You are on page 1of 110

STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT

PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI

DJATMIKO WINAHYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Kajian Pembangunan Daerah
Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir
Bantargebang, Bekasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir kajian ini.

Bogor, September 2009

Djatmiko Winahyu
NRP. H251064145
ABSTRACT

DJATMIKO WINAHYU, Strategies of Final Disposal Site (TPA) Management


of Bantargebang, Bekasi. Under direction of SRI HARTOYO and YUSMAN
SYAUKAT.
Solid waste and its management has become an urgent issue for
Indonesian cities. Without giving good treatment it will bring a change of balance
to the environment and cause other negative impacts. The favorite way of solid
waste treatment in cities is by burying it in a final disposal site (TPA).
TPA Bantargebang is an asset owned by DKI Jakarta Provincial
Government and the only final disposal site for all solid waste from Jakarta. The
increase of solid waste volume buried in the site will have concequence of shorter
use. The bad practice of sanitary landfill also makes the condition worse. Another
thing to consider is the increase in operational expenses allocated annually by the
local government.
The research is intended to know the existing condition of TPA
Bantargebang and to determine the alternatives of management strategy of TPA
Bantargebang that could be adopted by DKI Jakarta Provincial Government using
qualitative approach with analytic descriptive design. The sample of the research
is the stakeholder in solid waste sector namely government, expert and
community. The data collection is through questionnaire, interview, observation
and documentation. The technique of data analysis using SWOT analysis.
Based on the result of analysis, I conclude that optimizing the management
of TPA Bantargebang could be achieved through four alternatives of strategy
increasing infrastructures, involving investors in the construction and operation of
TPA, promoting social participation and promoting the quality of human
resources. The result of the research shows that priority of the choice is the
involment of investors in the construction and operation of TPA with a big
government role in its management.
RINGKASAN

DJATMIKO WINAHYU, Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat


Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi. Dibawah bimbingan SRI HARTOYO,
sebagai ketua, YUSMAN SYAUKAT, sebagai anggota komisi pembimbing.

Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan terbuang atau dibuang dari
suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak
mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif
karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya
memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi
masalah yang kian mendesak terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, adalah
dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebab bila
tidak dilakukan penanganan yang baik maka akan mengakibatkan terjadinya
perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan
sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air maupun udara.
oleh karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan
penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian
akan menjadi semakin rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun
komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Penanganan
sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di pedesaan.
Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas warga Jakarta yang
demikian pesat, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai
dengan berbagai permasalahannya. Berdasarkan data Dinas Kebersihan Provinsi
DKI Jakarta, jumlah timbulan sampah per hari pada tahun 2007 adalah sekitar
27.654 m atau setara 6.914 ton, yang bersumber pada beberapa sektor, seperti :
permukiman, perkantoran, industri, sekolah, pasar, dan lain-lain. Berdasarkan
hasil evaluasi kebersihan kota-kota di Indonesia, tidak seluruh sampah dapat
diangkut oleh kendaraan pengangkut sampah untuk dibuang ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana,
sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah. Untuk wilayah Jakarta, sampah yang dapat diangkut/tertanggulangi
sekitar 26.962 m (97,50%), sedangkan sisanya sekitar 692 m (2,50%) tidak
tertanggulangi.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang merupakan aset milik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh sampah dari
DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA
tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya. Kondisi ini diperparah dengan
belum diterapkannya SOP Sanitary Landfill. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah semakin besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh
Pemerintah Daerah yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah
TPA Bantargebang dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang yang
dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menggunakan
pendekatan deskriptif analitik dengan metode kualitatif. Sampel penelitian ini
adalah para pakar di bidang persampahan baik dari pihak pemerintah, pakar
maupun masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara,
observasi dan dokumentasi.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara, observasi dan
dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa upaya optimasi
pengelolaan TPA Bantargebang dapat dilakukan melalui analisis SWOT yang
merupakan salah satu cara yang dapat membantu menganalisis pengelolaan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantargebang, sehingga akan
menghasilkan beberapa alternatif strategi prioritas.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu
masalah; dan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI

DJATMIKO WINAHYU

Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Ir. Lukman M. Baga, MAEc
Judul Tugas Akhir : Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan
Akhir Bantargebang, Bekasi
Nama : Djatmiko Winahyu
NRP : H 251064145

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec


Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 15 Mei 2009 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena


atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kajian pembangunan daerah yang berjudul Strategi Pengelolaan Sampah Pada
Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi. Tulisan ini merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam proses penyelesaian tulisan ini, penulis banyak mendapat bantuan,
dukungan, serta kemudahan dalam memperoleh informasi dan masukan-masukan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang setingg-tingginya kepada yang terhormat :

1. Departemen Dalam Negeri yang telah memberikan kesempatan kepada penulis


untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Manajemen Pembangunan
Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
2. Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, selaku Ketua dan Bapak Dr. Ir. Yusman
Syaukat, M.Ec, selaku Anggota, atas kesediannya meluangkan waktu untuk
memberikan arahan, bimbingan, saran dan dorongan yang sangat berharga
dalam menyelesaikan tulisan ini.
3. Ketua Program, para Dosen dan seluruh Staf/Karyawan Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
4. Kedua orang tua, adik serta istri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan
bantuan dan dorongan serta doa dan kasih sayangnya secara tulus ikhlas.
5. Rekan-rekan mahasiswa MPD Bogor III yang banyak memberikan inspirasi
baik dalam proses perkuliahan maupun dalam penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, hal ini
dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis dalam penerapan teknik penulisan
dan pengungkapan substansinya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan
dan masukan-masukan demi kesempurnaan di masa yang akan datang

Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga berkah Allah bersama kita
semua. Amin.

Bogor, September 2009

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 Juli 1961 dari ayah Soeharto dan ibu
Sri Triatmi, merupakan putra Sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan Sekolah
Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di kota
kelahirannya Malang, Jawa Timur. Pendidikan Sarjana ditempuh pada jurusan
Teknik Sipil Jurusan Teknik Pengairan Institut Teknologi Nasional Malang yang
ditamatkan pada tahun 1989. Pada tahun 1993 penulis mulai bekerja di
Departemen Dalam Negeri dan ditempatkan di Direktorat Jenderal Pemerintahan
Umum, Departemen Dalam Negeri sampai dengan sekarang. Pada tahun 2007
penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada program pascasarjana
Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Menikah pada tahun
1991 dengan Endang Sulistyaningsih dan dikaruniai dua orang anak yaitu Winda
Ayu Rasmasari dan Septa Stelasari.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... i


DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v

I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
1.5. Batasan Penelitian ............................................................................ 5

II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6


2.1. Nilai Ekonomi Pengolahan Persampahan ........................................ 6
2.2. Pengertian Sampah ........................................................................... 7
2.3. Prinsip-prinsip Pengolahan Persampahan ........................................ 8
2.4. Manajemen Persampahan Kota ........................................................ 10
2.4.1. Sumber dan Klasifikasi Sampah ........................................... 10
2.4.2. Pewadahan Sampah ............................................................... 14
2.4.3. Pengumpulan ......................................................................... 16
2.4.4. Pengangkutan ........................................................................ 17
2.4.5. Efisiensi ................................................................................. 19
2.4.6. Efektivitas ............................................................................. 20
2.5. Aspek Manajemen Persampahan ..................................................... 21
2.5.1. Aspek Kelembagaan ............................................................. 22
2.5.2. Aspek Teknis ......................................................................... 24
2.5.3. Aspek Keuangan ................................................................... 25
2.5.4. Aspek Sosial .......................................................................... 26
2.6. Peran Serta masyarakat dalam Penanggulangan Sampah ................ 29
2.7. Organisasi ......................................................................................... 31
2.8. Pengertian Aset ................................................................................ 32
2.9. Strategi ............................................................................................. 35
2.10. Formulasi Strategi dengan Analisis SWOT ..................................... 37

III. METODE KAJIAN .................. .............................................................. 39


3.1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 39
3.2. Desain Penelitian .............................................................................. 40
3.3. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 41
3.3.1. Data Primer ........................................................................... 41
3.3.2. Data Sekunder ....................................................................... 41
3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................. 42
3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 42
3.5. Pemilihan Responden ....................................................................... 43
3.6. Metode Analisis Data ....................................................................... 43
3.6.1. Evaluasi Kinerja .................................................................... 43
3.6.2. Perumusan Strategi ................................................................ 45
IV. GAMBARAN WILAYAH ....................................................................... 47
4.1. Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang .......................... 47
4.1.1. Kondisi Klimatologi .............................................................. 47
4.1.2. Kondisi Geologi dan Hidrologi ............................................. 48
4.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan ..................................................... 48
4.2. Kondisi TPA Bantargebang Saat ini ................................................ 49
4.2.1. Pembagian Zona TPA Bantargebang .................................... 49
4.2.2. Infrastruktur TPA Bantargebang ........................................... 50
4.2.3. Pelaksanaan Operasional Penimbunan Sampah .................... 53
4.3. Kondisi Saat Ini Pengelolaan Sampah Di DKI Jakarta .................... 53
4.4. Cara Pengelolaan Sampah ................................................................ 55
4.4.1. Pewadahan ............................................................................ 55
4.4.2. Sistem Pengumpulan sampah ................................................ 55
4.5. Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Saat ini ................................... 58
4.6. Aset Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang .............................. 58
4.7. Pengelolaan sampah di TPA Bantargebang ..................................... 60
4.8 Ikhtisar .............................................................................................. 62

V. EVALUASI KINERJA, PENGELOLAAN


TPA BANTARGEBANG, BEKASI ....................................................... 63
5.1. Evaluasi Kinerja ................................................................................ 63
5.1.1.Aspek Institusi/kelembagaan TPA ........................................... 63
5.1.2.Aspek teknis bidang persampahan ........................................... 63
5.1.3.Aspek pembiayaan .................................................................. 64
5.1.4.Aspek pengangkutan sampah ke TPA .................................... 64
5.1.5. Timbulan sampah ................................................................... 65

VI. PERUMUSAN STRATEGI .................................................................... 66


6.1. Analisis Lingkungan ........................................................................ 66
6.2. Analisis Faktor Internal - Eksternal ................................................. 66
6.2.1. Faktor Internal ....................................................................... 67
6.2.2. Faktor Eksternal .................................................................... 69
6.3. Perumusan Strategi ........................................................................... 72
6.3.1. Strategi S-O ............................................................................ 73
6.3.2. Strategi S-T ............................................................................. 74
6.3.3. Strategi W-T ........................................................................... 75
6.3.4. Strategi W-O ........................................................................... 76
6.4. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Stage) ............................ 76
6.5 Strategi dan Program ........................................................................ 77
6.5.1.Program Perbaikan Sistem Teknologi TPA ............................ 78
6.5.2. Program Kelembagaan pada Unit TPA ................................... 79
6.5.3. Program Pengolahan Sampah Terpadu
dan Ramah Lingkungan ........................................................... 79
6.5.4. Program Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat.................... 79
6.5.5. Program Pengembangan dan Pemasaran Komposting ........... 79
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 81
7.1. Kesimpulan ...................................................................................... 81
7.2. Saran ................................................................................................. 81

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 83


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah ..................................................16
Tabel 3.1. Distribusi Responden Kajian..............................................................42
Tabel 3.2. Metode Analisis..................................................................................42
Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Peruntukan Desa Cikiwul, Ciketing udik dan
..................Sumur Batu......... ...............................................................................48
Tabel 4.2. Pembagian Zone TPA Bantargebang .................................................49
Tabel 4.3 Estimasi Area dan Kapasitas Landfill. ................................................49
Tabel 4.4 Prosentase Komposisi Sampah di Provinsi DKI Jakarta.....................53
Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara di DKI Jakarta.................55
Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut dan Sisa Sampah
.................di Wilayah DKI Jakarta.......................................................................56
Tabel 4.7 Aset TPA Bantargebang .....................................................................58
Tabel 4.8 Sarana Pendukung TPA Bantargebang ...............................................59
Tabel 4.9 Pengoperasian TPA Bantargebang (Aspek Sosial dan Teknis) ..........60
Tabel 5.1 Matriks Faktor Strategis Internal Pengelolan TPA Bantargebang ......66
Tabel 5.2 Matriks Faktor Strategis Eksternal Pengelolan TPA Bantargebang ...68
Tabel 5.3 Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif Strategi
.................Pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi..............................................70
Tabel 5.4 Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Strategi Pengelolaan
.................Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang...................74
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan. .................................17


Gambar 2.2. Sistem Pengangkutan dengan Transfer Depo ................................18
Gambar 2.3. Sistem Pengangkutan Dengan Kontainer. .....................................18
Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan...................................................31
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ......................................................................40
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, telah membawa perubahan dalam
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk bidang kerjasama
daerah. Perubahan tersebut diharapkan menuju terciptanya sistem pengelolaan
kerjasama daerah yang lebih baik dalam upaya mewujudkan pelaksanaan otonomi
daerah secara optimal sesuai dengan dinamika dan tuntutan masyarakat yang
berkembang.
Untuk meningkatkan dan memperlancar pelaksanaan Otonomi Daerah serta
menjamin tertibnya penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka salah satu upaya
yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah meningkatkan
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah melalui kerjasama daerah,
terutama kerjasama antar daerah. Dengan kerjasama daerah diharapkan dapat
dijadikan sarana untuk lebih memantapkan keterkaitan dan keterikatan daerah
yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan mampu meningkatkan laju pertumbuhan antar daerah yang
seimbang, selaras, dan serasi serta mencegah kemungkinan munculnya
perselisihan antar daerah.
Kerjasama daerah merupakan alternatif yang memberikan kemanfaatan yang
saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Banyak ditemukan bahwa
pemerintah daerah mempunyai kekayaan yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan atau dikembangkan untuk dikerjasamakan, namun upaya-upaya
tersebut terhalang oleh terbatasnya sumberdaya, dana dan teknologi. Di sisi lain,
terdapat pihak-pihak/stakeholders yang mempunyai potensi pendanaan dan
teknologi. Potensi pihak tersebut juga bermanfaat untuk pengembangan usaha
yang bersangkutan dan bagi masyarakat luas.
Kondisi-kondisi menunjukan adanya fakta saling membutuhkan antar
Daerah. Kondisi saling membutuhkan tersebut merupakan dasar bagi para pihak
bersangkutan untuk membentuk kerjasama yang akan menghasilkan suatu sinergi
yang saling menguntungkan.
Oleh karena itu melihat perkembangan pesatnya pertumbuhan Kota Jakarta
dalam dua dasa warsa terakhir ini telah memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap daya dukung lingkungan, perilaku, dan pola kehidupan
masyarakat juga ikut berubah hal ini mengakibatkan sikap terhadap kepedulian
untuk mendukung kepentingan bersama semakin terkikis. Sementara disisi lain,
adanya kebijaksanaan zero growth yang ditetapkan dalam kebijaksanaan
kepegawaian pemerintah DKI Jakarta dalam pengelolaan kebersihan terutama
untuk aspek non teknis antara mengenai kelembagaan dan organisasi pegawai
operasional dilapangan.
Permasalahan yang melatarbelakangi kajian pengelolaan persampahan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang ini adalah bahwa usaha yang
telah dilakukan oleh Dinas Kebersihan selama ini dalam penanganan sampah dan
tugas pokok lainnya dipandang masih belum optimal terutama dalam operasional
pengolahan sampah akhir. Oleh karena itu, dasar hukum sebagai pelaksanaan
pengelolaan persampahan antar kedua pemerintah daerah tersebut tertuang dalam
kerjasama antara Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan
Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 dan Nomor 168 Tahun 1999
tentang pengelolaan sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di
Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi dan mengacu Perda DKI Jakarta Nomor 3
tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
serta Sekretariat DPRD Provinsi DKI Jakarta, Surat Keputusan Gubernur Nomor
15 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas kebersihan Propinsi DKI
Jakarta khususnya pembentukan Struktur Organisasi yang efisien bagi institusi
Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, serta Surat Keputusan Gubernur Nomor
119 Tahun 2002 tentang pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Lingkungan Dinas Kebersihan Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.sebagai upaya organisasi untuk mencapai tujuan pelaksanaan tugas pokok
dalam menciptakan kota yang bersih, tertib, indah dan sehat.
Dengan melihat pengelolaan persampahan yang ada di TPA Bantargebang
saat ini diharapkan bisa menjadi konsep yang akan datang untuk diterapkan dalam
pengelolaan sampah di Bantargebang. Untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian,
Bagaimana strategi pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir
Bantargebang di Kabupaten Bekasi ?.

1.2. Perumusan Masalah


Seperti layaknya masalah lingkungan hidup perkotaan maka masalah
sampah di Jakarta dapat dibedakan atas masalah sampah di tingkat kota dan
masalah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan
Akhir (TPA). Pada umumnya masalah sampah mencakup produksi sampah dan
sumber akhir pembuangannnya dan bagaimana proses pengelolaan sampah di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, sehingga permasalahan-
permasalahan yang spesifik dalam penanganan sampah dan kebersihan di DKI
Jakarta dapat tertanganni dengan baik.
Berdasarkan kondisi saat ini pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang
diproduksi setiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per hari dibuang
ke TPA Bantargebang, Bekasi, melihat produksi sampah yang dihasilkan cukup
besar maka harus diimbangi dengan pengelolaan yang optimal karena masalah
persampahan sebagai akibat dari pertambahan penduduk kota sehingga menuntut
peningkatan pola pengelolaan sampah yang lebih baik, keheterogenan tingkat
sosial budaya penduduk kota dan masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam
menangani masalah sampah, keterbatasan dan kurangnya tersedianya sumber
daya manusia yang sesuai untuk menangani masalah sampah, pengembangan
teknologi penanganan persampahan yang bergerak relatif lambat.
Peningkatan jumlah sampah baik dalam segi volume maupun jenisnya
menuntut keseriusan dan perhatian lebih untuk pengelolaannya tidak hanya
sekedar untuk upaya pengumpulan, transportasi dan pemusnahan semata.
Disamping itu perubahan dan pergeseran perilaku dan pola konsumsi masyarakat
perkotaan juga mewarnai perubahan signifikan jenis dan volume sampah, yang
pada gilirannya menuntut perubahan manajemen dan fisik atas sampah.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan dalam kajian ini adalah
Bagaimana pengembangan teknologi persampahan yang ramah
lingkungan yang akan dibangun di TPA Bantargebang ?.
Keberadaan TPA dinilai lebih banyak menimbulkan kerugian terutama bagi
masyarakat dan lingkungan sekitarnya . Di samping itu, TPA Bantargebang masih
lebih diposisikan sebagai aset atau fasilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
hanya berfungsi melayani kebutuhan masyarakat (service center) dalam hal
pengolahan akhir sampah dan kurang memperhitungkan manfaat atau nilai tambah
(added value) yang dapat dihasilkan dari sampah.
Berdasarkan kondisi saat ini penerapan teknologi yang digunakan yang
awalnya menggunakan teknologi sanitary landfill yang benar ternyata dalam
operasionalisasinya masih tetap menimbulkan masalah seperti gas yang dapat
mencemarkan udara. Apalagi bila dalam operasionalnya sanitary landfill telah
bergeser menjadi open dumping, membuang sampah tanpa mengolah, dapat
berdampak negatif seperti air lindi yang akan menimbulkan bau tidak enak dan
menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit. Berdasarkan permasalahan
tersebut maka pertanyaan kajian adalah Bagaimana rumusan strategi
pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang di
Kabupaten Bekasi ?.

1.3. Tujuan Penelitian


Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah :
1). Untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan TPA Bantargebang.
2). Merumuskan strategi dan program yang dapat digunakan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan TPA Bantargebang.

1.4. Manfaat Penelitian


Dari kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi Pemerintah
Daerah dalam pengelolaan sampah kota. Selanjutnya hasil penelitian ini
diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Dinas
Kebersihan DKI Jakarta serta UPT di Bantargebang sebagai pengelola kebersihan
dalam pengambil dan penentuan program yang berkaitan dengan persampahan di
masa-masa yang akan datang.
1.5. Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta, khususnya pada
Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah Bantargebang di Bekasi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT)
yang berada di bawah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari
2009, melalui: 1) observasi lapangan, 2) Focuss Group Discussion (FGD), dan 3)
wawancara tidak terstruktur dengan para pemangku kepentingan (stakeholders)
dalam pengelolaan sampah DKI Jakarta dan TPA Bantargebang.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah


Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang mendesak di kota-
kota di Indonesia, sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik akan
mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan dan berbagai
dampak negatif lainnya. Penanganan sampah yang menjadi andalan kota-kota
adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi merupakan aset
milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh
pembuangan sampah dari DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah
yang dibuang ke TPA tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya.
Berdasarkan kondisi saat ini yang terjadi dalam pengelolaan sampah yang
diproduksi di DKI Jakarta tiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per
hari dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi dan melihat produksi sampah yang
dihasilkan cukup besar maka harus di imbangi dengan pengeloaan yang optimal
karena masalah persampahan sebagai akibat dari pertambahan penduduk sehingga
menuntut peningkatan pola pengelolaan sampah yang lebih baik dan profesional
yang akan menghasilkan potensi maupun nilai ekonomi yang tinggi dalam
pengelolaan sampah yang ada.
Nilai ekonomi pengelolaan sampah pada umumnya berasal dari dua sektor
yaitu sektor formal dan sektor informal dimana sektor formal adalah nilai
ekonomi yang dikelola oleh pemerintah dan sektor informal adalah sektor nilai
ekonomi yang dikelola oleh pemulung dan pengumpul sampah. Hal yang menarik
adalah dimana pada satu sisi sektor informal ini memiliki peran penting dalam
pengelolaan sampah, disisi lain pemulung memilah sampah yang organik dan
anorganik yang mempunyai nilai ekonomis dari tumpukan sampah, TPS sampai
ke TPA Bantargebang.
Namun dilain pihak pengelola sampah dari lembaga pemerintah melihat
pemulung sebagai penghambat dalam operasional pengelolaan sampah padat
modern yang efisien. Padahal pekerjaan pemulung dalam hal ini mempunyai nilai
ekonomi yang dapat diharapkan menjadi sumber penghidupan bagi pemulung dan
masyarakat disekitar TPA Bantargebang. Sedangkan nilai ekonomi sampah di
TPA Bantargebang dari sektor informal berasal dari penjualan ulang dari bahan-
bahan yang dapat diolah kembali. Pada umumnya sampah-sampah yang di
produksi di DKI Jakarta yang dibuang ke TPA Bantargebang Bekasi, memiliki
nilai ekonomi yang cukup tinggi terutama bahan-bahan yang dapat di daur ulang
yang kemudian ditawarkan kembali ke industri-industri yang membutuhkannya.
Potensi nilai ekonomi yang diperoleh dari beberapa pengumpul sampah
yang dapat di daur ulang seperti kertas, karbon, plastik, besi tua, kaca, alumunium
dan karung yang masing-masing mempunyai nilai jual per kg nya cukup baik
yang akan disetorkan/pada sentra penjualan sampah. Semua sentra penjualan
sampah tersebut menjadi aset yang sangat potensial secara ekonomi bagi
masyarakat di sekitar TPA Bantargebang, Bekasi. Dengan melihat jumlah sentra
penjualan sampah diatas berarti sentra tersebut juga menyerap tenaga kerja
informal yang cukup besar terutama di tiga desa di TPA Bantargebang, yang
cukup besar memberikan andil dan kontribusi dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sampah di Kabupaten Bekasi.

2.2. Pengertian Sampah


Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya
dengan memproduksi barang dari sumberdaya alam disamping menghasilkan
barang yang akan dikonsumsi manusia dihasilkan pula bahan buangan yang sudah
tidak dibutuhkan lagi oleh manusia. Bahan buangan makin hari makin bertambah
banyak, hal ini erat hubungannya dengan makin bertambahnya jumlah penduduk
disatu pihak, ruangan hidup menerima relatif tetap. Bahan buangan ini dikenal
dengan istilah waste (limbah) yang dalam wujudnya berbentuk padat, cair dan gas
(Murthado dan Said, 1987).
Para ahli kesehatan lingkungan telah memberikan bahasan/pengertian
tentang sampah, antara lain sampah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak
disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan
yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan
biologis (karena human waste tidak termasuk di dalamnya) (Azwar, 1983). Pusat
Pendidikan Nasional Kesehatan RI (1987) mendefinisikan sampah adalah benda
yang tidak dipakai, tidak diinginkan dan dibuang, yang berasal dari suatu aktifitas
dan bersifat padat (tidak termasuk buangan yang bersifat biologis).
Sementara Hadiwiyoto (1983) mengatakan bahwa sampah adalah sisa-sisa
bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian
utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya.
Ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan
dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian.
Dari beberapa pendapat/pengertian di atas, untuk memperjelas pengertian
sampah, maka batasan-batasan lain, menurut Putranto (1983) sampah adalah :
1. adanya suatu benda atau zat padat atau buangan.
2. adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan aktivitas manusia.
Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi, tidak disenangi dan dibuang
dalam arti pembuangan dengan cara yang diterima oleh umum (perlu pengolahan
yang baik).

2.3. Prinsip-prinsip Pengolahan Persampahan


Pengolahan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani penduduk terhadap
sampah yang dihasilkannya, yang secara tidak langsung turut memelihara
kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan
sehat.
Pada awalnya, pemukiman seperti di pedesaan yang kepadatan penduduknya
masih sangat rendah, secara alami tanah/alam masih dapat mengatasi sampah
yang timbul. Namun dengan perkembangan penduduk dengan aktivitas manusia
yang lebih luas serta adanya jenis sampah akibat dari kemajuan teknologi yang
sulit terurai, mulailah sampah menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala
aktivitasnya, permasalahan sampah semakin perlu dikelola secara profesional.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) untuk dapat mengelola sampah
pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dan masalah yang
kompleks, diperlukan :
1. Suatu lembaga atau institusi yang dilengkapi dengan :
a) peraturan,
b) pembiayaan/pendanaan, dan
c) peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu sistem.
2. Kesadaran masyarakat yang cukup tinggi.
Dalam pengolahan sampah semacam ini dituntut suatu pelayanan yang
cepat dengan kapasitas yang besar. Untuk proses pengumpulan dan
pengangkutan sampah khususnya dari daerah urban. Pengolahan inipun perlu
dilaksanakan secara efektif dan efisien dan dengan program yang terencana
agar dapat menekan biaya. Penanganan kebersihan semacam ini baru akan
berhasil baik bila masyarakat juga terlibat langsung atau berperan serta secara
aktif terutama dalam mengikuti peraturan kebersihan umum, pembayaran
retribusi maupun cara-cara menangani sampah yang diproduksinya secara baik
dan benar.
Informasi yang jelas perlu disampaikan kepada masyarakat sehingga
menyadari bahwa perbedaan tingkat pelayanan dan kualitas akan memerlukan
biaya yang berbeda pula. Oleh karena itu apabila masyarakat menginginkan
suatu pelayanan yang lebih baik (peningkatan kualitas), harus menyadari
bahwa untuk tingkat pelayanan tersebut diperlukan kontribusi masyarakat
yang lebih besar/tinggi pula.
Sebagai contoh bila semula dilayani dengan pola komunal dan ingin
dilayani dengan pola individual langsung (door to door) dengan truk, maka
akan diperlukan biaya operational dan maintenance (operasional dan
pemeliharaan) yang lebih besar berarti masyarakat tersebut harus membayar
retribusi yang lebih tinggi sesuai dengan tingkat pelayanan yang diperolehnya.
Harus disadari bahwa penduduk kota juga merupakan bagian dari
masalah pengolahan persampahan yang memerlukan perhatian tersendiri.
Agar menyadari pentingnya peran aktif dari masyarakat, perlu diberikan
informasi dan penyuluhan serta diikutsertakan dalam proses penentuan cara
penanganan sampah yang akan diterapkan, khusunya dalam kegiatan
pengumpulan sampah. Pada dasarnya pengolahan sampah ada 2 macam, yaitu
pengolahan/penanganan sampah setempat (individu) dan pengolahan sampah
terpusat untuk lingkungan pemukiman atau kota.
3. Penanganan setempat.
Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan
sendiri oleh penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah
perkarangannya atau dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan.
4. Pengelolaan terpusat
Pengelolaan persampahan secara terpusat, khususnya dalam teknis
operasional, adalah suatu proses atau kegiatan penanganan sampah yang
terkoordinir untuk melayani suatu pemukiman atau kota.

2.4. Manajemen Persampahan Kota


Adapun definisi manajemen untuk pengelolaan sampah di negara-negara
maju sebagaimana dikemukakan oleh Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993),
yaitu sebagai disiplin yang berhubungan dengan pengendalian bagi penghasil,
tempat penyimpanan, transfer dan transportasi, prosesing dan pembuangan
sampah. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan suatu cara yang sesuai
dengan prinsip-prinsip terbaik kesehatan publik, ilmu ekonomi, rekayasa,
konservasi, estetika dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga terhadap sikap
masyarakat.
Menurut Nurmadi (1999) di kota-kota di Indonesia, manajemen
persampahan menggunakan dua sistem yaitu sistem formal atau konvensional dan
sistem informal atau non konvensional. Sistem formal adalah sistem yang di
kelola oleh pemerintah terdiri dari kegiatan pengumpulan, transportasi dan
pembuangan limbah sedangkan sistem informal adalah sistem yang melibatkan
pemulung dalam mengambil kembali sampah seperti plastik, kertas, pecahan kaca
dan besi untuk dijual. Unsur-unsur yang terdapat dalam pelaksanaan program
pengelolaan persampahan kota yang menggunakan sistem formal atau
konvensional meliputi: sumber sampah, pewadahan, penghimpunan, transfer,
transportasi, pengolahan, pendaurulangan dan pembuangan akhir.

2.6.1. Sumber dan Klasifikasi Sampah


Sumber sampah apabila kita lihat berasal dari dimana seluruh rangkaian
kehidupan berlangsung, dari seluruh pelosok kehidupan masyarakat, namun dalam
hal ini dititik beratkan pada sumber sampah perkotaan, dimana saat ini menjadi
suatu permasalahan yang sangat kompleks, rumit dan memerlukan penanganan
multi disiplin, baik dengan pendekatan teknis, maupun dengan pendekatan sosial.
Sumber dari sampah pada umumnya berhubungan erat dengan penggunaan tanah
dan pembagian daerah untuk berbagai kegunaan. Menurut Departemen Kesehatan
(1987) pada dasarnya sumber sampah dapat diklasifikasi dalam beberapa kategori,
yaitu: (1) Pemukiman Penduduk, (2) Tempat-tempat umum dan tempat
perdagangan, (3) Sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah, (4) Industri
berat ringan, dan (5) Pertanian,
Sementara menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sumber sampah berasal
dari: (1) Daerah pemukiman (Rumah tangga), (2) Daerah komersial (Pasar dan
pertokoan), (3) Daerah industri, (4) Perkantoran, pariwisata, sarana umum, (5)
Kandang hewan atau pemotongan hewan, dan (6) Jalan dan taman.
Sumber-sumber sampah biasanya berkaitan erat dengan menggunakan
lahan, atau daerah terbangun atau penentuan zone wilayah. Sehingga secara
umum sumber sampah berasal dari (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993):
1. Pemukiman atau rumah tangga. Sampah dari rumah tangga biasanya berasal
dari aktivitas, seperti memasak, disebut juga domestik waste.
2. Daerah komersil. Meliputi sampah yang berasal dari aktivitas perdagangan,
seperti toko, restoran, pasar, hotel, pusat pelayanan jasa, dan lain-lain.
3. Institusi gedung. Sampah yang berasal dari sekolah, rumah sakit, pusat-
pusat perkantoran, dan lainnya.
4. Konstruksi dan penghancuran. Sampah yang berasal dari aktivitas
pembangunan gedung, perbaikan jalan dan reruntuhan gedung.
5. Aktivitas gedung. Sampah yang berasal dari penyapuan jalan, taman dan
pantai, area rekreasi, pembersihan sekolah dan pertamanan.
6. Tempat pengolahan. Sampah berasal dari aktivitas pengolahan air bersih, air
buangan, dan proses pengolahan dalam industri.
7. Industri. Sampah yang berasal dari proses industri berat, ringan, proses
kimiawi, tenaga listrik, proses pembuatan tekstil, pembongkaran dan proses
penyulingan.
8. Pertanian. Klasifikasi sampah menurut Hadiwiyoto (1983) berdasarkan
sifatnya dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Sampah organik, yaitu sampah yang terdiri dari daun-daunan, kayu,
kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak, sayur, buah, sampah
organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik,
dan oleh karenanya tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan
oksigen. Bahan-bahan ini mudah didegradasi oleh mikrobia.
b. Sampah Anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi
dan logam-logam lainnya, gelas atau bahan-bahan yang tidak tersusun
oleh senyawa-senyawa organik. Sampah ini tidak dapat didegradasi oleh
mikrobia.
Sementara Murthado dan Said (1987) membedakan sampah ada dua cara
pembagian yang digunakan, yakni berdasarkan istilah teknis dan kepada
sumbernya. Pembagian berdasarkan istilah teknis menghasilkan beberapa macam
yaitu :
1). Sampah yang bersifat semi basah. Golongan ini merupakan bahan-bahan
organik, misalnya sampah dapur dan sampah restauran, yang kebanyakan
merupakan sisa buangan sayuran dan buah-buahan. Sampah jenis ini
bersifat mudah terurai, karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang
pendek.
2). Sampah organik yang sukar terurai karena mempunyai rantai iktan kimia
yang panjang, misalnya plastik, kaca dan selulosa.
3). Sampah berupa abu yang dihasilkan pada proses pembakaran. Secara
kuantitatif sampah jenis ini sedikit, tetapi pengaruhnya bagi kesehatan
cukup besar. Sampah berupa jasad hewan mati, misalnya bangkai tikus,
anjing, ayam, dan lain-lain.
4). Sampah jalanan, yakni semua sampah yang dapat dikumpulkan secara
penyapuan di jalan-jalan, misalnya daun-daunan, kantung plastik, kertas,
dan lain-lain.
5). Sampah industri, yakni sampah yang berasal dari kegiatan produksi di
industri. Secara kuantitatif jenis limbah ini banyak, tetapi ragamnya
tergantung pada jenis industri tersebut.
Klasifikasi sampah secara garis besarnya dapat dikelompokan (Ditjen
Cipta Karya, 1991) sebagai berikut :
1. Sampah Basah (garbage)
Sampah basah yaitu sampah yang berasal dari sisa pengolahan, sisa makanan
atau sisa makanan yang telah membusuk, tetapi masih dapat digunakan
sebagai makanan oleh organisme lainnya, seperti insekta, binatang pengerat
dan lain-lain. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari kegiatan domestik
atau industri pengolahan makanan. Sampah organik mempunyai sifat cepat
membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah pada temperatur optimum
yang diperlukan untuk membusuk, (20C-30C sampai 65C).
2. Sampah Kering (Rubbish)
Sampah kering yaitu sampah sisa pengolahan yang tidak mudah membusuk.
Sampah kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. sampah yang tidak mudah membusuk tetapi mudah terbakar, seperti kayu,
bahan plastik, kain, bahan sintetik dan lain-lain.
2. sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti
logam, kaca, keramik dan lain-lain.
3. Sampah lembut
Sampah lembut yaitu sampah yang berasal dari berbagai jenis abu, merupakan
partikel-partikel kecil yang mudah beterbangan dan dapat mengganggu
pernapasan dan mata. Seperti asbes, semen, abu kayu dan lain-lain.
4. Sampah Berbahaya
Sampah bila ditinjau dari tingkat bahayanya, dapat di bagi menjadi 4 golongan
yaitu :
a) Sampah Patogen, yaitu sampah yang berasal dari rumah sakit.
b) Sampah beracun, yaitu sampah sisa-sisa pestisida, kertas bekas
pembungkus bahan-bahan beracun dan lain-lain.
c) Sampah radio aktif, yaitu sampah dari bahan nuklir.
d) Sampah yang dapat meledak (petasan, mesiu, dan lain-lain).
5. Sampah Balokan (Bulky Waste)
Sampah yang berasal dari mobil bekas, kulkas rusak, pohon tumbang, balok
kayu dan sebagainya.
6. Sampah Jalan
Sampah Jalan yaitu sampah atau kotoran yang berserakan disepanjang jalan,
seperti sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun-daunan dan lain-
lain.
7. Sampah Binatang Mati
Yaitu sampah seperti bangkai kucing, ayam, anjing, tikus dan sebagainya.
8. Sampah Bangunan
Yaitu sampah seperti potongan kayu, pecahan atap genteng, bata, buangan
adukan dan lain-lain.
9. Sampah Industri
Yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini biasanya
lebih seragam bila dibandingkan dengan sampah jenis lainnya. Sampah
industri ada yang beracun bila mengandung logam-logam berat, sisa pestisida
dan lain-lain, yang tidak berbahaya seperti sisa makanan karyawan, kertas dan
lain-lain.
10. Sampah Khusus
Sampah dari benda-benda berharga atau sampah dokumentasi, misalnya
rahasia patent dari pabrik, surat rahasia negara dan sebagainya.
11. Sampah Kandang/Pemotongan Hewan
Sampah seperti kotoran hewan, sisa-sisa makanannya, kulit, sisa-sisa daging,
tulang, isi perut dan sebagainya.
12. Sampah Lumpur
Merupakan sampah setengah padat, yaitu lumpur selokan, riol, lumpur dari
bangunan pengolahan air buangan, septitank dan sebagainya.

2.6.2. Pewadahan Sampah


Dalam operasional pengumpulan sampah, masalah pewadahan memegang
peranan yang sangat penting, tempat penyimpanan sampah pada sumber
diperlukan untuk mencegah sampah agar jangan berserakan yang akan memberi
kesan atau terlihat kotor serta untuk mempermudah proses kegiatan pengumpulan,
sampah yang dihasilkan perlu disediakan tempat untuk
penyimpanan/penampungan sambil menunggu kegiatan pengumpulan sampah.
Tempat sampah ini juga harus direncanakan dengan pertimbangan kemudahan
dalam proses pengumpulan (mempercepat proses), hygienis untuk penghasil
sampah maupun petugas pengumpul, kuat dan relatif tahan lama serta juga
mempertimbangkan segi estetika. Kapasitas pewadahan ini diperhitungkan
berdasarkan rata-rata laju timbulan sampah (laju generasi sampah) per orang per
hari, jumlah anggota keluarga serta frekuensi pengumpulan yang diterapkan.
Sampah di TPA pada umumnya lebih sedikit jumlahnya dari pada jumlah
sampah pada sumbernya. Hal ini dikarenakan adanya pemungutan/pemulung
sampah yang mengambil benda-benda yang masih dapat dimanfaatkan atau
bernilai ekonomis atau masih adanya tanah terbuka atau dibuang ketempat-tempat
lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pusat Litbang Pemukiman yang
bekerjasama dengan LPPM ITB dalam Ditjen Cipta Karya (1991), didapatkan
angka-angka laju timbulan sampah sebagai berikut:

1. Laju timbulan sampah kota perliter/orang/hari (perhitungan dilakukan pada


sumber sampah).
a. Kota Kecil = 2,5 sampai dengan 2,75 liter/orang/hari.
b. Kota Sedang = 2,75 sampai dengan 3,25 liter/orang/hari.

2. Sedangkan berdasarkan besaran kota yaitu :


a) Kota Kecil :
1) Laju timbulan sampah pemukiman = 2,0 liter/orang/hari.
2) Persentase total sampah pemukiman = 75% sampai dengan 80 %
3) Persentase total sampah non pemukiman = 20% sampai dengan 25%
b) Kota Sedang :
1) Laju timbulan sampah pemukiman = 2,25 liter/orang/hari
2) Persentase total sampah pemukiman = 65% sampai dengan 75%
3) Persentase total sampah non pemukiman = 25% sampai dengan 35%

Menurut Cointreau dalam Ditjen Cipta Karya (1991) sampah di negara


yang sedang berkembang 69% sampai dengan 80% merupakan sampah rumah
tangga. Sedangkan menurut hasil penelitian Litbang Pemukiman dalam Ditjen
Cipta Karya (1991), untuk kota kecil dan sedang didapatkan angka untuk sampah
pemukiman berkisar antara 65% - 80% dari total sampah kota.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) jenis peralatan pewadahan dapat
dilihat dari sumber sampahnya sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah


No Sumber Sampah Jenis Peralatan Volume
1. Daerah Perumahan - Kantong Plastik 40 s/d 60 liter
- Bin plastik/tong 40 s/d 60 liter
2. Pasar - Bin/tong sampah yang dipasang 50 s/d 60 liter
secara permanen
- Bin plastik yang ada tutupnya dan 120 s/d 240 liter
memakai gerobak
- Gerobak sampah 1 m3
- Container dari Arm roll 6 s/d 10 m3
3. Pertokoan - Kantong Plastik Bervariasi
- Bin plastik/tong 50 s/d 60 liter
- Bin plastik dengan roda 120 s/d 240 liter
4. Perkantoran/Hotel - Container 1 m3
- Container besar 6 s/d 10 m3
5. Tempat Umum, Jalan dan - Bin plastik/tong yang dipasang 50 s/d 60 liter
Taman secara permanen
- Bin plastik dengan roda 120 s/d 240 liter
Sumber : Ditjen Cipta Karya, 1991.

2.6.3. Pengumpulan
Proses pengumpulan sampah yang dilakukan dari rumah ke rumah
(sumber) menuju ke tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau transfer depo,
dapat menggunakan gerobak sampah selanjutnya dari Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) atau transfer depo sampah tersebut kemudian diangkut ke truk
menuju ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Menurut Tchobanoglous, Theinsen dan Virgil (1993) sistem pengumpulan
sampah pada dasarnya dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Hauled Container System (HCS)
Yaitu sistem pengumpulan sampah diangkut ke tempat pembuangan,
dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi semula atau beberapa lokasi lain.
2. Stationery Container System (SCS)
Yaitu sistem pengumpulan sampah dimana Kontainer penyimpanan sampah
adalah tetap (remain) di titik penimbulan sampah.
Untuk lebih jelasnya operasional persampahan mulai dari timbulan sampah
sampai diangkut ke lokasi pembuangan akhir disajikan pada gambar 2.1.
TIMBULAN SAMPAH

PEWADAHAN

PENGUMPULAN

PEMINDAHAN DAN PENGOLAHAN


PENGANGKUTAN

PEMBUANGAN AKHIR
SAMPAH

Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan.

2.6.4. Pengangkutan
Kegiatan pengangkutan merupakan kegiatan operasional yang dimulai dari
sumber sampah atau Transfer Depo/TPS ketempat pengolahan/Tempat
Pembuangan Akhir. Frekuensi pengangkutan ini dapat bervariasi. Menurut
Sinulingga (1999) untuk daerah-daerah menengah ke atas Frekuensinya lebih
sering dibandingkan dengan daerah lainnya, misalnya dua kali sehari. Sedangkan
untuk kawasan lainnya satu kali sehari tetapi hendaknya dipahami apabila kurang
dari satu kali sehari menjadi tidak baik karena sampah yang tinggal lebih dari satu
hari dapat mengalami proses pembusukan, sehingga menimbulkan bau yang tidak
sedap.
Bentuk atau pola pengangkutan bergantung pada jenis peralatan yang
digunakan menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dapat berupa :
1. Pengangkutan Dengan Sistem Transfer Depo.
Kegiatan pengangkutan berupa :
a. Persiapan kendaraan di pool kendaraan dan perjalanan ke Transfer Depo.
b. Kegiatan pemindahan sampah ke Truck dan pengangkutan ke TPA.
c. Pembongkaran sampah di TPA dan perjalanan kembali ke transfer Depo
pertama.
Hal ini dapat disajikan pada Gambar 2.2.

POOL Transfer Depo TPA

Transfer Depo

Gambar 2.2. Sistem Pengangkutan dengan Transfer Depo


2. Pengangkutan Dengan Sistem Kontainer.
Kegiatan pengangkutan berupa :
a. Persiapan di pool kendaraan (Load Haul) dan perjalanan ke lokasi dengan
membawa penuh gerobak kontainer kosong dibawa.
b. Sampai dilokasi, kontainer kosong ditukar, kontainer penuh diangkut dan
dibawa ke TPA.
c. Kegiatan pengosongan kontainer di TPA. Setelah kontainer kosong dan
dibersihkan dibawa ke lokasi kontainer penuh lainnya dan seterusnya.
Jenis kendaraan yang dipakai adalah Arm Roll Truck.

Kontainer Kosong
POOL KONTAINER 1 TPA

Kontainer Kosong
KONTAINER 2

Kontainer Isi
KONTAINER 3

Gambar 2.3. Sistem Pengangkutan Dengan Kontainer.


Perhitungan waktu pengangkutan dilakukan bersamaan dengan
perhitungan jarak, pengamatan rute pengangkutan dan frekuensi pengangkutan.
Waktu pengangkutan sampah dapat dihitung sebagai berikut : (Tchobanoglous,
Theisen dan Virgil, 1993)

(P+S+H)
T=
(1-W)

Dimana :
T = Waktu yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampah per trip (jam)
P = Waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampah per trip (jam)
S = Waktu yang dibutuhkan untuk pembuangan sampah per trip (jam)
H = Waktu yang dibutuhkan untuk proses haul sampah per trip (jam)
W = Factor off route (faktor waktu meliputi waktu yang dihabiskan selama
pengoperasian atau waktu yang tidak berguna seperti: perbaikan kerusakan
kendaraan, kemacetan jalan dan sebagainya).

2.6.5. Efisiensi
Pengertian mengenai efisiensi sangat beragam dari berbagai macam
bidang, menurut Slichter dan Sarwoto (1994) ada tiga macam efisiensi pada
dewasa ini yaitu :
1. Engineering.physical effciency (efisiensi mesin/benda), yaitu perbandingan
antara jumlah satuan benda yang dipergunakan dengan benda yang
dihasilkan.
2. Pecuniary/business efficiency (efisiensi perusahan/keuangan) yaitu,
perbandingan antara dollar yang dikeluarkan dengan penghasilan yang
masuk.
3. Social/human efficiency (efisiensi kemanusiaan/sosial) yaitu, perbandingan
antara pengorbanan-pengorbanan manusia dengan kepuasan atau
kemanfaatan bagi manusia yang dapat dinikmati.
Dari definisi di atas, pada dasarnya menekan kepada perbandingan antara
masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan.
Dalam kegiatan staf pengertian efisiensi menurut Sarwoto (1994)
menggunakan terminologi efisiensi kerja dengan pengertian bahwa efisiensi kerja
dalam kegiatan staf adalah perbandingan terbaik antara suatu usaha dengan
hasilnya. Perbandingan terbaik ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi hasil dan
segi usaha sebagai berikut :
1. Segi hasil, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau usaha itu memberikan
hasil yang baik. Terbaik dalam arti mutu maupun jumlah dari pada hasil
yang dikehendaki.
2. Segi usaha, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau sesuatu hasil yang
dikehendaki dapat dicapai dengan usaha yang teringan. Teringan dalam
hubungan dengan pemakaian tenaga jasmani, pikiran, waktu, benda dan
uang.
Dengan mengesampingkan faktor-faktor manusia sebagai pelaksana kerja
dan lingkungan dimana kerja itu diselenggarakan maka efisiensi kerja seseorang
terutama ditentukan oleh cara kerjanya yang mencakup pengertian tata kerja,
prosedur dan sistem kerja.

2.6.6. Efektivitas
Pengertian efektivitas dari berbagai bidang keahlian pun amat beragam dan
tergantung pada konteks apa efektivitas tersebut digunakan, namun demikian pada
umumnya para ahli sependapat bawha efektivitas itu pada prinsipnya adalah
seberapa besar hasil guna yang tercapai dengan menggunakan semaksimal
mungkin alat atau sumberdaya yang tersedia.
Urban Institut dalam Bintarjo (1997) mendefinisikan pengertian efektivitas
(measure of effectivity) sebagai berikut :
1). Tingkat dimana tujuan-tujuan jasa pelayanan yang dikehendaki terpadu.
2). Tingkat dimana terdapat dampak jasa pelayanan pada komunitas yang tidak
dikehendaki dan bertentangan.
3). Kecukupan kuantitas dari kualitas jasa pelayanan yang diberikan berhubung
dengan kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan komunitas dan
keamanan untuk membayar.
4). Kecepatan dan keramahan yang dutunjukan dalam menanggapi permintaan
penduduk.
5). Persepsi masyarakat pada kepuasan dan jasa pelayanan yang diberikan.
6). Sementara menurut Eduards dan Isworo (1996), bahwa syarat-syarat yang
penting bagi efektivitas suatu kebijakan adalah :
a. Komunikasi; biasanya suatu kebijakan menyangkut banyak pihak,
terutama para pelaksana kebijakan satu sama lain saling berhubungan
secara sinergis.
b. Sumberdaya manusia; merupakan orang-orang yang melaksanakan
pekerjaan/tugas sesuai dengan jumlah maupun mutu yang diperlukan
serat adanya wewenang dan tanggung jawab yang jelas dan dilengkapi
fasilitas memadai.
c. Sikap para pelaksana; adanya kesepakatan terhadap kebijakan yang
ditentukan melalui penciptaan melalui budaya organisasi.
d. Struktur birokrasi; yaitu struktur yang mampu mewadahi proses kerja
organisasi bersangkutan dan pengaruh lingkungan.

2.5. Aspek Manajemen Persampahan


Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala
aktivitasnya, permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara
profesional. Untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang
sampahnya semakin banyak dan masalah yang kompleks menurut Tchobanoglous,
Theisen dan Virgil (1993) ada beberapa aspek yang perlu dilihat dalam kinerja
manajemen persampahan yaitu :
1). Aspek kelembagaan melihat mekanisme kelembagaan yang dapat menunjang
kelancaran pelaksanaan manajemen persampahan kota.
2). Aspek teknis pada dasarnya menilai efisiensi pelaksanaan penyapuan jalan,
pengumpulan, pewadahan, transfer, pengangkutan dan pembuangan akhir.
3). Aspek keuangan dengan kondisi terbatasnya dana, pemerintah untuk
menjalankan tanggung jawabnya dalam membiayai opersional pelaksanaan
manajemen pengumpulan dan pengangkutan sampah.
4). Aspek sosial yang berupa peran serta masyarakat, pemulung dan swasta,
merupakan faktor yang mempunyai kontribusi yang besar terhadap
keberhasilan pelaksanaan manajemen persampahan kota.

2.5.1. Aspek Kelembagaan


Institusi/kelembagaan dalam sistem pengumpulan dan pengangkutan
sampah memegang peranan yang sangat penting, meliputi status, struktur
organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi dari badan
pengelola. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sesuai dengan status kota, untuk
kota metropolitan dan kota besar, bentuk badan pengelola sebaiknya suku dinas
tersendiri dan selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk perusahaan Daerah.
Kota dan Kabupaten sebaiknya merupakan Dinas tersendiri, sedangkan kota
Administratif sebaiknya merupakan Suku Dinas Kebersihan atau unit pelayanan
teknis daerah (UPTD) dibawah Dinas Kebersihan atau Dinas Pekerjaan Umum
Kota.
Jumlah personil unit pengelola persampahan harus cukup memadai baik
kualitas maupun kuantitasnya sesuai dengan tugasnya. Dalam pengelolaan
persampahan masalah kemampuan manajemen dan teknik sangat diperlukan.
Tatalaksana institusi pengelolaan persampahan secara umum perlu
memperhatikan prinsip-prinsip dasar manajemen yang dapat menciptakan
interaksi positif antara unsur-unsur organisasi, sehingga dapat menghasilkan
kinerja pengelolaan menjadi lebih optimal baik dari administratif maupun teknis
operasional di lapangan.
Pengelolaan persampahan dalam kegiatannya sangat ditentukan oleh
peraturan yang mendukungnya. Peraturan tersebut melibatkan wewenang dan
tanggung jawab pengelolaan kebersihan dan pembayaran retribusi.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) kriteria Peraturan Daerah/peraturan
yang baik adalah sebagai berikut :
a. Sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku
dan yang berderajat lebih tinggi.
b. Harus sesuai dengan sistem pengelolaan yang akan ditetapkan.
c. Peraturan tersebut harus sesuai dengan karateristik yang diterapkan.
d. Jelas, tidak banyak mengandung arti/terukur.
e. Fleksibel, sehingga dapat memberikan pedoman yang luwes.
f. Mempunyai masa berlaku yang terbatas.
Memperhatikan permasalahan persampahan diperkotaan disini jelasnya
bahwa yang menangani persampahan perkotaan adalah Pemerintah Daerah
setempat, maka perlu diteliti bagaimana mekanisme kelembagaan dan dinas
pengelola dapat melaksanakan pelayanan dalam kondisi sarana dan prasarana
maupun dana yang ada.
Adapun pelaksanaan pelayanan dari kelembagan pemerintah dalam
menangnani persampahan kota adalah memberi pelayanan penyapuan jalan,
pengumpulan dan pengangkutan, daur ulang pembuangan akhir.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) jumlah kebutuhan tenaga operasional
memperhatikan :
a. Pengendalian.
b. Jumlah peralatan.
c. Rancangan operasional.
d. Keperluan tenaga penunjang.
e. Beban Penugasan.
Sementara menurut Haryoto (1998) jumlah personil institusi pengolahan
sampah perlu memperhatikan :
a. Rancangan operasional dan beban tugas.
b. Jumlah dan jenis peralatan/sarana pengumpulan
Untuk memudahkan perhitungan personil dapat dilakukan dengan pendekatan
setiap 1.000 jiwa penduduk dibutuhkan 2 orang petugas.
Bila kita melihat penanganan sampah di negara lain, maka akan terlihat bahwa
masalah sampah merupakan suatu hal yang harus ditangani secara serius dan
melibatkan banyak pihak (lintas sektoral). Di negara Jepang, manajemen
persampahan melibatkan 16 kementrian dan di Singapura melibatkan 14
departemen
2.5.2. Aspek Teknis
1. Teknis Operasional
Menurut Haryoto (1998) teknis operasional pengelolaan sampah
bersifat internal dan secara berantai dengan urutan sebagai berikut :
a. Pewadahan, kegiatan penampungan sampah secara individual atau
komunal.
b. Pengumpulan, kegiatan proses pengambilan sampah dari tempat-tempat
pewadahan sumber timbulan sampah ke TPS.
c. Pemindahan, kegiatan pemindahan sampah hasil pengumpulan ke dalam
truck pengangkutan atau kontainer.
d. Pengolahan, kegiatan penanganan sampah yang bertujuan unuk
mengurangi volume (reduction) sampah dengan mendaur ulang untuk
dimanfaatkan kembali (reuse) atau mengubah menjadi produk lain atau
energi (recyle) melalui proses pengomposan (composting), pembakaran
(inceneration), penghalusan dan pemadatan.
e. Pembuangan akhir, kegiatan proses pembuangan dan pemusnahan
sampah padat dari hasil kegiatan pengumpulan dan pengangkutan,
maupun hasil buangan dari kegiatan pengolahan sampah kesuatu
lokasi/lahan TPA.
Menurut Jacobsen dan Nurmandi (199) untuk mengevaluasi aspek
phisik yaitu sebagai berikut :
a) Masyarakat yang dilayani sistem pengumpulan.
b) Jumlah sampah kota yang dikumpulkan setiap hari.
c) Jumlah pekerja pengumpul.
d) Jumlah dan tipe fasilitasi pengumpul.
e) Efisiensi tenaga kerja yang diukur dalam masyarakat yang dapat
dilayani persatuan kerja dan jumlah pekerja per kendaraan.
f) Efisiensi kendaraan, yang diukur dalam masyarakat yang dilayani
perkendaraan dalam jumlah m3 per kendaraan/hari.
g) Jarak pengangkutan ke lokasi transfer dan TPA.
h) Tipe-tipe dan kapasitas TPA.
2. Syarat-syarat Peletakan.
Penempatan tempat penampungan sementara, kontainer dan tempat
pembuangan akhir menurut Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993)
harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
a) Area yang tersedia.
b) Dampak.
c) Jarak.
d) Kondisi tanah dan tofografinya.
e) Klimatologi daerah setempat.
f) Permukaan air tanah.
g) Geologi dan hidrologi.
h) Kondisi Lingkungan.
i) Kegunaan pokok.

2.5.3. Aspek Keuangan


Menurut Haryoto (1998) kebutuhan biaya yang berfungsi untuk
membiayai operasional persampahan kota di Indonesia yang dimulai dari
penyapuan jalan, pengumpulan,transfer dan pengangkutan, pengolahan sampah
dan pembuangan akhir, agar cukup memadai, minimal 5 sampai 10% dari APBD.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dalam teknis operasional pengolahan
sampah, biaya untuk kegiatan pengumpulan sampah dapat mencapai lebih kurang
40% dari total biaya operasional. Oleh karena besarnya biaya yang dibutuhkan
untuk pengelolaan sampah dan kebersihan sementara terbatas kemampuan
keuangan daerah perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan retribusi
pelayanan persampahan kebersihan yang dengan sendirinya dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara khusus serta dapat memberikan kontribusi
yang diharapkan cukup baik bagi kemampuan keuangan daerah secara umum.
Pemberdayaan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus lebih
ditingkatkan mengingat PAD adalah sumber yang sering dijadikan tolak ukur
kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah dan salah satu
sumber PAD yang dominan adalah retribusi daerah.
Menurut Davey (1988), retribusi adalah pungutan yang dibayar langsung
oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biasanya dimaksud untuk
menutup seluruh atau sebagai dari biaya pelayanan. Sementara menurut Soedargo
dan Wartini (2001), retribusi adalah suatu pungutan sebagai pembayaran untuk
jasa yang oleh negara secara langsung diberikan kepada yang berkepentingan.
Sedangkan menurut Munawir dan Wartini (2001), retribusi adalah iuran kepada
pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat
ditunjukan.
Salah satu cara untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah melihat
efisiensi dan efektivitas. Menurut Jones dan Pendlburg (1996), efisiensi pada
dasarnya adalah optimalisasi penggunaan sumber-sumber dalam upaya mencapai
tujuan organisasi tersebut, sedangkan efektivitas menunjukan pada keberhasilan
atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Sementara menurut Devas (1989),
efektivitas yaitu mengukur hubungan antara hasil pungut suatu pajak dan potensi
hasil pajak itu, dengan anggapan semua wajib pajak membayar pajak masing-
masing dan membayar seluruh pajak terhutang masing-masing juga.

2.5.4. Aspek Sosial


Bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila
tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat serta pada sikap mental, tekat dan
semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara serta seluruh rakyat Indonesia.
Dari rumusan di atas dapat ditarik pemikiran bahwa peran serta
masyarakat dalam pembangunan menyangkut kepada seluruh rakyat termasuk
para penyelenggara negara. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan saluran
hirarki di dalam masyarakat yang seharusnya ditempuh oleh penyelenggara
pembangunan.
Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa dalam usaha pembangunan, peran
serta seluruh masyarakat sangat diperlukan. Pembangunan tidak bisa dilaksanakan
tanpa peran serta masyarakat. Untuk dapat menerima peran serta masyarakat.
Memahami pengertian peran serta, dapat dikemukakan pendapat-pendapat para
ahli sebagai berikut :
Alport dan Sastropoetro (1998) menyatakan, the person who participates
is ego-involved instead of merely task involved. Maksudnya bahwa seseorang
yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya egonya yang
sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan
keterlibatan dirinya, berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.
Davis (1962) dan Armen (1987) memberikan definisinya sebagai berikut :
Participation can be defined as mental and emotional involvement of a
person in group situation which encourages him to contribute to group goals and
share responsibility in them. Pendapat tersebut di atas dapat diterjemahkan
sebagai berikut :
Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan
emosi perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta
turut serta bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.
Ada tiga unsur penting yang dimaksud Davis (1962) dalam Armen (1987)
dalam peran serta yang memerlukan perhatian khusus, yaitu :
a. Bahwa peran serta, sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan
perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan mental dan
perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara
jasmaniah.
b. Unsur tanggung jawab. Unsur ini merupakan segi yang menonjol dari rasa
menjadi anggota.
c. Kesediaan memberikan suatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan
kelompok, ini berarti, bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk
membantu kelompok.
Sehubungan dengan masalah di atas, dalam pelaksanaannya serta peran
serta tersebut dapat berupa : pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, barang dan
berupa uang. Santosa dan Iskandar dan Sastropoetro (1986) mengemukakan, ada
enam elemen untuk terwujudnya peran serta masyarakat yaitu :
a. Rasa senasib sepenanggungan.
b. Keterlibatan terhadap tujuan hidup.
c. Kemahiran untuk menyesuaikan dengan perubahan keaadaan.
d. Adanya prakarsawan.
e. Iklim partisipasi dan.
f. Adanya pembangunan itu sendiri.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan.
Sastropoetro (1986) mengemukakan sepuluh alasan tentang pentingnya peran
serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu :
a. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dapat dicapai.
b. Dengan partisipasi memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta,
karena menyangkut harga dirinya.
c. Dengan partisipasi pelayanan dapat diberikan dengan biaya yang murah.
d. Partisipasi mendorong timbulnya rasa tanggung jawab.
e. Partisipasi nerupakan katalisator untuk pembangunan selanjutnya.
f. Partisipasi menjamin, bahwa suatu kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat
telah dilibatkan.
g. Partisipasi menjamin, bahwa pekerjaan dilaksanakan dengan arah yang benar.
h. Partisipasi menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan yang
terdapat di dalam masyarakat, sehingga terjadinya perpaduan berbagai
keahlian.
i. Partisipasi membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang
lain.
j. Partisipasi lebih menyadarkan menusia terhadap penyebab dari kemiskinan,
sehingga menimbulkan kesadaran terhadap usaha untuk mengatasinya.
Perlu juga dikemukakan, bahwa ada lima unsur penting yang turut
menentukan peran serta masyarakat :
a. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif.
b. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian
yang menumbuhkan kesadaran.
c. Kesadaran yang didasarkan kepada perhitungan dan pertimbangan.
d. Antusiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan
sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain.
e. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.
2.6. Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Sampah
Adanya peran serta masyarakat yang baik akan memudahkan pelaksanaan
operasional di lapangan dan bahkan dapat menurunkan biaya pengelolaan.
Dengan demikian maka diperlukan suatu program untuk meningkatkannya secara
terpadu, teratur dan terus menerus serta dapat bekerja sama dengan organisasi
yang terdapat dalam masyarakat.
Pola pendekatan peran serta masyarakat untuk kota-kota kecil dimana
struktur masyarakatnya lebih homogen dan sederhana atau daerah yang
berpenghasilan rendah adalah melalui pendekatan terhadap tokoh masyarakatnya
sedangkan untuk kota metropolitan dan kota-kota besar lainnya dimana struktur
masyarakatnya lebih heterogen dan kompleks atau daerah-daerah yang
berpenghasilan menengah ke atas dan tempat-tempat umum, pendekatannya
adalah melalui pendekatan institusional dan kelembagaan yang ada seperti
LKMD, RW, dan RT.
Tinjauan terhadap peranan masyarakat terhadap penanganan sampah kota
menjadi penting karena penyebab dari adanya masalah adalah karena masyarakat
itu sendiri dapat diatur kondisi pengelolaan sampah pada kawasan-kawasan
kumuh yang tidak dapat dijangkau oleh pelayanan DPKP. Secara komunal
pengumpulan sampah-sampah dari rumah-rumah ke TPS akan lebih praktis
dibandingkan dengan pola individual.
Manusia bersama dengan lingkungan hidupnya berada dalam suatu
ekosistem. Kedudukan manusia didalam kesatuan ekosistem adalah sebagai
bagian bersama unsur-unsur lain yang tidak mungkin dipisahkan, karena itu
kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Agar
kelestarian ekosistem itu dapat terjamin, maka manusia harus menjaga keserasian
hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, apabila terganggu
maka akan terganggu pula kesejahteraan manusia tersebut.
Tingkah laku selalu mempengaruhi keharmonisan dan keseimbangan
lingkungannya, karena itu pula manusia akan berusaha meningkatkan kualitas
lingkungan hidupnya itu. Manusia berkeyakinan semakin tinggi kualitas
lingkungannya maka semakin banyak pula manusia dapat mengambil keuntungan
dan semakin besar pula daya dukung hidupnya. Hal ini senada dengan pendapat
Resosoedarmo, Kartawinata dan Soegiarto (1987), bahwa manusia mempengaruhi
lingkungan hidupnya dan juga mengusahakan sumberdaya alam lingkungannya
demi hidupnya.
Menurut Soemarwoto (1987), dengan lingkungan yang baik dapat
ditingkatkan mutu kehidupan, sehingga membuat setiap orang kerasan tinggal di
dalam lingkungannya. Kebersihan dan keindahan adalah keadaan yang sesuai
dengan tata lingkungan untuk memenuhi harapan dalam menghasilkan sebuah
kota yang berkembang secara dinamis dalam mewujudkan keseimbangan antara
alam dan manusia. Oleh karena itu kota bersih dan indah merupakan kebutuhan
bagi masyarakat, maka selayaknya warga masyarakat kota bersama-sama dengan
pemerintah daerah bertanggung jawab menjaga dan memelihara serta
menyelenggarakan kebersihan dan keindahan kota.
Masyarakat diharapkan ikut serta, karena hasil pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk
kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan pendapat Tjokroamidjojo
(1997) dan Panuju (1999), bahwa keterlibatan masyarakat secara aktif dapat lebih
terlaksana apabila pembangunan itu sendiri berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Menurut Santono dan Iskandar (1984), peran serta masyarakat
diharapkan dalam menyertai pemerintah dalam memberikan bantuan guna
meningkatkan, memperlancar, mempercepat dan menjamin kebersihan usaha
pembangunan.
Agar lingkungan hidup yang teratur, indah serta nyaman dapat
diwujudkan, maka diperlukan suatu pengaturan, pengaturan kebersihan
merupakan hal yang sangat luas yaitu berupa segala tindakan untuk menuju
terciptanya lingkungan yang serasi dan warga yang tinggal di dalamnya tetap
sehat serta merasa nyaman.
Hubungan antara aspek-aspek manajemen pengelolaan persampahan
disajikan pada gambar 2.4.
Management
dan
Organisasi

Pembiayaan Teknis
dan Retribusi opersional

Persampahan

Managemen
dan
Managemen Organisasi
dan
Organisasi

Sumber : Ditjen Cipta Karya (1991)


Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan

2.7. Organisasi
Menurut Siagian dan Indrawijaya (1986) organisasi adalah setiap bentuk
persekutuan antar dua orang atau lebih yang bekerjasama serta secara formal
terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dalam ikatan
terdapat seorang.beberapa orang yang disebut bawahan. Selanjutnya Atmosudirjo
dan Indrawijaya (1986) mengemukakan organisasi adalah struktur tata pembagian
kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi
yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan
tertentu.
Organisasi itu sendiri dapat hidup karena adanya, manusia yang
menggerakannya. Manusia yang menggerakan organisasi adalah orang-orang
sebagai partisipan aktor dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu perilaku suatu
organisasi banyak dipengaruhi oleh perilaku para pesertanya atau aktornya.
Perilaku yang berkaitan dengan disiplin, inisiatif, wewenang dan tanggung
jawab akan mencerminkan apakah organisasi berjalan dengan efisien dan efektif
atau tidak. Efektifitas dan efisiensi tersebut pada akhirnya akan menentukan
performance (kinerja) organisasi tersebut. Dengan perkataan lain, secara umum
efektivitas dan efisiensi merupakan instrument (waditra) untuk mengukur kinerja
suatu organisasi.
Menurut Prawirosentono (199) efektivitas dari usaha kerja sama (antar
individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan
dalam suatu sistem itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerja sama dalam
suatu sistem (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang
dipilih masing-masing individu. Efisiensi organisasi mempersoalkan hubungan
antara input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Meningkatkan rasio
output terhadap input merupakan indikasi dari meningkatnya efisiensi organisasi.
Untuk mengukur apakah tujuan organisasi tercapai atau tidak digunakan
kriteria yakni efektivitas dan efisiensi. Dalam organisasi yang baik wewenang dan
tanggung jawab telah disebar dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas.
Masing-masing peserta organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan
tanggung jawab dalam kerangka organisasi mencapai tujuannya.
2.8. Pengertian Aset
Aset dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai. Aset
adalah sesuatu yang bernilai. Sesuatu apapun namanya dan bagaimanapun
bentuknya, baik yang sifatnya nyata (tangible) ataupun yang sifatnya tidak nyata
(intangible) yang merefleksikan nilai dapat dikelompokkan sebagai aset (Barata,
1995). Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan diuraikan tentang definisi aset,
yaitu :
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk
sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah
dan budaya.
Siregar (2000) secara umum menjelaskan bahwa pengertian aset secara
umum adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai
ekonomi (economic value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh
badan usaha, instansi atau individu.
Di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta aset dikenal dengan
istilah Barang Daerah. Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Nomor 152 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Daerah yakni semua aset daerah yang menjadi kekayaan Pemerintah
Daerah, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, yang berwujud, yang bergerak
maupun tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun merupakan satuan
tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk hewan dan
tumbuh-tumbuhan.
Dari pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa aset merupakan
sesuatu yang memiliki nilai (valuable thing), namun ditinjau dari wujudnya aset
dapat dibagi menjadi aset yang tangible (ada bentuk fisik misalnya ; tanah,
bangunan, dan sebagainya) dan intangible (non fisik, misal ; hak cipta, hak paten,
dan sejenisnya) yang pada dasarnya dapat dimiliki oleh individu atau kelompok.
Aset tersebut di atas, memiliki potensi yang apabila dimanfaatkan secara
optimal akan memberikan keuntungan baik dalam bentuk profit maupun benefit
bagi pemiliknya. Karena itu aset perlu dikelola agar efektifitas pemanfaatannya
dapat menunjang tercapainya tujuan individu maupun organisasi yang
memilikinya. Siregar (2004:519) menjelaskan Optimalisasi aset merupakan
proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi
fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki aset tersebut.
Dalam buku, Implementasi Manajemen Aset (1995), Barata mengatakan :
Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi untuk
memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan
operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi
pemerintah.
Potensi aset tersebut akan mempunyai kontribusi bila dalam
pemanfaatannya dilakukan secara optimal sesuai dengan visi dan misi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah tanpa mengesampingkan aspek yang tak kalah
pentingnya, yaitu kebutuhan warga kota selaku penggunanya (users).
Bagi organisasi (pemerintah/swasta) untuk mengoptimalkan aset sesuai
potensinya, maka dalam operasional pemanfaatan aset sebagai fasilitas diperlukan
manajemen fasilitas (facilities management). Manajemen fasilitas diperlukan agar
dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Amaratunga (Shahabudin, 2006:97) yang menyatakan
Facilities management is an umbrella term under a wide range of property an
user related function may be brought together for benefit of the organization as a
whole as well its employees.
Penggunaan aset yang ideal harus dilihat dari dua sisi (Barata, 2007) :
1). Pengadaan/penyediaan aset sebagai fasilitas pendukung untuk menyediakan
atau melayani organisasi dimana dampaknya menuju ke arah peningkatan
keseluruhan performa/kinerja dari pemerintah pusat/daerah.
2). Kemanfaatan aset yang terkait dengan keputusan, berupa ya
atautidaknya kebijakan manajemen aset ini sudah efektif, efisien dan
mencapai penggunaan yang terbaik dan paling tinggi yang notabene
merupakan prinsip dari kepemilikan aset.
Dalam penelitian ini, maka konteks aset diwujudkan dalam bentuk aset
sebagai sarana atau fasilitas pelayanan kebersihan, terutama dalam bidang
pengolahan sampah yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan di bidang kebersihan (asset service) yang diharapkan juga dapat
mendatangkan berbagai manfaat (benefit) maupun keuntungan (profit) bagi para
pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kegiatan pelayanan terjadi interaksi antara
pemberi pelayanan dan yang diberi pelayanan. Dalam konteks asset service
sasaran pelayanan TPA adalah masyarakat sebagai pelanggan (customer) atau
pengguna jasa. TPA merupakan aset atau fasilitas perkotaan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa untuk memperoleh layanan
kebersihan/persampahan.
Hak dan kewajiban masing-masing pemerintah daerah
Hak pihak pertama (DKI Jakarta)
1. Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan TPA
2. Membuang sampah yang berasal dari DKI Jakarta ke TPA Bantargebang
3. Melakukan komitmen sharing pembiayaan berdasarkan prosentase
Kewajiban
1. Membuat Site Plan penataan TPA
2. Memelihara IPAL
3. Melakukan pemeriksaan terhadap leachate/lindi setiap 3 bulan untuk
memantau tingkat pencemaran
4. Memelihara jalan masuk menuju TPA
5. Melakukan pengobatan massal setiap 2 bulan
6. Melakukan penyemprotan lalat setiap bulan
7. Melakukan pemeriksaan sampel air bersih setiap 2 bulan
8. Memelihara sarana air bersih dan menambah cakupan layanan untuk
perkampungan di sekitar TPA
Hak pihak kedua (Kota Bekasi)
1. Melaksanakan pengelolaan TPA Bantargebang
2. Memperoleh kontribusi dari pemasukan sampah ke TPA
Kewajiban
1. Memelihara drainase di sekitar TPA
2. Memelihara PJU di lokasi TPA dan sepanjang jalan masuk
3. Melakukan koordinasi dengan Pemkab dan Pemdes setempat.

2.9. Strategi
Konsep strategi pada awalnya adalah suatu tindakan perencanaan dan
keputusan yang dilakukan oleh para petinggi militer dalam upaya memenangkan
pertempuran yang didasarkan pada pemahaman terhadap kondisi eksternal dan
internal. Mintzberg (1992) mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya
konsep strategi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan juga
menjadi alat untuk menciptakan keunggulan dalam persaingan, dan juga menjadi
tindakan dinamis untuk memberi respon terhadap kekuatan internal dan eksternal.
Strategi merupakan pola tindakan utama yang dipilih untuk mewujudkan
visi dan misi organisasi. Strategi adalah sebuah rencana yang disatukan, luas dan
terintegrasi yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi (Glueck dan Jauch,
1992). Mintzberg (1992) memberikan pandangannya mengenai strategi sebagai
rencana, pola, posisi, dan perspektif.
a. Strategi sebagai rencana, berhubungan dengan bagaimana para pimpinan
mencoba untuk mengarahkan organisasi dalam situasi masa yang akan
datang.
b. Strategi sebagai pola, memfokuskan pada aksi/tindakan, juga mendorong
pemusatan tindakan dan pencapaian konsistensi perilaku organisasi.
c. Strategi sebagai posisi, mendorong kita untuk melihat organisasi dalam
lingkungan persaingannya, bagaimana mereka menentukan posisi dan
bertahan dalam persaingan, menghadapi atau menghindar.
d. Strategi sebagai perspektif, meningkatkan pertanyaan mengenai intensi dan
perilaku dalam konteks kolektif. Bagaimana intensi menyebar ke seluruh
anggota organisasi menjadi norma dan nilai yang disepakati bersama.
Strategi merupakan penggabungan pola berpikir strategis dengan fungsi-
fungsi manajemen yaitu : perencanaan (planning), penerapan (implementing), dan
pengawasan (evaluating). Strategi digunakan untuk mengarahkan sumber daya
organisasi untuk mencapai sasaran. Strategi mencerminkan kesadaran organisasi
dengan bagaimana, kapan dan dimana sebaiknya berkompetisi, dengan siapa
berkompetisi dan maksud kompetisi. Rangkuti (2006) membedakan strategi
kedalam tiga kelompok, yaitu : strategi manajemen, strategi investasi dan strategi
bisnis.
Perencanaan strategis merupakan bagian dari kegiatan penyusunan konsep
strategi. Yogi (2007) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perencanaan
strategis adalah perencanaan yang didasarkan pada pengamatan keadaan eksternal
(peluang dan ancaman) serta keadaan internal (kekuatan dan kelemahan).
Sementara Rangkuti (2006) mengatakan bahwa tujuan dari dilakukannya
perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara objektif
kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi
perubahan lingkungan eksternal.
Perencanaan strategis juga bermanfaat untuk memperoleh keunggulan
bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan
dukungan yang optimal dari sumber daya yang ada. Perencanaan strategis
didasarkan pada keadaan sekarang, berbeda dengan perencanaan jangka panjang
yang didasarkan pada ramalan keadaan yang akan datang. Kelemahan kegiatan
perencanaan biasanya disebabkan oleh sifatnya yang sangat teoritis.

2.10. Formulasi Strategi dengan Analisis SWOT


Analisis SWOT atau Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats
adalah identifikasi secara sistematis dari berbagai faktor untuk memformulasikan
strategi yang berkaitan dengan visi, misi dan rencana strategis dan keputusan
organisasi (Rangkuti, 2003). Hal yang harus dilakukan oleh organisasi tersebut
adalah menganalisis faktor-faktor strategis pada kondisi lingkungan organisasi
saat ini, baik lingkungan internal yaitu Strength (kekuatan) dan Weaknesses
(kelemahan), maupun lingkungan eksternal yaitu Opportunities (peluang) dan
Threaths (ancaman). Analisis SWOT adalah membandingkan antara faktor
internal dengan faktor eksternal. Pemanfaatan SWOT dalam menyusun strategi
manajemen akan dapat memudahkan penyajian hasil telaahan untuk memperoleh
keputusan dari para pengambil keputusan untuk pemilihan alternatif sebagai suatu
strategi manajemen.
Lingkungan internal merupakan analisis ke dalam organisasi guna menilai
atau mengindentifikasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesses) dari
setiap bagian organisasi. Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apa yang
kami punya atau apa yang seharusnya dilakukan untuk membuat kami berbeda
Faktor-faktor yang kekuatan yang dimiliki oleh suatu organisasi karena
mempunyai kompetensi spesifik sehingga memiliki keunggulan dibandingkan
dengan organisasi lain. Keunggulan dapat diidentifikasi sebagai keunggulan
sumber daya (keuangan, manusia dan teknologi) dan keunggulan komparatif
(pelayanan, citra, hubungan interaksional dan keunggulan bersaing). Sedangkan
faktor-faktor kelemahan yang dimiliki organisasi adalah keterbatasan atau
kekurangan baik berupa sumberdaya maupun keterbatasan komparatif.
Lingkungan eksternal adalah suatu kekuatan di luar organisasi di mana
organisasi tidak mempunyai pengaruh terhadapnya (uncontrollable) sehingga
perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal akan mempengaruhi kinerja
semua organisasi dalam industri tersebut. Analisis lingkungan eksternal organisasi
dilakukan dengan menggali dan mengidentifikasi segala ancaman (threat) dari
pesaing dan calon pesaing serta peluang (opportunity) yang berkembang dan
menjadi trend pada saat itu. Faktor peluang adalah faktor yang berkaitan dengan
situasi lingkungan yang menguntungkan bagi kegiatan (bisnis). faktor ancaman
merupakan faktor lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kegiatan (bisnis),
sehingga organisasi perlu mengatasi setiap ancaman.
III. METODE KAJIAN

3.1. Kerangka Pemikiran


Sebagai sebuah kota besar yang juga berfungsi sebagai Ibukota Negara dan
berbagai pusat kegiatan lainnya Jakarta sudah seharusnya menyediakan segala
sarana dan prasana (fasilitas) bagi para penghuninya termasuk di antaranya sarana
pembuangan sampah. Saat ini Jakarta hanya mempunyai satu Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang ada di Bantargebang Bekasi Jawa Barat.
TPA yang mempunyai luas lokasi 108 ha ini mulai dioperasikan pada bulan
Agustus 1989 dan direncanakan untuk menampung sampah dari belahan Timur
Jakarta dengan menggunakan metode sanitary landfill, namun kenyataannya TPA
ini digunakan untuk menampung sampah dari seluruh wilayah DKI Jakarta
sehingga setiap harinya menerima sampah melebihi kapasitas daya tampung
hariannya dengan pengelolaan yang lebih bersifat open dumping.
TPA Bantargebang yang merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya tidak hanya memberikan manfaat
(benefit) sebagai tempat pembuangan akhir sampah, akan tetapi juga memberikan
nilai tambah (added value) bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemilik
aset dan pihak-pihak lain (stakeholders) yang terlibat dalam pengelolaan TPA
tersebut. Namun kenyataannya, TPA Bantargebang lebih banyak menimbulkan
dampak negatif terutama terhadap lingkungan seperti pencemaran air, tanah dan
udara. Belum banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan sampah di
TPA Bantargebang ini bila dibandingkan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat
dalam mengoptimalkan pengelolaan aset TPA Bantargebang guna memberikan
manfaat dan keuntungan yang lebih besar lagi.
Untuk dapat menentukan strategi yang akan digunakan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, dilakukan analisis lingkungan strategis yang ada di sekitar
baik secara internal maupun eksternal (analisis SWOT). Dengan memperhatikan
hasil-hasil penelitian terdahulu dan rencana awal pendirian TPA Bantargebang,
maka akan didapatkan beberapa skenario atau strategi yang dapat dipakai dalam
pengelolaan aset TPA Bantargebang.
Kerangka pemikiran pengelolaan TPA Bantargebang dapat digambarkan
dalam gambar 3.1 sebagai berikut:

PERMASALAHAN DKI:
1. Produksi dan konsumsi barang &
jasa meningkat
2. Produksi sampah meningkat
3. Lokasi pembuangan terbatas

Kerja sama dengan Pemkab Bekasi


dalam pengelolaan sampah:

TPA Bantargebang sebagai


tempat pembuangan
sampah DKI

MASALAH
1. Lingkungan
2. Kesehatan
3. infrastruktur

STRATEGI
PENGELOLAAN SAMPAH

Kinerja Pengelolaan
Sampah

Analisis Faktor Strategi Pengelolaan Analisis Faktor


Internal Sampah (Metode SWOT) Eksternal

Pengelolaan Sampah Lebih Efektif & Efisien


Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

3.2. Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan keseluruhan rancangan proses yang diperlukan
dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian, sehingga pertanyaan-pertanyaan
penelitian dapat dijawab (Hasan, 2002). Dalam penelitian ini digunakan
pendekatan kualitatif.
Berdasarkan cara pengumpulan informasi, maka penelitian ini termasuk
kedalam penelitian deskriptif analitik. Tipe yang paling umum dari penelitian
deskriptif meliputi penilaian sikap atau pendapat terhadap individu, organisasi,
keadaan ataupun suatu prosedur (Kuncoro, 2003). Penelitian ini merupakan
penilaian terhadap organisasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang,
dengan menggunakan pendapat para pakar yang memahami masalah persampahan
dan pengelolaan TPA untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan
keputusan. Dilihat dari tujuannya, penelitian ini termasuk dalam kategori
penelitian terapan dan juga penelitian evaluasi. Penelitian terapan merupakan
penelitian yang menyangkut aplikasi teori untuk memecahkan permasalahan
tertentu, termasuk didalamnya adalah penelitian evaluasi yaitu penelitian yang
diharapkan dapat memberikan masukan atau mendukung pengambilan keputusan
tentang nilai relatif dari dua atau lebih alternatif tindakan.

3.3. Jenis dan Sumber Data


3.3.1. Data Primer
Data Primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, dari
individu, seperti hasil wawancara atau hasil diskusi dilapangan yang biasa
dilakukan peneliti. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang
diperoleh melalui hasil wawancara, hasil survai lapangan dan penyebaran
kuesioner terhadap beberapa orang yang dianggap pakar dalam masalah
pengelolaan sampah dan TPA.

3.3.2. Data Sekunder


Data sekunder merupakan jenis data yang ada kaitannya dengan masalah
yang diteliti. Data ini diperoleh melalui dokumen yang dimiliki oleh pihak
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Biro
KAKDA DKI Jakarta dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, maupun yang
bersumber dari berbagai literatur (referensi), laporan, tulisan, dan lain-lain yang
memiliki relevansi dengan topik atau permasalahan penelitian. Distribusi
responden secara rinci tersaji dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Distribusi Responden Kajian

No Kelompok Jenis Responden Jumlah


1. Masyarakat Desa Ciketing Udik 5 orang
Desa Cikiwul 5 orang
Desa Cikiwul Sumur Batu 5 orang
2. Pemulung Di Zone I, II, III 10 orang
3. Pemerintah Daerah/pakar Dinas Kebersihan DKI Jakarta 5 orang
Biro KAKDA DKI 2 orang
Dinas Kebersihan dan lingkungan 2 orang
Kota Bekasi
Kepala Unit TPA Bantargenbang 2 orang

3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data


Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis SWOT dan QSPM. Tujuan kajian, jenis data yang diperlukan,
sumber data dan metode analisis yang digunakan disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Metode Analisis

No. Tujuan Jenis Data dan Informasi Sumber Metode Analisis


1. Evaluasi kinerja Unit TPA Bantargebang Sekunder Analisis Tabulasi
pengelolaan
sampah
2. Perumusan Faktor pengendali Primer Analisis SWOT,
strategi internal QSPM
pengelolaan TPA Faktor pengendali
sampah eksternal
bantergabang

3.4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi atas
empat metode, yaitu :
1. Wawancara, dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam kepada nara
sumber yang dianggap pakar dalam masalah pengelolaan sampah kota.
2. Kuesioner, dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada beberapa
responden yang dianggap pakar dalam pengelolaan sampah dan TPA,
menggunakan pertanyaan yang bersifat tertutup dengan pilihan jawaban yang
sudah tersedia. Pertanyaan disusun dalam bentuk komparasi berpasangan.
3. Penelitian lapangan, dilakukan dengan observasi langsung pada objek
penelitian yaitu lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang.
4. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
membaca, mengutip baik secara langsung maupun tidak langsung dari
bukubuku, literatur-literatur yang bersifat ilmiah dan berhubungan langsung
dengan topik yang diteliti maupun referensi data dari objek yang diteliti.

3.5. Pemilihan Responden


Responden yang dipilih adalah pihak-pihak yang dianggap pakar dalam
pengelolaan sampah. Pengertian pakar disini adalah pihak-pihak yang mengerti
benar tentang pengelolaan sampah. Dengan perkataan lain, pemilihan responden
dalam penelitian ini dilakukan secara purposive.
Responden adalah wakil dari tiap-tiap stakeholder yang terkait langsung
dengan pengelolaan sampah di Kota Jakarta, yaitu pemerintah, pakar dan
masyarakat, dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pemerintah
a. Ir. Iwan Hendri Wardana, Kepala Seksi Penyusunan Program pada Dinas
Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.
b. Kosasih, Pejabat pada Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
c. Ir. Nunu K, Kepala Bagian Sub Dinas Kebersihan Dinas Kebersihan DKI
Jakarta.
2) Masyarakat
a. Masyarakat peduli lingkungan di Desa Ciketing Udik.
b. Masyarakat peduli lingkungan di Desa Cikiwul.
c. Masyarakat peduli lingkungan di Desa Cikiwul Sumur Batu.

3.6. Metode Analisis Data


3.6.1. Evaluasi kinerja
Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang mendesak di kota-
kota di Indonesia, sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik akan
mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan dan berbagai
dampak negatif lainnya. Penanganan sampah yang menjadi andalan kota-kota
adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Ada beberapa pengukuran indikator dalam pengelolaan sampah di TPA


Bantargebang antara lain masih belum terlaksananya SOP Sanitary Landill, aspek
kelembagaannya, aspek teknisnya, aspek keuangannya, penerapan teknologinya
serta peran serta masyarakatnya dalam pengelolaan sampah. Dalam pengelolaan
TPA Bantargebang pada awal pengoperasiannya tahun 1989 menggunakan
teknologi sanitary landfill dalam perjalanan waktu dalam operasionalnya tidak
menerapkan teknologi yang telah ditentukan yang seharusnya melalui tahapan
antara lain penimbangan, pembongkaran sampah, penyebaran sampah, pemadatan
sampah, penutupan sampah (daily cover, intermediate cover, final cover),
pengolahan air sampah (IPAS), pemasangan ventilasi gas, penghijauan,
pengendalian dampak lingkungan, penyemprotan lalat (pest control),
pemeliharaan dan perawatan (kantor/gedung, pos dan jembatan timbang, jalan
operasional serta drainase/saluran, penerangan jalan umum, dan pagar).

Aspek kelembagaannya institusi/lembaga dalam sistem pengumpulan dan


pengangkutan sampah perlu adanya bentuk badan pengelola sebaiknya suku dinas
tersendiri yang terpisah dari Dinas Kebersihan sehingga dapat bekerja secara
optimal dan lebih fokus dan selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk
perusahaan daerah serta mempunyai wewenang dan tanggungjawab yang jelas dan
dilengkapi fasilitas yang memadai.

Aspek Teknis belum berjalan baik masyarakat yang dilayani dalam sistem
pengumpulan, jumlah sampah kota yang dikumpulkan setiap hari, efisiensi
kendaraan, yang diukur dalam masyarakat yang dilayani per kendaraan dalam
jumlah m3 per kendaraan per hari serta jarak pengangkutan ke lokasi yang terlalu
jauh dari TPS-TPS yang ada di DKI Jakarta menuju TPA Bantargebang sebagai
pembuangan Akhir sampah, oleh karena itu Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk
lebih mempriotaskan mobilisasi pengangkutan.

Aspek keuangan masih dibutuhkannya pembiayaan untuk pengelolaan


sampah yang sangat besar sementara terbatas kemampuan keuangan pemerintah
daerah perlu adanya mengoptimalkan pengelolaan retribusi pelayanan
persampahan dengan sendirinya akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang dapat memberikan kontribusi yang diharapkan bagi
kemampuan keuangan daerah secara umum. Perlu peran serta masyarakatnya
dalam pengelolaan sampah karena selama ini pola pendekatan kepada masyarakat
masih kurang optimal terutama dalam program-program yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dimana tidak ada keterlibatan masyarakat dalam penentuan
program-program yang terkait dengan pengelolaan sampah, dalam hal ini perlu
melihat dari struktur masyarakatnya yang heterogen dan kompleks dengan
pendekatan melalui pendekatan institusional dan kelembagaan yang ada seperti
LKMD, RW dan RT.Masyarakat diharapkan ikut serta, kerena hasil pembangunan
yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah
untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

3.6.2. Perumusan Strategi SWOT


Untuk merumuskan kebijakan dalam pengelolaan TPA Bantargebang,
dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Penggunaan matriks SWOT
dilakukan untuk memformulasikan atau mengembangkan berbagai pilihan strategi
untuk pengelolaan TPA. Tahapan teknik analisis data dalam penelitian ini dengan
pengolahan
Identifikasi masalah dalam pengelolaan TPA Bantargebang, menggunakan
analisis faktor lingkungan internal dan eksternal terhadap TPA Bantargebang,
dilakukan melalui pengamatan serta wawancara mendalam dengan para pakar,
kemudian diperkuat dengan mempelajari beberapa referensi yang berkaitan
dengan pengelolaan TPA. Data diolah dengan menggunakan matrik SWOT dalam
pengelolaan TPA, sehingga diperoleh empat skenario strategi pengelolaan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, yaitu:
1. Skenario Strategi Strength-Opportunity (SO) adalah penggabungan atau
pencocokan antara faktor internal (kekuatan) dengan faktor eksternal
(peluang) dengan cara menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
dengan alternatif strategi, antara lain peningkatan anggaran dan perbaikan
teknologi, optimalkan komitmen DKI, Optimalkan sarana transportasi,
optimalkan bisinis daur ulang.
2. Skenario Strategi Weakness-Opportunity (WO) adalah penggabungan atau
pencocokan antara faktor internal (kelemahan) dengan faktor eksternal
(peluang) dengan cara meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan
peluang, antara lain Tingkatkan sarana prasarana, penguatan kelembagaan.
3. Skenario Strategi Strength-Threats (ST) penggabungan atau pencocokan
antara faktor internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan
cara menggunakan kekuatan untuk mengatasi acaman, antara lain optimalkan
SDM, optimalkan komitmen pemprov DKI Jakarta untuk mewujudkan tata
ruang.
4. Skenario Strategi Weakness-Threats (WT) adalah merupakan pencocokan atau
kombinasi antara faktor internal (kelemahan) dengan faktor eksternal
(ancaman) dengan cara meminimalkan kelemahan untuk menghindari
ancaman antara lain memperlancar sarana pengangkutan sampah, Optimalkan
sosialisasi untuk mengurangi konflik di sekitar TPA dan penguatan
kelembagaan.
IV. GAMBARAN WILAYAH

4.1 Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang


Kawasan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Bantargebang, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Terletak 13 Km sebelah
Selatan Kota bekasi atau berkisar 2 km dari jalan raya Bekasi-Bogor.
TPA Bantargebang menempati lahan seluas Kurang Lebih 108 Ha yang
tersebar di wilayah tiga desa, yakni:
1. Desa Ciketing Udik ( Bagian selatan lahan ) dengan Luas Total 343.340 ha,
2. Desa Cikiwul ( Bagian barat dan utara lahan ) dengan luas total 343.700 ha,
3. Desa Cikiwul Sumur batu ( Bagian Timur dan utara lahan ), dengan luas
total 68.955 ha
Tata guna lahan lokasi TPA Bantargebang pada awalnya merupakan areal
perumahan yang terpisah, tanah garapan/persawahan, jalan-jalan kecil,
perkuburan, ladang-ladang tanaman serta daerah genangan air.

4.1.1. Kondisi Klimatologi


Kecamatan Bantargebang terletak di daerah tropis yang mengalami musim
hujan dan musim kemarau dengan jumlah bulan yang bervariasi setiap tahun.
Kecamatan ini mempunyai pola curah hujan yang mendekati Kota Jakarta, karena
jarak keduanya yang relatif cukup dekat. Berdasarkan data curah hujan, maka
pada kecamatan bantargebang akan terdapat:
1. Empat bulan musim kering, yaitu Juni sampai dengan September,
2. Empat bulan normal, yaitu bulan Oktober, November, April dan Mei,
3. Empat bulan musim basah, yaitu bulan Desember, Januari sampai dengan
Maret.
Kondisi iklim, kecamatan bantargebang, seperti juga pola curah hujannya,
dianggap memiliki kesamaan dengan Kota Jakarta. Tekanan barometer
mempunyai nilai rata-rata 1.012,5 mmHg. Angin sebagian bertiup dari arah timur
dan barat laut, dimana bulan Desember, Januari sampai dengan Maret mempunyai
arah dari barat laut, bulan April sampai dengan Agustus arah angin dari timur dan
September sampai dengan November dari arah utara. Kelembaban mempunyai
variasi rata-rata bulanan antara 60 % sampai dengan 80 % dengan kelembaban
rata-rata tiap tahun sebesar 70 %.
Karateristik temperatur mempunyai variasi rata-rata bulanan yang relatif
kecil, yaitu berkisar antara 24o C sampai dengan 33o C. Nilai rata-rata temperatur
yang terjadi dalam satu tahun adalah 27,1o C.

4.1.2. Kondisi Geologi dan Hidrologi


Berdasarkan metode USDA (United State Depertemen of Agriculture),
Tanah di lokasi lahan ini terdapat bebrapa jenis yaitu :
a) Lempung kelanauan (silty clays)
b) Lanau kelempungan (clayey silts)
c) Lanau kelanauan (silty sands)
Pada kedalaman 10 mt (bagian barat lahan) atau kedalaman 15 mt
(bagian timur lahan) terdapat suatu lapisan keras atau lapisan lempung padat.
Perbedaan kedalaman ini menunjukan terjadinya proses perusakan alamiah yang
berlangsung lebih cepat di bagian lahan sebelah timur. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya penggalian tanah yang tidak merata. Sedangkan berdasarkan beberapa
test yang dilakukan untuk mengetahui ketanahan tanah, dapat disimpulkan bahwa
kondisi tanah cukup baik sebagai dasar pondasi.

4.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan


Tata guna lahan daerah berupa area perumahan yang terpisah, bidang
persawahan, jalan-jalan kecil, perkuburan, juga ladang-ladang tanaman serta tanah
terbuka bekas penggalian dan secara keseluruhan seperti tertera pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Luas Wilayah dan Peruntukan Ruang Desa Cikiwul, Ciketing
Udik dan Sumur Batu.

Tata Guna Lahan Cikiwul (Ha) Ciketing (Ha) Sumur Batu (Ha)
a. Luas areal desa 343,340 343,700 68,955
b. Luas areal desa
menurut
pemanfaatan 88,110 175,340 35,000
- perumahan 2,000 91,450 16,245
- sawah 12,849 25,000 3,000
- kuburan 12,849 1,200 2,585
- tegalan 0,600 14,677 1,372
- pengangonan 0,541 1,381 1,732
- wakaf 2,560 2,472 1,500
- kolam/empang 84,600 6,112 4,590
-perkebunan/ladang 121,060 26,112 2,931
Jumlah (b) 343,340 343,700 68,955
Sumber: Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta

Daerah terbangun pada daerah sanitary landfill hanya terdiri dari perumahan
yang sifatnya non permanen, tetapi di sekitar jalan masuk banyak terdapat
bangunan-bangunan yang sifatnya permanen, seperti pergudangan, pabrik industri
makanan ternak, dan pabrik industri pakaian jadi (garment).

4.2 Kondisi TPA Bantargebang


4.2.1 Pembagian Zona TPA Bantargebang
Seperti telah disebutkan sebelumnya, seluruhnya, seluruh area TPA
Bantargebang dibagi dalam lima Zone. Pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. ditunjukan
luas area efektif masing-masing zone dan kapasitasnya.
Lahan efektif digunakan untuk timbunan sampah, sedangkan lahan lainya
digunakan untuk:
1. Pintu masuk dan jembatan timbang
2. Kantor, garasi dan bengkel
3. Prasarana Jalan
4. Sistem drainase
5. Bangunan pengolahan leachate
6. Daerah hijau (Green area)
7. Dan lain-lain.
TPA Bantargebang Bekasi ini direncanakan untuk menampung beban
sampah dari Jakarta belahan timur, sedangkan TPA Tangerang menampung
sampah dari belahan barat dapat dilihat pada Tabel 4.2 :
Tabel 4.2. Pembagian zone TPA Bantargebang.

Zone Luas Total (Ha) Luas Efektif (Ha)

I 23 20, 74

II 25 22,01

III 32 27,72

IV 13 12,43

V 15 13,75

Total 108 96,65


Sumber : Unit TPA Bantargebang, Bekasi 2008

Tabel 4.3. Estimasi Area dan Kapasitas Landfill

Zone Area (Ha) Kapasitas (M3)

Tahap I Tahap I Tahap II


I 22 2.438.700 1.800.700
II 23 2.512.400 1.646.700
III 30 2.984.000 2.192.000
IV 11 1.570.000 954.000
V 13 1.676.000 1.459.000
Sumber : Unit TPA Bantargebang Bekasi, 2008

4.2.2 Infrastruktur TPA Bantargebang


a. Jalan
Jalan yang ada I Lokasi pemusnahan Akhir (TPA) sampah Bantargebang
terbagi menjadi 2 Bagian yaitu :
b. Jalan Permanen
Semua jalan penghubung antar zone serta jalan masuk dan keluar TPA
merupakan jalan permanen dengan konstruksi beton. Lebar jalan tersebut adalah 8
m dengan bahu jalan (kiri dan kanan jalan) selebar 1 m dengan konstruksi
fleksible pavement (compacted crushed stone).
Jalan permanen dirancang untuk beban kendaraan dengan ban rangkap
sebesar 4 ton. Kondisi fisik jalan permanen masih baik, tetapi pada beberapa
tikungan masih kurang lebar sehingga apabila ada kendaraan truk pengangkut
sampah berpaspasan, laju kendaraan menjadi sedikit lambat, kemacetan sering
terjadi disebabkan oleh banyak mobil yang sedang beroperasi parkir di pinggir
jalan. Sementara ini jalan masuk dan keluar yang menghubungkan lokasi TPA
dengan jaringan jalan kota (Jalan Utama) hanya 1 (satu) jalan yaitu dari Pengkalan
5 ( Jalan Raya Narogong).
c. Jalan Kerja
Jalan kerja adalah jalan operasional yang berada di dalam lokasi TPA dan
berfungsi sebagai lintasan kendaraan angkutan truk sampah untuk dapat sedekat
mungkin dengan sel timbunan sampah. Lebar bada jalan kerja adalah 6 m dan
lebar bahu jalan masing-masing 1,5 m.
Pada tempat-tempat tertentu ( tiap jarak minimum 50 m) bahu jalan
diperlebar menjadi 6 m untuk dimanfaatkan sebagai lokasi kerja penurunan
sampah (tipping ramp). Pada umumnya kondisi jalan kerja, yang dikonstruksi
dengan Mac-Adam dan dilapisi Asphalt, sebagai besar masih dalam keadaan baik
jalan kerja yang rusak terdapat I lahan Zone III B dan Zone I.

1. Drainase
Saluran drainase di TPA Bantargebang dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Drainase Jalan
Berada di sisi sepanjang jalan penghubung yang berfungsi untuk
mengalirkan limpasan air dari badan jalan. Drainase jalan hanya terdapat di zone
III dengan kondisi masih baik.
b. Drainase Lahan
Saluran Drainase ini berfungsi untuk mengalirkan limpasan air permukaan
dari lahan TPA agar mengalir ke bangunan pengolahan Leachate (BPL) sehingga
dapat diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke badan air penerima. Drainase
lahan merupakan saluran permanen dari konstruksi beton dan dibuat mengelilingi
lahan. Dinding saluran dibuat kedap sehingga tidak terjadi infiltrasi ke arah
samping. Drainase lahan baru dibanguan di zone I dengan kondisi masih baik
tetapi dibeberapa tempat tersumbat oleh sampah sehingga aliran sedikit terganggu.
Drainase lahan di zone I tidak dialirkan ke BPL terdekat tapi langsung di alirkan
ke badan air penerima terdekat yaitu S. Ciketing.

2. Pipa Ventilasi Gas


Dekomposisi sampah (dalam hal ini senyawa organik) dalam kondisi
anaerobik dapat menimbulkan gas terutama gas methan, CH4, CO2, dan
karbondioksida. Dalam usaha pengendalian gas tersebut maka disetiap zone di
TPA Bantargebang dilengkapi dengan pipa ventilasi. Pipa ventilasi terbuat dari
bahan PVC diameter 10 cm yang dilubangi dan dipasang pada dinding-dinding
bukit lapisan tanah penutup. Sedangkan setelah mencapai bukit akhir pipa
dipasang vertikal 2 m diatas bukit akhir. Pipa ventilasi gas pada beberapa tempat
ada yang hilang sedangkan yang masih ada berfungsi dengan baik.

3. Bangunan pengolahan leachate


Lahan pembuangan akhir sampah Bantargebang mempunyai empat
bangunan pengolahan Leachate (BPL) yaitu di zone I, II, III, IV dan zone V.
Permasalahan pada BPL di ketiga zone itu adalah hasil akhir (effluent) proses
tidak mencapai suatu hasil seperti distandarkan pada perencanaan. Dalam hal ini
ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dari proses
pengolahan leachate yaitu :
a. Perencanaan.
b. Pelaksanaan.
c. Pengoperasian.

4. Bangunan Penunjang
Bangunan Penunjang yang ada di TPA Bantargebang Bekasi terdiri dari
empat bagian yaitu:
1. Jembatan Timbang
Jembatan timbang yang dipergunakan adalah secara digital berfungsi untuk
menimbang volume atau berat sampah ke TPA per truk, sehingga dapat diketahui
jumlah volume atau berat sampah perhari yang dilayani TPA Bantargebang
bekasi. Kondisi Jembatan Timbang ini saat ini masih dapat dioperasikan dengan
baik.
2. Kantor Pengelola TPA
Kantor Pengelola ini memantau segala kegiatan yang terjadi di TPA dikantor
ini dicatat:
a. Jumlah kendaraan yang masuk perhari
b. Volume sampah yang masuk perhari
c. Jumlah kendaraan pengangkut sampah yang beroperasi
d. Jumlah alat berat yang beroperasi
3. Garasi
Garasi ini berfungsi untuk parkir alat berat agar terlindung dari panas dan
hujan, saat ini garasi berfungsi pula sebagai bengkel alat berat yang rusak.
Kapasitas garasi adalah untuk 4 kendaraan
4. Sarana cuci mobil/kendaraan alat berat
Kapasitas sarana cuci mobil adalah untuk 2 kendaraan. Sarana ini dilengkapi
dengan pompa air sumur dangkal.

4.2.3 Pelaksanaan Operasional Penimbunan Sampah


Sistem pemusnahan sampah yang dilaksanakan di lokasi pemusnahan Akhir
Sampah (TPA) Bantargebang Bekasi adalah controled landfill. Kegiatan penutup
tanah harian tidak dilakukan setiap hari bahkan mungkin tidak dilakukan sama
sekali. Kendala yang ada adalah :
a) Ketersediaannya tanah penutup yang kurang karena kesulitan memperoleh
sumber tanah penutup
b) Kurangnya peralatan untuk pekerjaan tanah penutup. Kondisi alat berat yang
ada sekarang ini hanya cukup untuk membantu pembuangan/pemindahan
sampah dari truk pengangkut ke lahan, itupun dengan kondisi mesin yang
meragukan.

4.3 Kondisi Saat Ini Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta


Pada tahun 1988 dengan jumlah penduduk 5 juta jiwa diperkirakan produksi
sampah per hari di Jakarta sebesar 600 ton sampah per hari atau rata-rata 2,67 liter
per orang perhari, delapan tahun kemudian, pada tahun 1996 dengan penduduk
7,9 juta jiwa diperkirakan produksi sampah itu meningkat menjadi 25.800 m3
perhari atau rata-rata 2,92 liter perhari (dinas kebersihan 1988, 1997). Pada tahun
1988 sampah yang dapat di angkut rata-rata per hari 16.452 m3 atau 83% dari
jumlah yang produksi, ini berarti selama kurun waktu sepuluh tahun upaya yang
telah dilakukan hanya dapat meningkatkan daya angkut sampah sebanyak 3% dan
ini terjadi terutama karena proses urbanisasi dan industrialisasi yang amat pesat
yang terjadi di Jakarta yang disertai dengan peningkatan pendapatan penduduk
Jakarta.
Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta 8,4 juta Jiwa (Tahun 2001). Produksi
sampah Kota Jakarta mencapai 25.600 m3/hari dengan laju timbulan sampah 2,67
liter/orang/hari. Kompisisi sampah di DKI Jakarta terdiri 65% sampah organik
dan 35% sampah non organik, dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Prosentase Komposisi Sampah di Propinsi DKI Jakarta.


NO. JENIS SAMPAH PROSENTASE
1. Sampah organic 65.05%
2. Sampah non organik
- Kertas 10.11%
- Kayu 3.12%
- Kain/tekstil 2,45%
- Karet/kulit tiruan 0,55%
- Plastik 11,08%
- Logam/metal 1,90%
- Kaca/gelas 1,63%
- Baterai 0,28%
- Tulang & kulit telur 1,09%
- Lain-lain 2,74%
Total 100,00%
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta

Dengan kandungan organik sebesar 65%, metode pengomposan


merupakan salah satu alternatif yang cocok diterapkan pada pengolahan akhir
sampah DKI Jakarta, karena kandungan organiknya yang tinggi. Pada sampah non
organik sampah plastik dan kertas adalah bagian terbesar, hal ini merupakan
potensi besar untuk melakukan usaha daur ulang, baik berupa bahan-bahan yang
dapat digunakan langsung, dikembalikan kepada produsen atau bahan yang
diproses terlebih dahulu sebelum dapat digunakan.
4.4 Cara Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah di wilayah DKI Jakarta dan Dinas Kebersihan
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibedakan atas empat tahap
yaitu pewadahan, pengumpulan sampah, pengangkutan, sampah dan pemusnahan
sampah padat. Dalam pelaksanaannya, dinas kebersihan terutama mengelola
sampah dari rumah tangga dan pertokoan sedangkan sampah di saluran dan kali
ditanggulangi dengan kerjasama Dinas Pekerjaan Umum, penanganan kebersihan
jalur hijau dan taman dilaksanakan dengan kerjasama dinas pertamanan,
penanggulangan kebersihan pasar dilaksanakan bersama dengan PD Pasar Jaya.
Ke empat cara penanganan sampah tersebut yakni :

4.4.1 Pewadahan
Kegiatan ini merupakan kegiatan pengumpulan sampah sebelum diangkut ke
tempat penampungan dan pewadahan sampah ini dilakukan sebelum dilasanakan
kegiatan pengumpulan. Umumnya tempat pewadahan sampah berupa tong
sampah, bak pasangan batah atau kantong plastik. Sarana pewadahan umumnya
disediakan oleh masing-masing penghasil sampah. Kegiatan ini dilakukan untuk
mencegah sampah berserakan yang akan memberikan kesan kotor serta untuk
menpermudah proses kegiatan pengumpulan.

4.4.2. Sistem Pengumpulan sampah


Tahapan pengumpulan sampah dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :
a) Kegiatan penyapuan sampah di jalan-jalan protokol termasuk
pelataran/trotoarnya. Operasional penyapuan jalan dilaksanakan dengan
menggunakan cara konvensional dan cara mekanik. Cara konvensional
menggunakan tenaga manusia dengan peralatan tradisional (sapu lidi)
dan kegiatannya dilakukan secara beregu/kelompok. Setiap regu
berjumlah 8 orang tukang sapu (Pesada) dan 2 orang penarik gerobak.
Jumlah Tukang sapu (Pesada) jalan saat ini adalah 651 orang pegawai
Dinas Kebersihan dan 2.427 orang petugas harian lepas (PHL) yang
berasal dari petugas harian lepas Eks Pengatur lalu lintas, sehingga
jumlah seluruhnya 3.078 orang. Panjang jalan yang di sapu 752,98 Km.
Panjang yang disapu dengan tenaga manusia 750 Km. rasio petugas
penyapuan terhadap panjang jalan yang disapu adalah 1:1,9 atau setiap
tukang sapu setiap hari menyapu jalan 1,9 Km, sedangkan beban kerja
penyapuan yang telah ditetapkan untuk setiap tukang sapu adalah 2 Km.
kegiatan penyapuan jalan yang dilakukan oleh petugas Dinas Kebersihan
DKI Jakarta dilaksanakan secara bergilir dalam 2 (dua) periode, yaitu :
1. Pagi hari antara pukul 00.00 s/d 07.00 WIB
2. Siang hari antara pukul 09.00 s.d 16.00 WIB
3. Malam hari antara pukul 18.00 s.d 24.00 WIB
Volume sampah hasil sapuan setiap hari rata-rata 750 m3.
b) Pengumpulan sampah langsung dari sumbernya.
Pengumpulan sampah dilakukan oleh masyarakat secara terpadu
dimana masyarakat bertanggung jawab pengumpulan sampai masing-
masing ke tempat sampah yang disediakan oleh setiap warga; untuk
selanjutnya diangkut dan dibuang oleh petugas kebersihan swadaya
masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW setempat dengan menggunakan
gerobak sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) yang telah
dibangun oleh Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta. Volume sampah
yang dapat dikumpulkan melalui TPS rata-rata setiap harinya 20.153
m3/hari. TPS saat ini berjumlah 2.144 lokasi, terdiri dari TPS Dipo 90
unit, Transito 278 unit, TPS terbuka 176 unit, pool gerobak sampah 282
unit, bak beton 520 unit, kontainer 6 m3 sebanyak 263 unit, dan kontainer
10 m3 sebanyak 409 unit yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) di DKI Jakarta Tahun
2005
Jumlah dan Jenis LPS TPS Terbuka
Seksi
N Container Pool Pool Bak
Kebersihan Dipo Container (6 Transito ter- tidak
o (10 Gerobak Container Beton
Kecamatan (Unit) m3/unit (Lokasi) jadwal terjadwal
m3/unit (Lokasi) (Lokasi) (Unit)
Jakarta
1 12 49 35 49 73 38 63 12 1
Pusat
Jakarta
2 14 69 28 69 25 0
Utara
Jakarta
3 27 149 94 149 94 0 20 20 0
Barat
Jakarta
4 26 51 30 51 32 85 75 95 37
Selatan
Jakarta
5 31 91 76 91 74 0 319 140 0
Timur
Jumlah 110 409 263 276 282 278 126 341 38
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005

c) Stasiun Peralihan Antara (SPA)


Saat ini telah dioprasikan Stasiun Peralihan Antara (SPA) sampah
yang dipakai sejak tahun 1992 berlokasi di jalan Cakung-Cilincing, Jakarta
Timur, berkapasitas 900 ton/hari dan SPA Sunter yang dipakai sejak Juni
2000 dengan kapasitas 1000 m3/hari. Areal pelayanan meliputi Jakarta
Pusat, sebagian Jakarta Timur, sebagai Jakarta Utara dan sebagaian Jakarta
Barat.
1. Sistem Pengangkutan (transportasi) ada dua pola pengangkutan
sampah, yaitu :
a) pengangkutan tidak langsung dari TPS/SPA ke TPA pada tahap ini
pengangkutan sampah dari lokasi penampungan sementara ke
lokasi penampungan akhir atau langsung ke Cakung.
b) Pengangkutan langsung dari sumber sampah ke TPA Pada tahap
ini pengangkutan langsung dari sumber sampah yakni rumah
tangga, pasar, dan taman. Pengangkutan yang dapat dilayani oleh
truk dinas kebersihan dan di beberapa lokasi yang dilayani oleh
swasta dapat dilihat pada Tabel 4.6, serta menjelaskan tentang
timbulan sampah dan sampah yang terangkut ke TPA.

Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut, dan Sisa Sampah
di Wilayah DKI Jakarta pada Lokasi TPA Tahun 2005

Timbulan
Terangkut Sisa Sampah
No Wilayah Sampah
(m3/hari) (m3/hari)
(m3/hari)
1 Jakarta Pusat 5.102 4.578 524
2 Jakarta Utara 4.580 3.837 743
3 Jakarta Barat 5.366 4.511 855
4 Jakarta Selatan 4.708 4.125 583
5 Jakarta Timur 5.442 4.743 583
6 Dinas 402 402 0.00
Jumlah 25.600 22.196 3.404
Sumber : Dinas kebersihan DKI Jakarta, 2005
4.5 Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Saat ini
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang mulai beroperasi
pada bulan Agustus 1989 direncanakan untuk menampung sampah dari belahan
timur kota Jakarta, namun dengan ditutupnya TPA Kapuk Kamal pada tahun 1993
dan belum beroperasinya TPA Tangerang, maka praktis seluruh sampah dari
wilayah Provinsi DKI Jakarta dibuang ke TPA Bantargebang.
TPA Bantargebang saat ini berada di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Tempat Pemusnahan Akhir yang merupakan unsur pelaksana operasional Dinas
Kebersihan di lapangan, dan dalam pelaksanaannya dipimpin oleh seorang Kepala
Unit yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada dan bertanggung
jawab kepada Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Kepala Unit /
Kepala TPA mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan dan pengaturan teknis
pembuangan akhir sampah di daerah.
Sejak awal pengoperasiannya, TPA Bantargebang dikelola oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bekasi yang terikat
dalam sebuah perjanjian kerjasama pengelolaan sampah dan TPA Bantargebang
yang diperbaharui setiap tahunnya. Pada bulan Desember 2001 terjadi kerusuhan
di lokasi TPA Bantargebang yang mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas
penunjang operasional TPA. Selanjutnya, pada tahun 2004 pengelolaan sampah di
TPA tersebut diserahkan kepada pihak ketiga selaku operator, yaitu PT. Patriot
Bangkit Bekasi (PBB) sampai dengan bulan Mei 2007. Berdasarkan Keputusan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 884 Tahun 2007 terhitung mulai 4 Juni
2007 pengelolaan TPA Bantargebang dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan
Provinsi DKI Jakarta dengan sistem sanitary landfill sampai dengan adanya
penetapan pemenang lelang pengelolaan (TPA) Bantargebang.

4.6 Aset Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang


Aset yang ada di lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang dan
dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupa tanah dan bangunan serta
perlengkapan untuk mendukung operasional TPA, dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Aset TPA Bantargebang

NO. JENIS BANGUNAN LUAS


1 Luas Lahan 108 Ha
2 Luas Lahan Efektif 82 Ha
3 Kantor 350 m2
4 Parkir Kantor 500 m2
5 Bangunan Mess Phl 700 m2
6 Bengkel 432 m2
7 Parkir Alat Berat 1.000 m2
8 Pos Jaga 60 m2
9 Jembatan Timbang 300 m2
10 Pagar Pegamanan 7.573 m2
11 Jalan Operasional (6 x 9.000) m2
12 Jalan Operasional (4 x 1.020) m2
13 Saluran Drainase 13.602 m2
14 IPAS I 17.680 m2
15 IPAS II 10.998 m2
16 IPAS III 12.500 m2
17 IPAS IV 12.000 m2
Sumber : Dinas Kebersihan, 2007

Kondisi bangunan kantor pengelola TPA sudah tidak representatif sebagai


tempat untuk melakukan aktivitas manajemen dan administrasi karena kurangnya
perawatan. Demikian halnya dengan kondisi jembatan timbang yang seringkali
rusak dan memerlukan kalibrasi untuk menjamin keakuratan data sampah yang
masuk ke TPA Bantargebang.
Permasalahan air lindi (leachate) yang merupakan hasil dari proses
penimbunan sampah, terutama sampah organik, belum mampu ditanggulangi
sepenuhnya oleh empat instalasi pengolahan air sampah (IPAS) yang ada di TPA
Bantargebang. Kondisi ini diperburuk dengan proses pembongkaran sampah pada
zona-zona aktif yang tidak sesuai prosedur serta kurang terawatnya
drainase/saluran air lindi.
Untuk mendukung pengelolaan sampah di TPA Bantargebang banyak
terdapat alat-alat berat yang sebagian besar dimiliki dan dioperasikan oleh pihak
ketiga yang melakukan kerjasama pengelolaan sampah dengan Dinas Kebersihan
Provinsi DKI Jakarta. Adapun perlengkapan pendukung operasional TPA
Bantargebang yang dimikili oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat
pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Sarana Pendukung TPA Bantargebang
Bulldozer Kelas 21 ton 7 unit
Landfilling sampah
Landfill Compactor Kelas 21 ton 2 unit
Bulldozer Kelas 21 ton 1 unit
Tanah penutup,
pengumpulan dan Tracktor Pengeruk Kapasitas beban 2 unit
transportasi tanah (Backhoe) 0,6 m
Penutup
Dump truck 8 unit
Kendaraan penyiram Mobil tangki 4 ton 1 unit
Truck pickup untuk 3 unit
Lainnya transportasi di area
Mobil penumpang untuk 1 unit
transportasi di area
Sumber : Dinas Kebersihan, 2007

4.7 Pengelolaan sampah di TPA Bantargebang


Sejak awal pengoperasiannya pada tahun 1989 pengelolaan sampah di TPA
Bantargebang menggunakan teknologi sanitary landfill dengan prosedur
operasional sebagai berikut :
a. Penimbangan
b. Pembongkaran sampah
c. Penyebaran sampah
d. Pemadatan sampah
e. Penutupan sampah (daily cover, intermediate cover, final cover)
f. Pengolahan air sampah (IPAS)
g. Pemasangan ventilasi gas
h. Penghijauan
i. Pengendalian dampak lingkungan
j. Penyemprotan lalat (pest control)
k. Pemeliharaan dan perawatan (kantor/gedung, pos dan jembatan timbang, jalan
operasional, drainase/saluran, penerangan jalan umum, dan pagar).
Masih terdapat beberapa kelemahan dalam operasional TPA, di antaranya
adalah :
a. Keakuratan alat ukur pada jembatan timbang perlu dikalibrasi ulang.
b. Dalam proses pembongkaran, penyebaran dan pemadatan sampah tidak
bebas (steril) dari pemulung yang pada saat bersamaan memilah sampah-
sampah.
c. Masih terdapat lapak-lapak pemulung yang berbatasan langsung dengan
TPA tanpa adanya pagar pembatas.
d. Pembongkaran sampah rata-rata memerlukan waktu 4 menit untuk 1 truck.
e. Penutupan sampah dengan tanah setiap hari (daily soil cover) belum
dilakukan.
Pengoperasian TPA Bantargebang ditinjau dari aspek sosial dan aspek teknis
selama periode tahun 1989 sampai dengan akhir tahun 2007 dapat di lihat pada
Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Pengoperasian TPA Bantargebang (Aspek Sosial & Teknis)


TAHUN
SOSIAL
1989 1996 1996 Awal 2007 Awal 2007 Akhir 2007
Berjumlah 6.000 orang
Berjumlah 2.500 orang Berjumlah 4.000 orang
Pemulung dan tunduk pada tata
dan tunduk pada tata tertib Tidak dapat ditertibkan
tertib
Merajalela, banyak barang
Tidak ada Dibasmi secara bertahap,
Premanisme hilang, operasional tergantung
ketertiban TPA terpelihara
preman & pemulung
Secara bertahap dijalin
Hampir tidak ada, masyarakat
hubungan silaturahmi
Dukungan terprovokasi oleh pihak tertentu
dengan masyarakat,
masyarakat Tinggi puncak kejatuhan nama baik
koordinasi pengamanan;
sekitar TPA Dinas Kebersihan, kerusuhan
PAM Swakarsa, polisi &
7-9 Des. 2001
TNI setempat
TAHUN
TEKNIS
1989 1996 1996 Awal 2007 Mei 2007 Akhir 2007
Standard Sanitary Standard Sanitary Standard Sanitary
Konstruksi
Landfill Landfill Landfill
Dibuang didalam zona &
Dibuang dalam zona telah
Pembuangan Banyak sampah di luar zona dan sampah diluar
dikonstruksi
dipindahkan kedalam zona
Peralatan
Secara berangsur kembali
dan Berjalan sesuai rencana Tidak terkontrol
pada standard
Pemadatan
Terprogram secara
Cover soil Mingguan (weekly) Tidak beraturan
bertahap
Leachate Diolah dalam IPAS Banyak yang liar (diluar IPAS) Diolah dalam IPAS
Kebakaran Terkontrol Kebakaran liar (1999) Terkontrol
Menyebar, radius 5 7 Km
Bau Minimal Minimal
dari TPA
Ventilasi sesuai Ventilasi hilang diambil
Gas methan Ventilasi sesuai program
Program pemulung
Sumber : Laporan Akhir Pemantauan TPA Bantargebang, 2008
TPA Bantargebang pada awalnya diproyeksikan utnuk menampung sampah
dari belahan timur Jakarta dengan kapasitas tampung 19.000.000 m. dengan
volume pembuangan sebesar 14.000 m (3.000 ton) per hari. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh PPSML-UI dan Unisma pada Tahun 2002,
diperkirakan bahwa pembuangan sampah ke TPA Bantargebang masih dapat
dilakukan dengan ketinggian sampah sesuai Master Plan JICA 1987 (25 meter)
sampai dengan akhir tahun 2006. Namun bila dilakukan pemanfaatan ruang
diantara sel-sel penimbunan, termasuk di atas permukaan jalan antar sel, maka
pembuangan sampah ke TPA Bantargebang dengan dengan ketinggian 25 meter
masih dapat dilakukan sampai tahun 2011.
Dengan posisi TPA Bantargebang sebagai satu-satu TPA bagi seluruh
sampah dari wilayah DKI Jakarta, maka volume sampah yang masuk ke TPA
pada tahun 2007 adalah sebesar 27.654 m atau 6.914 ton per hari. Kondisi ini
akan berdampak pada semakin pendeknya umur pemanfaatan TPA.

4.8 Ikhtisar
Berdasarkan hasil analisis yang didapat pada saat ini adalah :
1. Ditinjau dari lingkungan fisik, dalam pengelolaan TPA Bantargebang,
Kabupaten Bekasi Jawa Barat belum sepenuhnya menerapkan teknologi
pengolahan sampah seperti yang telah ditetapkan dalam rencana awal
pembangunan dengan menggunakan teknologi sanitary landfill.
2. Masih rendahnya peran serta masyarakat dalam kepedulian membuang
sampah dan belum melakukan pemilahan dan pengurangan volume sampah di
sumbernya dan tidak menggunakan sistem 3 R (reduce, reuse dan recycle).
3. Masih belum optimalnya pemeliharaan dan monitoring yang dilakukan oleh
pengelola unit TPA yang ada di Bantargebang dan Dinas Kebersihan DKI
Jakarta terhadap lingkungan serta prasarana di sekitar TPA.
V. EVALUASI KINERJA PENGELOLAAN TPA
BANTARGEBANG, BEKASI

5.1. Evaluasi kinerja


Ada beberapa indikator kinerja yang perlu mendapatkan evaluasi terkait
dengan beberapa aspek antara lain :

5.1.1. Aspek Institusi / kelembagaan TPA

a. Struktur organisasi dan tata laksana kerja

Struktur organisasi yang ada saat ini di unit TPA Bantargebang belum cukup
dapat menangani operasional sehari-hari, namun apabila unit yang ada di TPA
Bantargebang ingin lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka organisasi ini
perlu ditinjau kembali terutama menyangkut tugas`dan kewenangan koordinasi
wilayah di tiap-tiap zone yang ada sebagai ujung tombak belum maksimal di
lapangan. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali Peraturan Daerah Provinsi
DKI Jakarta dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tentang Struktur
Organisasi dan Tata laksana Unit Pengelola TPA Bantargebang, perlu ada
kejelasan dan kewenangan koordinasi wilayah di tiap-tiap zone, dan
penambahan unit-unit pada seksi-seksi teknis.

b. Bidang sumberdaya manusia

Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum,


jumlah personil yang ada di lapangan haruslah cukup memadai sesuai dengan
lingkup kerjanya. Kriteria personalia minimal harus cukup memadai untuk
pelayanan setiap 100 penduduk dilayani 2 orang petugas, dalam
pelaksanaannya jumlah penduduk yang terlayani hanya mencapai 35 % dari
jumlah penduduk yang ada di DKI dan di Kabupaten Bekasi. Oleh karena itu
perlu adanya penambahan personil karena sampai saat ini hanya terlayani 35 %
sehingga masih kekurangan pelayanan hampir 65 % dan perlu adanya kebijakan
dari pemerintah daerah dalam penambahan personil untuk pelayanan di
lapangan.

5.1.2. Aspek Teknis Bidang Persampahan


a. Tingkat Pelayanan yang diberikan dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta maupun
Pemerintah Kabupaten Bekasi apabila dilihat dari skala kepentingan sebagian
sudah terlayani, seperti pada permukiman dengan kepadatan lebih dari 50
jiwa/ha.

Namun untuk tingkat pelayanan berdasarkan perhitungan dan data yang ada
terlihat bahwa tingkat pelayanan berdasarkan jumlah produksi sampah sehingga
masih belum memadai baru mencapai sekitar 40 %. Hal ini tentunya belum
mencapai target yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebesatr 75 % - 80 %.

b. Pengumpulan

Pengumpulan sampah pada saat ini masih belum dipilah-pilah antara sampah
anorganik dan sampah organik sehingga masih dimanfaatkan oleh pemulung
untuk diambil lagi dan diolah sendiri sehingga banyak tercecer yang
menimbulkan bau yang tidak enak, oleh karena itu perlu adanya pemilahan
yang dilakukan oleh petugas dari DKI Jakarta dalam hal ini unit yang ada di
TPA Bantargebang. Oleh karena itu tingkat pelayanan berdasarkan produksi
sampah yang dihasilkan masih mencapai 40 %, sedangkan target yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat sebesar 75% - 80 % oleh karena itu perlu
lebih ditingkatkan dalam tingkat pelayananannya, adanya keterlibatan
pemulung dalam pemilihan sampah anorganik maupun sampah organik dan
diperlukan kerjasama antar pemerintah daerah dengan pemulung dalam
pengelolaan persampahan di TPA Bantargebang, Bekasi.

5.1.3. Aspek pembiayaan

Pendanaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam


pengelolaan TPA Bantargebang, terutama dari sudut pandang pengelola yang
beranggapan bahwa makin banyak sampah yang masuk ke TPA maka akan
semakin besar pula dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Untuk
tahun 2007 Dinas Kebersihan menggunakan data sampah yang masuk ke TPA
Bantargebang sebesar 5.497 ton per hari atau sekitar 79,5% dari total produksi
sampah kota. Namun pembiayaan yang ada saat ini untuk pengelolaan sampah
Bantargebang hanya kurang dari 10 % dari APBD sehingga diperlukan
keterlibatan dari pihak swasta dalam mendukung pengelolaan sampah yang
berkelanjutan.

5.1.4.Aspek pengangkutan sampah ke TPA

Pengangkutan sampah yang saat ini sebesar 1.114 kali per hari (Dinas
Kebersihan, 2008). Keakuratan data ritasi akan menentukan berapa sebenarnya
biaya yang harus dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk transportasi
(biaya BBM). Jauhnya lokasi TPA dengan lalu lintas yang cukup padat
mengakibatkan pegangkutan sampah dari sumber atau lokasi-lokasi penampungan
sementara menuju TPA menjadi tidak efisien sehingga tiap kendaraan hanya
mampu mengangkut tidak lebih dari dua kali dalam sehari. Melihat kondisi
kemampuan bongkar muatan sampah ini (1 truck membutuhkan waktu 4 menit).
Bila saat ini hanya 3 zona yang dioperasikan (aktif), maka dalam satu jam hanya
dapat membongkar 45 truck. Untuk membongkar sampah per hari yang mencapai
1.114 truck/trip dibutuhkan waktu sekitar 24 jam tanpa henti. Penumpukan
kendaraan pada 3 lokasi pembuangan (zona aktif) berdampak pada panjang dan
lamanya antrian kendaraan untuk dapat dilayani pembokaran sampahnya.Oleh
karena itu diperlukan penambahan truk untuk bongkar sampah di lokasi yang
memakan waktu, dan perlu adanya penerapan manajemen aset dalam pengelolaan
fasilitas publik yang dimiliki pemerintah daerah seperti Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Bantargebang.

5.1.5. Timbulan sampah

Berdasarkan data dari dinas kebersihan DKI Jakarta pada Tahun 2009,
jumlah timbulan sampah yang bersumber dari sektor Permukiman, perkantoran,
industri, sekolah, pasar dan rumah sakit sangat meningkat, kondisi ini tidak
sebanding dengan sarana prasarana yang ada di DKI maupun di Kabupaten Bekasi
untuk pengangkutan sampah di dua daerah tersebut. Untuk wilayah Jakarta
sampah yang dapat terangkut sekitar 26.962 m3 atau setara dengan 97,50 %
sedangkan sisanya 692 m3 atau setara 2,50 % tidak terangkut. Melihat kondisi
tersebut Pemerintah Daerah harus menyediakan alternatif lahan tambahan selain
TPA Bantargebang yang selama ini digunakan untuk pembuangan sampah di ke
dua pemerintah daerah dan perlu kerjasama dengan daerah lain seperti Kabupaten
Tangerang yang selama ini telah ada perjanjian kerjasama dalam pemanfaatan
lahan dalam pengolahan sampah (TPST) untuk dapat ditindaklanjuti.
VI. PERUMUSAN STRATEGI

6.1. Analisis Lingkungan


Dalam menentukan alternatif tindakan atau kebijakan pengelolaan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, dibutuhkan suatu kerangka kerja yang
logis. Analisis SWOT merupakan salah satu cara yang dapat membantu
menganalisis suatu organisasi dalam menentukan strategi berdasarkan keadaan
lingkungan organisasi tersebut, yang dalam hal ini adalah Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Bantargebang.
Penentuan strategi dalam pengelolaan TPA Bantargebang yang merupakan
aset strategis milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penelitian ini diawali
dengan melakukan identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kondisi aset Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Faktor-faktor ini
diperoleh melalui hasil wawancara, diskusi dilapangan, observasi lapangan
maupun studi kepustakaan. Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal
tersebut disusun matrik SWOT yang menghasilkan sebelas skenario strategi,
sebagaimana ditunjukan dalam Tabel 5.3 (Analisis Matriks SWOT). Matrik
SWOT tersebut, selanjutnya menjadi dasar dalam menentukan hierarki strategi
pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, yang diarahkan
untuk tujuan meningkatkan potensi atau optimalisasi aset yang ada pada TPA
Bantargebang. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
alternatif dalam peningkatan pengelolaan serta mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang selama ini terjadi dalam pengelolaan TPA.

6.2. Analisis Faktor Internal dan Eksternal


Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di lapangan
diperoleh beberapa faktor strategis yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang Bekasi. Faktor strategis
tersebut terdiri dari (1) faktor internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan, (2)
faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman.
6.2.1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Kebersihan. Faktor ini merupakan hal-
hal yang telah dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan
merupakan kekuatan (strength) yang bernilai positif bagi keberhasilan
pengelolaan TPA Bantargebang. Sebaliknya, kurangnya atau ketiadaan hal-hal
yang seharusnya ada menjadi kelemahan (weakness) yang bernilai negatif dan
akan mengurangi keberhasilan pengelolaan TPA Bantargebang. Hasil evaluasi
faktor internal dari responden diperoleh nilai bobot dan rating di masing-masing
faktor kekuatan dan kelemahan. Matris Evaluasi Faktor Internal secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Matriks Faktor Strategis Internal (IFAS) Pengelolaan TPA


Bantargebang

Faktor Strategis Internal


Bobot Rating Skor
(IFAS)
(1) (2) (1 x 2)
Kekuatan
a. Anggaran TPA 0,10 4 0,40
b. Komitmen Pemprov DKI 0,10 3 0,30
c. Sarana transportasi 0,10 4 0,40
d. Sumberdaya manusia 0,05 3 0,15

Kelemahan
a. Prasarana 0,20 1 0,20
b. Kerjasama antar daerah 0,15 2 0,30
c. Kelembagaan 0,10 1 0,10
d. Peraturan 0,10 1 0,10
e. Penggunaan Teknologi 0,10 2 0,20
Total 1 2,15
Sumber : Analisis

a. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan adalah bagian dari faktor strategis internal. Dianggap
sebagai kekuatan karena dapat mendukung terhadap pengelolaan sampah TPA
Bantargebang di Kabupaten Bekasi, oleh karena itu faktor kekuatan harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dari masukan beberapa responden didapat
faktor kekuatan yang dimiliki Kabupaten Bekasi dalam pengelolaan sampah
TPA Bantargebang adalah sebagai berikut:
1. Anggaran TPA Bantargebang
Anggaran TPA merupakan anggaran yang cukup besar untuk
dialokasikan dari tahun ke tahun setiap tahunnya dianggarkan sebesar
hampir satu milyard oleh DKI Jakarta dalam melakukan pengelolaan TPA
bantargebang secara optimal sehingga keberadaan TPA dapat
memeberikan kontribusi yang positif dan berkelanjutan untuk masa depan
TPA yang lebih baik.
2. Komitmen Pemprov DKI
Komitmen Pemprov DKI sangat diperlukan dalam menanganni
pembuangan sampah di TPS-TPS yang ada di wilayah sekitar DKI
Jakarta terutama menjaga dan memelihara stabilitas operasional ke
Bantargebang termasuk masalah penganggaran TPA Bantargebang.
3. Sarana transportasi
Sarana transportasi merupakan perlengkapan pendukung untuk
menunjang operasional TPA terutama mobilisasi untuk pengambilan
maupun pembuangan dari seluruh wilayah di Provinsi DKI Jakarta
4. Sumberdaya manusia
Sumberdaya Manusia karena sumberdaya manusia tidak terlepas
dari keseluruhan upaya peningkatan pengelolaan sampah baik teknis
manajerial dan operasional dalam pengelolaan sampah

b. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan adalah bagian dari faktor strategis internal, faktor
tersebut dianggap sebagai kelemahan karena akan menjadi kendala dalam
pengelolaan TPA Sampah Akhir di Kabupaten Bekasi. Setelah dilakukan
permintaan pendapat dari beberapa responden terdapat 5 faktor kelemahan
yang harus dimimalisir dalam upaya pengelolaan TPA Sampah Bantargebang,
antara lain:
1. Prasarana
Prasarana adalah infrastruktur jalan untuk menunjang operasional
ke tempat pembuangan Akhir TPA Bantargebang, pembuatan saluran
irigasi dan penerangan jalan.
2. Kerja sama antar daerah
Kerjasama antar daerah yang merupakan sangat diperlukan karena
keberadaan lahan TPA berada di lokasi Kabupaten Bekasi sehingga
diperlukan adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bekasi
dengan DKI Jakarta dalam hal anggaran untuk operasioanalisasinya
maupun pengelolaan TPA Bantargebang
3. Kelembagaan
Kelembagaan yang merupakan unit-unit yang diperlukan terutama
yang ada di lapangan TPA harus jelas kewenangannya dalam pengelolaan
TPA sehingga dalam pembagian tugasnya di lapangan secara operasional
lebih jelas.
4. Peraturan
Peraturan disini dirasa masih belum mampu mengakomodir
berbagai isu dan permasalahan yang terkait dengan pengelolaan sampah,
sehingga perlu untuk direvisi untuk lebih bisa menjawab yang ada
dilapangan
5. Penggunaan teknologi
Penggunaan Teknologi adalah dengan menerapkan teknologi
sanitary landfill yang telah disepakati demi keberlangsungan TPA
Bantargebang yang mutlak harus dilakukan dalam pengelolaan TPA
Bantargebang ke depan yang baik dan mempunyai nilai jual yang tinggi.

6.2.2. Faktor Eksternal


Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar pengendalian
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Faktor ini akan berpengaruh langsung terhadap
kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam kegiatan pengelolaan TPA
Bantargebang. Pengaruh ini dapat berkontribusi positif sehingga dapat
memberikan peluang (opportunity) adanya akselerasi pelaksanaan kegiatan.
Namun, terdapat pula faktor yang menjadi ancaman (threat) dalam pelaksanaan
kegiatan.Berdasarkan hasil evaluasi faktor eksternal dari responden diperoleh nilai
bobot dan rating di masing-masing faktor pada peluang dan ancaman. Matriks
Faktor Eksternal secara lengkap disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Matriks Faktor Strategis Eksternal (EFAS) Pengelolaan TPA


Bantargebang.

Bobot Faktor Strategis Eksternal


Bobot Rating Skor
(EFAS)
(1) (2) (1 x 2)
Peluang
a. Teknologi pengolahan sampah 0,25 4 0,100
b. Jakarta sebagai pusat pemerintahan 0,10 3 0,30
c. Bisnis daur ulang cukup prospektif 0,20 3 0,60
d. Bantuan Luar negeri untuk masalah 0,05 2 0,10
lingkungan

Ancaman
a. Produksi sampah yang meningkat 0,15 2 0,30
b. Peran serta masyarakat masih rendah 0,15 2 0,30
c. Konflik masyarakat di sekitar TPA 0,15 1 0,15
d. Perubahan tata ruang kota 0,10 1 0,10
e. Persaingan tidak sehat investor 0.10 1 0,10
Total 1 2,95
Sumber : Analisis

a. Peluang
Faktor yang dianggap sebagai peluang adalah faktor yang bias dimanfaatkan
dalam upaya pencapaian tujuan. Dari wawancara beberapa responden terdapat
4 faktor yang merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam upaya
pengelolaan TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Peluang-peluang
tersebut adalah:
1. Teknologi pengolahan sampah
Teknologi pengolahan sampah merupakan teknologi yang sangat
diperlukan dan dapat diterapkan di TPA Bantargebang, baik itu alternatif
pengomposan maupun sumber energi yang dihasilkan dan teknologi lain
yang dapat menjadi nilai jual yang tinggi.
2. Jakarta sebagai pusat pemerintahan
Jakarta sebagai pusat pemerintahan karena pusat pemerintahan
berada di DKI Jakarta maka pemerintah DKI mempunyai daya tawar yang
kuat untuk dapat mendukung dan menganggarkan dalam bidang
persampahan.
3. Bisnis daur ulang cukup prospektif
Bisnis daur ulang cukup propekstif dengan kapasitas produksi
sampah yang sangat besar dan terus meningkat akan membuka peluang
bisnis daur ulang yang cukup prospektif karena dapat memberikan
penghasilan yang relatif mencukupi bagi kebutuhan pokok para
pelakunya.
4. Bantuan Luar negeri untuk masalah lingkungan
Bantuan luar negeri untuk masalah lingkungan diperlukan untuk
pelestarian lingkungan di sekitar TPA maupun aspek teknis dalam
pengelolaan persampahan.
b. Ancaman
Faktor ancaman adalah faktor yang dianggap bisa menghambat pengelolaan
TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Dari wawancara terhadap beberapa
responden terdapat 5 faktor yang merupakan ancaman yang dapat
mengganggu kelangsungan upaya pengelolaan sampah pada TPA
Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Ancaman-ancaman tersebut adalah:

1. Produksi sampah yang meningkat


Dengan adanya pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
dan pertumbuhan ekonomi yang baik maka akan menimbulkan
permasalahan terutama produksi sampah meningkat sehingga perlu
adanya solusi dalam penanganan dan pengelolaan sampah baik dari
tingkat TPS-TPS yang ada sampai pengangkutan ke TPA.
2. Peran serta masyarakat masih rendah
Peran serta masyarakat dimana kepudulian masyarakat sangat
diperlukan dalam pembuangan sampahnya sebelumnya perlunya ada
pemilahan.
3. Konflik masyarakat di sekitar TPA
Konflik masyarakat di sekitar TPA yang merupakan harus
diwaspadai oleh pemangku pemerintah daerah
4. Perubahan tata ruang kota
Perubahan tata ruang yang merupakan adanya komitmen bersama
pemerintah daerah dengan keterbatasan tanah untuk pembuangan sampah
5. Persaingan tidak sehat investor
Persaingan tidak sehat investor akan berdampak pada buruknya
kualitas barang atau jasa/pekerjaan yang diberikan oleh investor yang
pada akhirnya hanya mementingkan keuntungan (profit oriented)

6.3. Perumusan Strategi

Tahap selanjutnya adalah tahap penggabungan (matching stage) dengan


teknik matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman (SWOT). Analisis SWOT
ini didasarkan pada informasi yang diturunkan dari tahap input untuk mencocokan
peluang dan ancaman eksternal dengan kekauatan dan kelemahan internal. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan alternatif strategi yang layak secara efektif pada
pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi. Dari hasil analisis SWOT diperoleh 10
alternatif strategi dalam pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi. Secara jelas
matriks SWOT tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif
Strategi Pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi.

Strengths (S) WEAKNESSES (W)


FAKTOR S1.Anggaran TPA W1.Prasarana
INTERNAL S2.Komitmen Pemprov DKI W2.Kerja sama antar daerah
S3.Sarana transportasi W3.Kelembagaan
S4.Sumberdaya manusia W4.Peraturan

FAKTOR
EKSTERNAL

OPPORTUNITIES (O) STRATEGI (SO) STRATEGI (WO)


O1.Teknologi engolahan 1. Peningkatan anggaran dan 1. Tingkatkan sarana
sampah Perbaikan teknologi di prasarana menuju TPA
O2.Jakarta sebagai pusat bidang persampahan (S1, (W1, O3)
pemerintahan O1) 2. Penguatan kelembagaan
O3.Bisnis daur ulang cukup 2. Optimalkan komitmen DKI (W3, O3)
prospektif sebagai pusat Ibukota
O4.Bantuan dari luar negeri Negara (S2, O2)
untuk masalah lingkungan 3. Optimalkan ketersediaan
sarana transportasi (S3,
O3)
4. Optimalkan bisnis daur
ulang (S3,O3)
THREATS (T) STRATEGI (ST) STRATEGI (WT)
T1.Produksi sampah yang 1. Optimalkan SDM untuk 1. Memperlancar sarana
meningkat sosialisasi peran serta pengangkutan sampah
T2.Peran serta masyarakat masyarakat dalam bidang (W1, T1)
masih rendah persampahan 2. Optimalkan untuk
T3.Konflik masyarakat di (S4,T2,T3,T5) mengurangi konflik
sekitar TPA 2. Optimalkan komitmen masyarakat disekitar TPA
T4.Perubahan tata ruang kota pemprov untuk mewujud- (W2, T3)
T5.Persaingan tidak sehat kan tata ruang yang 3. Penguatan penegakan
investor konsisten (S2, T4) hukum untuk mewujudkan
tata ruang kota yang
konsisten (W4,T4)
6.3.1 Strategi S-O
Strategi S-O merupakan penggabungan atau pencocokan antara faktor
internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (peluang) dengan cara menggunakan
kekuatan untuk menfaatkan peluang dengan alternatif strategi sebagai berikut :

1. Peningkatan anggaran dan perbaikan teknologi di bidang persampahan

Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan anggaran yang cukup untuk


pengelolaan persampahan TPA Bantargebang dari tahun ke tahun terutama dalam
perbaikan sistem teknologi yang sekarang ada sehingga keberadaan TPA secara
optimal dapat dirasakan oleh Pemerintah Daerah maupun manfaatnya dapat
dirasakan pula oleh masyarakat di sekitar wilayah empat desa.
2. Optimalkan komitmen DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara
Dalam meningkatkan citra Jakarta sebagai kota jasa dan kedudukannya
sebagai ibukota negara yang merupakan pintu gerbang negara Indonesia, faktor
kebersihan menjadi salah satu unsur yang harus dijaga dan mendapat prioritas
penanganan. Dengan demikian, maka pemerintah harus menjaga dan
meningkatkan komitmen untuk terus memelihara stabilitas operasional dan daya
dukung dalam melakukan pengelolaan sampah.
3. Optimalkan ketersediaan sarana transportasi
Ketersediaan sarana transportasi yang dimiliki oleh DKI Jakarta adalah
paling utama untuk mendukung dan menunjang dalam operasionalisasi dalam
pengangkutan sampah sampai tempat pembuangan akhir ke TPA Bantargebang.
4. Optimalkan bisnis daur ulang
Dengan berbagai teknologi yang diterapkan di TPA Bantargebang dalam
pengelolaan sampah dan didukung oleh SDM yang baik maupun dari segi market
maka bisnis daur ulang seperti pengomposan, waste to energy (WTE), metanisasi
atau teknologi lainnya akan memiliki nilai tambah atau nilai daya jual yang tinggi
sehingga akan memberikan dan membuka lapangan kerja baru yang akan
mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat terutama disekitar TPA.

6.3.2 Strategi S-T

Strategi S-T merupakan penggabungan atau pencocokan antara faktor


internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan cara menggunakan
kekuatan untuk mengatasi ancaman dengan alternatif sebagai berikut :

1. Optimalkan SDM untuk sosialisasi peran serta masyarakat dalam bidang


persampahan
Sumberdaya Manusia merupakan faktor terpenting dalam
mensosialisasikan persampahan yang merupakan upaya peningkatan untuk yang
lebih baik. Kemampuan manajerial dan operasionalisasi dari pelaku pengelolaan
TPA menjadi syarat mutlak agar pengeloaan TPA menjadi semakin baik.
2. Optimalkan komitmen pemprov DKI untuk mewujudkan tata ruang yang
konsisten
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang merupakan
pemegang kebijakan terutama dalam tata ruang kota yang mempunyai komitmen
serta konsisten yang tinggi terhadap tata ruang kota terutama pada TPA
Bantargebang dimana dengan keterbatasan lahan tanah khususnya di perkotaan
harus diantisipasi untuk perubahan tata ruang sehingga tidak berdampak kepada
kebutuhan tanah yang sangat terbatas.

6.3.3 Strategi W-T


Strategi W-T merupakan penggabungan atau kombinasi antara faktor
internal (kelemahan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan cara
meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman, dengan alternatif strategi
sebagai berikut :
1. Memperlancar sarana pengangkutan sampah
Semakin meningkatnya produksi sampah di wilayah DKI Jakarta maka
sarana mobilisasi pengangkutan sampah sangat diperlukan untuk memperlancar
dalam operasionalisasinya di lapangan sampai menuju pembuangan ke TPA
Bantargebang.
2. Optimalkan sosialisasi untuk mengurangi konflik masyarakat disekitar TPA
Dengan keberadaan TPA Bantargebang saat ini masih menjadi persoalan
yang dilematis. Di satu sisi keberadaan TPA menjadi hal yang sangat penting di
sisi lain adanya penolakan dari masyarakat oleh karena itu Pemerintah DKI
Jakarta perlu mengoptimalkan sosialisasi secara periodik terhadap pentingnya
TPA sehingga akan membuat masyarakat sadar bahwa keberadaan TPA sangat
diperlukan bagi masyarakat.
3. Penguatan penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang
konsisten
Dalam pengaturan mengenai pengelolaan persampahan perlu adanya
penegakan hukum ((law enforcement) yang kuat sehingga mengurangi adanya
pelanggaran dalam pengelolaan sampah disamping itu dengan keterbatasan lahan
untuk TPA diperlukan komitmen yang baik pemerintah DKI dalam penataan
ruang kota khususnya tata ruang dalam TPA.

6.3.4 Strategi W-O


Strategi W-O merupakan penggabungan atau pencocokan antara faktor
internal (kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang) dengan cara
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, dengan alternatif
strategi sebagai berikut :
1. Tingkatkan sarana prasarana menuju TPA
Daya dukung sarana prasarana akan menjadi peluang dalam pengelolaan
sampah yang akan menghasilkan keuntungan dalam hal bisnis serta profit yang
didalamnya untuk menunjang keberadaan TPA.
2. Penguatan kelembagaan
Dengan institusi yang ada baik unit maupun dinas kebersihan yang ada saat
ini di DKI Jakarta perlu adanya suatu kelembagaan yang fokus menanganni
sampah dalam bentuk suatu kelembagaan seperti BUMD atau Badan Usaha
Bersama dalam bidang persampahan, diharapkan dengan lembaga ini akan lebih
profesional dalam penanganannya .

6.4. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Stage)

Tahap selanjutnya dari perumusan strategi adalah tahap pengambilan


keputusan dengan menggunakan analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning
Matricx). Analisis ini ditujukan untuk menentukan prioritas strategi pengelolaan
sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang Bekasi.
Analisis QSPM dilakukan dengan cara memberikan nilai kemenarikan
relatif (Alttractive Score = AS) pada masing-masing faktor internal maupun
eksternal. Strategi yang mempunyai total nilai kemenarikan relatif (Total
Attractive Score = TAS) yang tertinggi merupakan prioritas strategi. Setelah
dilakukan analisis dan perhitungan nilai TAS maka diperoleh matriks perencanaan
strategik kuantitatif.
Tabel 5.4 Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Strategi
Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir
Bantargebang

No ALTERNATIF STRATEGI TNDT Ranking

1. Peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di 7.220 I


bidang persampahan
2. Optimalkan komitmen DKI sebagai Pusat Ibukota Negara 6.118 IX
3. Optimalkan ketersediaan sarana transportasi 7.170 II
4. Optimalkan SDM untuk sosialisasi peran serta masyarakat 6.202 VII
dalam bidang persampahan
5. Optimalkan komitmen pemprov DKI untuk mewujudkan tata 6.227 VI
ruang yang konsisten
6. Memperlancar sarana pengangkutan sampah 7.019 III
7. Optimalkan sosialisasi untuk mengurangi konflik masyarakat 6.172 VIII
disekitar TPA
8. Penguatan penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang 6.535 V
kota yang konsisten
9. Tingkatkan sarana prasarana menuju TPA 6.004 X
10. Optimalkan bisnis daur ulang 6.813 IV
11. Penguatan kelembagaan 5.966 XI

Berdasarkan hasil analisis QSPM seperti disajikan pada Tabel 5.4, terlihat
bahwa strategi yang memiliki QSPM tertinggi adalah strategi peningkatan
anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan yang memiliki
nilai TAS terbesar yaitu 7.220, sedangkan strategi yang memiliki nilai TAS
terendah adalah 6.004 adalah strategi bantuan anggaran luar negeri untuk
membangun infrastruktur TPA.

6.5. Strategi dan Program


Berdasarkan uraian sebelumnya, hasil dari analisis strategi menghasilkan
strategi-strategi yang tentunya berguna bagi masukan atau koreksi terhadap
pelaksanaan program yang sedang berjalan.
Dalam hal ini untuk mensinergikan pengelolaan sampah pada Tempat
Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi diperoleh sebanyak 11 perumusan
prioritas strategi.
Namun demikian strategi yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan
oleh pengelola TPA di Bantargebang, Bekasi sebanyak 5 (lima) strategi yaitu :
1. Peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan.
2. Optimalkan ketersediaan sarana transportasi.
3. Memperlancar sarana pengangkutan sampah.
4. Optimalkan bisnis daur ulang.
5. Penguatan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten.

Dengan demikian apabila ke lima strategi tersebut dapat diterapkan oleh


Pengelola TPA di Bantargebang, Bekasi dengan baik dalam penyelengaraan
kegiatannya niscaya tujuan program peningkatan pengelolaan sampah di
Bantargebang, Bekasi dan upaya mensinergikan program tersebut akan tercapai
secara optimal.
Adapun program-program yang ditawarkan adalah sebagai berikut :
1. Program perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan pada TPA
Bantargebang, Bekasi.
2. Program Kelembagaan Pengelola pada Unit TPA Bantargebang Bekasi.
3. Program pengolahan sampah terpadu dan ramah lingkungan.
4. Program pemberdayaan peran serta masyarakat.
5. Program pengembangan dan pemasaran komposting.

6.5.1. Program perbaikan sistem teknologi TPA


Penggunaan teknologi yang selama ini diterapkan dalam kesepakatan
bersama di TPA Bantargebang adalah teknologi sanitary landfill, akan tetapi
dalam pelaksanaannya dilapangan adalah open dumping yang selama ini terjadi
sehingga terjadi buang dan penumpukan sampah yang semakin tinggi, oleh karena
itu perlu ada perbaikan dalam sistem teknologi yang diterapkan dengan alternatif
teknologi lain diusulkan dengan menggunakan teknologi komposting dan TPST
(teknologi pengolahan sampah terpadu) serta ramah lingkungan sehingga
menghasilkan nilai jual yang tinggi,
6.5.2. Program Kelembagaan pada unit TPA
Kelembagaan yang ada pada unit pengelola TPA Bantargebang belum
maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga tidak jelas
kewenangan yang ada di tiap-tiap koordinasi tiap-tiap zone di lapangan oleh
karena itu diusulkan untuk meninjau kembali struktur organisasi dan tata laksana
pada Peraturan Daerah DKI Jakarta dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi
terutama pada pelaksana teknis di lapangan serta perlu adanya kelembagaan
dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah.

6.5.3. Program pengolahan sampah terpadu dan ramah lingkungan


Kerjasama antar daerah sangat diperlukan karena keterbatasan lahan pada
TPA Bantargebang Bekasi sehingga Pemerintah DKI Jakarta melakukan
penjajagan kerjasama dengan Kabupaten Tangerang dalam pemanfaatan lahan di
Kabupaten Tangerang dengan mengusulkan program TPST yang di desain dengan
menggunakan teknologi modern yang nantinya akan menghasilkan tenaga listrik
dan ramah lingungan yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan tenaga listrik
yang dihasilakn akan disalurkan terutama untuk mengaliri listrik di kedua
Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang.

6.5.4. Program Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat


Peran serta masyarakat dimana kepedulian masyarakat sangat diperlukan
dalam pembuangan sampahnya sebelum dibuang ke TPS-TPS perlu ada
pemilahan yang artinya sebelum sampah dibuang perlu disortir terlebih dahulu
antara sampah anorganik dan sampah organik di tingkat rumah tangga. Disamping
itu diusulkan perlu adanya sosialisasi dari pihak pemerintah daerah kepada
masyarakat tentang pembuangan sampah yang benar sehingga tidak terjadi
pembuangan sampah yang sembarangan atau diberikan tempat-tempat sampah
mulai dari RT/RW dimana kita tinggal.

6.5.5. Program Pengembangan dan Pemasaran komposting


Dengan kapasitas produksi sampah yang sangat besar dan terus meningkat
akan membuat bisnis daur ulang sampah dalam bentuk komposting yang sangat
potensial dan cukup prospektif untuk dipasarkan karena dapat memberikan
penghasilan yang relatif mencukupi bagi kebutuhan pokok para pelakunya,
diusulkan kepada pemerintah daerah agar pemasaran bisnis daur ulang atau dalam
bentuk komposting melalui Perusahaan Daerah yaitu BUMD baik di Provinsi DKI
atau di Kabupaten Bekasi sehingga lebih jelas pengembangan dan pemasarannya.

Dari program yang ditawarkan tersebut di atas, apabila dilaksanakan


melalui mekanisme yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan dilakukan secara
sinergi tidak menutup kemungkinan Program-program tersebut yang dilakukan
secara baik dan terpadu akan dapat tercapai.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bagian terdahulu, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang merupakan satu-
satunya TPA yang digunakan untuk membuang sampah dari seluruh wilayah
Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini belum sepenuhnya menerapkan teknologi
pengolahan sampah seperti yang telah ditetapkan dalam rencana awal
pembangunannya, yaitu sanitary landfill dan bahkan cenderung bergeser
menjadi open dumping, yang merupakan praktek pembuangan sampah tanpa
mengolah.
2. Dari sebelas skenario rumusan strategi dalam pengelolaan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang sebagai aset milik Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta yang implementasinya akan dilakukan dalam waktu
jangka pendek dengan lima skala prioritas utama adalah : 1) peningkatan
anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan; 2)
Optimalkan ketersediaan sarana transportasi; 3) memperlancar sarana
pengangkutan sampah; 4) Optimalkan bisnis daur ulang; dan 5) penguatan
penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten.

7.2. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan, keterbatasan dan kesimpulan penelitian,
maka disarankan untuk mengoptimasikan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Bantargebang melalui peningkatan anggaran dan perbaikan sistem
teknologi di bidang persampahan maka disarankan untuk melakukan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Perlu diciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama dalam
pembangunan infrastruktur pengolahan sampah guna menarik para investor,
melalui beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu :
a. Membentuk lembaga khusus yang menangani pengolahan sampah di
tingkat nasional (pusat) dan membentuk lembaga pengelola Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang profesional dengan menggunakan
beberapa bentuk kemitraan dengan pihak swasta seperti BOT (build,
operate, transfer) dan BTO (build, transfer, operate) atau Badan
Layanan Umum (BLU).
b. Menyempurnakan rumusan kebijakan pengelolaan sampah dan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang akan memberikan jaminan dan kepastian
hukum bagi para investor dalam menjalankan bisnisnya di bidang
pengolahan sampah. Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka pemerintah
baik pusat maupun daerah dituntut untuk segera menerbitkan peraturan
pelaksanaannya yang akan digunakan sebagai acuan dalam penanganan
sampah kota.
c. Menyederhanakan prosedur pengadaan infrastruktur pengolahan sampah
dengan pertimbangan bahwa hal itu merupakan salah satu kebutuhan
dasar warga kota yang proses pengadaannya dapat dikecualikan dari
prosedur pengadaan pada umumnya.
2. Perlu dilakukan penelitian lain guna mengkaji kendala dan permasalahan
yang dihadapi oleh para stakeholders dalam pengelolaan sampah terutama
di TPA Bantargebang, kemudian dicarikan alternatif solusinya dalam rangka
mewujudkan suatu sistem pengelolaan sampah yang efektif, efisien dan
berkelanjutan.
3. Perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang pengelolaan persampahan
yang ramah lingkungan dengan menggunakan Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST) dan menghasilkan sumber Energi Listrik sehingga akan
lebih bermanfaat bagi penduduk di empat desa di sekitar TPA sehingga
mempunyai daya jual yang tinggi.
4. Perlu dilakukan pengkajian terhadap manajemen pemulung dalam
pengelolaan persampahan di TPA Bantargebang.
5. Perlu dikaji alternatif lahan untuk TPA sebagai pengganti TPA
Bantargebang, Bekasi.
DAFTAR PUSTAKA

Andreaottola, G and P. Cannas. 1992. Chemical and Biological Characteristics of


Landfill Leachate. Elsevier Science Pub. Ltd, England

Dalzell, H.W.; A.J. Biddlestone, K.R. Gray & K. Thurairajan. 1984. Soil
Management Compost production and use in tropical and subtropical
environment Soil Research, Management and Conservation Services. FAO
Land & Watu Development Devision.

Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. 1989. Perencanaan Detail Sanitary


landfill Bantargebang Bekasi. Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta.

Gaur, A.C. 1983. A. manual of rural composting Project Field Document No. 15
Food and Agriculture Organization of The United Nation

Hillel, D. 1991. Research in Soil Physics: A Re-view. Soil Science. 151: 30-34

Nurmandi, Achmad, 2006, Manajemen Perkotaan, Yogyakarta, FISIP Universitas


Muhammadiyah Yogyakarta.

Pemda DKI Jakarta. Laporan Akhir Studi Andal Lokasi Pembuangan Akhir
Sampah Bantar Gebang Bekasi.

PT. Sewun Indo Konsultan, Laporan Studi Kelembagaan TPA Bantargebang,


Jakarta.

Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Studi Lingkungan UI dan Pusat Studi
Pembangunan & Lingkungan Unisma. 2002. Laporan Akhir Sistem
Pengelolaan TYPA Bantar Gebang, Bekasi. Kerjasama PPSML UI dan
PSPL Unisma dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah
Kota Bekasi.

Rangkuti, Freddy, 2001, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis,


Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Umum.

Saraswati, SP. 2001. Pengelolaan Sampah. Laboratorium Teknik Penyehatan &


Lingkungan.

Sidik, M.A. D. Herumartono dan H. Sutanto, 1985, Teknologi Pemusnahan


Sampah dengan Incenerator dan Landfill, Jakarta, BPPT.

Siregar, Doli D, 2004, Manajemen Aset : Strategi Penataan Konsep Pembangunan


Berkelanjutan secara Nasional dalam Konteks Kepala Daerah sebagai
CEOs pada Era Globalisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Umum.
Soma, Soekamana, 2005, Peran Swasta dalam Pengelolaan Sampah Kota dalam
Partisipasi Multi Stakeholders dalam Pembangunan Perkotaan, Jakarta,
Seminar Nasional ASPI 2005 & Real Estate Forum.

Suriawiria, U, 1996, Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan


Secara Biologis, Bandung, Penerbit Alumni.

Taufiq A, M. 2002. Pengembangan Teknologi Pengelolaan Sampah yang


Berwawasan Lingkungan. Development Urban Solid Waste Management
Workshop in Indonesia. Jakarta, 13-14 Mei 2002.

Wardhani, Citra 2004, Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Pemilahan Sampah


Rumah Tangga, Tesis, Jakarta, PPS-PSIL UI.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah.

Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 884 tentang Pengelolaan


Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang Bekasi.
KUESIONER PENELITIAN

Judul penelitian:
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI

PENGENALAN TEMPAT:

Provinsi : JAWA BARAT


Kabupaten : BEKASI
Kecamatan : .................................................................................
Desa/Kelurahan : .................................................................................
Nomor Sampel : .................................................................................

Kami mohon kuesioner ini dapat diisi secara objektif dan benar.
Penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademik dengan tujuan
ilmiah, semua data yang diberikan akan dijamin kerahasiaannya sesuai
kode etik ilmiah.

DJATMIKO WINAHYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

KUESIONER
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI

Pengantar
Peningkatan produksi sampah di wilayah Provinsi DKI Jakarta sudah barang tentu
akan membawa dampak bagi pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA)
Bantargebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki Pemprov. DKI
Jakarta saat ini dan menjadi andalan dalam pengolahan sampah.
Dalam rangka membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merumuskan
dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang, berikut ini beberapa
pertanyaan untuk diisi oleh responden.
Petunjuk Pengisian :
1. Di bawah ini tersedia kotak pilihan untuk disilang berdasarkan peringkat
pembobotan yang ditentukan oleh para responden.
2. Pilihan berupa pasangan yang saling dibandingkan pada tingkat yang sama.
3. Sistem pembobotan dengan cara meranking terhadap pasangan pilihan yang
dibandingkan.
4. Pilihan nilai ranking untuk isian bedasarkan intensitas pentingnya sebagai
berikut :

Intensitas Tingkat Kepentingan antar Dua Elemen yang Dibandingkan


Pentingnya
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lain
5 Elemen yang satu sangat penting daripada elemen lain
7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lain
9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lain
2,4,8,7 Nilai diantara dua nilai

5. Contoh pengisian :

a. Pilihan A mutlak lebih penting daripada Pilihan B.

Pilihan A 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pilihan B

b. Pilihan A sama pentingnya dengan pilihan C.

Pilihan A 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pilihan C

A. Tingkat Pertama
Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah untuk menentukan
prioritas strategi dalam pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA)
Bantargebang sebagai satu-satunya aset TPA yang dimiliki Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.

B. Tingkat Kedua

1. Para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan upaya


pencapaian tujuan tersebut di atas adalah :
a. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai regulator dan penentu
kebijakan.
b. Pakar sebagai nara sumber pengetahuan tentang pengelolaan sampah
dan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
c. Masyarakat adalah mereka yang bergerak di sektor pengelolaan sampah
maupun pemerhati masalah persampahan, baik dari lembaga swadaya
masyarakat maupun dunia usaha.

2. Pertanyaan
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, di antara para pemangku
kepentingan (stakeholders) di bawah ini, menurut anda pihak mana yang
berkepentingan antara :

Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pakar
Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Masyarakat
Pakar 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Masyarakat

C. Tingkat Ketiga

1. Dalam upaya optimasi tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang


dengan mengacu pada tujuan di atas, maka hal-hal yeng terkait dengan
pengolahan sampah dan pengelolaan TPA meliputi kriteria kelembagaan,
pendanaan, teknis operasional, hukum dan peran serta masyarakat.

2. Pertanyaan
a. Menurut anda, dari sisi pemerintah, kriteria mana yang menjadi prioritas
dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara:

Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pendanaan
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta Masy.
Hukum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta Masy.
b. Menurut anda, dari sisi Pakar, kriteria mana yang menjadi prioritas
dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pendanaan
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Hukum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.

c. Menurut anda, dari sisi masyarakat, kriteria mana yang menjadi


prioritas dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pendanaan
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Hukum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.

D. Tingkat Keempat
1. Tingkat keempat ini merupakan sub-kriteria dari tingkat ketiga yang
berfungsi menentukan prioritas pilihan sesuai tujuan di atas.
2. Pertanyaan

a. Menurut anda, terhadap kriteria kelembagaan, mana yang penting


antara :

Kerjasama dengan Kerjasama antar


9 7 5 3 1 3 5 7 9
swasta daerah
Kerjasama dengan
9 7 5 3 1 3 5 7 9 BLU
swasta
Kerjasama antar
9 7 5 3 1 3 5 7 9 BLU
daerah

b. Menurut anda, terhadap kriteria pendanaan, mana yang penting antara:

APBD 9 7 5 3 1 3 5 7 9 APBN / Pinjaman

c. Menurut anda, terhadap kriteria hukum, mana yang penting antara :

Perda / Keputusan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Keppres No.80/2003


Gubernur Perpres No.67/2005

d. Menurut anda, terhadap kriteria peran serta masyarakat, mana yang


penting antara :

LSM peduli
3R 9 7 5 3 1 3 5 7 9
lingkungan

E. Tingkat Kelima
1. Terhadap upaya optimasi pengelolaan TPA Bantargebang sebagai aset
yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terdapat alternatif strategi
yang ditawarkan, yaitu :
a. Peningkatan sarana dan prasarana.
b. Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA.
c. Peningkatan peran serta masyarakat.
d. Peningkatan kualitas SDM.
2. Pertanyaan
a. Menurut anda, terhadap sub-kriteria kerjasama dengan swasta, strategi
mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

b. Menurut anda, terhadap sub-kriteria kerjasama antar daerah, strategi


mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

c. Menurut anda, terhadap sub-kriteria Badan Layanan Umum (BLU),


strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang
antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

d. Menurut anda, terhadap sub-kriteria APBD, strategi mana yang


penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

e. Menurut anda, terhadap sub-kriteria APBN/Pinjaman, strategi mana


yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

f. Menurut anda, terhadap sub-kriteria sarana prasarana, strategi mana


yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

g. Menurut anda, terhadap sub-kriteria Perda / Keputusan Gubernur,


strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

h. Menurut anda, terhadap sub-kriteria Keppres No.80/2003 & Perpres


No.67/2005, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA
Bantargebang antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM
i. Menurut anda, terhadap sub-kriteria 3 R (reduce, reuse dan recycle),
strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang
antara :

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM
j. Menurut anda, terhadap sub-kriteria LSM peduli lingkungan, strategi
mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara:

Peningkatan sarana Peningkatan peran


9 7 5 3 1 3 5 7 9
prasarana serta masyarakat
9 7 5 3 1 3 5 7 9 Penyertaan investor
Peningkatan sarana
dalam pembangunan
prasarana
& pengoperasian TPA
Peningkatan sarana 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
prasarana SDM
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
dalam pembangunan SDM
& pengoperasian
TPA
Penyertaan investor 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan peran
dalam pembangunan serta masyarakat
& pengoperasian
TPA
Peningkatan peran 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan kualitas
serta masyarakat SDM

You might also like