You are on page 1of 42

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PADA ABH (ANAK YANG

BERHADAPAN DENGAN HUKUM) DALAM KASUS


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

ABSTRACT
Background: based on Law of the Republic of Indonesia Number 11 year 2012 about the Juvenile
Justice System stated that child have need of protection from negative effect of rapid development,
globalization current of communication and information, as well as the changing of most parents
life style which bring the fundamental social transformation in society, thus influencing on child
behavior.
Case Report: on Sunday, October 11st 2009, the suspect M has done criminal offense that is
physically abuse/violence in household toward Mrs. ER who is his stepmother and lead to Mrs. ER
death.
Discussion: the Juvenile Justice System intends to secure well-being and the future of child. All of
the laws are made with aims to not depriving of child rights and fostering the child to be a better
person and the sentence that is dropped shall take into consideration on situation and favor of the
children in conflict with the law.
Conclusion: cases of children in conflict with the law could be done by informal mechanism
which is done by restorative justice approach in order to satisfy sense of justice toward the victim
so that both of parties could forgive each other and there would be no resentment among them.

Keywords: juvenile justice, child, domestic violence, restorative justice, juvenile delinquency

1
LATAR BELAKANG

Komisi Perlindungan Anak indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa


meski jumlah kasus kejahatan terhadap anak mengalami penurunan, jumlah anak
sebagai pelaku dalam kasus kejahatan justru semakin meningkat. Fakta yang
didapatkan KPAI mengungkapkan bahwa pada tahun 2014, terdapat 67 kasus
anak yang menjadi pelaku kekerasan, sementara itu pada 2015 meningkat
menjadi 79 kasus. Ketika seorang ABH selesai menjalani pemeriksaan, proses
pengadilan, dan akhirnya dijatuhi hukuman berupa penjara, maka anak tersebut
akan berstatus narapidana. Dengan status narapidana tersebut, anak mendapatkan
dampak buruk yang sangat mempengaruhi hidupnya. Narapidana anak akan
kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga,
kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan, kehilangan hubungan
heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan gangguan psikologis (Cooke dkk., 1990;
Sykes, 1958).
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak saat ini
adalah melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Pramukti & Fuadi, 2015).
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United Nations Standard Minimum Rules for
the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules
menyatakan tujuan peradilan anak (Aims of Juvenile Justice), sebagai berikut:

The Juvenile Justice System shall emphasize well-being of the


juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders
shall always be in proportion to circumstances of both the offender
and offence. (Sistem peradilan pidana bagi anak/remaja akan
mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa
reaksi apapun atas pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan
selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar hukum
maupun pelanggaran hukumnya).

2
Dengan kata lain, Sistem Peradilan Pidana Anak bertujuan untuk
menjamin kesejahteraan dan masa depan anak itu sendiri dengan tidak
menelantarkan hak-hak serta kebebasan anak. Hukuman Penjara merupakan
langkah terakhir yang dapat diambil dalam penerapan sistem ini. Maka dari itu,
tujuan pembuatan case report ini adalah untuk menjelaskan tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, prosedur, serta tujuan diberlakukannya sistem tersebut.
Sehingga, masyarakat dapat mengetahui bahwa perundang-udangan tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku saat ini tidak menjadikan anak
sebagai objek melainkan sarana untuk membentuk pribadi anak yang lebih baik.

3
PRESENTASI KASUS
I. Identitas Anak
Nama :M
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Nias, 9 Februari 1998
Pendidikan : Kelas 1 SD 013 Cibubur
Status : Belum menikah
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Sembung I No.137 Rt.01/07 Kel. Cibubur Kec.
Ciracas Jakarta Timur
II. Identitas Ibu
Nama : Ny. ER
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir :-
Pendidikan :-
Status : Menikah
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Sembung I No.137 RT.01/07 Kel. Cibubur Kec.
Ciracas Jakarta Timur

Pada hari Mingu, tanggal 11 Oktober 2009 di rumah yang beralamat di Jl.
Sembung I No.137 RT.01/07 Kel. Cibubur Kec. Ciracas Jakarta Timur, tersangka
M telah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan fisik/penganiayaan dalam
rumah tangga terhadap korban Ny. ER yang menyebabkan kematian korban.
Kronologis pembunuhan, pertama M mengambil balok kayu yang terletak
di samping kulkas kemudian diayunkannya balok tersebut pada tengkuk Ny. ER
sehingga Ny. ER terjatuh dan setelah itu kepala Ny. ER dipukul lagi dengan balok
kayu tersebut sebanyak dua kali sehingga Ny. ER mengeluarkan banyak darah
dari hidungnya.
Kedua, M memukulkan martil ke kepala Ny. ER sebanyak tiga kali
sehingga kepala Ny. ER mengeluarkan banyak darah. Tidak berhenti sampai
disitu, M mengambil pisau dapur dan menusukkan pisau tersebut di pinggang
kanan Ny. ER dan membiarkan pisau tersebut menancap di pinggang Ny. ER.
Keluarga yang merasa Ny. ER tidak pulang setelah 2 hari, akhirnya
melapor ke kantor polisi. Seorang polisi datang ke rumah untuk meminta

4
keterangan keluarga korban dan menyarankan untuk mencari di sekitar rumah
terlebih dahulu. Tidak disangka, ternyata Ny. ER ditemukan tidak bernyawa di
selokan belakang rumah.
M ditangkap pada 13 Oktober 2009 bertempat di tempat M bersekolah.
Pada saat itu M sedang melaksanakan ujian, namun belum sempat melaksanakan
ujian tersangka langsung ditangkap.
M dikenai pasal 44 Ayat (3) UU RI No.23 tahun 2004 tentang PKDRT Jo
Pasal 351 Ayat (3) KUHP terhadap Ny. ER. Berhubung usia M yang masih
dibawah umur saat itu (10 tahun), maka pengadilan memutuskan untuk melakukan
tindakan pada M yaitu mengembalikan kepada orang tua, atau menyerahkan M
pada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial berdasarkan UU RI NO.3 Tahun
1997 Pasal 24 Ayat (1).
Akhirnya M dibina di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dalam
rangka rehabilitasi dan pembinaan mental atau kepribadian M selama 6 bulan.

5
DISKUSI KASUS

I. Pengertian Anak
Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak menjelaskan bahwa anak adalah bagian dari generasi muda
sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus
cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai
ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh,
serasi, selaras, dan seimbang.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Anak, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan Negara.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Perlindungan terhadap hak anak tidak terbatas pada
pemerintah selaku kaki tangan Negara akan tetapi harus dilakukan juga oleh
orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk bertanggung jawab menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut (Pramukti & Fuadi, 2015).
Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak terutama menjamin pertumbuhan dan perkembangan
secara optimal. Senada dengan itu dalam pasal 28B Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
Berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan mengenai
definisi anak. Anak dalam perspektif hukum Indonesia lazim dikatakan sebagai
seorang yang belum dewasa atau masih di bawah umur.

6
1. UU Nomor 11 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5332) tentang Sistem Peradilan Anak
Dijelaskan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Sedangkan Anak yang
Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
2. UU Nomor 3 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3668) tentang Pengadilan Anak
Dalam undang-undang ini, yang dimaksud dengan anak adalah orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Pernyataan tersebut terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1). UU No.3 Tahun 1997
adalah peraturan yang sebelumnya berlaku bagi tindak pidana yang
dilakukan oleh anak. Karena terdapat beberapa hal yang tidak lagi relevan
dengan keadaan yang terjadi dimasa sekarang, maka diperbarui dengan UU
No.11 Tahun 2012 yang telah disebutkan di atas. Dalam ketentuan undang-
undang ini, ditentukan bahwa batas minimal anak adalah delapan tahun.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana belum berumur delapan
tahun, maka dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh. Apabila
tidak dibina, maka penyidik menyerahkan anak kepada Departemen Sosial
setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

7
Pengertian anak seperti yang disebutkan di atas menggunakan kategori
usia. Anak yang melakukan tindak pidana dalam UU No.3 Tahun 1997 disebut
sebagai Anak Nakal. Lain halnya dengan UU No.11 Tahun 2012 yang
menggantikan penyebutan menjadi Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
Dalam kebiasaan Internasional sering disebut dengan kenakalan remaja atau
juvenile delinquency (Pramukti & Fuadi, 2015).
Juvenile delinquency ditentukan atas dasar umum para pelaku dan atas
dasar macam tingkah laku para pelaku untuk diajukan ke Pengadilan anak.
Kebanyakan negara mempunyai batas umur minimum dan maksimum seorang
anak untuk dapat diajukan di muka sidang pengadilan. Di antaranya (Soekito,
1983):
1. Di Amerika Serikat ada 27 negara bagian yang mempunyai batas
umur maksimum 18 tahun, 6 negara bagian 17 tahun dan negara
bagian lainnya 16 tahun. Batas umur minimum rata-rata adalah 8
tahun.
2. Di Inggris batas usia minimum 12 tahun dan maksimum 16 tahun.
3. Di Australia kebanyakan negara bagian batas umur minimum 8
tahun, batas umur maksimum 16 tahun untuk child dan 16 tahun
untuk young person.
4. Di belanda batas umur minimum 12 tahun dan batas umur
maksimum 18 tahun.
5. Di Sri Lanka batas umur maksimum 18 tahun dan minimum 15
tahun.
6. Di Iran batas umur minimum 6 tahun dan maksimum 18 tahun.
7. Di Jepang dan Korea batas umur minimum 14 tahun dan maksimum
20 tahun.
8. Di Taiwan batas umur minimum 14 tahun dan maksimum 18 tahun.
9. Di Kamboja batas umur minimum 15 tahun dan maksimum 18 tahun.
10. Di Negara ASEAN lain, antaranya Filipina (7-16 tahun), Malaysia
(7-18 tahun), dan Singapura (7-18 tahun).

8
II. Pengertian Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Dalam Hukum Internasional, anak yang berhadapan dengan hukum atau
children in conflict with the law adalah seseorang yang berusia di bawah 18
tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang
bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana (UNICEF, 2006).
Inter-Parliamentary UNION dan UNICEF dalam Improving the
Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia menjelaskan,
persinggungan anak dengan sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan
anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana
menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang
melakukan tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan
demikian istilah sistem peradilan anak dipergunakan untuk menggambarkan
sistem peradilan pidana yang dikonstruksikan pada anak.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan Anak yang Berhadapan dengan
Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

III. Motivasi Anak untuk Melakukan Tindak Kejahatan


Terdapat motivasi ekstrinsik dan intrinsik yang dapat mendasari perilaku
kejahatan yang dilakukan anak atau kenakalan anak dan remaja. Yang termasuk
motivasi intrinsik adalah faktor intelegensi, usia, jenis kelamin, dan kedudukan
anak dalam keluarga (Soetodjo & Wagiati, 2006).
Faktor intelegensi dapat memengaruhi anak dalam mempertimbangkan
baik atau buruknya perilaku yang dilakukan, usia memengaruhi pola pikir dan
pemahaman moral di masyarakat tempat tinggalnya, jenis kelamin laki-laki
cenderung lebih rentan melakukan pelanggaran hukum, dan kedudukan anak
dalam keluargapun akan memengaruhi psikologis anak ketika melakukan
kejahatan. Sedangkan yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah faktor rumah
tangga, pendidikan dan sekolah, pergaulan anak, dan media massa (Soetodjo &
Wagiati, 2006).

9
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan anak yang awalnya berperilaku
baik, ketika ada masalah dalam keluarganya, sekolah tidak menerapkan aturan
yang tegas, pergaulan yang salah dan menyimpang dari norma masyarakat,
serta pengaruh media massa yang menayangkan berbagai adegan buruk yang
bisa dicontoh oleh anak, dapat melakukan tindak pidana sehingga terpaksa
harus berurusan dengan hukum dan sistem peradilan.

Tabel 1. Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak

(Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Data Informasi dan


Pengaduan 2014)

10
Tabel 2. Statistik Kriminal Anak Tahun 2012 di Indonesia

(Sumber: Direktorat Jendral Pemasyarakatan Tahun 2012)

IV. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak
Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No.11 Tahun 2012 menyebutkan Sistem
Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak
yang Berhadapan dengan Hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Undang-undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak
tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24
Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilam militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Namun, undang-undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan
umum.
Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain
mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling
mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai

11
Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan
menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari
stigmatisasi tehadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan
anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi
anak maupun bagi korban. Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi,
yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-
sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat
segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Pasal 2 dalam UU ini menyebutkan tentang asas yang mendasari SPPA
ini, yaitu:
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;
dan
j. Penghindaran pembalasan.
Adapun hak anak dalam proses peradilan pidana:
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;

12
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang
dipercayai oleh anak;
k. Memperoleh advokasi social;
l. Meperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

V. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Anak


A. DIVERSI
Ide Diversi pada mulanya dicanangkan dalam United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(SMRJJ) atau yang lebih dikenal dengan The Beijing Rules. Prinsip-
prinsip menurut The Beijing Rules 11 adalah sebagai berikut:
a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lainnya) diberi
kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia
muda tanpa menggunakan pengadilan formal.
b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat
penegak hukum yang menangani kasus anak-anak ini, menurut
kebijakan mereka, sesuai dengan criteria yang ditentukan untuk tujuan

13
itu di dakam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Beijing Rules.
c. Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang
tua/wali nya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan diversi
setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan
diversi tersebut.
d. Pelaksanaan diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,
sehubungan dengan adanya program diversi seperti: pengawasan,
bimbingan sementara, pemulihan, dan gantu rugi kepada korban.
Diversi, merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak
hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam
menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak
mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak
meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana atau
mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk
kegiatan pelayanan sosial lainnya (Pramukti & Fuadi, 2015). Aplikasi
diversi sebenarnya untuk memberikan jaminan perlindungan hukum
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan
pidana anak Indonesia, dengan mengaplikasikan diversi di dalam setiap
tahap pemeriksaan.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang No.11 Tahun 2012, tujuan diversi
adalah sebagai berikut:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara dibawah tujuh tahun, dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana. Jika ketentuan tersebut tidak terpenuhi atau
proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi

14
tidak dilaksanakan, maka kasus peradilan anak dapat dilanjutkan ke
tingkat selanjutnya.
Dalam melaksanakan diversi, penyidik, penuntut umum, serta
hakim harus mempertimbangkan tindak pidana yang dilakukan anak,
umur anak pada saat melakukan tindak pidana, hasil penelitian mengenai
anak dari Badan Pemasyarakatan, serta dukungan dari lingkungan
keluarga dan masyarakat. Ketentuan tersebut merupakan indikator bahwa
semakin rendah ancaman pidana, maka semakin tinggi prioritas diversi.
Diversi sendiri tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku
tindak pidana serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar
narkoba, dan terorisme yang diancam pidana di atas tujuh tahun.
Sedangkan umur anak yang dimaksud, adalah untuk menentukan prioritas
pemberian diversi dan semakin muda umurnya maka semakin tinggi
prioritas diversi.
Apabila kesepakatan diversi sudah tercapai, maka harus ada
persetujuan dari korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan
anak dan keluarganya. Namun persetujuan itu tidak dibutuhkan apabila
tidak memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana
pelanggaran;
b. Tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana ringan;
c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan korban; atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat.
Keempat hal di atas merupakan suatu alternatif yang berarti apabila
sudah ada satu kriteria saja yang terpenuhi maka persetujuan diversi
tersebut tidak membutuhkan persetujuan. Apabila terdapat kesepakatan
diversi dalam hal seperti yang disebutkan di atas, maka kesepakatan
tersebut dapat dilakukan oleh Penyidik beserta pelaku/keluarganya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan dapat pula melibatkan tokoh

15
masyarakat. Kesepakatan mengenai hal tersebut atas rekomendasi
Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:
a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. Rehabilitasi medis dan psikososial;
c. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan; atau
e. Pelayanan masyarakat paling lama tiga bulan.
Pada kasus M, diversi tidak dapat dilaksanakan. Karena tindak
pidana yang dilakukan M memiliki ancaman pidana lebih dari tujuh
tahun. Maka dari itu pada kasus M, berkas perkara dilanjutkan ke proses
pengadilan. Namun, menurut Sofian dalam tulisannya yang berjudul
Penerapan Diversi dalam Persidangan Anak, hakim anak wajib
mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana di bawah 7 tahun dan didakwa pula dengan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 tahun atau lebih
dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun
kombinasi, diatur dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanan Diversi dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak (PERMA 4/2014).

B. HUKUM ACARA PERADILAN ANAK


Hukum acara pidana sering disebut juga dengan hukum pidana
formil. Hukum pidana formal mengatur bagaimana dengan perantaraan
alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan
pidana (Soedarto, 1990). Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang
SPPA mengatur mengenai hukum acara peradilan pidana anak dalam Bab
III dari Pasal 16 sampai dengan 62. Jumlahnya sebanyak 47 pasal yang
mengatur mengenai hukum acara peradilan pidana anak.
Pasal 18 menyebutkan bahwa dalam menangani perkara anak, anak
korban, dan/atau anak saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja

16
Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan
suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Bila tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18
tahun dan diajukan ke sidang pengadilan dimana setelah anak yang
bersangkutan melampaui umur 18 tahun, tetapi belum mencapai umur 21
tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20).
Pada Pasal 21, ditentukan bahwa anak yang belum berumur 12
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik,
pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional mengambil
keputusan untuk:
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan,
dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di
instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap anak
dilakukan bukan dalam rangka proses peradilan pidana, melainkan
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh penyidik,
pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional.
Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan
hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa
atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak,
sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia
diajukan ke pengadilan yang berwenang.
1. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
pejabat penyidik sesuai dengan cara dalam UU untuk mencari

17
serta mengumpulkan, dan dengan bukti itu membuat atau
menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus
menemukan tersangka atau pelaku tindak pidana (Harahap,
2006).
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Telah berpengalaman sebagai penyidik;

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan


memahami masalah Anak; dan

c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang


peradilan Anak.
Jika belum terdapat penyidik yang sesuai dengan
kriteria disebut, tugas penyidikan dapat dilaksanakan oleh
penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 27 menerangkan, dalam melakukan penyidikan
terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak
pidana dilaporkan atau diadukan. Dan penyidik dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli saksi ahli bila diperlukan.
Telah dijelaskan bahwa Diversi wajib dilaksanakan
pada setiap tahap peradilan. Maka proses diversi juga harus
dilaksanakan pada tahap penyidikan. Dan dalam hal diversi
gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan
melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan
berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.
2. Penangkapan dan Penahanan
Penangkapan merupakan suatu tindakan berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa dengan menempatkannya pada Rumah Tahanan
Negara (Darwin,1997).

18
Penangkapan terhadap anak dilakukan demi
kepentingan penyidikan paling lama 24 jam. Perhitungan 24
jam masa penyidik dihitung berdasarkan waktu kerja. Anak
yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan
khusus anak. Jika belum tersedia ruangan tersebut, maka anak
dititipkan di LPKS. Penangkapan anak wajib dilakukan secara
manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya.
Pasal 32 Ayat (1) menegaskan, Penahanan terhadap
anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh
jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak
akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak
barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
Dan penahanan tersebut dilakukan untuk kepentingan
penyidikan dilakukan paling lama tujuh hari.
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan bila
anak telah berumur 14 tahun atau lebih, dan diduga melakukan
tindakan pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun
atau lebih.
Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan
penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan
paling lama lima hari (Pasal 34). Dalam hal penahanan
dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding,
Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama
sepuluh hari.
Dan bila masa penahanan baik proses penyidikan,
penuntutan, maupun pemeriksaan di tingkat banding sudah
habis, anak wajib dikeluarkan demi hukum.
Selain itu, pejabat yang melakukan penangkapan atau
penahanan wajib memberitahukan kepada anak dan orang
tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum.

19
Penahanan demi kepentingan penyidikan tidak dapat
dilakukan terhadap kasus M, karena penahanan dilakukan bila
anak telah berumur 14 tahun (sesuai Pasal 32 Ayat (2)), namun
dapat dipertimbangkan dengan menitipkan M pada RSPA
(Rumah Perlindungan Sosial Anak) ditinjau dari keadaan yang
bersangkutan tidak mungkin diawasi oleh orang tua angkatnya.
Penjatuhan putusan terhadap M, hakim wajib
mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan
sebelum menjatuhkan putusan perkara.

3. Penuntutan
Penuntutan adalah pelimpahan suatu berkas perkara
oleh jaksa penuntut umum kepada pengadilan dengan membuat
surat dakwaan (Darwin, 1997).
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum
meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan
Anak.
Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling
lama tujuh hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik.
Diversi tersebut paling lama dilaksanakan dalam 30 hari. Jika
proses diversi berhadil, penuntut umum menyampaikan berita
acara diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk selanjutnya
dibuat penetapan. Akan tetapi bila diversi gagal, penuntut
umum wajib menyampaikan berita acara diversi serta
melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan
laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

20
Perlimpahan dari
Penerimaan BAPAS
Penuntutan umum
Anak
Perkara

Proses musyawarah Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, pelaku dan


ortu/wali, korban dan ortu/wali, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja
Sosial Profesional

Menerima dan Menolak, ditolak


disetujui diversi diversi

Program diversi Diteruskan untuk


diperiksa/proses pengadilan

Gambar 1. Skema Ide Diversi

4. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan


Ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis
hakim untuk menangani perkara anak paling lama tiga hari
setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum.
Sebelumnya, hakim wajib mengupayakan diversi paling lama
tujuh hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri
sebagai hakim. Diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30
hari.
Pada saat proses persidangan, anak disidangkan dalam
ruang siadang khusus anak. Selanjutnya, ruang tunggu sidang

21
anak dipisahkan dari ruang tunggu orang dewasa. Adapun
waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang
dewasa. Dalam sidang anak, hakim memeriksa perkara anak
dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali
pembacaan putusan. Pada saat pembacaan putusan pengadilan
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umumndan dapat tidak
dihadiri oleh anak.
Dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang
tua/wali atau pendamping, advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya dan pembimbing kemasyarakatan untuk
mendampingi anak. Meskipun pada prinsipnya tindak pidana
merupakan tanggung jawab anak, anak tidak dapat dipisahkan
dari kehadirang orang tua/wali.
Identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi tetap
harus dirahasiakan dari media massa, dengan hanya
menggunakan inisial tanpa gambar.

C. SANKSI PIDANA DAN KETENTUAN PIDANA


Sanksi Pidana
Baik Undang-Undang No.3 tahun 1997 maupun Undang-
Undang No.11 tahun 2012 memuat sanksi pidana yang terdiri dari
sanksi pidana pokok maupun tambahan. Namun yang akan dibahas
kali ini adalah sanksi pidana pada UU No.11 tahun 2012 tentang
SPPA.
Sesuai dengan Pasal 69, anak hanya dapat dijatuhi pidana
atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam UU ini, dan anak
yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Pidana yang dijatuhkan haruslah mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan bagi si anak. Dasar pertimbangannya
meliputi ringannya perbuatan, keadilan pribadi anak, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian.

22
a. Pidana Pokok
1. Pidana Peringatan
Pidana peringatan adalah pidana ringan yang tidak
mengakibatkan pembatasan kebebasan hak. Dalam hal ini anak
hanya diberikan hukuman berupa peringatan.
2. Pidana Bersyarat
Pidana bersayarat dapat dijatuhkan oleh hakim dalam
hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama dua tahun.
Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat,
ditentukan mengenai syarat umum dan syarat khusus. Syarat
umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi
selama menjalani masa pidana dengan syarat. Sedangkan syarat
khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap
memperhatikan kebebasan anak. Masa pidana syarat khusus
lebih lama daripada syarat umum. Jangka waktu masa pidana
dengan syarat paling lama tiga tahun.
Pembinaan di Luar Lembaga
Dalam hal hakim memutuskan bahwa anak dibina di
luar lembaga, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan
ditentukan dalam putusannya. Pidana luar lembaga dapat
berupa keharusan untuk:
- Mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan
yang dilakukan oleh pejabat pembina.
- Mengikuti terapi di rumah sakit jiwa, atau
- Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alcohol,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pejabat Pembina dapat mengusulkan kepada hakim
pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang
lamanya tidak melampaui maksimum dua kali masa
pembinaan yang belum dilaksanakan.

23
Pelayanan Masyarakat
Yang dimaksud dengan pelayanan masyarakat
adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga
pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk
pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang
cacat, atau anak yatim piatu dan membantu administrasi
ringan di kantor kelurahan.
Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana
yang dimaksudkan untuk mendidik anak dengan
meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan
kemasyarakatan yang positif. Jika anak tidak memenuhi
seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalani pidana
pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat
pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawa untuk
memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau
sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan
terhadapnya.
Pidana pelayanan masyarakat untuk anak dijatuhkan
paling singkat tujuh jam dan paling lama 120 jam.
Pengawasan
Yang dimaksud dengan pidana pengawasan adalah
pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni
pengawasan yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap
perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak
dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh
pembimbing kemasyarakatan. Pidana pengawasan yang
dapat dijatuhkan kepada anak paling singkat selama tiga
bulan dan paling lama dua tahun.
3. Pelatihan kerja
Pidana pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga yang
melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak.

24
Antara lain balai latiha kerja, lembaga pendidikan vokasi yang
dilaksanakan, misalnya oleh kementrian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial. Dalam hal anak
dijatuhi pidana pelatihan kerja, dikenakan paling singkat tiga
bulan dan paling lama satu tahun.
4. Pembinaan
Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di
tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang
diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Pidana
pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan
perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat. Dalam hal
ini pembinaan dalam lembaga dilakukan paling singkat tiga
bulan dan paling lama 24 bulan. Dalam Pasal 80 Ayat (4)
menyebutkan bahwa anak yang telah menjalani setengah dari
lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari
tiga bulan berkelakuan baik berhak mendapat pembebasan
bersyarat.
5. Penjara
Pidana pembatasan kebebasan dilakukan dalam hal
anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang
disertai dengan kekerasan. Dalam Pasal 79 Ayat (2)
menyebutkan bahwa pidana pembatasan kebebasan dijatuhkan
terhadap anak paling lama setengah dari maksimum pidana
penjara yang diancamkan pada orang dewasa.
Selain itu, minimum khusus pidana penjara tidak
berlaku terhadap anak. Dalam ketentuan mengenai pidana
penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang tentang SPPA.
Apabila perbuatan anak dianggap akan membahayakan
masyarakat, maka anak dijatuhi pidana penjara di LPKA.

25
Pembinaan di LPKA dilakukan sampai anak berusia 18 tahun.
Apabila anak sudah menjalani setengah dari lamanya
pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak
mendapatkan kebebasan bersyarat.
Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur
hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling
lama sepuluh tahun. Pidana penjara terhadap anak hanya
digunakan sebagai upaya terakhir.
b. Pidana Tambahan
Perihal pidana tambahan diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU
No.11 tahun 2012 tentang SSPA, berupa:
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana.
Dari aspek teknis-yuridis terminology perampasan
merupakan terjeman dari istilah Belanda verbeurd
verklaring sebagai pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan hakim di samping pidana pokok (Mulyadi,
2005). Pengertian perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana adalah mencabut dari orang
yang memegang keuntungan dari tindak pidana yang
diperoleh demi kepentingan negara.
Pemenuhan kewajiban adat.
Yang dimaksud dengan kewajiban adat adalah denda
atau tidakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma
adat setempat yang tetap menghormati harkat dan
martabat anak serta tidak membahayakan fisik dan
mental anak.
c. Tindakan
Tindakan diterangkan pada Pasal 82 dan 83. Tindakan yang
dapat dikenakan kepada anak meliputi:

26
a. Pengembalian kepada orang tua/wali;
b. Penyerahan kepada seseorang;
c. Perawatan di rumah sakit jiwa;
d. Perawatan di LPKS;
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta;
f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
Tindakan perawatan di LPKS dan pendidikan formal atau
pelatihan dikenakan paling lama satu tahun.

Dalam Pasal 21 Ayat (1) dijelaskan, dalam hal anak belum


berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. Menyerahkan kembali kepada orang tua/wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat
maupun daerah, paling lama 6 bulan.

Sehubungan dengan umur M yang masih 10 tahun, maka M


hanya boleh dijatuhkan tindakan. Dan karena tindak pidana yang
dilakukan M (menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja),
maka M sebaiknya dibina di LPAS selama maksimal 1 tahun.

VI. Institusi Baru dalam Sistem Peradilan Anak


Tanggung jawab pemerintah dan negara dalam usaha perlindungan
hak anak, termasuk hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum sudah diatur
oleh Undang Undang Perlindungan Anak. Karena anak berbeda dengan orang

27
dewasa dan masih dalam proses perkembangan yang sangat perlu mendapat
didikan yang tepat, anak memiliki hak khusus yang harus didapatkan ketika
melakukan tindakan kriminal dan berurusan dengan hukum.
Pemerintah Indonesia sudah menerapkan pendekatan restorative
juctice atau penyelesaian perkara di luar peradilan pidana dengan melibatkan
korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan pihak-pihak lain yang
terkait untuk mendapatkan kesepakatan dan penyelesaian dengan tetap
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Di luar peradilan pidana yang
dimaksud adalah menempatkan pengadilan untuk putusan penjara sebagai
pilihan terakhir. Sehingga, selama ABH masih bisa dibina, dididik, dan
diperbaiki karakternya di luar penjara, maka hal itu akan menguntungkan bagi
ABH, dan bagi negara, yaitu untuk mengurangi jumlah anak yang ditempatkan
di penjara. Jika jumlah anak yang ditempatkan di penjara dapat ditekan atau
dikurangi, maka tidak akan terjadi overloaded di dalam tahanan. Hal ini juga
senada dengan konsep parents patriae, negara seolah orang tua yang akan
memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak, sehingga
penanganan anak-anak yang berkonflik dengan hukum juga harus dilakukan
demi kepentingan terbaik anak dan berlandaskan pada Pancasila (Rochaeti,
2008).
Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak tidak akan berjalan lancar tanpa adanya sokongan tenaga dari lembaga
lain. Tujuan dari adanya Sistem Peradilan Pidana Anak adalah terciptanya
keadilan restoratif, yaitu penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadan semula, dan bukan dengan pembalasan. Oleh karena itu,
dibutuhkan lembaga yang bisa membantu dalam mencapai tujuan UU SSPA.

A. LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK (LPKA)


Lembaga Pendidikan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat
dengan LPKA adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidana.

28
apabila dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, anak dapat ditempatkan
di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang
dewasa. Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan dalam LPKA.
Anak dalam hal ini berhak memperoleh pembinaan,
pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan, dan pelatihan
serta hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.
Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi
anak yang bersangkutan, antara lain mengenai pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik fisik, mental, maupun sosial.
LPKA berkewajiban untuk memindahkan anak yang belum selesai
menjalani pidana di LPKA namun telah mencapai 18 tahun ke lembaga
permasyarakatan pemuda. Jika anak telah mencapai umur 21 tahun, tetapi
belum selesai menjalani masa pidana, anak dipindahkan ke lembaga
permasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan
pembinaan anak.

B. LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA (LPAS)


LPAS adalah tempat sementara bagi anak selama proses peradilan
berlangsung. Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. Anak tersebut
berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan,
pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan,
pelatihan keterampilan dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Melalui adanya LPAS ini diharapkan anak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik tanpa adanya tekanan fisik dan mental, karena
LPAS harus dibuat senyaman mungkin untuk kepentingan terbaik anak.
Pembimbing kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan unuk
menentukan penyelenggaraan program pendidikan.

29
C. LEMBAGA PENYELENGGARAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
(LPKS)
LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak. LPKS ini
merujuk pada UU No.11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. LPKS
berada di bawah koordinasi Kementerian Sosial yang menyelenggarakan
kesejahteraan sosial.

D. BALAI PEMASYARAKATAN
Balai pemasyarakatan yang sering disebut dengan Bapas adalah
unit pelaksana teknis kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan. Dalam Pasal 84 Ayat (5) dan 85 Ayat (5) menyebutkan
bahwa Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program
yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan dan dilaksanakan oleh
LPAS dan LPKA.
Selain itu anak yang berstatus sebagai klien anak menjadi tanggung
jawab Bapas. Klien anak adalah anak yang berada dalam pelayanan,
pembimbingan, pengawasan dan pendampingan Pembimbing
Kemasyarakatan. Klien anak tersebut berhak mendapatkan pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai
ketentuan perundang-undangan.
Bapas juga wajib menyelenggarakan pembimbingan, pengawasan
dan pendampingan, serta pemenuhak hak lain sesuai dengan ketentuang
perundang-undangan. Selain itu, bapas juga wajib melakukan evaluasi
pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta
pemenuhan hak lain kepada anak.

E. PEMBIMBING KEMASYARAKATAN
Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak
hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbing,
pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses

30
peradilan pidana. dalam Pasal 65 UU tentang SPPA disebutkan bahwa
tugas Pembimbing Kemasyarakatan adalah:
a. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan
Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan
kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila
Diversi tidak dilaksanakan;
b. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik
di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan
LPKA;
c. Menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan
Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;
d. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan
terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi
pidana atau dikenai tindakan; dan
e. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan
terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat,
cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Sedangkan syarat untuk dapat diangkat menjadi Pembimbing
Kemasyarakatan adalah:
a. Berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang ilmu sosial atau
yang setara atau telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu
Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan:
i. sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan sosial
berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun; atau

ii. sekolah menengah atas dan berpengalaman di bidang


pekerjaan sosial paling singkat 3 (tiga) tahun.
b. Sehat jasmani dan rohani;

c. Pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda Tingkat I/


II/b;

31
d. Mempunyai minat, perhatian, dan dedikasi di bidang pelayanan
dan pembimbingan pemasyarakatan serta pelindungan anak; dan

e. Telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing Kemasyarakatan


dan memiliki sertifikat.
Akan tetapi, dalam hal belum terdapat Pembimbing
Kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan di atas, tugas dan fungsi
Pembimbing Kemasyarakatan dilaksanakan oleh petugas LPKA atau
LPAS. Bila LPKA atau LPAS belum terbentuk, dilaksanakan oleh petugas
rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.

F. PEKERJA SOSIAL PROFESIONAL DAN TENAGA


KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di
lembaga pemerintah atau swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi
pekerja sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman praktik pekerjaan
sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah
sosial anak.
Tenaga kesejahteraan sosial adalah seseorang yang dididik dan
dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di
lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di
bidang kesejahteraan sosial anak.
Pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial memiliki
beberapa tugas. Tugas tersebut bisa dilihat dalam pasal 68 UU tentang
SPPA, yaitu:
a. Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak
dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan
kepercayaan diri Anak;

b. Memberikan pendampingan dan advokasi sosial;

32
c. Menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak
dan menciptakan suasana kondusif;

d. Membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak;


e. Membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan
pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan
dijatuhi pidana atau tindakan;
f. Memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk
penanganan rehabilitasi sosial Anak;
g. Mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua, lembaga
pemerintah, atau lembaga masyarakat; dan
h. Melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia
menerima kembali Anak di lingkungan sosialnya.
Dalam melaksanakan tugas di atas, pekerja sosial profesional dan
tenaga kesejahteraan sosial mengadakan koordinasi dengan pembimbing
kemasyarakatan.

VII. Cara Mendidik Anak yang Baik Menurut Islam


Cara mendidik anak yang benar menurut para ahli sudah banyak
dikemukakan di berbagai media yang berfokus pada pendidikan karakter
anak. Banyak para ahli yang menerapkan cara mendidik anak secara moderen
yang tak jarang dari beberapa cara tersebut yang sesungguhnya jauh dari
ajaran agama Islam. Bagi orang tua yang beragama Islam dan menjadikan
Islam sebagai pedoman hidup, tentu saja cara mendidik anak haruslah
berdasarkan dengan kaidah- kaidah dalam Islam. Dalam hal ini bukan berarti
orang tua muslim tidak boleh memberikan pendidikan modern terhadap anak-
anaknya, melainkan bahwa orang tua harus menempatkan agama Islam
sebagai pondasi utama dalam mendidik sang anak di atas metode pendidikan
moderen yang lain. Hal ini penting untuk dilakukan agar mampu menyaring

33
mana yang baik dan mana yang buruk bagi mereka, serta mana yang diijinkan
dan mana tidak diijinkan untuk dilakukan dalam agama mereka.
Mendidik anak yang benar menurut agama Islam meliputi apa,
mengapa, dan bagaimana cara mendidik anak yang sesuai dengan ajaran-
ajaran agama Islam dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah S.A.W. Terdapat
banyak sekali cara mendidik anak secar Islam yang dapat diterapkan oleh
orang tua kepada anak- anaknya sejak dini, bahkan saat mereka masih di
dalam kandungan.
Cara mendidik anak yang benar dalam Islam merupakan suatu cara
dalam memberikan ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, serta
pengenalan-pegenalan kepada sang anak dalam tumbuh kembangnya agar
mereka melakukan hal hal yang sesuai dengan kaidah- kaidah dan ajaran-
ajaran dalam Islam. Cara ini dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Al
Quran, Al Hadist serta sunnah-sunnah Islam sebagai acuan dasar untuk
mengembangkan pendidikan kepada anak. Dalam menerapkan cara mendidik
anak secara Islam, orang tua haruslah terlebih dahulu memahami mengenai
bagaimana cara mendidik anak menurut Islam serta larangan- larangan apa
saja yang tidak boleh dilakukan dalam mendidik anak. Dalam pelaksanannya,
terdapat beberapa cara mendidik anak yang baik dan benar dan sesuai
menurut kaidah- kaidah agama Islam. Beberapa cara yang dapat diterapkan
oleh orang tua muslim antara lain sebagai berikut.
1. Mulai mengajarkan aqidah dan tauhid kepada anak sejak dini
Seperti yang kita ketahui bahwa Allah S.W.T telah meniupkan ruh
kepada janin yang ada di dalam rahim seorang ibu semenjak empat puluh
hari terbentuknya kehamilan di dalam rahim sang ibu. Kehadiran seorang
anak merupakan anugerah dari Allah S.W.T yang mana hal tersebut berarti
bahwa segala sesuatunya berasal dari Allah dan akan kembali lagi kepada
Allah Taala. Dengan berpegang teguh pada hal ini, orang tua harus
mengetahui bahwa anak merupakan titipan Tuhan yang sewaktu waktu
dapat diambil. Untuk itulah, wajib bagi orang tua mendidik dan

34
membesarkan sang anak sesuai dengan tuntunan dari Sang Pemilik, yakni
Allah S.W.T yang telah diajarkan kepada Rasul Nya.
Dengan kesadaran penuh seperti ini, maka dalam mendidik anak,
orang tua wajib mengajarkan anak syariat Islam. Hal yang dapat
dilakukan adalah dengan mengajarkan aqidah akhlak serta ajaran tauhid
kepada sang anak sejak dini, bahkan semenjak anak berada di dalam
kandungan seperti dengan membiasakan diri mendengarkan ayat ayat Al
Quran. Ketika anak telah lahir dan mulai mampu mengenal lingkungan
sekitar, maka orang tua bisa memulai menerapkan ajaran akidah akhlak
yang sesuai dengan syariat Islam kepada sang anak seperti melatih sang
anak untuk mengucapkan salam, melatih anak menghafal doa doa ringan
seperti doa sebelum makan, doa sebelum tidur, doa masuk ke kamar
mandi, dan sebagainya. Jangan terlalu memberikan doa yang berat karena
kemungkinan mereka akan sulit dalam mencerna maknanya. Cukup
dengan menerapkan doa doa ringan namun rutin membiasakan sang anak
untuk melakukannya setiap hari, maka anak akan terbiasa untuk
melakukan hal- hal tersebut seperti berdoa sebelum melakukan segala
sesuatu.
Secara tidak langsung hal ini merupakan cara orang tua untuk
membiasakan sang anak berserah diri kepada Sang Khalik sehingga kelak
jika sang anak tumbuh dewasa, maka sang anak akan terbentuk menjadi
pribadi yang berserah diri kepada Allah S.W.T. Dengan demikain, sang
anak menjadi lebih siap dalam menghadapi tuntunan hidup di masa yang
akan datang saat mereka tumbuh dewasa.

2. Mengajarkan cara menunaikan ibadah yang sesuai dengan kaidah dan


ajaran Islam
Orang tua muslim wajib hukumnya untuk mengajarkan tentang tata
cara beribadah kepada anak sejak dini dengan baik dan benar. Hal ini
penting untuk dilakukan pada saat anak masih berusia dini agar anak
terbiasa dengan kewajiban- kewajiban yang harus ia laksanakan dalam
kehidupan beragama yang ia laksanakan. Cara memulai membiasakan

35
sang anak untuk beribadah sejak dini dapat dilakukan dengan melatih anak
dari hal- hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengajarkan
kepada anak mengenai tata cara berwudhu yang baik, melibatkan anak
untuk sholat berjamaah di rumah serta melatih anak untuk berpuasa
semampu mereka.
Yang perlu ditekankan untuk orang tua dalam melatih anak
menjalankan ibadah adalah jangan terlalu memaksa mereka dengan kata-
kata dan perbuatan yang kasar sehingga mereka tidak akan menganggap
bahwa agama merupakan suatu paksaan. Buatlah situasi senyaman
mungkin dalam melatih anak mengenali agamanya dengan beribadah,
karena dengan demikian akan menumbuhkan rasa cinta kepada sang anak
terhadap agama yang dianutnya sehingga sang anak akan dengan
sendirinya merasa membutuhkan agama tersebut dan mereka akan
menjadikan agama sebagai pegangan bagi mereka dalam menjalankan
kehidupan sehari- hari kelak hingga mereka tumbuh dewasa nanti.

3. Mengajarkan Al Quran dan Al Hadist kepada anak


Sejak anak mulai mengenal huruf dan baca tulis, maka mulailah
untuk mengajarkan Al Quran dan Al Hadist kepada sang anak. Tentu saja
bukan berarti anak harus mempelajarinya dengan skala berat, melainkan
dengan skala yang ringan dan menerapkannya dari tahap yang paling awal.
Dalam hal ini, orang tua dapat mulai mengenalkan Al Quran dengan
mengajarkan Iqro kepada sang anak, membantu mereka mengeja huruf-
huruf Arab yang baru mereka kenal serta mengajarkan doa- doa yang
baik kepada sang anak.
Sebagai tambahan dalam membentuk akhlak sang anak, maka
orang tua dapat juga membacakan kisah- kisah para nabi kepada sang anak
sebagai dongeng sebelum tidur. Dengan membiasakan anak mengetahui
kisah- kisah yang di dalamnya terdapat suri tauladan yang baik, maka sang
anak juga akan mendapatkan input yang baik bagi hidupnya yang mana hal

36
ini akan mampu mendorong sang anak menirukan hal- hal baik dari apa
yang telah mereka dengar.
Hindarkann sang anak dari pengaruh buruk yang dapat
mempengaruhi mereka seperti melihat acara televisi yang kurang
mendidik. Dampingilah sang anak dan arahkan sang anak untuk
menyaksikan acara televisi yang mengandung unsur pendidikan agama
sehingga sang anak akan terhindar dari pengaruh buruk media massa yang
semakin hari semakin mengancam perkembangan sang anak karena
tayangan- tayangan yang kurang mendidik.

4. Mendidik anak dengan akhlak yang mulia


Cara ini merupakan cara yang paling penting dalam mendidik anak
untuk tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia.
Mendidik anak dengan akhlak yang mulia dapat dimulai dari lingkungan
yang paling sederhana yakni di lingkungan rumah atau lingkungan
keluarga. Pembentukan akhlak yang mulia dapat dilakukan dengan
memberikan tauladan sederhana kepada sang anak dengan melatih anak
untuk mencium tangan orang tua, mengucap salam ketika mereka bertemu
dengan orang lain, serta melatih anak untuk selalu berkata- kata baik.
Selain itu, membiasakan sang anak untuk meminta maaf apabila berbuat
salah serta mengajarkan anak untuk tidak segan meminta tolong dan
mengucapkan terima kasih juga merupakan cara yang baik dalam
mendidik anak agar berakhlak mulia. Kita harus menyadari bahwa anak-
anak kita diumpamakan bagai selembar kertas putih yang mana bisa kita
tulisi dengan apa saja, entah baik atau buruk, akan tertinggal di sana.
Maka dari itu alangkah baiknya sebagai orang tua hendaknya selalu
menggoreskan hal- hal yang baik kepada sang anak dengan menanamkan
ajaran agama Islam yang baik serta memberikan contoh akhlak yang mulia
agar goresan yang tersisa pada selembar kertas putih tersebut adalah
goresan yang baik dan membekas di hati sang anak. Dengan demikian,
sang anak mampu menolak hal- hal buruk yang tidak sesuai dengan ajaran

37
agama yang mereka dapatkan apabila mereka telah tumbuh dewasa dan
mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah dalam hidup
mereka.

5. Mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan


Alam semesta diciptakan oleh Allah S.W.T untuk memenuhi
segala kebutuhan manusia di dunia. Binatang dan tumbuh- tumbuhan
merupakan makhluk Allah yang hidup dan bernafas selain manusia. Untuk
itu, dalam mengajarkan pendidikan kepada anak, perlu bagi orang tua
untuk mengajari anak mencintai lingkungan sekitar sebagai bentuk melatih
rasa syukur anak atas anugerah yang telah diberikan oleh Allah S.W.T.
Dengan melatih anak untuk mencintai lingkungan sekitar, maka anak akan
menyadari bahwa ia tidaklah hidup sendiri di dunia ini dan ia diciptakan
sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain
sehingga ia diwajibkan untuk menjaga lingkungan ciptaan Allah. Dengan
menanamkan rasa cinta lingkungan karena Allah, maka akan terbentuk
pribadi yang bersyukur dan tidak menjadi generasi perusak di muka bumi.

38
KESIMPULAN
Pada prinsipnya, kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang
dibawa dalam proses peradilan adalah kasus-kasus berat yang sifatnya serius, dan
tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta proses pidana
penjara adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.
Selain itu, kasus-kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal
yang dilakukan dengan pendekatan restorative justice guna memenuhi rasa
keadilan bagi korban sehingga kedua belah pihak dapat saling memaafkan dan
tidak ada dendam diantara mereka. Segala peraturan yang dibuat dimaksudkan
untuk tidak merampas hak anak serta membina anak untuk menjadi pribadi yang
lebih baik dan hukuman yang dijatuhkan wajib mempertimbangkan keadaan dan
kebaikan ABH.

39
SARAN
Alangkah baiknya, kita semua mulai dari pemerintah, penegak hukum,
serta masyarakat, senantiasa melakukan upaya-upaya pencegahan supaya anak-
anak kita kelak tidak berhadapan dengan hukum dan tumbuh normal sesuai
perkembangannya. Kalaupun sampai anak-anak kita nanti berhadapan dengan
hukum, maka sudah tercipta suatu sistem yang baik, dan tidak merugikan anak
yang masih membutuhkan perhatian serta kasih sayang terutama dari orang tuanya
supaya anak-anak dapat terus berkembang demi Indonesia yang lebih maju di
masa depan.

40
UCAPAN TERIMAKASIH

Pada bagian ini, penulis ingin berterima kasih kepada Polres Jakarta Timur
khususnya kepada Ibu Elya yang telah memberikan kesempatan untuk berkunjung
dan mengumpulkan data untuk laporan ini. Terima kasih kepada dr. Bevita yang
telah memberikan bimbingan dan waktunya untuk menyelesaikan laporan kasus
ini. Terima kasih kepada dr. Ferryal Basbeth, SpF DFM sebagai dosen pengampu
dan kepada semua anggota kelompok Domestic Violence A 3 terima kasih atas
dukungan dan kerjasamanya.

41
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita R. 1983. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja. pp. 46, 201.
Bandung: Armico.
Harahap Y. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, 2nd ed. p. 109. Jakarta: Sinar Grafika.
Inter-Parlimentary Union & UNICEF. 2006. Improving the Protection of Children
in Conflict eith the Law in South Asia: A Regional Parliamentary Guide
on Juvenile Justice. UNICEF ROSA.
Mulyadi L. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia. p. 139. Bandung: Mandar Maju.
Nandang S. 2010. Pembaharuan Sistem Pemindanaan Anak di Indonesia. p. 103.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pramukti AS, Fuady P. 2015. Chapter 4: Proses Penyelesaian Perkara Pidana
Anak. 1st ed. pp. 67-92. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia. Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Prist D. 1997. Hukum Anak Indonesia. pp. 39, 49. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Seoekito SWW. 1983. Anak dan Wanita dalam Hukum. p. 10-11. Jakarta: LP3ES.
Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana IA, 2nd ed. p. 10. Semarang: Yayasan Sudarto.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 153 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5332).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668).
UNICEF. 2006. Child Protection Information Sheet.
Ketahui Cara Mendidik Anak yang Benar Menurut Agama Islam. 2016. Mutiara Artikel Ibu dan
Anak, viewed 20 November 2016, from
https://mutiarabijaksana.com/2014/06/21/ketahui-cara-mendidik-anak-yang-benar-
menurut-agama-islam/

42

You might also like