 : Perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih pendek akan mengungkapkan
lebih banyak dalam praktek Corporate governance dibanding dengan
perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih lama.
H3 : Hubungan antara kinerja perusahaan dan pelaporan Corporate
governance
adalah lebih kuat untuk perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih
pendek dibanding dengan masa jabatan CEO lebih lama.
Market Based Performance (return saham) = Closing Price t Cl. Price t-1
Closing Price t-1
Data Harga saham yang tersedia dalam ICMD adalah data bulanan yang
akan dihitung rata-ratanya selama setahun.
3. Moderating Variable
Masa jabatan seorang CEO di suatu perusahaan dapat dihitung dengan
jumlah tahun CEO itu menjabat di posisinya. Mengikuti penelitian sebelumnya
(Pallant, 2001 dan Zuraida , 2005), dalam penelitian ini umur CEO juga diukur
dengan kuadrat dari umur CEO.
4. Control Variable
Dua variabel yang digunakan sebagai variable control di dalam penelitian ini,
adalah :
a. Firms Age
Mengikuti Bushman et.al. (2004) maka dalam penelitian ini dimasukkan umur
perusahaan sebagai variabel control. Umur Perusahaan diukur dari tanggal
berdirinya perusahaan yang diakarkuadratkan ( Pallant, 2001).
b. Borrowing
Pinjaman perusahaan dapat dihitung dengan total utang atas harta.
serius. Data pelaporan corporate governance dihitung dari annual report dan dari
web perusahaan. Data lain diambil dari ICMD, laporan keuangan perusahaan dan
dari annual report.
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 perusahaan.
Tabel 1
Statistik Deskriptif
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
INDEKS 30 .40910 .95450 .5863600 .13150529
BORROW 30 .10450 .83240 .4413600 .18978135
CEO 2.249443
30 1.00000 2.82843 .64861059
1
AGE 5.034060
30 3.00000 7.34850 .99565599
0
ROE 30 .00340 .97100 .1367833 .17796274
RETURNS 30 .00030 .08090 .0114033 .01482901
Valid N
30
(listwise)
Tabel 2
Matriks Korelasi Variabel
Correlations
Tabel 3
Regresi Model 1,Model 2, dan Model 3 dengan kinerja ROE
Efek Utama:
ROE 0.159 0.595
CEO tenure -0.068* -0.036
Interaksi:
ROE x CEO tenure -0.236
Reporting pada level 10%. Dengan kata lain semakin lama umur CEO maka akan
mengungkapkan corporate governance yang lebih sedikit. Hasil ini mendukung
hipotesis kedua. Jika dilihat dari nilai adjusted R square maka terdapat perubahan
adjusted r square sebesar 13.3% antara model 1 dan model 2. Hal ini dapat
dikatakan bahwa model 2 dapat menjelaskan variasi variabel utama dengan lebih
baik. Hasil F statistik model 2 sebesar 2.924 dan signifikan pada level 5%, artinya
secara bersama-sama, variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen.
Model 3 merupakan model yang memasukkan unsur interaksi antara CEO
Tenure dengan ROE. Hipotesis 3 memprediksikan bahwa CEO Tenure memoderasi
hubungan antara ROE dan CG Reporting. Jika dilihat hasil regresi model 3,
koefisien interaksi ternyata tidak signifikan mempengaruhi hubungan ROE dan CG
Reporting dengan koefisien interaksi sebesar -0.236. Hasil ini ternyata tidak
konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zuraidah (2005) di
Malaysia, dimana CEO Tenure memoderasi hubungan antara ROE dan CG
Reporting. Variabel CEO tenure yang pada model kedua hasilnya signifikan, namun
pada model 3 ternyata menjadi tidak signifikan lagi. Variabel kontrol yaitu borrowing
ternyata signifikan mempengaruhi CG Reporting dengan tingkat signifikansi 10%.
Jika dilihat secara keseluruhan dari Model 3 dapat dikatakan bahwa variasi
seluruh variabel independen dan variabel kontrol dapat menjelaskan variasi variabel
CG Reporting sebesar 33.5%, sedangkan sisanya sebesar 66.5% dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak masuk dalam model. Dari Uji F, dapat dilihat bahwa secara
bersama-sama variabel independen dan variabel kontrol dapat menjelaskan variabel
CG Reporting dengan signifikansi 10%.
Jika sebelumnya kinerja perusahaan diproksikan dengan ROE, maka berikut
ini kinerja perusahaan diproksikan dengan return saham. Tabel 4 menunjukkan hasil
pengujian regresi antara efek utama, interaksi, dan CEO tenure terhadap CG
Reporting dengan tiga tahap regresi. Model pertama hanya memasukkan variable
control yaitu umur perusahaan dan borrowing. Model kedua menambahkan variable
utama yaitu returns saham dan CEO Tenure; dan Model 3 memasukkan variable
interaksi antara Returns saham dan CEO Tenure.
Tabel 4
Regresi Model 1, Model 2 dan Model 3 dengan Kinerja Returns
1 CGIX = +1 Age + 2Borrowing+ .(1)
2. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 Returns
+ 4 CEO + (2)
3. CGIX = + 1 Age + 2 Borrowing + 3 Returns
+ 4 CEO + 5 Returns x CEO + .(3)
Efek Utama:
Returns 1.914 7.274
CEO tenure -0.068* -0.035
Interaksi:
Returns x CEO -2.899
tenure
Pembahasan
Pengujian H1 dan H2
Regresi bertahap dengan tiga model digunakan untuk menguji Hipotesis 1
dan Hipotesis 2. Dalam Hiptesis 1, Kinerja perusahaan mempunyai hubungan
positif dengan CG Reporting, digunakan dua pengukuran yang berbeda, yaitu
kinerja akuntansi dan kinerja saham. Hasilnya menunjukkan bahwa jika digunakan
kedua kinerja tersebut, maka Kinerja perusahaan berhubungan positif dengan CG
Reporting tetapi tidak signifikan. Oleh karena itu, kedua variabel pengukuran kinerja
tersebut tidak dapat mendukung hiptesis pertama. Hasil ini konsisten dengan
Raffournier (1995), Labelle (2002), dan Zuraidah (2005) yang menemukan
hubungan yang lemah antara kinerja perusahaan dengan disclosure.
Penelitian ini juga ingin melihat efek CEO tenure dan kinerja perusahaan
dalam mempengaruhi CG Reporting. H2 menyatakan bahwa semakin pendek umur
CEO akan mendisclose lebih banyak dibandingkan dengan Umur CEO yang lebih
panjang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa CEO Tenure merupakan variabel
yang signifikan mempengaruhi CG Reporting. Dalam tahap awal umurnya, sebagian
besar manager menggunakan waktunya untuk beradaptasi dengan perubahan, dan
untuk memahami operasi dan orang-orang yang mendukung perusahaan. Sesuai
dengan adverse selection dan information asymetry, hasil ini mendukung, bahwa
manager yang muda akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate
governance. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepercayaan stakeholders
kepadanya, dan akhirnya dia dalam posisi yang aman dalam pekerjaannya maupun
promosi yang lebih baik. Oleh karena itu, CEO yang baru cenderung untuk
mendisclose lebih banyak dibandingkan dengan CEO yang lama.
Keterbatasan
1. Penelitian ini menggunakan sampel yang sedikit karena keterbatasan waktu.
Diharapkan penelitian berikutnya menambah jumlah sampel dan jenis industri
agar kesimpulan lebih dapat digeneralisasikan.
2. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel size sebagai variabel utama yang
mempengaruhi disclosure, seperti Raffournier (1995) dan Depoers (2000),
sehingga penggunaan variabel size sebagai variabel utama dapat
dipertimbangkan.
3. Pengukuran variabel CG Reporting juga mempunyai keterbatasan karena
perdebatan yang panjang.
Saran
1. Penelitian berikutnya dapat dipertimbangkan faktor-faktor organisasional yang
lain, seperti heterogenitas team manajemen perusahaan, umur dan kepemilikan
perusahaan. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian mengenai earnings
manajemen yang dikaitkan dengan CEO Tenure.
2. Perlu juga dipertimbangkan mengenai kapan dan bagaimana perusahaan
tertentu mempunyai kualitas disclosure yang lebih baik dibandingkan
perusahaan yang lain, sehingga dapat diketahui pengaruh langsung atau tidak
langsung CG Reporting dalam isu corporate Governance dapat lebih dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Aryati, Titik., 2006. Pengaruh Leverage, Saham Publik, dan Reputasi Auditor
terhadap Disclosures. Jurnal Akuntansi. Th X/02/Mei/2006 Universitas
Tarumanagara. Jakarta.
__________, dan Nindhita Gita Meidiyani, 2005. Analisis Hubungan antara Struktur
Corporate governance dengan Nilai Perusahaan dan Kinerja
Keuangan.Jurnal Ekonomi STEI, Jakarta.
Darmawati, Deni., Rika Gelar Rahayu. 2004. Hubungan Corporate governance dan
kinerja perusahaan. Simposium Nasional Akutansi VII . Denpasar Bali, hal.
391-405.
Damiri, Mas Achmad. 2005. Good Corporate governance Konsep dan Penerapan
dalam Konteks Indonesia. Gloria Printing, Jakarta.
Jensen, M.C, & Meckling, W.H. 1976. Theory of the Firm : Managerial Behavior,
Agency cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics,3:305-
360.
Kusumawati, Dwi Novi dan Bambang Riyanto Ls. 2006. Transparency and
Corporate governance : Analysis of Factors Affecting Transparancy and Its
Effect on Market Value of the Firm. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 9.
No 2 Mei 2006.115-135.
Majidah. 2004. Hubungan Kausalia Mekanisme dan Proses Tata Kelola Perusahaan
Serta Kineja Keuangan. Proceding Konfrensi Nasional Akutansi, Topik
Akutansi Keuangan, Sesi II. Universitas Trisakti, Jakarta, hal 1-14.
Silveira and Barros .2006. Corporate governance Quality and Firm Value in Brazil.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=923310
Solomon, Jill dan Aris Solomon. 2004. Corporate Governance and Accountability.
John Willey and Son.
Vinola Herawaty
Dosen Universitas Trisakti sedang menempuh Program Doktor Ilmu Akuntansi
Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Abstract
This study extends the prior research on corporate governance and voluntary
disclosure and examines whether corporate governance and voluntary disclosure
have impacts to the informativeness of earnings, proxied by the earnings response
coefficient. Corporate Governance Practice is proxied by Institusional Ownership,
Independent Directors, Manajerial Ownership and Audit Quality. The hypothesis is
that there is a positive association between corporate governance practice and the
informativeness of earnings and there is a negative association between voluntary
corporate disclosure and the value relevance of earnings. The sample consist of 63 firms
year of companies listed on The Jakarta Stock Exchange in the year period of 2004-
2006. To test the hypothesis, cumulative abnormal returns was regressed against current
earnings changes , corporate governance practice and disclosures index level. The
result suggests a positif association between ERC and two corporate governance
practices: Independent Directors and Manajerial Ownership; and negative
association between audit quality and ERC. On the other hand, there is no evidence
suggesting association between ERC and the other corporate governance practice;
Institusional Ownership and voluntary disclosure. It means that Institusional
Ownership and Voluntary Disclosure have no effect on the value relevance of
Earnings The posibble reason is that the market believes that institusional ownership
of the company does not improve the monitoring ability to the management and do
not reduce managements ability to manipulate earnings.The other posibble reason
for the insignificant association of that voluntary disclosures with earning response
coefficient because in annual report insufficiently revealed the information about the
future prospect of the company.
1. Pendahuluan
4. Kualitas audit
Beberapa peneliti sebelumnya menunjukan bahwa auditor menawarkan
berbagai tingkat kualitas audit untuk merespon adanya variasi permintaan klien
terhadap kualitas audit (Watts dan Zammerman 1986). Penelitian ini membedakan
kualitas auditor berdasarkan big 4 dan nonbig 4. Teoh dan Wong (1993)
barargumen bahwa kualits audit berhubungan positif dengan kualitas earnings, yang
diukur dengan earnings response coefficient (ERC). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas audit, yang diproksikan
dengan brand name big 8 vs non-big eight, dengan ERC. Penelitian yang dilakukan
Becker dkk (1998) menemukan bahwa klien dari auditor Non Big 6 melaporkan
discretionary accrual yang secara rata-rata lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh
klien auditor Big 6. Berarti dapat disimpulkan klien dari auditor non Big 6 cenderung
lebih tinggi dalam melakukan earnings management yang menyebabkan kualitas
laba yang rendah. Karena pada saat penelitian ini Big 6 telah berubah menjadi Big
4, juga diduga bahwa klien dari auditor non Big 4 cenderung menghasilkan kualitas
audit yang rendah. Rendahnya kualitas audit ini juga diprediksi dihasilkan oleh
perusahaan auditan dengan kualitas laba yang rendah. Sehingga jika dikaitkan
dengan ERC maka, kualitas audit yang tinggi yang berasosiasi positif dengan
kualitas laba juga akan berasosiasi positif dengan respon pasar.
Hipotesa 4 ERC berasosiasi positif dengan Kualitas Audit
harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal disuatu
negara. Sedangkan ungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi
melebihi persyaratan minimum dari peraturan pasar modal yang berlaku.
Perusahaan memiliki keleluasaan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam
laporan tahunan sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas
ungkapan sukarela antar perusahaan.
Ungkapan dalam penelitian ini terbatas pada ungkapan sukarela dalam
laporan tahunan, dengan asumsi bahwa jumlah informasi sukarela yang ditemukan
dalam laporan tahunan menjadi proksi bagi jumlah ungkapan keseluruhan yang
disediakan oleh perusahaan. Asumsi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Lang
dan Lundholm (1993) bahwa terdapat korelasi rank-order yang signifikan antara
ungkapan dalam laporan tahunan (annual report disclosures) dengan ungkapan
publikasi lain (other publication disclosures) dan ungkapan hubungan investor
(investor relations disclosure). Penggunaan istilah luas ungkapan dalam penelitian
ini mencakup kuantitas dan kualitas ungkapan. Hal ini didasarkan pada asumsi dan
hasil beberapa penelitian bahwa kuantitas dan kualitas ungkapan secara positif
berhubungan (Botosan, 1997).
Beberapa penelitian tentang topik ini menggunakan indeks ungkapan
(disclosure index) sebagai indikator empiris luas ungkapan. Indeks ungkapan
merupakan rasio antara jumlah elemen (item) informasi yang dipenuhi dengan
jumlah elemen informasi yang mungkin dipenuhi. Makin tinggi angka indeks
ungkapan, makin tinggi luas ungkapan.
Cakupan elemen informasi dalam laporan tahunan yang digunakan untuk
menghitung indeks ungkapan bervariasi antar peneliti satu dengan peneliti lainnya.
Cooke (1992) menggunakan 165 elemen, Botosan (1997) menggunakan elemen,
Susanto (1994) menggunakan 30 elemen, Subiyantoro (1997) menggunakan 89
elemen, dan Suripto (1998) menggunakan 33 elemen. Jumlah elemen informasi
yang digunakan oleh Susanto (1994) dan Suripto (1998) relatif sedikit karena hanya
memfokuskan pada ungkapan sukarela.
sedikit informasi tentang nilai perusahaan sehingga asimetri informasi tetap lebih
tinggi. Oleh karena itu, dengan tujuan mengurangi asimetri informasi, ungkapan
akan lebih banyak pada perusahaan yang memiliki korelasi earning-return lebih
rendah atau dengan kata lain korelasi earnings-return berhubungan negatif dengan
luas ungkapan.
Gelb dan Zarowin (2000) menguji hubungan antara luas ungkapan sukarela
dan keinformatifan harga saham. Penelitian ini menghipotesiskan bahwa semakin
banyak ungkapan, semakin tinggi keinformatifan harga yang diukur dengan future
ERC, ceteris paribus. Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, penelitian ini
menemukan bahwa future ERC untuk perusahaan high disclosers secara signifikan
lebih besar daripada future ERC untuk perusahaan low disclosers.
Gelb dan Zarowin (2000) tidak secara khusus menguji hubungan luas
ungkapan sukarela dengan current ERC. Mereka menyatakan bahwa pengaruh
keinformatifan ungkapan terhadap current ERC mungkin positif atau negative.
Menurutnya, pengaruh luas ungkapan terhadap current ERC mungkin positif, karena
biasanya perusahaan yang banyak mengungkapkan informasi (high discloser firms)
adalah perusahaan yang memiliki kabar baik (good news). Basu (1997) menemukan
bahwa good news firms memiliki laba yang lebih persisten dan ERC yang lebih
tinggi dibanding bad news firms. Alternative lainnya, pengaruh luas ungkapan
terhadap current ERC mungkin negatif dengan alasan bahwa informasi yang
terkandung dalam laba sekarang telah tercermin dalam harga saham periode
sebelumnya.
Hipotesa 4 Earnings Response Coefficient berasosiasi negatif
dengan Luasnya pengungkapan sukarela.
3. Metode Penelitian
1. Perusahaan non keuangan yang telah listing di Bursa Efek Jakarta tahun 2004,
2005, dan 2006.
2. Perusahaan yang menerbitkan laporan tahunan (annual report) yang berakhir
pada tanggal 31 Desember selama periode pengamatan 2004, 2005, dan 2006.
3. Perusahaan memiliki data pasar dan data keuangan lengkap
Pengambilan data secara acak diperoleh data sebanyak 63 perusahaan untuk 3
periode tahun pengamatan.
1. Variabel Penelitian
merupakan variabel dependen dalam model penelitian. CAR merupakan proksi dari return
saham yang menunjukkan besarnya reaksi pasar terhadap informasi pengumuman laba
Perhitungan CAR adalah sebagai berikut: CAR = ARit
Periode CAR adalah 1 hari sebelum tanggal pengumuman laba, 1 hari tanggal pengumuman
laba dan 1 hari setelah tanggal pengumuman laba.
Sesuai dengan Pincus (1993), estimate abnormal returns dalam penelitian ini
diperoleh menggunakan model disesuaikan-pasar (market-adjusted model) yang
menganggap bahwa penduga terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas
adalah return indeks pasar. Perhitungan abnormal return dilakukan dengan rumus-
rumus berikut : AR i,t = R i,t - Rmt
Keterangan:
AR i,t = abnormal return untuk perusahaan i ke t.
R i,t = return harian saham perusahaan i pada hari t
Rmt = return indeks saham pada hari t.
2. VARIABEL INDEPENDEN
1. Unexpected Earnings (UE).
Unexpected Earnings didefinisi sebagai selisih laba akuntansi yang direalisasi
dengan laba akuntansi yang diekspektasi oleh pasar. Penelitian ini menggunakan
model random walk sebagai proksi ekspektasi laba oleh pasar sehingga ekspektasi
laba adalah laba aktual tahun sebelumnya. Variabel ini diukur sesuai dengan
penelitian Kalapur (1994) :
(E it - E t-1 )
UE i,t =
Pt-1
Komisaris Independen
Komisaris independen yang memiliki sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah seluruh anggota komisaris, berarti telah memenuhi pedoman
good corporate governance guna menjaga independensi, pengambilan keputusan
yang efektif, tepat, dan cepat. Komisaris Independen diukur dengan persentase
komisaris independen dibanding total dewan komisaris yang ada
Kualitas Audit
Untuk mengukur kualitas audit digunakan Ukuran Kantor Akuntan Publik
(KAP). Jika perusahaan diaudit oleh KAP Besar pada saat penelitian ini yaitu KAP
Big4 maka kualitas auditnya tinggi dan jika diaudit oleh KAP Non Big 4 (KAP kecil)
maka kualitas auditnya rendah. Banyak penelitian menemukan kualitas audit
berkorelasi positif dengan kredibilitas auditor dan berkorelasi negatif dengan
kesalahan laporan keuangan. Laporan keuangan yang berkualitas merupakan salah
satu elemen penting dari Corporate Governance. Kualitas Audit diukur dengan
dummy variable dengan nilai 1 jika diaudit oleh KAP Big 4 dan 0 sebaliknya
1. Persistensi Laba
Persisten digunakan untuk melihat harapan seberapa jauh peningkatan dari
laba saat ini bertahan di masa yang akan datang. Kormendi dan Lipe (1987)
menemukan bahwa ERC akan lebih tinggi untuk perusahaan dengan Unexpected
Current Earnings yang memiliki persistensi di masa datang. Oleh karena itu
diprediksi terdapat hubungan positif antara ERC dan Persistensi.
Penelitian ini menggunakan koefisien regresi dari regresi antara laba periode
sekarang dengan peride sebelumnya, seperti digunakan oleh Kormendi dan Lipe
(1987), dan dihitung menggunakan laba triwulan selama 12 triwulan dari tahun
2002-2006. Adapun persamaan regresinya adalah
Xit = + i Xt-1 + i
2. Risiko Sistematis
Diprediksi hubungan Beta terhadap ERC adalah negatif, sejalan dengan
meningkatnya resiko perusahaan, pasar bereaksi negatif terhadap Unexpected
Earnings.
Beta diestimasi menggunakan model pasar selama satu tahun, yang dihitung
berdasarkan persamaan Ri = i + i.Rm + ei
Dimana i adalah beta sekuritas i
Rit adalah return perusahaan i pada periode t
Rmt adalah return pasar pada periode t
4.Leverage
Leverage diprediksikan berhubungan negative dengan ERC (Biddle dan
Seow, 1991). Dhaliwal et.al (1991) juga menemukan ERC yang lebih rendah untuk
perusahaan dengan tingkat leverage tinggi dari perusahaan dengan tingkat leverage
rendah. Oleh karena itu, tingkat keinformatifan earnings berhubungan dengan
besarnya hutang. Leverage diukur berdasarkan rasio total hutang dengan total
ekuitas perusahaan.
5. Size
Perusahaan yang besar cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi
sehingga harga pasar saham cenderung merupakan penjumlahan semua informasi
yang diketahui publik, dimana informasi tersebut termasuk informasi akuntansi dan
informasi non akuntansi. Konsekwensinya semakin informatif harga saham, maka
semakin kecil muatan informasi laba saat ini. Chaney dan Jeter (1991) menunjukkan
bahwa besaran perusahaan berpengaruh negatif terhdap ERC. Hal ini bertentangan
dengan pendapat Easton dan Zmijweski (1989) menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan bukan variabel penjelas yang signifikan untuk ERC. Ukuran
Perusahaan diukur dengan Log natural dari asset.
Model yang digunakan untuk memperoleh ERC dalam pengujian hipotesis penelitian
ini adalah metode cross sectional regression seperti model yang pernah digunakan oleh
Gelb dan Zarowin (2000), Teets dan Wasley (1996), Widiastuti (2002), dan Syafrudin
(2004).. Dengan metode cross sectional, CAR dan UE seluruh sampel diregresikan,
sehingga diperoleh satu estimasi ERC. Menurut metode ini, ERC tidak diperlakukan
secara khusus sebagai variabel dependen yang diregresikan dengan praktek CG
dan ungkapan sukarela, tetapi untuk melihat hubunean ERC dengan praktek CG dan
ungkapan sukarela dilihat dari arah dan signifikansi koefisien regresi 12 sampai dengan
16 (koefisien interaksi unexpected earnings dengan praktek CG dan disclosures
index yang diregresikan dengan cumulative abnormal return)
CARit =0 + 1 UEit + 2 Discit +3 KIit + 4 KAit+ 5 Instit+6 KM it+7 UPit
+8 Beta +9 Levit +10 Growthit +11 Persistit++ 12UEit KIit +
13UEitKAit+ 14 UE it Instit++15 UE it KM it+ 16 UE it Discit +17 UE it
UPit +19 UE it Beta +20 UE it Levit +21 UEit Growthit +22 UE it
Persistit+ it
Keterangan:
CAR = Cumulaive Abnormal Return perusahaan I
pada t-1 sampai t+1
UE = Unexpected Earnings
KI = Komisaris Independen = persentase
komisaris independen dibanding total
dewan komisaris yang ada
KM = Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat
kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA = Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP
Big 4 dan o sebaliknya
Inst = Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat
Analisis Hasil
Komisaris Independen pada saat pengumuman laba. Dengan kata lain pada
saat pengumuman laba, investor memandang besarnya komisaris independen
memberi manfaat bagi investor karena dianggap dapat memonitor manajemen
dengan baik. Demikian hanya dengan Kepemilikan Manajerial yang berasosiasi
positif menandakan investor merespon secara positif adanya kepemilikan manajerial
pada saat pengumuman laba tersebut karena yakin kepemilikan manajerial dapat
menyelaraskan perbedaan kepentingan dengan investor dan manajemen. Selain itu
variabel kontrol yang , berasosiasi dengan ERC adalah Persisten dan Leverage,
arah koefisien keduanya sesuai prediksi. Perusahaan yang memiliki persistensi
tinggi akan meningkatkan respond investor pada saat pengumuman earnings,
sedangkan perusahaan dengan leverage yang tinggi akan memiliki nilai ERC yang
rendah, menandakan pelaku pasar kurang merespond saham perusahaan dengan
leverege yang tinggi. Pengungkapan Sukarela tidak berpengaruh signifikan terhadap
ERC,menunjukkan bahwa investor belum merespon pengungkapan sukarela yang
diinformasikan oleh perusahaan ketika terjadi pengumuman laba, konsisten dengan
penelitian Yeterina (2006). Kemungkinan hal ini disebabkan tidak dicerminkannya
informasi yang tersedia dalam pengungkapan sukarela kurang memberikan prospek
perusahaan. (Widiastuti, 2002)
Kesimpulan
Motivasi penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh Praktek Corporate
Governance dan Luas Pengungkapan Sukarela terhadap keinformatifan Earnings
yang diproksi dengan ERC.
Hasil penelitian membuktikan terdapa asosiasi positif antara ERC dengan 2
proksi Praktek Corporate Governance yaitu Komisaris Independen dan Kepemilikan
Manajerial. Penelitian juga menemukan adanya hubungan negatif antara kualitas
audit dan ERC. Kedua hasil penelitian tersebut membuktikan praktek Corporate
Governance direspon oleh investor pada saat pengumuman laba dengan reaksi
yang berbeda, walaupun tidak sepenuh semua praktek Corporate Governance
memiliki asosiasi dengan ERC seperti Kepemilikan Institusional. Ketidaksignifikan
kepemilikan institusional mungkin disebabkan pada perusahaan sampel belum
banyak yang memiliki kepemilikan institusional. Pengungkapan Sukarela yang
diprediksi memiliki asosiasi negatif dengan ERC juga tidak terbukti, menunjukkan
pasar belum / mungkin juga tidak merespon luasnya pengungkapan sukarela, yang
mungkin disebabkan pengungkapan sukarela tersebut belum mengungkapkan
informasi yang berhubungan dengan prospek perusahaan di masa yang akan
datang.
1. Penelitian ini hanya menggunakan satu periode pengamatan yaitu 3 hari (t-1
sampai dengan t+1), sehingga ada kemungkinan investor belum merespon
atas pengumaman laba. Penelitian selanjutnya dapat mencoba dengan
mengganti periode pengamatan.
2. Unsur subyektivitas dalam pengukuran indeks pengungkapan sukarela.
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menentukan cara lain yang lebih
objektivitas dalam pengukuran indeks pengungkapan sukarela.
3. Jumlah sampel dan periode tahun yang digunakan dalam penelitian yang
hanya berjumlah 63 perusahaan dan 3 tahun, untuk penelitian selanjutnya
dengan menambah sampel dan jangka waktu penelitian.
4. Variabel praktek Corporate Governance yang digunakan hanya
menggunakan empat proksi praktek Corporate Governance saja, karena
peneliti belum berhasil mendapatkan indeks terbaru, maka digunakan 4
proksi tersebut. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan Corporate
Governance Index yang terbaru dikeluarkan oleh Forum ICGI,
Tabel 1
Descriptive Statistics
Proporsi Proporsi
Dummy=1 Dummy=0
Kepemilikan Institusional 28.57% 71.4%
KA 52.24% 47.62%
Kepemilikan Manajerial 19.05% 80.95%
Keterangan:
CAR = Cumulaive Abnormal Return perusahaan I
pada t-1 sampai t+1
UE = Unexpected Earnings
Tabel 2
Korelasi Pearson
CAR KOMI OWN KA KM UE DISC GRO UP BET PER LEV
ND INS WTH A S
CAR 1.000 - 0.069 0.11 - - 0.162 0.83 0.266 - 0.052 0.36
0.008 0.296 0.466 0.24 0.129 0.103 0.258 0.017 0.008 0.341 0.389
0.476 5 0.157 ** 0.475
0.02
6**
UE - 0.237 - - - 1.000 0.163 0.005 0.037 0.023 - 0.069
0.245 0.031 0.173 0.170 0.09 0.102 0.484 0.387 0.429 0.040 0.296
0.157 ** 0.088 0.092 5 0.377
* * 0.23
0
0.008 0.107 0.019 0.089 9 0.429 0.072 0.048 0.096 0.451 0.389
0.475 0.203 0.441 0.245 0.06 0.287 0.015 0.227
9*
Pers 0.052 - - 0.401 - - 0.113 0.063 0.388 - 1.000 -0164
0.341 0.021 0.166 0.001 0.29 0.040 0.189 0.311 0.001 0.096 0.451 0.398
0.434 0.097 *** 9 0.377 *** 0.227
* 0.00
9***
Lev 0.036 0.139 0.046 - - 0.069 0.092 - 0.199 0.016 - 1.000
0.389 0.138 0.361 0.011 0.09 0.296 0.236 0.040 0.059 0.451 0.164 0.200
0.465 2 0.379 0.100
0.23
7
*** signifikan 1%, ** signifikan 5%, signifikan 10% (two tail)
Angka diagonal merupakan korelasi Pearson
Angka dicetak tebal menunjukkan p-value dari koefisien korelasi
CAR = Cumulaive Abnormal Return perusahaan I
pada t-1 sampai t+1
UE = Unexpected Earnings
KI = Komisaris Independen = persentase
komisaris independen dibanding total dewan
komisaris yang ada
KM = Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat
kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA = Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP Big 4
dan o sebaliknya
Inst = Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat
kepemilikan institusional dan o sebaliknya
Disc = Indeks Pengungkapan Sukarela atas
laporan tahunan perusahaan.
UP = Ukuran Perusahaan diukur dengan Log
natural dari asset
Lampiran
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients 95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF
1 (Constant) -.452 .199 -2.278 .028 -.853 -.051
KOMINS -.058 .132 -.064 -.437 .664 -.323 .208 -.008 -.068 -.049 .574 1.741
OWNINS .060 .027 .351 2.216 .032 .005 .114 .069 .327 .247 .494 2.025
KA .000 .022 -.003 -.021 .983 -.044 .044 .011 -.003 -.002 .619 1.614
KM -.052 .029 -.267 -1.802 .079 -.111 .006 -.245 -.271 -.201 .564 1.772
UE -.546 3.125 -.952 -.175 .862 -6.856 5.765 -.129 -.027 -.019 .000 2397.167
DISC .391 .330 .169 1.185 .243 -.275 1.056 .162 .182 .132 .607 1.647
GROWTH .000 .002 .010 .081 .936 -.003 .004 .083 .013 .009 .779 1.284
UP .017 .008 .307 2.024 .050 .000 .033 .266 .301 .225 .539 1.856
BETA .012 .018 .107 .632 .531 -.025 .049 -.008 .098 .070 .431 2.320
PERS -.011 .024 -.071 -.473 .639 -.060 .037 .052 -.074 -.053 .557 1.796
LEV -.073 .046 -.229 -1.598 .118 -.165 .019 .036 -.242 -.178 .605 1.653
UUXKOMIN 2.610 1.027 2.199 2.540 .015 .535 4.685 -.063 .369 .283 .017 60.430
UEXOWNIN -.547 .368 -.614 -1.485 .145 -1.290 .197 -.226 -.226 -.165 .072 13.796
UEXKA -.755 .389 -.630 -1.941 .059 -1.540 .031 -.054 -.290 -.216 .118 8.487
UEXKM .914 .407 .602 2.243 .030 .091 1.736 .068 .331 .250 .172 5.800
UEXDISC -.193 3.626 -.201 -.053 .958 -7.516 7.129 -.121 -.008 -.006 .001 1141.454
UEGROWTH .015 .038 .072 .385 .702 -.062 .091 .035 .060 .043 .351 2.845
UEXUP .068 .154 1.531 .441 .661 -.242 .378 -.123 .069 .049 .001 970.909
UEXBETA -.107 .158 -.204 -.676 .503 -.426 .212 -.111 -.105 -.075 .136 7.362
UEXPERSI .837 .411 .600 2.038 .048 .008 1.666 .148 .303 .227 .143 6.996
UEXLEV -2.266 .824 -2.322 -2.750 .009 -3.929 -.602 -.067 -.395 -.306 .017 57.486
a. Dependent Variable: CAR
Model Summaryb
Change Statistics
Adjusted Std. Error of R Square Durbin-W
Model R R Square R Square the Estimate Change F Change df1 df2 Sig. F Change atson
1 .701a .492 .231 .06799 .492 1.888 21 41 .040 1.994
a. Predictors: (Constant), UEXLEV, UP, GROWTH, LEV, OWNINS, BETA, UEXKM, KA, DISC, KOMINS, PERS, KM, UEXPERSI, UEGROWTH,
UEXOWNIN, UEXBETA, UEXKA, UUXKOMIN, UEXUP, UEXDISC, UE
b. Dependent Variable: CAR
ANOVAb
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .183 21 .009 1.888 .040a
Residual .190 41 .005
Total .373 62
a. Predictors: (Constant), UEXLEV, UP, GROWTH, LEV, OWNINS, BETA, UEXKM, KA,
DISC, KOMINS, PERS, KM, UEXPERSI, UEGROWTH, UEXOWNIN, UEXBETA,
UEXKA, UUXKOMIN, UEXUP, UEXDISC, UE
b. Dependent Variable: CAR
Uji heteroskedasitas
White Heteroskedasticity Test:
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 05/30/08 Time: 12:49
Sample: 1 63
Included observations: 63
Daftar Pustaka
Balsam, S., E. Bartov and C. Marquardt. (2002). Accrual Management, Investor
Sophisticated, and Equity Valuation: Evidence from 10-Q Fillings. Journal of
Accounting Research Vol.40 No.4, p.987-1012.
Jehsen, Michael C. & W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behaviuor, Agency Cost and Ownwership Structure. Journal of Financial
Economics 3. pp. 305-360.
Kallapur, Sanjay. 1994. Dividend pay out ratio as determinants of earnings response
coefficient. Journal Accounting and Economics 15; 143-171
Kothari,S.P dan Richard G.Sloan. 1992. Information in prices about future earnings:
Implication for Earnings Response Coefficient. Journal of Accounting and
Economics 15; 143-171
Lipe, R.C. 1990. The relation between stock return, accounting earnings and
alternative information. The accounting review (january): 49-71
Scott, William R. (2006). Financial Acconting theory. 4th Edition. Canada Inc :
Pearson Education.
Sloan, Richard G. (1996). Do Stock fully Reflect Information in Accrual and Cash
Flow About Future Earning, the Accounting Review, p.289-315.
Teoh, Siew Hong dan T,J Wong. 1993. Perceived Auditor Quality and the Earnings
Response Coefficient. The Accounting Review; 346-366.