You are on page 1of 13

KETAHANAN PANGAN: KONSEP, PENGUKURAN DAN

STRATEGI
Handewi P.S. Rachman dan Mewa

ABSTRACT

Food is the basic need for living and conducting daily activities, meanwhile food security is mandatory for
productive and healthy life. The understanding of food security dimensions is important as a starting point on the
respective study. The objectives of this paper are to analyze : (1) The concept, (2) The measurement and
indicators; and (3) The approach or strategy to achieve food security. Analysis was done by reviewing several
research reports and related papers. The study shows that : (1) Concept and definition of food security is
changing due to intertemporal complexity of the problem; (2) Food security broad in nature, therefore relevance
and various indicators is needed on its measurement; and (3) To achieve food security, food availability as well
as entitlement approach need to be considered, sustainable food security, a new paradigm need to be formulated.

Key words food security concept, indicators and measurement, development strategy

ABSTRAK

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup dan melakukan aktivitas sehari-hari,
sedang ketahanan pangan adalah jaminan bagi manusia untuk hidup sehat dan bekerja secara produktif.
Pemahaman berbagai aspek ketahanan pangan merupakan pengetahuan penting dalam mengawali jenis studi
ini. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji: (1) Konsep; (2) Pengukuran dan indikator; dan (3) Pendekatan atau
strategi untuk mencapai ketahanan pangan. Kajian dilakukan melalui studi pustaka dari berbagai hasil penelitian
dan tulisan yang terkait dengan aspek kajian. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) Konsep serta pengertian
tentang ketahanan pangan berkembang sesuai dengan kompleksitas permasalahan dari waktu ke waktu; (2)
Dimensi ketahanan pangan sangat luas sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya; dan (3) Untuk
mencapai ketahanan pangan, pendekatan ketersediaan pangan dan kepemilikan perlu dipertimbangkan dan
untuk ketahanan pangan berkelanjutan diperlukan suatu paradigma baru.

Kata kunci konsep ketahanan pangan, pengukuran dan indikator, strategi pembangunan

PENDAHULUAN tapkan sistem ketahanan pengan untuk kepen-


tingan dalam negeri, mengingat adanya peruba-
han lingkungan strategis intemasional dan
Ketahanan pangan telah menjadi isu sen- domestik. Ketidakpastian dan ketidak stabilan
tral dalam kerangka pembangunan pertanian produksi pangan nasional, tidak otomatis dapat
dan pembangunan nasional, ditunjukkan antara mengandalkan kepada ketersediaan pangan di
lain dengan dijadikannya isu ketahanan pangan pasar dunia.
sebagai salah satu fokus kebijaksanaan opera- Peningkatan ketahanan pangan merupa-
sional pembangunan pertanian dalam Kabinet kan prioritas utama dalam pembangunan karena
Persatuan Nasional (1999-2004) di samping pangan merupakan kebutuhan yang paling
fokus lainnya yaitu pengembangan agribisnis dasar bagi manusia sehingga pangan sangat
(Anonimous, 1999). Selain itu dibentuknya lem- berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
baga khusus yang menangani masalah ketaha- Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedia-
nan pangan yaitu Badan Urusan Ketahanan nya pangan dalam jumlah dan kualitas yang
Pangan tingkat eselon I di lingkup Departemen cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau
Pertanian pada tahun 2000 kemudian pada dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk
tahun 2001 dirubah menjadi Badan Bimbingan menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang
Masai Ketahanan Pangan menunjukkan pula waktu. Dengan demikian ketahanan pangan
pentingnya penanganan masalah ketahanan mencakup tingkat rumah tangga dan tingkat
pangan. Lembaga ini diharapkan dapat meman- nasional (Anonimous, 1999). Dalam pengertian

1 Masing-masing adalah Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002: 12 - 24

12
kebijakan operasional pembangunan, Departe- meningkat yaitu dari 2899 kalori pada tahun
men Pertanian menterjemahkan ketahanan pa- 1993 menjadi 3193 kalori/kapita/hari tahun
ngan menyangkut ketersediaan, aksesibilitas 1996, yaitu melebihi standar kebutuhan yang
(keterjangkauan), dan stabilitas pengadaannya. besamya dipatok 2500 kalori/kapita/hari.
Di samping aspek produksi, ketahanan pangan
Namun demikian, adanya kelebihan keter-
mensyaratkan pendapatan yang cukup bagi
sediaan pangan di tingkat wilayah (nasional,
masyarakat untuk mengakses bahan pangan,
regional) tidak menjamin adanya ketahanan
keamanan pangan, serta aspek distribusi.
pangan di tingkat individu atau rumah tangga.
Dalam era globalisasi dan perdagangan Hal ini antara lain ditunjukkan oleh meningkat-
bebas yang sangat kompetitif di pasar inter- nya kasus-kasus kurang gizi dan rawan pangan
nasional, Indonesia menghadapi tantangan be- sejak terjadinya krisis ekonomi. Oleh karena itu,
rat dalam merumuskan kebijakan pangan yang faktor akses invididu dalam menjangkau kebu-
mampu memenuhi kebutuhan pangan pendu- tuhan pangan yang diperlukan merupakan faktor
duk. Kebijakan pangan yang dimaksud antara kunci ketahanan pangan di tingkat rumah
lain adalah upaya mempertahankan dan me- tangga. Akses individu terhadap pangan yang
ningkatkan ketersediaan ragam komoditas dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh daya bell,
pangan dan upaya peningkatan diversifikasi tingkat pendapatan, harga pangan, proses
konsumsi pangan. Dengan sumberdaya yang distribusi pangan, kelembagaan di tingkat lokal
terbatas, kebijakan untuk meningkatkan pangan dan faktor sosial lainnya.
dalam kaitannya mempertahankan ketahanan
Berdasar urgensi, kompleksitas perma-
pangan, berbagai sumberdaya perlu digunakan
salahan dan berbagai upaya yang diperlukan
untuk menghasilkan komoditas pangan yang
untuk mencapai ketahanan pangan, tulisan ini
kompetitif dalam harga dan mutu terhadap
bertujuan untuk mengkaji berbagai aspek
produk impor. Dalam kondisi demikian kegiatan
tentang ketahanan pangan. Kajian dilakukan
produksi pangan harus berorientasi pada pasar
melalui studi pustaka dari berbagai hasil pene-
internasional.
litian dan tulisan yang terkait dengan permasa-
Pembangunan pertanian yang dilaksana- lahan ketahanan pangan yang mencakup
kan secara konsisten selama ini telah mampu aspek-aspek: (1) Konsep, (2) Pengukuran/indi-
menyediakan berbagai jenis pangan. Berdasar- kator, dan (3) Pendekatan serta strategi untuk
kan data Neraca Bahan Makanan (NBM), sela- mencapai ketahanan pangan.
ma kurun waktu 1993-1996 seperti dilaporkan
oleh Ariani dkk. (2000) untuk pangan pokok
yang meningkat ketersediaannya per kapita KONSEP KETAHANAN PANGAN
adalah beras, jagung, ubikayu. Sebagai gam-
baran ketersediaan beras pada tahun 1993
sebesar 150,2 kg menjadi 159,8 kg/kapita/tahun Ketahanan pangan yang merupakan ter-
pada tahun 1996; jagung dari 28,9 kg pada jemahan dari food security mencakup banyak
tahun 1993 meningkat menjadi 57,2 kg/kapita/ aspek dan luas sehingga setiap orang menco-
tahun pada tahun 1996; dan ketersediaan ba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan
ubikayu tahun 1993 sebesar 36,3 kg meningkat ketersediaan data. Seperti yang diungkapkan
menjadi 61,8 kg/kapita/tahun pada tahun 1996. oleh Reutlinger (1987) bahwa ketahanan
pangan diinterpretasikan dengan banyak cara.
Bila data ketersediaan tersebut dibanding-
Braun dkk. (1992) juga mengungkapkan bah-
kan dengan data konsumsi rill penduduk, maka
wa pemakaian istilah ketahanan pangan dapat
tidak semua ketersediaan dapat diserap untuk
menimbulkan perdebatan dan banyak isu yang
konsumsi penduduk. Seperti pada beras, tingkat
membingungkan karena aspek ketahanan pa-
ketersediaannya tahun 1996 sebesar 159,8
ngan adalah luas dan banyak tetapi merupa-
kg/kapita/tahun, tetapi hanya dikonsumsi sebe-
kan salah satu konsep yang sangat penting
sar 111,7 kg/kapita/tahun. Kecenderungan ini
bagi banyak orang di seluruh dunia. Selanjut-
juga terjadi pada pangan pokok lain seperti
nya juga diungkapkan bahwa defisini ketaha-
jagung, ubikayu dan ubijalar (Erwidodo dkk.,
nan pangan berubah dari satu periode waktu
1997). Bila pangan tersebut dikonversikan da-
ke periode waktu lainnya. Pada tahun 1970-an
lam bentuk energi, maka persediaan energi juga
ketahanan pangan lebih banyak memberikan

KETAHANAN PANGAN : KONSEP, PENGUKURAN DAN STRATEGI Handewi P.S. Rachman dan Mewa Ariani

13
perhatian pada ketersediaan pangan tingkat kebijaksanaan di bidang sosial seperti penang-
global dan nasional daripada tingkat rumah gulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan,
tangga. Sementara pada tahun 1980-an keta- gizi dan lain-lain.
hanan pangan beralih ke akses pangan pada
Konferensi FAO tahun 1984 seperti
tingkat rumah tangga dan individu.
diungkapkan Soetrisno (1995) mencetuskan
Pada awalnya ketahanan pangan masih dasar-dasar ketahanan pangan yang pada
sekitar pertanyaan "dapatkah dunia mempro- intinya menjamin kecukupan ketersediaan
duksi pangan yang cukup", kemudian perta- pangan bagi umat manusia dan terjaminnya
nyaan tersebut dipertajam lagi oleh Inter- setiap individu untuk dapat memperoleh
national Food Policy Research Institute (IFPRI) pangan. Definisi ketahanan pangan tersebut
menjadi: "dapatkah dunia memproduksi pa- disempurnakan pada waktu International
ngan yang cukup pada tingkat harga yang Congress of Nutrition (ICN) yang diseleng-
pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin". garakan di Roma tahun 1992 dalam Suhardjo
Namun sejak awal 1990-an pertanyaan terse- (1996) seperti berikut: ketahanan pangan ru-
but telah jauh lebih lengkap dan komplek yaitu mah tangga adalah kemampuan rumah tangga
menjadi: "dapatkah dunia memproduksikan untuk memenuhi kecukupan pangan anggota-
pangan yang cukup pada tingkat harga yang nya dari waktu ke waktu agar dapat hidup
pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-
serta tidak merusak lingkungan hidup". Secara hari. Namun dalam sidang Committe on Work
luas pengertian ketahanan pangan adalah Food Security 1995 dalam Soetrisno (1997)
terjaminnya akses pangan buat segenap ru- definisi di atas diperluas dengan menambah-
mah tangga serta individu setiap waktu se- kan persyaratan harus diterima oleh budaya
hingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat setempat. Definisi tersebut dipertegas lagi
(Braun dkk., 1992; Suhardjo, 1996; Soetrisno, pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pa-
1997). ngan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan
Membahas ketahanan pangan pada da-
Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan
sarnya juga membahas hal-hal yang menye-
terwujud apabila semua orang, setiap saat,
babkan orang tidak tercukupi kebutuhan
memiliki akses secara fisik maupun ekonomi
pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara
terhadap pangan yang cukup, aman dan
lain tersedianya pangan, lapangan kerja dan
bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai
pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan
dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif
apakah suatu rumah tangga memiliki ketaha-
dan sehat.
nan pangan, artinya dapat memenuhi kebutu-
han pangan dan gizi bagi setiap anggota Indonesia, sebagai salah satu negara
keluarganya (Sumarwan, dan Sukandar, yang menyatakan komitmen untuk melaksana-
1998). kan deklarasi Roma menerima konsep ketaha-
nan pangan tersebut yang dilegitimasi pada
Soekirman (1996) mengungkapkan bah-
rumusan dalam Undang-Undang Pangan No.
wa cukup tidaknya persediaan pangan di pa-
7 tahun 1996. Namun konsep ketahanan
sar berpengaruh pada harga pangan. Kenaik-
pangan di Indonesia telah memasukkan aspek
an harga pangan bagi keluarga yang tidak
keamanan, mutu dan keragaman sebagai kon-
bekerja atau yang bekerja tetapi penghasilan-
disi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan
nya tidak cukup, dapat mengancam kebutuhan
kebutuhan pangan penduduk secara cukup,
gizinya yang berarti ketahanan pangan
merata serta terjangkau. Sementara itu Loka-
keluarganya terancam. Sebaliknya, persediaan
karya Ketahanan Pangan Rumah Tangga
cukup, harga stabil tetapi banyak penduduk
pada tahun 1996 juga menghasilkan rumusan
tanpa kerja dan tanpa pendapatan, berarti
konsep ketahanan pangan rumah tangga yang
tanpa daya bell, juga menyebabkan persedia-
didefinisikan sebagai berikut: ketahanan pa-
an pangan itu tidak efektif. Karena itu pemba-
ngan rumah tangga adalah kemampuan untuk
ngunan Sumberdaya Manusia (SDM) akan
memenuhi pangan anggota keluarga dari
mengatur keseimbangan dan keserasian an-
waktu ke waktu dan berkelanjutan balk dari
tara kebijaksanaan sistem pangan (produksi,
produksi sendiri maupun membeli dalam
distribusi, pemasaran, dan konsumsi) dan
jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002 : 12 - 24

14
lingkungan setempat serta sosial budaya ru- pangan, budaya lokal serta kelestarian lingku-
mah tangga agar dapat hidup sehat dan ngan dalam proses memproduksi dan meng-
mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara akses pangan. Dalam perumusan kebijakan
produktif. maupun kajian empiris ketahanan pangan,
penerapan konsep ketahanan pangan tersebut
Konsep ketahanan pangan dapat dite-
perlu dikaitkan dengan rangkaian sistem
rapkan untuk menyatakan situasi pangan pada
hirarki sesuai dimensi sasaran mulai dari
beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasio-
tingkat individu, rumah tangga, masyarakat/
nal, regional (daerah), dan tingkat rumah
komunitas, regional, nasional maupun global.
tangga serta individu (Soehardjo, 1996).
Sementara itu Simatupang (1999) menyatakan
bahwa ketahanan pangan tingkat global,
PENGUKURAN DAN INDIKATOR
nasional, regional, komunitas lokal, rumah
KETAHANAN PANGAN
tangga dan individu merupakan suatu rangkai-
an sistem hierarkis. Dalam hal ini ketahanan
pangan rumah tangga tidak cukup menjamin
ketahanan pangan individu. Kaitan antara Seperti telah dikemukakan terdahulu
ketahanan pangan individu dan rumah tangga bahwa definisi ketahanan pangan berubah-
ditentukan oleh alokasi dan pengolahan pa- ubah dan menyangkut aspek yang sangat
ngan dalam rumah tangga, status kesehatan luas, sehingga indikator, cara dan data yang
anggota rumah tangga, kondisi kesehatan dan digunakan oleh peneliti atau para pakar untuk
kebersihan lingkungan setempat. Selain itu mengukur ketahanan pangan juga sangat
faktor tingkat pendidikan suami-istri, budaya beragam. Soekirman (1996) mengemukakan
dan infrastruktur setempat juga sangat me- bahwa untuk mengukur ketahanan pangan di
nentukan ketahanan pangan individu/rumah Indonesia tidak hanya pada tingkat agregatif
tangga. nasional atau regional tetapi juga dapat diukur
pada tingkat rumah tangga dan individu.
Lebih jauh Simatupang (1999) meng-
ungkapkan bahwa ketahanan pangan tingkat Menurut Suhardjo (1996) kondisi keta-
komunitas lokal merupakan syarat keharusan hanan pangan rumah tangga dapat dicermin-
tetapi tidak cukup menjamin ketahanan pa- kan oleh beberapa indikator antara lain: (1)
ngan untuk seluruh rumah tangga. Selanjutnya Tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikan-
ketahanan pangan tingkat regional merupakan an; (2) Penurunan produksi pangan; (3) Ting-
syarat keharusan bagi ketahanan pangan kat ketersediaan pangan di rumah tangga; (4)
tingkat komunitas lokal tetapi tidak cukup Proporsi pengeluaran pangan terhadap penge-
menjamin ketahanan pangan komunitas lokal. luaran total; (5) Fluktuasi harga-harga pangan
Pada akhirnya ketahanan pangan tingkat utama yang umum dikonsumsi rumah tangga;
nasional tidak cukup menjamin terwujudnya (6) Perubahan kehidupan sosial (misalnya
ketahanan pangan bagi semua orang, setiap migrasi, menjual/menggadaikan harta miliknya,
saat sehingga dapat mencukupi kebutuhan peminjaman); (7) Keadaan konsumsi pangan
pangan agar dapat hidup sehat dan produktif. (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan
(8) Status gizi. Berkaitan dengan indikator (7)
Uraian di atas menunjukkan bahwa kon- dan (8) di atas, Kodyat (1997) juga mengemu-
sep dan pengertian atau definisi ketahanan kakan bahwa indikator ketahanan pangan
pangan sangat luas dan beragam. Namun dapat dilihat dari konsumsi pangan rumah
demikian dari luas dan beragamnya konsep tangga dan keadaan gizi masyarakat.
ketahanan pangan tersebut intinya adalah
Sementara itu Soetrisno (1997) meng-
terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat
ungkapkan bahwa mengacu pada pengertian
manusia secara cukup serta terjaminnya pula
ketahanan pangan sesuai dengan Udang-
setiap individu untuk memperoleh pangan dari
Undang Pangan No. 7 tahun 1996 dan ren-
waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat
cana Aksi KTT Pangan Dunia, maka indikator
hidup sehat dan beraktivitas. Terkait dengan
yang dapat digunakan selain yang telah
konsep terjamin dan terpenuhinya kebutuhan
disebutkan terdahulu adalah angka indeks
pangan bagi setiap individu tersebut perlu pula
ketahanan pangan rumah tangga, angka rasio
diperhatikan aspek jumlah, mutu, keamanan
antara stok dengan konsumsi pada berbagai

KETAHANAN PANGAN KONSEP, PENGUKURAN DAN STRATEGI Handewi P.S. Rachman dan Mewa Ariani

15
tingkatan wilayah, skor Pola Pangan Harapan Susanto (1997) mengisyaratkan bahwa
(PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsum- dalam mengukur ketahanan pangan hendak-
si, kondisi keamanan pangan, keadaan kelem- nya tidak hanya menggunakan indikator yang
bagaan cadangan pangan masyarakat dan bersifat ekonomi tetapi juga indikator penge-
tingkat cadangan pangan pemerintah diban- tahuan yang dikaitkan dengan aspek perilaku
ding perkiraan kebutuhan. Berkaitan dengan konsumsi pangan kebiasaan makan dan
stok pangan, salah satu indikator penting sistem sosio-budaya.
dalam ketahanan pangan baik di tingkat nasio-
Penelitian Jonsson dan Toole (1991)
nal maupun rumah tangga adalah kemampuan
seperti dikutip dan di adopsi oleh Maxwell et
untuk melakukan stok pangan (Suryana dkk.,
al. (2000) di Greater Accra, Ghana mengguna-
1996).
kan indikator pendapatan dan konsumsi gizi
Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan rumah tangga untuk mengukur derajat keta-
bahwa penentu utama ketahanan pangan di hanan rumah tangga. Dalam hal ini kedua
tingkat nasional, regional dan lokal dapat peneliti tersebut menggunakan indikator
dilihat dari tingkat produksi, permintaan, per- pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan
sediaan dan perdagangan pangan. Sementara konsumsi energi untuk mengukur derajat keta-
itu penentu utama di tingkat rumah tangga hanan pangan rumah tangga. Rumah tangga
adalah akses terhadap pangan, ketersediaan dikategorikan tahan pangan apabila memiliki
pangan dan risiko yang terkait dengan akses pangsa pengeluaran pangan rendah (kurang
serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut dari 60% dari pengeluaran rumah tangga) dan
FAO (1996) salah satu kunci terpenting dalam cukup mengkonsumsi energi (> 80% syarat
mendukung ketahanan pangan adalah terse- kecukupan energi). Rumah tangga rentan
dianya dana yang cukup (negara dan rumah pangan didefinisikan sebagai rumah tangga
tangga) untuk memperoleh pangan. yang memiliki pangsa pengeluaran pangan
tinggi (> 60% dari pengeluaran rumah tangga)
Indikator ketahanan pangan juga dapat
namun cukup mengkonsumsi energi; rumah
dilihat dari pangsa pengeluaran pangan.
tangga kurang pangan apabila memiliki pang-
Hukum Working 1943 yang dikutip oleh
sa pengeluaran pangan rendah dan konsumsi
Pakpahan dkk. (1993) menyatakan bahwa
energi kurang (< 80% dari syarat kecukupan).
pangsa pengeluaran pangan mempunyai
Sedangkan rumah tangga termasuk kategori
hubungan negatif dengan pengeluaran rumah
rawan pangan apabila memiliki pangsa penge-
tangga, sedangkan ketahanan pangan mem-
luaran pangan tinggi dan tingkat konsumsi
punyai hubungan yang negatif dengan pangsa
energinya kurang.
pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin
besar pangsa pengeluaran pangan suatu Survei di Amerika Serikat masih mene-
rumah tangga semakin rendah ketahanan mukan 800.000 rumah tangga yang masih me-
pangannya. Pengukuran seperti ini juga digu- ngalami ketidakcukupan pangan (kelaparan)
nakan oleh Rachman dan Suhartini (1996) atau kelompok rawan pangan yang memiliki
dalam mengkaji ketahanan pangan masyara- ciri-ciri antara lain sebagai berikut: (1) Tidak
kat berpendapatan rendah di Jawa Tengah memiliki rumah tinggal, (2) Anak-anak miskin,
dan Nusa Tenggara Barat. (3) Umumnya kepala rumah tangga perem-
puan, (4) Pekerja yang miskin, (5) Migran legal
Tim Pusat Studi Kebijaksanaan Pangan dengan bantuan terbatas, (6) Sebagai orang
dan Gizi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian tua tunggal, (7) Orang tua terinfeksi HIV, dan
Bogor (1990) telah melakukan studi di provinsi (8) Pekerja pertanian musiman dan pekerja
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa migran (FAO, 1999).
Tenggara Timur fokus pada rumah tangga
yang mengalami ketidaktahanan pangan. FAO (1994) dalam Soetrisno (1995)
Indikator yang diteliti cukup luas meliputi: (1) telah mengembangkan ukuran ketahanan
Pendapatan dan pengeluaran; (2) Konsumsi pangan rumah tangga dengan menggunakan
pangan dan status gizi; (3) Indikator bidang indeks ketahanan pangan rumah tangga atau
pertanian; (4) Alokasi tenaga kerja; dan (5) average household food security index =
Mekanisme rumah tangga dalam mengatasi AHFSI) untuk beberapa negara berkembang.
rawan pangan. Formula AHFSI = 100 [ H {G + (1-G) IP + 0,5
Q (1-H (G + (1-G) IP) } ] 100

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002 : 12 - 24

16
dimana: Ekonomi Nasional (SUSENAS) berbagai ta-
hun. Pengukuran ketahanan pangan ini dilaku-
H : ratio penduduk yang mengalami ke-
kan di 27 provinsi Indonesia. Mengacu pada
kurangan pangan (undernourished)
konsep pengukuran yang dikembangkan oleh
terhadap jumlah penduduk.
FAO tersebut ketahanan pangan dihitung
G : proporsi angka kekurangan energi dengan formula seperti berikut:
terhadap angka rata-rata kebutuhan
IKPRT = 100 (H (G+(1-G) I) +
energi. Angka ini diukur dari selisih
antara ketersediaan rata-rata energi 0,5 Q (1-H (G + (1-G) I) ) 100
untuk kelompok penduduk kekurangan
dimana:
pangan dengan rata-rata kebutuhan
energi. IKPRT = Indeks Ketahanan Pangan Rumah
Tangga
IP ketimpangan dalam distribusi (inequa-
lity in the distribution of food-gaps) H = head-count ratio, proporsi penduduk
yang diukur dengan koefisien GINI yang kekurangan pangan
dari distribusi konsumsi energi.
G = food-gaps, proporsi kekurangan
Q : koefisien variasi DES (dietary energy energi/protein dengan kebutuhannya
supplies) atau ketersediaan energi
= ukuran ketimpangan dari distribusi
untuk konsumsi, yang menjadi ukuran
food-gaps
kemungkinan yang dikaitkan dengan
ketidak tahanan pangan yang menda- Q = koefisien variasi dari ketersediaan
dak (temporary food insecurity). untuk konsumsi energi/protein
Dengan menggunakan ukuran tersebut, Dengan menggunakan formula di atas
AHFSI rata-rata antara tahun 1988-1993 untuk diperoleh informasi mengenai indeks ketaha-
negara-negara berkembang di dunia dikelom- nan pangan rumah tangga provinsi dan rata-
pokkan menjadi empat yaitu: (1) Negara yang rata Indonesia. IKPRT rata-rata Indonesia
memiliki AHFSI tinggi (di atas 85) termasuk disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat
negara yang memiliki ketahanan pangan tinggi diketahui bahwa IKPRT balk berdasarkan
(sangat tahan); (2) Negara-negara dengan konsumsi energi dan protein menunjukkan
AHFSI menengah (75-85) termasuk tahan; (3) peningkatan selama kurun waktu 1984-1996.
Negara yang tidak tahan adalah negara- IKPRT rata-rata Indonesia berdasarkan kon-
negara dengan AHFSI rendah (65-75); dan (4) sumsi energi secara bertahap telah meningkat
Negara-negara yang memiliki AHFSI rendah yaitu dari 65,4 pada tahun 1984 menjadi 72,7
(di bawah 65) merupakan negara yang memi- tahun 1987; 73,4 tahun 1990; 75,8 tahun 1993
liki ketahanan pangan sangat rawan (kritis). dan 76,8 tahun 1996. Sementara itu, IKPRT
Menurut perhitungan FAO tersebut, Indonesia berdasarkan protein meningkat dari 58,5 pada
termasuk negara pada kelompok (1) yaitu tahun 1984 menjadi 73,6 tahun 1996. Hal ini
negara yang memiliki ketahanan pangan menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan
sangat tahan. ketahanan pangan di Indonesia. Namun angka
secara absolut adalah berbeda untuk setiap
Jatileksono (1997) mengukur ketahanan
provinsi. Perbedaan ini disebabkan oleh ada-
pangan khususnya konsumsi energi dan pro-
nya perbedaan dalam produksi pangan dan
tein dengan menggunakan data Survey Sosial

Tabel 1. Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga Indonesia, 1984-1996

Tahun Berdasarkan konsumsi energi Berdasarkan konsumsi protein


1984 65,4 58,5
1987 72,7 63,3
1990 73,4 64,3
1993 75,8 67,4
1996 76,8 73,6
Sumber: Jatileksono, 1997.

KETAHANAN PANGAN : KONSEP, PENGUKURAN DAN STRATEGI Handewi P.S. Rachman dan Mewa Mani

17
daya bell masyarakat di setiap provinsi. Relatif dengan menggunakan variabel harga pangan,
mahalnya harga pangan sumber protein ter- produksi, konsumsi minimal dan pendapatan
utama protein hewani di duga juga menga- dari non pangan, seperti rumus sebagai beri-
kibatkan ketahanan pangan wilayah berdasar- kut (bukti empiris belum dapat dikemukakan):
kan konsumsi protein lebih rendah daripada
Z = P (Q-Cm) + N
konsumsi energi.
dimana:
Proyek Pengembangan Diversifikasi Pa-
ngan dan Gizi bekerjasama dengan Jurusan Z : indeks ketahanan pangan (Z > 0 berarti
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga terjadi tahan pangan, sebaliknya apabila
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Z<0, terjadi kerawanan pangan)
(Anonimous, 1990/1991) melakukan kajian
P : harga pangan di tingkat lokal
mengenai ketahanan pangan di seluruh kabu-
paten di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Teng- Q : produksi pangan rumah tangga (bersih
gara Timur. Dalam kajian ini data yang diguna- setelah dikurangi input)
kan adalah data produksi pangan sumber
Cm : konsumsi pangan minimum yang diper-
karbohidrat (padi, jagung, ubikayu dan ubijalar)
lukan
suatu wilayah sebagai proksi ketersediaan
pangan dan data kebutuhan konsumsi pangan N : pendapatan dari non-pertanian
setara energi dari tahun 1980 sampai dengan
Sumarwan dan Sukandar (1998) me-
1989. Rumus yang digunakan sebagai berikut:
ngukur ketahanan pangan wilayah yaitu keta-
JP = SPKEi / (1,2 NKE) hanan pangan kabupaten di seluruh Indonesia
yang diukur dari kemampuan wilayah untuk
dimana:
memproduksi empat jenis pangan (padi, ja-
JP : ketahanan pangan gung, ubikayu, ubijalar). Selain itu juga diguna-
kan peubah jumlah penduduk, curah hujan dan
SPKE: ketersediaan pangan tingkat konsumsi
Produk Domestik Regional/Bruto (PDRB).
(Kkalori/kapita/hari)
Data BPS tahun 1995 digunakan untuk me-
NKE : norma kecukupan energi ngukur ketahanan pangan di 244 kabupaten di
Indonesia. Adapun hasil perhitungan ketaha-
Dengan memperhatikan rumus tersebut
nan pangan wilayah di setiap provinsi di
dan besarnya kontribusi pangan sumber kar-
Indonesia terlihat di Tabel 2.
bohidrat terhadap konsumsi energi total (K)
maka dapat ditentukan status ketahanan pa- Metode penentuan ketahanan pangan
ngan seperti berikut : yang dilakukan Sumarwan dan Sukandar
(1998) tersebut mengacu pada model ketaha-
Tidak tahan pangan (rawan pangan), jika
nan pangan wilayah yang dikembangkan oleh
JP < K/1,2 Syarief (1991) dengan formula sebagai berikut
Tahan pangan (tidak rawan) kurang
TP = 0.089 + 2.72 x 10 6xi 2.25 x 0-8z2
terjamin, jika K/1,2 < JP < K
2.3055 7,3 +2.8542 x4 + 0.9966x5 +
Tahan pangan (tidak rawan) terjamin,
jika JP > K 1.1032 ^,c6
Berdasarkan formula tersebut pada akhir dimana :
Pelita IV (1988) di provinsi Jawa Timur, dari 29
TP ketahanan pangan
kabupaten terdapat 27 kabupaten termasuk
daerah tahan pangan (tidak rawan pangan), 7,1 curah hujan bulan Februari (mm)
dan 2 kabupaten yaitu Malang dan Sidoarjo
7,2 pendapatan daerah (Rp/kap/tahun)
termasuk rawan pangan. Sementara itu, di
provinsi Nusa Tenggara Timur, dari 12 kabu- produksi gabah (ton/kap/tahun)
paten hanya dua kabupaten yang mengalami
)(,4 produksi jagung pipit (ton/kap/tahun)
rawan pangan (tidak tahan pangan).
X5 : produksi ubikayu (ton/kap/tahun)
Balisacan (1996), Anderson dan Rou-
masset (1996) mengukur ketahanan pangan 76 : produksi ubijalar (ton/kap/tahun).

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002: 12 - 24

18
Tabel 2. Kriteria Ketahanan Pangan Seluruh Provinsi di Indonesia Berdasarkan Kontribusi Pangan
Sumber Karbohidrat Terhadap Konsumsi Energi

No. Provinsi Kurang tahan Tahan Sangat tahan


1. Aceh TP < 0.59 0.59 < TP < 0.71 TP > 0.71
2. Sumatera Utara TP < 0.60 0.60 < TP < 0.73 TP > 0.73
3. Sumatera Barat TP < 0.59 0.59 < TP < 0.71 TP > 0.71
4. Riau TP < 0.55 0.55 < TP < 0.66 TP > 0.66
5. Jambi TP < 0.57 0.57 < TP < 0.68 TP > 0.68
6. Sumatera Selatan TP < 0.58 0.58 < TP < 0.69 TP > 0.69
7. Bengkulu TP < 0.64 0.64 < TP < 0.76 TP > 0.76
8. Lampung TP < 0.60 0.60 < TP < 0.72 TP > 0.72
9. DKI Jaya TP < 0.38 0.38 < TP < 0.45 TP > 0.45
10. Jawa Barat TP < 0.62 0.62 < TP < 0.75 TP > 0.75
11. Jawa Tengah TP < 0.60 0.60 < TP < 0.72 TP > 0.72
12. Yogyakarta TP < 0.54 0.54 < TP < 0.65 TP > 0.65
13. Jawa Timur TP < 0.60 0.60 < TP < 0.71 TP > 0.71
14. Bali TP < 0.64 0.64 < TP < 0.77 TP > 0.77
15. Nusa Tenggara Barat TP < 0.66 0.66 < TP < 0.79 TP > 0.79
16. Nusa Tenggara Timur TP < 0.62 0.62 < TP < 0.74 TP > 0.74
17. Kalimantan Barat TP < 0.60 0.60 < TP < 0.71 TP > 0.71
18. Kalimantan Tengah TP < 0.61 0.61 < TP < 0.74 TP > 0.74
19. Kalimantan Selatan TP < 0.57 0.57 < TP < 0.69 TP > 0.69
20. Kalimantan Timur TP < 0.54 0.54 < TP < 0.65 TP > 0.65
21. Sulawesi Utara TP < 0.58 0.58 < TP < 0.70 TP > 0.70
22. Sulawesi Tengah TP < 0.53 0.53 < TP < 0.67 TP > 0.67
23. Sulawesi Selatan TP < 0.63 0.63 < TP < 0.78 TP > 0.78
24. Sulawesi Tenggara TP < 0.58 0.58 < TP < 0.70 TP > 0.70
25. Maluku TP < 0.45 0.45 < TP < 0.54 TP > 0.54
26. Irian Jaya TP < 0.67 0.67 < TP < 0.81 TP > 0.81
27 Timor-Timur TP < 0.55 0.55 < TP < 0.66 TP > 0.66
Sumber:: Sumarwan, U. dan D. Sukandar (1998)

Kriteria yang digunakan untuk menentukan bebas adalah tingkat konsumsi energi (E) dan
derajat ketahanan pangan wilayah adalah : tingkat konsumsi protein (P). Dengan peubah
bebas sebagai berikut :
1. Jika TP < k/1,2 maka wilayah tersebut
kurang tahan pangan Z1 konsumsi beras (gr/kap/minggu)
2. Jika k/1,2 < TP < k maka wilayah tersebut X2 konsumsi jagung (gr/kap/minggu)
tahan pangan
X3 konsumsi ketela pohon (gr/kap/minggu)
3. Jika TP > k maka wilayah tersebut sangat
Z4 konsumsi telur (gr/kap/minggu)
tahan pangan.
X6 konsumsi daging ayam (gr/kap/minggu)
Dalam hal ini k adalah proporsi energi yang
berasal dari beras, jagung, ubikayu dan Z6 konsumsi ikan diawetkan (gr/kap/
ubijalar terhadap total energi yang dikonsumsi. minggu)
Besaran nilai k setiap provinsi berbeda (lihat
konsumsi ikan segar (gr/kap/minggu)
Tabel 2).
Z8 konsumsi tahu (gr/kapiminggu)
Selain mengukur ketahanan pangan wi-
layah, Sumarwan dan Sukandar (1998) juga X9 konsumsi tempe (gr/kap/minggu)
mengukur ketahanan pangan rumah tangga.
X10 tingkat pendidikan ayah
Untuk keperluan tersebut digunakan model
regresi linear berganda dengan peubah tidak Xii tingkat pendidikan ibu

KETAHANAN PANGAN : KONSEP, PENGUKURAN DAN STRATEGI Handewi P.S. Rachman dan Mewa Atiani

19
Nilai dan diberikan sebagai berikut : penting pula dilakukan. Faktor kunci dari ru-
0 : tidak sekolah/TK; mah tangga/individu untuk mencapai ketaha-
1 : SD dan sederajat; nan pangan adalah akses (fisik dan ekonomi)
2: SLTP; terhadap pangan. Akses fisik ditentukan oleh
3: SLTA; ketersediaan dan distribusi pangan, sementara
4 : D1 / D2 dan sederajat; akses ekonomi Iebih dipengaruhi oleh daya
5 : D3 dan sederajat beli dan pendapatan. Dalam kaitan ini studi-
6 : D4 / S1 / Pasca Sarjana. studi terdahulu telah banyak melakukan kajian
ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Dengan menggunakan data Susenas 1996 ke-
dengan menggunakan berbagai indikator yang
dua peneliti tersebut menganalisis ketahanan
beragam. Oleh karena itu kajian ketahanan
pangan rumah tangga pada 27 provinsi di pangan tingkat rumah tangga dengan menggu-
Indonesia. Indikator ketahanan pangan rumah
nakan indikator komposit (gabungan) berbagai
tangga di masing-masing provinsi adalah peu-
indikator dapat mencerminkan kondisi ketaha-
bah-peubah yang nyata (dengan tingkat nyata
nan pangan rumah tangga secara lebih baik.
99%) mempengaruhi konsumsi energi (E) dan
Kajian tersebut diperlukan sebagai bahan ma-
konsumsi protein (P) di provinsi yang bersang-
sukan bagi perumusan kebijakan pemantapan
kutan. Sementara itu penentuan rumah tangga
ketahanan pangan rumah tangga sebagai
termasuk kategori tahan pangan atau kurang syarat keharusan tercapainya ketahanan pa-
tahan diukur dari proporsi konsumsi energi dan ngan tingkat wilayah.
protein per kapita terhadap konsumsi energi
dan protein yang direkomendasikan. Rumah
tangga memiliki ketahanan pangan tinggi jika
PENDEKATAN DAN STRATEGI
proporsi konsumsi energi > 100 dan proporsi
KETAHANAN PANGAN
konsumsi protein > 100. Sedangkan jika nilai
E atau P < 100 maka rumah tangga tersebut
tidak tahan pangan.
Ketahanan pangan umumnya didasari
Dad berbagai studi yang dilakukan oleh oleh pendekatan ketersediaan pangan. Atas
para peneliti terdahulu dapat disimpulkan bah- dasar pendekatan tersebut Bank Dunia (1988)
wa dalam mengukur ketahanan pangan perlu dalam Pakpahan dkk. (1993) mendefinisikan
dilakukan pengukuran pada berbagai tingkatan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pa-
mulai cakupan global, nasional, regional, ke- ngan dalam jumlah yang memadai bagi semua
lompok komunitas, rumah tangga maupun penduduk untuk dapat hidup secara aktif dan
individu. Pengukuran ketahanan pangan pada sehat. Pandangan tentang ketahanan pangan
masing-masing tingkatan tersebut perlu meng- yang kedua adalah pendekatan kepemilikan
gunakan berbagai indikator yang relevan. Di (entitlement) (Sen, 1978 dalam Pakpahan dkk.
tingkat wilayah (global, nasional, regional) 1993 dan dalam Simatupang, 1999). Pendeka-
pengukuran ketahanan pangan dapat menggu- tan ini didasarkan pada pandangan adanya
nakan berbagai indikator berikut (1) Tingkat akses individu atau rumah tangga terhadap
produksi, ketersediaan, konsumsi dan perda- pangan, dimana semakin tinggi akses rumah
gangan pangan, (2) Rasio stock pangan dan tangga terhadap pangan semakin tinggi keta-
konsumsi, (3) Skor PPH untuk tingkat keterse- hanan pangan.
diaan dan konsumsi, (4) Kondisi keamanan
Ketahanan pangan selalu dikaitkan de-
pangan, (5) Keadaan kelembagaan cadangan
ngan stabilitas harga pangan khususnya be-
pangan masyarakat dan (6) Kemampuan
ras, atau pangan pokok utama suatu negara.
untuk melakukan stock pangan.
Dalam kaitan ini Falcon and Timmer seperti
Namun demikian pengukuran ketahanan diungkapkan dalam Simatupang (1999) me-
pangan tingkat wilayah saja tidak cukup, hal ini nyebutkan bahwa ketahanan pangan sinonim
mengacu pada konsep ketahanan pangan dengan stabilitas harga, oleh karenanya pan-
yaitu terjaminnya kecukupan pangan oleh dangan tersebut menggunakan pendekatan
setiap individu untuk memenuhi kebutuhan stabilitas pangan untuk ketahanan pangan.
pangannya. Oleh karena itu pengukuran keta-
Simatupang (1999) mengungkapkan
hanan pangan tingkat rumah tangga/individu
bahwa pendekatan ketersediaan pangan untuk

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002 : 12 - 24

20
ketahanan pangan yang diaplikasikan pada diterapkan kurang sesuai dengan konsep
kebijakan ketahanan pangan selama orde baru ketahanan pangan (mencakup dimensi sasa-
oleh pemerintah Indonesia memiliki kelemahan ran, waktu dan sosial-ekonomi). Program keta-
mendasar yang terkait dengan adanya tiga hanan pangan bias pada pendekatan kuan-
asumsi yang dipakai. Ketiga asumsi yang titatif (supply dan demand) dan bias pada
dimaksud adalah: (1) Kelangkaan pangan se- pangan yang dihasilkan oleh pertanian sawah/
cara cepat direfleksikan oleh meningkatnya ladang (padi dan palawija). Belajar dari penga-
harga pangan; (2) Harga (pangan) yang ter- laman di masa lalu, memperhatikan paradigma
jangkau cukup dapat menjamin akses semua baru ketahanan pangan dan otonomi daerah,
orang untuk memperoleh pangan yang mema- maka diperlukan pemilahan program ketaha-
dai; dan (3) Produksi pangan domestik yang nan pangan yang lebih detail di masing-
cukup (swasembada) merupakan cara yang masing daerah dan tidak semua program
paling efektif untuk mencapai stabilitas harga harus ditangani oleh pemerintah pusat.
pangan dalam negeri (dan pada gilirannya
mencapai ketahanan pangan). Dengan menunjukkan berbagai kelema-
han strategi atau program ketahanan pangan
Menurut Simatupang (1999), kelemahan di Indonesia selama ini seperti diuraikan di
asumsi (1) adalah bahwa signal harga pangan atas, Simatupang (1999) mengajukan suatu
bukan merupakan indikator yang sempurna konsep paradigma baru untuk mencapai keta-
dari ketersediaan pangan. Dalam hal ini dicon- hanan pangan yang berkelanjutan. Ketahanan
tohkan adanya krisis pangan tahun 1998, bah- pangan yang berkelanjutan menurut Simatu-
wa kenaikan harga pangan lebih disebabkan pang (1999) perlu dibangun dengan memper-
oleh adanya kesalahan informasi karena ku- hatikan tiga perspektif yaitu: (1) Prinsip utama
rangnya kredibilitas pemerintah tentang kondi- program ketahanan pangan harus didasarkan
si stock pangan yang sebenarnya, adanya bahwa pangan merupakan hak azasi dan
penyelundupan dan spekulasi terhadap harga kebutuhan mendasar bagi manusia, oleh
pangan sebagai konsekuensi langsung dari karena tujuan utamanya adalah melindungi,
terdevaluasinya nilai rupiah yang sangat tinggi. mempertahankan dan menjamin semua orang
Kelemahan asumsi ke (2) adalah bahwa ke- untuk memperoleh pangan secara memadai;
mampuan atau akses konsumen untuk mem- (2) Ketahanan pangan harus diperlakukan
peroleh pangan yang cukup tidak hanya sebagai suatu sistem hierarki mulai dari tingkat
ditentukan oleh harga pangan, tetapi juga oleh global sampai ketahanan pangan tingkat ru-
pendapatan. Selain itu akses terhadap pangan mah tangga/individu; Sistem ketahanan pa-
juga tidak hanya melalui pertukaran (pasar), ngan perlu memperhatikan tiga elemen, yaitu:
termasuk di dalamnya adalah transfer non- (a) Sistem monitoring dan kewaspadaan dini;
pasar seperti pemberian, sumbangan, dan (b) Sistem keamanan sosial, dan (c) Sistem
lain-lain. Kelemahan dari asumsi (3) adalah jaring pengaman sosial; serta (3) Komponen
bahwa swasembada merupakan cara yang pendukung dari sistem ketahanan pangan
paling efektif untuk menjamin stabilitas harga yang berkelanjutan adalah perlunya peranan
pangan dalam negeri tidak selalu benar, strategis dari pemerintahan yang bersih dan
karena fluktuasi harga (pangan, beras) dalam bertanggungjawab, presure group dan adanya
negeri tidak hanya ditentukan oleh harga pasar kebebasan pers.
dunia atau impor, tetapi juga oleh stabilitas
Sementara itu Tabor et al. (1998) meng-
produksi pangan Indonesia yang rentan terha-
ungkapkan bahwa agar ketahanan pangan
dap iklim yang tidak normal maupun serangan
Indonesia bisa berlanjut diperlukan antara lain
hama/penyakit.
intervensi jangka menengah yaitu dengan
Kelemahan-kelemahan tersebut sebe- memfokuskan pada penggeseran reformasi
narnya sebagai respon dari tumpang tindihnya kebijaksanaan dan kelembagaan ketahanan
tugas pokok antar Departemen/instansi peme- pangan melalui: (1) Konsentrasi ketahanan
rintah yang terkait langsung maupun tidak pangan dengan perhatian pada beras; (2)
langsung dengan masalah pangan. Selain itu Stabilisasi harga beras dengan menggunakan
juga tampaknya dalam pembuatan program instrumen finansial dan perdagangan, dan (3)
ketahanan pangan, pemerintah bersifat Reformasi pemasaran pertanian.
"pragmatis", sehingga jenis program yang

KETAHANAN PANGAN : KONSEP, PENGUKURAN DAN STRATEGI Handewi P.S. Rachman dan Mewa Ariani

21
Masalah yang berkaitan dengan pangan Dimensi ketahanan pangan sangat luas
di masa mendatang memiliki multidimensi balk mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran
yang bersifat lintas bidang, lintas komoditas, dan dimensi sosial-ekonomi masyarakat, se-
lintas daerah dan lintas penduduk. Keterkaitan hingga diperlukan banyak indikator untuk me-
lintas sektoral dalam penanganan masalah pa- ngukurnya. Dari dimensi waktu, pengukuran
ngan sangat kuat sehingga kandungan politik- ketahanan pangan dilakukan di berbagai
nya baik nasional maupun internasional cukup tingkatan dari tingkat global, nasional, regional
tinggi (Amang, B., dan M.H. Sawit, 1997). sampai tingkat rumah tangga dan individu.
Berdasar kenyataan tersebut untuk mendu- Pada tingkat global, nasional dan regional
kung ketahanan pangan nasional, maka indikator ketahanan pangan yang dapat
strategi pemantapan ketahanan pangan di digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan
masa depan perlu mengantisipasi berbagai dengan memperhatikan variabel tingkat keru-
kondisi tersebut. Pendekatan pembangunan sakan tanaman/ternak/perikanan, rasio stok
ketahanan pangan di masa depan perlu mem- dengan konsumsi pangan; skor PPH; keadaan
prioritaskan ketahanan pangan tingkat rumah keamanan pangan; kelembagaan pangan da-
tangga/individu dengan pola manajemen na pemerintah; dan harga pangan. Sementara
desentralisasi sebagai konsekuensi dan dite- itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu,
rapkannya kebijakan otonomi wilayah. Dalam indikator yang dapat digunakan adalah penda-
hal ini peran serta pemerintah daerah dan patan dan alokasi tenaga kerja, tingkat penge-
masyarakat menjadi kunci utama strategi luaran pangan terhadap pengeluaran total,
peningkatan dan pemantapan ketahanan pa- perubahan kehidupan sosial, keadaan kon-
ngan rumah tangga dan wilayah. Sementara sumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan
itu pemerintah (pusat dan daerah) lebih makan), keadaan kesehatan dan status gizi.
berperan sebagai fasilitator dan menciptakan Oleh karena itu pilihan kebijaksanaan dan
kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan program juga sangat kompleks tergantung
swasta untuk berpartisipasi dalam pemba- berapa besar ancaman ketahanan pangan,
ngunan ketahanan pangan. Salah satu bentuk lokasinya, penyebabnya, yang terkena, dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan sifat ketidaktahanan pangan, kronis atau
ketahanan pangan tersebut adalah melalui sementara.
pemberdayaan kelembagaan lokal seperti lum-
Ditinjau dari sisi pendekatan yang terkait
bung desa dan peningkatan peran masyarakat
dengan strategi untuk mencapai ketahanan
dalam penyediaan pangan. Hal ini perlu di-
pangan, secara umum digunakan dua pende-
pertimbangkan sebagai salah satu upaya
katan yaitu: (1) Pendekatan ketersediaan
mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.
pangan; dan (2) Pendekatan kepemilikan
(Noer, H. R.P.M,; 1995; Sapuan dan A.
(entitlement). Pendekatan atau paradigma
Soepanto, 1995; dan A. Azis, 1995).
baru yang digunakan mengacu pada konsep
tentang ketahanan pangan yang berkelanjutan
yang mendasarkan pada tiga aspek (1)
KESIMPULAN
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi
manusia; (2) Ketahanan pangan harus diper-
lakukan sebagai suatu sistem hierarki mulai
Ketahanan pangan sebagai terjemahan tingkat global sampai tingkat rumah tangga/
dari istilah food security telah dikenal luas di
individu; (3) Perlunya peranan pemerintahan
dalam forum pangan dunia seperti FAO.
yang bersih dan bertanggung jawab dan
Sebagai titik tolak alat evaluasi yang penting adanya kebebasan pers serta presure group
dalam kebijaksanaan pangan, konsep keta-
untuk turut bertanggung jawab dalam menca-
hanan pangan mengalami perubahan sesuai
pai ketahanan pangan yang berkelanjutan; dan
dengan kondisi yang sebenarnya. Pada tahun
(4) Ketahanan pangan mencakup aspek
1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi
kuantitatif dan kualitatif pangan serta pangan
perhatian dalam ketahanan pangan, namun secara keseluruhan (tidak hanya pangan
mulai tahun 1980-an beralih ke akses pangan
sumber karbohidrat). Selain itu dalam upaya
pada tingkat rumah tangga dan individu, dan
mencapai ketahanan pangan, pemberdayaan
pada tahun tahun 1990-an telah memasukkan kelembagaan lokal (seperti lumbung desa) dan
aspek kelestarian lingkungan.

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002 : 12 - 24

22
peningkatan peran serta masyarakat dalam umbian di Indonesia. Makalah disampaikan
penyediaan pangan merupakan strategi yang pada Pra-WKNPG VI, Sub Tema : Pena-
patut dipertimbangkan. waran, Permintaan dan Konsumsi Pangan,
Jakarta, 18 November.
FAO. 1996. World Food Summit, FAO, Rome.
DAFTAR PUSTAKA . 1997. Assessment of The Household
Food Security Situation, Based on The
Aggregate Household Security Index and
Anonimous. 1997. Deklarasi Roma Tentang Keta- The Sixth World Food Survey. Committe
hanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak on World Food Security, Twenty-third
Lanjut KTT Pangan Dunia. Terjemahan Session, Rome.
oleh Bulog. Jakarta.
. 1999. Food Insecurity : When
. 1999. Program Pembangunan Per- People must Live with Hunger and Fear
tanian Kabinet Persatuan Nasional 1999- Starvation. The State of Food in Security in
2004. Departemen Pertanian. Jakarta. the World. FAO. Rome.
. 1990. Studi Analisis Data Food Se- Hasan, I. 1994. Sambutan Pengarahan pada
curity. Pusat Studi Kebijaksanaan Pangan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V,
dan Gizi, LP-IPB bekerjasama dengan Jakarta, 20 April.
Departemen Kesehatan, Bogor.
Jatileksono, T. 1997. Konsep dan Kebijakan Keta-
. 1990/1991. Studi ldentifikasi Daerah hanan Pangan. Makalah disampaikan
Rawan Pangan. Proyek Pengembangan pada Seminar Pra-WKPG VI, di Bulog,
DPG, Departemen Pertanian bekerjasama Jakarta 26-27 Juni.
dengan Jurusan GMSK, Fak. Pertanian,
IPB. Bogor. Kantor Menpangan. 1996. Undang-undang Pangan
Nomor 7, Tahun 1996 Tentang Pangan.
Amang, B. 1995. Sistim Pangan Nasional. Penerbit
PT Dharma Karsa Utama, Jakarta. Kodyat, B. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Diver-
sifikasi Pangan Dalam Rangka Ketahanan
dan M.H. Sawit. 1997. Perdagangan Pangan. Makalah disampaikan pada
Global dan lmplikasinya pada Ketahanan Seminar Pra-WKNPG VI, di Bulog, Jakarta
Pangan Nasional. Agro-Ekonomika 2 26-27.
Maxwell, D., C. Levin, M.A. Klemesu, M. Ruel, S.
Anderson dan Roumasset. 1996. Food Insecurity Mouris and C. Ahiadeke. 2000. Urban
and Stochatic Aspects of Poverty. Asian Livelihoods and Food and Nutrition Secu-
Journal of Agricultural Economic, 2. rity in Greater Accra, Ghana. International
Food Polidy Research Institute In
Ariani, M.; H.P. Saliem, S.H. Suhartini; Wahida dan
Collaboration with The Noguchi Memorial
M.H. Sawit. 2000. Dampak Krisis Ekonomi
Institute for Medical Research and The
terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tang-
ga. Laporan Penelitian Pusat Penelitian World Health Organization. Research
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Report 112.

Azis, A. 1995. Evolusi dan Prospek Pengembangan Noer, H.R.P. Mohammad. 1995. Meningkatkan
Lumbung Desa di Indonesia. Pangan Peran Masyarakat dalam Penyediaan Pa-
ngan. Pangan 21(V):9-12. Bulog, Jakarta.
21(V):58-68.
Balisacan, A.M. 1996. Rural Growth, Food Security Pakpahan, A; H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N.
Syafa'at. 1993. Penelitian Tentang Keta-
and Poverty Alleviation in Developing
hanan Pangan Masyarakat Berpendapatan
Asian Countries, Discussion Paper
Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat
No.9610. School of Economics, University
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
of The Philippines, Manila.
Bogor.
Braun, V.J.; H.Bouis; S.Kumar and R.Pandya-Lorch.
1992. Improving Food Security of The Rachman, H.P.S. dan S.H. Suhartini. 1996. Keta-
hanan Pangan Masyarakat Berpendapatan
Poor: Concept, Policy and Programs.
Rendah di Jawa Tengah dan Nusa
IFPRI, Washington, DC.
Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi
Erwidodo; M. Ariani dan T. Sudaryanto.1997. 15(2):36-53. Pusat Penelitian Sosial Eko-
Penawaran, Permintaan dan Konsumsi nomi Pertanian, Bogor.
Serealia, Kacang-kacangan dan Umbi-

KETAHANAN PANGAN : KONSEP, PENGUKURAN DAN STRATEGI Handewi P.S. Rachman dan Mewa Ariani

23
Reutlinger, S. 1987. Food Security and Poverty in . 1997. Konsep dan Kebijaksanaan
Developing Countries. In Food Policy, Ketahanan Pangan dalam Repelita VII.
Edited by Gitinger, J.P. et a/. Published for Makalah disampaikan pada Seminar Pra-
The World Bank. The Johns Hopkins WKNPG VI. Jakarta, 26-27 Juni.
University Press, Baltimore and London.
Syarief, H. 1991. Studi Identifikasi Daerah Rawan
Sapuan dan A. Soepanto. 1995. Profil Lumbung Pangan. Kerjasama Proyek Pengembang-
Desa dan Strategi Pembinaan ke Arah. an Diversifikasi Pangan dan Gizi. Departe-
Pengembangan Sebagai Lembaga Cada- men Pertanian R.I. dengan juruan GMSK,
ngan Ketahanan Pangan Masyarakat. IPB. Bogor.
Pangan 21(V):50-57.
Sumarwan, U. dan D. Sukandar. 1998. Identifikasi
Sawit, M.H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Indikator dan Variabel serta Kelompok
Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Maka- Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan
lah Pembanding pada Pra-WKNPG VI, di Nasional. Jurusan GMSK-Faperta IPB,
Bulog, Jakarta, 26-27 Juni. UNICEF dan Biro Perencanaan, Departe-
men Pertanian R.I Widuri Press, Bogor.
Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food
Security: The Need for A New Paradigm in Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir
Simatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Maka-
Economic Crisis: Effects on Agriculture and lah disampaikan pada Lokakarya Ketaha-
Policy Responses. 1999. Centre for Inter- nan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta,
national Economic Studies, University of 26-30 Mei.
Adelaide 5005 Australia.
Suryana, A., I.W. Rusastra dan S.H. Suhartini.
Soekirman. 1996. Ketahanan Pangan : Konsep, 1996. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya. Ma- Dalam Rangka Ketahanan Pangan Rumah
kalah disampaikan pada Lokakarya Keta- Tangga. Makalah disampaikan pada Loka-
hanan pangan Rumah Tangga, Yogyakar- karya Ketahanan Pangan Rumah Tangga,
ta, 26-30 Mei. Yogyakarta, 26-30 Mei.
. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Susanto, D. 1997. Dinamika Perilaku dan Kebia-
Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. saan Makan. Makalah Pra Widyakarya
Makalah disampaikan pada Seminar Pra- Nasional Pangan dan Gizi VI. Konsumsi
WKNPG VI, di Bulog, Jakarta 26-27 Juni. dan Kebiasaan Makanan. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Per-anian dan Biro Peren-
Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia.
canaan Depar-temen Pertanian. Jakarta, 4
Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan.
Nopem-ber.
Majalah Pangan No.21. Vol. V.
Tabor, S.R.; H.S. Dillon dan M.H. Sawit. 1998.
Fodd Security on the Road to Economic
Recovery. Agro-Ekonomika 2 (XXVII1):1-
52.

FAE. Volume 20 No. 1, Juli 2002 : 12 - 24

24

You might also like