You are on page 1of 22

Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitas

dan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin


Oleh : Nyoman Dantes

I. Pendahuluan

Ciri utama abad milinium ini adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek
kehidupan. Kita hidup pada masa berlangsungnya banyak perubahan yang
mempercepat globalisasi, informasi yang kian menggunung, dominasi sains dan
teknologi yang terus bertumbuh, dan benturan berbagai kultur. Globalisasi
mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara
tidak lagi menjadi penting. Dalam kaitan dengan itu, terjadi kehidupan yang penuh
dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Salah satu yang
menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya keterbukaan, jaminan
mutu dan persamaan hak. Dalam konteks kepemimpinan, hal itu tentunya berarti
dimensi penghargaan, pengakuan dan keadilan pada setiap individu berhak mendapat
prioritas yang setinggi-tingginya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang
ekonomi, maupun jenis kelamin. Kepemimpinan yang dapat memberikan
kenyamanan, perasaan aman, kesejahtraan moriil dan materiil akan berdampak
langsung pada kesejahtraan hidupnya. Hal tersebut merupakan dimensi aksiologi
kepemimpinan. Maka dari itu diperlukan dasar pemahaman yang kuat dan dasar yang
kokoh bagi pemimpin atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sentuhan dengan
pendekatan kemanusiaan akan dapat merupakan wahana transpormasi budaya, dan
proses itu sendiri adalah budaya intingeble,merupakan social culture, dan juga
merupakan dan mendukung culture system. Dalam kaitannya dengan itu pemimpin
dituntut berperan sebagai agen pengembang dan pembentuk budaya kerja organisasi.
Bila kita analisis pengalaman sejarah bangsa kita, pasang surutnya perkembangan
bangsa kita, diperlukan usaha yang sangat serius untuk menata kehidupan bangsa
dalam berbagai aspek. Menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspeknya termasuk
pendidikan adalah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan, walaupun hal itu
diketahui sulit. Pada hakekatnya proses penataan kembali itu diperlukan, karena
hadirnya sejumlah perubahan, yang beberapa diantaranya sangat fundamental dan
tidak pernah diramalkan sebelumnya. Dunia bergerak ke masa depan dengan dinamis,
dan dalam proses itu banyak nilai masa lalu yang tidak tepat lagi dengan konteks
perkembangan jaman. Hal ini disebabkan karena memang perubahan perkembangan
masyarakat; dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern, juga berkembang dari masyarakat
paternalistik ke masyarakat demokratis. Hal ini dapat menyebabkan sebagian
masyarakat mengalami disorientasi nilai. Dalam tingkat tertentu hal tersebut juga
mempengaruhi dunia pendidikan kita.
Sebagai masyarakat yang sebagian besar cenderung dalam tipologi tradisional,
terkait dengan perubahan jaman tersebut, untuk bisa hidup harmonis dan bahagia

1
dalam lingkungan dunia baru (global) ini, diperlukan hadirnya Neotradisional Norm
yaitu nilai-nilai baru yang berakar pada nilai-nilai tradisional (asli) dan dalam
perkembangan dan perubahan nilai dapat disebut dengan dynamic integrated norm
yaitu suatu perubahan nilai yang dianut masyarakat tetapi masih bersumber dan
terintegrasi dengan nilai aslinya yang bisa berupa nilai-nilai luhur bangsa yang
merupakan puncak-puncak nilai bangsa, maupun berupa nilai yang bersumber dari
kearifan lokal (local geneus). Semua ini mewarnai perilaku kehidupan masyarakat
dan ini juga mewarnai perilaku mereka dalam melakukan kegiatan-kegiatan
profesional maupun dalam dunia kerja industri. Pola-pola manajemen (pengelolaan)
sumber daya pun harus dapat mengantisipasi hal tersebut.
Bila kita kaji beberapa referensi dalam kaitan dengan hal di atas, tampak jelas
penggambaran adanya perubahan zaman yang sangat pesat. Seperti Nisbet (1997)
telah menyodorkan sepuluh megatrent global yang akan terjadi ke depan yang
terkenal dengan megatrent global melenium yang meliputi boom ekonomi global,
renaisan dalam seni, sosialisme pasar bebas, gaya hidup global dan nasionalisme
kultural, swastanisasi, kebangkitan tepi pasifik, dasawarsa kepemimpinan wanita,
abad biologi, kebangkitan agama milinium, dan kejayaan individu, dan ini akan
mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berinteraksi, yang pada gilirannya akan
mewarnai bagaimana pola kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang manager
untuk mengelola para sumber daya yang dipimpin.. Sedangkan Rowan Gibson (1997)
menyatakan tiga hal sehubungan dengan kehidupan ke depan yaitu : pertama, the
road stop here ; yang esensinya menyatakan bahwa masa depan nanti akan sangat
berbeda dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang
masa depan itu. Kedua, new time call for new organizations, yang pada esensinya
menyatakan bahwa dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi/
institusi yang berbeda dan kepemimpinan yang berbeda dengan ciri efisiensi yang
tinggi, dan kecepatan bergerak. Ketiga, where do we go next; yang esensinya
menyatakan bahwa, dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi,
institusi, pemimpin, perlu merumuskan arah yang tepat yang ingin dituju. Peter Senge
(2004) juga mengemukakan bahwa akan terjadi ke depan ini perubahan dari detail
comlplexety ke dinamic complexity yang nantinya akan membuat interpolasi menjadi
sulit. Perubahan terjadi akan sangat mendadak dan tidak menentu. Sedangkan
Rossabeth Moss Kanter (1994) menyatakan masa depan akan didominasi oleh nilai-
nilai dan pemikiran cosmopolitan dan setiap pelakunya disetiap bidang termasuk
bidang pendidikan dan kepemimpinan dalam pendidikan dituntut memiliki 4C yaitu :
Concept, Competence, Conection, dan Confidance. Maka dari itu kedepan
diperlukan pendidikan yang, di samping menguasai sains dan teknologi yang tinggi,
harus didasarkan pada dasar pemahaman dan penguasaan nilai dan moral
kemanusiaan yang kokoh. Maka dari itu kepemimpinan yang diharapkan diterapkan
dalam perubahan jaman yang begitu cepat adalah kepemimpinan yang mampu
menggerakkan inner power yang dimiliki oleh sumber daya yang dipimpin antara lain
yaitu faktor kecerdasan, kreativitas, pengelolaan diri, dan faktor-faktor aktivitas
kepemimpinan.

2
II. Faktor Kecerdasan
Kecerdasan pada hakikatnya merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia,
sehingga kecerdasan merupakan faktor internal yang dimiliki manusia yang akan
mempengaruhi berbagai keputusan kognitif maupun nonkognitif yang diambil seseorang.
Bersamaan dengan pesatnya perkembangan ilmu psikologis saat ini, penelitian-penelitian
dan pengembangan teoretik mengenai kecerdasan makin bervariasi. Asumsi-asumsi
hipotetik tentang kecerdasan pun makin berkembang pula. Semenjak dikemukakannya
asumsi teoretik tentang kecerdasan mutiple oleh Gardner, muncul asumsi teoretik tentang
berbagai kecerdasan seperti, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan
sosial, kecerdasan relegius muncul mengiringi konsep teoretik tentang kecerdasan
inteligen yang telah lama menguasai konsep kecerdasan yang meyakini bahwa sangat
signifikan pengaruhnya terhadap perilaku-perilaku kognitif maupun kognitif seseorang.
Dengan berbasis studi yang dilakukan oleh para psikologi dan ahli pendidikan
menemukan kecerdasan inteligen (IQ), berpengaruh secara signifikan sebesar antara 16-
24 % terhadap keberhasilan seseorang yang terkait dengan perilaku kognitif (akademik).
Ini artinya makin tinggi inteligensi seseorang akan makin besar pengaruhnya terhadap
kesuksesan menempuh pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan akademik. Dalam
kaitannya dengan tugas-tugas seseorang pimpinan khususnya dalam lembaga-lembaga
formal faktor inteligensi ini pasti berpangaruh secara signifikan. Seseorang pimpinan
tidak boleh lebih bego dari yang dipimpin, karena hal ini menyangkut otorita personal
seseorang ynag dapat mempengaruhi persepsi bagi yang dipimpin. Studi lain yang
menarik tentang inteligensi ini adalah terbentuknya kualitas inteligensi itu dipengaruhi
oleh minimal tiga faktor yaitu, genetis, pengalaman menantang, dan gizi. Genetis adalah
terkait dengan faktor keturunan dari pasangan suami istri, yang diyakini mengikuti
hukum variasi heriditer. Sedangkan pengalaman menantang dimaksudkan adalah
pengalaman-pengalaman masa kecil (0-5 tahun untuk tahap pertama; dan sampai 16
tahun untuk tahap kedua) yang dialami seseorang yang signifikan membentuk
pertumbuhan sel-sel pada otak kecil; serta gizi sudah jelas satu hal yang memberi
dukungan pertumbuhan biologis tersebut.
Dengan munculnya berbagai kenyataan di lapangan bahwa seseorang memiliki
keunggulan di bidang kecerdasan yang berbeda, terus muncul teori mutiple inteligensi
dari Gardner, yang meyakini bahwa terdapat berbagai kecerdasan yang terdiri dari aspek
arithmetik, bahasa, kenestitik dan sebagainya. Sudah tentunya hal ini akan sangat berguna
dan berhasil guna bagi semua orang bila seseorang diberikan tugas sesuai dengan aspek
kecerdasannya.
Selanjutnya dengan diyakininya teori tentang belahan otak kiri (yang menyangkut
memori tentang kecerdasan kognitif) dan belahan otak kanan yang menyimpan tentang
kecerdasan emosional, nilai etika dsb), muncul studi-studi tentang kecerdasan emosional,
spiritual, relegius dan sebagainya. Malah kecerdasan-kecerdasan ini sangat
mempengaruhi kesuksesan seseorang dalam mengelola pekerjaan-pekerjaan yang
mengkoordinasikan berbagai interaksi SDM. Kecerdasan ini diperkirakan berpengaruh
sukses sekitar 60 % bagi seseorang dalam menangani pekerjaan-pekerjaan akademik.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan bagi seseorang
pemimpin sangatlah perlu adanya.
3
III. Faktor Kreativitas
Kreativitas merupakan realisasi dari akumulasi proses psikis, eksperience science, dan
teknology. Berkembangnya suatu kreativitas adalah untuk mencari berbagai kemudahan dalam
hidup dan kehidupan di samping sifat explorer dari karakteristik manusia. Kreativitas sangat
penting, tidak hanya bagi kehidupan modern akan tetapi berlaku dalam setiap kehidupan yang
memiliki kemauan dan upaya untuk mengembangkan diri. Supaya timbul kemauan dan upaya
pengembangan diri, seseorang memerlukan dorongan, pemikiran dan prilaku yang kreatif.
Rhodes membedakan kreativitas ke dalam dimensi person, process, product, dan
press, (dalam Supriadi, 1994:7). Definisi kreativitas yang menekankan pada dimensi persons,
sejalan dengan ungkapan Guilford yang menyatakan bahwa Creativity refers to the abilities
that are characteristics of creative people (Supriadi, 1994:7). Definisi yang menekankan segi
proses, yang dikemukakan oleh Munandar (1977:25) sebagai berikut, Creativity is a process
that manifest itself in fluency, in flexibility aqs well in originalty of thinking. Disisi lain
Hurlock (1978:68) mengungkapkan bahwa kreativitas bukanlah hasil (produk), akan tetapi
merupakan proses yang mempunyai tujuan, mendatangkan keuntungan baik bagi individu yang
bersangkutan maupun kelompok sosialnya, mengarah kepenciptaan yang baru, berbeda dan unik,
dapat berupa bentuk imajinasi yang dikendalikan menjurus kebeberapa bentuk imajinasi yang
dikendalikan ke beberapa bentuk prestasi, serta merupakan suatu cara berpikir. Karena
kreativitas timbul dari pemikiran divergen. Namun kemampuan mencipta tergantung pula pada
perolehan pengetahuan yang diterima. Menurut Semiawan, dkk (1997:52) kreativitas sebagai
peroses merupakan hal yang lebih essensial dan perlu ditanamkan pada individu sejak dini
dengan menyibukkan diri dengan cara kreatif. Misalnya dalam proses bermain, dengan adanya
gagasan atau unsur-unsur pikiran, akan menjadi keasikan yang menyenangkan dan penuh
tantangan bagi individu yang kreatif. Dengan kata lain, kreativitas dalam hal ini merupakan
proses berpikir yang mengarah kepada suatu usaha untuk menemukan hubungan baru,
mendapatkan jawaban, metode atau cara baru dalam memecahkan masalah. Memiliki individu-
individu kreatif atau memimpin individu-individu kreatif dengan kepemimpinan yang
humanistik akan memacu produktivitas baik secara kualitas maupun kuantitas. Atau, dari sisi
manajer, memiliki manajer yang kreatif akan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada
untuk mencapai hasil yang optimal.
Ditinjau dari segi produk, kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan
sesuatu yang baru, yang pada umumnya bersifat original atau unik. Secara lebih rinci Munandar
(1992:46), menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru
berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada sehingga menemukan banyak
kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah dengan menekankan pada kuantitas, ketepat-
gunaan, dan keragaman jawaban. Kreativitas yang dimaksud adalah kreatif dan konvergen.
Kreativitas adalah karya yang merupakan hasil dari pemikiran dan gagasan. Ada rangkaian
proses yang panjang dan harus digarap terlebih dahulu sebelum suatu gagasan menjadi suatu
karya. Rangkaian tersebut antara lain meliputi fiksasi (pengikatan dan pemantapan) dan formula
gagasan, penyusunan rencana, program dan tindakan, dan akhirnya tindakan nyata yang harus
dilakukan sesuai dengan rencana yang telah disusun untuk mewujudkan gagasan tersebut
(Soesarsono Wyandi, 1988:60).
4
Dimensi press (tekanan/dorongan) adalah kondisi yang dapat mendorong atau
menghambat seseorang untuk bertindak kreatif. Dorongan atau hambatan tersebut dapat berasal
dari luar, yaitu lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat, maupun dari dalam individu itu
sendiri. Jika kedua kondisi ini menguntungkan atau menunjang yakni adanya dari seseorang
(individu) untuk melibatkan diri secara kreatif, dan ia mendapatkan kesempatan maka lebih
menguntungkan individu tersebut bertindak secara kreatif.
Definisi lain mengenai kreativitas, diungkapkan oleh Amien (1980), yang mengatakan
bahwa kreativitas merupakan pola berpikir atau ide yang spontan atau imajinatif yang
mencirikan hasil artistik, penemuan-penemuan alamiah, dan penciptaan-penciptaan secara
mekanik. Labih lanjut dijelaskan bahwa kreativitas meliputi sesuatu yang baru atau sama sekali
baru bagi dunia ilmiah atau relatif baru bagi individunya. Dari segi sifat, para individu kreatif
umunya bersifat merangsang diri sendiri, bebas, sensitif, berorientasi kepada sasaran dan mampu
menggerakkan upaya mereka sendiri. Mereka juga bebas terbuka dan fleksibel secara emosional
dibandingkan dengan orang-orang yang kurang kreatif. Pemikiran bertingkat ganda mereka dapat
bersifat pada kesegaran dan kecendrungan yang kuat untuk melihat rimba tetapi bukan setiap
pohon (Dale Timpe, 1982:24).
Dengan demikian dapat dilihat bahwa kreativitas mengandung arti dan mempunyai
tahapan yang diawali dengan suatu pemikiran atau ide yang kreatif, kemudian melakukan
kegiatan kreatif sehingga tercipta hasil kreatif. Jadi kreativitas merupakan kamampuan
seseorang melahirkan sesuatu yang baru, dan bahkan menciptakan situasi yang baru, yang dapat
diduga berpengaruh pada situasi lingkungan (yang dalam hal ini dapat berarti lingkungan kerja).
Dalam kaitan dengan itu, ciri-ciri kreativitas pada umumnya dapat dijadikan sebagai
tolak ukur untuk menentukan kemampuan kreatif dari seseorang. Manurut Guilford (dalam Dedi
Supriadi, 1994:55) ciri-ciri kreativitas seseorang dapat dilihat dari aspek berpikir, dan aspek
dorongan atau motivasi. Aspek berpikir kreatif ditunjukkan oleh sifat-sifat kelancaran (fluency),
kelenturan (flexcibility), keaslian (originality), dan penguraian (elaboration). Aspek dorongan
atau motivasi ditunjukkan oleh sifat-sifat karakter, seperti percaya diri, tidak konvensional, dan
aspirasi keindahan. Terkait dengan hal ini, Baban Sarbana dan Dina Diana (2002:69)
mengemukakan, menjadi kreatif adalah melihat hal yang sama seperti orang lain, tetapi berpikir
tentang sesuatu yang berbeda dan menjadi kreatif adalah membawa kepada suatu yang baru
sebelumnya tidak ada.
Kelancaran (fluency), adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. Ciri-
cirinya antara lain: (1) Word fluency, yakni kemampuan untuk menghasilkan kata-kata yang
dalam kaitan ini dimaksudkan seseorang yang dapat menhasilkan (menggunakan kalimat/kata-
kata) yang bermakna dan lancar dalam berkomunikasi. Seorang pemimpin yang dapat memilih
dan menggunakan kalimat (kata-kata) yang tepat dalam berinteraksi dengan yang dipimpin akan
dapat menghasilkan produk yang diharapkan secara optimal, (2) Associational fluency, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan sejumlah kata-kata yang mengandung beberapa macam
hubungan, dapat terbentuk sebuah ide, pemberian judul atau memberikan arti yang serupa. Selain
itu dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir secara analog atau kebalikannya. (3)
Expressional fluency, adalah kemapuan untuk menyusun kata-kata terorganisasi, seperti dalam
bentuk ungkapan-ungkapan atau kalimat-kalimat. Dengan kata lain merupakan kelancaran dalam
mengekpresikan pikiran-pikiran, ide-ide atau pemecahan masalah dalam bentuk kata-kata atau
kalimat. (4) Ideational fluency, merupakan kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide-ide
5
dengan cepat yang sesuai dengan kegunaan yang diminta. Beberapa jenis tes mengenai ideational
fluency, kecepatan lebih penting dari kualitas. Ide yang dihasilkan dapat berbentuk simpel atau
kompleks, dapat berupa pemberian judul baik untuk gambar maupun cerita, atau dapat pula
berupa ungkapan-ungkapan dalam kalimat pendek yang merupakan kesatuan hasil pemikiran.
Kelenturan (flexibility) yaitu kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam
pemecahan atau pendakatan terhadap masalah. Hal-hal yang termasuk dalam ciri-ciri ini adalah:
(1) Spontaneous flexibility yakni kemampuan atau kecenderungan untuk menghasilkan
bermacam-macam variasi dari ide-ide yang bebas dari hambatan atau keterpaksaan. Spontaneous
flexibility dapat dikatakan pula sebagai keluwesan dalam mengadakan pendekatan terhadap
masalah. Artinya, bila melalui pendekatan yang satu tidak mendapatkan hasil yang diharapkan,
maka dengan segera akan menggantikannya dengan cara pendekatan yang lain. Seseorang yang
memiliki kemampuan Spontaneous flexibility rendah, akan terlihat kaku dalam memberikan ide
atau pendapatnya. Ia akan cenderung untuk bertahan pada satu atau beberapa pada pemikiran
yang sempit saja. Namun demikian orang tersebut masih mempunyai kemungkinan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi meskipun tidak melakukannya secara spontan. (2)
Adaptive flexibility, merupakan penyesuaian yang fleksibel dalam menghadapi masalah sampai
diperoleh hasil pemecahannya. Mengenai hal ini, seseorang akan gagal untuk menyelesaikan
masalah bila ia tidak mampu untuk bertindak fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan masalah
yang sedang dihadapi.
Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli
dan tidak klise. Dapat pula diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang luar
biasa, jarang ditemui dan unik. Seseorang dikatakan memiliki gagasan yang orisinal apabila ia
memilki gagasan-gagasan yang tidak pernah dimiliki orang lain. Gagasan-gagasan itu punya
kelas tersendiri dan orang yang punya gagasan semacam itu harus mempercayai dirinya dan
gagasannya. Orang yang mampu melahirkan permikiran-pemikiran orisinal harus memiliki rasa
percaya diri yang kuat (dan tetap rendah hati) karena mereka cenderung untuk berpikir yang
berlawanan dengan pikiran-pikiran yang konvensional. Akibatnya gagasan mereka lebih besar
kemungkinannya untuk menerima komentar negatif bertubi-tubi. Terkait dengan hal ini Willams
(dalam Utami Munandar, 1992:89), mengemukakan tentang prilaku yang didasarkan pada
berfikir orisinal seperti: memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan
oleh orang lain, mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha untuk memikirkan cara-cara
yang baru, memilih asimetri dalam menggambarkan atau membuat desain, memiliki cara
berpikir yang lain dari yang lain dan mencari pendekatan yang baru dari yang stereotif.
Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu yang terinci, yakni
merupakan kreativitas untuk merangkai sebuah ide atau jawaban-jawaban simpel agar menjadi
lebih mendetail. Elaborasi ini dapat dikembangkan dengan cara memberi latihan kepada subyek
untuk memberikan informasi tambahan, atau komunikasi verbal.
Williams (dalam Utami Munandar, 1992:90), mengemukakan kemampuan
mengelaborasi sebagai berikut: (a) mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau
produk, (b) menambahkan atau merinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi
sehingga menjadi lebih menarik. Selanjutnya dikemukakan bahwa prilaku subyek yang
mempunyai ketrampilan mengelaborasi sebagai berikut: (a) mencari arti yang lebih mendalam
terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci,
(b) mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain, (c) mencoba atau menguji detil-detil

6
untuk melihat arah yang ditempuh, (d) mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas
dengan penampilan yang kosong atau sederhana.
Berdasarkan analisis Guilford (dalam Tedjasutisna, 1999:26) menyebutkan ada lima
faktor sifat yang menjadikan ciri kemampuan berpikir kreatif yaitu: (1) Kelancaran (fluency)
adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan, (2) keluwesan (fleksibility) adalah
kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan masalah, (3) keaslian
(originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara asli, (4)
penguraian (elaborastion) merupakan kemampuan untuk menguraikan suatu secara lebih rinci,
(5) redefinition adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang
berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak.
Pakar lain yakni Moore menyebutkan empat macam ciri utama dari kreativitas yang
pada dasarnya masih senada dengan pendapat Guilford di atas. Ciri tersebut antara lain
sensitivitas terhadap masalah (problem sensitivity), kelancaran ide (idea fluency), kelenturan
pemikiran (idea flexibility), dan keaslian pemikiran atau idea originality.
Sensitivitas terhadap masalah (problem sensitivity) adalah kemampuan utau kepekaan
seseorang untuk melihat masalah. Artinya orang yang kreatif memiliki kepekaan yang lebih
tinggi dalam melihat masalah, situasi, dan tantangan sehingga dapat merumuskan masalah, dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar untuk menganalisis dam merumuskan masalah
tersebut.
Kelancaran ide (idea fluency) merupakan kemampuan untuk menciptakan ide-ide
sebagai alternative pemecahan masalah. Namun untuk menghasilkan ide-ide, diperlukan adanya
pengetahuan luas dan mendalam. Bagi orang kreatif, ia akan mampu melihat masalah dari
berbagai macam sudut pandang, serta menciptakan alternatif pemecahannya dari berbagai sudut
pandang pula.
Kelenturan pemikiran (idea flexibility) menunjuk kepada kemampuan mengubah ide
(pemikiran), meninggalkan suatu kerangka berpikir untuk kerangka berpikir lain untuk
mengganti pendekatan satu dengan pendekatan lainnya. Hal ini berarti orang yang kreatif tidak
akan terlalu terikat pada pemecahan masalah yang sudah lazim digunakan, akan tetapi ia akan
selalu berusaha menemukan alternatif baru yang lebih efektif.
Keaslian pemikiran (idea originality) yaitu kemampuan menciptakan pemikiran atau
ide-ide yang asli dari dirinya. Oleh karena itu orang yang kreatif akan mampu menciptakan
ide/pemikiran dalam bentuk baru, imajinatif, dan orisinal sehingga dapat menjangkau di luar
pemikiran orang biasa, atau dapat berpikir unik melampui cara-cara yang lazim digunakan.
Terkait dengan hal di atas potensi kreativitas yang dimiliki oleh seseorang pemimpin
akan member warna yang kental dalam kepemimpinannya, yang pada gilirannya akan
mempengaruhui budaya organisasi dan prestasi yang dicapai oleh anggotanya.
IV. Potensi Diri
Filosofis strategi pengelolaan potensi diri dilandasi pada suatu pandangan bahwa, setiap
insan manusia memiliki potensi diri dan potensi pengelolaan diri, untuk berkembang dalam
hidup. Potensi tersebut adalah aspek-aspek psikologis yang ada dalam diri setiap individu (baik

7
yang kognitif maupun nonkognitif), yang siap untuk berkembang manakala mendapat kondisi
yang diperoleh dalam pengalaman di lingkungannya. Aspek-aspek psikologis ini jika mendapat
sentuhan secara ilmiah dan sistematis dapat dipastikan dapat berkembang optimal dan terwujud
dalam diri setiap individu secara lebih bermakna. Sentuhan psikologis yang sistematis
menjadikan semua aspek psikologis itu terukur dan dapat dijadikan pedoman untuk membantu
memberi layanan kepada setiap individu. Pengelolaan potensi diri sebagai suatu strategi
sebenarnya dapat digolongkan masih relatif baru dalam dunia managemen, karena baru muncul
pada tahun 1970. Pengembangan strategi pengelolaan diri ini berawal dari tradisi managemen
behavioral kontemporer setelah kaum behavioral memperhatikan pentingnya peranan kognisi
terhadap terjadinya perubahan perilaku dan memberikan apresiasi terhadap kekuatan self
directed behavior ( Shelton,1976).
Strategi pengelolaan potensi diri pada mulanya dikembangkan oleh Williams dan Long
(dalam Corey, 1982). Pada awal perkembanganya strategi pengelolaan diri belum memiliki
istilah yang mantap karena belum ada kesepakatan dari para pelopornya sehingga masih
bervariasi istilah yang digunakan. Beberapa pelopor dan pengembang selanjutnya menggunakan
istilah pengelolaan diri secara berbeda, seperti Meinchenbaum menggunakan istilah self
instruction, Mahoney dan Thorensen menggunakan istilah selfcontrol, sedangkan Watson dan
Tarp memakai istilah selfdirection (Mahoney & Arnkoff, 1978 ; Krumbolt & Saphiro, 1979).
Sangat bervariasinya istilah yang digunakan itu sempat menimbulkan kebingungan dan
kekaburan terminologis. Hanya saja, para pakar pengembang tersebut sepakat bahwa pada
intinya menunjuk kepada strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang sangat
menekankan pada kemampuan individu untuk melakukannya sendiri dengan seminimal mungkin
arahan dari instruktur.
Meskipun pada awalnya masih bervariasi istilah yang digunakan, tetapi pada
perkembangan-perkembangan selanjutnya terjadi kesepakatan untuk menggunakan istilah
pengelolaan diri. Demikian pula Yates (1985) menggunakan istilah pengelolaan diri dengan
alasan (1) pengelolaan diri lebih menunjuk pada pelaksanaan dan penanganan kehidupan
seseorang dengan menggunakan suatu keterampilan yang dipelajari, dan (2) pengelolaan diri
juga dapat menghindarkan konsep inhibisi dan pengendalian dari luar yang sering kali dikaitkan
denga konsep kontrol dan regulasi.
Anggapan dasar pengelolaan potensi diri sebagai suatu strategi cognitive behavioral,
adalah memandang setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun
negatif. Segenap perilaku manusia itu merupakan hasil dari proses belajar dalam merespon
berbagai stimulus dari lingkungannya. Namun pengelolaan diri menentang keras pandangan
behavioral radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya dibentuk dan ditentukan
oleh lingkungan. Yates (1985) secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan diri bukanlah suatu
pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik yang menyingkirkan potensi diri
individu untuk membuat pilihan dan keputusan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses
belajar untuk menghasilkan perilaku itu aspek kognitif juga memiliki peranan penting terutama
dalam mempertimbangkan, menentukan pilihan, dan mengambil keputusan perilakunya. Atas
dasar itu pula pengelolaan diri memberikan posisi yang terbaik terhadap proses kognitif dan self
regulated behavior, dan berguna sebagai strategi pengelolaan sumber daya manusia.
Berdasarkan pandangan tentang hakekat manusia serta perilakunya itu, maka pengelolaan
diri bertujuan untuk membantu individu agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan

8
mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri, mencatat perilaku-
perilaku tertentu serta interaksinya dengan peristiwa-peristiwa lingkungannya, menata kembali
lingkungan sebagai anteseden atas respon tertentu, dan menghadirkan diri untuk menentukan
sendiri stimulus positif yang mengikuti sebagai konsekuensi atas respon yang diinginkan, yang
pada gilirannya akan bermuara pada peningkatan motivasi berprestasi yang bersangkutan.
Sintaks yang dapat ditempuh dalam melakukan pengelolaan potensi diri subyek adalah
sbb : (a) Keterlibatan (engagement); keterlibatan merupakan kegiatan awal dalam suatu
pertemuan (interaksi) yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian peserta (subyek) agar
mereka siap untuk terlibat aktif dalam proses kegiatan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap
keterlibatan, antara lain melalui pemberian sosialisasi-sosialisasi program, mengkaitkan
pengalaman yang telah dimiliki peserta (pengetahuan awal peserta) dengan tujuan program yang
ingin dicapai, pembangkitan-pembangkitan kemampuan yang telah dimiliki peserta, dsb-nya; (b)
Eksplorasi, eksplorasi merupakan kegiatan dimana peserta diberikan informasi (dan/atau mencari
informasi) yang perlu secara luas dan dalam tentang program yang akan dilakukan. Eksplorasi
dilakukan berdasarkan panduan atau langkah-langkah pemandu yang telah disiapkan dengan
memanfaatkan beraneka sumber yang tersedia. Beragam pendekatan seperti otoriter, kolegial
sampai yang demokratis dapat digunakan. (c) Elaborasi; merupakan kegiatan anggota untuk
menyampaikan hasil eksplorasi yang telah dilakukan secara lebih teliti, cermat dan rinci.
Elaborasi dilakukan dalam bentuk penyajian hasil kerja individual atau kelompok. Dalam
kegiatan elaborasi, peserta memberikan komentar dan pertanyaan yang bersifat konstruktif
terhadap pemikiran/hasil kerja yang disampaikan oleh temannya. (d) Konfirmasi; konfirmasi
merupakan kegiatan interaktif antara pemimpin sebagai fasilitator dengan anggota /peserta untuk
memberikan umpan balik. Dalam kegiatan ini, pimpinan dapat memanfaatkan berbagai sumber
acuan untuk memberikan konfirmasi /penjelasan/klarifikasi. Dari kegiatan ini diharapkan dapat
menyukseskan kegiatan yang muncul dari program yang akan dilakukan.
V. Kepemimpinan dan aktivitasnya
Kepemimpinan Kepala Sekolah maupun Pengawas pada hakikatnya menyangkut
pengelolaan/manajemen yang terkait dengan akademik dan managerial. Manajemen akademik
menyangkut pengelolaan proses pembelajaran, kualitas tenaga pendidik yang mengelola
pembelajaran. Inti dari proses pembelajaran, yang merupakan proses interaksi manusiawi,
khususnya antara peserta didik (siswa) dan pendidik (guru) berkaiatan dengan suatu pengalaman
tertentu, yang penuh dengan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dalam interaksi tersebut terkait
secara kompleks berbagai aspek dalam diri pribadi yang terlibat dalam proses interaksi, baik dari
sisi siswa maupun dari sisi guru, dan tidak semua aspek tersebut dapat dikendalikan guru secara
langsung. Dari sisi siswa interaksi memberikan jaminan bahwa proses akan berjalan dan dapat
menghasilkan out put yang diharapkan manakala siswa memiliki minat, motivasi dan kemamuan
untuk belajar. Teori pendidikan mengemukakan bahwa apabila siswa terlibat aktif dalam proses
belajar mengajar maka out put dari proses belajar mengajar akan berkualitas. Teori belajar ini
melahirkan pendekatan dan metoda mengajar yang dikenal dengan istilah student active
learning.
Dari sisi guru, proses belajar akan menjamin out put yang berkualitas apabila di samping
guru menguasai materi yang akan disampaikan, menguasai metoda penyampaian, memiliki
kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan siswa serta memiliki kemampuan untuk
menjadikan dirinya menarik bagi siswa. Di samping kemampuan guru harus memiliki kemauan
9
untuk mengabdikan dirinya bagi perkembangan peserta didik. Dengan kemampuan dan kemauan
ini maka proses belajar akan menjadi menarik, menyenangkan, mengasyikan, mencerdaskan dan
membangkitkan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, maka upaya peningkatan kualitas out put pendidikian
harus melewati peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Banyak kajian untuk menjelaskan
proses belajar mengajar yang berkualitas, bagaimana dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya. Wallstern dalam penelitian yang dilakukan berkaitan dengan peningkatan
mutu lulusan lewat implementasi school based management menyimpulkan bahwa, peningkatan
mutu out put pendidikan harus meningkatkan terlebih dahulu kualitas proses belajar mengajar.
Pada gilirannya kualitas proses belajar mengajar bisa meningkat apabila dapat diujudkan dua
faktor yang mempengaruhinya. Pertama adanya partisipasi seluruh warga sekolah dan kedua
muncul kultur akademik yang melahirkan sekolah sebagai learning community atau learning
school. Partisipasi seluruh warga sekolah mulai dari guru dan siswa terutama, kepala sekolah,
seluruh staf sekolah dan orang tua siswa akan melahirkan suasana sekolah yang mendukung
peningkatan mutu. Kondisi ini amat diperlukan bagi guru dan siswa untuk bekerja keras guna
mencapai prestasi setinggi mungkin, sehingga muncul semangat why not the best, khususnya di
kalangan siswa. Tanpa ada usaha dan kerja keras terutama dari guru dan siswa kualitas out put
tidak mungkin lahir.
Prasyarat kedua, sekolah menjadi a learning community atau a learning school
merupakan kondisi di mana sekolah menjadi tempat bagi semua orang untuk belajar. Tidak
hanya siswa yang belajar, tetapi siapapun warga sekolah, kepala sekolah, staf administrasi dan
guru adalah juga belajar. Jadi bagi guru mengajar siswa juga merupakan proses belajar bagi guru
itu sendiri. Dengan demikian guru melaksanakan life long education, belajar sepanjang hayat
masih dikandung badan. Kondisi ini akan menghasilkan kualitas dan kemampuan guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar akan terus meningkat. Tanpa guru terus belajar tidak akan
ada innovasi dalam proses belajar mengajar, tanpa innovasi tersebut pendidikan akan biasa-biasa
saja. Dan,lebih dari itu tanpa guru terus belajar kerja guru akan out of dated, tertelan zaman.
Menurut Wohlsetter dalam bukunya, Successful SBM: A Lesson for restructuring urban
school, semua intervensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, harus ditujukan untuk
meningkatkan mutu proses belajar mengajar lewat intervening variabel, yakni partisipasi seluruh
warga sekolah dan pengembangan a learning school. Intervensi yang diperlukan mencakup
antara lain peningkatan sarana prasarana, peningkatan kualitas kepala sekolah, relokasi guru,
peningkatan anggaran sekolah, dan peningkatan kemampuan guru.
Teori lain, yang disebut teori empat faktor, menjelaskan bahwa kualitas lulusan secara
langsung ditentukan oleh kualitas pembelajaran. Pembelajaran merupakan interaksi dinamis
antara guru dan siswa berkaitan dengan materi tertentu. Kualitas pembelajaran sangat tergantung
pada kesiapan dan motivasi siswa di satu sisi dan di sisi lain ditentukan oleh kemampuan dan
kemauan guru. Interaksi yang sering disebut proses belajar mengajar (PBM) atau sekarang ini
disebut dengan pembelajaran, pada giliran berikutnya ditentukan secara langsung oleh empat
faktor, yakni, kultur sekolah, manajemen, kepemimpinan dan infrastruktur sekolah yang ada.
Dalam kaitan dengan mutu guru, tepatnya kualitas professional guru, muncul
permasalahan serius. Bagaimana kualitas guru dewasa ini? Apa upaya yang harus dilakukan
untuk meningkatkan mutu guru? Bagaimana melakukannya atau bagaimana strategi untuk

10
meningkatkan kualitas profesional guru? Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan gambaran
betapa perlunya kebijakan dan pedoman peningkatan kemampuan professional guru perlu
untuk dirumuskan dan diimplementasikan secara sistematis dan berkesinambungan.
Kualitas guru sangat ditentukan oleh kualitas lulusan lembaga pendidikan guru. Namun,
sampai saat ini di kalangan masyarakat masih memiliki keraguan akan kemampuan LPTK dalam
menghasilkan guru yang berkualitas. Hal ini dikarenakan begitu dalam jurang variasi perbedaan
kualitas diantara LPTK itu sendiri. Salah satu contoh adalah bagaimana rendahnya kualitas guru
yang diangkat sebagai CPNS tahun 2004. Para CPNS dari berbagai LPTK dan untuk berbagai
jenjang sekolah serta berbagai mata pelajaran ketika dites dengan soal-soal pengetahuan yang
relevan dengan tugas pokoknya, hasilnya sangat memprihatinkan. Begitu rendah kemampuan
lulusan LPTK. Kondisi yang sedemikian ini menjadi upaya pengembangan kemampuan
profesional guru menjadi lebih penting dan sekaligus lebih berat. Program peningkatan
kemampuan profesional guru secara sistematis dan berkesinambungan merupakan suatu langkah
yang paling strategis untuk meningkatkan kualitas guru dalam rangka meningkatkan kualitas
siswa.
1). Ciri kerja guru
Untuk meningkatkan kemampuan profesional guru perlu difahami bagaimana karakteristik
kerja guru itu. Semua faham bagaimana kerja guru, tetapi barangkali tidak sempat mencermati
sesungguhnya apa dan bagaimana karakteristik kerja guru itu. Kebijakan untuk meningkatkan
kualitas professional guru seharusnya juga bertumpu dari pemahamanan akan karakteristik kerja
guru tersebut. Karakteristik kerja guru antara lain adalah (a) waktu guru habis di ruang-ruang
kelas, (b) sifat kerja guru non-kolaboratif, (c) kontak akademik antar guru terbatas, (d) kontak
antar guru lebih banyak bersifat non-akademik, (e) kerja guru tidak pernah mendapatkan umpan
balik, (f) apresiasi dan penghargaan masyarakaat terhadap guru rendah, dan, (g) tidak memiliki
kekuatan politik.
Memahami karakteristik tersebut maka peningkatan profesional guru harus dapat
meningkatkan kualitas interaksi akademik khususnya diantara para guru sendiri, sembari
meningkatkan kemampuan mereka bekerjasama dalam suatu tim, dan dapat menciptakan suatu
sistem dimana guru mendapatkan umpan balik yang amat diperlukan dalam proses peningkatan
kemampuan profesional guru. Berlandaskan pemikiran ini, maka thesis peningkatan mutu out put
sekolah sebagaimana dikemukakan diatas dapat direvisi dan diadopsi untuk peningkatan
kemampuan profesional guru.
Meningkatnya kemampuan professional guru merupakan dependent variable yang secara
langsung ditentukan oleh dua variable yang merupakan intervening variable yakni; a) keberadan
guru yang aktif dan partisipatif dalam kehidupan sekolah; dan, b) guru menjadikan dirinya
sebagai a learning person. Semua intervensi untuk meningkatkan kemampuamn profesoional
guru merupakan extrageneous variable yang pengaruhnya terhadap kualitas profesional guru
senantiasa harus melewati kedua variable tersebut. Extrageneous variable yang diperlukan
sebagai intervensi sudah barang tentu termasuk kebijakan untuk meningkatan kesejahteraan
guru, meningkatkan kondisi kerja guru dan pemberian kesempatan bagi para guru untuk
memiliki kesempatan mengikuti in-service training dan berbagai bentuk interaksi akademik yang
lain. Dan yang paling penting dilaksanakan adalah guru senior melakukan observasi guru ketika
sedang mengajar, dan kemudian mendiskusikan, dan memberikan umpan balik kepada guru yang

11
bersangkutan.Tehnik ini paling manjur sekaligus paling murah dalam meningkatkan mutu guru
Dewasa ini dunia berubah dengan cepat sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang amat pesat. Perubahan yang amat cepat ini juga menuntut perubahan di dunia
pendidikan yang cepat pula, agar pendidikan tetap bisa berperan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai lembaga yang salah satu tugasnya mempersiapkan tenaga kerja maka dunia
pendidikan harus memahami bahwa telah terjadi perubahan yang amat cepat dalam tenaga kerja
khususnya dan dunai ekonomi pada umumnya. Tenaga kerja telah dan akan terus bergeser ke
arah knowledge worker, yakni tenaga kerja yang bertumpu pada penguasaan teknologi untuk
mengolah data, tidak lagi pada otot dan pisik. Untuk itu pada diri peserta didik tidak hanya perlu
dikembangkan penguasaan ilmu dan teknologi tetapi juga sistem dan bentuk baru ilmu
pengetahuan yang menekankan pada sedikit pengetahuan tetapi dapat men-generate data,
menganalisis data, menarik kesimpulan dan dapat mengeneralisir dalam konteks yang lebih luas.
Dengan kata lain akan terjadi perubahan dalam proses pembelajaran. Sekolah atau guru yang
tidak ingin tertinggal oleh perubahan harus dapat belajar dan mengembangkan proses
pembelajaran yang lebih cepat dari perubahan itu sendiri. Untuk itulah diperlukan lahirnya a
learning school dan a learning teacher.
GAMBAR POLA KAUSALITAS PENINGKATAN
KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU

INTERVENSI
IN-HOUSE Guru Aktif
TRAINING Partisipatif
WORKSHOP
SEMINAR MUTU
MUTU LULUSAN
KUALIFIKASI PBM
SERTIFIKASI Guru SEKOLAH
KESEJAH- Learning
TERAAN Person
DLL

A learning school adalah suatu sekolah yang memiliki kapasitas untuk melakukan
pembelajaran yang menciptakan transformasi menuju innovasi. Sekolah ini memiliki ciri utama:
a) seluruh warga sekolah, apapun posisinya: siswa, guru, kepala sekolah, staf administrasi,
melakukan kegiatan belajar; b) belajar adalah menyenangkan, mengasyikan dan mencerdaskan;
c) belajar apapun juga sepanjang apa yang dipelajari memiliki nilai-nilai kebaikan; d) tujuan

12
pembelajaran di sekolah tidak sekedar peserta didik menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
melainkan peserta didik mampu hidup dan menghidupkan ; e) guru senantiasa menjadi CAVE
worker (Consistence Added Value Everywhere); dan, f) kemajuan sekolah ditentukan oleh apa
yang dilakukan guru, khususnya.
A Learning teacher adalah seorang guru yang memiliki ciri: a) Memandang siswa sebagai
seseorang yang perlu dilayani, bukannya bahan mentah yang harus diolah; b) memandang
sekolah sebagai suatu proses yang memiliki berbagai perbedaan sehingga tidak dapat
diperlakukan secara seragam sebagaimana suatu pabrik; c) memahami bahwa guru bukan satu-
satunya sumber ilmu pengetahuan; d) memahami proses belajar mengajar sebagai suatu interaksi
manusiawi yang penuh dengan ketidakpastian; e) menyadari semakin rendah jenjang pendidikan
semakin dibutuhkan peran guru sebagai pengganti ortu; f) menyadari bahwa tugas guru
mencakup dimensi akademik melaksanakan proses belajar mengajar dan dimensi non akademis,
mencakup membangun moral siswa, kepemimpinan dan organisasi; dan, g) menyadari bahwa
belajar sepanjang hayat merupakan keharusan mutlak untuk dilakukan oleh setiap guru.
Di samping itu, ke depan peran guru semakin kompleks karena yang harus dilakukan tidak
saja mentrasfer pengetahuan dan ketrampilan tetapi jauh lebih dari itu, yakni mengembangkan
peserta didik secara utuh, sehingga mampu hidup dan menghidupkan. UNESCO memberikan
resep untuk ini dengan empat tugas guru: learning how to learn, learning how to do, learning
how to be dan learning how to live together, sebagaimana dapat dilihat gambar berikut ini.
GAMBAR PARADIGMA MENGAJAR UNESCO

MEMAHAMI PROSES
URUTAN RANGKAIAN
KREATIVITAS
KERASIAN
TO DO

BELAJAR
BELAJAR INFO DAN
BERHU STRUKTUR
BUNGAN VITALITAS
TRUST
KOLABORASI
LIVE TO GE
INTEGRAL ADAPTABI
TO KNOW
LEARN
SALING KE ING
LITAS
TERGAN SUSTAIN
TUNGAN ABILITAS
TO BE

MEMILIKI IDENTITAS
TUJUAN, MAKNA
DAN INTEGRITAS
Zamroni, guru snbi, 2006

Sebagaimana dilihat pada paradigma baru mengajar UNESCO, maka arah learning how to
learn adalah menjadikan siswa menjadi individu yang memiliki semangat, kemauan dan
13
kemampuan untuk terus belajar, atau menjadi learning person. how to do adalah mendidik
peserta didik untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sepanjang
kehidupannya. Untuk ini kreativitas merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki. Kreativitas
ini perlu diiringi dengan kemampuan untuk menserasikan kehidupan dengan lingkungannya,
sehingga kehidupan menjadi kreatif dan serasi. Learning how to be adalah kemampuan untuk
menjadi diri sendiri yang bertumpukan pada integritasnya. Terakhir how to live together adalah
kemampuan untuk hidup bersama dengan segala perbedaan yang ada. Salah satu syarat utama
yang harus dimiliki adalah kesadaran akan keharusan adanya saling ketergantungan dalam
menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, saling memahami, toleransi, dan kerjasama merupakan
fondasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Paradigma UNESCO ini memerlukan perubahan perilaku mengajar pada diri setiap guru.
Perubahan ini mencakup lima aspek sebagaimana berikut. Pertama kesadaran moral, berupa
jawaban atas pertanyaan diri mengapa dan untuk apa saya mengajar ini? Apakah sekedar untuk
mendapatkan gaji?
Kedua adalah memahami perubahan yang ada. Hidup dan kehidupan berubah dan terus
akan berubah. Apa yang perlu berubah pada diri sendiri dan pada diri peserta didik agar mampu
menguasai perubahan? Apa yang perlu dipersiapkan bagi peserta didik?
Ketiga, hidup dan kehidupan sudah ditakdirkan memiliki saling ketergantungan. Oleh
karena itu kerjasama merupakan salah satu kemampuan mutlak yang harus dimiliki oleh para
peserta didik. Apa yang perlu dipersiapkan pada diri peserta didik? Bagaimana kemampuan
bekerjasama ini dapat ditumbuhkan pada diri peserta didik? Bagaimana cara yang harus
dilakukan?
Keempat, menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Ilmu pengetahuan terus
berkembang dan semakin lama perkembangan semakin cepat. Informasi dan pengetahuan akan
mengguyur deras warga masyarakat, termasuk guru dan peserta didik. Bagaimana guru bisa tidak
ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan? Apa kemampuan yang harus diberikan kepada
peserta didik agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan? Bagaimana
melaksanakannya?
Terakhir, kemampuan untuk menjadikan peserta didik kreatif. Apa tehnik untuk
mengembangkan kreativitas pada diri peserta didik? Bagaimana melakukannya?
Apabila guru dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, maka guru
memiliki kemampuan, kesiapan dan kemauan untuk melaksanakan proses belajar mengajar, dan
ini merupakan modal dasar bagi guru untuk dapat mewujudkan proses pembelajaran yang
menarik, menyenangkan dan mencerdaskan, sehingga dapat hidup dan menghidupkan.
2). Taksonomi peningkatan kemampuan professional
Melihat dan memahami dimensi sekolah yang kompleks dan tugas kepala sekolah (sebagai
tugas tamabahan) dan guru yang sedemikian rumit lagi berat, maka guru tidak saja memerlukan
pendidikan untuk persiapan jadi guru atau pre-service, melainkan juga perlu pengembangan
kemampuan profesionalitas mereka setelah jadi guru atau in-service training. Upaya peningkatan
kemampuan professional guru dapat dideskripsikan sebagaimana gambar berikut.

14
GAMBAR TAKSONOMI PENGEMBANGAN
KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU

INDIVIDU KELOMPOK

CONTENT DAN Kemampuan


METODA Kemampuan individu kerjasama dalam
PEMBELAJARAN melaksanakan proses mengajar dan atau
belajar mengajar dalam
mengembangkan
Kurikulum
ORGANISASI DAN Kemampuan individu Memiliki kemampuan
KEPEMIMPINAN memimpin dan kerjasama dalam
mengorganisir dalam upaya meningkatkan
sekolah dan Mutu sekolah
masyarakat

Gambar diatas menunjukan bahwa pembinaan guru memiliki dua dimensi: dimensi arah
pembinaan yang dapat dilihat sebagai individu dan sebagai kelompok. Dimensi kedua adalah
materi pembinaan yang bisa disajikan dalam bentuk pengetahuan/teknologi yang berkaitan
dengan proses belajar menagajar atau metodologi pengajaran dan ilmu pengetahuan/teknologi
non-pengajaran, terutama organisasi, kepemimpinan dan manajemen.
Kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pedagogik jelas udah banyak
difahami, namun tidak demikian dengan kemampuan non-pedagogik, yakni kemampuan yang
tidak berkaitan langsung dengan PBM. Sesunggunya, kemampuan non-metodologi pengajaran
ini amat diperlukan oleh guru, karena guru juga memerlukan kemampuan memimpin,
kemampuan berdialog dan negosiasi, serta mempengaruhi orang lain, kemampuan untuk
merancang, melakukan, dan mengorganisir perubahan; dan, kemampuan untuk melakukan secara
aktif terlibat dalam peningkatan mutu sekolah.
3). Dimensi kegiatan
Kegiatan peningkatan kualitas profesional guru juga dapat dilihat dari dimensi sifat
kegiatan. Terdapat dua bentuk kegiatan peningkatan kualitas profesional guru: a) kegiatan
berlangsung di sekolah, dan b) kegiatan berlangsung di luar sekolah. Kegiatan yang berlangsung
di sekolah adalah kegiatan yang diperuntukan bagi para guru di suatu sekolah. Kegiatan ini
antara lain bisa berupa in-house training, observasi proses pembelajaran oleh guru senior,
melaksanakan penelitian tindakan kelas. Sedangkan kegiatan di luar sekolah merupakan kegiatan
yang diikuti oleh para guru yang berasal dari dua sekolah atau lebih. Bisa saja kegiatan tersebut
dilaksnakan di suatu sekolah, tetapi kegiatan ini bukanlah in-hous training. Kegiatan ini antara
lain bisa berupa kerjasama antar sekolah dalam peningkatan mutu, kegiatan MGMP suatu
kecamatan, daerah, propinsi atau nasional, pelatihan terpusat, studi banding, mengikuti seminar
atau workshop di suatu tempat. Dimensi kegiatan ini dikaitkan dengan taksonomi kemampuan

15
profesional guru, sehingga akan dapat diidentifikasi sesuai dengan tujuan dan tempat kegiatan.
Dari identifikasi tersebut akan diketemukan betapa banyak variasi kegiatan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kualitas profesional guru sesuai dengan kondisi dan kebutuhan guru sendiri.
One size for all policy harus ditinggalkan dalam peningkatan kemampuan profesional guru.
4). Model peningkatan kemampuan professional
Model menunjukan apa dan bagaimana serta modus kegiatan peningkatan kemampuan
professional guru dilaksanakan. Paling tidak terdapat 6 model:
Program Individual
Training
Interaksi Tatap Muka
Keterlibatan Dalam Kegiatan
Observasi-Assessment
Inquiry-Action Research

Program Individual merupakan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan profesional


guru yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru sendiri dengan bimbingan atau pengawasan
atau persetujuan dari fihak lain, seperti kepala sekolah, pengawas, orang tua siswa, komite
sekolah ataupun tim tertentu. Dengan asumsi bahwa guru memiliki semangat dan motivasi untuk
meningkatkan kemampuan sendiri, model ini sangat efektif, karena apa yang dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan riil yang diperlukan. Apa yang dilakukan merupakan upaya untuk
mengatasi kekurangan yang dirasakan guru sendiri. Model ini sering disebut juga dengan sains
model, dimana guru sendiri mempelajari dari suatu referensi sesuai dengan kebutuhannya, dan
langsung secara bertahap mencobakannya. Memang dalam pengalaman mencoba tersebut secara
sepiral akan terjadi peningkatan kualitas.
Pelaksanaan program individual mencakup pentahapan sebagai berikut: (1) identifikasi
kelemahan yang dimiliki atau minat yang ingin dipelajari; (2) rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan sesuai dengan kelemahan atau minatnya; (3) mengkaji referensi yang sesuai untuk
mengatasi kelemahan yang dirasakan, (4) persetujuan dari fihak lain atau atasan untuk
mencobakan dalam skop kecil-dan nantinya dalam skop kelas; (5) pelaksanaan kegiatan; dan,
(6)evaluasi sejauh mana tujuan dapat dicapai.
Bentuk kegiatan Individual program bervariasi. Yang paling sederhana adalah guru
membaca buku atau artikel yang relevan untuk dikuasai. Bentuk lain yang lebih kompleks
adalah guru merancang untuk mengembangkan sesuatu konsep yang diperlukan dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Misalnya, merancang comprehensive course (Proses
pembelajaran yang komprehensif).
Model In-Service Training; merupakan model yang sudah diketahui umum dan dianggap
identik dengan untuk meningkatkan kemampuan individu guru itu sendiri. Dalam kaitan dengan
materi model ini dapat dibedakan dua bentuk training. Pertama training jangka pendek, yakni
suatu training yang memiliki tujuan khusus dan diselenggarakan dalam waktu yang relatif

16
pendek. Training kelompok ini banyak dilaksanakan untuk peningkatan kemampuan guru,
terutama untuk menguasai hal-hal yang baru. Kedua, training jangka panjang dimana materi
training lebih bersifat dan berbobot akademik dan dalam tempo yang relatif panjang. Sebagai
contoh kelompok ini adalah program penyetaran guru dengan ijazah SPG ke program D2, guru
dengan berlatar belakang D2 atau Sarjana Muda ke S1, dan sebagainya. Program ini di masa
mendatang akan berlangsung lebih massif berkaitan dengan program kualifikasi sebagai
pelaksanaan amanat UUG&D. Disamping dua kelompok, muncul secara kecil-kecilan, bentuk
pertama tetapi dikaitkan dengan bentuk kedua. Artinya, pelatihan untuk tujuan khusus dan
dilaksanakan dalam jangka pendek, tetapi pelaksnaannya bekerjasama dengan peguruan tinggi,
sehingga materi pelatihan mendapatkan ekuivalensi dengan SKS.
Model In-Service Training atau pelatihan ini memiliki asumsi bahwa materi training
merupakan sesuatu yang cocok dengan persoalan yang dihadapi guru, jadi memang dibutuhkan
oleh guru. Dari keterlibatan guru dalam training, guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan
baru yang haus dimiliki. Asumsi kedua, berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan baru yang
dimiliki guru, perilaku guru dalam mengajar juga berubah.
Model In-Service Training jangka pendek memiliki tahap-tahap yang mencakup:
a.Penentuan substansi materi yang akan disampaikan. Materi ini pada umumnya
merupakan sesuatu yang baru, yang berkaitan dengan perilaku guru dalam mengelola proses
belajar mengajar. Namun, terdapat juga pelatihan yang memiliki tujuan lebih umum untuk
meningkatkan kemampuan guru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Dalam tahap ini juga
ditentukan sistem dan prosedur evaluasi bagi peserta, dan kadangkla juga bagi instruktur atau
nara sumber.
b. Penentuan, untuk siapa training diselenggarakan. Tahap ini adalah menentukan siapa
peserta pelatihan. Dalam kondisi dimana jumlah guru amat besar, perlu ditentukan spesifikasi
khusus dari jumlah yang besar itu.
c. Penentuan siapa master training dan instruktur. Master training adalah seseorang yang
berperan sebagai komandan pelatihan. Ia adalah seseorang yang menguasai apa dan kemana arah
training, yang senantiasa memonitor jalannya training. Master training lah yang menentukan
perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam training. Sedangkan, instruktur adalah
pemberi materi. Tidak jarang dalam training instruktur bukan berperan pemberi materi tetapi
penuntun dan pengarah jalannya sidang-sidang atau pemberian materi. Pemberi materi sendiri
disebut nara sumber.
d. Pelaksanaan evaluasi. Pada tahap ini Master training dengan instruktur menentukan
hasil pelatihan. Siapa peserta yang dinyakatan lulus dan siapa tidak. dan bagaimana prestasi yang
telah mereka raih.
e. Pembinaan post-training. Tahap ini untuk mengetahui out come pelatihan, seberapa jauh
ilmu dan ketrampilan baru yang diperoleh dipergunakan dalam tugas-tugas mereka. Disamping
itu, pembinaan post-training ditujukan untuk menjalin jaringan pembinaan peserta sehingga ada
kelangsungan peningkatan mutu peserta. Tahap ini, jarang dilaksanakan dalam pelatihan-
pelatihan kita.

17
Model Interaksi Tatap Muka merupakan model peningkatan mutu kompetensi profesional
guru dimana terjadi interaksi tatap muka langsung diantara komponen yang terlibat dalam
kegiatan, khususnya antara peserta dan penatar. Dari definisi ini sudah barang tentu model
training merupakan salah satu bentuk model tatap muka ini. Tetapi model training juga dapat
dilakukan dengan tanpa tatap muka. Model tatap muka langsung ini bisa dalam bentuk seminar,
studi focus group, workshop, dan sebagainya.
Kegiatan yang dapat diidentifikasi masuk ke dalam model ini antara lain: a) kualifikasi
pendidikan S1 yang harus diperoleh guru; b) sertifikasi profesi yang harus dijalani guru; c)
program refreshing untuk mempersiapkan guru mengikuti uji sertifikasi; dan, d) program
remidial bagi yang gagal uji sertifikasi.
Peserta pelatihan terebut sangat besar dan harus dilaksanakan secara bertahap. Agar
kegiatan tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan baik maka harus disusun suatu pedoman
yang jelas. Seperti a) pedoman pelaksanaan kualifikasi, b) pedoman pelaksanaan sertifikasi, b)
pedoman pelaksanaan remidial, dan, e) pedoman pelaksanaan refreshing.
Model tatap muka untuk meningkatkan kompetensi guru dapat melibatkan jumlah peserta
yang cukup besar, efektif dan juga murah, serta tidak sulit untuk dilakukan. Secara umum
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan model ini adalah:
a. Tetapkan secara deskriptif dan jelas kemampuan baru yang pelu dikuasai guru.
b. Evaluasi sarana guru untuk memperoleh kemampuan baru, apakah harus in-service
jangka panjang atau jangka penmdek.
c. Identifikasi sumber-sumber yang ada.
d. Susun rancangan dan program kerja untuk melaksanakan in- service training yang
telah ditetapkan.
e. Identifikasi peserta, dan bagaimana menentukan jumlah peserta serta kuota untuk
daerah.
f. Perencanaan undangan dan penempatan peserta.
g. Persiapan dan pelaksanaan M&E.

Model Melibatkan Guru Dalam Kegiatan merupakan kegiatan yang meningkatkan


kemampuan profesional dengan melibatkan guru secara langsung dalam berbagai kegiatan.
Model ini dimaksudkan memberikan pengetahuan dan kemampuan baru bagi guru yang akan
diperoleh lewat praktik. Dalam bentuk yang paling sederhana model ini diwujudkan dalam
learning by doing, dan dalam bentuk yang kompleks diwujudkan dalam bentuk Aksi Konstruksi
atau rekayasa sosial dalam pembelajaran. Learning by doing dapat dilaksanakan dengan langkah-
langkah:
a) Menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.
b) Mengidentifikasi sumber yang ada.
c) Menentukan design kegiatan.
d) Menentukan peserta.
e) Melaksanakan kegiatan.
f) Melakukan M&E.

18
Aksi Konstruksi atau rekayasa sosial dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah:
a) Menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.
b) Mengevalusi dan mengidentifikasi permasalahan yang harus
dipecahkan.
c) Mengidentifikasi sumber.
d) Menentukan design dan skenario kegiatan.
e) Menentukan peserta.
f) Melaksanakan kegiatan.
g) Melaksanakan M&E.

Model Observasi merupakan model peningkatan kompetensi profesional guru yang


menekankan pada umpan balik bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu ciri kerja guru adalah tidak pernah ada umpan balik
atau feedback. Tanpa umpan balik peningkatan mutu dan kemampuan professional guru amat
lambat dan sulit. Oleh karena itu pula, banyak hasil penelitian menunjukan bahwa pengalaman
kerja guru tidak berkaitan dengan kemampuan guru. Dalam buku manajemen yang berjudul The
One Minute Manager karya Blanchard and Johnson (1982) dikemukakan bagaimana pentingnya
umpan balik bagi peningkatan kemampuan kerja, dengan mengemukakan Feedback is the
breakfast of champions.
Pengembangan kemampuan profesional guru dengan model observasi merupakan salah
satu cara memberikan umpan balik bagi guru. Kepala sekolah dan juga pengawas memiliki
tugas untuk melakukan observasi ketika guru sedang mengajar. Namun, karena beban tugas
kepala sekolah yang begitu berat, maka observasi jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan.
Disamping itu, observasi yang diperlukan adalah observasi yang serius dan detail, tidak sekedar
observasi selintas. Pihak pengawas juga hampir tidak pernah melakukan observasi, karena
tekanan pengawas lebih banyak administratif dan juga waktu yang dimiliki pengawas untuk satu
sekolah amat terbatas.
Model observasi memiliki beberapa asumsi: a)adanya refleksi atau kajian apa yang telah
dilakukan memegang peran penting bagi suatu upaya peningkatan kemampuan profesional guru;
b) refleksi oleh diri sendiri dapat diperkuat dan disempurnakan oleh orang lain; c) baik yang
diobservasi dan yang melakukan observasi, akan memperoleh keuntungan; dan, d) guru
memanfaatkan umpan balik baik kritik dan saran, untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
kerjanya.
Pelaksanaan observasi dapat dilaksanakan dalam beberapa tahap:
1. Tahap awal observasi atau pre-observasi. Tahap ini observasi dilakukan secara umum,
untuk menentukan aspek apa yang harus amati secara mendalam dan menentukan metode
observasi yang perlu dipergunakan.
2. Observasi, tahap untuk melakukan observasi dengan metode yang telah ditentukan dan
mencatat persoalan serius atau penting yang muncul. Observasi bisa dipusatkan pada fihak siswa
atau guru, atau keduanya. Pola-pola yang berlangsung dalam frekuensi tinggi perlu untuk
direkam. Perilaku yang muncul dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok: a) perilaku yang

19
mendukung keberhasilan pengajaran, b) perilaku yang mengganggu pengajaran, dan, c) perilaku
yang bersifat netral tetapi banyak menyita waktu.
3. Tahap analisis data, dimana obrserver melakukan analisis hasil observasi. Data perlu
untuk dianalisis guna menghasilkan suatu gambaran yang utuh bagaimana guru telah
melaksanakan proses belajar mengajar.
4. Tahap konfirmasi, dimana guru dan observer mendikusikan hasil pengamatan observer.
Dari tahap konfirmasi ini guru mendapatkan feedback bagaimana ia mengajar, dan juga
mendiskusikan dengan observer perubahan dalam mengajar apa yang harus dilaksanakan, upaya
apa yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan apa yang baik dan mengurangi apa yang
kurang dalam melaksanakan pengajaran, serta merumuskan program untuk perbaikan itu.
Model Inquiry adalah kegiatan peningkatan kompetensi profesional guru yang menekan
guru untuk mencari permasalahan yang dihadapi kemudian mencari solusi yang dipraktikan
dalam kegiatan mengajar sehari-hari. Solusi dapat diperoleh lewat kajian buku, pengamatan
lapangan dan atau diskusi dengan kolega dan fihak yang terkait. Salah satu bentuk model Inquiry
yang paling banyak dan hampir dilaksanakan disemua negara adalah Class Room Action
Research (CAR). Dan, pelaksanaan CAR sudah terbukti berhasil meningkatkan kompetensi
profesional guru.
Pada umumnya langkah-langkah dalam melaksanakan Action Research atau Penelitian
Tindakan sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang dihadapi.


2) Melakukan kajian teori dan atau melakukan pengamatan lapangan
serta diskusi dengan fihak-fihak yang relevan.
3) Merencanakan program aktivitas untuk memecahkan masalah
tersebut.
4) Melaksanakan program dan aktivitas.
5) Melakukan evaluasi atas program yang dilaksanakan dalam rangka
memecahkan permasalahan.
6) Merevisi dan nyempurnakan program pemecahan masalah
berdasarkan atas hasil evaluasi.
7) Melaksanakan program kegiatan yang telah diperbaharui.
8) Melakukan evaluasi atas program yang dilaksanakan.
9) Melakukan kembali penyempurnaan program.
10) Melaksanakan kembali program yang telah disempurnakan.
11) Merumuskan hasil dan menyusun laporan.

Model peningkatan kompetensi profesional guru ini dapat dikombinasikan dengan dimensi
materi dan sasaran peningkatan kemampuan guru sehingga memberikan gambaran lebih detail

20
bagaimana kegiatan peningkatan kemampuan profesional guru dilaksanakan. .
Implementasi peningkatan kemampuan profesional guru
Pembahasan terakhir dalam mengembangkan program kegiatan peningkatan
kemampuan guru adalah menentukan atau pembagian kerja siapa dan melaksanakan apa. Kalau
diidentifikasi terdapat lembaga yang memiliki tanggung jawab melaksanakan peningkatan
kemampuan guru. Kalau disusun mulai lembaga yang paling langsung berhubungan dengan
guru, dapat dilihat sebagaimana daftar urutan berikut:
1) Sekolah (termasuk MGMP sekolah)
2) MGMP antar sekolah/PKG/kelompok sekolah
3) Kancam
4) Dinas Kabupaten/kota
5) LPMP
6) Dinas Propinsi
7) PPPG
8) Perguruan Tinggi
9) Lembaga dan Organisasi masyarakat.

Produktivitas Kepemimpinan
Produktivitas kerja erat kaitannya dengan efisiensi, efektivitas, dan kualitas kerja dan
tidak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya. Laeham
dan Wexley (1982:2), mengungkapkan bahwa : produktivitas individu dapat dinilai
dari apa yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kerjanya. Dengan kata lain,
produktivitas individu adalah bagaimana seseorang melaksanakan pekerjaannya atau unjuk
kerjanya (job performance). Sementara Tohardi menjelaskan bahwa, produktivitas dapat
diartikan sebagai perbandingan antara output (keluaran) dengan input (masukan)
(Tohardi, 2002:448). Kemudian Raviyanto dkk (1988:75) yang mengutip Lmbaga
Produktivitas Norwegia menyebutkan bahwa produktivitas adalah hubungan di antara
jumlah produk yang , diproduksi dan jumlah sumber daya yang diperlukan untuk
memproduksi produk tersebut. Selanjutnya Rome Conference European Productivity Agency
tahun 1958 menyebutkan bahwa: (a) produktivitas adalah derajat efisiensi dan
efektivitas dari penggunaan elemen produksi; (b) produktivitas merupakan sikap
mental , sikap mental yang selalu mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu
keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan pekerjaan lebih baik hari ini daripada
hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Selanjutnya produktivitas
berhubungan dengan sikap mental yang mementingkan usaha yang terus- menerus untuk
menyesuaikan aktivitas ekonomi terhadap, kondisi yang berubah. Sementara menurut Dewan
Produktivitas Nasional. Republik Indonesia Tahun 1983, mencantumkan bahwa : (a)
produktivitas mengandung pengertian sikap, mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa
kehidupan hari ini harus selalu lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari
hari ini, (b) secara umum produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang
dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan. (c) Produksi dan produktivitas
merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan produksi menunjukkan pertambahan
jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan produktivitas mengandung pengertian

21
pertambahan hasil dan perbaikan cara produksi. Peningkatan produksi tidak selalu
disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena produksi dapat saja meningkat
walaupun produktivitasnya tetap atau menurun (dalam Tohardi, 2002:449).
Dilihat dari segi psikologi, produktivitas adalah suatu tingkah laku. Produktivitas
menunjukkan tingkah laku sebagai keluaran (output) dari suatu proses berbagai macam
komponen kejiwaan yang melatarbelakanginya (Anoraga, 2001:50). Ini berarti, kalau berbicara
tentang produktivitas tidak lain daripada berbicara mengenai tingkah laku manusia atau
individu, yaitu tingkah laku produktivitasnya. Sedarmayanti mengutip formulasi National
Productivy Board (NPB) Singapore, dikatakan bahwa produktivitas adalah sikap, mental
(attitude of Mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan.
Perwujudan sikap mental, dalam berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut: (1) yang
berkaitan dengan diri sendiri dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan,
keterampilan, disiplin, upaya peribadi dan kerukunan kerja; (2) yang berkaitan
dengan pekerjaan dapat dilakukan melalui manajemen dan metode kerja yang lebih baik,
penghematan beaya, ketepatan waktu, dan sistem serta teknologi yang lebih baik
(Sedarmayanti, 2001:57). Sedangkan pengertian produktivitas dikaitkan dengan individu
productive dikemukakan oleh Gilmore (1974), Erich Fromm (1975) yang dikutip oleh
Sedannavant (2001:79), berpendapat tentang individu produktif, yaitu: (1) tindakannya
konstruktif, (2) percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta
terhadap pekerjaan, (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan
dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai
kontribusi positif terhadap lingkungannya (aktif, imaginative, dan inovatif), dan (8)
memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Aspek-aspek inilah yang semestinya dapat
dimunculkan dalam organisasi, sehingga budaya organisasi tersebut akan member kontribusi
pada output maupun out come yang diharapkan. Demikian juga pada organisasi sekolah, sangat
diperlukan perilaku-perilaku yang positif untuk dapat memunculkan kondusivitas, dan hal
tersebut sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, produktivitas kerja
yang dimaksud adalah suatu sikap mental dan tingkah laku guru untuk terus menerus
mengadakan peningkatan perbaikan menyangkut diri sendiri seperti peningkatan pengetahun,
keterampilan, disiplin, kerukunan kerja, dan yang berkaitan dengan pekerjaan melalui
peningkatan perbaikan manajemen dan metode kerja, penghematan biaya, ketepatan
waktu, dan sistem serta teknologi yang lebih baik. Dalam kaitan dengan itu indicator
produktivitas yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) tindakannya konstruktif, (2)
percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta terhadap
pekerjaan, (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif
terhadap lingkungannya (aktif, imaginative, dan inovatif), dan (8) memiliki kekuatan untuk
mewujudkan potensinya.

22

You might also like