You are on page 1of 37

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

MIKROTEKNIK
Pembuatan Preparat Pollen dengan Metode Asetolisis
Disusun Untuk Memenuhi Ujian Kompetensi Mata Kuliah Mikroteknik
Semester V

Disusun Oleh :

Wike Trajuningtyas Oktaviana

K4312073

PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
201
I. JUDUL
Pembuatan Preparat Pollen dengan Metode Asetolisis
II. TUJUAN
Mendapatkan soft skill tentang cara pembuatan preparat pollen dengan
metode Asetolisis

III. ALAT DAN BAHAN

Alat

1. Botol Vlakon
2. Pipet tetes
3. Bahan
Tabung sentrifuge
4. Waterbath
5. Kuas
1. Pollen bunga Hibiscus rosa-
6. Gelas ukur
7. Batang gelas/ spatula
sinensis, Hibiscus tiliaceus,
8. Bunsen
Passiflora sp, Acacia sp,
9. Object glass
10. De glass
Chrysanthemum sp, Jatropha sp,
11. Mikroskop
Lilium sp, Bauhinia purpurea,
Allamanda sp, Caesalpinia
pulcherrima.
2. Asetat Asetat Glasial (AAG)
3. Asam sulfat pekat
4. Safranin 1% dalam aquades
5. Crystal violet
6. Aquades
7. Glyserin Jelly
8. Cutex

IV. CARA KERJA


Hari 1:
1. Menyisir anther dengan menggunakan kuas kecil dan memfiksasi
dengan menggunakan Asam Asetat Glasial (AAG) 45% selama 24
jam

Laporan Mikroteknik Page 2


Hari 2:

2. Memindah bahan ke dalam tabung sentrifuge dan mensentrifugasi


dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit.
3. Mengganti cairan dengan campuran AAG 45% dengan asam sulfat
pekat dengan perbandingan 9:1 (asam sulfat ditambahkan setetes
demi setetes ke dalam AAG).
4. Memanaskan tabung dalam waterbath dengan suhu 65oC selama 3
menit.
5. Mengambil tabung, mendiamkan sampai dingin kemudian
mensentrifugasi selama dengan kecepatan 2000 rpm selama 10
menit.
6. Membuang cairan lalu mencuci dengan aquades, kemudian
mensentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
Melakukan pengulangan sebanyak 2 kali.
7. Memisah bahan menjadi 3 tabung untuk melakukan pewarnaan
menggunakan safranin, crystal violet, dan non warna.
Non warna: membuang aquades dan mengganti dengan
glyserin jelly kemudian memasukkan ke dalam waterbath
dengan suhu 70oC selama 5 menit. Selanjutnya melakukan
mounting. Menuang bahan pada object glass, menutup dengan
de glass, mengolesi tepi de glass dengan cutex bening.
Mengamati di bawah mikroskop dan memberi label.
Pewarnaan safranin/ crystal violet: mengambil safranin/
crystal violet sebanyak 2 tetes dan mengencerkan dengan
aquades. Kemudian mensentrifugasi dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Melanjutkan langkah kerja seperti pada
preparat pollen non warna.

V. DASAR TEORI

Pollen merupakan gametofit jantan pada tumbuhan Gymnospermae dan


Angiospermae, sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler
seperti alga, jamur, lumut serta tumbuhan vaskuler tingkat rendah yaitu paku-
pakuan. Melalui pembelahan meiosis, sel induk mikrospora membelah manjadi

Laporan Mikroteknik Page 3


empat sel haploid yang disebut mikrospora atau sering disebut sebagai butir
pollen (serbuk sari) dan spora (Kapp, 1969).
Walker (1975) menyatakan bahwa serbuk sari merupakan alat penyebaran
dan perbanyakan generatif dari tumbuhan berbunga. Secara sitologi, serbuk sari
merupakan sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing dinamakan inti
vegetatif, inti generatif I, dan inti generatif II. Sel dalam serbuk sari dilindungi
oleh dua lapisan (disebut intine untuk yang di dalam dan exine yang di bagian
luar), untuk mencegahnya mengalami dehidrasi. Perbedaan antara pollen
monokotil dan dikotil antara lain:
1) Butir pollen monokotil umumnya lonjong dibandingkan dikotil.
2) Pada monokotil butir pollen tetrad tunggal yang biasanya tersusun dalam
satu bidang, sedangkan dikotil susunannya biasaanya tetrahedral

Morfologi Umum Pollen (Sewyer, 1981)


Ilmu yang mempelajari tentang pollen dan spora disebut palinologi yang
umumnya lebih terfokus pada struktur dinding (Erdtman, 1969). Selain sebagai
tempat gametofit jantan dan alat penyerbukan pada tumbuhan berbunga, serbuk
sari memiliki fungsi dan penting dalam beberapa bidang meliputi morfologi
serbuk sari dan kaitannya dalam taksonomi, filogeni dan palinologi fosil.
Beberapa karakter dari morfologi serbuk sari adalah: simetri, ukuran dan bentuk,
struktur dinding serbuk sari (pollen wall), stratifikasi exine, ornamentasi exine,
kerutan/alur dan lubang. (Agashe dan Caulton, 2009)

Laporan Mikroteknik Page 4


Daya tahan pollen sangat tinggi karena memiliki exine yang keras dan
secara kimia tidak mudah hancur oleh aktifitas mikroba, tingkat salinitas, kondisi
basah, oksigen rendah, dan kekeringan (Moore et al., 1991). Selain ukuran dan
bentuk, ciri pollen adalah tipe, jumlah dan posisi apertura serta arsitektur dinding.
Ciri morfologi pollen tersebut semakin meningkat penggunaannya dalam
taksonomi, terutama untuk mengoreksi kembali hubungan kekerabatan antara satu
tumbuhan dengan tumbuhan lainnya dalam kelompok-kelompok takson (Erdtman,
1969).
Berbagai variasi pollen dapat digunakan untuk mengetahui arah evolusi
suatu tumbuhan (Moore etal., 1991), sifat pollen yang mudah melekat pada
berbagai benda membantu dalam penyelidikan kriminal, sedangkan kandungan
protein, karbohidrat dan zat-zat lainnya yang tinggi mempengaruhi kualitas madu
(Bhojwani dan Bhatnagar, 1978). Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa
pollen adalah penyebab utama alergi pernafasan. Oleh karena itu data tentang
pollen diperlukan untuk menunjang berbagai disiplin ilmu diantaranya taksonomi,
sejarah vegetasi dan evolusi flora (Moore etal., 1991). Selain itu juga dapat
menunjang beberapa data antara lain kriminologi, medis dan melittopalinologi
yaitu studi kandungan pollen dalam madu (Bhojwani dan Bhatnagar, 1978).
Pollen memiliki dinding yang berfungsi untuk melindungi inti sperma
tumbuhan dari proses desikasi dan iradiasi selama perpindahan dari antera menuju
ke stigma. Butir pollen yang kecil dilapisi oleh lilin dan protein yang berupa
elemen scluptura (Davis, 1999). Menurut Faegri dan Iversen (1989) pollen
mempunyai dua lapis dinsing, yaitu lapisan dalam (intine) dan lapisan luar (exine).
Exine tersusun dari sporopollenin sebagai komponen utamanya, yaitu berupa
substansi keras yang berfungsi memberikan daya tahan yang kuat kepada dinding
butir pollen. Sedangkan lapisan intine merupakan dinding pektoselulosa tipis yang
mengelilingi butir pollen yang masak (Fahn, 1991).
Sifat pollen yang penting dalam mempelajari pollen yaitu unit pollen,
polaritas pollen, simetri pollen, bentuk pollen, tipe dan jenis apertura serta
ornamen exine (Erdtman, 1952). Sebagian besar tanaman memiliki bentuk unit
pollen monad. Pada beberapa genus ada yang tetrad, dyad, dan polyad.(Faegri dan

Laporan Mikroteknik Page 5


Iversen, 1989). Apertura adalah suatu penipisan atau modifikasi dinding spora
atau pollen yang berfungsi untuk jalan keluar isi spora atau pollen (Davis, 1999).
Bentuk polen Perbandingan P/E
Peroblate <4/8
Oblate 4/8 6/8
Subspheroidal 6/8 8/6
Subspheroidal 6/8 7/8
Oblate spheroidal 7/8 8/8
Prolate spheriodal 8/8 8/7
Subprolate 8/7 8/6
Prolate 8/6 8/4
Perprolate >8/4

Ornamentasi/ hiasan/ sclupture


Dinding luar polen (eksin), terdiri dari dua lapisan, yakni lapisan luar
disebut ekteksin dan lapisan dalam disebut endeksin. Dinding polen (eksin) yang
tersimpan menjadi fosil. Di bagian luar lapisan eksin tersebut terdapat hiasan
(ornamentation/sclupture) yang penting untuk diskripsi polen. Moore dan Webb
(1978), membagi bentuk ornamentasi sbb:
- Psilate : bila permukaan polen halus
- Verrucate : bila polen atau spora mempunyai tonjolan seperti kutil,
biasanya tonjolan lebarnya lebih besar dari tingginya
- Echinate : bila ornamentasinya menyerupai duri
- Striate : bila ornamentasinya memanjang dengan pola parallel
- Reticulate : polen atau spora memiliki pola ornamentasi seperti
jarring-jaring
- Rugulate : apabila elemen ornamentasinya memanjang ke samping
dan tidak teratur
- Clavate : tonjolan ornamentasinya melebar dibangian pangkal
- Perforate : ornamentasinya berupa lubang-lubang dengan diameter
kurang dari satu micrometer
- Gemmete : ornamentasinya baik lebar maupun tinggi tonjolannya
sama ukurannya dan mengkerut pada bagian dasarnya
- Scabrate : memiliki proyeksi elemen dengan diameter lebih dari
satu micrometer dan menyerupai granua sehingga disebut juga granulate

Laporan Mikroteknik Page 6


VI. DATA PENGAMATAN

No Nama Preparat Gambar Preparat


1. Pollen Jatropha sp
(40x) non warna
Butir
pollen

2. Pollen Acacia sp
(20x)

Butir
pollen

3. Pollen Acacia sp
(40x)

Butir
pollen

4. Pollen Allamanda
1
Butir
polle
n

Laporan Mikroteknik Page 7


5. Pollen Allamanda
2
Butir
polle
n

6. Pollen Allamanda
3
Butir
polle

7. Pollen Bauhinia
purpurea Butir
polle
n

8. Pollen Caesalpinia
pulcherima
Butir
polle
n

9. Pollen
Chrysanthemum Butir
no colour (40x) polle
n

Laporan Mikroteknik Page 8


10. Pollen Hibiscus
rosa-sinensis Butir
Safranin (40x) polle
n

11. Pollen Hibiscus


rosa-sinensis

Butir
polle

12. Pollen Hibiscus


Butir
tiliaceus (40x) polle
Safranin n

13. Pollen Lilium sp


(40x) Butir
polle
n

14. Pollen Lilium sp


(40x)

Butir
polle
n

Laporan Mikroteknik Page 9


15. Pollen Passiflora
sp (40x) Crystal
violet
Buti
r

16. Pollen Passiflora


sp (40x) non
warna
Butir
pollen

VII. PEMBAHASAN

Praktikum dengan judul Pembuatan Preparat Pollen dengan Metode


Asetolisis ini bertujuan untuk mendapatkan soft skill tentang cara pembuatan
preparat pollen dengan metode Asetolisis. Prinsip kerja pada praktikum ini adalah
dengan melakukan penyisiran anther dengan menggunakan kuas kecil dan
memfiksasi dengan menggunakan Asam Asetat Glasial (AAG) 45% selama 24
jam pada hari pertama. Selanjutnya pada hari kedua memindahkan bahan ke
dalam tabung sentrifuge dan mensentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama
10 menit. Selanjutnya, mengganti cairan dengan campuran AAG 45% dengan
asam sulfat pekat dengan perbandingan 9:1 (asam sulfat ditambahkan setetes demi
setetes ke dalam AAG). Memanaskan tabung dalam waterbath dengan suhu 65oC
selama 3 menit. Kemudian mengambil dan mendiamkan tabung sampai dingin
yang dilanjutkan dengan mensentrifugasi selama dengan kecepatan 2000 rpm
selama 10 menit. Membuang cairan lalu mencuci dengan aquades dan
mensentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm yang dilakukan
dengan 2 kali pengulangan. Memisah bahan menjadi 3 tabung untuk melakukan
pewarnaan menggunakan safranin, crystal violet, dan non warna. Pewarnaan non
warna dilakukan dengan membuang aquades dan mengganti dengan glyserin jelly

Laporan Mikroteknik Page 10


kemudian memasukkan ke dalam waterbath dengan suhu 70oC selama 5 menit.
Selanjutnya melakukan mounting dengan cara menuang bahan pada object glass,
menutup dengan de glass, mengolesi tepi de glass dengan cutex bening.
Mengamati di bawah mikroskop dan memberi label. Sedangkan pada pewarnaan
safranin/ crystal violet dilakukan dengan mengambil safranin/ crystal violet
sebanyak 2 tetes dan mengencerkan dengan aquades. Kemudian mensentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Melanjutkan langkah kerja seperti
pada preparat pollen non warna.
Metode yang biasa digunakan dalam mengamati preparat pollen ialah
dengan metode asetolisis. Asetolisis adalah salah satu metode pembuatan preparat
serbuk sari yang menggunakan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan
asam asetat glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan kimia fiksatif. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan hasil pengamatan morfologi dinding serbuk sari
ornamentasi dari serbuk sari tersebut. Serbuk sari yang digunakan
dalam pembuatan preparat haruslah merupakan serbuk sari yang matang. Serbuk
sari yang matang dapat ditandai dengan sudah tidak ada air dalam serbuk sari
tersebut, jika serbuk sari dipatahkan maka hanya akan seperti tepung saja.
(Handari, 2011). Langkah-langkah dari proses asetolisis ini antara lain adalah
fiksasi, pemanasan, pencucian, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan
labelling. (Suntoro, 1983)
Langkah pertama yaitu fiksasi serbuk sari. Fiksasi adalah suatu usaha
untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan, dalam hal ini serbuk sari
agar tetap pada tempatnya, dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun
ukuran dengan media kimia sebagai fiksatif. Fiksasi umumnya memiliki
kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian-
bagian dalam sel tersebut mudah terlihat di bawah mikroskop. Tetapi tidaklah
berarti banyak, karena tanpa diwarnai bagian-bagian jaringan tidak akan dapat
jelas dibedakan satu sama lain, dan untungnya fiksatif mempunyai kemampuan
untuk membuat jaringan mudah menerap zat warna. Proses fiksasi ini dilakukan
dengan tujuan untuk:
Menghentikan proses metabolisme dengan cepat

Laporan Mikroteknik Page 11


Mengawetkan elemen sitologis dan histologis
Mengawetkan bentuk yang sebenarnya
Mengeraskan atau memberi konsistensi material yang lunak
biasanya secara koagulasi, dari protoplasma dan material-material
yang dibentuk oleh protoplasma (Anonim, 2010)
Ada dua macam fiksatif, yaitu fiksatif sederhana dan fiksatif majemuk
atau campuran. Fiksatif sederhana merupakan larutan yang di dalamnya hanya
mengandung satu macam zat saja, sedangkan fiksatif majemuk atau campuran
adalah larutan yang di dalamnya mengandung lebih adri satu macam zat. Fiksatif
yang digunakan serbuk sari dalam pembuatan preparat ini ada satu bahan utama
yaitu asam asetat glasial dan satu bahan tambahan, yaitu H 2SO4 (asam sulfat)
pekat. Kedua fiksatif tersebut termasuk dalam fiksatif sederhana. Asam asetat
adalah cairan yang tidak berwarna dengan bau yang tajam. Sedangkan asam asetat
glasial adalah asam asetat yang padat dan murni serta dapat mencair pada suhu
117C. Asam asetat dapat bercampur dengan alkohol dan air. Fiksatif ini dibuat
dengan jalan distilasi dari kayu dalam ruang hampa udara. Hasil distilasi ini
adalah piroligneous, dimana piroligneous ini adalah campuran yang mengandung
asam asetat yang kemudian asam asetat ini kemudian dipisahkan dari
campurannya (Anonim, 2010).
Asam asetat dapat mengendapkan nukleoprotein, tetapi melarutkan histon
dalam nukleus, tidak melarutkan lemak, juga bukan pengawet karbohidrat. Daya
penetrasinya cepat, tetapi dapat membengkakkan jaringan, ini disebabkan oleh
bertambahnya diameter serabut-serabut dalam jaringan tersebut. Asam asetat
memiliki dua fungsi dalam sitologi, yaitu mencegah pengerasan dan mengeraskan
kromosom. Dalam konsentrasi tinggi, asam asetat dapat menghancurkan
mitokondria dan apparatus golgi (Anonim, 2010).
Setelah fiksasi minimal 24 jam, selanjutnya yang dilakukan adalah
sentrifuge serbuk sari dan fiksatif dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit.
Tujuan dari sentrifuge ini adalah memisahkan serbuk sari dan asam asetat glacial,
karena serbuk sari berukuran kecil dan bercampur dengan asam asetat glacial
sehingga serbuk sari susah untuk diambil, maka diperlukan sentrifuge. Dari hasil

Laporan Mikroteknik Page 12


sentrifuge ini akan terbentuk supernatan asam asetat dan endapan serbuk sari.
Asam asetat kemudian dibuang, sehingga didapatkan serbuk sari yang mengendap
di dasar tabung sentrifuge saja. Pembuangan asam asetat ini perlu kehati-hatian
agar serbuk sari yang mengendap di dasar tabung tidak menyebar kembali dalam
larutan asam asetat dan akan ikut terbuang (Anonim, 2010).
Larutan campuran antara H2SO4 pekat dan asam asetat glasial dengan
perbandingan 1:9 pada tabung sentrifuge yang berisi endapan serbuk sari.
Penambahan larutan kemudian diikuti dengan pemanasan campuran larutan
tersebut di dalam waterbath (penangas air) di atas lampu spiritus. Pemanasan ini
dilakukan hingga air dalam penangas mendidih. Pemanasan larutan ini bertujuan
untuk mempercepat terjadinya reaksi yang terjadi pada serbuk sari. Sedangkan
penambahan H2SO4 dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1:9 ini berfungsi
untuk untuk melisiskan selulosa pada dinding serbuk sari (asetolisis), sehingga
setelah dibuat preparat, morfologi exine serbuk sari akan terlihat lebih jelas
dibandingkan dengan sebelum asetolisis. Selain itu, asetolisis ini juga berfungsi
seperti proses fiksasi, yaitu memelihara atau mempertahankan struktur dari serbuk
sari (Anonim, 2010).
Setelah pemanasan dalam waterbath selesai, serbuk sari dalam larutan
akan berubah warna menjadi agak kecoklatan. Serbuk sari dan larutan yang
dipanaskan ini kemudian didinginkan sejenak. Setelah dingin, langkah selanjutnya
adalah melakukan sentrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang telah
terasetolisis, memisahkannya dari larutan asam asetat glasial dan H 2SO4 pekat.
Sentrifuge dilakukan selama 10 menit dan dengan kecepatan 2000 rpm. Hasil
sentrifuge adalah supernatan di bagian atas tabung sentrifuge, yaitu larutan asam
asetat glasial dan asam sulfat pekat serta endapan di dasar tabung, yaitu serbuk
sari yang telah terasetolisis. Supernatan kemudian dibuang secara hati-hati agar
serbuk sari yang sudah mengendap tidak menyebar kembali kedalam larutan dan
ikut terbuang (Anonim, 2010).
Pencucian serbuk sari dengan aquades sebanyak dua kali. Pencucian
dilakukan dengan penambahan aquadesh ke dalam tabung sentrifuge yang berisi
serbuk sari kemudian melakukan sentrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang

Laporan Mikroteknik Page 13


sudah bersih. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk mendapatkan serbuk
sari yang bersih tanpa ada sisa zat kimia seperti fiksatif dalam serbuk sari yang
akan dibuat preparat (Anonim, 2010).
Pewarnaan adalah untuk meningkatkan kontras warna serbuk sari dengan
sekitarnya sehingga memudahkan dalam pengamatan serbuk sari di bawah
mikroskop. Pewarnaan dapat memperjelas bentuk ornamen dinding sel serbuk sari
(pollen) serta mempermudah mengetahui ukuran serbuk sari. Safranin adalah
suatu klorida dan zat warna basa yang kuat. Zat warna ini tergolong dalam zat
warna golongan azine, yaitu zat warna yang mengandung cincin orthoquinonoide
yang dihubungkan dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom N. Sebenarnya,
zat warna ini akan mewarnai dengan sangat baik bila jaringan difiksasi dengan
larutan fleming. Sedangkan Crystal violet merupakan staining jar berwarna ungu
yang mampu mewarnai bagian-bagian tertentu dari sel dan jaringan. Sebenarnya
Crystal violet adalah senyawa pewarna untuk kromosom yang bukan merupakan
barang ekonomis sehingga penggunaannya pun harus seefisien mungkin. Crystal
violet mudah terganggu dengan adanya zat-zat asam kuat lemah atau pun kuat.
Dalam pembuatan preparat serbuk sari, pewarnaan serbuk sari menggunakan
safranin hasilnya lebih baik. Dalam proses pewarnaan, safranin dilarutkan dalam
sedikit aquades, hal ini masih dilakukan dalam tabung sentrifuge. Setelah
pewarnaan serbuk sari, kemudian dilakukan sentrifuge kembali yang ditujukan
untuk mendapatkan serbuk sari yang terwarnai dengan memisahkannya dengan
larutan safranin dan aquades. Sentrifuge dilakukan selama 10 menit dan dengan
kecepatan 2000 rpm. Hasil dari sentrifuge adalah supernatan berupa larutan
safranin dan aquades yang selanjutnya dibuang dan endapan berupa serbuk sari di
dasar tabung yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan preparat serbuk sari
(Anonim, 2010).
Mounting atau penutupan ini merupakan langkah penting dalam
pembuatan preparat, dimana serbuk sari diambil dari dasar tabung sentrifuge
kemudian diletakkan pada salah satu sisi object glass. Kemudian, di masing-
masing sisi dari serbuk sari yang diletakkan ini disusun empat potongan kecil
parafin. Selanjutnya di atas serbuk sari diletakkan potongan lembaran gliserin

Laporan Mikroteknik Page 14


jelli. Susunan tersebut perlu dipertimbangkan peletakannya agar dapat dihasilkan
preparat yang rapi dan proporsional. Setelah penyusunan gliserin jelli, parafin,
dan serbuk sari selesai, langkah berikutnya dalam mounting adalah penutupan
susunan tersebut dengan cover glass. Pemanasan ditujukan untuk mencairkan
parafin dan gliserin jelli agar dapat menutup serbuk sari, sehingga dihasilkanlah
preparat serbuk sari yang tahan dalam selang beberapa waktu (Anonim, 2010).
Serbuk sari diambil dari bunga yang sudah mekar lalu dibuat preparat
dengan metode asetolisis dan pewarnaan safranin 1%. Data dianalisis secara
deskriptif meliputi unit serbuk sari, polaritas, simetri, ukuran, bentuk, apertura,
dan bentuk permukaan serbuk sari. Serbuk sari mempunyai kesamaan yaitu unit
serbuk sari tipe monad, polaritas tipe isopolar, radial simetri, jumlah apertura 6
dengan tipe colpate yang terletak secara ekuatorial (stephano), dan permukaan
serbuk sari berbentuk reticulate. Pengamatan preparat dilakukan dengan
mikroskop perbesaran 20x - 40x dan kemudian hasil gambar yang diperoleh
difoto menggunakan mikroskop.

Preparat pollen yang berhasil diamati diantaranya:


a) Preparat Pollen Jatropha sp
Perbesaran 40x (non warna)

Exin

Intine

sitoplasm

Bunga jantan dari Jatropha sp memiliki 10 stamen yang masing-masing


terdiri dari 4 mikrosporangia. Struktur penyusun dinding anter adalah berupa tipe

Laporan Mikroteknik Page 15


dikotil, yang tersusun dari lapisan epidermis, endotesium, lapisan tengah, dan
kelenjar tapetum. Pembelahan sitokinesis yang terjadi pada proses meiosis
merangsang pembentukan tetrad tetrahedral. Butir pollen dewasa terdiri dari dua
sel pada bagian antesis dengan bentuk sel generatif yang berupa spindel.
Jatropha sp adalah tumbuhan monoecious atau berumah dua yang
memiliki 10 buah tetrasporangia pada tiap-tiap bunga jantannya. Setiap stamen
terdiri dari empat mikrosporangia yang tersimpan dalam dua ruang theca. Dinding
anter muda terdiri dari epidermis, endotesium, dua sampai tiga lapisan tengah, dan
satu lapis sel kelenjar tapetal yang masing-masing memiliki dua sampai empat
buah nuklei (inti sel). Sedangkan pada anter dewasa dindingnya tersusun atas
lapisan epidermisnya tersusun oleh jaringan yang berserabut dengan endotesium
yang lebih tebal. Butir pollen dewasa terdiri dari dua sel di bagian antesis dan sel
generatifnya berbentuk seperti spindel. Pada pollen dewasa terlihat bagian exine
yang lebih tebal dari bagian intine. Exine tersusun dari sporopollenin sebagai
komponen utamanya, yaitu berupa substansi keras yang berfungsi memberikan
daya tahan yang kuat kepada dinding butir pollen. Sedangkan lapisan intine
merupakan dinding pektoselulosa tipis yang mengelilingi butir pollen yang masak.
(Fahn, 1991)
Berdasarkan jurnal Palynological Study Of Soil Sample Collected From
An Archaeological Site (Gulabi Bagh) In Lahore, Pakistan disebutkan bahwa
Palynomorph dari Jathropa curcas adalah sebagai berikut: Oblong, apertura non-
porate, memiliki kemungkinan colpate, colporate, foraminate atau rugate. Terdiri
dari 2 sel. Ukuran pollen adalah 31,1m dan heteropolar.
Selanjutnya berdasarkan jurnal Palynological Studies In Some Jatropha
Species, butir pollen pada takson ini adalah oblate, spherical, omniaperturate,
dilapisis jaringan tebal dengan struktur clivate, yang membatasi secara reticulate
untuk membentuk struktur crotonoid. Exine biasanya dilapisi dengan struktur
globular. Ukuran rata-rata dari butir pollen yang berhasil ditemukan adalah 38 m
x 39.26 m. Ornamental bertipe psilate.

b) Preparat Pollen Acacia sp

Laporan Mikroteknik Page 16


Perbesaran 20x (Safranin)

exin
e
sitoplas
ma
intin

Tectu

Orname

Perbesaran 40x (Safranin)

sitoplas

Orname

Exin

Intin

Tectu
Acacia sp termasuk ke dalam famili Mimosaceae yang tersebar luas di
wilayah tropis dan sub tropis. (Elias, 1981). Butir pollen dari Acacia telah
dipelajarai oleh beberapa peneliti. Boulos L, 1983; Elias (1981) menjelaskan
bahwa karakteristik pollen yang terlihat adalah tepat berupa bentuk individual
unit, sebagai tetrad, octad, atau polyad, yang kebanyakan terdiri dari 16 dan 32
monad. Guinet (1981) menerangkan bahwa sebagian besar pola struktural dari
butir pollen adalah granular dengan lubang apertura yang biasa, meskipun begitu
butir pollen dengan colporate dan extraporate apertura dapat terlihat, namun
colpate apertura tidak terdapat pada butir pollen Mimosoidae.
Menurut Jumah (1991, 1996) yang berhasil melaporkan bentuk polyad dari
16 butir pollen pada Acacia karroo; A. nilotica var. adansoni, A. nilotica var.
tomentosa and Acacia polyacantha sub sp. campylacantha. Guinet (1990)
menekankan bahwa struktur pollen simetris ditemukan pada beberapa Mimoseae
dan Acacia.

Laporan Mikroteknik Page 17


Kordofani dan Ingrouille (1992) yang telah meneliti 14 spesies pada
Acacia melaporkan bahwa jumlah butir pollen pada setiap polyad adalah sebanyak
16 buah kecuali pada satu spesies yang memiliki 32 buah butir pollen pada setiap
polyad. Spesies dari Acacia memiliki karakteristik berupa butir pollen yang
dilengkapi dengan colpi dengan bentuk Y dan H yang terlihat pada bagian sentral
dan periferal dari butir pollen yang didukung oleh pori. Karakteristik yang telah
dipelajari ini digunakan untuk mengidentifikasi spesies-spesies pada Acacia.
(Caccavari and Dome, (2000). Hasil ini sesuai dengan penelitian dari pollen
dengan jumlah 16 atau 32 monad yang telah dilakukan. (Elias 1981)
Berdasarkan jurnal Berdasarkan jurnal Palynological Study Of Soil
Sample Collected From An Archaeological Site (Gulabi Bagh) In Lahore,
Pakistan, diketahui bahwa palynomorph dari Acacia sp adalah sebagai berikut:
Polyad dengan jumlah butir pollen sebanyak 16, 8 butir pollen terletak di tepi dan
8 butir yang lain berada di tengah yang terbagi menjadi dua bagian, dimana tiap
bagian memiliki 4 butir pollen, ukuran sedang hingga besar. Individual sel
berbentuk subglobose. Tipe ornamen verrucate.
Di bagian tepi dan kotak di bagian tengah, butir pollen memiliki tipe 3
porate, prolate menuju subspherical permukaan pada bagian periferal melingkar
butir pollen. Prilate memiliki tipe granulate, testat, memiliki ukuran pori yang
berbeda, diameter pori 1.8m, ukuran periferal butir pollen 8.4m. Heteropolar,
dengan tebal exine 2.8m.

c) Preparat Pollen Allamanda


Perbesaran 40x (Crystal violet)

Orname

Exin
Sitoplas

Intin

Apertura

Laporan Mikroteknik Page 18


Exin

Apertura
Sitoplas
Orname

Intin

Exin

Intin
Intin
Sitoplas

Apertura

Allamanda sp ermasuk ke dalam famili Apocynaceae. Morfologi butir


pollen yang berhasil diidentifikasi adalah prolate, tricolporate, isopolar, radial
symmetry dan tectum dengan bentuk granulate prolate, butir pollen sangat jarang
berbentuk bulat sempurna. Spesies dengan butir pollen yang panjang dan lebar
merupakan salah satu mekanisme adaptasi untuk mengefektifkan persebarannya
oleh angin. Semua spesies Allamanda memiliki tipe butir pollen monad dan
bebas. Tipe ornamen psilate.
Berdasarkan jurnal Palynology of Cultivated Plant Species at Yala
Rajabhat University, Thailand, diketahui hasil dari penelitian palynology dari
Allamanda sp adalah sebagai berikut: rasio P/E : 1.61, ukuran garis bujur (Polar)
134.40(138.30)142.20 m dan diameter garis tengah (Equator) 85.80(85.90)86.00
m. Morfologi pollen prolate, tricolporate, isopolar, simetri radial dengan tipe
tectum granulate.

d) Preparat Pollen Bauhinia purpurea


Perbesaran 40x (Safranin)

Laporan Mikroteknik Page 19


apertur
a

Orname

Sitoplas
ma

exin

intin

apertu
Tipe Pollen dari Bauhinia adalah mempunyai tectate exine dan biasanya
terdapat pada monad. Tectum ini dapat memperlihatkan permukaan micro-
reticulate, micro-striate, micro-verrucate, atau micro-rugulate atau kombinasi
dari bentuk-bentuk tersebut. Karakter pollen yang berhasil diamati selanjutnya
dari genus Bauhinia adalah gemmae dan verrucae yang memiliki beberapa ukuran
dan pola distribusi pada tectum, sebagai tambahan untuk mengorganisasi
reticulum.
Ferguson dan Banks (1984) mengutip kejadian pada tetrad tetrahedral
pada Bauhinia dengan perforate tectum dan verrucae berukuran kecil yang
melekat pada dinding dari butir pollen. Pada beberapa penelitian ditemukan
keanekaragaman morfologi pada butir pollen genus Bauhinia yang
memungkinkan untuk dipisahkan berdasarkan penelitian secara filogenetik dan
taksonomi pada tingkat genus. Kebanyakan spesies dari Bauhinia menunjukkan
exine yang homogeneous (homogen) dengan kolumela yang tipis. Sedangkan tipe
butir pollen colpate adalah yang paling sering ditemukan pada spesies Bauhinia.
Pada penelitian baru-baru ini verrucae, gemmae, dan clavae sebagai ornamen
exine menjadi sorotan dalam mempelajari morfologi dari butir pollen pada
Bauhinia.

e) Preparat Pollen Caesalpinia pulcherrima

Laporan Mikroteknik Page 20


Perbesaran 40x
apertur
a

exin

intin

sitoplas
ma
Orname

Karakter umum pollen dari famili Caesalpinioideae yaitu memiliki butir


pollen yang biasanya simetri radial, isopolar, oblate-spheroidal sampai prolate-
spheroidal, namun jarang dengan bentuk sub-prolate, dan tricolporate. Pada
lapisan exine, sexine terkadang bisa lebih tebal atau lebih tipis dibandingkan
nexine, tetapi jarang ditemukan keduanya memiliki ketebalan yang sama. Bagian
tectum tersusun dari bentuk reticulate menuju rugulate atau fossulate-foveolate,
dan paling sering adalah bentuk striate. Kunci determinasi untuk tipe pollen
Caesalpinia pulcherrima adalah adanya perbedaan tekstur dari apocolpium dan
mesocolpium. Tipe pollen ini disebut sebagai tipe pollen 2. Kelas pollen yang
termasuk di dalamnya adalah tricolporate, zonoaperturate. Bentuk pollen dari
Caesalpinia pulcherrima yang berhasil diamati adalah termasuk prolate-
spheroidal. Apertura pollen berupa ectoaperture-colpi medium, para syncolpate.
Endoaperture lalongate, atau berbentuk kurang lebih seperti lingkaran. Pada
lapisan exine, sexine lebih tebal dibandingkan pada nexine. Ornamen pollen
Caesalpinia pulcherrima berupa tectum yang tersebar secara reticulate dengan
perbedaan pada batas colpal, dan apocolpium ditemukan dengan bentuk reticulate
yang baik. Tipe ornamen psilate.

Berdasarkan penelitian dalam jurnal Pollen Flora of Pakistan - X.


Leguminosae (Subfamily:Caesalpinioideae) dilakukan pengukuran pada butir
pollen Caesalpinia pulcherrima dengan rincian sebagai berikut:
Panjang potongan membujur (Polar) berkisar 52.11 (58.8

Laporan Mikroteknik Page 21


0.13) 59.9 m
Diameter tengah (Equator) sekitar 51.11 (57.1
1.41) 58.27 m
Panjang Colpus berkisar 39.11 (50.12 1.94)
52.12 m
Panjang Mesocolpium berkisar 38.11 (49 0.22)
50.21 m.
Bentuk/tipe pollen syncolpate
Tebal exine kurang lebih 2.11 m
Pollen tipe 2 seperti yang dimiliki oleh Caesalpinia pulcherrima dicirikan
dengan adanya butir pollen parasyncolpate, dengan perbedaan bentuk antara
apocolpium dan mesocolpium. Graham dan Baker (1981), menggambarkan
palynology dari subfamili Caesalpinioideae memiliki hubungan didalam
klasifikasi famili mereka.
Berdasarkan jurnal A Palynological Study Of Some Cultivated Trees From
Karachi dijelaskan bahwa tipe apertura butir pollen Caesalpinia pulcherrima
adalah prolate, tricolporate, triangular, panjang colpi 39.9 (45.78) 52.5m dan
memiliki lebar 14.7 (20.58) 25.2m, membran colpal reticulate. Mesocolpium
23.1(29.61) 33.6m. Apocolpium 54.6 (58.59) 63m. Tebal exine 2.1(2.31)
3.15m. Sexine lebih tebal daripada nexine. Tectum bertipe reticulate-rugulate.

f) Preparat Pollen Chrysanthemum sp


Perbesaran 40x (non warna)
sitoplasm

Ornamen

exin
e

intin

apertu
ra

Laporan Mikroteknik Page 22


Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Pollen
Morphology Of Selected Bee Forage Plants diketahui bahwa butir pollen pada
Chrysanthemum sp memiliki bentuk exine reticulate, porate, spheroid, spinolous,
dengan bentuk simetri radial. Sedangkan berdasarkan jurnal Palynocontents of
Bee-Collected Pollen Loads of Autumn Season in Bhimal, India ukuran butir
pollen pada Chrysanthemum adalah sekitar 33 x 34 m, dengan tipe apertura
prolate-spheroidal, memiliki 3-zonocolporate. Endocolpium bertipe lalongate,
oval dengan ukuran 7 x 3 m. Ketebalan exine 9 m. Dibedakan pada bagian zona
akar bawah dan zona kolom distal, permukaan butir pollen berupa spinate dan
memiliki spina sepanjang 6 m. Tipe ornamen echinate.

g) Preparat Pollen Hibiscus rosa-sinensis


Perbesaran 40x (Safranin)

Echini/ spina
(ornamen)

exin
e
intin

Echini/ spina
(ornamen)

exin
e
intin
e

Berdasarkan jurnal Palynological Study Of Some Cultivated Species Of


Genus Hibiscus From North West Frontier Province (N.W.F.P.) Pakistan diketahui
bahwa butir pollen pada Hibiscus rosa-sinensis memiliki bentuk pantoporate,
spherical menuju globose, isopolar, menunjukkan bentuk simetri radial pada

Laporan Mikroteknik Page 23


potongan membujur dan bilateral pada potongan melintang. Pollen berbentuk oval
hingga bulat. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu exine (lapisan luar)
tersusun atas sporopolenin, dan intine (lapisan dalam) yang tersusun atas
selulosa. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian exine, merupakan salah
satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur halus exine dapat
dibedakan menjadi tiga tire, yaitu: tektat, semitektat, dan intektat. Tipe ornamen
exine adalah echinate.

Setyowati (2008) melaporkan 9 species dari familia Asteraceae memiliki


persamaan pada sifat unit serbuk sari, simetri, apertura, ukuran dan
ornamentasinya, dan perbedaannya terletak pada bentuk dan panjang papila
serbuk sari. Aprianty dan Kriwiyanti (2007) melaporkan bahwa morfologi serbuk
sari Kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan 10 warna mahkota yang
berbeda menunjukkan variasi dari ukuran panjang aksis polar dan diameter bidang
ekuatorial kemudian digolongkan menjadi kelas prolat sferoidal (8 tanaman) dan
kelas oblat sferoidal (2 tanaman) berdasarkan bentuk serbuk sarinya.
Dari gambar diatas dapat kita lihat bentuk pollen Hibiscus rosa-
sinensis yang berwarna merah keunguan. Ukuran butir pollen pada genus
Hibiscus umumnya berkisar 80 - 180 m. Menurut Apriyanty dan Kriswiyanti
(2008), Hibiscus rosa-sinensis merah memiliki panjang polar 106,09 2,96 m
dan panjang equatorial 106,81 2,92 m, ukuran kelas oblat sferoidal, dan tipe
apertura berupa porate dan ornamentasi ekinat. Ukuran panjang pollen Kembang
Sepatu dengan sepuluh warna bunga berbeda berkisar antara 4 m sampai 15 m
dengan diameter antara 89,66 m sampai 117, 42 m. Sesuai hasil penelitian
Pudjoarinto (1995) yang mendapatkan perbedaan ukuran panjang pollen Hibiscus
rosa-sinensis antara 9 m sampai 15 m dengan diameter antara 95,10 m sampai
95,10 m (warna mahkota tidak disebutkan).
Jadi dapat dikatakan bahwa antara satu jenis tumbuhan dengan jenis
tumbuhan yang lain baik yang termasuk pada satu marga yang sama terletak pada
ukuran butir pollen. Hasil penelitian dari Bibi, Hussain dan Akhtar (2008),
ditemukan bentuk pollen dari Hibiscus rosa-sinensis hasil SEM (scanning

Laporan Mikroteknik Page 24


electron microscop) yang mirip dengan hasil praktikum kali ini, menggambarkan
ukuran pollen sebagai alat untuk memisahkan spesies dan itu terbukti dari temuan
yang mengakibatkan diferensiasi kultivar yang berbeda dari Hibiscus rosa-
sinensis secara taksonomi.

Pada pengamatan pollen Hibiscus rosa-sinensis terdapat struktur echinate


atau duri dengan bulbous atau swollen apex. Tectum menunjukkan bentuk seperti
pegunungan and permukaan cukup datar tapi tidak menyerupai granulate atau
punctuate. Penelitian Palinologi dari famili Malvaceae ditemukan karakter serbuk
sari stenopalynousi yang kurang lebih kurang seragam mengkonfirmasi temuan
ini. Culhane et al., (1988). Rincian pollen umumnya radial simetris, apolar,
pantoporate atau triporate zonoaperturate. Pada tectum terdapat echinate atau
duri yang seragam, terdapat pori halus sederhana atau belang-belang untuk
pembutiran dengan scabrae di antara duri. (Perveen 1994).
Temuan ini sesuai dengan pernyataan EI Naggar (2004) bahwa serbuk sari
dalam Malvaceae biasanya berbentuk bola atau bulat dalam garis dan colporate
atau porate dengan arca echinate. Duri yang sama rata di atas permukaan bijian
dan beragam dalam panjang, bentuk, kepadatan dan puncak yang bervariasi dari
tajam, bulat tumpul dan bulat hingga bercabang.
Mohammad et al. (1996) menjelaskan bahwa ukuran pollen merupakan
alat untuk memisahkan spesies dan taksonomi yang dibuktikan dari penemuan
diferensiasi kultivar yang berbeda Hibiscus rosa-sinensis. Tahavi (2000)
berpendapat bahwa pollen Hibiscus adalah yang terbesar di antara semua
generaKeluarga. Pollen morfologi 4 spesies milik 2 genera dari famili Malvaceae
dari Lahore diperiksa olehnya. Tahavi (2000) menjelaskan bahwa morfologi polen
dalam famili tersebut relatif seragam. Rincian serbuk sari umumnya radial
simetris, apolar atau isopolar, sebagian besar berbentuk bola untuk bola oblate
jarang sub oblate, pantoporate atau triporate, zonoaperturate. Berdasarkan hasil
pengamatan yang diperoleh, pollen bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)
berbentuk bulat dan dilengkapi spina (echini) atau duri-duri disekelilingnya.

Laporan Mikroteknik Page 25


Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu exine (lapisan luar) tersusun
atas sporopollenin, dan intin (lapisan dalam) yang tersusun atas selulosa.

1. Intine , melepas enzim serta prekursor enzim pada apertura butir


pollen.
2. Exine, merupakan bagian paling luar yang berdiferensiasi menjadi
nexine dan sexine.
3. Apertura merupakan tempat pertumbuhan serbuk sari pada masa
perkecambahan.
4. Fillus merupakan rambut-ramput halus.

Berdasarkan jurnal Berdasarkan jurnal Palynological Study Of Soil


Sample Collected From An Archaeological Site (Gulabi Bagh) In Lahore,
Pakistan disebutkan bahwa Palynomorph dari Hibiscus rosa-sinensis adalah
sebagai berikut: Pantoporate, spiral agak globular, isopolar, simetri radial pada
potongan membujur dan bilateral pada potongan melintang. Memiliki bentuk
bulat agak lonjong. Ukuran butir pollen berkisar 143m, ketebalan exine 3.5m,
memiliki tinggi echini yang mencapai 9m, lebar bagian dasar echini 5m, bagian
ujung echini terpisah 25.3m, jarak bagian dasar antar echini adalah 18m,
diameter pori 5m. Jumlah duri adalah 24 buah sedangkan jumlah pori sebanyak
16 buah.
Pollen echinate dan ukuran echini cukup besar dengan jarak yang lebar,
sehingga mudah ketika diamati dan mampu dibedakan dengan jelas setelah pollen
diberi warna. Echinate, echini memiliki ukuran yang luas dan jarak yang lebar
sehingga mudah untuk dihitung dan dibedakan dengan menggunakan blunt apex.
Echini tersusun secara bebas, duri bagian tengah membentuk sebuah lingkaran
seperti cincin yang membuat penampakannya berbeda dan mudah diamati. Tectum
pollen memiliki pola reticulate yang baik. Echini pada butir pollen Hibiscus
rosa-sinensis kuat dan tahan terhadap perlakuan asetolisis, dimorfis dengan apex
blunt, dengan bentuk membulat dan bifurcated. Pada beberapa duri pada bagian
apikal sama lebarnya dengan duri pada bagian basal. Tectum perforated dan penuh
dengan bintik-bintik di sekitar duri. Apertura berukuran besar dan jelas.

Laporan Mikroteknik Page 26


h) Preparat Pollen Hibiscus tiliaceus
Perbesaran 40x (Safranin)

Echini

Exine

Intin

apertur

Secara morfologi pollen Hibiscus tiliaceus hampir sama dengan pollen


bunga kembang sepatu Hibiscus rosasinensis yaitu berbentuk bulat dan dilengkapi
spina atau duri-duri disekelilingnya. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan,
yaitu eksin (lapisan luar) tersusun atas sporopolenin, dan intin (lapisan dalam)
yang tersusun atas selulosa. Pollen terdiri atas ; Intin Eksin, Apertura, Fillus.
Perbedaannya pada bentuk Fillus Hibiscus tiliaceus lebih panjang dan rapat
(Culhane et al., 1988).
Malvaceae merupakan famili yang cukup pesat perkembangannya karena
memiliki microrelief berupa echinate atau duri dan karakterbutir pollen
pantoporate (Perveen, 1993). Jumlah, ketinggian, dan posisi duri ini beragam
dalam keluarga tanaman yang berbeda di mana itu terjadi, dan merupakan
karakter yang paling penting untuk tujuan identifikasi atau taksonomi (Pope,
1925). Spesies Hibiscus memiliki bentuk butir pollen apolar dan pantoporate.
Tipe ornamen exine adalah echinate.

i) Preparat Pollen Lilium sp


Perbesaran 40x
tectu

Laporan Mikroteknik Page 27


Exin
e

Intine

exin

Intin

Berdasarkan jurnal Contributions to the pollen morphology and taxonomy


of the Liliaceae rincian pollen pada Lilium sp adalah monosulcate, berbentuk
perahu, heteropolar, dan memiliki bentuk elips pada potongan membujur, 1-3-
porate, hampir bulat dengan panjang diameter khatulistiwa melebihi 100 mm).
Sulcus sering lebih sempit di tengah-tengah, luas dan mendalam dengan ujung
bulat, atau jarang sempit. Terdapat pori dengan dengan batas yang berbeda. Exine
pada Lilium sp ini tectate-columellate atau semitectate. Permukaan exine berupa
macroreticulate. Tipe ornamen psilate.

Berdasarkan angka, bentuk dan susunan jenis-jenis columellae dibedakan


3 bentuk muri dengan morfologi yang berbeda. (Baranova 1985):

1. Jenis Martagon (Muri dibentuk oleh columellae persegi panjang)


2. Jenis Callose (Muri dibentuk oleh columellae bulat)
3. Jenis Concolor (Muri dibentuk oleh terpisah bulat dan columellae
poligon). Bagian bawah lumen dengan butiran. Apertura membran
granular, granul terdiri dari elemen ectexinous.
Data hasil penelitian palinologi pada Lilium sp menunjukkan karakter
heterogen berdasarkan tipe apertura dan ornamen exine. Liliaceae merupakan
famili dari Lilium sp yang termasuk tanaman monokotiledon. Ukuran butir pollen

Laporan Mikroteknik Page 28


pada Lilium sp adalah cukup besar. Ornamen pada exine tanaman Lilium adalah
berupa reticulate atau macroreticulate. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa Lilium memiliki single butir pollen, heteropolar, simetris
bilateral, distal-monosulcate, flattened-spheroidal, berbentuk seperti perahu
(boat-shaped), pada permukaan luarnya memiliki tonjolan yang bulat melonjong,
dengan bagian kutub yang sedikit pepat. Memiliki sulcus yang panjang (hampir
sama degan diameter tengah pollen). Dengan bantuan teknologi TEM diketahui
bahwaspesies ini berbeda dengan spesies yang lain karena memiliki bentuk yang
berbeda, struktur khas berupa ketebalan tectum, bentuk, dan diameter caput, lebar
dan luas columella, ketebalan lapisan bawah, serta muncul atau tidaknya endexine,
ketebalan Intine yang berada di dalam wilayah sulcus dan berada di bawah exine
di wilayah yang tidak memiliki sulcus, dan berbagai posisi pada beberapa lapisan
yang berbeda dari Intine dengan ketebalan yang berbeda pula. Microrelief dari
elemen lapisan sculptural pada Lilium sp berbeda-beda, beberapa spesies
memiliki microrelief yang cukup kasar dan memiliki struktur tuberculate,
sedangkan pada spesies yang lainnya ditemukan pula struktur microrelief yang
halus.
j) Preparat Pollen Passiflora sp
Perbesaran 40x (Crystal violet)

Ornamen

Apertur
a
sitoplas
exin
e

intin
Perbesaran 40x (non warna) e

Laporan Mikroteknik Page 29


Ornamen

intin
e
sitoplas
Apertur
a
exin
e

Berdasarkan pengamatan terhadap dua jenis preparat tersebut dapat


diketahui bahwa preparat pollen dengan pewarnaan Crystal violet lebih mudah
diamatai di bawah mikroskop karena memiliki bagian-bagian yang lebih jelas
dengan adanya warna ungu pada bagian-bagian butir pollen tersebut. Berdasarkan
jurnal Histological analysis of pollen-pistil interactions in sour passion fruit
plants (Passiflora edulis Sims) diketahui bahwa tampilan luar dari butir pollen
Passiflora memiliki bentuk spherical, 6-colpate, furrowlike apertura, dan dinding
exine heteroreticulate. Tipe ornamen clavate.
Pada hasil pengamatan preparat pollen Passiflora sp dengan metode
asetolisis dengan perbesaran 40x trlihat berbentuk 3 bulatan yang diikat tali
segitiga dengan sayap seperti cangkang kerang. Terdapat bentuk seperti sebuah
cincin bercabang tiga di sekitar pseudo-operkulum.
Apertura adalah area tipis pada eksin yang secara langsung berhubungan
dengan pertunasan. Apertura pada polen Passiflora edulis berjumlah 3 dan butir
serbuk sarinya dilengkapi dengan kolpi, sehingga termasuk dalam tipe trikolpat.
Berdasarkan letak atau tipe apertura pada eksin serbuk sari polen Passiflora edulis
memiliki tipe antokolpat, yaitu suatu tipe dimana tipe aperturanya terletak
menyebar dan tidak beraturan. Sedangkan pada Passiflora foetida tipe aperturanya
adalah tetrad. Apertura ini memiliki empat bagian. Jika dipandang dari bagian atas
maka akan tampaktiga bagian atau lobus. Satu bagian lainnya terletak di bagian
belakang sehinnga tidak terlihat oleh mata ketika pengamatan.
Menurut Erdtman (1952), ornamentasi merupakan suatu bentuk hiasan
pada permukaan eksin polen Passiflora edulis adalah retikulat, yaitu ornamen

Laporan Mikroteknik Page 30


berbentuk seperti jala. Sedangkan ornamentasi pada Passiflora foetida berbentuk
retikulat. Pada permukaan yang berlubang yang ukurannya relative sama antar
satu dan yang lainnya dan saling berkaitan antar satu dan yang lain. Atau dengan
kata lain ornamentasinya bentuk jala.

VIII. KESIMPULAN
1) Metode yang biasa digunakan dalam mengamati preparat pollen ialah
dengan metode asetolisis. Asetolisis adalah salah satu metode pembuatan
preparat serbuk sari yang menggunakan prinsip melisiskan dinding sel
serbuk sari dengan asam asetat glasial serta asam sulfat pekat sebagai
bahan kimia fiksatif.
2) Morfologi serbuk sari dapat digunakan untuk mengidentifikasi takson di
tingkat familia, genus, species, dan di bawah species, penempatan taksa
yang diragukan, penyusunan kembali, penggabungan dan pemisahan, serta
sebagai penguat bukti yang lain (Davis and Heywood, 1973). Variasi yang
diperlihatkan serbuk sari antara lain jumlah, letak alur, dan lubang
(apertura) di permukaannya, begitu pula bentuk maupun ukuran serta
bentuk dan ukuran exine-nya, sekarang dapat menjadi sumber bukti
taksonomi yang penting.
3) Palynomorph yang berhasil diamati dalam percobaan pembuatan preparat
pollen dengan metode Asetolisis adalah sebagai berikut:
No. Nama Preparat Morfologi Pollen
Oblate, spherical, omniaperturate, dilapisi
jaringan tebal dengan struktur clivate, yang
membatasi secara reticulate untuk
membentuk struktur crotonoid. Exine
1. Jatropha sp
biasanya dilapisi dengan struktur globular.
Ukuran rata-rata butir pollen 38 m x 39.26
m.

2. Acacia sp Polyad dengan jumlah butir pollen sebanyak

Laporan Mikroteknik Page 31


16, 8 butir pollen terletak di tepi dan 8 butir
yang lain berada di tengah yang terbagi
menjadi dua bagian, dimana tiap bagian
memiliki 4 butir pollen, ukuran sedang
hingga besar. Individual sel berbentuk
subglobose.

Rasio P/E : 1.61, ukuran garis bujur (Polar)


134.40(138.30)142.20 m dan diameter garis
tengah (Equator) 85.80(85.90)86.00 m.
3. Allamanda sp
Morfologi pollen prolate, tricolporate,
isopolar, simetri radial dengan tipe tectum
granulate
Tipe Pollen dari Bauhinia adalah mempunyai
tectate exine dan biasanya terdapat pada
monad. Tectum ini dapat memperlihatkan
permukaan micro-reticulate, micro-striate,
micro-verrucate, atau micro-rugulate atau
kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut.
4. Bauhinia purpurea Karakter pollen yang berhasil diamati
selanjutnya dari genus Bauhinia adalah
gemmae dan verrucae yang memiliki
beberapa ukuran dan pola distribusi pada
tectum, sebagai tambahan untuk
mengorganisasi reticulum.

5. Caesalpinia Prolate, tricolporate, triangular, panjang


pulcherrima colpi 39.9 (45.78) 52.5m dan memiliki lebar
14.7 (20.58) 25.2m, membran colpal
reticulate. Mesocolpium 23.1(29.61) 33.6m.
Apocolpium 54.6 (58.59) 63m. Tebal exine
2.1(2.31) 3.15m. Sexine lebih tebal daripada

Laporan Mikroteknik Page 32


nexine. Tectum bertipe reticulate-rugulate
Ukuran butir pollen pada Chrysanthemum
adalah sekitar 33 x 34 m, dengan tipe
apertura prolate-spheroidal, memiliki 3-
zonocolporate. Endocolpium bertipe
6. Chrysanthemum sp
lalongate, oval dengan ukuran 7 x 3 m.
Ketebalan exine 9 m. Memiliki spina
sepanjang 6 m.

Radial simetris, apolar, pantoporate atau


triporate zonoaperturate. Pada tectum
terdapat echinate atau duri yang seragam,
7. Hibiscus rosa-sinensis
terdapat pori halus sederhana atau belang-
belang untuk pembutiran dengan scabrae di
antara duri.
Spesies Hibiscus memiliki bentuk butir
8. Hibiscus tiliaceus
pollen apolar dan pantoporate.
Single butir pollen, heteropolar, simetris
bilateral, distal-monosulcate, flattened-
spheroidal, berbentuk seperti perahu (boat-
shaped), pada permukaan luarnya memiliki
9. Lilium sp
tonjolan yang bulat melonjong, dengan
bagian kutub yang sedikit pepat. Memiliki
sulcus yang panjang (hampir sama degan
diameter tengah pollen).
Butir pollen Passiflora memiliki bentuk
spherical, 6-colpate, furrowlike apertura, dan
10. Passiflora sp dinding exine heteroreticulate.

IX. DAFTAR PUSTAKA

Laporan Mikroteknik Page 33


Aftab, Rukhshinda And Anjum Perveen. 2006. A Palynological Study Of Some
Cultivated Trees From Karachi. Pak. J. Bot., 38(1): 15-28

Chelong, Isma-ae. 2011. Palynology of Cultivated Plant Species at Yala Rajabhat


University, Thailand. KKU J. Sci. 39(3), pp.433-446

Agashe, S. N. and E. Caulton. 2009. Pollen And Spores: Applications With


Special Emphasis On Aerobiology And Allergy. United States of
America: Science Publishers.

Aprianty, M. D., dan E. Kriswiyanti. 2007. Studi Variasi Ukuran Serbuk Sari
Kembang Sepatu (Hibiscus Rosa- Sinensis L.) dengan Warna
Bunga Berbeda. Jurnal Biologi. 1 (XII). Hlm.14-18.

Bhatnagar, A. K. And R. N. Kapil. 1979. Ontogeny and taxonomic significance of


anther in Bischofia javanica. Phytomorphology 29: 298306.

Bibi, N.,Hussain, M. and Aktar, N. (2008). Palynological study of some cultivated


species of genus Hibiscus from North West Frontier Province
(N.W.F.P.) Pakistan. Pak. J. Bot. 40(4): 1561-1569.

Davis, G. L. 1999. Systematic embryology of the angiosperms. John Wiley and


Sons Inc., New York, NY. 528 p.

Elias TS (1981). Mimosoideae. In: Polhill RM, Raven PH (Editors), Advances in


Legume Systematics, part 1. R. Gard., Kew, pp.143-151.

Faegri, K. and Iverson., J. (1964). Text Book of Pollen Analysis. 3rd revised
edition by Faegri, K. Munksgaard, Copenhagen, and Denmark.
pp. 1-295.

Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan Edisi 3. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Ferguson, I.K. & Pearce, K.J. Observations on the pollen morphology of the
genus Bauhinia L. (Leguminosae: Caesalpinioideae) in the

Laporan Mikroteknik Page 34


neotropics. In: Blackmore, S. & Ferfuson, I.K. (eds.) Pollen and
Spores: From and function. Academic Press, London, Pp. 283-
296, 1984.

Ferguson, K.I and H. Banks. 1984 Tetrad Pollen in the Sub-family


Caesalpinioideae (Leguminosae) and Its Significance, Review
of Palaeobotany and Palynology, Vol. 83, No. 1, 1984, pp. 31-
42.

Graham, A. & Baker, G. Palynology and tribal classification in the


Caesalpinioideae. In: Polhill, R.M. and Raven, P.H (Eds.),
Advances in Legumes Systematics, Pp. 804-232. Royal Botanic
Gardens, Kew England. 1981.

Guinet P (1981). Mimosoideae: The Characters of their Pollen Grains. In: R.M.
Polhill and P.H. Raven (Editors). Advances in Legume
Systematics, part 2. Kew: Royal Botanic Gardens, pp.835-855.

Jackson, J. K., & Peake, F. G. G. (1955). Forestry research in the Sudan: 1950-
1954, (No. 7). Agricultural Committee in Khartoum.

Jumah, A (1991-1996). Studies on the morphology of pollen grains of the


Leguminosae Mimosoideae. Ghana J. Sci. 36, 1(96):31-36, p.
29-35.

Khola, G. and U. Hanif. 2012. Palynological Study Of Soil Sample Collected


From An Archaeological Site (Gulabi Bagh) In Lahore,
Pakistan. The Journal of Animal & Plant Sciences, 22(4), Pp:
1113-1117. ISSN: 1018-7081

Moore, P.D., Wedd, J.A. and Collinson, M.E. (1991). An Illustrated Guide to
Pollen Analysis 2nd Edn, Hodder and Stoughton. pp. 1-133.

Laporan Mikroteknik Page 35


N. Venu and Munirajappa. (2004-2012). Palynological Studies In Some Jatropha
Species. International Journal of Advanced Biological
Research.Vol. 2(2) 2012: 370-372. ISSN: 2250 - 3579

Perveen, N. and Qaiser, M. (1997). Palynologicalsurvey of flora of Pakistan. In:


Proceeding of Int. Symp. On Plat Life of S. West Asia and
Central Asia. (Eds.): Ozturk, M. Secunen,O. and Gork, G. pp.
795-835.

Setyowati, D. 2008. Tinjauan Taksonomi Famili Asteraceae Berdasarkan Sifat dan


Ciri Morfologi Serbuk Sari. Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Ahmad Dahlan.

Suntoro, Handari. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia).


Yogyakarta : UGM Press

Walker, J.W. and Doyle, J.A. (1975). The basis of Angiosperm phylogeny:
Palynology. Ann. Mo. Bot.Gard. 62: 666- 732.

Yagi, Sakina., Palmina Khristova, and Sami Ahmed Khalid. 2012.


Chemotaxonomical and Palynological Studies on
Nine Acacia Species Occurring in Sudan. Journal of
Plant Studies. Vol. 1(2) ISSN 1927-0461

X. LAMPIRAN
1 lembar Dokumentasi

Mengetahui, Surakarta, 25 November 2014

Laporan Mikroteknik Page 36


Asisten Praktikan,

Wike Trajuningtyas O.

K4312073

Laporan Mikroteknik Page 37

You might also like