Professional Documents
Culture Documents
publ
ikI
ndone
sia
Se
ktorKe
laut
andanPe
rikanan
Mar
et2010
Tim Penyusun
Penasehat
Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala
Bappenas
Kepala Editor
U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup,
Bappenas
Koordinator ICCSR
Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas
Editor
Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Philippe Guizol, Dieter Brulez
Laporan Sintesis
Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso
Tim Administrasi
Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat,
Eko Supriyatno, Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman
UCAPAN TERIMA KASIH
The Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) is meant to provide inputs
for the next five year Medium-term Development Plan (RPJM) 2010-2014, and also for
the subsequent RPJMN until 2030, laying particular emphasis on the challenges
emerging in the forestry, energy, industry, agriculture, transportation, coastal area, water,
waste and health sectors. It is Bappenas policy to address these challenges and
opportunities through effective development planning and coordination of the work of
all line ministries, departments and agencies of the Government of Indonesia (GoI). It
is a dynamic document and it will be improved based on the needs and challenges to
cope with climate change in the future. Changes and adjustments to this document
would be carried out through participative consultation among stakeholders.
Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku
kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat
berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Sektor Kelautan dan Perikanan, dedikasi
serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya:
Komite Pengarah
Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris
Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Deputi Menteri Bidang
Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi
Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Kelautan dan Perikanan;
Sekretaris Utama, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; Deputi Bidang
Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan
Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang
Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Kelompok Kerja
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan
menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian
dokumen ini.
Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft fuer Technische
Zusammenarbeit (GTZ) melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate
Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan serta terima kasih yang setinggi-
tingginya diberikan.
Kata Pengantar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Bappenas
Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh
dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan
telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi geografisnya, kerentanan
Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian yang
serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif
seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas
kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.
Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan
iklim atau memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh
kenyataan saintifik yang tidak terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan
bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim
bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara
menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik
sebagai bangsa maupun individu.
Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif
perubahan iklim. Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama
berkontribusi dalam memanaskan bumi ini. Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk
beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan segenap tenaga berusaha
untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global bumi. Kita
telah meratifikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi
perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para
Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah
melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita
pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu
penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun
sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif,
perencanaan strategis dan penetapan prioritas.
Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau
disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam
sistem perencanaan pembangunan nasional.
Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait
perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian,
daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah
diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran
kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas
dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam
perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis
dan para donor.
Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut
mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas
pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari
dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Dengan lokasi geografisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk
salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim.
Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi
bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah
hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka
berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air,
penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem
termasuk di daerah pesisir pantai.
Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk
mengidentifikasi upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama
dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari
aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan
pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate
Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk
menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan
perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga
puluhan tahun mendatang.
U. Hayati Triastuti
DAFTAR ISI
vii | I C C S R
II.5. Bahaya Perubahan Iklim terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan....................... 32
II.5.1. Kenaikan Temperatur Udara dan Temperatur Permukaan Laut................ 35
II.5.2. Peningkatan Frekuensi dan Intensitas Kejadian Cuaca Ekstrim ................ 38
II.5.3. Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu
oleh Perubahan Pola Variabilitas Iklim ................................................. 42
II.5.4. Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu oleh
Perubahan Pola Variabilitas Iklim ......................................................... 46
II.5.5. Kenaikan Muka Air Laut ........................................................................ 52
II.5.6. Catatan dan Ringkasan Analisis Bahaya................................................... 56
II.5.7. Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah ....... 61
II.5.7.1. Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya ................................ 61
II.5.7.2. Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya .................. 63
II.5.7.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara.................................... 66
II.5.7.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya .......................... 69
II.5.7.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya ................................ 70
II.5.7.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku ............................................... 72
II.5.7.7. Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan Sekitarnya ............. 73
II.6. Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim ............ 75
BAB III KERENTANAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM .................................................................... 80
III.1. Elemen dan Parameter Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan .................... 81
III.2. Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor Kelautan dan
Perikanan di Setiap Wilayah .............................................................................. 88
III.2.1. Wilayah I Pulau Sumatera ..................................................................... 90
III.2.2. Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya................................. 91
III.2.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara .................................................. 92
III.2.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya ........................................ 92
III.2.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya .............................................. 93
III.2.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku ............................................................. 94
III.2.7. Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan sekitarnya ............................ 95
BAB IV POTENSI DAMPAK DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM
TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN ................................. 97
viii | I C C S R
IV.1. Potensi Dampak ............................................................................................... 97
IV.2. Analisis Risiko (Potensi Dampak Secara Kuantitatif) di Setiap Wilayah ................ 101
IV.2.1. Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya............................................... 103
IV.2.2. Wilayah II Pulau Jawa-Bali-Madura dan Sekitarnya................................. 103
IV.2.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara .................................................. 103
IV.2.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya......................................... 104
IV.2.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya............................................... 104
IV.2.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku ............................................................. 104
IV.2.7. Wilayah VII Pulau Papua bagian Barat dan Sekitarnya ............................ 104
BAB V ARAHAN DAN TAHAPAN MENDATANG UNTUK INTEGRASI
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM SEKTOR KELAUTAN DAN
PERIKANAN ......................................................................................................... 105
V.1. Arahan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan 2010 2030 .......................... 107
V.2. Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 20102030 ................. 109
V.2.1. Kegiatan Prioritas untuk Adaptasi ...................................................................... 109
V.2.2. Kegiatan Unggulan untuk Adaptasi .................................................................... 116
V.2.3. Pentahapan Kegiatan Prioritas............................................................................. 117
BAB VI KESIMPULAN........................................................................................ 126
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 127
Lampiran I. Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) dengan Para Pemangku
Kepentingan yang Terkait .......................................................................................... 130
Lampiran II. Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi
Perubahan Iklim ....................................................................................................... 131
Lampiran III. Deskripsi Kerentanan .......................................................................... 132
Lampiran IV. Keterkaitan Potensi Dampak dan Strategi Adaptasi dengan Bahaya dan
Kerentanan Perubahan Iklim ..................................................................................... 135
Lampiran V. Kegiatan Prioritas Beserta Tahapan-Tahapannya..................................... 140
ix | I C C S R
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun........................ 2
Gambar I.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem
perencanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat
nasional dan di tingkat daerah .................................................................... 6
Gambar I.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan
iklim (Diposaptono dkk, 2009) .................................................................. 8
Gambar II.1 Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996. ............... 13
Gambar II.2 Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya.......................................... 13
Gambar II.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001)... 14
Gambar II.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan
Perikanan (Diolah dari data KKP, 2005) .................................................. 15
Gambar II.5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993) ........ 19
Gambar II.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh
perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi
dari Australian Greenhouse Office, 2005) ........................................................ 34
Gambar II.7 Tren kenaikan temperatur udara di Jakarta dan Semarang..................... 35
Gambar II.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c)
Laju kenaikan TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008) ... 36
Gambar II.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Sofian, 2009) ......... 37
Gambar II.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007)
menggunakan model MRI_CGCM3.2 (Sofian, 2009) ............................ 37
Gambar II.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis
biru) serta temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (garis
merah) ............................................................................................................ 38
Gambar II.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak
terjadi di wilayah Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan
angin kencang bisa terasa (catatan BBU=Belahan Bumi Utara,
BBS=Belahan Bumi Selatan) ...................................................................... 39
Gambar II.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006) ..... 39
Gambar II.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di
pantai selatan Pulau Jawa (N.S. Ningsih, 2009) ....................................... 41
x |IC C SR
Gambar II.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b),
serta gelombang maksimum (Sofian, 2009) .............................................. 42
Gambar II.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B)
tipe ekuatorial, (C) tipe lokal (Tjasyono, 1999) ........................................ 43
Gambar II.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b),
di Pulau Lombok (Hadi, TW., 2008) ......................................................... 43
Gambar II.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari
dan Agustus ................................................................................................... 44
Gambar II.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada
bulan Januari dan Agustus (Sofian, 2009) ................................................. 47
Gambar II.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan
Agustus. Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan
selama 7 tahun, dari tahun 1993 sampai 1999 (Sofian, 2009). ............... 48
Gambar II.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan
Agustus. TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan
kecepatan arus merupakan hasil estimasi model HYCOM (Hybrid
Coordinate Ocean Model) (Sofian, 2009) ........................................................ 49
Gambar II.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 2008).
TML anomali turun sampai 20 cm pada periode El Nio kuat, dan
naik 20cm pada periode La Nia kuat (Sofian, 2009). ............................ 50
Gambar II.23 Distribusi klorofil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta
pada bulan Agustus 1997 pada saat terjadi El Nino (Sofian, 2009). ..... 52
Gambar II.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b
(IPCC, 2007) dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm
(Sofian, 2009) ................................................................................................ 52
Gambar II.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada
tahun 2000 (Sofian, 2009). .......................................................................... 53
Gambar II.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di
Indonesia dan sekitarnya (Sofian, 2009).................................................... 53
Gambar II.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan
data pasut yang diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center
(UHSLC) (Sofian, 2009). ............................................................................. 54
xi | I C C S R
Gambar II.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993
sampai Desember 2008 dengan mengggunakan spatial trend analysis
(Sofian, 2009) ................................................................................................ 54
Gambar II.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia
berdasarkan skenario IPCC SRESa1b dengan asumsi konsentrasi
CO2 sebesar 750ppm (Sofian, 2009) .......................................................... 55
Gambar II.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan
model dengan penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4
(Sofian,2009) ................................................................................................. 55
Gambar II.31 Contoh subsidence akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Danny N.H)...... 56
Gambar II.32 Contoh uplift akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh) ............... 56
Gambar II.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut
(dalam hal ini tsunami tidak diperhitungkan) ........................................... 58
Gambar II.34 Peta kisaran pasut di Indonesia .................................................................. 59
Gambar II.35 Tiga skenario dari penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya
kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang
badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang
tertinggi perigee ............................................................................................... 60
Gambar II.36 Simulasi genangan pesisir di wilayah Sumatra .......................................... 63
Gambar II.37 Simulasi genangan pesisir di wilayah Jawa-Madura-Bali ......................... 65
Gambar II.38. a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan
Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008) . 65
Gambar II.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009) .. 66
Gambar II.40 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara ......... 68
Gambar II.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009) .. 68
Gambar II.42 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kalimantan dan sekitarnya.......... 70
Gambar II.43 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Sulawesi dan sekitarnya .... 72
Gambar II.44 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Maluku ....................... 73
Gambar II.45 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat............ 75
Gambar III.1 Peta elevasi (ketinggian, topografi) permukaan tanah ............................. 82
Gambar III.2 Peta kelerengan (kemiringan) permukaan tanah ...................................... 83
Gambar III.3 Peta sebaran jumlah penduduk................................................................... 83
xii | I C C S R
Gambar III.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan
proyeksinya pada tahun 2025 (b) (diolah dari data BPS) ........................ 84
Gambar III.5 Peta sebaran kepadatan penduduk ............................................................. 84
Gambar III.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan
muka air laut .................................................................................................. 85
Gambar III.7 Peta sebaran penggunaan (tutupan) lahan ................................................ 85
Gambar III.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi
perikanan tangkap di Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan
No. 01-MEN-2009) ..................................................................................... 86
Gambar III.9 Peta persebaran terumbu karang di dunia (KKP, 2005) ......................... 86
Gambar III.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP,
2005) ............................................................................................................... 87
Gambar III.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP,
2005) ............................................................................................................... 87
Gambar III.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut ...................... 88
Gambar IV.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009) .............. 96
Gambar IV.2 Skematisasi dampak perubahan iklim pada berbagai sektor/bidang .... 99
Gambar IV.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air
laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim
La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan
kejadian air pasang tertinggi perigee ............................................................. 102
Gambar V.1 Urutan tujuh langkah dalam proses adaptasi perubahan iklim
(Diposaptono dkk, 2009) ............................................................................ 105
xiii | I C C S R
DAFTAR TABEL
xiv | I C C S R
Tabel V.3. Lima Kegiatan Unggulan untuk adaptasi perubahan iklim ........................... 115
Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan .................... 129
Tabel L.2 Misi-Misi dari Rencana Strategis KKP Tahun 2005-2009 ............................ 130
Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP,
2005)...................................................................................................................... 131
Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesifik
dengan bahaya dan kerentanan perubahan iklim ............................................ 134
Tabel L.5 Aternatif adaptasi yang hanya terkait dengan kapasitas adaptasi
perubahan iklim ................................................................................................... 138
xv | I C C S R
DAFTAR SINGKATAN
xvi | I C C S R
Model
NOAA : National Oceanic and Atmospheric Administration
PMEL : Pacific Marine Environmental Laboratory
OTEC : Ocean Thermal Energy Conversion
PEMP : Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
PKCE : Peningkatan frekuensi dan intensitas Kejadian Cuaca
Ekstrim
PVI-AAM : Perubahan pola Variabilitas Iklim alamiah untuk Pola
Perubahan Angin dan Arus LAut
PVI-CH : Perubahan pola Variabilitas Iklim alamiah untuk pola
perubahan Curah Hujan
RADPI : Rencana Aksi Daerah Perubahan Iklim
RANPI : Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim
PDB : Pendapatan Domestik Bruto
RPI : Roadmap Perubahan Iklim
RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPWKP : Rencana Pengelolaan Wilayah Kelautan dan Perikanan
RSWKP : Rencana Strategi Wilayah Kelautan dan Perikanan
RTRN : Rencana Tata Ruang Nasional
RTRD : Rencana Tata Ruang Daerah
RZWKP : Rencana Zonasi Wilayah Kelautan dan Perikanan
SLR : Sea Level Rise atau Kenaikan Muka Laut (KML)
SRES : Special Report on Emissions Scenarios
SS : Storm Surge
SRTM : Shuttle Radar Topography Mission
TML : Tinggi Muka Laut
TPL : Temperatur Permukaan Laut
UNCLOS : United Nations Convention on Law of the Sea
UNHCC : United Nations Framework Convention on Climate Change
xvii | I C C S R
UN-ISDR : United Nations - International Strategy for Disaster Reduction
USAID : United States Agency for International Development
USGS : United States Geological Survey
WOC : World Ocean Conference
WPP : Wilayah Potensi Perikanan
WP3K : Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif
xviii | I C C S R
BAB I PENDAHULUAN
Telah diketahui radiasi matahari yang sampai ke atmosfer sebagian diteruskan dan
diserap oleh bumi dan sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer oleh bumi dalam
bentuk radiasi gelombang panjang. Dalam proses pemantulan tersebut sebagian
panas diserap oleh gas-gas rumah kaca sehingga menahan panas yang keluar dari
atmosfer. Efek penyerapan panas oleh gas-gas rumah kaca ini disebut efek rumah
kaca. Akibat efek rumah kaca ini temperatur di permukaan bumi dan atmosfer terus
bertambah sampai mencapai keseimbangan baru. Jumlah panas yang masuk dan
keluar atmosfer tidak berubah, tetapi jumlah panas yang tersimpan di bumi dan
atmosfer semakin meningkat dan berperan dalam menaikkan temperatur bumi (Hadi,
dkk, 2009).
Pemanasan global akibat efek rumah kaca mengakibatkan terjadinya ekspansi thermal
di laut terutama di lapisan permukaan (efek sterik) dan mencairnya glasier dan tudung
es (ice cap) serta lapisan es (ice sheet) di kutub, yang mengakibatkan meningkatnya
volume lautan serta menaikkan permukaannya. Laporan IPCC (2007) menyebutkan
dalam periode 1961-2003 permukaan laut global naik 1,8 mm (1,3-3,0 mm) pertahun
sementara dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 laju kenaikannya lebih tinggi
yaitu 3,1 mm (2,4-3,8 mm) pertahun. Disini terlihat adanya variabilitas laju kenaikan
muka laut jangka panjang. Hasil riset dalam IPCC AR4 menyatakan ekspansi thermal
berkontribusi sekitar 70 % terhadap kenaikan permukaan laut global dan mencairnya
es 30 %. Berkurangnya daerah yang tertutup es akan meningkatkan penyerapan
gelombang pendek sinar matahari oleh daratan dan lautan dan pengurangan refleksi
oleh permukaan es. Kondisi ini akan meningkatkan akselerasi pemanasan global yang
kembali mencairkan es dan memicu ekspansi thermal yang akhirnya berdampak pada
1 |IC C SR
kenaikan permukaan laut global. Kenaikan temperatur di Antartika tercatat lebih
intensif sejak tahun 1990-an. Hilangnya es sebesar 80 Gt/tahun pada tahun 1990-an
bertambah menjadi 130 Gt/tahun sejak tahun 2003. Mencairnya 360 Gt es akan
menaikkan permukaan laut sebesar 1 mm (USGS, 2009 dalam Hadi dkk, 2009). Data
ini mengindikasikan adanya akselerasi dari pemanasan global akibat berkurangnya
tutupan es dikutub. Tren kenaikan permukaan laut global dari tahun 1885 sampai
dengan tahun 2000 diperlihatkan pada Gambar I.1. Kenaikan permukaan laut yang
terjadi akibat pemanasan global dapat menggenangi daerah pantai yang landai, daerah
rawa-rawa, mengakibatkan mundurnya garis pantai akibat genangan dan
meningkatnya erosi pantai, kerusakan ekosistem pantai bahkan dapat tenggelamnya
pulau-pulau kecil. Di samping itu kenaikan muka air laut tersebut dapat mengubah
pola arus dan gelombang laut.
Gambar I.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun
(http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html)
Permukaan laut dapat mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang dan
jangka waktu pendek:
a. Perubahan permukaan laut jangka panjang
Perubahan permukaan laut jangka panjang disebut juga perubahan sekular. yang
dikategorikan menjadi dua berdasarkan faktor penyebabnya. Perubahan pertama
adalah perubahan eustatik atau perubahan volume air laut, dan yang kedua adalah
perubahan lokal. Perubahan lokal ini diantaranya adalah kenaikan atau penurunan
muka tanah atau disebut juga efek isostasi. Efek isostasi ini ada beberapa jenis
2 |IC C SR
diantaranya adalah isostasi thermal akibat perubahan temperatur atau densitas dari
interior bumi, isostasi glacio yang berhubungan dengan keberadaan es, hidro-isostasi
yang berhubungan dengan keberadaan air, isostasi vulkanik akibat ekstrusi magma,
isostasi sedimen yang berhubungan dengan deposisi dan erosi.
Adanya patahan yang menyebabkan lempang tektonik naik atau turun dapat
mempengaruhi muka laut dengan pengaruh 1 sampai 3 mm/ tahun. Kompaksi
sedimen dapat menyebabkan daratan menjadi terkompresi, atau subsidence ekstraksi
minyak dan air tanah.
Efek eustatik diantaranya adalah perubahan basin laut (ocean basin) akibat pemekaran
lantai dasar samudra, perubahan elevasi lantai dasar samudra, dan sedimentasi di
dasar laut. Selain itu perubahan massa air laut yang merupakan akibat dari melelehnya
es di kutub, pelepasan air dari interior bumi, dan pelepasan serta akumulasi dari
reservoir termasuk perubahan eustatik.
Fenomena El Nino dan La Nina juga mempengaruhi muka laut dalam jangka waktu
yang pendek. Pada saat terjadinya El Nino permukaan air laut di perairan Indonesia
mengalami penurunan sebaliknya pada saat La Nina permukaan air laut mengalami
kenaikan. Disamping itu banjir pada musim-musim tertentu juga merupakan variasi
musiman yang dapat mempengaruhi muka laut dalam jangka pendek, dimana terjadi
pertambahan runoff dari sungai menuju ke laut dan menambah ketinggian muka laut.
Perubahan ini terjadi dalam kurun waktu musiman sampai tahunan. Selain itu osilasi
permukaan laut yang terjadi di pelabuhan atau di teluk yang dikenal sebagai seiche
merupakan faktor yang mempengaruhi permukaan air laut jangka pendek. Perubahan
ini dapat terjadi dalam kurun waktu antara menit sampai jam.
3 |IC C SR
Gempa bumi yang menyebabkan deformasi muka tanah dapat menyebabkan
perubahan relatif permukaan laut. Gempa dapat mengakibatkan penurunan muka
tanah (subsidence) dan atau penaikan muka tanah (uplift), dimana secara relatif
mengubah tinggi muka laut terhadap tanah.
Perhatian yang serius terhadap dampak perubahan iklim ini perlu dilakukan sejak dini.
Meskipun perubahannya bersifat perlahan-lahan (gradual) namun potensi dampaknya
bersifat pasti (very likely) dan meluas ke seluruh permukaan bumi. Di lain pihak,
masyarakat baik yang tinggal maupun yang beraktivitas di wilayah pesisir, laut, dan
pulau-pulau kecil telah menderita kerugian akibat berbagai bencana alam yang dipicu
oleh perubahan iklim tersebut. Pemukiman, perkantoran tempat bekerja, dan
dermaga pelabuhan semakin sering merasakan dampak genangan banjir rob dan
terjangan gelombang badai; para petambak dan petanai di pesisir telah merasakan
semakin tidak teraturnya siklus musim hujan dan kemarau akibat pengaruh fenomena
El-Nino dan La-Nina; para nelayan harus semakin menjauhi pantai dalam upayanya
mencari ikan; dan masih banyak dampak-dampak lain yang ditimbulkannya.
Antisipasi terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan ini lebih
difokuskan untuk menyiapkan kegiatan-kegiatan adaptasi sebagai upaya untuk
mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan mencari peluang untuk
memanfaatkan dampak positif melalui berbagai upaya responsif dan terencana
terhadap aspek-aspek sosial budaya, ekonomi, potensi sumberdaya, dan lingkungan
fisik. Upaya tersebut dapat disertai dengan kegiatan-kegiatan mitigasi berupa tindakan
intervensi manusia melalui IPTEK untuk mencegah atau memperlambat proses
4 |IC C SR
perubahan iklim melalui upaya penurunan emisi dan/atau peningkatan penyerapan
gas-gas rumah kaca (GRK) yang terkait dengan sektor ini, seperti pemeliharaan dan
rehabilitasi hutan mangrove serta budidaya rumput laut.
5 |IC C SR
Gambar I.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan
pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah
Gambar I.2 di atas menunjukkan bahwa peran penting dan posisi RPI di tingkat
nasional dan daerah, baik jangka panjang (RPJPN dan RPJPD) maupun jangka
menengah (RPJPN dan RPJMD) dan rencana strategis dan rencana aksi sektor
Kelautan dan Perikanan tingkat nasional dan daerah (RANPI dan RADPI).
Selanjutnya RPI ini diimplementasikan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Nasional
dan Daerah (RTRN dan RTRD), serta Rencana Strategis Wilayah Kelautan dan
Perikanan (RSWKP), Rencana Zonasi Wilayah Kelautan dan Perikanan (RZWKP),
dan Rencana Pengelolaan Wilayah Kelautan dan Perikanan (RPWKP).
6 |IC C SR
a. Arah strategi pembangunan jangka panjang (periode tahun 2010-2030),
b. Integrasi kebijakan dan kegiatan ke dalam tahapan pembangunan jangka
menengah (periode lima tahunan), dan
c. Isu-isu lintas sektoral.
I.3. Pendekatan
Kegiatan-kegiatan adaptasi serta mitigasi perubahan iklim tersebut secara umum
disusun melalui kombinasi dua proses yang berlawanan arah yaitu:
1. Proses top-down yaitu dengan analisis dan kajian saintifik, serta
2. Proses bottom-up yaitu dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang
berkaitan dengan sektor ini.
Pembahasan mengenai kedua proses tersebut akan didahului dengan penjelasan
tentang kerangka kerja (framework) penyusunan roadmap perubahan iklim ini.
7 |IC C SR
Diposaptono dkk (2009) mengajukan suatu kerangka kerja untuk mengkaji dan
menyusun konsep adaptasi dan mitigasi perubahan iklim seperti pada Gambar I.3.
Gambar I.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim
(Diposaptono dkk, 2009)
Secara konseptual kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan
iklim setidaknya terdiri dari (7) tujuh langkah yang bersifat siklus (Gambar I.3), yaitu:
(1) Kajian variabilitas iklim dan dan bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan
iklim serta dampak yang ditumbulkannya,
(2) Kajian tekanan lainnya seperti aktivitas manusia,
(3) Penyajian informasi (fakta) dan penyadaran atas adanya perubahan iklim dan
lingkungan, baik yang dipicu oleh perubahan iklim maupun oleh aktivitas
manusia,
(4) Desain perencanaan meliputi kriteria kebijakan dan arah pembangunan serta
identifikasi pilihan-pilihan aksi adaptasi dan mitigasi,
(5) Mengimplementasikan aksi adaptasi dan mitigasi,
(6) Memonitor dan mengevaluasi hasil implementasi aksi adaptasi dan memitigasi,
(7) Dari hasil monitoring dan evaluasi, selanjutnya didesain suatu manajemen
penanganan dan pengelolaan dengan: (i) pendekatan adaptasi untuk mengurangi
dampak yang ditimbulkan oleh tekanan perubahan iklim dan tekanan lainnya;
(ii) pendekatan mitigasi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan
meningkatkan penyerapan gas-gas rumah kaca.
8 |IC C SR
Konsep tersebut diwujudkan di dalam struktur laporan sebagaimana terlihat pada
Tabel I.1.
Penerapan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga memperhatikan adanya klaster-
klaster di dalam sektor sektor kelautan dan perikanan, antara lain:
9 |IC C SR
Tujuh Jasa Kelautan dan Perikanan, yaitu: (1) Perhubungan Laut, (2) Industri
Maritim, (3) Perikanan, (4) Wisata Bahari, (5) Energi Kelautan dan Sumber-daya
Mineral, (6) Bangunan Laut, (7) Jasa Kelautan
Sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu: (1) WPP-571: Selat Malaka
dan Laut Andaman; (2) WPP-572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan
Selat Sunda; (3) WPP-573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah
selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat; (4) WPP-711: Selat
Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; (5) WPP-712: Laut Jawa; (6) WPP-713:
Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; (7) WPP-714: Teluk Tolo dan
Laut Banda; (8) WPP-715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut
Seram, Teluk Berau; (9) WPP-716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera;
(10) WPP-717: Teluk Cendra-wasih, Samudra Pasifik; (11) WPP-718: Laut Aru,
Laut Arafuru, Laut Timor bagian timur.
Sembilan Klaster Perikanan Budidaya, yaitu: (1) Serang, Banten; (2) Sumenep,
Jawa Timur; (3) Dompu, NTT; (4)Sumba Timur, NTB; (5) Pangkep, Sulawesi
Selatan; (6) Gorontalo, (7) Teluk Tomini, Sulawesi Tengah; (8) Mamuju, Sula-
wesi Barat; dan (9) Karimun di Riau Kepulauan.
Klaster-klaster secara fisik yang terkait dengan bahaya perubahan iklim.
10 | I C C S R
Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis dengan tiga jenis analisis yaitu:
Analisis dasar saintifik (scientific basis) terhadap data-data meteorologi dan
oseanografi yang bertujuan untuk menyajikan informasi potensi bahaya yang dipicu
oleh perubahan iklim. Hasil analisis ini akan disajikan pada Bab II.
Analisis kerentanan dan potensi dampak dimaksudkan untuk menyajikan informasi
faktor-faktor apa saja yang menimbulkan kerentanan dan potensi dampak di
wilayah pesisir dan perairan Indonesia terhadap perubahan iklim. Hasil-hasil
analisis ini akan disajikan berturut-turut pada Bab III dan Bab IV.
Analisis strategi dan penentuan kegiatan-kegiatan adaptasi perubahan iklim. Hasil
analisis ini akan dideskripsikan pada Bab V.
11 | I C C S R
BAB II KONDISI, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN SEKTOR
KELAUTAN DAN PERIKANAN
12 | I C C S R
Gambar II.1 Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996.
Dalam konteks ruang dan interaksinya, DPP merupakan pertemuan wilayah darat
dan laut, dimana parameter-parameter fisis, kimia dan biologi dari darat, perairan
pantai dan perairan laut dalam, atmosfer dan dasar laut, saling berinteraksi dengan
sistem yang sangat kompleks. Interaksi ini juga dipengaruhi oleh gaya tarik benda-
benda langit (Gambar II.3). Disamping itu terjadi interaksi yang sangat intensif dan
dinamis serta saling mempengaruhi antara ekosistem darat dan ekosistem laut.
Daerah ini sangat rentan terhadap tekanan perubahan iklim global kenaikan
permukaan laut, ENSO, gelombang badai (storm surges), badai pasang (storm tide atau
rob), serta aktivitas manusia baik di darat, seperti pembangunan fasilitas perumahan
dan industri di belakang pantai, pembuangan limbah, penggundulan hutan mangrove,
erosi, dsb, maupun aktivitas manusia di laut seperti pembuanagn limbah kapal,
13 | I C C S R
tumpahan minyak, perusakan terumbu karang, dan sebagainya. Oleh sebab itu
pengelolaan wilayah laut tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan wilayah darat.
Gambar II.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001)
Secara tradisional, DPP merupakan suatu daerah dengan aktivitas ekonomi dan sosial
yang sangat tinggi. Beberapa fungsi yang dimilikinya yakni: (1) fungsi dasar: produksi
pangan, suplai air dan energi; (2) fungsi sosial: perumahan dan rekreasi; (3) fungsi
ekonomi: transportasi niaga, pertambangan, dan pengembangan industri; serta (4)
fungsi publik: transportasi publik, pertahanan, penyaluran air buangan, dan
sebagainya. Daerah ini juga merupakan sumber energi yang dapat diperbahurui
seperti: konversi energi panas laut (OTEC), energi arus laut, energi gelombang laut,
energi pasang surut, konversi energi dari gradien salinitas, energi dari oceanic
bioconvertion. Sedangkan energi yang tidak dapat diperbaharui berupa sumber daya
mineral seperti pertambangan terbuka di pesisir dan dasar laut.
14 | I C C S R
Gambar II.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah
dari data KKP, 2005)
15 | I C C S R
dan utara Irian Jaya, serta Arafura. Untuk jenis tuna sirip biru dapat ditemukan di
perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat
Makasar, serta Laut Maluku dan Teluk Tomini. Sedangkan ikan jenis cakalang bisa
ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia kecuali di Laut Jawa, Selat Malaka,
dan Laut Cina Selatan. Untuk ikan tongkol penyebarannya berada pada daerah-
daerah dekat pantai dan terdapat di semua perairan. Musim penangkapan ikan tuna,
cakalang, dan tongkol dapat berlangsung sepanjang tahun.
Ikan teri dapat ditemukan di perairan barat Sumatera, Selat Malaka, selatan dan utara
Sulawesi dan timur Sumatera sedangkan ikan tembang terutama di perairan selatan
Sulawesi, utara Jawa, Bali/NTT/Timor Timur, Timur Sumatera dan selatan dan barat
Kalimantan. Ikan julung-julung banyak ditemukan di perairan Maluku dan Irian Jaya.
16 | I C C S R
penangkapan udang penaeid sedangkan potensi terbesar udang karang terdapat di
Samudera Hindia.
17 | I C C S R
Produktivitas primer di suatu perairan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: cahaya, zat
hara (nutrien), dan faktor oseanografi yang akan diuraikan di bawah ini.
Faktor Cahaya
Fitoplankton hanya terdapat pada lapisan-lapisan atas di mana intensitas cahaya
matahari cukup untuk berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya
matahari di wilayah tropik yang lautnya cerah dan tidak banyak mengandung partikel
dapat menembus sampai kedalaman 100 120 m dimana mungkin masih cukup
besar bagi berlangsungnya fotosintesis (Nybakken, 1992).
Faktor Oseanografi
Persediaan zat hara dalam jumlah yang sangat besar terdapat di bawah zona fotik. Zat
hara ini hanya dapat dimanfaatkan jika terdapat faktor oseanografis berupa upwelling
(pemindahan massa air dari lapisan bawah ke permukaan) yang dapat menaikkan zat
hara tersebut ke zona fotik. Hasill-hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai
perairan di wilayah Indonesia (Nontji, 1993) menunjukkan bahwa upwelling telah dapat
diketahui dan dibuktikan dengan pasti di beberapa daerah tertentu, akan tetapi di
beberapa daerah lainnya masih merupakan dugaan yang masih perlu dikaji lebih lanjut
(Gambar II. 5).
18 | I C C S R
Gambar II. 5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993)
19 | I C C S R
Di wilayah lain, terdapat pula upwelling yang sifatnya temporer, yaitu di Selat Makassar
(Wyrtki, 1961). Selama angin monsun tenggara bertiup massa air dari Laut Flores
bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar, dan bergabung menuju
Laut Jawa. Keadaan ini membuat air dari lapisan bawah Selat Makassar bergerak ke
atas mengganti kekosongan massa air tersebut. Keadaan ini ditandai dengan salinitas
permukaan yang tinggi pada bulan Juni dan Juli.
b. Industri Maritim
Inti dari industri maritim adalah industri pembuatan kapal, pemeliharaan dan
perbaikan kapal, serta penunjang perkapalan yaitu peralatan navigasi, komunikasi dan
keselamatan, instalasi pembersihan air balas. Industri maritim ini berkembang seiring
dengan meningkatnya aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber migas di lepas
pantai.
20 | I C C S R
Saat ini sekitar 240 industri perkapalan nasional telah menyumbang ekspor produk
kapal dan komponennya dengan nilai sekitar 211 juta USD, tapi hal itu masih belum
sepadan dengan nilai impornya yang lebih besar yaitu sekitar 803 juta USD (tahun
2006). Minat perusahaan swasta untuk berinvestasi di bidang ini masih kurang
mengingat tidak cukupnya permintaan dan pasokan pasar relatif terhadap investasi
besar yang harus ditanamkan. Akibatnya kebutuhan perkapalan nasional untuk
mencakup seluruh wilayah yang sangat luas (termasuk ZEEI) dan seluruh pulau kecil
yang banyak sekali masih belum bisa dipenuhi.
c. Perikanan
Jasa perikanan ini meliputi industri perikanan tangkap, perikanan budidaya,
pengolahan perikanan, dan bioteknologi kelautan. Perairan Indonesia memiliki
potensi lestari sumberdaya ikan sekitar 6,4 juta ton per tahun dimana 80 persennya
adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Potensi perikanan tangkap dan
budidaya masing-masing sekitar 15 milyar USD dan 31 milyar USD. Produksi
perikanan bertambah dari 6,87 juta ton (2006) menjadi 8,71 juta ton (2008) sehingga
meningkatkan jumlah Unit Pengolahan Ikan dari 45% (2005) menjadi 55,2% (2008).
Namun demikian industri pengolahan perikanan di Indonesia masih jauh tertinggal
terhadap negara-negara di kawasan ASEAN.
Kendala utama jasa perikanan ini adalah tingginya angka kemiskinan dan kurangnya
pengetahuan dari nelayan sehingga mereka kurang memanfaatkan IPTEK untuk
mengeksplorasi besarnya potensi perikanan. Di samping itu terdapat masalah-
masalah antara lain penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) yang terjadi di
Laut Jawa dan Selat Malaka, kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
masalah pendangkalan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tradisional. Sementara
itu bioteknologi laut diidentifikasi memiliki potensi sebesar 40 milyar USD per tahun.
Dalam realisasinya, dari potensi sekitar 35 ribu spesies biota laut untuk bahan obat-
obatan, baru sekitar sepertujuhnya saja yang bisa dimanfaatkan. Beberapa jenis
budidaya sudah mulai diteliti dan dikomersialkan antara lain: koral, rumput laut, dan
kerang mutiara. Kendalanya adalah keterbatasan informasi ilmiah yang dimiliki untuk
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati laut, serta adanya konflik
kepentingan antara tujuan konservasi dan pemanfaatan industri bioteknologi laut.
21 | I C C S R
d. Wisata Bahari
Pada dasarnya wisata bahari dilaksanakan untuk memanfaatkan keindahan alam
Indonesia. Bentuk-bentuk wisata bahari antara lain: sailing, boating, surfing, scuba diving,
fishing, fishing village, tropical gardens, ocean front walking trains, dan wisata kapal pesiar.
Potensi wisata bahari ini telah diidentifikasi senilai 2 milyar USD. Potensi wisata ini
didukung oleh beberapa faktor antara lain tersedianya kawasan konservasi yang
memiliki keanekaragaman tinggi dan spesifik, adanya 700 jenis terumbu karang seluas
50 ribu km2 yang dihuni oleh 263 jenis ikan hias, situs arkeologi bawah air. serta
keunggulan komparatif yang berupa: bentuk negara kepulauan, keanekaragaman
hayati, keindahan alam, keanekaragaman budaya dan kesenian, biaya hidup rendah.
Namun demikian sektor ini memiliki masalah antara lain kerusakan lingkungan
karena pencemaran, tingginya aktivitas manusia, eksploitasi sumberdaya alam yang
berlebihan, dan bencana alam, serta konflik pemanfaatan ruang perairan untuk wisata
bahari dan perikanan tradisional.
Beberapa kendala antara lain: belum ada regulasi yang mengoordinasikan dan
mengarahkan riset energi kelautan, belum adanya pemetaan rinci potensi energi
kelautan di Indonesia secara menyeluruh, masih rendahnya penguasaan IPTEK
konversi energi kelautan, dan belum tersedianya teknologi konverter yang
memungkinkan rasio elektrifikasinya layak jual
22 | I C C S R
Sementara itu dasar lautan Indonesia juga mengandung potensi yang berupa kondisi
geologi dasar laut yang terdiri dari berbagai jenis mineral polymetallic nodule dan
polymetallic crust dengan konsentrasi tinggi, deposit pasir laut dengan mineral kuarsa
tinggi sekitar 90%, dan deposit hidrothermal mengandung ikatan sulfur dan mineral
emas. Problemnya adalah survei potensi mineral belum optimal dan fokus karena
membutuhkan dana yang besar dan belum berjalannya koordinasi antar institusi
kebumian dan kelautan.
Potensi mineral garam juga tidak kalah pentingnya dimana terdapat lahan
penggaraman sekitar 37 ribu ha. Namun potensi tersebut baru setengahnya yang telah
dimanfaatkan mengingat berbagai kendala antara lain: rendahnya tingkat
produktivitas, belum terpenuhinya standar kualitas produksi garam, kurangnya
infrastruktur, modal, dan penguasaan teknologi, disertai luas lahan yang terbatas dan
lokasi ladang garam yang tersebar.
f. Bangunan Laut
Bangunan laut terdiri dari dermaga pelabuhan, anjungan minyak lepas pantai, kabel
dan pipa bawah laut, bangunan penahan gelombang. Sebagai gambaran, pada saat ini
terdapat 450 anjungan lepas pantai dan sekitar 968 pelabuhan perikanan. Bangunan-
bangunan laut tersebut mengalami permasalahan teknis seperti belum adanya
pedoman teknis penataan bangunan laut, serta belum diperhitungkannya potensi
dampak perubahan iklim terhadap elevasi bangunan dan kekuatan struktur
fasilitas/bangunan laut.
g. Jasa Kelautan
Jasa-jasa kelautan lainnya meliputi pencarian dan pengangkatan barang muatan kapal
tenggelam (BMKT), pemanfaatan air laut dalam, dan reklamasi pesisir. Potensi
BMKT pada saat ini adalah terdapatnya 463 lokasi kapal tenggelam, di antaranya 245
kapal VOC. Namun pemanfaatannya terkendala oleh beberapa faktor seperti belum
adanya pemahaman, harmonisasi, dan sinkronisasi dari berbagai peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan BMKT, serta belum
terkoordinasinya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan BMKT.
23 | I C C S R
Pemanfaatan air laut dalam sebagai bahan baku disalinasi untuk air minum sudah
mulai diteliti, yaitu pada jalur Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa air laut
dalam dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Lokasi potensi air laut dalam ini
terdapat di Laut Sulawesi, Selat Makasar, Selat Lombok, Laut Flores, Selat Ombay,
Laut Banda, Papua bagian utara, Laut Maluku, Samudra Hindia. Namun upaya ini
mendapat kendala berupa kebutuhan dana yang besar untuk riset dan eksploitasinya
serta belum dikuasainya data dan IPTEK yang terkait air laut dalam.
Reklamasi dilaksanakan pada suatu areal pesisir dengan tujuan untuk meningkatkan
nilai tambah pada wilayah dan sumberdaya pesisir tersebut. Saat ini kegiatan
reklamasi dipandang sebagai suatu solusi terhadap masalah pertumbuhan kebutuhan
ruang yang ada, misalnya di DKI Jakarta, Manado, Makasar, dan Pulau Nipah.
Kegiatan ini menghadapi kendala berupa belum adanya peraturan dalam pemanfaatan
lahan pesisir hasil reklamasi, belum adanya dokumen perencanaan zonasi wilayah
pesisir, dan potensi timbulnya masalah lingkungan di sekitar kawasan reklamasi
selama dan sesudah proses reklamasi
II.3. Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini
II.3.1. Kondisi Sektor Kelautan dan Perikanan
Kondisi lingkungan sektor kelautan dan perikanan dapat dilihat dari ekosistem laut,
pesisir dan pulau-pulau kecil karena pengaruhnya pada tingkat produktivitas
sumberdaya (KKP, 2005). Ekosistem tersebut meliputi terumbu karang, mangrove,
estuaria dan padang lamun, dan budidaya laut. Secara umum kondisi ekosistem
tersebut telah mengalami degradasi fisik dengan laju yang dapat mengancam
keberlanjutan sumberdaya. Sebagai contoh: Terumbu karang yang mencapai luas
lebih dari 60.000 km2 telah rusak sekitar 40%. Faktor penyebabnya adalah: (i)
kegiatan manusia (penangkapan ikan dengan alat yang merusak, pencemaran,
eksploitasi yang berlebihan, dan sebagainya), dan (ii) faktor alam (El-Nino dan La-
Nina, badai, gempa bumi, dan banjir). Demikian pula hutan mangrove yang
berkurang luasannya dari 5,21 juta ha menjadi 2,5 juta ha pada kurun waktu 12 tahun
(19821993), antara lain karena konversi menjadi lahan tambak khususnya di Sumatra
bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan Timur, serta menjadi lahan
industri terutama di Jawa dan Bali.
24 | I C C S R
Kondisi sosial sektor Kelautan dan Perikanan didominasi oleh masyarakat nelayan,
pembudidaya perikanan, dan masyarakat pesisir lainnya. Kepedulian masyarakat pada
pembangunan sektor ini ditandai dengan meningkatnya partisipasi dan kerjasama
antara pemerintah dan pemerintah daerah dengan berbagai pihak seperti masyarakat
pesisir itu sendiri, LSM, perguruan tinggi, dan media massa.
25 | I C C S R
belum kondusifnya kebijakan moneter, fiskal, dan investasi, tata ruang dan
pengendalian pencemaran, kepastian hukum dalam berusaha serta penegakan hukum.
Polusi di daerah pantai yang berasal dari daerah tangkapan sungai (catchment area)
umumnya disebabkan oleh sedimen dari erosi akibat penggundulan hutan dan
pertambangan, nutrient dari buangan penduduk dan run-off dari pertanian, residu
pestisida dari pertanian dan akuakultur, pengoperasian kapal, tumpahan minyak dari
tabrakan kapal dan anjungan pengeboran minyak, polusi termal dari saluran
buangan Power plant, polusi air buangan industri. Beban polusi ini sangat berkorelasi
dengan kepadatan penduduk dan tingkat produktivitas pertanian termasuk ternak dan
tambak.
Pengambilan ikan yang berlebihan pada daerah perairan pantai bahkan di lepas pantai
sering terjadi di daerah yang berpopulasi tinggi. Indikator over-fishing ini biasanya
ditandai dengan kegagalan penangkapan per unit usaha. Penyebab lain dari
menurunnya stok ikan adalah akibat degradasi ekosistem sebagai wadah pendukung
perkembangbiakan ikan. Kehilangan hutan mangrove sebagai tempat pembiakan
ikan dan udang serta perusakan akibat teknik penangkapan ikan yang tidak
berkesinambungan seperti penggunaan dinamit dan sianida juga memberi kontribusi
terhadap penurunan mutu ladang perikanan.
Degradasi terumbu karang diakibatkan oleh peledakan serta teknik penangkapan ikan
yang merusaknya. Penambangan terumbu karang disamping merusak juga
menyebabkan tidak adanya penahan ombak sehingga akhirnya menyebabkan erosi di
26 | I C C S R
pantai serta perubahan profile dasar laut. Penyebab kerusakan terumbu karang
adalah: (1) Aktivitas pariwisata: kerusakan ini akibat jangkar dari perahu-perahu
pengunjung, diinjak-injak atau diambil sebagai koleksi oleh wisatawan. (2) Polusi:
kerusakan ini akibat sedimentasi yang terbawa oleh sungai, eutrofikasi (overfertilization)
yang terbawa oleh air buangan dari hotel atau perumahan di pantai, sedimentasi yang
ditimbulkan oleh pertambangan lepas pantai. (3) Perikanan: kerusakan ini akibat
penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun yang menyebabkan terjadi
kematian terumbu karang. (4) Pembangunan: penambangan terumbu karang untuk
bahan/material bangunan.
Degradasi hutan mangrove disebabkan karena nilai ekonomi hutan mangrove yang
sangat penting, sehingga terjadi eksploitasi hutan mangrove yang berjalan sangat
cepat. Kerusakan ini dikarenakan oleh cara potong bersih (clear-cutting) sehingga
mangrove tidak dapat ber-regenerasi yang akibatnya terjadi perubahan komposisi
tumbuhan dalam hutan mangrove. Penyebab hilangnya hutan mangrove ini akibat
konversi ke tambak, sawah dan pelabuhan serta aktivitas pengembangan lainnya
seperti perumahan, hotel, dan sebagainya.
27 | I C C S R
ditindaklanjuti dengan pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) di Manado pada
tanggal 14 Mei 2009 yang lalu. Konferensi kelautan ini menghasilkan kesepakatan
dari 74 negara dan 13 lembaga internasional yang dituangkan dalam Manado Ocean
Declaration (MOD).
Pada tingkat teknis, kelembagaan atau institusi yang melaksanakan dan mengelola aksi
adaptasi perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan sebenarnya sudah ada
sejak tahun 2005 yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dimana terlihat
dari beberapa butir pada Rencana Strategisnya tahun 20052009 (KKP, 2005).
Sebagai contoh, Misi ke-3 (memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas
lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan; lihat Tabel L.2) pada mulanya
diarahkan pada isu lingkungan hidup, namun ternyata juga telah mencakup isu
perubahan iklim. Beberapa kegiatan pokok di antaranya juga berkaitan dengan
strategi adaptasi perubahan iklim antara lain (1) pengelolaan dan pengembangan
konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang,
hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria; (2) penataan ruang laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil; (3) pemeliharaan dan peningkatan pengelolaan ekosistem laut,
pesisir dan pulau-pulau kecil; serta (4) peningkatan keselamatan, mitigasi bencana
alam laut dan prakiraan iklim laut.
28 | I C C S R
ekonomi, turut mendukung dan memperkuat upaya adaptasi terhadap perubahan
iklim.
Beberapa kegiatan pokok di antaranya juga relevan dengan strategi adaptasi antara
lain (1) pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan; (2) peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengawasan; (3) diseminasi dan asimilasi hasil riset dan
pengembangan iptek kelautan dan perikanan; (4) pengembangan kawasan budidaya
laut, air payau, dan air tawar; (5) pengembangan pelabuhan perikanan dan kapal
perikanan; pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan; (6) pemberdayaan
masyarakat pulau-pulau kecil dan memfasilitasi pengelolaan wilayah pesisir terpadu;
(7) peningkatan kapasitas sumberdaya riset kelautan dan perikanan.
Di antara unit-unit kerja di dalam KKP yang telah banyak merespon isu-isu
perubahan iklim adalah Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil
(Dirjen KP3K). Bidang tugas dari unit kerja tersebut lebih banyak bersifat
kewilayahan dan lintas sektoral, disamping fungsi melaksanakan konservasi pesisir,
laut, dan pulau-pulau kecil. Dengan lingkup kerja ini maka Ditjen KP3K telah
melaksanakan respon terhadap isu perubahan iklim seperti:
Program MCRMP (Marine and Coastal Resource Management Project) yang bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota
dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawab menggali, memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya alam di pesisir dan laut yang berada dalam wilayah-nya.
Program ini telah dilaksanakan pada tahun 2001 2009 di 15 provinsi di Indonesia
(sumber: http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/31/ mcrmp).
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah suatu program
yang bertujuan untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang, yaitu dengan
memetakan kondisi eksisting, merehabilitasi dan memelihara, melalui pengawasan
dan penyuluhan kepada pemangku kebijakan, serta penguatan kelembagaan, dan
lain-lain. Program ini telah dilaksanakan di beberapa provinsi seperti Kepulauan
Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengggara, dan Papua (sumber:
www.coremap.or.id).
29 | I C C S R
Begitu pula dengan program-program tahunan KKP yang dilaksanakan di seluruh
provinsi mendukung upaya adaptasi perubahan iklim seperti program rehabilitasi
ekosistem pesisir dan laut, dan konservasi dan pemberdayaan pulau-pulau kecil.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah..
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian
direvisi menjadi Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Sisrenbang Kelautan).
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SDM Kelautan).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Litbang Kelautan. SISNAS-
LITBANG Penegakan Ketaatan dan Hukum Laut.
30 | I C C S R
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Wisata Bahari).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya.
Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Industri
Kelautan).
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (Pertambangan
di Laut).
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran serta Lembaga
Internasional & Lembaga Asing Non-pemerintah pada Penanggulangan Bencana
Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah
Tentang Tahapan Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
31 | I C C S R
Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan
Laut
Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Perlindungan
Kawasan Lindung.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2000 tentang
Panduan Penyusunan AMDAL dalam kegiatan pembangunan lahan basah
Bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tidak selamanya sama atau serupa
dengan karakter bencana yang dimaksudkan pada Undang-Undang tersebut di atas,
dimana regulasi dan kebijakan pemerintah yang ada hingga saat ini masih mengambil
asumsi bahwa bencana alam selalu bersifat masif dan mendadak seperti banjir, badai,
gelombang badai, tsunami, dan sebagainya. Padahal bahaya yang dipicu oleh
perubahan iklim bisa terjadi secara perlahan-lahan (slow onset) namun pasti seperti
kenaikan suhu dan kenaikan muka air laut.
32 | I C C S R
matahari melalui sistem sirkulasi arus laut dari daerah sekitar ekuator ke arah kedua
kutub. Sirkulasi termohalin menjadi sistem penyimpan energi dimana energi panas
yang diterima permukaan air laut diangkut dan didistribusikan masuk ke laut dalam
selama ribuan tahun. Melalui distribusi energi panas ini terjadilah proses penguapan
air dari permukaan laut yang menyediakan energi panas laten ke atmosfer dan
menstimulasi siklus hidrologi yang bisa membangkitkan badai dan siklon.
Temperatur laut mempengaruhi kenaikan muka air laut secara langsung melalui
kontrol terhadap panas dan tidak secara langsung melalui energi panas pantulan dari
atmosfer yang mempengaruhi gunung es, lapisan es di kutub, dan siklus hidrologi.
Penyerapan karbon dioksida oleh laut secara alamiah dapat mengimbangi energi
panas dari atmosfer ini.
Sistem kesetimbangan antara laut dan atmosfer pembentuk iklim seperti di atas akhir-
akhir ini terganggu oleh aktivitas manusia di muka bumi yang menimbulkan
peningkatan produksi gas-gas rumah kaca (GRK) sehingga menimbulkan perubahan
iklim global. Perubahan iklim ini dapat memicu beberapa bahaya alam di lingkungan
laut dan pesisir yang diidentifikasi dan dikaji oleh Working Group I of the
Intergovernmental Panel on Climate Change (WG1-IPCC) sebagai berikut:
1. Kenaikan temperatur air laut (untuk selanjutnya diberi kode: KTPL)
2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon) (kode:
PKCE)
3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang
menimbulkan bahaya lanjutan berupa:
Perubahan pola curah hujan dan aliran sungai (kode: PVI-CH)
Perubahan pola sirkulasi angin dan arus laut (kode: PVI-AAM)
4. Kenaikan muka air laut (kode: KML atau SLR)
33 | I C C S R
Australian Greenhouse Office (2005) menjelaskan pengaruh perubahan iklim terhadap
bahaya yang akan timbul di wilayah pesisir dan laut sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar II.6 berupa:
badai yang mempengaruhi curah hujan dan limpasan permukaan,
badai yang terkait dengan angin dan tekanan, serta
perubahan muka laut (variabilitas musiman, ENSO dan IPO).
Perubahan-perubahan tersebut di atas kemudian berpengaruh terhadap: (A) suplai
sedimen, (B) gelombang dan swell (alunan gelombang), (C) arus laut, (D) badai pasut,
(E) perubahan muka air laut. Sedangkan faktor eksternal lainnya yang tidak terkait
langsung dengan perubahan iklim adalah pasut dan (F) tsunami, dimana pasut
dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda angkasa luar terutama bulan dan matahari,
sedangkan gelombang tsunami ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, vulkanik, dan
tanah longsor bawah laut. Seluruh elemen dari (A) sampai dengan (F) ini perlu
ditinjau dalam menganalisis bahaya-bahaya yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir
dan laut.
Gambar II.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan
iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse Office, 2005)
34 | I C C S R
II.5.1. Kenaikan Temperatur Udara dan Temperatur Permukaan Laut
Interkasi laut dan atmosfer terjadi dalam berbagai skala waktu dalam mengontrol
baik temperatur udara dan permukaan laut. Skala waktu ini bervariasi dari harian
(siang-malam), musiman, antar dekade (10 tahunan) hingga abad (100 tahunan). Laju
kenaikan temperatur udara dapat diamati dengan menganalisis tren datanya, seperti
yang dilakukan oleh Diposaptono (2009) untuk kota Jakarta dan Semarang (Gambar
II. 7) dimana terjadi kenaikan temperatur udara rata-rata dari 25.5oC menjadi 27.5.oC
atau sekitar 3.0oC selama kurung waktu 125 tahun (1865-1990) atau laju kenaikan
temperatur udara sekitar 0.024 oC/tahun.
Analisis kenaikan temperatur permukaan laut (TPL) juga telah dilakukan oleh
beberapa peneliti seperti:
Levitus dkk (2000) meneliti dan menganalisis sekitar 5 juta data profil TPL pada
kedalaman laut antara 0300 meter (hingga kedalaman 3000 meter) dan
menunjukkan bahwa terdapat kenaikan TPL secara global sekitar 0.31oC antara
tahun 19481998 atau laju kenaikan TPL 0.0062 oC/tahun yang berarti sudah
terjadi sejak selesainya Perang Dunia II.
Aldrin (2008) memperlihatkan tren kenaikan TPL di beberapa stasion di wilayah
tengah dan barat perairan Indonesia (Gambar II.8.a) dengan hasil pengukuran
diperlihatkan pada Gambar II.8.b, dengan laju kenaikan TPL untuk masing-
masing statsion berbeda-beda dengan variasi kenaikan berkisar antara 0.008
o o
C/tahun di Halmahera hingga 0.0268 C/tahun di Makassar (Gambar II.8.c).
35 | I C C S R
Gambar II.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c) Laju
kenaikan TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008)
36 | I C C S R
Gambar II.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Sofian, 2009)
Gambar II.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan
model MRI_CGCM3.2 (Sofian, 2009)
37 | I C C S R
Gambar II.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru) serta
temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (garis merah)
Badai tropis adalah suatu kawasan dengan radius minimal 100 km2 yang pusatnya
berupa kumpulan awan badai. Badai ini biasanya muncul di lintang rendah (5LU dan
5LS) yang dipicu dari kumpulan 3 sampai 5 buah awan badai di sekitar ekuator.
Makin jauh dari ekuator, makin banyak awan badainya, yang kemudian membentuk
ekor awan badai. Dengan demikian, wilayah Indonesia dengan posisi lintang antara
6LU dan 12 LS beruntung tak mendapat kondisi badai yang dahsyat kecuali awan
badai karena badai umumnya berputar menjauhi ekuator. Badai tropis selalu muncul
di dua wilayah pada dua musim (Gambar II.12), yaitu:
38 | I C C S R
di selatan wilayah Indonesia pada musim hujan, khususnya di Samudra Hindia
mulai barat daya, selatan hingga tenggara wilayah Indonesia, dan
di bagian utara pada musim kemarau, khususnya di sekitar Laut Cina Selatan dan
sebelah barat Samudra Pasifik
Meskipun wilayah Indonesia tidak secara langsung terkena badai siklon, namun ekor
badai tersebut serta gelombang laut yang dibangkitkannya sering menerjang pantai-
pantai yang menghadap ke Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, Pasifik Barat dan
Laut Banda.
Gambar II.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak terjadi di
wilayah Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan angin kencang bisa terasa (catatan
BBU=Belahan Bumi Utara, BBS=Belahan Bumi Selatan)
Trek lintasan badai tropis di Samudera Hindia diberikan oleh BOM Australia (2006)
seperti diperlihatkan pada Gambar II.13.
Gambar II.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006)
39 | I C C S R
Umumnya siklon tropis terjadi pada musim angin barat dan peralihan ke musim
angin timur (DesemberApril), yang mana paling sering terjadi pada bulan Januari
dan Februari (T.W. Hadi, 2008). Pola musiman inilah yang menyebabkan kejadian
cuaca ekstrem dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Pola tersebut akhir-
akhir ini diganggu oleh lebih seringnya kejadian El-Nino dan La-Nina. Selama
kejadian El-Nino, daerah yang berpotensi siklon tropis di Pasifik Barat cenderung
bergeser ke arah timur menjauhi perairan Indonesia, sebaliknya siklon tropis semakin
banyak terjadi selama kejadian La-Nina karena temperatur muka air laut semakin
bertambah
Badai tropis dapat menimbulkan kondisi alam yang tidak beraturan. Kejadian awan
badai bisa disebut ekstrem bila terjadi beberapa fenomena berikut:
Hujan deras berintensitas tinggi (hujan badai), yang dapat menimbulkan dampak
turunan seperti banjir dan merusak infrastruktur.
Angin kencang yang berputar dan berubah arah dengan kecepatan 60-350
km/jam (angin badai) yang dapat menerbangkan atap rumah, dan merobohkan
pohon dan papan reklame, serta menganggu sistem transportasi laut.
Gelombang badai (storm surges) yang dibangkitkan oleh badai tropis dan dapat
menimbulkan gelombang besar dan merambat ke wilayah pesisir, seperti Badai
Jacob yang terjadi pada tahun 2007. Badai ini melanda pesisir selatan Jawa, Bali,
dan Nusa Tenggara dan menimbulkan dampak kerusakan di wilayah pesisir, erosi
pantai, mengganggu pelayaran dan menyebabkan tidak melautnya para nelayan.
Melalui pemodelan numerik, Ningsih (2009) menunjukkan adanya pengangkatan
muka laut rata-rata (MSL) sekitar 50 cm selama terjadinya badai tersebut (Gambar
II.14).
40 | I C C S R
Gambar II.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di pantai
selatan Pulau Jawa (N.S. Ningsih, 2009)
.
Di daerah pesisir, elevasi muka air laut rata-rata dipengaruhi oleh gelombang badai
dan akan lebih meningkat dengan keberadaan gelombang angin yang dipengaruhi
oleh musim. Gelombang angin ini dianggap dapat merepresentasikan (proxy) bahaya
gelombang badai, karena besar-kecilnya gelombang tergantung pada angin yang
membangkitkannya. Pola gelombang angin musiman untuk bulan Januari mewakili
kejadian pada musim angin Barat (Gambar II.15.a) dan untuk bulan Agustus
mewakili kondisi pada musim angin Timur (Gambar II.15.b). Sedangkan gelombang
maksimum yang umumnya terjadi pada bulan Desember diperlihatkan pada Gambar
II.15.c. Data gelombang yang digambarkan pada Gambar II.15 diperoleh dari
altimeter Significant Wave Height (SWH) dari Januari 2006 sampai Desember 2008
(Sofian, 2009).
41 | I C C S R
a. Januari b. Agustus
c. Gelombang maksimum
Gambar II.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b), serta
gelombang maksimum (Sofian, 2009)
II.5.3. Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu oleh Perubahan
Pola Variabilitas Iklim
Pola curah hujan dan limpasan air tawar secara umum dikontrol oleh sistem sirkulasi
monsun dengan dua musim utama yakni musim penghujan dan musim kemarau.
Berdasarkan periode puncak musim hujan, di Indonesia terdapat tiga tipe daerah
iklim (Tjasyono, 1999) yaitu (1) monsunal (satu puncak musim hujan antara
Desember-Januari-Februari), (2) ekuatorial (dua puncak sekitar April-Mei dan
Oktober-November), serta (3) lokal (satu puncak dominan di sekitar Juni-Juli)
(Gambar II.16).
42 | I C C S R
Gambar II.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B) tipe
ekuatorial, (C) tipe lokal (Tjasyono, 1999)
Salah satu fakta yang menguatkan dugaan bahwa telah terjadi perubahan pola curah
hujan dan temperatur udara adalah data pengamatan curah hujan dan temperatur
udara di Pulau Lombok yang diberikan oleh Hadi, TW. (2008) seperti yang disajikan
pada Gambar II.17
Gambar II.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b), di Pulau
Lombok (Hadi, TW., 2008)
Pola curah hujan di Pulau Lombok saat ini (1991-2007) relatif sudah berbeda dengan
pola sebelumnya (1961-1990), dimana curah hujan pada bulan Desember saat ini
lebih rendah daripada masa sebelumnya, namun hal yang sebaliknya terjadi pada
bulan Maret-April. Pola temperatur udara juga mengalami perubahan dimana terlihat
43 | I C C S R
ada kenaikan sebesar 0,5oC sd 1oC pada saat ini (1991-2007) relatif terhadap pola
sebelumnya (1961-1990), khususnya pada bulan November-April, sedangkan pola
temperatur udara pada bulan Mei-Oktober relatif tidak berubah.
Hasil analisis yang diberikan oleh Sofyan (2009) pada Gambar II.18 menunjukkan
bahwa pada bulan Januari terjadi curah hujan yang tinggi dengan kisaran antara 250
mm sampai 400mm di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sementara pada bulan
Agustus curah hujan di Indonesia terlihat rendah, terutama pada wilayah di sebelah
selatan katulistiwa dengan total curah hujan di bawah 50 mm/bulan.
Gambar II.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari dan
Agustus
Pola angin monsoonal atau musim ini mendapat pengaruh dari fenomena El-Nino
dan La-Nina. Kedua fenomena tersebut dijelaskan pada laporan basis saintifik oleh
Sofian (2009). Pola curah hujan rata-rata musiman di atas dapat dianggap
merepresentasikan (proxy) bahaya banjir atau kekeringan akibat fenomena La-Nina
dan El-Nino.
Pada saat ini kedua jenis variabilitas iklim tersebut semakin kerap terjadi. Pada masa
lalu siklus El-Nino sekitar 4-7 tahun (peluang kejadian 25%-14,3%), namun pada
tahun 19902006 terjadi 6 kali (peluang kejadian lebih dari 40%). Semakin seringnya
fenomena El-Nino dan La-Nina juga terlihat dari proyeksi model dalam tahun 2010-
2030 (Sofian, 2009), bahkan keduanya bisa terjadi bersamaan dalam suatu tahun
(Tabel II.2).
44 | I C C S R
Tabel II.2 Proyeksi kejadian El-Nino dan La-Nina menggunakan skenario SRES a1b
(Sumber: Sofian, 2009)
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
2010 0,98 0,56 1,18 1,48 1,23 1,44 1,74 1,56 1,86 1,93 2,11
2011 1,98 1,91 1,63 1,28 1,53 2,21 1,99 2,24 2,40 2,73 3,06
2012 2,75 2,37 1,61 1,00 0,83 1,18 1,59
2013 1,45 1,22
2014
2015
2016 1,09
2017 1,09 1,18 1,30 0,68 0,95 1,33 1,09 1,67 1,91 2,00 2,09 2,20
2018 1,93 1,97 1,80 1,36 1,09 2,24 1,65 1,74 1,94 2,23 2,36
2019 2,50 2,25 1,85 1,39 1,19 0,73 0,50 0,73
2020 1,03 1,26 1,13 1,41 1,71 2,28 2,16 2,35 1,87
2021 1,51 1,54 1,50 1,09
2022 1,19
2023 1,40 1,32 1,05 0,63 1,13 1,04 0,92
2024 1,33 1,25 1,31 0,95 0,85 1,03
2025 0,53 0,70 0,50
2026 0,73 0,71 1,23 1,87 1,59 1,64 1,43
2027 1,38 2,00 1,91 1,49
2028
2029 1,37 1,47 1,94 2,25 1,92 1,24
2030 0,92 0,80 1,11 0,89 0,77 0,79
Keterangan warna:
El-Nino
La-Nina
Iklim normal
Tabel di atas menyatakan bahwa prediksi fenomena El-Nino dan La-Nina terjadi
dengan ritme sebagai berikut:
Antara 2010 2012: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 1 tahunan
Antara 2017 2021: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 1 3 tahunan
Antara 2023 2027: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 6 9 bulanan,
diselingi dengan periode normal.
Antara 2029 2030: El-Nino terjadi dalam jangka 1 tahunan.
Secara umum perubahan pola curah hujan dan limpasan air tawar berpotensi
menyebabkan beberapa perubahan lingkungan fisik yang penting antara lain:
Perubahan siklus hidrologi (penguapan, presipitasi, aliran).
Pengaruh pada ketersediaan air di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perubahan ekosistem dan komunitas di pesisir dalam berbagai cara.
Perubahan transpor sedimen, nutrien, dan polutan.
Perubahan sirkulasi air di estuari, di lahan basah, dan di paparan benua.
45 | I C C S R
II.5.4. Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu oleh Perubahan Pola
Variabilitas Iklim
Laut selalu berinteraksi dengan atmosfer baik melalui mekanisme perpindahan panas
maupun energi dan momentum. Bentuk perpindahan panas telah dibahas pada butir
II.5.1 dimana efek GRK mempengaruhi terjadinya kenaikan temperatur baik di
atmosfer. Bentuk perpindahan energi dan momentum dari angin permukaan ada dua
macam yaitu timbulnya gelombang dan bergeraknya arus laut. Pembangkitan
gelombang telah dibahas pada butir II.5.2 dimana angin yang sangat kencang sewaktu
badai atau siklon dapat menimbulkan gelombang badai.
Bentuk lain dari perpindahan energi dan momentum antara laut dan atmosfer
diwujudkan dengan saling pengaruh antara angin di atas permukaan laut dan arus laut.
Namun demikian pola angin dan arus laut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
seperti temperatur udara dan temperatur laut. Mekanisme variabilitas iklim seperti
ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dapat mempengaruhi faktor-faktor tersebut dan
pada gilirannya dapat mengubah pola sirkulasi angin dan arus di Indonesia.
46 | I C C S R
a. Januari b. Agustus
Gambar II.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada bulan Januari
dan Agustus (Sofian, 2009)
Propagasi angin utara dari bulan Oktober sampai Maret mendorong kolam air laut
hangat dari Samudera Pasifik bergerak ke Samudera Hindia sehingga sebagian besar
perairan Indonesia hangat. Sebaliknya pada musim angin timuran dari bulan Mei
sampai September, angin timuran menekan balik air laut dengan suhu rendah dari
Samudera Hindia ke Samudera Pasifik melalui Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut
Cina Selatan, sehingga sebagian perairan Indonesia sebelah selatan lebih dingin
daripada di sebelah utara.
Pada bulan Januari saat monsun barat, propagasi angin barat daya (angin yang bertiup
dari barat daya) menyebabkan arus di Laut Jawa mengalir ke timur, dan arus di Selat
Karimata ke selatan. Sementara arus di Selat Sunda, mengalir ke timur dan masuk ke
Laut Jawa, dengan membawa massa air dari Samudera Indonesia ke Laut Jawa. Efek
topografi dengan menciut dan mendangkalnya kedalaman Selat Karimata sebelah
selatan dapat menyebabkan terjadinya perbedaan tinggi muka air laut sebesar 40 cm
antara Laut Jawa dan Selat Karimata.
47 | I C C S R
Pada saat monsun tenggara atau waktu musim kemarau, angin mendorong arus di
Laut Jawa menuju ke barat, dan arus di Selat Karimata bergerak ke utara. Air di
permukaan Laut Jawa mengalir keluar ke Samudra Hindia melalui Selat Sunda.
a. Januari b. Agustus
Gambar II.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus.
Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari tahun 1993
sampai 1999 (Sofian, 2009).
Berbeda dengan pola arus di Laut Jawa dan Selat Karimata, arus permukaan di Selat
Makassar tidak mengikuti pola dan arah angin musiman. Arus tersebut cenderung
untuk bergerak ke selatan. Kecepatan arus permukaan di Selat Makassar lemah pada
musim angin barat, meskipun angin utara sangat intensif. Lemahnya arus permukaan
di Selat Makassar ini disebabkan oleh kuatnya arus permukaan di Laut Jawa yang
bergerak ke timur, sehingga menghalangi laju arus permukaan di Selat Makassar.
Sebaliknya, arus permukaan di Selat Makassar akan menguat pada musim kemarau
(angin tenggara), dan mendorong air permukaan yang bersalinitas dan bersuhu
rendah kembali ke Laut Jawa. Kuatnya arus permukaan di Selat Makassar juga
menyebabkan penurunan tinggi muka air laut di pantai utara Pulau Lombok, Laut
Flores dan Laut Jawa bagian timur dan tengah pada bulan Agustus.
48 | I C C S R
Perairan Indonesia menuju ke Pasifik bagian tengah. Di samping itu, berkurangnya
fresh water flux (presipitasi dikurangi evaporasi, PE forcing) membuat TML lebih
terdepresi ke titik terendah. Pada periode ini, TML di perairan Indonesia, terdepresi
sekitar 20 cm di bawah rata-rata tahunan (lihat Gambar II.21).
a. Januari
b. Agustus
Gambar II.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus.
TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan hasil
estimasi model HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Sofian, 2009)
Pada fase La Nina, terjadi proses yang terjadi terbalik dengan periode El Nino. Angin
pasat atau trade wind menguat menyebabkan warm pool lebih ke barat, meningkatkan
intensitas curah hujan, yang menyebabkan pertambahan PE forcing. Faktor-faktor ini
menyebabkan TML di Indonesia bisa naik lebih dari 20cm (lihat Gambar II.22). Hal
49 | I C C S R
ini menyebabkan berbagai kerawanan, terutama terhadap abrasi, erosi dan perubahan
garis pantai, yang tidak hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, tapi juga
disebabkan oleh naiknya TML.
Gambar II.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 2008). TML
anomali turun sampai 20 cm pada periode El Nio kuat, dan naik 20cm pada periode La
Nia kuat (Sofian, 2009).
Fenomena global ini berbanding terbalik dengan fenomena lokal yang ditunjukkan
pada Gambar II.20 (kasus di Laut Jawa). Pada periode El Nino, trade wind (angin
baratan) di Pasifik melemah dan angin timuran lebih intensif, sementara untuk
kondisi di Laut Jawa, angin timuran lebih intensif ditandai dengan semakin tingginya
transport massa air laut di Laut Jawa dari Laut Banda dan Selat Makassar pada bulan
Agustus 1997.
Pengaruh kondisi global yang lebih signifikan membuat TML tetap terdepresi
meskipun fenomena lokal melalui kuatnya angin timuran berusaha meninggikan TML
(meninggikan transport massa air masuk ke Laut Jawa pada bulan Agustus 1998).
Pada periode La Nina terjadi fenomena berlawanan, yaitu angin lokal baratan
cenderung menguat dan melemahkan air laut yang masuk ke Laut Jawa melalui Laut
Banda, Flores dan Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada bulan Agustus 1999.
Dari uraian di atas pola angin dan temperatur air laut serta pola arus dan tinggi muka
air laut rata-rata dapat dianggap merepresentasikan (proxy) bahaya yang diakibatkan
oleh kejadian fenomena ENSO.
50 | I C C S R
Upwelling dan Potensi Perikanan Tangkap
Sirkulasi arus lautan serta gerakan air laut secara vertikal (baik upwelling dan
downwelling) dapat dipengaruhi oleh perubahan global dan lokal dari temperatur,
salinitas, curah hujan, dan medan angin yang berhembus di atas permukaan laut serta
pasang surut. Gerakan massa air laut secara horizontal dan vertikal tersebut erat
kaitannya dengan ekologis yang terkandung di dalam laut. Oleh sebab itu
pengetahuan mengenai skala ruang dan waktu dari sirkulasi arus laut ini sangat
penting untuk memahami implikasi perubahan iklim global pada dinamika laut dan
sumber daya hayati kelautan, khususnya perikanan tangkap. Di beberapa daerah laut
dan pantai terdapat potensi produktivitas dan perikanan tangkap yang tinggi yang
disebabkan oleh adanya gerakan ke atas dari massa air laut (upwelling) yang
mengangkat nutrien dari dasar laut. Perubahan sistem arus yang dipengaruhi oleh
perubahan iklim global atau akibat variabilitas laut berpotensi menaikkan atau
menurunkan produktivitas tersebut.
a. Januari b. Agustus
51 | I C C S R
c. Agustus 1997
Gambar II.23 Distribusi klorofil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta pada
bulan Agustus 1997 pada saat terjadi El Nino (Sofian, 2009).
Gambar II.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC,
2007) dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm (Sofian, 2009)
52 | I C C S R
Gambar II.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada tahun 2000
(Sofian, 2009).
Hasil pengolahan data pasang surut dibeberapa stasion pasut di Perairan Indonesia
dan sekitarnya memperlihatkan tren kenaikan muka laut seperti yang terlihat pada
Gambar II.26. Bila data-data tersebut diekstrapolasi sampai pada tahun 2100 maka
terlihat bahwa kenaikan TML berkisar antara 4070 cm kecuali di Manila dimana
kenaikan TML mencapai 120 cm (Gambar II.27). Hasil ekstrapolasi ini mendekati
hasil proyeksi model.
Gambar II.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di Indonesia
dan sekitarnya (Sofian, 2009).
53 | I C C S R
Gambar II.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan data pasut
yang diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) (Sofian, 2009).
Distribusi spasial laju kenaikan muka air laut baik dari satelit altimetri maupun dari
model dapat dilihat masing-masing pada Gambar II.28 dan Gambar II.29 (Sofian,
2009). Hasil estimasi kenaikan muka air laut berdasarkan altimeter, data pasut dan
model, menunjukkan tren yang sama dengan tingkat kenaikan rata-rata sekitar 0,6
cm/tahun sampai 0,8 cm/tahun.
Gambar II.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993 sampai
Desember 2008 dengan mengggunakan spatial trend analysis (Sofian, 2009)
54 | I C C S R
Gambar II.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berdasarkan
skenario IPCC SRESa1b dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 750ppm (Sofian, 2009)
Gambar II.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan model
dengan penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (Sofian,2009)
Kenaikan muka air laut tersebut perlu dibedakan dengan fluktuasi (naik turunnya)
muka air laut lainnya pada skala waktu yang bervariasi, seperti gelombang laut
(ombak dan alun) yang terjadi akibat angin permukaan laut, pasang surut (pasut) yang
disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari, gelombang badai dan gelombang
pasang yang muncul akibat terjadinya siklon atau badai di laut, akibat variabilitas iklim
El-Nino dan La-Nina. Namun demikian perlu dicermati adanya terminologi
kenaikan relatif muka air laut merujuk pada perubahan muka air laut terhadap
permukaan tanah yang bersifat lokal pada lokasi tertentu. Permukaan tanah pun
dapat mengalami gerakan karena pembalikan isostatik, penurunan muka tanah,
55 | I C C S R
kompaksi dan settling karena penumpukan sedimen aluvial di delta estuari, penurunan
muka tanah dari ekstraksi air dan minyak bumi, serta faktor tektonik seperti gempa
bumi Gambar II.31 dan Gambar II.32 memperlihatkan perubahan muka tanah
(subsidense dan uplift) akibat aktivitas gempa.
Gambar II.31 Contoh subsidence akibat Gambar II.32 Contoh uplift akibat Gempa
Gempa Nias 2005 (Sumber: Danny N.H) Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh)
56 | I C C S R
No Jenis Bahaya Proyeksi Bahaya Bahaya Lain yang Dipicunya
4 Kenaikan muka Tren kenaikan rata-rata sebesar 0,6 Banjir rob/genangan pantai
air laut 0,8 cm/ tahun (Sofian, 2009). Intensifikasi erosi pantai
Perubahan endapan sedimen
Intensifikasi intrusi garam
pada air tanah dan air sungai
Bahaya-bahaya alam pada sektor Kelautan dan Perikanan yang dipicu oleh perubahan
iklim dapat dianalisis dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pentingnya menggunakan dua parameter analisis bahaya secara umum yaitu
intensitas dampak dan frekuensi (probabilitas) terjadinya bahaya.
b. Pentingnya menggunakan pertimbangan pada skenario terburuk (worst-case
scenarios) dalam analisis bahaya khususnya pada kejadian dengan probabilitas kecil
namun dapat menimbulkan dampak yang besar.
c. Banyak studi menyatakan bahwa perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut
dapat berlangsung secara kontinu dengan laju yang terus bertambah dalam
beberapa abad mendatang, sehingga proyeksi-proyeksi perubahan iklim adalah
sebuah keniscayaan.
d. Model-model yang digunakan untuk estimasi atau proyeksi perubahan iklim
masih perlu dijustifikasi atau diverifikasi sebelum diterapkan dalam skala kajian
yang lebih detail.
e. Suatu fenomena yang dapat diamati dapat merupakan gabungan dari beberapa
bahaya, misalnya perubahan tinggi muka air laut tidak hanya dipengaruhi oleh
kenaikan muka air laut akibat pencairan es di kutub saja namun juga oleh
gelombang badai, pasang surut (pasut), ENSO (lihat Gambar II.33).
57 | I C C S R
Gambar II.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut (dalam hal
ini tsunami tidak diperhitungkan)
Catatan pada butir terakhir tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengkaji tingkat
bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim secara akumulatif (keseluruhan). Parameter
yang dianalisis adalah tinggi dan luas penggenangan air laut ke arah pesisir (banjir
rob). Parameter tersebut disimulasikan untuk menunjukkan tingkat bahaya akibat
perubahan iklim dengan membandingkan kondisi pesisir masa mendatang (tahun
2030) terhadap kondisi saat ini (baseline data tahun 2000), jika bahaya kenaikan muka
air laut terus-menerus berlangsung dengan proyeksi kenaikan rata-rata sebesar 12 cm
pada tahun2030, dan disertai dengan kejadian jenis-jenis bahaya lain secara terpisah
atau secara serentak (lihat kembali Gambar II.33), yaitu:
Bahaya kejadian cuaca ekstrem yang diwakili oleh gelombang badai yang
menimbulkan peninggian elevasi muka laut dengan maksimum sekitar 3 meter di
garis pantai.
Bahaya yang ditimbulkan oleh variabilitas iklim La-Nina yang diwakili oleh
terjadinya peninggian muka air laut rata-rata dengan prediksi sekitar 10-20 cm
Bahaya periodik dari fenomena pasang surut yang normal terjadi sekitar 19 tahun
sekali yaitu pada saat bulan berada pada posisi perigee (jarak terdekat dengan bumi),
dimana saat itu terjadi air pasang tertinggi (perigee-spring highest tide) dengan tinggi
maksimum sekitar 1-3 meter dari muka laut rata-rata. Sebagai gambaran, distribusi
tinggi kisaran pasut (jarak vertikal antara level air pasang tertinggi dan air surut
terendah) di Indonesia dapat dilihat pada Gambar II.34 berikut.
58 | I C C S R
Gambar II.34 Peta kisaran pasut di Indonesia
Sebagai catatan, kejadian cuaca ekstrem sebenarnya juga menimbulkan bahaya banjir
di pesisir namun ketinggian muka airnya sulit diprediksi secara kuantitatif.
Kajian ini menganalisis tingkat akumulasi bahaya akibat kombinasi dari berbagai jenis
bahaya tersebut di atas melalui tiga skenario (Gambar II.35), yaitu
Skenario-1 HHWL+SLR yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut saat air pasang
tertinggi perigee (HHWL) disertai dengan kenaikan muka air global (SLR)
Skenario-2 HHWL+SLR+ENSO yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut pada
saat air pasang tertinggi perigee (HHWL) dan disertai dengan kenaikan muka air
global (SLR) dan kejadian variabilitas iklim La-Nina (ENSO),
Skenario-3 HHWL+SLR+ENSO+ SS yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut
yang disertai dengan air pasang tertinggi perigee (HHWL) dan disertai dengan
kenaikan muka air global (SLR) dan kejadian variabilitas iklim La-Nina (ENSO),
serta gelombang badai (SS) secara serentak. Skenario ini adalah kondisi terburuk
walaupun probabilitas kejadiannya kecil.
59 | I C C S R
(a) Skenario-1 HHWL+SLR
60 | I C C S R
II.5.7. Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah
Berikut ini akan dideskripsikan berbagai bahaya yang dapat dipicu oleh perubahan
iklim di setiap wilayah di Indonesia. Hasil-hasil simulasi penggenangan air laut di
pesisir (banjir rob) skenario-3 juga akan melengkapi analisis sebagai resume dari
bentuk bahaya di pesisir dalam kondisi ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim.
Sebagai catatan, secara umum hasil simulasi tersebut sebenarnya masih kurang akurat
mengingat data topografi digital SRTM yang tersedia untuk seluruh Indonesia belum
dikoreksi lokal dengan tinggi kanopi pohon dan bangunan.
61 | I C C S R
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
barat laut. Kecepatan rata-rata 5
m/detik.
Agustus: Sebagian besar daerah
sebelah selatan Sumatra berhembus
angin tenggara, sedangkan di NAD
dan Sumatra Utara terjadi angin barat
daya
Perubahan sirkulasi Sepanjang tahun: Arus laut di pantai Gambar II.20 Arus: 0 1
arus laut oleh barat Sumatra bergerak ke arah Gambar II.21, m/dt
perubahan variabilitas selatan, sedangkan muka air laut Level muka
iklim (proksi: pola hampir selalu berada di level sekitar air laut: -40
arus dan fluktuasi 10 cm di bawah MSL. Di Selat 50 cm
muka air laut rata-rata Malaka arus bergerak ke utara, terhadap
tahunan) sedangkan muka air laut berada di muka air laut
level 5-10 cm di atas MSL. rata-rata
(MSL= mean
sea level)
62 | I C C S R
Gambar II.36 Simulasi genangan pesisir di wilayah Sumatra
63 | I C C S R
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
rata-rata tahunan) Agustus: Curah hujan rata-rata
kurang dari 50 mm atau terjadi Gambar II.18
kekeringan yang cukup merata
Perubahan sirkulasi Januari: Pola angin dari barat terjadi Gambar II.19 0 10 m/ dt
angin permukaan oleh pada seluruh wilayah ini dengan
perubahan variabilitas kecepatan sekitar 8 m/detik.
iklim (proksi: pola Agustus: Pola angin sebaliknya terjadi
angin permukaan yaitu dari timur tenggara dengan
rata-rata tahunan) kecepatan rata-rata hampir 10
m/detik.
Perubahan sirkulasi Sepanjang tahun: Arus di sepanjang Gambar II.20 Arus: 0 1
arus laut oleh pantai selatan Jawa-Bali hampir selalu Gambar II.21, m/dt.
perubahan variabilitas bergerak ke timur, sedangkan level Level muka
iklim (proksi: pola muka air laut berada sekitar 20 cm di air laut: -40
arus dan fluktuasi bawah MSL. 50 cm
muka air laut rata-rata Januari: Arus di sepanjang pantai terhadap
tahunan) utara Jawa-Bali bergerak ke timur. muka air laut
Agustus: Kondisi arus di pantai utara rata-rata
Jawa-Bali berbalik ke barat menuju (MSL)
arah Laut Cina Selatan.
Kenaikan muka laut Hampir seluruh pantai utara Jawa- Gambar II.28, 0,72 0,77
Bali mengalami tren kenaikan muka Gambar II.29, cm/tahun
air laut sekitar 0,745 cm/tahun. Gambar II.30
Sedangkan tren kenaikan muka air
laut di pantai selatan lebih kecil lagi
yaitu sekitar 0,74 cm/tahun
64 | I C C S R
Gambar II.37 Simulasi genangan pesisir di wilayah Jawa-Madura-Bali
Gambar II.38.a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008)
65 | I C C S R
Gambar II.38.b Simulasi genangan air laut di pesisir selatan Jawa Barat (Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008)
Gambar II.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009)
66 | I C C S R
Tabel II.6 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III
Kisaran
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar
Nilai
Kenaikan temperatur Tren kecil terjadi di sepanjang pantai Gambar II.9, 0,01
air laut Nusa Tenggara (0-0,01oC/ thn) Gambar II.10 0,03oC/thn
Peningkatan frekuensi Januari: Kondisi gelombang serupa Gambar II.12, 0,4-2 meter
dan intensitas dengan di wilayah II Jawa-Bali Gambar II.13,
kejadian cuaca Agustus: Gelombang di pantai utara
ekstrem (proksi: maksimum 1,2 m, sedangkan di
gelombang angin pantai selatan rata-rata maksimum 1,6
signifikan) m
Perubahan curah Januari: Secara umum curah hujan Gambar II.16, 0 600 mm
hujan oleh perubahan yang terjadi kurang dari 250 mm. Bulan Januari
variabilitas iklim Agustus: Kekeringan berlanjut hingga (b) Bulan
(proksi: curah hujan curah hujan di bawah 50 mm Agustus
rata-rata tahunan)
Gambar II.18
Perubahan sirkulasi Januari: Angin barat terjadi pada Gambar II.19 0 10 m/ dt
angin permukaan oleh seluruh wilayah ini dengan kecepatan
perubahan variabilitas sekitar 8 m/detik.
iklim (proksi: pola Agustus: Pola angin dari tenggara
angin permukaan terjadi di sepanjang wilayah ini
rata-rata tahunan) dengan kecepatan rata-rata hampir 10
m/detik.
Perubahan sirkulasi Arus secara dominan dipengaruhi Gambar II.20 Arus: 0 1
arus laut oleh oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) Gambar II.21, m/dt.
perubahan variabilitas yang melewati Selat Lombok menuju Level muka
iklim (proksi: pola ke selatan namun dengan magnitudo air laut: -40
arus dan fluktuasi yang berubah-ubah. Level muka air 50 cm
muka air laut rata-rata laut juga tidak banyak berubah dari terhadap
tahunan) sekitar 10-20 cm di bawah MSL. muka air laut
Januari: Arlindo yang melewati Selat rata-rata
Lombok cukup lemah, justru terjadi (MSL= mean
arus menuju ke timur di sepanjang sea level)
kedua sisi utara dan selatan Nusa
Tenggara.
Agustus: Arlindo cukup kuat (sekitar
1 m/detik) terjadi di Selat Lombok
dan Selat Alas, sedangkan level muka
air laut di pantai selatan makin turun
hingga sekitar 30 cm di bawah MSL.
Kenaikan muka laut Pantai Nusa Tenggara sebelah barat Gambar II.28, 0,72 0,77
mengalami tren kenaikan muka air Gambar II.29, cm/tahun
laut sekitar 0,74 cm/tahun, Gambar II.30
sedangkan di sebelah timur sekitar
0,75 0,76 cm/tahun.
67 | I C C S R
Gambar II.40 berikut ini. Pada wilayah ini tidak terlihat terjadinya genangan air laut di
pesisir kecuali sedikit di pantai selatan Pulau Timor. Ada kemungkinan hal ini
disebabkan oleh adanya ketertutupan lahan oleh kanopi pohon hutan.
Gambar II.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009)
68 | I C C S R
II.5.7.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah IV Kalimantan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
69 | I C C S R
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Agustus: Arus di pantai Kalimantan
Tengah dan Selatan bergerak ke arah
barat dengan sangat kecil.
Kenaikan muka laut Pantai barat Kalimantan Barat dan Gambar II.28, 0,72 0,77
pantai timur Kalimantan mengalami Gambar II.29, cm/tahun
tren kenaikan muka air laut sebesar Gambar II.30
0,755 cm/tahun, sedangkan tren di
pantai selatan Kalimantan Selatan
dan Tengah sekitar 0,76 cm/tahun
70 | I C C S R
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
kejadian cuaca IV Kalimantan; kecuali di pantai
ekstrem (proksi: Manado terjadi gelombang 1,2 m
gelombang angin Agustus: Gelombang rendah masih
signifikan) terjadi di bagian utara wilayah ini,
sedangkan di sebelah selatan terjadi
gelombang maksimum 1 m
Perubahan curah Januari: Curah hujan rendah (sekitar Gambar II.16, 0 600 mm
hujan oleh perubahan 100 mm) terjadi di Sulawesi Tengah Bulan Januari
variabilitas iklim dan Gorontalo, sedangkan curah (b) Bulan
(proksi: curah hujan hujan tinggi terjadi di Sulawesi Agustus
rata-rata tahunan) Selatan, Tenggara, dan di utara
Manado Gambar II.18
Agustus: Secara umum terjadi curah
hujan rendah (50-100 mm), kecuali di
bagian tengah Sulawesi sekitar 150-
200 mm)
Perubahan sirkulasi Januari: Pola angin dari barat terjadi Gambar II.19 0 10 m/ dt
angin permukaan oleh di Sulawesi Selatan dan Tenggara,
perubahan variabilitas sedangkan di bagian yang lain
iklim (proksi: pola berhembus angin lemah dari utara.
angin permukaan Agustus: Pola angin sebaliknya terjadi
rata-rata tahunan) yaitu angin tenggara dengan
kecepatan sekitar 10 m/detik di
Sulawesi Selatan, Tenggara, dan
Tengah, sedangkan di sebelah utara
terjadi angin lemah dari selatan.
Perubahan sirkulasi Arus Lintas Indonesia di Selat Gambar II.20 Arus: 0 1
arus laut oleh Makasar telah dideskripsikan pada Gambar II.21, m/dt.
perubahan variabilitas wilayah V Kalimantan. Level muka
iklim (proksi: pola Januari: Arus di pantai Sulawesi air laut: -40
arus dan fluktuasi Selatan dan Tenggara bergerak ke 50 cm
muka air laut rata-rata arah timur dengan kecepatan cukup terhadap
tahunan) kuat (sekitar 0,5 m/detik). Sedang muka air laut
arus di pantai Sulawesi Utara dan rata-rata
Gorontalo berasal dari Samudra (MSL= mean
Pasifik bagian barat. sea level)
Agustus: Arus di pantai Gorontalo
dan Sulawesi Utara bergerak menuju
ke utara, sedangkan di pantai
Sulawesi Selatan dan Tenggara sangat
lemah.
Kenaikan muka laut Tren kenaikan muka air laut di pantai Gambar II.28, 0,72 0,77
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gambar II.29, cm/tahun
Sulawesi Utara, dan pantai timur Gambar II.30
Sulawesi Tengah sekitar 0,76 cm/
tahun. Pantai Sulawesi Barat
mengalami tren kenaikan muka air
laut sedikit lebih rendah yaitu sekitar
0,75 cm/tahun.
71 | I C C S R
Hasil simulasi skenario terburuk dari
kombinasi bahaya yang menimbulkan
penggenangan pesisir di wilayah Sulawesi
dapat dilihat pada Gambar II.43 berikut
ini. Beberapa daerah mengalami
penggenangan pesisir cukup ekstrem
seperti daerah pesisir Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
Kisaran
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar
Nilai
Kenaikan temperatur Tren kecil-menengah terjadi di Gambar II.9, -0,01
air laut Maluku bagian tengah dan selatan Gambar II.10 0,03oC/thn
(0,01-0,015oC/thn); sedangkan di
Maluku Utara tren besar (0,025oC/th)
Peningkatan frekuensi Januari: Gelombang rendah terjadi di Gambar II.12, 0,4-2 meter
dan intensitas Maluku bagian tengah, hanya sekitar Gambar II.13,
kejadian cuaca 0,6 m; sedangkan di Maluku bagian
ekstrem (proksi: utara dan selatan terjadi gelombang
gelombang angin tinggi sekitar 1,5 m
signifikan) Agustus: Gelombang rendah hanya
terjadi di Maluku bagian utara,
sedangkan di bagian selatan terjadi
gelombang maksimum 1,2 m
Perubahan curah Januari: Secara umum curah hujan Gambar II.16, 0 600 mm
hujan oleh perubahan yang terjadi sekitar 100-150 mm Bulan Januari
variabilitas iklim Agustus: Kekeringan (curah hujan di (b) Bulan
(proksi: curah hujan bawah 50 mm) terjadi hampir di Agustus
rata-rata tahunan) seluruh daerah, kecuali di sekitar
Halmahera terjadi hujan antara 100- Gambar II.18
150 mm.
Perubahan sirkulasi Januari: Di Maluku bagian selatan Gambar II.19 0 10 m/ dt
72 | I C C S R
Kisaran
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar
Nilai
angin permukaan oleh terjadi angin dari barat dengan
perubahan variabilitas kecepatan sekitar 10 m/detik,
iklim (proksi: pola sedangkan di bagian utara terjadi
angin permukaan angin lemah dari utara barat laut.
rata-rata tahunan) Agustus: Angin berhembus dari arah
sebaliknya yaitu angin dari tenggara
dengan kecepatan sekitar 10 m/detik
di bagian selatan, sedangkan di
sebelah utara terjadi angin sedang
dari selatan.
Perubahan sirkulasi Januari: Arus bergerak menuju arah Gambar II.20 Arus: 0 1
arus laut oleh utara-timur dengan kecepatan cukup Gambar II.21, m/dt.
perubahan variabilitas kuat (sekitar 0,4 m/detik). Level muka
iklim (proksi: pola Agustus: Arus masih bergerak ke air laut: -40
arus dan fluktuasi utara-timur, namun melemah hingga 50 cm
muka air laut rata-rata sekitar 0,1 m/detik. terhadap
tahunan) MSL
Kenaikan muka laut Hampir seluruh pantai di Maluku Gambar II.28, 0,72 0,77
mengalami tren kenaikan muka air Gambar II.29, cm/tahun
laut sekitar 0,755 cm/tahun, kecuali Gambar II.30
di sekitar Halmahera nilai tren sekitar
0,76 cm/tahun.
Tabel II.10 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII
73 | I C C S R
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Kenaikan temperatur Tren kecil-menengah terjadi di pantai Gambar II.9, -0,01
air laut selatan (0,01-0,015oC/thn); Gambar II.10 0,03oC/thn
sedangkan di bagian utara tren sangat
besar (0,03oC/th)
Peningkatan frekuensi Januari: Gelombang menengah Gambar II.12, 0,4-2 meter
dan intensitas sekitar 1,2 m terjadi di Papua bagian Gambar II.13,
kejadian cuaca utara; bahkan di bagian barat terjadi
ekstrem (proksi: gelombang sekitar 0,8 m
gelombang angin Agustus: Gelombang rendah 0,8 m
signifikan) meluas tidak hanya terjadi di bagian
barat tapi juga di bagian utara,
sedangkan di Laut Arafura terjadi
gelombang maksimum 1,4 m
Perubahan curah Januari: Curah hujan maksimum Gambar II.16, 0 600 mm
hujan oleh perubahan sekitar pesisir Timika (selatan) yaitu Bulan Januari
variabilitas iklim sekitar 450-550 mm, sedangkan (b) Bulan
(proksi: curah hujan pesisir lain mengalami curah hujan Agustus
rata-rata tahunan) sedang antara 150-300 mm.
Gambar II.18
74 | I C C S R
Hasil simulasi skenario terburuk
penggenangan pesisir di wilayah
Pulau Papua bagian Barat dapat
dilihat pada Gambar II.45 Keter-
tutupan kanopi hutan masih
menyebabkan hasil simulasi tidak
menunjukkan daerah-daerah
genangan pesisir walau sebenarnya
daerah pesisir selatan Papua
merupakan pantai yang landai.
II.6. Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim
Secara umum sektor Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu sektor yang
banyak mengandalkan potensi sumberdaya alam, sehingga masalah atau isu-isu yang
timbul selalu dapat dikaitkan dengan tiga elemen isu sektor yaitu: (1) ketersediaan
sumberdaya baik hayati maupun nonhayati, (2) lingkungan dari sumberdaya baik
secara fisik/geografis maupun ekologis, dan (3) manusia atau masyarakat yang
memanfaatkannya baik untuk kepentingan pemukiman (sosial kemasyarakatan)
maupun ekonomi.
Isu-isu strategis yang berada di dalam lingkup sektor Kelautan dan Perikanan tidak
lain merupakan sintesis dari ketiga elemen isu sektor di atas yang kemudian
dikelompokkan ke dalam lima aspek sebagai berikut (diolah dari: KKP, 2005):
75 | I C C S R
1. Isu-isu lingkungan fisik/geografis, yaitu yang timbul dari kondisi dan letak pesisir,
perairan, dan pulau-pulau kecil. Isu-isu strategisnya antara lain:
Masih perlu dimantapkannya sistem pengelolaan kewilayahan berbasis
kepulauan guna mengelola dampak perubahan iklim baik pada wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil (WP3K) maupun wilayah perairan laut. Oleh sebab itu
bahasan isu perubahan iklim dalam kajian ini akan dituangkan ke dalam 7
wilayah pembangunan nasional dengan memperhatikan klaster-klaster jasa
kelautan dan perikanan, perikanan tangkap dan budidaya, serta faktor-faktor
fisik lainnya (lihat butir I.2.1).
Kurangnya riset dan sosialisasi mengenai mitigasi kebencanaan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Fokus dari sistem ini adalah pada ancaman
bahaya variabilitas iklim serta kejadian cuaca ekstrem yang berasal dari
Samudra Hindia dan Pasifik yang mengapit Indonesia.
2. Isu-isu sosial, ekonomi, dan kependudukan di dalam sistem masyarakat pesisir
dan pulau-pulau kecil, antara lain:
Problem kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil yang umumnya adalah nelayan dan pembudidaya ikan.
Kebijakan dan kegiatan adaptasi yang akan disusun perlu diarahkan agar
dapat menjamin keberlanjutan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP) yang sedang berjalan
Problem kepadatan penduduk di pesisir tertentu yang berpotensi rawan
konflik sosial jika tekanan sosial ekonomi yang dialaminya semakin ditambah
dengan tekanan akibat dampak perubahan iklim di pesisir.
3. Isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan infrastruktur dan fasilitas vital yang
terdapat di pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
Mulai banyak kasus terendamnya bangunan infrastruktur dan fasilitas vital di
pesisir dan pulau-pulau kecil terutama pada saat air laut pasang
Semakin banyak kasus abrasi pantai yang menggerus infrastruktur dan fasilitas
vital di pesisir akibat intensifikasi gelombang badai (kejadian cuaca ekstrem)
Isu-isu tersebut diakibatkan setidaknya oleh dua faktor mendasar, yaitu:
Pembangunan infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir yang telah berjalan
kebanyakan belum memperhatikan proyeksi-proyeksi perubahan iklim.
76 | I C C S R
Perhitungan level dasar bangunan terhadap bidang muka air laut rata-rata
baru didasarkan pada pasang surut dan gelombang laut rata-rata, tetapi belum
memperhatikan bahaya kenaikan muka air laut. Perhitungan kekuatan
struktur bangunan baru memperhatikan akibat dari angin dan gelombang laut
rata-rata, tetapi belum mengantisipasi semakin sering terjadinya badai dan
gelombang badai
Faktor sempadan pantai dalam upaya penataan ruang pesisir secara fisik baru
didasarkan pada kisaran pasang surut laut dan iklim gelombang normal, tetapi
belum memperhatikan proyeksi kenaikan muka air laut dan variabilitas muka
laut akibat kejadian ENSO, IPO, dan gelombang badai
4. Isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya yang
didominasi oleh faktor penguasaan IPTEK yang kurang optimal. Hal ini
tercermin dari beberapa isu antara lain:
Sebagian besar nelayan masih bersifat tradisional sehingga belum banyak
memanfaatkan informasi lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground),
armada kapalnya berskala kecil sehingga tidak bisa menjangkau perairan ZEE
(Zona Ekonomi Eksklusif), dan belum terjalinnya rantai dingin dari lokasi
penangkapan ikan hingga lokasi penjualannya
Masih kurang detailnya informasi lokasi penangkapan ikan di laut (fishing
ground) dan pola pergerakan (migrasi) ikan berpotensi ekonomi tinggi
Masih kurang dimanfaatkannya informasi pola angin permukaan di laut untuk
operasionalisasi kapal nelayan
Ketimpangan pemanfaatan stok ikan antar wilayah maupun antar spesies
sehingga kadang timbul penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing)
Belum optimalnya pengembangan perikanan budidaya air laut, air payau, dan
air tawar
Belum optimalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil
Belum dieksplorasi dan diproduksinya sumberdaya energi alternatif (non-
konvensional) dari laut seperti energi gelombang, arus, pasang surut, dan
perbedaan suhu laut (OTEC = Ocean Thermal Energy Conversion)
77 | I C C S R
Dari berbagai isu di atas maka penguasaan dan penerapan IPTEK menjadi kunci
penting upaya adaptasi terhadap perubahan iklim pada pemanfaatan sumberdaya
sektor kelautan dan perikanan.
5. Isu-isu ekologis, antara lain:
Masih banyaknya konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga banyak lahan konservasi diubah
menjadi lahan pemukiman dan kegiatan produktif (industri, tambak,
pertanian, pariwisata). Misalnya, degradasi hutan mangrove dari 5,21 juta ha
pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta ha pada tahun 1993 (KKP, 2005). Di
samping itu kondisi terumbu karang telah mencapai tingkat kerusakan rata-
rata sekitar 40% pada tahun 2005 (KKP, 2005). Faktor-faktor penyebabnya
antara lain: (1) kegiatan manusia, misalnya penangkapan dengan alat yang
merusak (illegal fishing) dan eksploitasi berlebih (overfishing), pencemaran dan
sedimentasi, perencanaan yang kurang tepat, dampak pembangunan di darat,
serta (2) faktor alam seperti pengaruh El-Nino, La-Nina, badai, gempa bumi,
dan banjir.
Belum optimalnya pengelolaan konservasi laut dan perairan umum
Masih lemahnya pengawasan dan pengendalian pencemaran di pesisir.
Munculnya berbagai isu tersebut antara lain diakibatkan oleh dua faktor utama: (1)
Faktor strategi pembangunan yaitu masih lekatnya paradigma pembangunan masa
lalu yang lebih berorientasi ke darat (terresterial), dimana prioritas alokasi sumberdaya
pembangunan lebih diarahkan pada sektor-sektor daratan, sehingga potensi sektor
kelautan dan perikanan belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk pemberdayaan
masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan di pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) Faktor
kurangnya kesadaran terhadap potensi dampak perubahan iklim yaitu kurang banyak
diperhatikannya aspek-aspek dan proyeksi-proyeksi dalam proses perencanaan dan
pengelolaan pembangunan sektor. Implikasinya adalah perlunya menguatkan
implementasi lima pilar strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan yaitu
strategi:
pro-poor (pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan),
pro-job (penyerapan tenaga kerja),
78 | I C C S R
pro-growth (pertumbuhan ekonomi),
pro-business (memberdayakan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah di
bidang kelautan dan perikanan), dan
pro-sustainable (pemulihan dan pelestarian lingkungan perairan, pesisir, dan pulau-
pulau kecil, serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim)
Sebagai resume, tema-tema yang dicakup dalam isu-isu strategis sektor meliputi:
1. Riset dan pemantauan fenomena perubahan iklim
2. Kajian mengenai kerentanan, potensi dampak, dan risiko perubahan iklim pada
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
3. Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,
terutama perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang berkaitan dengan
penghidupan masyarakat di wilayah tersebut
4. Pengelolaan ekosistem di wilayah pesisir, perairan, dan pulau-pulau kecil,
termasuk pulau-pulau kecil strategis yang terletak di paling luar
5. Penataan ruang dan zonasi pesisir dan perairan
6. Level dan kekuatan struktur bangunan dan fasilitas vital di pesisir
7. Pengelolaan kebencanaan akibat kejadian cuaca ekstrem dan variabilitas iklim
79 | I C C S R
BAB III KERENTANAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Bahaya alam yang dipicu oleh perubahan iklim sebagaimana yang dideskripsikan di
atas adalah bersifat global dimana potensi bahayanya dapat meluas di seluruh wilayah
Indonesia. Faktor yang menentukan lokalitas dari potensi dampak perubahan iklim
adalah kerentanan (vulnerability). Suatu bahaya yang mempunyai besaran (magnitudo)
yang tidak terlalu besar akan mempunyai potensi dampak besar jika mengena pada
daerah yang sangat rentan, atau sebaliknya suatu bahaya yang besar hanya
menimbulkan potensi dampak kecil jika terjadi pada daerah yang praktis tidak rentan.
Oleh karena itu identifikasi kerentanan sangat diperlukan dalam kajian risiko atau
potensi dampak.
Keterpaparan x Sensitivitas
Kerentanan
Kapasitas Adaptasi
dimana:
Keterpaparan atau eksposur (exposure) adalah komponen dari kerentanan yang
mengacu pada penerimaan manusia dan lingkungannya terhadap terpaan suatu
bahaya alam menurut lokasi. Keterpaparan ini menggambarkan jenis dan jumlah
aset di pesisir yang mengalami risiko; meliputi elemen-elemen fisik, sosial/budaya,
ekonomis, dan ekologis.
80 | I C C S R
Sensitivitas (sensitivity) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada
tingkat kerugian individu atau kelompok atau kegetasan suatu infrastruktur atau
lingkungan terhadap terpaan suatu potensi bencana alam. Sensitivitas ini
menggambarkan tingkat dampak terhadap pesisir dan masyarakat yang tinggal dan
beraktivitas di dalamnya.
Kapasitas adaptasi (adaptive capacity) adalah komponen dari kerentanan yang
mengacu pada kemampuan manusia atau lingkungannya untuk bereaksi dan
beradaptasi dalam mereduksi suatu bahaya sehingga tidak terjadi kerugian yang
lebih besar. Kapasitas adaptasi ini menggambarkan kemampuan untuk mengatasi
perubahan yang sedang dan diprediksi akan terjadi. Elemen-elemen kapasitas
adaptasi tersebut dapat berupa hukum dan kebijakan, kelembagaan, sumberdaya
manusia, serta pengawasan dan pengendalian.
Namun demikian, kajian kerentanan secara kuantitatif menemui kendala yaitu kurang
tersedianya data yang representatif untuk digunakan dalam alat bantu SIG (Sistem
Informasi Geografis). Beberapa jenis data parameter kerentanan yang representatif
untuk format SIG dapat dianggap menjadi wakil (proxy) dari elemen kerentanan yang
bersangkutan (pada Tabel III.1 diberi tanda *)). Jenis-jenis parameter lain yang
tersedia datanya namun kurang representatif (**) dapat dianalisis secara kualitatif.
Deskripsi parameter kerentanan bisa dilihat pada tabel di Lampiran III dan IV.
81 | I C C S R
Tabel III.1 Deskripsi elemen dan parameter kerentanan sektor kelautan dan perikanan
terhadap perubahan iklim
Elemen
No Parameter Kerentanan Keterangan
Kerentanan
1 Lingkungan Elevasi topografi permukaan tanah Gambar III.1 *)
fisik/ geografis Kelerengan (kemiringan) permukaan tanah Gambar III.2 *)
Kisaran pasang surut di pantai Gambar II.34**)
Tinggi gelombang di pantai Gambar II.15**)
Keterpaparan terhadap samudra yang luas (Samudra Visual dari peta-
Hindia, Samudra Pasifik, Laut Cina Selatan) peta yang tersedia
Jumlah, sebaran, aksesibilitas pulau-pulau kecil
Panjang garis pantai
Jenis material pantai
2 Sosial/ Sebaran jumlah penduduk Gambar III.3 *)
kependudukan Gambar III.4 **)
Sebaran kepadatan penduduk Gambar III.5 *)
Jumlah nelayan perikanan tangkap dan budidaya
Jumlah Rumah Tangga Perikanan
3.a Ekonomis: Jumlah dan ragam infrastruktur dan fasilitas vital di Gambar III.6 *)
Infrastruktur & pesisir
fasilitas vital Sebaran penggunaan lahan Gambar III.7 *)
Jumlah kota di pesisir
3.b Ekonomis: Sebaran lokasi penangkapan ikan (fishing ground) Gambar III.8 **)
potensi Sebaran usaha budidaya ikan di laut, air payau, air
sumberdaya tawar
Sebaran potensi sumberdaya non-perikanan
4 Ekologis Keanekaragaman hayati terumbu karang Gambar III.9 **)
Distribusi hutan mangrove dan ancaman konversi Gambar III.10 **)
lahan
Distribusi padang lamun Gambar III.11 **)
Keanekaragaman ikan
82 | I C C S R
Gambar III.1 Peta elevasi (ketinggian, topografi) permukaan tanah
83 | I C C S R
Gambar III.3 Peta sebaran jumlah penduduk
Gambar III.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan proyeksinya
pada tahun 2025 (b) (diolah dari data BPS)
84 | I C C S R
Gambar III.5 Peta sebaran kepadatan penduduk
Gambar III.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan muka air laut
85 | I C C S R
Gambar III.7 Peta sebaran penggunaan (tutupan) lahan
Gambar III.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi perikanan
tangkap di Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009)
86 | I C C S R
Gambar III.9 Peta persebaran terumbu karang di dunia (KKP, 2005)
Gambar III.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP, 2005)
87 | I C C S R
Gambar III.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP, 2005)
III.2. Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan di
Setiap Wilayah
Kajian kerentanan terhadap perubahan iklim secara kuantitatif dapat diwakili oleh
kajian kerentanan terhadap dampak bahaya penggenangan air laut di pesisir akibat
kenaikan muka air laut global dan peningkatan muka air laut yang dipicu oleh
gelombang badai dan variabilitas iklim La-Nina (peta sebaran kerentanan dapat
dilihat pada Gambar III.12) dengan elemen dan parameter kerentanan sebagai-mana
pada Tabel III.2 berikut.
Tabel III.2 Elemen dan parameter yang diperhatikan dalam analisis kerentanan terhadap
bahaya penggenangan air laut di pesisir (dicuplik dari Tabel III.1)
Elemen
No Parameter Kerentanan Keterangan
Kerentanan
1 Lingkungan fisik/ Kelerengan (kemiringan) permukaan tanah Gambar III.2 *)
geografis
2 Sosial/ Sebaran kepadatan penduduk Gambar III.5 *)
kependudukan
3.a Ekonomis: Jumlah dan ragam infrastruktur dan fasilitas vital di Gambar III.6 *)
Infrastruktur & pesisir
fasilitas vital Sebaran penggunaan lahan Gambar III.7 *)
88 | I C C S R
Gambar III.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut
Tingkat kerentanan wilayah secara umum adalah: (1) sangat tinggi hingga tinggi untuk
sebagian wilayah pesisir utara Jawa, sebagian pesisir selatan Jawa Tengah dan Bali,
terutama di sekitar kota-kota besar; (2) sedang (menengah) untuk sebagian besar
pesisir timur Sumatera, pesisir utara Jawa, pesisir Jawa Tengah, sebagian kecil pesisir
Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, serta pesisir selatan Kalimantan dan Papua;
dan (3) rendah hingga tidak rentan untuk di sebagian besar pesisir barat Sumatra dan
selatan Jawa, sebagian besar wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua
bagian utara.
Di samping itu gambaran kerentanan juga akan dikaji secara kualitatif untuk jenis-
jenis dampak seperti bahaya kenaikan temperatur air laut, erosi pantai yang
diakibatkan oleh gelombang badai, dan perubahan sirkulasi arus laut yang dipicu oleh
perubahan pola variabilitas iklim. Kajian kerentanan yang umumnya meliputi wilayah
perairan laut tersebut terpaksa harus dilakukan secara kualitatif karena kurang atau
bahkan tidak tersedianya data-data kuantitatif yang representatif, misalnya jumlah dan
sebaran nelayan yang menangkap ikan di seluruh WPP serta jumlah hasil
tangkapannya, jumlah dan sebaran perikanan budidaya di suatu perairan, dan
sebagainya. Kajian kerentanan iklim di wilayah perairan laut ini perlu diwujudkan
menjadi satu usulan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim.
89 | I C C S R
III.2.1. Wilayah I Pulau Sumatera
Kerentanan dengan tingkat sedang (menengah) terhadap bahaya kenaikan muka air
laut mendominasi hampir semua pesisir Pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya (Gambar III.12). Kerentanan tingkat sedang tersebut semakin meluas ke
arah daratan di pantai timur yang membentang dari Lampung hingga Sumatra Utara.
Faktor utama dari tingkat kerentanan di pantai timur Sumatra adalah kecilnya
kemiringan (kelerengan) pantai yaitu antara 00,05 derajat (Gambar III.2), sedangkan
faktor penambahnya adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk yang cukup
tinggi (Gambar III.3 dan Gambar III.5), serta banyaknya infrastruktur penting di
pesisir (Gambar III.6), khususnya di sekitar kota Bandar Lampung dan kota Medan.
Resume kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim
dapat dilihat pada Tabel III.3 berikut ini.
Tabel III.3 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah I (Sumatra dan sekitarnya)
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Kenaikan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang di pesisir barat,
temperatur laut utara, dan tenggara (Gambar III.9)
Peningkatan Lingkungan fisik/ Pesisir barat menghadap Samudra Hindia, sedangkan
frekuensi dan geografis pesisir timur menghadap Selat Malaka yang
intensitas kejadian menghubungkan Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia
cuaca ekstrem yang berpotensi timbulnya gelombang badai.
Terdapatnya pulau-pulau kecil di sebelah barat dan utara
Sumatra yang strategis menjadi titik pangkal batas
negara.
Perubahan pola Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan lahan basah di pesisir
curah hujan timur, khususnya di Riau, Riau Kepulauan dan Bangka-
Belitung (Gambar III.11)
Perubahan pola Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai barat
angin dan arus laut sumberdaya Sumatra dan Kepulauan Mentawai dan Nias (Gambar
III.8)
Penggenangan air (Lihat Tabel III.2) Faktor utama: kecilnya kelerengan pantai di pantai timur
laut di pesisir akibat Sumatra (antara 0 0,05).
kenaikan muka air Faktor lain adalah jumlah populasi dan kepadatan
laut, gelombang penduduk yang cukup tinggi, banyaknya infrastruktur
badai, dan kejadian penting di pesisir, khususnya di sekitar kota Bandar
ENSO Lampung dan kota Medan
90 | I C C S R
III.2.2. Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya
Kerentanan dengan tingkat sedang dan tinggi terhadap bahaya kenaikan muka air laut
mendominasi hampir semua pesisir utara Pulau Jawa (dari Anyer hingga sekitar
Surabaya, pesisir barat Banten, pesisir selatan Jawa Tengah dan Malang (Jawa Timur),
serta pesisir selatan Pulau Bali (Gambar III.12). Tingkat kerentanan tersebut menjadi
sangat tinggi di beberapa lokasi seperti di sekitar DKI Jakarta, Tangerang, Cirebon,
pesisir utara dan selatan Jawa Tengah, sekitar Surabaya, dan sekitar Denpasar Bali.
Beberapa faktor utama saling berkontribusi terhadap tingginya tingkat kerentanan di
wilayah II ini adalah kecilnya kemiringan (kelerengan) pantai (antara 00,05 derajat)
(Gambar III.2), jumlah populasi dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi
(Gambar III.3 dan Gambar III.5), dan banyaknya infrastruktur penting di pesisir
(Gambar III.6), khususnya di sekitar kota-kota besar di pesisir Jawa dan Bali.
Ringkasan kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim
dapat dilihat pada Tabel III.4 di bawah.
91 | I C C S R
III.2.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara
Hampir seluruh wilayah III Nusa Tenggara ini memiliki tingkat kerentanan yang
rendah hingga tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12).
Rendahnya tingkat kerentanan tersebut banyak dikontribusi oleh beberapa faktor
seperti kecilnya populasi dan kepadatan penduduk (Gambar III.3 dan Gambar III.5),
serta infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6). Kerentanan tersebut menjadi
tingkat sedang hanya di beberapa daerah seperti di pesisir utara Pulau Sumbawa
mengingat rendahnya kelerengan pantai.
Kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat
dilihat pada Tabel III.5 berikut ini.
Tabel III.5 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah III (Nusa Tenggara)
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan Deskripsi Kerentanan
yang Dominan
Kenaikan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang (Gambar III.9)
temperatur laut
Peningkatan Lingkungan Pesisir selatan menghadap Samudra Hindia,
frekuensi dan fisik/ geografis sedangkan pesisir utara menghadap Laut Flores
intensitas kejadian yang berhubungan dengan Selat Makasar-Samudra
cuaca ekstrem Pasifik yang berpotensi timbulnya gelombang
badai.
Perubahan pola Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun di
curah hujan pesisir Lombok, Sumba, dan Timor (Gambar
III.11)
Perubahan pola Ekonomis: Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai
angin dan arus potensi selatan Nusa Tenggara (Gambar III.8)
laut sumberdaya
Penggenangan air (Lihat Tabel Unumnya tingkat kerentanan cukup rendah, kecuali
laut di pesisir III.2) di pesisir utara Pulau Sumbawa terdapat tingkat
akibat kenaikan kerentanan sedang mengingat rendahnya
muka air laut, kelerengan pantai
gelombang badai,
dan kejadian
ENSO
92 | I C C S R
Banjarmasin, dan Samarinda terdapat tingkat kerentanan sedang dimana ada faktor
tambahan berupa mulai cukupnya jumlah populasi penduduk (Gambar III.3) dan
lahan-lahan produktif (Gambar III.7). Secara ringkas kerentanan terhadap perubahan
iklim dapat dilihat pada Tabel III.6.
Resume kerentanan terhadap perubahan iklim bisa dilihat pada Tabel III.7 berikut.
93 | I C C S R
Tabel III.7 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah V (Sulawesi)
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan Deskripsi Kerentanan
yang Dominan
Kenaikan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang hampir di
temperatur laut seluruh pesisir (Gambar III.9)
Peningkatan Lingkungan Pesisir utara yang menghadap Laut Sulawesi dan
frekuensi dan fisik/ geografis pesisir barat yang menghadap Selat Makasar-
intensitas kejadian Samudra Pasifik bagian barat yang berpotensi
cuaca ekstrem timbulnya gelombang badai.
Terdapatnya pulau-pulau kecil di sebelah utara,
barat, tenggara, dan selatan
Perubahan pola Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun
curah hujan hampir di sepanjang pesisir (Gambar III.11)
Perubahan pola Ekonomis: Terdapatnya fishing ground di Selat Makasar bagian
angin dan arus potensi selatan (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara)
laut sumberdaya (Gambar III.8)
Penggenangan air (Lihat Tabel Hampir seluruh wilayah pesisir memiliki tingkat
laut di pesisir III.2) kerentanan rendah hingga tidak rentan karena
akibat kenaikan pantai yang tidak landai (kemiringan sekitar 1,5 3).
muka air laut, Di pesisir barat Sulawesi Barat, sekitar Makassar,
gelombang badai, Pare-Pare, Wajo, Bone, Palopo-Bonebone (Luwu)
dan kejadian dan Kendari terdapat kerentanan sedang karena
ENSO pantainya cukup landai dan populasi penduduk
yang cukup
94 | I C C S R
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan Deskripsi Kerentanan
yang Dominan
Kenaikan Ekologis Banyak tersebarnya terumbu karang (Gambar III.9)
temperatur laut
Peningkatan Lingkungan Maluku bagian selatan menghadap Laut Arafura-
frekuensi dan fisik/ geografis Samudra Hindia, dan di bagian utara menghadap
intensitas kejadian Samudra Pasifik yang berpotensi gelombang badai.
cuaca ekstrem Tersebarnya pulau-pulau kecil
Perubahan pola Ekologis Banyak terdapat estuari dan padang lamun
curah hujan (Gambar III.11)
Perubahan pola Ekonomis: Terdapatnya fishing ground di Laut Banda dan
angin dan arus potensi Arafura (Gambar III.8)
laut sumberdaya
Penggenangan air (Lihat Tabel Hampir seluruh pesisir Kepulauan Maluku tidak
laut di pesisir III.2) rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut
akibat kenaikan karena jumlah penduduk yang relatif rendah dan
muka air laut, tidak banyak infrastruktur penting di pesisir.
gelombang badai, Perkecualian terjadi di sekitar Ambon yang
dan kejadian memiliki kerentanan rendah hingga sedang
ENSO
Tabel III.9 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VII (Pulau Papua bag.
barat)
95 | I C C S R
Elemen
Kerentanan
Jenis Bahaya Deskripsi Kerentanan
yang
Dominan
Kenaikan Ekologis Banyak tersebarnya terumbu karang di pesisir
temperatur laut barat dan utara (Gambar III.9)
Peningkatan Lingkungan Pesisir selatan menghadap Laut Arafura-
frekuensi dan fisik/ geografis Samudra Hindia, dan pesisir utara yang
intensitas menghadap Samudra Pasifik yang berpotensi
kejadian cuaca timbulnya gelombang badai.
ekstrem Tersebarnya pulau-pulau kecil di sebelah barat
dan utara
Perubahan pola Ekologis Banyak terdapat estuari dan padang lamun di
curah hujan pesisir selatan, barat, dan utara (Gambar III.11)
Perubahan pola Ekonomis: Terdapatnya fishing ground di Laut Arafura
angin dan arus potensi (Gambar III.8)
laut sumberdaya
Penggenangan (Lihat Tabel Pesisir utara Papua dan pesisir Papua Barat
air laut di pesisir III.2) tidak rentan karena kelerengan pantai yang
akibat kenaikan agak tinggi (sekitar 1,5 3). Pesisir selatan
muka air laut, Papua memiliki kerentanan sedang hingga
gelombang rendah karena jumlah penduduknya sedikit dan
badai, dan tidak banyak infrastruktur penting di pesisir
kejadian ENSO walaupun pantainya landai.
96 | I C C S R
BAB IV POTENSI DAMPAK DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM
TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
Potensi dampak perubahan iklim selalu berkaitan dengan tingkat bahaya (yang telah
dibahas di Bab II) dan tingkat kerentanan (dibahas di Bab III). Kajian-kajian risiko
dapat dianggap sebagai kuantifikasi dari potensi dampak perubahan iklim.
Pembahasan potensi dampak dan kajian risiko pada bab ini sangat penting sebagai
masukan untuk menyusun alternatif-alternatif strategi adaptasi secara umum.
Gambar IV.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009)
Pada diagram di atas potensi dampak dapat dipandang sebagai suatu elemen dari
kerentanan dalam konteks perubahan iklim. Berbagai potensi dampak perubahan
iklim di sektor kelautan dan perikanan dipaparkan pada Tabel IV.1 Berikut berikut
(lihat juga Lampiran IV).
97 | I C C S R
Tabel IV.1 Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan
Bahaya yang
Memicu KML/SLR
PVI-AAM
Banjir rob/ genangan di pesisir Terganggunya aktivitas sosial di pemukiman Wil.I: pantai timur Sumatra
Terganggunya aktivitas operasional dari Wil.II: pantai utara Jawa, selatan Bali
infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir Wil.III: Nusa Tenggara,
Wil.IV: Kalimantan
Wil.V: Sulawesi,
Wil.VI: Maluku,
Wil.VII: Papua
Peningkatan erosi pantai Kerusakan pemukiman di pesisir Pesisir yang berpasir atau berlumpur dan terpapar dengan laut:
Kerusakan infrastruktur & fasilitas vital di pesisir Samudra Hindia (Wil.I, II, III, VI, VII)
Samudra Pasifik (Wil.IV, V, VI, VII)
Laut Cina Selatan (Wil.I, IV,V)
Perairan internal Indonesia
Tenggelamnya pulau-pulau kecil Terganggunya aktivitas perekonomian Pulau-pulau kecil untuk konservasi laut
Kerusakan infrastruktur dan fasilitas vital Pulau-pulau kecil kaya sumberdaya alam
Pulau-pulau kecil banyak fasilitas penting
Tenggelamnya pulau-pulau kecil Mundurnya batas wilayah negara akibat Pulau-pulau kecil perbatasan dengan negara-negara:
strategis terluar tenggelamnya pulau kecil strategis terluar ASEAN dan India di sebelah barat-utara Indonesia
Australia, Timor Timur, dan Papua Nugini di sebelah timur-
selatan Indonesia
Banjir sungai dan estuari Kerusakan pemukiman, infrastruktur dan fasilitas Daerah mangrove
vital di pesisir Daerah estuaria, padang lamun
Terumbu karang
Pulau-pulau kecil
Penurunan debit dan kualitas air Penurunan keter-sediaan air tawar di pesisir untuk Daerah mangrove
sungai dan estuari; kekeringan pemukiman, fasilitas vital, dan tambak Daerah estuaria, padang lamun
Penurunan produk-tivitas tambak air payau dan air Terumbu karang
tawar
Pulau-pulau kecil
Bertambahnya intrusi garam pada Penurunan sediaan air tawar di pesisir untuk Daerah mangrove
massa air sungai dan air tanah pemukiman, fasilitas vital, dan tambak Daerah estuaria, padang lamun
Terumbu karang
Pulau-pulau kecil
98 | I C C S R
Bahaya yang
Memicu
KML/SLR
PVI-AAM
Perubahan Fisik Lingkungan Potensi Dampak Wilayah Fokus
PVI-CH
PKCE
KTPL
Perubahan produktivitas primer Penurunan atau peningkatan produksi perikanan Sebelas WPP
Perubahan pola migrasi ikan tangkap Penurunan atau peningkatan kapasitas
Pergeseran fishing ground unit pengolahan ikan
Perubahan pola angin secara Penurunan durasi penangkapan ikan di laut Sebelas WPP
mendadak di laut penurunan produksi perikanan tangkap
Peningkatan konsumsi BBM kapal nelayan
Perubahan komposisi keanekaan Perubahan ketersediaan pakan alami untuk Sembilan klaster perikanan
hayati perairan; kerusakan habitat di
perikanan budidaya Perubahan kapasitas unit
perairan pengolahan ikan
Pemutihan karang (coral bleaching); Alga Degradasi lingkungan sumberdaya laut dan pesisir Daerah terumbu karang
blooming Pulau-pulau kecil
Perubahan rejim hidraulik pada lahan Degradasi lahan basah yang berfungsi sebagai Daerah mangrove
basah proteksi pesisir Daerah estuaria, padang lamun
Pulau-pulau kecil
Melemahnya sirkulasi arus laut dalam Menambah gangguan pada iklim global Samudra Hindia bagian timur
(termohalin) Mempengaruhi kehidupan manusia Jalur arus lintas Indonesia
Laut Cina Selatan
Laut Arafura
99 | I C C S R
Tabel tersebut menunjukkan bagaimana pengaruh bahaya perubahan iklim terhadap
parameter-parameter lingkungan fisik atmosfer dan laut yang kemudian
menimbulkan potensi dampak pada sektor kelautan dan perikanan. Potensi dampak
perubahan iklim terhadap sektor kelautan dan perikanan tidak selalu harus bersifat
negatif, namun juga bisa bersifat kondusif. Sebagai contoh, fenomena El-Nino justru
berdampak meningkatnya produksi perikanan tangkap di Samudra Hindia (WPP 572
dan WPP 573; lihat Gambar III.8) karena pada saat itu proses upwelling dan
produktivitas primer akan menguat. Namun demikian dampak negatif perubahan
iklim terhadap sektor ini sudah banyak dirasakan oleh masyarakat dan pemangku
kepentingan lain di pesisir, seperti penggenangan air laut pada dermaga pelabuhan,
pemukiman, dan fasilitas vital lain.
100 | I C C S R
Skema tersebut menjadi dasar penyusunan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim yang akan dipaparkan pada Bab V.
Secara umum risiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat
menyebabkan kerugian baik itu berupa materi, korban nyawa, kerusakan lingkungan.
Risiko juga dapat diartikan sebagai kemungkinan yang dapat merusak tatanan sosial,
masyarakat dan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman dan
kerentanan. Oleh sebab itu hubungan antara variabel bahaya atauancaman bencana,
kerentanan serta risiko adalah (UN-ISDR, 2004): R=H x V dimana: H adalah
bahaya (hazard), V kerentanan (vulnerability), R risiko (risk).
Jika rumusan tentang risiko tersebut dikaitkan dengan rumusan tentang kerentanan
pada Bab III di atas, maka variabel kapasitas adaptasi berbanding terbalik terhadap
nilai tingkat risiko. Konsekuensinya, apabila suatu komunitas memiliki tingkat
kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kapasitas adaptasinya, maka nilai
tingkat risiko menjadi tinggi. Sebaliknya apabila tingkat kapasitas komunitas lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat kerentannya maka tingkat risiko menjadi rendah.
Risiko atau potensi dampak terhadap bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat
ditentukan dari prediksi atau simulasi kondisi penggenangan pesisir sebagaimana
dijelaskan pada butir II.5.7 di atas. Hasil simulasi tingkat risiko masing-masing dari
ketiga skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.3 (a), (b), dan (c).
101 | I C C S R
Analisis risiko terhadap dampak penggenangan air laut di pesisir, khususnya untuk
skenario-3 yang merupakan skenario terburuk, di masing-masing wilayah
dideskripsikan berikut ini.
102 | I C C S R
(c) Skenario-3 HHWL+SLR+ENSO+ SS
Gambar IV.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air laut di
pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai
yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee
103 | I C C S R
IV.2.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya
Pada umumnya pesisir Kalimantan berada dalam tingkat risiko sedang terhadap
bahaya penggenangan air laut di pesisir, kecuali di daerah Nunukan (Kalimantan
Timur). Beberapa pesisir seperti sekitar Pontianak dan Banjarmasin bahkan memiliki
tingkat risiko sangat tinggi, dan di pesisir sekitar Samarinda terdapat risiko tinggi.
104 | I C C S R
BAB V ARAHAN DAN TAHAPAN MENDATANG UNTUK
INTEGRASI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM SEKTOR
KELAUTAN DAN PERIKANAN
Pada dasarnya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah sejumlah strategi dan
kegiatan yang dilakukan sebagai reaksi atau sebagai antisipasi terhadap perubahan
iklim yang berupa penyesuaian dalam sistem-sistem ekologi, ekonomi, dan sosial agar
dapat mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(misalnya: Daw et al., 2009). Adaptasi terhadap perubahan iklim meliputi dua
kegiatan pokok, yaitu meningkatkan dan memperkuat kapasitas adaptasi bagi
pemerintah dan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta menerapkan
keputusan adaptasi yaitu mengubah kapasitas adaptasi tersebut menjadi sejumlah aksi
atau kegiatan.
Langkah adapatsi ini secara umum diartikan bahwa segala upaya yang dilakukan
untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bahaya yang dipicu oleh perubahan
iklim, baik sebelum, saat atau setelah terjadinya suatu dampak yang ditimbulkannya.
Secara sederhana sebagaimana pengertian di atas bahwa dampak akan timbul bila
adanya pertemuaan antara bahaya dengan kerentanan, oleh sebab itu untuk
menghindari dampak besar maka perlu upaya untuk tidak mempertemukan kedua
unsur tersebut dengan cara: (i) Menjauhkan kerentanan terhadap bahaya, sehingga
tidak bertemu misalnya menarik mundur penduduk ketempat yang aman dari bahaya,
(ii) Mereduksi bahaya sampai sekecil mungkin, sehingga bahaya tidak menerjang
suatu kerentanan, misalnya pembangunan tembok pantai. Kedua opsi ini terkadang
sangat sulit untuk dilakukan karena menimbulkan permasalahan sosial serta
memerlukan biaya tinggi. Kemudian (iii) Mereduksi bahaya serta menaikan kapasitas
dari suatu kerentanan atau dengan cara adaptif atau akomodatif dengan
menggunakan analisis dan menejemen risiko.
Penerapan manajemen risiko ini perlu dilakukan secara sistematis melalui kebijakan
administratif (Undang-Undang dan rencana tata ruang), organisasi, peningkatan
kemampuan opersional, pemilihan strategi dan implementasi serta peningkatan
105 | I C C S R
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya sehingga dapat mengurangi
dampak yang ditimbulkannya. Manajemen risiko ini mengkaji seluruh pilihan strategi
dan implementasi, baik dalam penanganan struktural (structural measures) maupun non
struktural (non structural measures) untuk menghindarkan (preventive) atau untuk
mengurangi efek yang ditimbulkan oleh bahaya perubahan iklim secara adaptasi,
preperedness dan peningkatan resilence .
106 | I C C S R
dkk, 2009)
Adapun arahan-arahan strategi adaptasi untuk sektor kalautan dan perikanan pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi:
1. Adaptasi fisik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
a. Pengelolaan fisik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu
b. Rekayasa fisik berwawasan lingkungan
2. Pengelolaan sosial kependudukan (pemukiman)
3. Pengelolaan infrastruktur dan fasilitas umum vital
4. Pengelolaan potensi sumberdaya kelautan, dan perikanan
a. Pengelolaan dan pemasaran perikanan tangkap dan budidaya
b. Pengelolaan sumberdaya air
c. Pengelolaan sumberdaya pertahanan dan keamanan (pulau-pulau kecil
strategis terluar yang terletak di perbatasan negara)
5. Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut secara terpadu
6. Penyusunan regulasi, kebijakan, dan kapasitas institusional untuk adaptasi pada
perubahan iklim
7. Inventarisasi data dan riset serta pengembangan sumberdaya manusia
107 | I C C S R
sejumlah strategi dan kegiatan yang direkomendasikan. Pemilihan alternatif strategi
tersebut mempertimbangkan dua arahan sekaligus, yaitu tidak hanya untuk
mengantisipasi potensi dampak dan risiko akibat perubahan iklim, namun juga untuk
mendukung dan menjamin keberlangsungan strategi pembangunan sektor kelautan
dan perikanan. Strategi pembangunan sektor ini pada dasarnya diarahkan untuk
mewujudkan lima pilar strategi pembangunan nasional (lihat butir II.6) yaitu strategi
pro-poor, pro-job, pro-growth, pro-business, dan pro-sustainable.
Pada implementasinya, strategi adaptasi perubahan iklim itu meliputi beberapa aspek
misalnya fisik kewilayahan (baik melalui rekayasa maupun penataan ruang dan zonasi),
infrastruktur, fasilitas umum, sosial budaya, potensi sumberdaya, ekosistem,
sumberdaya manusia, data dan informasi, hukum dan kebijakan publik, serta
pertahanan dan keamanan. Alternatif-alternatif strategi adaptasi itu kemudian
digolongkan ke dalam empat kelompok yang disesuaikan dengan kerangka kerja
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar I.3 yaitu:
Strategi -3 (Regulasi dan Kebijakan): Menyusun dan atau menyesuaikan regulasi dan
kebijakan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil;
108 | I C C S R
V.2. Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 20102030
Tabel V.1 Sembilan Kegiatan Prioritas untuk adaptasi perubahan iklim sektor
kelautan dan perikanan
PRO-POOR
SUSTAINA
BUSINESS
GROWTH
KML/SLR
PRO-JOB
PVI-AAM
PVI-CH
Kelompok
PKCE
KTPL
PRO-
PRO-
PRO-
BLE
Kegiatan No Kegiatan Prioritas
(Strategi)
Inventarisasi 1 Pelaksanaan
data, sistem inventarisasi data,
informasi, sistem informasi,
dan riset dan riset terkait
dengan perubahan
iklim
Perencanaan 2 Pengintegrasian
adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim ke
dalam perencanaan
dan pengelolaan
kelautan dan
perikanan
Regulasi, 3 Penyusunan dan
kebijakan, atau penyesuaian
dan kapasitas regulasi, kebijakan,
kelembagaan dan kapasitas
kelembagaan di
sektor kelautan dan
perikanan terkait
perubahan iklim di
wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
dan laut
Implementasi 4 Penyesuaian elevasi
dan penguatan
struktur bangunan
dan fasilitas vital di
wilayah pesisir
terkait perubahan
109 | I C C S R
Antisipasi Bahaya Strategi Pembangunan
PRO-POOR
SUSTAINA
BUSINESS
GROWTH
KML/SLR
PRO-JOB
PVI-AAM
PVI-CH
Kelompok
PKCE
KTPL
PRO-
PRO-
PRO-
BLE
Kegiatan No Kegiatan Prioritas
(Strategi)
iklim
5 Penyesuaian
pengelolaan
sumberdaya alam
dan ekosistem
pesisir dan pulau-
pulau kecil secara
terpadu
6 Penyesuaian
pengelolaan pulau-
pulau kecil strategis
terkait perubahan
iklim
110 | I C C S R
Tabel V.2 Penjabaran kegiatan-kegiatan prioritas adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan
Sektor/Lembaga Lain
No Kegiatan Prioritas Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus
yang Dapat Dilibatkan
111 | I C C S R
Sektor/Lembaga Lain
No Kegiatan Prioritas Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus
yang Dapat Dilibatkan
2 Pengintegrasian Menyesuaikan Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari Wilayah berisiko tinggi Pekerjaan Umum
adaptasi dan mitigasi perencanaan dan tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap bahaya Kehutanan
perubahan iklim ke pengelolaan kelautan dan Penyusunan hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan penggenangan air laut di Pertanian
dalam perencanaan perikanan dalam (RSKP, RZWKP, RPKP) yang telah memasukkan isu bencana pesisir: Wil.II: Jawa Pariwisata
dan pengelolaan mengantisipasi isu termasuk perubahan iklim (utara), Bali, Wil.I:
kelautan dan perubahan iklim dengan Perhubungan
Penyusunan konsep sempadan pantai yang memasukkan isu Sumatra (timur)
perikanan cara mengintegrasikan Energi dan Sumber
bencana termasuk perubahan iklim erisiko sedang: Wil.I,
kegiatan-kegiatan adaptasi Daya Mineral
Penyusunan Rencana Aksi Perubahan Iklim Wil.III, Wil.IV
dan mitigasi perubahan Kalimantan (barat, Pemerintah provinsi
iklim Mengarusutamakan hirarki perencanaan sektor kelautan dan dan pemerintah
perikanan ke dalam sistem perencanaan pembangunan timur, selatan), Wil.V
Sulawesi (selatan, barat) kabupaten/kota yang
Pemilihan teknologi adaptasi perubahan iklim yang tepat, efektif, memiliki wilayah pesisir
Wilayah b
dan efisien (adaptasi mundur, akomodasi, proteksi) dan pulau-pulau kecil
Wilayah berisiko
Pemilihan teknologi mitigasi perubahan iklim yang tepat, efektif,
rendah: Wil.VI Maluku,
dan efisien (energi kelautan, ekosistem pesisir)
Wil.VII Papua selatan
Pengawasan dan pengendalian untuk penataan ruang dan zonasi
pesisir dan perairan terhadap perubahan iklim
Sosialisasi dan penyadaran masyarakat terhadap fenomena dan
dampak perubahan iklim
III. KELOMPOK KEGIATAN REGULASI, KEBIJAKAN DAN KAPASITAS KELEMBAGAAN
3 Penyusunan dan atau Menguatkan kapasitas Penyusunan norma, standar, pedoman dan kriteria tentang Wilayah berisiko tinggi Hukum dan
penyesuaian regulasi, pada sektor-sektor yang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap bahaya perundangan
kebijakan, dan terkait di wilayah pesisir Penyesuaian regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan penggenangan air laut di Dewan Perwakilan
kapasitas kelembagaan dan pulau-pulau kecil iklim pesisir: Wil.II: Jawa Rakyat
di sektor kelautan dan untuk: Mengakselerasi penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang (utara), Bali, Wil.I: Pendidikan Nasional
perikanan terkait mengantisipasi bahaya Rencana Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah Sumatra (timur)
perubahan iklim di yang dipicu oleh memuat isu dan strategi mitigasi bencana termasuk adaptasi Wilayah berisiko
wilayah pesisir dan perubahan iklim yang perubahan iklim sedang: Wil.I, Wil.III,
pulau-pulau kecil sedang dan akan terus Wil.IV Kalimantan
Mengakselerasi penerbitan Peraturan Daerah tentang Rencana
berlangsung Zonasi Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat peta (barat, timur, selatan),
lebih menjamin rawan bencana dan peta risiko bencana terkait perubahan iklim Wil.V Sulawesi (selatan,
keberlangsungan Peningkatan kapasitas kelembagaan (peraturan perundangan, barat)
pembangunan nasional sumberdaya manusia, lembaga, dan yang terkait lainnya) Wilayah berisiko
secara keseluruhan rendah: Wil.VI, Wil.VII
Peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, khususnya
berbasis di desa pesisir dan pulau-pulau kecil Papua (selatan)
112 | I C C S R
Sektor/Lembaga Lain
No Kegiatan Prioritas Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus
yang Dapat Dilibatkan
dan penguatan menyesuaikan elevasi dan semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir terhadap bahaya Pariwisata
struktur bangunan dan kekuatan struktur Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas penggenangan air laut di Perhubungan
fasilitas vital di wilayah bangunan di pesisir vital (pemukiman pesisir, dermaga pelabuhan, jalan dsb). pesisir: Wil.II: Jawa Energi dan Sumber
pesisir terkait terhadap isu kenaikan Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir (utara), Bali, Wil.I: Daya Mineral
perubahan iklim muka air laut, semakin Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai Sumatra (timur)
Perumahan Rakyat
seringnya gelombang (tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, pintu Wilayah berisiko
badai, dan semakin tidak Pembangunan Daerah
air pasut, dsb.) sedang: Wil.I, Wil.III,
menentunya pola kejadian Tertinggal
Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) Wil.IV Kalimantan
variabilitas iklim (ENSO, (barat, timur, selatan), Pemerintah provinsi
IPO) Wil.V Sulawesi (selatan, dan pemerintah
barat) kabupaten/kota yang
memiliki wilayah pesisir
Wilayah berisiko
rendah: Wil.VI, Wil.VII
Papua (selatan)
5 Penyesuaian Menguatkan kapasitas Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan Wilayah-wilayah pesisir Lingkungan Hidup
pengelolaan ekosistem untuk memelihara dan pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil Pekerjaan Umum
dan sumberdaya merehabilitasi ekosistem Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem dan sumberdaya pesisir yang banyak terdapat Pemerintah provinsi
pesisir dan pulau- pesisir dan pulau-pulau dan pulau-pulau kecil (mangrove, lahan basah dan padang lamun, ekosistem yaitu: dan pemerintah
pulau kecil secara kecil guna lebih estuaria, terumbu karang, garis pantai, paparan benua) Hutan mangrove kabupaten/kota yang
terpadu terkait menjamin: Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah pantai Terumbu karang memiliki wilayah pesisir
perubahan iklim keberlangsungan hidup (vegetasi pantai, gumuk pasir, terumbu karang) Lahan basah, padang dan pulau-pulau kecil
masyarakat pesisir, dan Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan pulau- lamun Pihak-pihak lain (swasta
keberlangsungan pulau kecil (sumur resapan, dam, tanggul, drainase, dsb.) Estuaria dan LSM baik dalam
pembangunan nasional Pengembangan dan sosialisasi teknologi penyulingan air laut Daerah paparan benua dan luar negeri)
(desalinasi) dan siklus daur ulang air
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL)
6 Penyesuaian Mengantisipasi isu Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari pulau-pulau Pulau-pulau kecil terluar Pertahanan dan
pengelolaan dan tenggelamnya pulau- kecil strategis, termasuk pulau kecil terluar yang berbatasan dengan Keamanan
perlindungan pulau- pulau kecil akibat Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah negara-negara ASEAN, Pekerjaan Umum
pulau kecil strategis kenaikan muka air laut Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan India, Australia, Timor Lingkungan Hidup
terkait perubahan dan makin seringnya fasilitas keselamatan navigasi Tinur, dan Papua Pemerintahan Dalam
iklim gelombang badai Nugini
Pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil Negeri
Memperkuat stabilitas Pengawasan dan perlindungan pulau-pulau kecil strategis terluar Pulau-pulau kecil yang Hubungan Luar Negeri
pulau-pulau kecil terluar banyak terdapat
TNI-AL
sumberdaya alam dan
fasilitas vital Pemerintah provinsi
dan pemerintah
Pulau-pulau kecil untuk
kabupaten/kota yang
konservasi laut
memiliki wilayah pulau-
113 | I C C S R
Sektor/Lembaga Lain
No Kegiatan Prioritas Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus
yang Dapat Dilibatkan
pulau kecil
7 Penguatan kapasitas Menguatkan kapasitas Penyusunan standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan Wilayah-wilayah pesisir Badan Nasional
mitigasi kebencanaan yang terkait dengan oseanografi di WP3K dan pulau-pulau kecil Penanggulangan
klimatologi dan penanggulangan Pengembangan sistem peringatan dini bencana klimatologi dan yang berpasir atau Bencana
oseanografi di wilayah kebencanaan klimatologi oseanografi berlumpur dan terpapar Lembaga-lembaga riset
pesisir dan pulau- dan oseanografi agar lebih Peningkatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem dengan samudra di sekitar non Kementerian
pulau kecil dapat mengantisipasi persediaan kebutuhan hidup terutama di WP3K terpencil perairan Indonesia: (BMKG, LAPAN,
dampak bahaya kejadian Daerah yang terpapar BPPT, Ristek)
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan
cuaca ekstrem dan dengan Samudra Pasifik Pemerintahan Dalam
klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di WP3K
variabilitas iklim di pesisir (Wil.IV, Wil.V, Wil.VI, Negeri
akibat perubahan iklim Wil.VII) Perhubungan
Daerah yang terpapar TNI-AL
dengan Samudra Hindia
Pemerintah provinsi
(Wil.I, Wil.II, Wil.III,
dan pemerintah
Wil.VI, Wil.VII)
kabupaten/kota yang
Daerah yang terpapar memiliki wilayah pesisir
dengan L. Cina Selatan dan pulau-pulau kecil
(Wil.I, Wil.II, Wil.IV,
Wil.V)
Perairan internal
Indonesia
114 | I C C S R
Sektor/Lembaga Lain
No Kegiatan Prioritas Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus
yang Dapat Dilibatkan
8 Penyesuaian Mengantisipasi Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan Sebelas WPP-RI: Pekerjaan Umum
pengelolaan potensi kemungkinan fishing ground dinamik 1. 571: Selat Malaka dan Usaha Mikro, Kecil &
sumberdaya perikanan pergeseran lokasi Laut Andaman;
Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang Menengah (UMKM)
tangkap terpadu penngkapan ikan (fishing 2. 572: Samudra Hindia
waktu-nyata (realtime) sebelah barat Sumatra Lembaga-lembaga riset
terkait perubahan ground) lebih ke tengah Peningkatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di non Kementerian
dan Selat Sunda;
iklim laut lepas pantai hingga batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan (BMKG, LAPAN,
3. 573: Samudra Hindia
Menjamin hemat BBM sebelah selatan Jawa BPPT, Ristek)
keberlangsungan Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan unit hingga sebelah selatan Pemerintah provinsi
produksi ikan tangkap pengolahan. Nusa Tenggara, Laut dan pemerintah
Sawu, Laut Timor bagian
Penguatan dan pengembangan manajemen stok/logistik (cold barat;
kabupaten/kota yang
storage/gudang) untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dan 4. 711: Selat Karimata, L. memiliki wilayah pesisir
bahan baku unit pengolahan ikan Natuna, L. Cina Selatan; dan pulau-pulau kecil
5. 712: Laut Jawa;
6. 713: Selat Makassar,
Teluk Bone, Laut Flores,
Laut Bali;
7. 714: Teluk Tolo dan Laut
Banda;
8. 715: Teluk Tomini, Laut
Maluku, L. Halmahera, L.
Seram, Teluk Berau;
9. 716: Laut Sulawesi,
sebelah utara Pulau
Halmahera;
10. 717: Teluk Cendrawasih,
Samudra Pasifik;
11. 718: Laut Aru, Laut
Arafuru, Laut Timor
bagian timur
9 Penyesuaian Mengantisipasi Pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap 9 klaster perikanan: Pekerjaan Umum
pengelolaan potensi kemungkinan adanya perubahan iklim (kerapu, kakap, rumput laut, alga merah) 1. Serang, Banten; Usaha Mikro, Kecil &
sumberdaya perikanan jenis ikan dan pakan 2. Sumenep, Jawa Timur;
Pengembangan sistem informasi musim pembenihan Menengah (UMKM)
budidaya air laut, air alami yang tidak tahan 3. Dompu, NTT;
Peninggian, pelebaran, pendalaman dan penguatan pematang 4. Sumba Timur, NTB. Lembaga-lembaga riset
payau, dan air tawar terhadap kenaikan suhu tambak dan saluran airnya non Kementerian
5. Pangkep, Sulsel;
terkait perubahan Menjamin Penguatan dan pengembangan peran depo pemasaran ikan (benih 6. Gorontalo, Pemerintah provinsi
iklim keberlangsungan 7. Teluk Tomini Sulteng;
dan ikan konsumsi) dalam kerangka manajemen stok dan kota/ kabupaten
produksi ikan Pengembangan alternatif sumber pakan alami 8. Mamuju, Sulbar; dan yang memiliki wilayah
9. Karimun di Kepri pesisir dan pulau-pulau
Pengembangan budidaya ikan di lahan basah
kecil
115 | I C C S R
V.2.2. Kegiatan Unggulan untuk Adaptasi
Penajaman sembilan kegiatan prioritas di atas adalah dengan merumuskan 5 (lima)
Kegiatan Unggulan. Kegiatan-kegiatan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan
besarnya dampak yang telah dan sedang dirasakan oleh sektor kelautan dan perikanan
hingga saat ini. Penentuan kegiatan-kegiatan unggulan beserta urutannya dapat
menggunakan beberapa kriteria antara lain: tingkat efektivitas (dalam merespon
potensi dampak perubahan iklim), biaya, kelayakan, kelayakan secara sosial budaya,
kecukupan dalam mengantisipasi dampak yang sudah/sedang terjadi, kecepatan
implementasi, serta konsistensi dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah
(USAID (2007). Kegiatan-kegiatan unggulan ini dapat dilihat pada Tabel V.3 di
bawah ini.
Antisipasi Bahaya
No
PVI-CH
116 | I C C S R
V.2.3. Pentahapan Kegiatan Prioritas
Kegiatan-kegiatan prioritas tersebut dijabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan pada 4
(empat) tahapan perencanaan pembangunan jangka menengah dari 2010 hingga 2030
sebagai berikut.
Kegiatan-1: Pelaksanaan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan
perubahan iklim:
117 | I C C S R
Kegiatan-2: Pengintegrasian adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam
perencanaan dan pengelolaan kelautan dan perikanan
118 | I C C S R
Kegiatan-3: Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas
kelembagaan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim
119 | I C C S R
Kegiatan-4: Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital
di wilayah pesisir terkait perubahan iklim
120 | I C C S R
Kegiatan-5: Penyesuaian pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil secara terpadu
121 | I C C S R
Kegiatan-6: Penyesuaian pengelolaan pulau-pulau kecil strategis terkait perubahan
iklim
122 | I C C S R
Kegiatan-7: Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseano-grafi
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
123 | I C C S R
Kegiatan-8: Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu
terkait perubahan iklim
124 | I C C S R
Kegiatan-9: Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut,
air payau, dan air tawar terkait perubahan iklim
125 | I C C S R
BAB VI KESIMPULAN
Berwawasan jauh ke depan dan lintas sektor merupakan dua kata kunci dalam
merencanakan dan mengimplementasikan adaptasi terhadap perubahan iklim pada
sektor Kelautan dan Perikanan. Wawasan jauh ke depan menjadi hal yang mutlak
mengingat bahaya perubahan iklim ini secara umum bersifat perlahan tapi pasti (slow
onset) dengan proyeksi arah dan intensitas yang sulit diprediksi.
Lintas sektor ini menjadi keharusan karena wilayah pesisir dan laut menjadi salah satu
tumpuan dari berbagai aktivitas sektor lain yang berkepentingan seperti sumberdaya
air, pertanian, kehutanan, transportasi, pekerjaan umum, kesehatan, pertahanan dan
keamanan, dan sebagainya.
Di lain pihak, sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di pesisir
berupa penyuluhan, edukasi, dan peningkatan kesadaran akan bahaya yang dipicu
oleh perubahan iklim juga menjadi kunci keberhasilan dari implementasi adaptasi
perubahan iklim ini. Salah satu hal penting yang perlu disosialisasikan adalah
meluruskan persepsi masyarakat yang keliru dengan menganggap bahwa pada saat ini
perubahan iklim belum berlangsung dan baru akan terjadi pada dekade atau abad
mendatang.
Namun demikian implementasi adaptasi perubahan iklim ini mendapat tantangan dari
berbagai problem perekonomian, sosial, dan budaya di Indonesia, misalnya perusakan
ekosistem pesisir seperti mangrove dan lahan basah yang sebenarnya dapat dijadikan
penghalang dampak perubahan iklim di pesisir.
126 | I C C S R
DAFTAR PUSTAKA
Aldrin E. (2008). Predicting Precipitation Intencity for Vulnerability Assessment, Power Point.,
Presented in a Round Table Discussion on Dveloping a Methodology and
Information Sharing for Vulnerability assessment to Climate Change in Indonesia,
KLH-GTZ, 10 July 2008, Jakarta
Australian Greenhouse Office, Department of the Environment and Heritage (2005).
Climate Change Risk and Vulnerability, Promoting an Efficient Adaptation Response in
Australia, Final Report, The Allen Consulting Group
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat (2008). Pedoman
Manajemen Pengurangan Risiko Kebencanaan Tsunami, Rob dan Gelombang Ekstrim
Wilayah Pesisir Jawa Barat.
Daw, T., W.N. Adger, K. Brown, M-C. Badjeck (2009). Climate Change and Capture
Fisheries. Dalam: K. Cochrane, C.D. Young, D. Soto, T.. Bahri (eds.), Climate
Change Implications for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current
Scientific Knowledge. Food and Agriculture Organization of the United Nations,
Rome, p. 97 138.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2005). Rencana Strategis Pembangunan Kelautan
dan Perikanan Tahun 20052009. Dokumen tersedia pada situs www.KKP.go.id
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). KKP Usulkan Kelautan dan Perikanan
menjadi Bidang Pembangunan Tersendiri. Siaran Pers, 27-9- 2009, tersedia pada situs
http://www.KKP.go.id/index.php/ind/news/1601/
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). Rancangan Blueprint Pengelolaan Industri
Kelautan. Workshop Kebijakan Kelautan Indonesia, 12 Oktober 2009
Dewan Kelautan Indonesia (2008): Perumusan Kebijakan Lintas Sektoral dlam Rangka
Percepatan Pembangunan Perikanan, Pariwisata Bahari, dan Jasa Kelautan, Power Point,
Seminar UNCLOS, Hotel Jayakarta, 06 Nopember2008
Diposaptono, S., Budiman, F. Agung (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, cetakan I, Bogor.
Diposaptono, S. (2009), Review Draft Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim
Sektor Pesisir dan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Oktober 2009.
127 | I C C S R
Hadi, T.W, (2008). Kementrian Lingkungan Hidup dan GTZ (2009). Draft Laporan
Akhir Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim Pulau Lombok, NTB.
Hadi, S., I.M. Radjawane, K. Priyatna, H. Latief, T.W. Hadi, D.S. Soeroso (2009).
Kenaikan Permukaan Laut (Sea Level Rise). Dalam Buku: Majelis Guru Besar Institut
Teknologi Bandung, Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim Indonesia,
Institut Teknologi Bandung.
IPCC (2007). Climate Change 2007 - The Physical Science Basis: Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge, Cambridge
University Press.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010). Renstra Strategis Kementerian
Kelautan dan Perikanan 2010-2014.
KLH dan GTZ (2009). Laporan Akhir Kajian Kerentanan dan Strategi Adaptasi terhadap
Perubahan Iklim di Pulau Lombok, NTB: Sektor Pesisir dan Laut.
Latief, H. dan Hadi, S.: Status Oseonografi Pantai dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir
dan Laut di KabupatenKabupaten. Seminar Nasional Kelautan, GeodesiITB
Bandung, 14 hal., 7 April 2001
Murray, S.P., D. Arief (1988). Throughflow into the Indian Ocean through the
Lombok Strait, Januari 1985 Januari 1986, Nature, 333, 444-447
Ningsih, N.S. (2009). Gelombang Badai Pasang. Dalam Buku: Majelis Guru Besar
Institut Teknologi Bandung, Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim
Indonesia, Bandung.
Nybakken, J.W., (1992). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis, PT. Gramedia,
Jakarta.
Nontji, A. (1993). Laut Nusantara, Djambatan, Jakarta.
Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009
Priyono, B.E.,dkk. (1997). Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan
Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Kementerian Perikanan.
Sofyan, I. (2009). Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim dalam Perencanaan
Pembangunan Nasional Kajian Dasar Akademis (Scientific Basis). Draft Laporan,
Bappenas GTZ.
Susanto, R.D., (2000). El Nino dan Perpindahan Lokasi Ikan. Mailing-list Oseanina.
128 | I C C S R
Tjasyono, B. (1999). Klimatologi Umum. Penerbit ITB
UN-ISDR (2004). Living with Risk: Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva
USAID (2007). Adapting to Climate Variability and Change: A Guidance Manual for
Development Planning.
USAID (2009). Adapting to Coastal Climate Change: A Guidebook for Development Planners.
The Coastal Resources Center University of Rhode Island (CRCURI) and
International Resources Group (IRG)
Wyrtki, K.(1961) Naga Report Volume 2: Physical Oceanography of the Southeast Asian
Waters. The University of California, California.
--- (2008). Pemerintah Bentuk Sembilan Klaster Rumput Laut. Harian Kompas, Senin, 20
Oktober 2008
http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html
129 | I C C S R
Lampiran I. Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) dengan Para Pemangku
Kepentingan yang Terkait
Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan
130 | I C C S R
Lampiran II. Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi Perubahan
Iklim
131 | I C C S R
Lampiran III. Deskripsi Kerentanan
Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP, 2005)
132 | I C C S R
Elemen Kerentanan-3: Ekonomis: Infrastruktur dan Fasilitas Vital
133 | I C C S R
Elemen Kerentanan-4: Ekonomis: Potensi Sumberdaya
134 | I C C S R
Lampiran IV. Keterkaitan Potensi Dampak dan Strategi Adaptasi dengan Bahaya dan Kerentanan Perubahan Iklim
Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesifik dengan bahaya dan kerentanan perubahan iklim
Bahaya yang
Memicu
Perubahan
KML/SLR
PVI-AAM
Lingkungan
Banjir rob/ Pantai yang landai Terganggunya Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk Wil.I: pantai timur
genangan di Kisaran pasut kecil aktivitas sosial di pemukiman di wilayah pesisir Sumatra
pesisir Populasi penduduk besar dan pemukiman Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap Wil.II: pantai utara
bahaya genangan rob Jawa, selatan Bali
padat
Penyesuaian level bangunan pemukiman/rumah panggung Wil.III: Nusa
Pemunduran dan relokasi pemukiman di wilayah tertentu Tenggara,
Pantai yang landai Terganggunya Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk Wil.IV: Kalimantan
Kisaran pasut kecil aktivitas infrastruktur di wilayah pesisir Wil.V: Sulawesi,
Banyaknya infrastruktur dan perekonomian dari Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap Wil.VI: Maluku,
fasilitas vital infrastruktur dan bahaya genangan rob Wil.VII: Papua
fasilitas vital di Penyesuaian level bangunan dan fasilitas vital di pesisir
Banyaknya usaha tambak air
pesisir
payau dan air laut Peninggian pematang tambak budidaya ikan yang ada
Pemunduran dan relokasi infrastruktur di wilayah tertentu
Peningkatan Pantai yang landai Kerusakan Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua Daerah yang terpapar
erosi pantai Tinggi gelombang rata-rata pemukiman di pemukiman di wilayah pesisir dengan Samudra
kecil pesisir Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap Hindia (Wil.I, II, III,
Pesisir menghadap samudra bahaya gelombang badai VI, VII)
Populasi penduduk besar dan Penguatan struktur bangunan pemukiman di pesisir Daerah yang terpapar
padat Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dengan Samudra
(tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, Pasifik (Wil.IV, V, VI,
VII)
pintu air pasut, dsb.)
Pemeliharaan dan rehabilitasi vegetasi pantai (mangrove, dsb.), Daerah yang terpapar
gumuk pasir dan terumbu karang dengan Laut Cina
Pemunduran dan relokasi pemukiman di wilayah tertentu Selatan (Wil.I, IV,V)
laut internal Indonesia
Pantai yang landai Kerusakan infra- Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua Daerah yang terpapar
135 | I C C S R
Bahaya yang
Memicu
Perubahan
KML/SLR
PVI-AAM
Fisik Kerentanan Potensi Dampak Alternatif Strategi Adaptasi Wilayah Fokus
PVI-CH
PKCE
KTPL
Lingkungan
Gelombang rata-rata tinggi struktur & fasilitas infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir dengan Samudra
Pesisir menghadap samudra vital di pesisir Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap Hindia (Wil.I, II, III,
Banyaknya infrastruktur dan bahaya gelombang badai VI, VII)
fasilitas vital Penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di pesisir Daerah yang terpapar
Banyaknya usaha tambak air Penguatan, peninggian, pendalaman pematang tambak dan dengan Samudra
payau dan air laut saluran tambak budidaya ikan yang telah ada Pasifik (Wil.IV, V, VI,
Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai VII)
(tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, Daerah yang terpapar
pintu air pasut, dsb.) dengan Laut Cina
Pemeliharaan dan rehabilitasi vegetasi pantai (mangrove, dsb.), Selatan (Wil.I, IV,V)
gumuk pasir dan terumbu karang laut internal Indonesia
Pemunduran dan relokasi infrastruktur di wilayah tertentu
Tenggelamnya Pantai yang landai Terganggunya Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk pulau- Pulau-pulau kecil untuk
pulau-pulau Posisi menghadap samudra aktivitas pulau kecil strategis konservasi laut
kecil Kisaran pasut kecil perekonomian Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya dan ekosistem pulau- Pulau-pulau kecil kaya
Kerusakan pulau kecil secara terpadu sumberdaya alam
Gelombang rata-rata tinggi
infrastruktur dan Pemeliharaan vegetasi pantai, gumuk pasir, terumbu karang Pulau-pulau kecil
Banyak, tersebarnya pulau fasilitas vital banyak fasilitas penting
dan sulitnya akses Pembangunan struktur pelindung pantai, fasilitas navigasi
Populasi penduduk padat
Banyaknya infrastruktur dan
fasilitas vital
Tenggelamnya Pantai yang landai Mundurnya batas Peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap sistem Pulau-pulau kecil
pulau-pulau Posisi menghadap samudra wilayah negara perlindungan pulau-pulau kecil strategis terluar perbatasan dengan:
kecil strategis Tersebar dan sulitnya akses akibat ASEAN,
terluar tenggelamnya
Posisinya sebagai titik Australia
pulau kecil strategis
pangkal garis batas negara Timor Timur
terluar
Papua Nugini
Banjir sungai Pantai yang landai Kerusakan Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk Daerah mangrove
dan estuari Populasi penduduk padat pemukiman, kondisi sungai dan estuari Daerah estuaria,
Banyaknya fasilitas vital infrastruktur dan Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir (dam, padang lamun
fasilitas vital di tanggul, drainase, dsb.)
Banyaknya usaha tambak Terumbu karang
pesisir
Banyaknya sistem estuari Pulau-pulau kecil
Penurunan Populasi penduduk padat Penurunan Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air dan ekosistem Daerah mangrove
136 | I C C S R
Bahaya yang
Memicu
Perubahan
KML/SLR
PVI-AAM
Fisik Kerentanan Potensi Dampak Alternatif Strategi Adaptasi Wilayah Fokus
PVI-CH
PKCE
KTPL
Lingkungan
debit dan Banyaknya fasilitas vital ketersediaan air pesisir secara terpadu Daerah estuaria,
kualitas air Banyaknya usaha tambak air tawar di pesisir Pengelolaan sumberdaya air di pesisir (sumur resapan, dam, padang lamun
sungai dan payau dan air tawar untuk pemukiman, tanggul, drainase, dsb.) Terumbu karang
estuari; fasilitas vital Pengembangan dan sosialisasi teknologi pemrosesan air laut Pulau-pulau kecil
kekeringan Penurunan pro- menjadi air tawar
duktivitas tambak
air payau & tawar
Bertambahnya Banyaknya sistem estuari Penurunan sediaan
intrusi garam Populasi penduduk padat air tawar di pesisir
pada massa air Banyaknya fasilitas vital untuk pemukiman,
sungai dan air fasilitas vital, dan
Banyaknya usaha tambak air
tanah tambak
tawar
Perubahan Banyaknya lokasi fishing Penurunan atau Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan Sebelas WPP
produktivitas ground peningkatan dinamik fishing ground
primer Banyaknya usaha nelayan produksi perikanan Penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di
Perubahan pola Banyaknya rumah tangga tangkap lepas pantai
migrasi ikan perikanan Penurunan atau Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan
Pergeseran peningkatan unit pengolahan skala rumah tangga.
Beranekaragamnya populasi
fishing ground kapasitas unit
ikan di laut
pengolahan ikan
Perubahan pola Terdapat fishing ground Penurunan durasi Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut Sebelas WPP
angin secara Banyaknya usaha nelayan penangkapan ikan yang lebih akurat dan waktu-nyata (realtime)
mendadak di Banyaknya rumah tangga di laut penuru- Penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di
laut perikanan nan produksi ikan lepas pantai dan hemat BBM
tangkap
Peningkatan
konsumsi BBM
kapal nelayan
Perubahan Banyaknya usaha Perubahan Pengembangan jenis budidaya ikan yang tahan terhadap Sembilan klaster
komposisi pertambakan ketersediaan pakan perubahan iklim (kerapu, kakap, rumput laut, alga merah) perikanan
keanekaan alami untuk
137 | I C C S R
Bahaya yang
Memicu
Perubahan
KML/SLR
PVI-AAM
Fisik Kerentanan Potensi Dampak Alternatif Strategi Adaptasi Wilayah Fokus
PVI-CH
PKCE
KTPL
Lingkungan
hayati perairan; Banyaknya rumah tangga perikanan budidaya Pengembangan sistem informasi musim pembenihan
kerusakan perikanan Perubahan Pengembangan alternatif sumber pakan alami
habitat di Terdapat terumbu karang, kapasitas unit Pengembangan budidaya ikan di lahan basah
perairan mangrove, padang lamun pengolahan ikan
Keanekaragaman populasi
ikan di laut
Pemutihan Terdapat terumbu karang Degradasi Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau Daerah terumbu
karang (coral Beranekaragamnya populasi lingkungan kecil secara terpadu karang
bleaching); ikan di laut sumberdaya laut Pemeliharaan vegetasi pantai, gumuk, terumbu karang Pulau-pulau kecil
Alga blooming dan pesisir
Penurunan pro-
duksi perikanan
Perubahan Terdapat banyak lahan basah Degradasi lahan Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau Daerah mangrove
rejim hidraulik Terdapat usaha tambak air basah yang kecil secara terpadu Daerah estuaria,
pada lahan berfungsi sebagai
payau padang lamun
basah proteksi pesisir Pulau-pulau kecil
Pelemahan Terdapat fishing ground Menambah Penguatan riset dan pemantauan berskala internasional Samudra Hindia bagian
sirkulasi arus Banyaknya usaha nelayan gangguan pada timur
laut dalam Populasi penduduk besar dan iklim global Jalur arus lintas
(termohalin) Mempengaruhi Indonesia
padat
kehidupan manusia Laut Cina Selatan
Laut Arafura
138 | I C C S R
Tabel L.5 Aternatif adaptasi yang hanya terkait dengan kapasitas adaptasi perubahan iklim
139 | I C C S R
Lampiran V. Kegiatan Prioritas Beserta Tahapan-Tahapannya
140 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
adaptasi dan wilayah pesisir dan air lautsaat ini dan proyeksi perencanaan sektor perencanaan sektor implementasi sub-sub Umum
mitigasi pulau-pulau kecil tata ruang dan zonasi
Peningkatan kelautan - perikanan kelautan dan kegiatan pada tahap Kehutanan
perubahan iklim secara terpadu pesisir dan perairan
frekuensi dan yang mengandung isu perikanan yang sebelumnya Pertanian
ke dalam Penyusunan hirarki
intensitas perubahan iklim mengandung isu Fokus: Tingkat Pariwisata
perencanaan dan gelombang
perencanaan sektor Implementasi konsep perubahan iklim nasional dan tingkat
Perhubungan
pengelolaan badai kelautan - perikanan sempadan pantai yang Implementasi konsep daerah di wilayah-
wilayah pesisir, wilayah pesisir dan Energi dan
yang mengandung isu
Perubahan pola mengandung isu sempadan pantai yang
pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil Sumber Daya
perubahan iklim
variabilitas iklim perubahan iklim mengandung isu
dan laut Mineral
Penyusunan konsep
alamiah Implementasi rencana perubahan iklim
Pemerintah
sempadan pantai yang aksi Perubahan iklim Implementasi rencana
provinsi dan
mengandung isu Implementasi hirarki aksi perubahan iklim
pemerintah
perubahan iklim perencanaan sektor Implementasi hirarki kabupaten/
Penyusunan rencana kelautan - perikanan perencanaan sektor kota yang
aksi perubahan iklim dalam sistem kelautan dan memiliki
Mengarusutamakan perencanaan perikanan dalam wilayah pesisir
hirarki perencanaan pembangunan sistem perencanaan dan pulau-
sektor kelautan dan Implementasi tekno- pembangunan pulau kecil
perikanan ke dalam logi adaptasi & miti- Implementasi tekno-
sistem perencanaan gasi perubahan iklim logi adaptasi & miti-
pembangunan Kontinuitas gasi perubahan iklim
Pemilihan teknologi pengawasan dan Kontinuitas
adaptasi dan mitigasi pengendalian tata pengawasan dan
perubahan iklim ruang dan zonasi pengendalian tata
Pengawasan dan pesisir dan perairan ruang dan zonasi
pengendalian tata Kontinuitas sosialisasi pesisir dan perairan
ruang dan zonasi dan penyadaran Kontinuitas sosialisasi
pesisir dan perairan masya-rakat pada isu dan penyadaran
Penyadaran masya- PI masya-rakat pada isu
rakat pada isu PI Fokus: Wilayah risiko PI
Fokus: Tingkat sedang: Wil.I, Wil.III, Fokus: Wilayah risiko
nasional dan wilayah Wil.IV, Wil.V Sula-wesi rendah: Wil.VI Maluku,
risiko tinggi: Wil.II: (selatan, barat) Wil.VII Papua (selatan)
Jawa (utara), Bali, Wil.I:
Sumatra (timur)
III. KELOMPOK KEGIATAN REGULASI DAN KEBIJAKAN
3 Penyusunan dan Strategi adaptasi Terkait dengan Menyusun norma, Implementasi dari Implementasi dari Evaluasi atas seluruh Hukum dan
atau penyesuaian secara umum semua jenis standar, pedoman norma, standar, pe- norma, standar, pe- implementasi sub-sub perundangan
141 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
regulasi, bahaya perubahan dan kriteria tentang doman dan kriteria doman dan kriteria kegiatan pada tahap Dewan
kebijakan, dan iklim adaptasi dan mitigasi adaptasi dan mitigasi adaptasi dan mitigasi sebelumnya Perwakilan
kapasitas perubahan iklim perubahan iklim perubahan iklim Fokus:Tingkat nasional Rakyat
kelembagaan di Penyesuaian regulasi Implementasi regulasi Implementasi regulasi dan tingkat daerah di Pendidikan
sektor kelautan dan kebijakan yang dan kebijakan yang dan kebijakan yang wilayah-wilayah pesisir Nasional
dan perikanan terkait dengan terkait dengan terkait dengan dan pulau-pulau kecil
terkait perubahan iklim perubahan iklim perubahan iklim
perubahan iklim Percepatan pener- Percepatan penerbit- Percepatan penerbit-
bitan Keputusan an Keputusan Kepala an Keputusan Kepala
Kepala Daerah Daerah tentang Daerah tentang
tentang RSKP terkait RSKP terkait isu RSKP terkait isu
isu perubahan iklim perubahan iklim perubahan iklim
Percepatan pener- Percepatan pener- Percepatan pener-
bitan Peraturan bitan Peraturan bitan Peraturan
Daerah tentang Daerah tentang Daerah tentang
RZWKP yang RZWKP yang telah RZWKP yang telah
memuat peta risiko memuat peta risiko memuat peta risiko
perubahan iklim perubahan iklim perubahan iklim
Peningkatan kapa- Kontinuitas dari Kontinuitas dari
sitas kelembagaan peningkatan kapa- peningkatan kapa-
Peningkatan kapa- sitas kelembagaan sitas kelembagaan
sitas pengawasan dan Kontinuitas dari Kontinuitas dari
pengendalian, peningkatan kapa- peningkatan kapa-
khususnya berbasis di sitas pengawasan dan sitas pengawasan dan
desa pesisir dan pengendalian pengendalian
pulau-pulau kecil Fokus: Wilayah risiko Fokus: Wilayah risiko
Fokus: Tingkat sedang seperti Wil.I, rendah, seperti Wil.VI
nasional dan Wilayah Wil.III, Wil.IV Kali- Maluku, Wil.VII Papua
risiko tinggi, seperti mantan (barat, timur, (selatan)
Wil.II: Jawa (utara), selatan), Wil.V Sula-
Bali, Wil.I: Sumatra wesi (selatan, barat)
(timur)
IV. KELOMPOK KEGIATAN IMPLEMENTASI
4 Penyesuaian Rekayasa fisik Kenaikan muka Identifikasi terhadap Penyesuaian elevasi Penyesuaian elevasi Penyesuaian elevasi Pekerjaan
elevasi dan berwawasan air laut kondisi saat ini dan dan penguatan dan penguatan dan penguatan Umum
penguatan lingkungan Peningkatan proyeksi ke depan struktur bangunan struktur bangunan struktur bangunan Pariwisata
struktur frekuensi dan untuk semua dan fasilitas vital dan fasilitas vital dan fasilitas vital Perhubungan
142 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
bangunan dan intensitas infrastruktur dan Kajian dan sosialisasi Kajian dan sosialisasi Kajian dan sosialisasi Energi dan
fasilitas vital di gelombang fasilitas vital di pembangunan rumah pembangunan rumah pembangunan rumah Sumber Daya
wilayah pesisir badai wilayah pesisir panggung di pesisir panggung di pesisir panggung di pesisir Mineral
terkait Perubahan pola Penyesuaian elevasi Pembangunan dan Pembangunan dan Pembangunan dan Perumahan
perubahan iklim variabilitas iklim dan penguatan pemeliharaan struktur pemeliharaan struktur pemeliharaan struktur Rakyat
alamiah struktur bangunan pelindung pantai pelindung pantai pelindung pantai Pembangunan
dan fasilitas vital Pengembangan Pengembangan Pengembangan Daerah
Kajian dan sosialisasi Climate Resilience Climate Resilience Climate Resilience Tertinggal
pembangunan rumah Village (CRV) di Village (CRV) di Village (CRV) di Pemerintah
panggung di pesisir wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan provinsi dan
Pembangunan dan pulau-pulau keci pulau-pulau keci pulau-pulau keci pemerintah
pemeliharaan struktur Fokus: Wilayah risiko Fokus: Wilayah risiko Fokus: seluruh wilayah kabupaten/
pelindung pantai sedang seperti Wil.I, rendah, seperti Wil.VI pesisir dan pulau-pulau kota yang
Pengembangan Wil.III, Wil.IV Maluku, Wil.VII Papua keci memiliki
Climate Resilience Kalimantan (barat, (selatan) wilayah pesisir
Village (CRV) di timur, selatan), Wil.V
wilayah pesisir dan Sulawesi (selatan, barat)
pulau-pulau keci
Fokus: Wilayah risiko
tinggi, seperti Wil.II:
Jawa (utara), Bali, Wil.I:
Sumatra (timur)
5 Penyesuaian Perencanaan dan Terkait dengan Identifikasi terha-dap Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas Lingkungan
pengelolaan pengelolaan semua jenis kondisi saat ini dan pengelolaan eko- pengelolaan eko- pengelolaan eko- Hidup
sumberdaya ekosistem wilayah bahaya perubahan proyeksi ke depan sistem dan sumber- sistem dan sumber- sistem dan sumber- Pekerjaan
alam dan pesisir dan pulau- iklim pengelolaan daya pesisir dan daya pesisir dan daya pesisir dan Umum
ekosistem pesisir pulau kecil secara ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil Pemerintah
dan pulau-pulau terpadu pulau-pulau kecil Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas provinsi dan
kecil secara Pemeliharaan dan pengelolaan daerah pengelolaan daerah pengelolaan daerah pemerintah
terpadu rehabilitasi eko-sistem pelindung alamiah pelindung alamiah pelindung alamiah kabupaten/
dan sumber-daya pantai pantai pantai kota yang
143 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
pesisir dan pulau- Pemeliharaan dan Kontinuitas Kontinuitas memiliki
pulau kecil rehabilitasi pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir
Pemeliharaan dan sumberdaya air di sumberdaya air di sumberdaya air di dan pulau-
rehabilitasi daerah pesisir dan pulau- pesisir dan pulau- pesisir dan pulau- pulau kecil
pelindung alamiah pulau kecil pulau kecil pulau kecil Pihak-pihak
pantai Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas lain (swasta
Pemeliharaan dan pengelolaan tekno- pengelolaan tekno- pengelolaan tekno- dan LSM baik
rehabilitasi sumber- logi penyulingan air logi penyulingan air logi penyulingan air dalam dan luar
daya air di pesisir dan laut dan siklus daur laut dan siklus daur laut dan siklus daur negeri)
pulau-pulau kecil ulang air ulang air ulang air
Pengembangan dan Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas
sosialisasi tekno-logi pengelolaan Kawasan pengelolaan Kawasan pengelolaan Kawasan
penyulingan air laut Konser-vasi Laut Konser-vasi Laut Konser-vasi Laut
dan siklus daur ulang (KKL) (KKL) (KKL)
air Fokus: wilayah pesisir Fokus: wilayah pesisir Fokus: wilayah pesisir
Pengelolaan Kawasan dan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil
Konser-vasi Laut yang banyak terdapat yang banyak terdapat yang banyak terdapat
(KKL) ekosistem terumbu ekosistem lahan basah, ekosistem estuaria dan
Fokus: wilayah pesisir karang dan hutan padang lamun paparan benua
dan pulau-pulau kecil mangrove
yang banyak terdapat
ekosistem hutan
mangrove dan terumbu
karang
144 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
pelindung pantai dan sumberdaya air di sumberdaya air di sumberdaya air di Luar Negeri
fasilitas keselamatan pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil TNI-AL
navigasi Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas Pemerintah
Pengelolaan pengawasan dan pengawasan dan pengawasan dan provinsi dan
sumberdaya air di perlindungan pulau- perlindungan pulau- perlindungan pulau- pemerintah
pulau-pulau kecil pulau kecil strategis pulau kecil strategis pulau kecil strategis kabupaten/
Pengawasan dan terluar terluar terluar kota yang
perlindungan pulau- Fokus: Pulau-pulau Fokus: Pulau-pulau Fokus: Pulau-pulau memiliki
pulau kecil strategis kecil yang berbatasan kecil yang banyak kecil untuk konservasi wilayah pulau-
terluar dengan negara-negara terdapat sumberdaya laut pulau kecil
Fokus: Pulau-pulau Australia, Timor Tinur, alam dan fasilitas vital
kecil yang berbatasan dan Papua Nugini
dengan negara-negara
ASEAN dan India
7 Penguatan Terkait dengan Kenaikan muka Penyusunan standar Implementasi standar Implementasi standar Implementasi standar Badan
kapasitas semua jenis air laut prosedur mitigasi prosedur mitigasi prosedur mitigasi prosedur mitigasi Nasional
mitigasi strategi adaptasi Peningkatan bencana klimatologi bencana klimatologi bencana klimatologi bencana klimatologi Penanggulang
kebencanaan frekuensi dan dan oseanografi di dan oseanografi di dan oseanografi di dan oseanografi di an Bencana
klimatologi dan intensitas wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan Lembaga-
oseanografi di gelombang pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil lembaga riset
wilayah pesisir badai Pengembangan Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas non
dan pulau-pulau Perubahan pola sistem peringatan dini pengembangan dan pengembangan dan pengembangan dan Kementerian
kecil variabilitas iklim bencana klimatologi sosialisasi sistem sosialisasi sistem sosialisasi sistem (BMKG,
alamiah dan oseanografi peringatan dini peringatan dini peringatan dini LAPAN,
Peningkatan jaringan bencana klimatologi bencana klimatologi bencana klimatologi BPPT, Ristek)
transportasi, dan oseanografi dan oseanografi dan oseanografi Pemerintahan
komunikasi, dan Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas Dalam Negeri
sistem persediaan penguatan jaringan penguatan jaringan penguatan jaringan Perhubungan
145 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
kebutuhan hidup transportasi, transportasi, transportasi, TNI-AL
terutama di wilayah komunikasi, dan komunikasi, dan komunikasi, dan Pemerintah
pesisir dan pulau- sistem persediaan sistem persediaan sistem persediaan provinsi dan
pulau kecil terpencil kebutuhan hidup kebutuhan hidup kebutuhan hidup pemerintah
Peningkatan terutama di wilayah terutama di wilayah terutama di wilayah kabupaten/
pengetahuan dan pesisir dan pulau- pesisir dan pulau- pesisir dan pulau- kota yang
ketrampilan mitigasi pulau kecil terpencil pulau kecil terpencil pulau kecil terpencil memiliki
kebencanaan Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas wilayah pesisir
klimatologi dan penguatan pengeta- penguatan penguatan dan pulau-
oseanografi pada huan dan ketram- pengetahuan dan pengetahuan dan pulau kecil
kalangan masyarakat pilan mitigasi keben- ketrampilan mitigasi ketrampilan mitigasi
di wilayah pesisir dan canaan klimatologi kebencanaan kebencanaan
pulau-pulau kecil dan oseanografi pada klimatologi dan klimatologi dan
Fokus: Pesisir yang kalangan masyarakat oseanografi pada oseanografi pada
terpapar dengan di wilayah pesisir dan kalangan masyarakat kalangan masyarakat
Samudra Pasifik pulau-pulau kecil di wilayah pesisir dan di wilayah pesisir dan
(Wil.IV, Wil.V, Wil.VI, Fokus: Pesisir yang pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil
Wil.VII) terpapar dengan Fokus: Pesisir yang Fokus: Pesisir di
Samudra Hindia (Wil.I, terpapar dengan L. Cina perairan internal
Wil.II, Wil.III, Wil.VI, Selatan (Wil.I, Wil.IV, Indonesia
Wil.VII) Wil.V)
8 Penyesuaian Pengelolaan dan Kenaikan Pengembangan dan Kontinuitas pengu- Kontinuitas pengu- Kontinuitas pengu- Pekerjaan
pengelolaan pemasaran temperatur air sosialisasi sistem atan dan sosialisasi atan dan sosialisasi atan dan sosialisasi Umum
potensi perikanan tangkap laut informasi dan sistem informasi dan sistem informasi dan sistem informasi dan Usaha Mikro,
sumberdaya Perubahan pola pemetaan fishing pemetaan fishing pemetaan fishing pemetaan fishing Kecil &
perikanan variabilitas iklim ground dinamik ground dinamik ground dinamik ground dinamik Menengah
tangkap terpadu alamiah Pengembangan dan Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas (UMKM)
terkait (perubahan pola sosialisasi sistem penguatan dan penguatan dan penguatan dan Lembaga-
perubahan iklim sirkulasi arus informasi cuaca di sosialisasi sistem sosialisasi sistem sosialisasi sistem lembaga riset
laut) laut yang waktu-nyata informasi cuaca di informasi cuaca di informasi cuaca di non
Peningkatan (realtime) laut yang waktu-nyata laut yang waktu-nyata laut yang waktu-nyata Kementerian
frekuensi dan Peningkatan kapasitas (realtime) (realtime) (realtime) (BMKG,
intensitas nelayan untuk Kontinuitas Kontinuitas Kontinuitas LAPAN,
gelombang mencapai fishing ground penguatan kapasitas penguatan kapasitas penguatan kapasitas BPPT, Ristek)
badai di lepas pantai hingga nelayan untuk men- nelayan untuk men- nelayan untuk men- Pemerintah
batas ZEE (Zona capai fishing ground di capai fishing ground di capai fishing ground di provinsi dan
Ekonomi Eksklusif) lepas pantai hingga lepas pantai hingga lepas pantai hingga pemerintah
Pengembangan ZEE ZEE batas ZEE kabupaten/
146 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
sistem rantai dingin Kontinuitas pengu- Kontinuitas pengu- Kontinuitas pengu- kota yang
dari kapal hingga TPI atan dan pengem- atan dan pengem- atan dan pengem- memiliki
dan unit pengolahan. bangan sistem rantai bangan sistem rantai bangan sistem rantai wilayah pesisir
Penguatan dan dingin dari kapal ke dingin dari kapal ke dingin dari kapal ke dan pulau-
pengembangan unit pengolahan. unit pengolahan. unit pengolahan pulau kecil
manajemen Kontinuitas pengu- Kontinuitas Kontinuitas
stok/logistik (cold atan dan pengem- penguatan dan penguatan dan
storage/gudang) bangan manajemen pengembangan pengembangan
Fokus: WPP bagian stok/ logistik (cold manajemen stok/ manajemen stok/
timur storage/gudang) logistik (cold logistik (cold
1. 716: Laut Sulawesi, Fokus: WPP bagian storage/gudang) storage/gudang)
sebelah utara Pulau timur dan tengah: Fokus: WPP bagian Fokus: WPP bagian
Halmahera; 1. 713: Selat Makassar, barat dan tengah: barat dan selatan:
2. 717: Teluk Teluk Bone, Laut 1. 571: Selat Malaka dan 1. 572: Samudra Hindia
Cendrawasih, Samudra Flores, Laut Bali; Laut Andaman; sebelah barat Sumatra
Pasifik; 2. 714: Teluk Tolo dan 2. 711: Selat Karimata, L. dan Selat Sunda;
3. 718: Laut Aru, Laut Laut Banda; Natuna, L. Cina 2. 573: Samudra Hindia
Arafuru, Laut Timor 3. 715: Teluk Tomini, Selatan; sebelah selatan Jawa
bagian timur Laut Maluku, Laut 3. 712: Laut Jawa; hingga sebelah selatan
Halmahera, Laut Nusa Tenggara;
Seram, Teluk Berau;
9 Penyesuaian Pengelolaan dan Kenaikan suhu Pengembangan jenis Implementasi Kontinuitas Kontinuitas Pekerjaan
pengelolaan pemasaran air laut budidaya perikanan pengembangan jenis implementasi implementasi Umum
potensi perikanan Perubahan pola yang tahan terhadap budidaya perikanan pengembangan jenis pengembangan jenis UMKM
sumberdaya budidaya variabilitas iklim perubahan iklim yang tahan terhadap budidaya perikanan budidaya perikanan Lembaga-
perikanan alamiah Pengembangan perubahan iklim yang tahan terhadap yang tahan terhadap lembaga riset
budidaya air laut, (perubahan pola sistem informasi Implementasi perubahan iklim perubahan iklim non
air payau, dan air curah hujan, musim pembenihan pengembangan sistem Kontinuitas Kontinuitas Kementerian
tawar terkait aliran sungai) Peninggian, informasi musim implementasi implementasi Pemerintah
perubahan iklim Kenaikan muka pelebaran, pembenihan pengembangan sistem pengembangan sistem provinsi dan
air laut pendalaman dan Kontinuitas informasi musim informasi musim kota/
Peningkatan penguatan pematang pemeliharaan pembenihan pembenihan kabupaten
frekuensi dan tambak dan saluran pematang tambak dan Kontinuitas Kontinuitas yang memiliki
intensitas airnya saluran pemeliharaan pemeliharaan wilayah pesisir
gelombang Penguatan dan Kontinuitas pematang tambak dan pematang tambak dan dan pulau-
badai pengembangan peran penguatan peran saluran saluran pulau kecil
depo pemasaran ikan depo pemasaran ikan Kontinuitas Kontinuitas
dalam kerangka dalam kerangka penguatan peran penguatan peran
manajemen stok manajemen stok depo pemasaran ikan depo pemasaran ikan
147 | I C C S R
No Kegiatan Bagian dari Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sub-kegiatan Sektor/
Prioritas Strategi Adaptasi Bahaya Prioritas 2010-2014 Prioritas 2015-2020 Prioritas 2020-2025 Prioritas 2025-2030 Lembaga Lain
yang Dapat
Dilibatkan
148 | I C C S R