You are on page 1of 16

PERAMBAHAN HUTAN SEBAGAI KONFLIK AGRARIA

(STUDI KASUS KAWASAN HUTAN PRODUKSI REGISTER 45 SUNGAI


BUAYA, KABUPATEN MESUJI)

I Gusti Ayu Kusuma Wardani/E451170091

Dosen Pembimbing:

Prof Dr Ir H Bambang Hero Saharjo M Agr

PROGRAM STUDI SILVIKULTUR TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, Oktober 2017

Penulis
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat


menyebabkan permintaan pasar akan produk kehutanan juga meningkat.
Permintaan pasar harus secara cepat terpenuhi sehingga aspek-aspek pengelolaan
hutan yang bertanggung jawab sering terabaikan. Menurut data statistik
Kementerian Kehutanan tahun 2011, laju deforestasi di Indonesia pada periode
2000-2010 melesat hingga 1,2 juta hektar hutan alam setiap tahun. Walaupun
angka ini telah menunjukkan penurunan sejak 2010, bahaya deforestasi masih
mengancam dari pola produksi dan konsumsi yang tidak bertanggung jawab.
Masalah terbesar pada hutan alam Indonesia adalah alih fungsi hutan menjadi
perkebunan, penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan serta eksploitasi
hutan secara tidak lestari untuk pengembangan pemukiman dan industri.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pasal 50 menegaskan bahwa setiap orang
dilarang merambah kawasan hutan. Merambah hutan adalah melakukan
pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Staf
ahli gubernur Lampung melaporkan bahwa 50% hutan di Lampung telah
mengalami kerusakan akibat perambahan hutan untuk pemukiman dan areal
pertanian serta perkebunan. Provinsi Lampung memiliki kawasan hutan yang
cukup luas yaitu 1.004.735 hektar atau 30% dari areal daratan provinsi Lampung.
Hutan produksi di Kabupaten Mesuji mengalami perambahan hutan selama > 10
tahun dan hingga kini masih menimbulkan konflik antara masyarakat, pemerintah,
dan perusahaan HTI.
Masyarakat Moro-moro Register 45 Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji,
Provinsi Lampung adalah salah satu entitas masyarakat di kawasan Hutan
produksi Register 45 yang merasakannya beratnya menghadapi tekanan dan
berbagai tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat
Moro-Moro adalah entitas masyarakat yang masuk dalam kawasan hutan di era
krisis ekonomi yakni pada akhir tahun 1996 karena melihat penelantaran tanah,
kebutuhan ekonomi akibat krisis menyebabkan mereka masuk dan
memproduktifkan tanah tersebut. Konflik agraria ini bukan hanya berdimensi
kekerasan, tetapi lebih jauh konflik tersebut mengakibatkan hilangnya hak-hak
konstitusional warga negara. Pemerintah daerah mengabaikan hak-hak
konstitusional ribuan orang di kawasan ini akibat konflik agraria yang
menyelimutinya.
Terabaikannya hak-hak konstitusional masyarakat moro-moro juga
berimplikasi pada pengabaian hak-hak yang diatur dalam undang-undang atau
legal right. Keberadaan warga Moromoro yang tinggal di Kawasan Hutan
Register 45 yang hak pengelolaanya dikuasai oleh PT. Sylva Inhutani Lampung
menyebabkan masyarakat harus menyandang predikat perambah dan
masyarakat illegal dan tidak diakui pemerintah. Konsekuensinya hak-hak
konstitusional mereka sebagai warga negara secara sengaja diabaikan. Tidak
memiliki KTP, berbagai dokumen kependudukan lainnya, kehilangan hakhak
politiknya dalam setiap, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang memadai
adalah konsekuensi berdiam di Kawasan Hutan Produksi Register 45.
Permasalahan yang terjadi inilah yang menarik perhatian untuk diteliti
guna mengetahui dampak dan faktor yang mempengaruhi perambahan hutan di
Kawasan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji serta
dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pengabaian
hak-hak konstitusional yang dilakukan pemerintah daerah terhadap Masyarakat
Moro-Moro serta sejarah penyebab konflik Register 45, Kabupaten Mesuji
Lampung.

Rumusan masalah

Batasan permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut:


1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perambahan hutan yang
terjadi di kawasan hutan produksi Register 45 Sungai Buaya, Mesuji
Lampung
2. Dampak apa saja yang dirasakan oleh masyarakat Sungai Buaya dari
kegiatan perambahan hutan
3. Bagaimana relasi pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan
hutan di kawasan hutan produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten
Mesuji dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah daerah
terhadap pengabaian hak-hak konstitusional yang dilakukan
pemerintah daerah terhadap Masyarakat Moro-Moro Register 45,
Kabupaten Mesuji Lampung.

Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1. Menganalisa faktor penyebab terjadinya perambahan hutan yang terjadi
di Kawasan Hutan Produksi Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji
2. Menganalisa dampak perambahan hutan terhadap masyarakat
3. Menganalisa peranan pemerintah dalam penyelesaian konflik

PEMBAHASAN

Kondisi Umum Sungai Buaya Kabupaten Mesuji

Kabupaten Mesuji merupakan daerah otonomi baru Pemekaran dari


Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan Undang-undang No 49 tahun 2008.

Kondisi Geografis, Administratif dan Fisik

Kabupaten Mesuji merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam


Provinsi Lampung dengan luas wilayah 2.184 Kmyang terdiri dari 7 (tujuh)
kecamatan dan 75 desa, dengan mayoritas daerah berupa dataran rendah yang
sangat cocok untuk daerah pertanian dan perkebunan. Secara geografis wilayah
Kabupaten Mesuji terletak antara 5 - 6 lintang selatan dan 106-107 bujur
timur, yang terletak antara dua sungai besar yaitu Sungai Mesuji dan Sungai
Buaya yang bermuara di laut Jawa serta sebagai pintu gerbang Jalur Lintas Timur
menuju dan keluar dari Provinsi Lampung. Infrastruktur transportasi darat
didukung jalan Lintas Timur dan Jalur Sungai Mesuji merupakan transportasi
jalur ekonomi barang dan jasa antar kampung. Berdasarkan pemanfaatan
geografisnya, saat ini di Mesuji tengah berkembang agroindustri seperti
perusahaan besar swasta di bidang perkebunan kelapa sawit, karet, industry
tapioca dan tambak udang yang berada di perbatasan kabupaten Mesuji yang
berskala Asia, dengan pangsa pasar Nasional dan manca Negara.
Kabupaten Mesuji secara langsung berbatasan dengan berbagai daerah
sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatra Selatan,
Sebelah Timurberbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatra Selatan,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rawajitu Selatan dan
Kecamatan Penawar Tama, Kabupaten Tulang Bawang serta
Kecamatan Way Kenanga, Kabupaten Tulang Bawang Barat,
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatra Selatan.

Kabupaten Mesuji yang daerahnya berada di dataran rendah mempunyai


beberapa sungai besar besar beserta Daerah Aliran Sungai (DAS) nya yang
menjadi daerah aliran dan tangkapan air. Sungai yang terbesar adalah Sungai
Buaya dengan DAS-nya seluas 731,12 hektare. Berikut beberapa sungai yang ada
di Kabupaten Mesuji seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.1.

Tabel 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Wilayah Kabupaten Mesuji


Nama DAS Luas (HA) Debit (M3/dtk)
Sub DAS Buaya 731,12 354,27
Sub DAS Mesuji 424,48 613,20
Sub DAS Basung 79,81 73,30
Sub DAS Deres 40,88 323,157
Sub DAS Gebang 147,7 260,693
Sub DAS Kabung 85,7 273,186
Sub DAS Lubuk Beruk 150,86 271,104
Sub DAS Serdang pecoh 39,6 271,401
Sub DAS Sidang 125,02 309,845
Sub DAS Sigeyet 82,57 305,039
Sub DAS Tulang Miring 79,23 305,573
Sub DAS Abang 109,76 300,103
Sub DAS Bajas 50,78 265,922
Sub DAS karang katun 16,82 291,122
Sumber : Survey Inventarisasi sumber daya air Kabupaten Mesuji

Secara administrasi Kabupaten Mesuji digambarkan dengan jelas pada


(Gambar 1). Peta Administrasi Kabupaten Mesuji dengan warna biru telur bebek
mewakili Kecamatan Mesuji, kuning mewakili Kecamatan Mesuji Timur, coklat
mewakili Kecamatan Panca Jaya, hijau lumut mewakili Kecamatan Rawajitu
Utara, merah jambu mewakili Kecamatan Simpang Pematang, ungu mewakili
Kecamatan Tanjung Raya dan hijau muda mewakili Kecamatan Way Serdang.

Sumber: Dinas Pemerintah Kabupaten Mesuji (2012)

Gambar 1 Lokasi Kabupaten Mesuji

Kondisi Kependudukan

Penduduk suatu daerah menjadi sangat krusial fungsinya bagi pemerintah


daerah. Mengingat sifatnya yang sangat penting, kondisi penduduk menjadi salah
satu tolak ukur pemerintah daerah dalam mengambil berbagai kebijakan strategis
dalam pembangunan. Dengan data kependudukan yang benar, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan, akan memperbesar tingkat keberhasilan suatu kebijakan.
Jumlah penduduk Kabupaten Mesuji tahun 2010 berdasarkan Mesuji dalam
Angka tahun 2011 berjumlah 187.407 jiwa. Terdiri dari laki-laki 98.399 dan
Perempuan 89.008.
Dengan luas wilayah Kabupaten Mesuji sekitar 2.184 kilometer persegi yang
didiami oleh 187.407 jiwa maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten
Mesuji adalah sebanyak 86 jiwa per kilometer persegi. Struktur Pola Ruang
Kabupaten Mesuji terdiri dari :

A. Kawasan Lindung

i. Sempadan Sungai
Terdapat beberapa sungai di Kabupaten Mesuji, dimana yang
menjadi sungai utamanya adalah Sungai (Way) Mesuji dengan
panjang 220 Km (di wilayah Kabupaten Mesuji -Tulang Bawang)
dan daerah alir 2.053 Km2. Sungai Mesuji bermuara di Laut Jawa
dan membentang dari Timur ke Barat Provinsi Lampung yang
sekaligus menjadi batas antara Provinsi Lampung dengan Provinsi
Sumatera Selatan. Daerah aliran sungai ini memegang peranan
penting dalam sistem hidrologi wilayah Kabupaten Mesuji dan
sekitarnya yaitu sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area)
dari sungai-sungai besar dan mempengaruhi keadaan iklim secara
keseluruhan.
ii. Kawasan Sekitar Rawa
Kawasan sekitar rawa berupa kawasan sepanjang perairan dengan
jarak 200 meter dari titik pasang tertinggi, yang berada di
Kecamatan Mesuji, Kecamatan Mesuji Timur dan Kecamatan
Rawajitu Utara dengan luas kurang lebih 20.973 Ha.

B. Kawasan Budidaya
i. Kawasan Peruntukan Hutan Produksi
Kawasan peruntukan hutan produksi yang terdapat di Kabupaten
Mesuji dikelola oleh perusahaan dengan menanam jenis tanaman
albasia dan karet. Kawasan hutan tanam industri (HTI) terdapat di
Register 45 Sungai Buaya di Kecamatan Way Serdang dan Mesuji
Timur, seluruhnya merupakan kawasan HTI seluas 42.762 Ha,
baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan
kosong).
ii. Kawasan Hutan Rakyat
Kawasan hutan rakyat yang ada di Kabupaten Mesuji sebagaimana
Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL) dari Tahun 2003 s/d 2007 seluas 2.600 Ha, dengan jenis
tanaman karet : 832.000 batang, dan jati 208.000 batang. Kawasan
ini tersebar di seluruh kecamatan.
iii. Kawasan Peruntukan Pertanian
Kawasan peruntukan pertanian di Kabupaten Mesuji berupa
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan
peternakan. Sebagian besar penggunaan lahan untuk kawasan
pertanian adalah berupa pertanian tanaman pangan.

Dahulu daerah Mesuji merupakan salah satu daerah tujuan transmigrasi


dari berbagai daerah di Indonesia. Sehingga Mesuji memiliki beraneka ragam
suku dan budaya. Sebelum kasus Register 45 dilaporkan ke Komisi III DPR RI,
warga yang tinggal dikawasan itu hanya sekitar 115 kepala keluarga (KK).
Setelah kasus Register 45 di laporkan ke Komisi III DPR RI, jumlah pendatang
bertambah hingga mencapai 10000 orang. Pemprov Lampung berupaya
melakukan penertiban perambah di kawasan Register 45 Sungai
BuayabMesujiguna penegakan hokum atas tindakan penjarahan dan pendudukan
hutan secara sepihak. Diduga konflik agrarian yang terjadi merupakan akumulasi
saratnya kepentingan politik sehingga terjadi potensi konflik sosial, sebagai
komoditas untuk penggalangan dukungan jelang Pemilukada di Daerah Otonomi
Baru (Kompas 2012). Masyarakat awalnya bekerja sebagai petani di lahan
garapan sendiri. Komoditas yang dihasilkan adalah karet, dammar, dan beberapa
jenis buah-buahan, namun setelah pengukuran kembali terhadap wilayah kawasan
hutan menyebabkan konflik agrarian antara masyarakat dengan perusahaan
sebagai pemenang dalam persidangan.
Sejarah Kawasan Hutan Register 45 Mesuji

Di Lampung terdapat kawasan hutan yang selanjutnya didata Pemerintah


Republik Indonesia dan dicatat sebagai kawasan hutan dibawah pengawasan
Kementrian Kehutanan. Kawasan-kawasan tersebut yang kemudian dikenal
dengan nama register, disusun berdasar nomor registrasi di Kementrian
Kehutanan. Kawasan Hutan Register 45 berada di Kabupaten mesuji yang
merupakan hasil pemekaran Kabupaten Tulang Bawang. Kawasan Register 45
Sungai buaya ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui Besluit Resident Nomor
249 tanggal 12 April 1940 dengan luas 33.500 Ha. Kawasan hutan tersebut
berasal dari tanah masyarakat yang diserahkan kepada negara untuk dijadikan
areal kawasan hutan. Namun tidak termasuk desa sebagai permukiman penduduk
dan lahan garapan disekitarnya. Pembentukan kawasan sesuai dengan penyerahan
masyarakat Talang Gunung kepada Residen Lampung tahun 1940 vide Bewijs van
Aanstelling yang diwakili Bahoesin Gelar Toean Pesirah dan berita acara/surat
keterangan tanggal 9 maret 1941 nomor 20/1941.20
Pada tahun 1985 pengukuran dan pemancangan batas definitif terhadap
areal kawasan Register 45 dilaksanakan. Berdasarkan Tata guna Hutan
Kesepakatan Provinsi Lampung tanggal 12 juli 1980 dan rekomendasi Tata Batas
/ pengukuhan Hutan dan Bappeda Daerah Tingkat I Provinsi Lampung Nomor Ek
000/279/Bappeda/II/1985 tanggal 13 Juni 1985, panitia tata batas yang diketuai
Bupati Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Utara menata batas dengan
prosedur pengumuman pemancangan batas. Hasil akhirnya dituangkan dalam
berita acara pengukuran tata batas yang ditandatangani panitia tata batas dengan
ketua Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Tingkat I Lampung, Kepala
Badan Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah II, Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Lampung, Kepala Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan dan
disahkan Menteri Kehutanan. Gubernur Lampung melalui surat bernomor
525/313/Bappeda/1989 mengusulkan kepada Menteri Kehutanan agar Hutan
Register 45 ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi seluas 43.100 Ha.
Selanjutnya pada tanggal 7 oktober 1991 Surat Keputusan (SK) Menteri
Kehutanan Nomor 688/KptsII/1991 terbit. Kementrian Kehutanan menberikan
areal hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) sementara kepada PT
Silva Inhutani Lampung di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 ha.
PT Silva Inhutani Lampung merupakan korporasi patungan antara PT
Silva Lampung Abadi dan PT Inhutani V. Selanjutnya, SK HPHTI untuk kawasan
Register 45 keluar. SK Menteri Kehutanan Nomor 93/Kpts-II/1997 berisi
penetapan kawasan hutan Register 45 seluas 43.100 Ha. Kawasan tersebut secara
formal untuk areal hutan dengan konsep HPHTI. Komoditas yang ditanam adalah
akasia. Register 45 pada awalnya berada dalam wilayah administrasi Kabupaten
Tulang Bawang sebelum masuk dalam wilayah Kabupaten Mesuji pada tahun
2008. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an menyebabkan
banyak perusahaan tergoncang. Hal yang sama juga dialami korporasi dibidang
kehutanan. Akibat krisis banyak terjadi penelantaran tanah yang menjadi konsesi
hak, tak terkecuali PT SIL selaku pemegang konsesi HPHTI di Register 45. Di
sisi lain, gelombang demokrasi mendorong rakyat yang selama Orde Baru
kehilangan tanah dengan berbagai sebab berani menggarap tanah yang dianggap
terlantar, termasuk kawasan hutan.
Fenomena ini marak terjadi di Lampung menjelang dan saat reformasi.
Dampak krisis ekonomi juga dialami PT Silva Inhutani Lampung yang berakibat
pencabutan izin HPHTI oleh Pemerintah pada tahun 2002 melalui SK Menteri
Kehutanan Nomor 9983/Kpts-II/2002. Pencabutan izin dilakukan dengan dua
alasan. Pertama, PT SIL dinilai tidak layak dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan hutan tanaman industri, baik dari segi teknis maupun finansial
(tidak memenuhi kewajiban finansial dan kewajiban lainya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku). Kedua, PT SIL tidak pernah menyerahkan rencana kerja
tahunan dan rencana kerja lima tahunan sejak 1999. Perusahaan kemudian
mengajukan gugatan atas SK tersebut ke pengadilan dan memenangkanya.
Menteri Kehutanan pun menerbitkan SK Menteri Kehutanan Nomor
322/Menhut-II/2004 tentang Pencabutan SK Menteri Kehutanan Nomor
9983/Kpts-II/2002 dan pemberlakuan kembali SK Nomor 93/Kpts-II/1997 tentang
Pemberian HPHTI atas areal hutan seluas 43.100 Ha kepada PT Silva Inhutani
Lampung. Namun dalam SK Nomor 322 tersebut luas areal HPHTI PT Silva
Inhutani Lampung menjadi 42.762 Ha atau naik sekitar 10.000 Ha. Ketidakjelasan
luas kawasan kawasan Register 45 dan berbagai persoalan penetapan kawasan
hutan pada masa lalu menjadi akar konflik agraria sampai sekarang. Selain
masyarakat perambah, sekelompok masyarakat adat juga mengklaim perluasan
Register 45 pada masa lalu telah mengambil tanah adat mereka. Masyarakat adat
yang merasa tanahnya terambil akibat perluasan kawasan Hutan register 45
melakukan berbagai upaya, mulai dari gugatan ke pengadilan sampai dengan
pendudukan (Digilib Unila 2016).

Hubungan Pemerintah dengan Warga Moro-Moro Dalam Pemenuhan Hak


Konstitusional (Kebutuhan Dasar)

Tinggal di kawasan hutan Register 45 yang hak pengelolaanya dikuasai


oleh PT Sylva Inhutani Lampung menyebabkan masyarakat harus menyandang
predikat perambah dan masyarakat illegal. Konsekuensinya hak hak
konstitusional mereka sebagai warga negara secara sengaja diabaikan (Tabel 2).
Tidak memiliki KTP, berbagai dokumen kependudukan lainnya, kehilangan
hakhak politiknya dalam setiap, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang
memadai adalah konsekuensi berdiam di kawasan hutan produksi Register 45.
Tabel 2 Kategori hak yang diabaikan
No Kategori hak konstitusional Kategori legal right Keterangan
Hak untuk tidak mendapatkan Hak atas dokumen Impikasinya ribuan orang
perlakuan diskriminatif kependudukan seperti diatur selama belasan tahun tidak
sebagaimana diatur dalam dalam UU No 23 Tahun lagi memiliki Kartu Tanda
1 Pasal 28D ayat (1) dan (4), 2006 Penduduk da berbagai
Pasal 28 H ayat (2) UUD dokumen kependudukan
1945 lainnya seperti Kartu
Keluarga, Akta Kelahiran dll
Hak untuk mendapatkan Hak untuk ikut memilih dan Selama 7 kali pemilihan
perlakuan sama di dalam dipilih umum dari berbagai level
hukum dan pemerintah mereka tidak dapat ikut serta
2 sebagaimana diatur dalam karena tidak terdaftar sebagai
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D pemilih akibat persoalan
ayat (1) dan (3), Pasal 28 I administrasi kependudukan
ayat (1) dan (2) UUD 1945
Hak atas kesehatan Hak atas layanan kesehatan Ratusan anak selama belasan
sebagaimana diatur dalam dasar seperti diatur dalam tahun tidak mendapatkan
3 Pasal 28B ayat (2), Pasal 34 UU Kesehatn dan UU layanan kesehatan dasar
ayat (3) UUD 1945 Perlindungan Anak seperti posyandu, Imunisasi,
dll
Hak atas pendidikan Hak atas pendidikan dasar Ratusan anak tidak
sebagaimana diatur dalam seperti diatur dalam UU mendapatkan layanan
4 Pasal 31 ayat (1( dan (2), Pendidikan Nasional dan pendidikan dasar yang
UUD 1945 UU Perlindungan anak memadai

Sumber: Mahmudi A (2014)


Perubahan mulai terjadi sejak tahun 2006, dimana pemerintah daerah,
perusahaan berusaha mengusir masyarakat Moro-Moro yang berdiam di kawasan
hutan Register 45.Sejak tahun 2006 berulang kali tindakan represif dengan
melibatkan aparat keamanan dari berbagai kesatuan, pam swakarsa juga
dilibatkan untuk mengusir masyarakat. Sampai dengan saat ini upaya tersebut
belum membuahkan hasil dan konflik masih terus terjadi. Pemerintah tetap pada
kebijakan bahwa masyarakat yang berdiam diri dikawasan hutan tersebut adalah
penduduk ilegal dan perambah hutan. Sementara masyarakat menuntut adannya
solusi yang berkeadilan dan perlindungan hak-hak konstitusionalnya.
Dalam kasus masyarakat MoroMoro, dengan alasan kepastian hukum,
pemerintah tampak jelas mengingkari kewajiban asasinya untuk melindungi dan
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Pemerintah daerah memandang
keberadaan masyarakat adalah ilegal. Hal itu karena masyarakat berada di
kawasan hutan, yang pengelolaannya berada di bawah PT Silva Inhutani
Lampung (SIL) selaku pemegang hak pengusahaan hutan Dalam perkembangan
sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang
sangat penting. Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau
persetujuan (coInsensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkenaan dengan negara.
Hubungan Pemerintah dengan warga Moro-Moro dalam pemenuhan hak
konstitusional seperti hak atas kependudukan, hak politik, hak atas kesehatan dan
hak atas pendidikan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Tabel 3 Relasi Pemerintah dan Rakyat dalam kasus Perambahan hutan
Pemerintah
No Pandangan Pemerintah Implikasi Realitas
Perambah
1 Hak atas dokumen Masyarakat Moro-Moro tidak a. Hak layanan civil atas dokumen Ribuan orang selama belasan tahun tidak
kependudukan bisa dikategotrikan sebagai kependudukan tidak diberikan memilki Kartu Tanpa Penduduk dan berbagai
penduduk karena bertempat b. Terabaikannya hak-hak warga dokumen Kependudukan lainnya seperti kartu
tinggal di kawasan hutan dan Negara seperti Hak ekonomi, sosial, keluarga, akta kelahiran dll
mereka juga dianggap dan budaya
melanggar UU Nomor 41 c. Masyarakat Moro-Moro tidak
Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat membuktikan status
kewarganegaraan mereka
2 Hak politik Adanya pengakuan eksistensi a. Diberikannya hak politik warga KPU Provinsi melakukan pendaftaran dan
warga Moro-moro sebagai Moro-moro untuk Pemilu Legislatif akan diberikan Hak Politik untuk Pemilu
Wrga Negara atas Hak Politik b. Komisi Pemilihan Umum bisa Legislatif, Pilpres, Pilgub, dan Pilkada bupati
sesuai UU Nomor 8 Tahun mendata dan memasukkan mereka Mesuji
2012 ke dalam daftar pemilih khusus
sesuai UU Nomor 8 Tahun 2012
3 Hak atas layanan Hak atas layanan kesehatan tidak a. Ratusan anak selama belasan tahun tidak
kesehatan mendapatkan layanan kesehatan dasar seperti
Masyarakat Moro-Moro adalah diberikan dan Pemerintah enggan
Posyandu, Imunisasi dll
masyarakat ilegal yang tinggal membangun layanan kesehatan
dikawasan hutan dan tidak (posyandu)
b. Kebiasaan hidup yang tidak memperhatikan
layak mendapatkan fasilitas
kesehatan yang akan berdampak kematian
kebutuhan dasar seperti
4 Hak atas pendidikan Hak atas layanan pendidikan tidak Ratusan anak tidak mendapatkan layanan
kesehatan dan pendidikan
diberikan dan Pemerintah enggan pendidikan yang tidak memadai
membangun layanan pendidikan
5 Hak pengelolaan Pemerintah daerah akan a. Pencabutan Izin/Adendum hak Masyarakat Moro-moro telah mengelola
kawasan hutan memfasilitasi warga Moro- penguasahaan Hutan Tanaman kawasan hutan seluas 2.444 hektar
moro agar mendapatkan Industri oleh Kementerian
Program Kemitraan atau Hutan Kehutanan
Tanaman Rakyat b. Penyerahan HPHTI akan Masyarakat pasrah terhadap skema yang
diberikan sepenuhnya ke ditawarkan (keputusan) yang dikeluarkan oleh
masyarakat/petani Pemerintah sepanjang diperlakukan secara
manusiawi
Analisis Tugas dan Fungsi Pemerintah dalam Pemenuhan Hak
Konstitusionalisme (kebutuhan dasar) warga Moro-moro

Hubungan pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan hutan di KHP


Register 45 Kabupaten Mesuji bahwa Pemerintah melakukan kebijakan menolak
masyarakat Moro-Moro sebagai penduduk menyebabkan masyarakat Moro-Moro
kehilangan hak-hak konstitusional sebagai penduduk dan warga Negara. Dalam kasus
Moro-Moro, negara seakan-akan tidak mampu lagi melindungi hak warga negara.
Hukum tidak dapat menjangkau masyarakat MoroMoro karena terjebak dalam
persoalan prosedur administrasi kependudukan. Perselisihan paradigma antara
pemerintah dan masyarakat melahirkan benturan logika hukum. Pemerintah
bersikeras menyatakan, masyarakat yang tinggal di kawasan Hutan Regiter 45, yang
hak pengelolaannya dimiliki pihak swasta, adalah perambah yang melanggar hukum.
Sehingga, masyarakat tidak mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Sementara,
masyarakat merasa, meskipun tinggal di kawasan hutan, mereka adalah warga negara,
yang juga memiliki hak-hak, seperti diatur dalam konstitusi, sama dengan warga
negara lain.
Pemerintah tampaknya khawatir ketika masyarakat yang tinggal di
kawasan hutan diberikan hak-hak konstitusional. Masyarakat akan merasa mendapat
legalisasi atas keberadaan mereka. Sehingga, masyarakat bisa merasa tanah yang
diduduki adalah milik mereka. Agenda tersembunyi yang terkandung dalam
kebijakan ini bahwa pemerintah berharap, dengan pengabaian hak-hak konstitusional,
masyarakat akan tidak nyaman tinggal di kawasan hutan. Sehingga, dengan
sendirinya, masyarakat akan pergi dan roda perekonomian perusahaan akan dapat
berjalan optimal. Proses pemberian hak konstitusional (kebutuhan dasar) itu
seharusnya tidak dikaitkan dengan masalah sengketa lahan. Sebab, sengketa lahan
akan diselesaikan dalam proses yang berbeda lagi. Warga Moro-Moro berada di lahan
milik Tanah Kehutanan dan mendiaminya secara ilegal, diharapkan warga tidak
menuntut kepemilikan lahan dan kepentingan lainnya yang berakibat masuk ke ranah
hukum.
Dengan adanya pemberian hak konstitusional, lalu bukan berarti warga
memiliki lahan itu. kepemilikan lahan tetap menjadi status tanah negara. Dari tahun
ke tahun, tatanan masyarakat, yang mengalami pengabaian hak-hak konstitusional,
justru semakin berkembang menjadi sebuah entitas sosial yang kuat dan solid.
Solidaritas terbentuk karena kesamaan nasib. Perlakuan diskriminatif akhirnya
melahirkan solidaritas sosial yang erat untuk bisa keluar dari berbagai situasi yang
sulit. Pemerintah berulang kali berusaha mengusir masyarakat dengan cara-cara yang
represif. Namun, kekompakan masyarakat membuat rencana tersebut gagal.Konflik
agraria semestinya tidak serta merta membuat mereka kehilangan hak-hak
konstitusionalnya. Kondisi yang dialami masyarakat moro-moro membuat mereka
seolah-oleh hidup dilauar hukum negara.
Pemerintah daerah sudah semestinya mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk melindungi hak-hak konstitusional agar membawa keadilan dalam
masyarakat moro-moro. Negara sesungguhnya memunyai kewajiban untuk
menghormati, melindungi, memenuhi, dan mempromosikan hak-hak manusia (human
rights), terutama hak-hak sipil dan politik. Namun seringkali, implementasi
kewajiban negara (obligation of the state) melemah. Sehingga, hal itu mengancam
penghormatan dan perlindungan hakhak. Implikasi lemahnya implementasi prinsip
kewajiban negara telah menye-babkan banyak terjadi pelanggaran hakhak manusia,
khususnya hak-hak sipil dan politik, baik melalui tindakan maupun pembiaran aparat
negara. Hak-hak dan kebebasan tersebut, ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan
ada pula yang tercantum hanya dalam UU tetapi memiliki kualitas yang sama
pentingnya secara konstitusional.
Penyelesaian konflik pertanahan di Register 45 Sungai Buaya Kabupaten
Mesuji Lampung yang tidak berujung ini berpengaruh besar terhadap faktor
kelembagaan, salah satunya dampak dari implementasi otonomi daerah yang
menimbulkan ketidaksinergian untuk membenahinya. seluruh kelembagaan baik
pemerintah, swasta dan masyarakat yang melakukan ataupun mendukung pengelolaan
sumber daya hutan secara harus bersama-sama memiliki kesepahaman dan konsisten.
Pemerintah melaksanakan kebijakan pengabaian berdasarkan pemahaman hukum
legal formal. Pemahaman legal-formal (formal administratif) dianggap tidak mampu
menjelaskan berbagai persoalan aktual dan faktual, yang ditimbulkan dari proses
perubahan dan dinamika masyarakat yang begitu cepat. Kebijakan pengabaian hak-
hak konstitusional warga negara, yang dilakukan Pemerintah adalah tindakan yang
bertentangan dengan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Pemerintah hendaknya tidak menjadikan alasan konflik agraria untuk
melakukan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara. Pemerintah yang
seharusnya bertindak sebagai regulator dan fasilitator dalam prakteknya pada kasus
Moromoro pemerintah tidak terlihat melakukan tugas itu, warga Moro-Moro tidak
bisa menikmati fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah. Jangankan menikmati
layanan publik seperti warga negara yang lainnya, di akui saja keberadaan penduduk
Moro-Moro tidak. Hak-hak kebutuhan dasar cenderung dikorbankan, yang celakanya
posisi pemerintah berada pada pihak yang cenderung menguntungkan investor, rakyat
dipandang menghambat jalannya roda pembangunan. Dalam kasus Moro-Moro, akan
lebih arif, jika kita tinggalkan sejenak persoalan-persoalan konflik agraria yang
mengitarinya. Cara pandang lainnya adalah bagaimana Pemerintah secara arif melihat
bahwasannya setiap manusia dipandang sebagai manusia, yang memiliki hak asasi,
dan juga sebagai warga negara, yang memiliki hak-hak konstitusional.

Aspek Ekonomi dan Politik yang Mempengaruhi Relasi Pemerintah dengan


Rakyat dalam Pemenuhan Hak-hak Konstitusional

Pada kasus Moro-Moro, hokum yang dikonsepsikan sebagai kebijakan


pemerintah atau putusan pejabat yang memiliki kewenangan, ternyata dipengaruhi
berbagai faktor, seperti faktor politik maupun intervensi kepentingan bisnis
(ekonomi) serta perubahan rezim yang sangat mendasar dari sentralistik yang otoriter
menjadi desentralistik yang lebih demokratis. Berdasarkan Laporan TGPF Kasus
Mesuji bahwa konflik di Register 45 adalah konflik penguasaan dan pengelolaan
HTI, yang sejak lama telah menjadi silang sengketa antara investor, masyarakat, dan
pemerintah. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak terkoordinasi serta
pengawasan yang minim, investor yang tidak menjalankan kewajiban dan
menyalahgunakan izin, masyarakat yang tersingkir dan menjadi agresif, maupun
beroperasinya spekulan tanah telah menyebabkan persengketaan di Register 45 terus
terjadi dan tidak pernah tuntas diselesaikan. Kebijakan mengabaikan hak
konstitusional masyarakat, yang tinggal di kawasan Hutan Register 45, lebih dipilih
untuk mengamankan kepentingan investasi. Penegakan hukum akhirnya dipengaruhi
faktor politik dan ekonomi.
Kebijakan menolak masyarakat MoroMoro sebagai penduduk
menyebabkan masyarakat Moro-Moro kehilangan hakhak konstitusional sebagai
penduduk dan warga negara. Kesenjangan sosial yang muncul di wilayah Register 45
yaitu antara pemilik modal dan pengusaha perkebunan yang mendapat kemakmuran
dari hasil perkebunan berhadapan dengan masyarakat sekitar yang memiliki lahan
pertanian sempit yang terhimpit persoalan ekonomi memicu munculnya masyarakat
Moro-Moro menduduki tanah tersebut. Fenomena kolaborasi oknum aparat keamanan
dan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Silva Inhutani Lampung sesungguhnya
merupakan implikasi penerapan budaya hukum kapitalistik.

Upaya Penyelesaian Konflik

Pemerintah membentuk Tim Operasi Gabungan Penertiban KHP 45


Sungai Buaya bahwa Perambahan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Register 45
untuk perambahan baru atau tenda-tenda harus pergi, yang moro-moro tidak
dipaksakan karena moro-moro sudah terlanjur. Warga Moro-Moro akan mendapatkan
program kemitraan dengan pihak Perusahaan PT. SIL ataupun Dinas Kehutanan.
Perlu ada Jaminan dari Kementerian Kehutanan untuk merealisasikan program
kemitraan tersebut. Dan kalau tidak bisa dijadikan hak negara harus ada pelepasan
dari Menteri Keuangan, dan HPHTI nya jngan diberikan sepenuh nya diberikan ke PT
Silva Inhutani Lampung,serahkan ke masyarakat untuk membentuk tim petani dan
Bupati Mesuji akan memfasilitasi. Pemerintah juga sudah berupaya melakukan
mediasi antara masyarakat dengan pihak perusahaan, namun tidak tetap tidak
menyelesaikan konflik.
Dalam menanggulangi konflik di Moro-Moro Kabupaten Mesuji ditemui
banyak hambatan-hambatan yang pada akhirnya menjadi penyebab dari kurang
berhasilnya penanggulangan terhadap perambah hutan tersebut. Tim Terpadu tetap
akan melakukan penggusuran terhadap wilayah moro-moro para perambah yang saat
ini berjumlah 3000 KK tanpa ada solusi, maka rentan terjadi konflik horizontal.
Dengan melihat fakta-fakta lapangan, dimana jumlah perambah yang cukup masive
dan adanya kisaran suara tentang akan terjadinya perlawanan terhadap petugas
operasi penertiban serta masih adanya provokator dan actor intelektual yang bermain
di Register 45 maka sangat mungkin pada saat dilaksanakan operasi penertiban jika
petugas operasi terpancing akan timbul perlawanan terhadap petugas sehingga timbul
korban pada kedua belah pihak, baik pihak masyarakat perambah yang menjadi
sasaran penertiban maupun pihak petugas yang melakukan penertiban.

SIMPULAN

Relasi pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan hutan di Kawasan


Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji yaitu Pemerintah
Daerah memandang keberadaan masyarakat adalah ilegal. Hal itu karena masyarakat
berada di kawasan hutan, yang pengelolaannya berada di bawah PT Silva Inhutani
Lampung (SIL) selaku pemegang hak pengusahaan hutan, sehingga, masyarakat tidak
mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Sementara, masyarakat merasa
meskipun tinggal di kawasan hutan, mereka adalah warga negara yang juga memiliki
hak-hak konstitusional masyarakat., seperti diatur dalam konstitusi, sama dengan
warga negara lain, dan Pemerintah tampaknya khawatir ketika masyarakat yang
tinggal di kawasan hutan diberikan hak-hak konstitusional. Masyarakat akan merasa
mendapat legalisasi atas keberadaan mereka. Sehingga, masyarakat bisa merasa tanah
yang diduduki adalah milik mereka. Pengabaian hak-hak konstitusional terhadap
masyarakat Moro-Moro, Register 45 telah terjadi selama belasan tahun, Guna
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat moromoro dilakukan secara swadaya,
setiap dusun dan kelompok juga membangun berbagai fasilitas umum yang
diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. Sejarah Register 45 Sungai Buaya [Terhubung berkala].


digilib.unila.ac.id/2207/13/BAB%20IV.pdf. 2 Oktober 2017.
Dinas Pemerintah Kabupaten Mesuji. 2012. Gambaran Umum Kabupaten Mesuji.
Lampung (ID): Dinas Pemerintah Kabupaten Mesuji.
Mahmudi A. 2014. Relasi pemerintah dan rakyat dalam kasus perambahan hutan di
kawasan hutan produksi register 45 sungai buaya Kabupaten Mesuji. Jurnal
Kebijakan dan Pembangunan. 1(1):55-68.
Seponada F. 2010. Mencari Ujung Konflik Sungai Buaya [Terhubung berkala]. www
kompasiana.com. 2 Oktober 2017.
Susilawati D. 2008. Analisis dampak dan faktor yang mempengaruhi perambahan
hutan (Studi kasus Desa Bulu Hadik, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten
Simalue, NAD) [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

You might also like