Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hati sangat berperan penting dalam mengatur metabolisme tubuh yaitu proses
anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti sintesa protein,
pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu melakukan detoksikasi bahan-
bahan seperti ammonia, berbagai jenis hormon, obat-obatan dan sebagainya. Selain
itu hati juga berperan sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin
serta memelihara aliran darah splanknikus.1
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat yang bersifat
toksik. Pada pasien sirosis hepatis yang lanjut dalam perjalanan klinisnya akan
ditemui akan ditemui banyak komplikasi-komplikasi tersebut antara lain, ensefalopati
hepatik (EH), peritonitis bakterialis spontan, sindrma hepatorenal dan varices
oesophagus. keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut
merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai ensefalopati hepatikum
(EH) atau koma hepatikum.1,2 Ensefalopati hepatikum pertama sekali dikenal oleh
Giovanni Battista Morgagni di Universitas Padiva Italia tahun 1765. Kejadiannya
sekitar 30-60% kasus pada pasien sirosis.3
Perjalanan klinis ensefalopati hepatikum subklinis, tidak begitu nyata
gambaran klinisnya, akibat belum adanya pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis ensefalopati hepatik maka prevalensi sulit ditemukan. Gambaran klinis
berupa gangguan kesadaran (gangguan pola tidur, apati, perlambatan respon dan
delirium), gangguan personalitas (kelakuan berubah, sifat kekanak-kanakan dan tidak
mengenal keluarga), gangguan intelektual, confuse, apraksia, konstruksional/NCTdan
gangguan bicara. Penyebabnya adalah kegagalan fungsi hepatoseluler, penurunan
kapasitas detoksifikasi hati terhadap amonia dan toksin lainya normal detoksifikasi
amonia 70-80%. Disertai dengan adanya pintasan porto sistemik sehingnga bahan
toksik tanpa pembersihan oleh hati langsung masuk kedarah sistemik dan otak
sehingga menimbulkan ensefalopati.1.2,3
1
Patogenesis ensefalopati hepatik sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
akan tetapi beberapa hipotesis telah dikemukakan. Sampai saat ini peningkatan kadar
amonia darah diduga menjadi penyebab utama terjadinya ensefalopati hepatik. 8 Hal
ini sudah mulai diduga sejak sekitar 100 tahun yang lalu, dan semenjak itu telah ada
ratusan penelitian tentang perananan obat-obatan dalam menurunkan kadar amonia. 4
Langkah pengobatan ensefalopati hepatik dipusatkan pada mekanisme penyebabnya
yang paling penting adalah mencari faktor pencetus terjadinya ensefalopati hepatik.4
Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi yang serius dari penyakit hati
kronik dan terjadi pada 30-40% dari pasien sirosis. Angka kekerapan (prevalensi)
ensefalopati subklinis berkisar antara 30-88% pada sirosis hati. Dalam literatur lain
dikatakan EH pada sirosis hati morbiditasnya 70% dan mortalitasnya 20%. 6 Data di
RSUP M. Djamil dari bulan januari sampai dengan bulan juni 2012 terdapat 52
kasus.7 Ensefalopati yang berhubungan dengan sirosis hepatis dan hipertensi portal
merupakan bentuk paling sering, oleh sebab itu penulis lebih mengkhsuskan
membahas tentang ensefalopati hepatik yang berhubungan dengan sirosis.
Patogenesis dan penatalaksanaan ensefalopati hepatik belum sepenuhnya dimengerti,
yang menyebabkan penanganan kasus EH kurang memuaskan. Untuk lebih tepatnya
dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan ensefalopati hepatik inilah sebabnya referat
ini ditulis.
BAB II
2
ENSEFALOPATI HEPATIK
2.1 Definisi
Babylon 2000 SM mendapatkan bahwa hati adalah pusat jiwa dan keadaan
jiwa. Neinching/ China 1000 SM menganggap hati adalah pusat jiwa. Hippocrates
460-370 SM penderita sakit lever seperti anjing menggonggong (kelainan jiwa).
Ferrich bapak hepatologi modern mendapatkan penderita sakit hati mengalami
gangguan jiwa.4
Spectrum ensefalopati hepatik sangat luas mulai dari tidak ada symptom,
ringan(minimal/subklinis/laten) sampai koma. Gambaran klinis berupa gangguan
kesadaran (gangguan pola tidur, apati, perlambatan respon dan delirium), gangguan
personalitas (kelakuan berubah, sifat kekanak-kanakan, tidak mengenal keluarga),
gangguan intelektual bingung/ confuse, apraxia konstruksional/NCT dan gangguan
bicara. Penyebabnya adalah kegagalan fungsi hepatoselular, penurunan kapasitas
detoksikasi hati terhadap ammonia dan toksin lainnya (normal detoksikasi ammonia
70-80%) disertai adanya pintasan porto sistemik sehingga bahan toksik tanpa
3
pembersihan oleh hati langsung masuk ke darah sistemik dan otak sehingga
menimbulkan ensefalopati.4,5
2.2 Etiologi
Ensefalopati hepatik murni merupakan akibat gangguan fungsi hati hebat dan
akut pada penderita gagal hati akut/ hepatik fulminan disebabkan virus, obat dan
toksin. Ensefalopati hepatik murni juga akibat pintasan porto sitemik tanpa penyakit
hati/sirosis hepatis.1,4 Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronis/sirosis 30 -70 %
akan mengalami EH dimana dijumpai gangguan fungsi hepar disetai pintasan porto
sistemik, dicetuskan oleh berbagai faktor pencetus diantaranya perdarahan, infeksi,
gangguan keseimbangan elektrolit terutama hipokalemia, alkoholisme atau penyebab
iatrogenik seperti, obat obatan sedatif, analgetik, dan diuretik.5,6
Sedangkan pada sirosis hati disebabkan nekrosis hati yang luas, dan biasanya
sudah ada kolateral sistemik, dan asites. Disini gangguan disebabkan adanya zat
racun yang melalui sistem portal mempengaruhi salah satu sususnan saraf pusat.
Karena sel hati seluruhnya sudah rusak dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka
metabolisme tidak dapat berjalan dengan sempurna termasuk tidak dapat mengubah
amonia menjadi urea, akibatnya amonia didalam darah otak semakin meningkat.6
4
2.3.2 Ensefalopati hepatik sekunder (eksogen)
Timbulnya koma hepatik disebabkan bukan karena kerusakan sel hati secara
langsung, tetapi oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi, misalnya :4,5
- Asupan protein yang banyak - Obat-obatan sedatif
- Infeksi - Tindakan operasi
- Pendarahan gastrointestinal -Pengobatan psikotropik
a. Tipe A
Ensefalopati yang berhubungan dengan gagal hati akut. Secara
geografi etiologinya bervariasi, di Amerika Serikat dan Eropa sering
karena penggunaan asetaminofen dan di India sering karena hepatitis E.
Prognosisnya pada tipe ini buruk.
b. Tipe B
Ensefaloapati pada pasien dengan Portosistemik bypass dan tanpa
penyakit intrinsik hepatoselular.
c. Tipe C
Ensefalopati hepatik yang berhubungan dengan sirrosis dan hipertensi
portal merupakan bentuk paling sering.
A Encephalopathy associated
with acute liver failure
B Encephalopathy associated
with portal-systemic bypass
and no intrinsic
hepatocellular disease
C Encephalopathy associated
with cirrhosis and portal
5
hypertension or
portal-systemic shunts Episodic HE
Precipitated
Spontaneous
Recurrent
Persistent HE
Mild, Severe
Therapy
Dependent
Minimal HE
2.4 Patofisiologi
6
Banyak hipotesis telah diusulkan, sebagian telah diperdebatkan, misalnya
teori neurotransmiter palsu dan teori GABA, telah ditinggalkan. Kemajuan terbaru
dalam biologi seluler dan molekuler, dan pencitraan otak, telah menghasilkan
kemajuan dalam memahami patogenesis sindrom ini.
Gambar 1. Mekanisme ensefalopati portal sistemik (dikutip dari Sherlock 1981 hal
96)10
7
Metabolit yang menyebabkan timbulnya ensefalopati belum diketahui secara
pasti. Mekanisme dasar adalah intoksikasi otak karena pemecahan metabolisme
protein oleh kerja bakteri dalam usus. Hasil metabolisme ini dapat memintas hati
karena terdapat penyakit pada sel hati atau karena terdapat pirau. Nitrogen ( yang
dalam keadaan normal diubah menjadi urea oleh hati) merupakan salah satu zat yang
diketahui bersifat toksik dan diyakini dapat mengganggu metabolisme otak.10,11
Pada pasien dengan sirosis, amonia tidak didetoksifikasi hati dan selanjutnya
mengenai otak. Peristiwa ini menginduksi pembengkakan astrosit melalui dampaknya
pada sintesis glutamin/glutamat, sehingga dalam perkembangannya terdapat edema
serebral ringan. Pembengkakan astrosit memicu aktivasi reseptor N - metil - d -
aspartat (NMDA) dan menghasilkan stres oksidatif/nitrosative. Fungsi astrosit
merupakan hasil dari efek tidak langsung amonia dan efek langsung neurotoksik,
yang independen dari perubahan homeostasis air otak. Disfungsi astrosit
menghasilkan perubahan dalam ekspresi gen, modifikasi protein dan RNA, dan
gangguan dalam transduksi sinyal dan neurotransmisi intraseluler. Akibatnya,
komunikasi saraf glial terganggu dan ini berakibat pada plastisitas sinaptik dan
jaringan osilasi listrik. Komunikasi saraf yang berosilasi melambat akhirnya dapat
mengakibatkan disfungsi serebral pada ensefalopati hepatik. 6,9,16
Adanya perdarahan gastrointestinal, dan diet yang buruk dapat memicu
ensefalopati hepatik, pada pasien dengan sirosis, karena hal tersebut meningkatkan
jumlah amonia yang beredar. Namun, amonia bukan satu-satunya agen yang
menyebabkan pembengkakan astrosit dalam proses ini. Sitokin inflamasi,
hiponatremia, dan benzodiazepin semua dapat menghasilkan efek yang sama.19
Dengan demikian, ensefalopati hepatik dapat dipicu oleh berbagai kondisi yang
belum tentu meningkatkan beban amonia yang beredar dalam darah, misalnya infeksi,
gangguan elektrolit, dan pemakaian narkoba. Pengobatan faktor-faktor yang
bertanggung jawab memicu ensefalopati hepatik dapat menghasilkan perbaikan yang
cepat dari gejala. Obat-obatan yang mengurangi produksi neurotoksin dan
penyerapan neurotoksin usus, terutama amonia, merupakan pengobatan pilihan.15,16,19
8
Gambar 2. Mekanisme ensefalopati hepatikum1
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis ensefalopati hepatik
adalah:
2.4.1Hipotesis amonia
Amonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki, amonia merupakan hasil
metabolisme asam amino pada semua jaringan, terutama terbanyak dihasilkan dalam
intestinal karena pengaruh bakteri. Pada keadaan normal, amonia akan disekap ke
dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi
urea. Selanjutnya urea tersebut sebagian ( 25 %) masuk ke dalam usus dan
dikeluarkan bersama tinja. Sedangkan sisanya 75 % masuk ke dalam ginjal untuk
dikeluarkan bersama dengan urin.1,4
Pada penyakit hati kronik terjadi gangguan metabolisrne amonia sehingga terjadi
peningkatan kadar amonia 5-10 kali lipat. 1 Oleh karena sel hati sudah tidak dapat
mengubah amonia menjadi urea lagi, akhirnya amonia menuju ke otak. Di dalam otak
amonia bereaksi dengan alfa ketoglutarat menjadi asam glutamat, dan selanjutnya
asam glutamat menjadi glutamin.4,15
9
Amonia secara bebas melalui sawar darah otak, dan ini dibutuhkan untuk
produksi glutamin pada sel astrosit. Secara normal, pengambilan glutamat oleh
astrosit dan produksi glutamin dari glutamat dan amonia dapat mencegah gangguan
fungsi syaraf. Haussinger dkk tahun 2000, glutamin bergerak dalam astrosit
menyebabkan pembengkakan, sehingga menimbulkan edema otak dan hipertensi
intrakanial.5,10 Pada gangguan hati, abnormalitas neurologis berhubungan dengan
edema serebri, akibat dari hiperammonemia. Otak dan cairan spinal pada pasien
sirosis dengan hiperammonemia mengandung kadar glutamin yang tinggi. Akumulasi
amonia dan glutamin pada sel astrosit menyebabkan stres oksidatif, terbentuk zat
radikal bebas, dan terjadi disfungsi mitokondria dan sodium channel, yang
menyebabkan peningkatan osmolaritas intraselular, menyebabkan edema dan
disfungsi serebri.18
10
Asam amino neurotoksik diantaranya adalah triptopan, metionin, dan
merkaptan. Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksik terhadap saraf pusat.
Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang
toksik terhadap saraf pusat. Disamping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan
bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi amonia di otak dan bersama sama
arnonia menyebabkan timbulnya EH.
Pada tahun 2005 Tanigomi dkk melakukan penelitian pada hewan coba
mendapatkan bahwa pemberian metionin dan sulfoximine (inhibitor sintase
glutamine) dapat mencegah pembengkakan astrosit. Pada EH terdapat kenaikan kadar
asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga
sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara
menekan sistem retikuler otak, menghambat detoksifikasi amonia.1,10,11
11
motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut untuk
keperluan (Gitlin., 1996).11
2.5 Diagnosis
Kompleksitas dari fungsi multipel dari otak membuat penilaian klinis untuk menentukan
dan memonitor ensefalopati hepatik menjadi lebih sulit karena ensefalopati hepatik
adalah kelainan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi otak secara umum. Banyak
cara yang sudah diperkenalkan salah satu pendekatan adalah dengan kombinasi
dari beberapa skala neurologi yang mudah dan tes neuropsikologi yang telah tersedia
tergantung dari derajat beratnya ensefalopati hepatik. salah satu pendekatan yang
dapat digunakan adalah berdasarkan pada kriteria West Haven.2,11,14
4 Koma
12
nilai untuk ensefalopati hepatik dari 0 (status mental normal ) sampai 9 (koma dalam),
untuk pasien dengan koma direkomendasikan untuk menlengkapi penilaian dengan Glascow
Coma Score (GCS).
2. Does the patient know which day of the week Yes No, or he/she
does not talk
he/she is in (i.e., Thursday, Friday, Sunday, etc.)?
5. Does he/she understand what you are saying to him/her? Yes No, or he/she
does not talk
(based on the answers to questions 1 to 4)
13
7. Is the patient fast asleep, and is it difficultt No Yes
to wake him/her up?
9. Can he/she talk correctly? In other words, can you Yes No, he/she
does not talk
understand everything he/she says, and he/she doesnt stammer?
Saat ini belum ada pemeriksaan khusus untuk diagnostik HE. Karena EH
merupakan sindrom neuropsikiatrik non-spesifik, maka tes biokemikal kurang
memadai untuk menegakkan diagnosis. Yang paling informatif adalah kadar amonia
dalam darah. Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik yang
berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari
hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati
dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati,
terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas ( shunt ) porto-sistemik.7,23
Nilai serum amonia arteri maupun vena berhubungan dengan derajat beratnya
ensefalopati hepatik. Walaupun pengukuran rutin nilai amonia di darah tidak
dianjurkan karena hasil dari tes tidak akan berubah walaupun sebagai pendekatan
diagnosis atau pada saat manajemen pada pasien yang diduga menderita ensefalopati
hepatik. Sampel darah harus diambil dari vena stasis(tidak menggunakan torniquet
14
dan tidak menyebabkan turbulens atau lisisnya sel darah) dan harus diantar ke
laboratorium dalam 20 menit dalam es.14,16,24Nilai>100Qg/100 ml dianggap abnormal.
Berikut ini tabel yang menggambarkan kadar ammonia di darah dan tingkat stadium HE.7
Tabel 4. KadarAmmonia Darah danTingkatStadium HE10
15
Tabel 6. Hasil UHA(detik) dantingkat stadium HE1
2.5.4 Elektrofisiologi
Penilaian elektrofisiologi dengan critical flicker frequency, prinsip dari tes ini
adalah berdasarkan kenyataan bahwa sel glial retina pada pasien ensefalopati hepatik
menjadi edema sama seperti sel glial serebral. Hal ini disebut retinopati hepatik. Tes
ini dilakukan dengan cara memberikan cahaya pada saat awal dengan frekuensi60 Hz
dan terus diturunkan secara gradual sampai 0,1 Hz. Cahaya diberikansatu perdetik.12
Critical flicker frequency menunjukan frekuensi cahaya pada frekuensi mana
yang pertama diterima oleh pasien. Tahun 2005 Kircheis dkk tes ini berkorelasi
dengan NCT dan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi untuk diagnosis
minimal EH.5 Tes ini tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, pekerjaan atau tingkat
pendidikan dan hanya sedikit dipengaruhi oleh umur. Frekuensi yang diterima
dibawah 39 Hz menunjukan ensefalopati hepatik dengan sensitivitas dan spesifitas
yang tinggi.10,12
2.5.5 Neuroimaging test
Pada tahun 2008 Rovira dkk menemukan edema serebral pada pasien dengan
ensefalopati hepatik dapat dideteksi dengan MRI. Banyak tehnik MRI dapat mendeteksi
edema serebral low grade. CT scan dapat digunakan untuk mengidentifikasi keadaan
yang mirip atau memicu terjadinya ensefalopati hepatik seperti hematoma subdural.5
Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan
berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan.
Pada sirosis perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada
stadium dini masih bersifat reversibel.
16
Tingkat 0 : normal
Tingkat 1 : agak apatis atau euforis dengan atau tanpa gejala neurologis secara
obyektif
a) Stadium I
Tidak begitu jelas dan mungkin sukar diketahui. Tanda yang berbahaya adalah
sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku. Penderita cukup rasional hanya
terkadang tidak kooperatif, mereka kelihatan lebih letargi atau tidur lebih lama dari
biasanya atau irama tidur terbalik.
b) Stadium II
Lebih menonjol dari pada stadium I dan mudah diketahui. Terjadi perubahan
prilaku yang tidak semestinya dan pengendalian sfingter tidak dapat terus
dipertahankan. Keterlibatan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas.
Asteriksis (flapping tremor) dapat dicetuskan bila penderita disuruh mengangkat
kedua lengannya dengan lengan atas difiksasi, pergelangan tangan hiperekstensi, dan
jari-jari terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involuntary
cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang.
17
menggambar binatang atau rumah. Sederetan tulisan tangan atau gambar merupakan
cara yang berguna untuk menentukan perkembangan ensefalopati.
c) Stadium III
d) Stadium IV
Pasien masuk kedalam keadaan koma yang tidak bisa dibangunkan, sehingga
timbul reflex hiperaktif dan tanda babisky. Pada saat ini ditemukan fektor hepatik
yang merupakan prognosis yang buruk.
18
BAB III
3.1 Farmakologis
a. Laktulosa
Merukapan suatu disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus, tetapi
dihidrolisis oleh bakteri usus besar, menyebabkan terjadinya lingkungan dengan pH
asam yang akan menghambat penyerapan amonia. Selain itu frekuensi defekasi
bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. Pemakaian
laktulosa secara oral dengan dosis 60-120 ml perhari untuk merangsang defekasi.1
Penelitian Bajai dkk tahun 2008 menyatakan laktulosa dan laktitol (analog
dari laktulosa) selain memiliki efek pencahar juga menurunkan PH kolon dan
19
mencegah penyerapan mukosa glutamin dalam usus, sehingga mengurangi sintesis
dan penyerapan ammonia. Laktulosa dianggap pengobatan utama pada ensefalopati
hepatik. Dosis oral biasanya 15-30 ml dengan pemberian dua kali sehari. 5
Penggunaan laktulosa bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi usus seperti
kanamisin dan neomisin, akan memberikan hasil yang lebih baik.1
b. Neomisin
c. Rifaximin
Turunan dari rifamycin, yang disetujui FDA untuk ensefalopati hatikum tetapi
bukan lini pertama. Penyerapan oralnya sedikit, efek samping yang ditimbulkan tidak
banyak dan tidak pernah dilaporkan interaksi yang membahayakan. Pada tahun 2010
penelitian Bass dkk menunjukkan bahwa remisi lama pada pasien EH dibandingkan
pasien yang tidak memakai rifaximin. Pada maret 2010 FDA menetapkan rifaximin
sebagai terapi untuk EH dengan dosis oal 550 mg dua kali sehari.5
Penelitian bass dkk tahun 2010 juga membandingkan pasien yang mendapat
rifaximin dan laktulosa dengan pasien yang tidak mendapat keduanya diikuti selama
20
6 bulan, didapatkan bahwa lebih dari 90% pasien mengalami remisi yang lama. 10
diObat ini menghambat sintesis RNA bakteri dalam usus. Antibiotik lain seperti
metronidazole (Flagyl), vankomisin, dan neomisin telah digunakan sebagai alternatif
untuk laktulosa, efeknya mengurangi amonia memproduksi bakteri dalam usus.
Metronidazol 4x250 mg perhari merupakan alternatif.1,4
Pada penyakit hati kronis terdapat gangguan dari metabolisme, dimana asam
amino aromatik (AAA) kadarnya meningkat, sedangkan asam amino rantai cabang
(BCAA) kadarnya menurun. Oleh karena itu pada ensefalopati hepatik bila diberikan
larutan yang mengandung BCAA maka timbulnya koma dapat dicegah. 4 Pemberian
asam amino ini diharapkan akan menormalkan keseimbangan asam amino sehingga
neurotransmitter asli dan palsu akan berimbang dan kemungkinan dapat
meningkatkan metabolisme amonia di otot.1Asam amino rantai cabang (leucine,
isoleucine, dan valine) untuk meningkatkan asupan amoniak dalam otot dan
meningkatkan fungsi kognitif pada ensefalopati hati minimal.21Tujuan pemberian
asam amino rantai cabang pada ensefalopati hepatik antara lain adalah : 1
21
L-ornitin L-aspartat (LOLA) adalah merupakan bentuk garam stabil asam
amino ornitin dan asam aspartat yang dapat menurunkan kadar amonia darah dengan
cara merangsang siklus urea (ornitin sebagai substrat) dan sintesis glutamin yang
berperan penting dalam mekanisme detoksifikasi amonia.8 LOLA memicu
peningkatan metabolisme amonia pada hati dan otot, dan obat ini juga dapat
menembus Blood-brain barrier (sawar darah otak), menyebabkan penurunan kadar
amonia di otak. Obat ini tersedia dalam bentuk oral dan infus.17 Pemberian LOLA
intravena dilaksanakan dalam waktu tiga hari karena secara farmakologis LOLA
dapat segera berkerja segera setelah pemberian intravena dan efeknya dapat bertahan
smapi lebih dari 15 jam. Indikasi LOLA ini adalah pada ensefalopati hepatik sebagai
komplikasi dari gagal hati akut dan kronik.8
Pada sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan Jiang dkk di China pada
tahun 2008, yang terdiri dari tiga penelitian acak terkontrol dengan jumlah pasien
212, didapatkan hasil pemberian LOLA dibandingkan placebo memiliki efek yang
signifikan dalam memberikan perbaikan pada ensefalopati hepatik (risiko relatif 1,89,
CI 95 % 1,32 - 2,71, P= 0,0005). Analisa subgrup menunjukkan bahwa pemberian
LOLA efektif dibandingkan plasebo pada pasien-pasien ensefalopati hepatik derajat 1
atau 2 (risiko relatif 1,87, CI 95 % 1,30 - 2,68, P= 0,0007) dan tidak memiliki efek
yang signifikan pada pasien-pasien ensefalopati hepatik subklinis (risiko relatif 1,69,
CI 95 % 0,72 - 3,94, P= 0,23). Dan dilaporkan kejadian efek samping dari LOLA
hanya pada tiga kasus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian LOLA
bermanfaat pada pasien-pasien ensefalopati hepatik derajat 1 atau 2. 8
22
Penelitian yang dilakukan Abid dkk pada tahun 2003-2004 di Rumah sakit
Universitas Aga Khan, Karachi pada 120 pasien, terdiri dari 62 laki-laki dengan usia
rata-rata 57 11 tahun. Perbaikan Ensefalopati hepatik lebih tinggi pada grup LOLA
(n=40, 66,7 %) dibandingkan dengan grup plasebo (n=28, 46,7 %, p=0,027). Pada
pasien dengan ensefalopati hepatik derajat 1 atau kurang perbaikan (p=0,667) terjadi
pada 6 pasien grup LOLA (35,3 %) dan pada 3 pasien grup plasebo (20%). Dan pada
pasien ensefalopati hepatik derajat 2 atau lebih, perbaikan (p=0,019) terjadi pada 34
(79,1 %) pasien grup LOLA dan 25 (55,6 %) pasien grup plasebo. Pada multivariat
analisis, pasien-pasien dengan ensefalopati hepatik derajat 2 atau lebih menunjukkan
hasil PT, kreatinin dan penggunaan LOLA mempengaruhi hasil. Lama hospitalisasi
pada grup LOLA adalah 93,625,7 jam dan 135,2103,5 jam pada grup plasebo
(p=0,025). Tidak ada efek samping yang diobservasi pada kedua grup. Sehingga
kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah pada pasien sirosis dengan
ensefalopati hepatik tingkat lanjut terapi LOLA adalah aman dan terdapat perbaikan
yang cepat dan masa hospitalisasi yang pendek.17
Obat lain yang banyak digunakan adalah Obat yang bekerja pada
neurotransmisi Flumazenil diberikan dengan dosis 1 mg intravena dan bromokriptin
diberikan dengan dosis 30 mg peroral diindikasikan pada pasien dengan ensefalopati
kronis tidak respon dengan terapi lainnya.22
23
3.2.1 Terapi diet
Menurut Plauth dkk tahun 2006 bahwa pasien dengan sirosis harus makan
setidaknya 1,2 g/kg protein setiap hari ini sesuai menurut hal ini sama dengan the
european society for Parenteral and enteral nutrition recommended 2006.5
24
Transplantasi hati meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan disfungsi
hati yang buruk, tetapi adanya defisit neurologis dapat menyebabkan morbiditas yang
tinggi. Waktu optimal transplantasi hati tidak didefinisikan secara jelas untuk pasien
yang memiliki serangan ensefalopati hepatik, dan studi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan reversibilitas gejala klinis dan kerusakan otak. Hal ini dalam situasi yang
pengujian neuropsikiatri dan neuroimaging canggih dapat membantu menentukan
kemanjuran intervensi terapi, dan harus dianggap sebagai bagian dari evaluasi
pretransplantasi. Pada ensefalopati hepatik yang persisten merupakan indikasi untuk
transplantasi hepar.3
BAB IV
4. 1 Kesimpulan
4.2 Saran
25
1. Tatalaksana intensif pada ensefalopati hepatik sangat diperlukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA
1. Zubir N. Koma Hepatik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1edisi
V, Interna Publising. 2009.677-680
2. Fredman L, Keeffe E, Dienstag J et al Hepatic Encephalopathy in Handbook
of Liver Disease edition Elsevier.2012.183-192
3. Munoz, Hepatic Encephalopathy, Division of Hepatology Philadelphia, USA,
2008
4. Hadi S. Koma Hepatik, dalam Gastroenterologi. Edisi VII, PT Alumni
Bandung. 2002.450-463
5. Demullen K. Mechanisms, diagnosis and management of hepatic
encephalopathy : Journal of gastroenterology & hepatology 2009. 515-524
6. Wakim J. Hepatic Encephalopathy: Suspect it early in patients with cirrhosis :
Journal of Gasrtoenterologi & Hepatologi.2009. 597-604
7. Cordoba J, and Minge B. Hepatic Encephalopathy. Sem of Liver Disease
2008; 28 (1): 70-80.
8. Jiang Q, Zheng MH, Chen YP. L-Ornithine-L-Aspartate in the management of
hepatic encephalopathy : A meta-analysis. Journal of Gastroenterology and
Hepatology 2009;24(1):9-14.
9. Poord, FF. Review article: the burden of hepatic encephalopathy. Aliment
pharmacol.2007.3-9
10. Mullen KD. Pathogenesis, clinical manifestation, and diagnosis of hepatic
encephalopathy. Semin Liver Dis.2007;(suppl 2):3-9.
26
11. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic
encephalopatty definition, nomenclature, diagnosis, and quantification: final
report of the working party at the 11 th word congresses of gastroenterology,
Vienna, 1998. Hepatology.2002;35(3): 716-721.
12. Romero-Gomez M, Cordoba J, Jover R, et al. Value of the critical flicker
frequency in patient with minimal hepatic encephalopathy.
Hepatology.2007;45(4):879-885.
13. Bajaj, J. Review artikel: the modern management of
hepaticencephalopaty.Aliment.Pharmacol.2010. 537-547
14. Quoro JC, Schalm SW. Subclinical hepatic encephalopaty.Liver
disease.1996.6-8
15. Haussinger D, Schliess F.Pathogenesis mechanisms of heptic
encephalopathy.Gut 2008: 1156-1165
16. Krieger D, Krieger S, Jansen O. Manganese and choronic hepatic
encephalopathy.Lancet.1995.:346:270-274
17. Abid S, Jafri W, Mumtaz K et al. Efficacy of L-ornithine-L-aspartate as an
Adjuvant Therapy in Cirrhotic Patients with Hepatic Encephalopathy College
of Physicians and Surgeons Pakistan 2011, Vol. 21 (11): 666-671
18. Vela BI, Ramiez JP. Efficacy of L-ornithine-L-aspartate in Cirrhotic Patients
with Hyperammonemic Hepatic Encephalopathy. Journal of Gastoenterology.
2011, Vol. 10 (2): 55-59.
19. Butterwordsth R. Hepatic Encephalopathy.2012.240 -243
20. Andreas T Blei, Cordoba. Practical Guidelines of Hepatic Encephalopathy,
American Journal of Gastoenterology, Illinois, USA, 2001
21. Cordoba J. New Assessment of Hepatic Encephalopathy. Journal of
Hepatology 2011;54:1030-1040.
22. Hua M, Qin D, Jiang Q, et al. pharmacotherapy for Hepatic encephalopathy:
view of Evidence-Base Medicicne.J Liver.201;1:102.
23. Lockwood AH. Blood ammonia levels and hepatic encephalopathy.Metab
Brain Dis 2004;19:345 9.
24. Ong JP, Aggarwal A, Krieger D, et al. Correlations between ammonia levels
and the severity of hepatic encephalopathy. Am J Med.2003;114:18893.
27
28