You are on page 1of 18
KONSEP DASAR PENATAAN RUANG DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN H. R. Sunsun Saefulhakim ABSTRACT Based! on the Spatial Arrangement Act (UU No.24/1992) and, the author explores a definition of the rural areas in an integrated perspective spatial development. The rural areas is defined as an integral part of a region in which agriculture and natural resources management play as major activities. Thereby, the rural area plays important functional roles in: supplying tangible products such as food, energy, row materials for industries; maintaining the balance of water cycle, and temperature; controlling air and soil pollution; and providing amenity resources. An urban biased ‘market force often disregards these important functional roles of the rural area, thus leads to many environmental problems and social costs. The author pointed out the urgent needs to develop a Spatial arrangement and regional development policy model to encounter urban bias and demonstrated a methodological approach to the model emphasizing synergism among market forces, ecological sustainability, and social aspects. A silvofishery development is an example of the model that assure synergism between market forces and ecological sustainability. A participative partnership system of land management and agrotourism are pointed out as an example of the ‘model that assure synergism between market forces, social concer,and ecological sustainability. 1. Pendahuluan Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR), Pena- tan Ruang didefinisikan sebagai proses peren- canaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UUPR pasal 1 No. 3). Adapun istilah Ruang yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara didefinisikan sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan Kegiatan serta memelihara kelang- sungan hidupnya (UUPR pasal 1 No. 1). Wila- yah didefinisikan sebagai satuan-satuan ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta se- ‘genap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek admi- nistratif dan atau aspek fungsional (UUPR pa- sal 1 No. 5). Wilayah yang batas dan sistem- nya ditentukan berdasarkan aspek-aspek fungsi- onal, yakni: fungsi utama (lindung atau budi daya), Kegiatan utama (pertanian atau bukan Jurnal PWK - 24 pertanian), dan/atau kepentingan nasional ter- tentu, didefinisikan sebagai Kawasan (UUPR pasal 1 No. 6 s.d.11). Kawasan Perdesaan ada- Iah kawasan yang berfungsi sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa peme- rintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekono- ‘mi utama pertanian termasuk pengelolaan sum- berdaya alam (UPR pasal 1 No. 9). Kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, dijadikan dasar dalam pengembangan kegiatan ekonomi (budi daya) kawasan (UUPR pasal 1 No.8). Dengan menelaah batasan-batasan pengertian di atas, maka pengertian ruang dalam konteks ‘UUPR adalah sejalan dengan pengertian tempat (places) dari Nir (1990), yang karakteristiknya bukan hanya ditentukan oleh lokasinya tapi ju- ga kualitas sumberdaya alam/lingkungannya. Pengertian ruang yang demikian ekivalen dengan penge: land (lahan) atau land ‘Vol.8,No.1/Januari 1997 resources (sumberdaya lahan) dari Barlowe (1978). Dengan demikian, sampai bates-batas tertentu, terutama dalam tulisan ini, istilah Ru- ang, Lahan dan Sumberdaya Lahan seringkali dapat menunjuk pada pengertian yang setara Dalam makalah ini, penulis akan memulai pem- bahasannya tentang isyu-isyu pokok perma~ salahan kawasan perdesaan, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang semakin urgentnya pengemnbangan teknologi dan inovasi Kelembagaan pengembangan kawasan perdesa- an termasuk di dalamnya penataan ruang. Pem- bahasan kemudian dilanjutkan dengan beberapa Iandasan teoretis ustuk penetapan batas fuesan kawasan, Selanjutnya, dibahas pula beberapa conich model pengembangan kawasan perde- saan yang diperhitungkan mampu meningkat- kan fungsi kawasan secara sinergis antara fung- si budidaya (ekonomi) dengan fungsi lin- TINGGI ze $ & TE eae Prod Satter now Pertamtangea nes! RENDAH Chlotan: BX, Sumber & Timtim dak mask eae Eee aR a Gambar 1. Kesenjangan antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Pc? (20.1%) Tinggl <== Tingkat Unah —=> Rendah « c s + 4 ° 1 PCH (06.6%) Tinggi <== ——=-Shar0 Tonaga Kerja ==> Rondah : a [tea PA dct deta Jerih Tenaga Kerja menunt Tigi Up dan eee ee Lapangan Potrjnn (ein, Mel 1083 Gambar 2. Kesenjangan antara Kota dan Desa Jurnal PWK - 28 ‘VoL8,No. 1/Januari 1997 nis baik secara langsung maupun tidak Jangsung. Gambar 2 menunjukkan perbedzan yang men- colok antara perekonomian desa dan kota. Desa dicirikan dengan rendahnya tingkat upah untuk hampir semua sektor, dan tingginya konsentrasi tenaga kerja di sektor pertanian, Dalam hal tingkat upah, perbedaan yang mencolok antara Desa dan Kota terutama terjadi pada Sektor Pertanian, Industri Manufaktur dan Jasa Kema- syatakatan. Pada sektor-sektor lainnya, perbe- daan tingkat upah kota dan desa tidak begit mencolok. Dalam hal konsentrasi tenaga kerja, hanya dalam sektor pertanian yang menun- jukkan perbedzan mencolok antara desa dan kota, Perbedaan mencolok tingkat upah indus- tri manufaktur antara kota dan desa, dan ren- dahnya tingkat upah pertanian di perdesaan, telah dan terus akan memicu proses industri- alisasi perdesaan. Industrialisasi yang mempu- nyai backward linkage yang baik dengan per- tanian, mungkin dapat dipandang sebagai hal yang bermanfaat bagi perkembangan wilayah Kdususnya kawasan perdesaan. Namun, indus- trialisasi yang Jingkagenya lemah (seperti ba- nyak terjadi di kawasan Baridung Timur dan Kawasan Cibinong-Citeureup Bogor), bisa me- micu permasalahan yang tidak sedikit. Semakin melemahnya ekonomi perdesaan yang meng- hhidupi sebagian terbesar bangsa, merupakan sa- lahsatu masalah yang bisa ditimbulkannya. Ma~ salah ini lebih lanjut akan memicu keti- dakstabilan dan masalah lingkungan, yang me- rongrong sustainabilitas pembangunan. 3. Batasan Kawasan Perdesaan dan Fungsinya ‘Apa yang dimaksud dengan Kawasan Per- desaan? Dalam UUPR pasal 1 No. 9 dapat di- tangkap pengertian bahwa Kawasan Perde- saan adalah kawasan yang berfungsi sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dengan kegiat- an_ekonomi_utamanya__pertanian_termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Kondisi dan po- tensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, dijadikan dasar dalam pengembangan kegiatan ekonomi (budi daya) Vol.8,No:1/Sanuari 1997 kawasan (UUPR pasal 1 No.8). Dengan mem- pethatikan bagian kalimat yang digaris bawahi, maka pada kawasan perdesaan bisa saja dikem- bangkan kegiatan ekonomi Jain selain pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam. Namun, se- cara keseluruhan kegiatan pertanian dan penge- Jolaan sumberdaya alam harus menjadi ciri uta- manya. Kegiatan ekonomi dan aktivitas kehi- dupan Jainnya, haruslah merupakan kegiatan- Kegiatan penunjang (backward linkage) dan atau merupakan pengembangan lebih lanjut (foreward lingkage) dari kegiatan-kegiatan per- tanian dan pengelolaan sumberdaya alam itu. Dengan demikian, dari dimensi struktur pere- konomian wilayah, untuk dapat meng-iden- tifikasi kawasan perdesaan, economic base ‘model atau input-output model dapat dijadikan alet bantu analisis. Untuk ukuran wilayah seta- ra minimal level daerah tingkat Il, input-output ‘model dapat diaplikasikan. Untuk ukuran wila- yah yang lebih kecil dari itu, pengaplikasian economic base model \ebih memadai. Dari beberapa hasil penelitian (antara lain: Saefulhakim, 1991; Sacfulhakim, 1992; dan Saefulhakim, 1994a), dapat dipahami bahwa disamping dimensi ekonomi, dalam pengem- bangan dan penataan ruang kawasan perdesaan dimensi fisik sumberdaya lahan (sumberdaya alam) dan dimensi sosioiultur mempunyai pe- ranan yang sangat penting, Dengan demikian, dalam penataan batas kawasan perdesaan perlu pula didahului dengan pengidentifikasian yang memadai tentang Iuasan, kualitas dan perse- baran spasial dari sumberdaya lahan, serta struktur sosial budaya masyarakat wilayah. Da- lam studi lainnya (Saefulhakim, 1996), bahkan ditunjukkan bahwa aspek sosial budaya masya- rakat sangat nyata (dengan tingkat kesalahan peramalan sekitar 2%) berperan dalam mem- perlambat laju konversi lahan sawah khususnya di Jawa dan Bali Bagi kawasan perdesaan, Karena aktifitas per- ‘ekonomiannya lebih merupakan land-resource based production activity, masalah Ricardian Phenomena mecupakan hal yang tak kalah pen- tingnya (Saefulhakim, 1994b). Secara_umum fenomena ini ditunjukkan pada Gambar 3. Dengan memahami gambaran ini, seyogyanya Jurnal PWK - 29 penataan ruang kawasan perdesaan memasuk- ken pula pertimbangan aspek fisik sumberdaya Jahan serta mampu melindungi lahan-lahan yang berpotensial bagi pengembangan pertani- an khususnya dan aktivitas ekonomi perdesaan pada umumnya. Dalam suatu mekanisme pasar bebas, penggunaan Jahan pertanian hampi selalu harus menghadapi kenyataan yang pahit Karena ketidak-mampuannya menandingi bar- gaining power dari penggunaan lahan non pertanian dan pengembangan kawasan perko- aan, Mekanisme pasar bebas, gagal dalam menilai manfaat intangible dari penggunaan Jahan kawasan perdesaan yang bersifat envi- ronmental rent (karena fungsinya dalam eko- sistem), sociocultural rent (karena fungsinya dalam tata nilai budaya), dan nilai-nilai lain yang lebih bersifat long-terms perspective. Aspek Jain yang perlu diperhatikan dalam pe- ataan ruang kawasan perdesaan adalah skala usaha. Dalam aspek fisik lahan, skala usaha ini adalah berkaitan dengan luas penguasaan lahan. Luas penguasaan lahan per rumah tangga per- desaan seyogyanya dipertimbangkan karena da- pat menentukan sejauhmana aktifitas ekonomi perdesaan dapat bertahan dan berkembang. Da- lam penelitian di Kabupaten Bogor misalnya, ditunjukkan bahwa kalau luas penguasaan lahan per rumah tangga tani kurang dari 0.5 ha, la- han-lahan pertanian akan cepat terkonversikan menjadi kawasan perkotaan, Hasil uji statistik, fenomena ini nyata dengan tingkat kesalahan peramalan kurang dari 2%. Apabila luas pe- nguasaan lahan per rumah tangga tani lebih dari 0.5 ha, laju pengkonversian tersebut akan cepat menurun hingga secara statistik menjadi tidak nyata. Dalam penelitian lain di Sulawesi Utara (Kurnia,1995) ditunjukkan pula bahwa luas optimal pengusahaan lahan berbasis tanam- an pengan tanpa mekanisasi adalah berkisar an- tara 0,7 hingga 0.8 ha. Penguasaan tanah mele~ bihi 0.8 ha terbukti nyata mengakibatkan melu- asnya lahan-lahan terlantar di kawasan per- desaan transmigran, Dari aspek fungsi utamanya, dalam UUPR Pa- sal 1 No, 6 s.d. 8 dikenal apa yang disebut dengan Kawasan Lindung dan Kawasan Budi- daya. Kawasan Lindung adalah kawasan yang Jurnal PWK - 30 ditetapkan dengan fungsi utama melindungi ke- Jestarian_lingkungan_hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang dite- tapkan dengan fungsi_utama_untuk dibudida- yakan atas dasar kondisi dan potensi sumber ‘aya alam, sumber daya mamusia, dan sumber daya buatan. Kata “fungsi_ulamanya_...” sengaja diberi garis bawah. Adapun maksud- nya adalah bahwa pada Kawasan Lindung bu- kan berarti tidak boleh sama sekali dikaitkan dengan fungsi budidaya. Kawasan lindung da- pat dikelola sehingga mempunyai implikasi po- sitif terhadap fungsi budidaya tapi tidak boleh sampai mengurangi fungsi utamanya dalam me- lindungi kelestarian hidup. Demikian pula un- tuk Kawasan Budidaya. Pengembangan aktifi- tas budidaya pada kawasan budidaya ini bukan berarti boleh bebas tanpa sedikitpun mengin- dahkan aspek-aspek perlindungan terhadap ke- lestarian lingkungan hidup. Penulis mempunyai pandangan bahwa pengklasifikasian kawasan secara Boolean Logic (hitam-putih) tidak bisa diterapkan. Pengklasifikasian/penetapan batas kawasan lebih mengikuti pola berfikir Fuzzy Logic. Dalam Boolean Logic penetapan ka- wasan didasarkan atas garis_pembatas yang sangat rigid, Dalam konteks Fuzzy Logic pene- tapan kawasan lebih didasarkan pada penen- tuan titik pusat atau fungsi utama kawasan. Karena kawasan perdesaan didefinisikan seba- gai Kawasan yang kegiatan utamanya pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam, maka yang termasuk dalam kawasan perdesaan dapat be- rupa: (1)Kawasan yang berbasis ekonomi pertanian (tanaman pangan, hortikultur dan tanaman has, tanaman perkebunan, peternakan, peri- kanan dan kehutanan), (2)Kawasan yang berbasis ekonomi per- tambangan dan galian, (@)Kawasan yang berbasis pengelolaan sum- berdaya alam untuk pelestarian lingkungan hidup, seperti: kawasan hutan lindung, ka- ‘wasan pantai, kawasan resapan air, dsb. Dari basis aktifitas pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam/lingkungan, kawasan perde- saan memegang fungsi utama dalam Vol.8,No.1/Sanuari 1997 ‘the \, ‘errno : mmponante Anya dan Cluster Analyse ladeks Lua: ‘Tanah Subul ues - Gambar 3. Gambaran umum kualitas dan kuantitas lahan ditinjau dari segi kesesuaiannya ‘untuk tanaman pangan dan perkebunian utama di Indonesia “4 2 } Eu 13 +4 ° eee ud taco Tre 2 a Bey Se ge x § r+ Eas gacenn -¥60.06+0.63K; rf. 82 (ayaa pad tara af 2-52) 4 gasfo i Le. 4 rr aa a i ort INDEKS SILVOFISHERY (%) ay Gambar 4, Pengaruh model Silvofishery terhadap Produltifitas Tambak Vol.8,No.1/Januari 197 Jurnal PWK - 31 (Sacfulhakim, 1995): (2) Menyediakan bahan pangan (2) Menyediakan bahan sandang (3) Menyediakan —bahan—_papan konstruksi/bangunan) (4) Mempertahankan Keseimbangan siklus air (termasuk energi air) (bahan (5) Mempertahankan keseimbangan _siklus Oksigen (6) Mempertahankan keseimbangan _siklus Karbon (7) Mempertabankan keseimbangan suhu udara (8) Menekan polusi udara, air dan tanah (9) Memberikan keindahan dan keayamanan. Lebih dari itu, dari basis aktifitas pertam- bangan dan galian, kawasan perdesaan juga ‘memegang peranan penting dalam: (1) Menyediakan bahan konstruksi/bangunan, dan (2) bahan energi/bahan bakar. Dengan demikian betapa pentingnya kawasan perdesaan bagi kelangsungan hidup dan kehi- dupan, Pertumbuhan penduduk dan perkem- bangan aktifitas pembangunan berimplikasi pa- da semakin pentingnya menjaga keberlanjutan fengsi kasawan ini, Penataan ruang wilayah kawasan perdesaan yang dapat mengoptimalkan keseluruhan fungsinya, menjadi sangat penting! Karena mekanismne pasar tidak mampu meng- internalisasikan seluruh fungsi tersebut, perl dirumuskan suatu mekanisme kelembagaan transfer subsidy dari kawasan perkotaan yang seringkali diuntungkan oleh mekanisme pasar (Saefuthakim, 1995). 4. Model Pengembangan dan Penataan Batas Kawasan Perdesaan Kawasan perdesaan seyogyanya ditata sede- mikian rupa schingga fungsinya dapat berkem- bang Kearah semakin tingginya taraf dan muta kehidupan masyarakat baik setempat (internal) maupun luar kawasan (external) secara berke- lanjutan. Model-model pengembangan yang da- pat mengintegrasikan fungsi budidaya (pening- katan keunggulan kompetitif kawasan) dan fungsi lindung (pelestarian kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup internal maupun Jurnal PWK - 32 external kawasan) secara bersama-sama dalam suatu paket pengembangan kawasan menjadi sangat penting. Secara konsepsional ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang dan pengembangan kawasan perdesaan, seperti yang akan dibahas dalam model-mode! berikut ini 4.1.Model Ricardian (Kneese dan Sweeney, 1985 Bila fungsi produksi dinyatakan dalam per unit juas lahan, dan diasumsikan output per ha, (2) merupakan fungsi dari penggunaan tenaga kerja per ha (J) dan kualitas lahan (F), maka: x of 2=faP, L>o Z Fry aktifitas budidaya akan berlangsung dengan karak- teristik: PAP) > 0, p, fF) > wi Pada tingkat kualitas lahan F < atau = Friny aktifitas budidaya z akan terhenti/ditinggalkan. Dengan demikian dalam penataan ruang ka- ‘wasan perdesaan, pengidentifikasian/ pemetaan kkualitas lahan untuk berbagai aktifitas budidaya perlu dilakukan, ‘Vol8,No.1/Januari 1997 Dalam pemahaman model Ricardian, tingkat kualitas Iahan minimal tidaklah statik tapi sangat dinamik yang ditentukan oleh beberapa faktor berikut: (J) Dinamika harga pasar output (p;) Bila permintaan terhadap komoditi z meng- akibatkan harga pasar komoditi 2 me- ningkat, maka tingkat kualitas lahan mini- mal (Fig) akan menurun, Artinya: kalau lahan-lahan yang kualitasnya lebih tinggi dari Fin sudah full-use, maka akan terjadi perluasan areal budidaya ke lahan-lahan marginal. Untuk mengamankan fungsi lin- dung dari kawasan, sebagai antisipasi ter- hadap pengendalian fenomena ini penetap- an nilai Fig (Kualitas lahan minimal) men- jadi sangat penting. Sebaliknya, kalau har- ‘ga pasar komoditi z memurun maka tingkat kualitas lahan minimal (Fqj,) akan mening- kat. Artinya: aktifitas budidaya z akan ter- konsentrasi pada areal-areal lahan yang berkualitas tinggi saja. Areal-areal lahan lain yang kualitasnya lebih rendah (walau- pun berada di atas ambang Fig) akan di- tinggatkan atau dikonversikan. Dengan de- mikian Kebijaksanaan harge-harga pasar output tak dapat dipisahkan dari penataan ruang kawasan. Q) Dinamika harga barang-barang input dan tingkat upah tenaga kerja (1): Bila transformasi struktur tenaga kerja dan/atau urbanisasi telah mengakibatkan kelangkaan tenaga kerja sektor perdesaan (dan/atau jika terjadi peningkatan harga barang-barang input) maka nilai Fri pun akan meningkat. Artinya: areal budidaya akan menyempit dan terkonsentrasi hanya pada lahan-lahan yang berkualitas tinggi saja. Areal-areal lahan lain yang kualitas- nya lebih rendah (walaupun berada di atas ambang F,) akan ditinggatkan atau di- konversikan. Dengan demikian kebijaksa- naan harga-harga pasar input tak dapat di- pisahkan dari penataan ruang kawasan. (3) Perkembangan Teknologi Bila kita mampu mengintroduksikan tek- nologi peningkat kualitas lahan, maka nifai Vol.8,No.1/Januari 1997 F jig aktualnya dapat diturunkan. Artinya: Jahan-lahan yang tadinya dikategorikan marginal menjadi dapat dibudidayakan dengan lebih aman dan_menguntungkan. Dengan demikian identifikasi paket-paket teknologi perdesaan perlu.diintegrasikan dalam penataan ruang kawasan perdesaan. 4.2.Model Struktur Biaya Industri (Baumol, Panzan dan Willig, 1988) Economies of Scale Suatu aktifitas budidaya dapat diidentifikasikan sebagai kegiatan yang Economies of Scale ma- nakala biaya rata-ratanya (AC(y)=C/y) lebih besar daripada biaya marginalnya (C’), yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut: UH) _ OC’ -O <4 a y Pada kondisi yang demikian, pengembangan aktifitas budidaya dalam skala besar akan lebih menguntungkan. Apabila di suatu kawasan di- temukan banyak petani berlahan sempit, agar mereka juga dapat menikmati manfaat skala ekonomi, Iahan-lshan sempit tersebut harus di- Konsolidasikan dalam suaiu bentuk manage- ‘ment budidaya terpadu. Tanpa konsolidasi se~ demikian, petani berlahan sempit akan terpental dari perekonomian, penguasaan lahan akan se~ makin terpusat pada tangan-tangan tertentu, dan pengkonversian (termasuk penelantaran la- han) menjadi tak terhindaran, Manakala biaya rata-rata sama dengan biaya marginal (atau yang sering dikenal dengan Constant Return to Scale) yang secara matematis dapat dinyatakan sbb.: ACO) _ a oc - 0) maka skala pengusahaan relatif tidak begitu membatasi aktifitas budidaya. Tapi, apabila biaya rata-rata lebih Kecil dari biaya marginal (atau yang sering dikenal dengan fenomena Jurnal PWK - 33 Diseconomies of Scale), yang secara matematis dapat dinyatakan sbb.: acy) _ OC - 0), ay y maka aktifitas budidaya harus displit ke dalam. beberapa satuan managemen berskala lebih sempit, Economies of Scope Untuk satu set komoditi P = {7), To, ..., Ti, fenomena Economies of Scope didefinisikan sebagai: Y Con) > Cy) Dalam kondisi yang demikian, maka pendiver- sifikasian aktifitas budidaya akan lebih meng- untungkan dibandingkan monokultur. Perusa- hhaan-perusahaan besar akan cenderung mem- bentuk pola Konglomerasi yang menguasai ber- agai jenis aktifitas produksi. Agar para petani berlahan sempit dapat turut serta menangkap manfaat ekonomi dari fenomena ini, pengem- bangan pola kemitraan menjadi sangat penting. Manakala fenomena yang terjadi Diseconomies of Scope yakni: adalah 2 CO) < Clr) maka aktifitas budidaya yang lebih terspesi- alisasikan pada komoditas-komoditas tunggal tertentu akan lebih menguntungkan, 4.3.Model Thunen (Kneese dan Sweeney, 1985) Misalkan output per ha (@ merupakan fungsi dari penggunaan tenaga kerja per ha (D) dengan karakteristik berikut: 2-0. L>o, Jarak dari pusat pemasaran (D) tidak langsung as a <9 Jurnal PWK - 34 mempengaruhi fungsi produksi (f, tapi mem- pengaruhi fungsi keuntungan (U): U = (p, ~ seDYf) — wh ~ pid) Dalam kondisi equilibrium (U=0), maka Land Rent aksesibilitas lokasi adalah: Py(i:D) = (p, — sD/f) — wl Pada tingkat aksesibilitas minimum (Dmax): 0, (Pp, - 8:Damdf) = wl PB, Dow = Ss Ppl Dax) P, ~ 52D = 9% Pada jarak D > alaui = Days, lahan-lahan tidak dibudidayakan (I = 0). Dalam pemahaman model Thunen, aksesibilitas minimal atau jarak maksimal suatu aktifitas budidaya bersifat dinamik yang ditentukan beberapa faktor berikut: (1) Dinamika harga pasar output (p,): Bila permintaan terhadap komoditi z meng- akibatkan harga pasar komoditi z mening- kat maka aksesibilitas minimal atau jarak maksimal aktifitas budidaya Z (Dys;) akan meningkat. Artinya: areal budidaya akan cenderung meluas babkan sampai ke lahan- Jahan yang remote area. Namun sebaliknya apabila harga pasar komoditi z menurun maka aksesibilitas minimal atau jarak mak- simal aktifitas budidaya z (Dyy,) akan me- nurun, Artinya: areal budidaya akan cende- rung menyempit dan hanya memusat di se- Kitar pusat-pusat kawasan. (2) Dinamika harga barang-barang input dan tingkat upah tenaga kerja (Ww): Bila transformasi struktur tenaga kerja dan/atau urbanisasi telah _mengakibatkan kelangkaan tenaga kerja scktor pedesaan (dan/atau_jika terjadi peningkatan harga barang-barang input) maka aksesibilitas mi- imal atau jarak maksimal aktifitas budi- daya z (Dmx) akan menurun. Artinya: areal Vol.8,No.1/Januari 1997 budidaya akan cenderung menyempit dan hanya memusat di sekitar pusat-pusat ka- wasan, Untuk menjangkau remote area, perlu diupayakan agar satuan biaya trans- portasi menurun; misal dengan mengem- bangkan sarana dan prasarana transportasi (peningkatan aksesibilitas) yang memadai. (3) Perkembangan teknologi, prasarana transportasi Dengan pengembangan tcknologi, saranz dan prasarana transportasi, maka saivan biaya transfortasi (s,) dapat ditekan dar Dyax meningkat. Artinya: remote area menjadi dapat dibudidayakan. sarana dan (4) Sifat fisik komoditi yang dibudidayakan Misal, komoditi yang dikembangkan adala Perishable Commodities. Karena komoditi yang demikian mempunyai tingkat resiko ikerusakan yang tinggi dalam proses perja- Janan dan waktu, maka satuan biaya trans- portasinya meningkat atau Drax menurus Dengan demikian pengembangan komo demikian akan lebih terkonsentrasi di seki- ‘tar pusat kawasan (pasar). Kalau ingin di- Kembangkan pada lokasi yang cukup jah dari pusat pasar maka perlu dipertim- bangkan aspek teknologi kemasan distri- businya. () Konfigurasi spasial dari kualitas dan keter- sediaan Jahan Misalnya apabila Kondisi kawasan dengan fahan berkualitasnya terpencar ke dalam ‘satuan-satuan kecil. Dengan demikian satu- an biaya transportasi dan biaya lain yang berkaitan dengan skala ekonomi menjac! besar. Kalau orientasi pema-sarannya kelu- ar, hanya pengembangan komoditas bern. Jai pasar tinggi yang lebih memungkinkan pada kawasan yang demikian. 4.4.Model Integrasi Fungsi Budidaya dax Fungsi Lindung Berbagai permasalahan lingkungan yang men- jadi isyu hangat masyarakat global belakangan ini (Uzawa, 1991), mendorong kita untuk se- nantiasa memikirkan pengembangan model- Vol.8,No.1/Januari 1997 medel baru pembangunan kawasan yang men- jamin keharmonian antara dimensi pertumbuh- ‘an ekonomi (fungsi budidaya kawasan) dan di- mensi pelestarian lingkungan (fungsi lindung kawasan), Berdasarkan beberapa hasil pene- litian yang penulis lakukan, mengembangkan model pembangunan yang demikian adalah mungkin, Ada dua contoh model yang akan di- kemukakan di sini, yakni: Silvofishery dan Agrowisata. Silvofishery Kawasan pantai di utara Jawa dan Sumatera, banyak dimanfaatkan sebagai kawasan pengem- bangan budidaya tambak. Padahal dari aspek Singkungan kita tahu bahwa apabila kawasan jalur pantai tersebut dihutankan dengan vege- ‘asi bakav dapat memberikan fungsi lindung yang sangat berarti terutama dalam hal pengen- ‘dalian aberasi pantai dan perluasan intrusi aic asin. Perluasan intrusi air asin sangat mem- bahayakan kehidupan karena dapat memper- cepat korosi beton dan menurunkan_ kualitas air bersih di daratan. Dengan penghutanan kembali Kawasan pantai kita dapat memperoleh manfaat ini, tapi berarti kita harus pula menyingkirkan sera aktifitas budidaya di kawasan ini yang akan menimbulkan permasalahan baru baik ma- salah ekonomi maupun politik. Model Silvo- fishery adalah salah satu contoh upaya pengem- bangan kawasan pantai yang mencoba meng- ambil jalan tengah: pembudidayaan tambak boleh dilakukan tapi hutan bakau tidak dibabat semuanya dan sebagian areal tepi pantai dihi- jaukan. Dengan demikian diharapkan kawasan ‘pantai itu tetap mempunyai fungsi lindung yang berarti plus dapat memberikan keuntungan eko- nomis dari fangsi budidayanya. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan penulis (Deptan, 199Sa-h) di delapan kabupaten sepan- jang jalur pantai utara Jawa Barat dan Lam- pung, ditunjukkan bahwa model silvofishery (pengembangan tambak yang mempertahankan hutan bakau) menjamin tidak akan menurunkan bahkan nyata meningkatkan produktifitas tam- bak (Gambar 4). Tanpa memasukkan Serang dan Subang, model silfovishery nyata mampu meningkatkan produktifitas tambak sebesar 63%. Untuk Kabupaten Serang peningkatannya Jurnal PWK - 35 bahkan jauh lebih tinggi lagi Karena ditunjang karakteristik tanahnya yang mempunyai keter- sediaan fosfat yang jauh lebih baik. Dalam stu- di ini belum ditemukan alasan yang jelas mengapa di Kabupaten Subang pengembangan model silvofisery ini tidak nyata meningkatkan juga tidak nyata menurunkan) produktifitas Agrowisata Pembangunan ekonomi yang tidak mengindah- kan kaidah-kaidah konservasi lingkungan, bu- kan hanya akan mempercepat kerusakan sum- berdaya alam dan pencemaran lingkungan fisik tapi juga bisa melenyapkan berbagai sumber- daya buatan yang termasuk kedalam aset buda- ya nasional. Model agrowisata dikembangkan untuk menjamin perkembangan ekonomi kawasan perdesaan yang selaras dengan kon- servasi sumberdaya alam dan lingkungan fisik serta berbagai aset budaya tersebut. Pengem- bangan kawasan hutan lindung sebagai hutan wisata misalnya disamping tetap dapat memper- tahankan fungsi lindung dari kawasan tersebut juga dapat meningkatkan nilai tambah lain yang bersifat ekonomi komersial, Pengembangan ka- wasan budidaya pertanian tertentu menjadi ka- wasan wisata pertanian juga dapat mening- katkan nilai tambah kawasan tersebut. Lebih- lebih bila wisata alam tersebut dikombinasikan dengan paket atraksi khas budaya lokal, nilai tambahnya akan jauh lebih tinggi. Hipotesis- hipotesis tentang pengembangan agrowisata yang prospektif ini didukung oleh beberapa temuan empiris seperti yang dapat dilihat dalam ‘Tabel 3 dan Tabel 4 Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa koefisien- koefisien keterkaitan ke belakang (backward linkages) serta koefisen-koefisien pengganda (muttiplyer effects) ~ kecuali pengganda tenaga kerja tipe I - dari sektor agrowisata, mendu- duki rangking yang cukup tinggi yakni 2 sam- pai 3 dari 20 sektor yang ada. Dengan demiki- an, pengembangan model agrowisata disamping mampu meningkatkan pendapatan masyarakat juga mendorong perkembangan ekonomi ka- wasan sccara keseluruhan terutama melalui rangsangannya (ethadap sektor-sektor ekonomi yang bersifat lebih hulu. Jurnal PWK - 36 Dari Tabel 4 dapat difahami bahwa rata-rata laju pertumbuhan kunjungan wisatawan ke Bali adalah sekitar 14% per tahun. Kawasan perde- saan (kawasan-kawasan yang jauh dari pusat propinsi) mempunyai daya tarik yang sangat nyata lebih tinggi dari pada kawasan-kawasan Tain yang lebih dekat dengan pusat kota. Ka- wasan-kawasan yang mampu mengkombinasi- kan antara potensi keindahan alam perdesaan dan paket budaya sangat nyata meningkatkan Jaju pertumbuhan kunjungan wisatawan sekitar 26% lebih tinggi. Apabila atraksi kebudayaan tersebut dapat pula dicoba (wisatawan dapat berperan serta) kunjungan wisatawan diperhi tungkan akan jauh meningkat lagi sampai seki tar 38%. 4.5.Model Kemitraan Usaha ‘Untuk mencapai skala ekonomi terutama dalam pengembangan kawasan yang melibatkan ma- syarakat perdesaan dengan struktur penguasaan Jahan yang relatif sempit, model kemitraan dengan pengusaha besar dapat dilakukan. Namun dalam model kemitraan ini aspek ke- lembagaan menjadi sangan penting. Manakala struktur hubungan kemitraan ini lebih didomi- nasi oleh pihak pengusaha maka pola kemitra~ anya tidak akan efektif mendorong perkem- bangan kawasan (Gambar 5 dan Gambar 6: Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Gambar 5 dan Gambar 6 merupakan ringkas- an hasil analisis persamaan simultan dengan teknik Kuadrat Terkecil Tiga Tahap (Three Stages Least Square Method) terhadap faktor- faktor kelembagaan PIR Kelapa Sawit di Suma- tera Utara, Baik pada PIR tipe 1 (Gambar 5) ‘maupun PIR tipe 2 (Gambar 6), tingkat pen- capaian target produksi ditentukan dan seka- ligus menentukan tingkat partisipasi petani plasma. Semakin besar tingkat partisipasi peta~ ni maka tingkat produktifitas aktual semakin mendekati produktifitas potensialnya. Demikian pula sebatiknya, tingkat keberhasilan pencapai- an target produksi nyata meningkatkan tingkat partisipasi petani. Dengan demikian tindakan petani sejalan dengan prinsip rational ex- pectation. Prinsip rationalitas ini konsisten dengan kenyataan bahwa pada PIR tipe 1 di- ‘VoL8.No.{/Januari 1997 ‘Tabel 3, Dampak Pengembangan Agrowisata terhadap Ekonomi Wilayab, Analisis Tabel -O Kabupaten Karang Asem, Propinsi Bali (1993) Komponen Darapake Nita Ranging dari 20 ‘Keterksitan Langsung Ke Belakang 02576 2 Keterksitan Langsung : Ke Depan 0.0618 u Keterkuitan Langsung dan Tidak Langsng : Ke Relakan, 12600) 3 Keterkoitan Langsung dan Tidak Langsung : Ke Depa Lage 2 Pengganda Output Sederhana 1.2690 3 Pengganda Output Total 13661 3 Pengganda Pendapatan Tipe | 1.5685 2 Pengganda Pendapatan Tipe I 2240 2 Penggande Tenaga Kerja Tipe 1 en 4 Pengganda Tenaga Kerja Tipe 14230 2 Tabel 4, Faktor-fakior Penentu Laju Pertumbuhan (S6/tahun) Kunjungan Wisatawan ke Bali (1993- 1995): Hasil Analisis Hayashi Quamification 1 Variabel Kategod__| Frekvensi() | _SkorKalegor Selang | Koreas Partial Jens Wisnta | Budaya so] aaa 26.296 ‘ogres Alor 28 sas Alama&Budeya 36 ey Fase: Tidak Ada 38 8.856 18.996 age Hanya Restoran 28 10138 ‘Ada Hotel aa oats ‘Arai “Tidak da 92 2569 37590 ossise da 4 24.064 Dapat Dieaba 4 352 Promosi Tidak Ada 2 ins 2512 0.065 Non Elektronik 56 0079 EletroikeeNon| 2a 078s : ‘Troneportasi | Khusue 40 621 vu.200 on6se ‘Umum & 4.081 Jk dai Pusat | Dekat 2 11.830 16.082 oatsee Propinsi Sedang 24 2851 Jah 8 4251 +7” ayata pada tara alfa 1% Sangat Nyala) + nyata pada lara alfa 5% (Nyata) Intercept = 13.795; R? = 0.6125 Jurnat PWK.-37 ‘Vol.8,No. 1/Fanuari 1997 4 © ParGelpoct = 0.6068 Lonet Square: @)-——— Pata gfe} FY 2 Peoarta R* = 0.03 i) el |2 3 EB 8 ¢ Pencapaien “Targot @ )———>| rosa: v2) z 5 é é F3 F2 Gambar 5. _Implikasi kelembagaan kemitraan yang lebih didominasi oleh pengusalia (inti) =a @—S = vay i is i @— ee |__ 6.8076 | "rotm “oa ij) 8 F2 Fa Gambar 6, Irmplikasi kelembagaan kemitsaan yang relatif berimbang antara ppengusaha (inti) dan petani (plasina) Jurnal PWK - 38 Vol.8,No.1/Januari 1997 mana tingkat pencapaian produksi tidak nyata meningkatkan (bahkan cenderung menurunken) pendapatan petani (Gambar 5), besarnya mo- dal dan potensi produksi (F1) tidak mendorong peningkatan (bahkan nyata menurunkan) ting- kat partisipasi tersebut. Bila tingkat pencapaian farget produksi tersebut nyata meningkatkan pendapatan (seperti ditunjukkan pada PIR tipe 2, Gambar 6), besarnya modal dan potensi produksi (F1) yang dimiliki petani akan secara positif direalisasikan dalam peningkatan paztisi- pasinya. Dengan demikian stabilitas dan sus- tainabilitas dari sistem kelembagaan sangat di- tentukan olel sejauhmana prinsip-prinsip kese- taraan perolehan manfaat dan korbanan. Ben- tuk kemitraan yang seperti ini (dalam contoh studi PIR ini) telah secara baik dikembangkan dalam PIR tipe 2. Pengamatan lapangan (Safrida, 1995) menunjukkan kebun-kebun plasma pada PIR tipe 1 yang kurang memper- hatikan prinsip tersebut cepat ditinggalkan, se- dangkan PIR tipe 2 terus berkembang. 5. Kesimpulan dan Penutup Dengan mengacu pada Undang-Undang No.24 ‘Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) serta beberapa konsep dasar teori perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah, telah diuraikan secara ringkas mengenai batasan po- ok, permasalahan serta beberapa fungsi utama dari kawasan perdesaan dalam suatu perspektif pengembangan wilayah terpadu. Kawasan per- desaan didefinisikan sebagai bagian dari sistem wilayah yang kegiatan penciri utamanya adalah pertanian (dalam arti luas) dan manajemen sumberdaya alam, Dengan demikian, kawasan perdesaan memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pangan, energi, bahan baku sandang, serta bahan-bahan bangunan, menjaga keseimbangan siklus air, siklus oksi- gen-karbon, serta temperatur udara, mengen: dalikan polusi udara, air dan tanah, serta mem- berikan keindahan dan kenyamanan. Dorongan kekuatan-kekuatan pasar yang sering kali tethadap kepentingan perkotaan, seringkali ge- gal dalam menilai pentingnya fungsi-fungsi ke- ‘wasan perdesaan tersebut, schingga mendorong munculnya berbagai permasalahan lingkungan dan biaya sosial yang tidak sedikit, Seiring Vol.8,No. 1/Januari 1997 dengan arus perubahan globalisasi dan uans- formasi struktur perekonomian, pada masa- masa yang akan datang kekuatan-kekuatan pa- sat yang sedemikian akan cenderung mes kat. Dengan demikian kiranya perlu segera kembangkan model-model kebijaksanaan pena- taan ruang dan pengembangan wilayah yang ‘mampu meningkatkan fungsi ekonomi (efisiensi dan produktifitas) dari kawasan perdesaan tan- pa harus kehilangen berbagai fungsi lindung dan fungsi sosiainya. Untuk tujuan ini telah diuraikan tiga contoh model pengembangan ka- wasan perdesaan, yakni: Model Silvofishery, Model Kemitraan Usaha Tani Partisipatif, dan Mode! Agroturisme. Penataan ruang dan pengembangan Model Silvofishery mampu menjamin peningkatan produktifitas fisik dan finansial serta fungsi lindung kawasan pantai. Penataen ruang dan pengembangan Model Kemitraan Usaha Tani Partisipatif mampu men- Jamin peningkatan efisiensi, produktifitas finan- sial serta pemberdayaan masyarakat tani Jahan sempit. Penatan ruang dan pengembangan Model Agroturisme mampu menjamin pening- katan produktifitas fisik dan finansial serta menjaga Kelestarian fungsi tindung dan tata nilai budaya masyarakat kawasan perdesaan, 1B Daftar Pustaka Barlowe, Raleigh. 1978. Land Resource Economics: The Economics of Real Estate. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Baumol, W.5., J.C. Panzan, and R.D, Willig. 1988. Contestable Markets and the Theory of Industry Structure, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., Orlando, USA. BPS. 1993. Sensus Pertanian 1993: Analisis Profil Rumah Tangga _Pertanian Indonesia, Biro Pusat Statistik. Jakarta. Deperindag. 1996. PUSDATA Online Data Base. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta, Deptan. 19952. Inventarisasi_ dan Pena-taan Ruang Daerah Pantai Kabupaten Lam- pung Tengah. Dep.Pertanian, DitJend. Perikanan, Proyek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai Jakarta. Deptan. 1995. Inventarisasi dan Penataan Ruang Daerah Pantai Kabupaten Serang Jurnal PWK - 39 Dep. Pertanian, DitJend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai. Jakarta, Deptan. 1995c. Inventarisasi dan Penataan Ru- ‘ang Daerah Pantai Kabupaten Tangerang. Dep. Pertanian, Dit.Jend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai. Jakarta. Deptan. 195d. Inventarisasi dan Penataan Ru- ang Daerah Pantai Kabupaten Bekasi. Dep. Pertanian, Dit.Jend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai, Jakarta, Deptan. 1995e. Inventarisasi dan Penataan Ru- ‘ang Daerah Pantai Kabupaten Subang. Dep.Pertanian, Dit.Jend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai, Jakarta. Deptan. 19958. Inventarisasi dan Penataan Ru- ‘ang Daerah Pantai Kabupaten Karawang. Dep. Pertanian, Dit.Jend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai, Jakarta. Deptan. 195g. Inventarisasi dan Penataan Ru- ‘ang Daerah Pantai Kabupaten Indramayu Dep. Pertanian, Dit.Jend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai, Jakarta. Deptan. 1995h. Inventarisasi dan Penataan Ru- ang Daerah Pantai Kabupaten C-rebon. Dep. Pertanian, DitJend. Perikanan, Pro- yek Pembinaan Perikanan Daerah Pantai, Jakarta, FAO, 1996. FAOSTAT Online Data Base. Food and Agriculture Organization. Rome. Kneese, A. V. and J. L. Sweeney. 1985. Handbook of Natural Resource and Energy Economics. Vol. Il, Elsevier Sci. Pub. B.V., Amsterdam. Kurnia, Thomas, 1995. Evaluasi Sumberdaya Lahan dan Optimasi Usahatani Transmi- gran Model Hemat Lahan. Skripsi $1 La- boratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Jurusan Tanah, Fa- kultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nir, Dov. 1990. Region as A Socio- Environmental System: An Introduction t0 Asystemic Regional Geography. Kluwer ‘Academic Publisher. Dordrecht. The Netherlands. Jurnal PWK - 40 Saefulhakim, R. Sunsun, 1994, Menuju Era Pembangunan Berwawasan Spatial, Inte- gral dan Berkelanjutan. Makalah Lokakar- ya Akademik Program Studi Ilmu Peren- ‘canaan Pembangunan Wilayah dan Perde- saan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 10 Desember 1994, Saefulhakim, R. Sunsun, 1994a. A Land Availability Mapping Model __for Sustainable Land Use Management. PhD. Dissertation of the Regional Planning Laboratory. Kyoto University. Japan, Saefulhakim, R. Sunsun. 1994b, Strategi Pengembangan Kawasan Industri yang Menenggang Kepentingan Nasional ten- tang Swasembada Beras. Makalah Tim Teknis Pengkajian Perluasan Kawasan Industri di Kabupaten Bekasi, BKTRN- BAPPENAS. Jakarta, 23 November 1994. Saefulhakim, R. Sunsun. 1995. Konsep Dasar Tata Ruang Pewilayahan Aktifitas Produk si Pertanian. Makalah Pelatihan Pewila- yahan Komoditas, Biro Perencanaan De- partemen Pertanian. Lembang dan Bali, Agustus-September, 1995 Saefulhakim, R. Sunsun. 1996. Aspek Kelem- bagaan Pengendalian Alih Guna Tanah Pertanian, Studi Kasus Sumatera Selatan, Lampung, Jawa dan Bali. Bagian Laporan Penelitian Kerjasama BPN dan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (1995/1996), Saefulhakim, R. Sunsun, dan L.I. Nasoetion. 1995. Tinjauan terhadap Hubungan Inti- Plasma dalam Pengelolaan Pertanahan. Makalah Lokakarya Nasional "Kebijakan Tata Ruang Nasional dan Aspek Perta- nahan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan". CIDES, BAPPENAS, dan BPN. Bandung, 9-10 Oktober 1995. Saefulhakim, R. Sunsun, T. Kitamura, S. Kobayashi. 1991. Spatio-Sociocultural Pattrening of Rural Occupation for Land Use Planning. Proceeding. Rural Planning Association, Japan, April 1991 Saefulhakim, R, Sunsun, T. Kitamura, S. Kobayashi. 1992. Factors Affecting Rural Occupations and Land Use: A Multivariate Approach Using Correspondence Analysis. Indon. J. Trop. Agric. Vol. 4(1), 1992. Vol.8.No. Januari 1997 Suhadak. 1995. Pola Konversi Lahan Sawah dan Keterkaitannya dengan Perubahan Struktur Penguasaan Lahan dan Pola Per- Kembangan Wilayah Jalur Pantai Utara Jawa Barat. Skripsi $1 Laboratorium Pe- rencanaan Pengembangan Sum-berdaya Lahan, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Syafrida. 1995, Analisis Pengaruh PIR Berbantuan dan PIR Lokal PT Perkebunan Il terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Ma- syarakat di Dati IT Kabupaten Langkat. Thesis $2 Program Studi Pengelolzan Sumberdaya Alam dan Lingkungen, Pro- gram Pascasarjana Universitas Sumatera ‘Utara, Medan. Vol.8,No.1/Januari 1997 UUPR: Undang-Undang Republi Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Uzawa, Hirofumi, 1991. Global Warming Initiatives: The Pacific Rim in Rudinger, Dornbusch and James M. Poterba (eds): Global Warming, Economic Policy Res- ponses. pp. 275-324. The MIT Press, ‘Cambridge, Massachusetts. World Bank. 1989. Indonesia Forest, Land, and Water: Issues in Sustainable Development. The World Bank's Report No. 7822-IND. Jurnal PWK - 41

You might also like