Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tinea versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang ditandai
dengan adanya makula di kulit, skuama halus disertai dengan rasa gatal
(Siregar, 2010). Tinea versicolor disebabkan oleh Malassezia furfur atau
Pityrosporum orbiculare dan ditandai dengan adanya makula di kulit, skuama
halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya
tanpa peradangan. tinea versicolor biasanya mengenai wajah, leher, badan,
lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha. (Madani A, 2015)
Tinea versikolor telah dikenal di masyarakat indonesia sebagai penyakit
panu. Panu sering terjadi, baik pada perempuan maupun lakilaki dan
berhubungan dengan masalah higienitas dan sanitasi yang buruk. Prevalensi
tinea versikolor di dunia masih sangat tinggi, dilaporkan 50% di Kepulauan
Samoa Barat yang merupakan lingkungan panas dan lembab, sekitar 1,1% di
Swedia yang merupakan negara dengan temperatur yang lebih dingin dan 2-8%
dari populasi di Amerika Serikat mempunyai temperatur dan kelembaban
tertinggi.
Prevalensi tinea versikolor 50% terjadi pada masyarakat daerah tropis,
5% pada masyarakat daerah subtropis dan <1% pada masyarakat daerah dingin.
Pada kalangan tenaga kerja industri Plywood di Kalimantan Selatan ditemukan
tinea versikolor sebesar 3,3% dari 2000 pekerja. Pada tahun 2003, ditemukan
260 kasus baru tinea versikolor terdiri dari 131 pria dan 129 wanita (20,8%)
(Pramita, 2015).
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 58 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Baturraden RT 1 RW 3
B. Anamnesis
Autoanamnesa dilakukan pada tanggal 22 September 2017 di Balai
Pengobatan Puskesmas II Baturraden pada pukul 10.00 WIB :
1. Keluhan Utama :
Gatal di punggung
2. Keluhan Tambahan :
Terdapat bercak keputihan di punggung
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan gatal di punggung sejak 1 tahun yang
lalu. Awalnya, gatal hanya dirasakan di daerah pundak, kemudian lama
kelamaan gatal dirasakan juga di punggung. Keluhan dirasakan terus menerus
dan semakin hari semakin gatal, pasien merasa lebih gatal saat beraktivitas
dan berkeringat. Pasien mengaku tidak memberi tindakan apapun untuk
mengurangi keluhannya. Tidak ada riwayat kontak dengan bahan kimia
sebelumnya.
Pasien tinggal bersama keluarga, dan sehari harinya pasien selalu
berkativitas ke sawah. Pasien terbiasa memakai pakaian yang jarang ganti
ketika beraktivitas disawah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi (makanan) : disangkal
Riwayat hipertensi : -
2
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat jantung :-
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani dengan penghasilan kira-kira 1 juta per bulan.
Pasien mandi 1-2 kali sehari namun terbiasa memakai pakaian yang jarang
diganti ketika beraktivitas di sawah. Pendidikan terakhir pasien SD.
C. Status Generalis
Keadaaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36.3 C
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : ottorhea (-).
Hidung : napas cuping hidung (-) sekret (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : dalam batas normal
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vokal fremitus kanan sama dengan
kiri
Perkusi :Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, RBK -/- RBH -/- wheezing -/-
Jantung
3
Inspeksi :Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
D. Status Dermatologis
1. Lokasi :
Regio thorakal posterior
2. Effloresensi :
Makula hipopigmentasi dengan Skuama halus
Gambar 2.1
Ujud Kelainan Kulit berbentuk makula hipopigemntasi dengan skuama halus
4
F. Diagnosis Banding
1. Eritrasma
2. Pitiriasis rosea
G. Diagnosis Kerja
Tinea Versikolor
H. Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan lampu wood
Pemeriksaan mikroskopis preparat KOH 10% dari kerokan kulit
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa :
a. Ketokonazol 200mg/hari selama 10hari
Atau Itrakonazol 100mg/hari selama 2 minggu
b. Topikal : natrium tiosulfit 20% dioleskan setiap hari
2. Nonmedikamentosa :
Menjaga higiene
3. Edukasi :
a. Hindari berkeringat yang berlebihan
b. Hindari dari kelembaban tubuh
c. Hindari pakaian yang tidak menyerap keringat
d. Menjaga kebersihan diri
J. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam
3. Quo ad sanationam : ad bonam
4. Quo ad komestikum : dubia ad bonam
5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tinea versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang ditandai
dengan adanya makula di kulit, skuama halus disertai dengan rasa gatal
(Siregar, 2010). Tinea versicolor disebabkan oleh Malassezia furfur atau
Pityrosporum orbiculare dan ditandai dengan adanya makula di kulit, skuama
halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya
tanpa peradangan. tinea versicolor biasanya mengenai wajah, leher, badan,
lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha. (Madani A, 2015)
Penyakit ini terutama terdapat pada orang dewasa muda, dan disebabkan
oleh ragi Malassezia, yang merupakan komensal kulit normal pada folikel
pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang biasa didapatkan di daerah beriklim
sedang, bahkan lebih sering lagi terdapat di daerah beriklim tropis. Alasan
mengapa multipikasi ragi tersebut sampai terjadi dan dapat menimbulkan lesi
kulit pada orang-orang tertentu belum diketahui. (Graham-Brown, 2014)
B. Epidemiologi
Tinea versicolor adalah penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai di
daerah tropis karena tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir
semua umur terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan
bahwa 6 penderita pada usia 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09% pria dan
0,6% wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum ada, namun diperkirakan
40-50% dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedangkan di
negara subtropis yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua
penyakit jamur. (Partogi, 2008) Pityriasis versicolor dapat terjadi di seluruh
dunia, tetapi penyakit ini lebih sering menyerang daerah yang beriklim tropis
dan sub tropis. Di Mexico 50% penduduknya menderita penyakit ini. Penyakit
ini dapat terjadi pada pria dan wanita, dimana pria lebih sering terserang
dibanding wanita dengan perbandingan 3 : 2. (Amelia, 2014)
6
C. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Malassezia furfur, yang dengan
pemeriksaan morfologi dan imunoflorensi indirek ternyata identik dengan
Pityrosporum orbiculare. (Madani A, 2015). Prevalensi Pityriasis versicolor
lebih tinggi (50%) di daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab. (Radiono,
2001)
D. Patogenesis
Tinea versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun
endogen. (Partogi, 2013) 1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara
dan keringat, (Budimulja, 2012). Hal ini merupakan penyebab sehingga tinea
versicolor banyak di jumpai di daerah tropis dan pada musim panas di daerah
subtropis. Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau
kosmetik dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2,
mikroflora dan pH. (Partogi, 2012) 2. Sedangkan faktor endogen meliputi
malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi imunosupresan,
hiperhidrosis, dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu bias juga
karena Diabetes Melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan
penyakit penyakit berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya
Pityriasis versicolor. (Partogi, 2013) Patogenesis dari makula hipopigmentasi
oleh terhambatnya sinar matahari yang masuk ke dalam lapisan kulit akan
mengganggu proses pembentukan melanin, adanya toksin yang langsung
menghambat pembentukan melanin, dan adanya asam azeleat yang dihasilkan
7
oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam serum yang merupakan inhibitor
kompetitf dari tirosinase. (Partogi, 2013)
E. Gambaran Klinis
Kelainan kulit tinea versicolor sangat superfisial dan ditemukan
terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-
bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk
papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya
asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia
berpenyakit tersebut. (Budimulja, 2012)
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang
merupakan alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar
matahari atau kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan
pigmen, sering dikeluhkan penderita. (Budimulja, 2012). Penderita pada
umumnya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula berwarna putih
(hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal ringan
yang umumnya muncul saat berkeringat, (Radiono, 2013).
Bentuk lesi tidak teratur dapat berbatas tegas atau difus. Sering
didapatkan lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang
meluas membentuk plakat. Kadang-kadang dijumpai bentuk campuran, yaitu
folikular dengan numular, folikular dengan plakat ataupun folikular, atau
numular dan plakat. (Madani A, 2015)
Pada kulit yang terang, lesi berupa makula cokelat muda dengan
skuama halus di permukaan, terutama terdapat di badan dan lengan atas.
Kelainan ini biasanya bersifat asimtomatik, hanya berupa gangguan kosmetik.
Pada kulit gelap, penampakan yang khas berupa bercak-bercak
hipopigmentasi. Hilangnya pigmen diduga ada hubungannya dengan produksi
asam azelaik oleh ragi, yang menghambat tironase dan dengan demikian
mengganggu produksi melanin. Inilah sebabnya mengapa lesi berwarna
cokelat pada kulit yang pucat tidak diketahui. Variasi warna yang tergantung
pada warna kulit aslinya merupakan sebab mengapa penyakit tersebut
dinamakan Versicolor. (Graham-Brown, 2005)
8
Gambar 3.2 gambaran klinis tinea vesikolor
F. Diagnosis
Selain mengenal kelainan-kelainan yang khas yang disebabkan oleh
Malassezia fulfur diagnosa Pityriasis versicolor harus dibantu dengan
pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
9
tampak pendekpendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau
bengkok dengan spora yang berkelompok. (Trelia, 2013)
2. Pemeriksaan dengan Sinar Wood Pemeriksaan dengan Sinar
Wood,dapat memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi
sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi
akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan sampai
orange. (Trelia, 2013)
G. Diagnosis banding
1. Psoriasis
Eritroderma psoriasis dapat disebabkan karena pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis
menjadi eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi
karena terdapat menghilang dimana plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan
skuama tebal universal. Faktor genetik berperan. Bila orang tuanya tidak
menderita psoriasis resiko mendapat psoriasis 12 %, sedangkan jika salah
seseorang orang tuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 34-39%.
Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan
lilin, Auspitz, dan Kobner (Imtikhananik, 2012).diagnosis banding
2. Ptiriasis rosea
Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
tetapi menurut teori ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah virus
herpes tipe 7, dimulai dengan sebuah lesi herald-patch berbentuk eritema dan
skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan,
lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya
menyembuh dalam waktu 6 minggu (McGraw, 2012).
H. Penatalaksanaan
Pengobatan tinea versicolor dapat diterapi secara topikal maupun sistemik.
Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai 60%
pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan
terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
10
1. Pengobatan Topikal
11
I. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya Pityriasis versicolor dapat disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada
daerah endemik dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama
3 bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo
selenium sulfid sekali seminggu. (Radiono, 2012)
J. Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan (Radiono, 2012) bila pengobataan
dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2
minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan
sediaan langsung negatif. (Partogi, 2013)
12
BAB IV
PEMBAHASAN
13
BAB V
KESIMPULAN
1. Tinea versikolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang disebabkan
oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare dan ditandai dengan
adanya makula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini
bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan. tinea versicolor
biasanya mengenai wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha, dan
lipatan paha.
2. Lesi tipikal muncul secara mendadak berupa makula hipopigmentosa
kecoklatan keabuan atau kehitam hitaman dalam berbagaiukuran dengan
skuama halus diatasnya.
3. Diagnosis tinea versikolor ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis, pemeriksaan fisik termasuk status dermatologi serta pemeriksaan
histopatologi untuk membantu pada fase mana perjalanan klinis pasien.
4. Penatalaksanaan tinea versikolor dapat berupa menjaga higiene diri, serta
diberikan steroid topikal dan antihistamin oral untuk menghilangkan iritasi.
5. Prognosis tinea versikolor adalah baik Prognosisnya baik dalam hal
kesembuhan. bila pengobataan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten.
Pengobatan harus di teruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan
pemeriksaan lampu Wood dan sediaan langsung negatif.
14
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda A., Mochtar H., dan Siti A. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta : FKUI, hal 129-133
15