You are on page 1of 96

i

SEKERIPSI

PELAKSANAAN GANTI RUGI KEPADA PASIEN AKIBAT


DUGAAN MALPRAKTIK (STUDY DI RSU SELONG)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat S-1 Pada


Program Studi Ilmu Hukum

Oleh

AKHMAD AJIDI
NPM 1920822 FH05

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
LOMBOK TIMUR
2017
ii

HALAMAN PENGESAHAN

PELAKSANAAN GANTI RUGI KEPADA PASIEN AKIBAT


DUGAAN MALPRAKTIK (STUDI DI RSU SELONG)

Oleh :

AKHMAD AJIDI
NPM 1920822 FH05

Menyetujui,

PEMBIMBING

JOHAN SH., MH.


NIDN. 0825056001
iii

LEMBAR PENGSAHAN

Skripsi Dengan Judul :

PELAKSANAAN GANTI RUGI KEPADA PASIEN AKIBAT


DUGAAN MALPRAKTIK (STUDI DI RSU SELONG)

Yang disusun oleh:


Nama : AKHMAD AJIDI
NPM : 1920822 FH05
Fakultas : HUKUM

Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal dan


dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima

Anggota penguji :
(.............................................)
JOHAN, SH.,MH
Nidn. 0825056001
Anggota penguji :
(.............................................)
NASYHUR,SH.,MH
Nidn.
Anggota penguji :
(.............................................)
BASRY MULIANI, SH.,MH
Nidn.

Mengtahui
Dekan Fakultas Hukum

JOHAN SH., MH.


NIDN. 0825056001

Di sahkan pada tanggal :


iv

PERNYATAAN
v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat

dan izin-Nya sehingga skripsi yang berjudul Pelaksanaan Ganti Rugi Kepada

Pasien Akibat Dugaan Malpraktik (Study di RSU Selong) ini dapat diselesaikan

tepat pada waktunya. Sholawat dan salam senantiasa dihaturkan Kepada Nabi

Besar Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan menuju

keridhoan Allah SWT.

Selama proses penyusunan skripsi inipenyusun sadar banyak mendapat

bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, saran-saran, petunjuk, dan bantuan

dalam memperoleh data sampai skripsi ini dapat terselesaikan sebagaimana

mestinya, untuk itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terimakasih

kepada :

1. Bapak Drs. H. Ayip Rosidi, MM. Selaku Rektor Universitas Gunung

Rinjani

2. Basry Muliani SH., MH. Selakuy pembimbing I yang telah membantu

dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Masyhur SH., MH. Selakuy pembimbing II yang juga telah membantu

dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Bapak Johan SH., MH. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Gunung Rinjaniyang telah memberikan fasilitas yang memadai selama

menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Rinjani.


vi

Saya sadar dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat

kekurangan dan kelemahan baik dalam penulisan bahasa maupun isi, oleh

karena itu saya mengharapkan kritikkan dan saran dari dosen pembimbing,

dewan penguji, dan dari semua pihak guna menunjang penyempurnaan skripsi

ini.

Selong, 2017

Penyusun
vii

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .................................... ii
HALAMAN PENGSAHAN UJIAN SKRIPSI ......................................................
PERNYATAAN ........................................................................................................
MOTO .......................................................................................................................
PERSEMBAHAN .....................................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................5
C. Tujuan dan ManfaatPenulisan ................................................................5
D. Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................7
BAB II TINJAUANPUSTAKA
A. Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan .......................................................8
B. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien ..................................................14
C. Malpraktik Dalam Pelayanan Kesehatan ...............................................14
D. Tanggung Jawab Hukum Tenaga Kesehatan ........................................28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .....................................................................................32
B. Metode Pendekatan .............................................................................32
C. Sumber dan Jenis Data .........................................................................34
D. Tekhnik Pengumpulan Data ................................................................35
E. Analisis Data .......................................................................................36
BAB IV PEMBAHASAN
A. Tanggung Jawab Tenaga Medis Kepada Pasien Apabila
Terjadi Dugaan Malpraktik Dalam Tindakan Medik Di RSUD
SOEJONO Selong ................................................................................37
1. Tanggung Jawab Tenaga Medis Secara Individu...........................42
2. Tanggung Jawab Hukum Tenaga Medis Secara Kolegial .............51
3. Proses Pertanggung Jawaban Tenaga Medis Dalam
viii

Sengketa Medik ..............................................................................57


B. Pelaksanaan Ganti Kerugian Akibat Dugaan Malpraktik Tenaga Medis
Dalam Tindakan Medik Di RSUD SOEJONO Selong .......................61
1. Data Pengaduan Tentang Pelayanan Kesehatan Di
RSUD SOEJONO Selong ..............................................................64
2. Data Pengaduan Tentang Pelayanan Kesehatan Di
RSUD SOEJONO Selong ..............................................................65
3. Penanganan Kasus-Kasus Tentang Dugaan Malpraktik
Tenaga Medis Dalam Tindakan Medis Oleh RSUD
SOEJONO Selong ..........................................................................67
4. Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Pelaksanaan Ganti
Kerugian Apabila Terjadi Dugaan Malpraktik Dalam Tindakan
Medik Di RSUD SOEJONO Selong ..............................................70
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ....................................................................................75
B. SARAN ................................................................................................76
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia hukum memegang peran penting dalam berbagai segi

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya yaitu dibidang

kesehatan, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang,

yang merupakan bagian dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi

penyelenggaraan dibidang kesehatan. Pada mulanya upaya penyelenggaraan

kesehatan hanya berupa upaya pengobatan penyakit dan pemulihan

kesehatan. Kemudian secara berangsur-angsur berkembang kearah kesatuan

pada upaya pembangunan kesehatan yang menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan yang mencakup upaya promotif (peningkatan), preventif

(pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).

Pelayanan di Indonesia saat ini belum memenuhi harapan masyarakat.

Keluhan masyarakat tentang kualitas pelayanan masih secara dominan

mewarnai proses pelayanan kesehatan keluhan ini mencakup sikap dan

perilaku pelayanan kesehatan yang kurang humanistik, mekanisme yang

rumit, persyaratan yang berlebihan, prosedur yang panjang yang


2

mempengaruhi kecepatan proses pelayanan (pelayanan yang lambat), biaya

yang mahal serta kualitas pelayanannya.

Belakangan ini di Indonesia banyak terjadi tindakan yang melanggar

hukum salah satunya dibidang kesehatan banyak sekali kasus-kasus yang

dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan yang menyalahi aturan atau

tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, hal ini terjadi karena adanya

kesenjangan pengetahuan dibidang hukum oleh penerima pelayanan

kesehatan, banyak penerima pelayanan kesehatan yang tidak tahu tentang

haknya konsumen jasa dalam hal ini penerima pelayanan dan kewajiban

produsen dalam hal ini pemberi pelayanan.

Rumah sakit sebagai organisasi badan usaha dibidang kesehatan

mempunyai peranan penting dalam mewujudkan derajat kesehatan

masyarakat secara optimal. Oleh karena itu rumah sakit dituntut agar mampu

mengelola kegiatannya dengan mengutamakan pada tanggung jawab para

professional dibidang kesehatan, khususnya tenaga medis dalam menjalankan

tugas dan kewenangannya.Tidak selamanya layanan medis yang diberikan

oleh tenaga kesehatan dirumah sakit, dapat memberikan hasil sebagaimana

yang diharapkan semua pihak.Ada kalanya layanan tersebut terjadi

malpraktik atau Malpraktik yang menimbulkan rugi bagi penerima pelayanan

kesehatan seperti misalnya cacat, lumpuh, atau bahkan meninggal

dunia.Apabila hal itu terjadi maka pasien maupun pihak keluarga sering

menuntut ganti rugi.


3

Permintaan ganti rugi ini karena adanya akibat yang timbul, baik fisik

maupun non fisik.Rugi fisik (material) misalnya dengan hilangnya atau tidak

berfungsinya seluruh organ tubuh, rugi non fisik adalah rugi yang berkaitan

dengan martabat seseorang.Peluang untuk menuntut ganti rugi sekarang ini

telah ada dasar ketentuannya.

Berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang 44 tahun 2009 tentang rumah

sakit yang menentukan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum

terhadap semua rugi yang ditimbulkan atas malpraktik yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan dirumah sakit.Ketentuan pasal ini akan menggambarkan

bagi siapa saja ataupun khususnya pasien, sebab jika seseorang atau pasien

menderita rugi akibat tindakan malpraktik tenaga kesehatan akan mendapat

ganti rugi.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan juga

mengatur hal-hal yang berkaitan dengan malpraktik tenaga kesehatan, Pasal

82 menjelaskan bahwa setiap tenaga kesehatan yang lalai akan diberikan

sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis,

dendaadministratif, dan pencabutan izin praktek. Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Pasal 1365 menyatakan bahwa Tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa rugi kepada orang lain, mewajibkan orang

yang menimbulkan rugi itu karna kesalahannya untuk menggantikan rugi

tersebut.

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga

Kesehatan mengatur mengenai hak setiap penerima pelayanan kesehatan


4

untuk menuntutganti rugi terhadap tenaga medis atau penyelenggara

kesehatan yang menimbulkan rugi akibat kesalahan atau malpraktik dalam

pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dari ketentuan pasal ini tidak

dijelaskan bentuk ganti rugi maupun besaran ganti rugi yang harus diberikan

oleh tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik terhadap pasien yang

merasa dirugikan akibat pelayanan kesehatan.Tidak dijelaskannya lebih lanjut

didalam Undang-Undang terkait ganti rugi yang disebabkan oleh malpraktik

yang ditimbulkan oleh tenaga kesehatan ini menimbulkan permasalahan

terkait pihak mana yang akan menjadi penanggung jawab dalam proses

pergantian rugi kepada pihak yang merasa dirugikan atas pelayanan kesehatan

yang diterima. Dimana Perlindungan pasien adalah hal yang sangat penting

karena dalam setiap tindakan medis yang diambil oleh tenaga medis tidak

terlepas dari resiko yang dapat berdampak sangat fatal kepada pasien yang

terkadang dapat memberikan dampak jangka panjang seumur hidup seperti

yang terjadi dibeberapa kasus kurangnya pengetahuan pasien terhadap upaya

medis yang diterapkan kepadanya juga merupakan hal yang penting sehingga

diperlukan penjelasan dan pengetahuan terhadap setiap tindakan medik yang

diterima guna mengurangi dampak buruk yang mungkin dapat terjadi.

Kurangnya penjelasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat

akan hukum terkait proses tuntutan ganti rugi terhadap tenaga kesehatan yang

merugikan inilah yang menyebabkan rentetan masalah dalam hukum

kesehatan Indonesia, karna masyarakat tidak memiliki tolak ukur untuk

menyatakan bahwa tenaga kesehatan telah melakukan malpraktik yang


5

menimbulkan rugi, bisa saja rugi yang timbul tersebut hanyalah persepsi

pasien yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

tenaga kesehatan, dan bisa saja tenaga kesehatan telah melakukan prosedur

yang sesuai, namun karena kurangnya pemahaman dan komunikasi

menyebabkan pasien justru merasa dirugikan, oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian terkait permasalahan ini guna untuk mencari tolak ukur sebenarnya

seorang tenaga kesehatan dapat dikatakan merugikan pasien, dan perlu

dilakukan penelitian terkait penegakan hak-hak pasien yang merasa dirugikan

oleh pelayanan kesehatan guna dapat menuntut ganti rugi atas setiap rugi

yang timbul dari pelayanan kesehatan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tanggung jawab tenaga medis kepada pasien apabila terjadi

Dugaan Malpraktik dalam tindakan medik di RSU SOEDJONO Selong.

2. Bagaimana pelaksanaan ganti rugi Kepada Pasien akibat Dugaan

Malpraktik di RSU SOEDJONO Selong.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak pada rumusan permasalahan diatas adapun tujuan

penelitian ini secara umum adalah untuk menemukan jawaban atas

permasalahan yang ada Tujuan yang Ingin dicapai dalam penelitian ini :

a. Untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab tenaga medis

kepada pasien apabila terjadi Dugaan Malpraktik di RSU SOEDJONO

Selong
6

b. Untuk mengetahui dan memahami ganti rugi akibat Dugaan Malpraktik

di RSU SOEDJONO Selong

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum terutama bagian

hukum perdata bidang hukum kesehatan tentang pelaksanaan ganti rugi

kepada pasien akibat DUGAAN malpraktik tenaga medis dalam

melakukan tindakan medik. hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

bermanfaat dalam memperkaya referensi dan literatur serta dapat

bermanfaat untuk menjadi acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis

berikutnya.

b. Manfaat Praktis

1) Sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang membutuhkan

pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti mengeni

pelaksanaan ganti rugi kepada pasien akibat Dugaan malpraktik

tenaga medis dalam melakukan tindakan medik. Serta

dapat,dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam

upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum.

2) Sebagai bahan masukan pembuatan Undang-Undang dan praktek

penerapan Undang-Undang dalam rangkapenegakan hukum di

Indonesia, khususnya bidang ilmu hukum bagian hukum perdata

bidang hukum kesehatan mengenai pelaksanaan ganti rugi kepada


7

pasien akibat dugaan malpraktik tenaga medis dalam melakukan

tindakan medik.

3) Sebagai bahan informasi yang berguna bagi masyarakat mengenai

pelaksanaan ganti rugi kepada pasien akibat Dugaan malpraktik

tenaga medis dalam melakukan tindakan medik.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Agar pembahasan lebih sistematis dan terarah serta tidak

menimbulkan penafsiran yang terlalu luas mengenai permasalahan yang

dibahas maka penelitian hanya terbatas pada lingkup kajian sesuai dengan

masalah masalah yang diangkat penulisan skripsi dalam halaman ini

mengenai pelaksanaan ganti rugi kepada pasien akibat Dugaan malpraktik

tenaga medis dalam tindakan medik.


BAB II

TINJAUANPUSTAKA

A. Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan

Landasan hukum dan etika rumah sakit, secara ideologis dan filosofis

menyebutkan, bahwa rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan

didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat,

keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan

keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

1. Pengertian Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah badan usaha yang menyediakan pemondokan

dan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka

panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terapeutik, dan

rehabilitatif untuk orang orang yang menderita sakit,terluka dan untuk

mereka yang melahirkan (WHO). Rumah sakit juga merupakan sarana

upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan

serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan

penelitian ( Permenkes No. 159b/1988).

Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap,rawat jalan, dangawat darurat. Gawat

darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis


2

segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih

lanjut.Sedangkan yang dimaksud pelayanan kesehatan paripurna adalah

pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.1

MenurutWorldHealthOrgization (W.H.O) memaparkan bahwa

Rumah Sakit adalah organisasi terpadu dari bidang sosial dan medik yang

berfungsi sebagai pusat pemberi pelayanan kesehatan, baik pencegahan

penyembuhan dan pusat pelatihan dan penelitian biologi-sosial.2

2. Kewajiban Rumah Sakit

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit, disebutkan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban sebagai

berikut :3

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah


sakit kepada masyarakat;
b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah
sakit;
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai
dengan kemampuan pelayanannya;
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak
mampu dan miskin;
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan
fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan
gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan
korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
kemanusiaan;

1
Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Sakit, UU No.44 Tahun
2009,LN. No. 153 Tahun 2009, Psl. 1.
2
www.elib.unikom.ac.id. Di akses Rabu, 2 Desember 2015, pukul 19.30.
3
Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Sakit, UU No.44 Tahun
2009,LN. No. 153 Tahun 2009, Psl. 29.
3

g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan


kesehatan dirumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. Menyelenggarakan rekam medis;
i. Menyediakan saranadanprasaranaumum yang layakantara lain
secara ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat,
wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia;
j. Melaksanakan sistem rujukan;
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar
profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
hak dan kewajiban pasien;
m. Melindungi dan menghormati hak-hak pasien;
n. Melaksanakan etika rumah sakit;
o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana;
p. Melaksanakan program pemerintah dibidang kesehatan baik
secara regional maupun nasional;
q. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit
(hospital by laws);
r. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua
petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas.

3. Hak-Hak Rumah Sakit

Sebagai keseimbangannya rumah sakit mempunyai hak-hak

antara lain sebagai berikut :

a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya


manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit;
b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan
remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
mengembangkan pelayanan;
d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. Menggugat pihak yang mengakibatkan rugi;
f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan;
g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada dirumah sakit
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah
sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan.
4

Pada hakikatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat

penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi yang

dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan

tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan

masyarakat.

4. Pengertian Pelayanan Kesehatan

Pelayanankesehatan (health care) merupakan salah satu upaya

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik

perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.

Adapun yang dimaksud dengan pelayanan masyarakat adalah setiap usaha

atau upaya baik yang diselenggarakan sendiri maupun bersama-sama

dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan dan

memelihara kesehatan mencegah penyakit, mengobati penyakit, dan

memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan , kelompok,

maupun masyarakat.Sayangnyadidalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1992tentang Kesehatan tidak diatur perumusan tentang pelayanan

kesehatan. Pasal 1 ayat (2) hanya menyebutkan upaya kesehatan adalah

setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang

dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.

Pasal 10 Undang-Undang No. 23 tahun 1992 menyebutkan:

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat


diselenggarakan upaya kesehatan yang optimal bagi masyarakat
dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
5

dilaksanakan secara menyeluruh, terpantau dan


berkesinambungan.4

Pelayanan kesehatan terdiri dari atas :5

a. Pelayanan kesehatan perseorangan; dan

b. Pelayanan kesehatan masyarakat.

Pelayanan kesehatan baik perorangan maupun masyarakat dalam

ketentuan ini meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif. Adapun tujuan pelayanan kesehatan tersebut

adalah :

a. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan

penyakit dan memulihkan perseorangan dan keluarga.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan

masyarakat.

Pelaksanaanpelayanan kesehatan harus mendahulukan

pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan

lainnya.Penyelenggaraanpelayanan kesehatan dilaksanakan secara

bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan

nondiskriminatif.Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab

atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti yang dimaksud

diatas.Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan

dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan

4
Moh.Hatta, Hukum Kesehatan dan Sengketa MedikCet. 1, Liberty,
Yogyakarta, 2013, hlm. 119.
5
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, PT.Asdi
Mahasatya, Jakarta 2010, hlm.62-64.
6

masyarakat.Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan

kesehatan.

5. Tujuan Pelayanan Kesehatan

Sejalan dengan hal tersebut, adapun tujuan dari pelayanan

kesehatan, yaitu :6

a. Promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), hal ini diperlukan

misalnya dalam peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan.

b. Preventif (pencegahan terhadap orang yang beresiko terhadap

penyakit), terdiri dari :

1) Preventif primer

Terdiri dari program pendidikan, seperti imunisasi, penyediaan nutrisi

yang baik, dan kesegaran fisik.

2) Preventif sekunder

Terdiri dari pengobatan penyakit pada tahap dini untuk membatasi

kecacatan dengan cara menghindari akibat yang timbul dari

perkembangan penyakit tersebut.

3) Preventif tersier

4) Pembuatan diagnose ditunjukkan untuk melaksanakan tindakan

rehabilitasi, pembuatan diagnose dan penggobatan.

5) Kuratif (penyembuhan penyakit)

6) Rehabilitasi (pemulihan)

6
http://aamaulana96.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pelayanan-
kesehatan.html?m=1, diakses pada Selasa 8 Desember pukul 8:17.
7

Usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi normal atau

mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental,

cedera atau penyalahgunaan.

B. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien

Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh

tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan

memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Akan tetapi

hak menerima atau menolak ini dapat berlaku pada:

a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular kedalam

masyarakat yang lebih luas;

b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau

c. Gangguan mental berat.

Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang

telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Ketentuan

mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi ini tidak berlaku dalam

hal:

a. Perintah undang-undang;

b. Perintah pengadilan;

c. Izin yang bersangkutan;

d. Kepentingan masyarakat; atau

e. Kepentingan orang tersebut.


8

C. Malpraktik Dalam Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian Tenaga Kesehatan

Dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan memberikan pengertian tentang tenaga kesehatan

sebagai berikut :

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam


bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.

Selain dalam ketentuan Undang-Undang tersebut, pengertian

kesehatan juga diberikan dalam beberapa pendapat dari para ahli atau

sarjana hukum sebagai berikut,

Selanjutnya menurut Ridwan tenaga kesehatan adalah :

Setiap orang yang memiliki kompetensi dibidang pengobatan dan

penyembuhan.7

Joko Paradi mengatakan tenaga kesehatan adalah:

Seluruh elemen penting dalam dunia kesehatan yang memiliki

kemampuan dalam bidang kesehatan.8

Dalam peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 dijelaskan

adanya berbagai macam tenaga kesehatan, yang mempunyai bentangan

yang sangat luas, baik dari segi latar belakang pendidikannya maupun

jenis pelayanan atau upaya kesehatan yang dilakukan. Jenis tenaga

kesehatan dalam Undang-Undang ini meliputi :

7
Ridwan, Dasar-dasar Pengobatan Tradisional, Obat Tradisional,
Grafika, Jakarta, hlm. 50.
8
Ibid, hlm. 51
9

a. Tenaga medis mencakup dokter dan dokter gigi.


b. Tenaga keperawatan mencakup perawat dan bidan.
c. Tenaga kefarmasian mencakup apoteker, analis, dan asisten
apoteker.
d. Tenaga kesehatan masyarakat mencakup epidemiolog
kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan,
penyuluh kesehatan, administrator kesehatan, sanitarian.
e. Tenaga gizi mencakup nutrisionis dan esisten.
f. Tenaga keterapian fisik mencakup fisioterapis, akupasiterafis,
terapis wicara.
g. Tenaga keteknisan medis, mencakup radiographer, radioterafis,
teknisi gizi, teknisi elektromedis, analis kesehatan,
refraksionis, optisien, otorik prostetek, teknisi transfusi,
perekam medik.

2. Hak, Kewajiban dan Kewenangan Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan mempunyai hak, kewajiban dan kewenangan

antara lain :9

a. Mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam


melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya;
b. Berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki;
c. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah;
d. Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib
melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak
hukum dengan biaya tanggung oleh negara;
e. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud tersebut didasarkan
pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang
keilmuan yang dimiliki.
f. Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan malpraktik
dalam menjalankan profesinya, malpraktik tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

3. Tanggung Jawab Hukum Keperdataan Atas Malpraktik

Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan

dibidang professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para

dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya,

9
Soekidjo Notoatmodjo, Op.cit., hlm. 106
10

misalnya kekhilafan melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan

perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan

terhadap pasien dengan teliti dan cermat.Pada umumnya, timbulnya suatu

gugatan adanya dugaan malpraktik medik adalah karena terjadinya suatu

peristiwa yang bersifat negatif. Dengan kata lain, terjadi suatu peristiwa

dimana setelah dilakukannya suatu tindakan medik, ternyata keadaan

pasien menjadi bertambah buruk, menderita kesakitan yang lebih hebat,

menjadi lumpuh, koma bahkan meninggal.10

a. Pengertian Malpraktik

Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan

praktik mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga

malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Definisi

malpraktik profesi kesehatan adalah malpraktik dari seseorang dokter

atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu

pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim

dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

dilingkungan yang sama.11

10
http://asnella.blogspot.co.id/2012/11/kasus-malpraktik-
medis.html?m=1, diakses pada Selasa 8 Desember 2015 pukul 9:45.
11
Rismalinda, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Trans Info Media,
Jakarta, 2011, hlm. 73.
11

b. Jenis-Jenis Malpraktik

Adapun jenis-jenis dari malpraktik yaitu sebagai berikut :12

1) Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah dokter melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan
etika kedokteran yang dituangkan dalam KODEKI merupakan
seperangkat standard etis, prinsip, aturan/norma yang berlaku untuk
dokter.Malpraktik etik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan
teknologi kedokteran.Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan
kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk
mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebih tepat
dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
2) Malpraktik Yuridik
Malpraktik yuridik tersebut dibedakan atas 2 macam yaitu :
1) Malpraktik perdata (civil malpraktik)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi
trapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan rugi kepada
pasien. Adapun isi dari tidak dipenunihnya perjanjian tesebut :
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib
dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melaksanakannya.
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar
hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
a) Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat);
b) Perbuatan tersebut melanggar hukum baik tertulis maupun
tidak tertulis;
c) Ada rugi;
d) Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan
yang melanggar hukum dengan rugi yang diderita;

12
Law Community, Mal Praktek dan Pertanggung Jawaban
Hukumnya,pada
:http://repository.usus.ac.id/bitstream/123456789/23439/4/chapter%201.pdf, diakses
pada Selasa 8 Desember 2015 pukul 15.03.
12

e) Adanya kesalahan.
Sedangkan untuk dapat menentukan pergantian rugi (ganti
rugi) karena malpraktik dokter, maka pasien harus dapat
membuktikan adanya 4 unsur berikut :
a) Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
b) Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang berlaku.
c) Penggugat (pasien) telah menderita rugi yang telah dimintakan
ganti ruginya.
d) Secara faktual rugi itu disebabkan oleh tindakan dibawah
standar.
Namun ada kalanya seorang pasien tidak perlu
membuktikan adanya malpraktik dokter. Dalam hukum kaidah
yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah
berbicara. Misalnya karena malpraktik dokter terdapat kain kasa
yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat
tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah
sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal
demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
malpraktik pada dirinya.
2) Malpraktik Administratif (Administrative Malpraktik)
Terjadi apabila dokter atau tenaga medis kesehatan lain
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi nega ayang
berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau
izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa
dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

c. Teori-Teori Malpraktik

Menurut Sri Siswati dalam buku berjudulEtika dan hukum

kesehatan dalam perspektif Undang-undang KesehatanAda tiga teori

menyebutkan sumber dari suatu perbuatan malpraktik, yaitu :13

1) Teori Perbuatan yang Disengaja (International Tort)


Teori kedua yang dapat dipakai oleh pasien sebagai dasar
menggugat dokter karena perbuatan malpraktik adalah
kesalahan yang dibuat sengaja (international tort), yang
mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cidera
2) Teori Malpraktik
Malpraktik yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya,

13
Sri Siswati, Etika dan hukum kesehatan dalam perspektif Undang-
undang Kesehatan, Raja grafindo persada, Jakarta, 2013, hlm 127-129.
13

selain itu malpraktik yang dimaksud harus termasuk dalam


kategori malpraktik yang berat (culpa lata).
3) Teori Pelanggaran Kontrak (Breach of Contract)
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan
malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak,
ini berprinsip bahwa secara hukum seorang dokter tidak
mempunyai kewajiban merawat seseorang bila mana
diantaranya keduanya tidak terdapat hubungan kontrak
antara dokter dan pasien.

d. Pengertian Ganti Rugi

R. Setiawan memberikan definisi tentang ganti rugi,

menurutnya ganti rugi adalah:

Rugi nyata yang terjadi karena wanprestasi.Adapun besarnya rugi

ditentukan dengan membandingkan keadaan kekayaan setelah

wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi

wanprestasi.14

Kemudian senada dengan itu, Yahya Harahapmengatakan

pengertian ganti rugi ialah:

Rugi nyata atau fietelijke nadeel yang ditimbulkan perbuatan

wanprestasi.15

Pengertian rugi yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H.

Nieuwenhuis Djasadin Saragihmengatakan :

Rugi adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang


disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang
melanggar norma oleh pihak yang lain. Yang dimaksud

14
Merry Tjoanda, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Jurnal Sasi, Vol 16 No. 4 Oktober-Desember 2010. hlm. 44.
15
Ibid, hlm. 44
14

dengan pelanggaran norma oleh nieuwenhuis disini adalah


berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.16

Senada yang dikemukakan oleh para ahli, ganti rugi dalam KUH

Perdata juga mengatur tentang ganti rugi, yakni terdapat dalam

ketentuan Pasal 1365, 1366, dan 1367.

Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa :

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa rugi


kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan rugi
itu karna kesalahannya untuk menggantikan rugi tersebut.

Selanjutnya dalam Pasal 1366 KUH Perdata menyatakan


bahwa :
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas rugi yang
disebabkan perbuatannya, melainkan juga atas rugi yang
disebabkan malpraktik atau kurang hati-hatinya.

Kemudian selanjutnya ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata

menyatakan :

Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk rugi yang


disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk rugi yang
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya.

e. Unsur-Unsur Ganti Rugi

Menurut Purwahid Patrik dalam buku yang berjudul : Dasar-dasar

Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari

Undang-Undang), rugi terdiri dari dua unsur:

1) Rugi yang nyata diderita (damnumemergens) meliputi


biaya dan rugi;

16
Ibid, hlm. 44
15

2) Keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans)


meliputi bunga;
Kadang-kadang rugi hanya merupakan rugi yang diderita saja,
tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur tersebut.17

f. Sebab-sebab Rugi

Menurut Nurhayati abas dalam bukunya Merry Tjoanda yang

berjudulWujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, Jurnal Sasi, ganti rugi harus memenuhi beberapa sebab:18

1) Harus ada hubungan kausal

Syarat pertama untuk membebankan rugi pada orang lain adalah

bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap

sebagai condicio sine que non rugi tersebut. Menurut teori ini suatu

akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat

ditiadakan untuk adanya akibat tersebut.

2) Harus ada adequate

Rugi adalah akibat adequate pelanggaran norma apabila pelanggaran

norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya rugi

demikian. Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan

sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk

menimbulkan akibat.

17
Ibid, hlm. 45.
18
Ibid, hlm. 46.
16

g. Malpraktik (Negligence)

Didalam konteks hukum medik istilah dan kasus malpraktik

dapat dikatakan memenuhi sebagian besar kepustakaan yang

menyangkut yurisprudensinya.

1) Pengertian Malpraktik

Malpraktik medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek

medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling

sering terjadi. Pada dasarnya malpraktik terjadi apabila seseorang

melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang

memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang

sama. Perlu diingat malpraktik yang dilakukan oleh orang-

perorangan bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum,

kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan

sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan rugi

atau cidera bagi orang lain.

Ada 5 macam bentuk malpraktik yang dikenal dalam

Bahasa Inggris sebagai berikut :

a) Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum

atau tidak tepat, misalnya melakukan tindakan medis tanpa

indikasi yang memadai.


17

b) Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat

tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat, misalnya melakukan

tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

c) Nonfeasance berarti tidak melakukan tindakan medis yang

merupakan kewajiban baginya.

d) Malpractice adalah suatu malpraktik atau tidak berhati-hati dari

seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesinya, misalnya

perawat, bidan, apoteker, dokter, akuntan, dan sebagainya.

(negligence or carelessness of a professional person, such as

nurse, pharmacist, physician, accountant, etc.)

e) Maltreatment adalah suatu perbuatan dengan cara

pelaksanaan/penanganan yang sembarangan, misalnya : tindakan

operasi yang dilakukan secara tidak benar/tidak terampil

(improrer or unskillfull treatment). Hal ini disebabkan oleh

ketidaktahuan, malpraktik atau tidak ada kehendak untuk bekerja

lebih baik (ignorance, neglect, or willfullness).

f) Criminal negligence adalah kejahatan dalam bentuk sikap yang

acuh tak acuh atau tidak perduli terhadap keselamatan orang lain

walaupun yang bersangkutan mengetahui bahwa tindakannya itu

bisa mengakibatkan cedera kepada orang lain.19

19
Anny Isfandyarie, Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter buku
1. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006. hlm. 227-228.
18

2) Unsur-Unsur Malpraktik

Terdapat 4 (empat) unsur untuk menyatakan suatu

perbuatan dianggap suatu malpraktik yakni:20

a) Duty to use due care (kewajiban)

Kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis

atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap

pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.

b) Dereliction of the duty (penyimpangan kewajiban)

Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal

yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-

kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya

dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar

tersebut harus hati-hati diinterprestasikan.

c) Damage atau rugi

Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai rugi akibat dari

pelayanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi

layanan.

d) Direct causal relationship (hubungan sebab akibat yang nyata)

Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara

penyimpangan kewajiban dengan rugi yang setidaknya

merupakan proximate cause.

20
https:/r4yna.wordpress.com/2009/11/10/kelalaian-medik/ di akses
Minggu 6 Desember 2015, Pukul 7:34.
19

3) Malpraktik dalam Aspek Keperdataan

Apabila malpraktik petugas kesehatan atau medis tidak

menyebabkan pelanggaran undang-undang artinya, akibat dari

malpraktik tersebut tidak menyebabkan orang cidera, cacat, atau

kematian.Pelanggaran perdata jelas sanksinya adalah etik yang diatur

oleh kode etik profesi.Perlu dijelaskan disini setiap profesi

mempunyai Kode Etik Profesi.Profesi kesehatan sendiri juga terdiri

dari berbagai macam profesi, misalnya dokter, dokter gigi, bidan

perawat, kesehatan masyarakat, sanitarian, dan sebagainya.Masing-

masing profesi kesehatan ini mempunyai perkumpulan atau ikatan

profesi seperti IDI, PDGI, IBI, IAKMI, HAKLI, dan

sebagainya.Para organisasi profesi semestinya mempunyai Kode

Etik profesi masing-masing. Setiap ada pelanggaran Kode Etik

Profesi dari setiap anggota profesi, maka masing-masing organisasi

profesi inilah yang akan memberikan sanksinya.21

4) Kesalahan dan Malpraktik Dokter

Tuntutan kesalahan dan malpraktik dokter, pada umumnya

dilakukan oleh pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan

atau pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter yang

merawatnya.Ketidakpuasan tersebut terjadi karena hasil yang dicapai

dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien dan

keluarganya.Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan pasien,

21
Soekidjo Notoatmodjo, Op.cit, hlm. 170
20

seringkali dianggap sebagai malpraktik atau kesalahan dokter dalam

melaksanakan profesinya.

Berkaitan dengan hal tersebut Haryani dalam Sengketa

Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan

Pasien, mengemukakan bahwa :22

Kaitan hubungan antara pasien dan dokter, penyebab dari


ketidakpuasan tersebut pada umunya karena kurangnya
komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama
terkait dengan masalah informed consent.Perselisihan
atau sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh
hariyani disebut dengan istilah sengketa medik.

Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang

sering dikemukakan pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik

ini adalah :23

a) Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan


alternatif yang bias dipilih pasien tidak disampaikan
secara jelas dan lengkap.
b) Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi
mulai dilakukan, terutama dalam hal tindakan medis
yang beresiko tinggi dengan kemungkinan adanya
perluasan dalam terapi atau tindakan medik.
c) Cara penyampaian informasi tidak memuaskan pasien,
karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan
informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin
didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.
d) Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk
menentukan pilihan atau alternatif pengobatan yang
telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak pasien
untuk menentukan dirinya sendiri (self determination)
diabaikan oleh dokter.
e) Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi
dari perawat (paramedis), padahal menurut hukum yang
berhak memberikan informasi adalah dokter yang
menangani pasien tersebut.

22
Haryani Safitri, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 56.
23
Anny Isfandyarie, Op.cit hlm. 219
21

D. Tanggung Jawab Hukum Tenaga Kesehatan

Ada tiga istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam

kamus hukum, yaitu :24

1. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua

karakter resiko atau tanggung jawab yang pasti yang bergantung atau yang

mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau

potensial seperti rugi, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang

menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian

dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggung

jawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan

oleh subyek hukum.

2. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan

kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-

undang yang dilaksanakan. Istilah responsibility menunjuk pada

pertanggungjawaban politik

3. Strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan

tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab

misalnya keadaan force majeure. Strict liability merupakan prinsip

tanggung jawab mutlak yang sering diidentikan dengan prinsip tanggung

24
Ridwan H.L., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hlm. 335-337.
22

jawab absolut dimana prinsip tanggung jawab absolut merupakan

tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Tanggung jawab hukum merupakan suatu hal yang sangat penting

untuk diterapkan di dalam masyarakat. Seperti yang terjadi dalam pelayanan

kesehatan yang dilakukan tenaga medis dalam memberikan pelayanan

terhadap pasien harus memiliki kedisiplinan agar tidak terjadi hal-hal yang

merugikan pasien yang mengakibatkan harus adanya pertanggung jawaban

dari malpraktik tenaga medis tersebut.

a. Pengertian Kedisiplinan Tindakan Medis

Kedisiplinan tindakan medis adalah sikap penuh kerelaan dalam

mematuhi semua aturan dan norma yang ada dalam menjalankan tugasnya

sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pelayanan kesehatan. Karena

dengan kedisiplinan akan berpengaruh terhadap kepuasan pasien dan

proses penyembuhan pasien.

b. Macam-macam Kedisiplinan

Adapun macam-macam dari kedisiplinan yaitu :25

1) Disiplin dalam menggunakan waktu

Maksudnya bisa menggunakan dan membagi waktu dengan baik.Karena

waktu amat berharga dan salah satu kunci kesuksesan adalah dengan

bisa menggunkan waktu dengan baik.Dan melakukan tugasnya tepat

waktu.

2) Disiplin diri pribadi

25
KTI Kebidanan dan KTI Keperawatan, Pengaruh Tingkat Kedisiplinan
Perawat Terhadap Pasien Di Rumah Sakit, 2011, hlm. 2.
23

Apabila dianalisi maka disiplin mengandung beberapa unsur yaitu adanya

sesuatu yang harus ditaati atau ditingalkan dan adanya proses sikap

seseorang terhadap hal tersebut. Disiplin diri merupakan kunci bagi

kedisiplinan pada lingkungan yang lebih luas lagi.

3) Disiplin sosial

Pada hakekatnya disiplin sosial adalah disiplin dari dalam kaitannya dengan

masyarakat atau hubungannya dengan pasien.

4) Disiplin dalam mengikuti aturan yang telah ditetapkan

Taat dengan penuh kesadaran terhadap peraturan-peraturan yang ditetapkan

oleh institusi tempat bekerja khususnya dirumah sakit.

c. Prinsip-Prinsip Disiplin

Untuk dapat menjalankan disiplin dengan baik dan benar maka

perlu untuk memperhatikan prinsip-prinsip disiplin sebagai berikut :26

1) Pemimpin mempunyai perilaku positif


2) Penelitian yang cermat
3) Kesegaran
4) Lindungi kerahasiaan
5) Fokus pada masalah
6) Peraturan dijalankan secara konsisten
7) Fleksibel
8) Mengandung nasihat
9) Tindakan konstruktif
10) Follow up (evaluasi)

d. Dimensi Disiplin

Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk

seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik. Disiplin adalah suatu

proses yang dapat menumbuhkan perasaan seseorang untuk

26
Ibid, hlm. 3.
24

mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara obyektif,

melalui kepatuhannya menjalankan peraturan.

Pelanggaran dimensi disiplin adalah pelanggaran yang dilakukan

terhadap standar profesi yang ditetapkan termasuk aturan pada institusi

tempat kerja.Praktik tenaga kesehatan adalah tindakan tenaga kesehatan

melalui kolaborasi dengan klien atau tenaga kesehatan lainnya dalam

memberikan asuhan perawatan kepada berbagai tatanan pelayanan

kesehatan yang dilandasi dengan substansi keilmuan khusus, pengambilan

keputusan dan keterampilan merawat berdasarkan aplikasi prinsip-prinsip

ilmu bologis, psikologi, sosial, kultural dan spiritual.Penilaian benar salah

dilakukan oleh majelis disiplin.Sanksi yang dikenakan berupa kewenangan

bekerja sampai pemberhentian sebagai profesi.27

27
Ibid, Hlm. 4.
25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah penelitian hukum normatif-empiris yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara mengkaji data yang diperoleh dari lapangan berupa data dari

narasumber, observasi ataupun responden dan mengkaji bahan pustaka atau

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier dari masing-masing hukum normatif. Semua data itu

kemudian dianalisis untuk ditarik suatu kesimpulan sesuai penelitian yang

dilakukan.

B. Metode Pendekatan

Penelitian hukum mengenal beberapa pendekatan yang digunakan

untuk mengkaji setiap permasalahan atau isu hukum yang sedang diteliti,

jenis-jenis pendekatan dalam penelitian hukum menurut Peter Mahmud dalam

bukunya yang berjudul Penelitian Hukum yakni :28pendekatan Undang-

Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan

historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative

approach), pendekatan konseptual (canseptual approach),selain jenis-jenis

pendekatan yang dikemukakan oleh Peter Mahmud, menurut Johnny Ibrahim

dalam bukunya yang berjudul Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

28
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Kencana,
Jakarta, 2011,hlm 91-95.
26

Normatif juga dikenal adanya pendekatanlain, yakni :29pendekatan analitis

(analytical approach) dan pendekatan filosofis (philosophical approach),

selain itupun menurut Soejono Soekanto untuk mengamati hukum dalam

masyarakat juga diperlukan adanya pendekatan sosiologis (sociological

approach).30

Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkutpaut dengan isu hukum yang sedang

ditangani.31

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hokum dengan mempelajari

pandang-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hokum relevan dengan isu yang

dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi hokum dalam memecahkan isu yang dihadapi.32

29
Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif,
cetakan ke-6,Bayumedia Publishing, Malang, 2012, hlm. 310.
30
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pres,
Jakarta, 2004, hlm. 25.
31
Ibid, hlm. 93.
32
Ibid, hlm. 95.
27

c. PendekatanSosiologis(Social Approach)

Proses perbandingan hokum untuk dapat mengetahui apakah terdapat konsep-

konsep hukum yang universal, dan apakah perbedan-perbedaan yang ada

merupakan suatu penyimpangan dari konsep-konsep yang universal ,oleh

karena kebutuhan masyarakat memang menghendakinya.33

C. Sumber dan Jenis Data

Dalam penelitian ini sumber dan jenis data yang digunakan oleh

penulis ada 2 macam yaitu:

1. Sumber data lapangan yaitu data-data yang diperoleh peneliti langsung

dari pihak pertama dengan terjun langsung kelapangan. Sumber data ini

terbagi menjadi :

a. Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari sumber asli tanpa

perantara. Data primer dapat berupa opini seseorang atau kelompok,

hasil observasi, atau hasil penelitian.Dalam hal ini peneliti

menggunakan informan yang ahli dibidangnya terkait penelitian ini

sebagai sumber data primer.

b. Data sekunder yakni sumber data yang diperoleh peneliti tidak secara

langsung melainkan lewat perantara dari sumberyang sudah ada

sebelumnya dalam hal ini peneliti menggunakan dokumen, arsip dan

hasil penelitian terdahulu sebagai data sekunder.

33
Ibid
28

2. Sumber kepustakaan atau bahan hukum adalah sumber yang diperoleh

oleh peneliti dari studi bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder,

tersier.

a. Bahan hukum primer adalah bahan pokok yang tidak dapat diganti dan

mutlak harus ada dalam hal ini adalah :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang TenagaKesehatan;

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

4) Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

5) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum pendukung yang

menjelaskan bahan hukum primer tadi, berupa buku-buku dan literatur

dari para ahli, dokumen-dokumen terkait, penelitian terdahulu, jurnal,

artikel maupun makalah terkait, dan informasi-informasi dari internet

menyangkut masalah yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan pelengkap yang mendukung kedua

bahan hukum lainnya berupa kamus, ensiklopedia, yang berkaitan

tentang hukum dan kesehatan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber hukum dan jenis data diatas, maka teknik

pengumpulan bahan hukum dan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :
29

1. Studi Kepustakaan (Liberary Research) yaitu bahan-bahan kepustakaan

dengan menelusuri, mengumpulkan dan menelaah bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder seperti peraturan perundang-undangan yang

terkait serta buku-buku yang terkait dengan masalah yang diteliti.

2. Studi Lapangan (Field Research) dikumpulkan dengan cara melakukan

observasi, penelusuran dokumen dan wawancara secara langsung dengan

informan dan responden.

E. Analisis Data

Dalam penelitian ini, Metode analisis data yang digunakan oleh

penulis adalah Analisis kualitatif , yaitu semua data yang telah terkumpul

diolah secara sistematis kemudian dianalisa untuk memperoleh data-data

yang sesuai dengan data yang dibutuhkan guna mendapatkan kejelasan

penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan ganti rugi kepada

pasien akibat malpraktik tenaga medis dalam melakukan tindakan medik.


30

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Tenaga Medis Kepada Pasien Apabila Terjadi Dugaan

Malpraktik Dalam Tindakan Medik Di RSUD SOEJONO Selong

Tenaga Kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat agar masyarakat mampu untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga

akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi

serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Kesehatan sebagai salah satu unsur dalam mewujudkan kesejahteraan

umum haruslah diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangka

pembangunan kesehatan secara merata dan terpadu salah satunya adalah

dengan pemberian pelayanan kesehatan secara maksimal oleh tenaga

kesehatan.

Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 dengan jelas menekankan bahwa setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan. Selanjutnya pada Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa negara

bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak. Ketentuan ini memiliki arti bahwa pemerintah
31

memiliki tanggung jawab dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi setiap

warga negaranya.

Hukum kesehatan mengatur hubungan hukum antara tenaga

kesehatan dengan pasien sebagai suatu hubungan hak dan kewajiban, prinsip

sederhananya hak satu pihak menjadi kewajiban pihak lain. Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut

Undang-Undang Tenaga Kesehatan) dalam Pasal 58 ayat (1) menyatakan

bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya berkewajiban

memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar

Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Oprasional, dan etika profesi serta

kebutuhan kesehatan penerima pelayanan kesehatan. Dalam Pasal 11 Undang-

Undang Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan kedalam 13

jenis, yakni :

1. Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:


a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga kesehatan lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis;
k. tenaga teknik biomedika;
l. tenaga kesehatan tradisional; dan
m. tenaga kesehatan lain
2. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas
dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
3. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
psikologi klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah psikologi klinis.
32

4. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga


keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri
atas berbagai jenis perawat.
5. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah
bidan.
6. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
7. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
f terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan
dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga
administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik
dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan
keluarga.
8. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
g terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan,
dan mikrobiolog kesehatan.
9. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas
nutrisionis dan dietisien.
10. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
keterapian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan
akupunktur.
11. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
keteknisian medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j
terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan, teknik
kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis
optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan
mulut, dan audiologis.
12. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
teknik biomedika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium
medik, fisikawan medik, radioterapi, dan ortotik prostetik.
13. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok Tenaga
Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
l terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga
kesehatan tradisional keterampilan. Tenaga Kesehatan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh
Menteri.
33

Dalam pemberian pelayanan kesehatan terjadi hubungan hukum

antara tenaga kesehatan dan masyarakat selaku pasien penerima layanan

kesehatan, tenaga kesehatan yang sering berhubungan langsung dengan pasien

adalah tenaga medis yakni dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi

spesialis, hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara

masing-masing pihak, dimana pasien berhak memperoleh pelayanan kesehatan

guna mendapatkan kesehatan atas suatu penyakit yang diderita, selain

menuntut hak dalam pelayanan kesehatan, pasien memiliki kewajiban untuk

membayar atas setiap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga medis,

dan begitu pula sebaliknya, tenaga medis memiliki hak untuk menerima

imbalan atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien, dan

tenaga kesehatan berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang

maksimal artinya bahwa pelayanan kesehatan diberikan haruslah sesuai

dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur

Oprasional, dan etika profesi.

Menurut hukum, hubungan antara pasien dan dokter sebagai tenaga

medis merupakan suatu perjanjian yang objeknya adalah pelayanan medis atau

yang dalam ilmu kesehatan dikenal dengan transaksi terapeutik, hal ini

sebagaimana yang dikemukan oleh Bahder Johan Nasution dalam bukunya

Desriza Ratman yang berjudul Mediasi Non Litigasi Terhadap Sengketa

Medis Dengan Konsep Win-Win Solution menyatakan bahwa:

Hubungan dokter dan pasien disebut sebagai transaksi terapeutik atau


kontrak terapeutik atau perjanjian terapeutik, yaitu hubungan hukum
yang melahirkan hak dan kewajiban yang sama bagi kedua belah
pihak. Berbeda dengan perjanjian pada umumnya dimasyarakat,
34

perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri khas tersendiri, yaitu


berbeda pada objek perjanjiannya. Pada hukum perdata terdapat dua
jenis perjanjian, yaitu resultaats verbintenis yang merupakan
perjanjian berdasarkan hasil serta inspannings verbintenis dimana
objek perjanjiannya adalah upaya maksimal dan perjanjian terapeutik
termasuk di dalam inspannings verbintenis, sehingga pada
pengobatan atau perawatan kesehatan, sembuh atau tidak sembuhnya
pasien bukanlah suatu prestasi (objek yang dijanjikan) tetapi dilihat
dari proses atau upaya yang telah dilakukan dokter, apakah sudah
sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi serta standar
operasional prosedur.34

Dasar hubungan hukum antara dokter dengan pasien dan rumah sakit

adalah berdasarkan KUH Perdata Buku III tentang perikatan.35 Objek hukum

dalam hubungan dokter, rumah sakit, dan pasien dapat berupa upaya untuk

memelihara kesehatan, pencegahan penyakit, meningkatkan kesehatan,

pemulihan kesehatan, dan pengobatan penyakit.36 Perjanjian antara pasien dan

tenaga medis tetaplah harus mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata

bahwa perjanjian harus disertai kesepakatan para pihak, yakni pihak pasien

menyatakan kesepakatannya untuk menerima pelayanan kesehatan dari tenaga

medis yang bersangkutan, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan

artinya yang pasien yang membuat perikatan untuk menerima pelayanan dari

tenaga medis haruslah dewasa atau cakap, jika pasien adalah anak dibawah

umur, maka haruslah diwakilkan oleh orang tua atau walinya, suatu hal

tertentu, dalam hal ini yang menjadi objek perjanjian dalam hubungan hukum

34
Desriza Ratman, Mediasi Non Litigasi Terhadap Sengketa Medis
Dengan Konsep Win-Win Solution, Elex Media Komputerindo, Jakarta, 2012,
hlm.21.
35
Tri Tutik Wulan, Hukum Perdata Dalam system Hukum Nasional,
Intermasa, Jakarta, 2008, hlm. 22.
36
Desriza Ratman, Op Cit, hlm. 23
35

pasien dan dokter selaku tenaga medis adalah pemberian pelayanan

medis kepada pasien.

Apabila dokter tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam

memberikan pelayanan medis yang telah disepakati, maka dokter dapatlah

dituntut oleh pasien karena telah gagal atau tidak sempurna dalam melakukan

tindakan medis yang telah disepakati bersama atau yang dalam hukum lebih

dikenal dengan istilah wanprestasi atau ingkar janji sebagaimana diatur dalam

Pasal 1239 KUH Perdata, dan jika dokter dianggap menimbulkan kerugian

bagi pasien karena melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Pada

umumnya perbuatan melawan hukum berupa malpraktik yang bersifat

kesalahan yang mengakibatkan pelanggaran dalam memberikan pelayanan

medis sehingga mengakibatkan cedera atau kerugian yang membahayakan

pasien berupa cacat, memperburuk keadaan pasien, atau bahkan

mengakibatkan pasien yang ditangani meninggal dunia, dan kondisi inilah

yang bisa menjadi pemicu terjadinya sengketa dibidang medis, atau yang lebih

dikenal dengan sengketa medis.

1. Tanggung Jawab Tenaga Medis Secara Individu

Undang-Undang tentang Kesehatan, mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan masalah malpraktik tenaga kesehatan pada Pasal 29 dan

Pasal 58. Pasal 29 menentukan bahwa :

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan malpraktik dalam


menjalankan profesinya, malpraktik tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi.
36

Pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa :

Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga


kesehatan dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau malpraktik dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa penuntutan ganti

kerugian ini, baik sebagai diakibatkan karena kesalahan (kesengajaan)

ataupun karena malpraktik dalam pelayanan kesehatan, dan penuntutan

ditujukan kepada seseorang, tenaga kesehatan maupun kepada pihak

penyelenggara kesehatan (rumah sakit). Sementera itu berdasarkan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit

menyatakan bahwa, penuntutan kerugian hanya ditujukan kepada pihak

rumah sakit, yang diakibatkan secara khusus karena malpraktik tenaga

kesehatan di rumah sakit.

Dengan demikian dapat ditafsirkan, bahwa kerugian yang

diakibatkan oleh kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit, maka tidak

dapat dilakukan penuntutan yang ditujukan kepada rumah sakit. Pihak

rumah sakit tidak akan bertanggung jawab jika kerugian tersebut karena

kesalahan dalam arti kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit. Tenaga

kesehatan yang melakukan malpraktik dapat disebut dengan melakukan

malpraktik.

Malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa

malpraktik dibidang medik dan malpraktik medik. Dikatakan melakukan

Malpraktik di bidang medik, yaitu perbuatan malpraktik berupa perbuatan

kelakuan buruk (misconduct) yang dilakukan tenaga kesehatan ketika ia


37

menjalankan profesinya di bidang medik, sedangkan malpraktik medik

yaitu malpraktik yang berupa adanya kegagalan (failure) dalam

memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Di lain pihak, bentuk-

bentuk malpraktik tenaga kesehatan terdiri malpraktik kriminal (criminal

malpractice), malpraktik perdata (civil malpractice) dan malpraktik

administrasi (administrative malpractice).

Dalam hal pertanggungjawaban atas pelayanan medis, yang mana

pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang

terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga medis yang dimaksud

adalah dokter, yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam

menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada masyarakat

atau pasien. Jika dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan

mengakibatkan kerugian dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak

langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai tanggung jawab terlebih

dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter itu

sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja

ataupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang

dilakukan oleh para medis tersebut khusus dokter yang melakukan,

biasanya pihak rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya.

Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat dikenakkan sanksi.

Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah

sakit, ada dua tenaga yaitu : tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan

Swasta. Di dalam melaksanakan tugas profesinya, baik tenaga dari PNS


38

ataupun swasta mempunyai perbedaan dalam tanggungjawab. Terhadap

tenaga kesehatan (dokter) dari PNS yang melakukan

kesalahan/malpraktik dalam tindakan medis, biasanya dokter tersebut

diberikan sanksi berupa pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau

pemberhentian sementara, bahkan pemberhentian tidak dengan hormat

jika dianggap pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran disiplin

tingkat berat. Hal ini sesuai dengan peraturan disiplin PNS yang tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sedangkan terhadap dokter

swasta, dalam hal melakukan kesalahan/malpraktik biasanya sanksi yang

dijatuhkan berupa diberhentikan dirumah sakit tempat ia bekerja sesuai

dengan kesepakatan dalam kontrak kerjanya. Dan akibat dari kesalahan

dokter atau para medis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien

akan menjadi beban bagi pihak rumah sakit.

Pemberian sanksi juga diatur dalam ketentuan pasal 54 (1) UU

No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yaitu :

terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau


malpraktik dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakkan
tindakan disiplin.

Mengenai tanggung jawab diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata

sebagai penjabaran lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada

dibawah tanggung jawabnya. Masalah tanggung jawab hukum perdata ini


39

membawa akibat bahwa yang bersalah (yaitu menimbulkan kerugian

kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi.

Tanggung jawab dilihat dari segi hukum perdata mengandung

beberapa aspek, yaitu dapat ditimbulkan karena wanprestasi, karena

perbuatan melanggar hukum. Kedua aspek tersebut dapat timbul baik

karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang atau juga

karena kurang hati-hatinya menyebabkan cacat badan. Akibat perbuatan

yang mengakibatkan kerugian tersebut terbawa oleh karena sifat daripada

perjanjian yang terjadi antara dokter dengan pasien merupakan suatu

perjanjian yang disebut perikatan daya upaya atau inspannings

verbintenis. Yaitu suatu perjanjian yang harus dilaksanakan dengan

teliti dan penuh hati-hati (inspannings), dengan demikian si dokter

berusaha sesuai dengan skill dan kompetensi yang dimilikinya untuk

menyembuhkan atau meringankan penderitaan pasien. Dalam hal ini

tidak akan dilihat bagaimana hasil yang diupayakan oleh dokter tersebut,

artinya apakah pasien sembuh atau tidak bukan menjadi tanggung jawab

dokter. Dokter hanya sebatas berusaha sesuai dengan kemampuan dan

standar yang digariskan atas profesinya. Sehingga apabila terjadi

ketidaksembuhan, maka dokter secara tidak dapat dituntut selama

hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau

yang dikenal dengan resultaat verbintenis.

Dalam hal terjadinya perjanjian tentang hasil dari apa yang

upayakan oleh dokter terhadap pasien, yaitu berkaitan dengan


40

kesembuhan pasien. Sehingga apabila tidak ada hasil dari upaya yang

telah dilakukan oleh dokter, maka dokter tersebut dapat dituntut secara

hukum. Dalam kenyataannya yang sering terjadi dalam hal hubungan

medis dokter dan pasien adalah bentuk perjanjian inspanning

verbintenis yang biasanya hanya dilakukan secara lisan. Meski demikian

secara etika dokter tetap bertanggung jawab atas pelayanan profesinya.

Bila tenaga medis (dokter) terbukti melakukan malpraktik

karena kasus culpa (tidak berhati-hati), menurut Black dalam buku yang

berjudul Perlindungan Hukum Bagi Pasien, culpa terdiri dari tiga

tingkatan: 37

a. Pertama, Culpa lata, yaitu malpraktik sebagai akibat dari sangat tidak
berhati-hati, kesalahan serius, atau sembrono (gross fault or neglcet).
b. Kedua, culpa levis, yaitu malpraktik yang lahir sebagai akibat dari
kesalahan biasa ( ordinary fault or neglect).
c. Ketiga, culpa levissima, yaitu malpraktik yang timbul sebagai akibat
dari kesalahan ringan (slight fault or neglect).

Selanjutnya menurut Black, sebagai suatu kesalahan culpa

mengandung 2 (dua) unsur ataupun persyaratan, yaitu :38

a. Kurang hati-hati, kurang waspada dan kurang voorzichtig.


b. Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (kurang dapat
voorzien). Suatu hubungan kausal yang lebih merupakan kesalahan
profesi dokter, dan dapat dipertanggungjawabkan karena tidak
memenuhi kewajiban dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum.

Dasar penututan terhadap dugaan terjadinya malpraktik dapat kita

lihat dari definisi malpraktik, yaitu adalah malpraktik dari seseorang

37
Titik Triwulan Tutik, SH., MH dan Shinta Febriana, S.Ked,
Perlindungan Hukum bagi Paien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 56-57.
38
Ibid
41

dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu

pengetahuan yang dimilikinya dalam mengobati dan merawat pasien, yang

lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut

ukuran di lingkungan yang sama.

Dari definisi tersebut malpraktik harus dibuktikan bahwa apakah

benar telah terjadi malpraktik tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu

pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan

diwilayah tersebut. Andai kata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi

apakah bukan merupakan risiko yang melekat terhadap suatu tindakan

medis tersebut karena perikatan dalam transaksi terapeutik antara tenaga

kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya

(inspannings verbintenis) dan bukan perjanjian-perjanjian akan hasil

(resultaan verbintenis).

Apabila tenaga-tenaga kesehatan didakwa telah melakukan

kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa

saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan

tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan

criminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan

tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang diatur

dalam KUHP. Terdapat peraturan-peraturan pidana lainnya bersangkutan

dengan kesalahan/malpraktik dari seorang dokter/tenaga kesehatan seperti

pasal 351, 356 KUHP mengenai penganiayaan, dimana penganiayaan

tersebut dianalogikan dengan sengaja merusak kesehatan dan pasal 359,


42

360 dan 378 KUHP mengenai tindak penipuan, serta pasal 512 KUHP

mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.

Jika pasal 322 KUHP dapat mempidanakan seorang dokter karena

melanggar kewajibannya untuk merahasiakan apa yang menjadi

pengetahuannya, maka Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut disebut

pula Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1975 dimana Menteri

Kesehatan dapat mengambil tindakan administratif terhadap seorang

dokter, yang tidak dapat dipidanakan berdasarkan pasal 322 KUHP.

Meski demikian secara yuridis semua kasus culpa dapat diajukan

ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan

pembuktian berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent.

Bila dokter terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan

sudah memenuhi informed consent maka ia tidak dipidana atau diputuskan

bebas membayar ganti kerugian.

Mengenai tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut Pasal

1365 KUHPerdata, pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya

sebagaimana telah disebutkan diatas, akan tetapi terdapat juga suatu

ketentuan hukum yang menentukan bahwa apabila kerugian ditimbulkan

karena kesalahan sendiri, ia harus menanggung kerugian tersebut. Dari

rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak yang dirugikan cukup

membuktikan bahwa kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan

pelaku.

Dasar tuntutan dari pihak pasien (konsumen) dapat dilihat dalam


43

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yaitu pasal 55,

bahwa :

1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau malpraktik
yang dilakukan tenaga kesehatan
2) Ganti rugi sebagaimana diatur maksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dari ketentuan pasal tersebut maka dari pihak paramedis

diharuskan berhati-hati didalam melakukan tindakan medis yang mana dari

pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan tersebut. Dalam

konsep dan teori dalam ilmu hukum, perbuatan yang merugikan tersebut

dapat lahir karena:

1) Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat,

yang pada umumnya dikenal dengan istilah (wanprestasi); atau

2) Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal

dengan perbuatan melawan hukum.

Instrumen hukum lain yang dapat dijadikan referensi dalam

menjatuhkan sanksi terhadap malpraktik pelayanan medis adalah :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

dan;

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.

Menurut UU perlindungan konsumen sanksi terhadap pelaku usaha

dapat berupa sanksi administrasi (Pasal 60), sanksi pidana (Pasal 61, dan

62) dan sanksi perdata (Pasal 63). Berdasarkan rumusan ketentuan

tersebut, maka dalam perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa

yang mana merasa dirugikan oleh dokter ataupun pihak rumah sakit, dan
44

tindakan tersebut menimbulkan suatu kerugian yang tidak sedikit ataupun

dari tindakan tersebut menimbulkan kematian, maka dalam hal ini si

pelanggar hukum masih tetap berwajib memberi ganti rugi.

2. Tanggung Jawab Hukum Tenaga Medis Secara Kolegial

Dalam melaksanakan tuganya tidak selamanya pelayanan medik

yang diberikan oleh tenaga medis dalam rumah sakit dapat memberikan

hasil sebagaimana diharapkan oleh semua pasien adakalanya layanan

tersebut justru menimbulkan malapetaka, seperti cacat seumur hidup,

lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia.

Ganti kerugian dalam Undang-Undang Kesehatan dimaksudkan

untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat yang

timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik ialah berupa kerugian

karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ

tubuh, yang dalam bahasa hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan

kerugian non fisik adalah kerugian yang berkaitan dengan martabat

seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel.

Dalam pemberian pelayanan di rumah sakit tidak hanya dokter dan

pasien sajalah yang memiliki hubungan hukum, namun juga terjadi

hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit maupun hubungan

hukum antara dokter dengan rumah sakit, sehingga dalam hal terjadinya

malpraktik yang menuntut adanya ganti kerugian maka untuk menentukan

pihak yang dikenakan tanggung jawab terlebih dahulu yang harus kita
45

perhatikan adalah :

a. Hubungan Teraupetik antara pasien dan dokter

b. Hubungan kerja antara dokter selaku tenaga medis dengan rumah sakit

Dari hubungan-hubungan hukum inilah kita dapat menentukan

pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi kelalalian di rumah sakit.

Dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien bukan hanya dokter

saja yang ikut berperan dalam usaha penyembuhan pasien, namun terdapat

tim dalam rumah sakit yang turut andil dalam usaha pemberian pelayanan

maksimal kepada pasien, Anggota tim kesehatan meliputi : pasien,

perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan

apoteker. Setiap anggota tim memiliki hubungan atau keterikatan antara

satu dengan yang lainnya, misalnya dalam penanganan pasien rawat inap,

dokter tidak hanya merawat pasien seorang diri, namun turut di bantu oleh

perawat yang bertugas dalam memantau kesehatan pasien, ahli gizi yang

turut membantu dalam menentukan menu makanan yang sesuai dengan

penyakit yang di derita oleh pasien, dan terkadang dokterpun dibantu atau

saling berkerja secara kolegial dengan rekan sesama dokter lainnya,

misalnya dalam kegiatan operasi atau penangan penyakit komplikasi yang

diderita oleh pasien.

Dalam pemberian pelayanan kesehatan secara kolegial yang

diberikan oleh tenaga kesehatan dalam rumah sakit tidak hanya menuntut

dokter saja yang harus berusaha dalam kesembuhan pasien namun dokter

dan tenaga kesehatan lainnya dalam pemberian asuhan kesehatan kepada


46

pasien memiliki hubungan kemitraan (partnership) yang lebih mengikat

dimana diperlukan adanya harmonisasi, peran dan tanggung jawab

bersama.

Sebagaimana American Medical Association (AMA), 1994,

menyebutkan kolaborasi yang terjadi antara dokter dan perawat, dan

tenaga kesehatan lain dimana mereka merencanakan dan praktek bersama

sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan

lingkup praktek mereka dengan berbagai nilai-nilai yang saling mengakui

dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat

individu, keluarga dan masyarakat.39

Hubungan antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya,

khusunya perawat juga memiliki hubungan hukum yang dapat terjadi

karena rujukan atau pendelegasian yang diberikan oleh dokter kepada

perawat, dalam hubungan rujukan, perawat dapat melakukan tindakan

sesuai dengan keputusannya sendiri. Sementara pada hubungan delegasi,

tenaga keperawatan tidak dapat mengambil kebijaksanaan sendiri tetapi

melakukan tindakan sesuai dengan delegasi yang diberikan oleh dokter.40

Pada praktiknya, perawat dapat melakukan tindakan kedokteran di

bawah pengawasan dokter. Adanya pendelegasian penanganan dari dokter

kepada tenaga perawat, secara yuridis dan moral membebankan tanggung

jawab pada dokter karena yang dilakukan oleh perawat merupakan

39
Basuki dan Endang. Komunikasi antar Petugas Kesehatan. Majalah
Kedokteran Indonesia : 2008. Vol.58. No.9.
40
Ohoiwutun dan Triana, Bunga Rampai Hukum Kedokteran.
Bayumedika, yogyakarta, 2008, hlm. 7.
47

instruksi dokter. Di samping itu, perawat yang menerima pendelegasian

dari dokter juga bertanggung jawab apabila tindakan yang dilakukannya

tidak sesuai dengan instruksi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa

tetap tanggung jawab utama ada berada pada tangan dokter, sedangkan

perawat hanya menjalankan tugas yang diberikan padanya.41

Dalam bekerja secara tim antara dokter dan tenaga kesehatan tentu

akan menimbulkan hubungan hukum, dimana akan pula menimbulkan hak

dan kewajiban bersama, dengan adanya hak dan kewajiban bersama antar

tenaga kesehatan inilah yang menimbulkan adanya tanggung jawab secara

kolegial apabila terjadi malpraktik atau sesuatu hal yang menimbulkan

kerugian bagi pasien. Tanggung jawab kolegial disini memiliki arti bahwa

dalam bekerja secara tim, setiap individu tenaga kesehatan haruslah

bertanggung jawab kepada satu dengan yang lainnya, misalnya dokter

bertanggung jawab kepada pasien, perawat, ahli gizi, fisioterapi atas

tindakan atau anjuran yang diberikannya atas diagnosa yang telah

dilakukan, perawat bertanggung jawab terhadap dokter yang

mengintrsuksikan tindakan, ahli gizi bertanggung jawab terhadap menu

makanan yang dianjurkan oleh dokter, tim fisioterapi bertanggung jawab

atas diagnosis yang dilakukan dokter.

Apabila dalam pemberian pelayanan kesehatan terjadi malpraktik

yang mengakibatkan kerugian terhadap pasien, maka tim tenaga kesehatan

yang turut andil dalam pemberian pelayanan kesehatan dituntut

41
Ibid, hlm 8.
48

pertanggung jawabannya secara kolegial. Misalnya, dalam kasus alergi

makanan yang memperburuk keadaan pasien, maka tim yang turut

menangani pasien tersebut haruslah betanggung jawab secara bersama

dalam mencari dan menemukan penyebab alergi tersebut, apakah ahli gizi

yang bersalah karena menyiapkan makanan yang tidak sesuai dengan

anjuran dokter atau dokter yang salah dalam memberikan anjuran. Jika ahli

gizi telah melakukan segala sesuatu sesuai dengan anjuran dan standart

yang ada maka dokter yang memberikan anjuranlah yang harus

bertanggung jawab, namun apabila ahli gizi tidak menjalankan tugasnya

sesuai standart dan ajuran dokter maka ahli gizi tersebutlah yang harus

bertanggung jawab.

Hubungan kerja antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang

bersifat kolega inilah yang menuntut setiap individu dalam tim harus dapat

bertangganggung jawab secara kolegial, hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Guwandi yakni ada beberapa kelompok personil yang

secara yuridis harus bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan di

Rumah Sakit, yaitu :42

a. Manajemen Rumah Sakit sebagai organisasi yang dimiliki badan


hukum tertentu sebagai owner dari Rumah Sakit yang
bersangkutan (Pemerintah, Yayasan, P.T., Perkumpulan) yang
pada instansi diwakili oleh Kepala RS/Direktur.
b. Para dokter yang bekerja di rumah sakit,meliputi; Dokter tetap
dan Dokter tamu ( independent contractor ).
c. Para perawat.
d. Para tenaga kesehatan lainnya.
e. Tenaga non Medis ( Tenaga administrasi, kebersihan dll ).

42
J. Guwandi , Hukum dan Dokter, Sagung seto, Jakarta, 2007,
hlm 46.
49

Berkaitan dengan pertanggung jawaban secara kolegial, hal ini juga

di atur dalam Kode Etik Kedokteran Penjelasan Pasal 18 tentang

Menjunjung Tinggi Kesejawatan yang meyatakan bahwa :

Sesama dokter sebagai sejawat sebenarnya ingin saling diperlakukan


sama oleh teman sejawatnya (golden rule). Konteks kesejawatan
dalam hal ini adalah kesetaraan hubungan antar sejawat, tidak ada
salah satu yang diduga berperilaku menyimpang. Makna berikutnya
ialah agar setiap dokter menahan diri untuk tidak membuat sulit,
bingung, kecewa/marah sejawatnya sehingga terwujud organisasi
profesi yang tangguh dengan tradisi luhur pengabdi profesi sebagai
model panutannya. Contoh : Hindari perbuatan tidak kolegial :
Perbuatan sangat tidak kolegial, ialah bila seorang dokter mengejek
teman sejawat dan mempergunjingkan dengan pasien atau orang
lain tentang perbuatannya yang dianggap kurang benar.

Dan dapat dilihat pula dalam penjelasan cakupan Pasal 18 Kode

Etik Kedokteran huruf j yang menyatakan bahwa :

Seorang dokter yang melihat teman sejawatnya membuat


kekeliruan dalam pekerjaannya, maka teman sejawat yang
mengetahui hal tersebut seyogyanya mengingatkan yang
disampaikan dalam suasana kesejawatan secara pribadi maupun
kolegial, dan Dokter yang keliru harus menerima nasihat atau
teguran dengan lapang dada .

Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa antar sesama tenaga medis

dalam menjalankan atau memberikan pelayanan medis memiliki tanggung

jawab untuk saling mengingatkan apabila sesama profesi dokter maupun

tenaga kesehatan lain apabila berbuat kesalahan, sebagai contoh : Dalam

kegiatan operasi, bukan hanya satu orang dokter saja yang menjalankan

kegiatan operasi, biasanya dokter di bantu oleh rekan sesama dokternya

yang bertindak sebagai asistent dan para perawat lainnya, apabila selama

kegiatan operasi tersebut dokter menemukan adanya malpraktik atau


50

kesalahan yang dilakukan oleh rekan sejawatnya, maka dokter yang

bersangkutan memiliki tanggung jawab untuk memberikan teguran, dan

arahan agar tidak menimbulkan kerugian atau kesalahan yang lebih besar

dan apabila dokter tersebut tidak memberikan arahan dan teguran padahal

itu adalah kewajibannya, maka dapat dikatakan bahwa dokter yang

bersangkutan telah melanggar kode edik kedokteran dan dapat dikenakan

sanksi sesuai dengan sanksi yang ditentukan dalam kode etik kedokteran

maupun dikenakan sanksi sesuai dengan besarnya kerugian yang timbul

akibat tidak dicegahnya tindakan itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1367

KUH Perdata.

3. Proses Pertanggung Jawaban Tenaga Medis Dalam Sengketa Medik

Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan

kesehatan, pasien atau penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut

haknya, yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan

dalam hal ini rumah sakit dan dokter /tenaga kesehatan. Dokter/tenaga

kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung jawab hukum,

apabila melakukan malpraktik/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi

pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat

menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability), dalam

hal dokter berbuat kesalahan/malpraktik. Dokter tidak dapat berlindung

dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/malpraktik

dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien memimbulkan hak

bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.


51

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai penerima

(konsumen) jasa pelayanan kesehatan dan pemberi (produsen) jasa

pelayanan kesehatan, diantaranya pada pasal 53, 54 dan 55 (UU No.

23/1992). Jika terjadi sengketa antara para pihak dalam pelayanan

kesehatan, maka untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan harus

mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta prosesnya

melalui lembaga pengadilan, mediasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal terjadi sengketa antara

pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan (jasa YANKES) dengan konsumen

jasa pelayanan kesehatan (jasa YANKES), tersedia 2 (dua) jalur, yaitu

jalur litigasi yaitu penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan dan jalur

nonlitigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan. Proses

penyelesaian dari perselisihan kesalahan dan atau malpraktik kesehatan,

dapat dilakukan diluar pengadilan dan di pengadilan berdasarkan

keinginan para pihak yang berselisih menyangkut masalah kesehatan.

Penyelesaian yang sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar

pengadilan dengan sistem : Alternative Dispute Resolution (ADR).43

Profesi kedokteran memang banyak berkaitan dengan problema

etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik antara pemberi

jasa pelayanan kesehatan dengan penerima jasa pelayanan kesehatan,

karena itu dibutuhkan suatu wadah/lembaga yang khusus dapat menjadi

43
Ibid, hlm. 63-64.
52

penyaring untuk menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa pelayanan

kesehatan (rumah sakit, dokter, dan tenaga kesehatan) dan penerima jasa

pelayanan kesehatan (pasien).

Salah satu lembaga yang juga bisa dilaksanakan adalah

Ombudsman yang melibatkan orang luar agar peradilan sengketa antara

dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dengan pasien dapat diberlakukan

secara adil dan dapat dipercaya semua pihak yang terlibat dalam sengketa

kesehatan. Lembaga dengan sistem Ombudsman sudah dilaksanakan

diberbagai negara, dan indonesia dapat mengadopsi untuk menentukan

bahwa pelayanan kesehatan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang

yang ada dan masih berlaku,

Beberapa hal harus diperhatikan dalam penyelesaian sengketa

dengan model Ombudsman, yaitu :

1) Ombudsman tidak akan mempertimbangkan suatu pengaduan, jika

proses hukum (legal proceedings) tengah ditempuh.

2) Peran utama Ombudsman, sesuai yurisdiksinya, yaitu: mengupayakan

perbaikan pelayanan kepada pihak yang diadukan/pelaku usaha.

3) Keputusan Ombudsman terbatas pada rekomendasi yang berupa

langkah-langkah tertentu yang perlu diambil untuk memperbaiki

perilaku pelaku usaha (business practice).

Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan

pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi

hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Oleh sebab
53

itu, tidak digunakan istilah sengketa transanksi konsumen karena yang

terakhir ini terkesan lebih sempit, yang hanya mencakup aspek hukum

keperdataan.

Tanggung jawab tenaga medis apabila melakukan malpraktik

tindakan medik yakni dapat digambarkan melalui tahapan-tahapan sebagai

berikut:

Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh RSUD SOEJONO

Laporan Pasien Tentang Adanya


Malpraktik Dalam Pelayanan Medis

Rumah Sakit Menerima Laporan Tentang


Adanya Dugaan Malpraktik Dalam
Pelayanan Medis

Audit Yang Dilakukan Oleh Bagian SMF


(Menemukan Bukti Apakah Benar
Terjadi Malpraktik Atau Tidak)

Tidak Terbukti Adanya


Terbukti Adanya Malpraktik
Malpraktik Medis Dalam
Medis Dalam Tindakan Medik
Tindakan Medik Oleh Tenaga
Oleh Tenaga Medis
Medis
Komite Medik Memanggil
Tenaga Medis Yang
Bersangkutan

Dilaksanakan Sidang Etik


(Memberikan Sanksi Terhadap
Tenaga Medis Yang
Bersangkutan)

Selongapabila adanya laporan terkait malpraktik yang dilakukan oleh

tenaga medis dalam melakukan tindakan medik yakni :44

1. RSUD SOEJONO Selong menerima pelaporan terkait adanya

44
Hasil wawancara dengan Bapak Shalikin, S.KM., MPH, Sub Bag.
Humas dan Kemasyarakatan RSUD Provinsi NTB, Senin, 7 Maret 2016.
54

malpraktik atas tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis

dalam lingkungan RSUD SOEJONO Selong, pelaporan ini dapat

diterima melalui beberapa cara, yakni melalui contact center, SMS

center, atau melalui kotak saran yang telah disediakan di RSUD

SOEJONO Selong, atau juga dapat melaui bagian pelayanan rumah

sakit. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di RSUD SOEJONO

Selong, ada pelaporan yang langsung diajukan oleh pihak pasien

kepada pihak Kepolisan, Ombudsman, atau langsung membawa

wartawan, terkait hal tersebut RSUD SOEJONO Selongakan tetap

memproses setiap bentuk pelaporan atau pengaduan yang ada terkait

segala hal yang dialami oleh pasien selama menerima perawatan di

RSUD SOEJONO Selong

2. Pihak RSUD SOEJONO Selongmenidak lanjuti laporan yang telah

diajukan oleh pihak pasien yang merasa dirugikan selama menerima

perawatan di RSUD SOEJONO Selong, tindak lanjut dari pelaporan

yang diterima yakni dengan melakukan audit internal yang dilakukan

oleh Staf Medis Fungsional (SMF) untuk mengumpulkan keterangan,

ataupun bukti terkait adanya dugaan malpraktik yang dilakukan oleh

tenaga medis di lingkungan RSUD SOEJONO Selong. Dalam proses

audit yang dilakukan, bukan hanya tenaga medis yang menerima

pelaporan saja yang dimintakan keterangan atau diperiksa melainkan

dari pihak pasien yang mengajukan laporan. Dalam kasus yang terjadi

di RSUD SOEJONO Selongmelalui proses audit inilah diketahui


55

bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh tenaga medis telah sesuai

dengan Standar Oprasional Prosedur (SOP) hanya saja pihak pasien

merasa tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis tidak sesuai

atau menimbulkan kerugian. Melalui proses audit dikumpulkan

berbagai macam keterangan, baik rekam medik, pemberian obat

selama dirumah sakit, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tenaga

medis terhadap pasien maupun bukti-bukti pendukung lainnya.

3. Jika dalam proses audit ditemukan bukti bahwa tenaga medis yang

bersangkutan benar melakukan malpraktik dalam tindakan medik,

maka akan dilakukan pemanggilan secara personal oleh komite Etik,

dan komite medik akan melakukan sidang etik terhadap tenaga medis

yang bersangkutan, dan dalam melakukan tugasnya komite medik

bertanggung jawab kepada Direktur Utama rumah sakit. Dalam sidang

etik akan diberikan sanksi kapada yang bersangkutan apabila terbukti

melanggar SOP sebagai seorang tenaga medis, pemberian sanksi ini

disesuaikan dengan kerugian yang timbul atas tindakan medik yang

dilakukannya, apabila sampai mengakibatkan hilangnya nyawa pasien,

maka pertanggung jawabannya secara pidana, dan apabila hanya

menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka pertanggung

jawabannya secara perdata, yakni membayar ganti kerugian akibat

kerugian yang timbulkan atas malpraktiknya dalam melakukan

tindakan medik, selain pertanggung jawaban secara personal terhadap

pasien, yang bersangkutan juga akan diberikan sanksi berupa :


56

teguran, penurunan jabatan, pemecatan, dan dicabut ijin prakteknya.

4. Apabila tidak ditemukan bukti adanya kelalain yang dilakukan oleh

tenaga medis, maka tenaga medis yang bersangkutan terlepas dari

semua tuntutan yang diajukan kepadanya, baik itu tuntutan pidana,

administratif maupun tuntutan ganti kerugian, namun untuk tetap

menjaga agar tidak terjadi peristiwa yang sama maka terhadap tenaga

medis yang bersangkutan oleh pihak rumah sakit diberikan pelatihan

(Service Excellence), tindakan tersebut dilakukan oleh rumah sakit

guna tetap memaksimalkan pelayanan di rumah sakit.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian

sengketa konsumen memiliki kekhasan, sehingga para pihak yang

bersengketa, dalam hal ini pihak konsumen, dapat menyelesaikan sengketa itu

mengikuti beberapa lingkungan peradilan ataupun memilih jalan penyelesaian

di luar pengadilan, yaitu penyelesaian sengketa melalui peran komisi

Ombudsman.

a. Penyelesaian sengketa diperadilan umum

Pasal 45 ayat (1) UUPK, menyatakan, setiap konsumen yang

dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang bertugas

menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui

peradilan yang berbeda di lingkungan peradilan umum. Ketentuan ayat

berikutnya mengatakan bahwa :

penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan


atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
57

yang bersengketa.

Selanjutnya dijelaskan, bahwa pilihan untuk berperkara di

pengadilan atau di luar pengadilan adalah pilihan sukarela para pihak.

Penjelasan ayat kedua Pasal 45 UUPK menyebutkan adanya kemungkinan

perdamaian di antara para pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan

atau diluar pengadilan. Dengan demikian, kata sukarela harus diartikan

sebagai pilihan para pihak, baik sendiri maupun bersama-sama untuk

menempuh jalan penyelesaian di pengadilan atau diluar pengadilan, oleh

karena upaya perdamaian di antara mereka gagal atau sejak semula mereka

tidak mau menempuh alternatif perdamaian.

Pasal 54 ayat (3) UUPK menyebutkan, penyelesaian sengketa

diluar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana

sebagaimana diatur dalam undang-undang. Jelas seharusnya bukan hanya

tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk

diperkarakan, melainkan juga tanggung jawab lainnya, misalnya di bidang

administrasi negara. Konsumen yang dirugikan haknya, tidak hanya

diwakilkan oleh jaksa dalam pentututan di peradilan umum untuk kasus

pidana, tetapi ia sendiri dapat juga menggugat pihak lain di lingkungan

peradilan tata usaha negara jika terdapat sengketa administratif

didalamnya.

Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, pihak konsumen yang

diberi hak mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK adalah :

1) Seorang konsumen yang diragukan atau ahli waris yang bersangkutan.


2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
58

3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi


syarat;
4) Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Pada klasifikasi pertama, yaitu seorang konsumen atau ahli

warisnya (dalam hal ini keluarga) pasien dapat melayangkan gugatan

terhadap Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), pengadilan dan terhadap

pihak yang terkait, karena merasa dirugikan dan diperlakukan tidak

manusiawi. Maka dapat menggugat ganti rugi kepada pihak dokter/tenaga

kesehatan dan rumah sakit karena telah melakukan perbuatan melawan

hukum, dengan menimbulkan kerugian diakibatkan oleh

malpraktik/kesalahan dalam melakukan tindakan medik.

Gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang

mempunyai kepentingan yang sama. Penjelasan pasal 46 ayat (1) b

berbunyi:

Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action.


Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen
yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum,
salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.

Ketentuan ini harus dibedakan dengan gugatan dengan mewakilkan

kepada orang lain seperti diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR. Klasifikasi

ke tiga adalah lembaga swadaya masyrakat. Dalam ketentuan ini dipakai

istilah perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan berkaitan

dengan legal standing. Keberadaan LSM ini menurut ketentuan pasal 1

angka (9) dan pasal 44 ayat (1) UUPK harus terdaftar dan diakui oleh

pemerintah.
59

Akhirnya terkait dengan gugatan oleh pemerintah, mereka baru

akan menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit dan tidak disebutkan apakah gugatan

demikian masih diperlukan jika ada gugatan dari para konsumen, atau

dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari pihak

konsumen yang termasuk klasifikasi satu sampai tiga.

b. Penyelesaian sengketa diperadilan Tata Usaha Negara

Pasal 45 ayat (1) dan pasal 46 ayat (2) UUPK terkesan hanya

membolehkan gugatan konsumen diajukan kelingkungan peradilan umum.

Pembatasan ini jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin

menyentuh kompetensi peradilan tata usaha. Tetapi penafsiran tentang

keberadaan peradilan tata usaha dapat direduksi dari pasal 46 ayat (2) yang

menyatakan. gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen,

LPKSM, dan pemerintah, harus diajukan oleh konsumen/ahli warisnya

secara individual tidak ditetapkan lingkungan peradilannya.

Apabila konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup juga

penerima jasa layanan publik, tentu peradilan tata usaha negara (PTUN)

patut juga melayani gugatan tersebut. Dan dengan syarat sengketa tersebut

berawal dari adanya penetapan tertulis, bersifat konkret, individual dan

final. Sementara itu menurut A.M Donner, pengertian pejabat atau badan

tata usaha negara antara lain, dapat diperluas ke bentuk perusahaan yang

melayani jasa-jasa untuk kepentingan umum. Dengan demikian, badan-

badan usaha milik negara (BUMN) atau milik daerah (BUMD) dapat
60

dikategorikan sebagai kepanjangan tangan Pemerintah dalam berurusan

dengan masyarakat.

c. Penyelesaian sengketa diluar peradilan

Untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, UUPK memberi

jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa diluar

pengadilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK menyebutkan :

Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar


pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau
oleh para pihak yang bersengketa.

Ini berarti, penyelesaian di pengadilan pun tetap dibuka setelah

para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka diluar pengadilan. Tafsir

yang lebih jauh dari ketentuan pasal tersebut, bahwa:

1) penyelesaian diluar pengadilan merupakan upaya perdamaian diantara

para pihak yang bersengketa; dan

2) penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui suatu badan

independen seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Jika penyelesaian melalui BPSK, maka salah satu pihak tidak

dapat menghentikan perkaranya ditengah jalan, sebelum BPSK

menjatuhkan putusan. Artinya, bahwa mereka terikat untuk menempuh

proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan.


61

B. Pelaksanaan Ganti Kerugian Akibat Malpraktik Tenaga Medis Dalam

Tindakan Medik Di RSUD SOEJONO Selong

Rumah Sakit RSUD SOEJONO Selong ditetapkan sebagai Rumah

Sakit tipe C milik Pemerintah Daerah Tingkat III Kabupaten Lombok Timur

dan status kelas C ini berlangsung sejak tahun 1987 sampai sekarang. Selain

itu Rumah Sakit RSUD SOEJONO Selong juga merupakan Rumah Sakit

terakreditasi C (Pendidikan) dan tempat dua institusi pendidikan kedokteran

dan berbagai institusi pendidikan kesehatan lainnya menimba ilmu sehingga

perangkatnyapun disesuaikan sebagai wahana pendidikan.

Jenis pelayanan yang ada di Rumah Sakit RSUD SOEJONO

Selongantara lain :

a. Pelayanan Rawat Jalan

Terdapat 22 Poliklinik di Rumah Sakit Umum RSUD SOEJONO Selong

b. Pelayanan Rawat Inap

Terdiri dari 14 ruang perawatan dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 349,

terbagi pada kelas super VIP, VIP A, VIP B, kelas I, II, III, ruang rawat

intensif (ICU, ICCU, NICU dan PICU), ruang isolasi dan ruang bersalin.
62

c. Pelayanan Instalasi Rawat Darurat

Pelayanan IRD terdiri dari 6 unit yaitu pelayanan triage, penanganan kegawat

daruratan bedah dan non-bedah, operasi akut, pelayanan radiologi, one day

care dan pelayanan penunjang non-medis.

d. Pelayanan Ruang Bedah Sentral

Terdiri dari 8 jenis pelayanan meliputi pelayanan bedah umum, bedah obgyn,

bedah mata, bedah THT, bedah orthopedi, bedah gigi dan mulut, bedah

urologi dan bedah syaraf.

e. Pelayanan Penunjang Medis dan Non-Medis

1) Pelayanan Penunjang Medis

Terdiri dari laboratorium klinik, radiologi dan CT-scan, elektromedis

(ECG, USG, EEG, laparoskopi, endoskopi, spirometer, audiometer,

renographi dan mamographi), serta farmasi.

2) Pelayanan Penunjang Non-Medis

Terdiri dari 5 unit pelayanan yaitu pelayanan gizi, laundry/ linen, sentral

sterilisasi, kesehatan lingkungan serta pemeliharaan sarana dan

prasarana.

Selain sumber daya tersebut di atas, faktor pendukung yang sangat

penting dalam melaksanakan fungsi serta untuk mencapai visi dan misi rumah

sakit adalah sumber daya manusia. Tenaga yang tersedia di RSUD SOEJONO

Selong didukung oleh berbagai latar belakang pendidikan baik medis,

paramedis maupun non-medis. Untuk melaksanakan program-program yang


63

telah disusun disesuaikan dengan tugas dan fungsi, RSUD SOEJONO Selong

mempunyai tenaga yang terdiri dari :

a. Tenaga medis seluruhnya 97 orang terdiri dari dokter spesialis sebanyak

43 orang, dokter umum sebanyak 59 orang dan dokter gigi sebanyak 3

orang.

b. Tenaga para medis seluruhnya 482 orang terdiri dari paramedis perawatan

sebanyak 397 orang dan paramedis non-perawatan sebanyak 85 orang.

c. Tenaga non-medis seluruhnya 308 orang terdiri dari rekam medis

sebanyak 15 orang dan lain-lain sebanyak 293 orang

Sebagai rumah sakit pemerintah terkemuka di Kabupaten Lombok

Timur , RSUD SOEJONO Selong sesuai dengan visi dan misinya selalu

berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, namun tidak

jarang dalam memberikan pelayanan RSUD SOEJONO Selong mendapatkan

keluhan atau keberatan dari pasien atas pelayanan yang diberikan oleh pihak

rumah sakit, keluhan ini berupa keluhan terhadap pelayanan, fasilitas rumah

sakit, kebersihan, maupun ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan medis

oleh tenaga medis di rumah sakit, biasanya pasien yang merasa tidak puas

atas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit mengajukan keberatannya

melalui kotak saran, SMS Center, maupun buku kesan dan pesan yang telah

disediakan oleh rumah sakit.


64

1. Data Pengaduan Tentang Pelayanan Kesehatan Di RSUD SOEJONO

Selong

Dalam usaha meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan kepada

masyarakat RSUD SOEJONO Selong memberikan kesempatan kepada

masyarakat khususnya pasien yang menerima pelayanan kesehatan di

RSUD SOEJONO Selong untuk menyampaikan kritik dan saran kepada

pihak rumah sakit, pemberian kritik dan saran dapat berupa pengaduan

yang dapat diadukan melalui kotak saran, SMS Centre, dan buku tamu

yang telah disedikan oleh pihak rumah sakit. Pengaduan yang masuk di

RSUD SOEJONO Selong yakni berkaitan dengan masalah-masalah :

Tabel. 1 Jenis PengaduanYang Diterima Oleh RSUD SOEJONO Selong

NO JENIS PENGADUAN RINCIAN


Ketersediaan Obat Ketersedian obat di apotek RSU atau
1 Apotek yang dituju
Pelayanan Bpjs Alur pelayanan
berdasarkan resep BPJS, syarat dan
2 ketentuan jaminan
Keramahan Petugas Kesopanan
BPJS dan keramahan petugas
3 dalam melayani pasien
Sarana/ Prasarana Ketersediaan sarana penunjang
4 (kursi roda), ketersediaan kipas
angin, pemeliharaan AC dan kondisi
bangunan serta ketersediaan alat medis

Kebersihan Ketersediaan tempat sampah dan


5 kondisi kebersihan dalam gedung
Jam mulai pelayanan oleh dokter di Poli
Ja Pelayanan Dokter/ Poli
6 Rawat Jalan rawat jalan dan
UGD serta penunjang (radiologi, HD)
7 Pelayanan Alur pelayanan, antrian pelayanan, jadwal
operasi
8 Parkir Tarif parkir dan sarana
penerangan
9 Tunjangan Karyawan Jumlah tunjangan tenaga honorer
Sumber : Data Sekunder Diolah
65

Pada tahun 2017, jumlah pengaduan yang masuk di RSUD Provinsi

dari Bulan Januari sampai dengan Bulan Juli Tahun 2017 yakni sebanyak

90 pengaduan, dan pengaduan yang paling banyak diterima yakni pada

bulan Juni yakni sebanyak 16 jenis pengaduan, untuk lebih jelasnya dapat

dilihat dari hasil wawancara langsung dengan direktur rumahsakit umum

soejono selong Pak Karsito pada taggal 15 juli 2017 sebagai berikut :

Dari semua pengaduan dan laporan yang masuk ke RSUD soejono

selong selalu di tanggapi dengan baik dan di selesaikan secara

kekeluargaan untuk mencapai jalan keluar dari permasalahan antara tenaga

medis dan pasien agar tidak di bawa ke jalur hukum.

2. Kasus-Kasus Dugaan Malpraktik Tenaga Medis Dalam Tindakan

Medis Di RSUD SOEJONO Selong

Kasus-kasus yang berkaitan dengan indikasi adanya malpraktik yang

dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit akan langsung mencuat ke

permukaan melalui pemberitaan oleh media masa, baik media cetak

maupun elektronik, kasus-kasus yang pernah mencuat ke permukaan

terkait dengan indikasi adanya malpraktik tenaga medis di RSUD

SOEJONO Selong, antara lain yakni :

a. Bayi Tewas Setelah Dipasang Selang Bius

Pada Tahun 2016, Neza Anindia Putri balita berusia 14 bulan diduga

meninggal saat dipasang alat bius pada tenggorokannya, pemasangan

alat bius tersebut untuk mendukung operasi atresia ani rectum atau

tidak memiliki saluran pembuangan. Pada saat itu RSUD SOEJONO


66

Selong dituduh melakukan malpraktik hingga menyebabkan pasien

meninggal dunia.45

b. Terlambat Ditangani, Seorang Pasien Meninggal

Di Tahun 2015, Hidayati (35 tahun), meninggal dunia diduga karena

terlambat dilayani oleh petugas medis RSUD SOEJONO Selong.

Akibatnya, keluarga pasien asal Alas Barat Kabupaten Sumbawa

tersebut melakukan protes terhadap pelayanan rumah sakit. Hidayati

adalah pasien rujukan dari Rumah Sakit Sumbawa, Hidayati dirujuk

karna bayi yang ada di dalam kandungannya telah meninggal dunia.

Keluarga Hidayati berasumsi bahwa lamanya penanganan yang

diberikan oleh pihak RSUD SOEJONO Selong dalam tindakan operasi

pengeluaran bayi lah yang telah mengakibatkan kondisi Hidayati

melemah hingga meninggal dunia sehingga keluarga Hidayati

menggugat pihak rumah sakit untuk bertanggung jawab.46

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD SOEJONO

Selong, bahwa terhadap kasus-kasus sebagaimana telah disebutkan

tersebut, pihak rumah sakit akan tetap menerima setiap bentuk laporan

maupun pengaduan yang dilayangkan kepada RSUD SOEJONO Selong

dalam bentuk apapun untuk di proses dan ditindak lanjuti, biasanya

pengaduan atau laporan untuk kasus-kasus yang bersifat krusial tidak

masuk melalui sarana pelaporan yang disedikan oleh rumah sakit, namun

45
http://nasional.news.viva.co.id/news/, oleh Edy Gustan I, Senin, 1
November 2010, diakses pada Minggu, 4 April 2016, Pukul 00:25 WITA.
46
http://www.republika.co.id/, Oleh Erik Purnama Putra, Selasa 19
Agustus 2014, diakes Pada Minggu, 17 April 2016, Pukul 00.39 WITA.
67

pihak pasien yang merasa dirugikan akan langsung mengadukannya

kepada pihak kepolisian, wartawan, maupun ombudsman, sehingga

kurangnya komunikasi antara pasien dan pihak rumah sakit inilah yang

mengakibatkan timbulnya sengketa di bidang medik antara pihak pasien

dengan RSUD SOEJONO Selong.

Terhadap segala bentuk pengaduan atau komplain yang dilayangkan

oleh pihak pasien kepada RSUD SOEJONO Selong akan dilakukan audit

atau penelitian guna dapat penyelesaian persoalan sebagaimana yang

dihadapi oleh pihak pasien dan rumah sakit.

3. Penanganan Kasus-Kasus Tentang Dugaan Malpraktik Tenaga Medis

Dalam Tindakan Medis Oleh RSUD SOEJONO Selong

Dalam menjalankan segala bentuk tindakan medik seorang tenaga

medis haruslah memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan standar

tindakan medik yang harus dilakukannya, karena berbicara mengenai

pelayanan kesehatan adalah berbicara tentang nyawa dan kesembuhan

pasien, karna itulah dalam menjalankan segala bentuk tindakan medik,

seorang tenaga medis maupun tenaga kesehatan memiliki standar

oprasional prosedur yang harus ditaati dan dijalankannya.

Standar Oprasional Prosedur (SOP) adalah prosedur standar yang

harus dilakukan oleh tenaga medis maupun tenaga kesehatan dalam

menjalankan tindakan medik kepada pasien, setiap penyakit yang

diberikan tindakan medik memiliki SOP yang berbeda-beda, misalnya

SOP antara operasi penyakit jantung dengan SOP operasi penyakit


68

pangkreas itu berbeda, ada banyaknya SOP ini dikarenakan setiap penyakit

memiliki penangan yang berbeda-beda pula, dalam menjalankan segala

bentuk tindakan medik, seorang tenaga medis haruslah terlebih dahulu

meminta persetujuan dari pihak pasien, baik dari pasien yang bersangkutan

maupun dari keluarga pasien, bentuk persetujuan tindakan medis inilah

yang dinamakan dengan informed consent.

Informed consent merupakan informasi tentang keadaan pasien dan

tindakan-tindakan medik apa saja yang diberikan kepada pasien oleh

tenaga medis yang menanganinya, dengan adanya infomed consent ini

memiliki arti bahwa pihak pasien setuju atas segala tindakan medik yang

diberikan oleh tenaga medis dalam pelayanan medis, dan segala bentuk

tindakan medik maupun pemberian obat kepada pasien wajib di catat oleh

tenaga medik dalam rekam medik pasien, terjadinya kasus-kasus

sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan contoh sengketa medik

yang sering terjadi di rumah sakit manapun dan bukan hanya terjadi di

RSUD SOEJONO Selong, berdasarkan hasil wawancara dan penelitian

yang dilakukan, bahwa penanganan yang dilakukan untuk menyelesaiakan

sengketa terkait kasus-kasus tersebut yakni :

a. Penanganan Dalam Kasus Anindia Putri (balita berusia 14 bulan diduga

meninggal saat dipasang alat bius)

RSUD SOEJONO Selong melalui wawancara yang dilakukan

dengan dokter yang menangani langsung Anindia Putri kala itu dan

Direktur RSUD SOEJONO Selong menjelaskan bahwa pihak rumah


69

sakit melakukan pembiusan dengan cara memasukkan selang melalui

rongga mulut atau dalam istilah medis melalui trachea. Pada saat itulah

pasien mengalami sesak nafas. Dokter menduga itu akibat kebocoran

pada saluran pernafasan sehingga pihak dokter membuat sayatan pada

lehernya. Oprasi berjalan 5 sampai 10 menit, tapi sesuatu terjadi saat

dilakukan pembiusan. Sayatan itu dilakukan untuk membuka udara

yang merembes ke bawah kulit, sehingga pasien bisa bernafas, namun,

di luar prediksi dokter, kondisi pasien semakin kritis sehingga langsung

dilarikan ke ruang ICU untuk dipasangi alat bantu pernafasan. Menurut

Santiyowibowo, belum sempat alat itu dipasangkan, nyawa pasien tidak

dapat terselamatkan.47 Pihak rumah sakit menegaskan melalui Direktur

RSUD SOEJONO Selong bahwa tindakan medik yang dilakukan

selama kegiatan operasi sudah sesuai dengan prosedur yang telah

ditatapkan, dan tim dokter telah melakukan usaha terbaik dalam

memberikan pelayanan kepada pasien.48

b. Penangan Dalam Kasus Pasien Hidayati Meninggal Dunia Diduga

Karena Terlambat Dilayani oleh Petugas Medis RSUD SOEJONO

Selong

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kabag

Humas RSUD SOEJONO Selong menjelaskan bahwa dalam kasus

tersebut, pihak rumah sakit bukan terlambat dalam memberikan

tindakan medis terhadap pasien, namun kala itu pihak keluargalah yang

47
http://nasional.news.viva.co.id/news/, oleh Edy Gustan I, Senin, 1
November 2010, diakses pada Senin, 18 April 2016, Pukul 17:22 WITA.
48
Ibid
70

enggan memberikan keputusan dalam penggangkatan janin Hidayati

yang telah meninggal dunia didalam kandungan sebelum di rujuk ke

RSUD SOEJONO Selong, lamanya keputusan dan persetujuan keluarga

inilah yang mengakibatkan terlambat pulanya penanganan medik yang

dilakukan terhadap pasien, karna pihak dokter atau rumah sakit tidak

dapat melakukan tindakan medik apapun terhadap pasien apabila pihak

pasien maupun keluarga pasien tidak memberikan persetujuannya.49

4. Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Pelaksanaan Ganti Kerugian

Apabila Terjadi Malpraktik Dalam Tindakan Medik Di RSUD

SOEJONO Selong

Dalam hal terjadinya sengketa medik di RSUD SOEJONO Selong,

pelaksanaan ganti kerugian terhadap pasien yang menjadi korban akibat

malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medis yakni merupakan tanggung

jawab dari rumah sakit, hal ini diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang

Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa :

Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian


yang ditimbulkan atas malpraktik yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit

Dengan adanya ketentuan ini maka rumah sakit secara mutlak

bertanggung jawab atas segala bentuk kesalahan maupun malpraktik yang

mengakibatkan kerugian terhadap pasien. Dengan bertanggung jawabnya

rumah sakit atas malpraktik yang timbul dalam tindakan medik di rumah

49
Hasil wawancara dengan Bapak Shalikin, S.KM., MPH, Sub Bag.
Humas dan Kemasyarakatan RSUD Provinsi NTB, Senin, 28 Maret 2016.
71

sakit tidak secara mutlak menutup pertanggung jawaban tenaga medis

yang melakukan malpraktik untuk bertanggung jawab dan mendapatkan

sanksi sesuai dengan besarnya kesalahan dan malpraktik yang

ditimbulkan. Rumah sakit adalah institusi yang menaungi semua tenaga

kesehatan, tenaga medis, tenaga administrasi, maupun tenaga kerja yang

berada di dalam rumah sakit, sehingga sebagai institusi yang menaungi

maka rumah sakitlah yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

terjadi maupun yang ditumbulkan oleh segala organ yang berada dalam

rumah sakit.

Hasil wawancara dengan dr. Evi Kustini Somawijaya sebagai Kabid

Pelayanan dan Penunjang Medis RSUD SOEJONO Selong mengatakan

bahwa dalam hal terjadi malpraktik di RSUD SOEJONO Selong yang

ditimbulkan oleh tenaga medis ataupun tenaga kesehatan maka yang

bertanggung jawab penuh atas segala bentuk ganti kerugian yang

ditimbulkan adalah rumah sakit sebagai institusi yang menaungi, namun

hal tersebut tidak menutup kewajiban dari tenaga medis maupun tenaga

kesehatan yang melakukan malpraktik dalam tindakan medik untuk

bertanggung jawab. Pertanggung jawaban RSUD SOEJONO Selong dalam

hal ganti kerugian akan dilakukan apabila sengketa atau kasus yang

dilaporkan oleh pihak pasien yang merasa dirugikan telah dilakukan proses

penelitian dan audit oleh komite medik yang berada dalam RSUD

SOEJONO Selong, dan terhadap tenaga medis atau dokter yang

melakukan malpraktik tidak hanya bertanggung jawab kepada RSUD


72

SOEJONO Selong namun juga bertanggung jawab pada pasien dan Ikatan

Dokter Indonesia (IDI) yang menaunginya. Apabila dari hasil audit dan

penelusuran yang dilakukan oleh pihak rumah sakit menemukan bahwa

benar telah terjadi malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medis maka

rumah sakit akan bertanggung jawab secara penuh dalam hal ganti

kerugian yang dialami oleh pihak pasien.50

Dan berdasarkan hasil wawancara dengan Badarudin, S.KEP. Ns.

Selaku Kabag Tata Usaha RSUD SOEJONO Selong apabila telah terbukti

tenaga kesehatan atau tenaga medis dalam hal ganti kerugian maka yang

bertanggung jawab memanglah rumah sakit sebagai institusi, dan untuk

menyelesaikan persoalan sengketa medik yang terjadi dalam RSUD

SOEJONO Selong maka rumah sakit akan meminta bantuan kepada Biro

Hukum yang telah tunjuk bersama oleh dewan direksi dari hasil rapat

direksi terkait permasalahan yang dihadapi. Penunjukkan Biro Hukum

tersebut dimaksudkan untuk memberikan masukan atau solusi terhadap

malpraktik yang ditimbulkan oleh tenaga medis dalam rumah sakit,

sehingga nantinya bersama dengan Biro Hukum akan dilakukan mediasi

antara rumah sakit dan pihak pasien yang merasa dirugikan, dan apabila

proses mediasi yang dilakukan dalam rumah sakit tidak berhasil atau

tawaran ganti rugi yang diberikan oleh pihak rumah sakit tidak sesuai

dengan keinginan pihak pasien, maka penangan sengketa akan dibawa

50
Hasil wawancara dengan dr. Evi Kustini Somawijaya, Kabid Pelayanan
dan Penunjang Medis RSUD Provinsi NTB, Senin, 22 Februari 2016.
73

kejalur litigasi atau Pengadilan, sehingga penyelesaiannya akan diputus

oleh Pengadilan yang berwenang.51

Dalam hal ganti kerugian yang timbul akibat malpraktik tenaga medis

dalam melakukan tindakan medik tidak diatur secara jelas dalam Undang-

Undang Kesehatan. Undang-Undang Kesehatan hanya menyatakan bahwa

terhadap pasien yang mengalami kerugian akibat malpraktik dalam

tindakan medik berhak untuk menuntut ganti kerugian, sehingga dalam hal

ini bentuk ganti kerugian tidak secara jelas diatur, apakah ganti kerugian

pembebasan biaya rumah sakit, atau ganti kerugian dengan tuntutan

sejumlah uang atas kerugian yang ditimbulkan, karena berkaitan dengan

ganti kerugian dalam pelayanan kesehatan sangat sulit untuk ditentukan

dan dibuktikan, hal ini berkenaan jika malpraktik tindakan medik yang

dilakukan menyebabkan hilangnya nyawa pasien, maka penentuan ganti

kerugiannya akan sulit untuk ditentukan, karena tidak ada satupun orang

atau lembaga yang dapat mengembalikan nyawa pasien yang meninggal

dunia.

Berkaitan dengan ganti kerugian tersebut diatur dalam Pasal 1370

KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

Dalam halnya suatu pembunuhan dengan sengaja atau karena kurang


hati-hatinya seorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak
atau orang tua dikorban yang lazimnya mendapat nafkah dari
pekerjaan si korban, mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang
harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak,
serta menurut keadaan.

51
Hasil wawancara dengan Bapak Badarudin, S.KEP. Ns., Kabag Tata
Usaha RSUD Provinsi NTB, Jumat 15 April 2016.
74

Dan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1371 KUH Perdata

menyatakan bahwa :

Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja


atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk
menuntut penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut
penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat badan
tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan
dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Ketentuan
terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang.

Sehingga untuk penuntutan ganti kerugian akibat kelalain tenaga

medis dapat di tuntut oleh pihak pasien yang merasa dirugikan dengan

mengajukan nominal yang sesuai dengan kerugian yang dialami, hal ini

juga diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yang menyataan bahwa :

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga dari uraian tersebut maka bentuk ganti kerugian haruslah

disesuaikan dengan besarnya kerugian dan keadaan yang dilami oleh pihak

pasien, dan penuntuan besaran yang harus dibayarkan oleh pihak rumah

sakit kepada pasien hanya dapat ditentukan oleh hakim secara subjektif

dalam persidanga
75

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan Uraian-Uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapatlah

disimpulkan bahwa :

1. Tanggung jawab medis yang terjadi akibat malpraktik dalam tindakan

medik di RSUD SOEJONO Selong yang ditimbulkan oleh tenaga medis

ataupun tenaga kesehatan maka yang bertanggung jawab atas segala

bentuk ganti kerugian yang ditimbulkan adalah rumah sakit tetapi tidak

menutup kewajiban tenaga medis untuk bertanggung jawab. Namun hal

tersebut terkadang pula tidak merupakan tanggung jawab dari pihak rumah

sakit apabila pihak rumah sakit merasa sudah melakukan tindakan medis

sesuai dengan prosedur hal ini terjadi dalam kasus di RSUD SOEJONO

Selong dimana setelah dilakukannya sesuai dengan Standar Oprasional

Prosedur (SOP). Melalui proses audit dikumpulkan berbagai macam

keterangan, baik rekam medik, pemberian obat selama dirumah sakit,

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien

maupun bukti-bukti pendukung lainnya. Apabila terbukti kesalahan yang

dilakukan oleh tenaga medik maka pihak rumah sakit akan bertanggung

jawab penuh sesuai dengan kerugian yang dialami pasien atas tindakan

medik yang dilakukan.


76

2. Pelakasanaan ganti kerugian akibat dugaan malpraktik tenaga medis dalam

tindakan medik di RSUD SOEJONO Selong dapat dilakukan apabila

sengketa atau kasus yang dilaporkan oleh pihak pasien yang merasa

dirugikan telah melalui proses penelitian dan audit oleh komite etik yang

berada di RSUD SOEJONO Selong. Penyelesaian ganti kerugian akibat

malpraktik tenaga medis dipertanggungjawabkan secara pidana dan

perdata. Pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan kurungan penjara

beserta denda sesuai dengan tingkat malpraktik yang dilakukan oleh

tenaga medik ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan

pertanggungjawaban perdata dilakukan dengan memberikan ganti

kerugian yang ditimbulkam atas malpraktik dalam melakukan tindakan

medik dan ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

B. SARAN

Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan permasalahan dan

pembahasan tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan kepada RSUD SOEJONO Selong dapat mensosialisasikan

ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang

Tenaga Kesehatan kepada tenaga medis dan pasien sebagai penerima

pelayanan kesehatan dirumah sakit, agar pasien sebagai pihak penerima

pelayanan kesehatan mengetahui haknya untuk menuntut ganti kerugian

apabila terjadi malpraktik medis yang dilakukan oleh tenaga medis di

RSUD SOEJONO Selong, sehingga akan terjadi komunikasi yang baik


77

antara pihak tenaga medis dalam RSUD SOEJONO Selong dengan pasien

yang tentunya hal ini dapat mencegah terjadinya malpraktik yang

dilakukan oleh pihak tenaga medis dalam rumah sakit.

2. Disarankan kepada RSUD SOEJONO Selong dapat membentuk peraturan

yang menerangkan bahwa rumah sakit bertanggung jawab terhadap

tindakan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

menyebabkan kerugian seseorang atau pasien, seperti : bentuk-bentuk

sanksi yang harus ditanggung rumah sakit, sanksi yang harus diberikan

kepada tenaga medis, dan bentuk-bentuk malpraktik tenaga medis seperti

apa yang menjadi tanggung jawab rumah sakit, serta penyelesaian yang

harus dilalui dalam proses ganti kerugian terhadap pasien dimana perlu

adanya tim audit secara independen yang dapat memberikan kebijakan

tanpa memihak salah satu pihak saja.


78

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Hatta, Moh,Hukum Kesehatan dan Sengketa MedikCet. 1, Liberty,


Yogyakarta, 2013.

Ibrahim, Johnny,Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, cetakan


ke-6,Bayumedia Publishing, Malang, 2012.

Isfandyarie Anny, Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter buku 1.
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006.
J. Guwandi , Hukum dan Dokter, Sagung seto, Jakarta, 2007.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Kencana, Jakarta,
2011.

Notoatmodjo,Soekidjo,Etika dan Hukum Kesehatan, PT.Asdi Mahasatya,


Jakarta 2010.

Ohoiwutun dan Triana, Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Bayumedika,


yogyakarta, 2008.

Ratman,Desriza, Mediasi Non Litigasi Terhadap Sengketa Medis Dengan


Konsep Win-Win Solution, Elex Media Komputerindo, Jakarta, 2012.

Ridwan, Dasar-dasar Pengobatan Tradisional, Obat Tradisional, Grafika,


Jakarta, 2010.

Ridwan H.L., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2006.

Rismalinda, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Trans Info Media, Jakarta,
2011.

Safitri,Haryani Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara


Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005.

Siswati, Sri Etika dan hukum kesehatan dalam perspektif Undang-undang


Kesehatan, Raja grafindo persada, Jakarta, 2013.
Soekanto,Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pres, Jakarta,
2004.
79

Titik Triwulan Tutik, SH., MH dan Shinta Febriana, S.Ked, Perlindungan


Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010.

Wulan,Tri Tutik Hukum Perdata Dalam system Hukum Nasional, Intermasa,


Jakarta, 2008.

B. Peraturan Perundang- Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kesehatan, UU No. 23 Tahun 1992, LN.


No. 49 Tahun 1992 TLN No. 3495.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN


No. 144 Tahun 2009 TLN No. 5063.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8


Tahun 1999, LN. No. 42 Tahun 1999 TLN No. 3821

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU No. 8


Tahun 1974, LN. No. 55 Tahun 1974. TLN No. 3041

Indonesia, Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun


2004, LN. No. 116 Tahun 2004 TLN No. 4431

Indonesia, Undang-UndangTentang Rumah Sakit, UU No.44 Tahun


2009,LN. No. 153 Tahun 2009TLN No. 5072

Indonesia, Undang-Undang Tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 36 Tahun


2014, LN. No. 29828 Tahun 2014 TLN No. 5607

Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga


Kesehatan, LN No. 49 TLN No. 3637.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1975 Tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil , LN No.26 TLN No. 3058.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kode Etik Kedokteran Indonesia.


80

C. Jurnal dan Artikel

KTI Kebidanan dan KTI Keperawatan, Pengaruh Tingkat Kedisiplinan


Perawat Terhadap Pasien Di Rumah Sakit, 2011.

Tjoanda Merry, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-undang Hukum


Perdata, Jurnal Sasi, Vol 16 No. 4 Oktober-Desember 2010.

D. Internet

www.elib.unikom.ac.id. Di akses Rabu, 2 Desember 2015, pukul 19.30.

http://aamaulana96.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pelayanan-
kesehatan.html?m=1diakses pada Selasa 8 Desember pukul 8:17.
http://asnella.blogspot.co.id/2012/11/kasus-malpraktik-medis.html?m=1,
diakses pada Selasa 8 Desember 2015 pukul 9:45.

Law Community, Mal Praktek dan Pertanggung Jawaban Hukumnya,pada


:http://repository.usus.ac.id/bitstream/123456789/23439/4/chapter%
201.pdf, diakses pada Selasa 8 Desember 2015 pukul 15.03.
https:/r4yna.wordpress.com/2009/11/10/malpraktik-medik/ di akses Minggu 6
Desember 2015, pukul 7:34.

http://nasional.news.viva.co.id/news/, oleh Edy Gustan I, Senin, 1 November


2010, diakses pada Minggu, 4 April 2016, Pukul 00:25 WITA.

http://www.republika.co.id/, Oleh Erik Purnama Putra, Selasa 19 Agustus


2014, diakes Pada Minggu, 17 April 2016, Pukul 00.39 WITA.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/186443-bayi-tewas-set%20elah-
dipasang-selang-bius,oleh Edy Gustan I, Senin, 1 November 2010,
diakses pada Senin, 18 April 2016, Pukul 17:22 WITA

You might also like