You are on page 1of 67

PROPOSAL PENELITAN

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS AIR PERASAN KULIT


JERUK MANIS (Citrus aurantium sub spesies sinensis)
DAN TEMEPHOS TERHADAP MORTALITAS
LARVA Aedes aegypti

ABDUL ANAS
K11112033

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang tiada lelah

melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal penelitian yang diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam

menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

dengan judul Perbandingan Efektivitas Air Perasan Kulit Jeruk Manis

(Citrus aurantium sub spesies sinensis) dan Temephos terhadap Mortalitas

Larva Aedes aegypti.

Shalawat dan taslim sudah sepatutnya kita haturkan kepada Rasulullah

Muhammad SAW, sang suri tauladan segala zaman yang telah menggulung tikar

kebatilan dan menebar cahaya ilahi di seantero muka bumi. Semoga semangat

beliau senantiasa terpatri dalam hati kita.

Penulis menyadari, begitu banyak kendala ataupun hambatan dalam

menyelesaikan proposal penelitiani ini. Namun, berkat arahan, bimbingan dan

dukungan dari berbagai pihak, proposal penelitiani ini dapat terselesaikan dengan

baik meskipun tak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan didalamnya.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc Ph selaku

pembimbing I dan penasehat akademik serta Syamsuar Manyullei SKM,

M.Kes M.Sc Ph selaku pembimbing II atas kesediaannya meluangkan waktu,


tenaga, semangat serta pikiran untuk senantiasa membimbing dan mengarahkan

penulis sehingga penyusunan proposal penelitiani ini dapat terealisasikan.

Semoga segala doa, dukungan dan semangat yang telah diberikan

mendapatkan balasan dari Allah SWT dan tulisan ini dapat memberikan manfaat

kepada berbagai pihak yang membutuhkan. Amin. Penulis menyadari bahwa

Proposal penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu dengan segenap

kerendahan hati, penulis meminta saran dan kritik demi penyempurnaan

penulisan. Semoga ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Makassar, November 2015

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK...................................................................................................................

KATA PENGANTAR. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN vii

A. Latar Belakang ......................................................................................

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

A. Tinjauan Umum Tentang Demam Berdarah Dengue (DBD).

1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD) . 9

2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) .... 9

3. Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) .. 9

B. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes aegypti......................... 10

1. Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti.......................................... 11

2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti........................................... 11

3. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti............................................... 12


4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti................................................ 16

5. Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes aegypti.............................. 18

C. Tinjauan Umum Tentang Tanaman Jeruk Manis....................... 19

1. Taksonomi Tanaman Jeruk Manis... 21

2. Morfologi Tanaman Jeruk Manis. 21

3. Kandungan Kimia Pada Air Perasan Kulit Jeruk Manis.. 23

D. Tinjauan Umum Tentang Temephos.. 24

1. Spesifikasi Temephos........... 28

2. Sifat Kimia dan Fisika Temephos..... 29

3. Mekanisme Kerja Temephos........ 30

BAB III KERANGKA KONSEP 31

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian ....................................................

B. Pola Pikir Variabel yang diteliti .... 35

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 38

D. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB IV METODE PENELITIAN 40

A. Jenis Penelitian ......................................................................................

B. Lokasi Penelitian ................................................................. 41

C. Populasi Dan Sampel ............................................................................ 42

D. Metode Pengukuran.... 42

E. Alur Penelitian........................................ 44
F. Pengumpulan Data..... 45

G. Pengolahan dan Analisis Data 49

H. Penyajian Data........................................................................................ 49

BAB VI PENUTUP 51

A. Kesimpulan ............................................................................................

B. Saran ...................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA 72

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang

menjadi perhatian dunia karena sering menimbulkan kejadian luar biasa dengan

kematian yang besar. Selain itu, penyakit DBD juga menempati posisi penting

dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia terutama di negara tropik dan

subtropik (Fradin & John, 2002). Adapun titik koordinat yang biasa dihuni oleh

nyamuk ini berada antara garis lintang 35U dan 35S (WHO, 1999).

Penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan terutama di Indonesia.

Hal ini terjadi karena masih banyak daerah berstatus endemik. Daerah endemik

DBD pada umumnya merupakan sumber penyebaran penyakit ke wilayah lain.

Dimana setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD dimulai dengan peningkatan

jumlah kasus di wilayah tersebut (Widoyono, 2005).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa diperkirakan 2,5

milyar penduduk dunia menetap di lebih dari 100 negara endemik serta daerah

dimana virus dengue dapat ditularkan yang artinya lebih dari 40% populasi dunia

berisiko terinfeksi DBD. Terdapat 50 juta orang terinfeksi DBD setiap tahunnya

dengan 500.000 kasus DBD serta 22.000 kejadian kematian akibat DBD (WHO,

2009). Faktor yang mempengaruhi kejadian DBD yaitu densitas larva Ae. aegypti.
Pernyataan ini didukung oleh jurnal penelitian yang dilakukan Wati,dkk tahun

2009 bahwa keberadaan larva Ae. aegypti memiliki hubungan dengan kejadian

DBD di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan tahun 2009 dengan nilai p=0,001.

Data Dinas Kesehatan Kota Makassar (2013), memperlihatkan bahwa angka

bebas jentik (ABJ) yang meskipun meningkat dari tahun 2009 sebesar 78%, pada

tahun 2010 menjadi 79,96%, di tahun 2011 dan 2012 berturut-turut sebesar 87%

serta 90%. Namun pada tahun 2013 ABJ turun menjadi 77,02% dimana masih

terdapat wilayah ABJ-nya di bawah 95%. Beberapa contoh wilayah kerja

Puskesmas dengan ABJ di bawah 95% adalah Pampang, Pattingalloang,

Baranglompo, Sudiang Raya, Sudiang, dan lain-lain. Padahal pencapaian ABJ

adalah 95% dimana ABJ akan mempengaruhikepadatan vektor nyamuk yang juga

berpengaruh terhadap penularan penyakit DBD.

Untuk menanggulangi hal tersebut maka dilakukan kegiatan pengendalian

vektor penyakit DBD. Tujuan dari pengendalian vektor adalah untuk menurunkan

kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah mungkin hingga

kemampuan sebagai vektor pembawa penyakit menghilang. Secara garis besar ada

4 cara pengendalian vektor yaitu dengan cara kimiawi, biologis, radiasi, dan

mekanik atau lingkungan (Soegijanto, 2006).

Salah satu cara pengendalian vektor yang dapat dilakukan adalah dengan

menggunakan insektisida sebagai larvasida untuk mengurangi tingkat kepadatan

larva nyamuk Aedes aegypti (Hidayatulloh,dkk, 2013). Larvasida yang paling

umum digunakan adalah temephos atau yang lebih dikenal dengan nama abate.
Temephos merupakan larvasida kimia organofosfat yang dapat mengendalikan

kepadatan nyamuk pembawa virus dengue.

Di Indonesia, penggunaan temephos telah dimulai sejak tahun 1976 dan

pada tahun 1980, temephos 1% ditetapkan menjadi bagian dari program

pemberantasan massal vektor penyakit DBD sebesar 10 gram/100 liter air

(Direktorat Kesehatan Gizi Masyarakat, 2006). Penggunaan temephos yang terlalu

lama dikhawatirkan akan mengakibatkan kerentanan pada vektor penyakit DBD.

Selain itu, temephos sebagai larvasida kimia memiliki efek samping yaitu dapat

menyebabkan mual, pusing, dan gangguan saraf lain apabila dosis yang diberikan

terlalu tinggi (EPA, 2001).

Pada abatisasi massal di seluruh wilayah Kotamadya Yogyakarta tahun

1981, diperoleh hasil bahwa penggunaan abate massal dapat menurunkan index

larva Aedes aegypti secara bermakna selama 2 (dua) minggu. Namun, index

densitas larva Aedes aegypti kemudian meningkat lagi secara bertahap hingga

mencapai 50% dari index sebelum abatisasi setelah 3 (tiga) bulan (Raharjo, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Wati, 2010 bahwa dosis temephos sebesar

10 mg/L sudah mampu membunuh 100% larva selama 24 jam dengan 5 kali

pengulangan. Hal ini berarti, dosis temephos yang digunakan dapat ditekan dari

dosis maksimal yang telah ditetapkan. Hal ini sejalan dengan keputusan WHO

(1981), bahwa dosis tentatif temephos yang disarankan adalah 0,02 mg/L dimana

dosis ini dianggap dapat membunuh larva sebesar 95% (LD95). Sedangkan

menurut penelitian Ridha dan Khairatun (2011) bahwa dosis yang dapat
membunuh 99% (LD99) larva adalah sebesar 0,027 mg/L. Variasi dosis yang

digunakan dalam mg/L adalah 0, 0,005, 0,010, 0,015, 0,020, 0,025, dan 0,030.

Selain temephos, ada beberapa alternatif larvasida lain yang dapat

mengontrol kepadatan larva Aedes aegypti. Salah satu alternatif larvasida alami

yaitu air perasan Citrus aurantium sub spesies sinensis (kulit jeruk manis).

Penelitian Wati (2010) menyatakan bahwa air perasan kulit jeruk manis

berpengaruh terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III dengan LC50

sebesar 0,946% dan LC99 sebesar 4,064%. Lethal concentration (LC) merupakan

konsentrasi yang digunakan dalam air untuk membunuh larva sesuai dengan

persentase yang telah ditentukan. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian

tersebut adalah sebesar 1.025 ekor larva dengan dosis 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5%,

2,0%, dan 2,5% dengan dosis pendahuluan sebesar 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%.

Berdasarkan jurnal penelitian Shinta, dkk, 2011, perbandingan efektivitas

larvasida juga dapat dilihat dari waktu kematian larva. Perbandingan waktu

kematian larva dapat diukur menggunakan lethal time (LT). Dalam jurnal

penelitian ini dilakukan pengamatan pada LT50 dan LT95 dimana keduanya berarti

waktu yang dibutuhkan untuk membunuh 50% dan 95% larva Aedes aegypti.

Kulit jeruk manis memiliki kandungan yang dapat mematikan larva tetapi

tidak berbahaya untuk mamalia (Amusan, dkk, 2005). Kandungan tersebut yaitu

saponin, tanin, flavonoid, dan triterpenoid (Sari, 2008 dalam Wati, 2010). Hasil

penelitian Wati (2010) juga menyebutkan bahwa air perasan kulit jeruk manis

memiliki efektivitas yang lebih tinggi sebagai larvasida dibandingkan dengan air
perasan buah belimbing wuluh. Dimana LC99 air perasan buah belimbing wuluh

adalah 5,502%.

Kulit jeruk manis dipilih menjadi salah satu alternatif larvasida karena kulit

jeruk manis tidak digunakan oleh masyarakat secara maksimal. Mayoritas

masyarakat hanya mengonsumsi isi buah jeruk manis tanpa memanfaatkan bagian

kulitnya. Kulit jeruk ini kemudian menjadi sampah yang tidak dimanfaatkan lagi.

Maka dari itu, dengan menggunakan kulit jeruk manis sebagai larvasida sehingga

volume sampah kulit jeruk manis dapat diminimalisir.

Berdasarkan fakta di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai Perbandingan Efektivitas air perasan kulit jeruk manis (Citrus

aurantium sub spesies sinensis) dan Temephos terhadap Mortalitas Larva Aedes

aegypti. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah temephos masih efektif sebagai

larvasida dan mengetahui perbandingan efektivitas larvasida kimia yaitu temephos

dan larvasida alami yaitu air perasan kulit jeruk manis untuk mengontrol

kepadatan larva Aedes aegypti.

B. Rumusan Masalah

Demam berdarah dengue adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor

nyamuk Aedes aegypti. Hingga saat ini demam berdarah masih menjadi penyakit

endemis di beberapa wilayah di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu

dilakukan upaya pencegahan terhadap penyakit ini. Pengendalian nyamuk Aedes

aegypti dengan mengurangi tingkat kepadatan larva dapat mengurangi jumlah


vektor penular DBD yang secara otomatis dapat mengurangi peluang menularnya

virus dengue dari nyamuk ke manusia.

Di Kota Makassar sendiri, masih banyak daerah dengan ABJ di bawah

95%, daerah dengan ABJ terendah adalah Pampang (75%) (Dinkes Kota

Makassar, 2013). Untuk menanggulangi hal tersebut dapat digunakan larvasida,

larvasida yang paling umum digunakan adalah temephos 1% dengan dosis 10

gram/100 liter air. Selain temephos, adapula larvasida alami yang bisa digunakan

oleh masyarakat yaitu air perasan kulit jeruk manis. Maka dari itu, peneliti ingin

mencari tahu efektivitas dari masing-masing larvasida tersebut dan

membandingkan efektivitas keduanya. Berdasarkan hal tersebut. maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana perbandingan efektivitas air

perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) dan temephos

terhadap mortalitas larva Aedes aegypti.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan efektivitas air perasan kulit jeruk manis (Citrus

aurantium sub spesies sinensis) dan temephos terhadap mortalitas larva Aedes

aegypti.

2. Tujuan Khusus

a. Menghitung rata-rata populasi mortalitas larva Aedes aegypti akibat

pemberian air perasan kulit jeruk manis sebesar nilai LC95.


b. Mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan air perasan kulit jeruk

manis untuk mematikan larva Aedes aegypti sebesar 95% (LT95).

c. Mengetahui rata-rata populasi mortalitas larva Aedes aegypti setelah

pemberian temephos sebesar nilai LD95.

d. Mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan temephos untuk

mematikan larva Aedes aegypti sebesar 95% (LT95).

e. Mengetahui perbedaan efektivitas air perasan kulit jeruk manis dan

temephos untuk mematikan larva Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap agar penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat

baik bagi institusi pemerintah yang terkait maupun swasta, Perguruan Tinggi/

Universitas, khususnya di bidang kesehatan masyarakat dan termasuk bagi

peneliti, diantaranya :

1. Manfaat Ilmiah

Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai

referensi/rujukan bagi penelitian berikutya.

2. Manfaat Bagi Institusi

Dapat memberikan sumbangan informasi kepada institusi terkait, dalam

hal ini Dinas Kesehatan Kota Makassar maupun instansi kesehatan lain dalam

arah penentuan kebijakan program pencegahan penyakit DBD, sehingga dapat


menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat DBD di Kota Makassar

secara kontinyu.

3. Manfaat Praktis

Pengalaman yang berharga dan memberikan tambahan pengetahuan

dalam mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya mengenai

vektor DBD serta dalam menerapkan tridarma perguruan tinggi, yaitu

pendidikan, penelitan, dan pengabdian kepada masyarakat yang merupakan

peran bagi setiap mahasiswa.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit DBD masuk ke Indonesia pada tahun 70-an dan menyebar

cepat karena vektornya yang selalu tersedia (Soemirat, 2011). Penyakit ini

merupakan penyakit endemis yang disebabkan oleh virus dengue. Penyakit ini

ditularkan oleh nyamuk Aedes dengan vektor utama nyamuk Aedes aegypti

(Sulthanont, dkk, 2009). Virus penyakit ini membutuhkan masa multiplikasi

selama delapan sampai sepuluh hari sebelum nyamuk dapat menginfeksi

manusia (Chandra, 2006). Penyakit DBD adalah penyakit infeksi akut yang

disebabkan oleh virus dengue dan dapat menyebabkan kematian terdiri atas 4

serotipe (DEN-1, DEN -2, DEN -3, dan DEN -4) (CDC, 2009). Virus DEN

mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sitplasma sel

(Soegijanto, 2006).

2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Kejadian luar biasa (KLB) DBD pertama kali terjadi di Asia tepatnya

Manila pada tahun 1954 dan dilaporkan oleh Quintas. Pada tahun 1958 terjadi

kejadian luar biasa DBD di Bangkok-Thonburi dan sekitarnya. Empat belas

tahun setelah KLB di Manila pada tahun 1968, terjadi KLB pertama kali di

Indonesia tepatnya di Jakarta dan Surabaya dengan 58 kasus DBD dan

9
kejadian kematian sebanyak 24 orang (CFR=41,5%). Di tahun berikutnya,

kasus DBD menyebar ke kota yang lain di wilayah Indonesia (Soegijanto,

2006). KLB DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan pedesaan.

KLB hampir terjadi setiap tahun di wilayah yang berbeda namun seringkali

berulang di wilayah yang sama selama lima tahun (Suroso, 2005).

3. Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

DBD ditularkan ketika nyamuk yang menjadi vektor penyakit ini

menggigit manusia yang sedang sakit dan menderita viremia (terdapat virus

dalam darahnya). Virus kemudian berkembang dalam tubuh nyamuk selama

8-10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya. Ketika nyamuk yang telah

terinfeksi menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama

air liur nyamuk. Virus ini kemudian berkembang selama 4-6 hari dan orang

tersebut akan mengalami sakit DBD. Virus ini kemudian memperbanyak diri

dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu

(Soegijanto, 2006).

Apabila nyamuk telah terinfeksi maka akan terinfeksi sepanjang

hidupnya. Nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menularkan virus dengue

ke generasi nyamuk dengan penularan transovarian. Namun, hal ini jarang

terjadi dan kemungkinan tidak memperberat penularan yang signifikan pada

manusia (WHO, 1999).


Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat apabila vektor

penularnya tersedia, adapun tempat yang potensial untuk penularan penyakit

DBD, yaitu (Sitio, 2008):

a. Tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orang. Beberapa orang

datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran

beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat umum yang dimaksud

seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya.

b. Wilayah dengan jumlah kasus yang tinggi (endemis).

c. Pemukiman baru di pinggir kota dimana penduduk umumnya berasal dari

berbagai wilayah sehingga memungkinkan terdapat penderita atau karier

yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing

lokasi asal.

B. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes Aegypti

1. Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti

Salah satu vektor yang paling efisien untuk arbovirus adalah nyamuk

Aedes aegypti karena nyamuk ini sangat antropofilik (menyukai darah

manusia) dan hidup dekat dengan manusia serta sering hidup di dalam rumah

(WHO, 1999). Nyamuk Aedes aegypti menjadi vektor utama penularan

penyakit DBD, taksonomi dari nyamuk ini yaitu (Sembel, 2009) :

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta
Ordo : Diptera (bersayap dua)

Famili : Culicidae

Suku : Culicini

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk merupakan binatang arthropoda yang memiliki metamorfosis

sempurna, termasuk Aedes aegypti. Lama sikus hidup dari telur Aedes aegypti

menjadi nyamuk dewasa adalah selama 7 8 hari dimana pada fase telur

dilewati selama 1 -2 hari, larva selama 4 5 hari, dan pupa selama 1-2 hari

(Ahmad, dkk, 2011). Adapun perjalanan hidupnya sebagai berikut :

a. Fase Telur

Seekor nyamuk selama hidupnya dapat bertelur 4-5 kali dan dapat

memproduksi telur + 100 butir dalam sekali bertelur. Jumlah telur yang

mampu diproduksi oleh seekor nyamuk betina seluruhnya berkisar 300-

700 butir. Aedes aegypti suka bertelur di air jernih yang tidak kontak

langsung dengan tanah dan lebih menyukai kontainer yang berada di

dalam rumah daripada di luar rumah (Sitio, 2008).

Gambar 2.1. Telur Aedes aegypti


Sumber (Zettel & Philip, 2008)
Telur diletakkan satu-satu pada dinding bejana. Telur Aedes

aegypti berwarna hitam dengan ukuran + 8 mm, telur ini dapat bertahan

selama 6 bulan di tempat kering atau tanpa air. Telur kemudian akan

menetas menjadi larva dalam kurun waktu dua hari setelah terendam air

(Zuldarisman, 2013).

b. Fase Larva

Proses perkembangbiakan larva sangat tergantung pada suhu,

ketersediaan makanan, dan kepadatan larva dalam kontainer. Larva dalam

pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian

kulit (ecdysis) (Soegijanto, 2006). Menurut Sitio (2008) ada 4 tingkat

(instar) yang harus dilalui larva sebelum berubah menjadi pupa sesuai

dengan pertumbuhan larva tersebut yaitu:

1) Instar I : berukuran paling kecil, yaiu 1-2 mm.

2) Instar II : berukuran 2, 5 -3,8 mm

3) Instar III : berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II

4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Larva nyamuk dapat dibedakan dari larva anggota diptera lainnya

seperti lalat yang larvanya tidak berjungkai. Larva nyamuk memiliki

kepala yang cukup besar dan toraks serta abdomen yang cukup jelas.

Posisi larva Aedes dalam air menggantung vertikal dengan ujung siphon

berada pada permukaan air dan kepala di bawah (Sembel, 2009).


Gambar 2.2. Larva Aedes aegypti
Sumber (Mashoedi, 2007)

Pada air yang agak dingin perkembangan larva lebih lambat,

demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga menghambat

perkembangan larva. Setelah melewati stadium instar ke empat larva

berubah menjadi pupa. Aedes aegypti biasa bergerak lincah dan aktif,

dengan memperlihatkan gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar

wadah secara berulang. Larva Aedes mengambil makanan di dasar wadah,

sehingga larva Aedes aegypti disebut pemakan makanan di dasar (bottom

feeder) larva ini juga menyelam di bawah permukaan apabila merasa

terganggu (Aradilla, 2009).

c. Fase Pupa

Larva instar IV akan berubah menjadi pupa yang berbentuk bulat

gemuk menyerupai koma dengan bagian kepala dada (cephalothorax)

lebih besar daripada bagian perutnya. Terdapat alat pernafasan seperti

terompet pada bagian punggung (dorsal) pupa. Suhu untuk perkembangan

pupa yang optimal sekitar 27-30oC. Pada tahap ini, pupa tidak

memerlukan makanan melainkan udara. Pada stadium pupa ini akan


dibentuk alat-alat tubuh nyamuk seperti sayap, kaki, alat kelamin, dan

bagian tubuh lainnya. Fase ini akan berlangsung selama 2-3 hari dan

kemudian berubah untuk menjadi nyamuk dewasa (Sitio, 2008).

Gambar 2.3. Pupa Aedes aegypti


Sumber (Mashoedi, 2007)

d. Fase Dewasa

Nyamuk dewasa yang baru terbentuk berhenti sejenak di atas

permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya dan kemudian

mengembangkan sayapnya. Nyamuk betina dewasa menghisap darah

sebagai makanannya sedangkan nyamuk jantan mengisap cairan buah-

buahan dan bunga. Nyamuk betina menghisap darah dan tiga hari

kemudian akan bertelur (Sembel, 2009).

Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika dibandingkan

dengan ukuran nyamuk rumah (Culex), mempunyai warna dasar yang

hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badannya, terutama pada

kaki dan dikenal dari bentuk morfologi yang khas sebagai nyamuk yang
mempunyai gambaran lire (Lyre form) yang putih pada punggungnya.

Proboscis bersisik hitam, palpus pendek dengan ujung hitam bersisik putih

pera, serta ukuran sayap sebesar 2,5 3,0 mm bersisik hitam (Sigit &

Hadi, 2006).

Gambar 2.4. Nyamuk Aedes aegypti


Sumber (Mashoedi, 2007)

3. Morfologi Aedes aegypti

Morfologi Aedes aegypti dimulai dari fase telur berwarna putih saat

pertama kali dikeluarkan kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Telur

berbentuk oval dengan panjang + 0,5 mm dan diletakkan pada dinding wadah

(Zuldarisman, 2013). Adapun pada fase larva, ada tiga bagian utama yang

perlu diperhatikan, yaitu kepala, toraks dan abdomen. Diantara ketiga bagian

tersebut, abdomen merupakan organ pencernaan dan tempat pembentukan

telur nyamuk.

Pada bagian ini terdapat corong udara pada segmen terakhir (ruas

kedelapan) dan terdapat sebaris gigi sisir berbentuk khas (comb scale)
sebanyak 8 21 atau berjejer 1 3 yang mempermudah untuk membedakan

antara jentik Anopeles, Aedes dan Culex karena hanya jentik nyamuk aedes

yang memiliki comb scale. Pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai

adanya rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs). Aedes aegypti

memiliki siphon (alat pernafasan) yang pendek pada bagian ekor yang

dilengkapi pecten teeth dan sepasang rambut serta jumbai yang berfungsi

untuk mencegah evaporasi yang berlebihan lewat pori-pori ini (Nasir, 2014).

Sedangkan untuk pupa nyamuk Aedes aegypti berbentuk koma, kepala

dan toraks menjadi satu membentuk sefalotoraks dengan sepasang trompet

respirasi pada bagian dorsalnya (Zuldarisman, 2013). Pada fase nyamuk

dewasa, nyamuk Aedes aegypti terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan

perut. Pada kepala terdapat sepasang antena yang berbulu dan moncong yang

panjang (proboscis) untuk menusuk kulit hewan/manusia dan menghisap

darahnya. Pada dada ada 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap

depan dan sayap belakang yang mengecil yang berfungsi sebagai

penyeimbang (halter) (Soedarto, 1989).

Panjang proboscis pada nyamuk Aedes aegypti berwarna gelap dan di

samping kanan dan kiri proboscis terdapat palpus yang terdiri dari 5 ruas serta

sepasang antena yang terdiri dari 15 ruas. Antena pada nyamuk jantan

berambut lebat dan disebut plumose sedangkan pada nyamuk betina berambut

jarang dan disebut pilose. Sayap nyamuk mempunyai vena yang

permukaannya terdapat sisik-sisik dan letaknya mengikuti vena. Sayap


tersebut berbentuk panjang dan langsing. Nyamuk memiliki 3 pasang kaki

(heksapoda) yang melekat pada toraks dimana setiap kaki terdiri atas 1 ruas

femur, 1 ruas tibia, dan 5 ruas tarsus (Zuldarisman, 2013).

4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

Dalam perkembangan nyamuk Aedes aegypti, sangat perlu

diperhatikan bionomik vektor sebagai upaya dalam perencanaan pengendalian

vektor nyamuk. Bionomik merupakan bagian dari ilmu biologi yang

menerangkan pengaruh antara organisme hidup dengan lingkungannya.

Pengetahuan bionomik nyamuk meliputi stadium pradewasa (telur, jentik,

pupa) dan stadium dewasa. Hal ini menyangkut tempat dan waktu nyamuk

meletakkan telur, perilaku perkawinan, perilaku menggigit (bitting

behaviour), jarak terbang (fly range), perilaku istirahat (resting habit) dari

nyamuk dewasa, dan faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,

iklim, serta curah hujan yang mempengaruhi kehidupan nyamuk (Sitio, 2008).

Nyamuk Aedes aegypti cenderung memilih tempat perkembangbiakan

di tempat-tempat penampungan air. Tempat penampungan yang berupa

genangan air yang tertampung pada suatu tempat di dalam dan sekitar rumah

atau tempat-tempat umum yang jaraknya tidak melebihi 500 meter dari

rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air

yang langsung berhubungan dengan tanah (Zairina, 2008). Jenis tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai

berikut (Arsin, 2013):


a. Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti

drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/ WC, dan ember.

b. Bukan tempat penampungan air (non-TPA), seperti tempat minum burung,

vas bunga, perangkap semut, dan barang-barang bekas.

c. Tempat penampungan air alami, seperti lubang pohon, lubang batu,

pelepah daun, tempurung kelapa, pangkal pohon pisang, dan potongan

bambu.

Nyamuk Aedes aegypti memiliki kebiasaan meletakkan telurnya di

tempat gelap, penampungan air jernih atau sedikit kotor. Nyamuk ini lebih

menyukai di dalam rumah daripada di luar rumah. Nyamuk ini menggigit dan

menghisap darah pada pagi dan sore hari antara pukul 08.00-12.00 dan 15.00-

17.00. Beberapa faktor seperti bau yang dipancarkan inang, temperatur,

kelembaban, kadar karbon dioksida serta warna dapat mempengaruhi

kebiasaan menggigit nyamuk (Soegijanto, 2006).

Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti + 100 meter. Nyamuk ini juga

tahan terhadap suhu panas dan kelembaban yang tinggi (Widoyono, 2005).

Tempat istirahat yang disenangi oleh nyamuk Aedes aegypti adalah tempat

yang lembap, gelap dan sedikit angin. Kebiasaan istirahat lebih banyak di

dalam rumah pada benda-benda yang tergantung (Sutaryo, 2004).

5. Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD. Sampai saat

ini, belum ada vaksin yang efektif untuk mencegah penyakit DBD. Untuk
mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan cara untuk menanggulangi

penyakit DBD melalui pengendalian terhadap vektor penularnya (Soegijanto,

2006). Adapun pengendalian vektor penular penyakit DBD, yaitu:

a. Pengendalian secara Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi artinya pengendalian dilakukan

dengan menggunakan zat kimia. Adapun yang digunakan untuk

mengendalikan vektor penular DBD adalah dengan menggunakan

insektisida yang dapat ditujukan terhadap nyamuk dewasa maupun larva.

Insektisida yang dapat digunakan dapat berasal dari golongan

organochlorine, organophosphor, carbamate, dan pyrethroid. Insektisida

yang umum digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan

organophosphor (temephos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan

dalam air di tempat perindukannya (abatisasi). Sedangkan untuk nyamuk

dewasa dapat digunakan penyemprotan dengan ULV malation

(Soegijanto, 2006).

b. Pengendalian secara Mekanik

Pengendalian dengan cara mekanik dapat dilakukan dengan

penggunaan net atau kawat kasa di rumah serta memakai pakaian yang

dapat melindungi tubuh dari gigitan nyamuk serta dapat pula digunakan

kelambu pada saat tidur untuk memperkecil peluang nyamuk menggigit

manusia (Sembel, 2009).


c. Pengendalian cara Sanitasi

Pengendalian dengan cara sanitasi merupakan pengendalian secara

tidak langsung yaitu dengan membersihkan tempat pembiakan nyamuk

seperti melakukan 3M (menguras, menutup, mengubur). Menguras berarti

membersikan tempat-tempat penampungan air untuk mengeluarkan jentik

nyamuk. Menutup berarti menutup kontainer yang menjadi tempat

penampungan air sehingga nyamuk tidak dapat bertelur pada genangan air

tersebut. Mengubur berarti mengumpulkan kontainer yang dapat

menampung air menjadi tempat pembiakan nyamuk dan menguburnya

(Sembel, 2009).

d. Pengendalian secara Biologis

Pengendalian dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup

baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata maupun hewan

vertebrata untuk mengurangi populasi nyamuk. Salah satu contoh

pengendalian secara biologis yaitu memelihara ikan pemakan jentik

sehingga jentik yang ada tidak dapat berkembang menjadi vektor nyamuk

penular DBD (Soegijanto, 2006).

C. Tinjauan Khusus Tentang Tanaman Jeruk Manis

1. Taksonomi Tanaman Jeruk Manis

Jeruk manis merupakan salah satu komoditas pertanian. Disebut jeruk

manis karena memiliki rasa yang manis serta ada juga yang rasanya manis

disertai seikit asam. Jeruk manis ditanam di daerah 20-40oLU dan 20-40oLS.
Di daerah subtropis, ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 650 dpl,

sedangkan di daerah khatulistiwa dapat ditanam sampai ketinggian 2000 m

dpl. Temperatur optimal pertumbuhannya antara 25-30oC (Sembiring, 2011).

Tanaman jeruk rata-rata berbunga sepanjang tahun, karena bunganya

tidak mengenal musim, sehingga buahnya tersedia setiap saat. Umur tanaman

jeruk yang dibudidayakan dengan baik, maksimal dapat mencapai umur 10-15

tahun. Setelah mencapai umur tersebut dapat dilakukan peremajaan kembali.

Apabila syarat-syarat penanaman yang baik dilaksanakan, jeruk sudah bisa

dipanen dalam jangka waktu 3 tahun walaupun hasilnya masih sedikit. Dalam

waktu 5 tahun, buah telah cukup banyak (Napitupulu, H.A., 2010). Tanaman

jeruk manis memiliki nama lain jeruk peras atau sunkis merupakan tanaman

dengan nama ilmiah Citrus aurantium sub spesies sinensis, adapun taksonomi

dari tanaman ini, yaitu (Switaning, dkk, 2010):

a. Kingdom : Plantae

b. Divisi : Magnoliphyta

c. Kelas : Magnoliopsida

d. Ordo : Rutales

e. Famili : Rutaceae

f. Genus : Citrus

g. Spesies : Citrus aurantium sub spesies sinensis


2. Morfologi Tanaman Jeruk Manis

a. Buah Jeruk Manis

Buah jeruk manis merupakan jenis berry dengan ukuran yang lebih

besar. Buah jeruk berbentuk bulat dengan tekstur kulit yang halus tidak

berbulu, dan agak sedikit mengkilap. Diameter buah jeruk berkisar dua

sampai tiga inchi (Milind & Chaturvedi, 2012).

Gambar 2.5. Buah dan Isi Jeruk Manis


Sumber (www.uniprot.org dan Switaning, dkk, 2010)

b. Kulit Jeruk Manis

Ketebalan kulit buah jeruk manis berkisar 0,3-0,5 cm, dari tepi

berwarna kuning, oranye, hijau kekuningan, dan semakin ke dalam

berwarna putih kekuningan hingga betul-betul putih, berdaging, dan kuat

melekat pada dinding buah (Pracaya, 1992 dalam Switaning, dkk, 2010 ).

Gambar 2.6. Kulit Buah Jeruk Manis Tua dan Muda


Sumber (Milind & Chaturvedi, 2012 dan Switaning, dkk, 2010)
Morfologi dari tanaman Jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies

sinensis), yaitu (Kartasapoetra, 1988 dalam Switaning, dkk, 2010) :

1) Bentuk kepingan spiral serta ada pula yang berbentuk panjang.

2) Permukaan luar berwarna coklat agak kekuning-kuningan dan adapula

yang berwarna coklat jingga dengan ketebalan + 3 mm.

3) Permukaan dalam rata dan berwarna coklat jingga.

4) Terdapat sedikit jaringan bunga karang dan apabila kulit dipatahkan

maka akan tampak rongga-rongga minyak yang bergaris tengah + 1

mm.

3. Kandungan Kimia pada Air Perasan Kulit Jeruk Manis

Kulit jeruk manis mengandung zat toksik yang dapat menghambat

perkembangbiakan larva. Adapun kandungan kimia yang terdapat dalam kulit

jeruk manis yaitu saponin, tanin, flavonoid, sitronela, dan limonoid (Sari,

2008 dalam Wati, 2010).

a. Saponin

Saponin termasuk golongan senyawa triterpenoid yang dapat

digunakan sebagai insektisida. Saponin memiliki kemampuan merusak

membran tubuh larva. Saponin dapat menyebabkan destruksi saluran

pencernaan larva dengan cara menurunkan tegangan permukaan sehingga

selaput mukosa saluran pencernaan menjadi korosif. Hal ini

mengakibatkan penurunan aktivitas enzim pencernaan serta penyerapan

makanan sehingga bersifat sebagai racun perut (Nopianti, 2008).


Adapun sifat-sifat saponin adalah sebagai berikut (Wati, 2010) :

1) Memiliki rasa yang pahit

2) Membentuk busa yang stabil dalam larutan air

3) Menghemolisa eritrosit

4) Menjadi racun yang kuat untuk ikan dan amfibi

5) Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid

lainnya

6) Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi

7) Analisis hanya menghasilkan formula empiris yang mendekati dan

berat molekulnya relatif tinggi

8) Sifat toksiknya berfungsi menurunkan tegangan permukaan (surface

tension)

b. Tanin

Tanin merupakan sumber asam pada buah serta merupakan

substansi yang tersebar dalam tanaman seperti pada kulit buah, daun, buah

yang belum matang, batang, dan kulit kayu. Adapun sifat-sifat tanin, yaitu

dalam air dapat membentuk larutan koloidal yang bereaksi asam dan

sepat, tidak dapat mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya dan

bersenyawa dengan protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh

enzim proteolitik, mengendapkan larutan gelatin, dan larutan alkaloid

serta mampu mengoksidasi oksigen (Wati, 2010).


Mekanisme kerja tanin hampir sama dengan saponin. Tanin dapat

mengganggu proses pencernaan makanan dari serangga karena tanin

mampu mengendapakan protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan

serangga untuk proses pertumbuhannya (Yunita, dkk, 2009 dalam

Setiawan, 2010).

c. Flavonoid

Senyawa flavonoid merupakan zat warna merah, ungu, dan biru

dan sebagai warna kuning yang ditemukan dalam tumbuhan. Senyawa

flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan

di alam (Wati 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinata

(2008) menyatakan flavonoid dapat mempengaruhi sistem pernapasan

larva karena masuk melalui siphon yang berada di permukaan air.

Senyawa flavonoid kemudian menimbulkan kelayuan pada saraf serta

kerusakan pada siphon yang mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan

menyebabkan kematian pada larva.

d. Sitronela

Senyawa sitronela yang terdapat dalam minyak atsiri memiliki

sifat toksik terhadap larva. Mekanisme kerja sitronela yaitu senyawa ini

masuk ke dalam tubuh larva melalui kulit, celah atau lubang alami pada

tubuh atau langsung mengenai mulut larva sehingga akan mengakibatkan

larva kehilangan cairan secara terus-menerus (Switaning, dkk, 2010).


e. Limonoid

Limonoid adalah salah satu senyawa pada kulit jeruk manis yang

bersifat racun bagi larva. Limonoid dapat menyebar ke jaringan saraf dan

mempengaruhi fungsi saraf. Hal ini mengakibatkan terjadinya aktifitas

mendadak pada saraf pusat sehingga dapat menyebabkan larva kejang

(Wati, 2010).

Tabel 2.1
Efektivitas Kulit Jeruk Manis Terhadap Larva Aedes aegypti

Peneliti dan
Metode
No Judul Variabel Hasil Penelitian
Penelitian
Penelitian
1 Fatna Andika Variabel bebas Jenis penelitian yang Air perasan kulit
dalam penelitian digunakan adalah
Wati (2010). jeruk manis (Citrus
ini adalah air eksperimental
Pengaruh Air perasan kulit jeruk laboratorium dengan aurantium sub
manis, variabel cara pengambilan
Perasan Kulit spesies sinensis)
terikat adalah sampel
Jeruk Manis jumlah kematian menggunakan cara berpengaruh terhadap
larva Aedes Simple Random
(Citrus tingkat kematian
aegypti instar III , Sampling (SRS).
aurantium sub variabel kendali Besar sampel yang larva Aedes aegypti
adalah stadium digunakan dalam
spesies sinensis) instar III In vitro
larva instar III, penelitian ini adalah
terhadap media hidup, 1.025 ekor dengan dengan LC50 sebesar
kepadatan larva, dosis 0%, 0,5%,
Tingkat 0,964% dan LC99
lama pemaparan 1,0%, 1,5%, 2,0%
Kematian Larva selama 24 jam dan 2,5%. sebesar 4,064%.
Pengulangan
Aedes aegypti Dosis abate sebesar 1
dilakukan sebanyak
Instar III In 5 kali. mg/100 ml dapat
Vitro membunuh larva
selama 24 jam dalam
1 x24 jam dengan 5
kali ulangan

2 A.A.S. Amusan, Variabel bebas Jenis penelitian yang 1. Ekstrak minyak kulit
dalam penelitian digunakan adalah jeruk manis tersusun
A.B. Idowu dan
ini adalah ekstrak eksperimental murni atas bahan-bahan yang
F.S.Arowolo minyak daun teh dengan dapat membunuh
dan kulit jeruk. menggunakan uji-t serangga dan larva
(2005).
Variabel terikat untuk tetapi bersifat low
Comparative dalam penelitian membandingkan toxicity untuk mamalia.
ini adalah larva efek toksik kedua 2. Ekstrak minyak kulit
Toxicity Effect
nyamuk Aedes ekstrak pada larva jeruk manis
of Bush Tea aegypti Aedes aegypti. mengakibatkan angka
Sampel penelitian kematian tertinggi pada
Leaves (Hyptis
adalah larva Aedes konsentrasi 0,8 ppm
suaveolens) and aegypti instar III. 995%) dan 0,3 ppm
Konsentrasi yang (90%).
Orange
digunakan yaitu 0,9 3. Rata-rata lethal dose
Peel(Citrus ppm, 0,8 ppm, 0,7 untuk LD10 adalah 0,15
ppm, 0,6 ppm, 0,5 ppm, LD50 adalah 0,4
sinensis) Oil
ppm, 0,4 ppm, 0,3 ppm dan LD90 adalah
Extract on ppm, 0,2 ppm 0,9 ppm.
dengan empat kali
Larvae of the
replikasi.
Yellow Fever
Mosquito Aedes
aegypti
D. Tinjauan Khusus Tentang Temephos

Salah satu pengendalian vektor penular penyakit demam berdarah dengue

(DBD) adalah dengan pengendalian secara kimiawi menggunakan abate

(temephos 1%). Temephos merupakan larvasida yang berfungsi untuk

memberantas larva Aedes sp (Lawrens, dkk, 2014).

Gambar 2.7. Kemasan dan Isi Temephos 1%


Sumber (India Mart, 2014 dan Bisnis Bali, 2005)

Temephos relatif aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan pada

manusia. Namun apabila digunakan pada dosis yang tidak sesuai maka akan

mengakibatkan overstimulasi sistem saraf sehingga akan terjadi pusing, mual dan

kebingungan. Pada pajanan yang tinggi dapat mengakibatkan paralise nafas dan

kematian (EPA, 2001).

1. Spesifikasi Temephos

Temephos merupakan salah satu dari beberapa organofosfat yang

terdaftar untuk mengendalikan larva nyamuk dan merupakan satu-satunya

organofosfat dengan penggunaan larvasida yang diizinkan. Residu temephos


tidak berbahaya apabila ditemukan di dalam air selama dosis yang digunakan

tidak melebihi batas (EPA, 2001). Dosis temephos pada program abatesasi

nasional adalah 10 gram/100 liter air. Temephos dapat menimbulkan resisten

terhadap larva apabila tidak menggunakan dosis yang sesuai (Lauwrens, dkk,

2014).

Temephos terbuat dari empat lbs/gallon EC, 50% serbuk terdispersi

dalam air (WDP), 1 SG insektisida (high-density butiran pasir yang dirancang

untuk mengendalikan larva nyamuk pada vegetasi yang padat), 2 G

insektisida, 5 G insektisida (low-density butiran untuk pengendalian serangga

pada perairan terbuka dan di sepanjang pantai). Bentuk-bentuk temephos

antara lain (Raharjo, 2006) :

a. Bentuk Sand Granules

Temephos dalam bentuk sand granules berbentuk pasir, berwarna

putih kecoklatan dan mengandung 1% bahan aktif abate (thiodi phenylene

dan phasphorethiac) dan 99% inert ingredients, bentuk SG 1% ini

umumnya dipakai untuk pemberantasan larva nyamuk.

b. Bentuk Emulsifiable Concentrate

Temephos ini berbentuk larutan serta mengandung bahan aktif

abate 50%-90%.

c. Bentuk Technical Grade

Temephos ini berbentuk cairan kental dan mengandung bahan aktif

abate murni sebanyak 85%-90%.


d. Temephos murni

Temephos murni tersusun atas O,O,O,OTetramethyl O,O-

thiodip,-phenylenephosphorothioate minimum 85% dengan warna cairan

minyak jernih kekuning-kuningan.

2. Sifat Kimia dan Fisika Temephos

Berdasarkan jurnal penelitian Nurhaeni (2011), sifat fisika dan kimia

temephos yaitu :

a. Berat molekul 466

b. Bahan asli atau murni berbentuk kristal dan berwarna putih, bentuk

technical grade berupa cairan kental yang mengandung bahan kristal

padat

c. Kemurnian technical grade minimum harus mengandung bahan aktif

sebesar 90%

d. Titik didih dari technical grade berkisar 120oC 125oC

e. Titik leleh untuk bentuk kristal padat berkisar 30oC 35oC

f. Larut dalam acetonitrile, carbon tetra chloride, diethyl ether, ethylene

dichloride, alkil ketone, dan toluene.

g. Stabil pada suhu 25oC selama 2 tahun namun akan cepat rusak pada

temperature 120oC 125oC. Temephos akan stabil dengan baik dalam air

jernih atau sedikit garam.


h. Pada pH 9 hidrolisa dapat terjadi namun dalam waktu yang sangat lama

sedangkan pada suasana asam (pH di bawah 2) hidrolisa akan cepat terjadi

dan temephos akan mengalami kerusakan.

3. Mekanisme Kerja Tempehos

Metabolisme temephos yaitu pada gugus phosphorothioat dalam tubuh

binatang diubah menjadi fosfat yang lebih potensial sebagai

anticholineesterase. Larva Aedes aegypti dapat mengubah phosphorothioat

menjadi fosfat ester lebih cepat dibandingkan lalat rumah, temephos diubah

menjadi produk-produk metabolisme, dimana sebagian produk metabolik

tersebut diekskresikan ke dalam air (Raharjo 2006).

Berbagai uji coba di laboratorium dan lapangan menyebutkan bahwa

dosis 1 gram temephos 1% pada 10 liter air sangat efektif dan memiliki efek

residual selama minimal 1 bulan. Hal ini terjadi karena mekanisme kerja

temephos yang ditaburkan ke dalam wadah sampai ke dasar wadah dan akan

pecah sehingga racun di dalamnya akan keluar kemudian sebagian menempel

pada dinding bejana sampai pada batas permukaan air dan sebagian larut

dalam air (Nurhaeni, 2011).


Tabel 2.2
Efektivitas Temephos Terhadap Larva Aedes aegypti
No Peneliti dan
Metode
Judul Variabel Hasil Penelitian
Penelitian
Penelitian
1 Yohanes Didik Variabel bebas Jenis penelitian 1. Efektifitas temephos
dalam penelitian eksperimental (Abate 1G) yang
Setiawan, Zainal
ini yaitu dengan rancangan terdapatdi pasaran
Fikri (2014). larvasida post test only (apotik) dan puskesmas
temephos (abate control group mempunyai daya bunuh
Efektifitas
1g). Variabel design (efektivitas) yang sama
Larvasida terikat yaitu terhadap nyamuk di
kematian wilayah desa
Temephos
nyamuk Aedes Panggungharjo,
(Abate 1g) ageypti. kecamatan Sewon,
kabupaten Bantul,
Terhadap
Yogyakarta
Nyamuk Aedes 2. Efektifitas temephos
(Abate 1G) yang terdapat
aegypti
di pasaran (apotik) dan
Kecamatan puskesmas daya bunuh
(efektivitas) yang sama
Sewon
terhadap nyamuk di
Kabupaten wilayah desa
Bangunharjo, kecamatan
Bantul DIY
Sewon, kabupaten Bantul,
Tahun 2013 Yogyakarta.

2 Florensia Variabel bebas Jenis penelitian Dosis abate yang


dalam penelitian eksperimental
I.J.Lauwrens, mempunyai pengaruh
ini yaitu dosis laboratorium
G.J. Wahongan, abate. Variabel dengan rancangan dan dapat membunuh
terikat yaitu studi analitik
J.B Bernadus jentik nyamuk Aedes
jumlah populasi bivariat selama
(2014). Pengaruh nyamuk Aedes bulan September spp dimulai dari
spp. 2013-Januari 2014.
Dosis Abate 100mg/1L air dan daya
Dosis abate yang
Terhadap Jumlah digunakan, yaitu 50 bunuh paling cepat
Populasi Jentik mg/L, 100 mg/L, didapatkan dari dosis
200 mg/L, 300
Nyamuk Aedes 400mg/L-500mg/L air.
mg/L, 400 mg/L,
spp di 500 mg/L. Besar Dosis abate 50mg/L
sampel didapatkan
Kecamatan tidak mempunyai
dengan
Malalayang Kota menggunakan pengaruh dan tidak
rumus Uji-T
Manado dapat membunuh
berpasangan besar
sampel adalah 76. jentik nyamuk Aedes
spp.
3 Rasyid Ridha Variabel bebas Jenis penelitian ini 1. Pada konsentrasi
dalam penelitian adalah eksperimen terendah (0,005 mg/L)
dan Khairatun
ini yaitu murni. Larva yang persentase kematian
Nisa (2011). temephos dalam digunakan adalah larva Ae. aegypti secara
berbagai variasi larva Aedes aegypti in vitro hanya 39% dan
Larva Aedes
dosis. Variabel instar III dan IV. pada konsentrasi
aegypti Sudah terikat yaitu Jumlah sampel diagnosa WHO (0,020
kerentanan larva sebanyak 700 ekor mg/L) persentase
Toleran teradap
Aedes ageypti. larva dengan dosis kematian mencapai 95%
Temephos di 0,005 mg/L, 0,010 sehingga status
mg/L, 0,015 mg/L, kerentanan larva Ae.
Kota Banjarbaru,
0,020 mg/L, 0,025 aegypti di Kota
Kalimantan mg//L, dan 0,03 Banjarbaru Propinsi
mg/L dilakukan 4 Kalimantan Selatan
Selatan
kali ulangan. Tahun 2011 secara in
vitro tergolong kedalam
status toleran terhadap
Larvasida Temephos
(Abate).
2. LD99 temephos (Abate)
terhadap larva Ae.
aegypti di daerah
Endemis DBD Kota
BanjarbaruPropinsi
Kalimantan Selatan
Tahun 2011 secara in
vitro adalah 0,027
dengan range antara
0,020 sampai 0,048.
Tabel 2.3
Perbandingan Efektivitas Larvasida Alami dan Temephos Terhadap
Larva Aedes aegypti

No Peneliti dan Metode


Variabel Hasil Penelitian
Judul Penelitian Penelitian
1 Arif Dwi Variabel bebas Jenis penelitian Konsentrasi untuk
yaitu pemberian yaitu eksperimen
Nugroho (2011). mematikan 90% larva
abate dan dengan rancangan
Kematian Larva serbuk serai. post test only Aedes aegypti adalah
Variabel terikat control group
Aedes aegypti sebesar 730mg/100
yaitu kematian design. Dengan
Setelah larva Aedes sampel larva mL selama perlakuan
aegypti. Aedes aegypti
Pemberian Abate 24 jam. Rata rata
instar III dan IV
Dibandingkan berjumlah 400 jumlah kematian larva
ekor larva.
Dengan Aedes aegypti setelah
Pemberian pemberian abate
Serbuk Serai (temephos) adalah 25
(100%) kematian dan
setelah pemberian
serbuk serai
(Andropogon nardus)
adalah 20,50 (82%)
kematian. Sehingga
dapat disimpulkan ada
perbedaan yang
signifikan antara
jumlah kematian larva
Aedes aegypti setelah
pemberian abate
(temephos)
dibandingkan dengan
pemberian serbuk
serai (Andropogon
nardus), dapat dilihat
dari hasil uji
independent t-test,
dimana nilai p=0,002
(p< 0,05).
2 Nurhaeni (2011). Variabel bebas Jenis penelitian 1. Rata-rata populasi
dalam penelitian quasi eksperimen mortalitas larva Aedes
Perbandingan
ini adalah abate dengan rancangan aegypti pada kelompok
Efektifitas Abate dan air perasan post test only perlakuan abate adalah
buah mengkudu. control group 19 ekor (95%).
dan Air Perasan
Variabel terikat design. Percobaan 2. Rata-rata populasi
Buah Mengkudu adalah dilakukan mortalitas larva Aedes
mortalitas larva sebanyak 3 kali aegypti pada kelompok
(Morinda
Aedes aegypti. dengan 180 larva perlakuan air perasan
Citrifolia L.) Aedes aegypti buah mengkudu sebesar
instar III dan IV. 17 ekor (85%).
terhadap
Mortalitas Larva
Aedes aegypti
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Penggunaan insektisida sebagai larvasida merupakan cara yang dapat

digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor nyamuk

Aedes aegypti dalam hal ini larvasida dapat mmutus rantai perkembangbiakan

vektor nyamukk Aedes aegypti pada fase larva. Ada berbagai macam larvasida

yang dapat digunakan, larvasida yang paling umum digunakan masyarakat adalah

temephos 1%, larvasida ini juga digunakan pada program abatesasi nasional.

Selain temephos dapat pula digunakan larvasida alami yaitu air perasan kulit jeruk

manis.

Adapun variabel-variabel yang termasuk dalam pola pikir penelitian, antara

lain :

1. Kematian Larva Aedes aegypti

Kematian larva Aedes aegypti berhubungan dengan angka bebas jentik

(ABJ) yang merupakan salah satu indikator kesehatan di Indonesia. Semakin

besar jumlah kematian larva berarti semakin tinggi ABJ di suatu wilayah

begitu pula sebaliknya.

2. Air Perasan Kulit Jeruk Manis

Pemberian air perasan kulit jeruk manis diharapkan dapat memberikan

peningkatan terhadap kematian larva. Sebagai larvasida, air perasan kulit


jeruk manis pada dosis tertentu dapat meningkatkan daya bunuh terhadap

larva sehingga penularan DBD akibat tersedianya vektor penular dapat

ditekan. Dosis yang digunakan pada uji pendahuluan yaitu 1%, 2%, 3%, 4%,

5% kemudian pada uji sebenarnya digunakan dosis LC95 yang telah

didapatkan pada uji pendahuluan.

3. Temephos

Temephos 1% sebagai larvasida kimiawi merupakan bagian dari

program pemberantasan massal Aedes aegypti di Indonesia. Penggunaan

temephos pada genangan air dapat menimbulkan gangguan aktivitas syaraf

pada larva serta mengganggu proses pernapasan larva Aedes aegypti. Dosis

temephos yang digunakan pada uji pendahuluan adalah 0,5 mg/L, 1 mg/L, 1,5

mg/L, 2,0 mg/L, dan 2,5 mg/L lalu pada uji sebenarnya digunakan dosis LD95

yang telah didapatkan pada uji pendahuluan.

Berdasarkan studi pustaka yang disusun pada kerangka teori mengenai

fungsi temephos dan air perasan kulit jeruk manis sebagai larvasdia dalam

mengurangi kepadatan larva Aedes aegypti maka dijabarkan secara rinci

penjelasan dari tiap variabel sebagai berikut :


Faktor lingkungan Faktor prilaku Faktor sosial ekonomi
a. a. Keadaan lingkungan a. Kebiasaan masyarakat a. Pendidikan keluarga
b. b. Fasilitas TPA b. Pengetahuan dan sikap b. Pekerjaan keluarga
c. Anjuran Pencegahan c. Jumlah anggota keluarga

Kejadian DBD
Prilaku bertelur nyamuk
Aedes aegypti

Kepadatan telur

Kepadatan larva Kelangsungan


hidup larva

Kepadatan pupa
Hidup Mati

Vektor Nyamuk Penggunaan insektisida


a. Kepadatan
b.Umur Nyamuk
Temephos Air perasan kulit
c. Frekuensi Gigitan
1% jeruk manis

Agen (Virus
dengue)

Gambar 3.1. Kerangka Teori Faktor yang Berperan dalam Kejadian DBD
Modifikasi (Dwinata, 2012) (Arsin, 2013)
B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti

Kelompok
I (kontrol)

Kelompok II
(Pemberian - LC95 untuk
Selang
Air Perasan air perasan waktu
Kulit Jeruk Mortalitas kulit jeruk Mortalitas 15,30,45
Manis) larva
manis larva Aedes ,60,120, LT95
1%, 2%, 3%, Aedes
- LD95 untuk aegypti 240,480,
4%, 5%
aegypti 1440
temephos
menit

Kelompok III
(Pemberian
temephos 1%)
0,5 mg/L, 1,0
mg/L, 1,5 mg/L, 1. Suhu
2,0 mg/L, dan 2. pH
2,5 mmg/L

Keterangan :

: Variabel Bebas : Variabel Terikat

: Variabel Kendali
\
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Larva Aedes aegypti

Yaitu larva Aedes aegypti yang diambil dari beberapa tempat

penampungan air masyarakat lalu dibiakkan mencapai instar III/IV sehat

(bergerak aktif) yang telah berumur 3-5 hari setelah telur menetas dimana

menurut WHO (2005), jumlah larva yang digunakan dalam penelitian adalah

25 ekor dan dibiakkan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

2. Air Perasan Kulit Jeruk Manis

Yaitu kulit jeruk manis yang dipotong-potong kemudian dicampurkan

dengan air dengan dosis 100 gr kulit jeruk manis dicampurkan dengan 100 ml

akuades lalu diblender. Hasil blender kemudian diperas dan disaring lalu

diambil airnya.

Efektif : Apabila air perasan kulit jeruk manis dalam dosis yang

diberikan dapat membunuh antara > 95 % larva Aedes

aegypti (WHO, 2005).

Tidak efektif : Apabila tidak memenuhi kriteria di atas.

3. Temephos

Yaitu larvasida sintesis yang umum digunakan oleh masyarakat dalam

bentuk sand granules dengan bahan aktif 1% sebagai larvasida khususnya

untuk membunuh larva Aedes aegypti.


Efektif : Apabila temephos dalam dosis yang diberikan dapat

membunuh antara > 95 % larva Aedes aegypti (WHO,

2005).

Tidak efektif : Apabila tidak memenuhi kriteria di atas.

4. Mortalitas Larva Aedes aegypti

Yaitu kematian larva Aedes aegypti akibat pemberian larvasida (air

perasan kulit jeruk manis dan temephos) dimana larva tidak lagi bergerak

maupun memberi respon terhadap rangsang.

D. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Nol (Ho)

Tidak ada perbedaan efektivitas antara air perasan kulit jeruk manis

dan temephos terhadap mortalitas larva Aedes aegypti.

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada perbedaan efektivitas antara air perasan kulit jeruk manis dan

temephos terhadap mortalitas larva Aedes aegypti.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental murni (true experiment) dengan

rancangan penelitian post-test only with control group design, dimana tidak

dilakukan pre test terhadap larva Aedes aegypti yang digunakan sebagai objek

percobaan dalam penelitian ini, dengan kata lain kondisi awal dianggap sama.

Studi eksperimental merupakan rancangan penelitian yang digunakan untuk

mencari hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship). Studi eksperimental

memiliki kapasitas asosiasi yang lebih tinggi. Studi eksperimental terbagi atas

studi pra-eksperimental (pre experimental studies), kuasi-eksperimental (quasi-

eksperimenta studies), dan eksperimental murni (true experimental studies)

(Sastroasmoro & Sofyan, 2011).

True experimental studies merupakan desain terkuat untuk

memperlihatkan hubungan sebab akibat. Desain ini ditandai dengan adanya

randomisasi (faktor konstan dalam pemilihan kelompok, baik kelompok

eksperimental maupun kelompok kontrol). Post-test Only with Control Group

Design berarti tidak diadakan pretes karena sampel yang telah dirandomisasi

dianggap sama sebelum dilakukan perlakuan.

Percobaan terdiri dari empat perlakuan dimana kelompok pertama

(kelompok I) tidak diberi perlakuan apapun dengan kata lain kelompok ini
merupakan kelompok kontrol dari percobaan. Kelompok kedua (kelompok II)

diberi air perasan kulit jeruk manis. Kelompok ketiga (kelompok III) diberi

temephos 1%. Kelompok keempat (kelompok IV) diberi kulit jeruk manis. Air

yang digunakan sebagai media adalah air sumur bor dimana air sumur bor tidak

memiliki kandungan kaporit yang dapat mengganggu perkembangbiakan larva.

Sebelum digunakan sebagai media pada uji yang akan dilakukan, terlebih dahulu

dilakukan penyaringan terhadap air sumur bor menggunakan penyaring kain agar

padatan terlarut dapat dipisahkan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah hasil perkembangbiakan larva

Aedes aegypti yang diambil di daerah dengan angka bebas jentik (ABJ) di

bawah 95%.

2. Sampel

Dilakukan homogenitas awal terhadap sampel larva Aedes aegypti

dengan mengambil F1 dari larva yang didapatkan di rumah warga Kelurahan

Pampang. Sampel dalam penelitian ini adalah larva Aedes aegypti instar III-IV

yang bergerak aktif dengan umur 3-5 hari . Sampel dipilih secara random dari

sampel larva yang telah dibiakkan menggunakan metode rancangan acak


lengkap (RAL) dimana prinsip penggunaan RAL sama dengan penggunaan

metode simple random sampling, namun RAL umumnya digunakan untuk

pengacakan sampel dalam studi ekperimen. Besar sampel yang digunakan

adalah sebanyak 25 larva setiap perlakuan. Diberikan empat perlakuan pada

larva Aedes aegypti yaitu kontrol, pemberian air perasan kulit jeruk manis,

kulit jeruk manis tanpa perasan dan pemberian temephos 1%. Adapun jumlah

replikasi didapatkan dengan menggunakan rumus Federer, sebagai berikut:

(t-1) (r-1) > 15

Keterangan :

t = Jumlah Perlakuan r = Jumlah Replikasi

Sehingga :

(t-1) (r-1) > 15

(4-1) (r-1) > 15

3 (r-1) > 15

3r-3 > 15

r>6

Maka jumlah replikasi minimum adalah 6 kali. Penelitian dilakukan

dengan 4 perlakuan pada yang masing-masing dilakukan 10 kali replikasi.

Total sampel larva yang digunakan berjumlah 1450 larva. Rentan waktu untuk

pemeriksaan sebenarnya dalam melihat jumlah kematian larva adalah 1 x 24

jam dengan waktu kematian dicatat setiap 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60

menit, 120 menit, 240 menit, 480 menit, dan 1440 menit (WHO, 2005).
Pemantauan kematian tiap pembagian waktu tertentu dilakukan untuk

menentukan LT95 dari larva Aedes aegypti.

D. Metode Pengukuran

1. Untuk mengukur dosis air perasan kulit jeruk manis digunakan satuan persen

(%).

2. Untuk mengukur dosis kulit jeruk manis digunakan satuan gram.

3. Untuk mengukur dosis temephos digunakan satuan mg/l.

4. Untuk mengetahui suhu air dengan satuan oC dan pH air.


E. Alur Penelitian

Larva Aedes

Pemeliharaan larva Aedes menjadi nyamuk dewasa

Identifikasi spesies nyamuk Aedes aegypti

Pemeliharaan nyamuk hingga menghasilkan F1 larva instar III/IV

Randomisasi sampel

25 ekor larva dimasukkan dalam wadah berisi 1 L air

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

Diamati dan dicatat waktu dan jumlah larva yang mati setiap
15, 30, 45, 60, 120, 240, 480, dan 1440 menit

Suhu air dan pH air diukur

Dilakukan 10 kali replikasi

Dihitung LT95 dan dicari korelasi antara pemberian larvasida terhadap


mortalitas larva Aedes aegypti

Keterangan :

Kelompok I : Kelompok kontrol (tidak diberi larvasida)


Kelompok II : Diberi air perasan kulit jeruk manis sebanyak nilai LC95

yang didapat pada uji pendahuluan

Kelompok III : Diberi temephos sebanyak nilai LD95 yang didapat pada

uji pendahuluan

Kelompok IV : Diberi kulit jeruk manis sebanyak nilai LD95 yang didapat

pada uji pendahuluan

Adapun prosedur penelitian secara rinci dapat dilihat di bawah ini :

1. Tahap penangkapan dan pembiakan larva Aedes aegypti

a. Larva dipipet menggunakan pipet tetes dari beberapa tempat

penampungan air masyarakat dan disimpan di dalam botol plastik.

b. Larva dipindahkan ke nampan dan diberi makanan larva.

c. Apabila telah menjadi pupa, larva dipindahkan ke dalam gelas plastik lalu

dimasukkan ke dalam kandang.

d. Larva berkembang biak menjadi nyamuk lalu bertelur.

e. Telur nyamuk dikeluarkan dari wadah dan dipindahkan ke dalam nampan.

2. Tahap pembuatan air perasan kulit jeruk manis

a. 100 gr kulit jeruk manis dicuci bersih dengan air mengalir untuk

menghilangkan kotoran yang menempel dan diangin-anginkan.

b. Kulit tersebut diiris kecil-kecil untuk mempermudah dalam memperoleh

hasil perasan.
c. Irisan itu dilarutkan dengan 100 ml akuades dan dilumatkan dengan

blender. Dengan kata lain, perbandingan antara kulit jeruk manis dan

akuades adalah 1 : 1.

d. Hasilnya diperas dan disaring dengan saringan plastik yang dilapisi kain,

kemudian berikutnya dengan kertas saring.

3. Tahap uji penelitian

a. Siapkan 18 wadah plastik yang telah diisi air sebanyak 1 liter pada uji

pendahuluan.

b. Ditentukan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis sebesar 0%, 1%, 2%,

3%, 4%, dan 5%.

c. Air perasan kulit jeruk manis diambil dengan pipet ukur lalu dimasukkan

ke dalam wadah.

d. Larva dipipet sebanyak 25 ekor pada masing-masing wadah.

e. Catat waktu kematian larva dalam waktu 24 jam.

f. Nilai LC95 dihitung dan digunakan pada uji sebenarnya.

g. Ditentukan dosis temephos 1% sebesar 0 mg/L, 0,5 mg/L, 1,0 mg/L, 1,5

mg/L, 2,0 mg/L, dan 2,5 mg/L.

h. Temephos 1% dimasukkan ke dalam wadah sesuai konsentrasi yang telah

ditentukan dengan menggunakan pipet tetes.

i. Larva dipipet sebanyak 25 ekor pada masing-masing wadah.

j. Catat waktu kematian larva dalam waktu 24 jam.

k. Nilai LD95 dihitung dan digunakan pada uji sebenarnya.


l. Ditimbang konsentrasi kulit jeruk manis yang akan digunakan pada uji

pendahuluan dimana variasi dosis yang digunakan adalah 0 gr, 10 gr, 20

gr, 30 gr, 40 gr, dan 50 gr.

m. Larva dipipet sebanyak 25 ekor pada masing-masing wadah.

n. Catat waktu kematian larva dalam waktu 24 jam.

o. Nilai LD95 dihitung dan digunakan pada uji sebenarnya.

p. Dalam uji sebenarnya disiapkan 4 wadah yang berisi 1 liter air.

q. Kelompok kontrol (kelompok I) yang tidak diberi perlakuan disiapkan

dan diisi larva sebanyak 25 ekor.

r. Catat waktu kematian setiap 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 120

menit, 240 menit, 480 menit, dan 1440 menit (WHO, 2005).

s. Kelompok II diberikan air perasan kulit jeruk manis pada dosis sebesar

dosis yang didapatkan untuk LD95.

t. Larva Aedes aegypti sebanyak 25 ekor dimasukkan ke dalam wadah.

u. Catat waktu kematian setiap 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 120

menit, 240 menit, 480 menit, dan 1440 menit (WHO, 2005).

v. Kelompok III diberikan temephos 1% yang telah ditimbang sebanyak

dosis LD95.

w. Pipet 25 larva Aedes aegypti ke dalam masing-masing wadah.

x. Catat waktu kematian setiap 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 120

menit, 240 menit, 480 menit, dan 1440 menit (WHO, 2005).

y. Suhu, pH, dan salinitas pada tiap wadah diukur dan dicatat.
z. Kelompok IV diberikan kulit jeruk manis yang telah ditimbang sebanyak

dosis LD95.

aa. Pipet 25 larva Aedes aegypti ke dalam masing-masing wadah.

bb. Catat waktu kematian setiap 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 120

menit, 240 menit, 480 menit, dan 1440 menit (WHO, 2005).

cc. Suhu dan pH pada tiap wadah diukur dan dicatat.

dd. Setelah 1 x 24 jam larva yang mati dikeluarkan dan air diganti.

ee. Lakukan langkah p - ee hingga mencapai pengulangan 10 kali.

F. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Dalam penelitian ini proses pengumpulan data diperoleh dari hasil

pencatatan yang dilakukan selama penelitian berlangsung.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber berupa buku, jurnal

penelitian, artikel ilmiah, dan hasil penelitian sebelumnya (KTI, skripsi, dan

tesis) dengan cara mengutip langsung maupun browsing dari internet untuk

mendukung jalannya penelitian.

G. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari kelompok perlakuan dianalisa menggunakan

analisis komputerisasi, dimana terdapat tiga analisis statistik yang digunakan yaitu

analisis probit, uji anova, dan uji independent-t- sample.


1. Analisis probit merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengetahui

probabilitas yang digunakan untuk memberi pengaruh terhadap sampel yang

digunakan dengan persentase tertentu. Dalam penelitian Wati (2010), analisis

probit digunakan untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi atau dosis

larvasida yang digunakan untuk membunuh 99% larva Aedes aegypti (LC99/

LD99). Dalam penelitian ini, analisis probit digunakan untuk mengetahui nilai

dari LC50, LC95/ LD95 dan LT95 dari air perasan kulit jeruk manis dan temephos

terhadap kematian larva Aedes aegypti, analisis ini dihitung menggunakan

Minitab for windows.

2. Uji anova digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel

dependen dengan perlakuan yang diberikan. Jika hasil perhitungan anova, F

hitung > F tabel (P < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima. Namun jika F

hitung < F tabel (P > 0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak. Dalam penelitian

ini, uji anova digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan anatara

pemberian larvasida yaitu air perasan kulit jeruk manis, kulit jeruk manis tanpa

perasan dan temephos terhadap mortalitas larva Aedes aegypti. Namun terlebih

dahulu dilakukan uji normalitas data menggunakan uji One-Sample

Kolmogorov-Sminorv Test untuk melihat apakah sebaran data yang dihasilkan

terdistribusi secara normal. Analisis ini dihitung menggunakan SPSS for

windows.

3. Uji independent-t-sample digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan

dari variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen. Jika hasil


perhitungan uji independent-t-sample, F hitung > F tabel (P < 0,05) maka ada

perbedaan antara kedua variabel. Namun jika F hitung < F tabel (P > 0,05)

maka tidak ada perbedaan antara kedua variabel. Dalam penelitian ini, uji

independent-t-sample digunakan untuk melihat beda efektivitas antara

pemberian air perasan kulit jeruk manis dan temephos terhadap mortalitas larva

Aedes aegypti. Analisis ini dihitung menggunakan SPSS for windows.

4. Penyajian Data

Pada penelitian ini, data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel dan

gambar disertai narasi kemudian diberikan uraian untuk memperjelas pemberian

air perasan kulit jeruk manis, kulit jeruk manis dan temephos terhadap mortalitas

larva Aedes aegypti.


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Entomologi

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dapat disimpulkan bahwa :

1. Rata-rata populasi mortalitas larva Aedes aegypti akibat pemberian air perasan

kulit jeruk manis dengan konsentrasi 2,81% sebesar 84,4%.

2. Lama waktu yang dibutuhkan air perasan kulit jeruk manis untuk mematikan

larva Aedes aegypti sebsar 95% (LT95) adalah 1568,54 menit.

3. Rata-rata populasi mortalitas larva Aedes aegypti akibat pemberian temephos

1% dengan konsentrasi 0,69 mg/L sebesar 91,6%.

4. Lama waktu yang dibutuhkan temephos untuk mematikan larva Aedes aegypti

sebesar 95% (LT95) adalah 1379,23 menit.

5. Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan antara air perasan kulit

jeruk manis dan temephos untuk mematikan larva Aedes aegypti namun ada

hubungan yang signifikan antara pemberian kedua jenis larvasida untuk

mematikan larva Aedes aegypti apabila dibandingkan dengan kelompok

kontrol.
B. Saran

1. Kepada masyarakat untuk dapat mengurangi dosis penggunaan temephos

mengingat temephos dapat bekerja dengan konsentrasi di bawah 10 gram/100

liter air.

2. Kepada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut

mengenai cara yang dapat dilakukan air perasan kulit jeruk manis mupun kulit

jeruk manis tanpa perasan tidak mengganggu standar fisik air bersih ketika

digunakan mengingat air perasan kulit jeruk manis juga memiliki kemampuan

sebagai larvasida.

3. Kepada pemerintah dalam hal ini pegawai kesehatan terkait untuk dapat

memberikan promosi kesehatan yang baik kepada masyarakat mengenai dosis

penggunaan temephos.
DAFTAR PUSTAKA

Amusan, A.A.S, A.B.Idow & F.S. Arowolo, 2005. Comparative Toxicity Effect of
Bush Tea Leaves (Hyptis Suaveolens) and Orange Peel(Citrus Sinensis) Oil Extract
On Larvae Of The Yellow Fever Mosquito Aedes aegypti. Tanzania Health Research
Bulletin 7, 174-178. [Online] www.ajol.info%2Findex.php [diakses tanggal 14
November 2014].

Aradilla, A.S., 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba
(Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes aegypti. Laporan Akhir Penelitian.
Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro, Semarang.

Arsin, A., 2013. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.


Makassar : Masagena Press.

Bisnis Bali, 2005. Warga Dipaksa Beli Abate. [Online]


ttp://www.bisnisbali.com/2009/02/25/news/denpasar/swe.html [diakses pada tanggal
20 November 2014].

Centers for Disease Control and Prevention.2009. Clinical Guidance. [Online]


http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html [diakses pada tanggal 20
November 2014].

Chandra, B., 2006. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta : EGC Penerbit Buku
Kedokteran.

Dinata, 2008. Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang. [Online]


http://www.litbang.depkes.go.id/lokaciamis/artikel/nyamuk-arda.htm [diakses pada
tanggal 14 November 2014].

Dinkes Kota Makassar, 2013. Angka Bebas Jentik Kota Makassar. Makassar : Dinas
Kesehatan Kota Makassar.

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan


Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular (Studi Kasus DBD). [Online]
http://kgm.bappenas.go.id/document/makalah/18_makalah.pdf [diakses pada tanggal
14 November 2014].

Dwinata, I., 2012. Kajian Lapangan Penggunaan Autocidal Ovitrap terhadap


Penurunan Angka Populasi Nyamuk Aedes di Kabupaten Gunungkidul. Tesis.
Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
EPA, 2001. Temephos facts. [Online] www.epa.gov [diakses tanggal 14 November
2014].

Fradin, M.S & John, F.D., 2002. Comparative Efficacy of Insect Repellents Against
Mosquito Bites. Journal of Medicine, Vl 347 (1) 13-18. [Online] www.nejm.org
[diakses tanggal 16 Februari 2015].

Hidayatulloh,N, Betta,K, Ari,W, 2013. Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70%


Akar Kecombrang (Etlingera elatior) terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai
Biolarvasida Potensial. Medical Journal of Lampung University 95-104. [Online]
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/45 [diakses tanggal
14 November 2014].

India Mart, 2014. Industrial Chemicals. [Online] http://www.indiamart.com/jayco-


chemicalsindia/industrial-chemicals.html [diakses tanggal 14 November 2014].

Kemenkes RI, 2010. Buletin jendela epidemiologi. Jakarta : Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Lawrens, F.I.J, G.J. Wahongan & J.B. Bernadus, 2014. Pengaruh dosis abate
terhadap jumlah populasi jentik nyamuk Aedes spp di Kecamatan Malalayang Kota
Manado. [Online] journal.unsrat.ac.id [diakses tanggal 14 November 2014].

Mashoedi, I.D., 2007. Hubungan antara Distribusi Serotipe Virus Dengue dari Isolat
Nyamuk Aedes spp dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Dengue(Studi
Kasus Di Kota Semarang). Tesis. Magister Epidemiologi. Universitas Diponegoro,
Semarang.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1990. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :


416/Men/Kes/Per/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
[Online] http://web.ipb.ac.id/~tml_atsp/test/PerMenKes%20416_90.pdf [diakses
tanggal 31 Januari 2015].

Milind, P & Chaturvedi, D., 2012. Orange : Range of Benefit. International Research
Journal Of Pharmacy 3(7). [Online] www.irjponline.com[diakses tanggal 14
November 2014].

Napitupulu, H.A., 2010. Analisis Problematika Pasca Panen Jeruk di Kabupaten


Karo dan Teknologi Alternatif Pengolahannya. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Nasir, A.R., 2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat dengan Tingkat
Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Endemis Demam Berdarah Dengue
(DBD) Kota Makassar. Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Hasanuddin, Makassar.

Nopianti, S, Dwi Astuti & Sri Darnoto, 2008. Efetivitas Buah Belimbing Wuluh
(Averrhoa Bilimbi L.) untuk Membunuh Larva Nyamuk Anopheles aconitus instar
III. Jurnal Kesehatan 1 (2) 91-96 [Online]
http://publikasiilmiah.ums.ac.id:8080/handle/123456789/1461?show=full [diakses
tanggal 14 November 2014].

Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Andi Mahasatya.

Nugroho, A.D., 2011. Kematian Larva Aedes aegypti setelah Pemberian Abate
Dibandingkan Dengan Pemberian Serbuk Serai. Jurnal Kesehatan Masyarakat 7 (1).
[Online] download.portalgaruda.org [diakses tanggal 14 November 2014].

Nurhaeni, 2011. Perbandingan Efektifitas Abate dan Air Perasan Buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L) terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti. Skripsi Sarjana.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Uniprot. Citrus sinensis (Sweet Orange) (Citrus auranitum var. sinensis). [Online]
http://www.uniprot.org/taxonomy/2711 [diakses tanggal 14 November 2014].

Raharjo, B., 2006. Uji Kerentanan (Susceptibility Test) Nyamuk Aedes aegypti
(Linnaeus) dari Surabaya, Palembang dan Beberapa Wilayah di Bandung terhadap
Larvasida Temephos (Abate 1 SGS). Skripsi Sarjana. Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Raharjo,J., 2009. Uji Efektivitas Temephos Terhadap Larva Aedes aegypti pada
Berbagai Sumber Air dan Jenis Bahan Tempat Penampungan Air. Jurnal Penelitian
Balaba Vol.5. No.02. [Online] ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/ [diakses
tanggal 14 November 2014].

Ridha, M.R & Khairatun, N., 2011. Larva Aedes aegypti Sudah Toleran teradap
Temephos di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Vektora Vol. III No.2.
[Online] http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127557&val=4885
[diakses tanggal 14 November 2014].

Sastroasmoro,S & Sofyan, I., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi
ke-4. Jakarta : Sagung Seto.
Sembel, D.T., 2009. Entomologi kedokteran.Yogyakarta : Penerbit Andi.

Sembiring, N.BR.,2011. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Rendemen dan


Kualitas Minyak Atsiri Kulit Jeruk Manis (Citrus sinensis L.). Skripsi Sarjana.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Service, M.W., 2008. Medical Entomology for Student. [e-book]. Britania Raya :
Cambridge University Press
http://books.google.co.id/books?id=8U5i8C_I8ykC&pg=PA291&dq=Service,+M.W.,
+2008.+Medical+Entomology+for+Student&hl=id&sa=X&ei=4Th0VMv8FMKOuA
TBw4KQCw&ved=0CB8Q6AEwAA#v=onepage&q=Service%2C%20M.W.%2C%2
02008.%20Medical%20Entomology%20for%20Student&f=false [diakses tanggal 22
November 2014].

Setiawan, Y.D & Zainal, F., 2014. Efektifitas Larvasida Temephos (Abate 1g)
terhadap Nyamuk Aedes aegypti Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul DIY Tahun
2013. Media Bina Ilmiah 33. [Online] www.lpsdimataram.com [diakses tanggal 14
November 2014].

Setiawan, Y.F., 2010. Efek Granul Ekstrak Daun Temebelekan (Lantana camara L.)
terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti L.Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Shinta, Yunita A., Wigati & Supratman, S., 2011. Efektivitas Larvasida Al Tosid 1,3
G terhadap Aedes aegypti di Laboratorium. [Online]
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=70987&val=4882 [diakses
tanggal 14 November 2014].

Sigit, H & Hadi, U., 2006. Hama Permukiman Indonesia, Pengenalan, Bologi Dan
Pengendalian, Uji Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. Bogor : Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.

Sitio, A., 2008. Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan
Kebiasaan Keluarga Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan
Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008. Tesis. Magister Kesehatan Lingkungan.
Universitas Diponegoro, Semarang.

Soedarto, 1989. Atlas Entomologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

Soegijanto, S. 2008. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Surabaya : Airlangga


University Press.
Soemirat, J., 2011. Kesehatan Lingkungan. Edisi revisi. Bandung : Gadjah Mada
University Press.

Sulthanont, N., 2009. Chemical Composition and Larvacidal Activity of Edible Plant-
Derived Essential Oils Against the Pyrethroid-Susceptible and Resistant Strains of
Aedes aegypti (Diptera : Culicidae). Journal of Vector Ecology, Vol 35 (1)106-11.
[Online] http://www.researchgate.net/profile/Wej_Choochote [diakses tanggal 16
Februari 2015].

Suroso, T., 2005. Situasi epidemiologi dan pemberantasan DBD. Yogyakarta :


Penerbit Buku Kedokteran Tropis.

Sutaryo. 2004. Dengue. Yogyakarta : Medika Fakultas Kedokteran UGM.

Switaning, R, Nurul F & Mochammad A.D.A., 2010. Ekstraksi Minyak Atsiri dari
Limbah Kulit Jeruk Manis di Desa Gadingkulon Kecamatan Dau Kabupaten Malang
sebagai Campuran Minyak Goreng untuk Penambah Aroma Jeruk. Program
Kreativitas Mahasiswa. Universitas Negeri Malang, Malang.

Wati, W.E, Adwi, S. & Sri, D., 2009. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Demam Berdarah Fengue (DBD) di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan
tahun 2009. [Online] http://www. journal.litbang.depkes.go.id. [diakses tanggal 20
November 2014].

Wati, F.A., 2010. Pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub
spesies sinensis) terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III in vitro.
Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

WHO. 1981. Instructions for Determining the Susceptibility or Resistence of


Mosquito larvae to Insecticides. [Online].
http://whqlibdoc.who.int/temp/WHO_VBC_81.807.pdf [diakses tanggal 20
November 2014].

WHO. 1999. Demam berdarah dengue : Diagnosis, pengobatan, pencegahan, dan


pengendalian. Edisi 2. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.

WHO, 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvacides.
[Online]. http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/who_cds_whopes_gcdpp_2005.13.pdf
[diakses tanggal 20 November 2014].
WHO. 2009. Impact of dengue. [Online].
http://www.who.int/csr/disease/dengue/impact/en/ [diakses tanggal 14 November
2014].

Widoyono, 2005. Penyakit tropis ; Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Zairina, 2008. Pengaruh Kesempatan, Kemauan, dan Kemampuan Ibu terhadap


Partisipasi dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Zettel, C & Philip, K., 2013. Common Name : Yellow Fever Mosquito. [Online]
http://entnemdept.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti.htm [diakses tanggal 20
November 2014].

Zuldarisman, M., 2013. Efektivitas Air Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L) terhadap Kematian Larva Aedes aegypti dan Larva Anopheles subpictus.
Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin, Makassar.

You might also like