NYERI: KELUHAN YANG TERABAIKAN
KONSEP DAHULU, SEKARANG
DAN YANG AKAN DATANG
UNIVERSITAS GADJAH MADA.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 6 Desember 2004
di Yogyakarta
Oleh:
Prof. dr. KRT. Lucas Meliala, Sp.KJ, Sp-S(K)Yang terhormat
Kea, Sekretaris dan para Anggota Majelis Wali Amanat
Universitas Gadjah Mada,
Ketua, Sekreiaris, dan Anggota Majelis Guru Besar Universitas
Gudjah Mada,
Kemua, Sekretaris, dan Anggota Senut Akademik Universitas Gadjah
Mada,
Rektor, pura Wakil Rektor Senior, dant Wakil Rektor Universitas
Gadjah Mada,
Dekan, dan para Wakit Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjak Mada,
Yang terhormat para Tamu Undangan, Teman Sejawat, Sanak
Saudara, dan Handai Tolan,
Selamat pugi. Tuhan Yang Muha Kuasa menemani kita semua,
Sembah dan puji saya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
Maha Kuasa yang atas kasih-Nya di pagi hari yang indgh, Senin 6
Desember 2004, kits semua dapat berkumpul dalam mengikuti acara
khusus Rupat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada
di Balai Senat Universitas Gadjah Mada ini.
Perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besamnya kepada Ketua Majelis Guru Besar Universitas Gadjah
Mada yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Llmu
Penyakit Saraf di hadapan para ilmuwan dan undangan yang saya
muliakan, Judul pidato yang akan saya sampaikan ialah:
Nyeri: Keluban yang Terabaikan
Konsep Dahulu, Sekarang, dan yang Akan Datang
“Susah payuhmu waktu mengandung akan Kubuat sangat
banyak, dengan kesakitan exrgkau akan melahirkan anakm ....
Kejadian 3:162
Dari ayat Alkitab tersebut terungkap, bahwa manusia mulai
‘mengalami nyeri setelah kejatuhannya ke dalam dosa, yaitu sewaktu
Hawa dan Adam makan buah terlarang di Taman Eden (Firdaus).
Sebagian arang mengartikannya bahwa, kesakitan atau nyeri sebagai
hukuman Karena melanggar perintah Tuhan, Sebagian lainnya
‘mengartikannya sebagai konsekuensi
Hadirin yang saya muliakan,
Konsep nyeri
Kelompok studi nyeri Persatuan Dokter Spesiatis Saraf
Indonesia (Perdossi), pada tahun 2000, telah menerjemahkan
definisi nyeri dari Juternational Association for the Study of Pain
(IASP) sebagai berikut. “Nyeri adalah pengalaman sensorik dan
‘emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan,
baik aktual mau pun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
Kerusakan tersebut”.
Dalain kenyataan hidup sehari-hari, nyeri_diungkapkan
sebagai pengalaman, yang dilukiskan dengan ilustrasi, Mendefini-
sikan nyeri bukan hal yang mudah, sebab nyeri adalah perasaan
subjektif sama halnya dengan melibat wama merah, kuning;
mencium bau: harum, busuk: pencecapan rasa: manis, pahit, yang
kesemuanya itu merupakan persepsi panca indera dan tidak lazim
didefinisikan. Manusia mengenal wama merah hanya dengan
menunjukkan benda berwara merah, seperti buah delima. Rusa
‘manis dialami dengan makan gula yang dikatakan manis.
Sejak awal hidupnya, individu belajar untuk menggam-
barkan berbagai stimulus yang dialami atau mengenai tubuhnya
Stimulus tersebut dapat secara nyata telah merusak jaringan (fisik)
atau mempunyai potensi untuk itu. Stimulus nyeri berbeda dengan
stimulus panca indera, Sejak dilahirkan, manusia langsung terpapar
stimulus yang menyangkut panca indera. Bayi baru lahir langsung
merasakan adanya rubaan, melihat berbagai warna, mendengur
berbagai suara, dan mencium berbagai bau, dan sebagainya, walau
pun belum bisa mengungkapkan apa yang dialaminya . Discbabkan
sejak awal sudah terpapar dengan berbagai stimulus, maka3
dimungkinkan bagi sistem saraf untuk belajar. Sedangkan nyeri,
bisa dialami hanya bila ada stimulus yang cukup kuat yang
mengenai dirinya sehingga mampu menimbulkan rasa nyeri. Pada
mulanya bila bayi terpapar stimulus nyeri hanya bisa menangis,
(pain behavior). Kemudian setelah agak besar (sudah dapat bicara),
anak dapat mengemukakan nyeri yang dideritanya, Bagaimana
rasanya nyeri yang dialami dijabarkan dengan kata-kata: seperti
ditusuk jarum, seperti digigit semut, panas seperti terbakar,
berdenyut, dan sebagsinya. Kehidupan sosial, kognitif, memori,
budaya, dan kchidupan emosional memberi dampak pada seseorang,
dalam melukiskan pengalaman nyerinya.
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
‘menyenangkan. Pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan,
juga dirasakan seperti mual (nausea), pusing (vertigo), dan
sebagainya. Apakah mual dan pusing termasuk nyeri? Jawabannya
tidak, Pusing dan mual mempunyai ciri khas yang berbeda dengan
nyeri. Pusing merupakan komponen pergerakan dalam ruang yang
bukan merupakan pengalaman inyeri. Demikian juga rnual berbeda
dengan nyeri sebab mual selalu berhubungan dengan muntah.
Perasaan mual merupakan salah satu pengalaman yang dapat
Gipelajari sejak awal kehidupan ekstrauterin.
Hadirin yang saya hormati
Dari penelitian pada binatang terlihat bahwa berbagai
pengalaman pada awal kehidupan (ekstrauterin) sangat berperan
dalam perkembangan individu untuk merespon setiap stimulus.
Untuk pengalaman nyeri telah diamati, bahwa pada anak anjing
yang hidup di lingkungan terbatas (tidak banyak stimulus), tidak
menghindari stimulus noksius (menyakitkan) yang dutang dari
belakang (Merskey and Speir, 1967). Mamalia dilahirkan dengan
Kemampuan untuk menghindar dari berbagai stimulus noksius
(refleks menghindar), akan tetapi belum terorganisasi dengan baik
seperti pada kehidupan dewasa. Anak tikus yang berumur 10 hari
ata-rata menunjukkan kesalahan refleks menghindar 75% bikt
cekornya diberi rangsang yang menyakitkan. Kesalahan tersebut
berkurang 20% pada usia 20 hari (Waldestrom et af, 2003),4
Stimulus taktil dengan intensitas rendah (misainya: rabaan
halus) berperan sebagai faktor yang mempengaruhi' perkembangan
normal refleks menghindar. Bila aliran stimulus taktil ini diblok
pada fase perkembangan, maka proses belajar untuk refleks
menghindar terganggu. Dari bukti tersebut diambil kesimpuian
bahwa perkembsngan normal proses nosisepsi (terjadinya rasa
nyeri) dibentuk oleh input stimulus taktil (Peterson et al., 2003,
2004, Waldestrom et al., 2003).
Stimulus noksius mengganggu perkembangan _refleks
menghindar Bila stimulus noksius berlebihan pada fase awal
kehidupan seperti pada bayi lahir premetur dan dirawat di ruang
perawatan intensif, di mana berbagai prosedur invasif dilakukan
dengan terapi analgesia yang terbatas, dapat mengubah proses
belajar untuk refleks menghindar. Konsekuensinya bayi tersebut
‘memiliki nilai ambang nyeri yang rendah dan peningkatan
somatisasi.. Paparan stimulus noksius pada fase awal kehidupan
apat pula mengurangi respon tethadap nyeri, dan mungkin
‘mengubah kemampuan dalam menginterpretasi nyeri dengan baik,
dan meninjbulkan sensitisasi yang berkepanjangan. Bayi laki-laki
yang disunat pada waktu Tahir menunjukkan respon nyeri yang
berlebihan pada saat divaksinasi di usia 4-6 bulan (Taddio ef al.,
1995), ), hal tersebut dapat dicegah dengan anestesi lokal sebelum
sunat (Taddio et al., 1997).
Hadirin yang saya muliakan,
Kiasifikasi nyeri
Pengalaman sensorik dalam nyeri bersifat multidimensi dan
dengan berbagai tingkat variasi. Berdasarkan aspek intensitas..nyeri
dapat dikstegorikan alas nyeri ringan, sedang, dan berat;
berdasarkan lamanya nyeri dapat dikategorikan atas transient
(sementara), intermittent (berulang), dan persistent (menetap);
berdasarkan kualitas, nyeri dapat dikategorikan atas tajam, tumpul,
panas, dan sebagainya; berdasarkan waktu dapat dikategorikan atas
nyeri akut dan nyeri kronik. Selain komponen sensorik tersebut,
nyeri berdasarkan definisinya juga mempunyai komponen kognitif5
dan emosional yang schari-harinya dilukiskan dengan istilah
penderitaan (suffering).
Berdasarkan kemampuan manusia beradaptasi terhadap nyeri
yang dialaminya, nyeri dikategorikan atas nyeri adaptif dan
maladaptif. Nyeri adaptif berguna dalam proses survival karena
berfungsi untuk membangunkan refleks menghindar terhadap
stimulus noksius sebelum terjadi_kerusakan jaringan, Misalnya:
menghindar dari sengatan matahari. Bila telah terjadi kerusakan
jaringan, nyeri sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan,
khususnya pada proses inflamasi. Kebalikan dari keadaan tersebut
adalah nyeti maladaptif yung terjadi karena proses patologik di
sistem saraf, yang manfaatnya sampai sekarang belum diketahui.
Klasifikasi berdasarkan mekanisme nyeri banyak dipakai di
klinik, adalah sebagai berikut.
Nyeri nosiseptif' (nyeri fisiologik), yaitu nyeri_ sementara
sebagai respon terhadap stimulus noksius. Nyeri seperti ini jarang
mendorong penderita datang ke dokter, karena pada umumnya nyeri
hilang tanpa pengobatan atau dengan analgetik ringan. Ciri Khas
nyeri nosiseptif adalah adanya korclasi- positif antara kekuaten
stimulus dengan intensitas nyeri (Cervero and Laird, 1996) dan
merupaken sensasi fisiologik yang penting. Pasien’ yang tidak
mampu merasakan nyeri ini olch Karena kelainan kongeni
memiliki harapan hidup yang pendck (menggigit lidah sampai habis
tanpa merasa nycri).
Nyeri inflamasi dapat bersifat_spontan atau dapat pula
bersifat “dibangunkan” yang disebabkan oleh kerusakan jaringan
dan proses inflamasi. Nyeri jenis ini berguna untuk mempercepat
proses penyembuhan jaringan yang rusak. Gerakan jaringan yang
rusak berkurang oleh karena adanya nyeri, pada gilirannya hal
tersebut memungkinkan proses penyembuhan berjalan dengan baik
Bila lesi atau kerusakan jaringan sembuh, biasanya diiringi dengan
hilangnya rasa nyeri (Woolf, 2004; Meliala, 2004).
Nyeri neuropatik yaitu nyeri yeng disebabkan oleh lesi atau
disfungsi primer pada sistem saraf (Meliala et al., 2000). Nyeri tipe
ini sering ditemui pada penderita diabetes mellitus, nyeri6
pascaherpes, dan sebagainya. Nyeri tipe ini sangat menjengkeikan
dan pada umumnya sukar diterapi.
Nyerl psikogenik yaitu nyeri yang dikeluhkan tanpa
terdeteksi adanya kelainan organik. Woolf (2004) menyebutnya
nyeri fungsional Karena timbulnya nyeri tersebut disebabkan
abnormalitas atau gangguan fungsi sistem saraf pusat, yang berupa
eningkatan sensitivitas terhadap berbagai stimulus. Contoh nyeri
fungsionat antara lain: fibromialgia, nyeri kepala tegang otot, dan
sebagainya.
Pasien dengan nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, dan nyeri
fungsional sering datang ke fasititas kesehatan, dan ketiga kelompok
nyeri tersebut dapat pula disebut scbagai nycri Klinis. Meski pun
mempunyai karakter yang sama, penyebab ketiga jenis nyeri
tersebut berbeda, dan pilihan terapi farmaka untuk tiap-tiap keadaan
‘sangat berbeda satu sama lainnya. Karakter nyeri yang timbul dapat
spontan, atau "dibangunkan” (evoked pain). Nyeri yang "dibangun-
kan” dapat berupa hiperalgesia, yaitu respon yang berlebihan
terhadap stimulus noksius atau allodinia, yaitu nyeri yang
disebabkan oleh stimulus non noksius (misalnya: gesckan baju,
rabaan halus).
Epidemiologi nyert
Nyeri merupaken masalah Kesehatan yang kompleks, dan
merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari
pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa
memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan
(Crombie ef al., 1999).
Pada populasi anak-anak dan remaja, sindrom nyeri yang
terjadi sangal bervariasi. Nyeri yang terjadi adalah akibat dari
penyakit diderita yang mendasari seperti kanker, juvenile arthritis,
trauma, dan sebagainya (McGrath, 1999). Pada populasi remaja
bentuk nyeri yang paling umum adalah fibromialgia, dismenore,
nyeri kepala migren, somatisasi, dan nyeri yang non spesifik. Pada
populasi lanjut usia kondisi nyeri kronik meningkat sangat tajam.7
Letak anatomis utama munculnya keluhan nyeri adalah pada
persendian dan nyeri punggung bawah. Nyeri sendi pada populasi di
atas usia 65 tahun meningkat dua kali lipat dibanding periode usia
sebelumnya. Menurut Bennet (1997) dan Tollison (1998) di
“Amerika Serikat terdapat kira-kira 75-80 juta penderita nyeri kronil
25 juta diantaranya adalah arthritis. Jumlah penderita nyeri
neuropatik lebih kurang 1% dari seluruh penduduk, nyeri punggung,
bawah diperkirakan 15% dari jumlah penduduk (Fordyce, 1995).
Insidensi_maupun prevalensi nyeri akut belum diketahui, tetapi
diperkirakan operasi din trauma adalah penyebab utamanya (Loeser
and Melzack, 1999, McQuay and Moore, 1999),
Hasil penelitian multisenter di unit rawat jalan di 14 rumah
sakit pendidikan di seluruh Indonesia yang dilakukan kelompok
studi nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi
Nyeri Perdossi) pada bulan Mei 2002, didapatkan 4.456 kasus nyeri
yang merupakan 25% dari total kunjungan pada bulan tersebut.
Jumlah penderita laki-laki sebanyak 2.200 orang, dan, perempuan
2.256 orang. Kasus nyeri kepala berjumiah 1.598 orang (35,86%),
rnyeri punggung bawah (pinggang) 18,37%, nyeri neuropati yang
merupakan gabungan nyeri neuropati diabetika, nyeri pascaherpes,
dan neuralgia trigeminal sebanyak 422 orang (9,5%), dan nyeri
lainnya seperti nyeri bahu, tengkuk, sendi, miofasial, dan
sebagainya sebanyak 1.617 orang (36,27%).
Hadirin yang saya hormati,
Dampak dan permasalahan nyeri
Nyeri akut akibat adanya lesi jaringan, dapat berlangsung
singkat dan sembuh dengan sempurna, akan tetapi tidak jarang
ditemukan nyeri_ yang berkepanjangan akibat lesi jaringan’ tidak
pemah sembuh atau fesi sudah sembuh tetapi serabut- saraf telah
mengalami perubahan fenotip (nyeri neuropatik). Nyerl seperti ini
sering disebut nyeri kronik (dapat berupa nyeri inflamasi atau nyeri
neuropatik) yang dianggap bukan sebagai gejala dari suatu penyakit.
tetapi lebih merupakan penyakit dengan tanda (sign) seperti muka
yang terus menerus merengut, perilaku mencari pengobatan terus-8
menerus dengan pindah-pindah dokter/dukun, dan gejala-gejala
seperti cemas (anxiety), depresi, atau gangguan tidur (insomnia).
Gejala seperti tersebut di atas dapat dikatakan sebagai dampak nyeri
(Carr and Goudas, 1999: Turk and Okifuji, 1999) yang dapat
menurunkan kualitas hidup.
Nyeri bukan hanya simtom pasif dari suatu penyakit, akan
tetapi lebih merupakan agresivitas penyakit itu sendiri yang dapat
‘menyebabkan berbagai perubahan di otak yang mendasari nyeri
kronik. Nyéri dapat menekan sistem imun dan merusak sel-sel anti
kunker (Morris, 2003). Otak menerima impuls dari perifer lalu
dimodutasi, dan disimpan sebagai pengalaman nyeri yang dapat
dibangunkan tanpa adanya input nosiseptif. Sebagai contoh,
manusia tidak membutuhkan adanya kaki untuk merasakan nyeri di
kaki, seperti pada penderita nyeri fantom.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu dengan nyeri,
lebih-lebih’ yang mengalaminya secara berkepanjangan, sering
disertai dengan penderitaan (suffering). Tidak jarang pula nyeti
ianggap sinonim dengan penderitaan. Pendapat tersebut didasarkan
karena nyeti dianggap sebagai penyebab dan penderitaan sebagai
cfek. Apakah benar nyeri bersinonim dengan penderitaan? Secare
teoritis, Keduanya berbeda sekali pun sering terjadi bersamzan
Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seorang yang
menderita nyeri akibat patah tulang dalam kecetakaan tidak tampak
terlalu menderita, walau pun ada nyeri (Karena mengetabui bahwa
patah tulang akan sembuh dengan baik). Sebaliknya, seseorang yang
patah hati tampak sangat menderita, walau pun tidak ada rasa nyeri
dan gangguan fisik yang menyertainya.
Nyeri yang persisten selalu mengganggu kehidupan sehari-
hari penderita. Gangguan tersebut pada gilirannya dapat
menyebabkan krisis identitas. Krisis identitas dialami sebagai
penderitaan, misalnya seorang yang menderita nyeri punggung dan
membutuhkan bantuan orang iain untuk bisa buang air kecil dan
bbuang air besar.
Dokter sebaiknya mengerti mengenai penderitaan (suffering),
walau pun tidak dapat dipalpasi mau pun diauskultasi. Pendesitaan
dapat dicegah, meski pun penderitaan terpisah dari biomedicine dan
dapat dikatakan sebagai konsekuensi penyakit yang bukan termasuk9
dalam bidang kedokteran. Penanggulangan penderitaan yang berupa
konseling pastoral, pada umumnya (di huar negeri) dilakukan di
Klinik multidisiplin (Morris, 2003), Tantangan dan kesempatan bagi
kita di Indonesia untuk memikirkan pengadaan Klinik sejenis yang
‘menurat pengamatan saya, belum ada klinik multidisiplin seperti
dimaksud. Di samping dampak psikologis tersebut di atas, nyeri
dapat juga menyebsbkan kenaikan tekanan darah, palpitasi
(berdebar-debar), penurunan aktivitas, sampai disabilitas,
Secara ekonomi, nyeri sangat membebani penderita dan
keluarganya. Di Amerika Serikat pembiayaan dan nilai kerugian
akibat nyeri punggung saja mencapai sekitar 2585 milyar dollar per
tahun dan di Inggris sekitar 6 milyar poundsterling per tahun.
‘Sebagian besar kerugian disebabkan oleh hilangnya jam kerja dan
biaya-biaya pengobatan, sehingga sangat membebani perckonomian
bangsa dan negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nyeri dapat
mengubah individu secara menyeluruh, fisiologik, psikologik
maupun secara sosial ekonomi. Mengingat dampak nyeti yang
begitu juas, maka sebaiknya penatalaksanaan nyeri dilakukan
dengan optimal dan rasional, dengan tujuan mengurangi dampak
nyeri tersebut, dan demi tercapainya masyarakat Indonesia yang
sejahtera.
“Our well-being, is only freedom from pain” (deMomtaige, 1592)
Sampai saat ini, penanganan nyeri masih belum memadci,
baik di Indonesia maupun dunia intemasional. Field (1997)
‘mengatakan “ We are clearly not doing a good job with chronic
pain” dan Watt-Wason (1999) mengatakan “Effective pain
management to be problematic in Canada as well as
internationally". Penelitian Warfield and Khan (1995) mendapatkan
Gata bahwa 77% dari 500 pasien yang dioperasi dalam 5 tahun
erakhir mengalami nyeri, di mana 50% diamtaranya nyeri dirasakan
seat rawat inap, dan 45% saat rawat jalan, dengan intensitas nyeri
ringan sampai berat
Nyeri akut dapat berubah menjadi nyeri kronik, terbukti dari
penelitian Perkins and Kehlet (2000), di mana insidensi nyeri10
kronik pasca amputasi tungkai sekitar 35-85%, pasca thorakotomi
22-67%, pasca operasi payudara 31-80%, pasca operasi kandung,
kemih terbuka 22-60% dan 4-37% pasca operasi hernia
Untuk penderita nyeri neuropatik, dari berbagai penelitian
yang sistematis dengan berbagai pengobatan, ternyata penyembuhan
dengan kategori sedang sampai baik hanya pada 1/3 dari seluruh
pasien (McQuay and Moore, 1998; Shindrup and Jansen, 1999).
Bagaimana dengan dampak dan permasalahan nyeri di
Indonesia? Sepanjang pengetahuan saya, belum ada data yang