You are on page 1of 21

MAKALAH

MANAJEMEN KORBAN MASSAL PADA BENCANA TANAH


LONGSOR

Dosen pembimbing :

Sriyono, M.Kep., Sp. KMB

Oleh Kelompok 9 S1-3B :

Etty Khandhayoni 141.0042

Nuril Mufidah C. 141.0074

Putri Wardah N. 141.0078

Selviana Dwi S 141.0092

Yuniar Indah P. 141.0110

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH


SURABAYA

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Manajemen
Korban Massal pada Bencana Tanah Longsor tepat pada waktunya.
Kami menyadari sepenuhnya masih terdapat kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, untuk itu kritik dan saran demi kesempurnaan dan
pengembangan wawasan dan pengetahuan penulis.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya
demi pembenahan diri, dan kepada pembaca demi pengembangan pengetahuan
dan wawasan. Semoga Allah SWT tetap mencurahkan rahmatnya pada kita.
Amin.

Surabaya, 26 April 2017

Penulis

2
Daftar Isi

BAB 1 ................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................................... 5
1.4 Manfaat ..................................................................................................................... 6
1.4.1 Bagi peneliti/perawat ........................................................................................ 6
1.4.2 Bagi institusi pendidikan ................................................................................... 6
BAB 2 ................................................................................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 7
2.1 Pengertian Bencana ................................................................................................... 7
2.2 Jenis-Jenis Bencana .................................................................................................. 7
2.3 Tanah Longsor .......................................................................................................... 8
2.3.1 Pengertian .......................................................................................................... 8
2.3.2 Penyebab Tanah Longsor ................................................................................... 8
2.4 Manajemen Bencana Korban Massal ...................................................................... 11
2.4.1 Siklus Manajemen Penanggulangan Bencana .................................................. 11
2.4.2 Penatalaksanaan Korban Bencana Massal ................................................ 11
2.4.3 Triase................................................................................................................ 12
2.4.3 Algoritma Sistem START ......................................................................... 15
2.5 Peran Perawat dalam Managemen Bencana ........................................................... 17
BAB 3 ............................................................................................................................... 20
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, bencana merupakan hal yang sering melanda setiap
daerah dari sabang sampai merauke. Bencana adalah suatu kejadian alam,
buatan manusia, atau perpaduan antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba
sehingga menimbulkan dampak negatif yang dahsyat bagi kelangsungan
kehidupan (Priambodo, 2009). Bencana dapat digolongkan menjadi bencana
alam dan bencana non alam. Bencana alam menurut Undang-Undang No.24
Tahun 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Saat ini, bencana yang sering melanda bangsa ini adalah tanah
longsor. Hampir seluruh bagian daerah pegunungan di Indonesia, terkena
bencana ini. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010),
Tanah Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah
longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah/batuan penyusun
lereng.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan


sudah lebih dari 2.000 kali longsor terjadi di Indonesia, dalam 10 tahun
terakhir. Akibat musibah yang didominasi andil kesalahan manusia itu pun
sudah menewaskan lebih dari 1000 orang. Dalam kurun waktu 2005 sampai
2014 total terdapat 2.278 peristiwa longsor. Total ada 1.815 orang tewas dan
hilang akibat bencana-bencana longsor dalam waktu 10 tahun terakhir
berdasarkan data yang ada, dalam 10 tahun itu, tren bencana longsor
cenderung meningkat. Di tahun 2005 tercatat ada 50 kejadian tanah longsor,
2006 ada 73 kejadian, 2007 sekitar 104 kejadian dan 2008 ada 112 kejadian,
lalu meningkat lagi di tahun berikutnya, yakni pada tahun 2009 ada 238

4
kejadian, 2010 ada 400 kejadian. 2014 naik lagi ada 385 kejadian. Dalam 10
tahun itu tren bencana longsor cenderung meningkat.

Banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng yang


megakibatkan terjadinya longsoran. Faktor - faktor tersebut semacam
kondisi-kondisi geologi dan hidrografi, topografi, iklim dan perubahan cuaca.
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih
besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong
dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah
batuan. Dampak yang ditimbulkan dari bencana ini sangat beragam, mulai
dari korban jiwa, harta benda maupun psikologis. Keterlambatan Early
Warning System merupakan penyebab utama ketidaksiapan penduduk dalam
menanggulangi bencana.

Dari uraian diatas, penulis tertarik melakukan analisa manajemen


bencana tanah longsor di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang bisa diambil dari latar belakang diatas adalah
Bagaimana manajemen bencana tanah longsor yang dapat dilakukan ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu menjelaskan manajemen bencana tanah longsor di
Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi penyebab bencana tanah longsor di Indonesia
2. Menjelaskan manajemen korban massal dalam bencana tanah longsor
3. Menjelaskan peran perawat dalam penanggulangan bencana tanah
longsor

5
1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi peneliti/perawat


Dapat mengetahui tentang manajemen korban massal dan peran
perawat dalam bencana tanah longsor.

1.4.2 Bagi institusi pendidikan


Memberikan gambaran dan referensi tentang ilmu manajemen
bencana dan sebagai wacana serta pengetahuan perkembangan ilmu
keperawatan Memberikan pengetahuan dan wawasan dalam
memanajemen korban massal dalam bencana tanah longsor.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bencana


Bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan
antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak
negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan (Priambodo, 2009).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti


sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau
penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang
disebabkan oleh alam (Purwadarminta, 2006).

Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah


peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan
dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang
dipicu oleh suatu kejadian.

2.2 Jenis-Jenis Bencana


Jenis-Jenis Bencana Alam Jenis-jenis bencana menurut Undang-
Undang No.24 Tahun 2007, antara lain:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. 3. Bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau

7
antarkomunitas masyarakat, dan teror (UU RI, 2007). Bencana alam dibagi
menjadi tiga jenis berdasarkan penyebabnya yaitu bencana geologis,
klimatologis dan ekstra-terestrial

2.3 Tanah Longsor

2.3.1 Pengertian
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), Tanah
Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah
longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah/batuan penyusun
lereng.

2.3.2 Penyebab Tanah Longsor


Banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng yang
megakibatkan terjadinya longsoran. Faktor - faktor tersebut semacam
kondisi-kondisi geologi dan hidrografi, topografi, iklim dan perubahan
cuaca. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada
lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya
dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya
pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat
jenis tanah batuan. Terdapat beberapa faktor penyebab tanah longsor,
diantaranya yaitu:

1. Jenis Tanah
Jenis tanah juga mempengaruhi penyebab terjadinya longsor.
Tanah yang mempunyai tekstur renggang, lembut yang sering disebut
tanah lempung atau tanah liat dapat menyebabkan longsoran. Apa lagi
ditambahan pada saat musin penghujan kemungkinan longsor akan lebih
besar pada tanah jenis ini. Hal ini dikarenakan ketebalan tanah tidak lebih
dari 2,5 m dengan sudut lereng 22 derajat. Selain itu kontur tanah ini
mudah pecah jika udara terlalu panas dan menjadi lembek jika terkena air
yang mengakibatkan rentan pergerakan tanah.

8
2. Curah Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November
karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang
akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam
jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga
tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Pada saat
hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak. Tanah pun dengan cepat
mengembang kembali. Pada awal musim hujan, kandungan air pada
tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim
dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah itulah,
air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga
menimbulkan gerakan lateral. Apabila ada pepohonan di permukaan,
pelongsoran dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar
tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat tanah.

3. Kemiringan Lereng

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong.


Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air
laut, dan angin. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen.
Kecuraman lereng 100 persen sama dengan kecuraman 45 derajat. Selain
memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curam lereng juga
memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan itu memperbesar
energi angkut air. II-4 Klasifikasi kemiringan lereng untuk pemetaan
ancaman tanah longsor dibagi dalam lima kriteria diantaranya yaitu
lereng datar dengan kemiringan 0-8%, landai berombak sampai
bergelombang dengan kemiringan 8-15%, agak curam berbukit dengan
kemiringan 15-25%, curam sampai sangat curang 25- 40%, sangat curam
dengan kemiringan >40%. Wilayah yang kemiringan lereng antara 0-
15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15%
potensi untuk terjadi longsor pada kawasan rawan gempa bumi semakin
besar.

9
4. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) adalah modifikasi yang dilakukan oleh


manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun seperti
lapangan, pertanian, dan permukiman. Permukiman yang menutupi lereng
dapat mempengaruhi penstabilan yang negatif maupun positif. Sehingga
tanaman yang disekitarnya tidak dapat menopang air dan meningkatkan
kohesi tanah, atau sebaliknya dapat memperlebar keretakan dalam
permukaan baruan dan meningkatkan peresatan. Penggunaan lahan seperti
persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal.
Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah
dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga
mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya
adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran
yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

5. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi,


ledakan,getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang
ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah
menjadi retak.

6. Susut muka air danau atau bendungan

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan
lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah
terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh
retakan.

7. Adanya beban tambahan

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan


kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor,

10
terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah
sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah
lembah.

8. Pengikisan/erosi

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain


itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan
menjadi terjal.

9. Adanya material timbunan pada tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman


umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah
timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti
tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi
penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah
(Karnawati, 2005)

2.4 Manajemen Bencana Korban Massal

2.4.1 Siklus Manajemen Penanggulangan Bencana


1. Kesiapsiagaan
2. Tanggap darurat
3. Mitigasi
4. Pemulihan
5. Pencegahan
6. Pembangunan

2.4.2 Penatalaksanaan Korban Bencana Massal


1. Pencarian dan penyelamatan (SAR)
2. Perawatan di lapangan
a. Triase
b. Pertolongan Pertama
c. Pos Medis Lanjutan
3. Pos Penatalaksanaan Evakuasi

11
2.4.3 Triase
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya
cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami
perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat
darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana
untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab
ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang
merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat
medik. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba
/ berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus
karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau
membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS,
mekanisme cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga
membawa maut. Temuan yang mengharuskan peningkatan pelayanan
antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat, tanda
vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan
dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat
perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat
menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga
waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga
tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase
berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa
diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera
serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase
dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat ini
tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang
dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim
triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.

12
1. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh
petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan
tindakan medik terhadap korban.
2. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
a. Prioritas Nol (Hitam): Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah): Pasien cedera berat yang memerlukan
penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk
tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera
kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka
bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning): Pasien memerlukan bantuan, namun
dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan
mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin
mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang
leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau): Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama
sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera
jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-
fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0
sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan
cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak
memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima
(Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila pada Retriase
ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
1. Triase Sistim METTAG.

13
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan
atas korban. Resusitasi ditempat.
2. Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi,
perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P =
status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan
kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang
memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak
mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong
secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan
transport segera. Resusitasi diambulans.
3. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang
sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan
START. Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama
sesuai keadaan.

1. Penilaian di tempat dan perioritas triasik

Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan


pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera
sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya
cedera melebihi kemampuan dibawah algoritma

Tujuan: mengidentifikasi korban yang perlu segera dikirim ke


RS dan yang dapat ditundakemudian.
Triase lapangan dilakukan pada tiga tingkat:
a. Triase di tempat ( triase satu )
b. Triase medik ( triase dua )
c. Triase Evakuasi ( triase tiga )
Tanda tingkat keparahan korban massal:

14
a. Merah : Korban-korban yang membutuhkanstabilisasi segera
(Gangguan ABCD) dan korban- korban dengan :
1. Syok oleh berbagai kausa
2. Gangguan pernafasan
3. Trauma kepala dengan pupil anisokor
4. Perdarahan eksternal massif
b. Kuning : Korban yang memerlukanpengawasan ketat, tetapi
perawatan dapatditunda sementara. Termasuk :
1. Korban dengan resiko syok
2. Fraktur multiple
3. Fraktur Femur/ pelvis
4. Luka bakar luas
5. Gangguan kesadaran/ trauma kepala
6. Korban dengan status tidak jelas.
c. Hijau : Kelompok korban yang tidakmemerlukan pengobatan atau
pemberianpengobatan dapat ditunda, seperti :
1. Fraktur minor
2. Luka minor
d. Hitam : Korban yang telah meninggal dunia.

2.4.3 Algoritma Sistem START :


Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning =
Delayed (Tunda) ; Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control. Satu pasien maks. 60
detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging. Pada sistem ini tag
tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
Tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup
terbesar dengan paling sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan
persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim
Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara cepat
menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap

15
Pertama melakukan tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak
mempunyai tugas hanya sebagai petugas triase, namun juga melakukan
tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan
bahaya, keamanan dan jumlah korban dan kebutuhan untuk
menentukan tingkat respons yang memadai (Rapid Health Assessment
/ RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk
mengumumkan bencana serta mengirim kebutuhan dan dukungan
antar instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya kejadian (dari
kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu
tersedia
a. Petugas Komando Bencana.
b. Petugas Komunikasi.
c. Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
d. Petugas Triase Primer.
e. Petugas Triase Sekunder.
f. Petugas Perawatan.
g. Petugas Angkut atau Transportasi
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
a. Sektor Komando / Komunikasi Bencana
b. Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
c. Sektor Bencana.
d. Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
e. Sektor Triase.
f. Sektor Tindakan Primer
g. Sektor Tindakan Sekunder.
h. Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.

16
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama
dimana korban kelompok merah dan kuning yang menunggu transport
dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan persedian dan tenaga medis
dalam resusitasi-stabilisasi.

2.5 Peran Perawat dalam Managemen Bencana


Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari
penyusun rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim
pengkajian kejadian bencana.
Tujuan utama: Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada
bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik
masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Peran Perawat
a. Peran dalam Pencegahan Primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana
ini, antara lain:
1) Mengenali instruksi ancaman bahaya,
2) Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan,
air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
3) Melatih penanganan pertama korban bencana, dan
4) Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi
ancaman bencana kepada masyarakat.
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
1) Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
2) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan
pertolongan pertama luka bakar.
3) Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas
kebakaran, rs dan ambulans.

17
4) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal
pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai).
5) Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau
posko-posko bencana.
b. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat
setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing
bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap
kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim
kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana seleksi pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE:
1) Merah paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma
dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
luka bakar derajat I-II.
2) Kuning penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam
keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60
menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur
terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.
3) Hijau prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
4) Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
c. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
1) Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari.
2) Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.

18
3) Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS.
4) Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
5) Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan.
6) Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa.
7) Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
8) Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
9) Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater.
10) Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
d. Peran perawat dalam fase postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial,
dan psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu
masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit dan
kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal
kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.

19
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

Bencana tanah longsor di Indonesia disebabkan oleh adanya gangguan


kestabilan pada tanah/batuan penyusun lereng. Prinsipnya tanah longsor terjadi
bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya
penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah.
Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban
serta berat jenis tanah batuan.
Dampak yang ditimbulkan dari bencana ini sangat beragam, mulai dari
korban jiwa, harta benda maupun psikologis. Maka dari itu peran tenaga medis
terutama perawat sangat penting dalam penanggulangan bencana untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan
psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk
kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin
memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat
keadaan dimana kecacatan terjadi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Puwardarminta. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Cetakan Ketiga.


Balai Pustaka, Jakarta.
Priambodo, Arie. 2009. Panduan Praktis Menghadapi Bencana.
Yogyakarta:Kanisius
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyiapan Sarana-Prasarana dalam Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Karnawati, Dwikorita. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia
dan Upaya Penanggulanggannya. Yogjakarta: Teknik Geologi Universitas Gajah
Mada

21

You might also like