You are on page 1of 5

CONTINUING PROFESSIONAL

CONTINUING
CONTINUING
DEVELOPMENT
PROFESSIONAL
MEDICAL
DEVELOPMENT
EDUCATION

Akreditasi PP IAI2 SKP

Erupsi Obat pada Pasien HIV/AIDS


Yuri Yogya
RSU dr. Slamet, Garut, Jawa Barat, Indonesia

ABSTRAK
Penggunaan obat-obat antiretroviral dan antibiotik golongan sulfa sering mencetuskan erupsi obat pada pasien HIV/AIDS. Pasien terinfeksi HIV/
AIDS memiliki risiko tinggi untuk mendapatkan erupsi obat dibandingkan masyarakat umum. Erupsi obat bervariasi dari yang ringan sampai
berat. Deteksi dan tata laksana dini dan mencari obat pencetus dapat mencegah perburukan erupsi obat.

Kata kunci: HIV/AIDS, erupsi obat, obat antiretroviral, high activity antiretroviral therapy, obat golongan sulfa

ABSTRACT
The use of antiretroviral drug and sulphonamides increase the probability of adverse cutaneous drug reactions. HIV-infected patients have
a higher risk of developing cutaneous reactions than the general population. The severity of cutaneous adverse reactions varies. The early
detection and treatment of adverse cutaneous drug reactions, plus identification of the causative agent, are essential to prevent the progression
of reaction. Yuri Yogya. Drug Eruption in HIV/AIDS.

Key words: HIV-infected patients, adverse cutaneous drug reactions, antiretroviral drug, high activity antiretroviral therapy, sulphonamides

PENDAHULUAN Tabel 1 Erupsi obat alergik6


HIV/AIDS (human immunodeficiency virus/
Reaksi Patogenesis Klinis
acquired immune deficiency syndrome)
Tipe 1 Reaksi imunologi yang diperantarai IgE Urtikaria, edema, syok anafilaktik
merupakan masalah kesehatan di dunia
sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang Tipe 2 Reaksi sitotoksik menyebabkan lisis trombosit atau leukosit Petekie karena purpura trombositopenik, drug-
induced pemphigus
secara pandemik. Terdapat lebih dari 40 juta
Tipe 3 Kompleks antigen-antibodi yang diperantarai IgM dan IgG Vaskulitis, urtikaria
penderita HIV di dunia.1
Tipe 4 Reaksi imunologi yang diperantarai limfosit tersensitisasi Erupsi morbiliformis, fixed drug eruption, SSJ, NET

Penggunaan obat antiretroviral menurunkan


mortalitas pasien HIV/AIDS, tetapi penggunaan meningkatkan harapan hidup dan kualitas makulopapular, rambut rontok, urtikaria,
obat tersebut banyak menimbulkan erupsi hidup pengidap HIV. Penggunaan metode hiperpigmentasi, drug rash with eosinophilia
obat. Semua obat antiretroviral dilaporkan terapi HAART secara drastis mengubah AIDS and systemic symptoms (DRESS), SSJ, atau NET.
dapat menyebabkan erupsi obat.2 Pasien HIV/ yang mematikan menjadi sebuah penyakit Deteksi awal, identifikasi obat yang diduga
AIDS cenderung lebih mudah mengalami kronis yang dapat dikontrol. menyebabkan erupsi, dan penatalaksanaan
erupsi obat. Trimetoprim-sulfametoksazol erupsi obat sangat membantu mencegah
(TMP-SMX) dan obat golongan sulfa lain Pada tahun pertama pengobatan, banyak perburukan penyakit.5,6
merupakan penyebab erupsi obat paling pasien HIV yang menghentikan pengobatan
sering pada pasien HIV/AIDS. Erupsi obat karena mengalami efek samping pengobatan. DEFINISI
yang berat, seperti sindrom Stevens-Johnson Sekitar 80% pasien yang terinfeksi HIV Reaksi simpang (adverse reaction) obat yang
(SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET), mengalami efek samping obat, dapat di- bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut
berhubungan dengan morbiditas dan sebabkan oleh perubahan sistem imun, erupsi obat. Mekanisme terjadinya erupsi obat
terutama NETmortalitas yang tinggi. perubahan metabolisme obat, dan/atau dapat secara non-imunologik dan imunologik;
polifarmasi.3,4 Pasien HIV/AIDS memiliki risiko sebagian besar merupakan reaksi imunologik.
Pada tahun 1996, mulai diperkenalkan terapi 100 kali lebih besar untuk mendapat erupsi Erupsi obat dengan mekanisme imunologik
obat antiretroviral (ARV) menggunakan obat berat dibandingkan masyarakat umum. disebut juga erupsi obat alergik. Satu macam
kombinasi tiga macam obat atau lebih Beratnya erupsi obat bervariasi antarindividu erupsi dapat disebabkan oleh berbagai
yang disebut dengan istilah high activity dan terkadang sulit diatasi. Erupsi obat macam obat, sedangkan satu macam obat
antiretroviral therapy (HAART) untuk dapat berupa eritema multiforme, erupsi dapat menimbulkan berbagai macam erupsi.7

Alamat korespondensi email: yuri.yogya@yahoo.com

CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 347


CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT

Erupsi obat alergik secara patogenesis dapat


diklasifikasikan menjadi tipe I hingga tipe
IV (tabel 1). Erupsi obat non-imunologik
dapat berupa kumulasi (contohnya hiper-
pigmentasi), fotosensitivitas, atrofi kulit pada
pemakaian obat topikal, dan idiosinkrasi.6

ERUPSI OBAT YANG SERING


DITEMUKAN PADA PASIEN HIV/AIDS
Erupsi Morbiliformis/Erupsi
Makulopapular Gambar 1 (A) Erupsi makulopapular pada pengobatan dengan nevirapin (B) NET pada pengobatan dengan nevirapin12
Erupsi morbiliformis (disebut juga erupsi
makulopapular) merupakan erupsi obat yang epidermal toksik (NET) merupakan erupsi (adenopati 2 cm atau hepatitis atau nefritis
paling sering terjadi pada pengobatan HIV. obat yang berat. Obat merupakan penyebab interstisial atau penumonitis interstisial atau
Erupsi morbiliformis ditandai dengan makula yang paling sering. Kedua kondisi ini ditandai karditis). Diagnosis ditegakkan jika ketiga
dan papula berwarna merah muda sampai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis. kriteria tersebut ditemukan.6 Erupsi obat
merah disertai rasa gatal. Ukuran lesi bervariasi Nekrolisis epidermal toksik dibedakan dengan bersifat progresif, dari erupsi makulopapular
mulai dari beberapa milimeter sampai 1 cm. SSJ berdasarkan luas permukaan tubuh yang di wajah, badan bagian atas, dan ekstremitas
Lesi dapat berkonfluensi membentuk suatu terkena. Luas permukaan tubuh yang terkena atas menjadi dermatitis eksfoliatif. Edema
makula yang besar. Lokasi biasanya simetris pada SSJ <10%, NET >30%, dan tumpang merupakan salah satu tanda khas pada DRESS,
dan hampir selalu terdapat di badan.8 Erupsi tindih antara SSJ-NET 10-30%.6 terutama di daerah wajah. Dibandingkan
morbiliformis biasanya timbul 2-10 minggu dengan SSJ atau NET, DRESS jarang
setelah dimulai pengobatan dengan obat Gejala klinis muncul dalam 1-3 minggu setelah mengenai mukosa. Obat yang diberikan
antiretroviral. Pada pajanan kedua, erupsi terpajan obat. Terdapat gejala prodormal, harus dihentikan jika terdapat DRESS. Namun,
makulopapular dapat terjadi dalam 1-2 hari seperti demam, malaise, dan artralgia, pada dengan penghentian obat saja jarang sembuh
setelah mulai pengobatan. Penggunaan obat 1-3 hari sebelum munculnya lesi mukokutan. sempurna, dibutuhkan kortikosteroid sistemik
antiretroviral dapat diteruskan, tetapi jika Lesi kulit terdiri dari eritema, vesikel, dan bula. untuk memberikan kesembuhan. Abakavir
disertai urtikaria, vesikel atau bula, keterlibatan Vesikel dan bula memecah sehingga menjadi merupakan obat antiretroviral yang dapat
mukosa, gejala sistemik (seperti demam), erosi yang luas. Di samping itu, dapat terjadi menyebabkan DRESS.13
peningkatan SGOT/SGPT, dan malaise, purpura. Tanda Nikolsky dapat positif pada
sebaiknya obat dihentikan. Nyeri merupakan vesikel atau bula yang belum pecah. Kelainan Hiperpigmentasi
salah satu tanda akan berkembang menjadi mukosa yang paling sering adalah kelainan Hiperpigmentasi kulit dan kuku sering
erupsi obat yang lebih berat, seperti SSJ mukosa mulut, disusul oleh kelainan lubang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV.
atau NET.6 Pemberian antihistamin dapat alat genital, sedangkan lubang hidung dan Hiperpigmentasi biasanya mengenai
mengurangi pruritus.2 anus jarang terkena. Kelainannya berupa beberapa kuku dan bersifat reversibel, tetapi
vesikel dan bula yang cepat memecah membutuhkan waktu beberapa tahun setelah
Urtikaria hingga menjadi erosi dan krusta kehitaman. dihentikannya obat.14
Urtikaria ditandai dengan edema sementara Di bibir, kelainan yang nampak adalah krusta
pada kulit. Lesi tampak sebagai eritema dan kehitaman yang tebal. Pada mata, kelainan ERUPSI OBAT ANTIRETROVIRAL
edema setempat berbatas tegas. Bentuknya tersering adalah konjungtivitis.6,9 Nucleoside Reverse-Transcriptase
dapat papular, lentikular, numular, sampai Inhibitor (NRTI)
plakat. Jika mengenai jaringan yang lebih Sampai saat ini, belum ada obat untuk SSJ/ Nucleoside reverse-transcriptase inhibitors (NRTI)
dalam pada subkutan atau submukosa, juga NET. Pengobatan simptomatik meliputi merupakan obat pertama yang digunakan
beberapa alat dalam (seperti saluran cerna penghentian pengobatan, pemberian untuk pengobatan HIV. Obat-obat golongan
dan saluran napas), disebut angioedema. cairan, keseimbangan elektrolit, dan NRTI digunakan dalam terapi kombinasi
Angioedema sering mengenai daerah wajah.9 nutrisi. Penggunaan kortikosteroid jangka dan tidak digunakan sebagai terapi tunggal.
pendek pada pengobatan SSJ/NET masih Berdasarkan namanya, obat golongan
Pengobatan urtikaria yang disebabkan oleh kontroversial.11 ini bekerja dengan cara menghambat
obat antiretroviral adalah dengan meng- enzim reverse transcriptase dan merusak
hentikan pemberian obat tersebut dan mem- Drug hypersensitivity syndrome (DHS) perpanjangan rantai DNA provirus.6
berikan anthistamin. Apabila penggunaan Drug rash with eosinophilia and systemic
anhistamin tidak menunjukkan respons yang symptoms (DRESS) sering pula disingkat DHS Zidovudin
baik, dapat diberikan kortikosteroid.10 (drug hypersensitivity syndrome). Sindrom Pewarnaan kuku jari-jari tangan dan kaki
ini ditandai dengan (1) erupsi obat, (2) dilaporkan pada pasien yang mendapatkan
SSJ dan NET gangguan hematopoietik (eosinofilia 1500/ pengobatan zidovudin. Perubahan warna
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis uL atau limfosit atipikal), (3) gejala sistemik menjadi hitam kebiruan pada kuku terjadi

348 CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014


CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT

Zalsitabin minggu pada 50% pasien dan 1 bulan pada


Pada kasus ini, gejala bersifat sementara, berupa 75% pasien, dan dapat diberikan tambahan
erupsi makulovesikular, demam, malaise, dan pengobatan antihistamin.18
stomatitis aftosa setelah pengobatan selama
4-6 minggu. Gejala ini muncul pada pasien Efavirenz
yang mendapat pengobatan zalsitabin dosis Erupsi obat pada efavirenz biasanya berupa
tinggi dan jarang terjadi pada pengobatan erupsi makulopapular. Erupsi obat umumnya
dosis rendah (0,005 mg/kg setiap 4 jam timbul sekitar 11 hari setelah pemberian obat
atau 0,01 mg/kg setiap 8 jam). Kelainan kulit pada orang dewasa. Insidens SSJ dilaporkan
menghilang setelah penghentian obat dan sekitar 0,1%. Pada pemberian efavirenz, dapat
walaupun timbul gejala setelah pemberian terjadi fotosensitivitas. Fotosensitivitas timbul
obat dosis tinggi, akan menghilang setelah setelah 2 bulan pemakaian dan gangguan
diteruskan pengobatan sampai 1-3 minggu kulit timbul pada daerah yang terpajang sinar
tanpa penghentian pengobatan.17 matahari. Erupsi obat pada nevirapin dan
Gambar 2 Melanonikia longitudinal pada pengobatan efavirenz diduga berhubungan dengan HLA-
dengan zidovudin Non-Nucleoside Reverse-Transcriptase DRB10 pada pasien yang terinfeksi HIV.19
Inhibitor (NNRTI)
sekitar 2-6 minggu setelah mendapatkan Non-Nucleoside Reverse-Transcriptase Inhibitor Delavirdine
pengobatan dengan zidovudin. Reaksi (NNRTI) diperkenalkan pada tahun 1998. Erupsi obat merupakan efek samping yang
anafilaktik, angioedema, SSJ, dan NET jarang Gangguan kulit dan hepar merupakan efek paling banyak ditemukan pada penggunaan
terjadi.15 samping utama pada pemberian NNRTI. delavirdin. Erupsi obat yang terjadi berkisar
Obat ini akan berikatan dengan enzim reverse antara 32-35% pada pemberian obat yang
Emtrisitabin transcriptase sehingga dapat memperlambat dikombinasi dengan NRTI dibandingkan
Efek samping cenderung ringan sampai kecepatan sintesis DNA HIV atau menghambat dengan 16-21% pada pemberian NRTI saja.
sedang. Pasien dapat mengalami perubahan replikasi virus.6 Erupsi obat timbul pada 1 minggu setelah
ringan warna kulit, kuku, dan lidah. Pada pemberian obat dan jarang timbul 1 bulan
suatu penelitian yang melibatkan 814 Nevirapin setelah pemberian obat.15
pasien, terdapat 4% pasien yang mengalami Ruam kulit merupakan efek samping yang
perubahan warna kulit. Tidak ada efek berat paling sering dilaporkan pada pengobatan Inhibitor Protease
pada perubahan warna kulit ini sehingga dengan nevirapin. Ruam kulit dapat berupa Inhibitor protease bekerja berdasarkan
bukan indikasi menghentikan pengobatan.15 erupsi makulopapular yang berlokasi di pengenalan rangkaian asam amino dan
wajah, badan, dan ekstremitas. Faktor risiko pembelahan protein HIV. Agen ini berguna
Abakavir timbulnya ruam kulit pada pengobatan mencegah pembelahan sel yang terinfeksi HIV
Sekitar 2,3-9% pasien HIV yang mendapat dengan nevirapin adalah hitung sel T CD4+ sehingga menghambat pembentukan virion
pengobatan abakavir mengalami efek yang tinggi sebelum pengobatan (>250 sel/ baru. Inhibitor protease memiliki aktivitas yang
samping yang diduga berhubungan dengan mm3 pada perempuan dan >400 sel/mm3 poten terhadap HIV dan pengobatan dengan
reaksi imunologis oleh faktor genetik tertentu. pada laki-laki), kadar HIV-1 rendah, dan jenis agen ini menurunkan insidens kematian
Manifestasi hipersensitivitas biasanya timbul kelamin perempuan. Direkomendasikan pasien terinfeksi HIV. Erupsi obat yang terjadi
pada 6 minggu setelah pengobatan. Gejala pemantauan yang intensif pada wanita pada penggunaan inhibitor protease sekitar
yang terjadi meliputi demam (80%), ruam dengan sel T CD4+ lebih dari 250 sel/mm3. 5%.15
kulit (70%), keluhan gastrointestinal (50%), Penggunaan prednison atau antihistamin
letargi/malaise (40-60%), keluhan pernapasan pada 14 hari pertama pengobatan untuk Indinavir
(18-30%). Diagnosis klinis hipersensitivitas mencegah timbulnya ruam kulit tidak efektif Kasus pertama SSJ dari golongan inhibitor
terhadap abakavir ditegakkan jika setidaknya dan tidak dianjurkan. Fungsi hati harus protease terjadi pada seorang pria berusia
terdapat dua dari gejala berikut: demam, diperiksa pada pasien yang mengalami 41 tahun terinfeksi HIV yang mendapat
ruam kulit, mual, muntah, nyeri kepala, ruam kulit, terutama dalam 18 minggu pengobatan dengan indinavir, stavudin, dan
keluhan gastrointestinal dan pernapasan, pertama pengobatan. Jika nevirapin lamivudin. Erupsi morbiliformis timbul di
letargi, mialgia, atau atralgia yang timbul dihentikan karena ruam kulit berat, ruam leher, badan, dan ekstremitas, serta terdapat
setelah 6 minggu pengobatan dan membaik kulit dengan kombinasi peningkatan SGOT/ lesi di mukosa. Pasien tetap meneruskan
setelah 72 jam penghentian pengobatan. SGPT, atau reaksi hipersensitivitas, obat pengobatan selama 2 minggu dan erupsi obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap abakavir tidak boleh digunakan kembali. Pengobatan makin berat, ditandai dengan pengelupasan
diduga berhubungan dengan adanya HLA-B dengan nevirapin dapat diteruskan jika kulit, demam, dan berat badan menurun.
5701. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan ruam kulit tidak begitu berat seperti erupsi Gejala-gejala tersebut menghilang setelah
NET dilaporkan terjadi pada pasien yang makulopapular. Dosis tidak dinaikkan sampai obat dihentikan. Erupsi obat tidak timbul lagi
mendapat pengobatan kombinasi dengan ruam kulit menghilang. Ruam kulit derajat setelah diganti dengan sakuinavir, stavudin,
abakavir, lamivudin, dan zidovudin.16 ringan sampai sedang menghilang dalam 2 dan lamivudin.20

CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 349


CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT

Tabel 2 Erupsi obat yang sering terjadi pada pemakaian obat antiretroviral15

Obat ARV Erupsi Obat


Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Zidovudin Pruritus, erupsi makulopapular, perubahan warna pada kuku, SSJ, NET, urtikaria
Stavudin >10%: erupsi makulopapular
Lamivudin 1-10%: erupsi makulopapular
Emtrisitabin >10%: hiperpigmentasi
Tenofovir 1% to 10%: erupsi makulopapular
Abakavir 1% to 10%: erupsi makulopapular, <1%: SSJ, NET
Didanosin 1% to 10%: erupsi makulopapular Gambar 3 Unguis inkarnatus (ingrown toenail) pada
Zalsitabin Stomatitis aftosa, pruritus, urtikaria pengobatan dengan indinavir
Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Nevirapin >10%: erupsi makulopapular, wanita lebih berisiko dibandingkan dengan pria SSJ, NET
menghambat masuknya virus ke dalam
Efavirenz >10%: erupsi makulopapular, 1-10%: pruritus, <1%: eritema multiforme, gangguan pada kuku,
perubahan warna pada kulit, SSJ
sel pejamu. Enfuvirtid merupakan obat
Delavirdin >10%: erupsi makulopapular, 1-10%: SSJ antiretroviral pertama dari golongan fusion
Etravirin Erupsi makulopapular inhibitor. Pengobatan dilakukan melalui injeksi
Rilpivarin Erupsi makulopapular subkutan dengan dua kali penyuntikan perhari.
Inhibitor Protease Efek samping yang terjadi berkaitan dengan
Indinavir >10%: Pruritus, erupsi makulopapular, <1%: SSJ, urtikaria, vaskulitis. tempat penyuntikan. Terdapat eritema, nodul
Saquinavir Pruritus (3%), erupsi makulopapular (3%), kekeringan pada kulit (2%) indurasi, gatal, dan/atau nyeri pada tempat
Nelfinavir 2% to 10%: erupsi makulopapular, <2%: urtikaria penyuntikan. Pada uji klinis tahap III, dalam
Ritonavir 2% to 10%: erupsi makulopapular, <2%: urtikaria, SSJ minggu pertama pengobatan, terdapat 98,3%
Lopinavir <2%: erupsi makulopapular, SSJ reaksi pada tempat penyuntikan.22
Tipranavir >10%: erupsi makulopapular
Darunavir 2% to 10%: erupsi makulopapular, <2%: SSJ Inhibitor Maturasi
Amprenavir >10%: erupsi makulopapular
Obat ini bekerja dengan cara menghambat
Fosamprenavir >10%: Rash, 1% to 10%: pruritus, <1%: SSJ
proses gag pada saat poliprotein kapsid virus
Atazanavir < 2%: Steven-Johnson syndrome (SJS), erupsi makulopapular
membelah sehingga mencegah terbentuknya
Fusion/Entry Inhibitor
protein kapsid yang matang. Bevirimat
Enfuvirtid (T-20) Reaksi pada tempat injeksi (98%)
merupakan obat golongan ini. Obat ini masih
Maraviroc Erupsi makulopapular (11%), pruritus (4%), folikulitis (3%)
Inhibitor Integrase
dalam tahap uji klinis. Sampai saat ini, belum
Raltegravir Erupsi makulopapular (5%), pruritus (3% to 4%), folikulitis (2%), SSJ ada efek samping berat pada penelitian yang
Elvitegravir Tahap uji klinis pernah dilakukan dalam jangka waktu 10 hari
Inhibitor Maturasi dengan pemberian obat satu kali sehari.15
Bevirimat (PA457,DSB) Tahap uji klinis
ERUPSI OBAT OLEH TMP-SMX
Pada penggunaan indinavir, terdapat efek maupun stadium klinis HIV/AIDS. Pada pasien Pada sekitar 50-60% pasien yang diterapi
samping seperti pada penggunaan asam yang mendapat terapi profilaksis dengan TMP-SMX, timbul erupsi makulopapular
retinoid, seperti keilitis, kulit kering, pruritus, lopinavir dan ritonavir, dilaporkan mengalami (sering disertai demam) pada 1-2 minggu
ingrown toenail, dermatitis asteatotik, rambut acute generalized exanthematous pustulosis setelah mulai pengobatan. Insidens erupsi
rontok, dan granuloma piogenik.6 (AGEP), yang timbul dalam waktu 24 jam obat karena TMP-SMX lebih besar 10 kali lipat
setelah dosis pertama dan menghilang dalam dibandingkan dengan populasi umum.6
Amprenavir/Fosamprenavir 48 jam setelah obat dihentikan.
Fosamprenavir merupakan prodrug dari am- Trimetoprim-sulfametoksazol sering di-
prenavir. Fosamprenavir memiliki bioavail- Kerontokan rambut dan alopesia merupakan efek gunakan sebagai profilaksis infeksi
abilitas lebih baik dari amprenavir. Erupsi obat samping yang dapat terjadi pada penggunaan oportunistik. Obat ini efektif sebagai profilaksis
berat terjadi sekitar 3-8% dan menyebabkan inhibitor protease. Terdapat hipotesis bahwa terhadap pneumocystis carinii pneumonia
pasien menghentikan pengobatan. Baik fos- hal ini karena peningkatan aktivitas retinal (PCP) dan terbukti efektif sebagai profilaksis
amprenavir maupun amprenavir memiliki dehidrogenase, enzim yang berperan dalam terhadap toksoplasmosis serta organisme lain
gugus sulfa, sehingga pemberiannya harus pembentukan asam retinoid. Ritonavir, indinavir, penyebab infeksi oportunistik. Penggunaan
hati-hati pada pasien alergi sulfa.15 sakuinavir, dan lefinavir meningkatkan aktivitas TMP-SMX pada pasien terinfeksi HIV sering
retinal dehidrogenase, berturut-turut sebesar memberikan efek samping.23
Lopinavir/Ritonavir 24%, 17%, 17%, dan 10%.21
Erupsi makulopapular terjadi pada 2-4% SIMPULAN
pasien. Erupsi obat ini tidak berhubungan Fusion Inhibitor Pasien HIV/AIDS cenderung lebih mudah
dengan jumlah CD4+, kandungan virus, Fusion inhibitor bekerja dengan cara mendapatkan erupsi obat. Penggunaan

350 CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014


CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT

Gambar 5 Pasien wanita 24 tahun HIV positif dengan CD4+ 77 sel/mm3 mendapatkan tenofovir, lamivudin, efavirenz, dan
TMP-SMX. Setelah 1 bulan pengobatan, timbul pustul dan makula eritematosa yang gatal pada seluruh tubuh disertai
malaise, mual, muntah, dan nyeri pada kaki. Setelah dilakukan pemeriksaan histologi, pasien didiagnosis AGEP. Tenofovir
diganti dengan abacavir dan TMP-SMX dihentikan. Setelah 8 hari, pasien menunjukkan perbaikan.25

sulfa lainnya, perlu mendapat perhatian gatal yang berat, sebaiknya obat dihentikan
Gambar 4 Sindrom Stevens-Johnson yang disebabkan khusus. Bila erupsi obat cenderung ringan, untuk mencegah timbulnya erupsi obat
oleh TMP-SMX pada pasien HIV/AIDS misalnya erupsi makulopapular, obat dapat yang berat. Deteksi dini dan penghentian
diteruskan. Namun, jika disertai demam, obat secara dini pada kasus erupsi obat
obat-obat antiretroviral maupun antibiotik, lesi di mukosa, terbentuknya vesikel atau yang berat dapat menurunkan mortalitas
khususnya TMP-SMX atau obat golongan bula, terdapat pengelupasan kulit, dan rasa pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. AIDS epidemic update. 2007.
2. Rotunda A, Hirsch RJ, Scheinfeld N,Weinberg JM. Severe cutaneous reactions associated with the use of humanimmunodeficiency virus medications. Acta Derm Venereol. 2003;83:1-9.
3. Shah CA. Adherence to high activity antiretroviral therapy (HAART) in pediatric patients infected with HIV: Issues and interventions. Indian J Pediatr. 2007;74:55-60.
4. Manzardo C, Zaccarelli M, Aguero F. Optimal timing and best antiretroviral regimen in treatment-naive HIV-infected individuals with advanced disease. J Acquir Immune Defic Syndr.
2007;46:S9-18.
5. Radhakrishnan R, Sudha V. Highly active antiretroviral therapy induced cutaneous adverse drug reactions in patients with human immunodeficiency virus infection. Int Journal of
Pharmaceutical Science. 2010;2:84-97.
6. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, editors. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th ed. United States: McGraw Hill.
7. Retno WS, Suharti KS. Erupsi obat alergik. In: Adi S, et al. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan erupsi obat alergik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1995.p.3-6.
8. Nigen S, Knowles SR, Shear NH. Drug eruptions: Approaching the diagnosis of drug-induced skin diseases. J Drug Dermatol. 2003;2:278-99.
9. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Muller BA. Urticaria and angioedema: A practical approach. AmFam Physician. 2004;69:1123-8.
11. Chia FL, Leong KP. Severe cutaneous adverse reactions to drugs. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2007;7:304-9.
12. Hartman M, Enk A. Cutaneous effects of antiretroviral therapy. Dtsch Arztebl. 2007;104:A1098-1103.
13. Shepherd GM. Hypersensitivity reactions to drugs: Evaluation and management. Mt Sinai J Med. 2003;70:113-25.
14. Piraccini BM, Iorizzo M, Antonucci A. Drug-induced nail abnormalities. Expert Opin Drug Saf. 2004;3:57-65.
15. Radhakrishnan R, Sudha V. Highly active antiretroviral therapy induced cutaneous adverse drug reactions in patients with human immunodeficiency virus infection. Int J Pharmaceut Sci.
2010;2:84-97.
16. Lucas A, Nolan D, Mallal S. HLA-B*5701 screening for susceptibility to abacavir hypersensitivity. J Antimicrob Chemother. 2007;59:591-3.
17. Tancrede-Bohin E, Grange F, Bourerias I. Hypersensitivity syndrome associated with zalcitabine therapy. Lancet. 1996;347:971.
18. Montaner JS, Cahn P, Zala C, Casssetti LI. 1100.1286 Study Team. Randomized, controlled study of the effects of a short course of prednisone on the incidence of rash associated with
nevirapine in patients infected with HIV-1. J Acquir Immune Defic Syndr. 2003;33:41-6.
19. Newell A, Avila C, Rodgers ME. Photosensitivity reaction of efavirenz. Sex Transm Infect. 2000;76:221.
20. Yoshimoto E, Konishi M, Takahashi K. The first case of efavirenz-induced photosensitivity in a Japanese patient withHIV infection. Intern Med. 2004;43:630-1.
21. Teira R, Zubero Z, Munoz J, Baraia-Etxaburu J, Santamaria JM. StevensJohnson syndrome caused by indinavir. Scan J Infect Dis. 1998;30:634-5.
22. Lenhard JM, Weiel JE, Paulik MA. Stimulation of vitamin A(1) acid signalling by the HIV protease inhibitor indinavir. Biochem Pharmacol. 2000;59:1063-8.
23. Maggi P, Ladisa N, Cinori E. Cutaneous injection site reactions to long-term therapy with enfuvirtide. J Antimicrob Chemother. 2004;53:678-81.
24. Gifford SL, James FS, Michael FG, Allan. Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMZ) dose escalation versus direct rechallenge for Pneumocystis carinii pneumonia prophylaxis in human
immunodeficiency virus-infected patients with previous adverse reaction to TMP-SMZ. J Infect Dis. 2001;184:992-7.
25. Syed AT, Syed AZ, Angadi RN, Lateef BS. Trimethoprim-sulfamethoxazole-induced Stevens-Johnson syndrome in an HIV-infected patient. Indian J Pharmacol. 2012;44:533-5.
26. Black J, Kruger R, Roberts R, Lehloenya R, Mendelson M. Case report: Acute generalised exanthematous pustulosis secondary to cotrimoxazole or tenofovir. SAJHIVMED. 2012;13:198-
200.

CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 351

You might also like