You are on page 1of 4

KESIMPULAN

Istilah konjungtivitis alergi merupakan sebuah istilah yang mencangkup sebuah asumsi bahwa
mekanisme hipersensitivitas tipe I menjadi andil terhadap semua bentuk klinis dari penyakit
alergi pada mata. Bagaimana pun juga, mekanisme IgE dan bukan IgE termasuk ke dalam
mekanisme yang membantuk berkembangnya penyakit alergi mata. Mediator-mediator yang
kompleks, sitokin, kemokin, reseptor-reseptor, protease, faktor pertumbuhan, sinyal intraselular,
regulator dan jalur inhibisi dan faktor lainnya yang tidak diketahui dan jalur utamanya nantinya
akan menunjukkan ekspresi yang berbeda pada masing-masing penyakit-penyakit alergi mata,
yang termasuk di dalamnya adalah aspek klinis, segi diagnostik dan respon terhadapa
pengobatan. Oleh karena itu, sistem klasifikasi yang baru lebih baik diperlukan melalui beragam
mekanisme variasi patofisiologi yang berbeda dari penyakit alergi mata

KONJUNGTIVITIS ALERGI PADA ANAK

Pada usia anak, konjungtivitis alergi seringkali terjadi, dengan usia puncaknya yakni pada masa
akhir anak-anak dan dewasa muda. Pasien seringkali memiliki riwayat penyakit atopik, seperti
eksema, asma, atau yang paling sering terjadi yaitu rinitis. Gejala-gejalanya termasuk
keterlibatan bilateral mata, gatal, berair, pengeluaran mukosa, kemerahan, edema kelopak mata
ringan, dan kemosis. AKC dan VKS terjadinya lebih sedikit dibanding lainnya namun sangat
berpotensial menjadi berbahaya dan berat. Oleh karena itu, keterlibatan optamologis anak-anak
sangat diperlukan sebagai antisipasi terjadinya kehilangan penglihatan pada kasus-kasus yang
sudah berat.

DIAGNOSIS KONJUNGTIVITIS ALERGI

Diagnosis penyakit alergi pada mata pertama kali harus dilihat secara klinis, akan tetapi tes-tes
laboratorium dapat juga bermanfaat sebagai diagnosis penunjang. Para ahli di bidang alergi dapat
menunjukkan tes khusus pada kulit untuk alergen-alergen yang spesifik melalui tes goresan atau
injeksi alergen intradermal. Tes in vitro antibodi IgE sampai dengan tes alergen spesifik sudah
digunakan secara meluas. Tes-tes alergi dapat membantu dalam membedakan bentuk-bentuk
fakor intrinsik dan ekstrinsik dan nantinya tentu akan dapat membantu dalam hal penatalaksaan.
TERAPI

Menghindari antigen pencetus merupakan tindakan modifikasi primer untuk semua tipe
konjungtivitis alergi; bagaimanapun mata memperlihatkan area yang luas sering tidak mungkin
untuk menghindari paparan alergen di udara. Air mata buatan menggantikan penyediaan fungsi
barier dan membantu meningkatkan pertahanan pertama di bagian mukosa konjungtiva. Agen-
agen di daerah tersebut dapat membantu untuk melemahkan beragam alergen dan mediator
inflamasi yang mungkin saja dapat muncul di permukaan mata, dan mereka dapat membilas
permukaan mata dengan agen-agen tersebut. Ketika menghindari strategi non farmakologi tidak
menghasilkan perbaikan gejala yang adekuat, terapi farmakologi dapat diberikan secara topical
atai sistemik untuk mengurangi respon alergi.

Manajemen utama terhadap alergi mata termasuk penggunaan agen anti alergi seperti
antihistamin, anti alergi dengan aksi yang beragam, da stabilisasi sel mast. Sebagai contoh,
antihistamin H1 topikal hidroklorida levocabastin efektif untuk mempercepat meredakan
inflamasi pada mata ketika dioleskan pada mata. Antihistamin topikal dapat bersaing dengan
baik dan memblok balik reseptor histamine dan meredakan gatal dan kemerahan untuk waktu
yang singkat. Pengobatan tersebut tidak memberikan efek terhadap mediator proinflamasi
lainnya, seperti prostaglandin dan leukotrien, yang mana tetap tidak dihalangi. Waktu kerja yang
terbatas membutuhkan dosis yang sering yang dapat ditingkatkan menjadi 4 kali sehari dam
antihistamin topikal dapat saja mengiritasi mata, terutama apabila dalam penggunaan jangka
panjang. Penggunaan terapi kombinasi dekongestan dengan antihistamin menjadi lebih efektif
dan dapat dipakai pada mata sampai dengan 4 kali sehari.

Aksi utama dekongestan sebagai vasokonstriktor dan efektif mengurangi eritema, dan
bagaimanapun efek yang merugikannya adalah terasa terbakar, midriasis dan rebound hiperemis
atau medikamentosa konjungtivitis dengan penggunaan yang kronis. Oleh karena itu, terapi-
terapi ini hanya cocok digunakan untuk jangka pendek dalam meredaka gejala-gejala yang
muncul dan tidak direkomendasikan pada pasien dengan glaukoma sudut sempit.

Stabilisasi sel mast memiliki aksi mekanisme yang masih belum jelas. Mungkin saja dapat
meningkatkan pemasukkan kalsium ke dalam sel untuk mencegah perubahan membrane dan atau
dapat mengurangi ketidakseimbangan membran terhadap degranulasi sel mast. Hasil akhirnya
adalah mengurangi degranulasi sel mast, yang mana dapat mencegah pelepasan histamine dan
faktor-faktor kemotik lainnya yang menunjukkan sebelum dan awal bentukannya.

Stabilisasi sel mast tidak meredakan gejala dan dapat digunakan pada dasar profilaksis untuk
mencegah degranulasi sel mast dengan paparan alergen berikutnya. Pengobatan stabilisasi sel
mast dapat juga digunakan secara topikal di mata dan dapat sesuai digunakan untuk konjungtivits
yang parah. Obat stabilisasi sel mast ini membutuhkan periode pemuatan ketika penggunaan obat
ini harus diaplikasian sebelum terpapar antigen.

Akhir-akhir ini telah diperkenalkan beberapa agen anti alergi seperti olopatadine, ketotifen,
azelastine, dan epinastine dan bepostatine yang menekan beragam macam efek farmakologis
seperti reseotor histamin antagonis , stabiliasasi dari degranulasi sel mast dan supresi aktvasi dan
infiltrasi eosinofil.

Ketotifen mencegah aktivasi eosinofil, generasi leukotriens dan pelepasan sitokin. Azelastine
merupakan generasi kedua dari reseptor antagonis H1, dan juga bekerja dengan cara mencegah
inhibisi dari PAF dan membloking dari penempelan ICAM-1. Epinastine memiliki efek
keduanya yakni pada reseptor H1 dan H2 dan juga memiliki stabilisasi sel mas dan efek anti
inflamasi.

Obat-obat tersebut menjadi obat pilihan untuk meredakan gejala-gejala dengan segera pada
pasien dengan konjungtivitis alergi.

NSAID dapat digunakan sebagai obat tambahan agar meredakan hiperemis konjungtiva dan gatal
yang berkaitan dengan prostaglandin D2 dan prostaglandin E2.

Kortikosteroid digunakan pada variasi alergi mata yang berat dan juga efektif terhadap
konjungtivits alergi akut dan kronis. Kortikosteroid mempunyai imunosupresif dan anti
proliferasi ketika mereka menghalangi faktor transkripsi yang meregulasi transkripsi Th2 dan
diferensiasi dari aktivasi sitokin limfosit T ke dalam limfosit Th 2. Ada beberapa keterbatasan
seperti keterlambatan penyembuhan luka, infeksi sekunder, peningkatan tekanan intraocular dan
pembentukan katarak. Oleh karena itu jenis obat ini lebih baik digunakan untuk jangka pendek
(hingga 2 minggu). Jika digunakan dalam jangka panjang, pemeriksaan mata termasuk katarak
dan pengukuran bola mata perlu dilakukan.
Allergen-specific immunotherapy merupakan terapi yang efektif pada pasien dengan
rinokonjungtivitis alergi yang memiliki antibodi spesifik IgE terhadap alergen pencetus. Objektif
utama dari terapi ini adalah menstimulasi toleransi klinis terhadap alergen spesifik menurunkan
peningkatan dari IgE terhadap alergen dan meningkatkan produksi Ig4 dan IgA seperti efek
mediasi dari peningkatan produksi IL-10 dan TGF-1.

Antihistamin oral biasanya digunakan untuk nasal terapi dan gejala alergi pada mata.
Antihistamin generasi kedua dapat mencetuskan mata kering, yang mana dapat mengganggu
perlindungan barier dari lapisan air mata dan dapat memperparah gejala alergi pada mata.
Kortikoteroid intranasal memiliki efektivitas yang tingi untuk mengobati gejala pada nasal dari
rinitis alergi akan tetapi bukti yang menunjukkan bahwa agen tersebut daoat efektif untuk
pengobatan gejala pada mata masih belum dapat dipastikan (inconsistent).

PENDAHULUAN

Penyakit alergi terlihat terus-menerus meningkat dalam beberapa dekade terakhir ini. Alergi
okular memperlihatkan bahwa salah satu kondisi alergi yang paling sering terjadi di praktik-
praktik klinik. Penyebab tunggal dari gejala alergi ini tidak dapat dipastikan secara lugas dan
akurat dan oleh karena itu memikirkan keterlibatan dari beragam faktor diperlukan seperti
genetik, polusi udara, hewan peliharaan dan paparan pada masa kanak-kanak. Alergi okular
dapat menimbulkan gejala iritatif dan bentuk yang berat seperti keratokonjungtivitis atopic, yang
pada akhirnya dapat menjadi penyebab utama hilangnya penglihatan.

Konjungtivitis alergi merupakan istilah yang mencangkup konjungtivitis alergi (SAC),


konjungtivits alergi perennial (PAC), keratokonjungtivitis vernal (VKC), dan keraokonjungtivitis
atopic (AKC). Bagaimanapun, AKC dan VKC memiliki klinikal dan patofisiologi yang sedikit
berbeda dari SAC dan PAC, terlepas dari beberapa penanda umum alergi.

You might also like