You are on page 1of 3

Isu penghapusan subsidi tarif listrik 900VA

Kaijan oleh Departemen Kajian Teknologi LPKTA tanggal 23 Februari 2017 dengan pemateri Novrizal
Dwi Rozaq

Salah satu ciri negara berkembang ialah negara tersebut banyak menganggarkan dana subsidi
untuk rakyatnya, begitu pula dengan negara kita Indonesia, menurut portal berita merdeka.com
tercatat bahwa pemerintah tahun ini menganggarkan dana subsidi sebesar Rp. 174,9 triliun untuk di
tahun 2017, turun sebesar Rp. 2,9 triliun dari anggaran APBD-P 2016 sebelumnya dari Rp. 177,8 tirilun.
Penurunan anggaran ini tak lepas dari keputusan pemerintah untuk menurunkan subsidi energi dan
salah satu kebijakan yang dilakukan ialah penghapusan subsidi tarif listrik 900VA dan sampai saat ini,
tercatat bahwa 2/3 dari seluruh pengguna listrik 900VA subsidi telah dihapuskan.

Perlu diperhatikan sekali lagi bahwa kebijakan ini bukanlah kebijakan kenaikan tarif dasar
listrik, namun merupakan program penghapusan subsidi. Tentunya penghapusan subsidi tarif dasar
listrik ini bukanlah tanpa sebab. Menurut hasil survei dari pihak PLN serta tim dari mahasiswa yang
salah satunya adalah dari pemateri sendiri. Pemakaian beban listrik 900VA di Indonesia khususnya
Jawa hampir seluruh penerima subsidi listrik 900VA dikatagorikan tidak tepat guna, bahkan dari survei
tersebut banyak didapati rumah yang menggunakan memasang AC (Air Conditioner) dan beban listrik
yang berat sekaligus. Tentu subsidi yang tidak tepat guna ini sebisa mungkin ditekan agar biaya
tersebut dapat menopang sektor energi, tidak hanya untuk menjadi dana subsidi yang tidak tepat
guna, sehingga kedepannya tarif listrik dapat tetap normal untuk jangka waktu yang cukup lama

Untuk menetapkan tarif listrik listrik sendiri, tentu PLN harus mempertimbangkan biaya cost
and profit. Dari biaya cost, ongkos pembangkitan hampir memakan 60% dari biaya yang ada. Pada
data yang ada, prioritas pembangkit PLN berturut turut ialah PLTU[1], PLTA[2], PLTD[3], lalu
pembangkit energi alternatif terbarukan. Hal ini terjadi karena kurva beban konsumsi daya listrik di
Indonesia yang fluktuatif dengan beban puncak 25ribu Megawatt dan setiap tahun akan terus
bertambah secara 3-6% dari beban puncak pada tahun sebelumnya.

Dari ongkos pembangkitan sendiri, selain karena ongkis distribusi listrik, hampir sebagian
besarnya dihabiskan untuk pembelian dan distribusi bahan bakar (khususnya bahan bakar batubara
dan diesel), itupun akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Meskipun untuk bahan bakar
batubara sendiri jumlahnya di Indonesia masih terbilang cukup berlimpah, Indonesia masih memiliki
PR energi yang harus diselesaikan, karena menurut penelitian serta data data dari PLN, bahan bakar
minyak bumi di Indonesia hanya dapat mencapai waktu 30 tahun untuk menopang kebutuhan bahan
bakar minyak bumi dengan beban kebutuhan seperti beban saat ini dan dengan teknologi
pertambangan yang ditetapkan seperti sekarang. 30 tahun bukanlah waktu yang lama, sehingga
Indonesia sangat perlu untuk mengembangkan riset energi khususnya riset EBT[4] untuk mencari
solusi permasalahan energi di Indonesia agar bisa terus melayani masyarakat dan memasok energi ke
seluruh pelosok.

Pada diskusi dan dialektika yang terjadi pada kajian ini, ada beberapa solusi yang dapat
ditawarkan sehingga energi listrik murah masih dapat dinikmati oleh anak cucu kita nanti. Salah
satunya adalah dengan membangun PLTN[5], PLTN yang direkomendasikan ialah PLTN generasi IV
dengan bahan bakar Thorium, bahan bakan Thorium sendiri banyak ditemukan di Indonesia dan salah
satunya ialah dapat ditemukan dari limbah pasir sisa tambang timah di daerah bangka belitung, selain
itu juga pembangunan PLTN generasi IV yang memang pada dasarnya berada tak jauh dari beban listrik
sehingga cost untuk distribusi listriknya tidak terlalu kecil.
Ada juga ide untuk bisa membangun PLTN di pulau atau daerah terpencil yang belum memiliki
akses listrk dengan sistem penyimpanan listrik dan didistribusikan dengan kapal, namun hal tersebut
masih sangat jauh untuk diterapkan bahkan hampir tidak bisa, karena teknologi yang ada sekarang
belum ada alat portable yang bisa menyimpan listrik AC[6] (pembangkit listrik dengan generator turbin
menghasilkan listrik DC[7]) dengan energi besar, serta kalupun dilakukan penyimpanan dengan
baterai biasa (DC) pertimbangan cost untuk mengubah listrik AC menuju DC begitu besar sehingga
tidak sepadan dengan hasil yang diberikan. Senada seperti ide membangun PLTN di daerah terpencil
ada juga ide untuk membangun PLTN terapung sehingga bisa memasok kebutuhan listrik daerah
daerah terpencil di dekat pesisir, selain menghemat tempat (tidak memerlukan lahan tanah) juga
listrik dapat diantarkan ke mana saja.

Lalu ada beberapa ide lain yaitu dapat meniru kebijakan pemerintah Jerman, Finlandia serta
Irlandia yang mengalokasikan lebih dari 20% dari total konsumsi listrik nasional berasal dari EBT,
khususnya Jerman yang sebagian besar power plant-nya berupa power plant berjenis bio massa
dengan bahan bakar sampah dapur yang bahkan Jerman sendiri mengimpor sampah dapur dari negara
negara tetangganya untuk memenuhi kebutuhan energi tahunan Jerman.

Tentu dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan terdiri dari banyak pulau dapat
tersimpan banyak potensi EBT yang menunggu untuk dimanfaatkan, contohnya saja potensi energi
panas bumi, energi matahari, energi angin, bahkan energi laut. Dan untuk energi laut sendiri,
Indonesia memiliki potensi besar pada energi gelombang laut khususnya di daerah pesisir selatan
Pulau Jawa. Sejalan dengan pemanfaatan kondisi geografis, Korea Selatan telah membangun
generator arus pasang surut air laut dengan produksi energi listrik terbesar di dunia yaitu 550
Megawatt elektrik.

Tentu hal ini dapat menjadi penyemangat bagi Indonesia khususnya pemerintah agar dapat
memperhatikan perkembangan teknologi EBT baik nuklir maupun non-nuklir untuk menopang
kebutuhan energi di Indonesia. Dan untuk saat ini, salah satu cara terbaik selain tetap bergantung
kepada tenaga listrik bahan bakar batubara ialah dengan meninjau pembangunan PLTN khususnya
PLTN Thorium generasi IV di Indonesia. Karena sumber Thorium yang berlimpah di Indonesia yang
dapat membuat biaya listrik akan sangat murah. Serta dari segi safeguard-nya sendiri bahan bakar
Thorium tidaklah terikat dengan perjanjian ploriferasi nuklir sehingga dapat digunakan untuk tujuan
damai. Dan selain itu juga dengan hadirnya teknologi maju seperti ini, akan membuka kesempatan
bagi cendikiawan cendikiawan muda yang dapat mempelajari dan bahkan membuat teknologi yang
lebih maju dari ini.

Pada akhirnya poin poin penting yang dapat kita cermati dan kita bagi adalah :

1.) Pernyataan bahwa harga listrik naik pada 1 Januari 2017 itu tidaklah benar, yang ada adalah
penghapusan subsidi listrik daya 900VA
2.) Beban puncak pemakaian listrik Indonesia yang akan mencapai angka 35ribu Megawatt
sampai 10 tahun ke depan sehingga perlu untuk melakukan riset energi EBT nuklir maupun
non-nuklir
3.) Potensi energi bahan bakar minyak bumi di Indonesia dengan teknologi saat ini hanya dapat
menopang kebutuhan energi selama 30 tahun dari sekarang dengan pemakaian seperti
pemakaian saat
4.) Perlunya peninjauan pembangunan PLTN di Indonesia khususnya PLTN generasi IV Thorium
Abbrevation :

[1] PLTU = Pembangkit Listrik Tenaga Uap


[2] PLTA = Pembangkit Listrik Tenaga Air
[3] PLTD = Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
[4] EBT = Energi Baru Terbarukan
[5] PLTN = Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
[6] AC = Alternating Current (arus bolak balik)
[7] DC = Direct Current (arus searah)

Refference :

Azzura SN. 16 Agustus 2016. Pemerintah Jokowi Alokasikan Dana Subsidi Rp 174,9 triliun di 2017
[Internet]. [diakses tanggal 08 Maret 2017]. Tersedia di https://www.merdeka.com/uang
/pemerintah-jokowi-alokasikan-dana-subsidi-rp-1749-triliun-di-2017.html
KBS World Radio. 01 Agustus 2008. Pembangkit Listrik Tenaga Arus Pasang Surut [Internet]. [diakses
tanggal 08 Maret 2017]. Tersedia di : http://world.kbs.co.kr/indonesian/archive/program/news
_zoom.htm?no=4317
Patel S. 01 Desember 2015. Shiwa Lake Tidal Power Plant, Gyeonggi Province, South Korea [Internet].
[diakses tanggal 08 Maret 2017]. Tersedia di : http://www.powermag.com/sihwa-lake-tidal-
power-plant-gyeonggi-province-south-korea/?printmode=1
Bird L. Wstenhagen R. Aabakken J. 2002. Green Power Marketing Abroad : Recent Experience and
Trends. Colorado: NREL.

You might also like