You are on page 1of 7

Rumusan pancasila Mr.

Muhammad Yamin
Dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 dalam pidatonya Mr. M. Yamin menyampaikan 5
rumusan dasar Negara, yakni:
Peri Kebangsaan.
Peri Kemanusiaan.
Peri Ketuhanan.
Peri Kerakyatan.
Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya Mr. Muhammad Yamin menyampaikan rumusan naskah Rancangan UUD yang di
dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara berikut ini:
Katuhanan Yang Maha Esa.
Kebangsaan Persatuan Indonesia.
Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Perumusyawaratan Perwakilan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Rumusan Pancasila Mr. Soepomo


Dalam sidang kedua, pada tanggal 31 Mei 1945, Mr. Soepomo berkesempatan menyampaikan
rumusan 5 dasar negara, yaitu berbunyi sebagai berikut:
Paham Negara Kesatuan.
Perhubungan Negara dengan Agama.
Sistem Badan Permusyawaratan.
Sosialisasi Negara.
Hubungan antara-Bangsa.
bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak
masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatside) negara yang
integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya. Yang mengatasi seluruh golongannya
dalam lapangan apa pun. [paham Integralistik dalam pidato Mr. Soepomo]

Rumusan Pancasila Ir. Soekarno


Selanjutnya pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yakni sebagai
berikut:
Kebangsaan Indonesia.
Internasionalisme atau perikemanusiaan.
Mufakat atau demokrasi.
Kesejahteraan sosial.
Ketuhanan yang berkebudayaan.

Rumusan Pancasila Panitia 9


Dalam sidang PPKI (pengganti dari BPUPKI) tanggal 22 Juni 1945 panitia 9 memberi usulan rumusan
dasar negara yang di ilhami dari berbagai pendapat sebelumnya:
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemerintah pemeluknya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Susunan panitia 9
Ketua: Ir. Soekarno.
Anggota:
K. H. A. Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
Mr. A. A. Maramis
M. Soetarjdo Kartohadikoesomo
R. Otto Iskandar Dinata
Drs. Mohammad Hatta
K. Bagoes H. Hadikoesomo.

Panitia 9 mengadakan rapat bersama dengan 38 anggota BPUPKI di kantor Besar Jawa Hookookai.
Panitia kecil bertugas menggolong-golongkan dan memeriksa catatan tertulis selama persidangan.
Selanjutnya dibentuk lagi satu Panitia Kecil yang anggota-anggotanya terdiri dari Drs. Mohammad
Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, Kiai Abdul Kahar
Moezakkir, K. H. A. Wachim Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim. Panitia Kecil atau
panitia 9 inilah yang pada akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Rumusan akhir

Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 atau tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan ditentukanlah
rumusan akhir yang mengakhiri proses perumusan pancasila dengan hasil pancasila sebagai berikut:

Ketuhanan Yang Maha Esa.


Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Unsur-unsur yang merupakan faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia antara lain
(ismaun,1981) ada lima faktor yaitu :
Persamaan asal keturunan
Persamaan pola Kebudayaan
Persamaan tempat tinggal
Persamaan nasib kesejarahan
Cita-cita bersama

Faktor pertama sampai ke empat merupakan pembentukan bangsa alami, sedangkan faktor
yang ke lima merupakan pembentukan bangsa buatan atau bangsa negara.

Persamaan asal keturunan bangsa (ethnic) : bangsa Indonesia berasal dari rumpun
bangsa melayu yang merupakan bagian dari ras mongoloid dan kemudian diperkaya
oleh variasi pencampuran antar ras.

Orang-orang Austronesia yang memasuki wilayah Nusantara dan kemudian menetap


di Nusantara tersebut mendapat sebutan bangsa Melayu Austronesia atau bangsa
Melayu Indonesia. Mereka yang masuk ke daerah Aceh menjadi suku Aceh, yang
masuk ke daerah Kalimantan disebut suku Dayak, yang ke Jawa Barat disebut suku
Sunda, yang masuk ke Sulawesi disebut suku Bugis dan Tanah Toraja, dan mereka yang
masuk ke daerah Jambi disebut suku Kubu (Lubu).

Menurut Teori Antropologi, Bangsa Melayu berasal dari percampuran dua bangsa,
yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu adalah ras Mongoloid,
diperkirakan bermigrasi ke Nusantara sekitar tahun 2500-1500 SM, kemungkinan
mereka berasal dari daerah : Provinsi Yunnan di selatan Cina, New Guinea atau
Kepulauan Taiwan.

Sementara Bangsa Deutero Melayu berasal dari dataran Asia Tengah dan Selatan,
yang datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 SM. Diperkirakan kedatangan
Deutero Melayu membawa pengaruh budaya India yang kuat dalam sejarah
Nusantara dan Asia Tenggara.

Persamaan Pola kebudayaan : terutama cara hidup sebagai suku-suku bangsa petani
dan pelaut dengan segala adat-istiadat dan pranata sosialnya; manifestasi persamaan
kebudayaan itu jelas nyata dalam wujud persamaan bahasa nasional : Bahasa
Nasional

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para
pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah
bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18
Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar
1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah
dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan
Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun
683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur
berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M
(Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa
Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah
(Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai
bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap
para pedagang yang datang dari luar Nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama
Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), Kouen-louen (Ferrand, 1919),
Kwenlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kunlun (Parnikel, 1977:91), Kun-lun (Prentice,
1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah
bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu
nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-
16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu,
Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya


agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat
Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang,
antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang
dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di
wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah.
Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa
Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun
dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong
tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi
antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para
pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan
pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat
besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan


kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara.
Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di
tingkat pusat maupun daerah.

Persamaan tempat tinggal yang disebut dengan nama khas tanah air, Nusantara, yakni
tanah tumpah darah seluruh bangsa yang merupakan satu kesatuan wilayah laut yang
di dalamnya terhimpun berpuluh-puluh ribu Pulau

Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut
Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara
(Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa
(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke
Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi IndonesiaJazair al-Jawi


(Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa
Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh
kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di
Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil Jawa oleh orang
Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal
Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal
sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri
dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas
antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Semenanjung Asia Selatan
mereka sebut Hindia Muka dan daratan Asia Tenggara dinamai Hindia Belakang.
Sedangkan tanah air memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian
Archipelago, lArchipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes
Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah Kepulauan Melayu (Maleische
Archipel, Malay Archipelago, Archipel Malais).
Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-
Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia,
yaitu Insulinde, yang artinya juga Kepulauan Hindia (bahasa Latin insula berarti
pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang
dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama
untuk . Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam
berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan
oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian


nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk
menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah
Mada tertulis Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (Jika telah kalah
pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).

Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu
diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara,
maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu nusa di antara dua benua dan dua
samudra, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah
nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai
alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.

Pada tahun 1847 ,Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia
(nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). tetapi lebih senang menggunakan
Malayunesia

Kemudian James Richardson Logan menggunakan nama Indunesia (yang dibuang


Earl), dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah
istilah Indonesia. inilah untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan
tercetak dalam tulisan Logan:

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi


Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia)


oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi)
diganti dengan Indonesir (orang Indonesia).
persamaan nasib kesejarahanya, baik kejayaan bersama di masa kencana kerajaan-
kerajaan besar jaman bahari Sriwijaya dan Majapahit, maupun penderitaan bersama
di kala meringkuk di bawah dominasi penjajahan asing
Persamaan cita-cita hidup bersama sebagai kembang-kesadaran dan insiparai hidup
bersama sebagai kembang kesadaran dari inspirasi kenangan sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat serta membangun negaranya dalam ikatan kesatuan dan
persatuan Indonesia

You might also like