You are on page 1of 27

Refrat II

OBAT-OBAT TOKOLITIK DI BAGIAN


KEBIDANAN

Oleh :
Dr. Hadrians Kesuma Putra

Pembimbing :
Prof. Dr. H. A Kurdi Syamsuri, SpOG(K), MSEd

Pemandu :
Dr. H. Asrol Byrin, SpOG(K)

BAGIAN / DEPARTEMEN OBSTETRI GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOH. HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada hari Rabu, 7 Maret 2007 pukul 12.30 WIB

1
DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN. 1
II. MEKANISME KERJA OBAT-OBAT TOKOLITIK 1
III. INDIKASI PENGGUNAAN TOKOLITIK.. 3
IV. RASIONALISASI PENGGUNAAN TOKOLITIK.. 3
V. PERANAN BETA AGONIS SEBAGAI TOKOLITIK.................................... 5
VI. PERANAN OAINS SEBAGAI TOKOLITIK... 10
VII. PERANAN MAGNESIUM SULFAT... 14
VIII. PERANAN KALSIUM CHANNEL BLOCKER SEBAGAI TOKOLITIK..... 17
IX. PERANAN ANTAGONIS OKSITOSIN SEBAGAI TOKOLITIK. 20
X. KESIMPULAN.................................................................................................. 23
XI. RUJUKAN.........................................................................................................
24

DAFTAR GAMBAR

Mekanisme kerja obat-obat tokolitik.....................................

2
I. PENDAHULUAN

Kelahiran bayi prematur dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas perinatal, di


negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris persalinan prematur adalah
penyebab tertinggi angka morbiditas dan mortalitas perinatal, dimana komplikasi
yang diakibatkan oleh persalinan pretem lebih dari 10% dari seluruh kehamilan oleh
karena itu persalinan prematur merupakan hal yang patut mendapat perhatian khusus
mengenai penatalaksanaannya disamping upaya pencegahannya.1-11
Tujuan penanganan persalinan dan kelahiran prematur adalah untuk mencegah
dan menghentikan terjadinya kontraksi uterus dengan obat-obatan tokolitik sampai
kehamilan seaterm mungkin atau sampai janin mempunyai maturitas paru yang
dinggap cukup mampu untuk hidup di luar kandungan. Walaupun kemungkinan obat
tokolitik hanya berhasil sementara, tetapi penundaan ini penting untuk memberikan
kesempatan untuk pemberian kortikosteroid untuk merangsang pematangan paru-
paru.1-3,5
Pemberian tokolitik untuk mencegah terjadinya persalinan prematur menimbulkan
masalah seperti kapan saat memulai pemberian tokolitik, apakah tokolitik sudah dapat
diberikan begitu ada tanda-tanda terjadinya kontraksi uterus sebelum kehamilan
aterm walaupun belum dapat dibedakan apakah ini kontraksi yang memang suatu
kontraksi yang menandai suatu persalinan atau hanya kontraksi palsu.3,5,6
Dengan demikian pemakaian tokolitik masih merupakan jalan terbaik untuk
menunda persalinan prematur termasuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
perinatal. Pemilihan obat-obatan tokolitik golongan mana yang akan digunakan
haruslah didasarkan pada efisiensi obat, keamanan terhadap ibu dan janin serta
pengetahuan yang jelas tentang suatu preparat yang akan digunakan.9,11

II. MEKANISME KERJA OBAT-OBAT TOKOLITIK

Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di
dalamnya agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor,
magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin.1-3,8-13,15,17,21,24

3
Kalsium pada sel myometrium berasal dari intraseluler maupun ekstraseluler
dimana sebagian besar kalsium yang digunakan sel myometrium untuk berkontraksi
berasal dari konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler dari
berbagai macam mekanisme yang berbeda dan berikatan dengan calmodulin dan
memulai aktivasi dari calcium-dependent myosin light chain kinase (CDMLK).
Mekanisme kerja dari obat-obat tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini : 1

Sub grup dari obat-obat tokolitik bekerja dengan cara yang berbeda-beda untuk
menghambat terjadinya kontraksi uterus, ini terjadi melalui mekanisme persalinan
yang spesifik (antagonis oksitosin, penghambat prostaglandin) atau melalui aksi non
spesifik pada kontraktilitas sel ( agonis, magnesium sulfat dan penghambat
kalsium).1

4
III. INDIKASI PENGGUNAAN TOKOLITIK

Persalinan prematur merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas


perinatal. Obat-obat tokolitik sangat efektif dalam menurunkan angka persalinan yang
sepertinya akan terjadi dalam24 sampai 48 jam, tetapi tidak akan menurunkan seluruh
resiko akibat persalinan prematur.2,15,21
Pertimbangan untuk memberikan terapi tokolitik pada wanita yang pernah
mengalami persalinan prematur ketika ada perlunya untuk menunda persalinan
prematur seperti :2,15,21
1. ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan untuk lebih mendapatkan
pelayanan yang sempurna.
2. untuk pemberian terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan paru.

IV. RASIONALISASI PENGGUNAAN TOKOLITIK

Dalam usaha untuk mencegah kelahiran prematur dan sekuelenya, klinisi yang
merawat persalinan prematur harus tetap mengingat resiko dan komplikasi dari terapi
tokolitik. Pengalaman dengan obat-obatan ini telah mengajarkan kita bahwa obat ini
harus digunakan secara hati-hati dan hanya dengan pasien yang mengalami persalinan
prematur. Poin-poin penting untuk diingat dalam penggunaan rasional terapi tokolitik
antara lain: 14
1. Pastikan pasien benar-benar mengalami ancaman persalinan prematur karena obat
ini merupakan obat yang berbahaya dan poten. Terapi penurunan kontraksi uterus
dengan terapi tokolitik secara parenteral dan oral harus dilakukan walaupun ini
tidak menurunkan insiden persalinan prematur atau kelahiran prematur, dan juga
tidak meningkatkan luaran perinatal. Obat ini juga membuat ibu dan janin
terpapar dengan resiko-resiko yang sebenarnya tidak perlu karena itu pastikan
resiko terapi lebih kecil dibandingkan keuntungannya.
2. Pasien yang menerima tokolitik harus diawasi ketat, terutama pada saat terapi
intravena. Peningkatan mendadak berat badan harian dapat menjadi tanda awal
bahwa pasien mengalami retensi cairan. Intake dan output harus dicatat, kadar

5
elektrolit, glukosa, magnesium dan tanda vital harus diawasi ketat. Tanda-tanda
klinis adanya edema pulmonal harus dilihat ada tidaknya setiap hari.
3. Keseimbangan cairan harus hati-hati diawasi untuk mencegah edema pulmonal,
yang merupakan satu dari komplikasi yang paling serius dan berbahaya dari terapi
tokolitik. Pasien dengan terapi intravena harus dibatasi cairannya untuk
mengindari overhidrasi. Sebagian besar kasus edema pulmonal bersifat
iatrogenik. Pembatasan cairan harus dilakukan dengan cermat. Cairan intra vena
harus berupa ringer laktat atau larutan normal saline. Intake oral dan intravena
total harus diawasi dengan cermat. Mengawasi intake cairan total akan
mengurangi resiko edema pulmonal.
4. Mengetahui kapan harus menghentikan tokolitik. Nyeri dada, nafas pendek,
adalah tanda-tanda klinis edema pulmonal, dan atau tekanan pada dada, harus
dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan terapi. Ketika perlu dan
memungkinkan, rujuk pasien ke pusat kesehatan tersier jika ditemui kasus diluar
tempat tersebut.
5. Denyut nadi ibu harus diperiksa hati-hati, terutama pada pasien yang menerima
obat-obat -adrenergik agonis parenteral. Denyut nadi ibu bertahan pada >120
x/m merupakan hal yang berbahaya dan indikasi bahwa pasien menerima terlalu
banyak obat tokolitik dan berada dalam resiko yang signfikan. Namun, denyut
nadi yang kurang dari 80x/menit mengindikasikan bahwa pasien tidak
mengkonsumsi obatnya atau tidak cukup dosisnya, atau tidak lagi efektif.
6. Mereka yang merawat pasien-pasien ini harus sangat terbiasa dengan obat-obat
tokolitik dalam jumlah yang terbatas. Mekanisme aksi, farmakologi, dosis, dan
resiko harus dipahami dengan jelas tidak hanya oleh dokter dan bidan, namun
juga perawat yang menangani pasien.
7. Infeksi dan abruptio plasenta harus dipertimbangkan sebagai penyebab persalinan
prematur yang resisten atau tidak dapat dielakkan. Pada situasi ini, evaluasi
ultrasonografi yang rinci harus digunakan untuk memeriksa janin dan plasenta
serta mengevaluasi pematangan paru janin.

6
8. Penggunaan terapi tokolitik pemeliharaan menggunakan agonis yang lama
setelah tokolitik intravena telah terbukti tidak efektif dalam mengurangi insiden
berulangnya persalinan prematur atau insiden kelahiran prematur atau
memperpanjang interval menuju kelahiran. Penggunaan obat-obatan tokolitik oral
yang lama seperti nifedipin atau terbutalin masih menjadi kontroversi
9. Persalinan prematur yang dialami oleh sebagian besar pasien dapat dikontrol
melalui terapi intravena dalam waktu 24-48 jam. Usahakan untuk dapat
menghentikan terapi intravena sebisa mungkin. Pasien dengan dilatasi serviks
lanjut atau persalinan prematur resisten mungkin membutuhkan dilanjutkannya
terapi tersebut. Terapi tokolitik yang lama, baik per oral maupun intravena
merupakan hal yang dapat dilakukan, bermanfaat dan aman. Namun pasien harus
diobservasi ketat untuk efek samping dan kaaomplikasinya.
10. Pasien seringkali gagal tokolitik dan melahirkan. Pasien yang melahirkan selagi
menerima terapi tokolitik atau segera setelah dihentikan pemakaiannya akan
mengalami peningkatan resiko untuk terjadinya perdarahan postpartum
menyangkut obat yang digunakan, sehingga kita harus siap dengan kemungkinan
atonia uteri.
11. Jika pasien diberikan terapi tokolitik, maka juga diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat pematangan paru janin.
12. Ketika perlu dilakukan tirah baring untuk antepartum yang lama dan rawat inap
untuk tokolitik, kenali stress yang akan dialami pasien. Pasien ini jauh dari
keluarga, rumah, pekerjaan dan gaya hidup. Tim perinatal memainkan peranan
penting dalam membantu pasien ini menghadapi dan beradaptasi terhadap aspek
psikososial dari perawatan yang diterimanya.

V. PERANAN AGONIS SEBAGAI TOKOLITIK

Agonis beta merupakan obat yang sering digunakan dan terbukti efektif menurunkan
terjadinya persalinan dalam 24, 48 jam dan 7 hari terapi dibanding plasebo. Agonis
adalah golongan tokolitik yang secara struktur sama dengan katekolamin endogen,
epinefrin dan nor-epinefrin. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor

7
adrenergik pada uterus. Isoxuprine adalah obat pertama dari golongan ini yang
digunakan sebagai tokolitik kurang lebih 45 tahun yang lalu.1,15
Terbutalin dan Ritodrin sekarang yang paling banyak digunakan sebagai tokolitik
pada golongan ini di Amerika Serikat dibandingkan dengan Hexoprenalin, Fenoterol,
Salbutamol dan lain-lain, tetapi hanya Ritodrin yang direkomendasikan oleh FDA
sebagai tokolitik dari golongan ini.1,6,8,11,15,16

A. Farmakokinetik
Metabolisme obat tokolitik dari golongan adrenergik agonis ini berbeda dengan
katekolamin endogen. Ritodrin dan Terbutalin dieksresi melalui urin setelah
dimetabolisme di hati.15
Ritodrin dan Terbutalin diketahui dapat menembus plasenta dengan cepat dan
menginduksi stimulasi Adrenergik pada fetus. Konsentrasi pada fetus 30% lebih
rendah dibanding dengan konsentrasi maternal setelah 2 jam pemberian secara intra
vena, tetapi menjadi sama setelah periode yang lebih lama. Pada pemberian yang
konstan melalui intravena Ritodrin dan Terbutalin akan mencapai dosis terapi dengan
waktu paruh 6-9 menit. Setelah pemberian intravena tidak dilanjutkan waktu
paruhnya meningkat mencapai 2,5 jam. Pada pemberian intramuskuler konsentrasi
optimal Ritodrin dicapai dalam waktu 10 menit dan menurun sebanyak 50% dalam 2
jam. Terbutalin secara cepat diabsorbsi dengan pemberian subkutan 0,25mg dengan
waktu paruh 7 menit. Pemberian oral Ritodrin pada jarak yang optimal akan terjadi
penurunan 20% dalam 4 jam pada konsentrasi plasma.15

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik


Obat tokolitik dari golongan Agonis ini dapat diberikan melalui parenteral atau
oral. Terapi pertama kali harus melalui intra vena yang didasarkan pada puls ibu,
tekanan darah dan aktivitas uterus. Berikut adalah kontraindikasi penggunaan
tokolitik golongan Adrenergik:6,10,11,15,17,18

8
Maternal :
Penyakit jantung
Diabetes melitus yang tidak terkontrol
PEB dan eklampsia
Hipertiroid
Perdarahan ante partum
Fetal :
Gawat janin
Korioamnionitis
Janin mati
IUGR

Pemberian dosis obat haruslah mulai dari dosis terkecil dengan peningkatan setiap
15-30 menit sesuai dengan keperluan untuk menghambat kontraksi uterus. Denyut
nadi ibu tidak boleh lebih dari 130 x/m dan kita harus menyesuaikan dosis tokolitik
jika efek samping timbul.15
Ritodrin biasanya diberikan intravena dengan dosis awal 50-100g/m dan
ditingkatkan 50g/m setiap 15-20 menit sampai kontraksi uterus berhenti, dengan
dosis maksimum 350g/m. Beberapa peneliti telah menggunakan Ritodrin intra
muskuler dengan dosis 5-10 mg setiap 2-4 jam. Terapi oral yang dianjurkan adalah 10
mg setiap 2 jam atau 20 mg setiap 4 jam selama 24-48 jam dengan dosis tidak boleh
melebihi 120 mg/hari.8,15
Dosis Terbutalin dianjurkan 2,5g/m setiap 20 menit sampai kontraksi uterus
berhenti atau dosis maximum sebanyak 20 g/m tercapai. Terbutalin dapat diberikan
subkutan dengan dosis 250 g setiap 3 jam. Terapi oral sudah harus diberikan
sebanyak 2,5-5mg setiap 2-4 jam paling lambat dalam 24-48 jam.8,15
Setelah ancaman persalinan prematur dapat dihentikan sekurang-kurangnya 1
jam, tokolitik dapat diturunkan pada interval 20 menit sampai dosis efektif terendah
yang dicapai dan dipelihara selama 12 jam. 30 menit sebelum menghentikan

9
pemberian terapi intra vena terapi oral sudah harus diberikan dan diulang setiap 2-4
jam salama 24-48 jam.8,15

C. Efek-efek Terhadap Ibu


Efek-efek terhadap ibu dan komplikasi-komplikasi penggunaan terapi
adrenergik agonis banyak ditemukan dan lebih sering terjadi daripada efek-efek
terhadap fetus maupun neonatus. Terdapat informasi yang bertentangan apakah efek-
efek ini lebih sering terjadi pada penggunaan ritodrin atau terbutalin. Secara umum,
tidak ada perbedaan efek samping antara Ritodrin dengan terbutalin, kecuali bahwa
terbutalin oral menyebabkan perubahan signifikan pada toleransi glukosa ibu,
sedangkan ritodrin oral tidak menimbulkan efek demikian.15
Berikut adalah efek-efek maternal akibat terapi tokolitik dengan golongan -
Adrenergik agonis :1,8-11,15,16,19
Fisiologi :
Agitasi
Sakit kepala
Mual
Muntah
Demam
Halusinasi
Metabolik :
Hiperglisemia
Diabetik ketoasidosis
Hiperinsulinemia
Hiperlaktasidemia
Hipokalemia
Hipokalsemia

10
Jantung :
Edema pulmonum
Takikardi
Palpitasi
Hipotensi
Gagal jantung
Aritmia, dll

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus


Efek fetal -adrenergik agonis lebih kecil dibanding efek maternalnya. Walaupun
terjadi perpindahan obat ini secara cepat melalui plasenta yang menyebabkan
timbulnya efek fetal dan neonatal, kebanyakan fetus dapat mentoleransinya tanpa
timbul masalah maupun komplikasi.15
Jarang dilaporkan adanya efek signifikan dan komplikasi -adrenergik agonis
terhadap fetus dan neonatus. Efek samping terhadap neonatus paling sering
ditemukan bila ibu mendapat terapi -adrenergik agonis intravena yang lama dan
melahirkan sebelum kadar obat dalam darahnya turun. Walaupun hal ini dulu sering
terjadi, namun saat ini sudah jarang ditemukan.15
Berikut adalah efek-efek Terhadap Fetus dan Neonetus akibat terapi tokolitik dengan
golongan -Adrenergik agonis :1,8,9,11,15,16
Fetal :
Takikardi
Aritmia
Iskemik otot jantung
Hipertropi otot jantung
Gagal jantung
Hiperglisemia
Hiperinsulinemia

11
Neonatal :
Takikardi
Hipokalsemia
Hiperbilirubinemia
Hipoglikemi
Hipotensi
Aritmia
Belum ada laporan mengenai efek terhadap APGAR skor. Hal yang paling
penting, follow up jangka panjang pada anak-anak yang terpapar ritodrin tidak
menunjukkan efek buruk terhadap pertumbuhan.15
Penggunaan klinis beta-adrenergik secara luas selama 45 tahun belum
memastikan adanya efek-efek signifikan terhadap fetus dan neonatus.15

VI. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID SEBAGAI


TOKOLITIK
Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan (kontraksi uterus) yang
penting maka para peneliti menganggap bahwa prostaglandin synthetase inhibitor
dalam hal ini Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) dapat digunakan sebagai
tokolitik. Salah satu obat-obat golongan ini yang dapat dipakai tokolitik adalah
Indomethacin.1,8,10,11,19,20

A. Farmakokinetik
OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase. Indomethacin
adalah obat dari golongan ini yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai
tokolitik. Obat ini dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin.19
Indomethacin secara cepat dapat menembus plasenta, dalam 2 jam kadar dalam
darah bayi 50% dari kadar dalam darah ibu dan akan menjadi sama dalam 6 jam.
Waktu paruh indomethacin pada fetus adalah 14,7 jam yang lebih lama dibanding
pada ibu yang hanya 2,2 jam, hal inilah yang dapat mengakibatkan gangguan hati ada
fetus.19

12
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Indomethacin dapat dapat diberikan peroral atau peranal, dosis yang digunakan
sebagai terapi pada persalinan prematur adalah 150-300 mg/hari, dengan dosis awal
adalah 100-200 mg peranal atau 50-100 mg peroral dan kemudian 25-50 mg setiap 4-
6 jam. Setelah pemberian dosis awal kadar optimal dicapai dalam 1-2 jam yang dapat
dicapai oleh pemberian dengan cara peranal.19
Indomethacin dikontraindikasikan untuk ibu-ibu yang menderita kerusakan ginjal,
hati, asma, oligohidramnion, ulkus peptikum dan alergi.9-11,18,19,21

C. Efek-efek Terhadap Ibu


Bila dibandingkan dengan magnesium sulfat atau ritodrin, efek samping maternal
indomethacin lebih minimal dan jarang terjadi. Kemungkinan efek yang paling sering
terjadi adalah iritasi gastrointestinal termasuk mual, sakit lambung, heartburn, dan
muntah yang berkaitan dengan terapi oral obat ini. Antasida dapat membantu bila
gejala-gejala ini terjadi. Akan tetapi, kebanyakan pasien dapat mentoleransi
indomethacin oral dan hanya mengalami sedikit efek samping.16,19
Karena aspirin dapat berefek pada perdarahan, Lent dkk meneliti efek pemakaian
indomethacin sebagai tokolitik terhadap sistim koagulasi ibu, dan menyimpulkan
bahwa tidak ada efek terhadap proses koagulasi. Akan tetapi, terjadi perubahan yang
menonjol dan bersifat akut pada masa perdarahan ibu, sehingga meningkatkan resiko
terjadinya perdarahan yang banyak saat persalinan. Bila seorang wanita melahirkan
ketika masih dalam terapi obat tersebut atau jika mempunyai indikasi fetal maupun
maternal untuk tindakan operasi, maka dokter harus memeriksa waktu perdarahan dan
mengenali adanya resiko perdarahan. Walaupun perdarahan postpartum termasuk
resiko maternal, efek samping ini jarang terjadi karena kadar obat dalam darah
menurun dengan cepat ketika obat dihentikan.6,11,18,19
Terapi indomethacin yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi ginajal pada
ibu. Interaksi serius dapat terjadi bila obat diberikan bersama dengan golongan
aminoglikosid. Pemantauan fungsi ginjal dianjurkan bila obat yang potensial
nefrotoksik digunakan bersamaan atau segera setelah penggunaan indomethacin.

13
Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari. Timbulnya insufisiensi ginjal
akut pada ibu mungkin berhubungan dengan kombinasi antara perubahan aliran darah
ginjal dengan adanya restriksi cairan.19
Indomethacin yang digunakan bersama-sama bloker menyebabkan hipertensi
yang berat pada ibu. Bagaimana mekanisme OAINS ini menyebabkan hipertensi tidak
diketahui, tetapi perlu hati-hati dan dihindari pemakaiannya pada wanita-wanita
dengan preeklampsi. Indomethacin juga bersifat antipiretik. Penggunaannya dapat
menutupi demam yang timbul akibat korioamnionitis subklinis. Perdarahan rektal
dapat terjadi akibat pemberian berulang indomethacin suppositoria, terapi oral setelah
dosis awal dapat mencegah efek samping tersebut pada ibu, sedangkan pemberian
sacara perrektal dapat mencegah efek samping pada system gastrointestinal pada ibu.
Pemberian indomethacin secara vaginal pada penderita dengan selaput ketuban yang
masih intak sudah dilakukan dan tidak menunjukkan timbulnya komplikasi. Cara
pemberian ini tidak dianjurkan terutama pada pasien dengan pecahnya ketuban
sebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan menunjukkan bahwa
indomethacin tidak berefek terhadap oksigenasi fetal atau aliran darah fetal-maternal.
Perfusi uteroplasenta juga tidak terganggu, demikian pula tekanan darah dan denyut
jantung ibu. Penggunaan indomethacin selama lebih dari 7 hari, berkaitan dengan
timbulnya depresi, pusing, dan psikosis dan sering sakit kepala.9,17,19

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus


Indomethacin telah ditemukan berkaitan dengan adanya morbiditas pada bayi
baru lahir, terutama jika terapi tokolitik tidak berhasil dan bayi dilahirkan prematur
atau obat digunakan lebih dari 2 hari. Laporan-laporan ini dan lainnya menunjukkan
bahwa bila terapi indomethacin ini melebihi 48 jam, maka terjadi peningkatan resiko
bagi neonatus untuk mengalami enterokolitis nekrotikans, perdarahan
intraventrikuler, peningkatan resiko displasia bronkhopulmoner, gagal napas,
disfungsi ginjal, dan insiden yang lebih tinggi untuk terjadinya penutupan duktus
arteriosus yang dini akibat indomethacin setelah lahir. Konstriksi duktus arteriosus,

14
oligohidramnion, merupakan efek samping yang paling serius berkaitan dengan
penggunaan obat ini.1,9,11,18-20
Indomethacin telah dicurigai menyebabkan konstriksi duktus arteriosus fetal,
konstriksi parsial duktus akibat indomethacin belum didokumentasikan oleh beberapa
peneliti, walaupun penelitian yang lain telah menemukan kejadiannya yang ternyata
cukup sering mendekati 50%. Konstriksi duktus pada neonatus bersifat reversibel dan
akan hilang bila terapi indomethacin dihentikan. Semakin banyak bukti yang
menunjukkan bahwa konstriksi duktus jarang terjadi sebelum 34 minggu, tetapi
frekuensinya meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan. Walaupun dosis
efektif terkecil yang digunakan, konstriksi duktus tidak bergantung pada kadar obat
dalam serum fetal. Penutupan prematur duktus arteriosus dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal primer pada neonatus yang dapat berakibat fatal.1,19
Bila persalinan terjadi dalam 48 jam sejak pemberian indomethacin atau terapi
melebihi 48 jam, akan menyebabkan peningkatan resiko morbiditas neonatal.
Indomethacin dan penghambat sintetase prostaglandin lainnya termasuk Ibuprofen
bersifat melawan efek hambatan prostaglandin terhadap hormon antidiuretik yang
akan mengakibatkan berkurangnya urin output janin dan volume cairan amnion. Obat
ini dapat kurang atau sama efeknya terhadap konstriksi duktus dan volume cairan
amnion.1,18,19
Sama seperti seluruh obat yang diberikan pada ibu, ahli neonatologi dan dokter
anak harus waspada terhadap bayi baru lahir yang terpapar dengan indomethacin dan
harus dipertimbangkan efek obat terutama pada bayi prematur. Karena resiko utama
yang berupa hipertensi pulmonal pada bayi baru lahir setelah tokolitik indomethacin
meningkat dengan terapi yang memanjang, tampaknya bijaksana untuk membatasi
penggunaannya hingga 24-48 jam untuk menghindari atau mengurangi insiden
komplikasi yang terjadi pada janin dan neonatus. Juga direkomendasikan bahwa
terapi hanya terbatas pada usia kehamilan 32-34 minggu.1,19

15
E. OAINS Lain Sebagai Tokolitik
Seperti yang kita ketahui OAINS bekerja primer sebagai penghambat
cyclooxygenase (COX) yang mempunyai 2 tipe yaitu COX-1 dan COX-2.
Indomethacin adalah OAINS yang bekerja pada kedua tipe ini.1,22
Pada manusia peningkatan kadar COX tipe 2 diyakini lebih bermakna terhadap
terjadinya persalinan prematur dibanding COX tipe 1.9,23 Contoh obat-obat yang
dapat digunakan sebagai tokolitik dari golongan ini adalah Nimesulid dan
1, 22
Celecoxib.
Nimesulid dapat dipakai sebagai tokolitik tetapi juga dapat menyebabkan
terjadinya gagal ginjal stadium akhir pada manusia sehingga hal inilah yang
membatasi penggunaannya.22
Sedangkan celecoxib dengan dosis 50, 10, 1 mg/kgbb dapat digunakan sebagai
tokolitik yang dapat menunda persalinan dibandingkan tanpa celecoxib dengan efek
samping penutupan dini dari duktus arteriosus yang lebih kecil dibanding
indomethacin.22

VII. PERANAN MAGNESIUM SULFAT (MgSO4) SEBAGAI TOKOLITIK

MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai anti kejang pada penderita
preeklamsia sebagai anti kejang yang juga bersifat sebagai tokolitik. Di Amerika
Serikat obat ini dipakai sebagai obat tokolitik utama karena murah, mudah cara
pemakaiannya dan resiko terhadap sistem kardiovaskuler yang rendah serta hanya
menghasilkan efek samping yang minimal terhadap ibu, janin dan neonatal. Kerugian
terbesar yang signifikan dari penggunaan magnesium sulfat sebagai obat tokolitik
adalah harus diberikan secara parenteral. Hall (1959) pada pengamatannya
menemukan terjadinya hambatan kontraksi uterus hampir komplit pada kadar serum
MgSO4 antara 8-10 mEq/l. Rusu (1966) adalah orang pertama yang memakai MgSO4
sebagai tokolitik.1,5,23,24 dan Kiss dan Szoke (1975) melaporkan penggunaan MgSO4
intravena sebagai tokolitik.24

16
A. Farmakokinetik
Jumlah total magnesium dalam tubuh manusia adalah 24gr yang sebagian besar
terdapat pada tulang dan ruang intraseluler dan hanya 1% pada ekstraseluler.
Konsentrasi magnesium pada serum wanita normal berkisar antara 1,83 mEq/l dan
turun menjadi 1,39 mEq/l pada wanita hamil.5,11,23
Magnesium dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal oleh karena itu konsentrasi
magnesium plasma ditentukan oleh jumlah pemberian melalui infus dan kecepatan
filtrasi glomerulus.23
MgSO4 mempunyai dua cara yang memungkinkannya bekerja sebagai tokolitik
yang pertama peningkatan kadar MgSO4 menurunkan pelepasan asetilkolin oleh
motor and plates pada neuromuskular junction sehingga mencegah masuknya
kalsium, cara yang kedua MgSO4 berperan sebagai antagonis kalsium pada sel dan
ekstrasel.9,11,16,23,25

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik


Intoksikasi MgSO4 dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin
memadai, refleks patella ada dan tidak ada depresi pernapasan. Refleks patella
menghilang pada kadar 10 mEq/l (antara 9-13 mg/dl) dan pada kadar plasma lebih
dari 10 mEq/l akan timbul depresi pernapasan dan henti napas dapat terjadi pada
kadar plasma 12 mEq/l atau lebih. MgSO4 sebagai terapi tokolitik dimulai dengan
dosis awal 4-6 gr secara intravana yang diberikan selama 15-30 menit dan diikuti
dengan dosis 2-4 gr/jam selama 24 jam.5,8,9,23,25 selama terapi tokolitik dilakukan
konsentrasi serum ibu biasanya dipelihara antara 4-9 mg/dl.
Untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya intoksikasi seperti hal di atas
maka perlunya disediakan kalsium glukonas 1 gr sebagai anti dotum dari
MgSO4.8,9,23,25

17
C. Efek Terhadap Ibu
Elliot merupakan salah satu dari yang pertama kali menggambarkan efek samping
maternal yang dapat timbul pada pasien yang menerima magnesium sulfat untuk
menghambat persalinan prematur. Pada 355 pasien dengan diagnosis persalinan
prematur yang diterapi dengan magnesium sulfat setelah dirujuk dari rumah sakit
lain, efek samping muncul pada 7% pasien, dan 2% diantaranya perlu dihentikan
pemberiannya. Komplikasi yang terlihat berupa edema pulmonal, nyeri dada, nausea
berat atau kemerahan, mengantuk, dan pandangan kabur. Namun, secara keseluruhan,
efek samping terhadap ibu jarang terjadi. Pada studi ini, magnesium sulfat juga
dianggap sebagai obat yang berhasil, murah dan relatif non toksik dengan efek
samping yang sedikit. Banyak penyelidik telah mengkonfirmasi penemuan ini,
membuat magnesium sulfat menjadi obat tokolitik yang umum digunakan.5,9,18,23,25
Efek samping yang paling signifikan dari terapi magnesium sulfat adalah
berkembangnya edema pulmonal. Elliot menemukan insiden sebesar 1,1% pada
pasien yang menerima tokolitik magnesium sulfat. Resiko ini lebih kecil pada
magnesium sulfat jika dibandingkan dengan -adrenergik agonis. Edema pulmonal
merupakan komplikasi yang serius dan berpotensi mematikan akibat komplikasi
terapi tokolitik. Armson mengevaluasi dinamika ibu-janin selama terapi tokolitik
dengan kedua obat ini, menyimpulkan bahwa retensi natrium tampaknya menjadi
penyebab utama ekspansi volume plasma pada pasien. Ekspansi volume selama terapi
magnesium sulfat mungkin berkaitan dengan overhidrasi intravena. Ekspansi atau
overload cairan merupakan mekanisme utama untuk terjadinya edema pulmonal
selama terapi tokolitik. Ginjal merupakan jalur eksresi utama dari magnesium. Jika
timbul fungsi ginjal yang buruk, atau rata-rata infus magnesium terlalu tinggi, maka
hipermagnesia dengan sekuele yang signifikan dan serius tidak hanya untuk pasien
namun juga untuk janinnya dapat timbul. Efek samping termasuk penurunan refleks
patella, depresi pernafasan, perubahan konduksi miokardium, henti nafas, dan henti
jantung. Pada pasien yang menerima magnesium sulfat intravena, kadar magnesium
serum dan keseimbangan cairan harus diawasi ketat.5,9,10,23

18
Henti nafas dapat muncul pada pasien dengan miastenia gravis dan diterapi
dengan magnesium sulfat. Karena resiko ini, pasien dengan miastenia gravis harusnya
tidak menerima baik magnesium sulfat atau -adrenergik agonis sebagai obat
tokolitik.9,10,18,23,25

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus


Sebagian besar, penggunaan terapi infus magnesium sulfat intravena hanya
memiliki resiko yang sedikit terhadap janin dan neonatus.23
Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin
dan ibu. Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada
neonatus dari pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebih
dari 1 minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang secara
radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang parietal, dan
mineralisasi tulang yang abnormal.23
Laporan kasus telah menyatakan bahwa beberapa obat, ketika digunakan dengan
magnesium sulfat, dapat mengakibatkan komplikasi. Penggunaan magnesium sulfat
dengan gentamisin dan aminoglikosida lain telah menyebabkan potensiasi kelemahan
neuromuskuler, selain itu magnesium yang ditambah nifedipin dapat menyebabkan
efek hipotensif yang bermakna karena potensiasi nifedipin terhadap aksi
penghambatan neuromuskular dari magnesium.5,6,11,23
Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek
sampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau
merusak.23

VIII. PERANAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (NIFEDIPINE) SEBAGAI


TOKOLITIK

Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus
dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung pada

19
voltase. Terdapat beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar
pengalaman klinis adalah dengan nifedipin.26
Awal 1960an nifedipine digunakan sebagai anti angina dan juga merupakan salah
satu obat anti hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu hamil maupun tidak
hamil. Pada saat ini obat ini juga diketahui memiliki peran di bidang obstetri dan
ginekologi khususnya pada penanganan persalinan prematur.5,26,27
Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya dan sedikit insiden
terjadinya efek samping. Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik
ketika dibandingkan dengan plasebo atau obat-obat lainnya. Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa efektivitas obat ini sama dengan ritodrin dalam mencegah
persalinan prematur.5,26

A. Farmakokinetik
Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral ataupun
sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90 menit
setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma
dicapai setelah 5 menit pemberian. Lama kerja obat pada pemberian dosis tunggal
dapat sampai 6 jam dan tidak terjadi efek komulatif pada pemberian oral setiap 6 jam.
Absorpsi secara oral tergantung dari keasaman lambung. Nifedipine dimetabolisme di
hepar, 70-80% hasil metabolismenya dieksresikan ke ginjal dan sisanya melalui
feses.5,26

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik


Dosis nifedipine untuk terapi pada persalinan prematur pada percobaan klinik
bervariasi. Dosis inisial 30mg per oral atau 30mg ditambah 20mg peroral dalam 90
menit atau 10mg sublingual setiap 20 menit, dengan diikuti oleh 4 dosis tambahan
sebanyak 20mg peroral setiap 4-8 jam untuk terapi tokolitik. Sebagai dosis perawatan
10-20mg setiap 4-12 jam.26
Pemberian nifedipine dikontraindikasikan untuk penderita penyakit hati dan
hipotensi.5,9,-11,21,26

20
C. Efek Terhadap Ibu
Nifedipin menghasilkan hipotensi sistemik dengan menyebabkan vasodilatasi
perifer. Obat ini telah digunakan dalam terapi hipertensi selama kehamilan atau post
partum. Secara klinis, ketika digunakan untuk terapi persalinan prematur, obat ini
memiliki efek terhadap kardiovaskular yang minimal.26
Ferguson melaporkan tokolitik nifedipin berhubungan dengan hemodilusi yang
dapat meningkatkan resiko edema pulmonal non kardiogenik. Obat ini tidak memiliki
efek terhadap elektrolit plasma. Nifedipin yang digunakan dengan magnesium sulfat
menghasilkan blokade neuromuskular dan jika timbul, akan terlihat kelemahan otot
yang berat, yang dapat dikoreksi jika magnesium dihentikan. Magnesium adalah obat
penghambat neuromuskuler dan efek ini dapat diperoleh juga dengan pemakain
nifedipin. Laporan-laporan kasus mengenai interaksi obat ini dapat dijumpai, namun
kemunculan interaksi jarang dijumpai. Hipotensi yang signifikan muncul ketika
kedua obat ini digunakan bersamaan sehingga harus hati-hati jika menggunakan
penyekat kanal kalsium dengan magnesium sulfat.5,11,26
Meskipun penyekat kalsium hanya digunakan pada studi-studi penyelidikan di
masa lalu, obat ini digunakan secara luas. Ketika digunakan secara klinis, jarang
dijumpai efek samping yang signifikan terhadap ibu, namun dapat dijumpai
takikardia, kemerahan pada kulit, sakit kepala, pusing, nausea, vasodilatasi, dan
hipotensi yang jarang terjadi pada pasien hipovolemik, yang dapat diterapi secara
efektif dengan mengurangi dosis obat. Hepatotoksisitas maternal yang diinduksi oleh
obat telah dilaporkan ketika nifedipin digunakan untuk terapi persalinan prematur
sehingga mengakibatkan dihentikannya pemberian obat ini. Hal ini jarang muncul
namun tes fungsi hepar awal dan periodik mungkin diindikasikan untuk dilakukan
ketika nifedipin digunakan untuk periode yang lama.5,9,17,21,26

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus


Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal kalsium
menjanjikan beberapa harapan sebagai obat tokolitik karena efek samping terhadap
ibu yang lebih sedikit, beberapa perhatian muncul menyangkut efeknya terhadap

21
janin. Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang dilaporkan telah
memperlihatkan adanya penurunan aliran darah uteroplasenta, tekanan darah,
hiperkapnia, asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Studi-studi hewan baru-baru
ini telah diiringi dengan pengamatan terhadap janin wanita hamil.17,21,26
Namun, hanya terdapat studi-studi klinis yang dipublikasikan dalam jumlah yang
terbatas yang menggunakan penyekat kanal kalsium. Obat ini mencapai kepopuleran
sebagai obat tokolitik lini kedua ketika terapi lini pertama gagal. Tidak terdapat
morbiditas janin atau neonatus yang signifikan dari penggunaan klinis nifedipin
sebagai obat tokolitik. Namun, studi-studi lebih lanjut diperlukan karena jarangnya
data yang tersedia sebelum obat direkomendasikan untuk dapat digunakan lebih luas.
Untuk saat ini, obat ini tampaknya diindikasikan dan bermanfaat ketika obat yang lain
gagal. Di masa depan, obat ini dapat merupakan obat tokolitik yang bernilai dan
bermanfaat dengan efek samping yang lebih sedikit.26

IX. PERANAN ANTAGONIS OKSITOSIN SEBAGAI TOKOLITIK

Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi obat
tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap obat-obat
tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek samping
terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru pada golongan
obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa. Atosiban
menghasilkan efek tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor
oksitosin.1-3,11,28,29

A. Farmakologi Atosiban
Atosiban ({1-deamino-2-D-Tyr(Oet)-4-Thr-8-Orn}-oxytosin) adalah antagonis
reseptor oksitosin, yang dikembangkan untuk terapi persalinan prematur. Atosiban
merupakan antagonis kompetitif dari oksitosin yang menghambat oksitosin
menginduksi terjadinya kontraksi uterus. Selama persalinan peningkatan respon
miometrium terhadap oksitosin disebabkan banyaknya jumlah reseptor oksitosin di
miometrium, dimana konsentrasi reseptor oksitosin lebih banyak di korpus uteri

22
dibandingkan di segmen bawah rahim atau serviks. Atosiban memblok kerja
oksitosin pada reseptor ini. Rata-rata dosis tetap pasien yang mendapatkan infus
atosiban adalah 44273 ng/ml (mean SD), dengan dosis tetap tersebut diperoleh 1
jam sesudah infus dimulai. Sesudah terapi infus selesai konsentrasi plasma menurun
cepat dengan waktu paruh awal 18 3 menit.2,28,29

B. Keefektifan Atosiban sebagai Tokolitik


Penggunaan Atosiban sebagai tokolitik telah resmi dipakai di UK. Dosis yang
diberikan dan jadwal pemberian adalah sebagai berikut: dosis pertama bolus 6,75 mg
atosiban selama lebih dari 1 menit, dilajutkan infus 18 mg/jam selama 3 jam dan
6mg/jam selama 45 jam. Lama pemberian tidak boleh melebihi 48 jam, dan total
dosis pemberian tidak melebihi 330 mg.2,3
Menurut Romero dkk dan Moutquin dkk pemakaian atosiban sebagai tokolitik
dengan dosis dimulai bolus intravena 6,75 mg dalam 0.9 ml isotonik cairan sodium
klorida, diikuti dengan pemberian infus 300 gr/menit dalam dekstrosa 5% untuk 3
jam pertama, dan 100 gr/menit selama 18 jam. Pada akhir terapi atau 6 dan 12 jam
sesudah terapi dimulai, kemajuan persalinan dinilai, berdasarkan 2 dari 3 kriteria
yang ada, yaitu adanya 4 kontraksi uterus dalam 1 jam, peningkatan pembukaan
serviks 1 cm dari pembukaan awal sebelum terapi dimulai, dan pendataran serviks
25% dari pengukuran awal. Jika persalinan maju atau timbul efek samping yang
tidak bisa ditoleransi pada ibu terapi dihentikan, dan tokolitik lain bisa digunakan.2
Atosiban telah dibandingkan dengan tiga macam -adrenergik agonis lain
(ritodrin, salbutamol dan terbutalin) dalam penelitian multisenter yang besar (733
wanita). Tampak perbedaan yang kecil kerja tokolitik tersebut dalam menunda
persalinan. Pada wanita yang mendapatkan atosiban 317/361 (88%) persalinan tidak
terjadi pada 48 jam, sedangkan pada agonis beta 330/372 (89%) (RR 0,99; 95% CI
0,94-1,04). Pada hari ke-7 287/361(80%) tidak terjadi persalinan pada pemakaian
atosiban dibandingkan dengan 288/372 (77%) (RR 1,03;95% CI 0,95-1,11).2,3
Atosiban lebih mahal dibandingkan -adrenergik agonis dan nifedipin. Harga obat
untuk pemakaian 19 jam pada atosiban sebesar 240 poundsterling, dibandingkan

23
biaya yang dikeluarkan untuk waktu yang sama pemakaian ritodrin 40-80
poundsterling, dan 17-25 poundsterling untuk pemakaian nifedipin.1-3

C. Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan sampai saat ini dan telah dibandingkan dengan
golongan beta agonis seperti nyeri dada (1% vs 5%), palpitasi (2% vs 16%), takikardi
(6% vs 76%), hipotensi (3% vs 6%), dyspneu (0,3% vs 7%), mual (12% vs 16%),
muntah ( 7% vs 22%) dan sakit kepala (10% vs 19%) serta satu kasus dengan edema
pulmonum yang mana wanita tersebut juga mendapat terapi tokolitik salbutamol
selama 7 hari dibandingkan dengan grup agonis terdapat 2 orang yang menderita
edema pulmonum.1-3
Insidensi terjadinya efek samping kardiovaskular pada pemakaian atosiban
dibandingkan ritodrin jauh lebih rendah (4% dibanding 84,8%, p<0,001). Rata-rata
penurunan nadi pada pemakaian atosiban, hanya sedikit dan tidak bermakna (dari 88
x/m, menjadi 84 x/m). Pada pemakaian ritodrin terdapat peningkatan nadi yang nyata
pada 6 jam pertama pemberian tokolitik (dari 87 x/m menjadi 117 x/m), sesudah
terapi selesai nadi menurun namun masih melebihi nadi awal (105 x /m, p<0,0001).
Pada pemakaian ritodrin dan atosiban tidak didapatkan kematian janin, kematian
neonatal yang terjadi pada keduanya sama, namun tidak disebabkan oleh efek dari
pemberian obat tetapi akibat imaturitas (<26 minggu). Kejadian bradikardia dan fetal
distress pada kedua kelompok sama, sedangkan denyut jantung janin pada kelompok
atosiban menurun tidak bermakna (dari 142 kali/menit menjadi 138 kali/menit), pada
ritodrin meningkat dari 142 kali/menit menjadi 155 kali/menit (p<0,0001).2,3
Antagonis oksitosin mempunyai efek inhibisi pada pengeluaran air susu pada
hewan menyusui. Akan tetapi, efek samping pada masa post partum hampir tidak ada
karena waktu paruhnya yang relatif pendek (16,4 + 2,2 menit pada wanita yang tidak
hamil) dan sifatnya yang reversibel. Pengaturan sentral reseptor-reseptor uterus yang
berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap atosiban belum diketahui.
Atosiban tidak mengubah sensitivitas miometrium kehamilan terhadap oksitosin.2,3

24
D. Terapi pemeliharaan Atosiban sebagai tokolitik
Terapi pemeliharaan pada atosiban diberikan menggunakan 3 ml pompa infus
subkutan, dengan dosis secara kontinyu 6 mL/jam (30g/menit). Terapi pemeliharaan
dihentikan pada umur kehamilan 36 minggu, persalinan, atau kemajuan persalinan
menimbulkan perlunya diberikan tokolitik dengan cara lain. Penelitian secara
randomisasi buta ganda, pada 517 wanita yang sudah mendapatkan atosiban dan
dilanjutkan terapi pemeliharaan pada 252 menerima plasebo dan 281 wanita
mendapatkan injeksi atosiban subkutan, didapatkan hasil timbulnya tanda persalinan
preterm kembali pada kelompok yang mendapatkan terapi atosiban lebih lama
muncul dibandingkan plasebo (rata-rata 32,6 hari, dibanding 27,6 hari, p=0.02).
Proporsi pasien yang membutuhkan terapi ulang dengan atosiban intravena lebih
besar pada pasien yang mendapatkan terapi pemeliharaan plasebo. Efek samping
pemberian terapi pemeliharaan dengan atosiban dan plasebo sebanding, kecuali
tentang munculnya reaksi pada lokasi suntikan, yang lebih sering terjadi pada
kelompok atosiban.2

X. KESIMPULAN
Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di
dalamnya agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor,
magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangan sebagai preparat tokolitik.
Penggunaan terapi tokolitik tidak mengurangi angka kelahiran prematur dan
peningkatan luaran bayi tetapi berfungsi ketika akan merujuk pasien ke tempat
rujukan untuk lebih mendapatkan pelayanan yang sempurn dan untuk pemberian
terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan paru.
Selain itu pentingnya pengawasan terhadap ibu selama pemakaian terapi tokolitik
untuk menghindari efek-efek yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada bayi.

25
XI. RUJUKAN

1. Groom KM, Bennett PR. Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour A Clinically Based
Review. The Obstetrician & Gynaecologist. 2004.
2. Sulistiari R. Atosiban Sebagai Tokolitik.: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
3. Draycott TJ, Mahmood TA, Fisk N, Marlow N, Tuffnel DJ, Wan Po. Tocolytic Drug for
Women in Preterm Labour: Clinical guidelines no. 1(B), Royal College of Obstetricians and
Gynecologists. 2002.
4. Ganla KM, Shroff SA, Desail S, Bhinde AG.A Prospective Comparison of Nifedipine and
Isoxsuprine for Tocolysis. Nowrosjee Wadia Maternity Hospital, Parel, Mumbai. Research
Article. 2000.
5. Winarta IM, Peranan Antagonis Kalsium Sebagai Tikolitik. Lab/SMF Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan FK UNUD/RS Sanglah. Denpasar. 2002.
6. Cararach V, Palacio M, Martinez S, Deulofeu P, Sanchez M, Cobo T, Coll O. Nifedipine
versus Ritodrine for Suppression of Preterm Labor Comparison of Their Efficacy and
Secondary Effects. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology.
2006;127:205-08.
7. Boggess KA. Pathophysiology of Preterm Birth: Emerging Concepts of Maternal Infection.
Clin Perinatol. 2005;32:561-69.
8. Huddleston JF, Ramos LS, Huddleston KW. Acute Management of Preterm Labor. Clin
Perinatol. 2003;30:803-824
9. American Academy of Family Physician. Preterm Labor: Diagnosis and Treatment. 1998
10. American College of Obstetricians and Gynecologist. Physicians Insurance. Preterm
Labor.1995
11. Cunningham FG. Kelahiran Preterm. Obstetri Williams. Edisi 21, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006 : 763-808
12. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. POGI. Persalinan Preterm. 2004 ; 364-83
13. Wani MP, Barakzai N, Graham I, Glyceryl Trinitrate vs Ritodrine for the Treatment of
Preterm Labor. International Journal of the Obstetrics & Gynecology and Reproductive.
2004;85:165-67.
14. Hill WC. Risk and Complication of Tocolysis. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:725-40
15. Boyle JG. Beta-Adrenergik Agonist. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:688-96
16. Hernandez DM, Rivera MJ, Ocampo AN, Palma JA, Lopez HS. Drug Therapy and Adverse
Drug Reactions to Terbutaline in Obstetric Patient: A Prospective Cohort Study in
Hospitalized Women. BMC Pregnancy and Childbirth. 2002.
17. Berkman ND, Thorp JM, Lohr KN, Carey TS, Hartmann KE, Gavin NI, Hasselblad V, Idicula
AE. Tocolytic Treatment for the Management of Preterm Labor: A Review of the Evidence.
Am J Obstet Gynecol. 2003;188:1648-59.
18. Management of Preterm Labor. URL: http://www.guideline.gov. Downloaded from National
Guideline Clearinghouse, February 12, 2006.
19. Gordon MC, Samuel P. Indomethacin. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:697-705
20. Suarez RD, Grobman WA, Parilla BV. Indomethacin Tocolysis and Intraventricular
Hemorrhage. Department of Obstetrics and Gynecology, Nothwestern Memorial Hospital.
Chicago, Illinois. 2001; 97:921-25.
21. NSW Pregnancy & Newborn Services Network. Protocol for Administration of Tocolytic
Agent for Threatened Preterm Labour. 2002.
22. Sakai M, Tanebe K, Sasaki Y, Momma K, Yoneda S, Saaito S. Evaluation of the Tocolytic
Effect of A Selective Cyclooxygenase-2 Inhibitor in A Mouse Model of Lipopolysaccharide-
Induced Preterm Delivery. Molecular Human Reproduction. 2001;7:595-602.
23. Gordon MC, Iams JD. Magnesium Sulfat. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:706-
12

26
24. Tan TC, Devendra K, Tan LK, Tan HK. Tocolytic Treatment for the Management of Preterm
Labour: A Systematic Review. Singapore Med J. 2006.
25. American Medical Association. Terbutaline Pump and Tocolytic Therapy. 2005.
26. Dyson D, Ray D. Calcium Channel Blockers. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:713-21
27. Papatsonis NM, Lok AR, Bos JM, Geijn HP, Dekker GA. Calcium Channel Blockers in the
Management of Preterm Labor and Hypertension in Pregnancy. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2001;97:122-40.
28. Shubert PJ. Atosiban. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:722-24
29. Reinheimer TM, Bee WH, Resendez JC, Meyer JK, Haluska GJ, Chellman GJ. Barusiban A
New Higly Potent and Long-Acting Oxytocin Antagonist: Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Comparison with Atosiban an A Cynomolgus Monkey Model of Preterm
Labor. The Journal of Clinical Endocrinology & metabolism 90. 2005;4:2275-81.
30. Tosun F, Gonenc A, Simsek B. Comparison of the tocolytic Effects of Ritidrine and Ca++
Channel Blockers on Serum Oestradiol and Progesterone Levels. Department of
Biochemistry, Faculty of Pharmacy, Gazy University, Ankara-Turkey. Research Article.
2001.
31. Cunningham FG. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Obstetri Williams. Edisi 21,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006 : 661-65.

27

You might also like