Professional Documents
Culture Documents
F11arj PDF
F11arj PDF
SKRIPSI
ABSTRACT
Tea is one of the major product in food industries. One type of its product is green tea.
Diabetes is a chronic disease that occurs either when the pancreas does not produce enough insulin
or when the body cannot effectively use the insulin. Green tea has an active compound which inhibits
-amylase and -glucosidase enzyme performance. Natural alpha-amylase and alpha-glucosidase
inhibitors from food-grade plants offer an attractive strategy either to prevent or manage type 2
diabetes via controling starch breakdown and intestinal glucose absorption. The research focuses on
evaluating the correlationship between teas anti diabetic activity and brewings time and
temperature. In this study, six different extracts based on combination of temperature (in 70 and
100oC) and brewing time (in 5, 15, and 30 minutes) were investigated for alpha-amylase and alpha-
glucosidase potential inhibitor. Furthermore, the influence of the in vitro digestion condition to the
activity of the enzyme was also performed in this study. The enzyme inhibitory and total phenol were
measured by spectrophotometric while tannin content was measured by gravimetric method. Results
showed that green tea brewed by 100oC 5 minutes and 100oC 15 minutes can optimally inhibit alpha-
amylase at initial extract (as an estimation of salivary alpha-amylase), 70oC 5 minutes, 70oC 30
minutes, 100oC 5 minutes, and 100oC 15 minutes inhibit alpha-amylase at pH digestion-controlled
(as an estimation of pancreatic amylase) higher than another green tea extracts. Green tea brewed by
70oC 30 minutes can optimally inhibit alpha-glucosidase enzyme, both at initial extract and pH
digestion-controlled extract. After passed through the in vitro digestion, green tea extracts showed
decreasing of inhibition values both of alpha-amylase and alpha-glucosidase.
RINGKASAN
Salah satu masalah kesehatan yang dihadapi oleh Indonesia adalah tingginya angka jumlah
penderita penyakit diabetes. Menurut International Diabetes Federation (2005), peringkat Indonesia
diperkirakan akan mengalami kenaikan dari peringkat kelima pada tahun 2003 menjadi peringkat
ketiga pada tahun 2025 dalam hal jumlah penderita penyakit diabetes terbesar di dunia. Masalah
kesehatan lain yang juga dihadapi oleh Indonesia adalah masalah ketidakseimbangan dalam asupan
energi. Salah satu masalah yang terkait dengan ketidakseimbangan asupan energi adalah penyakit
obesitas, yaitu kelebihan berat badan akibat dari penimbunan lemak yang berlebihan pada tubuh.
Teh hijau adalah minuman yang berasal dari pucuk daun teh yang diproses tanpa fermentasi
dan masih memiliki komponen bioaktif seperti komponen polifenol. Komponen bioaktif inilah yang
diduga mampu menghambat enzim-enzim pencernaan seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.
Kedua enzim tersebut berperan penting dalam pemecahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa
yang akan diserap tubuh. Penghambatan kedua enzim oleh teh diharapkan dapat mereduksi jumlah
glukosa pada usus sehingga dapat digunakan untuk mengurangi asupan kalori yang berlebih bagi
tubuh.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penyeduhan teh hijau
(Camellia sinensis) serta proses pencernaan secara in vitro terhadap aktivitas penghambatan enzim -
amilase dan -glukosidase secara in vitro sebagai salah satu upaya untuk mengurangi asupan kalori
asal pati yang berlebih.
Ekstrak teh hijau dibuat dengan menyeduh 4 gram bubuk teh hijau dalam 100 ml air dengan
menggunakan variasi suhu 70oC dan 100oC, serta lama penyeduhan 5 menit, 15 menit, dan 30 menit.
Ekstrak teh hijau yang didapat dari penyeduhan kemudian diberi dua perlakuan yang berbeda, yaitu
ada yang diberi perlakuan pengaturan simulasi pH pencernaan dan ada yang tanpa diberi perlakuan
(disebut ekstrak awal). Pada ekstrak awal dilakukan beberapa pengujian, antara lain pengukuran pH,
uji nilai inhibisi enzim alfa amilase, uji nilai inhibisi enzim alfa glukosidase, kadar total fenol, dan
kadar tanin. Pengaturan simulasi pH pencernaan dilakukan dengan dua tahap, pertama-tama pH
ekstrak diatur menjadi pH lambung (pH 2), kemudian didiamkan selama 30 menit, lalu dinaikkan
menjadi pH 6.8 seperti pH pada usus halus. Ekstrak tersebut selanjutnya diuji daya inhibisinya
terhadap enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.
Daya inhibisi ekstrak awal terhadap enzim alfa-amilase menunjukan bahwa hanya faktor
interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan yang berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-
amilase pada ekstrak teh (p < 0.05) dengan kisaran daya inhibisi ekstrak awal sebesar 53.54 - 89.28%.
Sampel dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit sebesar 89.28% dan 100oC selama 15 menit
sebesar 86.90% memiliki daya hambat alfa-amilase yang tidak berbeda nyata dengan acarbose
sebagai kontrol positif. Sedangkan untuk ekstrak pada pH 6.8, faktor waktu dan interaksi antar suhu
dan waktu berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase (p < 0.05). Pada ekstrak pH 6.8
semua sampel memiliki daya hambat yang lebih kecil dibandingkan dengan daya hambat acarbose
sebagai kontrol positif. Kisaran daya inhibisi ekstrak pH 6.8 adalah 15.08 - 56.35%. Ekstrak teh hijau
setelah melalui proses pencernaan secara in vitro, mengalami penurunan terhadap daya inhibisi enzim
alfa-amilase.
Daya inhibisi ekstrak teh hijau pada pH awal terhadap enzim alfa-glukosidase menunjukan
bahwa faktor suhu dan faktor interaksi antara suhu dan waktu berpengaruh terhadap nilai inhibisi
enzim alfa-glukosidase (p < 0.05) dengan kisaran daya inhibisi ekstrak awal sebesar 95.09 - 99.63%.
Ekstrak yang memiliki daya hambat enzim alfa-glukosidase yang tidak berbeda nyata dengan daya
hambat acarbose adalah ekstrak teh dengan suhu penyeduhan 70oC selama 30 menit dengan daya
inhibisi enzim alfa-glukosidase sebesar 95.09%. Sedangkan untuk nilai inhibisi untuk ekstrak teh
hijau pada pH 6.8 terhadap enzim alfa-glukosidase menunjukan bahwa hanya faktor interaksi antara
suhu dan waktu penyeduhan yang berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-glukosidase (p <
0.05) dengan kisaran daya inhibisi ekstrak pH 6.8 sebesar 92.25 - 96.78%. Hanya terdapat satu sampel
yang mempunyai daya hambat alfa-glukosidase yang tidak berbeda dengan acarbose sebagai kontrol
positif, yaitu ekstrak teh hijau hasil suhu penyeduhan 70o C selama 30 menit dengan daya inhibisi
enzim alfa-glukosidase sebesar 96.78%. Ekstrak teh hijau setelah melalui proses pencernaan secara in
vitro, mengalami penurunan terhadap daya inhibisi enzim alfa-glukosidase.
Pada uji daya hambat enzim alfa-amilase, faktor yang berpengaruh secara dominan adalah nilai
dari total fenol. Kadar tanin diduga bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap nilai
inhibisi enzim alfa-amilase. Pada uji daya hambat enzim alfa-glukosidase, nilai total fenol maupun
kadar tanin diduga bukan merupakan faktor yang dominan dalam menghambat kerja dari enzim alfa-
glukosidase.
Dapat dilihat bahwa sampel yang layak dijadikan rekomendasi sebagai saran penyajian dalam
mengonsumsi teh hijau dengan tujuan untuk mengurangi asupan kalori berlebih yang berasal dari pati
adalah dengan menyeduh teh hijau dengan suhu 100oC selama 5 menit. Sampel tersebut memiliki
kombinasi yang baik dalam penghambatan kerja enzim alfa-amilase maupun enzim alfa-glukosidase,
baik pada pH awal maupun pada pH 6.8.
PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYEDUHAN TEH HIJAU (Camellia sinensis) SERTA
PROSES PENCERNAAN SECARA IN VITRO TERHADAP PENGHAMBATAN AKTIVITAS
ENZIM ALFA AMILASE DAN ALFA GLUKOSIDASE SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Oleh:
F24070043
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui:
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Suhu
dan Lama Penyeduhan Teh Hijau (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In vitro
terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In vitro
adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam
bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
F24070043
Hak cipta milik Achmad Riffi Julian, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Achmad Riffi Julian. Lahir di Jakarta 1 Juli 1989 dari ayah Zulkarnain dan ibu
Rina Sri Mulyati, sebagai putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis
menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 6 Jakarta dan pada tahun
yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Program Studi Teknologi Pangan pada Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa perkuliahan
penulis tergabung dalam anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan
(Himitepa). Penulis pernah mendapatkan dana hibah dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
atas ide-ide kreatifnya selama masa kuliah. Pada tahun 2011 penulis mendapat dana penelitian dari
yayasan karya salemba empat dan pada tahun yang sama penulis mengikuti acara Chemical Product
Design Competition 2011 di Universitas Indonesia dan memperoleh juara II.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas karuniaNya saya dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dengan judul Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hijau
(Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim
Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In vitro dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pangan sejak bulan Februari sampai Juli 2011.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT beserta nabi besar Muhammad SAW, atas segala karunianya yang telah diberikan
2. Ibu Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si, sebagai dosen pembimbing atas segala saran,
bimbingan, nasihat, bantuan sebagian dana penelitian dan bantuan lain yang telah diberikan.
3. Bapak Zukarnain dan Ibu Rina S. selaku orang tua dari penulis yang telah memberikan baik
moril maupun materil kepada penulis.
4. Ibu Dias Indrasti, STP, M.Sc dan bapak Ir. Darwin Kadarisman, M.S. selaku dosen penguji atas
segala masukan, saran, nasihat, dan kesediaannya dalam menguji pada ujian saya.
5. Krisna Andria, Mita Hafsah, dan Riza Maulidina selaku saudara dan ipar yang telah memberikan
dukungan moril kepada penulis.
6. Teman-teman satu bimbingan Suriah Anggraeni dan Elisabeth setyo atas dukungan dan
kebersamaannya.
7. Teman-teman tim papaFresh: Khafid, Andrew, dan Mitha
8. Teman-teman geng minyak: hanna, Ricky sinaga, Renny, Desir
9. Teman-teman satu lab: Mba Ilul Urifah, Mba Dian, Mba Rizki, Khafid, Dimas, Ka Manik, Tiara,
Mba Muslikatin, Sarah, Nida, cipi dan lainya.
10. Teman-teman ITP: jojo, uli, Nadiah, ucup, Uswah, Indrawan, kanov, Irwan, dhina, chandra,
elvita, ashari, fitri, kurnia, angga, dati, ronald, esti, mei, ka manik, ka sarah, ichank, cipi, rina
(Almh), agi, rozak, indri, amelia, ka stella.
11. Para laboran dan staf : Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Rojak, Mba Vera, Mas Aldi, Pak Sobirin,
Pak Sidiq, Bu Antin, dan lainnya.
12. Seluruh staf UPT terkhusus untuk Ibu Novi dan Mba Ani.
13. Seluruh keluarga besar ITP 43, 44, dan 45
14. Yayasan karya salemba empat yang telah membantu sebagian pendanaan penelitian ini.
Semoga semua niat dan amal baik kita semua dibalas oleh Allah SWT. Penulis juga berharap
semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yan membacanya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
vii
Lampiran 30. Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor interaksi suhu dan waktu penyeduhan
pada kadar tanin ..................................................................................................... 67
Lampiran 31. Korelasi nilai total fenol dengan inhibisi enzim alfa-amilase .................................... 68
Lampiran 32. Korelasi nilai total fenol dengan inhibisi enzim alfa-glukosidase ............................. 69
Lampiran 33. Korelasi nilai kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa-amilase .................................. 70
Lampiran 34. Korelasi nilai kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa-glukosidase ............................ 71
Lampiran 35. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-amilase pada perbedaan ph awal dan
pH 6.8 .................................................................................................................... 72
Lampiran 36. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-glukosidase pada perbedaan ph awal dan
pH 6.8 .................................................................................................................... 73
viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO (2009) Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah penderita diabetes
terbesar di dunia. Pola hidup dan lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor utama yang
menyebabkan tingginya paparan mikroorganisme dan radikal bebas. Pada saat ini sebagian besar atau
50% penduduk di Indonesia dapat dikatakan tidak sakit tetapi juga dapat dikatakan tidak dalam
kondisi yang sehat.
Salah satu masalah kesehatan yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka penderita
diabetes. Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk
memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan yang tidak efektif dari produksi insulin. Hal ini
ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah. Penyakit ini membutuhkan perhatian dan
perawatan medis dalam waktu lama baik untuk pencegahan komplikasi maupun perawatan sakit. DM
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan oleh tubuh
yang tidak dapat memproduksi insulin sehingga penderita kekurangan insulin dalam darahnya dan
membutuhkan suntikan insulin. DM tipe 2 terjadi bila tubuh tidak cukup memproduksi insulin atau
kehilangan sensitifitas dalam membuat insulin. Menurut International Diabetes Federation (2005),
pada tahun 2003 Indonesia menduduki peringkat ke 5 dalam hal banyaknya jumlah penderita penyakit
diabetes. Pada tahun 2025, diramalkan bahwa posisi Indonesia naik menjadi peringkat ke 3 dalam hal
jumlah penderita penyakit diabetes terbesar. Hal tersebut bahkan menggeser posisi Rusia yang
sebelumnya pada tahun 2003 menduduki peringkat ke 3 dan pada tahun 2025 diramalkan akan turun
ke peringkat ke 5 dalam hal negara dengan jumlah penderita penyakit diabetes terbanyak.
Masalah kesehatan lainnya yang dihadapi oleh penduduk Indonesia adalah masalah
ketidakseimbangan dalam asupan energi. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh masalah gizi
berlebih adalah obesitas, yaitu kelebihan berat badan akibat dari penimbunan lemak yang berlebihan
pada tubuh. Penyakit ini dapat memicu timbulnya beberapa penyakit degeneratif, seperti hipertensi,
peningkatan resistensi insulin, dyslipidemia, obstructive sleep apnea (OSA), disfungsi endothelial,
disfungsi sistolik dan diastolik, gagal jantung, coronary heart disease, peningkatan systemic
inflamation dan prothrombic state, beberapa jenis kanker dan kardiovaskular (CVD) (Lavie 2009).
Saat ini, 1.6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih
(overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015,
diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya obesitas
(Depkes 2009). Obesitas terjadi akibat beberapa faktor, antara lain adalah aktivitas fisik, pola makan,
kelainan endokrin (hormon), dan faktor-faktor lainnya. Obesitas biasanya disebabkan oleh masukan
energi yang melebihi kebutuhan tubuh untuk keperluan metabolisme dasar yang mencakup
metabolisme basal, aktivitas jasmani, dan pembuangan sisa makanan dan energi untuk pertumbuhan.
Salah satu cara pencegahan obesitas adalah dengan menaikan jumlah energi yang dipakai atau
menurunkan jumlah energi yang masuk.
Teh adalah minuman yang berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis) yang sudah
banyak diteliti memiliki banyak khasiat. Komponen bioaktif yang terkenal ada pada teh adalah
polifenol yang berkontribusi sebesar 25-30% berat kering (Ullah 1991). Berdasarkan proses
pengolahannya, teh pada umumnya digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh
oolong.
Teh hijau diproses tanpa fermentasi, teh oolong diproses dengan setengah fermentasi, dan teh
hitam difermentasi dengan sempurna. Pada teh hijau terkandung komponen polifenol yang terdiri dari
katekin, flavonol dan glikosida, anthocyanins dan leucoanthocyanidins, serta asam fenolat dan
depsides (Wan et al. 2003). Katekin diketahui mempunyai banyak manfaat bagi tubuh diantaranya
adalah memiliki efek antioksidatif dan dapat menekan proliferasi sel tumor (Lin 2009). Teh hijau juga
dapat digunakan untuk menjaga berat badan (Shi et al. 2009).
Pada tahun 2005, produksi teh hijau dunia mencapai angka 883.9 juta ton dan menempati
25.23% produksi teh secara global. Menurut International Tea Committee (2006), Indonesia
menempati posisi ke empat diantara negara-negara didunia dalam hal konsumsi teh hijau. Sebanyak
31 juta ton konsumsi teh hijau di Indonesia pada tahun 2005, hal ini membuat Indonesia bersama
dengan Vietnam mengonsumsi teh hijau sebanyak 5.56% dari total konsumsi teh hijau didunia yang
sebanyak 883.9 juta ton pada tahun 2005.
Teh hijau memiliki komponen bioaktif yang diduga mampu menghambat enzim-enzim
pencernaan seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Kedua enzim tersebut berperan penting
dalam pemecahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa yang akan diserap tubuh. Penghambatan
kedua enzim oleh teh diharapkan dapat mereduksi jumlah glukosa pada usus sehingga dapat
digunakan untuk mengurangi asupan kalori yang berlebih bagi tubuh.
2
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi ekstrak teh hijau dalam menghambat asupan
kalori asal pati yang berlebih.
2. Tujuan khusus
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh suhu penyeduhan teh hijau terhadap aktivitas
penghambatan enzim alfa-amilase dan alfa-glukosidase secara in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh waktu penyeduhan teh hijau terhadap
aktivitas penghambatan enzim alfa-amilase dan alfa-glukosidase secara in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh interaksi antara waktu dan suhu penyeduhan
teh hijau terhadap aktivitas penghambatan enzim alfa-amilase dan alfa-glukosidase secara in
vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh proses pencernaan secara in vitro, terhadap
aktivitas penghambatan enzim alfa-amilase dan alfa-glukosidase secara in vitro.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teh hijau
Teh merupakan minuman ringan yang popular dan memiliki flavor yang baik serta mempunyai
efek yang menyehatkan pada tubuh manusia. Berdasarkan proses pengolahannya, khususnya tahap
fermentasi, teh digolongkan menjadi tiga jenis teh: teh tanpa fermentasi (teh hijau), teh semi
fermentasi (teh oolong), dan fully fermented tea (teh hitam). Teh merupakan spesies tunggal dengan
nama latin Camelia sinensis. Beberapa varietas teh, yaitu sinensis, assamica, dan irrawadiensis.
Pengklasifikasian teh dapat dilihat pada Tabel 1.
Subkelas Dialypetalae
Teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan layu sebelum
digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan selama beberapa jam sebelum dipanaskan dan
dikeringkan. Proses pengolahan teh hitam terdiri dari proses pelayuan, penggulungan, fermentasi, dan
pengeringan. Pelayuan bertujuan untuk mengeluarkan sebagian cairan sel, merubah susunan sel, dan
untuk menciptakan kondisi yang baik untuk proses penggilingan. Pelayuan dilakukan pada suhu 27oC-
30oC selama 10 jam (Panuju 2008). Penggulungan bertujuan untuk memecah sel-sel daun,
mengeluarkan cairan sel, dan merusak jaringan daun yang menyebabkan unsur-unsur di dalamnya
termasuk polifenol dan beberapa enzim bergabung menjadi satu. Fermentasi dilakukan secara
oksidatif enzimatis selama 40 menit sampai 4 jam pada suhu 25oC-32o C (Panuju 2008). Sedangkan
pengeringan dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim sehingga proses fermentasi berhenti dan
menurunkan kandungan air sampai kira-kira 3% basis basah (Kusumaningrum 2008).
Teh oolong adalah teh yang proses fermentasinya dikontrol pada pembuatannya. Menurut Wan
et al. (2009b), proses pembuatannya dimulai dari tahap pemetikan daun teh segar, lalu proses
pelayuan, kemudian dilanjutkan dengan proses bruised atau shaken, lalu dilanjutkan dengan proses
fermentasi secara parsial, kemudian dilanjutkan dengan proses fixed yang bertujuan untuk
menginaktifasi enzim, lalu tahap berikutnya adalah tahap penggulungan, dan kemudian diakhiri
dengan tahap pengeringan (dried).
Jenis teh lain yang diketahui beragam manfaatnya adalah teh putih (White Tea). White tea
dihasilkan dari minimal treatment, dengan pengukusan dan pengeringan yang cepat. White tea dipanen
ketika pucuk teh masih tertutupi oleh rambut putih halus dan daun tersebut belum sepenuhnya
terbuka. Setelah dipetik daun teh segar dikeringkan dan dilayukan dengan sinar matahari, dan daun
tersebut dijaga agar tetap dalam keadaan lebih segar dibandingkan dengan dengan teh hijau maupun
teh hitam. White tea memiliki warna lebih segar dibandingkan teh hijau dan memiliki perbedaan yang
jauh dengan jenis teh lainnya (Jiang 2009).
Teh hijau dihasilkan dari daun teh tanpa melalui tahap fermentasi, sehingga warnanya masih
hijau dan masih mengandung tannin yang relatif tinggi (Anonim, 2000). Dalam proses pengolahan teh
hijau, proses fermentasi harus dihindari. Proses dimulai dengan pelayuan yaitu dengan cara daun teh
yang baru dipetik, ditebarkan untuk dikurangi kadar airnya hingga menjadi layu. Daun yang telah layu
digoreng diatas wajan pada suhu 90oC selama 8-10 menit. Daun teh yang telah layu kemudian
didinginkan dan digulung di atas serumbu bambu yang bawahnya telah diletakan arang yang membara
atau menggunakan mesin pengering yang mempunyai suhu masuk 80-100oC dan suhu keluar 55-60o C
selama 6-10 menit sehingga kadar air daun teh turun menjadi sebesar 5-8 %. Tahap akhir yang
dilakukan adalah proses sortasi untuk memisahkan antara daun teh yang rusak dan yang tidak
(Muchidin 1994).
Kandungan polifenol yang terdapat di dalam daun teh sekitar 35% berat kering. Polifenol yang
terdapat di dalam daun teh dibagi menjadi 4 subkelas flavonoid [(-)-epicatechin gallate (ECG), (-)-
epigallocatechin (EGC),(-)-epigallocatechin gallate (EGCG), dan (+)-catechin (C)], flavonol
(quercetin, kaempferol, dan glikosida), flavon (vitexin dan isovitexin), flovanon, asam fenolat, dan
depsides (asam galat, asam klorogenat, dan theogallin). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada
Gambar 1. Komposisi polifenol yang terkandung dalam teh tergantung dari 4 faktor, yaitu varietas
teh, kondisi lingkungan, situasi agronomi, dan kondisi geografis (Shahidi dan Naczk 2004).
Komposisi polifenol pada daun teh dapat dilihat pada Tabel 2.
Komposisi (%)
Komponen polifenol
Berat kering
Total polifenol 18 36
Flavandiol 2-3
Kandungan senyawa kimia pada teh hijau seperti yang tertera pada Tabel 3 menentukan
spesifikasi kualitas teh hijau. Komponen-komponen yang paling menentukan spesifikasi kualitas dari
teh hijau adalah polifenol, kafein, asam-asam amino dan komponen aroma (Lelani 1996). Daun teh
yang telah dikeringkan dan dipanaskan akan menginaktivasi enzim endogenous yang terdapat dalam
3
daun teh sehingga kandungan polifenol yang dimilikinya sebagian besar masih sama seperti yang
dimiliki dalam daun teh. Golongan katekin yang paling dominan pada teh hijau adalah EGCG dan
memiliki aktivitas antioksidatif yang sangat kuat. Stabilitas katekin dipengaruhi oleh pH dan suhu.
Semakin tinggi pH dan suhu maka jumlah katekin pun akan semakin menurun. Jika katekin
teroksidasi, maka EGCG, ECG, EGC, dan GC akan mengalami epimerisasi menjadi GCG, CG, GC,
dan C (Chen et al. 2001). Fenol teroksidasi menghasilkan produk hasil oksidasi berupa p-
benzokuinon, asam dikarboksilat, dan karbondioksida. (Volgina et al. 2005).
Teh hijau memiliki aktivitas antioksidatif dan hipokolesterolemik. Pemberian ekstrak teh hijau
ke dalam ransum tikus sebanyak 10 g/kg akan memberikan efek penurunan kadar malonaldehid dalam
serum darah dan homogenat hati secara nyata (Hartoyo dan Astuti 2002). Dou (2009) menjelaskan
polifenol pada teh, terutama EGCG pada teh hijau memberikan efek biologis dan potential molecular
target dalam meningkatkan inhibisi proteasosm dan aktivitas anti kanker payudara, prostat, dan
kolon. Menurut Friedmen dan Jurgens (2000) meneliti kestabilan senyawa polifenol tanaman pada
rentang pH 3-11 dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa polifenol jenis kafeat, klorogenat, dan asam galat tidak stabil pada pH tinggi dan
ketidakstabilannya bersifat tidak dapat balik, polifenol jenis asam klorogenat stabil pada pH asam,
serta polifenol jenis katekin, epigalokatekin, asam ferulat, rutin, dan asam trans sinamat cenderung
tahan degradasi akibat perubahan pH. Perbedaan tersebut dipengaruhi kekuatan resonansi dalam
menstabilkan ion fenoksida dan quinon pada senyawa polifenol tersebut.
B. Tanin
Senyawa fenol adalah aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan dengan ciri-ciri sama
yaitu cincin aromatik yang mengandung gugus hidroksil dirangkai pada suatu atom karbon dari
4
lingkar benzena. Fenol merupakan zat cair bertitik didih tinggi dan mudah larut dalam air karena
sifatnya yang sering berikatan dengan gula sebagai glikosida dan terdapat dalam vakuola sel (Harbone
1987). Tanin adalah kelompok senyawa polifenol yang mempunyai sifat dalam menyamak kulit.
Seperti diketahui bahwa kulit binatang adalah suatu bahan yang banyak mengandung protein
(kolagen), dimana protein pada umumnya dapat diendapkan oleh tanin.
Tannin terkondensasi
Proantosianidin(atau flavolan) Oligomer katekin dan flavan 1000-3000 ++++
3,4-diol
Tannin terhidrolisis
Tanin pada umumnya terdapat pada setiap tanaman yang letak dan jumlahnya berbeda
tergantung pada jenis tanaman, umur, dan organ dari tanaman itu sendiri. Pada beberapa tanaman,
kulit kayunya banyak mengandung tannin, sedangkan pada tanaman lain tannin berasal dari getah
(lendir yang keluar dari kulit tanaman yang luka) tanaman itu sendiri (Winarno 1981). Penggolongan
tanin pada tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4.
Secara kimia tanin dapat dipandang dari segi dapat atau tidaknya tannin untuk dihidrolisis,
maka tanin dapat digolongkan menjadi hydrolizable tannin dan condensed tannin. Tanin yang dapat
dihidrolisis baik oleh asam, basa, maupun enzim akan menghasilkan senyawa seperti asam galat, asam
elegat, atau asam-asam lainnya, dimana penyebarannya ada pada tumbuhan berkeping dua. Sedangkan
tanin yang tidak dapat dihidrolisis merupakan stuktur kompleks yang terdiri dari katekin dan
leucoanthosianin, dimana molekulnya dapat terpolimerisasi, dan penyebarannya ada pada tanaman
paku-pakuan, dan Gymnospermae, serta menyebar luas dalam Angiospermae, terutama pada jenis
tumbuhan berkayu. Kedua jenis tanin itu dapat dijumpai bersamaan dalam satu tumbuhan yang
terdapat pada kulit dan daunya (Winarno 1981).
Tannin terkondensasi terbentuk karena kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa
dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavolan
dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Nama lain tanin terkondensasi adalah
proantosianidin karena bila direaksikan dengan panas, maka beberapa ikatan karbon-karbon
penghubung satuan akan putus dan akan membebaskan monomer antosianidin. Kebanyakan
5
proantosianidin adalah prosianidin, yang apabila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin
(Harborne 1987).
Tannin terhidrolisis terdiri dari dua kelas sederhana. Pada jenis pertama, inti berupa glukosa
yang dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti molekul berupa senyawa
dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Bila dihidrolisis
elagitanin ini menghasilkan asam elagat (Harborne 1987). Gambar 2 menunjukkan beberapa jenis
tanin.
Gambar 2. Struktur kimia dari asam galat , asam ferulat, dan ellagitanin (Dai et al. 2010).
Menurut Winarno (1981) secara menyeluruh tannin akan berkurang selama proses pematangan
dan pendewasaan pada buah-buahan. Pada jaringan tanaman, semakin tua maka semakin tinggi
kandungan tanninnya. Terjadinya penurunan kadar tannin disebabkan adanya tannin yang terdegradasi
atau tannin dalam buah sudah tidak mampu mengendapkan lagi protein, karena polimerisasi,
depolimerisasi, dan oksidasi tannin. Jenis-jenis tanin dan sumbernya ditunjukkan pada Tabel 5.
6
Tabel 5. Jenis-jenis tanin dan sumbernya
Kerja enzim alfa-amilase pada molekul amilosa meliputi dua tahap. Pertama, degradasi amilosa
menjadi maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan
penurunan viskositas dengan cepat pula. Pada tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa
sebagai hasil akhir. Proses ini berlangsung dengan sangat lambat dan terjadi secara tidak acak.
Sedangkan hidrolisa enzim alfa-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa,
maltosa, dan berbagai jenis -limit dekstrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih
residu gula yang semuanya mengandung ikatan -1,6 (Winarno 1980).
Pada umumnya alfa-amilase bersifat stabil pada kisaran pH antara 5.5 dan 8.0 dan masih tahan
terhadap keadaan pH ekstrim bila tersedia kalsium dalam jumlah yang cukup (Fogarty 1983). Dengan
adanya kalsium, enzim -amilase bersifat tahan terhadap perlakuan suhu dan pH ekstrim, perlakuan
dengan urea, atau reaksi-reaksi dengan enzim protease. Enzim -amilase yang bebas dari kalsium
7
sangat peka terhadap denaturasi asam, panas, atau urea, dan cepat terdegradasi oleh protease (Fogarty
1983).
Enzim alfa-glukosidase (-D-glukosid. Glukohidrolase, EC 3.2.1.20) adalah enzim yang
mengkatalisasi pemecahan ikatan 1,4 -glikosida pada ujung non pereduksi dari maltooligosakarida
dengan melepas -D-glukosa. Enzim ini juga dapat menghidrolisis secara lambat ikatan 1,6--D-
glukosidik sehingga dapat melanjutkan kerja alfa amilase, yaitu menghidrolisis lanjut -limit dekstrin
menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Enzim alfa-glukosidase pada pencernaan mamalia berada
pada permukaan membran brush border sel usus halus dan merupakan enzim yang mengkatalisis
proses akhir pencernaan karbohidrat pada proses pencernaan (Leboviz 1997).
D. Inhibitor Enzim
Inhibitor enzim adalah zat yang dapat menghambat kerja enzim. Sebagian besar enzim dapat
diracuni atau dihambat oleh senyawa kimiawi tertentu. Penghambat enzim dapat dibagi menjadi dua
jenis yaitu penghambat yang bekerja secara tidak balik (irreversible) dan dapat balik (reversible).
Penghambat tidak dapat balik adalah penghambat yang bereaksi dengan atau merusak suatu gugus
fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya (Lehninger 1982).
Penghambat dapat balik dibagi menjadi dua golongan, yaitu kompetitif dan non kompetitif.
Penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi
apabila sekali terikat maka tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Penghambat kompetitif ini dapat
dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif
biasanya menyerupai substrat normal pada struktur dimensinya. Penghambat non kompetitif terjadi
bila penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi
molekul enzim sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi katalitik. Menurut Lehninger
(1982) penghambat nonkompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan
kompleks enzim-substrat (ES), membentuk kompleks enzim-inhibitor (EI) dan kompleks enzim-
subtrat-inhibitor (ESI) yang tidak aktif.
Berbagai jenis fitokimia telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim. Phaseolamin
adalah salah satu senyawa aktif pada tanaman kacang merah yang mempunyai kemampuan dalam
menghambat aktifitas enzim alfa-amilase (Iguti dan Lajolo 1991 diacu dalam Obiro et al. 2008).
Mekanisme penghambatan phaseolamin terhadap enzim alfa-amilase menunjukan bahwa senyawa
inhibitor secara efektif menghambat penyerapan karbohidrat dengan mencegah akses substrat terhadap
bagian aktif enzim (Obiro et al. 2008). Sneha et al. (2011) menyatakan bahwa ekstrak metanolik dan
etil asetat dari Clerodendrum multiflorum mempunyai daya hambat enzim alfa-amilase sebaik daya
hambat acarbose. Zat fitokimia yang terkandung dalam Clerodendrum multiflorum adalah flavonoid,
komponen fenolik, sterol/triterpenoid, alkaloid, dan tanin. Farsi et al. (2011) menyatakan bahwa
ekstrak Ficus deltoidea memiliki kemampuan dalam menghambat enzim alfa-amilase pancreatic
porcine dan enzim alfa-glukosidase. Senyawa fitokimia lain yang memiliki daya hambat terhadap
enzim adalah vasicine dan vasicinol pada daun Adhatoda vasica Nees sebagai inhibitor enzim alfa
amilase, alfa glukosidase, dan sukrase (Gao et al. 2008). Senyawa rosmarinic acid, quersetin,
protocatechuic acid, dan para-Coumaric acid pada tanaman herbal oregano dilaporkan dapat
menghambat porcine pankreas amilase in vitro (McCue et al. 2004). Kayu secang mengandung
komponen kuersetin yang dapat berperan dalam inhibisi enzim -amilase dan -glukosidase (Cai et al.
2007).
Enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin,
apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat (Tadera et al. 2006). Berbagai
kelas senyawa fenolik memang telah banyak diberitahukan sebagai inhibitor enzim alfa glukosidase.
8
McDougall et al. (2009) mengutarakan bahwa elagitanin, proantosianidin, dan polifenol pada buah
berry (strawberry, claudberry, dsb) dapat menghambat enzim lipase.
Pada teh hijau terdapat katekin yang diketahui memiliki aktifitas dalam penghambatan kerja
enzim. Epigalokatekin gallat (EGCG) memiliki aktivitas inhibisi terhadap UVB-induced
phophatidylinositol-3-kinase (PI3K). Lin et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak teh dan polifenol
teh, seperti EGCG (epigalokatekin gallat) dan TF-3 (theaflavin 3,3-digallat) menghambat enzim yang
berperan dalam lipogenesis fatty acid synthase (FAS).
9
III. METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
Tahap penelitian dilakukan seperti pada Gambar 3. Penelitian pertama-tama dilakukan dengan
menyeduh bubuk teh hijau dengan menggunakan suhu air dan lama penyeduhan yang berbeda.
Ekstrak teh hijau yang didapat dari penyeduhan kemudian diberi dua perlakuan yang berbeda, yaitu
ada yang diberi perlakuan pengaturan simulasi pH pencernaan dan ada yang tanpa diberi perlakuan
(disebut ekstrak awal). Ekstrak yang dibiarkan seperti ekstrak awal langsung dilakukan beberapa uji,
yaitu pengukuran pH, inhibisi enzim alfa amilase, inhibisi enzim alfa glukosidase, total fenol, dan
kadar tanin. Ekstrak awal yang diberi pengaturan simulasi pH pencernaan pertama-tama diubah pH
nya seperti pH lambung (pH 2) dan didiamkan selama 30 menit kemudian dinaikkan menjadi pH 6.8
seperti pH pada usus halus. Ekstrak tersebut diuji daya inhibisinya terhadap enzim alfa amilase dan
alfa glukosidase.
1. Ekstraksi
Sampel teh yang digunakan merupakan sampel yang didapat langsung dari industri
pengolahan teh sehingga diharapkan teh ini masih memiliki kualitas yang baik karena tidak
melalui proses distribusi yang panjang atau penyimpanan yang terlalu lama. Teh hijau yang diuji
memiliki konsentrasi yang sama, yaitu 0.04 g/ml (4 gram teh ditambahkan dengan 100 ml air). Teh
hijau diuji berdasarkan perbedaan suhu dan lamanya waktu menyeduh teh. Teh hijau diuji dengan
perbedaan suhu yaitu sebesar 70o dan 100oC dan juga perbedaan waktu yaitu sebesar 5, 15, dan 30
menit. Diagram alir ekstraksi teh dapat dilihat pada Lampiran 1.
Teh Hijau
Ekstraksi (penyeduhan 4 gram teh hijau dalam 100 ml air pada suhu awal 70o C
dan 100oC selama 5, 15, dan 30 menit)
Ekstrak
Teh Hijau
3. Pengujian
Pengujian daya inhibisi enzim alfa-amilase dan alfa-glukosidase yang dilakukan baik pada
ekstrak dengan pH awal maupun pH usus halus (6.8) setelah melalui pH lambung (pH 2) selama
30 menit. Kadar total fenol, pH (dengan menggunakan pH-meter), dan kadar tanin juga diukur
pada ekstrak awal.
11
sederhana. Semakin banyak gula-gula sederhana seperti glukosa dan maltosa yang dihasilkan
dari proses hidrolisis pati, hal ini menggambarkan semakin tingginya daya cerna pati. Glukosa
dan maltosa dapat bereaksi dengan DNS (asam dinitrosalisilat) sehingga kadar keduanya dapat
diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm.
C) Pengujian kadar total fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu Zega
2010)
Analisis kadar total fenol dilakukan dengan menggunakan reagen folin-ciocelteau.
Pengukuran dilakukan dengan cara melihat kemampuan reduksi dari komponen fenol dengan
standar yang digunakan adalah asam galat. Prinsip dari metode ini adalah reduksi dari reagen
fosfomolibdat (MoO4 2-) dan fosfotungstat (WO 42-) sehingga terbentuk kompleks warna biru
yang dapat terukur secara spektrofotometri sinar tampak. Pengukuran dilkukan pada panjang
gelombang 725 nm.
E) Analisis
1. Inhibisi Enzim Alfa Amilase (Thalapaneni et al. 2008)
Larutan enzim -amilase yang digunakan adalah enzim porcine pancreatic amylase 1
unit/ml. Reagen yang digunakan adalah buffer natrium fosfat 20 mM dengan penambahan
natrium klorida 6,7 mM yang ditepatkan pH nya sampai 6,9 menggunakan NaOH 1M. Larutan
substrat yang digunakan adalah larutan pati soluble 1%. Reagen warna dibuat dengan
mencampurkan larutan natrium kalium tartarat dengan larutan asam 3,5-dinitrosalisilat 96 mM
yang diencerkan dengan akuades.
Campuran reaksi diperoleh dengan melarutkan 125 l larutan teh hijau dan 125 l
larutan enzim. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit, larutan
pati ditambahkan sebanyak 125 l dan diinkubasi kembali pada suhu 37o C selama 10 menit.
Setelah inkubasi kedua, pereaksi DNS ditambahkan sebanyak 500 l dan diinkubasi kembali
selama 5 menit pada air mendidih. Setelah itu, 5 ml air suling ditambahkan dan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Kontrol positif yang digunakan pada
penelitian ini adalah acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari pelarutan 1 tablet glukobay (50
mg acarbose) dalam 100 ml HCl 2 N. Tabel 1. menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer
12
fosfat, dan enzim yang diberikan pada balnko, kontrol A, kontrol B, sampel serta acarbose
sebagai kontrol positif.
Blanko digunakan untuk mengukur jumlah gula awal yang telah terdapat pada pati,
sedangkan kontrol A digunakan untuk mengukur jumlah gula yang telah terhidrolisis pada pati.
Kontrol B digunakan untuk mengukur jumlah gula awal pada sampel dan pati, sedangkan
sampel digunakan untuk menghitung jumlah gula yang telah terhidrolisis pada sampel dan pati.
13
sedangkan sampel digunakan untuk menghitung jumlah gula yang telah terhidrolisis pada
sampel dan substrat.
Substrat p-
nitrofenil--D- 350 350 350 350
glukofiranosida
4. Total Fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu Zega 2010)
Larutan standar asam galat dibuat pada berbagai konsentrasi, yaitu 50, 100, 150, 200,
dan 250 ppm. Pengujian ini menggunakan reagen folin ciocalteau 50% dan pereaksi Na2CO3
5%.
Pertama-tama, larutan standar atau sampel sebanyak 0.5 ml dilarutkan dalam 0.5 ml
etanol 95%, 2.5 ml air suling dan 2.5 ml larutan reagen folin ciocalteau. Setelah itu larutan
didiamkan selama 5 menit dalam ruang gelap dan kemudian ditambahkan 0.5 ml larutan
Na2CO3 dan diinkubasi kembali dalam ruang gelap selama 1 jam. Setelah inkubasi, larutan di
vorteks dan diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 725 nm.
14
5. Analisis Statistik
Data-data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan dua faktorial
RAL. Faktor-faktor yang dianalisis adalah faktor waktu, faktor suhu, dan faktor interaksi
keduanya. Untuk melihat faktor interaksi suhu dan waktu acarbose dijadikan kontrol positif.
Jika perlakuan memberikan pengaruh nyata, maka pengujian dilanjutkan dengan analisis lanjut
Duncan dengan taraf nyata 5% untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Untuk menguji
pengaruh perbedaan pH terhadap nilai inhibisi, maka uji T-test dua berpasangan.
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
49,15
50 d
38,47
45 36,85 36,88
c
40 c 31,14 c
Total fenol (mg GAE/g)
35 b
22,36
30
a
25
20
15
10
5
0
70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100 C, 5' 100 C, 15' 100 C, 30'
perlakuan sampel (suhu/menit)
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p <0,05) dengan uji lanjut Duncan
Suhu tinggi pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena panas dapat
meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari senyawa yang
diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun suhu tinggi juga dapat mendegradasi senyawa
polifenol (Escribano dan Santos 2002). Namun pada percobaan ini faktor suhu tidak memengaruhi
jumlah total fenol (p>0.05). untuk faktor waktu berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
waktu penyeduhan 5 menit, 15 menit, dan 30 menit saling memberikan respon yang berbeda. Dapat
dilihat dalam Lampiran 23, bahwa waktu penyeduhan 5 menit memberikan nilai total fenol terbesar
dan penyeduhan selama 30 menit memberikan nilai terkecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
lama waktu penyeduhan maka semakin besar pula kemampuan komponen fenol untuk teroksidasi.
Pada uji Anova menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan
memengaruhi nilai total fenol (p<0.05), seperti yang tertera pada Lampiran 24. Dapat dilihat bahwa
sampel teh hijau dengan interaksi suhu 100oC selama 5 menit memberikan nilai total fenol tertinggi,
sedangkan untuk sampel dengan dengan interaksi suhu 70oC selama 5 menit, 70oC selama 30 menit,
dan 100oC selama 15 menit menunjukkan bahwaf ketiga sampel ini tidak berbeda nyata dan
mempunyai nilai total fenol tertinggi kedua. Lalu sampel teh hijau dengan interaksi suhu 70oC selama
17
15 menit mempunyai nilai total fenol yang berada pada posisi ketiga. Untuk sampel dengan nilai total
fenol terkecil adalah sampel dengan interaksi suhu penyeduhan 100oC selama 30 menit (Lampiran
25). Hal ini menunjukkan pada suhu 100o C selama 5 menit komponen bioaktif dapat terekstrak
dengan baik dan semakin lamanya waktu pengekstrakan nilai total fenol akan semakin menurun
karena teroksidasi oleh panas, sehingga pada penyeduhan 100oC selama 30 menit menunjukkan nilai
total fenol terkecil. Telah diyakini sebelumnya bahwa waktu ekstraksi yang terlalu lama akan memicu
pemaparan oksigen lebih banyak yang akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi senyawa
fenolik (Shahidi dan Naczk 2004). Menurut Marostica et al. (2010) beberapa komponen fenol bersifat
termosensitif dan semakin tinggi suhu ekstraksi maka harus ditangani dengan hati-hati. Menurut Pardo
et al. (2010) procyanidin yang merupakan salah satu komponen fenol, banyak terdegradasi pada
pemanasan dengan suhu 98o C selama 90 menit dan suhu 120oC selama 20 menit. Fenol teroksidasi
menghasilkan produk hasil oksidasi berupa p-benzokuinon, asam dikarboksilat, dan karbondioksida.
(Volgina et al. 2005). Geldenhuys (2009) mengukur dan membandingkan total fenol pada wine belum
teroksidasi dan wine yang sudah teroksidasi (telah diberi penambahan oksigen) dengan metode folin-
ciocalteau. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa kandungan fenol pada wine yang
diberi penambahan oksigen mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Telah diketahui bahwa
pada pengukuran total fenol dengan metode folin ciocalteau, fosfotungstat-fosfomolibdat tereduksi
oleh gugus OH pada senyawa fenol menghasilkan molibdenum-tungsten. Produk fenol teroksidasi
telah kehilangan atom hidrogen sehingga sebagian dari fosfotungtat-fosfomolibdat tidak dapat
tereduksi sehingga mengurangi intensitas warna biru yang terukur pada spektrofotometer.
Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa polifenol memiliki andil dalam
menghambat aktivitas enzim. Gugus OH pada senyawa tersebut diyakini dapat berikatan dengan
protein. Haslam et al. (1999) diacu dalam Ali (2002) menyatakan bahwa pembentukan kompleks
protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil fenolik
dengan gugus NH- dan CO- pada protein, selain itu dilaporkan juga adanya ikatan kovalen dan
hidrofobik pada reaksi tersebut. Kompleks protein-fenol ada yang bersifat dapat balik maupun tidak
dapat balik. Polifenol teroksidasi berinteraksi lebih kuat dengan protein (Siebert 1999 diacu dalam Ali
2002) dan dapat berinteraksi dengan asam amino yang dapat menghambat aktivitas enzim (Millic et
al. 1968 diacu dalam Ali 2002).
D. Kadar Tanin
Tannin pada umumnya terdapat pada setiap tanaman yang letak dan jumlahnya berbeda
tergantung pada jenis tanaman, umur, dan organ dari tanaman itu sendiri. Pengukuran kadar tanin
dilakukan dengan menimbang berat dari endapan ekstrak sampel teh hijau dan membaginya dengan
berat dari ekstrak teh itu sendiri (Nugraha, 1999). Tanin merupakan kompleks polifenolik berbobot
molekul tinggi yang dihasilkan melalui reaksi polimerisasi senyawa polifenol sedarhana (Rangari
2007).
Pengujian kadar tanin ini hanya dilakukan pada ekstrak awal saja. Nilai kadar tanin pada
keenam sampel ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 15
menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 5 menit, 100oC selama 15 menit, dan 100oC selama 30
menit masing-masing sebesar 4.76%, 4.02%, 6.18%, 8.05%, 6.06%, dan 5.58% (Gambar 5). Menurut
Atanassova dan Christova (2009) kadar tanin dari ekstrak kering teh hijau adalah sebesar 55.89%.
Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan cara ekstraksi. Mereka mengekstraksi dengan
memasukan 3 gram sampel dan 250 mL air destilasi ke dalam volumetric flask selama 4 jam.
18
8,05
9 c
8
6,18 6,06
7 b 5,68
b
4,755 b
Kadar Tanin (%) 6
ab 4,02
5 a
4
3
2
1
0
70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100 C, 5' 100 C, 15' 100 C, 30'
perlakuan sampel (suhu/menit)
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) dengan uji lanjut Duncan
Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor waktu tidak memengaruhi kadar tanin yang ada
pada sampel (p>0.05). Sedangkan faktor suhu dan faktor interaksi suhu dan waktu memengaruhi
kadar tanin yang ada pada sampel (p<0.05), untuk itu diperlukan adanya uji lanjut (Lampiran 31).
Pada suhu penyeduhan 70oC rata-rata kadar tanin yang dihasilkan adalah 4.99% sedangkan pada suhu
100oC rata-rata kadar taninnya adalah 6.60% (Lampiran 28). Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu
100oC tanin dapat terekstrak lebih baik dibandingkan suhu 70oC. Escribiano dan Santos (2002)
menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi
karena panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari
senyawa yang diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun jika suhu terlalu tinggi dapat
mendegradasi senyawa polifenol.
Uji anova menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi
kadar tanin (p<0.05) (Lampiran 29). Dapat dilihat bahwa ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan
70oC selama 5 menit dan 70oC selama 15 menit tidak berbeda nyata, sedangkan sampel ekstrak teh
hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 15 menit,
dan 100o C selama 30 menit juga tidak berbeda nyata. Menurut Pardo et al. (2010) banyak terjadi
penurunan kadar tanin dari 422 mg CyE/g (cyanidin equivalents/gram berat kering) menjadi 50-70 mg
CyE/g (cyanidin equivalents/gram berat kering) karena proses pemanasan dengan suhu 93o C selama
30 menit, suhu 98oC selama 90 menit dan suhu 120oC selama 20 menit. Nilai kadar tanin tertinggi ada
pada ekstrak dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit dapat dilihat pada Gambar 5.
Kawamoto et al. (1997) membagi mekanisme pembentukan kompleks tanin-protein pada dua
tahap, proses pembentukan kompleks awal (initial complexation) dan kemudian dilanjutkan dengan
proses pengendapan (precipitation). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa konsentrasi protein
merupakan faktor yang lebih dominan dalam pembentukan tahap pertama yaitu pembentukan
kompleks sedangkan suhu, pH, dan kekuatan ionik memengaruhi proses pengendapan. Tanin yang
digunakan pada penelitiannya adalah jenis galloylglucose.
19
Kawamoto et al. (1997) melaporkan bahwa pengendapan tanin-protein terlarut terjadi secara
maksimal pada pH mendekati titik isoelektrik (pI) protein. Pengendapan maksimum tanin-tripsin dan
tanin-lisosim terjadi pada pH lebih dari 8 (pI pepsin: 10.1, pI lisosim: 11.0), tanin-ovalbumin dan
tanin-BSA terjadi pada pH 3-5 (pI ovalbumin: 4.6, pI BSA: 4.9), serta pengendapan tanin-pepsin
terjadi pada pH 3 (pI pepsin: 1.0) (Hagerman dan Butler 1978 diacu dalam Kawamoto et al. 1997).
Enzim alfa amilase pankreas memiliki titik isoelektrik 6.6 (Ferey-Roux et al. 1998) dan enzim alfa
glukosidase memiliki titik isoelektrik 5.4 (Siro et al. 1978). Berdasarkan hal tersebut, pembentukan
kompleks tanin-protein yang memberikan peluang terjadinya penghambatan aktivitas enzim dapat
terjadi secara optimal pada sekitar pH lingkungan yang mendekati titik isoelektriknya. Ekstrak awal
memiliki pH yang mendekati titik isoelektrik kedua enzim tersebut, yaitu 5.42-5.66.
99,12
89,28 c
100% 86,90 85,19
c
90% bc s
80% 65,15
daya inhibisi -amilase (%)
63,26
ab 58,44
70% a 56,35
a 53,54
60% 46,75 r 47,70 a
43,65 qr
qr 39,39
50% qr
q
40%
30% 15,08
20% p
10%
0%
70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100C, 5' 100C, 15' 100C, 30' acarbose
perlakuan
rataan pH awal rataan pH 6,8
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p <0,05) dengan uji lanjut Duncan.
Gambar 6. Nilai inhibisi enzim alfa-amilase dari ekstrak pH awal dan ekstrak pH 6,8.
20
1. Inhibisi Enzim Alfa-Amilase Dari Ekstrak Awal Teh Hijau
Berdasarkan uji statisitika ekstrak teh hijau pada pH awal menunjukkan bahwa suhu dan
waktu penyeduhan tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase ekstrak teh hijau
pada (p> 0,05) (Lampiran 6). Sedangkan untuk faktor kombinasi interaksi antara suhu dan waktu
memberikan hasil bahwa faktor tersebut berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase
pada (p < 0,05), sehingga diperlukan adanya uji lanjut.
Pada uji lanjut Duncan didapatkan hasil bahwa terdapat dua sampel yang nilai inhibisinya
tidak berbeda nyata dengan acarbose sebagai kontrol positif pada (p < 0,05) (Lampiran 8). Kedua
sampel tersebut adalah sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit dan
sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan 100oC selama 15 menit. Kedua sampel ini mempunyai
nilai inhibisi sebesar 89.28% dan 86.90%. Kedua sampel tersebut mempunyai nilai inhibisi yang
setara dengan nilai inhibisi acarbose yang sebesar 99.12% (Lampiran 8). Hal tersebut dapat
diartikan bahwa kedua sampel dengan perlakuan tersebut menunjukkan interaksi antara suhu dan
waktu terbaik, sehingga komponen bioaktif tersebut dapat terekstrak dan dapat bekerja dengan
baik sehingga nilai dari inhibisi kedua tersebut setara dengan acarbose sebagai kontrol positif.
Sedangkan untuk keempat sampel lainnya, yaitu sampel dengan kombinasi suhu penyeduhan 70oC
selama 5 menit, 70o C selama 15 menit, 70oC selama 30 menit, dan 100oC selama 30 menit
didapatkan bahwa nilai inhibisinya lebih rendah jika dibandingkan dengan acarbose sebagai
kontrol positif. Hal ini diperkirakan karena pada kondisi suhu penyeduhan 70oC diduga senyawa
bioaktif yang mampu menghambat enzim alfa-amilase belum banyak terekstrak, sedangkan pada
kondisi suhu penyeduhan 100oC dan kondisi lama waktu penyeduhan yang mencapai waktu 30
menit akan menyebabkan komponen bioaktif yang diduga dapat menghambat kerja dari enzim
alfa-amilase terlalu lama terekpos oleh panas sehingga komponen tersebut teroksidasi dan
menyebabkan terjadi kerusakan pada komponen itu dan akan menurunkan nilai inhibisi dari enzim
alfa-amilase. Selain itu, mungkin saja pada kombinasi suhu dan waktu tersebut ada senyawa
bioaktif jenis lain yang terekstrak yang memiliki kemampuan inhibisi enzim alfa amilase yang
rendah yang memengaruhi nilai inhibisi secara keseluruhan karena senyawa bioaktif terekstrak
pada waktu dan kondisi yang berbeda-beda.
Tadera et al. (2006) menemukan bahwa senyawa flavonoid yang memiliki potensi dalam
menghambat enzim porcine pancreatic amylase adalah senyawa luteolin, myricetin dan quersetin.
Teh hijau yang telah diseduh mengandung luteoin, myricetin dan quersetin masing-masing sebesar
0.17, 1.10, dan 2.69 mg/100 g (United States Departement of Agriculture 2003).
22
tersebut dapat menjelaskan bahwa komponen bioaktif yang dapat menghambat kerja dari enzim
alfa-amilase diduga adalah komponen fenolik yang tahan terhadap panas dan tidak tahan terhadap
perubahan pH simulasi pencernaan manusia. Hal tersebut dikarenakan komponen tersebut masih
dapat terekstrak pada suhu penyeduhan 100oC dan masih dapat memberikan nilai inhibisi yang
setara dengan acarbose sebagai kontrol positif. Menurut Friedman dan Jurgen (2000) asam
klorogenat merupakan komponen yang tahan terhadap pH asam dan panas.
100
90 Pearson
80 correlation :
0,852
70
nilai inhibisi (%)
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60
total fenol (mg GAE/G)
Gambar 7. Grafik hubungan total fenol dengan nilai inhibisi enzim alfa-amilase dari
ekstrak awal
100
99.5
99
98.5
nilai inhibisi (%)
98
97.5
97
96.5
96
95.5
95
94.5
0 10 20 30 40 50 60
total fenol (mg GAE/g)
Gambar 8. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa-amilase
dari ekstrak awal
24
99,63 99,87
d d 99,49
100% 98,26 98,51
c r
c
96,82
daya inhibisi -glukosidase (%) 98% 96,78
b
95,93
qr 95,28 95,09
ab 95,63
96% pq a
pq 93,99
pq 92,60
94% 92,25
p p
92%
90%
88%
70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100C, 5' 100C, 15' 100C, 30' acarbose
perlakuan (suhu/menit)
rataan pH awal rataan pH 6,8
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05) dengan uji lanjut Duncan.
Gambar 9. Nilai inhibisi enzim alfa-glukosidase dari ekstrak pH awal dan ekstrak pH 6,8
26
glukosidase perlakuan dengan kombinasi terbaik adalah sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan
70oC selama 30 menit.
100
90
80
nilai inhibisi (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10
kadar tanin (%)
Gambar 10. Grafik hubungan total fenol dengan nilai inhibisi enzim alfa-
glukosidase pada ekstrak awal
100
99.5
99
nilai inhibisi (%) 98.5
98
97.5
97
96.5
96
95.5
95
94.5
0 2 4 6 8 10
kadar tanin (%)
Gambar 11. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa-
glukosidase pada ekstrak awal
28
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan teh hijau dapat
memengaruhi besarnya nilai inhibisi enzim alfa-amilase dan alfa-glukosidase. Daya hambat yang
dianggap paling optimal adalah daya hambat yang tidak berbeda nyata dengan daya hambat yang
dihasilkan acarbose sebagi kontrol positif.
Daya inhibisi ekstrak awal terhadap enzim alfa-amilase menunjukkan bahwa hanya faktor
interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan yang berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-
amilase pada p < 0.05. Terdapat dua sampel yang memiliki daya hambat alfa-amilase yang tidak
berbeda nyata dengan acarbose sebagai kontrol positif. Kedua sampel tersebut adalah ekstrak teh
hijau dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit dan 100oC selama 15 menit. Sedangkan untuk
ekstrak pada pH 6.8, faktor waktu dan interaksi antar suhu dan waktu berpengaruh (p<0.05). Pada
ekstrak pH 6.8 semua sampel memiliki daya hambat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daya
hambat acarbose sebagai kontrol positif
Daya inhibisi ekstrak teh hijau pada pH awal terhadap enzim alfa-glukosidase menunjukkan
bahwa faktor suhu dan faktor interaksi antara suhu dan waktu berpengaruh terhadap nilai inhibisi
enzim alfa-glukosidase (p<0.05). Ekstrak yang memiliki daya hambat enzim alfa-glukosidase yang
tidak berbeda nyata dengan daya hambat acarbose adalah ekstrak teh dengan suhu penyeduhan 70oC
selama 30 menit. Sedangkan untuk nilai inhibisi untuk ekstrak teh hijau pada pH 6.8 terhadap enzim
alfa-glukosidase menunjukkan bahwa hanya faktor interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan yang
berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-glukosidase (p<0.05). Hanya terdapat satu sampel yang
mempunyai daya hambat alfa-glukosidase yang tidak berbeda dengan acarbose sebagai kontrol
positif, yaitu ekstrak teh hijau hasil suhu penyeduhan 70oC selama 30 menit. Ekstrak teh hijau setelah
melalui proses pencernaan secara in vitro, mengalami penurunan terhadap daya inhibisi enzim alfa-
amilase maupun enzim alfa-glukosidase.
Daya inhibisi enzim alfa-amilase mempunyai nilai korelasi yang tinggi dengan nilai total fenol,
namun berbanding terbalik dengan nilai kadar tanin. hal ini menunjukkan bahwa komponen yang
diduga dominan dalam menghambat kerja dari enzim alfa-amilase adalah komponen fenol selain
tanin. Hubungan antara nilai inhibisi enzim alfa-glukosidase dengan nilai total fenol maupun nilai
kadar tanin menunjukkan bahwa komponen fenol maupun tanin diduga bukan merupakan komponen
yang dominan dalam menghambat kerja dari enzim alfa-glukosidase.
Teh hijau dengan perlakuan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit adalah sampel dengan
kombinasi yang terbaik dari daya hambat enzim alfa-amilase maupun enzim alfa-glukosidase, baik
pada pH ekstrak awal maupun pada pH 6.8. Sampel dengan kombinasi terbaik ini dapat dijadikan
sebagai rekomendasi dalam pengonsumsian teh hijau dengan tujuan mengurangi asupan kalori
berlebih yang berasal dari pati.
B. Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal penentuan titikoptimasi antara suhu dan waktu
sehingga dapat diketahui, pada suhu dan waktu manakah nilai inhibisi terbesar dapat diberikan.
Pengukuran nilai total fenol dan nilai kadar tanin, seharusnya juga dilakukan pada pH usus halus (6.8)
dan melalui tahap pencernaan secara in vitro. Selain itu penelitian lebih lanjut dapat berupa pengujian
dalam menentukan konsentrasi terbaik yang dapat memberikan nilai inhibisi maksimal baik pada pH
awal, maupun pada pH usus halus. Penelitian lain yang dapat dilakukan adalah pengujian terhadap
inhibisi enzim lipase yang bertujuan agar produk pangan ini dapat digunakan untuk mengurangi
asupan kalori berlebihan untuk makanan yang berasal dari lemak. Dan untuk selanjutnya dapat juga
melakukan penelitian dengan menciptakan produk pangan fungsional yang berbahan dasar teh hijau.
30
DAFTAR PUSTAKA
Aitani M, Hiroyuki K, Yasuhiro A, Hiroko S, Hiroko M, Hui LZ, Tomoko S, dan Yotaro K.2003.
Effect of an Extract from Evening-Primrose Seeds on Postprandial Blood Glucose Level and
Its Active Components. Japanese Society for Food Science and Technology Journal
50(4):180-187
Ali H. 2002. Protein-phenolic interaction in food [thesis]. Departement of Food Science and
Agricultural Chemistry, McGill University Quebec.
Anesini C, Graciela EF, dan Rosana F. 2008. Total Polyphenol Content and Antioxidant Capacity of
Commercially Available Tea (Camellia sinensis) in Argentina. Journal of Agriculture and
Food Chemisry 56;9225-9229
Anonim. 2000. Teh Makin Bereputasi Jaga Kesehatan.http:// Kompas.com/kompas-cetak/0006/25/
iptek/teh15htm [25 Juni 2000].
Anonim. 2010. Tea Chemistry. www. tea-chemistry.com [19 November 2010]
Atanassova M. dan Christova B. 2009. Determination of Tannins Content by Titrimetric Method for
Comparison of Different Plant Species. Journal of the University of Chemical Technology and
Metallurgy 44(4):413-415
Aunstrup K. 1979. Production, isolation and economics of extracellular enzymes. Appl. Biochem.
Bioeng. 2: 27.
Bayer GD, Yaoguang L, Withers SG. 1995. The structure of human pancreatic -amylase at 1.8 A
resolution and comparisons with related enzymes. Protein Sci 4: 1730-1742.
Berdanier CD, Dwyer J, Feldman EB. 2006. Handbook of Nutrition and Food Second Edition. USA:
CRC Press.
Boing J T P. 1982. Enzyme Production. Di dalam: G. Reed (ed.). Prescott & Dunns Industrial
Microbiology, p. 634. The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
Boschmann, Michael. 2009. Green tea and metabolic syndrome : recent advances and perspectives. Di
dalam The 3rd World Congress on tea and HealthNutraceutical & Pharmaceutical Application.
ISANH. Dubai.
Cai YZ, Luo Q, Sun M, Corkea H. 2007. Antioxidant activity and phenolic compound of 112
traditional chinese medicinal plants associated with anticancer. Life Sci 74: 2157-2184.
Chen Z Y, Zhu QY, Tsang D, Huang, Y. 2001. Degradation of Green Tea Catechinfs in Tea Drinks.
Journal of Agriculture and Food Chemisry 49: 477-482.
Dai Jin, Russel Mumper. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and Their Antioxidant and
Anticancer Properties. Molecules 15: 7313-7352
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2009. Penderita Obesitas di Tahun 2015. Berita Dep.Kes.RI. [9
November 2009].
Dou, Ping. 2009. Recent advances of Tea Polyphenols: Biological Effects and Potential Molecular
Target. Di dalam The 3rd World Congress on Tea and Health Nutraceutical & Pharmaceutical
Applications.ISANH. Dubai.
Escribano MT, Santos C. 2002. Polyphenol extraction from foods. Di dalam: Escribano MT, Santos S
(eds.). Methods in Polyphenol Analysis. USA: CRC Press.
Farsi E, Armaghan S, Sook YH, dan Ahamed MK. 2011. Correlation between enzymes inhibitory
effects and antioxidant activities of standardized fractions of methanolic extract obtained from
Ficus deltoidea leaves. African Journal of Biotechnology 10(67): 15184-15194.
31
Ferey-Roux G, Perrier J, Forest E, Marchis-Mouren G, Puigserver A, Santimone M. 1998. The
hunamn pancreatic -amylase isoform: isolation, structural studies and kinetics of inhibition by
acarbose. Laboratoire de Biochemie Universite dAix-Mairselle, [Online]. 1388 (1). Abstract
from BBA. http://sciencedirect.com. BBA. [21 Oktober 2011]
Fogarty WM. 1983. Microbial amylases. Di dalam: Fogarty WM (ed). Microbial Enzyme and
Biotechnology. London: Applied Science. Hlm 1-92.
Friedman M, Jurgens HS. 2000. Effect of pH on the stability of plant phenolic compounds. J Agri
Food Chem 48(6):2101-10.
Gao H, Huang YN, Gao B, Li P, Inagaki C, Kawabata J. 2008. Inhibitory effect on -glucosidase by
Adhatoda vasica Nees. Food Chem 108: 965-972.
Geldenhuys L. 2009. Influence of oxygen addition on the phenolic composition of red wine [thesis].
Department of Viticulture and Oenology. Faculty of AgriSciences. Stellenbosch University.
Hagerman AE, Butler LG. 1978. Protein precipitation method for the quantitative determination of
tannin. J Agric Food Chem 26: 809-812.
Haslam E, Williamson MP, Baxter NJ, Charlton AJ. 1999. Astringency and polyphenol protein
interaction. Recent Advance in Phytochemistry 33: 289.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan (Terjemahan
Padmawinata dan I. Soediro). Bandung. ITB.
Hartoyo A, Astuti A. 2002. Aktivitas antioksidan dan hipokolestrolemik ekstrak teh hijau dan teh
wangi pada tikus yang diberi ransum kaya asam lemak tidak jenuh ganda. Jurnal teknologi dan
industri pangan 13(1): 78-84.
Iguti AM, Lajolo FM. 1991. Occurrence and purification of -amylase isoinhibitors in bean
(Phaseolus vulgaris L.) varieties. J Agric Food Chem 39: 2131-2136.
International Diabetes Federation: Diabetes Atlas 2005. Brussels. International Diabetes Federation.
[ITC] International Tea Committee. 2006. Annual bulletin of statistics 2006.
www.inttea.com/publications.asp [20 september 2011].
Jiang He Yuan. 2009. White tea Its Manufacture, Chemistry, and Health Effects. Di dalam: Ho CT,
Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties.
USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 233-244
Jun H, Yan XL, Wang W, Wu H, Hua, L, Du L J. 2008. Antioxidant activity In vitro of the three
constituents from Caesalpinia sappan L. Tsinghua science and Technology 13 (4): 474-479.
Kawamoto H, Nakatsubo F. 1997. Effect of environmental factors on two-stage tannin-protein co-
precipitation. Phytochem 46: 479-483.
Kusumanigrum D. 2008. Pemetaan Karakteristik Komponen Polifenol untuk Mencegah Kerusakannya
pada Minuman Teh Ready to Drink (RTD) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Laresolo B. 2007. Bagaimana cara menyeduh teh yang benar. http//:www.kedaitehlaresolo.com [8
Mei 2011].
Lavie, Carl J. 2009. Obesity and Cardiovaskular Disease: Risk Factor, Paradox, and Impact of Weight
Loss. Journal of the American College of Cardiology 53 (21): 1925-1932.
Lebovits. 1997. Alpha-glucosidase inhibitor. Endocrinology and Metabolism Clinics of North
America 26: 539-551.
Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia (terjemahan M. Thenawidjaja). Erlangga, Jakarta.
Lelani Y R. 1996. Optimasi Kondisi Ekstrak Teh Wangi pada Industri Teh Botol. [Skripsi]. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
32
Lin JK. 2009. Mechanisms of Cancer Chemoprevention by Tea and Tea Polyphenol. Di dalam: Tang
Ho Chi et al. (eds). Tea and Tea Products: Chemistry and Health-Promoting Properties. Boca
Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 233-244.
Lin JK, Shiau L. 2009. Fermented tea is more effective than unfermented tea in suppressing
lipogenesis and obesity. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product:
Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp
233-244.
Luo JG, Ma L, Kong LY. 2008. New triterpanoid saponins with strong -glucosidase inhibitory
activity from the roots of Gypsophila oldhamiana. Bioorganic & Med Chem 16 (6): 2912-
2920.
Marostica, Mario RJ. et al.,2010. Supercritical Fluid Extraction and Stabilization of Phenolic
Compounds From Natural Sources Review (Supercritical Extraction and Stabilization of
Phenolic Compounds). The Open Chemical Engineering Journal 4: 51-60.
Mayur B, Sandez S, Shruti S, Sung-Yum S. 2010. Antioxidant and alpha-Glucosidase inhibitory
properties of Carpesium abrotanoides L. Journal of Medical Plant Research 4 (15) : 1547-
1553.
McCue P, Vattem D, Shetty K. 2004. Inhibitory effect of clonal oregano extracts against porcine
pancreatic amylase in vitro. Asia Pac J Clin Nutr 13 (4): 401-408
McDougall GJ, Kulkarni NN, Stewart D. 2009. Berry poliphenol inhibit pancreatic lipase activity in
vitro. Food Chem 115: 193-199.
Millic B, Stojanovic S, Vucureuic N, Turcic M. 1968. Chlorogenic and quinic acids in sunflower
meal. J Sci Food Agric 19: 108.
Molyneux RJ, Roitman JN, Dunnheim G, Szumilo T, Elbein AD. 1986. 6-Epicastanospermine, a
novel indolizidine alkaloid that inhibits alpha glucosidase. Arch Biochem Biophys 251 (2):
450-457.
Muchidin, Apandi.1994. Teknologi Teh. Universitas Bandung Raya. Bandung. Hal 1-11,55-56.
Nasution MZ, Tjiptadi W. 1975. Pengolahan Teh. Departemen Teknologi Hasil Pertanian.
FATEMETA. IPB. Bogor.
Nigam P, Singh D. 1995. Enzyme and Microbial system involved in starch processing. Enzyme
Microbe Technol 17:770-778
Nugraha G. 1999. Pemanfaatan tanin dari kulit kayu akasia (Acacia mangium Willd) sebagai bahan
penyamak nabati [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Obiro WC, Zhang T, Jiang B. 2008. The nutraceutical role of Phaseolus vulgaris -amylase inhibitor.
Brit J Nutr 100: 1-12.
Pardo GD, Inigo A, Maria R, dan Marin A. 2010. Stability of Polyphenolic Extracts From Grape
Seeds After Thermal Treatments. Eur Food Res Technol (2011) 232 : 211220.
Peleg H, Bodine KK, Noble AC. 1998. The Influence of Acid on Astringency of Alum and Phenolic
Compounds. Chem Senses (1998) 23: 371-378.
Pranadji D, Wirakusumah E. 1992. Gizi dan Obesitas. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Bogor.
Panuju DT. 2008. Teh dan pengolahannya. http://www.images.dyagi.multiply .multiplycontent.com
[11 Maret 201]
Qiang H, Yuanping L, dan Kai Y. 2006. Effects of Tea Polyphenols on the Activities of -Amylase,
Pepsin, Trypsin and Lipase. Journal Food Chemistry 101 (2006): 11781182.
Rangari, V. D. 2007.Tannin Containing Drugs.J. L. Chaturvedi College of Pharmacy, Nagpur.
Shahidi F, Naczk MG. 2004.Phenolic in Foods and Nutraceuticals. USA.CRC Press LLC
33
Shi J, Shopia J X, Yukio K. 2009. Green Tea Induced Thermogenesis Controlling Body Weight. Di
dalam: Tang Ho Chi et al. (eds). Tea and Tea Products: Chemistry and Health-Promoting
Properties. Boca Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 233-244.
Siebert K.J. 1999. Reviews- Effect of protein-polyphenol interaction on beverage haze, stabilization
and Analysis. J Agric Food Chem 47 (2) : 353.
Siro MR, Lovgren T. 1978. On the properties of alpha-glucosidase on binding of glucose to the
enzyme. PubMed, [Online]. 32(6). Abstract from Acta Chem Scand B.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov, Acta Chem Scand B. [19 Oktober 2011].
Sneha J. H. dan Sanjay C. 2011. Alpha Amylase Inhibitory and Hypoglycemic Activityof
Clerodendrone multiflorum linn. Stems. Asian J Pharm Clin Res 4(2): 99102.
Strycharz S, Shetty K. 2002. Effect of Agrobacterium rhizogenes on phenolic content of Mentha
pulegium elite clonal line phytoremeditation applications. Process Biochemistry (38): 287-293.
Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of -glucosidase and -amylase by
flavonoids. J Nutrion Sci and Vitamin 52 (2): 149:153.
Thalapeneni NR, Chidambaram KA, Ellapan T, Sabapathi ML, Mandal SC. 2008. Inhibition of
carbohydrate digestive enzymes by Talinum portulacifolium (Forssk) leaf extract. Journal of
Complementary Integrative Medicicne 5 (1): 1-10.
Tuminah S. 2004. Teh (Camelia sinesis O.K. Var Assamica (Mast)) sebagai salah satu sumber
antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran 44: 52-54.
Ullah MR. 1991. Tea. Di dalam Fox PF (ed.). Food Enzymology Volume 2. London and New York:
Elvisier Applied Science, pp 163-177
Ummah MK. 2010. Ekstraksi dan pengujian aktifitas antibakteri senyawa tanin pada daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi l.) (kajian variasi pelarut). [skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
United States Departement of Agriculture. 2003. USDA Database for the Flavonoid Content of
Selected Foods [database]. Beltsville, Maryland: Agricultural Research Service, Beltsville
Human Nutrition Research Center, Nutrient Data Laboratory.
Valant-Vetschera KM, Wollenweber E. 2006. Flavons and Flavonols. Di dalam: Andersen J,
Markham A (eds.). Flavonoids. USA: CRC Press, pp 254-285.
Volgina TN, Kukurina OS, Novikov VT . 2005. Study of Phenol Destruction by Means of oxidation.
Chemistry of sustain develop 13: 41-44.
Wahyu G. 2009. Obesitas pada Anak. Jakarta. Bentang Pusaka.
Wan X, Daxiang L, dan Zhengzhu Z. 2009a. Antioxidant Properties and Mechanisms of Tea
Polyphenols. Di dalam: Tang Ho Chi et al. (eds). Tea and Tea Products: Chemistry and
Health-Promoting Properties. Boca Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 233-244.
Wan X,Daxiang L,dan ZhengzhuZ. 2009b. Greean Tea and Black tea: Manufacturing and
Consumpsion. Di dalam: Tang Ho Chi et al. (eds). Tea and Tea Products: Chemistry and
Health-Promoting Properties. Boca Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 233-244.
Wan X C, Huang J Z, Shen S R. 2003. Tea Biochemistry. Beijing China Agriculture Press 3rd ed., 9-
20 : 180 94.
Wei X, Zhiwei Y, Yanhong G, Jianbo X, dan Yuanfeng W. 2010. Composition and Biological
Activity of Tea Polysaccharides Obtained by Water Extraction and Enzymatic Extraction.
Latin American Journal of Pharmacy 29 (1): 117-21.
[WHO] World Health Organization. 2009. Diabetes. http://www.who.net/en/ [14 April 2011].
Winarno F G. 1980. Enzim Pangan. Bogor. Pusat Antar Universitas.
. 1981. Fisiologi Pasca Panen. Jakarta. PT. Sastra Hudaya.
34
Windish W W, Mhatre N S. 1965. Microbial Amylases. Adv. Appl. Microbiol. 7: 273.
Zega Y. 2010. Pengembangan produk jelly drink berbasis teh (Camelia sinensis) dan secang
(Caesalpinia sappan L.) sebagai pangan fungsional [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Zhang J, Kashket S. 1998. Inhibition of salivary amylase by black tea and green teas and their effects
on the intraoral and hydrolysis of starch. Forsyth Dental Center, [Online]. 32 (3). Abstract from
Center for Research on teh Oral and Biological Effects of Foods Database.
http://www.content.karger.com. Center for Research on teh Oral and Biological Effects of
Foods.[14 September 2011].
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 1. Diagram alir proses ekstrak teh hijau
Ekstrak teh
hijau
37
Lampiran 2. Data pengukuran pH ekstrak awal teh hijau
38
Lampiran 3. Hasil uji statistik pH awal ekstrak teh hijau
Dependent Variable:Ph
39
Lampiran 4. Data inhibisi enzim alfa-amilase pada teh hijau yang diseduh pada suhu 70oC selama 5
menit dan contoh perhitungan
Ulangan 1
Ulangan 2
40
Hasil akhir
pH awal
pH 6.8
Contoh perhitungan
Ulangan 2 pH awal
( . ) ( )
% inhibisi = x 100%
( . )
( , , ) ( , , )
% inhibisi = x100%
( , , )
, ,
% inhibisi = x 100%
,
% Inhibisi = 70,80%
41
Lampiran 5. Data inhibisi enzim alfa-amilase pada teh hijau
sampel teh hijau nilai inhibisi pH awal (%) nilai inhibisi pH 6,8 (%)
ulangan rata-rata ulangan rata-rata
70 C, 5' 1 59.5 1 46.06 46.75
65.16
2 70.8 2 47.44
70 C, 15' 1 52,28 1 39,63 39,385
58,435
2 64,59 2 39,14
70 C, 30' 1 70,00 1 42,37 43,650
63,260
2 56,52 2 44,93
100 C, 5' 1 95,45 1 54,59 56,345
89,280
2 83,11 2 58,10
100 C, 15' 1 74,64 1 37,08 47,695
86,895
2 99,15 2 58,31
100 C, 30' 1 51,95 1 13,49 15,080
53,540
2 55,13 2 16,67
Acarbose 1 99,08 1 85,38 85,185
99,120
2 99,16 2 84,99
42
Lampiran 6. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-amilase pH awal
Dependent Variable:INHIBISI_PH_AWAL
Namun, jika ACARBOSE (kontrol positif) diikutsertakan dalam analisis ternyata ada pengaruh dari kombinasi
perlakuan. Untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang berbeda maka perlu dilakukan uji lanjut. Uji lanjut
yang digunakan adalah uji lanjut Duncan.
43
Lampiran 7. Hasil uji statistik faktor interaksi suhu dan waktu sampel dan Acarbose terhadap inhibisi
enzim alfa-amilase pada pH awal
ANOVA
44
Lampiran 8. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa-amilase pada pH
awal
AMILASE1
Duncan
INTERAKSI N 1 2 3
S2W3 2 53.5400
S1W2 2 58.4350
S1W3 2 63.2600
S1W1 2 65.1500 65.1500
S2W2 2 86.8950 86.8950
S2W1 2 89.2800
ACARBOSE 2 99.1200
Sig. .278 .053 .248
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
45
Lampiran 9. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-amilase pH 6,8
Dependent Variable:INHIBISI_PH_AKHIR
46
Lampiran 10. Hasil uji statistik faktor waktu sampel pada pH 6.8
INHIBISI_PH_AKHIR
Duncan
Subset
WAKT
U N 1 2
W3 4 29.3650
W2 4 43.5400
W1 4 51.5475
Sig. 1.000 .124
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 40,154.
47
Lampiran 11. Hasil uji statistik faktor interaksi suhu dan waktu sampel dan Acarbose terhadap inhibisi
enzim alfa-amilase pada pH 6.8
ANOVA
AMILASE2
48
Lampiran 12. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa-amilase pada pH 6.8
AMILASE2
Duncan
INTERAKSI N 1 2 3 4
S2W3 2 15.0800
S1W2 2 39.3850
S1W3 2 43.6500 43.6500
S1W1 2 46.7500 46.7500
S2W2 2 47.6950 47.6950
S2W1 2 56.3450
ACARBOSE 2 85.1850
Sig. 1.000 .222 .081 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
49
Lampiran 13. Data inhibisi enzim alfa-glukosidase pada teh hijau
sampel teh hijau nilai inhibisi pH awal (%) nilai inhibisi pH 6,8 (%)
ulangan rata-rata ulangan rata-rata
70 C, 5' 1 96,03 95,93 1 95,23 95,63
2 95,83 2 96,03
70 C, 15' 1 98,21 98,26 1 96,03 93,99
2 98,31 2 91,95
70 C, 30' 1 99,56 99,63 1 96,13 96,775
2 99,7 2 97,42
100 C, 5' 1 98,21 98,51 1 95,33 95,28
2 98,81 2 95,23
100 C, 15' 1 97,02 96,82 1 91,75 92,595
2 96,62 2 93,44
100 C, 30' 1 94,44 95,085 1 91,06 92,25
2 95,73 2 93,44
acarbose 1 99,86 99,87 1 99,46 99,485
2 99,88 2 99,51
50
Lampiran 14. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-glukosidase pH awal
Dependent Variable:INHIBISI_PH_AWAL
51
Lampiran 15. Hasil uji statistik faktor interaksi suhu dan waktu sampel dan Acarbose terhadap
inhibisi enzim alfa-glukosidase pada pH awal
ANOVA
GLUKOSIDASE1
52
Lampiran 16. Uji lanjut duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa-glukosidase pada
pH awal
GLUKOSIDASE1
Duncan
INTERAKSI N 1 2 3 4
S2W3 2 95.0850
S1W1 2 95.9300 95.9300
S2W2 2 96.8200
S1W2 2 98.2600
S2W1 2 98.5100
S1W3 2 99.6300
ACARBOSE 2 99.8700
Sig. .073 .062 .553 .569
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
53
Lampiran 17. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-glukosidase pH 6.8 (pH usus)
Dependent Variable:INHIBISI_PH_AKHIR
Namun, jika ACARBOSE (kontrol positif) diikutsertakan dalam analisis ternyata ada pengaruh dari kombinasi
perlakuan. Untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang berbeda maka perlu dilakukan uji lanjut. Uji lanjut
yang digunakan adalah uji lanjut Duncan.
54
Lampiran 18. Hasil uji statistik faktor interaksi suhu dan waktu sampel dan Acarbose terhadap
inhibisi enzim alfa-glukosidase pada pH 6.8 (pH usus)
ANOVA
GLUKOSIDASE2
55
Lampiran 19. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa-glukosidase pada
pH 6.8 (pH usus)
GLUKOSIDASE2
Duncan
INTERAKSI N 1 2 3
S2W3 2 92.2500
S2W2 2 92.5950
S1W2 2 93.9900 93.9900
S2W1 2 95.2800 95.2800
S1W1 2 95.6300 95.6300
S1W3 2 96.7750 96.7750
ACARBOSE 2 99.4850
Sig. .059 .103 .094
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
56
Lampiran 20. Tabel dan kurva asam galat
1 y = 0,0044x - 0,1021
R = 0,9902
0.8
Absorbansi
0.6
0.4
0.2
0
0 50 100 150 200 250 300
Konsentrasi (ppm)
57
Lampiran 21. Data total fenol
Cara pengenceran: 100 ml ekstrak teh (mengandung 4 gram bubuk teh) diambil sebanyak 1 ml kemudian
diencerkan sampai dengan 10 ml dengan akuades. Dari pengenceran tersebut, diambil
0.5 ml untuk dilakukan pengujian total fenol.
Contoh perhitungan :
= 147.52 x 0.5 ml x .
x x x
= 36.88
58
Lampiran 22. Hasil uji statistik total fenol
Dependent Variable:KONSENTRASI
59
Lampiran 23. Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor waktu penyeduhan pada kadar total fenol
WAKTU
KONSENTRASI
Subset
WAKT
U N 1 2 3
Duncana W3 4 29.6225
W2 4 34.8050
W1 4 43.0025
60
Lampiran 24. Hasil uji statistik untuk faktor interaksi suhu dan waktu penyeduhan pada kadar total
fenol
ANOVA
KONSENTRASI
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
61
Lampiran 25. Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor interaksi suhu dan waktu penyeduhan pada kadar
total fenol
KONSENTRASI
Duncan
INTERAKSI N 1 2 3 4
S2W3 2 22.3650
S1W2 2 31.1400
S1W1 2 36.8500
S1W3 2 36.8800
S2W2 2 38.4700
S2W1 2 49.1550
Sig. 1.000 1.000 .250 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
62
Lampiran 26. Data kadar tanin
rata-rata kadar
Sampel brt. Kertas brt.kertas+ endapan brt.endapan kadar tanin (%)
tanin (%)
70OC,5 menit 0,541 0,5838 0,0428 4,28 4,755
0,5347 0,587 0,0523 5,23
70OC,15 menit 0,5332 0,5743 0,0411 4,11 4,02
0,5476 0,5869 0,0393 3,93
O
70 C,30 menit 0,5396 0,6035 0,0639 6,39 6,18
0,5471 0,6068 0,0597 5,97
100OC,5 menit 0,5415 0,616 0,0745 7,45 8,05
0,5407 0,6272 0,0865 8,65
O
100 C,15 menit 0,5396 0,5946 0,055 5,5 6,06
0,5251 0,5913 0,0662 6,62
100OC,30 menit 0,5398 0,5924 0,0526 5,26 5,68
0,5346 0,5956 0,061 6,1
Contoh perhitungan :
.
Kadar tanin = x 100%
= 4.28%
63
Lampiran 27. Hasil uji statistik kadar tanin
Dependent Variable:KONSENTRASI
64
Lampiran 28. nilai rataan pada faktor suhu yang berbeda nyata pada kadar tanin
2. SUHU
Dependent Variable:KONSENTRASI
65
Lampiran 29. Hasil uji statistik untuk faktor interaksi suhu dan waktu penyeduhan pada kadar tanin
ANOVA
KONSENTRASI
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
66
Lampiran 30. Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor interaksi suhu dan waktu penyeduhan pada kadar
tanin
KONSENTRASI
Duncan
S1W2 2 4.0200
S1W1 2 4.7550 4.7550
S2W3 2 5.6800
S2W2 2 6.0600
S1W3 2 6.1800
S2W1 2 8.0500
Sig. .276 .069 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
67
Lampiran 31. Korelasi nilai total fenol dengan inhibisi enzim alfa-amilase
Correlations
fenol inhibisi
N 6 6
inhibisi Pearson Correlation .852* 1
68
Lampiran 32. Korelasi nilai total fenol dengan inhibisi enzim alfa-glukosidase
Correlations
fenol inhibisi
N 6 6
69
Lampiran 33. Korelasi nilai kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa-amilase
Correlations
tanin Inhibisi
N 6 6
70
Lampiran 34. korelasi nilai kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa-glukosidase
Correlations
tanin Inhibisi
N 6 6
71
Lampiran 35. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-amilase pada perbedaan ph awal dan pH 6.8
T-Test
N Correlation Sig.
Paired Differences
Pair 1 INHIBISI_PH_AWA
L-
INHIBISI_PH_AKHI 2.7942
11.25908 3.25022 20.78882 35.09618 8.597 11 .000
R 5E1
72
Lampiran 36. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa-glukosidase pada perbedaan ph awal dan pH 6.8
T-Test
N Correlation Sig.
Paired Differences
Pair 1 INHIBISI_PH_
AWAL -
2.95250 1.75558 .50679 1.83706 4.06794 5.826 11 .000
INHIBISI_PH_
AKHIR
73