Professional Documents
Culture Documents
DJATMIKO WINAHYU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Kajian Pembangunan Daerah
Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir
Bantargebang, Bekasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir kajian ini.
Djatmiko Winahyu
NRP. H251064145
ABSTRACT
Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan terbuang atau dibuang dari
suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak
mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif
karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya
memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi
masalah yang kian mendesak terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, adalah
dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebab bila
tidak dilakukan penanganan yang baik maka akan mengakibatkan terjadinya
perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan
sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air maupun udara.
oleh karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan
penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian
akan menjadi semakin rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun
komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Penanganan
sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di pedesaan.
Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas warga Jakarta yang
demikian pesat, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai
dengan berbagai permasalahannya. Berdasarkan data Dinas Kebersihan Provinsi
DKI Jakarta, jumlah timbulan sampah per hari pada tahun 2007 adalah sekitar
27.654 m atau setara 6.914 ton, yang bersumber pada beberapa sektor, seperti :
permukiman, perkantoran, industri, sekolah, pasar, dan lain-lain. Berdasarkan
hasil evaluasi kebersihan kota-kota di Indonesia, tidak seluruh sampah dapat
diangkut oleh kendaraan pengangkut sampah untuk dibuang ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana,
sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah. Untuk wilayah Jakarta, sampah yang dapat diangkut/tertanggulangi
sekitar 26.962 m (97,50%), sedangkan sisanya sekitar 692 m (2,50%) tidak
tertanggulangi.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang merupakan aset milik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh sampah dari
DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA
tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya. Kondisi ini diperparah dengan
belum diterapkannya SOP Sanitary Landfill. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah semakin besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh
Pemerintah Daerah yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah
TPA Bantargebang dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang yang
dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menggunakan
pendekatan deskriptif analitik dengan metode kualitatif. Sampel penelitian ini
adalah para pakar di bidang persampahan baik dari pihak pemerintah, pakar
maupun masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara,
observasi dan dokumentasi.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara, observasi dan
dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa upaya optimasi
pengelolaan TPA Bantargebang dapat dilakukan melalui analisis SWOT yang
merupakan salah satu cara yang dapat membantu menganalisis pengelolaan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantargebang, sehingga akan
menghasilkan beberapa alternatif strategi prioritas.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu
masalah; dan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI
DJATMIKO WINAHYU
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Ir. Lukman M. Baga, MAEc
Judul Tugas Akhir : Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan
Akhir Bantargebang, Bekasi
Nama : Djatmiko Winahyu
NRP : H 251064145
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga berkah Allah bersama kita
semua. Amin.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 Juli 1961 dari ayah Soeharto dan ibu
Sri Triatmi, merupakan putra Sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan Sekolah
Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di kota
kelahirannya Malang, Jawa Timur. Pendidikan Sarjana ditempuh pada jurusan
Teknik Sipil Jurusan Teknik Pengairan Institut Teknologi Nasional Malang yang
ditamatkan pada tahun 1989. Pada tahun 1993 penulis mulai bekerja di
Departemen Dalam Negeri dan ditempatkan di Direktorat Jenderal Pemerintahan
Umum, Departemen Dalam Negeri sampai dengan sekarang. Pada tahun 2007
penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada program pascasarjana
Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Menikah pada tahun
1991 dengan Endang Sulistyaningsih dan dikaruniai dua orang anak yaitu Winda
Ayu Rasmasari dan Septa Stelasari.
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
1.5. Batasan Penelitian ............................................................................ 5
Halaman
Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah ..................................................16
Tabel 3.1. Distribusi Responden Kajian..............................................................42
Tabel 3.2. Metode Analisis..................................................................................42
Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Peruntukan Desa Cikiwul, Ciketing udik dan
..................Sumur Batu......... ...............................................................................48
Tabel 4.2. Pembagian Zone TPA Bantargebang .................................................49
Tabel 4.3 Estimasi Area dan Kapasitas Landfill. ................................................49
Tabel 4.4 Prosentase Komposisi Sampah di Provinsi DKI Jakarta.....................53
Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara di DKI Jakarta.................55
Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut dan Sisa Sampah
.................di Wilayah DKI Jakarta.......................................................................56
Tabel 4.7 Aset TPA Bantargebang .....................................................................58
Tabel 4.8 Sarana Pendukung TPA Bantargebang ...............................................59
Tabel 4.9 Pengoperasian TPA Bantargebang (Aspek Sosial dan Teknis) ..........60
Tabel 5.1 Matriks Faktor Strategis Internal Pengelolan TPA Bantargebang ......66
Tabel 5.2 Matriks Faktor Strategis Eksternal Pengelolan TPA Bantargebang ...68
Tabel 5.3 Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif Strategi
.................Pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi..............................................70
Tabel 5.4 Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Strategi Pengelolaan
.................Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang...................74
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.6.3. Pengumpulan
Proses pengumpulan sampah yang dilakukan dari rumah ke rumah
(sumber) menuju ke tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau transfer depo,
dapat menggunakan gerobak sampah selanjutnya dari Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) atau transfer depo sampah tersebut kemudian diangkut ke truk
menuju ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Menurut Tchobanoglous, Theinsen dan Virgil (1993) sistem pengumpulan
sampah pada dasarnya dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Hauled Container System (HCS)
Yaitu sistem pengumpulan sampah diangkut ke tempat pembuangan,
dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi semula atau beberapa lokasi lain.
2. Stationery Container System (SCS)
Yaitu sistem pengumpulan sampah dimana Kontainer penyimpanan sampah
adalah tetap (remain) di titik penimbulan sampah.
Untuk lebih jelasnya operasional persampahan mulai dari timbulan sampah
sampai diangkut ke lokasi pembuangan akhir disajikan pada gambar 2.1.
TIMBULAN SAMPAH
PEWADAHAN
PENGUMPULAN
PEMBUANGAN AKHIR
SAMPAH
2.6.4. Pengangkutan
Kegiatan pengangkutan merupakan kegiatan operasional yang dimulai dari
sumber sampah atau Transfer Depo/TPS ketempat pengolahan/Tempat
Pembuangan Akhir. Frekuensi pengangkutan ini dapat bervariasi. Menurut
Sinulingga (1999) untuk daerah-daerah menengah ke atas Frekuensinya lebih
sering dibandingkan dengan daerah lainnya, misalnya dua kali sehari. Sedangkan
untuk kawasan lainnya satu kali sehari tetapi hendaknya dipahami apabila kurang
dari satu kali sehari menjadi tidak baik karena sampah yang tinggal lebih dari satu
hari dapat mengalami proses pembusukan, sehingga menimbulkan bau yang tidak
sedap.
Bentuk atau pola pengangkutan bergantung pada jenis peralatan yang
digunakan menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dapat berupa :
1. Pengangkutan Dengan Sistem Transfer Depo.
Kegiatan pengangkutan berupa :
a. Persiapan kendaraan di pool kendaraan dan perjalanan ke Transfer Depo.
b. Kegiatan pemindahan sampah ke Truck dan pengangkutan ke TPA.
c. Pembongkaran sampah di TPA dan perjalanan kembali ke transfer Depo
pertama.
Hal ini dapat disajikan pada Gambar 2.2.
Transfer Depo
Kontainer Kosong
POOL KONTAINER 1 TPA
Kontainer Kosong
KONTAINER 2
Kontainer Isi
KONTAINER 3
(P+S+H)
T=
(1-W)
Dimana :
T = Waktu yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampah per trip (jam)
P = Waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampah per trip (jam)
S = Waktu yang dibutuhkan untuk pembuangan sampah per trip (jam)
H = Waktu yang dibutuhkan untuk proses haul sampah per trip (jam)
W = Factor off route (faktor waktu meliputi waktu yang dihabiskan selama
pengoperasian atau waktu yang tidak berguna seperti: perbaikan kerusakan
kendaraan, kemacetan jalan dan sebagainya).
2.6.5. Efisiensi
Pengertian mengenai efisiensi sangat beragam dari berbagai macam
bidang, menurut Slichter dan Sarwoto (1994) ada tiga macam efisiensi pada
dewasa ini yaitu :
1. Engineering.physical effciency (efisiensi mesin/benda), yaitu perbandingan
antara jumlah satuan benda yang dipergunakan dengan benda yang
dihasilkan.
2. Pecuniary/business efficiency (efisiensi perusahan/keuangan) yaitu,
perbandingan antara dollar yang dikeluarkan dengan penghasilan yang
masuk.
3. Social/human efficiency (efisiensi kemanusiaan/sosial) yaitu, perbandingan
antara pengorbanan-pengorbanan manusia dengan kepuasan atau
kemanfaatan bagi manusia yang dapat dinikmati.
Dari definisi di atas, pada dasarnya menekan kepada perbandingan antara
masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan.
Dalam kegiatan staf pengertian efisiensi menurut Sarwoto (1994)
menggunakan terminologi efisiensi kerja dengan pengertian bahwa efisiensi kerja
dalam kegiatan staf adalah perbandingan terbaik antara suatu usaha dengan
hasilnya. Perbandingan terbaik ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi hasil dan
segi usaha sebagai berikut :
1. Segi hasil, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau usaha itu memberikan
hasil yang baik. Terbaik dalam arti mutu maupun jumlah dari pada hasil
yang dikehendaki.
2. Segi usaha, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau sesuatu hasil yang
dikehendaki dapat dicapai dengan usaha yang teringan. Teringan dalam
hubungan dengan pemakaian tenaga jasmani, pikiran, waktu, benda dan
uang.
Dengan mengesampingkan faktor-faktor manusia sebagai pelaksana kerja
dan lingkungan dimana kerja itu diselenggarakan maka efisiensi kerja seseorang
terutama ditentukan oleh cara kerjanya yang mencakup pengertian tata kerja,
prosedur dan sistem kerja.
2.6.6. Efektivitas
Pengertian efektivitas dari berbagai bidang keahlian pun amat beragam dan
tergantung pada konteks apa efektivitas tersebut digunakan, namun demikian pada
umumnya para ahli sependapat bawha efektivitas itu pada prinsipnya adalah
seberapa besar hasil guna yang tercapai dengan menggunakan semaksimal
mungkin alat atau sumberdaya yang tersedia.
Urban Institut dalam Bintarjo (1997) mendefinisikan pengertian efektivitas
(measure of effectivity) sebagai berikut :
1). Tingkat dimana tujuan-tujuan jasa pelayanan yang dikehendaki terpadu.
2). Tingkat dimana terdapat dampak jasa pelayanan pada komunitas yang tidak
dikehendaki dan bertentangan.
3). Kecukupan kuantitas dari kualitas jasa pelayanan yang diberikan berhubung
dengan kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan komunitas dan
keamanan untuk membayar.
4). Kecepatan dan keramahan yang dutunjukan dalam menanggapi permintaan
penduduk.
5). Persepsi masyarakat pada kepuasan dan jasa pelayanan yang diberikan.
6). Sementara menurut Eduards dan Isworo (1996), bahwa syarat-syarat yang
penting bagi efektivitas suatu kebijakan adalah :
a. Komunikasi; biasanya suatu kebijakan menyangkut banyak pihak,
terutama para pelaksana kebijakan satu sama lain saling berhubungan
secara sinergis.
b. Sumberdaya manusia; merupakan orang-orang yang melaksanakan
pekerjaan/tugas sesuai dengan jumlah maupun mutu yang diperlukan
serat adanya wewenang dan tanggung jawab yang jelas dan dilengkapi
fasilitas memadai.
c. Sikap para pelaksana; adanya kesepakatan terhadap kebijakan yang
ditentukan melalui penciptaan melalui budaya organisasi.
d. Struktur birokrasi; yaitu struktur yang mampu mewadahi proses kerja
organisasi bersangkutan dan pengaruh lingkungan.
Pembiayaan Teknis
dan Retribusi opersional
Persampahan
Managemen
dan
Managemen Organisasi
dan
Organisasi
2.7. Organisasi
Menurut Siagian dan Indrawijaya (1986) organisasi adalah setiap bentuk
persekutuan antar dua orang atau lebih yang bekerjasama serta secara formal
terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dalam ikatan
terdapat seorang.beberapa orang yang disebut bawahan. Selanjutnya Atmosudirjo
dan Indrawijaya (1986) mengemukakan organisasi adalah struktur tata pembagian
kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi
yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan
tertentu.
Organisasi itu sendiri dapat hidup karena adanya, manusia yang
menggerakannya. Manusia yang menggerakan organisasi adalah orang-orang
sebagai partisipan aktor dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu perilaku suatu
organisasi banyak dipengaruhi oleh perilaku para pesertanya atau aktornya.
Perilaku yang berkaitan dengan disiplin, inisiatif, wewenang dan tanggung
jawab akan mencerminkan apakah organisasi berjalan dengan efisien dan efektif
atau tidak. Efektifitas dan efisiensi tersebut pada akhirnya akan menentukan
performance (kinerja) organisasi tersebut. Dengan perkataan lain, secara umum
efektivitas dan efisiensi merupakan instrument (waditra) untuk mengukur kinerja
suatu organisasi.
Menurut Prawirosentono (199) efektivitas dari usaha kerja sama (antar
individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan
dalam suatu sistem itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerja sama dalam
suatu sistem (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang
dipilih masing-masing individu. Efisiensi organisasi mempersoalkan hubungan
antara input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Meningkatkan rasio
output terhadap input merupakan indikasi dari meningkatnya efisiensi organisasi.
Untuk mengukur apakah tujuan organisasi tercapai atau tidak digunakan
kriteria yakni efektivitas dan efisiensi. Dalam organisasi yang baik wewenang dan
tanggung jawab telah disebar dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas.
Masing-masing peserta organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan
tanggung jawab dalam kerangka organisasi mencapai tujuannya.
2.8. Pengertian Aset
Aset dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai. Aset
adalah sesuatu yang bernilai. Sesuatu apapun namanya dan bagaimanapun
bentuknya, baik yang sifatnya nyata (tangible) ataupun yang sifatnya tidak nyata
(intangible) yang merefleksikan nilai dapat dikelompokkan sebagai aset (Barata,
1995). Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan diuraikan tentang definisi aset,
yaitu :
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk
sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah
dan budaya.
Siregar (2000) secara umum menjelaskan bahwa pengertian aset secara
umum adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai
ekonomi (economic value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh
badan usaha, instansi atau individu.
Di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta aset dikenal dengan
istilah Barang Daerah. Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Nomor 152 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Daerah yakni semua aset daerah yang menjadi kekayaan Pemerintah
Daerah, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, yang berwujud, yang bergerak
maupun tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun merupakan satuan
tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk hewan dan
tumbuh-tumbuhan.
Dari pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa aset merupakan
sesuatu yang memiliki nilai (valuable thing), namun ditinjau dari wujudnya aset
dapat dibagi menjadi aset yang tangible (ada bentuk fisik misalnya ; tanah,
bangunan, dan sebagainya) dan intangible (non fisik, misal ; hak cipta, hak paten,
dan sejenisnya) yang pada dasarnya dapat dimiliki oleh individu atau kelompok.
Aset tersebut di atas, memiliki potensi yang apabila dimanfaatkan secara
optimal akan memberikan keuntungan baik dalam bentuk profit maupun benefit
bagi pemiliknya. Karena itu aset perlu dikelola agar efektifitas pemanfaatannya
dapat menunjang tercapainya tujuan individu maupun organisasi yang
memilikinya. Siregar (2004:519) menjelaskan Optimalisasi aset merupakan
proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi
fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki aset tersebut.
Dalam buku, Implementasi Manajemen Aset (1995), Barata mengatakan :
Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi untuk
memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan
operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi
pemerintah.
Potensi aset tersebut akan mempunyai kontribusi bila dalam
pemanfaatannya dilakukan secara optimal sesuai dengan visi dan misi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah tanpa mengesampingkan aspek yang tak kalah
pentingnya, yaitu kebutuhan warga kota selaku penggunanya (users).
Bagi organisasi (pemerintah/swasta) untuk mengoptimalkan aset sesuai
potensinya, maka dalam operasional pemanfaatan aset sebagai fasilitas diperlukan
manajemen fasilitas (facilities management). Manajemen fasilitas diperlukan agar
dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Amaratunga (Shahabudin, 2006:97) yang menyatakan
Facilities management is an umbrella term under a wide range of property an
user related function may be brought together for benefit of the organization as a
whole as well its employees.
Penggunaan aset yang ideal harus dilihat dari dua sisi (Barata, 2007) :
1). Pengadaan/penyediaan aset sebagai fasilitas pendukung untuk menyediakan
atau melayani organisasi dimana dampaknya menuju ke arah peningkatan
keseluruhan performa/kinerja dari pemerintah pusat/daerah.
2). Kemanfaatan aset yang terkait dengan keputusan, berupa ya
atautidaknya kebijakan manajemen aset ini sudah efektif, efisien dan
mencapai penggunaan yang terbaik dan paling tinggi yang notabene
merupakan prinsip dari kepemilikan aset.
Dalam penelitian ini, maka konteks aset diwujudkan dalam bentuk aset
sebagai sarana atau fasilitas pelayanan kebersihan, terutama dalam bidang
pengolahan sampah yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan di bidang kebersihan (asset service) yang diharapkan juga dapat
mendatangkan berbagai manfaat (benefit) maupun keuntungan (profit) bagi para
pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kegiatan pelayanan terjadi interaksi antara
pemberi pelayanan dan yang diberi pelayanan. Dalam konteks asset service
sasaran pelayanan TPA adalah masyarakat sebagai pelanggan (customer) atau
pengguna jasa. TPA merupakan aset atau fasilitas perkotaan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa untuk memperoleh layanan
kebersihan/persampahan.
Hak dan kewajiban masing-masing pemerintah daerah
Hak pihak pertama (DKI Jakarta)
1. Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan TPA
2. Membuang sampah yang berasal dari DKI Jakarta ke TPA Bantargebang
3. Melakukan komitmen sharing pembiayaan berdasarkan prosentase
Kewajiban
1. Membuat Site Plan penataan TPA
2. Memelihara IPAL
3. Melakukan pemeriksaan terhadap leachate/lindi setiap 3 bulan untuk
memantau tingkat pencemaran
4. Memelihara jalan masuk menuju TPA
5. Melakukan pengobatan massal setiap 2 bulan
6. Melakukan penyemprotan lalat setiap bulan
7. Melakukan pemeriksaan sampel air bersih setiap 2 bulan
8. Memelihara sarana air bersih dan menambah cakupan layanan untuk
perkampungan di sekitar TPA
Hak pihak kedua (Kota Bekasi)
1. Melaksanakan pengelolaan TPA Bantargebang
2. Memperoleh kontribusi dari pemasukan sampah ke TPA
Kewajiban
1. Memelihara drainase di sekitar TPA
2. Memelihara PJU di lokasi TPA dan sepanjang jalan masuk
3. Melakukan koordinasi dengan Pemkab dan Pemdes setempat.
2.9. Strategi
Konsep strategi pada awalnya adalah suatu tindakan perencanaan dan
keputusan yang dilakukan oleh para petinggi militer dalam upaya memenangkan
pertempuran yang didasarkan pada pemahaman terhadap kondisi eksternal dan
internal. Mintzberg (1992) mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya
konsep strategi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan juga
menjadi alat untuk menciptakan keunggulan dalam persaingan, dan juga menjadi
tindakan dinamis untuk memberi respon terhadap kekuatan internal dan eksternal.
Strategi merupakan pola tindakan utama yang dipilih untuk mewujudkan
visi dan misi organisasi. Strategi adalah sebuah rencana yang disatukan, luas dan
terintegrasi yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi (Glueck dan Jauch,
1992). Mintzberg (1992) memberikan pandangannya mengenai strategi sebagai
rencana, pola, posisi, dan perspektif.
a. Strategi sebagai rencana, berhubungan dengan bagaimana para pimpinan
mencoba untuk mengarahkan organisasi dalam situasi masa yang akan
datang.
b. Strategi sebagai pola, memfokuskan pada aksi/tindakan, juga mendorong
pemusatan tindakan dan pencapaian konsistensi perilaku organisasi.
c. Strategi sebagai posisi, mendorong kita untuk melihat organisasi dalam
lingkungan persaingannya, bagaimana mereka menentukan posisi dan
bertahan dalam persaingan, menghadapi atau menghindar.
d. Strategi sebagai perspektif, meningkatkan pertanyaan mengenai intensi dan
perilaku dalam konteks kolektif. Bagaimana intensi menyebar ke seluruh
anggota organisasi menjadi norma dan nilai yang disepakati bersama.
Strategi merupakan penggabungan pola berpikir strategis dengan fungsi-
fungsi manajemen yaitu : perencanaan (planning), penerapan (implementing), dan
pengawasan (evaluating). Strategi digunakan untuk mengarahkan sumber daya
organisasi untuk mencapai sasaran. Strategi mencerminkan kesadaran organisasi
dengan bagaimana, kapan dan dimana sebaiknya berkompetisi, dengan siapa
berkompetisi dan maksud kompetisi. Rangkuti (2006) membedakan strategi
kedalam tiga kelompok, yaitu : strategi manajemen, strategi investasi dan strategi
bisnis.
Perencanaan strategis merupakan bagian dari kegiatan penyusunan konsep
strategi. Yogi (2007) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perencanaan
strategis adalah perencanaan yang didasarkan pada pengamatan keadaan eksternal
(peluang dan ancaman) serta keadaan internal (kekuatan dan kelemahan).
Sementara Rangkuti (2006) mengatakan bahwa tujuan dari dilakukannya
perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara objektif
kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi
perubahan lingkungan eksternal.
Perencanaan strategis juga bermanfaat untuk memperoleh keunggulan
bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan
dukungan yang optimal dari sumber daya yang ada. Perencanaan strategis
didasarkan pada keadaan sekarang, berbeda dengan perencanaan jangka panjang
yang didasarkan pada ramalan keadaan yang akan datang. Kelemahan kegiatan
perencanaan biasanya disebabkan oleh sifatnya yang sangat teoritis.
PERMASALAHAN DKI:
1. Produksi dan konsumsi barang &
jasa meningkat
2. Produksi sampah meningkat
3. Lokasi pembuangan terbatas
MASALAH
1. Lingkungan
2. Kesehatan
3. infrastruktur
STRATEGI
PENGELOLAAN SAMPAH
Kinerja Pengelolaan
Sampah
Aspek Teknis belum berjalan baik masyarakat yang dilayani dalam sistem
pengumpulan, jumlah sampah kota yang dikumpulkan setiap hari, efisiensi
kendaraan, yang diukur dalam masyarakat yang dilayani per kendaraan dalam
jumlah m3 per kendaraan per hari serta jarak pengangkutan ke lokasi yang terlalu
jauh dari TPS-TPS yang ada di DKI Jakarta menuju TPA Bantargebang sebagai
pembuangan Akhir sampah, oleh karena itu Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk
lebih mempriotaskan mobilisasi pengangkutan.
Tata Guna Lahan Cikiwul (Ha) Ciketing (Ha) Sumur Batu (Ha)
a. Luas areal desa 343,340 343,700 68,955
b. Luas areal desa
menurut
pemanfaatan 88,110 175,340 35,000
- perumahan 2,000 91,450 16,245
- sawah 12,849 25,000 3,000
- kuburan 12,849 1,200 2,585
- tegalan 0,600 14,677 1,372
- pengangonan 0,541 1,381 1,732
- wakaf 2,560 2,472 1,500
- kolam/empang 84,600 6,112 4,590
-perkebunan/ladang 121,060 26,112 2,931
Jumlah (b) 343,340 343,700 68,955
Sumber: Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta
Daerah terbangun pada daerah sanitary landfill hanya terdiri dari perumahan
yang sifatnya non permanen, tetapi di sekitar jalan masuk banyak terdapat
bangunan-bangunan yang sifatnya permanen, seperti pergudangan, pabrik industri
makanan ternak, dan pabrik industri pakaian jadi (garment).
I 23 20, 74
II 25 22,01
III 32 27,72
IV 13 12,43
V 15 13,75
1. Drainase
Saluran drainase di TPA Bantargebang dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Drainase Jalan
Berada di sisi sepanjang jalan penghubung yang berfungsi untuk
mengalirkan limpasan air dari badan jalan. Drainase jalan hanya terdapat di zone
III dengan kondisi masih baik.
b. Drainase Lahan
Saluran Drainase ini berfungsi untuk mengalirkan limpasan air permukaan
dari lahan TPA agar mengalir ke bangunan pengolahan Leachate (BPL) sehingga
dapat diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke badan air penerima. Drainase
lahan merupakan saluran permanen dari konstruksi beton dan dibuat mengelilingi
lahan. Dinding saluran dibuat kedap sehingga tidak terjadi infiltrasi ke arah
samping. Drainase lahan baru dibanguan di zone I dengan kondisi masih baik
tetapi dibeberapa tempat tersumbat oleh sampah sehingga aliran sedikit terganggu.
Drainase lahan di zone I tidak dialirkan ke BPL terdekat tapi langsung di alirkan
ke badan air penerima terdekat yaitu S. Ciketing.
4. Bangunan Penunjang
Bangunan Penunjang yang ada di TPA Bantargebang Bekasi terdiri dari
empat bagian yaitu:
1. Jembatan Timbang
Jembatan timbang yang dipergunakan adalah secara digital berfungsi untuk
menimbang volume atau berat sampah ke TPA per truk, sehingga dapat diketahui
jumlah volume atau berat sampah perhari yang dilayani TPA Bantargebang
bekasi. Kondisi Jembatan Timbang ini saat ini masih dapat dioperasikan dengan
baik.
2. Kantor Pengelola TPA
Kantor Pengelola ini memantau segala kegiatan yang terjadi di TPA dikantor
ini dicatat:
a. Jumlah kendaraan yang masuk perhari
b. Volume sampah yang masuk perhari
c. Jumlah kendaraan pengangkut sampah yang beroperasi
d. Jumlah alat berat yang beroperasi
3. Garasi
Garasi ini berfungsi untuk parkir alat berat agar terlindung dari panas dan
hujan, saat ini garasi berfungsi pula sebagai bengkel alat berat yang rusak.
Kapasitas garasi adalah untuk 4 kendaraan
4. Sarana cuci mobil/kendaraan alat berat
Kapasitas sarana cuci mobil adalah untuk 2 kendaraan. Sarana ini dilengkapi
dengan pompa air sumur dangkal.
4.4.1 Pewadahan
Kegiatan ini merupakan kegiatan pengumpulan sampah sebelum diangkut ke
tempat penampungan dan pewadahan sampah ini dilakukan sebelum dilasanakan
kegiatan pengumpulan. Umumnya tempat pewadahan sampah berupa tong
sampah, bak pasangan batah atau kantong plastik. Sarana pewadahan umumnya
disediakan oleh masing-masing penghasil sampah. Kegiatan ini dilakukan untuk
mencegah sampah berserakan yang akan memberikan kesan kotor serta untuk
menpermudah proses kegiatan pengumpulan.
Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) di DKI Jakarta Tahun
2005
Jumlah dan Jenis LPS TPS Terbuka
Seksi
N Container Pool Pool Bak
Kebersihan Dipo Container (6 Transito ter- tidak
o (10 Gerobak Container Beton
Kecamatan (Unit) m3/unit (Lokasi) jadwal terjadwal
m3/unit (Lokasi) (Lokasi) (Unit)
Jakarta
1 12 49 35 49 73 38 63 12 1
Pusat
Jakarta
2 14 69 28 69 25 0
Utara
Jakarta
3 27 149 94 149 94 0 20 20 0
Barat
Jakarta
4 26 51 30 51 32 85 75 95 37
Selatan
Jakarta
5 31 91 76 91 74 0 319 140 0
Timur
Jumlah 110 409 263 276 282 278 126 341 38
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005
Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut, dan Sisa Sampah
di Wilayah DKI Jakarta pada Lokasi TPA Tahun 2005
Timbulan
Terangkut Sisa Sampah
No Wilayah Sampah
(m3/hari) (m3/hari)
(m3/hari)
1 Jakarta Pusat 5.102 4.578 524
2 Jakarta Utara 4.580 3.837 743
3 Jakarta Barat 5.366 4.511 855
4 Jakarta Selatan 4.708 4.125 583
5 Jakarta Timur 5.442 4.743 583
6 Dinas 402 402 0.00
Jumlah 25.600 22.196 3.404
Sumber : Dinas kebersihan DKI Jakarta, 2005
4.5 Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Saat ini
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang mulai beroperasi
pada bulan Agustus 1989 direncanakan untuk menampung sampah dari belahan
timur kota Jakarta, namun dengan ditutupnya TPA Kapuk Kamal pada tahun 1993
dan belum beroperasinya TPA Tangerang, maka praktis seluruh sampah dari
wilayah Provinsi DKI Jakarta dibuang ke TPA Bantargebang.
TPA Bantargebang saat ini berada di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Tempat Pemusnahan Akhir yang merupakan unsur pelaksana operasional Dinas
Kebersihan di lapangan, dan dalam pelaksanaannya dipimpin oleh seorang Kepala
Unit yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada dan bertanggung
jawab kepada Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Kepala Unit /
Kepala TPA mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan dan pengaturan teknis
pembuangan akhir sampah di daerah.
Sejak awal pengoperasiannya, TPA Bantargebang dikelola oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bekasi yang terikat
dalam sebuah perjanjian kerjasama pengelolaan sampah dan TPA Bantargebang
yang diperbaharui setiap tahunnya. Pada bulan Desember 2001 terjadi kerusuhan
di lokasi TPA Bantargebang yang mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas
penunjang operasional TPA. Selanjutnya, pada tahun 2004 pengelolaan sampah di
TPA tersebut diserahkan kepada pihak ketiga selaku operator, yaitu PT. Patriot
Bangkit Bekasi (PBB) sampai dengan bulan Mei 2007. Berdasarkan Keputusan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 884 Tahun 2007 terhitung mulai 4 Juni
2007 pengelolaan TPA Bantargebang dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan
Provinsi DKI Jakarta dengan sistem sanitary landfill sampai dengan adanya
penetapan pemenang lelang pengelolaan (TPA) Bantargebang.
4.8 Ikhtisar
Berdasarkan hasil analisis yang didapat pada saat ini adalah :
1. Ditinjau dari lingkungan fisik, dalam pengelolaan TPA Bantargebang,
Kabupaten Bekasi Jawa Barat belum sepenuhnya menerapkan teknologi
pengolahan sampah seperti yang telah ditetapkan dalam rencana awal
pembangunan dengan menggunakan teknologi sanitary landfill.
2. Masih rendahnya peran serta masyarakat dalam kepedulian membuang
sampah dan belum melakukan pemilahan dan pengurangan volume sampah di
sumbernya dan tidak menggunakan sistem 3 R (reduce, reuse dan recycle).
3. Masih belum optimalnya pemeliharaan dan monitoring yang dilakukan oleh
pengelola unit TPA yang ada di Bantargebang dan Dinas Kebersihan DKI
Jakarta terhadap lingkungan serta prasarana di sekitar TPA.
V. EVALUASI KINERJA PENGELOLAAN TPA
BANTARGEBANG, BEKASI
Struktur organisasi yang ada saat ini di unit TPA Bantargebang belum cukup
dapat menangani operasional sehari-hari, namun apabila unit yang ada di TPA
Bantargebang ingin lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka organisasi ini
perlu ditinjau kembali terutama menyangkut tugas`dan kewenangan koordinasi
wilayah di tiap-tiap zone yang ada sebagai ujung tombak belum maksimal di
lapangan. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali Peraturan Daerah Provinsi
DKI Jakarta dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tentang Struktur
Organisasi dan Tata laksana Unit Pengelola TPA Bantargebang, perlu ada
kejelasan dan kewenangan koordinasi wilayah di tiap-tiap zone, dan
penambahan unit-unit pada seksi-seksi teknis.
Namun untuk tingkat pelayanan berdasarkan perhitungan dan data yang ada
terlihat bahwa tingkat pelayanan berdasarkan jumlah produksi sampah sehingga
masih belum memadai baru mencapai sekitar 40 %. Hal ini tentunya belum
mencapai target yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebesatr 75 % - 80 %.
b. Pengumpulan
Pengumpulan sampah pada saat ini masih belum dipilah-pilah antara sampah
anorganik dan sampah organik sehingga masih dimanfaatkan oleh pemulung
untuk diambil lagi dan diolah sendiri sehingga banyak tercecer yang
menimbulkan bau yang tidak enak, oleh karena itu perlu adanya pemilahan
yang dilakukan oleh petugas dari DKI Jakarta dalam hal ini unit yang ada di
TPA Bantargebang. Oleh karena itu tingkat pelayanan berdasarkan produksi
sampah yang dihasilkan masih mencapai 40 %, sedangkan target yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat sebesar 75% - 80 % oleh karena itu perlu
lebih ditingkatkan dalam tingkat pelayananannya, adanya keterlibatan
pemulung dalam pemilihan sampah anorganik maupun sampah organik dan
diperlukan kerjasama antar pemerintah daerah dengan pemulung dalam
pengelolaan persampahan di TPA Bantargebang, Bekasi.
Pengangkutan sampah yang saat ini sebesar 1.114 kali per hari (Dinas
Kebersihan, 2008). Keakuratan data ritasi akan menentukan berapa sebenarnya
biaya yang harus dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk transportasi
(biaya BBM). Jauhnya lokasi TPA dengan lalu lintas yang cukup padat
mengakibatkan pegangkutan sampah dari sumber atau lokasi-lokasi penampungan
sementara menuju TPA menjadi tidak efisien sehingga tiap kendaraan hanya
mampu mengangkut tidak lebih dari dua kali dalam sehari. Melihat kondisi
kemampuan bongkar muatan sampah ini (1 truck membutuhkan waktu 4 menit).
Bila saat ini hanya 3 zona yang dioperasikan (aktif), maka dalam satu jam hanya
dapat membongkar 45 truck. Untuk membongkar sampah per hari yang mencapai
1.114 truck/trip dibutuhkan waktu sekitar 24 jam tanpa henti. Penumpukan
kendaraan pada 3 lokasi pembuangan (zona aktif) berdampak pada panjang dan
lamanya antrian kendaraan untuk dapat dilayani pembokaran sampahnya.Oleh
karena itu diperlukan penambahan truk untuk bongkar sampah di lokasi yang
memakan waktu, dan perlu adanya penerapan manajemen aset dalam pengelolaan
fasilitas publik yang dimiliki pemerintah daerah seperti Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Bantargebang.
Berdasarkan data dari dinas kebersihan DKI Jakarta pada Tahun 2009,
jumlah timbulan sampah yang bersumber dari sektor Permukiman, perkantoran,
industri, sekolah, pasar dan rumah sakit sangat meningkat, kondisi ini tidak
sebanding dengan sarana prasarana yang ada di DKI maupun di Kabupaten Bekasi
untuk pengangkutan sampah di dua daerah tersebut. Untuk wilayah Jakarta
sampah yang dapat terangkut sekitar 26.962 m3 atau setara dengan 97,50 %
sedangkan sisanya 692 m3 atau setara 2,50 % tidak terangkut. Melihat kondisi
tersebut Pemerintah Daerah harus menyediakan alternatif lahan tambahan selain
TPA Bantargebang yang selama ini digunakan untuk pembuangan sampah di ke
dua pemerintah daerah dan perlu kerjasama dengan daerah lain seperti Kabupaten
Tangerang yang selama ini telah ada perjanjian kerjasama dalam pemanfaatan
lahan dalam pengolahan sampah (TPST) untuk dapat ditindaklanjuti.
VI. PERUMUSAN STRATEGI
Kelemahan
a. Prasarana 0,20 1 0,20
b. Kerjasama antar daerah 0,15 2 0,30
c. Kelembagaan 0,10 1 0,10
d. Peraturan 0,10 1 0,10
e. Penggunaan Teknologi 0,10 2 0,20
Total 1 2,15
Sumber : Analisis
a. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan adalah bagian dari faktor strategis internal. Dianggap
sebagai kekuatan karena dapat mendukung terhadap pengelolaan sampah TPA
Bantargebang di Kabupaten Bekasi, oleh karena itu faktor kekuatan harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dari masukan beberapa responden didapat
faktor kekuatan yang dimiliki Kabupaten Bekasi dalam pengelolaan sampah
TPA Bantargebang adalah sebagai berikut:
1. Anggaran TPA Bantargebang
Anggaran TPA merupakan anggaran yang cukup besar untuk
dialokasikan dari tahun ke tahun setiap tahunnya dianggarkan sebesar
hampir satu milyard oleh DKI Jakarta dalam melakukan pengelolaan TPA
bantargebang secara optimal sehingga keberadaan TPA dapat
memeberikan kontribusi yang positif dan berkelanjutan untuk masa depan
TPA yang lebih baik.
2. Komitmen Pemprov DKI
Komitmen Pemprov DKI sangat diperlukan dalam menanganni
pembuangan sampah di TPS-TPS yang ada di wilayah sekitar DKI
Jakarta terutama menjaga dan memelihara stabilitas operasional ke
Bantargebang termasuk masalah penganggaran TPA Bantargebang.
3. Sarana transportasi
Sarana transportasi merupakan perlengkapan pendukung untuk
menunjang operasional TPA terutama mobilisasi untuk pengambilan
maupun pembuangan dari seluruh wilayah di Provinsi DKI Jakarta
4. Sumberdaya manusia
Sumberdaya Manusia karena sumberdaya manusia tidak terlepas
dari keseluruhan upaya peningkatan pengelolaan sampah baik teknis
manajerial dan operasional dalam pengelolaan sampah
b. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan adalah bagian dari faktor strategis internal, faktor
tersebut dianggap sebagai kelemahan karena akan menjadi kendala dalam
pengelolaan TPA Sampah Akhir di Kabupaten Bekasi. Setelah dilakukan
permintaan pendapat dari beberapa responden terdapat 5 faktor kelemahan
yang harus dimimalisir dalam upaya pengelolaan TPA Sampah Bantargebang,
antara lain:
1. Prasarana
Prasarana adalah infrastruktur jalan untuk menunjang operasional
ke tempat pembuangan Akhir TPA Bantargebang, pembuatan saluran
irigasi dan penerangan jalan.
2. Kerja sama antar daerah
Kerjasama antar daerah yang merupakan sangat diperlukan karena
keberadaan lahan TPA berada di lokasi Kabupaten Bekasi sehingga
diperlukan adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bekasi
dengan DKI Jakarta dalam hal anggaran untuk operasioanalisasinya
maupun pengelolaan TPA Bantargebang
3. Kelembagaan
Kelembagaan yang merupakan unit-unit yang diperlukan terutama
yang ada di lapangan TPA harus jelas kewenangannya dalam pengelolaan
TPA sehingga dalam pembagian tugasnya di lapangan secara operasional
lebih jelas.
4. Peraturan
Peraturan disini dirasa masih belum mampu mengakomodir
berbagai isu dan permasalahan yang terkait dengan pengelolaan sampah,
sehingga perlu untuk direvisi untuk lebih bisa menjawab yang ada
dilapangan
5. Penggunaan teknologi
Penggunaan Teknologi adalah dengan menerapkan teknologi
sanitary landfill yang telah disepakati demi keberlangsungan TPA
Bantargebang yang mutlak harus dilakukan dalam pengelolaan TPA
Bantargebang ke depan yang baik dan mempunyai nilai jual yang tinggi.
Ancaman
a. Produksi sampah yang meningkat 0,15 2 0,30
b. Peran serta masyarakat masih rendah 0,15 2 0,30
c. Konflik masyarakat di sekitar TPA 0,15 1 0,15
d. Perubahan tata ruang kota 0,10 1 0,10
e. Persaingan tidak sehat investor 0.10 1 0,10
Total 1 2,95
Sumber : Analisis
a. Peluang
Faktor yang dianggap sebagai peluang adalah faktor yang bias dimanfaatkan
dalam upaya pencapaian tujuan. Dari wawancara beberapa responden terdapat
4 faktor yang merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam upaya
pengelolaan TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Peluang-peluang
tersebut adalah:
1. Teknologi pengolahan sampah
Teknologi pengolahan sampah merupakan teknologi yang sangat
diperlukan dan dapat diterapkan di TPA Bantargebang, baik itu alternatif
pengomposan maupun sumber energi yang dihasilkan dan teknologi lain
yang dapat menjadi nilai jual yang tinggi.
2. Jakarta sebagai pusat pemerintahan
Jakarta sebagai pusat pemerintahan karena pusat pemerintahan
berada di DKI Jakarta maka pemerintah DKI mempunyai daya tawar yang
kuat untuk dapat mendukung dan menganggarkan dalam bidang
persampahan.
3. Bisnis daur ulang cukup prospektif
Bisnis daur ulang cukup propekstif dengan kapasitas produksi
sampah yang sangat besar dan terus meningkat akan membuka peluang
bisnis daur ulang yang cukup prospektif karena dapat memberikan
penghasilan yang relatif mencukupi bagi kebutuhan pokok para
pelakunya.
4. Bantuan Luar negeri untuk masalah lingkungan
Bantuan luar negeri untuk masalah lingkungan diperlukan untuk
pelestarian lingkungan di sekitar TPA maupun aspek teknis dalam
pengelolaan persampahan.
b. Ancaman
Faktor ancaman adalah faktor yang dianggap bisa menghambat pengelolaan
TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Dari wawancara terhadap beberapa
responden terdapat 5 faktor yang merupakan ancaman yang dapat
mengganggu kelangsungan upaya pengelolaan sampah pada TPA
Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Ancaman-ancaman tersebut adalah:
FAKTOR
EKSTERNAL
Berdasarkan hasil analisis QSPM seperti disajikan pada Tabel 5.4, terlihat
bahwa strategi yang memiliki QSPM tertinggi adalah strategi peningkatan
anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan yang memiliki
nilai TAS terbesar yaitu 7.220, sedangkan strategi yang memiliki nilai TAS
terendah adalah 6.004 adalah strategi bantuan anggaran luar negeri untuk
membangun infrastruktur TPA.
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bagian terdahulu, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang merupakan satu-
satunya TPA yang digunakan untuk membuang sampah dari seluruh wilayah
Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini belum sepenuhnya menerapkan teknologi
pengolahan sampah seperti yang telah ditetapkan dalam rencana awal
pembangunannya, yaitu sanitary landfill dan bahkan cenderung bergeser
menjadi open dumping, yang merupakan praktek pembuangan sampah tanpa
mengolah.
2. Dari sebelas skenario rumusan strategi dalam pengelolaan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang sebagai aset milik Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta yang implementasinya akan dilakukan dalam waktu
jangka pendek dengan lima skala prioritas utama adalah : 1) peningkatan
anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan; 2)
Optimalkan ketersediaan sarana transportasi; 3) memperlancar sarana
pengangkutan sampah; 4) Optimalkan bisnis daur ulang; dan 5) penguatan
penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten.
7.2. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan, keterbatasan dan kesimpulan penelitian,
maka disarankan untuk mengoptimasikan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Bantargebang melalui peningkatan anggaran dan perbaikan sistem
teknologi di bidang persampahan maka disarankan untuk melakukan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Perlu diciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama dalam
pembangunan infrastruktur pengolahan sampah guna menarik para investor,
melalui beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu :
a. Membentuk lembaga khusus yang menangani pengolahan sampah di
tingkat nasional (pusat) dan membentuk lembaga pengelola Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang profesional dengan menggunakan
beberapa bentuk kemitraan dengan pihak swasta seperti BOT (build,
operate, transfer) dan BTO (build, transfer, operate) atau Badan
Layanan Umum (BLU).
b. Menyempurnakan rumusan kebijakan pengelolaan sampah dan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang akan memberikan jaminan dan kepastian
hukum bagi para investor dalam menjalankan bisnisnya di bidang
pengolahan sampah. Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka pemerintah
baik pusat maupun daerah dituntut untuk segera menerbitkan peraturan
pelaksanaannya yang akan digunakan sebagai acuan dalam penanganan
sampah kota.
c. Menyederhanakan prosedur pengadaan infrastruktur pengolahan sampah
dengan pertimbangan bahwa hal itu merupakan salah satu kebutuhan
dasar warga kota yang proses pengadaannya dapat dikecualikan dari
prosedur pengadaan pada umumnya.
2. Perlu dilakukan penelitian lain guna mengkaji kendala dan permasalahan
yang dihadapi oleh para stakeholders dalam pengelolaan sampah terutama
di TPA Bantargebang, kemudian dicarikan alternatif solusinya dalam rangka
mewujudkan suatu sistem pengelolaan sampah yang efektif, efisien dan
berkelanjutan.
3. Perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang pengelolaan persampahan
yang ramah lingkungan dengan menggunakan Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST) dan menghasilkan sumber Energi Listrik sehingga akan
lebih bermanfaat bagi penduduk di empat desa di sekitar TPA sehingga
mempunyai daya jual yang tinggi.
4. Perlu dilakukan pengkajian terhadap manajemen pemulung dalam
pengelolaan persampahan di TPA Bantargebang.
5. Perlu dikaji alternatif lahan untuk TPA sebagai pengganti TPA
Bantargebang, Bekasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dalzell, H.W.; A.J. Biddlestone, K.R. Gray & K. Thurairajan. 1984. Soil
Management Compost production and use in tropical and subtropical
environment Soil Research, Management and Conservation Services. FAO
Land & Watu Development Devision.
Gaur, A.C. 1983. A. manual of rural composting Project Field Document No. 15
Food and Agriculture Organization of The United Nation
Hillel, D. 1991. Research in Soil Physics: A Re-view. Soil Science. 151: 30-34
Pemda DKI Jakarta. Laporan Akhir Studi Andal Lokasi Pembuangan Akhir
Sampah Bantar Gebang Bekasi.
Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Studi Lingkungan UI dan Pusat Studi
Pembangunan & Lingkungan Unisma. 2002. Laporan Akhir Sistem
Pengelolaan TYPA Bantar Gebang, Bekasi. Kerjasama PPSML UI dan
PSPL Unisma dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah
Kota Bekasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah.
Judul penelitian:
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI
PENGENALAN TEMPAT:
Kami mohon kuesioner ini dapat diisi secara objektif dan benar.
Penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademik dengan tujuan
ilmiah, semua data yang diberikan akan dijamin kerahasiaannya sesuai
kode etik ilmiah.
DJATMIKO WINAHYU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
KUESIONER
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI
Pengantar
Peningkatan produksi sampah di wilayah Provinsi DKI Jakarta sudah barang tentu
akan membawa dampak bagi pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA)
Bantargebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki Pemprov. DKI
Jakarta saat ini dan menjadi andalan dalam pengolahan sampah.
Dalam rangka membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merumuskan
dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang, berikut ini beberapa
pertanyaan untuk diisi oleh responden.
Petunjuk Pengisian :
1. Di bawah ini tersedia kotak pilihan untuk disilang berdasarkan peringkat
pembobotan yang ditentukan oleh para responden.
2. Pilihan berupa pasangan yang saling dibandingkan pada tingkat yang sama.
3. Sistem pembobotan dengan cara meranking terhadap pasangan pilihan yang
dibandingkan.
4. Pilihan nilai ranking untuk isian bedasarkan intensitas pentingnya sebagai
berikut :
5. Contoh pengisian :
Pilihan A 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pilihan B
Pilihan A 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pilihan C
A. Tingkat Pertama
Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah untuk menentukan
prioritas strategi dalam pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA)
Bantargebang sebagai satu-satunya aset TPA yang dimiliki Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
B. Tingkat Kedua
2. Pertanyaan
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, di antara para pemangku
kepentingan (stakeholders) di bawah ini, menurut anda pihak mana yang
berkepentingan antara :
Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pakar
Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Masyarakat
Pakar 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Masyarakat
C. Tingkat Ketiga
2. Pertanyaan
a. Menurut anda, dari sisi pemerintah, kriteria mana yang menjadi prioritas
dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara:
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pendanaan
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta Masy.
Hukum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta Masy.
b. Menurut anda, dari sisi Pakar, kriteria mana yang menjadi prioritas
dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pendanaan
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Hukum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Pendanaan
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Kelembagaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Teknik operasional
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Pendanaan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Hukum
Teknik operasional 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
Hukum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peran serta masy.
D. Tingkat Keempat
1. Tingkat keempat ini merupakan sub-kriteria dari tingkat ketiga yang
berfungsi menentukan prioritas pilihan sesuai tujuan di atas.
2. Pertanyaan
LSM peduli
3R 9 7 5 3 1 3 5 7 9
lingkungan
E. Tingkat Kelima
1. Terhadap upaya optimasi pengelolaan TPA Bantargebang sebagai aset
yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terdapat alternatif strategi
yang ditawarkan, yaitu :
a. Peningkatan sarana dan prasarana.
b. Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA.
c. Peningkatan peran serta masyarakat.
d. Peningkatan kualitas SDM.
2. Pertanyaan
a. Menurut anda, terhadap sub-kriteria kerjasama dengan swasta, strategi
mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :