Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
balita. Saat ini pneumonia masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di negara berkembang. Pneumonia terjadi karena peradangan pada rongga
alveoli paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia, atau
kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit
lain (Anwar & Dharmayanti 2014, hlm. 360).
Departemen kesehatan Republik Indonesia (2014, hlm.3-5) menetapkan
kelompok usia balita meliputi golongan usia bayi (0 - <1 tahun) dan anak balita
(1- <5 tahun) sebagai tujuan dari pemberantasan penyakit (P2) infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) dengan berdasarkan pada kenyataan bahwa angka
morbiditas dan mortalitas ISPA pada kelompok umur balita di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2014,
hlm.6) pada tahun 2013 Insiden pneumonia per 1.000 balita (12-59 bulan)
mencapai 78,8% dan pada bayi (0-11 bulan) sebesar 13,6 %.
Sebuah penelitian oleh Fekadu, dkk (2014, hlm.150) menyatakan bahwa
pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya
tinggi. Berdasarkan data World Health Organization (WHO 2015, hlm.1)
didukung dengan data dari United Nations Emergency Childrens Fund (UNICEF
2015, hlm.1), pada tahun 2015 pneumonia masih menjadi penyebab utama
mortalitas balita di dunia dalam penyakit infeksi dengan kematian balita sebanyak
922.000 jiwa (16%) yang disusul dengan penyebab mortalitas terbesar kedua dan
ketiga pada balita yaitu akibat diare dan sepsis. Indonesia masuk ke dalam 15
besar negara dengan jumlah enam juta balita yang mengidap pneumonia dan
berada pada urutan ke-6 di dunia (WHO & UNICEF 2006, hlm.1).
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015, hlm.142-144),
pada tahun 2013 Provinsi Banten termasuk lima provinsi dengan insidensi
morbiditas dan mortalitas pneumonia terbesar dari 29 provinsi di Indonesia pada
1
2
pasien rawat jalan anak balita 1-4 tahun dengan jumlah 439 balita. Kabupaten
Tangerang merupakan salah satu daerah di Provinsi Banten dengan kejadian
pneumonia terbesar di provinsi Banten dengan jumlah 4613 kasus (Indonesia.
2012, hlm.14). Dari 29 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Tangerang,
Kecamatan Balaraja memiliki jumlah penderita pneumonia yang ditemukan dan
ditangani cukup besar dengan jumlah 181 balita (Indonesia. 2015, hlm.151).
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita
meliputi status sosial ekonomi yang rendah (kepadatan), tingkat pengetahuan dan
pendidikan orangtua yang rendah, sulitnya akses pelayanan kesehatan, polusi
udara dalam rumah, malnutrisi, riwayat pemberian ASI, paparan asap rokok
(perokok pasif) (Gereige & Laufer 2013, p.439). Dari berbagai literatur publikasi
mengenai faktor risiko pneumonia menurut Wonodi, dkk. (2012, p. 124), faktor
risiko yang paling berpengaruh yaitu polusi udara dalam rumah, gizi kurang atau
buruk dan kesalahan pemberian ASI.
Di Indonesia kekurangan gizi juga menjadi masalah kesehatan yang sangat
serius dengan jumlah balita kurus lebih dari 12%, yaitu 1,3 juta balita sangat
kurus sementara 1,6 juta balita masuk kategori kurus (moderat). Dengan angka
tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-4 dunia dalam jumlah balita kurus
(Indonesia. 2014, hlm. 1). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Indonesia.
2009, hlm.28), angka status gizi buruk dan kurang pada balita 12-60 bulan di
Provinsi Banten cukup tinggi yaitu mencapai 19 % kasus status gizi buruk dan 50
% status gizi kurang.
Terdapat hubungan yang erat antara malnutrisi dan infeksi serta kematian
anak, karena malnutrisi dapat menyebabkan anak menjadi lemah, dan rentan
terhadap infeksi karena inflamasi epitelial. Infeksi yang sering berkaitan yaitu
pneumonia, diare, malaria, measles dan AIDS (Katona & Katona-Apte 2008, hlm.
1582).
Penelitian yang menghubungkan status gizi dengan pneumonia pada balita
pernah diteliti oleh Ginsburg, dkk. (2016) yang menghubungkan gizi kurang dan
buruk terhadap angka kematian akibat pneumonia secara khusus pada balita di
Gambia, Afrika Barat. Pada penelitiannya didapatkan hubungan yang bermakna
antara status gizi kurang dan buruk terhadap derajat keparahan pneumonia yang
3
I. 2 Rumusan Masalah
Berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas akibat
pneumonia di seluruh dunia termasuk Indonesia didukung dengan beberapa data
peneliti sebelumnya, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
pneumonia adalah status gizi serta fakta bahwa Provinsi Banten terutama
Kabupaten Tangerang mempunyai angka kejadian pneumonia yang cukup tinggi
di Indonesia serta angka status gizi buruk dan kurang yang cukup tinggi maka,
peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan angka kejadian pneumonia
pada balita usia 12 -59 bulan dengan status gizi baik, kurang dan buruk di
puskesmas Balaraja periode 2016?
I. 3 Tujuan Penelitian
I. 3. 1 Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan status gizi baik,
kurang, dan buruk di Puskesmas Balaraja periode 2016.
I. 3. 2 Tujuan Khusus :
4
I. 4 Manfaat Penelitian
I. 4.1 Manfaat Teoritis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan serta dapat menyumbangkan hasil
penelitian untuk kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran pada
umumnya dan khususnya ilmu kesehatan anak yang berkaitan dengan status gizi
anak terhadap kejadian pneumonia balita.
I. 4. 2 Manfaat Praktis
1. Bagi Responden
Dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat umum, terutama orangtua
yang memiliki anak dengan status gizi kurang agar mereka mengetahui bagaimana
perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita dengan status gizi baik, kurang,
dan buruk sehingga hal tersebut dapat dicegah sedini mungkin.
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Pneumonia
II. 1. 1 Definisi Pneumonia
Pneumonia termasuk ke dalam infeksi saluran pernapasan akut bagian
bawah. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit
saluran pernapasan yang terjadi kurang dari 2 minggu. ISPA menyangkut saluran
pernapasan mulai dari infeksi respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim
paru. ISPA terbagi menjadi 2 bagian, yaitu atas (hidung dan faring) dan bawah
(laring, trakea, bronkus, paru) (Wantania, dkk. 2013, hlm.268).
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
yang ditandai dengan adanya gejala batuk atau kesukaran bernapas seperti napas
cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), atau gambaran
radiologi foto thorax/dada menunjukkan infiltrat paru akut. Demam bukan
merupakan gejala yang spesifik pada balita (Kartasasmita 2010, hlm.22).
Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia-masyarakat adalah
pneumonia diluar rumah sakit atau penggunaan fasilitas kesehatan. Nosocomial
pneumonia dan hospital-acquired pneumonia adalah pneumonia yang terjadi
akibat perawatan di rumah sakit (Stuckey-shrock, dkk. 2012, hlm.661).
Klasifikasi pneumonia menurut dasar anatomis (Wijaya & Bahar 2014, hlm.
378-379):
a. Pneumonia infektif
1. Pneumoni lobaris Adalah pneumonia pneumococcus khas mengenai
orang dewasa berumur antara 20 sampai 50 tahun; meskipun begitu
pneumonia lobaris akibat Klebsiella mengenai individu berusia lanjut.
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) adalah bronkopneumonia yang
mempunyai bercak-bercak distribusi yang terpusat pada bronkiolus dan
bronkus yang meradang disertai penyebaran ke alveoli sekitarnya. Ini sering
terjadi pada orang usia lanjut, bayi, dan penderita yang sangat lemah.
3. Pneumonia khusus adalah pneumonia khusus dapat disubklasifikasikan
ke dalam kelompok yang normal (nonimunosupresi) atau yang imunosupresi.
b. Pneumonia noninfektif
1. Aspirasi pneumonia aspirasi pneumonia terjadi ketika cairan atau
makanan terhisap masuk ke dalam paru, dan terjadi konsolidasi dan radang
sekunder. Keadaan klinis yang merupakan risiko bagi penderita ialah
pembiusan, operasi, koma, stupor karsinoma laring, dan kelemahan hebat.
Bagian paru yang terkena bermacam-macam tergantung posisi tubuh
penderita. Bila dalam keadaan tidur terlentang, daerah yang terkena adalah
segmen apikal lobus bawah. Bila dalam keadaan tidur miring ke sisi kanan,
daaerah yang terkena ialah segmen posterior lobus atas.
2. Lipid pneumonia lipid pneumonia dapat endogen akibat obstruksi
saluran napas yang menyebabkan terjadinya timbunan makrofag dan sel
raksasa disebelah distal. Keadaan ini sering ditemukan disebelah distal dari
karsinoma bronkus atau benda asing yang terhirup
3. Eosinofilik pneumonia ditandai oleh banyaknya eosinophil dalam
interstisial dan alveoli. Mungkin dapat ditemukan sumbatan mukus pada
bagian proksimal saluran napas, seperti yang ditemukan pada asma, atau
Aspergillus seperti pada bronkopulmoner.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS) menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Indonesia. 2008,
hlm.2):
9
campak, nutrisi kurang dan tingkat pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap
kejadian pneumonia pada balita.
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia, yaitu:
a. Status Gizi Balita
Beberapa studi melaporkan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas
kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi
granulosit, penurunan fungsi komplemen, dan juga menyebabkan kekurangan
mikronutrien (Sunyataningkamto dkk. 2014, hlm.26).
b. Riwayat Imunisasi Dasar Lengkap
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Salah satu upaya pencegahan penyakit menular adalah melalui upaya
pengebalan (imunisasi). Untuk menilai status imunisasi pada bayi biasanya
dilihat dari cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan
imunisasi terakhir yang diberikan pada bayi dan imunisasi sebelumnya sudah
diberikan dengan lengkap. Imunisasi dasar lengkap pada bayi merupakan usaha
yang baik dalam rangka penanggulangan penyakit pneumonia (Wijaya & Bahar
2014, hlm. 383).
c. Riwayat Pemberian ASI
Pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa
tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan
tanpa tambahan makanan padat. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan
untuk jangka waktu setidaknya 6 bulan. Sistem pertahanan tubuh yang paling
baik diperoleh dari ASI. Air Susu Ibu (ASI) mengandung imunoglobulin dan
zat yang lain memberikan kekebalan bayi terhadap infeksi bakteri dan virus
(Sugihartono & Nurjazuli. 2012, hlm.85).
Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk
membantu menentukan pemberian antibiotik. Jumlah leukosit (> 15,0 x 1090
sering ditemukan pada pasien pneumonia. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan
gram sputum dengan kualitas yang baik direkomendasikan dalam tatalaksana anak
dengan pneumonia berat. (Jadavji, dkk. 1997, hlm. 708)
Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya
dilakukan pemeriksaan pulse oxymetr.
(Nastiti, dkk. 2008, hlm.361)
Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat metode penilaian
yaitu, antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak
langsung dibagi menjadi tiga metode penilaian yaitu, survey konsumsi makanan,
statistic vital, dan faktor ekologi. Metode yang sering dan mudah digunakan
dalam menentukan status gizi balita dalam satu waktu tertentu adalah metode
antropometri (Sjarif, dkk. 2011, hlm. 4-6).
A. Antropometri
Berasal dari kata anthropos yang berarti tubuh dan metros yang berarti
ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri
mengukur dimensi tubuh, bentuk tubuh dari berbagai macam tingkat usia
dan keadaan gizi. Terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan dalam
pengukuran antropometri, yaitu:
Keunggulan Kelemahan
- Tidak membutuhkan tenaga ahli, - Kesalahan yang terjadi saat
cukup dilakukan oleh tenaga yang pengukuran dapat memengaruhi
sudah dilatih dalam waktu singkat presi, akurasi, dan validitas
17
Tabel 5 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
bulan
Indeks Masa Tubuh menurut Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur (IMT/U) Anak Umur 0-
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
60 bulan Gemuk > 2 SD
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010
Tabel 6 Penentuan Status Gizi Menurut Kriteria Waterlow, WHO 2006, dan
CDC 2000.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila secara klinis Tampak sangat kurus
dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh dan atau jika
BB/PB atau BB/TB < -3 SD atau 70% median, sedangkan anak didiagnosis gizi
kurang jika BB/PB atau BB/TB < -2 SD atau 80% median.
Salah satu penyebab rendahnya status gizi balita yang dimulai pada umur
6 bulan adalah dimulainya makanan tambahan pendamping ASI pada umur
tersebut sehingga mutu makanan yang dikonsumsi balita sangat bergantung pada
orangtuanya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kondisi sosial-ekonomi
yang terbatas sehingga pemenuhan gizi balita terabaikan (Welasasih & Wirjatmadi
2012, hlm. 104).
II. 2. 4 Status Gizi Kurang dan Gizi Buruk Terhadap Kejadian Pneumonia
Menurut Artawan, dkk. (2016, hlm.419-420), salah satu faktor risiko
yang berperan dalam kejadian pneumonia pada anak adalah status gizi, dimana
interaksi antara infeksi dan kekurangan energi protein (KEP) telah lama dikenal.
Kedua keadaan ini sinergistik, saling memengaruhi, yang satu merupakan
predisposisi yang lainnya. Pada KEP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi
patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan
akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam
mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak.
Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan bagi pembentukan enzim
yang berperan dalam metabolisme tubuh, termasuk sistem imun. Antibodi
globulin gamma yang biasanya disebut dengan imunoglobulin merupakan 20%
dari seluruh energi plasma. Semua imunoglobulin terdiri dari rantai polipeptida
yang mengandung bermacam-macam asam amino yang spesifik. Salah satu asam
amino yang berperan dalam sistem imun adalah asam amino treonin yang
memiliki kemampuan untuk mencegah masuknya virus dan bakteri terutama pada
saluran napas dan paru-paru. Yakni berupa sekresi lendir disebut glikoprotein dan
immunoglobulin A. (Sugihartono&Nurjazuli 2012, hlm. 86)
gizi yang buruk sehingga menimbulkan menifestasi berupa penurunan berat badan
atau terhambatnya pertumbuhan pada anak (Sartika 2010, hlm.79-80)
Langsung:
1. Status Gizi 1. Polusi dalam Rumah (Asap
1. Pola Asuh Nutrisi
Rokok)
2. Infeksi 2. Riwayat Imunisasi
Tidak Langsung: 3. Riwayat Pemberian ASI 2. Kepadatan Rumah
1. Ketahanan Pangan (memengaruhi)
4. BBLR 3. Tingkat Pendidikan Ibu
Keluarga
2. Pola Asuh Anak 5. Usia Anak
4. Riwayat Sosioekonomi
3. Pelayanan Kesehatan
(memengaruhi)
(Inhalasi/ Aspirasi)
Pneumonia
Keterangan:
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
n 1=n 2= ( Z
1
2
( 1+ 1k ) P ( 1P )+ Z 1
P 1P 2
P 1 (1P1 )+
P 2 ( 1P 2 )
k
) 2
Keterangan:
n: besar sampel minimum
Z1-/2: Nilai distribusi normal baku (table Z pada tertentu) = 1,64
Z1-/2: Nilai distribusi normal baku (table Z pada tertentu) = 0,84
P1: Perkiraan probabilitas outcome pada paparan (+)
P2: Perkiraan probabilitas outcome pada paparan (-)
27
n1 = n2 = 28
Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut pada rumus, maka besar sampel
minimal yang didapat adalah 28x2 = 56 sampel.
Jumlah 28
Total Sampel 28 x 2 +
Penelitian (28x2x10%) = 62
Baik Angka
Kejadian
Status Gizi Balita
Kurang Pneumonia dan
Bukan
Buruk Pneumonia
(WHO 2006,
Nurjaniah, M
dkk., 2016)
balita yang menjadi responden. Setelah itu data dikumpulkan dengan observasi
melalui data rekam medis dan pengisian kuesioner.
Subjek yang sudah sesuai dengan kriteria penelitian akan diberikan inform
consent dan persetujuan penelitian
b. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh antara satu variabel
independen terhadap satu variabel dependen.
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji statistik Chi-Square
dengan variabel independen berupa data nominal dan variabel dependen
berupa data nominal berbentuk tabel 2 x k. Uji Chi-Square adalah uji yang
digunakan semua hipotesis untuk variabel kategorik tidak bepasangan
dengan syarat sel yang memiliki expected count kurang dari 5 dan maksimal
20% dari jumlah sel, bila tidak memenuhi syarat uji Chi- Square maka akan
dilakukan uji Fisher (Dahlan 2014, hlm. 102).
34
jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari
waktu ke waktu (Hastono 2007, hlm. 110).
Uji reliabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan sejauh
mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali atau
lebih. Reliabilitas data pada penelitian ini diuji dengan menggunakan Inter-item
Consistency Reliability yang melihat Cronbachs coefficient alpha sebagai
koefisien dari reliabilitas. Cronbachs alpha adalah koefisien reliabilitas yang
menunjukkan bagaimana bagian-bagian dari suatu set berkorelasi secara positif
satu sama lainnya (Hastono 2011, hlm.111). Suatu instrumen dianggap reliable
jika memiliki koefisien alpha () sebesar 0,6 atau lebih.
Dasar pengambilan keputusan menurut Hastono (2011, hlm. 111) untuk
instrumen yang reliable adalah:
1. Jika koefisien alpha () pengujian lebih besar dari (>) 0,6 maka
pertanyaan dalam kuesioner layak digunakan (reliable)
2. Jika koefisien alpha () pengujian kurang dari (<) 0,6 maka pertanyaan
dalam kuesioner tidak layak digunakan (tidak reliable).
(lebih besar dari 0,60). Dengan demikian maka jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur masing-masing konstruk
tersebut adalah konsisten dan konstruk dapat dipercaya (reliable).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis MP-ASI
Susu Formula 16 25.8
Bubur Sereal Instan 32 51.6
Buah yang dihaluskan 6 9.7
Bubur Tim 8 12.9
Episode Infeksi (1 tahun)
1-6 kali 48 77.4
7-10 kali 14 22.6
> 10 kali 0 0
Sumber: Data Primer, 2017
Karakteristik pola asuh makan dan episode infeksi balita yang menjadi
responden tercantum dalam tabel 14. Sebagian besar (74,2%) responden dapat
melakukan Inisiasi Menyusui Dini sesaat setelah lahir. Sebagian besar (66,1%)
balita mendapatkan ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI tanpa tambahan
selama 6 bulan. Sebagian besar (66,1%) balita dengan waktu pertama kali
pemberian MP-ASI baik yaitu pemberian makanan pendamping tepat pada saat
balita berusia 6 bulan. Jenis MP-ASI yang diberikan kepada balita sebagian besar
(51,6%) adalah bubur sereal instan. Episode infeksi diare dan ISPA yang terjadi
pada balita responden sebagian besar (77,4%) terjadi sebanyak 1-6 kali dalam
kurun waktu 1 tahun.
kurang, dan buruk dan variabel dependen yaitu kejadian pneumonia pada balita
usia 12-59 bulan di Puskesmas Balaraja Periode 2016.
Jumlah 62 100.0
Sumber: Data Sekunder, 2016
Tabel 18 Distribusi Kejadian Pneumonia Berdasarkan Status Gizi Balita
Kejadian Pneumonia Jumlah Persentase
Status Gizi Baik
Pneumonia 17 27.4
Bukan Pneumonia 19 30.6
Status Gizi Kurang
Pneumonia 18 29.0
Bukan Pneumonia 7 11.3
Status Gizi Buruk
Pneumonia 1 1.6
Bukan Pneumonia 0 0.0
Jumlah 62 100.0
Sumber: Data Sekunder,2016
Dari 62 responden balita usia 12-59 bulan yang memenuhi kriteria inklusi
dengan keluhan batuk sesak, sebanyak 36 responden (58,1%) balita menderita
pneumonia. Angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan
status gizi buruk (1,6%), pada balita dengan gizi kurang (29,0%), dan pada balita
gizi baik (27,4%).
Tabel 19 Hasil analisis antara status gizi balita dengan kejadian pneumonia
pada balita usia 12-59 bulan di Puskesmas Balaraja periode 2016
Kejadian Pneumonia Jumlah P
Pneumonia Bukan
Pneumonia
Status Gizi N % n % n %
Gizi Kurang & 19 73.1 7 26.9 26 100
0.042
Gizi Buruk
Gizi Baik 17 47.2 19 52.8 36 100
Jumlah 36 58.1 26 41.9 62 100
Sumber: Data Sekunder, 2016
IV.5 Pembahasan
IV.5.1 Pembahasan Karakteristik Responden
Pada penelitian ini didapatkan usia ibu balita terbanyak pada usia 26-35
tahun dengan persentase 61,3%. Menurut Depkes RI (2009, hlm. 1), klasifikasi
44
usia ibu 26-35 tahun masuk ke dalam usia dewasa awal, yaitu periode
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan
sosial yang baru. Penelitian ini menunjukkan tingkat pendidikan ibu sebagian
besar adalah tamatan SMA yaitu sebanyak 56,5%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Sinaga, dkk. dengan responden ibu balita sebagian besar
berpendidikan tinggi atau lebih dari wajib belajar 9 tahun (tamat SMP) sebanyak
65,3% dari total responden. Notoadmodjo (2010, hlm.45) menyatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah mendapatkan
informasi dan akhirnya memengaruhi perilaku seseorang. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan tingkat pendapatan keluarga sebagian besar (43,5%) yaitu kurang
dari tiga juta (< Rp 3.000.000,-) per bulan. Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Banten NO.561/ Kep. 519-NUK/2015 mengenai penetapan upah
minimum Kabupaten/Kota se-Provinsi Banten, upah minimum Kabupaten/Kota
Tangerang mengalami kenaikan dari tahun 2015 (Rp. 2.710.000,-) ke tahun 2016
menjadi Rp 3.021.650,-. Berdasarkan ketetapan UMK tersebut maka sebagian
besar responden memiliki pendapatan dibawah UMK tahun 2016. Pendapatan
keluarga yang rendah (kondisi sosial-ekonomi) dapat memengaruhi status gizi
balita (Welasasih &Wirjatmadi 2012, hlm. 104)
Umur responden balita terbanyak (35,5%) pada penelitian ini adalah
kelompok usia 12-23 bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian Nurjaniah, dkk.
(2016, hlm.252), yang menyatakan bahwa kelompok umur yang terbanyak
(39,04%) pada penelitian di RS.Dr.M.Djamil Padang adalah umur 13-20 bulan.
Penelitian lain oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012, hlm. 83), menyebutkan
bahwa sebagian besar sampel (37%) berusia 13-24 bulan. Hasil penelitian lain
menyebutkan usia tertinggi pada balita di bawah usia 2 tahun (Turner, dkk. 2013,
hlm. 4). Semakin kecil usia anak semakin rentan terkena infeksi dikarenakan
sistem imun pada anak usia satu tahun pertama hingga usia lima tahun masih
belum matang (Machmud 2006, hlm. 56).
Sebagian besar balita responden dari penelitian ini (53,2%) adalah laki-laki.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Subanada dan Purniti (2010,
hlm. 184) yang menyatakan bahwa sebagian besar responden dengan jenis
kelamin laki-laki.
45
Pada penelitian ini didapatkan karakteristik pola asuh makan dan angka
kejadian penyakit infeksi dalam kurun waktu satu tahun terakhir berkaitan dengan
pengaruh secara langsung terhadap status gizi balita. Karakteristik pola asuh
nutrisi dan kejadian infeksi di Puskesmas Balaraja didapatkan hasil yang cukup
baik, yaitu sebagian besar balita mendapatkan inisiasi menyusui dini (IMD)
sebanyak 74,2%. Berdasarkan teori menurut Roesli (2008, hlm. 5) disebutkan
bahwa bayi yang mendapat kesempatan inisiasi menyusui dini, hasilnya delapan
kali lebih berhasil mendapat ASI secara eksklusif. Berdasarkan teori tersebut,
balita yang mendapatkan ASI secara eksklusif sebanyak 66,1% dan balita yang
mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) tepat 6 bulan atau lebih
sebanyak 66,1%. Hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar (51,6%) ibu
balita memberikan MP-ASI pada balita berupa bubur sereal instan. Tidak hanya
pola asuh makan yang dapat memengaruhi gizi secara langsung, tetapi episode
(banyaknya kejadian) infeksi pada balita juga memengaruhi status gizi balita dan
imunitas balita tersebut, sebanyak 77,4% balita dengan episode infeksi (diare dan
ISPA) sebanyak 1-6 kali dalam kurun waktu satu tahun.
persentase balita dengan status gizi baik sebanyak 79,9%, status gizi kurang
12,2%, dan status gizi buruk 4,4%.
Status gizi baik (well nourished) bisa terjadi jika tubuh memperoleh cukup
zat gizi yang digunakan secara efisien (Almatsier 2009, hlm.302). Hal ini sejalan
dengan penelitian ini yaitu balita dengan status gizi baik mendapatkan ASI
Eksklusif dan Pemberian ASI pertama kali dengan waktu yang sesuai. Status gizi
selain berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita, juga
berpengaruh pada kecerdasan dan kerentanan daya tahan tubuh balita. Balita
dengan gizi baik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta kerentanan
terhadap suatu penyakit infeksi dapat diminimalisir (Meliahsari, dkk. 2013, hlm.
113).
Berdasarkan hasil pada penelitian ini, dari 62 balita responden sebagian
besar (58,1%) balita menderita pneumonia dan 41,9% balita menderita bukan
pneumonia. Berdasarkan data Puskesmas Balaraja periode 2016, secara
keseluruhan terdapat 78 kasus (0,018%) balita usia 12-59 bulan yang menderita
pneumonia dari seluruh pasien balita usia 12-59 bulan yang datang ke Puskesmas
Balaraja. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kejadian pneumonia masih
cukup tinggi. Kejadian pneumonia pada balita ditandai dengan batuk disertai
napas cepat ( 40x/ menit pada balita usia 12-59 bulan) juga disertai atau tanpa
disertai dengan sesak napas dan tarikan dinding dada (Bennet 2016, hlm.1). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dan
Wahyono (2011, hlm. 38) di wilayah kerja Puskesmas Bergas, Semarang yang
menyebutkan bahwa 50,6% balita menderita pneumonia dan 49,4% terdiagnosis
batuk bukan pneumonia. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Wijaya dan
Bahar (2014, hlm. 381), ditemukan sebagian besar (81,7%) balita dengan
diagnosis bukan pneumonia dan (18,3%) balita dengan diagnosis pneumonia.
Berdasarkan tabel 18 mengenai distribusi angka kejadian pneumonia
berdasarkan status gizi balita menunjukkan 29% balita yang mengalami
pneumonia memiliki status gizi kurang, 27,4% balita dengan status gizi baik, dan
1,6% balita yang mengalami pneumonia dengan status gizi buruk. Hal ini
menujukkan bahwa angka kejadian pneumonia sebagian besar diderita oleh pasien
balita usia 12-59 bulan dengan status gizi kurang.
47
Artawan, dkk. (2016, hlm. 420), bahwa sebagian besar balita dengan malnutrisi
menderita pneumonia ringan dan berat. Gizi kurang dan gizi buruk (malnutrisi)
dapat menyebabkan kelainan pada saluran napas dalam hal proteksi terhadap agen
penyakit. Pada saluran napas dalam keadaan normal terdapat proses fisiologis
menghalau agen penyakit, seperti reflek batuk, peningkatan jumlah cairan mukosa
ketika terdapat agen yang membahayakan kesehatan saluran napas (Nastiti 2013,
hlm.355). Pada anak dengan gizi kurang dan gizi buruk, proses fisiologis ini tidak
berjalan dengan baik sehingga agen penyakit yang seharusnya dikeluarkan oleh
tubuh menjadi terakumulasi dalam saluran napas sampai paru-paru (Supriyatno
2006, hlm. 102)
Hal serupa dikemukakan oleh Ginsburg, dkk. (2015, hlm. 735), bahwa
terdapat hubungan antara status gizi balita dengan angka kematian balita akibat
pneumonia di Gambian dengan risiko relatif (RR=3,2). Ginsburg juga
menyebutkan bahwa di Gambian anak dengan diagnosis pneumonia yang dirawat
di rumah sakit dengan gizi kurang atau gizi buruk menjalankan hidupnya dengan
risiko kematian delapan kali lebih besar dan faktor yang mempengaruhi angka
kematian ini masih belum dapat ditemukan dengan pasti. Namun beberapa target
potensial seperti komposisi gizi yang diberikan, frekuensi pemberian makan,
infeksi berulang, dan kerentanan oleh beberapa patogen dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi.
Berdasarkan penelitian oleh WHO dan UNICEF (2006, hlm. 26), status gizi
balita sangat menentukan terjadinya pneumonia pada balita sehingga pentingnya
pemberian nutrisi sangat perlu untuk perkembangan dan pertumbuhan sel-sel
sehingga tubuh bisa mempertahankan diri dari penyakit pneumonia. Kekurangan
gizi (undernutrition) dapat meningkatkan risiko terjadinya pneumonia, yaitu dapat
melalui dua cara. Pertama, kekurangan gizi melemahkan sistem imun anak secara
keseluruhan, dimana dibutuhkan energi dan protein dalam jumlah yang cukup
untuk memenuhi fungsi sistem kekebalan tubuh. Kedua, anak dengan kekurangan
gizi dapat menyebabkan melemahnya otot pernapasan, sehingga menghambat
sistem saluran pernapasan untuk pembersihan (sekresi) benda asing yang masuk
ke dalam saluran pernapasan balita tersebut.
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
50
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta melihat pada tujuan penelitian maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Angka kejadian pneumonia dari seluruh pasien rawat jalan balita usia 12-
59 bulan di Puskesmas Balaraja periode 2016 adalah 0,018%.
b. Gambaran status gizi pada balita usia 12-59 bulan di Puskesmas Balaraja
yaitu 58,1% balita dengan gizi baik, balita dengan gizi kurang 40,3%,
dan 1,6% balita dengan gizi buruk.
c. Angka kejadian pneumonia pada kelompok balita usia 12-59 bulan
dengan gizi baik adalah 27,4%.
d. Angka kejadian pneumonia pada kelompok balita usia 12-59 bulan
dengan gizi kurang adalah 29.0%.
e. Angka kejadian pneumonia pada kelompok balita usia 12-59 bulan
dengan gizi buruk adalah 1,6%.
f. Terdapat perbedaan signifikan antara angka kejadian pneumonia pada
balita usia 12-59 bulan dengan status gizi buruk dan kurang
(undernutrition) dan status gizi baik.
V.2 Saran
Dari kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis dapat memberikan
saran sebagai berikut:
a. Bagi Orangtua Responden
Bagi ibu yang tergolong usia aktif reproduksi (26-35 tahun) sebaiknya
lebih aktif dalam memerhatikan status gizi balita dan dapat diberikan
edukasi mendalam mengenai faktor-faktor yang dapat memengaruhi
status gizi balita tersebut yang juga dapat memengaruhi terjadinya
infeksi akibat menurunnya imunitas tubuh terutama pada saluran
pernapasan yaitu pneumonia.
b. Bagi Puskesmas
51
DAFTAR PUSTAKA
52
Almatsier, Sunita 2009, Prinsip dasar ilmu gizi, Gramedia Cetakan IX, Jakarta
Anwar, A & Dharmayanti, I 2014, Pneumonia pada anak balita di Indonesia
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Vol.8, no.8, Mei
2014, diakses 17 mei 2016.
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/405
Artawan, PS, Purniti, IG, Lanang, S 2016, Sari Pediatri: Hubungan antara status
nutrisi dengan derajat keparahan pneumonia pada pasien anak di RSUP
SanglahIkatan Dokter Anak Indonesia, Vol.17, no.6, April 2016, diakses 10
Februari 2017.
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/83/0
Arpitha, G, Rehman , MA, Ashwitha, G 2014, Effect of severity of malnutrition
on pneumonia in children aged 2M-5Y at a tertiary care center in
Khammam Andhra Pradesh: a clinical study, Vol.2, no.3. diakses 6 Maret
2017.
http://www.ijpediatrics.com/index.php/ijcp/article/view/91
Bennett, NJ 2016, Pediatric pneumonia clinical presentation Medscape, diakses
tanggal 30 Agustus 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-clinical#b3
Bradley, Byington C, Shah S, Alverson, B 2011, The management of community-
acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age:
clinical practice guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society,
Infectious Diseases Society of America, diakses tanggal 20 Oktober 2016.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21880587
Dahlan, S 2008, Statistik untuk kedokteran dan kesehatan (Seri evidence based
medicine) Edisi Ketiga, Salemba Medika, Jakarta
Dahlan, S 2013, Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian
Kedokteran Kesehatan Edisi Ketiga, Salemba Medika, Jakarta
Diana, MF 2006, Hubungan Pola Asuh Dengan Status Gizi Anak Batita Di
Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2011
Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.1, no.1, September 2006, diakses 8
Maret 2017.
http://scholar.google.co.id/scholar_url?
url=http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/6/6&hl=en&s
a=X&scisig=AAGBfm2GgLiDfL-
oeboKnQKMF9iP0kXTTw&nossl=1&oi=scholarr&ved=0ahUKEwivp-
245ZzTAhVML48KHRVjAxwQgAMIISgAMAA
Fekadu, GA, Terefe, MW, Alemia, GA 2014, Prevalence of pneumonia among
under-five children in Ease town and the surrounding rural Kebeles,
Northwest Etiopia Sci J Pub Health, Vol.3, p. 150-155, diakses 5 Mei 2016.
53
http://article.sciencepublishinggroup.com/pdf/10.11648.j.sjph.20140203.12.
pdf
Ginsburg, I, Berkley, J, Walson, J 2015, Undernutrition and pneumonia mortality
The Lancet, Vol.3, Desember 2015, p. 735-736, diakses 20 Februari 2017.
http://www.thelancet.com/journals/langlo/article/PIIS2214-109X(15)00222-
3/abstract
Gereige, RS & Laufer, PM 2013, Pneumonia American Academy of Pediatrics,
Vol.34, no.10, diakses 30 Agustus 2016.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/37/9?current-issue=y
Gladys, G, Fadlyana, D, Rusmil, K 2011, Hubungan status gizi dan
perkembangan anak usia 1-2 tahun Ikatan Dokter Anak Indonesia, Vol. 13,
No. 2, hlm. 142-146, Agustus 201, diakses 20 Februari 2017.
http://saripediatri.idai.or.id/abstrak.asp?q=755
Harohalli, RS & Donna, CG 2009, Malnutrition eMedicine, diakses 25 Maret
2017.
http://emedicine.medscape.com/article/985140-overview
Hastono, SP 2011, Statistik Kesehatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Hidayati, NA dan Wahyono, B 2011, Pelayanan puskesmas berbasis manajemen
terpadu balita sakit dengan kejadian pneumonia balita Jurnal Kesehatan
Masyarakat Semarang, Vol.1, hlm. 35-40, diakses 25 Februari 2017.
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=136129
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2014, Infodatin: Situasi
Kesehatan Anak Balita di Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2012, Profil Kesehatan
Provinsi Banten 2012, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2009, Laporan hasil
RISKESDAS Provinsi Banten 2007, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008, Buku bagan
manajemen terpadu balita sakit, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 2015, Profil Kesehatan
Kabupaten Tangerang, Dinkes Kabupaten Tangerang, Tangerang
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/113/4/701
Mokoginta, D, Arsin, A, Sidik, D 2013, Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada
Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar Jurnal
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, diakses 10 September 2016.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9374/DHEFIKA
%20MOKOGINTA%20K11110265.pdf;sequence=1
Nastiti, N 2013, Buku Ajar Respirologi Anak : Pneumonia, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Notoatmodjo,S 2010, Ilmu Perilaku Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
http://journals.lww.com/coinfectiousdiseases/Abstract/2011/10000/Interacti
ons_of_diarrhea,_pneumonia,_and.16.aspx
Schmitt, S 2010, Community Acquired Pneumonia Cleveland Clinic, diakses 28
Agustus 2016.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/inf
ectious-disease/community-acquired-pneumonia/
Sinaga, LAFS, Suhartono, Hanani, YD 2009, Analisis kondisi rumah sebagai
faktor risiko kejadian pneumonia wilayah puskesmas sentosa baru Kota
Medan tahun 2008 Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol.8, no.1,
April 2009, diakses tanggal 1 September 2016.
http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/download/9573/7663
Sjarif, DR, Nasar, SS, Devaera, Y, Tanjung, C 2011, Rekomendasi IDAI, Asuhan
Nutrisi Pediatrik, Ikatan Dokter Anak Indonesia, diakses tanggal 20
Oktober 2016.
http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Rekomendasi-
IDAI_Asuhan-Nutrisi-Pediatrik.pdf
Stuckey-Schrock, K, Hayes, BL, George, CM 2012, Community-Acquired
Pneumonia in Children American Family Physician, Vol. 86, no.7, p. 661-
667, diakses 25 September 2016.
http://familymed.uthscsa.edu/residency08/MMC/capchildren.pdf
Subanada, IB dan Purniti, NPS. 2010, Sari Pediatri: Faktor-faktor yang
berhubungan dengan pneumonia bakteri pada anak Ikatan Dokter Anak
Indonesia,Vol.12, no.3, Oktober 2010, diakses tanggal 5 September 2016.
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/12-3-8.pdf
Sugihartono dan Nurjazuli 2012, Analisis faktor risiko kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja puskesmas sidorejo Kota Pagar Alam, Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol.11, no.1, April 2012, diakses tanggal
1 September 2016.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/4145/3780>
World Health Organization & United Nations Emergency Childrens Fund 2006,
The forgotten killer of children World Helath Organization, New York,
diakses 18 Mei 2016.
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/9280640489/en/
World Health Organization 2015, Pneumonia World Health Organizaton New
York, diakses 22 Juli 2016.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/
Wonodi, CB, Deloria-Knoll, M, Reikin, DR, Deluca, AN, Driscoll, AJ, Moisi, JC
2012, Evaluation of risk factors for severe pneumonia in children: the
pneumonia etiology research for child health study CID Oxford Journals,
diakses pada 30 Agustus 2016.
http://cid.oxfordjournals.org/content/54/suppl_2/S124.abstract