You are on page 1of 63
CRE RRR ee eee ee eee ee ee ee ee ee ee PEDOMAN PENGENDALIAN KECACINGAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI DIREKTORAT JENDERAL PP DAN PL 2012 ©, : Ss 7 ys PEDOMAN PENGENDALIAN KECACINGAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI DIREKTORAT JENDERAL PP DAN PL 2012 SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN Assalumualaikum Wr. We Pertama marilah kita bersama-sama mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya, sehingga “Pedoman Pengendalian Kecacingan” ini akhirnya dapat terselesaikan. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi yang buruk. Cacingan merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, yang ditularkan melalui tanah, dan dapat mengakibatkan menurunnya_ kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingge secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian. Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Mengingat bahwa cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, maka perhatian terhadap sanitasi lingkungan perlu ditingkatkan. Berbagai kegiatan telah dilaksanakan untuk mengendalikan cacingan di Indonesia, diantaranya Pencanangan Program Pemberantasan Cacingan pada Anak yang dicanangkan oleh Menteri Kesehatan Prof. DR. Sujudi di Medan pada tanggal 12 Juni 1995. Kerjasama upaya pengendalian kecacinganmerupakan salah satu program Kementerian Kesehatan dalam rangka mendorong masyarakat untuk menjadi pelaku utama dalam pengendalian kecacingan di daerahnya masing-masing sesuai visi Kementerian Kesehatan yaitu masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Pengendalian Kecacingan bukan semata-mata merupakan tugas Kementerian Kesehatan, melainkan menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah, masyarakat, maupun sector lain sebagai mitra. Untuk mensukseskan program pengendalian kecacingan, diperlukanpeningkatan kerjasama dan koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait. Dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kecacingan, sasaran dititikberatkan pada anak Sekolah Dasar (SD) karena infeksi cacingan pada anak sekolah adalah yang tertinggi dibandingkan golongan umur lainnya, dan prevalensi cacingan dapat menurun bila infeksi kecacingan pada anak Sekolah Dasar dapat dikendalikan. Melalui pedoman ini diharapkan dapat menjadi petunjuk atau acuan dalam rangka upaya Pengendalian Kecacingan di Indonesia, Besar harapan saya agar pedoman ini dapat bermanfaat bagi kita semua , sehingga apa yang kita cita-citakan dapat segera terwujud. Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. We, Jakarta, November 2012 } Direktur Jenderal PP dan PL Prof. dr. Tjatfdra Yoga Aditama ‘NIP. 509031980121001 KATA PENGANTAR Cacingan yang ditularkan melalui tanah masih menajdi masalah kesehatan dibeberapa daerah di Indonesia karena Prevalensi cacingan pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu, dengan sanitasi yang buruk. WHO menyatakan lebih dari separuh kesakitan penduduk di Negara berkembang disebabkan oleh Infeksi parasitik cacing. Dalam rangka menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan, Kementerian Kesehatan RI bersama masyarakat ataupun sektor lain sebagai mitra, mempunyai tanggung jawab melalui kegiatan yang dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan dalam rangka mendorong masyarakat menjadi pelaku utama dalam pengendalian kecacingan di daerahnya masing-masing. Mengingat bahwa cacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan maka perhatian terhadap sanitasi lingkungan perlu ditingkatkan. Disamping hal-hal tersebutdiatas maka perlu disusun suatu Pedoman Naisonal yang dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai sektor. Untuk memperoleh hasil yang maksimal maka Program Pengendalian Kecacingan di Indonesia menetapkan sasaran selain pada anak Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) juga pada anak-anak usia 1-4 tahun. Program pengendalian kecacingan juga perlu diintegrasikan dengan berbagai program lain yang memiliki sasaran yang sama. Program terkait antara lainProgram Pengendalian Filariasis dalam Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis, Program UKS untuk anak-anak SD/MI dan untuk lebih menjangkau anak usia 1-4 tahun maka berintegrasi dengan Program Pemberian Vitamin A di Posyandu. Kami menghargai dan berterima kasih atas kerjasama dari lintas program di lingkungan Kementerian Kesehatan maupun lintas sektor dalam proses penyusunan buku Pedoman Pengendalian Kecacingan. Kamipun dengan senang hati menerima saran, masukan dan kritik untuk penyempurnaan buku pedoman Jakarta, November 2012 Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang DAFTAR ISI Kata Sambutan Direktur Jenderal PP dan PL... Kata Pengantar Daftar Isi BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang . 8. Sejarah Pemberantasan .. nN C. Dampak Cacingan Pada Masyarakat BABII : CACINGAN A. Ascaris lumbricoides 8. Trichuris trichiuria €. Anchylostoma duodenale dan Necator americanus BABII : PROGRAM PENGENDALIAN KECACINGAN A. Tujuan 8. Sasaran C. Kebijakan 0. Strategi BABIV: KEGIATAN PROGRAM PENGENDALIAN KECACINGAN A. Tahapan Kegiatan B. Pemantauan dan Evaluasi .. C. Koordinasi dan Integrasi 0, Pengorganisasian .. E. Penutu DAFTAR ISTILAH.............. KEPUSTAKAAN KONTRIBUTOR Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacingan yang ditularkan melalui tanah, Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi Kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian. Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu, dengan sanitasi yang buruk. Hasil Pemeriksaan Tinja pada anak Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah yang dilakukan oleh Sub Dit Diare, Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan Lain pada tahun 2002 - 2009 di 398 SD/MI yang tersebar di 33 Provinsi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi cacingan adalah 31,8%. Berdasarkan data survei kecacingan Yayasan Kusuma Buana (YKB) tahun 2006-2007, rata-rata angka prevalensi cacingan di Jakarta Timur adalah 2,5% dan Jakarta utara sebesar 7,8%. Di Provinsi Sulawesi Selatan rata-rata angka prevalensi cacingan, berdasarkan hasil survei cacingan tahun 2008-2010 sebesar 27,28%. Provinsi Jawa Timur melaksanakan survei cacingan tahun 2008-2010 dengan rata-rata angka prevalensi cacingan sebesar 7.95%. Untuk tahun 2011 data yang terkumpul dari survei di beberapa kabupaten menunjukkan angka yang bervariasi, di Kabupaten Lebak dan Pandeglang menunjukkan angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu 62 % dan 43,78%, kemudian di Kabupaten Sleman DIY prevalensinya 21,78%, di Kab. Karangasem 51,27%, Di Kab Lombok Barat dan kota Mataram menunjukkan prevalensi berturut-turut 29,47% dan 24,539. Dan Kab. Sumba Barat menunjukkan prevalensi 29,56% WHO juga menyatakan bahwa disamping penyakit malaria, lebih dari separuh kesakitan penduduk di negara berkembang disebabkan oleh infeksi parasitik cacing, Bank Dunia menyimpulkan bahwa, di negara berkembang tindakan kesehatan masyarakat paling cost effective adalah dengan memberikan pengobatan cacingan untuk usia anak sekolah. Dalam rangka menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan, pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan pada perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia dan keluarga miskin. Sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 9 ayat 1 dinyatakan bahwa : Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya. Sedangkan pada Pasal 174 ayat 1 dinyatakan bahwa : Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Berbagai kegiatan telah dilaksanakan untuk mengendalikan cacingan di Indonesia, diantaranya Pencanangan Program Pemberantasan Cacingan pada anak yang dicanangkan oleh Menteri Kesehatan Prof. DR. Sujudi di Medan pada tanggal 12 Juni 1995. Kerjasama upaya pengendalian kecacingan merupakan salah satu program Kementerian Kesehatan, dalam rangka mendorong masyarakat untuk menjadi pelaku utama dalam pengendalian kecacingan di daerahnya masing-masing, sesuai visi Kementerian Kesehatan yaitu masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Program Pengendalian Kecacingan menghasilkan perbaikan besar baik bagi kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat. Setiap negara berkembang harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap program pengendalian kecacingan. Mengingat bahwa Cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan maka perhatian terhadap sanitasi lingkungan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, disamping hal-hal tersebut di atas maka perlu disusun suatu Pedoman Nasional yang dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai sektor. Pengendalian Kecacingan bukan semata-mata merupakan tugas Kementerian Kesehatan, melainkan menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, masyarakat ataupun sektor lain sebagai mitra. Untuk mensukseskan program pengendalian kecacingan, diperlukan kegiatan yang dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan. Dalam pelaksanaan program UKS telah diupayakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan Nasional. Untuk itu peningkatan kerjasama dan koordinasi lintas program dan lintas sektor sangat penting dalam Pengendalian Kecacingan. Dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kecacingan, Subdit Filariasis dan Kecacingan Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang menitikberatkan sasarannya pada anak sekolah dasar (SD/MI) karena infeksi cacingan pada anak sekolah adalah yang tertinggi dibandingkan golongan umur lainnya. Prevalensi cacingan dapat menurun bila infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar dapat dikendalikan. Namun demikian, cacingan dapat mengenaisiapa saja mulai dari bayi, balita, anak, remaja bahkan orang dewasa sehingga Subdit Filariasis dan Kecacingan perlu untuk berkoordinasi dan berintegrasi dengan unit kerja atau instansi lain yang melakukan pengendalian kecacingan sehingga pelayanan pengendalian kecacingan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, Subdit Filariasis dan Kecacingan berkoordinasi dengan Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Direktorat Bina Gizi, Direktorat Kesehatan Lingkungan dan berintegrasi dengan Program UKS di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam upaya pengendalian kecacingan. oF) = | = Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka Program Pengendalian Kecacingan di Indonesia menetapkan sasaran selain anak sekolah dasar/MI juga anak-anak usia 1-4 tahun mengingat dampak yang ditimbulkan akibat cacingan pada anak usia dini akan menimbulkan kekurangan gizi yang menetap (persistent malnourish) yang dikemudian hari akan menimbulkan dampak pendek menurut umur (stunting). Untuk itu program pengendalian kecacingan perlu diintergrasikan dengan berbagai program yang memiliki sasaran yang sama, antara lain Program Pengendalian Filariasis, Program UKS untuk anak2 SD/MI, sedang untuk lebih menjangkau anak usia 1 - 4 tahun maka integrasi dengan Program Pemberian vitamin A di Posyandu. Sejarah Pemberantasan Pemberantasan penyakit cacingan sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman penjajahan oleh sektor kesehatan saja yang meliputi pengobatan dan pembuatan jamban. Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit cacingan di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975 setelah dibentuk unit struktural di Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan, yaitu Sub Direktorat Cacing Tambangdan Parasit Perut Lainnya karena terbatasnya dana kebijakan pemberantasan Cacingan dilakukan “Limited Control Programme’, Program pemberantasan yang dilaksanakan pada PELITAII (tahun 1979 ~ 1984) mengambil prioritas utama yaitu daerah produksi vital (pertambangan, perkebunan, pertanian, transmigrasi dan industri). Pada Pelita IVtahun (1984-1989) kebijaksanaan pemerintah di bidang pembangunan kesehatan terutama ditujukan pada program-program yang menurunkan angka kematian bayi dan anak balita, maka pemberantasan penyakit cacingan agak kurang mendapat prioritas. Sejalan dengan keputusan Menteri Kesehatan No. 588; Sub Dit Cacing Tambang dan Parasit Perut Lainnya tidak dikelola lagi oleh satu Sub Dit tersendiri, tetapi kegiatan pengendalian kecacingan diintegrasikan dalam Sub Dit Diare dan Kecacingan. Program Pengendalian Kecacingan dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik dari bidang riset operasional, LSM, donator baik dari dalam dan luar negeri, peran serta masyarakat sedang pemerintah lebih bersifat koordinatif dan fasilitatif. Kemitraan ini dimulai oleh salah satu LSM yang telah berperan dalam pemberantasan Cacingan di DKI yaitu Yayasan Kusuma Buana (YKB). Yayasan ini mulai berdiri tahun 1980 dan tahun 1984 mulai merintis upaya pemberantasan Cacingan di masyarakat. Sejak tahun 1987 YKB bersama-sama PKBI memulai upaya pemberantasan Cacingan berbasis sekolah (School-Based) yang pertama di Indonesia. Kegiatan ini memadukan penyuluhan dengan pemeriksaan berkala serta pengobatan selektif. Upaya ini didukung oleh kontribusi orang tua murid sebesar Rp. 1000,- per anak per tahun. Ternyata upaya ini telah berhasil meningkatkan cakupan secara swadaya dan menurunkan prevalensi cacingan dari 78,6% (tahun 1987) menjadi 8,9% (tahun 2003) dan telah berhasil mengembangkan sarana pemeriksaan laboratorium dengan kapasitas pemeriksaan massal (Mass Screening Laboratory). Pada tahun 1992 ada kerja sama pemerintah Indonesia dengan Universitas Oxford dalam Program Pemberantasan Cacingan di Kabupaten Karang Anyar Jawa Tengah. Pada Pelita V tahun (1989 - 1994) dan Pelita VI tahun (1994 - 1999) Program Pemberantasan Penyakit Cacingan meningkat kembali prioritasnya karena pada periode ini lebih memperhatikan peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak. Pelaksanaan pemberantasan cacingan dilaksanakan oleh berbagai pihak terutama sebagai riset operasional oleh para ilmiwan, LSM dan yang paling penting adalah peran serta masyarakat, sedangkan pemerintah lebih bersifat koordinatif dan fasilitatif. Pada awal tahun 1995 Menteri Kesehatan RI (Prof. Dr. Suyudi) meminta Prof. DR. Dr. Sri Oemiyati, MPHTM dan kawan-kawan membuat pola pemberantasan Cacingan dengan pendekatan kemitraan, maka pada tanggal 12 Juni 1995 di Medan, Menteri Kesehatan mencanangkan Pemberantasan Cacingan melalui UKS (Usaha Kesahatan Sekolah) dengan judul “Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Promosi Budaya Hidup Sehat Dengan Pendekatan Kemitraan”. Kegiatan ini melibatkan peran serta masyarakat Sumatera Utara yang diberi nama “Martabe”. Kemudian disusul dengan Jawa Barat dengan nama “Rereongan Sarumpi Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah suatu upaya untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak Sekolah Dasar / Ml di seluruh Indonesia terutama di daerah IDT, melalui perbaikan gizi dan kesehatan diharapkan dapat mendorong minat dan kemampuan anak untuk belajar. Direncanakan program pemberian makanan tambahan ini dapat meningkatkan ekonomi daerah, dengan memanfaatkan komoditas pangan setempat. Pendekatan perbaikan gizi dalam PMT- AS yang dikombinasikan dengan program lain yang merupakan bentuk program paling ideal sesuai konsep pembangunan daerah IDT. Konsep PMT-AS sejalan dengan pemikiran pakar gizi Internasional dan Nasional yang menyimpulkan bahwa perbaikan gizi baru akan efektif apabila dipadukan secara holistik dengan program- program lain Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan efektifitas asupan gizi yang diberikan, para pakar gizi dan kesehatan menyarankan agar PMT-AS diberikan dengan pemberian obat cacing. Pemikiran ini didasarkan pada kajian teknis medis dampak Cacingan terhadap keadaan zat gizi. Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat gizi tersebut. Berkaitan dengan pemikiran di atas, maka PMT-AS yang dimulai pada tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan tahun 1999/2000 menjadikan pemberian obat cacing sebagai salah satu kegiatannya. Sampai tahun 1999/2000 telah mencakup 9.416.039 murid termasuk penduduk pesantren di 20 provinsi di Indonesia. Deklarasi Bali Februari Tahun 2000 menyepakati bahwa Tindakan untuk mengurangi beban dari penyakit yang disebabkan infeksi parasit cacing akan menghasilkan perbaikan yang besar untuk kesehatan individu ataupun kesehatan masyarakat. Manfaat tambahan adalah berkaitan dengan pertumbuhan, perkembangan dan kecerdasan anak, peningkatan produktivitas pekerja dan dampak kehamilan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1144/MENKES/PER/VIII/ 2010 tentang organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Program Pengendalian Kecacingan berpindah direktorat, dari Direktorat P2ML di Subdit Pengendalian Diare dan Kecacingan ke Direktorat PPBB di Subdit Pengendalian Filariasis dan Kecacingan sehingga diharapkan integrasi program pengendalian cacingan dengan program pengendalian filariasis akan berjalan dengan lebih mudah. C. Dampak Cacingan Pada Masyarakat 1. Kerugian Langsung Akibat Cacingan Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing atau Cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah, Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya. Kerugian kalori protein dan darah tersebut bila dihitung dengan jumlah penduduk 220.000.000 dapat diperkirakan sebagai berikut. a. Kerugian karena Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Di Indonesia dengan jumlah penduduk 220.000.000, prevalensi Cacingan 17,3% dan jumlah rata-rata cacing per orang 6 ekor cacing, 1. Kerugian karbohidrat karena cacing gelang sehari Rumus : (Jumlah Penduduk x Prevalensi x Rata-rata jumlah cacing per orang x Kehilangan Karbohidrat oleh satu ekor cacing per hari) Bila penduduk anak usia Sekolah Dasar diperkirakan 21% maka kerugian yang disebabkan oleh infeksi Cacing Gelang dapat dihitung sebagai berikut : (21% x 220.000.000 x 17,3% x 6 x 0,14 gram) : 1000 = 6753 kg karbohidrat per hari Karena 0,8 gram karbohidrat setara dengan 1. gram beras, maka kerugian beras setara dengan 8.441 kg peras per hari. Bila dihitung dalam rupiah dengan harga beras Rp. 6000 per kg, maka kerugian uang dalam satu tahun diperkirakan : 8.441 kg beras x 365 hari x Rp. 6000 = Rp. 18.485.790.000 per tahun. 2. Kerugian protein karena cacing gelang sehari Jika seekor cacing menghabisken 0,035 gram protein sehari, maka perkiraan protein yang hilang adalah : (21% x 220.000.000 x 17,3% x 6 x 0,035 gram) : 1000 = 1688 kg protein per hari Bila 1 gram daging sapi mengandung 0,19 gram protein, maka kerugian daging sapi adalah 8.884 kg per hari. Bila dihitung dengan rupiah, dimana harga daging sapi 60.000 per kg, maka kerugian uang diperkirakan : 8.884 kg x 365 hari x Rp. 60,000 = Rp. 194.559.600.000 per tahun . Kerugian Karena Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale & Necator ‘Americanus) Jumlah kehilangan darah Bila prevalensi Cacing Tambang 2,3% jumlah rata-rata Cacing Tambang per orang 50 ekor dan seekor Cacing Tambang menghisap darah 0,2 cc maka perkiraan jumlah kehilangan darah yang disebabkan oleh Cacing Tambang per hari adalah : 21% x 220.000.000 x 2,3% x 0,2 cc x 50 ekor = 10.626.000 cc darah (0.626 liter darah per hari Untuk satu tahun penderita infeksi cacing tambang akan kehilangan darah sebanyak : 10.626 liter x 365 hari .878.490 liter darah per tahun. Kerugian Karena Cacing Cambuk (Trichiuris trichiura) lah kehilangan darah Bila prevalensi Cacing Cambuk 20,5% jumlah rata-rata Cacing Cambuk per ‘orang 100 ekor dan seekor Cacing Cambuk menghisap darah 0,005 cc, maka perkiraan jumlah kehilangan darah disebabkan oleh Cacing Cambuk sehari sebanyak : 21% x 220.000.000 x 20,5% x 0,005 cc x 100 |.736.000 cc darah 736 liter darah per hari Untuk satu tahun penderita infeksi cacing cambuk akan kehilangan darah sebanyak : .736 liter x 365 hari |.728.640 liter darah per tahun Jadi perkiraan kerugian yang disebabkan oleh cacingan pada anak usia Sekolah Dasar dalam waktu satu tahun adalah : Karbohidrat : Rp. 18.485.790.000 Protein: Rp. 194.559.600.000 Darah —_: $,607.130 Liter |. Kerugian Lainnya Kesakitan akibat infeksi cacing telah dihitung berdasarkan efek dari cacingan yang dapat ditimbulkan Disability adjusted life years (DALYs), suatu metode matematika yang menghitung kehilangan waktu produktif disebabkan infeksi cacing. DALYs dihitung dengan memperkirakan beberapa konsekuensi dari penyakit kecacingan yaitu kondisi fisik yang lemah dan angka kehadiran masuk sekolah yang rendah serta _penderita kecacingan beresiko tinggi mudah terinfeksi penyakit. e Tabel 1. Global DALYs disebabkan Infeksi Cacingan Jenis Infeksi Cacingan DALYs lost (juta) Infeksi Cacing Tamban: 22.1 Infeksi Cacing Gelang 10.5 Infeksi Cacing Cambuk 6.4 Total Infeksi_Cacingan 39.0 Pentingnya Program Pengendalian Kecacingan Semakin meningkatnya upaya pembangunan di tengah kompetisi yang semakin ketat menuntut tersedianya kualitas sumber daya manusia yang prima, Untuk pengembangan sumber daya manusia ini maka upaya yang dilakukan perlu berwawasan jangka panjang tetapi sekaligus mampu menjawab kebutuhan jangka pendek. Kebutuhan jangka pendek yang sudah mendasar adalah tersedianya tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih tergolong rendah. Selain penyebab yang berkaitan dengan ketrampilan kerja, kondisi kesehatan dan kesegaran jasmani pekerja Indonesia juga terbukti masih rendah. Suryodibroto (1994) melaporkan bahwa 46,6% dari pekerja wanita di Jakarta dan sekitarnya ternyata menderita anemia dan 45,6% diantaranya terbukti mengidap Cacingan. Upaya meningkatkan ketrampilan kerja tanpa memperbaiki kondisi seperti ini jelas tidak akan mampu menghasilkan peningkatan produktivitas kerja secara optimal. Bukt jelas sekali diungkapkan oleh penelitian Darwin Karyadi (1974), dimana dengan perbaikan status gizi melalui pemberian makanan tambahan terhadap penderita Cacingan mampu meningkatkan produktivitas kerja. Di lain pihak, tersedianya sumber daya manusia yang produktif juga amat ditentukan oleh kualitas sumber daya usia muda, khususnya pada usia sekolah dasar. Pemantauan secara terus menerus (1987 - 1994) pada kelompok anak usia sekolah dasar di Jakarta menunjukkan tingginya prevalensi cacingan pada kelompok ini, yang rata-ratanya mencapai 60-70% (Sri Margono dkk, Sasongko, 1994). Jelas sekali bahwa upaya meningkatkan kualitas sarana pendidikan tanpa memperhatikan kondisi ini tidak akan mampu menghasilkan peningkatan kualitas pendidikan dasar secara optimal. Dalam jangka panjang, rendahnya kualitas sumber daya usia muda akan berpengaruh besar terhadap tingkat produktivitas pada usia kerja. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas sumber daya manusia usia muda perlu dilakukan pada tahap dini untuk memperoleh kualitas dan tingkat produktivitas kerja yang optimal pada usia kerja Untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek, diharapkan mampu mengantitipasi persiapan kualitas SDM dalam jangka panjang, maka perlu dilakukan upaya yang nyata untuk meningkatkan kualitas sumber daya kelompok pekerja yang ® dilakukan sekaligus bersamaan dengen upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya usia muda (usia sekolah dasar) serta usia dini 1-4 tahun. Sebenarnya infeksi cacing perut akan berkurang bahkan dapat dihilangkan sama sekali bila diupayakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan pakai sabun di lima waktu penting (setelah BAB, setelah membersihkan anak yang BAB, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah memegang/menyentuh hewan), serta mengelola makanan dengan benar, lingkungan bersih, makanan bergizi, yang nantinya akan tercapai dengan sendirinya dalam program pembangunan pengentasan kemiskinan. Bila keadaan ekonomi baik, maka ia akan membuat rumah yang lebih baik, jamban yang sehat, mengirim anak-anaknya ke sekolah supaya lebih mengetahui masalah kesehatan, membeli radio dan televisi supaya dapat mendengar siaran-siaran tentang penyuluhan kesehatan, sehingga dapat merubah perilaku ke arah perilaku hidup bersih dan sehat. Jelasiah bahwa pembangunan di semua sektor akan membantu meningkatkan derajat kesehatan secara umum termasuk menanggulangi infeksi cacing. Dalam program jangka pendek, dimulai dengan mengurangi prevalensi infeksi cacing dengan membunuh cacing tersebut melalui pengobatan, dengan pengobatan, intensitas infeksi (jumlah cacing per orang) dapat ditekan, sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatan. Untuk itu perlu adanya kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait baik pemerintah maupun swasta agar terjalin komunikasi yang berkesinambungan sehingga timbul pemahaman yang sama dalam penanggulangan penyakit Cacingan baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Program pengendalian jangka panjang harus dilaksanakan secara berkesinambungan dengan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran swasta sehingga mereka mampu dan mandiri dalam melaksanakan penanggulangen penyakit Cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih dan sehat, meningkatkan kesehatan perorangan dan lingkungan, dengan demikian diharapkan produktifitas kerja akan meningkat. BAB II CACINGAN Epidemiologi Cacingan yang akan dibahas dalam bab ini adalah infeksi dari cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths/STH). Soil transmitted helminths (STH) adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. STH yang banyak di Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus). Kebiasaan yang berkaitan erat dengan tingginya angka infeksi dan reinfeksi STH terutama pada balita dan anak usia sekolah dasar adalah defekasi di sekitar rumah, tidak mencuci tangan sebelum makan, bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki dan kebiasaan memakan tanah (geophagia).. Telur A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah liat, lingkungan yang hangat dan lembab untuk dapat berkembang menjadi bentuk infektif. Telur A.Jumbriciodes yang telah dibuahi dan mencemari tanah akan menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimum 25° - 30°C. Telur T. trichiura akan matang dalam 3 - 6 minggu pada suhu optimum 30°C. Telur matang kedua spesies itu tidak menetas di tanah dan dapat bertahan hidup beberapa tahun, khususnya telur A. lumbricoides. Selain keadaan tanah dan lingkungan yang sesuai, endemisitas juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam hospes. Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain), semakin tinggi endemisitas di suatu daerah. Cacing tambang sering ditemukan pada pendudukdi perkebunanataupertambangan. Telur cacing tambang memerlukan tanah berpasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang menetas menjadi larva rabditiform dalam waktu 24 - 36 jam untuk kemudian pada hari ke 5 - 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimum bagi N.americanus adalah 28° - 32°C dan untuk A.duodenale sedikit lebih rendah yaitu 23° - 25°C sehingga N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenale. Larva filariform dapat bertahan 7 - 8 minggu di tanah.* A. Ascaris lumbricoides 1. Morfologi dan Siklus Hidup Cacing jantan mempunyai panjang 10-30 cm sedangkan cacing betina 22-35 cm. Cacing betina dapat bertelur 100 000 - 200 000 butir sehari, terdiri atas telur dibuahi dan telur tidak dibuahi. Di tanah yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Bila telur infektif tertelan, telur akan menetas menjadi larva di usus halus. Selanjutnya larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru, larva —® menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan di faring sehingga penderita batuk dan larva tertelan ke dalam esofagus, lalu ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur infektif tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Gambar 1). CK, carat xterm Gambar 1. siklus Hidup Cacing Gelang 2. Patofisiologi dan Gejala Klinis Fose migrasi larva Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada jaringan yang dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan respons inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks dan akan menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala pnemonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk ering, demam dan pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai darah. Pnemonia yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE disebut sindrom Loeffler. Larva yang mati di hati dapat menimbulkan granuloma eosinofilia Fase intestinal Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang menimbulkan gejala klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, lesu, tidak bergairah, dan kurang konsentrasi Cacing Ascaris dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan mikronutrisi. Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan, terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (i/eus). Selain itu cacing dewasa dapat masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis akut atau gangren. Jika cacing dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis, kolangitis, pangkreatitis dan abses hati. Selain ke bermigrasi ke organ, cacing dewasa dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing dewasa dapat terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi atau obat-obatan. 3. Diagnosis Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A./Jumbricoides pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut,hidung atau anus. 4. Pengobatan Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia 12 - 24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk ascariasis dengan dosis 10 - 11 mg / kg BB per oral, dosis maksimum 1 gram. Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat akibat cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan apendiks. Pengobatan askariasis harus disertai dengan perubahan perilaku hidup bersih sehat dan perbaikan sanitasi B, Trichuris trichiura 1. Morfologi dan siklus hidup Cacing betina panjangnya + 5 cm, sedangkan cacing jantan + 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya + 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk; pada cacing betina bulat tumpul sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari sebanyak 3000 -10 000 butir. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu di tanah yang lembab dan teduh. Telur matang jalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Bila telur matang tertelan, larva akan keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing akan turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian @® anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. T. trichiura tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur + 30 - 90 hari (Gambar 2). "Makanantanah | (ee NY, Bentut domasa Gambar 2. Siklus Hidup Cacing Cambuk 2. Patofisiologi dan gejala klinis T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis. Trikuriasis ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat menimbulkan prolapsus rekti akibat penderita mengejan dengan kuat dan sering timbul pada waktu defekasi. Selain itu penderita dapat mengalami diare yang diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat badan turun. Bagian anterior cacing yang masuk ke dalam mukosa usus menyebabkan trauma yang menimbulkan peradangan dan perdarahan. 7. trichiura juga mengisap darah hospes, sehingga mengakibatkan anemia 3. Diagnosis Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada sediaan basah tinja langsung atau menemukan cacing dewasa pada pemeriksaan kolonoskopi. Telur T.trichiura memilki karakterisktik seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua kutub sehingga mudah untuk diidentifikasi(Tabel1.) Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi. @- 4. Pengobatan Obat untuk trikuriasis adalah albendazol 400 mg selama 3 hari atau mebendazol 100 mg 2x sehari selama 3 hari berturut-turut.” C. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus 1. Morfologi dan Siklus Hidup Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah A. duodenale dan N. americanus. Cacing betina berukuran panjang + 1 cm, cacing jantan + 0,8 cm. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks. Bentuk badan americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale menyerupai huruf C. WN. americanus tiap hari bertelur 5000 - 10 000 butir, sedangkan A. duodenale 10 000 - 25 000 butir, Rongga mulut WV. americanus mempunyai benda kitin, sedangkan A, duodenale mempunyai dua pasang gigi yang berfungsi untuk melekatkan diri di mukosa usus. Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang sesuai_ telur menetas mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1 - 2 hari. Larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform dalam waktu + 3 hari. Larva filariform bertahan hidup 7 - 8 minggu di tanah dan dapat menembus kulit. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga dapat terjadi dengan menelan larva filariform. Bila larva filariform menembus kulit, larva akan masuk ke kapiler darah dan terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, kemudian masuk rongga alveolus, dan naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus menuju ke faring. Di faring larva akan menimbulkan rangsangan sehingga penderita batuk dan larva tertelan masuk ke esofagus. Dari esofagus, larva menuju ke usus halus dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa (Gambar 3). 2. Patofisiologi dan Gejala Klinis Stadium larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch yaitu reaksi lokal eritematosa dengan papul-papul yang disertai rasa gatal. Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faringeal, batuk, sakit leher, dan suara serak. Larva cacing di paru dapat menimbulkan pneumonitis dengan gejala yang lebih ringan dari pnemonitis Ascaris. es - - Bentuk mulutuntok menghisap S Joe Telur ‘anah lena Gambar 3. Siklus hidup cacing tambang Stadium dewasa Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat dari kehilangan darah karena invasi parasit di mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita. Seekor N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc/hari, sedangkan A. duodenale 0,08 - 0,34 cc/hari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia, Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Morfologi dan karakteristik talur cacing tambang dapat di lihat pada Tabel 1. Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi Pengobatan Obat untuk infeksi cacing tambang adalah albendazol dosis tunggal 400 mg oral atau mebendazo!l 2X100mg/hari atau pirantel pamoat 11 mg / kgBB, maksimum 1 gram. Mebendazol dan pirantel pamoat diberikan selama 3 hari berturut-turut. WHO merekomendasikan dosis albendazol yaitu 200 mg untuk anak usia 12 - 24 bulan.’ Untuk meningkatkan kadar haemoglobin perlu diberikan asupan makanan bergizi dan suplementasi zat besi. Tabel 1, Karakteristik Telur Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Spesies | Ukuran | Bentuk | Warna Keterangan Gambar [A.lumbricoides [60-90% |Memanjang |Coklat | Lebinramping daripada {tidak dibuani) |40-60 —|etipsoidat |sampai _| telurdibuati, bagian uar (cvikeon) coklat tua | mempunyaitonjolan kasar dan lapisanallbuminoid Bagian dalam penuh berisi |. ranul ‘A lumbricoides [4570x | Oval Ternih | Bentuk hampie menyerupai (Gibuahi), tanpa_| 35-50 telur cacing tambang. tapi lapisan albumin | (mikron) dindingnya tebal {decorticated) ‘A. lumbricoides |50-70x | Lonjong atau | Kuning Dinding tebal dan berlapis. (dibuani,dengan [40-50 | bulat kecoklatan | Bagian uardilapisilapisan Iapisan albumin). | (mikron) sampai | yang berbenjot-benjot dan cokiat tua, | bergelombang ‘Alumbricoides [50-70% | Lonjongatau |Kaning | Dinding tebal berlapis 3 infektt (sap |] 40-50 | bulat ecoklatan | (feril) atau 2 (decortcated) 7: menginfeksi | (mikron) sampai_—_| berisilarva manusia) coklat tua T wichivra S0Sdx |Seperti __[Coblat___| Kedua kutub mempunyai 22-23 | tempayan/ |sampai_—_|“sumbat’, (enixron) | gentong. | coklat tua Stadium infektifberisi larva Cacing Tambang [5575x [Ovalatau [erin | Dinding telur satu lapis. Bila 35-46 | ellipsoidal baru dikelusrkan melalui (emikron) tinja itinya terdiriatas 48 sel. BAB III PROGRAM PENGENDALIAN KECACINGAN Dasar utama untuk pengendalian kecacingan adalah memutuskan mata rantai lingkaran hidup cacing. Dalam hal ini pertanyaan penting yang harus dijawab ialah “"mengapa orang terkena infeksi cacing?” berarti bahwa sebelum pengendalian dilakukan, harus diketahui epidemiologi penyakit tersebut. Dengan demikian maka semua bentuk stadium cacing harus dikenali dengan seksama seperti lingkaran hidup dan dimana keberadaan (lihat gambar lingkaran hidup), bentuk cacing yang menyebabkan penyakit dalam tubuh manusia, dan bentuk yang ada di dalam tanah yang dapat menjadi sumber infeksi (telur dan larva), serta keadaan sosial ekonomi dan budaya yang mendorong perilaku yang mengakibatkan pemaparan (exposure) terhadap infeksi cacing tersebut. Secara singkat memutuskan mata rantai lingkaran hidup cacing dapat dilakukan pada tingkat cacing dalam tubuh manusia, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan budaya Data WHO tahun 2009 menunjukkan di Regional Asia Tenggara memiliki 42% proporsi sasaran anak diseluruh dunia yang membutuhkan pengobatan cacing, dimana Indonesia diperkirakan memiliki 15% dari anaksekolah dan prasekolah yang memerlukan pengobatan. Setelah India yang memiliki 64% anak sasaran pengobatan. Adapun sasaran pengobatan di Indonesia berdasar data WHO tahun 2009 tersebut menunjukkan kita memiliki 16.685.884 anak prasekolah (1-4 tahun) dan 41.390.043 anak usia sekolah (5 —12 tahun). Dengan adanya kebijakan program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah Indonesia maka diasumsikan semua anak sekolah dasar/MI mewakili semua anak usia sekolah. A, Tujuan 1. Tujuan Umum Meningkatkan cakupan program pengendalian kecacingan pada anak usia sekolah dan anak pra sekolah sehingga menurunkan angka kecacingan dan tidak menjadi masalah kesehatan di masyarakat. 2. Tujuan Khusus a. Meningkatkan cakupan program pengendalian kecacingan sampai 75% sasaran anak sekolah usia sekolah dan pra sekolah di semua daerah endemis pada tahun 2020. b. Meningkatkan kemitraan dalam pengendalian kecacingan di masyarakat dengan pemangku kebijakan, lintas sektor, pengusaha dan organisasi masyarakat. B. Sasaran 1. Anak Usia Sekolah (5 - 12 tahun) pada PAUD dan SD/MI Prevalensi dan intensitas Cacingan pada kelompok ini cukup tinggi. Enrollment Rate SD mencapai 95%. Bila kelompok ini ditangani secara intensif, dapat menurunkan prevalensi dan intensitas cacingan secara bermakna. as Diharapkan penanggulangan cacingan pada kelompok ini dapat menimbulkan kemandirian budaya hidup sehat baik pada populasi target maupun masyarakat sekitarnya. 2. Anak Balita ( 1 - 4 tahun) Mengingat dampak yang ditimbulkan akibat cacingan pada anak usia dini (1-4 tahun) akan menimbulkan kekurangan gizi yang menetap (persistent malnourish) yang dikemudian hari akan menimbulkan dampak pendek menurut umur (stunting). . Kebijakan Sesuai dengan tujuan Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam Rencana Strategis yaitu terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya. Program pengendalian cacingan adalah suatu program pembangunan kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dengan mendahulukan kepentingan rakyat. Cacingan merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama dikalangan anak sekolah dasar. Sesuai dengan kebijakan otonomi daerah dimana pelaksana dari berbagai program kesehatan adalah pemerintah daerah kabupaten/kota, maka Program Pengendalian Kecacingan termasuk program yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan kebijakan program pengendalian kecacingan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan. Sehingga kebijakan pusat adalah memastikan semua kabupaten/kota menyelenggarakan Program Pengendalian Kecacingan secara bertahap. Untuk itu sesuai dengan petunjuk WHO maka dalam kebijakan pusat perlu ditentukan target pencapaian akhir yaitu: 1. Pada tahun 2014: a. Sebanyak 75% Provinsi telah melaksanakan Program Pengendalian Kecacingan. b. Cakupan sasaran nasional mencapai minimal 50%. 2. Pada Tahun 2016: a. Sebanyak 100% Provinsi dan 759% Kabupaten/Kota telah melaksanakan Program Pengendalian Kecacingan. b. Cakupan sasaran nasional mencapai minimal 75%. 3. Pada tahun 2018: a. Sebanyak 100% Provinsi dan 100% Kabupaten/Kota telah menyelenggarakan Program Pengendalian Kecacingan. b. Cakupan sasaran di kabupaten/kota mencapai minimal 50%. 4, Tahun 2020: a, Sebanyak 100% Provinsi dan 100% Kabupaten/Kota telah mencapai minimum 75% target sasaran anak sekolah dan prasekolah. b. Cakupan sasaran di kabupaten/kota mencapai minimal 75%. ® D. Strategi 1 Meningkatkan komitmen politik melalui penyusunan kebijakan nasional dalam program pengendalian kecacingan di Indonesia, termasuk penyuluhan kesehatan dan peningkatan kualitas air dan sanitasi sebagai faktor penentu disamping intervensi pengobatan cacingan. Memastikan program pengendalian kecacingan masuk dalam rencana perbaikan kualitas air serta masuk dalam perencanaan disektor pendidikan. Harmonisasi koordinasi lintas program, lintas sektor dan peran serta masyarakat dengan mendorong terjadinya kemitraan baik dengan kelompok usaha maupun lembaga swadaya masyarakat antara lain dengan kegiatan program eliminasi filariasis, UKS melalui penjaringan anak sekolah kelas 1 SD/MI dan kegiatan pemeriksaan berkala pada anak SD/MI serta kegiatan pemberian vitamin A di Posyandu/PAUD. Membangun kapasitas teknis dan penyediaan petunjuk teknis. Meningkatkan kesinambungan serta fasilitasi tanggung jawab pemerintah secara penuh. Meningkatkan kapasitas monitoring dan evaluasi. Dalam menerapkan strategi di atas, ada 3 hal yang harus dilakukan yaitu : 1) Promotif Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada anak- anak sekolah, yaitu melalui program UKS, dan untuk masyarakat luas dapat dilakukan melalui posyandu, media cetak maupun media elektronik dan penyuluhan langsung. Sedangkan untuk anak pra sekolah upaya promotif perlu dilakukan dengan memanfaatkan media promosi yang telah ada di Puskesmas maupun di Posyandu. 2) Preventif Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko, yang meliputi kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, untuk anak sekolah dan madrasah melalui pendidikan kesehatan di sekolah, baik untuk guru maupun murid 3) Pengobatan Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur. Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan sebaiknya didahului dengan penentuan prevalensi untuk mendapatkan data dasar dan menentukan katagori pengobatan yang diperlukan. ® ® BAB IV KEGIATAN PROGRAM PENGENDALIAN KECACINGAN A. TAHAPAN KEGIATAN 1 Penentuan Prevalensi Penentuan prevalensi suatu daerah ditentukan dengan tingkat prevalensi cacingan pada anak SD/MI yang diukur dengan melakukan pemeriksaan tinja yang diambil dari sampel yang dikumpulkan dengan menggunakan dua cara yaitu: a. berdasarkan atas survei kecacingan disuatu kabupaten dengan menggunakan metoda survai kluster dua tahap (two stages cluster sampling) gtou b. rekapitulasi data kecacingan yang diperoleh dari kegiatan Puskesmas melalui penjaringan kesehatan anak kelas satu SD/MI di suatu kabupaten, dengan memeriksa sampel tinja anak kelas satu SD/MI yang terpilih. Pemetaan prevalensi ditingkat kabupaten dilakukan oleh provinsi, sehingga diharapkan propinsi memiliki peta prevalensi per kabupaten dalam rangka monitoring dan evaluasi program pengendalian cacingan. Pada kondisi dimana provinsi tidak mampu melakukan pemetaan prevalensi tingkat kabupaten, maka pusat akan melakukan penentuan prevalensi tingkat propinsi dan hasilnya dianggap mewakili semua kabupaten dipropinsi tersebut, kecuali tersedia data lain yang valid mengenai prevalensi cacingan dari kabupaten yang bersangkutan. Prevalensi diperoleh dengan cara Jumlah sampel tinja yang positif x 100% Jumlah sampel tinja yang diperiksa Pada survei kecacingan dengan menggunakan pengambilan sampel kluster dua tahap adalah sebagai berikut: 1.1.Bila kita hendak mengetahui prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah (SD/Ml) pada tingkat provinsi tsb, maka kita dapat menggunakan teknik pengambilan sampel sebagai berikut: © Buat daftar kecamatan yang ada dalam provinsi tersebut + Apabila jumlah kecamatan 2 30, maka kecamatan dapat kita jadikan kluster (primary sampling unit = unit yang pertama kali dijadikan sampel), kemudian kita pilih secara acak 30 kluster, lalu kita memilih secara acak juga satu sekolah dasar yang berada dalam kecamatan tersebut, Selanjutnya secara acak juga pilih sebanyak 7 anak sekolah SD. Jadi jumlah sampel akan menjadi 30 x 7 = 210 subjek. Jumlah sampel dapat ditingkatkan dengan menggunakan design effect (deff) 3 sampai 7, sehingga jumlah sampel dapat menjadi 315 (bila deff =3), 420 (bila deff = 4) dan seterusnya. Hasil yang didapat merupakan prevalensi penyakit kecacingan pada ditingkat propinsi, dan bukan merupakan prevalensi kabupaten. 1.2.Bila kita hendak mengetahui prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah (SD/MI) pada tingkat kabupaten, maka kita dapat menggunakan teknik pengambilan sampel sebagai berikut: * Buat daftar kelurahan/desa yang ada dalam kabupaten itu * Apabila jumlah kelurahan/desa 2 30, maka kelurahan/desa dapat dijadikan kluster (primary sampling unit = unit yang pertama kali dijadikan sampel), kemudian kita pilih secara acak 30 kluster, lalu kita memilih secara acak juga satu sekolah dasar) SD yang berada dalam kelurahan/desa itu. Selanjutnya pili secara acak 7 anak SD yang berada dalam sekolah teresebut, sehingga jumlah sampel menjadi 210. Jumlah sampel dapat ditingkatkan dengen menggunakan design effect (deff) 3 sampai 7, sehingga jumlah sampel dapat menjadi 315 (bila deff =3), 420 (bila deff = 4) dan seterusnya. Prosedur penentuan jumlah sampel sebanyak 210 itu jika diperkirakan prevalensi cacingan 2 10%. (dianggap kasus cacingan sangat prevalen). Penjelasan mengenai pembuatan tabel acak dan penentuan design effek lihat lampiran1. 1.3. Cara menghitung Prevalensi. Menghitung prevalensi cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing (prevalensi cacingan) atau per jenis cacing Prevalensi Cacingan Prevalensi cacingan diperoleh dengan membagi jumlah feses yang positif mengandung telur cacing STH dibagi dengan jumlah sample feses yang diperiksa Hasil dari survei dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat endemisitas suatu daerah, sebagai berikut : (kategori prevalensi WHO) Tabel 1. Klasifikasi Prevalensi Penyakit Cacingan (WHO 2002) Kategori Prevalensi Prevalensi Tinggi 250% Sedang 2 20% - < 50% Rendah < 20% 1.3.1. Prevalensi cacingan : Jumlah sampel tinja positif telur cacing _ -- x 100% Jumlah sampel tinja yang diperiksa 1.3.2. Prevalensi cacing gelang : Jumlah sampel tinja positif telur cacing gelang - x 100% Jumlah sampel tinja yang diperiksa @® 1.3.3. Prevalensi cacing cambuk Jumlah sampel tinja positif telur cacing cambuk. - x 100% Jumlah sampel tinja yang diperiksa 1.3.4, Prevalensi cacing tambang : Jumlah sampel tinja positif telur cacing tambang -- x 100% Jumlah sampel tinja yang diperiksa 1.4,.Pemeriksaan Sampel Tinja 1.4.1, Tujuan pemeriksaan sampel adalah menegakkan diagnosis pasti, dengan melihat melalui mikroskop ada atau tidaknya telur cacing dan jenis telur cacing serta menentukan intensitas infeksi. Pemeriksanaan tinja dilakukan dengan teknik Katokatz (lihat lampiran 2) 1.4.2. Interpretasi hasil pemeriksaan sampel tinja. Hasil pemeriksaan sampel tinja dinyatakan dengan kualitatif yaitu positif dan negative, dan proporsi hasil positif dari sampel tinja yang diperiksa memberikan interpretasi tingkat prevalensi dari sejumlah sampel yang diperiksa. Selain itu pemeriksaan sampel tinja juga dapat dinyatakan secara kuantitatif yaitu menyatakan jumlah telur cacing per gram tinja dalam setiap sediaan yang diperiksa. Dan hal ini menggambarkan intensitas infeksi pada sampel individu yang diperiksa. 1.5. Menghitung intensitas infeksi Menghitung intensitas infeksi dilakukan dengan menghitung tiap jenis telur cacing dengan cara zig zag sampai seluruh lapangan pandang selesai. WHO merekomendasikan menggunakan template untuk menampung tinja seberat 41,7 mg, sehingga hasil perhitungan jumlah telur dilapangan pandang dikalikan dengan faktor pengkali 24. Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi, yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg per gram/EPG) tiap jenis cacing. Klasifikasi intensitas infeksi individual merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat. intensitas infeksi individual menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel 2. Untuk mengukur intensitas infeksi pada tingkat komunitas maka dilakukan perhitungan proporsi jumlah individu pada masing masing tingkat intensitas (ringan/sedang/berat) diantara jumlah sampel tinja yang diperiksa.

You might also like