You are on page 1of 54
BAB VIL KELARUTAN POLIMER DAN LARUTAN POLIMER 7.1 Pendahuluan Termodinamika dan statistik larutan polimer merupakan suatu bidang ilmu polimer yang menarik dan penting dari segi kimia-fisika polimer. Oleh karena itu menjadi subjek dari banyak buku-buku acuan bermutu atau menjadi suatu bagian tersendiri dari sebuah buku. Dalam bab ini subjek tersebut akan dibahas topik-topik yang mempunyai kepentingan praktis, namun secara kualitatif, membahas dasar-dasar fundamentalnya Tiga faktor yang penting adalah 1. Jenis pelarut yang akan melarutkan polimer. 2. Pengaruh interaksi polimer-pelarut pada sifat larutan. 3. Penerapan yang dapat dimanfaatkan dari sifat-sifat polimer tersebut 72 Aturan Umum Untuk Kelarutan Polimer Hasil pengamatan dari beberapa percobaan pelaratan polimer menunjukkan, bahwa: 1. Lerutan polar cenderung melarutkan polimer polar dan pelarut nonpolar ‘melarutkan polimer nonpolar, Kemiripan kimiawi dari polimer dan pelarut merupakan petunjuk jelas dari kelarutan, contoh polivinil alkokhol dan air polyvinil alkohol air & polystyrene toluen Kelarutan polimer dalam satu pelarut pada temperatur fertentu akan menurun dengan meningkatnya berat molekul w a. Crosslink menghilangkan kelarutan, b. Kristalinitas pada umumnya bersifat seperti crosslink, tetapi ada kemungkinan pada beberapa kasus ditemukan pelarut yang cukup kuat untuk mengatasi gaya ikatan kristin sehingga dapat melarutkan Polimer. Pemanasan polimer sampai titik leleh kristalnya temungkinkan polimer larut dalam pelarut yang tepat 4. Laju kelarutan polimer ® meningkat bila pereabangan pendek, yang melemahkan setruktur rantai ama, schingga memungkinkan molekul pelarut berpenetrasi lebih mudah, b. menurun bila cabang panjang, sebab belitan dari percabangan ini membuat molekul secara individual sulit terpisah, .-menurun dengan kenaikan berat molekul Penting untuk dicatat bahwa pemyataan 1, 2, dan 3 adalah kejadian pada Keadaan Kesetimbangan (equilibrium) dan oleh karena itu dapat dijelaskan secara termadinamike, so are butir 4 B fenomena laju (rate; don dtkuntrol oleh iaju difusi dari polimer dan pelarut Contoh 1 Polimer dari w-asam amino dikenal dengan “nilon-n” dimana n adalah jumleh atom Karbon yang berurutan pada rantai. Rumus umumnya adalah 76 fH Polimer ini bersifat kristalin dan tidak larut dalam air maupun heksan pada” femperatur wang. Namun polimer ini dapat mencapai kesetimbangan absorpsi air dart heksan yang bervariasi terhadap n. Penyelesaian, Air adalah cairan yang sedikit polar; heksan tidak polar. Kepolaran dari nilon tergantung pada proporsirelatif dari ikatan polar nilon gy 8) pada rantai. Jikan meningkat, kepolaran dari rantai menurun (menjadi bersifat seperti hidrokarbon), schingga absorpsi heksan meningkat dengan n dan absorpsi air menurun, 7.3 Dasar Termodinamika Kelarutan Polimer ‘Melarut atau tidak melarat suatu polimer ditentukan oleh energi bebas Gibbs Proses pencampuran polimer murni dengan larutan mumi (keadaan 1) pada tckanan an temperatur tetap dengan tujuan untuk membentuk larutan polimer (keadaan2) AG = AH - TAS (7.1) dimana: AG = perubahan energi bebas Gibbs dalam proses pelarutan AH = perubahan entalpi dalam proses pelarutan a 4S =perubahan entropi dalam proses pelarutan ‘temperatur mutlak dalam proses pelarutan Jika AG negatif pelarutan secara termodinamika dapat terjadi. Temperatur absolut bab molekul adalah positif, perubahan entropi untuk proses pelarutan harus positif. dalam larutan lebih acak dari pada keadaanpadat, Perkalian TAS merupakan bilangan Positif, dan karena didahului oleh tanda negatif (TAS) suku ini mendorong pelarutan, Perubahan entalpi bisa positif maupun negatif. AH positif berati bahwa pelarut dan polimer lebih suka dalam keadaan murni (energi lebih rendah), sementara AH negatif menunjukkan larutan mempunyai energi yang lebih rendah, Jika AH negatif, maka pelarutan dapat tejadi. AH negatif didapatkan bila terbentuk interaksi spesifik seperti tkatan hidrogen terbentuk diantara molekul pelarut dan polimer. Jadi, untuk AH Dositif, AH harus lebih kecil dari TAS jika diinginkan terjadi pelarutan, hitam { lo Jololofolololefofo} 10 /o]o[oo. foJo. | [elelelelelsisfojefo} [ofojoofetefofersic} Sfolele{ololofols|o} [olofolelofelolalolo: folofofofeloleloto] ofojojo ole efelefofololoofelo} [ofofo| efelelepelol slolololefelolofolo} fefofelélolojolefoio] | olofelofolelojole|c} |e lofojolojololélojo elolelofelololofelo] [olofofofofolo|ojofo S}elsjofojojojejofe} [olofofolojolojojojo (a) (b) Gambar 7.1 Kelarutan dalam model kotak.Pelarut lingkaran putih; solut lingkaran hitam (a). Solut bermolekul rendah (b) larutan polimer Perubahan entropi dalam pembentukan larutan polimer cukup kecil, ordenya lebih kecil dari pada proses pencampuran cairan dengan berat molekul rendah. Alasan untuk ini digambarkan pada gambar 7.1, Dalam campuran berberat molekul rendah, molekul solut dapat didistribusikan secara acak ke seluruh kotak, dengan batasan satu Kotak tidak dapat ditempati oleh dua (atau lebih) molekul sekaligus. Hal ini memberikan -bermacam-macam kemungkinan konfigurasi, sehingga menimbulkan tak tain, ‘n rantai dibatasi troy tinggi 1, tap sep yang berdcketan yang berisi segmen juga, sehingga mengurangi kemungkinan Konfigurasi. Perlu juga dicatat bahwa untuk jumlah segmen rantai tertentu (ekuivalen dengan massa atau volume polimer) semakin banyak rantai yang dihasitkan, yaitu semakin rendah berat_melekul, semakim tinggi entropinya dalam larutan. Ini fangsung menjelaskan molekul. Tetapi, umumnya untuk polimer berberat molekul 78 tingai sebab suku TAS sangat kecil, maka jika AH positif, AH harus lebih kecil sebagai sarat terjedinya pelarutan 7.4 Parameter Kelarutan Cara memperkirakan AH , untuk Jarutan reguler yaitu tidak terjadi interaksi spesifik, perubahan cnergi dalam terhadap larutan diberikan oleh kal ci AH = AE = 614s (6:52)? [>] em*larutan AE = perubahan cnergi dalam pada proses pelarutan @ = fraksi volume 5 = parameter kelarutan (solubility parameter) Subskrip I dan 2 biasanya merujuk pada solut (polimer) dan pelarut berturut-berturut Parameter kelarutan didefinisikan sebagai Ny Hes) * sHitdcbrand (73) CED = cohesive energy density, suatu ukuran kekuatan gaya intermolekul 6 =(cED)” yang menahan molekul bersama-sema dalam larutan AE, = perubahan energi dalam molar pada penguapan v= volum molar cairan, cm?/e-mol Untuk proses yang terjadi pada tekanan dan volum konstan, perubahan energi dalam Gan ont ama Karena perubahan yolum jarutan biesenya s merupakan perkiraan yang baik untuk pelarutan polimer pada kebanyakan kondisi, maka persamaan 7.2 memberikan prakiraan bagi entalpi pelarut jika parameter Kelarutan polime, dan pelarut diketahui. Perlu dicatat bahwa terlepas dari besaran 8, dan 8: (nilainya selalu positif), AH prakiraan selalu positif, schingga pers. (7.2) hanya berlaku bila tidak ada interaksi spesifik yang mengakibatkan AH negatif. Persamaan (7.2) juga mengungkapkan bahwa AH diminimumkan dan kecenderungan kelarutan dimaksimumkan dengan memasangkan parameter solubilitas sedekat mungkin. Sebagai pegangan umum 161-8) <05 untuk kelarutan (74) Pengukuran parameter Kelarutan pelarut ber-BM rendah tidak merupakan masalah, Di lain pihak, polimer terdegradasi jauh sebelum mencapai temperatur Penguapan, schingga tidak memungkinkan mengukur AEv secara_ langsung Beruntung diperoleh cara lain untuk mengatasi kesulitan ini, Kecenderungan suatu polimer untuk melarut terjadi jika parameter kelarutan polimer sesuai dengan Parameter pelarut. Jika polimer berikatan silang, polimer tersebut tidak melarut tetapi hanya membengkak (swell). Pembengkakan maksimum akan teramati jika parameter kelarutan polimer ditentukan dengan mencelupkan sedikit sampel yang berikatan silang dalam bermacam-macam pelarut yang sudah diketahui parameter kelarutannya, Nilai pada seat swelling maksimum teramati diambil sebagai parameter kelarutan polimer (gambar 7.2). parameter kelarutan dari campuran pelarut dapat dihitung : 8 campuran = 2% 414% %2 (75) YAY dimana x= fraksi mol Konsep parameter kelarutan telah terbukti sangat berguna, tetapi sayangnya terdapat banyak pengecualian (7.4), Kelarutan polimer merupakan fenomena yang telah diusutkan sangai Kompleks unink dijeleskan secara ki ati, Rebersp+ tekn! untuk meleng\api perameter Kelarutan dengan informasi kuantitatif pada iketan hidrogen dan momen dipol. Salah satu yang paling bermanfaat dibicarakan pada bagian berikut 80 7.5 Parameter Kelarutan Tiga Dimensi Hansen Menurut Hansen, perubahan total energi-dalam pada penguapan, AE, dapat merupakan penjumlahan tiga kontribusi; ikatan hidrogen AEs, interaksi permanen dipol AE, dan gaya dispersi (van der waals atatt London) AE SE, = AE, + AE, + AB, (7.6) dibagi dengan volum molar pembentukan & an (7.8) (79) Paramoter kelarutan 6 dapat dianggap sebagai suatu vektor tiga dimensi 5p, 51, dan 5p, Persamaan (7.8) memberikan besaran dari vektor yang merupakan resultan masing-masing komponen. Pelarut dengan nilai 5,, 83, 8 dinyatakan sebagai satu titik di ruang, dengan § merupakan vektor dari titik asal ke titik ini Suatu polimer juga dikarakterisasi dengan nilai 5,, 8s, dan Ss. Lebih jauh, telah ditemukan dengan dasar empiris bahwa jika 6d dialurkan pada suatu skala yang dua kali lebih besar dari skala 6, dan ,, maka semua pelarut yang akan melarutkan Polimer jatuh pada tempat dengan jari-jari R sekitar titik (8,, 84, 8,). gambar 7.3 memperllihatkar: ruang kelarutan untuk polistiren (6, ~ 8.6, 84 = 3.0, 8, =2.0, R= Nilai mdividual 8,, 84, dan 8y telah dikembangkan sevara teoritis dari nilai 8 yang mempelajari model senyawa, dan fitting computer. dimensi telah terbukti Walaupun sifat empiris, parameter kelarutan berguna, terutama dalam industri cat, dimana pilihan ekonomis dari pelarut sangat 81 penting. Teori ini sangeup menerangkan kasus-kasus dimana nilai 8 polimer dan Pelarut bersesuaian, tetapi tidak terjadi pelarutan (vektor 5 besarnya sama tapi arahnya berbeda), atau dimana dua non-pelarut dapat dicampur untuk membentuk Pelarut (Komponen-komponen pelarut terletak di Iuar ruang). Pigmen anorganik juga dapat dikarekteristikan oleh vektor 8 pigmen yang vektor 8-nya sangat dekat dengan pelarut akan membertuk suspensi yang stabil dalam pelarut tersebut ~ Gambar 7.3 Ruang (sphere) 82 Contch 2. Suatu polimer menpunyai parameter kelarutan 3 = 9.95 (8, = 7.0, 84=5.0, dan n= 5.0) dan ruang kelarutan R = 3.0. apakah pelarut dengan 8 = 10 (p= 8, 84 = 6, dand, ~ 0) akan melarutkan polimer tersebut ? Penyclesaian Tidak. Titk pelarut terletak di bidang datar 8p - 6d (yaitu, by = 0). Jadi walaupun 5 berdekatan, pelarur tidak akan melarutkan polimer 7.6 Sifat Larutan Encer Dalam suatu larutan polimer yang sangat encer tidak terlalu banyak belitan antara molekul. Pada pelarut yang “baik” (pelarut yang parameter kelarutannya Sangat deat dengan polimer) di mana gaya sekunder antara segmien polimer dan molekul pelarut adalah kuat, dan molekul polimer diasumsikan berbentuk Konformasi Spread-out, Pada pelarut yang “Jelek” gaya atraksi antara segmen rantai polimir lebih besar dari gaya atraksi segmen polimer dengan pelarut : yaitu segmen rantai lebih Suka berikatan sesamanya, dan segmen akan terikat kuat. (gambar 7 4) ~) Pores Solvent Tower T Gambar 7.4 Efek daya solven dan temperatur pada motekul polimer dalam laeutan Banyak polimer berada dalam pelarut yang “baik”, sebagai contoh, polistiren ( = 9.3) dalam chloroform (5 = 9.2). suatu non-pelarut ditambahkan, misalkan, metanol (5 = 14.5). Waiaupun terdapat perbedaan besar dalam parameter kelarutan, chloroform dan metanoi saling melarutkan pada semua proporsi sebab nilai AS pelarutan besar untuk senyawa ber-BM rendah). Akimya, Dicapai suatu keadaan dimana campuran tersebut menjadi “jelek” untuk tetap bisa mempertahankan larutan, dan polimer mengendap karena gaya atraksi sesama segmen polimer menjadi lebih besar dibandingkan antara polimer dan pelarut, Pada titik yang sama, poiimer berbeda pada batas kelarutan ketika AG = 0 dan AH = TAS, Titik ini tentu saja tergantung pada temperatur, BM polimer (terutama pengaruhnya terhadap AS), dan sistem polimer-pelarut (terutama pengaruhnya tehadap AH). Dengan mengatur salah satu dari temperatur atau sistem polimer-pelarut_ memungkinkan fraksinasi_polimer menurut BM, karena molekul yang lebih kecil mengendap bila temperatur diturunkan atau berada dalam pelarut yang “jelek”. Pada batas BM tak berhingga (AS minimum yang mungkin), situasi dimana AH = TAS dikenal sebagai kondisi “e” dapat dicapai pada temperaiur untuk mencapai “e” atau “Flory temperature”, Tiap polimer tetap akan dapat Jarut pada kondisi “s", disebabkan karena BM-nya lebih randah dari BM fak berhingga, akibatnya AS besar. Bagaimana pengaruhnya terhadap viskosites larutan polimer, jika bergeser dari pelarut “baik” ke pelarut “jelek” ( untuk perbandingan,banyangkan pada saat non-pelarut ditambahkan, sejumlah yang sama dari pelarut yang “baik” diambil, untuk menjaga agar konsentrasi polimer tetap). Pertanyaan ini dapar terjawab secara kualitatif dengan membayangkan molekul polimer pada larutan berupa bulatan padat (Sebenarnya tidak) dan penerapan persamaan hubungan Einsten (6.10). Lebih jauh, dianggap bahwa vikositas cairan ber-BM rendah dapat dibandingkan, yaitu n, tidak berubah. Pada saat perpindahan dari pelarut yang “baik” ke pelarut yang “jelek”, molekul polimer akan membulat, mengakibatkan ¢efektif mengecil dan menurunkan viskositas larutan, Olch karena itu viskositas dapot dikontrol dengan menyesuaikan 84 Gaya pelarut. Fakta penting sckali bagi industri pelapisan permukaan. Contoh, dalam Pembuatan /acquer (larutan polimer dalam pelarut dengan penambahan beberapa Pigmen yang akan mengering karena penguapan), viskositas optimum bagi Penyemptrotan atau pelapisan dapat dihasilkan dengan campuran pelarut, dengan Komponen yang lebih jelek lebih volatil. Pada penerapannya, Komponen yang lebih jelek akan menguap pertama kali, meninggalkan larutan berviskositas tinggi, sihingga dihasilkan suatu film pada substrat. Contoh 3. Tunjukkan bagaimana daya pelarut (baik atau jelek) akan mempengaruhi hal sebagai berikut ; a Desain reaktor polimerisasi larutan (“solution polymerization”) berpengaduk Selama polimer berbeda dalam larutan dengan pelarut yang “jelek”, dengan viskositas rendah, akan memungkinkan pengaduan yang lebih baik atau membutuhkan daya motor pengaduk yang lebih sedikit. 6. Viskositas intrinsik dari sampel polimer pada temperatur T tertentu ¢. BM sampel polimer seperti yang ditentukan dengan membran osmometrik Penyelesaian a. Selama polimer berbeda dalam lerutan dengan pelarut yang “jelek”, dengan viskositas rendah, akan memungkinkan pengadukan yang lebih baik atau membutuhkan daya motor pengaduk yang lebih sedikit. o menumn untuk pel: dibandingkan dalam pelarut yang “baik”, dan menghasiikan viskositas intrinsik yang lebih rendah. ¢. Jika membran ideal, maka daya pelarut tidak berpengoruh, karena osmometer hanya mengukur jumlah (mol) soiut per unit volum, tidak tergantung pada geometri. Namun, bebcrapa partikel terkecil dapat “menyelinap” melalui membran. Pelarut yang jelek, menycbabkan molchul membulat, sehingga 85 memungkinkan febih banyak molekul melewati membian. Ini akan merendahkan tekanan osmotik, menyebabkan harga Mn yang dlitung salah, Perhatikan sekarang efek dari temperatur pada viskositas larutan_polimer dalam pelarut yang relatif jelek. Seperti yang terjadi pada semua cairan sederhana, viskositas pelarut 7, menurun bila temperatur naik. Namun, peningkatan temperatur memberikan lebih banyak energi termal ke segmen molekul polimer, menyatakan polimer menyebar dan “c” efektif yang lebih besar dalam larutan. Jadi, efek temperatur pada 1, dan “e”, cenderung untuk menghilakan satu sama lain, mengakibatkan perubahan viskositas larutan terhadap temperatur jauh lebih kecil dibandingkan bila hanya pelarut saja. Aditif yang digunakan untuk memproduksi ‘multiviscosity (1OW-40) motor oil tidak lain adalah polimer, dengan komposisi disesuaikan schingga base oil adalah pelarut jelek pada temperatur opérasi terendah, Pada waktu mesin menjadi panas, molekul polimer tidak lagi berbentuk keil, memberikan hambetan yang besar untuk penurunan viskositas dibandingkan bila hanya oli saja. 7.7 Sistem Pelarut Polimer-Polimer Yang Umum Telah dibicarakan bahwa terjadi sedikit peningkatan entropy bila polimer ber- BM tinggi dilarutkan dalam pelarut. Jika digunakan alasan yang sama pada pelarutan polimer ber-BM tinggi dalam polimer pada polimer lainya relatif jarang. Bahkan bila pelarut ditambahkan, kedua polimer tidak dapat sama-sama muncul dalam fasa yang homogen. Diagram skematis untuk sistem seperti stu ditunjukean yada gambar Kelebihan beberapa p2rsen dari polimer (nilai eksak tergantung pada sifat kimia dari polimer dan pelarut dan BM polimer), akan terbentuk dua fasa homogen, dimana tiap fasa mengandung polimer yang hampir mumi. Hasil ini dapat diperluas pada lebih dari dua polimer. Pada umumaya, tiap polimer akan muncul pads fasa yang terpissh, 86

You might also like