You are on page 1of 18

ABSTRAK

Laparoscopic evaluation of penetrating thoracoabdominal traumatic injuries

General surgeons recent familiarity with advanced laparoscopic techniques have


rendered laparoscopy feasible safely in the trauma setting. Traditionally high rates
of nontherapeutic laparotomies also contribute to this increased interest. This
study was undertaken to determine the predictive value and accuracy of diagnostic
laparoscopy (DL) in evaluation of penetrating thoracoabdominal trauma. Entry
criteria included thoracoabdominal gunshot (GSW) or stab wounds (SW) in
otherwise hemodynamically stable patients. A high index of suspicion for either
hemoperitoneum, peritonitis, or diaphragmatic injury was required for inclusion.
All patients underwent DL in the operating room followed by standard
laparotomy. The findings of the two evaluations were compared. Twenty-four
patients were included in the study. Twenty males and 4 females with an average
age of 34 years made up the group. Violation of the peritoneal cavity was present
in 21 cases and absent in 3. No intraabdominal injuries were found during
laparotomy in the latter three cases without peritoneal violation. The specificity
and positive predictive value were 100% for lesions of the diaphragm, liver,
spleen, pancreas, kidney, and hollow viscus. The sensitivity was highest for liver
and spleen injuries (88%), followed by diaphragmatic injuries (83%), pancreas
and kidney injuries (50%), and lowest for injuries of hollow viscus (25%). The
negative predictive value was 95, 99, 91, and 57%, respectively, for these organs.
DL could have avoided unnecessary laparotomy in 38% of cases in this study.
There were no complications related to laparoscopy. The greatest value of DL in
penetrating thoracoabdominal injuries is in the evaluation of peritoneal violation,
diaphragmatic, and upper abdominal solid-organ injuries. It is not ideal for
predicting hollow viscus injuries.
Key Word : Laparoscopy,Penetrating trauma,Abdominal wounds
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh
dunia terutama di Negara maju dan berkembang. Trauma tumpul
thoraksmerupakan masalah umum,yang di sebabkan baik oleh kecelakaan lalu
lintas, terjatuh maupun pukulan keras. Untuk mendapatkan data trauma
tumpul thorak di IRDB RSU Prof. Dr. R. D Kandou Manado Periode Juli
2011-2012.
Trauma thorax sering ditemukan sekitar 25% dari penderita multi-trauma ada
component trauma toraks. 90% dari penderita dengan trauma thorax ini dapat
diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh dokter di Rumah Sakit (atau
paramedic di lapangan), sehingga hanya 10% yang memerlukan operasi.

1.2 Rumusan Masalah


Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah
ini adalah:
1. Apa definisi trauma thorax ?
2. Apa etiologi trauma thorax ?
3. Apa manifestasi trauma thorax ?
4. Apa patofisiologi trauma thorax ?
5. Bagaimana penatalaksanaan trauma thorax ?

1.3 Tujuan Penulisan


Diharapkan penulis atau pembaca dapat mengetahui serta dapat
mendemontrasikan penatalaksanaan penderita trauma thorax.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Mengetahui definisi trauma thorax
2. Mengetahui etiologi trauma thorax
3. Mengetahui manifestasi trauma thorax
4. Mengetahui patofisiologi trauma thorax
5. Mengetahui cara penatalaksanaan trauma thorax
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Trauma Dada / Thorax


Trauma dada adalah trauma tajam atau tumpul thorax yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, pneumothorax, hematothorax, dan sebagainya (FKUI, 1995). Trauma thorax
adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul. (Hudak, 1999).

Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan sistem
pernapasan (Suzanne & Smetzler, 2001).
Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Trauma Dada / Thorax
adalah suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul maupun tajam pada dada atau
dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk) pada rangka thorax. Perubahan bentuk
pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ bagian
dalam rongga thorax seperti jantung dan paru-paru, sehingga dapat terjadi beberapa kondisi
patologis traumatik seperti Haematothorax, Pneumothorax, Tamponade Jantung, dan
sebagainya.

2.2 Etiologi

1. Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada

2. Penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan

3. Penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.

4. Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh vesikel
flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.

5. Tusukan paru dengan prosedur invasif.


6. Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat.

7. Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)

8. Pukulan daerah thorax dan Fraktur tulang iga

9. Tindakan medis (operasi)

2.3 Klasifikasi

Trauma dada diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Trauma Tajam

a. Pneumothoraks terbuka
b. Hemothoraks
c. Trauma tracheobronkial
d. Contusio Paru
e. Ruptur diafragma
f. Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
a) Tension pneumothoraks
b) Trauma tracheobronkhial
c) Flail Chest
d) Ruptur diafragma
e) Trauma mediastinal
f) Fraktur kosta

2.4 Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada bagian dada / thorax baik dalam bentuk kompresi maupun
ruda-paksa (deselerasi / akselerasi), biasanya menyebabkan memar / jejas trauma pada bagian
yang terkena. Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio miocard
jantung atau kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perubahan tamponade pada
jantung, atau tampak kesukaran bernapas jika kontusio terjadi pada paru-paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding thorax juga seringkali
menyebabkan fraktur baik yang berbentuk tertutup maupun terbuka. Kondisi fraktur tulang
iga juga dapat menyebabkan Flail Chest, yaitu suatu kondisi dimana segmen dada tidak lagi
mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena
fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya semen fail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan
dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan
pada tulang maka akan menyebabakan hipoksia yang serius.
Sedangkan trauma dada / thorax dengan benda tajam seringkali berdampak lenih buruk
daripada yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Benda tajam dapat langsung menusuk
dan menembus dinding dada dengan merobek pembuluh darah intercosta, dan menembus
organ yang berada pada posisi tusukannya. Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada
rongga dada (Hemothorax), dan jika berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan
tekanan didalam rongga baik rongga thorax maupun rongga pleura jika tertembus. Kemudian
dampak negatif akan terus meningkat secara progresif dalam waktu yang relatif singkat
seperti Pneumothorax,penurunan ekspansi paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga
gagal nafas dan jantung. Adapun gambaran proses perjalanan patofisiologi lebih lanjut dapat
dilihat pada skema

2.5 Manifestasi Klinis


1. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
2. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
3. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
4. Dyspnea, takipnea
5. Takikardi
6. Tekanan darah menurun.
7. Gelisah dan agitasi
8. Kemungkinan cyanosis.
9. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
10. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
11. Ada jejas pada thorak
12. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
13. Bunyi muffle pada jantung
14. Perfusi jaringan tidak adekuat
15. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan )
dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma,
seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang
ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.

2. Radiologi : Foto Thorax (AP)

Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien dengan
trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan
foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari
pemeriksaan foto toraks.

3. Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph


gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-pasien
penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk
menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen dalam darah, serta kadar
karbondioksida dalam darah.
Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP,
yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi
pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
Didalam tabel berikut ini dapat dilihat nilai normal dari GDA dan pH,
serta kemungkinan diagnosis terhadap perubahan nilai dari hasil pemeriksaannya :
Nilai Normal Asidosis Alkaliosis

pH ( 7,35 s/d 7,45 ) Turun Naik

HCO3 (22 s/d 26) Turun Naik

PaCO2 (35 s/d 45) Naik Turun

BE (2 s/d +2) Turun Naik

PaO2 ( 80 s/d 100 ) Turun Naik

Tabel 1.1 : Nilai Normal dan Kesimpulan Perubahan Hasil AGD dan pH (Hanif, 2007)

Pemeriksaan AGD dan pH tidak hanya dilakukan untuk penegakan diagnosis


penyakit tertentu, namun pemeriksaan ini juga dapat dilakukan dalam rangka pemantauan
hasil / respon terhadap pemberian terapi / intervensi tertentu kepada klien dengan
keadaan nilai AGD dan pH yang tidak normal baik Asidosis maupun Alkaliosis, baik
Respiratori maupun Metabolik. Dari pemantauan yang dilakukan dengan pemeriksaan
AGD dan pH, dapat diketahui ketidakseimbangan sudah terkompensasi atau belum / tidak
terkompensasi.

Pada tabel berikut ini dapat dilihat acuan perubahan nilai yang menunjukkan
kondisi sudah / tidak terkompensasi.

Jenis Gangguan Asam Basa PH Total CO2 PCO2

Asidosis respiratorik tidak terkonpensasi Rendah Tinggi Tinggi

Alkalosis respiratorik tidak terkonfensasi Tinggi Rendah Rendah

Asidosis metabolic tidak terkonfensasi Rendah Rendah Normal


Alkalosis metabolic tidak terkonfensasi Tinggi Tinggi Rendah

Asidosis respiratorik kompensasi alkalosis Normal Tinggi Normal


metabolic

Alkalosis respiratorik kompensasi asidosis Normal Rendah Normal


metabolic

Asidosis metabolic kompensasi alkalosis Normal Rendah Rendah


respiratorik

Alkalosis metabolic kompensasi asidosis Normal Tinggi Tinggi


respiratorik

Tabel 2.2 : Acuan Nilai Hasil Pemantauan AGD dan pH ( FKUI, 2008)

4. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul toraks, seperti
fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma
serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya
pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan
pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi.
5. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnosa
adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus
dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat
diketahui segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya
meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
6. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat
trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya abnormalitas
gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat
menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti
hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti
kontusi jantung.

7. Angiografi

Gold Standard untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya cedera
aorta pada trauma tumpul toraks.

8. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.


9. Hb (Hemoglobin) : Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan
tubuh.

2.7 Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum
penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari
sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya
slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat
akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
a) Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di
bagian masuknya slang dapat dikurangi.
b) Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan
pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan,
atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

d. Mendorong berkembangnya paru-paru.


a) Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
b) Latihan napas dalam.
c) Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk
waktu slang diklem.
d) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.
Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara
bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap
1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
a. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang
keluar kalau ada dicatat.
b. Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
c. Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
d. Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan
slang harus tetap steril.
e. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.
f. Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal
: slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
3. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.

2.8 Pemeriksaan penunjang


a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
a). Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik,
observasi.
b). Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum
pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues
suction unit.
c). Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
d). Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800
cc segera thorakotomi.
2.9 Terapi :
a. Antibiotika
b. Analgetika
c. Expectorant.
2.10 Komplikasi
a. tension penumototrax
b. penumotoraks bilateral
c. emfiema
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :

1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.


2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.

3.2 Pemeriksaan Fisik


1. Sistem Pernapasan

a. Sesak napas

b. Nyeri, batuk-batuk

c. Terdapat retraksi klavikula/dada

d. Pengambangan paru tidak simetris

e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain

f. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks


(redup)

g. Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang

h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas

i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.

j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.


3. Sistem Kardiovaskuler :
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk
b. Takhikardia, lemah
c. Pucat, Hb turun /normal
d. Hipotensi.
4. Sistem Persyarafan : Tidak ada kelainan.
5. Sistem Perkemihan : Tidak ada kelainan.
6. Sistem Pencernaan : Tidak ada kelainan.
7. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
a. Kemampuan sendi terbatas
b. Ada luka bekas tusukan benda tajam
c. Terdapat kelemahan
d. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
8. Sistem Endokrine :
a. Terjadi peningkatan metabolisme
b. Kelemahan.
9. Sistem Sosial / Interaksi : Tidak ada hambatan.
10. Spiritual : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

3.3 Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
b. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
c. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
e. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.
g. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.

3.4 Intevensi Keperawatan


a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal
karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
-Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
-Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
-Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab
Intervensi :
-Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi
yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
-Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-
tanda vital.
-Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
-Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
b. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan
batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
-Menunjukkan batuk yang efektif.
-Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
-Klien nyaman.
Intervensi :
-Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan
sekret di sal. pernapasan.
-Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
-Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
-Lakukan pernapasan diafragma.
-Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
c. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme
otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
-Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
-Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
-Pasien tidak gelisah
-Intervensi :
-Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
-Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal
waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
-Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama
nyeri akan berlangsung.
-Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
-Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat
analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1 - 2 hari.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Bahwa Trauma Dada / Thorax adalah suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik
tumpul maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk)
pada rangka thorax. Perubahan bentuk pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan
fungsi atau cedera pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan paru-paru,
sehingga dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti Haematothorax,
Pneumothorax, Tamponade Jantung, dan sebagainya.

Trauma dada diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :

11. Trauma Tajam

a. Pneumothoraks terbuka
b. Hemothoraks
c. Trauma tracheobronkial
d. Contusio Paru
e. Ruptur diafragma
f. Trauma Mediastinal
12. Trauma Tumpul
a) Tension pneumothoraks
b) Trauma tracheobronkhial
c) Flail Chest
d) Ruptur diafragma
e) Trauma mediastinal
f) Fraktur kosta
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul karena trauma dada adalah :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.

You might also like