Professional Documents
Culture Documents
Muhammad Yamin
Dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 dalam pidatonya Mr. M. Yamin menyampaikan 5
rumusan dasar Negara, yakni:
Peri Kebangsaan.
Peri Kemanusiaan.
Peri Ketuhanan.
Peri Kerakyatan.
Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya Mr. Muhammad Yamin menyampaikan rumusan naskah Rancangan UUD yang di
dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara berikut ini:
Katuhanan Yang Maha Esa.
Kebangsaan Persatuan Indonesia.
Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Perumusyawaratan Perwakilan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Panitia 9 mengadakan rapat bersama dengan 38 anggota BPUPKI di kantor Besar Jawa Hookookai.
Panitia kecil bertugas menggolong-golongkan dan memeriksa catatan tertulis selama persidangan.
Selanjutnya dibentuk lagi satu Panitia Kecil yang anggota-anggotanya terdiri dari Drs. Mohammad
Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, Kiai Abdul Kahar
Moezakkir, K. H. A. Wachim Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim. Panitia Kecil atau
panitia 9 inilah yang pada akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Rumusan akhir
Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 atau tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan ditentukanlah
rumusan akhir yang mengakhiri proses perumusan pancasila dengan hasil pancasila sebagai berikut:
Faktor pertama sampai ke empat merupakan pembentukan bangsa alami, sedangkan faktor
yang ke lima merupakan pembentukan bangsa buatan atau bangsa negara.
Persamaan asal keturunan bangsa (ethnic) : bangsa Indonesia berasal dari rumpun
bangsa melayu yang merupakan bagian dari ras mongoloid dan kemudian diperkaya
oleh variasi pencampuran antar ras.
Menurut Teori Antropologi, Bangsa Melayu berasal dari percampuran dua bangsa,
yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu adalah ras Mongoloid,
diperkirakan bermigrasi ke Nusantara sekitar tahun 2500-1500 SM, kemungkinan
mereka berasal dari daerah : Provinsi Yunnan di selatan Cina, New Guinea atau
Kepulauan Taiwan.
Sementara Bangsa Deutero Melayu berasal dari dataran Asia Tengah dan Selatan,
yang datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 SM. Diperkirakan kedatangan
Deutero Melayu membawa pengaruh budaya India yang kuat dalam sejarah
Nusantara dan Asia Tenggara.
Persamaan Pola kebudayaan : terutama cara hidup sebagai suku-suku bangsa petani
dan pelaut dengan segala adat-istiadat dan pranata sosialnya; manifestasi persamaan
kebudayaan itu jelas nyata dalam wujud persamaan bahasa nasional : Bahasa
Nasional
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para
pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah
bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18
Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar
1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah
dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan
Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun
683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur
berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M
(Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa
Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah
(Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai
bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap
para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama
Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), Kouen-louen (Ferrand, 1919),
Kwenlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kunlun (Parnikel, 1977:91), Kun-lun (Prentice,
1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah
bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu
nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-
16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu,
Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Persamaan tempat tinggal yang disebut dengan nama khas tanah air, Nusantara, yakni
tanah tumpah darah seluruh bangsa yang merupakan satu kesatuan wilayah laut yang
di dalamnya terhimpun berpuluh-puluh ribu Pulau
Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut
Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara
(Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa
(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke
Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri
dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas
antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Semenanjung Asia Selatan
mereka sebut Hindia Muka dan daratan Asia Tenggara dinamai Hindia Belakang.
Sedangkan tanah air memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian
Archipelago, lArchipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes
Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah Kepulauan Melayu (Maleische
Archipel, Malay Archipelago, Archipel Malais).
Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-
Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia,
yaitu Insulinde, yang artinya juga Kepulauan Hindia (bahasa Latin insula berarti
pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang
dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama
untuk . Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam
berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan
oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu
diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara,
maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu nusa di antara dua benua dan dua
samudra, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah
nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai
alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Pada tahun 1847 ,Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia
(nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). tetapi lebih senang menggunakan
Malayunesia