You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemerintahan yang berdaulat merupakan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi untuk
berdirinya suatu negara. Pemerintahan adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin
organisasi negara untuk mencapai tujuan. Oleh karenanya pemerintah sering menjadi
personifikasi sebuah negara. Pemerintah melaksanakan tujuan negara dengan menjalankan
fungsi-fungsinya untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam menjalankan fungsinya
sebagaimana yang dimaksud, maka pemerintah membagi kekuasaan kedalam beberapa organ
dengan tujuan adanya pembagian tugas dan kewenangan. Pembagian kekuasaan dalam sistem
pemerintahan di Indonesia di bagi menjadi tiga, yaitu kekuasaan perundang-undangan
diserahkan kepada lembaga legislatif, kekuasaan pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada
lembaga eksekutif, dan kekuasaan pengawasan diserahkan kepada lembaga yudikatif.
Dalam makalah ini akan membahas salah satu pembagian kekuasaan dalam sistem
pemerintahan Indonesia yaitui lembaga eksekutif. Eksekutif adalah cabang pemerintahan yang
bertanggung jawab mengimplementasikan atau menjalankan hukum. Dengan kata lain
eksekutif melaksanakan substansi undang-undang yang telah disahkan oleh lembaga legislatif.
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif yang biasanya terdiri dari kepala
negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1. Apa pengertian dari eksekutif?
2. Apa saja bentuk-bentuk badan eksekutif negara?
3. Apa saja wewenang dan kekuasaan badan eksekutif?
4. Apa saja fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif?
5. Bagaimana pengaruh kekuasaan eksekutif terhadap ajaran trias politika?
6. Apa hubungan badan eksekutif dan legislatif dalam sistem ketatanegaraan RI?
7. Bagaimana perkembangan kekuasaan eksekutif di Indonesia?

1.3 Tujuan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Agar dapat memahami pengertian eksekutif.
2. Agar dapat mengetahui bentuk-bentuk badan eksekutif negara
3. Agar dapat mengetahui wewenang dan kekuasaan badan eksekutif.
4. Agar dapat mengetahui fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif.
5. Agar dapat memahami pengaruh ajaran trias politika.
6. Agar dapat mengetahui hubungan badan eksekutif dan legislatif dalam sistem ketatanegaraan
RI.
7. Agar dapat memahami perkembangan kekuasaan eksekutif di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lembaga Eksekutif


Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) yang berarti pelaksana. Lembaga eksekutif
adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan perundang-undangan
yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan
eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam arti sempit yang melaksanakan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan haluan negara, untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan sebelumnya.
Organisasinya adalah kabinet atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin
departemen dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
Menurut tafsiran tradisional azas Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquieu, tugas
badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan
legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya badan eksekutif leluasa sekali ruang-geraknya. Zaman modern telah
menimbulkan paradoks, bahwa lebih banyak undang-undang yang diterima oleh badan legislatif
dan yang harus dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan
badan eskekutifnya.

2.2 Bentuk-Bentuk Badan Eksekutif Negara


Bentuk-bentuk lembaga eksekutif yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Presiden dan Wakil Presiden
Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, membatasi masa jabatan
presiden/wakil presiden selama 2 periode. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
(eksekutif) berdasarkan konstitusi. Dalam melakukan tugas tersebut, presiden dibantu wakil
presiden. Presiden juga berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada DPR. Selain itu,
Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
Undang-undang. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tidak dipilih dan diangkat oleh MPR
melainkan langsung dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
partai politik atau gabungan partai politik sebelum Pemilu. Setelah terpilih, periode masa jabatan
Presiden adalah 5 tahun, dan setelah itu, ia berhak terpilih kembali hanya untuk 1 lagi periode.
Presiden dengan persetujuan DPR dapat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
perjanjian dengan negara lain. Dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Disamping itu, Presiden juga memiliki hak untuk memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada yang diberikan oleh
presiden. Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Presiden juga memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Amnesti adalah pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-undang) yang
memuat pencaabutan semua akibat pemidanaan dari suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau
satu kelompok perbuatan pidana (delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan
bersalah melakukan delik-delik tersebut. Abolisi adalah penghapusan terhadap seluruh akibat
penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah
melakukan delik.
Gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya juga diberikan Presiden kepada individu
maupun kelompok yang diatur dengan undang-undang. Dalam melakukan tugasnya, Presiden
dapat membentuk suatu dewan pertimbangan untuk memberikan nasehat dan pertimbangan
kepadanya, dan ini diatur dengan undang-undang.
2. Kementrian Republik Indonesia
Menteri adalah pembantu presiden. Ia diangkat dan diberhentikan oleh presiden untuk suatu
tugas tertentu. Kementrian di Indonesia dibagi ke dalam 3 kategori yaitu Kementerian
Koordinator, Kementrian Departemen, dan Kementrian Negara.
Kementrian Koordinator bertugas membantu presiden dalam suatu bidang tugas. Di
Indonesia, menteri koordinator terdiri atas 3 bagian, yaitu : Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator bidang Perekonomian; Menteri Koordinator
bidang Kesejahteraan Rakyat. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
bertugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan,
serta mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Fungsi
yang ada padanya adalah:
a. Pengkoordinasian para Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non
Departemen (LPND) dalam keterpaduan pelaksanaan tugas di bidang politik dan keamanan,
termasuk permasalahan dalam pelaksanaan tugas.
b. Pengkoordinasioan dan peningkatan keterpaduan dalam penyiapan dan perumusan kebijakan
pemerintahan Kantor Menteri Negara, Departemen, dan Lembaga Pemerintah Non Departemen
(LPND) di bidang politik dan keamanan.
c. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan
- Menteri Negara
Menteri Negara bertugas membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi
terhadap kebijakan seputar bidang. Menteri Negara RI terdiri atas 10 bidang strategis yang harus
dipimpin seorang menteri negara. Ke-10 bidang tersebut adalah :
a) Menteri Negara Riset dan Teknologi,
b) Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
c) Menteri Negara Lingkungan Hidup,
d) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
e) Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,
f) Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal,
g) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,
h) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara,
i) Menteri Negara Perumahan Rakyat, dan
j) Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

- Menteri Departemen
Menteri Departemen, adalah para menteri yang diangkat presiden dan mengatur bidang kerja
spesifik. Menteri Departemen mengepalai satu departemen. Di Indonesia kini dikenal ada 21
Departemen yang dipimpin seorang menteri. Departemen-departemen tersebut adalah :
a) Sekretaris Negara
b) Dalam Negeri
c) Luar Negeri
d) Pertahanan
e) Hukum dan HAM
f) Keuangan
g) Energi dan Sumber Daya Mineral
h) Perindustrian
i) Perdagangan
j) Pertanian
k) Kehutanan
l) Perhubungan
m) Kelautan dan Perikanan
n) Tenaga Kerja dan Transmigrasi
o) Pekerjaan Umum
p) Kesehatan
q) Pendidikan Nasional
r) Sosial
s) Agama
t) Kebudayaan dan Pariwisata
u) Komunikasi dan Infomatika

- Lembaga Setingkat Menteri


Lembaga Setingkat Menteri adalah lembaga-lembaga yang secara hukum berada di bawah
Presiden. Namun, lembaga ini memiliki karakteristik tugas khas yang membutuhkan tata cara
pengurusan tersendiri. Di Indonesia, lembaga setingkat menteri terdiri atas :
a) Sekretaris Kabinet
b) Kejaksaan Agung
c) Tentara Nasional Republik Indonesia
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia

- Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)


LPND mirip dengan kementrian departemen, akan tetapi lebih sempit wilayah yang dibidangi
dan biasanya dikepalai oleh seorang Kepala. LPND yang dikenal di Indonesia adalah :
a) Arsip Nasional Republik Indonesia
b) Badan Intelijen Negara
c) Badan Kepegawaian Negara
d) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
e) Badan Koordinasi Penanaman Modal
f) Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
g) Badan Metereologi dan Geofisika
h) Badan Pengawasan Obat dan Makanan
i) Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi
j) Bedan Pengawas Tenaga Nuklir
k) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
l) Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
m) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
n) Badan Pertanahan Nasional
o) Badan Pusat Statistik
p) Badan Standarisasi Nasional
q) Badan Tenaga Atom Nasional
r) Badan Urusan Logistik
s) Lembaga Administrasi Negara
t) Lembaga Ilmu Pengetahuan Nasional
u) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
v) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

2.3 Wewenang dan Kekuasaan Badan Eksekutif


Wewenang menurut Miriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang:
1. Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
dan peraturan perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
2. Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan
perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.
3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata,
menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri.
4. Yudikatif, memberikan grasi dan amnesti, dan sebagainya.
5. Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-
negara lain.
Wewenang dan kekuasaan eksekutif yaitu Presiden juga di jelaskan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 mengenai penyelenggaraan pemerintah Negara yang tertinggi. Tanggung jawab
pelaksanaan pemerintahan berada pada Presiden.
Berikut kekuasaan Presiden dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen):
Pertama: sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.
(2) Dalam melaksanakan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Kedua: sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya.
Kewenangan Presiden sesuai dengan Pasal 5 UUD amandemen adalah mengajukan rancangan
Undang-Undang, yang kewenangan sebelum diamandemen Presiden berhak membentuk
Undang-Undang.
Ketiga: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara (Pasal 10 UUD 1945 amandemen).
Keempat: Presiden berhak menyatakan perang dan menyatakan bahaya (Pasal 11 UUD 1945 amandemen).
Kelima: Presiden berwenang mengangkat duta, konsul dan menerima duta dari Negara lain (Pasal 13
UUD 1945 amandemen).
Keenam: Presiden berwenang memberi grasi, rehabilitasi, abosili dan amnesti (Pasal 14 UUD 1945
amandemen).
Ketujuh: Presiden berwenang untuk memberi gelar dan tanda jasa.
Presiden sebagai pelaksanaan semua keputusan yang dikeluarkan lembaga tertinggi Negara
yaitu MPR, seakan-akan Presiden mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas dalam
melaksanakan pemerintahan, kekuasaan presiden itu sendiri dibatasi dengan berbagai ketentuan.
Karena luasnya tugas Presiden dalam pelaksanaan pemerintahan, maka dalam melaksanakan
tugasnya presiden berhak untuk mengangkat Presiden maka menteri harus bertanggung jawab
kepada Presiden. Pertanggung jawaban menteri kepada Presiden ini bukan bentuk tanggung
jawab secara yuridis akan tetapi pertanggung jawaban secara organisatoris, artinya bukan
pertanggung jawaban sebagai mana tanggung jawab Presiden kepada MPR setiap akhir
jabatannya.

2.4 Fungsi-Fungsi Kekuasaan Eksekutif


Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of
government, Party chief, Commander in chief, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
a Chief of State, artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan
kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana
Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini
misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta
besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
b Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri
yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin
perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional,
menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam
tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala
pemerintahan.
c. Party Chief, berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu
partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara
yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu.
d. Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana
menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri,
meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat
pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah
orang bukan kalangan militer.
e. Dispenser of Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian
dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh
presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh
presiden atau perdana menteri.
f. Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-
undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam
sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu
undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak
ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.

2.5 Kekuasaan Eksekutif Dalam Ajaran Trias Politika


Biasanya, dalam sistem politik, struktur dibedakan atas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Ini menurut ajaran trias politika, meskipun tidak banyak negara yang menerapkan
ajaran ini secara murni. Dalam perkembangannya, negara-negara demokrasi modern cenderung
menggunakan asas pembagian kekuasaan dibandingkan dengan menggunakan asas pemisahan
kekuasaan murni sebagaimana diajarkan oleh John Locke, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga
yakni kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif,dan kekuasaan federatif. Masing-masing
kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain.
Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya
termasuk kekuasan mengadili. Miriam Budiardjo mengatakan,Tugas badan eksekutif menurut
tafsiran tradisional trias politika hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan
oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.
Eksekutif berasal dari bahasa Latin, execure yang berarti melukakan atau melaksanakan.
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara demokratis, badan
eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden. Badan eksekutif dalam
arti luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.
Dalam sistem presidensial mentri-mentri merupakan pembantu presiden dan dipilih olehnya,
sedangkan dalam sistem parlamenter para mentri dipimpin oleh seorang perdana mentri.
Tipe Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:
a Hareditary Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan
keturunan. Contohnya adalah Inggris dengan dipilihnya kepala negara dari keluarga kerajaan.
b Elected Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan
legislatif ataupun lembaga pemilihan.

Sistem Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:


a Sistem pemerintahan parlementer kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah.
Kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara dipimpin oleh
presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi sebagai simbol suatu negara yang
berdaulat.
b Sistem pemerintahan presidensial kepala pemerintahan dan kepala negara, keduanya
dipengang oleh presiden.
Kekuasaan eksekutif dipengaruhi oleh:
1. Sistem pemerintahan
- Presidensiil. Hubungan di dalam sebuah trias politika tidak dapat saling menjatuhkan. Contoh:
Indonesia 2004- sekarang.
- Parlementer. Ada bagian di dalam sebuah trias politika yang dapat menjatuhkan bagian lain,
yaitu legislatif terhadap eksekutif riil. Contoh: Indonesia pada era parlementer.
- Presidensiil semu: eksekutif tidak dapat di jatuhkan oleh pengemban kekuasaan legislatif.
Namun ironisnya, ada lembaga tertinggi negara yang notabene adalah bagian dari legislatif dan
dapat menjatuhkan eksekutif. Contoh: Indonesia pada masa Orde Baru.
- Parlementer semu: eksekutif riil merupakan bagian dari legislatif karena ia dipilih oleh
legislatif (parlemen) dan konsekuensinya ia dapat dijatuhkan parlemen. Namun, parlemen
ternyata dapat juga dibubarkan oleh eksekutif, tepatnya eksekutif nominal. Contoh: Perancis,
dimana PM dapat dipecat parlemen, dan parlemen dapat dibubarkan presiden sekaligus
mempercepat pemilu legislatif.
2. Jenis eksekutif
- Eksekutif riil adalah bagian dari eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan. Contoh:
kepala pemerintahan.
- Eksekutif nominal adalah bagian dari eksekutif yang menjalankan kekuasaan simbolik dan
seremonial. Contoh: kepala negara.
3. Fungsi dasar eksekutif
- Kepala negara. Tugas utama: menjadi simbol negara dan memimpin kegiatan seremonial
kenegaraan.
- Kepala pemerintahan. Tugas utama: memimpin kabinet (menjalankan pemerintahan).
4. Konsekuensi dari implementasi prinsip kekuasaan yang mempengaruhi pola hubungan dalam
trias politika.
- Pemisahan kekuasaan.
- Pembagian kekuasaan.
5. Asas pemerintahan yang diaplikasikan eksekutif
- Sentralisasi
- desentralisasi
- dekonsentrasi
- medebewind
2.6 Hubungan Badan Eksekutif dengan Badan Legislatif
DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat
Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif
atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari
fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan
kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka
tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga
dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai
tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan
eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki
hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan
partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik
kepentingan antar partai yang ada.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar
1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian
karena hampir tidak ada konflik antara Eksekutif dan Legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai
pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga
eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil.
DPR yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu manut dengan apa yang
ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa
reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan
presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat. Hal ini bisa dilihat ketika
DPR menjatuhkan impeachment terhadap Gus Dur.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini
presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang telah
mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Perubahan sistem
pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara Presiden dengan
anggota DPR itu sendiri. Pengaruh yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara Presiden
dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung,
membuat Presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak
bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat.
Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi
dengan kelompok oposisi. Hal ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi
semakin kuat. Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem
presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden dengan
legislatif karena sistem tersebut. Linz menyatakan bahwa jika dalam sistem seperti disebut di
atas, maka hubungan antara eksekutif dan legislatif akan mengalami deadlock. Cile juga
berpandapat serupa bahwa deadlock bisa terjadi dan itu akan menghalangi proses demokrasi.
Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem
presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang
tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan
legislatif, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak
bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan
anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ketakutan eksekutif akan kekuasaannya.
Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu terjadi di setiap
pemerintahan. Dulu semasa pemerintahan Orde Baru, ada Sri Bintang Pamungkas, masa Gus
Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment terhadap Gus Dur, dan sekarang pada
masa SBY-JK, diantaranya adalah intepelasi DPR terhadap penggantian panglima TNI oleh
Presiden SBY, soal impor beras pada masa SBY, tentang pemilihan Gubernur BI, tentang Iran,
dan sebagainya.
Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan SBY-JK ini patut dicermati.
Hal ini terkait karena pada pemilihan presiden 2004 lalu, SBY-JK terpilih dari partai kecil dan
dukungan minoritas di legislatif (DPR). Presiden SBY kemudian membentuk kabinet Indonesia
Bersatu yang bukan merupakan kabinet keahlian melainkan kabinet koalisi. Hal ini dilakukan
SBY karena dia dan wakilnya berasal dari partai kecil maka dia berusaha untuk mencegah
rongrongan dari DPR dengan membentuk kabinet koalisi dari partai-partai. Hal ini juga
menimbulkan adanya fenomena dua kaki, yaitu partai dimana wakilnya menduduki menteri
dalam kabinet Indonesia Bersatu, dan sementara di dalam DPR, partai ini menjadi partai oposisi.
Kasus SBY-JK dimana mereka terpilih dari partai kecil mengharuskan SBY-JK menjalin
hubungan yang baik dengan DPR. Hal ini disebabkan oleh banyaknya aspek yang memerlukan
kompromi politik dengan DPR, misalnya dalam penetapan anggaran Bila hubungan tidak
berjalan dengan baik, maka sangat mungkin sering terjadi penolakan-penolakan oleh DPR
terhadap pengajuan anggaran ataupun pengajuan kebijakan ataupun RUU, dan lain-lain.
Penolakan-penolakan ini tentunya akan membuat pemerintahan berjalan dengan tidak efektif.
Hubungan eksekutif dan legislatif yang tidak menunjukkan sinyal positif disebabkan oleh
keegoisan di masing-masing pihak dimana mereka sama-sama merasa mempunyai legitimasi
yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya
eksekutif dan legislatif selalu bekerjasama dimana yang satu menjadi pelaksana dan yang satu
menjadi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini tentunya akan lebih baik dibandingkan
hubungan yang saling menjatuhkan dan ujungnya sebenarnya tidak berpihak kepada rakyat
hanya kepentingan kelompok masing-masing saja. Namun, terlepas dari itu semua, hubungan
antara eksekutif dan legislatif ini memang sedang mencari jati dirinya karena kita semua sedang
belajar tentang demokrasi.

2.7 Kekuasaan Eksekutif Di Indonesia Dari Masa Orde Lama-Reformasi


Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan
diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno
sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia
bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
1. Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Kontitusional (1945-1959)
Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949, dan1950, ternyata kurang cocok untuk
Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain.
Persatuan yang dapat digalang untuk salalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan
tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena
lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-
partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana badan
eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan mentri-mentrinya
mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik setiap kabinet
berdasarkan koalisi yang berkisar pada pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai
kecil.
Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi sewaktu-waktu tidak segan
menarik dukungannya. Dilain pihak partai oposisi, tidak mampu berperan sebagai oposisi yang
kontruktif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi. Umumnya kabinet
dalam masa pra pemilu yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-
rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena
pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan programnya. Pun pemilu tahun 1955
tidak membawa stabilitas yang diharapakan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan
yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai
yang tidak tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara
untuk Undang-Undang Dasar baru, mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menjadi
awal dari masa demokrasi terpimpin yang menggantikan masa demokrasi kontitusional.

2. Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)


Dengan kembalinya ke UUD 1945 yang dianggap satu-satunya jalan keluar, maka
kepemimpinan Soekarno sebagai kepala negara tidak terbatas, apalagi MPRS tidak berfungsi,
kecuali dalam melegalisasi "kebijakan" yang diambil presiden, bahkan telah mengangkat
Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, sedangkan DPR produk Pemilu I dibubarkan melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha
untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang
kuat.
Mulai Juni 1959 UUD 1945, berlaku kembali dan menurut ketentuan UUD 1945 itu badan
eksekutif terdiri atas seorang presiden, Wakil Presiden beserta mentri-mentri. Kekuasaan
eksekutif diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab III pasal 4 samapai dengan 15.
Mentri-mentri membantu Presiden dan diangkat serta dihentikan olehnya. Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dan Presiden merupakan Mandataris MPR. Ia
bertanggung jawab kepada MPR dan kedudukannya untergeordnet kepada MPR.
Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya dibatasi oleh
peraturan-peraturan dalam UUD 1945 dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu undang-
undang. Selama masa itu presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya presiden tidak
mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR
.Presiden memerlukan persetujuan dari DPR untuk membentuk Undang-Undang dan utuk
menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Dalam
keadaan memaksa presiden menetapakan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-
undang, maka peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujauan DPR.
Selain itu presiden berwenang menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menalankan
Undang-Undang sebagaiman mestinya dan presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas
angkata darat, angaktan laut, dan udara.
Pada masa demokrasi terpimpin terjadi dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai
politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial
politik. Dalam masa demokrasi terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai dengan keinginannya
untuk memperkuat kedudukannya oleh MPRS ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu
pula dengan pejabat teras dari Legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong) dan
dari badan Yudikatif (yaitu ketua Mahkamah Agung) diberi status mentri. Dengan demikian
jumlah mentri lebih dari seratus.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat
pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol
ditiadakan. Bahkan pemimpin DPR dijadikan mentri dan dengan demikian ditekankan fungsi
pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah
ditinggalkannya doktrin Trias Politika.
Penyimpangan lain dalam demokrasi terpimpin adalah campur tangan presiden dalamm
bidang Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk melakukan intervensi di bidang
yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No.14 tahun 1960 dalam hal
anggota DPR tidak mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu rancangan Undang-
Undang.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai tindakan
pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang memakai Dekrit 5 Juli 1959
sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ektra kontitusional seperti front
nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai denga taktik
komunisme internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke
arah terbentuknya demokrasi rakyat.
Partai politik dan pers dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan, dan
ditutup, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri
telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. Pada masa orde lama terjadi
persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI. Persaingan ini mencapai klimaks dengan
meletusnya perisiwa Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh PKI. Ketika itu bangsa
Indonesia didominasi oleh partai komunis yang sangat kuat.
3. Awal Orde Baru
Peristiwa Gerakan 30 September PKI mengakhiri masa Demorasi Tepimpin yang dengan
demikian masa orde lama pun berakhir. Malalui ketetapan MPRS No.II tahun 1667, jabatan
Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara dicabut dari tangan Bung Karno.
Dengan ketetapan MPRS No.XXXXIV tahun 1968, Jendral Soeharto dipilih MPRS sebagai
presiden. Jabatan wakil presiden untuk sementara tidak diisi. Dengan undang-undang ditetapkan
bahwa menteri tidak boleh merangkap menjadi anggota DPR. Jumlah menteri dikurangi menjadi
sekitar 23, yang kebanyakan dipilih atas dasar keahlian dalam rangka penyelenggaraan Rencana
Lima Tahun yang menjadi program kabinet.
Dalam sidangnya pada tahun 1973 MPR telah memilih Jenderal Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia dn Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil Presiden.
Perkembangan politik di Indonesia pada masa-masa awal Orde Baru menunjukkan peranan
Presiden Soeharto yang semakin dominan. Di samping kewenangan-kewenangan yang diberikan
oleh UUD 1945, situasi politik Indonesia memberikan kesempatan yang besar bagi Presiden
Soeharto untuk berperan sebagai presiden yang dominan. Presiden Soeharto adalah tokoh utama
yang tampil setelah Gerakan 30 September/PKI, yang memimpin usaha-usaha pemberantasan
komunis di Indonesia. Meskipun Jenderal Nasution lebih senior, namun posisinya sebagai Ketua
MPRS memberi peluang kepada Soeharto untuk tampil sebagai presiden berikutnya yang
menggantikan Presiden Soekarno. Senioritas Soeharto dalam Angkatan Darat memperkuat
posisinya dalam dunia politik Indonesia. Peranan dominan Soeharto semakin menguat seiring
dengan usia Orde Baru.
Ternyata kesabaran memang ada batasnya. Kekuasaan yang dominan menghasilkan
penyelewangan politik yang berujung pada maraknya praktik-praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme). Perkembangan politik tersebut menyulut terjadinya protes besar-besaran yang
dilakukan oleh para mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia dengan cara menduduki
gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta. Gerakan mahasiswa ini mampu memaksa pimpinan
MPR/DPR untuk mendukung gerakan tersebut dan menuntut pengunduran diri Presiden
Soeharto. Desakan rakyat tersebut membuat Presiden Soeharto mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri sebagai Presiden pada tanggal 20 Mei 1998 yang menandai berakhirnya
periode Orde Baru dalam sejarah politik Indonesia.
4. Orde Reformasi
Masa sesudah Orde Baru dikenal sebagai Orde Reformasi. Yang ingin dilakukan setelah
Orde Baru tumbang pertama-tama adalah melakukan perubahan-perubahan politik sehingga
sistem politik indonesia menjadi lebih demokratis. Praktik-praktik yang kurang demokratis
dihilangkan dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan. Undang-
undang politik yang baru dan lebih demokratis dikeluarkan pada awal 1999. Dan UU tentang
pemerintahan daerah yang lebih demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang sama. UU
politik baru menghasilkan Pemilu 1999 yang dianggap sebagai Pemilu yang demokratis.
Pemerintahan daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala
daerah sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.
Langkah terobosan yang dilakukan oleh Orde Reformasi adalah mengamandemen UUD
secara drastis sehingga UUD 1945 yang asli menjadi sangat berbeda dibandingkan UUD 1945
hasil amandemen. Sebagai contoh, masa jabatan Presiden lebih dipertegas selama lima tahun
sehingga tidak ada lagi penafsiran yang dapat membuat seorang presiden terpilih lebih dari dua
kali.
UUD 1945 hasil amandemen memperkuat sistem presidensial di Indonesia dengan
mengadakan pemilihan untuk memilih presiden/wakil presiden (pilpres) secara langsung oleh
rakyat. Pilpres memperkuat legitimasi presiden karena ia dipilih langsung oleh rakyat seperti
DPR. Di samping itu, UUD 1945 hasil amandemen mempersulit pemecatan (impeachment)
presiden oleh MPR. Pemecatan presiden dalam UUD 1945 yang asli dapat dilakukan dengan
mudah oleh MPR. Bila DPR melihat bahwa presiden telah menyimpang dari GBHN atau telah
melakukan kebijakan-kebijakan yang berbeda dari pandangan DPR, DPR dapat mengundang
MPR untuk melakukan Sidang Istimewa yang khusus diadakan untuk memecat presiden. Dalam
UUD 1945 hasil amandemen, presiden tidak dapat dipecat karena masalah politik. Presiden
hanya dapat dipecat bila ia dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela..... Hal ini diatur dalam pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen. Proses pemecatan ini
juga melalui proses panjang karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden harus
diverifikasi oleh Mahkamah Konstitusi.
Amandemen UUD 1945 mengurangi peranan presiden dalam fungsi legislatif. Pasal 20 Ayat
(1) UUD 1945 hasil amandemen mengatakan bahwa kekuasaan membentuk UU dipegang oleh
DPR. Hal ini jelas berbeda dari UUD 1945 asli seperti telah disebutkan sebelumnya yang
mengatakan bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk UU. Setiap RUU harus
dibicarakan bersama oleh DPR dan badan eksekutif. Namun bila presiden tidak mengundangkan
sebuah RUU yang telah disetujui bersama dalam waktu 30 hari setelah RUU disetujui, RUU
tersebut sah sebagai UU dan wajib diundangkan (Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 hasil
amandemen). Ketentuan baru ini diberikan hak bagi DPR untuk melakukan by pass sehingga
RUU sah menjadi UU tanpa menunggu persetujuan presiden.
Presiden di bawah UUD 1945 hasil amandemen adalah presiden di dalam sistem
presidensial yang demokratis. Ia tidak dapat diberhentikan oleh DPR karena massalah-masalah
politik; sebaliknya, presiden tidak dapat membubarkan DPR. Presiden membutuhkan dukungan
yang cukup kuat sehingga memerlukan adanya partai politik atau koalisi partai politik yang kuat
sehingga presiden dapat memerintah dengan baik. Yang diperlukan oleh Presiden RI dalam
sistem presidensial yang berlaku sekarang ini adalah kerja sama yang baik dengan DPR sehingga
terbentuk sinergi dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan antara presiden dan
DPR (atau partai-partai politik) diharapkan tidak menghambat presiden dalam melaksanakan
tugas-tugasnya sebagai kepala badan eksekutif.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lembaga eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya
dipegang oleh badan eksekutif. Menurut tafsiran tradisional azas Trias Politica yang dicetuskan
oleh Montesquieu, tugas badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan
legislatif.
Bentuk-bentuk dari lembaga eksekutif yaitu Presiden dan Wakil Presiden serta Kementrian
Republik Indonesia.
Wewenang dan kekuasaan badan eksekutif yaitu: administratif, legislatif,
keamanan, yudikatif, dan diplomatik.
Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif garis besarnya adalah : Chief of state, Head of
government, Party chief, Commander in chief, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Tugas badan eksekutif menurut tafsiran tradisional trias politika hanya melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-
undang yang dibuat oleh badan legislatif.
Hubungan badan eksekutif dengan badan legislatif dapat dilihat dari DPR sebagai lembaga
legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan
sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah
lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka
antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama.
Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan
diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno
sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia
bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
Kekuasaan eksekutif masa demokrasi kontitusional, sistem parlementer yang mulai berlaku
sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang
Dasar 1949, dan1950. Tetapi sejak Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menjadi awal dari masa
demokrasi terpimpin yang menggantikan masa demokrasi kontitusional.
Pada masa demokrasi terpimpin terjadi dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai
politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial
politik. Dalam masa demokrasi terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai dengan keinginannya
untuk memperkuat kedudukannya oleh MPRS ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu
pula dengan pejabat teras dari Legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong) dan
dari badan Yudikatif (yaitu ketua Mahkamah Agung) diberi status mentri. Dengan demikian
jumlah mentri lebih dari seratus. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin
Trias Politika sehingga terjadinya suatu penyimpangan dan adanya penyelewengan di bidang
perundang-undangan pada periode demokrasi terpimpin.
Peristiwa Gerakan 30 September PKI mengakhiri masa Demorasi Tepimpin yang dengan
demikian masa orde lama pun berakhir. Dengan ketetapan MPRS No.XXXXIV tahun 1968,
Jendral Soeharto dipilih MPRS sebagai presiden. Perkembangan politik di Indonesia pada masa-
masa awal Orde Baru menunjukkan peranan Presiden Soeharto yang semakin dominan. Di
samping kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, situasi politik Indonesia
memberikan kesempatan yang besar bagi Presiden Soeharto untuk berperan sebagai presiden
yang dominan. Kekuasaan yang dominan tersebut menghasilkan penyelewangan politik yang
berujung pada maraknya praktik-praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Perkembangan
politik tersebut menyulut terjadinya protes besar-besaran yang dilakukan oleh para
mahasiswa. Desakan rakyat tersebut membuat Presiden Soeharto mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri sebagai Presiden.
Dengan tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi pertama-
tama meakukan perubahan-perubahan politik sehingga sistem politik indonesia menjadi lebih
demokratis. Praktik-praktik yang kurang demokratis dihilangkan dengan melakukan perubahan-
perubahan terhadap peraturan perundangan. Undang-undang politik yang baru dan lebih
demokratis dikeluarkan pada awal 1999. Dan UU tentang pemerintahan daerah yang lebih
demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang sama.

3.2 Saran
Agar kekuasaan lembaga eksekutif dalam sistem pemerintahan di Indonesia dapat terealisasi
secara optimal dan efektif, dibutuhkannya hubungan kerja sama antar lembaga lainnya. Agar
terciptanya suatu pemerintahan yang diingikan oleh Indonesia. Dimana pemerintahan yang
menjalankan undang-undang harus sesuai dengan tata pemerintaha.

Daftar pustaka
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Syah, Mudakir Iskandar. 2008. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Surabaya:

Sagung Seto.

Sumber Lain:
Undang-Undang Dasar 1945
Permatasari, Nur Hanunggrah. 2012. Badan Eksekutif di Indonesia.
[online]http://nhpermatasari.blogspot.com/2012/6/badan-eksekutif-di-indonesia.html (diakses 15
Maret 2014).
Suratman. 2012. Political Photography: Lembaga
Eksekutif, [online]http://politicalphotography.blogspot.com/2012/11/lembaga-
eksekutif.html# (diakses 11 Maret 2014).
Wikipedia Indonesia. Eksekutif, [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Eksekutif (diakses 11 Maret
2014).
2012. Badan Eksekutif Indonesia, [online] http://dgchuank.blogspot.com/2012/07/badan-eksekutif-
indonesia.html(diakses 15 Maret 2014).

https://mypopularaddres.blogspot.co.id/2016/02/makalah-badan-eksekutif.html

http://makalahlembagaeksekutif.blogspot.co.id/2017/06/makalah-lembaga-eksekutif.html

http://dgchuank.blogspot.co.id/2012/07/badan-eksekutif-indonesia.html

You might also like