You are on page 1of 58

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
balita. Saat ini pneumonia masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di negara berkembang. Pneumonia terjadi karena peradangan pada rongga
alveoli paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia, atau
kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit
lain (Anwar & Dharmayanti 2014, hlm. 360).
Departemen kesehatan Republik Indonesia (2014, hlm.3-5) menetapkan
kelompok usia balita meliputi golongan usia bayi (0 - <1 tahun) dan anak balita
(1- <5 tahun) sebagai tujuan dari pemberantasan penyakit (P2) infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) dengan berdasarkan pada kenyataan bahwa angka
morbiditas dan mortalitas ISPA pada kelompok umur balita di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2014,
hlm.6) pada tahun 2013 Insiden pneumonia per 1.000 balita (12-59 bulan)
mencapai 78,8% dan pada bayi (0-11 bulan) sebesar 13,6 %.
Sebuah penelitian oleh Fekadu, dkk (2014, hlm.150) menyatakan bahwa
pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya
tinggi. Berdasarkan data World Health Organization (WHO 2015, hlm.1)
didukung dengan data dari United Nations Emergency Childrens Fund (UNICEF
2015, hlm.1), pada tahun 2015 pneumonia masih menjadi penyebab utama
mortalitas balita di dunia dalam penyakit infeksi dengan kematian balita sebanyak
922.000 jiwa (16%) yang disusul dengan penyebab mortalitas terbesar kedua dan
ketiga pada balita yaitu akibat diare dan sepsis. Indonesia masuk ke dalam 15
besar negara dengan jumlah enam juta balita yang mengidap pneumonia dan
berada pada urutan ke-6 di dunia (WHO & UNICEF 2006, hlm.1).
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015, hlm.142-144),
pada tahun 2013 Provinsi Banten termasuk lima provinsi dengan insidensi
morbiditas dan mortalitas pneumonia terbesar dari 29 provinsi di Indonesia pada

1
2

pasien rawat jalan anak balita 1-4 tahun dengan jumlah 439 balita. Kabupaten
Tangerang merupakan salah satu daerah di Provinsi Banten dengan kejadian
pneumonia terbesar di provinsi Banten dengan jumlah 4613 kasus (Indonesia.
2012, hlm.14). Dari 29 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Tangerang,
Kecamatan Balaraja memiliki jumlah penderita pneumonia yang ditemukan dan
ditangani cukup besar dengan jumlah 181 balita (Indonesia. 2015, hlm.151).
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita
meliputi status sosial ekonomi yang rendah (kepadatan), tingkat pengetahuan dan
pendidikan orangtua yang rendah, sulitnya akses pelayanan kesehatan, polusi
udara dalam rumah, malnutrisi, riwayat pemberian ASI, paparan asap rokok
(perokok pasif) (Gereige & Laufer 2013, p.439). Dari berbagai literatur publikasi
mengenai faktor risiko pneumonia menurut Wonodi, dkk. (2012, p. 124), faktor
risiko yang paling berpengaruh yaitu polusi udara dalam rumah, gizi kurang atau
buruk dan kesalahan pemberian ASI.
Di Indonesia kekurangan gizi juga menjadi masalah kesehatan yang sangat
serius dengan jumlah balita kurus lebih dari 12%, yaitu 1,3 juta balita sangat
kurus sementara 1,6 juta balita masuk kategori kurus (moderat). Dengan angka
tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-4 dunia dalam jumlah balita kurus
(Indonesia. 2014, hlm. 1). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Indonesia.
2009, hlm.28), angka status gizi buruk dan kurang pada balita 12-60 bulan di
Provinsi Banten cukup tinggi yaitu mencapai 19 % kasus status gizi buruk dan 50
% status gizi kurang.
Terdapat hubungan yang erat antara malnutrisi dan infeksi serta kematian
anak, karena malnutrisi dapat menyebabkan anak menjadi lemah, dan rentan
terhadap infeksi karena inflamasi epitelial. Infeksi yang sering berkaitan yaitu
pneumonia, diare, malaria, measles dan AIDS (Katona & Katona-Apte 2008, hlm.
1582).
Penelitian yang menghubungkan status gizi dengan pneumonia pada balita
pernah diteliti oleh Ginsburg, dkk. (2016) yang menghubungkan gizi kurang dan
buruk terhadap angka kematian akibat pneumonia secara khusus pada balita di
Gambia, Afrika Barat. Pada penelitiannya didapatkan hubungan yang bermakna
antara status gizi kurang dan buruk terhadap derajat keparahan pneumonia yang
3

dapat menyebabkan kematian. Di Fortaleza dan Brazil dilaporkan anak dengan


malnutrisi sedang dan berat memiliki kecenderungan untuk mengalami
pneumonia 4,6 kali lebih besar (Ranganathan, dkk. 2009, hlm.56). Penelitian lain
oleh Arpitha dkk. (2014) di rumah sakit Mamata, India; Artawan dkk. (2016) di
rumah sakit Sanglah, Bali, dan Sugihartono (2012) di Puskesmas Sidorejo, Kota
Pagar Alam. Dari beberapa penelitian tersebut didapatkan hubungan yang
bermakna antara kedua variabel tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan
dengan status gizi buruk, kurang, dan baik di Provinsi Banten, Kabupaten
Tangerang, khususnya puskesmas Balaraja.

I. 2 Rumusan Masalah
Berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas akibat
pneumonia di seluruh dunia termasuk Indonesia didukung dengan beberapa data
peneliti sebelumnya, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
pneumonia adalah status gizi serta fakta bahwa Provinsi Banten terutama
Kabupaten Tangerang mempunyai angka kejadian pneumonia yang cukup tinggi
di Indonesia serta angka status gizi buruk dan kurang yang cukup tinggi maka,
peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan angka kejadian pneumonia
pada balita usia 12 -59 bulan dengan status gizi baik, kurang dan buruk di
puskesmas Balaraja periode 2016?

I. 3 Tujuan Penelitian
I. 3. 1 Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan status gizi baik,
kurang, dan buruk di Puskesmas Balaraja periode 2016.

I. 3. 2 Tujuan Khusus :
4

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan di


Puskesmas Balaraja periode 2016.
2. Mengetahui gambaran status gizi baik, kurang, dan buruk pada balita usia 12-
59 bulan di Puskesmas Balaraja periode 2016 .
3. Mengetahui angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan
status gizi baik di Puskesmas Balaraja periode 2016.
4. Mengetahui angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan
status gizi kurang di Puskesmas Balaraja periode 2016.
5. Mengetahui angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan
status gizi balita buruk di Puskesmas Balaraja periode 2016.
6. Mengetahui perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59
bulan dengan status gizi baik, kurang, dan buruk di Puskesmas Balaraja
periode 2016.

I. 4 Manfaat Penelitian
I. 4.1 Manfaat Teoritis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan serta dapat menyumbangkan hasil
penelitian untuk kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran pada
umumnya dan khususnya ilmu kesehatan anak yang berkaitan dengan status gizi
anak terhadap kejadian pneumonia balita.

I. 4. 2 Manfaat Praktis
1. Bagi Responden
Dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat umum, terutama orangtua
yang memiliki anak dengan status gizi kurang agar mereka mengetahui bagaimana
perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita dengan status gizi baik, kurang,
dan buruk sehingga hal tersebut dapat dicegah sedini mungkin.

2. Bagi Puskesmas Balaraja


5

Memberikan informasi mengenai perbedaan angka kejadian pneumonia


pada balita dengan status gizi baik, kurang, dan buruk sehingga dokter dan
petugas kesehatan puskesmas terutama petugas poli anak diharapkan dapat
memberi edukasi kepada orangtua pasien untuk melakukan tindakan preventif
seperti memperbaiki status gizi anak sehingga tidak memperberat kejadian
pneumonia balita.
3. Bagi FK UPN Veteran Jakarta
Sebagai data untuk penelitian selanjutnya. Selain itu untuk menunaikan
tridharma perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
4. Bagi Diri Sendiri
a. Menambah pengetahuan di bidang kedokteran mengenai perbedaan angka
kejadian pneumonia pada balita dengan status gizi baik, kurang dan buruk
terutama di Puskesmas Balaraja.
b. Sebagai bahan penelitian untuk melengkapi salah satu syarat mendapat
gelar sarjana kedokteran.
5. Bagi Peneliti Lain
Dapat dijadikan sebagai informasi untuk peneliti lain yang ingin meneliti
lebih lanjut mengenai perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita dengan
status gizi baik, kurang dan buruk.

BAB II
6

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Pneumonia
II. 1. 1 Definisi Pneumonia
Pneumonia termasuk ke dalam infeksi saluran pernapasan akut bagian
bawah. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit
saluran pernapasan yang terjadi kurang dari 2 minggu. ISPA menyangkut saluran
pernapasan mulai dari infeksi respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim
paru. ISPA terbagi menjadi 2 bagian, yaitu atas (hidung dan faring) dan bawah
(laring, trakea, bronkus, paru) (Wantania, dkk. 2013, hlm.268).
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
yang ditandai dengan adanya gejala batuk atau kesukaran bernapas seperti napas
cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), atau gambaran
radiologi foto thorax/dada menunjukkan infiltrat paru akut. Demam bukan
merupakan gejala yang spesifik pada balita (Kartasasmita 2010, hlm.22).
Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia-masyarakat adalah
pneumonia diluar rumah sakit atau penggunaan fasilitas kesehatan. Nosocomial
pneumonia dan hospital-acquired pneumonia adalah pneumonia yang terjadi
akibat perawatan di rumah sakit (Stuckey-shrock, dkk. 2012, hlm.661).

II. 1. 2 Etiologi Pneumonia


Pneumonia dapat disebabkan karena infeksi berbagai bakteri, virus, dan
jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan
oleh bakteri. Dari beberapa penelitian di Amerika Utara sebelumnya ditemukan
bahwa penyebab tersering pada usia sebelum sekolah yaitu karena respiratory
syncitial virus, influenza, dan parainfluenza. Pada anak sekolah disebabkan oleh
Mycoplasma pneumonia dan pada anak 2 bulan-4 tahun banyak ditemukan karena
Chlamydia trachomatis. Sulit membedakan penyebab pneumonia karena virus
atau bakteri. Seringkali terjadi infeksi yang didahului oleh infeksi virus dan
selanjutnya terjadi infeksi akibat bakteri. Kematian pada pneumonia berat
terutama disebabkan karena infeksi bakteri (McIntosh 2002, hlm. 429)
7

Etiologi pneumonia berdasarkan umur menurut Nastiti, dkk. (2013,

hlm.353) sebagai berikut:

Tabel 1 Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia


di negara maju
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Streptococcus group D
Streptococcus group B Haemophillus influenzae
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus herpes simpleks
3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Virus Staphylococcus aureus
Virus adeno Ureaplasma urealyticum
Virus influenza
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncitial Virus Virus sitomegalo
(RSV)
4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Neisseria meningitidis
Virus
Virus adeno Virus
Virus influenza Virus varisela-zooster
Virus parainfluenza 1,2,3
Respiratory Syncitial Virus
(RSV)
5 tahun- remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionalle sp.
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus sp.

Sumber: Opstapchuk M, Roberts M, Haddy R, community acquired pneumonia in infants an


children. Am Fam Physician 2004;70:899-908.

II. 1. 3 Klasifikasi Klinis Pneumonia


8

Klasifikasi pneumonia menurut dasar anatomis (Wijaya & Bahar 2014, hlm.
378-379):
a. Pneumonia infektif
1. Pneumoni lobaris Adalah pneumonia pneumococcus khas mengenai
orang dewasa berumur antara 20 sampai 50 tahun; meskipun begitu
pneumonia lobaris akibat Klebsiella mengenai individu berusia lanjut.
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) adalah bronkopneumonia yang
mempunyai bercak-bercak distribusi yang terpusat pada bronkiolus dan
bronkus yang meradang disertai penyebaran ke alveoli sekitarnya. Ini sering
terjadi pada orang usia lanjut, bayi, dan penderita yang sangat lemah.
3. Pneumonia khusus adalah pneumonia khusus dapat disubklasifikasikan
ke dalam kelompok yang normal (nonimunosupresi) atau yang imunosupresi.
b. Pneumonia noninfektif
1. Aspirasi pneumonia aspirasi pneumonia terjadi ketika cairan atau
makanan terhisap masuk ke dalam paru, dan terjadi konsolidasi dan radang
sekunder. Keadaan klinis yang merupakan risiko bagi penderita ialah
pembiusan, operasi, koma, stupor karsinoma laring, dan kelemahan hebat.
Bagian paru yang terkena bermacam-macam tergantung posisi tubuh
penderita. Bila dalam keadaan tidur terlentang, daerah yang terkena adalah
segmen apikal lobus bawah. Bila dalam keadaan tidur miring ke sisi kanan,
daaerah yang terkena ialah segmen posterior lobus atas.
2. Lipid pneumonia lipid pneumonia dapat endogen akibat obstruksi
saluran napas yang menyebabkan terjadinya timbunan makrofag dan sel
raksasa disebelah distal. Keadaan ini sering ditemukan disebelah distal dari
karsinoma bronkus atau benda asing yang terhirup
3. Eosinofilik pneumonia ditandai oleh banyaknya eosinophil dalam
interstisial dan alveoli. Mungkin dapat ditemukan sumbatan mukus pada
bagian proksimal saluran napas, seperti yang ditemukan pada asma, atau
Aspergillus seperti pada bronkopulmoner.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS) menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Indonesia. 2008,
hlm.2):
9

a. Pneumonia berat atau penyakit sangat berat


b. Pneumonia
c. Bukan Pneumonia

Tabel 2 Klasifikasi Pneumonia


Kelompok Klasifikasi Tanda penyerta selain batuk dan atau
Umur sukar bernapas
2 bulan - <5 Pneumonia Berat Tarikan dinding dada bagian bawah ke
tahun dalam (chest indrawing)
Pneumonia Napas cepat sesuai golongan umur
2 bulan-<1 tahun: 50 kali atau
lebih/ menit
1-<5 tahun: 40 kali atau lebih/
menit
Bukan Pneumonia Tidak ada napas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam
< 2 bulan Pneumonia Berat Napas cepat > 60 kali per menit atau
Tarikan kuat dinding dada bagian
bawah ke dalam
Bukan Pneumonia Tidak ada napas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam
Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam buku bagan MTBS (2012,
hlm.2)

III. 1. 4 Faktor Risiko Pneumonia


Menurut Suzuki, dkk. (2009, hlm.484) dari beberapa penelitian sebelumnya
(Shah, dkk. 1994; de Fransisco, dkk. 1993; O Dempsey, dkk. 1996; Broor, dkk.
2001), faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada anak yaitu usia
dini, malnutrisi, riwayat pemberian ASI, defisiensi zinc, kepadatan, riwayat sosial
ekonomi rendah dan pajanan asap rokok di lingkungan.
Tidak hanya faktor tersebut yang berpengaruh, menurut Walker C.L.F et. al.
(2013, p. 1405-1406), berat badan lahir rendah (BBLR), kurangnya imunisasi
10

campak, nutrisi kurang dan tingkat pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap
kejadian pneumonia pada balita.
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia, yaitu:
a. Status Gizi Balita
Beberapa studi melaporkan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas
kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi
granulosit, penurunan fungsi komplemen, dan juga menyebabkan kekurangan
mikronutrien (Sunyataningkamto dkk. 2014, hlm.26).
b. Riwayat Imunisasi Dasar Lengkap
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Salah satu upaya pencegahan penyakit menular adalah melalui upaya
pengebalan (imunisasi). Untuk menilai status imunisasi pada bayi biasanya
dilihat dari cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan
imunisasi terakhir yang diberikan pada bayi dan imunisasi sebelumnya sudah
diberikan dengan lengkap. Imunisasi dasar lengkap pada bayi merupakan usaha
yang baik dalam rangka penanggulangan penyakit pneumonia (Wijaya & Bahar
2014, hlm. 383).
c. Riwayat Pemberian ASI
Pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa
tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan
tanpa tambahan makanan padat. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan
untuk jangka waktu setidaknya 6 bulan. Sistem pertahanan tubuh yang paling
baik diperoleh dari ASI. Air Susu Ibu (ASI) mengandung imunoglobulin dan
zat yang lain memberikan kekebalan bayi terhadap infeksi bakteri dan virus
(Sugihartono & Nurjazuli. 2012, hlm.85).

d. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


Pada bayi dengan BBLR pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna,
berisiko terkena penyakit infeksi terutama pneumonia sehingga risiko kematian
menjadi lebih besar dibanding dengan berat badan lahir normal (Rachmawati,
D.A. 2013, hlm.115).
11

e. Polusi Dalam Rumah (Asap Rokok)


Menurut Suzuki, dkk. (2009, hlm.485), terdapat pengaruh yang signifikan
antara kebiasaan merokok keluarga di dalam rumah terhadap kejadian infeksi
respiratori pada balita. Efek asap rokok dapat meningkatkan kefatalan bagi
penderita pneumonia dan gagal ginjal.
f. Usia Anak
Bayi dan balita yang memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih
rendah dibanding orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok
yang rawan terhadap infeksi seperti influenza dan pneumonia. Anak-anak
berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-
anak berusia diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna
dan saluran pernapasan yang relatif sempit (Rachmawati 2013, hlm.115).
g. Kepadatan Rumah
Kepadatan hunian di dalam rumah dapat menimbulkan efek negatif terhadap
fisik, mental, maupun moril bagi penghuninya. Hunian yang padat
memudahkan terjadinya penularan penyakit. Studi terhadap kondisi rumah
menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan
hunian penghuni per meter persegi. Dengan demikian semakin banyak jumlah
penghuni dengan ukuran rumah yang kecil maka memperbesar kemungkinan
penularan penyakit melalui droplet dan kontak langsung (Sinaga, dkk. 2009,
hlm. 31).
h. Riwayat Sosial-Ekonomi Rendah dan Status Pendidikan Ibu
Menurut Anwar & Dharmayanti (2014, hlm. 363), dari berbagai penelitian
(Mosley & Chen 1984, Hananto 2004, Machmud 2009), status ekonomi rumah
tangga dan pendidikan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan
dan berkontribusi terhadap kejadian pneumonia balita.

II. 1. 5 Diagnosis Pneumonia


A. Anamnesis
Hasil dari anamnesa akan ditemukan keuhan berupa:
12

- Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak


purulent bahkan bisa berdarah
- Sesak napas
- Demam
- Kesulitan makan/minum
- Tampak lemah
- Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma
(Said 2013, hlm.354)
B. Pemeriksaan Fisis
Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan
pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan
anak gelisah atau rewel. Dilanjutkan dengan penilaian kesadaran dan kemampuan
makan/minum. Gejala sistemik lainnya yang mungkin muncul adalah demam dan
sianosis. (Bennett 2016, hlm.1)
Gangguan yang dapat ditemukan pada saluran pernapasan yaitu distress
pernapasan seperti takipnea, retraksi subcostal, batuk, krepitasi, dan penurunan
suara paru, frekuensi napas pada pasien pneumonia berdasarkan WHO, yaitu:
(Bennett 2016, hlm.1)
- Bayi usia kurang dari 2 bulan: 60 x / menit
- Bayi usia 2-11 bulan: 50 x / menit
- Balita usia 12-59 bulan : 40 x / menit
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak
dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi. Pemeriksaan
foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps lobus,
kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak ada respons terhadap antibiotik. Pemeriksaan foto dada
tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab. Dalam diagnosis ditemukan
konsolidasi segmental atau fokal. (Michelow 2009, hlm. 702)
Pemeriksaan Laboratorium
13

Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk
membantu menentukan pemberian antibiotik. Jumlah leukosit (> 15,0 x 1090
sering ditemukan pada pasien pneumonia. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan
gram sputum dengan kualitas yang baik direkomendasikan dalam tatalaksana anak
dengan pneumonia berat. (Jadavji, dkk. 1997, hlm. 708)
Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya
dilakukan pemeriksaan pulse oxymetr.
(Nastiti, dkk. 2008, hlm.361)

II. 1. 6 Patogenesis Pneumonia


Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari viremia/ bacteremia atau penyebaran dan infeksi
intraabdomen. Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari
sublaring hingga unit terminal dalam keadaan steril. Paru terlindung dari infeksi
dengan beberapa mekanisme .
- Filtrasi partikel di hidung
- Pencegahan aspirasi dengan refleks patologis
- Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
- Pembersihan ke arah kranial oleh selimut mukosilier.
- Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
- Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
- Drainase melalui sistem limfatik.
Pneumonia terjadi jika satu atau lebih mekanisme di atas mengalami gangguan
(Supriyatno 2006, hlm.101)

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley, dkk. 2011,


hlm.1):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
14

Disebut hyperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terkena infeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler paru mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus
2. Stadium II (48 Jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh pejamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus paru menjadi padat dan berwarna merah karena penumpukan
eritrosit, leukosit, dll.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada tahap ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

II. 1. 7 Tatalaksana Pneumonia


Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis,
distress pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Pada pneumonia ringan
rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektivitas yang sama. Dosis amoksisilin
yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB
15

Trimetrophim-Sulfametoksazol (TMP) 20 mg/kgBB sulfametoksazol (Nastiti,


dkk. 2013, hlm.363)
Tindakan atau pengobatan pasien pneumonia balita usia 2 bulan sampai 5
tahun berdasarkan manajemen terpadu balita sakit (MTBS 2008, hlm.2):
Tabel 3 Tatalaksana Pneumonia

Gejala Klasifikasi Tindakan/Pengobatan


- Ada tanda bahaya 1. Pneumonia - Beri dosis pertama antibiotik yang
umum ATAU Berat atau sesuai
-Tarikan dinding dada
Penyakit - RUJUK SEGERA
ke dalam ATAU
- Stridor Sangat Berat
Napas Cepat 2. Pneumonia - Beri antibiotik yang sesuai
- Beri pelega tenggorokan dan pereda
batuk yang aman
- Jika batuk > 3 minggu, rujuk untuk
pemeriksaan lanjutan
- Nasihati kapan kembali segera
- Kunjungan ulang 2 hari
Tidak ada tanda-tanda 3. Batuk: - Beri pelega tenggorokan & pereda
pneumonia atau Bukan batuk yang aman
penyakit sangat berat Pneumonia - Jika batuk > 3 minggu, rujuk untuk
pemeriksaan lanjutan
- Nasihati kapan kembali segera
- Kunjungan ulang jika memburuk
II. 2 Status Gizi Anak
Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008

II. 2 Status Gizi Anak


II. 2. 1 Definisi Status Gizi
Gizi berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Gizzali yang artinya makanan dan
manfaatnya untuk kesehatan, serta sari manfaat yang bermanfaat untuk kesehatan
(Indonesia. 2010, hlm.2)
16

Status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel-


variabel tertentu. Status gizi juga merupakan akibat dari keseimbangan antara
konsumsi dan penyerapan zat gizi dalam seluruh tubuh (Sartika 2010, hlm. 79)

II. 2. 2 Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi dapat ditentukan secara langsung dan secara tidak
langsung. Penilaian tersebut dilakukan untuk mengukur status gizi seseorang.

Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat metode penilaian
yaitu, antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak
langsung dibagi menjadi tiga metode penilaian yaitu, survey konsumsi makanan,
statistic vital, dan faktor ekologi. Metode yang sering dan mudah digunakan
dalam menentukan status gizi balita dalam satu waktu tertentu adalah metode
antropometri (Sjarif, dkk. 2011, hlm. 4-6).

A. Antropometri

Berasal dari kata anthropos yang berarti tubuh dan metros yang berarti
ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri
mengukur dimensi tubuh, bentuk tubuh dari berbagai macam tingkat usia
dan keadaan gizi. Terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan dalam
pengukuran antropometri, yaitu:

Tabel 4 Keunggulan dan Kelemahan Metode Antropometri

Keunggulan Kelemahan
- Tidak membutuhkan tenaga ahli, - Kesalahan yang terjadi saat
cukup dilakukan oleh tenaga yang pengukuran dapat memengaruhi
sudah dilatih dalam waktu singkat presi, akurasi, dan validitas
17

dapat melakukan pengukuran pengukuran antropometri gizi


antropometri. - Tidak sensitif
- Prosedur sederhana, aman serta
tepat dan akurat karena dapat
dibakukan
- Dapat mendeteksi atau
menggambarkan riwayat gizi di
masa lampau
- Alatnya murah, dan mudah dibawa.
Sumber: (Sjarif, dkk. 2011, hlm. 4-6)

Berdasarkan penilaian status gizi dengan metode antropometri, kategori


dan ambang batas status gizi anak adalah sebagai mana terdapat pada tabel
dibawah ini:

Tabel 5 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Ambang Batas (Z-score)


Status Gizi

Berat badan menurut Umur Gizi Buruk < -3 SD


Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
(BB/U) Anak umur 0-60 bulan
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih > 2 SD

Panjang Badan menurut Umur Sangat Pendek < -3 SD


Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
menurut Umur (TB/U) Anak Tinggi > 2 SD
Umur 0-60 bulan
Berat Badan menurut Panjang Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Badan (BB/PB) atau Berat
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Badan menurut Tinggi Badan Gemuk > 2 SD
(BB/TB) Anak umur 0-60
18

bulan
Indeks Masa Tubuh menurut Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur (IMT/U) Anak Umur 0-
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
60 bulan Gemuk > 2 SD
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010

Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut


panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik
pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak
kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik
WHO 2006 digunakan untuk usia 0-5 tahun karena mempunyai keunggulan
metodologi dibandingkan CDC 2000 karena subyek penelitian pada WHO 2006
berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk
pertumbuhan optimal.

Tabel 6 Penentuan Status Gizi Menurut Kriteria Waterlow, WHO 2006, dan
CDC 2000.

Status Gizi BB/TB (% BB/TB WHO 2006 IMT CDC 2000


median)
Obesitas > 120 > +3 > P95
Overweight > 110 > +2 hingga +3 SD P85-P95
Normal > 90 +2 SD hingga -2 SD
Gizi Kurang 70-90 <-2 SD hingga -3 SD
Gizi Buruk < 70 < -3 SD
Sumber: Sjarif D.R,, dkk dalam Rekomendasi IDAI 2011
19

Menurut International Child Health Review Collaboration (2016, hlm.1),


penilaian status gizi anak di fasilitas kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, dll),
tidak didasarkan pada Berat Badan anak menurut Umur (BB/U). Pemeriksaan
BB/U dilakukan untuk memantau berat badan anak, sekaligus untuk melakukan
deteksi dini anak yang kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk). Pemantauan berat
badan anak dapat dilakukan di masyarakat (misalnya posyandu), atau di sarana
pelayanan kesehatan (misalnya puskesmas dan Klinik Tumbuh Kembang Rumah
Sakit), dalam bentuk kegiatan pemantauan Tumbuh Kembang Anak dengan
menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat), yang dibedakan antara anak laki-laki
dan perempuan. Status gizi anak < 2 tahun ditentukan dengan menggunakan tabel
Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB), sedangkan anak umur 2 tahun
ditentukan dengan menggunakan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Anak didiagnosis gizi buruk apabila secara klinis Tampak sangat kurus
dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh dan atau jika
BB/PB atau BB/TB < -3 SD atau 70% median, sedangkan anak didiagnosis gizi
kurang jika BB/PB atau BB/TB < -2 SD atau 80% median.

II. 2. 3 Faktor Risiko Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Faktor-faktor penyebab kurang gizi dapat dilihat dari penyebab langsung,


tidak langsung, pokok permasalahan, dan akar masalah. Faktor penyebab
langsung meliputi makanan tidak seimbang dan infeksi, sedangkan faktor
penyebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Welasasih &
Wirjatmadi 2012, hlm. 103).

Gizi kurang dan gizi buruk merupakan permasalahan kesehatan yang


disebabkan oleh penyebab langsung yaitu intake zat gizi dari makanan yang
kurang dan adanya penyakit infeksi. Penyebab langsung dipengaruhi oleh tiga
20

faktor, yaitu ketersediaan pangan keluarga yang rendah, perilaku kesehatan


termasuk pola asuh ibu dan anak yang tidak benar, serta pelayanan kesehatan
rendah dan lingkungan yang tidak sehat(Gladys, dkk. 2011, hlm. 144).

Salah satu penyebab rendahnya status gizi balita yang dimulai pada umur
6 bulan adalah dimulainya makanan tambahan pendamping ASI pada umur
tersebut sehingga mutu makanan yang dikonsumsi balita sangat bergantung pada
orangtuanya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kondisi sosial-ekonomi
yang terbatas sehingga pemenuhan gizi balita terabaikan (Welasasih & Wirjatmadi
2012, hlm. 104).

II. 2. 4 Status Gizi Kurang dan Gizi Buruk Terhadap Kejadian Pneumonia
Menurut Artawan, dkk. (2016, hlm.419-420), salah satu faktor risiko
yang berperan dalam kejadian pneumonia pada anak adalah status gizi, dimana
interaksi antara infeksi dan kekurangan energi protein (KEP) telah lama dikenal.
Kedua keadaan ini sinergistik, saling memengaruhi, yang satu merupakan
predisposisi yang lainnya. Pada KEP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi
patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan
akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam
mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak.

Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan bagi pembentukan enzim
yang berperan dalam metabolisme tubuh, termasuk sistem imun. Antibodi
globulin gamma yang biasanya disebut dengan imunoglobulin merupakan 20%
dari seluruh energi plasma. Semua imunoglobulin terdiri dari rantai polipeptida
yang mengandung bermacam-macam asam amino yang spesifik. Salah satu asam
amino yang berperan dalam sistem imun adalah asam amino treonin yang
memiliki kemampuan untuk mencegah masuknya virus dan bakteri terutama pada
saluran napas dan paru-paru. Yakni berupa sekresi lendir disebut glikoprotein dan
immunoglobulin A. (Sugihartono&Nurjazuli 2012, hlm. 86)

Kurang gizi dan penyakit infeksi mempunyai hubungan yang sangat


erat dan membentuk suatu siklus. Asupan nutrisi yang buruk menyebabkan status
21

gizi yang buruk sehingga menimbulkan menifestasi berupa penurunan berat badan
atau terhambatnya pertumbuhan pada anak (Sartika 2010, hlm.79-80)

II. 3 Kerangka Teori

Faktor Yang Memengaruhi

Faktor yang mempengaruhi


status gizi: Faktor Anak Faktor Lingkungan

Langsung:
1. Status Gizi 1. Polusi dalam Rumah (Asap
1. Pola Asuh Nutrisi
Rokok)
2. Infeksi 2. Riwayat Imunisasi
Tidak Langsung: 3. Riwayat Pemberian ASI 2. Kepadatan Rumah
1. Ketahanan Pangan (memengaruhi)
4. BBLR 3. Tingkat Pendidikan Ibu
Keluarga
2. Pola Asuh Anak 5. Usia Anak
4. Riwayat Sosioekonomi
3. Pelayanan Kesehatan

Energi dan Protein memengaruhi respon


Memengaruhi proteksi barrier pertahanan delayed hypersensitivity, Imunoglobulin, dan
mukosa pertahanan fisiologis fungsi fagositosis
22

(Imunitas anak <<) (Inhalasi/ Aspirasi)

Etiologi : (usia 4 bulan - 5 tahun)


- Pneumococcus - Mycoplasma pneumonia - Infuenza virus tipe A & B -Virus Parainfluenza -
Respiratory Syncitial Virus - Virus Adeno

Masuknya Benda Asing / Mikroorganisme ke Saluran Napas Atas Pengeluaran Toksin

Bukan Pneumonia Inflamasi Saluran Napas Kerusakan Membran Alveoli

Pelepasan Sitokin Pneumonia *)


Sistem Pelepasan Zat Peningkatan (kondisi
Pertahanan Non Pirogen, PG, Permeabilitas memburuk)
kapiler Fagositosis Patogen
Spesifik Mediator kimiawi
Pneumonia berat **)
Terakumulasi
Terrmostat Edema paru dan bersama jaringan
Batuk Tidak Napsu Makan
Hipotalamus akumulasi transudat mati (Anoreksia)
Ket:
Demam Gangguan intake makanan
*) dan **) Gangguan Difusi Oksigen
Tanda gejala dan cairan
khas
- Napas Cepat * - Sesak Napas **- Suara Napas Tambahan (Wheezing) **

Gambar 1 Kerangka Teori


Sumber: Gabungan Suzuki, M. et.al. 2009, Artawan dkk. 2016, Nastiti dkk. 2013, Supriyatno, B 2006

II.4 Kerangka Konsep

Faktor Yang Memengaruhi

Faktor Anak Faktor Lingkungan

Riwayat BBLR Usia Anak Rumah


Imunisasii Polusi dalam Riw. Sosek
Padat
Rumah (asap
Status Gizi rokok)
Riw. PemberianASI Tingkat Pendidikan Ibu

Infeksi Respirasi Akut


Inflamasi Saluran Napas
Bawah
23

Baik Kurang Buruk

(memengaruhi)
(Inhalasi/ Aspirasi)

Imunitas Anak <<

Pneumonia

Gambar 2 Kerangka Konsep

Keterangan:

Variabel Dependen Variabel Independen Area yang diteliti


II. 5 Hipotesis

Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan, dapat dirumuskan hipotesis


mengenai perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan
dengan status gizi baik, kurang, dan lebih di Puskesmas Balaraja Kabupaten
Tangerang periode 2016, sebagai berikut:
H1: Terdapat perbedaan angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59
bulan dengan status gizi baik, kurang, dan buruk di Puskesmas Balaraja
periode 2016.

II. 6 Penelitian Yang Relevan

Nama dan Tahun Judul Penelitian Persamaan dan Perbedaan Hasil


Penelitian Penelitian
Artawan dkk Hubungan Antara Status Nutrisi Perbedaannya yaitu pada Terdapat
(2016) dengan Derajat Keparahan penelitian ini usia responden hubungan yang
Pneumonia pada Pasien Anak di dengan rentang 0 bulan signifikan
24

RSUP Sanglah Bali sampai 5 tahun.


Persamaannya yaitu variabel
dependen dan variabel
independen dan design
penelitian cross sectional
Ginsburg et. al. Undernutrition And Pneumonia Desain penelitian ini yaitu Terdapat
(2016) Mortality In Gambian, West kohort sehingga didapatkan hubungan yang
Africa nilai RR (risiko relatif). signifikan
Persamaannya yaitu variabel
yang diteliti pada penelitian
ini dan rentang usia
responden balita pada
penelitian.
Gozali Hubungan Antara Status Gizi Perbedaannya yaitu pada Terdapat
(2010) dengan Klasifikasi Pneumonia penelitian ini faktor risiko hubungan yang
pada Balita di Puskesmas lain yang berpengaruh signifikan
Gilingan Kecamatan Banjarsari terhadap pneumonia tidak
Surakarta dikendalikan dalam kriteria
eksklusi sehingga dapat
menjadi faktor perancu.
Desain penelitian sama
yaitu cross sectional.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III. 1 Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian (survei) analitik kualitatif dengan
metode studi cross sectional. Pada studi cross sectional melakukan observasi atau
pengukuran terhadap variabel bebas dan tergantung dilakukan pada satu saat
tertentu, yaitu tiap subjek hanya diobservasi satu kali dan pengukuran variabel
subjek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut (Sastroasmoro & Ismael 2014,
hlm.130). Pada penelitian ini akan diketahui jumlah subjek yang mengalami efek
(pneumonia), baik pada kelompok balita dengan status gizi buruk, status gizi
kurang, dan status gizi baik.
25

III. 2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Balaraja Kabupaten
Tangerang pada bulan Januari 2017 sampai dengan bulan Februari 2017.

III. 3 Subjek Penelitian


III. 3. 1 Populasi Penelitian
Populasi Target adalah populasi yang dideterminasi dengan kriteria
sampel (Sastroasmoro & Ismael 2014, hlm.133). Populasi target pada penelitian
ini adalah seluruh pasien pneumonia.
Populasi terjangkau penelitian adalah bagian dari populasi target yang
memungkinkan untuk dijangkau dalam proses penelitian. Populasi terjangkau
pada penelitian ini adalah pasien balita usia 12-59 bulan yang datang di Poli Anak
Puskesmas Balaraja Kabupaten Tangerang (Dahlan 2014, hlm.76).

III. 3. 2 Sampel Penelitian


Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti dari keseluruhan
subjek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel penelitian
merupakan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Sastroasmoro,
dkk. 2010, hlm.127).
III. 3. 3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria Inklusi:
1. Balita berusia 12-59 bulan dengan status gizi baik.
2. Balita berusia 12-59 bulan dengan status gizi kurang.
3. Balita berusia 12-59 bulan dengan status gizi buruk.
4. Balita dengan keluhan batuk maupun sesak dalam waktu tidak melebihi dua
minggu (akut).
5. Pasien mempunyai data rekam medik yang lengkap.
6. Orangtua/wali bersedia terlibat dalam penelitian dengan menandatangani
lembar persetujuan responden penelitian (inform consent).
b. Kriteria Eksklusi :
1. Balita berusia 12-59 bulan dengan status gizi lebih
26

2. Balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap.


3. Balita yang tidak pernah mendapatkan Air Susu Ibu (ASI).
4. Balita dengan riwayat kelahiran berat badan lahir rendah (BBLR).
5. Balita dengan anggota keluarga merokok dalam rumah dengan derajat berat
(merokok > 20 batang/hari).
6. Keadaan responden yang dapat menghambat berjalannya penelitian seperti,
tempat tinggal tidak tetap dan tempat tinggal tidak terjangkau oleh peneliti.
7. Balita dengan infeksi kronis seperti TB,HIV.

III. 4 Metode Pengumpulan Data


Teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah
metode nonprobability sampling yaitu purposive sampling, merupakan metode
penetapan sampel dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu, mencari
objek/elemen yang sesuai dengan tujuan penelitian. Balita yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi penelitian akan diambil sebagai subyek penelitian
(Sastroasmoro, dkk. 2010, hlm.127).

III. 4. 1 Besar Sampel


Besar sampel didapat berdasarkan perhitungan rumus besar sampel untuk
studi Cross Sectional (Sastroasmoro 2010, hlm.81):
a. Uji Hipotesis
Rumus Lemeshow:

n 1=n 2= ( Z
1

2
( 1+ 1k ) P ( 1P )+ Z 1

P 1P 2
P 1 (1P1 )+
P 2 ( 1P 2 )
k
) 2

Keterangan:
n: besar sampel minimum
Z1-/2: Nilai distribusi normal baku (table Z pada tertentu) = 1,64
Z1-/2: Nilai distribusi normal baku (table Z pada tertentu) = 0,84
P1: Perkiraan probabilitas outcome pada paparan (+)
P2: Perkiraan probabilitas outcome pada paparan (-)
27

Untuk mendapatkan nilai P1 dan P2 peneliti melihat penelitian sebelumnya


untuk mengetahui bayi yang mengalami luaran dan faktor risikonya.

Tabel 7 Status Gizi Balita terhadap kejadian Pneumonia

Pneumonia Bukan Pneumonia


Status Gizi kurang & 8 2
buruk
Status Gizi baik 39 60

Sumber: Sinaga, L 2009, hlm. 27


Faktor risiko status gizi balita:
P1: Proporsi kejadian pneumonia dengan status gizi balita kurang & buruk = 0,8
P2: Proporsi kejadian pneumonia dengan status gizi balita baik = 0,39
Perhitungan besar sampel akan menggunakan nilai Z = 5% dan nilai Z =
20% dan P1-P2= 0,41, sehingga akan didapatkan:
2
( 1,64 2( 0, 41)(0, 59)+0, 84 (0,8 )(0,2)+(0,39 )(0, 61))
n1 =n2 =
( 0,80, 39 )2

n1 = n2 = 28
Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut pada rumus, maka besar sampel
minimal yang didapat adalah 28x2 = 56 sampel.

b. Kasus drop out:


Untuk mengantisipasi adanya kegagalan selama observasi akibat drop out,
maka dilakukan penghitungan koreksi besar sampel dengan perkiraan proporsi
drop out kurang lebih 10% . Perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Sastroasmoro & Ismael 2008, hlm.378):
N 56
Ndo= Ndo= =61,6=62
(1do) ( 10,1 )
Maka penelitian ini memerlukan sampel 62 balita.

Tabel 8 Total Pengambilan Sampel Penelitian


Penelitian P1 P2 Jumlah
Sinaga dkk, 2009 0,8 0,39 28
28

Jumlah 28

Total Sampel 28 x 2 +
Penelitian (28x2x10%) = 62

III. 5 Identifikasi Variabel

Baik Angka
Kejadian
Status Gizi Balita
Kurang Pneumonia dan
Bukan
Buruk Pneumonia

Gambar 3 Identifikasi Variabel

III. 5. 1 Variabel Bebas


Penelitian menggunakan variabel bebas yaitu status gizi balita baik, kurang,
dan buruk.
III. 5. 2 Variabel Terikat
29

Penelitian ini menggunakan variabel terikat yaitu kejadian pneumonia.

III. 6 Definisi Operasional

Tabel 9 Definisi Operasional Penelitian


Alat
No. Variabel Definisi Operasional Skala Hasil Ukur
Ukur
1. Variabel Pneumonia adalah Reka Nomin 1=
terikat inflamasi yang mengenai m al Pneumonia &
(dependent) parenkim paru. Medis Pneumonia
: 1. Bukan Pneumonia: Berat
- Bila tidak ada napas cepat, 0 = Bukan
sesak napas, dan tarikan Pneumonia
dinding dada
2. Pneumonia: (MTBS,
Napas cepat sesuai 2008)
gol.umur:
- 2 bulan - < 1 tahun: 50
kali atau lebih/ menit
30

- 1-<5 tahun: 40 kali atau


lebih/ menit
3. Pneumonia berat: Tarikan
dinding dada bagian bawah
ke dalam (chest indrawing)

2. Variabel Salah Satu Faktor yang Reka Ordina 2= Gizi Buruk


bebas menentukan derajat m l (< -3 SD)
(independen kesehatan terutama Medis 1= Gizi
t) : kesehatan anak. Dinilai dari Kurang (< -2
Status Gizi pengukuran rasio berat SD hingga -3
Balita badan dan tinggi badan SD)
(panjang badan) dengan 0= Gizi Baik
menggunakan standar (+2 SD hingga
WHO . -2 SD)

(WHO 2006,
Nurjaniah, M
dkk., 2016)

III. 7 Jenis dan Metode Pengumpulan Data


III. 7. 1 Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengambilan
data sekunder berupa data rekam medis untuk melihat data pasien pneumonia dan
melihat status gizi balita. Pengambilan data primer berupa data yang dikumpulkan
melalui wawancara terhadap sampel dengan menggunakan kuesioner untuk
mengetahui karakteristik balita dan orangtua balita untuk mengendalikan faktor
perancu dalam penelitian.

III. 7. 2 Metode Pengumpulan Data


Pengambilan data dilakukan dengan melihat data responden melalui rekam
medis pada tahun 2016 dengan metode purposive sampling lalu mendatangi
responden dan memberikan lembar persetujuan untuk diisi oleh orangtua/wali dari
31

balita yang menjadi responden. Setelah itu data dikumpulkan dengan observasi
melalui data rekam medis dan pengisian kuesioner.

III. 8 Instrumen Penelitian


Instrumen pada penelitian ini menggunakan rekam medis dan kuesioner.
a. Rekam Medis
Menurut Peraturan Kesehatan Menteri Nomor 479a/Menkes/Per/XII/1989,
Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan lain yang diberikan
pada pasien oleh sarana pelayanan kesehatan. Rekam medis dapat
digunakan untuk mengetahui data karakteristik anak, data pasien
pneumonia, dan status gizi anak.
b. Kuesioner
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden (orangtua
balita) untuk menjawabnya (Sugiyono 2011, hlm. 199). Kuesioner dapat
digunakan untuk mengetahui karakteristik balita dan orang tua.

III. 9 Alur Penelitian


Secara skematik tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini digambarkan
dalam bagan sebagai berikut:

Identifikasi Masalah Perumusan Masalah

Pembuatan proposal penelitian


Penentuan hipotesis penelitian

Pengujian kuesioner dengan Mengajukan Ethical Clearence dan


uji validitas dan reliabilitas Surat Izin Penelitian

Pemilihan sampel secara purposive di Puskesmas Balaraja Kabupaten


Tangerang
32

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Kelompok balita sampel yang sudah memenuhi kriteria inklusi

Subjek yang sudah sesuai dengan kriteria penelitian akan diberikan inform
consent dan persetujuan penelitian

Subjek yang bersedia akan diikutkan sebagai subjek penelitian


Melakukan pengambilan data melalui rekam medis (status gizi dan
diagnosa subjek) dan pengisian kuesioner oleh responden

Melakukan Analisis Data dan Kesimpulan


Membuat Laporan

Gambar 4 Alur Penelitian


III.10 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui tahapan berikut :
a. Editing
Editing merupakan prosedur awal yang dilakukan setelah melakukan
pengumpulan data dari rekam medis, dimana dilakukan pemeriksaan atas
kelengkapan rekam medis.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data dalam bentuk huruf atau
kalimat menjadi data angka atau bilangan yang disesuaikan dengan nilai
yang telah ditentukan pada definisi operasional penelitian ini.
c. Entry
33

Data entry merupakan prosedur memindahkan hasil data dari responden


setelah dilakukan kegiatan coding, data dimasukan ke dalam aplikasi
pengolahan statistik pada komputer.
d. Cleaning
Cleaning merupakan prosedur terakhir dalam pengolahan data yaitu
pengecekan kesesuaian data pada komputer dengan kisi-kisi yang
ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya kesalahan kode atau
ketidaklengkapan data sehingga dapat dilakukan koreksi data..

III.11 Analisis Data


Analisis data dilakukan menggunakan software pengolah data, melalui
tahapan berikut :
a. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah cara analisis untuk variabel tunggal (Dahlan 2014,
hlm. 102). Analisis ini dilakukan untuk mendeskripsikan masing-masing
variabel yang digunakan dalam penelitian. Hasil dari analisis univariat
hanya menghasilkan distribusi atau rerata atau presentasi kasus sampel dari
variabel tunggal, dalam penelitian ini adalah kejadian pneumonia,
karakteristik balita dan status gizi balita (baik, kurang, dan buruk).

b. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh antara satu variabel
independen terhadap satu variabel dependen.
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji statistik Chi-Square
dengan variabel independen berupa data nominal dan variabel dependen
berupa data nominal berbentuk tabel 2 x k. Uji Chi-Square adalah uji yang
digunakan semua hipotesis untuk variabel kategorik tidak bepasangan
dengan syarat sel yang memiliki expected count kurang dari 5 dan maksimal
20% dari jumlah sel, bila tidak memenuhi syarat uji Chi- Square maka akan
dilakukan uji Fisher (Dahlan 2014, hlm. 102).
34

Uji chi-square ditujukan untuk menganalisis hubungan antara dua variable,


yaitu:
i. Status gizi balita baik terhadap kejadian pneumonia pada balita
usia 12-59 bulan.
ii. Status gizi balita kurang terhadap kejadian pneumonia pada balita
usia 12-59 bulan.
iii. Status gizi balita buruk terhadap kejadian pneumonia pada balita
usia 12-59 bulan.
Dengan rumus uji Chi-Square:
(oE)
X2 = E
Untuk interpretasi hasil menggunakan derajat kemaknaan . Untuk bidang
kesehatan masyarakat biasanya digunakan nilai sebesar 5%. Setiap
melakukan uji statistic yang akan dicari adalah nilai p (P value).
Dengan nilai p kita dapat menggunakan keputusan uji statistik dengan
membandingkan nilai p dengan nilai . Ketentuan yang berlaku adalah:
a. Bila nilai p > 0,05 = maka H0 gagal ditolak.
b. Bila nilai p <0,05 = maka H0 ditolak.

III.12 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian


III.12.1 Uji Validitas
Penelitian yang baik harus menggunaan instrument yang baik valid. Dalam
penyusunan instrumen yang baik perlu diperhatikan validitas instrument yang
dihasilkan. Karena itu dalam proses pengembangannya, validasi instrument adalah
satu langkah kegiatan yang harus diperhatikan peneliti sebelum menggunakan
instrumen tersebut. Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid
tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner
35

tersebut (Dahlan 2013, hlm. 113-114). Diharapkan apabila peneliti memahami


secara mendalam tentang validasi instrumen non tes, maka diharapkan pada saat
melakukan kegiatan penelitian, instrumen yang dipakai untuk menggali data
benar-benar valid sehingga akan dapat pula diperoleh data yang ilmiah. Dengan
responden sebanyak 30 orang dan tingkat signifikasi = 5%, maka df=n-2=28,
=0,05 diperoleh rtabel=0,374.

III.12.1.1 Hasil Pengujian Validitas Instrumen Pola Asuhan Nutrisi Balita


dan Infeksi
Dari hasil uji validitas dan reliabilitas untuk angket variabel Pola Asuhan
Nutrisi balita diperoleh hasil seperti tabel berikut:
Tabel 10 Hasil Pengujian Validitas dan Reliabilitas Variabel Pola Asuhan
Nutrisi dan Infeksi

Pertanyaan Koefisien Korelasi p-value Keputusan


PAN1 0,486 0,000 VALID
PAN2 0,684 0,025 VALID
PAN3 0,684 0.013 VALID
PAN4 0,366 0.025 VALID
INFEKSI 0,574 0.000 VALID

Berdasarkan tabel hasil pengujian validitas diatas, diketahui bahwa lima


butir pertanyaan yang digunakan dalam instrumen penelitian memiliki p-value
kurang dari 0,05 dan satu butir pertanyaan memiliki p-value lebih dari 0,05 .
Adapun koefisien korelasi dari lima butir pertanyaan berkisar antara 0,366 sampai
dengan 0,684. Hal ini dapat diartikan bahwa masing-masing pertanyaan tersebut
adalah valid. Dengan kata lain butir-butir pertanyaan tersebut dapat mewakili atau
membentuk konstruk dari variabel Pola Asuhan Nutrisi dan Infeksi pada balita.

III.12.2 Uji Reliabilitas


Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama. Dikatakan variabel
36

jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari
waktu ke waktu (Hastono 2007, hlm. 110).
Uji reliabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan sejauh
mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali atau
lebih. Reliabilitas data pada penelitian ini diuji dengan menggunakan Inter-item
Consistency Reliability yang melihat Cronbachs coefficient alpha sebagai
koefisien dari reliabilitas. Cronbachs alpha adalah koefisien reliabilitas yang
menunjukkan bagaimana bagian-bagian dari suatu set berkorelasi secara positif
satu sama lainnya (Hastono 2011, hlm.111). Suatu instrumen dianggap reliable
jika memiliki koefisien alpha () sebesar 0,6 atau lebih.
Dasar pengambilan keputusan menurut Hastono (2011, hlm. 111) untuk
instrumen yang reliable adalah:
1. Jika koefisien alpha () pengujian lebih besar dari (>) 0,6 maka
pertanyaan dalam kuesioner layak digunakan (reliable)
2. Jika koefisien alpha () pengujian kurang dari (<) 0,6 maka pertanyaan
dalam kuesioner tidak layak digunakan (tidak reliable).

Tabel 11 Uji Reliabilitas Instrumen


Kategori Items Cronbachs Keputusan
Coefficient
Alpha
Pola Asuhan Nutrisi
dan Infeksi 5 0,738 Reliable

Pada tabel diatas, koefisien Cronbachs alpha untuk masing-masing


konstruk yaitu memenuhi kriteria reliabilitas yang direkomendasikan Hastono
37

(lebih besar dari 0,60). Dengan demikian maka jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur masing-masing konstruk
tersebut adalah konsisten dan konstruk dapat dipercaya (reliable).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Gambaran Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4 Februari hingga 2 Maret 2017 di
puskesmas tingkat kecamatan di Kabupaten Tangerang, yaitu Puskesmas
Kecamatan Balaraja. Puskesmas ini dipilih berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Tangerang Provinsi Banten (2015, hlm. 151) yang menunjukkan
bahwa persentase angka kejadian pneumonia di wilayah ini cukup tinggi diantara
kecamatan lain di Kabupaten Tangerang.
38

IV.1.1 Profil Puskesmas Balaraja


Puskesmas Balaraja merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas
Kesehatan Kabupaten Tangerang yang menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di Kecamatan Balaraja. Puskesmas ini beralamat di Jl. Raya Serang
KM.24, Desa Talagasari Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang dengan jarak
12,3 Km dari pusat Kabupaten Tangerang. Puskesmas Balaraja memiliki luas
wilayah kerja sebesar 35,14 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 71.192 jiwa
pada tahun 2015. Kecamatan Balaraja terdiri dari 1 kelurahan (Balaraja) dan 4
desa (Talagasari, Saga, Sentul, Sentul Jaya) yaitu dengan jarak tempuh rata-rata
dari desa ke puskesmas sekitar 2 Km (7 menit perjalanan) dengan jarak terjauh
adalah 4,8 Km ( 15 menit perjalanan).
Puskesmas Balaraja merupakan puskesmas perawatan yang dilengkapi
dengan pelayanan poli anak dengan jam kerja hari senin sampai dengan kamis
dari pukul 08.00-14.00 WIB atau sekitar 6 jam, hari jumat mulai pukul 08.00-
12.00 atau sekitar 4 jam, dan hari sabtu mulai pukul 08.00-11.00 atau sekitar 3
jam. Puskesmas Balaraja juga melayani pelayanan UGD selama 24 jam. Pada
tahun 2016 poli anak Puskesmas Balaraja memiliki total kunjungan sebanyak
7866 pasien dengan 5560 diantaranya adalah pasien anak dengan penyakit infeksi
dan 2306 anak dengan penyakit non infeksi.

IV.2 Gambaran Umum Responden


IV.2.1 Karakteristik Responden Ibu
Karakteristik ibu dikategorikan berdasarkan usia, tingkat pendidikan dan
pendapatan keluarga yang tercantum dalam tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik Responden Ibu
Karakteristik Ibu Jumlah Persentase
Usia Ibu
17-25 tahun 9 14.5
26-35 tahun 38 61.3
36-45 tahun 14 22.6
46-55 tahun 1 1.6
Tingkat Pendidikan Ibu
Tamat SD 6 9.7
Tamat SMP 16 25.8
Tamat SMA 35 56.5
Perguruan Tinggi/Akademi 5 8.1
39

Tingkat Pendapatan Keluarga


<3.000.000 27 43.5
3.000.000-3.200.000 20 32.3
>3.200.000 15 24.2
Sumber: Data Primer, 2017

Gambaran karakteristik ibu responden tercantum dalam tabel 12. Sebagian


besar (61,3%) ibu responden berusia 26-35 tahun. Persentase terbesar tingkat
pendidikan ibu balita (56,5%) yaitu dengan tingkat pendidikan tamat SMA.
Sebagian besar orangtua responden balita (43,5%) memiliki tingkat pendapatan
keluarga adalah kurang dari Rp 3.000.000.

IV.2.2 Karakteristik Responden Balita


Karakteristik balita dikategorikan berdasarkan usia dan jenis kelamin yang
tercantum dalam tabel 13.
Tabel 13 Karakteristik Responden Balita
Karakteristik Jumlah Persentase
Usia Balita
12-23 bulan 22 35.5
24-35 bulan 15 24.2
36-47 bulan 14 22.6
48-59 bulan 11 17.7
Jenis Kelamin
Laki-laki 33 53.2
Perempuan 29 46.8
Sumber: Data Sekunder, 2016

Karakteristik balita yang menjadi responden tercantum dalam tabel 13.


Sebagian besar (35,5%) responden berusia antara 12-23 bulan. Sebagian
responden (53,2%) berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 14 Karakteristik Pola Asuh Makan dan Episode Infeksi Balita


Pola Asuh Makan Jumlah Persentase
40

Inisiasi Menyusui Dini


Ya 46 74.2
Tidak 16 25.8
Riwayat ASI
ASI Eksklusif 41 66.1
ASI Non Eksklusif 21 33.9
Waktu Pertama Kali
Pemberian MP-ASI
Mulai usia 6 bulan 41 66.1
Kurang dari usia 6 bulan 21 33.9

Jenis MP-ASI
Susu Formula 16 25.8
Bubur Sereal Instan 32 51.6
Buah yang dihaluskan 6 9.7
Bubur Tim 8 12.9
Episode Infeksi (1 tahun)
1-6 kali 48 77.4
7-10 kali 14 22.6
> 10 kali 0 0
Sumber: Data Primer, 2017

Karakteristik pola asuh makan dan episode infeksi balita yang menjadi
responden tercantum dalam tabel 14. Sebagian besar (74,2%) responden dapat
melakukan Inisiasi Menyusui Dini sesaat setelah lahir. Sebagian besar (66,1%)
balita mendapatkan ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI tanpa tambahan
selama 6 bulan. Sebagian besar (66,1%) balita dengan waktu pertama kali
pemberian MP-ASI baik yaitu pemberian makanan pendamping tepat pada saat
balita berusia 6 bulan. Jenis MP-ASI yang diberikan kepada balita sebagian besar
(51,6%) adalah bubur sereal instan. Episode infeksi diare dan ISPA yang terjadi
pada balita responden sebagian besar (77,4%) terjadi sebanyak 1-6 kali dalam
kurun waktu 1 tahun.

IV.3 Hasil Analisis Univariat


Analisis ini dilakukan untuk melihat gambaran distribusi jumlah dan
frekuensi variabel-variabel yang akan diteliti. Analisis univariat yang dilakukan
meliputi karakteristik responden, variabel independen yaitu status gizi baik,
41

kurang, dan buruk dan variabel dependen yaitu kejadian pneumonia pada balita
usia 12-59 bulan di Puskesmas Balaraja Periode 2016.

IV.3.1 Status Gizi Balita


Status gizi balita usia 12-59 bulan pada penelitian ini yang terdiri dari gizi
baik, gizi kurang, dan gizi buruk tercantum dalam tabel 15.
Tabel 15 Distribusi Status Gizi Balita
Status Gizi Jumlah Persentase
Gizi Baik 36 58.1
Gizi Kurang 25 40.3
Gizi Buruk 1 1.6
Jumlah 62 100.0
Sumber: Data Sekunder, 2016
Sebagian besar balita usia 12-59 bulan (58,1%) dengan status gizi baik.

IV.3.2 Angka Kejadian Pneumonia


Berikut ini adalah tabel distribusi angka kejadian pneumonia pada balita
usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Balaraja Kabupaten Tangerang
Periode 2016.
Tabel 16 Distribusi Angka Kejadian Pneumonia Pada Pasien Rawat Jalan
Balita Usia 12-59 Bulan di Puskesmas Balaraja Periode 2016
Kejadian Pneumonia Jumlah Persentase
Pneumonia 78 0.018
Bukan Pneumonia 4153 99.98
Jumlah 4231 100.0
Sumber: Data Sekunder, 2016
Dari seluruh pasien rawat jalan balita usia 12-59 bulan Puskesmas Balaraja
ditemukan sebanyak 78 kasus (0,018%) balita menderita pneumonia.
Tabel 17 Distribusi Angka Kejadian Pneumonia Responden Balita Usia 12-59
Bulan Puskesmas Balaraja Periode 2016
Kejadian Pneumonia Jumlah Persentase
Pneumonia 36 58.1
Bukan Pneumonia 26 41.9
42

Jumlah 62 100.0
Sumber: Data Sekunder, 2016
Tabel 18 Distribusi Kejadian Pneumonia Berdasarkan Status Gizi Balita
Kejadian Pneumonia Jumlah Persentase
Status Gizi Baik
Pneumonia 17 27.4
Bukan Pneumonia 19 30.6
Status Gizi Kurang
Pneumonia 18 29.0
Bukan Pneumonia 7 11.3
Status Gizi Buruk
Pneumonia 1 1.6
Bukan Pneumonia 0 0.0
Jumlah 62 100.0
Sumber: Data Sekunder,2016

Dari 62 responden balita usia 12-59 bulan yang memenuhi kriteria inklusi
dengan keluhan batuk sesak, sebanyak 36 responden (58,1%) balita menderita
pneumonia. Angka kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan dengan
status gizi buruk (1,6%), pada balita dengan gizi kurang (29,0%), dan pada balita
gizi baik (27,4%).

IV.4 Hasil Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen yaitu status gizi baik, kurang, dan buruk pada balita usia 12-59 bulan
dengan kejadian pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Balaraja Kabupaten
Tangerang Periode 2016. Uji Chi-Square dipilih untuk analisis bivariat dalam
penelitian ini. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara status gizi baik,
kurang, dan buruk terhadap angka kejadian pneumonia.

IV.4.1 Analisis Kejadian Pneumonia Berdasarkan Status Gizi Pada Balita


Usia 12-59 Bulan di Puskesmas Balaraja
43

Tabel 19 Hasil analisis antara status gizi balita dengan kejadian pneumonia
pada balita usia 12-59 bulan di Puskesmas Balaraja periode 2016
Kejadian Pneumonia Jumlah P
Pneumonia Bukan
Pneumonia
Status Gizi N % n % n %
Gizi Kurang & 19 73.1 7 26.9 26 100
0.042
Gizi Buruk
Gizi Baik 17 47.2 19 52.8 36 100
Jumlah 36 58.1 26 41.9 62 100
Sumber: Data Sekunder, 2016

Hasil tabulasi data status gizi terhadap kejadian pneumonia tercantum


pada tabel 18 yang merupakan hasil penggabungan sel dari uji chi square baris x
kolom (3x2) yang sebelumnya tidak memenuhi syarat yaitu dengan nilai expected
count kurang dari lima (< 5) sebanyak lebih dari 20%.
Berdasarkan data dari hasil penggabungan sel menjadi gizi kurang dan gizi
buruk (undernutrition) dan dibandingkan dengan nilai gizi baik seperti tabel
diatas, sebagian besar balita dengan status gizi kurang dan buruk (undernutrition)
menderita pneumonia yaitu sebanyak 19 orang (73,1%) sedangkan balita dengan
status gizi baik sebagian besar (52,8%) menderita bukan pneumonia. Hasil
analisis berdasarkan chi square didapatkan nilai p = 0,042 (p < , = 0,05).
Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi dengan
kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan.

IV.5 Pembahasan
IV.5.1 Pembahasan Karakteristik Responden
Pada penelitian ini didapatkan usia ibu balita terbanyak pada usia 26-35
tahun dengan persentase 61,3%. Menurut Depkes RI (2009, hlm. 1), klasifikasi
44

usia ibu 26-35 tahun masuk ke dalam usia dewasa awal, yaitu periode
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan
sosial yang baru. Penelitian ini menunjukkan tingkat pendidikan ibu sebagian
besar adalah tamatan SMA yaitu sebanyak 56,5%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Sinaga, dkk. dengan responden ibu balita sebagian besar
berpendidikan tinggi atau lebih dari wajib belajar 9 tahun (tamat SMP) sebanyak
65,3% dari total responden. Notoadmodjo (2010, hlm.45) menyatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah mendapatkan
informasi dan akhirnya memengaruhi perilaku seseorang. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan tingkat pendapatan keluarga sebagian besar (43,5%) yaitu kurang
dari tiga juta (< Rp 3.000.000,-) per bulan. Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Banten NO.561/ Kep. 519-NUK/2015 mengenai penetapan upah
minimum Kabupaten/Kota se-Provinsi Banten, upah minimum Kabupaten/Kota
Tangerang mengalami kenaikan dari tahun 2015 (Rp. 2.710.000,-) ke tahun 2016
menjadi Rp 3.021.650,-. Berdasarkan ketetapan UMK tersebut maka sebagian
besar responden memiliki pendapatan dibawah UMK tahun 2016. Pendapatan
keluarga yang rendah (kondisi sosial-ekonomi) dapat memengaruhi status gizi
balita (Welasasih &Wirjatmadi 2012, hlm. 104)
Umur responden balita terbanyak (35,5%) pada penelitian ini adalah
kelompok usia 12-23 bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian Nurjaniah, dkk.
(2016, hlm.252), yang menyatakan bahwa kelompok umur yang terbanyak
(39,04%) pada penelitian di RS.Dr.M.Djamil Padang adalah umur 13-20 bulan.
Penelitian lain oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012, hlm. 83), menyebutkan
bahwa sebagian besar sampel (37%) berusia 13-24 bulan. Hasil penelitian lain
menyebutkan usia tertinggi pada balita di bawah usia 2 tahun (Turner, dkk. 2013,
hlm. 4). Semakin kecil usia anak semakin rentan terkena infeksi dikarenakan
sistem imun pada anak usia satu tahun pertama hingga usia lima tahun masih
belum matang (Machmud 2006, hlm. 56).
Sebagian besar balita responden dari penelitian ini (53,2%) adalah laki-laki.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Subanada dan Purniti (2010,
hlm. 184) yang menyatakan bahwa sebagian besar responden dengan jenis
kelamin laki-laki.
45

Pada penelitian ini didapatkan karakteristik pola asuh makan dan angka
kejadian penyakit infeksi dalam kurun waktu satu tahun terakhir berkaitan dengan
pengaruh secara langsung terhadap status gizi balita. Karakteristik pola asuh
nutrisi dan kejadian infeksi di Puskesmas Balaraja didapatkan hasil yang cukup
baik, yaitu sebagian besar balita mendapatkan inisiasi menyusui dini (IMD)
sebanyak 74,2%. Berdasarkan teori menurut Roesli (2008, hlm. 5) disebutkan
bahwa bayi yang mendapat kesempatan inisiasi menyusui dini, hasilnya delapan
kali lebih berhasil mendapat ASI secara eksklusif. Berdasarkan teori tersebut,
balita yang mendapatkan ASI secara eksklusif sebanyak 66,1% dan balita yang
mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) tepat 6 bulan atau lebih
sebanyak 66,1%. Hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar (51,6%) ibu
balita memberikan MP-ASI pada balita berupa bubur sereal instan. Tidak hanya
pola asuh makan yang dapat memengaruhi gizi secara langsung, tetapi episode
(banyaknya kejadian) infeksi pada balita juga memengaruhi status gizi balita dan
imunitas balita tersebut, sebanyak 77,4% balita dengan episode infeksi (diare dan
ISPA) sebanyak 1-6 kali dalam kurun waktu satu tahun.

IV.5.2 Pembahasan Hasil Analisis Univariat


Penelitian ini menunjukkan sebanyak 58,1% balita dengan status gizi
baik, 40,3% balita dengan status gizi kurang, dan 1,6% balita dengan status gizi
buruk. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas gizi balita
responden di Puskesmas Balaraja sudah cukup baik. Status gizi balita yang baik
dapat dikarenakan pendidikan ibu responden di Kecamatan Balaraja sudah cukup
baik sehingga memengaruhi pengetahuan ibu dalam mengasuh anaknya. Status
gizi balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara langsung seperti
pola asuh nutrisi (pola makan) dan infeksi maupun faktor tidak langsung, seperti
ketahanan pangan keluarga dan pelayanan kesehatan (Welasasih & Wirjatmadi
2012, hlm.103). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nurjaniah, dkk. (2016, hlm. 252) di RS. Dr. M. Djamil Padang, sebanyak 53,3%
balita dengan status gizi baik, balita dengan status gizi kurang 39,04%, dan 7,61%
balita dengan gizi buruk. Hasil penelitian juga sejalan dengan data yang diperoleh
dari Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten (2007, hlm. 22), menunjukkan bahwa
46

persentase balita dengan status gizi baik sebanyak 79,9%, status gizi kurang
12,2%, dan status gizi buruk 4,4%.
Status gizi baik (well nourished) bisa terjadi jika tubuh memperoleh cukup
zat gizi yang digunakan secara efisien (Almatsier 2009, hlm.302). Hal ini sejalan
dengan penelitian ini yaitu balita dengan status gizi baik mendapatkan ASI
Eksklusif dan Pemberian ASI pertama kali dengan waktu yang sesuai. Status gizi
selain berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita, juga
berpengaruh pada kecerdasan dan kerentanan daya tahan tubuh balita. Balita
dengan gizi baik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta kerentanan
terhadap suatu penyakit infeksi dapat diminimalisir (Meliahsari, dkk. 2013, hlm.
113).
Berdasarkan hasil pada penelitian ini, dari 62 balita responden sebagian
besar (58,1%) balita menderita pneumonia dan 41,9% balita menderita bukan
pneumonia. Berdasarkan data Puskesmas Balaraja periode 2016, secara
keseluruhan terdapat 78 kasus (0,018%) balita usia 12-59 bulan yang menderita
pneumonia dari seluruh pasien balita usia 12-59 bulan yang datang ke Puskesmas
Balaraja. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kejadian pneumonia masih
cukup tinggi. Kejadian pneumonia pada balita ditandai dengan batuk disertai
napas cepat ( 40x/ menit pada balita usia 12-59 bulan) juga disertai atau tanpa
disertai dengan sesak napas dan tarikan dinding dada (Bennet 2016, hlm.1). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dan
Wahyono (2011, hlm. 38) di wilayah kerja Puskesmas Bergas, Semarang yang
menyebutkan bahwa 50,6% balita menderita pneumonia dan 49,4% terdiagnosis
batuk bukan pneumonia. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Wijaya dan
Bahar (2014, hlm. 381), ditemukan sebagian besar (81,7%) balita dengan
diagnosis bukan pneumonia dan (18,3%) balita dengan diagnosis pneumonia.
Berdasarkan tabel 18 mengenai distribusi angka kejadian pneumonia
berdasarkan status gizi balita menunjukkan 29% balita yang mengalami
pneumonia memiliki status gizi kurang, 27,4% balita dengan status gizi baik, dan
1,6% balita yang mengalami pneumonia dengan status gizi buruk. Hal ini
menujukkan bahwa angka kejadian pneumonia sebagian besar diderita oleh pasien
balita usia 12-59 bulan dengan status gizi kurang.
47

IV.5.3 Pembahasan Hasil Analisis Bivariat


Berdasarkan analisis uji bivariat dengan uji chi-square didapatkan nilai p-
value 0,042 (p< 0,05), menandakan adanya perbedaan signifikan antara balita
dengan status gizi kurang dan buruk dengan status gizi baik terhadap kejadian
pneumonia. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa status gizi merupakan
salah satu faktor yang dapat memengaruhi kejadian pneumonia
(Sunyataningkamto dkk. 2014, hlm 26). Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Sugihartono dan Nurjazuli (2012, hlm.55) di Puskesmas Sidorejo, Kota
Pagar Alam, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan
kejadian pneumonia balita (p=0,025) dengan risiko 3,12 kali lebih besar
menderita pneumonia pada balita dengan status gizi kurang dan buruk
dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik. Sejalan dengan penelitian
Mokoginta, D (2013, hlm.7) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan
faktor risiko kejadian pneumonia pada balita (p< 0,05; OR=1,18).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Schlaudecker et.al. (2009, p. 499) bahwa terdapat hubungan dua arah antara
infeksi dengan status nutrisi. Infeksi mengubah status nutrisi melalui penurunan
asupan makanan dan absorpsi usus, peningkatan katabolisme, dan sekuestrasi
nutrisi yang diperlukan untuk sintesa jaringan dan pertumbuhan. Malnutrisi
membuka predisposisi pada terjadinya infeksi karena efek negatifnya pada
pertahanan mukosa dengan jalan memicu perubahan pada fungsi imunitas pejamu.
Harohalli &Donna (2009, hlm. 1) mengemukakan bahwa penurunan fungsi
imunitas dapat berupa hilangnya respon delayed hypersensitivity, penurunan
respon limfosit, penurunan limfosit-T, penurunan fungsi fagositosis akibat
penurunan komplemen dan sitokin serta penurunan immunoglobulin A (IgA). Hal
ini dapat terjadi karena turunnya energi dan protein dalam tubuh sehingga dapat
menurunkan jumlah immunoglobulin yang terbentuk dari glikoprotein.
Hasil penelitian ini menujukkan sebagian besar balita dengan status gizi
kurang dan buruk (undernutrition) menderita pneumonia yaitu sebanyak (73,1%)
sedangkan sebagian sebagian besar balita dengan status gizi baik menderita bukan
pneumonia (52,8%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
48

Artawan, dkk. (2016, hlm. 420), bahwa sebagian besar balita dengan malnutrisi
menderita pneumonia ringan dan berat. Gizi kurang dan gizi buruk (malnutrisi)
dapat menyebabkan kelainan pada saluran napas dalam hal proteksi terhadap agen
penyakit. Pada saluran napas dalam keadaan normal terdapat proses fisiologis
menghalau agen penyakit, seperti reflek batuk, peningkatan jumlah cairan mukosa
ketika terdapat agen yang membahayakan kesehatan saluran napas (Nastiti 2013,
hlm.355). Pada anak dengan gizi kurang dan gizi buruk, proses fisiologis ini tidak
berjalan dengan baik sehingga agen penyakit yang seharusnya dikeluarkan oleh
tubuh menjadi terakumulasi dalam saluran napas sampai paru-paru (Supriyatno
2006, hlm. 102)
Hal serupa dikemukakan oleh Ginsburg, dkk. (2015, hlm. 735), bahwa
terdapat hubungan antara status gizi balita dengan angka kematian balita akibat
pneumonia di Gambian dengan risiko relatif (RR=3,2). Ginsburg juga
menyebutkan bahwa di Gambian anak dengan diagnosis pneumonia yang dirawat
di rumah sakit dengan gizi kurang atau gizi buruk menjalankan hidupnya dengan
risiko kematian delapan kali lebih besar dan faktor yang mempengaruhi angka
kematian ini masih belum dapat ditemukan dengan pasti. Namun beberapa target
potensial seperti komposisi gizi yang diberikan, frekuensi pemberian makan,
infeksi berulang, dan kerentanan oleh beberapa patogen dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi.
Berdasarkan penelitian oleh WHO dan UNICEF (2006, hlm. 26), status gizi
balita sangat menentukan terjadinya pneumonia pada balita sehingga pentingnya
pemberian nutrisi sangat perlu untuk perkembangan dan pertumbuhan sel-sel
sehingga tubuh bisa mempertahankan diri dari penyakit pneumonia. Kekurangan
gizi (undernutrition) dapat meningkatkan risiko terjadinya pneumonia, yaitu dapat
melalui dua cara. Pertama, kekurangan gizi melemahkan sistem imun anak secara
keseluruhan, dimana dibutuhkan energi dan protein dalam jumlah yang cukup
untuk memenuhi fungsi sistem kekebalan tubuh. Kedua, anak dengan kekurangan
gizi dapat menyebabkan melemahnya otot pernapasan, sehingga menghambat
sistem saluran pernapasan untuk pembersihan (sekresi) benda asing yang masuk
ke dalam saluran pernapasan balita tersebut.
49

Pneumonia pada balita perlu mendapat perhatian, karena angka kejadian


yang cukup tinggi. Bila tidak ditangani dengan benar maka dikhawatirkan dapat
meningkatkan angka kematian pada balita. Untuk itu diperlukan pencegahan
pneumonia pada balita dengan perbaikan gizi dan imunisasi serta meningkatkan
upaya manajemen tatalaksana pneumonia (Kartasasmita 2010, hlm. 6).

IV.6 Keterbatasan Penelitian


Setelah melakukan pengumpulan data sekunder dan data primer serta
melakukan analisis data sesuai dengan tujuan penelitian, terdapat beberapa
keterbatasan yang muncul yang dapat memengaruhi hasil penellitian, diantaranya
adanya variabel lain seperti kepadatan rumah yang dapat memengaruhi kejadian
pneumonia pada balita usia 12-59 bulan yang tidak dikendalikan pada penelitian
ini.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
50

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta melihat pada tujuan penelitian maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Angka kejadian pneumonia dari seluruh pasien rawat jalan balita usia 12-
59 bulan di Puskesmas Balaraja periode 2016 adalah 0,018%.
b. Gambaran status gizi pada balita usia 12-59 bulan di Puskesmas Balaraja
yaitu 58,1% balita dengan gizi baik, balita dengan gizi kurang 40,3%,
dan 1,6% balita dengan gizi buruk.
c. Angka kejadian pneumonia pada kelompok balita usia 12-59 bulan
dengan gizi baik adalah 27,4%.
d. Angka kejadian pneumonia pada kelompok balita usia 12-59 bulan
dengan gizi kurang adalah 29.0%.
e. Angka kejadian pneumonia pada kelompok balita usia 12-59 bulan
dengan gizi buruk adalah 1,6%.
f. Terdapat perbedaan signifikan antara angka kejadian pneumonia pada
balita usia 12-59 bulan dengan status gizi buruk dan kurang
(undernutrition) dan status gizi baik.

V.2 Saran
Dari kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis dapat memberikan
saran sebagai berikut:
a. Bagi Orangtua Responden
Bagi ibu yang tergolong usia aktif reproduksi (26-35 tahun) sebaiknya
lebih aktif dalam memerhatikan status gizi balita dan dapat diberikan
edukasi mendalam mengenai faktor-faktor yang dapat memengaruhi
status gizi balita tersebut yang juga dapat memengaruhi terjadinya
infeksi akibat menurunnya imunitas tubuh terutama pada saluran
pernapasan yaitu pneumonia.

b. Bagi Puskesmas
51

1) Pemberian informasi kepada masyarakat mengenai dampak status gizi


terhadap kejadian infeksi seperti pneumonia terutama pada balita usia
12-24 bulan.
2) Pemberian informasi mengenai pneumonia balita kepada masyarakat
wilayah puskesmas balaraja.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya


1) Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian ini dengan
menggunakan desain kasus kontrol dan kohort sehingga observasi
yang dilakukan lebih dalam sehingga akan lebih terlihat sebab akibat
antara status gizi dengan pneumonia pada balita.
2) Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan
variabel yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA
52

Almatsier, Sunita 2009, Prinsip dasar ilmu gizi, Gramedia Cetakan IX, Jakarta
Anwar, A & Dharmayanti, I 2014, Pneumonia pada anak balita di Indonesia
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Vol.8, no.8, Mei
2014, diakses 17 mei 2016.
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/405
Artawan, PS, Purniti, IG, Lanang, S 2016, Sari Pediatri: Hubungan antara status
nutrisi dengan derajat keparahan pneumonia pada pasien anak di RSUP
SanglahIkatan Dokter Anak Indonesia, Vol.17, no.6, April 2016, diakses 10
Februari 2017.
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/83/0
Arpitha, G, Rehman , MA, Ashwitha, G 2014, Effect of severity of malnutrition
on pneumonia in children aged 2M-5Y at a tertiary care center in
Khammam Andhra Pradesh: a clinical study, Vol.2, no.3. diakses 6 Maret
2017.
http://www.ijpediatrics.com/index.php/ijcp/article/view/91
Bennett, NJ 2016, Pediatric pneumonia clinical presentation Medscape, diakses
tanggal 30 Agustus 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-clinical#b3
Bradley, Byington C, Shah S, Alverson, B 2011, The management of community-
acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age:
clinical practice guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society,
Infectious Diseases Society of America, diakses tanggal 20 Oktober 2016.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21880587
Dahlan, S 2008, Statistik untuk kedokteran dan kesehatan (Seri evidence based
medicine) Edisi Ketiga, Salemba Medika, Jakarta
Dahlan, S 2013, Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian
Kedokteran Kesehatan Edisi Ketiga, Salemba Medika, Jakarta
Diana, MF 2006, Hubungan Pola Asuh Dengan Status Gizi Anak Batita Di
Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2011
Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.1, no.1, September 2006, diakses 8
Maret 2017.
http://scholar.google.co.id/scholar_url?
url=http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/6/6&hl=en&s
a=X&scisig=AAGBfm2GgLiDfL-
oeboKnQKMF9iP0kXTTw&nossl=1&oi=scholarr&ved=0ahUKEwivp-
245ZzTAhVML48KHRVjAxwQgAMIISgAMAA
Fekadu, GA, Terefe, MW, Alemia, GA 2014, Prevalence of pneumonia among
under-five children in Ease town and the surrounding rural Kebeles,
Northwest Etiopia Sci J Pub Health, Vol.3, p. 150-155, diakses 5 Mei 2016.
53

http://article.sciencepublishinggroup.com/pdf/10.11648.j.sjph.20140203.12.
pdf
Ginsburg, I, Berkley, J, Walson, J 2015, Undernutrition and pneumonia mortality
The Lancet, Vol.3, Desember 2015, p. 735-736, diakses 20 Februari 2017.
http://www.thelancet.com/journals/langlo/article/PIIS2214-109X(15)00222-
3/abstract
Gereige, RS & Laufer, PM 2013, Pneumonia American Academy of Pediatrics,
Vol.34, no.10, diakses 30 Agustus 2016.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/37/9?current-issue=y
Gladys, G, Fadlyana, D, Rusmil, K 2011, Hubungan status gizi dan
perkembangan anak usia 1-2 tahun Ikatan Dokter Anak Indonesia, Vol. 13,
No. 2, hlm. 142-146, Agustus 201, diakses 20 Februari 2017.
http://saripediatri.idai.or.id/abstrak.asp?q=755
Harohalli, RS & Donna, CG 2009, Malnutrition eMedicine, diakses 25 Maret
2017.
http://emedicine.medscape.com/article/985140-overview
Hastono, SP 2011, Statistik Kesehatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Hidayati, NA dan Wahyono, B 2011, Pelayanan puskesmas berbasis manajemen
terpadu balita sakit dengan kejadian pneumonia balita Jurnal Kesehatan
Masyarakat Semarang, Vol.1, hlm. 35-40, diakses 25 Februari 2017.
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=136129
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2014, Infodatin: Situasi
Kesehatan Anak Balita di Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2012, Profil Kesehatan
Provinsi Banten 2012, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2009, Laporan hasil
RISKESDAS Provinsi Banten 2007, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008, Buku bagan
manajemen terpadu balita sakit, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 2015, Profil Kesehatan
Kabupaten Tangerang, Dinkes Kabupaten Tangerang, Tangerang

Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015, Profil kesehatan


Indonesia 2014, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
54

Pengendalian Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,


Jakarta
Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010, Keputusan menteri
kesehatan Republik Indonesia:Standar antropometri penilaian status gizi
anak, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian
Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
International Child Health Review Collaboration 2016, Melakukan penilaian
status gizi anak World Health Organization, diakses tanggal 20 Agustus
2016.
http://www.ichrc.org/lampiran-5-melakukan-penilaian-status-gizi-anak
Jadavji, T, Law, B, Lebel, H 1997, A practical guide for diagnosis and treatment
of pediatric pneumonia Canadian Medical Association, Vol.156, no.5,
diakses tanggal 1 September 2016.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1232848/pdf/cmaj_156_5_7
03.pdf
Kartasasmita, CB 2010, Buletin jendela epidemiologi: Pneumonia pembunuh
balita, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Vol.3, September 2010,
diakses pada 3 Mei 2016.
http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/buletin/buletin-pneumonia.pdf
Katona, P & Katona-Apte, J 2008, The interaction between nutrition and
infection CID Oxford Journals, Vol.48, 15 May 2008, diakses tanggal 29
Agustus 2016.
http://cid.oxfordjournals.org/content/46/10/1582.full.pdf+html
Machmud, R 2006, Pneumonia Balita Di Indonesia dan Peranan Kabupaten
dalam Menanggulanginya Andalas University Press Journal, diakses
tanggal 8 Maret 2017.
http://booklikes.com/pneumonia-balita-di-indonesia-dan-peranan-
kabupaten-dalam-menanggulanginya-/book,6111705
McIntosh, K 2002, Community Acquired Pneumonia in Children The New
England Journal of Medicine, Vol.346, no.6, diakses tanggal 26 Agustus
2016. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra011994n

Meliahsari, R, Bahar, B, Sirajjuddin, S 2013, Hubungan pola asuh makan oleh


ibu bukan pekerja dengan status gizi baduta di kecamatan tongkuno selatan
kabupaten muna Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, no.2, Februari
2013, hlm. 113-118, diakses 25 Februari 2017.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=29785&val=2168
Michelow, IC, Olsen, K, Lozano, J, Rollins, NK, Duffy, LB, Zieqler T 2009,
Epidemiology and clinical characteristics of community-acquired
pneumonia in hospitalize children American Academy of Pediatrics, Vol.
113, no.4, diakses tanggal 26 Agustus 2016.
55

http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/113/4/701
Mokoginta, D, Arsin, A, Sidik, D 2013, Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada
Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar Jurnal
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, diakses 10 September 2016.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9374/DHEFIKA
%20MOKOGINTA%20K11110265.pdf;sequence=1
Nastiti, N 2013, Buku Ajar Respirologi Anak : Pneumonia, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Notoatmodjo,S 2010, Ilmu Perilaku Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Nurjaniah, M, Rusdi, Desmawati 2016, Hubungan status gizi dengan derajat


pneumonia pada balita di RS.Dr.M. Djamil Padang Jurnal Kesehatan
Andalas, Vol.5, no.1, hlm. 250-255, diakses tanggal 7 Maret 2017.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/478
Rachmawati, DA 2013,Faktor yang berhubungan dengan suspek kejadian
pneumonia pada balita umur 12-48 bulan di wilayah kerja puskesmas Mijen
Kota Semarang Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.2, no.1, hlm. 110-121,
diakses 25 Oktober 2016.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=73959&val=4700&title
Ranganathan, SC, Sonnappa, S 2009, Pneumonia and other respiratory
infections Pediatr Clin N Am, Vol.56, no.1, diakses 5 November 2016.
http://www.medicos.cr/web/documentos/EMC%202013/Presentaciones
%20del%20Seminario%20de%20Patologias%20Respiratorias
%20LIBERIA/Pneumonia%20Ranganathan%20review%202008.pdf
Roesli, U 2008, Inisiasi Menyusui Dini, Pustaka Bunda (Anggota IKAPI), Jakarta.
Said, M 2013, Pneumonia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Sartika, RAD 2010, Analisis pemanfaatan program pelayanan kesehatan status
gizi balita Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.5, no.2, hlm. 76-83,
Oktober 2010, diakses 25 September 2016.
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/viewFile/152/153
Saryono 2010, Metode Penelitian Kesehatan, Muha Mudika, Yogyakarta
Sastroasmoro & Ismael 2014, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis, Sagung
Seto, Edisi ke-3, Jakarta.
Sastroasmoro & Ismael 2010, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi
ketiga. In:pemilihan subjek penelitian dan desain penelitian, Sagung Seto,
Jakarta.
Sastroasmoro & Ismael 2008, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis, Sagung
Seto, Jakarta.
56

Schlaudecker, EP, Steinhoff, MC, Moore, SR 2009,Interactions of diarrhea,


pneumonia, and malnutrition in childhood: recent evidence from developing
countries Lippincot Williams and Wilikins. Inc, Vol.24, p. 496-502, diakses
tanggal 1 April 2017.

http://journals.lww.com/coinfectiousdiseases/Abstract/2011/10000/Interacti
ons_of_diarrhea,_pneumonia,_and.16.aspx
Schmitt, S 2010, Community Acquired Pneumonia Cleveland Clinic, diakses 28
Agustus 2016.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/inf
ectious-disease/community-acquired-pneumonia/
Sinaga, LAFS, Suhartono, Hanani, YD 2009, Analisis kondisi rumah sebagai
faktor risiko kejadian pneumonia wilayah puskesmas sentosa baru Kota
Medan tahun 2008 Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol.8, no.1,
April 2009, diakses tanggal 1 September 2016.
http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/download/9573/7663
Sjarif, DR, Nasar, SS, Devaera, Y, Tanjung, C 2011, Rekomendasi IDAI, Asuhan
Nutrisi Pediatrik, Ikatan Dokter Anak Indonesia, diakses tanggal 20
Oktober 2016.
http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Rekomendasi-
IDAI_Asuhan-Nutrisi-Pediatrik.pdf
Stuckey-Schrock, K, Hayes, BL, George, CM 2012, Community-Acquired
Pneumonia in Children American Family Physician, Vol. 86, no.7, p. 661-
667, diakses 25 September 2016.
http://familymed.uthscsa.edu/residency08/MMC/capchildren.pdf
Subanada, IB dan Purniti, NPS. 2010, Sari Pediatri: Faktor-faktor yang
berhubungan dengan pneumonia bakteri pada anak Ikatan Dokter Anak
Indonesia,Vol.12, no.3, Oktober 2010, diakses tanggal 5 September 2016.
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/12-3-8.pdf
Sugihartono dan Nurjazuli 2012, Analisis faktor risiko kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja puskesmas sidorejo Kota Pagar Alam, Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol.11, no.1, April 2012, diakses tanggal
1 September 2016.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/4145/3780>

Sugiyono 2011, Metodologi penelitian kuantitatif dan kualitatif R&D, Alfabeta,


Jakarta.
Sunyataningkamto, Iskandar, Z, Alan, RT, Budiman, I, Surjono, A, Wibowo, T
Lestari, ED, Wastoro, D 2014, The role of indoor air pollution and other
factors in incidence of pneumonia in under-five children Paediatrica
Indonesiana, Vol 44, no.1-2, hlm 25-29, diakses 1 September 2016.
https://www.paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-
indonesiana/article/view/729
57

Supriyatno, B 2006, Infeksi Respiratori Bawah Akut Pada AnakIkatan Dokter


Anak Indonesia, Vol.8, no.2, September 2006, diakses tanggal 6 Agustus
2016.
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/8-2-2.pdf
Suzuki, M, Thiem, VD, Yanai, H, Matsubayashi, T, Yoshida, LM, Tho, LH 2009,
Association of enviromental tobacco smoking exposure with an increased
risk of hospital admissions for pneumonia in children under 5 years of age
Nagasaki Universitys Academic Ouput Site, Vol.6 , Juni 2009, diakses 30
Agustus 2016.
http://naosite.lb.nagasaki-u.ac.jp/dspace/handle/10069/22668
Turner, C, Turner, P, Carrara, V, Burgoine, K, Htoo, STL, Day, NP 2013,High
risks of pneumonia in children two years of age in South East Asean refugee
population University College London United Kingdom, Vol.8, no.1, p. 1-7,
diakses 1 September 2016.
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0054026
United Nations Emergency Childrens Fund 2015, Pneumonia and Diarrhoea:
Tackling the deadliest disease for the worlds poorest children UNICEF,
Jakarta, diakses 10 Agustus 2016.
http://www.unicef.org/publications/index_65491.html
Walker, CLF, Rudan, I, Nair, LLH, Theodoratou, E, Bhutta, ZA 2013, Global
burden of childhood pneumonia and diarrhoea The lancet, Vol.381,
no.9875, p. 1405-1416, April 2013, diakses 18 Mei 2016.
http://medbox-stage.uscreen.net/preview/533bb90b-725c-4f55-a89f-
66a91fcc7b89/doc.pdf
Wantania, JM, Naning, R, Wahani, A 2013, Infeksi Respiratori Akut, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Welasasih, BD & Wirjatmadi, BR 2012, Beberapa faktor yang berhubungan
dengan status gizi balita stunting The Indonesian Public Health Journal,
Vol.8, no.3, hlm. 99-104, Maret 2012, diakses 2 Agustus 2016.
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-2.%20Beberapa%20Faktor
%20yang%20Berhubungan%20dengan.pdf
Wijaya,IGK & Bahar, H 2014, Hubungan kebiasaan merokok, imunisasi dengan
kejadian penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas Pabuaran Tumpeng
Kota Tangerang Forum Ilmiah, Vol.11, no.3, hlm.366-377, September
2014, diakses tanggal 5 September 2016.
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=314530&val=5028&title=Hubungan%20Kebiasaan%20Merokok,
%20Imunisasi%20dengan%20Kejadian%20Penyakit%20Pneumonia
%20Pada%20Balita%20%20di%20Puskesmas%20Pabuaran%20Tumpeng
%20Kota%20Tangerang
58

World Health Organization & United Nations Emergency Childrens Fund 2006,
The forgotten killer of children World Helath Organization, New York,
diakses 18 Mei 2016.
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/9280640489/en/
World Health Organization 2015, Pneumonia World Health Organizaton New
York, diakses 22 Juli 2016.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/
Wonodi, CB, Deloria-Knoll, M, Reikin, DR, Deluca, AN, Driscoll, AJ, Moisi, JC
2012, Evaluation of risk factors for severe pneumonia in children: the
pneumonia etiology research for child health study CID Oxford Journals,
diakses pada 30 Agustus 2016.
http://cid.oxfordjournals.org/content/54/suppl_2/S124.abstract

You might also like