Professional Documents
Culture Documents
MakalahKonas2014 EkoP
MakalahKonas2014 EkoP
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/270158597
CITATIONS READS
0 163
4 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Kajian Potensi Dampak Pembangunan Danau di Distrik The Lagoon Terhadap Komunitas Cacing
Nyale di Mandalika Resort (The Research of Lake Development Impact on "Nyale" Worm Life in The
Lagoon District Mandalika Resort) View project
All content following this page was uploaded by Eko Pradjoko on 08 December 2016.
ABSTRAK
Gili Trawangan adalah salah satu pulau dalam gugusan 3 pulau kecil di Kabupaten
Lombok Utara yang terkenal dengan keindahan pantai dan terumbu karangnya.
Selama satu dekade terakhir ini pantai di Gili Trawangan mengalami erosi terutama
yang terletak di sisi utara. Erosi terjadi pada garis pantai sepanjang 650 m dan
mengakibatkan mundurnya garis tersebut sejauh 50 m. Upaya penanganan erosi
tersebut sangat diperlukan mengingat tingginya nilai ekonomi dari kegiatan
pariwisata yang berlangsung di Gili Trawangan. Survei dan pengumpulan data
kondisi alam dilaksanakan sebagai bahan analisa proses terjadinya erosi pantai.
Pemanfaatan Pemecah Gelombang Ambang Rendah (Pegar) diusulkan karena
memperhatikan segi estetika dan lingkungan dari Gili Trawangan sebagai tempat
pariwisata. Model Pegar yang dipilih adalah Reef-ball dan Balok Susun Seling (BSS)
dengan dimensi 1 x 1 x 1 m, berat 800 kg. Sebanyak 28 unit Reefball dan 108 unit
BSS dibuat dan dipasang di lokasi sebagai uji model penanganan erosi pantai. Unit
Pegar dipasang 2~3 baris dengan panjang total 50 m.
PENGANTAR
Desa Gili Indah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gili Matra (Air, Meno,
dan Trawangan) merupakan rangkaian 3 pulau kecil yang terletak di Kecamatan
Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Desa Gili Indah memiliki sejumlah potensi
wisata alam, yang telah terkenal bahkan ke seluruh penjuru dunia, yaitu pantainya
yang berpasir putih dan terumbu karang beserta biota laut yang hidup di dalamnya.
Para wisatawan yang berkunjung ke kepulauan tersebut banyak melakukan kegiatan
menikmati keindahan taman bawah laut (terumbu karang) dengan selam scuba (self
contained underwater breathing apparatus), snorkeling, di atas kapal berdasar kaca
(glass-bottom) atau hanya sekedar duduk-duduk, berjemur diri sambil menikmati
keindahan pantainya. Pariwisata Desa Gili Indah dimulai dengan pariwisata alam
kelas backpackers di dekade 1980-an. Menurut informasi pemerintah setempat,
kunjungan wisatawan pada tahun 2012 telah mencapai 350,000 orang dari dalam
dan luar negeri. Pariwisata memang telah meningkatkan kemakmuran masyarakat,
1
mengurangi pengangguran, dan meningkatkan pendidikan di Gili Trawangan dan
Desa Gili Indah secara keseluruhan. Namun demikian, dalam perkembangannya
pariwisata di Desa Gili Indah telah melampaui daya dukung lingkungan, terutama di
Gili Trawangan. Pertumbuhan kunjungan wisatawan yang cepat dan tidak
dikendalikan menjadi salah satu penyebab semakin tertekannya kondisi lingkungan
kawasan tersebut.
Dalam satu dekade terakhir ini, kondisi pantai di Desa Gili Indah mengalami
ancaman erosi pantai yang cukup serius. Berdasarkan informasi dari pemerintah
setempat, erosi yang terjadi di wilayah selatan Gili Air mencapai 2 meter dari garis
pantai dan menggerus sebagian badan jalan lingkar pulau, demikian pula dengan Gili
Meno. Bahkan di Gili Trawangan terjangan gelombang pasang membuat erosi
hingga sepanjang 650 meter di wilayah pantai utara pulau tersebut. Besarnya
gelombang telah memutus fasilitas jalan umum, menghancurkan tanggul pantai di
depan fasilitas hotel, menimbulkan limpasan dan membanjiri daerah di belakang
garis pantai yang lebih rendah dari muka air laut.
Berbagai kejadian erosi pantai yang telah terjadi di Desa Gili Indah
merupakan suatu bentuk ancaman yang serius yang harus segera mendapatkan
penanganan guna menjaga keseimbangan dan kelestarian wilayah pantai serta
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh ancaman erosi pada masyarakat yang
bermukim di sekitarnya. Untuk menangani erosi pantai perlu diketahui terlebih dulu
faktor-faktor penyebab terjadinya erosi, luas dan laju erosi yang terjadi. Hasil
tersebut menjadi dasar perencanaan penanganan erosi yang akan diterapkan.
Makalah ini akan menyajikan kondisi erosi pantai yang terjadi di Desa Gili Indah
khususnya di Gili Trawangan serta upaya penerapan Pegar sebagai model
penanganan erosi di lokasi tersebut.
METODOLOGI
Lokasi
Lokasi kegiatan ini adalah di Desa Gili Indah Kecamatan Pemenang
Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada koordinat
antara 80 20 - 80 22 LS dan 1160 0.0 - 1160 5.5 BT. Posisi ini berada di pintu utara
Selat Lombok (selat antara Pulau Lombok dan Pulau Bali) yang menghubungkan
perairan Laut Bali dan Lautan Hindia. Ditinjau dari sisi hidro-oseanografi, gugusan
pulau Gili Indah mendapat pengaruh cukup besar dari 2 perairan tersebut seperti
pasang surut dan gelombang.
2
Gambar 1. Lokasi Desa Gili Indah
Desa Gili Indah berupa kepulauan yang terdiri dari tiga pulau kecil yang disebut
dengan gili, yaitu terdiri dari (Gambar 1, dari kanan ke kiri) Gili Air, Gili Meno dan Gili
Trawangan. Berdasarkan peta topografi terbitan Bakosurtanal atau sekarang disebut
Badan Informasi Geospasial (BIG) seperti terlihat pada Gambar 2, kondisi topografi
Gili Air dan Gili Meno relatif datar. Gili Air memiliki luas 1,797,140 m2 dan keliling
5,144 m, sedangkan Gili Meno sedikit lebih besar dengan luas 1,856,636 m2 dan
keliling 5,221 m. Gili Trawangan sebagai pulau yang terbesar (hampir 2x dari Gili
Air atau Gili Meno) memiliki luas 3,480,182 m2 dan keliling 7,035 m. Kondisi
topografi Gili Trawangan relatif rata di bagian utara dan meninggi di bagian selatan
dengan adanya bukit dengan ketinggian 70 m.
3
Perubahan Garis Pantai
Perubahan garis pantai dapat diidentifikasi dari 2 sumber yaitu pertama
berdasar informasi dari masyarakat setempat atau survei di lapangan. Informasi dari
masyarakat setempat yang mengalami atau melihat perubahan garis pantai direkam
dan dicatat. Survei lapangan juga dilaksanakan dan perubahan garis pantai yang
terjadi diukur, dicatat serta direkam dengan peralatan pita ukur, GPS (Global
Positioning System) dan kamera digital.
Metode kedua dengan melakukan perbandingan data garis pantai yang
lampau dengan yang terkini. Data garis pantai dapat diperoleh secara langsung yaitu
hasil pengukuran di lapangan dengan peralatan waterpass, theodolit atau GPS. Data
juga dapat diperoleh secara tidak langsung yaitu dari peta rupa bumi yang dibuat
oleh pihak/instansi yang berwenang (BIG, TNI-AD, pihak swasta), foto udara atau
citra satelit. Hasil identifikasi berupa waktu, lokasi dan besaran perubahan garis
pantai dapat menjadi petunjuk atau data awal bagi perencanaan penanganan
masalah.
Pemecah Gelombang Ambang Rendah (Pegar)
Struktur pemecah gelombang umumnya dibangun dengan puncak di atas
permukaan air laut untuk mendapatkan efek peredaman gelombang yang maksimal.
Namun struktur juga dapat dibuat dengan puncak tetap di bawah permukaan air laut
agar tidak terlihat baik saat muka air pasang atau surut. Struktur pemecah
gelombang dengan puncak tetap di bawah permukaan air laut disebut dengan
struktur Pemecah Gelombang Ambang Rendah (submerged breakwater) atau
disingkat Pegar menurut Sulaiman (2012).
Pegar didefinisikan sebagai struktur pemecah gelombang dengan bagian
puncak berada di bawah permukaan, sejajar permukaan atau sedikit muncul di atas
permukaan air laut rata-rata. Pegar meredam energi gelombang pada tingkat tertentu
(tidak 100%) dengan mentransmisikan sejumlah energi gelombang melalui limpasan
di atas struktur (Pilarczyk, 2003). Profil Pegar dengan puncak struktur di bawah
permukaan air dapat dilihat pada Gambar 3. Pegar disebut juga pemecah
gelombang karang laut (reef breakwater) karena memiliki beberapa kemiripan
karakteristik dengan terumbu karang (coral reef) yang terdapat di perairan pantai.
Kinerja Pegar dalam mengurangi energi gelombang dalam bentuk transmisi
gelombang telah banyak diteliti, antara lain Dick dan Brebner (1968), Dattatri dkk.
(1978), Ahrens (1987), Angremond dkk. (1996), Seabrook dan Hall (1998) dengan
melakukan eksperimen model fisik Pegar di laboratorium. Beberapa peneliti tersebut
merumuskan persamaan empiris koefisien transmisi gelombang selain menghasilkan
hubungan koefisien transmisi gelombang dengan variabel lain dalam bentuk grafik.
4
Koefisien transmisi gelombang (Kt) adalah perbandingan antara tinggi gelombang di
belakang struktur (Ht) dengan tinggi gelombang di depan struktur (Hi). Secara umum
hasil penelitian menunjukkan bahwa transmisi gelombang yang dihasilkan
tergantung kepada: 1) karakteristik gelombang (tinggi dan periode); 2) lebar puncak
struktur; 3) kedalaman puncak dari permukaan air; dan 4) porositas struktur.
(a) (b)
(d)
(c)
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Erosi Pantai Gili Trawangan
Berdasarkan informasi masyarakat dan survei lapangan, erosi terparah di Gili
Trawangan terjadi di sisi utara pulau tepatnya pada koordinat 80 20.39 LS 1160 2.44
BT. Kondisi erosi hasil rekaman foto dapat dilihat pada Gambar 5. Pada gambar
tersebut dapat dilihat upaya pemilik hotel membangun tanggul berupa batu dalam
beronjong kawat di depan hotelnya pada tanggal 11 Maret 2013 menjadi
hancur/roboh total pada tanggal 9 September 2013 akibat aktifitas gelombang.
Gambar bawah adalah posisi di sebelah timur/kanan dari hotel tersebut yang berupa
hamparan pasir dengan jalan lingkar pulau. Menurut informasi penduduk, posisi jalan
pada tanggal 11 Maret 2013 ini pun merupakan posisi yang lebih jauh di belakang
dari posisi 10 tahun yang lalu.
6
2. Tanah dan bangunan milik masyarakat atau perusahaan swasta yang berada
di lokasi ini menjadi terancam rusak karena garis pantai sudah mencapai di
pagar mereka. Kerugian materi akan dialami masyarakat baik akibat rusaknya
properti tersebut atau berkurangnya wisatawan yang menginap di hotel
mereka.
Bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi di sisi utara, hasil survei
lapangan menunjukkan di sisi selatan dan barat pulau Gili Trawangan justru
mengalami kemajuan garis pantai. Bahkan pada sisi tersebut terjadi fenomena yang
disebut overwash yaitu berpindahnya sedimen atau pasir pada daerah garis pantai
ke arah darat akibat aktifitas gelombang. Hal ini ditandai dengan tingginya timbunan
pasir di antara garis pantai dan jalan lingkar pulau (hasil pengukuran potongan
melintang pantai) serta tersebarnya pasir pantai hingga menutupi jalan lingkar pulau
tersebut seperti terlihat pada Gambar 7. Kondisi tingginya timbunan pasir dan
fenomena overwash pada sisi ini menunjukkan:
1. Volume sedimen pasir di pantai selalu bertambah pada lokasi ini.
2. Sebagian besar aktifitas gelombang di lokasi ini dalam arah tegak lurus pantai
sehingga mendorong atau mengangkat sedimen pasir di pantai ke arah darat.
7
Gambar 7. Fenomena overwash yang mengakibatkan tertimbunnya
jalan lingkar pulau
Di sisi timur Gili Trawangan, kondisi garis pantai relatif stabil terutama di
sebelah utara pelabuhan. Daerah garis pantai cukup lebar dan landai di sepanjang
sisi sebelah utara pelabuhan. Sedangkan di sebelah selatan daerah garis pantai
lebih sempit dari pada yang di sebelah utara pelabuhan. Informasi masyarakat juga
menyatakan bahwa garis pantai di sebelah selatan pelabuhan bertambah mundur
sejak para pengusaha hotel memanfaatkan daerah sempadan pantai (daerah antara
jalan lingkar dan garis pantai) untuk fasilitas kafe atau restoran. Dalam
memanfaatkan daerah ini mereka membangun dinding vertikal di sisi garis pantai
untuk menopang dan melindungi fasilitas di atasnya dari aktifitas gelombang. Kondisi
di sisi timur Gili Trawangan dapat dilihat pada Gambar 8.
(a) (b)
Metode perbandingan data garis pantai dapat menunjukkan lebih detail lagi
perubahan garis pantai yang terjadi baik itu lokasi dan besarannya. Data yang
digunakan adalah peta rupa bumi yang diterbitkan BIG dan citra satelit yang terdapat
di laman Google Earth. Data garis pantai pada peta rupa bumi dibuat berdasarkan
survei terakhir tahun 1995. Data garis pantai ini diambil sebagai garis patokan atau
8
garis dasar (base line) pengukuran dan diasumsikan berada pada posisi air laut rata-
rata (MSL). Asumsi ini berdasarkan hasil pengukuran penampang lintang
menunjukkan garis pantai (batas pasir dengan dasar karang) berada pada posisi air
laut MSL.
Data garis pantai dari citra satelit Google Earth diperoleh melalui proses
digitasi citra terakhir yang dibuat pada tahun 2013. Citra satelit didigitasi setelah
dilakukan proses rektifikasi untuk memberikan data koordinat pada citra, sehingga
hasil digitasi garis pantai juga memiliki koordinat posisi dan dapat dibandingkan
dengan data garis pantai dari peta rupa bumi. Dua data tersebut ditumpangkan
(overlay) sehingga dapat dilihat perubahan garis pantai yang terjadi seperti terlihat
pada Gambar 9. Apabila garis pantai terbaru berada di sebelah belakang garis pantai
lama berarti terjadi erosi atau mundurnya garis pantai (pada gambar diarsir warna
merah). Sebaliknya apabila garis pantai baru di depan garis pantai lama berarti
terjadi akresi atau majunya garis pantai (pada gambar diarsir warna biru).
9
yang telah dilakukan sebesar maksimum 58 m dan daerah yang terkena
erosi adalah sepanjang 650 m
2. Pantai di sisi timur mengalami akresi sehingga menjadi maju terutama di
sebelah utara pelabuhan umum sebesar 18 m. Sedangkan di sebelah
selatan pelabuhan garis pantai cenderung tidak berubah.
3. Pantai di sisi selatan dan barat pulau mengalami akresi sehingga garis pantai
menjadi maju seperti halnya di sisi timur sebesar 23 ~ 30 m. Akresi di sisi
barat lebih besar dari pada sisi selatan dengan melihat luasnya arsiran warna
biru. Pada dua sisi ini pula tumpukan sedimen pasir sangat tinggi hingga
sering menutupi badan jalan akibat fenomena over wash.
10
terbentuk lagi setelah pecah di batas luar terumbu karang. Penempatan model di Gili
Trawangan berada pada jarak sekitar 60 m dari garis pantai.
Kinerja struktur Pegar dalam meredam gelombang dipengaruhi oleh lebar,
tinggi, dan porositas struktur. Dari segi lebar, makin lebar struktur makin efektif
dalam meredam gelombang. Model struktur ini direncanakan dengan lebar 3 m dan
tinggi 1 m. Kinerja struktur Pegar dalam meredam gelombang dapat diukur dari rasio
antara tinggi gelombang setelah melewati struktur dengan tinggi gelombang datang
atau yang disebut dengan Koefisien Transmisi (Kt). Semakin kecil nilai Kt (kurang
dari 1) berarti semakin baik kinerja struktur dalam meredam gelombang. van der
Meer dan dAngremond (1991) menyatakan nilai Kt untuk struktur Pegar dapat
dihitung dengan rumus:
H R
C t = 0.031 s 0.24 c + b (1)
Dn 50 Dn 50
dengan:
Ct = koefisien transmisi
Hs = tinggi gelombang datang signifikan
Dn50 = diameter rata-rata batu pelindung
Rc = jarak antara muka air dan tinggi struktur
B = lebar struktur
Sedangkan Armono dan Hall (2003) dalam penelitiannya tentang terumbu karang
buatan menyatakan nilai Kt dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Hi h h
Kt = 1.616 31.322 2
1.099 + 0.265 (2)
gT d B
dengan:
Kt = koefisien transmisi
Hi = tinggi gelombang datang
T = periode gelombang
h = tinggi struktur
d = kedalaman air
B = lebar struktur
11
air adalah 0.2 ~ 1 m. Berdasarkan grafik yang dibuat dari Persamaan 1 dan 2 pada
Gambar 10 dapat diperoleh nilai Kt dengan diketahui tinggi struktur = Dn50 = h = 1 m.
Pada Gambar 10 terlihat berdasarkan Persamaan 1 nilai Kt akan berkisar 0.6,
sedangkan berdasarkan Persamaan 2 akan berkisar 0.5 sampai 0.9 .
Stabilitas batu atau blok penyusun pemecah gelombang adalah kemampuan
untuk bertahan (tidak bergerak atau bergeser) ketika terkena limpasan gelombang.
Stabilitas blok tergantung kepada kondisi lingkungan dan karakter fisik struktur.
Kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah tinggi gelombang, periode gelombang,
arah gelombang, jumlah gelombang dan kedalaman air di sekitar struktur. Kondisi
fisik struktur yang berpengaruh antara lain adalah berat blok, bentuk dan kekasaran
blok, penempatan blok, ketinggian struktur, kemiringan struktur dan tingkat
permeabilitas inti struktur.
Koefisien Transmisi Koefisien Transmisi
(van de M eer & d'Angremond, 1991) (Armono & Hall, 2003)
0.80 1.20
0.70
1.00
0.60
0.80
0.50
0.40 0.60
Ct
Ct
0.30
0.40
0.20
0.20
0.10
0.00 0.00
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Rc/Dn50 d/h
Konvensional Reef
12
Dengan perkiraan tinggi gelombang di sisi utara H = 1.5 m, berat jenis bahan beton
s = 2.4 ton/m3 , asumsi nilai KD = 2.0, dan kemiringan lereng cot = 2.0, maka
perkiraan berat rata-rata blok yang dibutuhkan adalah 1.0 ton atau memiliki volume
sekitar 0.5 m3 jika dibuat dari beton. Berat blok Pegar yang akan dijadikan uji model
adalah 800 kg yang dianggap cukup karena mengingat Rumus Hudson selalu
memberikan nilai yang ekstrim sebagai perkiraan awal.
Model Pegar yang direncanakan sebagai perlindungan pantai di Gili
Trawangan ini juga harus memiliki kegunaan tambahan di sisi lingkungan yaitu dapat
berfungsi sebagai rumah ikan atau tempat tumbuhnya karang (coral). Oleh karena itu
blok pemecah gelombang harus memiliki bentuk yang berlubang-lubang agar dapat
menarik biota laut untuk berkumpul dan tinggal di dalamnya. Dalam uji model ini
dicoba dua bentuk yaitu:
1) Balok Susun Seling (BSS)
Balok beton sederhana disusun berselingan antara sisi kiri-kanan dan atas-
bawah agar terdapat celah atau lubang diantaranya. Ukuran balok beton yang
digunakan adalah panjang L = 1 meter, lebar B = 20 cm dan tinggi H = 15 cm.
Balok-balok beton tersebut disusun menjadi suatu rangkaian sehingga
membentuk kubus berongga dengan dimensi 1 x 1 x 1 meter. Bentuk ini dipilih
karena mudah dalam pembuatan dan penempatannya di lokasi. Bentuk BSS
dapat dilihat pada Gambar 11.
2) Reef-ball
Struktur beton ini berbentuk hampir lingkaran (hemisphere) berlubang dengan
lubang-lubang kecil di permukaannya seperti pada Gambar 11. Struktur ini
memiliki ukuran diameter bawah 1 m dan tinggi 1 m. Bentuk ini dipilih karena
sudah terkenal di seluruh dunia sebagai salah satu bentuk rumah ikan dan media
tumbuhnya karang (coral). Di Indonesia, Reef-ball telah dipasang oleh PT.
Newmont Nusa Tenggara (NNT) selaku pemegang paten di Teluk Benete
Kabupaten Sumbawa Besar sebagai rumah ikan dan media tumbuh karang.
Bentuk Reef-ball ini dapat menambah obyek tujuan wisata bahari di Gili
Trawangan dalam kegiatan menyelam dan snorkeling.
(a) (b)
13
Total jumlah blok yang akan dibuat sebagai uji model adalah 160 unit terdiri
dari 40 unit Reef-ball dan 120 unit BSS. Namun hanya 28 unit Reef-ball dan 108 unit
BSS yang digunakan sebagai uji model Pegar. Unit Reef-ball dipasang 2 baris
sehingga menghasilkan panjang 14 m. Sedangkan unit BSS dipasang 3 baris
menghasilkan panjang 36 m. Jadi panjang total model Pegar yang terpasang adalah
50 m. Posisi dan layout model Pegar di lokasi dapat dilihat pada Gambar 12.
10 BSS
28 Reef-ball
108 BSS
2 Reef-ball
10 Reef-ball
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Erosi pantai terbesar yang terjadi di Gili Trawangan adalah di sisi utara
sepanjang 650 m dengan kemunduran 58 m. Sedangkan di sisi lain
mengalami akresi atau kemajuan garis pantai 18 ~ 30 m. Di sisi ini juga terjadi
fenomena overwash yaitu naiknya sedimen pantai ke daratan akibat aktifitas
gelombang.
2. Telah dibuat model pemecah gelombang dengan struktur Pegar sebagai upaya
meneliti kinerja struktur dalam meredam energi gelombang dan memnuhi syarat
estetika. Penggunaan Reef-ball dan BSS (Balok Susun Seling) sebagai
penyusun Pegar adalah upaya untuk membuat struktur menjadi rumah ikan dan
tempat tumbuh karang sehingga dapat memenuhi syarat tambahan dari segi
lingkungan. Model struktur Pegar terdiri dari 28 unit Reef-ball dan 108 unit BSS
yang dipasang 2 ~ 3 baris dengan panjang total 50 m.
14
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Bappeda Kabupaten
Lombok Utara atas dukungan dananya dalam studi ini, serta kepada Fakultas Teknik
Universitas Mataram atas dukungannya dalam keikusertaan penulis di konferensi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahrens, J.P., 1987, Reef Breakwaters Response to Wave Attack, The 21th
International Conference on Coastal Engineering, Spain.
dAngremond, K., van de Meer, J.W., dan de Jong, R.J.,1996, Wave Transmission at
Low Crest Structures, The 25th International Conference on Coastal
Engineering, Florida, USA.
Armono, H.D., dan Hall, K.R., 2003, Wave Transmission on Submerged Breakwater
Made of Hollow Hemispherical Shape Artificial Reefs, The Canadian Coastal
Conferences, Canada.
Browder, A.E., Dean, R.G., dan Chen, R., 1996, Performance of a Submerged
Breakwater for Shore Protection, The 25th International Conference on Coastal
Engineering, Florida, USA.
Dattari, J., Raman, H., dan Shankar, N.J., 1978, Performance Characteristics of
Submerged Breakwater, Proceeding of the 16th International Conference on
Coastal Engineering, Hamburg, Germany, pp. 2153-2171.
Dick, T.M., dan Brebner, A., 1968, Solid and Permeable Submerged Breakwaters,
Proceeding of the 11th International Conference on Coastal Engineering,
London, UK, pp. 1141-1158.
Harris, L.E., 2002, Status Report for the Submerged Reef Ball Artificial Reef
Breakwater for the Grand Cayman Marriott.
Harris, L.E., 2006, Artificial Reefs for Ecosystem Restoration and Coastal Erosion
Protection with Aquaculture and Recreational Amenities, The 5th Artificial Surf
Reef Conference, Lombok, Indonesia.
Hirose, N.A., Watanuki, dan Saito, M., 2002, New Types Unit for Artificial Reef
Development of Eco-friendly Artificial Reefs and EffectivenessThereof, The 28th
International Conference on Coastal Engineering, Cardiff, UK.
Pilarczyk, K.W., 2003, Design of Low Crested (Submerged) Structures An
Overview, The 6th International Conference on Coastal and Port Engineering in
Developing Countries, Colombo, Srilanka.
Pilarczyk, K.W., 2008, Alternative for Coastal Protection, Journal of Water Resources
and Environmental Engineering, No.23.
Seabrook, S., dan Hall, K., 1998, Wave transmission at submerged rubble-mound
breakwaters, Proceedings 26th Coastal Engineering Conference, ASCE, 2000-
2013.
Sulaiman, D.M., Ernawan, M., Suprapto, dan Azhar, R.M., 2012, Rehabilitasi Pantai
Dengan Pegar Geotube, Studi Kasus Pantai Tanjung Kait Tangerang Banten,
Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Puslitbang
SDA, Bandung.
Sulaiman, D.M., 2012, Rehabilitasi Pantai Dengan Pegar Geotube dan Geobag,
Workshop Penunjang Pembangunan Infrastruktur Pantai, Puslitbang SDA,
Bandung.
USACE, 2000, Coastal Engineering Manual, Vicksburg, USA.
van de Meer, J.W., dan dAngremond, K.,1991, Wave Transmission at Low Crested
Structures, Coastal Structures and Breakwaters, ICE, London, UK, pp.25-42.
15