You are on page 1of 76

PENENTUAN KADAR SENYAWA FOSFAT DI SUNGAI WAY KURIPAN

DAN WAY KUALA DENGAN SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis

(Skripsi)

Oleh
LEWI PUJI LESTARI MRATA NDANI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRACT

DETERMINATION LEVELS OF PHOSPHATE COMPOUNDS IN WAY


KURIPAN AND WAY KUALA RIVER BY UV-Vis
SPECTROPHOTOMETERS

By

LEWI PUJI LESTARI M.N

The research of determination of Levels Phosphate Compounds in Way Kuripan and


Way Kuala river with UV-Vis spectrophotometer had been done. Physical
parameters that analyzed in situ are the temperature, DO and pH. The measured
values generally obtained within safe levels. Phosphate levels in Way Kuripan
river which were obtained in the amount of 0.1695 mg/L, 0.3463 mg/L and
1.7857 mg/L, while Way Kuala watershed were in the amount of 0.2230 mg/L,
0.1597 mg/L, 0.3691 mg/L, 0.6607 mg/L, 0.7637 mg/L, 0.7254 mg/L, 0.7351 mg
/L, 1.8161 mg/L and 0.3327 mg/L. The analysis results showed that one sampling
location are still within the threshold which is set by the Lampung Provincial
Regulation No. 12 of 2012 for the concentration of phosphate in Way Kuripan
river and Way Kuala watershed. The downstream river has phosphate levels
higher than the upstream. The accuracy values were obtained from this research in
the amount of 88.39 % and 110.05 % as well as the value of limit detection and limit
quantification respectively were 0.1057 mg/L and 0.1066 mg/L. Precision value
which was obtained still within the threshold that set by the AOAC (2012) by
11%.

Keywords: in situ, phosphate level, accuracy, detection limit, limit quantification,


precision
ABSTRAK

PENENTUAN KADAR SENYAWA FOSFAT DI SUNGAI WAY KURIPAN


DAN WAY KUALA DENGAN SPEKTROFOTOMETER UV-Vis

Oleh

LEWI PUJI LESTARI M.N

Telah dilakukan penelitian Penentuan Kadar Senyawa Fosfat di Sungai Way


Kuripan dan Way Kuala dengan Spektofotometer UV-Vis. Parameter fisik yang
dianalisis secara in situ adalah temperatur, DO, pH. Nilai terukur yang didapatkan
secara umum berada dalam ambang batas aman. Kadar fosfat di Sungai Way
Kuripan yang diperoleh adalah sebesar 0,1695 mg/L, 0,3463 mg/L dan 1,7857 mg/L
sedangkan Daerah Aliran Sungai Way Kuala sebesar 0,2230 mg/L, 0,1597 mg/L,
0,3691 mg/L, 0,6607 mg/L, 0,7637 mg/L, 0,7254 mg/L, 0,7351 mg/L,
1,8161 mg/L dan 0,3327 mg/L. Hasil analisa menunjukkan bahwa satu lokasi
sampling masih dalam ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah
Provinsi Lampung No. 12 Tahun 2012 untuk konsentrasi fosfat di Sungai Way
Kuripan dan Daerah Aliran Sungai Way Kuala. Daerah hilir sungai memiliki
kadar fosfat yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah hulu. Nilai akurasi
yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebesar 88,39 % dan 110,05 % serta
nilai limit deteksi dan limit quantifikasi masing-masing 0,1057 mg/L dan 0,1066
mg/L. Nilai presisi yang diperoleh masih dalam ambang batas yang telah
ditetapkan oleh AOAC (2012) sebesar 11 %.

Kata kunci : in situ, kadar fosfat, akurasi, limit deteksi, limit quantifikasi, presisi
PENENTUAN KADAR SENYAWA FOSFAT DI SUNGAI WAY KURIPAN
DAN WAY KUALA DENGAN SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis

Oleh
LEWI PUJI LESTARI MRATA NDANI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA SAINS
Pada

Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG
2016
!.K!ul Skripsi . : r~NEI,TU.M K4DAR.'SEIWAWA FOSFAT
DI SllNGAI WAY-IWRIPMI DMI WAY
.JWALA DENGAN SPEKTBOFOT()METRI
UV-Vis

:ama Mahasiswa : Sl,ewiWUJl -~ ~~


~or Pokok Mahasiswa : 1117011028

Program Studi : Kimia

:akultas . :.J'1ateinatil~ dan llmu Pengetahuan Alam

' ..
MENYETUJUI

1. Komisi'iPembimbing
. :

~,,~;~ ..
. . ,.
. ;.;_
. ::. .
,:, .
:

Rlnawati, Pb~D.' . Dian-Septianl P,ratama; M.Si~


NIP 19710414 200003 2 001 JlflP 19800908 200912 2. 003
-~- .

.., -:. -i '

2. Ketua Jurusan Kimia .

Dr. Eng. ~l'uwono,


NIP 19740705 2()0003 1 001
M./
...

. .
. '
- , -
1. run Penguji

Ketua :: Binawati.,Ph.D.

+.,: .. --~~
Sekretaris . . . :; DiaifSeptlaoi Prata ma,M.Si. .. ..

. ':::
Penguji '' ,'

Bukan Pembh,nb~g : DJky m~~,atM, .Sc.

Tanggal
.
Lulus Ujian. Skripsi' :. 4 Okt()ber 2016

' ~ ..
. '
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Totomulyo, Lampung Timur pada

tanggal 23 Juni 1992, buah cinta dari pasangan Bapak

Purwidi dan Ibu Estu Ningsih Piwelas yang merupakan

anak ketiga dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Totomulyo pada

tahun 1999, Sekolah Dasar Negeri 2 Totomulyo pada tahun 2005, SMP Negeri 10

Bandar Lampung pada tahun 2008, dan SMA Negeri 1 Purbolinggo Lampung

Timur pada tahun 2011. Sejak tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di

jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lampung melalui jalur tes tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (SNMPTN).

Tahun 2015, penulis melakukan Kerja Praktik (KP) di Laboratorium Kimia

Analitik dan Instrumentasi FMIPA Unila dengan judul Analisis Kandungan

Senyawa Fosfat di Sungai Way Kuala Bandar Lampung dengan Spektrofotometer

UV-Vis.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota bidang sosial dan

masyarakat serta biro kesekretariatan himpunan mahasiswa kimia Fakultas MIPA


tahun 2011-2013, anggota POM MIPA tahun 2011-2013 dan pernah menjadi

anggota dari UKM pencak silat Universitas Lampung tahun 2012-2013.


Kupersembahkan karya kecilku ini untuk ke dua orang tuaku, yang

telah Tuhan pakai untuk melahirkan, merawat dan membesarkan ku

hingga sekarang, terkhusus untuk abang ku terkasih Seh Roh Adi

Sucipto SH. Yang selalu memberikan dukungan, baik berupa materi

maupun motivasi, Kakak ku terkasih Elia Tunggal Saputra dan adik

ku Wahyu Puji Raharja

Apa yang aku berikan tidak akan pernah mampu membalas kebaikan

dan kasih sayang kalian, namun untuk saat ini hanya inilah yang

dapat aku berikan dalam bentuk penyelesaian kuliah ku

Terimakasih Bapak, Mamak, Abang, Kak Elia dan Adik ku


Wahyu
MOTTO

Segala sesuatu yang dikerjakan dengan ketulusan dan


kejujuran pasti akan membuahkan hasil yang tidak
akan pernah sia-sia, mungkin terasa pahit dalam
prosesnya, namun waktu yang terbaik adalah waktunya
Tuhan dan waktu_Nya tidak pernah terlambat.

Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu


minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah
menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.
{MARKUS 11 : 24}
SANWACANA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas anugerah dan kasih

karunia_Nyalah Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini tepat pada

waktunya.

Skripsi dengan judul Penentuan Kadar Senyawa Fosfat di Sungai Way Kuripan

dan Way Kuala dengan Spektrofotometer UV-Vis ini disusun berdasarkan

orientasi penelitian yang dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik dan

Instrumentasi Kimia FMIPA Universitas Lampung. Penelitian dan skripsi ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains di Universitas

Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rinawati, Ph.D. selaku pembimbing I atas bimbingan, saran, kritik,

kesabaran dan motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Dian Septiani Pratama, M.Si. selaku pembimbing II atas bimbingan,

saran dan kritik dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Diky Hidayat, M.Sc. selaku pembahas atas saran dan masukannya

selama proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Prof. Suharso, Ph.D. selaku pembimbing akademik atas motivasi

serta konsultasi akademik yang diberikan kepada penulis.


5. Bapak (Purwidi) dan mamak (Estu Ningsih P.) yang selalu mendoakan dan

memberikan kasih sayang yang tulus serta motivasi kepada penulis.

6. Abang ku terkasih (Seh Roh Adi Sucipto, SH.) yang selalu mensupport

selama ini, memberikan kasih sayang yang tulus, motivasi serta doa dalam

penyelesaian skripsi ini.

7. Kakak ku terkasih (Elia Tunggal Saputra) yang selalu ada, memberikan

motivasi serta doa kepada penulis.

8. Adik ku terkasih (Wahyu Puji Raharja) yang selalu memberikan motivasi

dan doa kepada penulis.

9. Keluarga Bang Amigo, Kak Nita, Yuki dan Aiko yang selalu mendoakan,

memotivasi, memberikan semangat kepada penulis.

10. Seluruh dosen FMIPA yang dengan kesabaran dan kesetiannya dalam

mengajar dan memberikan ilmu kepada penulis.

11. Seluruh teman-teman angkatan 2011.

12. Tim laboran, Mbak Iin dan Mas Udin yang dengan kesabaran memotivasi

dan mengarahkan dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Seluruh pihak yang sudah terlibat dalam membantu proses penyelesaian

skripsi ini, penulis menyampaikan permohonan maaf karena tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Akhirnya, hanya inilah karya kecilku yang dapat ku persembahkan untuk orang-

orang yang kukasihi. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan

untuk lebih baiknya karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga dapat memberikan

manfaat bagi para pembaca dan para analis demi kemajuan di bidang sains.
Bandar Lampung, Oktober 2016

Penulis,

Lewi Puji Lestari M.N


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Tujuan.......................................................................................... 4
C. Manfaat Penelitian....................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Sungai ............................................................ 6
B. Pencemaran ................................................................................. 7
1. Pencemaran Sungai................................................................. 8
2. Penyebab Pencemaran secara Umum ..................................... 10
3. Indikator Pencemaran di Perairan........................................... 12
C. Fosfat (PO4) ................................................................................. 13
1. Sumber dan Distribusi Senyawa Fosfat.................................. 14
2. Parameter yang mempengaruhi Fosfat di Perairan ................. 17
3. Reaksi Fosfat di Perairan ........................................................ 20
4. Siklus Alami Fosfat ................................................................ 22
5. Senyawa Umum dari Unsur Fosfat......................................... 24
6. Metode Analisis Fosfat ........................................................... 24
7. Analisis, Sampling dan Teknik Pengambilan Sampel............ 25
D. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) .......................... 28
1. Interaksi Cahaya dengan Materi ............................................. 29
2. Absorpsi Cahaya..................................................................... 31
3. Transisi Elektron pada UV-Vis .............................................. 32
4. Hukum Lambert-Beer............................................................ 35
E. Verifikasi Metode Standar ............................ ......... ........ ......... 39
1. Ketepatan (accuracy) ............................................................. 39
2. Presisi ..................................................................................... 40
3. Limit Deteksi ................................................................... ...... 42
4. Linieritas .......................................................................... ...... 42
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ...................................................................... 44
B. Alat dan Bahan ............................................................................ 44
C. Prosedur Penelitian...................................................................... 45
1. Penentuan Lokasi Sampling ................................................... 45
2. Persiapan Sampling ................................................................ 45
3. Pengambilan Contoh Air ........................................................ 45
4. Penanganan Sampel ................................................................ 46
5. Pengukuran beberapa Parameter Kualitas Air ........................ 46
a) Temperatur ......................................................................... 46
b) Oksigan Terlarut (DO) ....................................................... 47
c) pH (keasaman) ................................................................... 47
6. Pengukuran Kadar Fosfat ....................................................... 47
a) Pembuatan Larutan ............................................................ 47
1. Larutan Asam Sulfat H2SO4 2,5 M .............................. 47
2. Larutan Ammonium Molibdat ((NH4)6Mo7O24.4H2O)
0,03 M ........................................................................... 47
3. Larutan Kalium Antimonil Tartrat
(K(SbO)C4H4O6.1/2H2O) 0,008 M ............................... 48
4. Larutan Asam Askorbat C6H8O6 0,1 M ........................ 48
5. Larutan Baku Fosfat 10 mg/L ....................................... 48
6. Larutan Campuran ........................................................ 48
b) Pembuatan Kurva Kalibrasi .............................................. 49
c) Pengukuran Sampel ........................................................... 49
d) Verifikasi Metode .............................................................. 50
1. Linieritas ...................................................................... 50
2. Limit Deteksi ................................................................ 50
3. Presisi ............................................................................ 50
4. Akurasi .......................................................................... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Lokasi Sampling ........................................................................ 52
B. Parameter Fisik .......................................................................... 54
a. Analisis Suhu ....................................................................... 54
b. Analisis pH .......................................................................... 57
c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) ......................... 59
C. Penentuan Kadar Fosfat ............................................................. 61
a) Daerah Aliran Sungai Way Kuala ........................................ 65
b) Sungai Way Kuripan ............................................................ 68
c) Perbandingan Kadar Fosfat DAS Way Kuala
dan Sungai Way Kuripan ..................................................... 71
D. Verifikasi Metode ...................................................................... 73
a) Ketepatan (accuracy) ........................................................... 73
b) Presisi ................................................................................... 74
c) Limit Deteksi ........................................................................ 75

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan. 76
B. Saran 77

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
5
5

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jenis pencemar dan sumbernya ................................................... 12

2. Spektrum tampak dan warna-warna komplementer.................... 32

3. Nilai percent recovery................................................................. 40

4. Nilai RSD berdasarkan AOAC ................................................... 41

5. Hasil pengukuran parameter fisik DAS Way Kuala ................... 54

6. Hasil pengukuran parameter fisik Sungai Way Kuripan............. 54

7. Data kurva kalibrasi DAS Way Kuala ........................................ 63

8. Data kurva kalibrasi Sungai Way Kuripan.................................. 64

9. Kadar fosfat DAS Way Kuala ..................................................... 66

10. Kadar fosfat Sungai Way Kuripan .............................................. 70

11. Nilai presisi hasil penelitian ........................................................ 74


6
6

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pengaruh DO terhadap fosfat di perairan.................................... 19

2. Pengaruh suhu terhadap fosfat di ekosistem perairan ................. 20

3. Reaksi fosfat di perairan.............................................................. 21

4. Siklus alami fosfat ...................................................................... 23

5. Gerakan gelombang cahaya elektromagnetik ............................. 29

6. Spektrum elektromagnetik .......................................................... 31

7. Komponen-komponen spektrofotometer .................................... 37

8. Vandorn/water sampler............................................................... 46

9. Grafik temperatur terukur pada lokasi pengambilan sampel ..... 55

10. Grafik pH pada lokasi pengambilan sampel ............................... 58

11. Grafik DO pada lokasi pengambilan sampel .............................. 60

12. Panjang gelombang maksimum fosfat ........................................ 62

13. Kurva kalibrasi DAS Way Kuala ................................................ 63

14. Kurva kalibrasi Sungai Way Kuripan ......................................... 65

15. Kadar fosfat Daerah Aliran Sungai Way Kuala .......................... 67

16. Kadar fosfat Sungai Way Kuripan .............................................. 71

17. Kadar fosfat hulu dan hilir DAS Way Kuala


dan Sungai Way Kuripan ............................................................ 72
1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bandar Lampung adalah Ibu Kota Propinsi Lampung dan secara geografis

terletak pada 5o 20 5o 30 LS dan 105o 28 105o 37 BT. Letak tersebut

berada di Teluk Lampung dan di ujung Pulau Sumatera, yang memilki luas

wilayah 192,18 Km2 (Sobirin, 2001), dengan batas wilayah sebagai berikut:

(1) sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Cermin dan

Ketibung Lampung Selatan serta Teluk; (3) sebelah timur berbatasan dengan

Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan dan; (4) sebelah barat

berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin Kabupaten

Pesawaran.

Secara hidrologis Kota Bandar Lampung dilalui oleh sungai-sungai yang

masuk dalam wilayah sungai (WS), Way Seputih dan Way Sekampung, yaitu:

Sungai Way Halim, Way Awi, Way Simpur di wilayah Tanjung Karang dan

Way Kuripan, Way Balau, Way Kupang, Way Garuntang dan Way Kuala,

yang mengalir ke wilayah Teluk Lampung. Daerah hulu sungai berada di

bagian Barat, sedangkan daerah hilir sungai berada di wilayah bagian Selatan,

yaitu pada dataran pantai.


2

Dilihat secara hidrologi, maka Kota Bandar Lampung mempunyai 2 sungai besar,

yaitu Way Kuripan dan Way Kuala, dan 23 sungai-sungai kecil yang sebagian

besar bermuara ke Teluk Lampung (Bappeda Kota Bandar Lampung, 2001).

Beberapa pencemaran di sungai tentunya diakibatkan oleh aktivitas di sekitarnya,

baik pada sungai itu sendiri maupun perilaku manusia sebagai pengguna. Di

Bandar Lampung, sungai yang masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS),

setidaknya untuk sungai Way Kuala terdapat 22 industri dan 13 industri di DAS

Way Kuripan. Disisi lain juga terdapat berbagai aktivitas masyarakat, seperti

perumahan penduduk, rumah sakit, perbengkelan, perhotelan, pertokoan, pasar,

industri kecil, dan tempat pembuangan sampah. Aktifitas masyarakat sehari-hari

dapat menyebabkan masuknya bahan pencemar, seperti: logam berat, nitrat, nitrit,

fosfat dan lainnya.

Senyawa fosfat dan nitrogen seperti amoniak, nitrat dan nitrit yang terdapat di

perairan bersifat metabolitoksik dan sangat berbahaya bagi ekosistem perairan.

Keberadaan fosfat secara belebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen

dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (algae bloom).

Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro,

untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan

fosfat yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali

dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya

yang menjadi semakin meningkat.


3

Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau serta

sungai juga disebabkan fosfat yang sangat berlebih. Akibatnya, kualitas air di

ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut,

bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan

spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya

ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan

terganggunya keseimbangan ekosistem air.

Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung

toksin sehingga membawa resiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algae

bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan

pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk

mengatasinya. Dalam hal ini, terdapat beberapa bahkan hampir semua sungai

yang bermuara ke Teluk Lampung tercemar.

Sungai yang paling tercemar senyawa fosfat, di antaranya adalah sungai Way

Kuripan, Way Kuala, Way Galih Lunik, dan sungai Way Balau. Secara visual,

sungai-sungai tersebut telah mengalami penyempitan, pendangkalan, berair kotor

dan berwarna hitam, serta terdapat banyak sampah rumah tangga. Aktifitas

masyarakat disekitar sungai yang begitu padat dan adanya pemukiman penduduk

yang melebihi batas, menjadi salah satu pemicu pencemaran yang terjadi (BPPLH

Kota Bandar Lampung, 2006).


4

Menurut Yudha (2006), sungai Way Kuala dan Way Kuripan, (Kecamatan

Teluk Betung Selatan) memiliki kandungan fosfat yang cukup tinggi,

dibandingkan dengan sungai-sungai lainnya. Keberadaan fosfat ini merupakan

indikasi bahwa sungai-sungai tersebut tercemar oleh limbah industri maupun

rumah tangga. Sumber pencemaran fosfat, dari limbah rumah tangga diduga

berasal dari sisa detergen yang mengalir ke sungai.

Sedangkan Bappeda Kota Bandar Lampung (2005), menyatakan bahwa

kualitas perairan sungai Way Kuripan masuk dalam golongan 2, terkhusus

dalam pencemaran limbah fosfat. Golongan 2, menyatakan bahwa fosfat sudah

melebihi ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan atau masuk katagori

berbahaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan penentuan kadar senyawa

fosfat di DAS Way Kuala dan Sungai Way Kuripan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kadar senyawa

fosfat di Daerah Aliran Sungai Way Kuala dan Way Kuripan, yang bermuara

ke Teluk Lampung sebagai salah satu indikator kualitas lingkungan perairan.


5

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu sumber informasi tentang

tingkat pencemaran senyawa fosfat hasil pembuangan limbah pabrik maupun

limbah rumah tangga, di Daerah Aliran Sungai Way Kuala dan Way Kuripan

yang bermuara ke Teluk Lampung, sehingga dapat menjadi masukan bagi

pemerintah daerah, pihak industri, dan masyarakat setempat agar mengelola

dan memanfaatkan kawasan sungai dengan tepat serta memperhatikan kualitas

lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Sungai-sungai yang Bermuara ke Teluk Lampung

Seluruh sungai besar di Lampung masuk ke dalam kelompok berair coklat

bercampur hitam yang kaya dengan zat hara dan endapan, akibat campuran

anak sungainya dengan air gambut. Sungai-sungai yang melintasi Kota

Bandar Lampung adalah sungai kecil dengan debit air yang kecil, diantaranya

adalah Way Simpur, Way Penengahan, Way Kunyit, dan Way Keteguhan.

Pada musim kemarau, sungai cenderung mengering, tetapi pada musim hujan

debit air akan bertambah semakin cepat, sedangkan daya tampung sungai

semakin terbatas akibat terjadinya penyempitan daerah aliran sungai yang

merupakan dampak kegiatan pembangunan yang tidak memperhatikan garis

sempadan sungai serta pencemaran lingkungan sungai.

Banyak manfaat yang didapat manusia dari sungai. Tidak hanya sebatas

untuk kebutuhan rumah tangga seperti mandi, cuci, dan kakus (MCK). Tetapi

juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia lainnya.


7

Banyak sungai (way, sebutan sungai dalam bahasa Lampung) yang membelah

Kota Tapis Berseri. Diantaranya Way Belau, Way Balau, dan Way Awi.

Sungai Way Belau yang berlokasi di Kecamatan Teluk Betung Selatan (TbS)

terlihat dikiri dan kanannya tumpukan sampah plastik serta warna air yang

cokelat kehitaman.

Kondisi yang sama juga ditemukan pada sungai Way Balau di Kecamatan

Kedamaian dan Way Awi, Kecamatan Tanjung Karang Pusat. Selain sampah

plastik, banyak patahan ranting pohon yang memenuhi sisi kiri-kanan sungai.

Tak hanya keluhan banjir dan pendangkalan kali yang dirasakan warga. Tapi

sampah dialiran tersebut juga menimbulkan bau dan rentan sekali

menimbulkan penyakit diantaranya malaria dan kolera.

Sungai Way Kuala dan Way Kuripan merupakan dua diantara dua belas

sungai yang masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), di Bandar Lampung.

Sungai Way Kuala memiliki luas 7,539.52 Ha dan memiliki debit 1,246.30

m3/detik. Sedangkan, Way Kuripan memiliki panjang 25,260 km, lebar

permukaan 15 m, dengan kedalaman 3 m dan debit 470,34 m3/detik

(Vianney, 2015).

B. Pencemaran

Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak

menguntungkan.
8

Sebagian karena tindakan-tindakan manusia yang disebabkan oleh perubahan pola

pembentukan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika, kimia dan

jumlah organisme. Perubahan ini dapat mempengaruhi manusia secara langsung

atau tidak langsung melalui hasil pertanian, peternakan, benda-benda, perilaku

dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Fardiaz, 1992).

Menurut Hidayat (1981), pada dasarnya pencemaran lingkungan dapat dibagi

dalam tiga tingkatan yaitu : (1) gangguan, merupakan bentuk pencemaran yang

paling ringan, (2) pencemaran temporer, berjangka pendek karena alam mampu

memproses sehingga lingkungan dapat kembali seperti semula, dan (3)

pencemaran permanen, bersifat tetap karena alam tidak mampu kembali

memprosesnya (dikenal sebagai perubahan sumberdaya alam).

Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

(Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009) adalah masukkannya mahluk

hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh

kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah

ditetapkan.

1. Pencemaran Sungai

Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan normalnya. Jadi

pencemaran air adalah suatu keadaan air dimana telah mengalami

penyimpangan dari keadaan normalnya.


9

Keadaan normal air masih tergantung pada faktor penentu, yaitu kegunaan air itu

sendiri dan asal sumber air (Wardhana, 2004).

Cottam (1969) mengemukakan bahwa pencemaran air adalah bertambahnya suatu

material atau bahan dan setiap tindakan manusia yang mempengaruhi kondisi

perairan sehingga mengurangi atau merusak daya guna perairan. Disisi lain,

(Darsono, 1992) menyatakan bahwa industri pertambangan dan energi

mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan lingkungan karena mengubah

sumber daya alam menjadi produk baru dan menghasilkan limbah yang

mencemari lingkungan.

Kumar (1977) berpendapat bahwa air dapat tercemar jika kualitas atau

komposisinya baik secara langsung atau tidak langsung berubah oleh aktivitas

manusia sehingga tidak lagi berfungsi sebagai air minum, keperluan rumah

tangga, pertanian, rekreasi atau maksud lain sebelum terkena pencemaran.

Sedangkan, (Sumengen, 1987) mengatakan bahwa polusi air merupakan

penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal. Ciri-ciri yang mengalami polusi

sangat bervariasi tergantung dari jenis dan polutannya atau komponen yang

mengakibatkan polusi.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Bandar Lampung memastikan bukan hanya

enam sungai yang tercemar, melainkan sebanyak 21 batang sungai yang melintasi

Kota Bandar Lampung, tercemar oleh limbah industri, rumah tangga, maupun

domestik.
10
10

Program Kali Bersih yang dilakukan sejak 2001 belum juga berdampak terhadap

kebersihan sungai, akibat rendahnya kesadaran masyarakat menjaga kebersihan

lingkungan.

Sungai yang ada di Bandar Lampung, hampir semua tercemar, baik oleh limbah

rumah tangga maupun industri. Pencemaran tersebut dapat ditemui hampir

diseluruh daerah aliran sungai padat penduduk. 23 sungai yang ada, 21 sungai

diantaranya tercemar, yaitu, Sungai Way Awi, Way Penengahan, Way Simpur,

Way Kuala, Way Galih, Way Kupang, Way Lunik, Way Kunyit, Way Kuripan,

Way Kedamaian, Anak Way Kuala, Way Belau, Way Halim, Way Langkapura,

Way Keteguhan, Way Sukabumi, Way Kedaton, Way Gading, Way Kandis, Way

Limus, dan Way Batu Lengguh.

Seluruh sungai tersebut berhulu di Gunung Betung, sebuah gunung di sebelah

barat Bandar Lampung dan bermuara ke Teluk Lampung. Sungai-sungai tersebut

sebagian besar berukuran kecil dengan debit yang kecil. Karena itu, pada musim

kemarau batang sungai cenderung kering, sementara saat musim hujan air

mengalir dengan debit kecil (BPPLH Kota Bandar Lampung, 2006).

2. Penyebab Pencemaran secara Umum

Perkembangan penduduk dan kegiatan manusia telah meningkatkan

pencemaran disungai terutama sungaisungai yang melintasi daerah perkotaan

dimana sebagian air bekas kegiatan manusia dibuang ke sistem perairan


11
11

yang sedikit atau tanpa pengolahan sama sekali terlebih dahulu. Hal ini

menyebabkan penurunan kualitas air sungai (Darsono, 1992).

Penyebab pencemaran air berdasarkan sumbernya secara umum dapat

dikategorikan sebagai sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber

langsung meliputi effluent yang keluar dari industri, TPA (Tempat Pemrosesan

Akhir Sampah), dan sebagainya. Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang

memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan.

Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti

pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia

yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam. Penyebab pencemaran

air dapat juga digolongkan berdasarkan aktivitas manusia dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, yaitu limbah yang berasal dari industri, rumah tangga, dan

pertanian (Suriawiria, 2003).

Beberapa jenis pencemar dan sumber pencemar yang dikemukakan oleh Davis

dan Cornwell, 1991 dalam Effendi (2003), secara ringkas seperti terlihat pada

Tabel 1.
12
12

Tabel 1. Jenis pencemar dan sumbernya


Sumber Tertentu Sumber Tak Tentu

(point source) (non point source)


Jenis Pencemar Limpasan Limpasan
Limbah Limbah
Daerah Daerah
Domestik Industri
Pertanian Perkotaan
1. Limbah yang
dapat
X X X X
menurunkan
kadar oksigen
2. Nutrien X X X X
3. Patogen X X X X
4. Sedimen X X X X
5. Garam-garam - X X X
6. Logam yang
- X - X
toksik
7. Bahan organik
- X X -
yang toksik
8. Pencemaran
- X - -
panas

Sumber: Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003)

3. Indikator Pencemaran di Perairan

Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk

dianalisis sehubungan pemanfaatan sumber daya air untuk berbagai keperluan,

antara lain adalah parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003).

Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya

perubahan atau tanda yang dapat diamati, yang dapat digolongkan menjadi:

1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan

tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya

perubahan warna, bau dan rasa.

2. Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan

zat kimia yang terlarut dan perubahan pH.


13
13

3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan

mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri patogen

(Irianto dan Machbub, 2003).

C. Fosfat (PO4)

Ortofosfat (bahasa Inggris: orthophosphate, inorganic phosphate, Pi) atau

sering disebut gugus fosfat adalah sebuah ion poliatomik atau radikal terdiri

dari satu atom fosforus dan empat oksigen. Dalam bentuk ionik, fosfat

membawa sebuah -3 muatan formal, dan dinotasikan dengan (PO43-).

Menurut Peavy et al. (1986), sumber fosfat di perairan laut pada wilayah

pesisir dan paparan benua adalah sungai. Karena sungai membawa hanyutan

sampah maupun sumber fosfat daratan lainnya, sehingga sumber fosfat di

muara sungai lebih besar dari sekitarnya.

Fosfat berasal dari detergen dalam limbah cair dan pestisida serta insektisida

dari lahan pertanian. Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai

senyawa orto fosfat, polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat

tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel

organisme dalam air.

Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke

dalam sungai melalui drainase dan aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki

sungai melaui air buangan penduduk dan industri yang menggunakan

bahan detergen yang mengandung fosfat.


14
14

Seperti industri pencucian, industri logam dan sebagainya. Fosfat organis terdapat

dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan (Sastrawijaya, 1991).

Fosfat organis dapat terjadi dari ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis

karena baik bakteri maupun tanaman menyerap fosfat bagi pertumbuhannya

(Alaerts, 1987). Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh

terhadap keseimbangan ekosistem perairan. Apabila kadar fosfat dalam air rendah

(< 0,01 mg P/L), pertumbuhan ganggang akan terhalang, keadaan ini dinamakan

oligotrop. Sebaliknya bila kadar fosfat dalam air tinggi, pertumbuhan tanaman

dan ganggang tidak terbatas lagi (kedaaan eutrof), sehingga dapat mengurangi

jumlah oksigen terlarut air. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kelestarian

ekosistem perairan.

Menurut Boyd (1982), kadar fosfat dalam perairan alami umumnya berkisar

antara 0,005-0,02 ppm. Kadar fosfat melebihi 0,1 ppm, tergolong perairan yang

eutrof.

1. Sumber dan Distribusi Senyawa Fosfat

Fosfor terbentuk di alam dalam bentuk ion fosfat (PO4 ) ion fosfat dalam

bebatuan. Adanya peristiwa erosi dan pelapukan menyebabkan fosfat terbawa

menuju sungai hingga laut membentuk sedimen. Adanya pergerakan dasar

bumi menyebabkan sedimen yang mengandung fosfat muncul ke permukaan.


15
15

Keberadaan fosfat di dalam air akan terurai menjadi senyawa ionisasi, antara lain

dalam bentuk ion H2PO4- , HPO42- , PO4 3-. Fosfat diabsorpsi oleh fitoplankton dan

seterusnya masuk kedalam rantai makanan. Senyawa fosfat dalam perairan berasal

dari sumber alami seperti erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan

tumbuhan, dan dari laut serta sungai itu sendiri. Peningkatan kadar fosfat dalam

air laut, akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton

yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Batas optimum

fosfat untuk pertumbuhan plankton adalah 0,27 5,51 mg/liter (Hutagalung et al,

1997).

Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk

fosfor yang paling sederhana di perairan. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor

yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan

polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu

sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat. Setelah masuk kedalam

tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi

organofosfat.

Fosfat yang berikatan dengan ferri [Fe2(PO4)3] bersifat tidak larut dan mengendap

di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri)

akan mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut

dan melepaskan fosfat keperairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di

perairan (Effendi, 2003).


16
16

Secara rinci perputaran campuran organik P yang ditunjukkan di permukaan air

secara garis besar tidak diketahui. Sepenuhnya adalah larutan inorganik fosfor

seperti hasil ionisasi pada H3PO4. Berikut adalah reaksi ionisasi pada fosfat:

H3PO4 H+ + H2PO4

H3PO4 H+ + HPO42-

H3PO4 H+ + PO43-

Berdasarkan kadar fosfat total, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:

1. Perairan dengan tingkat kesuburan rendah memiliki kadar fosfat total berkisar

antara 0 0.02 mg/liter

2. Perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat 0.021 0.05

mg/liter

3. Perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, memiliki kadar fosfat total

0.051 0.1 mg/liter (Effendi, 2003).

Pehitungan persen pada beragam bentuk fosfat di H2O, NaCl, air laut, seperti

sebuah fungsi pada pH. Di laut dalam ion fosfat bentuknya lebih penting (50 %

pada P = 1000 bar atau 10.000 m). H2PO4- bebas adalah lebih besar dengan

persentase 49 %, MgPO4- , 46 %, dan 5 % CaHPO4. Sementara PO43- 27 %

seperti MgPO4- dan 73 % seperti CaPO4 (Sanusi, 2006).


17
17

2. Parameter yang Mempengaruhi Fosfat di Perairan

a) Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)

Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terdapat di perairan dalam bentuk

molekul oksigen bukan dalam bentuk molekul hidrogenoksida, biasanya

dinyatakan dalam mg/l (ppm) (Darsono, 1992). Oksigen bebas dalam air dapat

berkurang bila dalam air terdapat kotoran/limbah organik yang degradable.

Dalam air yang kotor selalu terdapat bakteri, baik yang aerob maupun yang

anaerob. Bakteri ini akan menguraikan zat organik dalam air menjadi

persenyawaan yang tidak berbahaya. Misalnya nitrogen diubah menjadi

persenyawaan nitrat, belerang diubah menjadi persenyawaan sulfat. Bila

oksigen bebas dalam air habis atau berkurang jumlahnya maka yang bekerja,

tumbuh dan berkembang adalah bakteri anaerob (Darsono, 1992).

Oksigen larut dalam air dan tidak bereaksi dengan air secara kimiawi. Pada

tekanan tertentu, kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu. Faktor

lain yang mempengaruhi kelarutan oksigen adalah pergolakan dan luas

permukaan air terbuka di atmosfer (Mahida, 1986). Persentase oksigen di

sekeliling perairan dipengaruhi oleh suhu perairan, salinitas perairan,

ketinggian tempat dan plankton yang terdapat di perairan (di udara yang panas,

oksigen terlarut akan turun). Daya larut oksigen lebih rendah dalam air laut jika

dibandingkan dengan daya larutnya dalam air tawar. Daya larut O2 dalam air

limbah kurang dari 95% dibandingkan dengan daya larut dalam air tawar

(Setiaji, 1995).
18
18

Terbatasnya kelarutan oksigen dalam air menyebabkan kemampuan air untuk

membersihkan dirinya juga terbatas, sehingga diperlukan pengolahan air limbah

untuk mengurangi bahan-bahan penyebab pencemaran. Oksidasi biologis

meningkat bersama meningkatnya suhu perairan sehingga kebutuhan oksigen

terlarut juga meningkat (Mahida, 1986).

Ibrahim (1982) menyatakan bahwa kelarutan oksigen di perairan bervariasi antara

7-14 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam air pada sore hari > 20 ppm. Besarnya

kadar oksigen di dalam air tergantung juga pada aktivitas fotosintesis organisme

di dalam air. Semakin banyak bakteri di dalam air akan mengurangi jumlah

oksigen di dalam air. Kadar oksigen terlarut di alam umumnya < 2 ppm. Jika

kadar DO dalam air tinggi maka akan mengakibatkan instalasi menjadi berkarat,

oleh karena itu diusahakan kadar oksigen terlarutnya 0 ppm yaitu melalui

pemanasan (Setiaji, 1995).

Rendahnya kadar oksigen terlarut, akan mengakibatkan kematian pada organisme

akuatik. Adanya unsur Nitrogen yang berlebih disertai dengan Fosfat akan

menimbulkan blooming atau eutrofikasi perairan. Bagaimana pengaruh DO

terhadap fosfat, dapat dilihat pada Gambar 1.


19
19

Gambar 1. Pengaruh DO terhadap fosfat (Martin, 1988)

b) Suhu

Suhu sangat berpengaruh terhadap proses-proses yang terjadi dalam badan air.

Suhu air buangan kebanyakan lebih tinggi dari pada suhu badan air. Hal ini erat

hubungannya dengan proses biodegradasi. Pengamatan suhu dimaksudkan

untuk mengetahui kondisi perairan dan interaksi antara suhu dengan aspek

kesehatan habitat dan biota air lainnya. Kenaikan suhu air akan menimbulkan

beberapa akibat sebagai berikut : (1) jumlah oksigen terlarut di dalam air

menurun. (2) kecepatan reaksi kimia meningkat. (3) kehidupan ikan dan hewan

air lainnya terganggu. (4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan

hewan air lainnya akan mati (Fardiaz, 1992). Siklus dalam ekosistem, dapat

dilihat pada Gambar 2.


20
20

Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap fosfat di ekosistem perairan (Stumm, 1981)

3. Reaksi Fosfat di Perairan

Studi sirkulasi fosfor dilingkungan perairan laut dan sungai merupakan

perhatian di berbagai bidang bidang ilmu. 32P digunakan para peneliti untuk

menghasilkan kesimpulan umum bahwa konsentrasi fosfat akan berubah,

karena fosfat merupakan salah satu zat yang digunakan oleh fitoplankton dalam

proses metabolisme.

Dahuri (2000) menyatakan bahwa kadar fosfat akan semakin tinggi dengan

menurunya kedalaman. Konsentrasi fosfat relatif konstan pada perairan dalam

biasanya terjadi pengendapan sehingga nutrien meningkat seiring dengan

waktu karena proses oksidasi f dan bahan organik.


21
21

Adanya proses run off yang berasal dari daratan akan mensuplai kadar fosfat pada

lapisan permukaan, tetapi ini tidak terlalu besar. Penambahan terbesar dari lapisan

dalam melalui proses kenaikan masa air.

Di perairan, bentuk unsur fosfor berubah secara terus menerus akibat proses

dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik, dan bentuk anorganik yang

dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk

ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu yang mendekati titik didih,

perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini

meningkat dengan menurunnya nilai pH. Perubahan polifosfat menjadi ortofosfat

pada air limbah yang mengandung banyak bakteri lebih cepat dibandingkan

dengan perubahan yang terjadi pada air bersih (Effendi, 2003). Reaksi fosfat yang

terjadi perairan, dapat ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Reaksi fosfat di perairan (DiToro, 1980)


22
22

4. Siklus Alami Fosfat

Begitu banyak sumber fosfat yang dipakai oleh hewan, tumbuhan, bakteri,

ataupun makhluk hidup lain yang hidup didalam laut dan sungai yang

bermuara ke teluk. Misalnya saja fosfat yang berasal dari feses hewan (aves).

Sisa tulang, batuan, yang bersifat fosfatik, fosfat bebas yang berasal dari

proses pelapukan dan erosi, fosfat yang bebas diatmosfer, jaringan tumbuhan

dan hewan yang sudah mati. Didalam siklus fosfat banyak terdapat interaksi

antara tumbuhan dan hewan, senyawa organik dan inorganik, dan antara kolom

perairan, permukaan, dan substrat. Contohnya beberapa hewan melepaskan

sejumlah fosfor padat di dalam kotorannya.

Sungai memiliki rasio normal untuk N/P sebesar 15:1. Rasio N/P jika

potensialnya meningkat menimbulkan blooming atau eutrofikasi perairan,

dimana terjadi pertumbuhan fitoplankton yang tidak terkendali. Eutrofikasi

potensial berdampak negatif terhadap lingkungan, karena berkurangnya

oksigen terlarut yang mengakibatkan kematian organisme akuatik lainnya

(asphyxiation), selain keracunan karena zat toksin yang diproduksi oleh

fitoplankton (genus Dinoflagelata).

Fitoplankton mengakumulasi N, P, dan C dalam tubuhnya, masing masing

dengan nilai CF (concentration factor) 3 x 104 untuk P, 16 (3 x 104) untuk N

dan 4 x 103 untuk C. Siklus alami pada fosfat dapat diperlihatkan pada Gambar

4 (Sanusi 2006).
23
23

Gambar 4. Siklus alami fosfat (Effendi, 2003)

5. Senyawa Umum dari Unsur Fosfat

1). Fosfor yang dapat dikonsumsi oleh tanaman dalam bentuk fosfat, seperti

diamonium fosfat [(NH4)2HPO4] atau kalsium fosfat dihidrogen [Ca(H2

PO4)2].

2). Senyawa anorganik fosfat dalam air laut pada umumnya berada dalam

bentuk ion (orto) asam fosfat (H3PO4), dimana 10% sebagai ion fosfat dan

90% dalam bentuk HPO42-. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam

pembentukan protein dan membantu proses metabolisme sel suatu

organisme.

3). Trinatrium fosfat (Na3PO4), Seyawa fosfor anorganik yang biasa terdapat di

perairan (Sastrawijaya, 1991).


24
24

6. Metode Analisis Fosfat

Fosfat yang berasal dari air atau limbah alami biasanya berbentuk sebagai

senyawa fosfat saja. Senyawa fosfat dapat diklasifikasikan sebagai ortho fosfat,

fosfat yang terkondensasi (pyro, metha, polifosfat), dan senyawa fosfat yang

terikat secara organik. Senyawa-senyawa fosfat yang biasa dideteksi dengan

cara colorimetry tanpa hidrolisis atau oksidasi dengan pemanasan sampel

disebut sebagai fosfor reaktif atau ortho fosfat.

Hidrolisis asam pada titik didih air mengubah fosfat terlarut atau fosfat

partikulat yang berkondensasi menjadi orthofosfat terlarut. Istilah fosfor yang

terhidrolisis asam lebih disukai daripada fosfat terkondensasi. Fraksi-fraksi

senyawa fosfat yang terkonversi menjadi orthofosfat hanya oleh proses

oksidasi yang dekstruktif dari zat-zat organik disebut sebagai fosfat organik.

Ketiga bagian diatas, merupakan pembagian total fosfat secara analitik.

Metode ini menggunakan teknik oksidasi persulfat untuk membebaskan atau

menetapkan fosfat organik. Metode colorimetry yang dipergunakan adalah

metode asam askorbat, ammonium molibdat dan potassium antimonil tartrat

dalam media dengan orthofosfat untuk membentuk asam heteropoli-asam

fosfomolibdat yang tereduksi menjadi molybdenum yang berwarna biru oleh

asam askorbat.

Berikut adalah rekasi yang terjadi pada pembentukan kompleks biru


molibdenum:
25
25

PO42- + 12 (NH4)2 MoO + 24 H+ (NH4)4 PO12 MoO3 + 21 NH4+ dan

(NH4)4 PO12 MoO3 + Sn2 + Senyawa molybdenum + Sn2 + (Biru) Metode asam

askorbat dapat digunakan untuk penetapan bentuk-bentuk fosfat

tertentu didalam air minum, air permukaan, air payau, air limbah rumah tangga

dan limbah industri. Cara uji ini digunakan untuk penentuan kadar fosfat yang

terdapat dalam air/air limbah antara 0,01-1,0 mg/L PO43- menggunakan metode

asam askorbat dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 880 nm

(Rukaesih, 2004).

7. Analisis, Sampling dan Teknik Pengambilan Sampel

Analisis kimia lingkungan merupakan studi analisis kimia pada suatu

komponen lingkungan yang bertujuan untuk menentukan background atau

kondisi rona lingkungan awal, dimana berupa data konsentrasi suatu konstituen

kimia di lingkungan (background monitoring) serta menetukan konsentrasi

senyawa berbahaya dalam suatu sistem lingkungan (pollution monitoring).

Terdapat beberapa tahap dalam analisis lingkungan, yaitu:

1. Pengenalan masalah di lingkungan

2. Monitoring untuk menentukan besar/kecilnya (tingkat bahaya) dari

masalah yang akan dianalisis

3. Penetuan metode yang akan digunakan dalam analisis

4. Memberlakukan aturan-aturan untuk memastikan bahwa metode yang

telah diambil benar-benar dilaksanakan


26
26

5. Monitoring untuk memastikan bahwa masalah yang timbul telah terkontrol

dengan baik

Sampling adalah suatu kegiatan/proses yang dilakukan dalam rangka memperoleh

sampel (Karmanto, 2014).

Sedangkan, sampel itu sendiri adalah bagian fisik dari lingkungan yang diambil

untuk dianalisis (gas, cair, atau padatan) dan komponen sampel yang dianalisis

disebut analit. Teknik dalam sampling, memiliki peran penting, yaitu:

1. (Reliabilitas) data yang diperoleh di laboratorium sangat ditentukan oleh

bagaimana sampling di lapangan dikerjakan.

2. Kesalahan hasil (dan juga kesalahan interpretasi) lebih banyak disebabkan

oleh sampling yang tidak memadai dibandingkan kesalahan analisis.

Sampling dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Batch sampling / grab sampling (pengambilan sampel dari lingkungan

dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dan analisis sampel dapat

dilakukan in situ (pada tempat pengambilan sampel) atau sesudah sampai di

laboratorium. Contoh: sejumlah volume tertentu, diambil dari aliran

pembuangan limbah, kemudian dianalisis pH-nya.

2. Continuous sampling (monitoring secara kontinu parameter-parameter

lingkungan yang diteliti). Contoh: pengukuran pH dilakukan terus menerus

dengan mencelupkan elektroda secara langsung ke dalam aliran pembuangan

limbah dan mencatat perubahan pH dengan chart recorder.


27
27

3. Composit sample (diperoleh dengan mencampur beberapa sampel batch yang

dikumpulkan dari tempat sampling yang sama, tetapi pada waktu pengambilan

yang berbeda).

Hal-hal yang perlu diperhatikan agar diperoleh sampel yang representative:

1. Kapan dan dimana sampel diambil (tempat dan waktu)

2. Berapa banyak sampel yang harus diambil (banyaknya pengambilan

sampel)

3. Berapa banyak sampel yang diperlukan (setiap sampel berapa ml/gram)

Penyimpanan sampel (sample storage) bertujuan untuk mencegah terjadinya

perubahan integritas sampel akibat transportasi dan penyimpanan sementara

sebelum analisis dilakukan. Sedangkan, perubahan integritas sampel disebabkan

oleh reaksi kimia, reaksi biologis dan interaksi analit (komponen yang akan

dianalisis) dengan botol/tempat sampel.

a) Refrigerasi (pendinginan) akan menurunkan, tetapi tidak dapat

menghilangkan 100 % reaksi-reaksi kimia dan bakteri. Kecepatan reaksi pada

4 C kurang lebih kali lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan reaksi

pada 25 C.

b) Freezing (pembekuan) akan mengurangi laju reaksi dan bakteri lebih rendah

lagi.

c) Asidifikasi (penambahan asam): penurunan pH sampel akan menurunkan

aktivitas bakteri secara signifikan.


28
28

d) Penambahan bakterisida, banyak agen bakterial telah digunakan untuk

menghilangkan aktivitas miroorganisme. Contoh yang paling umum

digunakan adalah Merkuri (II) klorida dan kloroform (Karmanto, 2014).

D. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi

yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat pada panjang

gelombang (190-380) dan sinar tampak pada panjang gelombang (380-780)

dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

Prinsip dari UV-Vis berdasarkan interaksi antara materi dengan cahaya, cahaya

yang dimaksud berupa ultraviolet (UV) dan cahaya visibel (Vis), sedangkan

materi dapat berupa atom dan molekul yang lebih berperan adalah elektron

valensi.

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu metode dalam kimia analisis

yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara

kualitatif maupun kuantitatif. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi

elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga

spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif

dibandingkan kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995).


29
29

Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang

tertentu, sedangkan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang

ditranmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk

mengukur energi secara relatif jika energi yang ditranmisikan adalah fungsi dari

panjang gelombang (Khopkar, 2003).

Senyawa fosfat dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantatif dengan

menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis, hal ini didasarkan pada sampel

yang akan diserap oleh radiasi (pemancaran) elektomagnetis, dimana panjang

gelombangnya dapat terlihat. Sehingga, senyawa amonia dapat diketahui pada

pengukuran absorbansi dan transmitansi dalam spektroskopisnya (Ida, 2009).

1. Interaksi Cahaya dengan Materi

Cahaya elektromagnetik dapat dipertimbangkan sebagai bentuk energi cahaya

sebagai transfer gelombang. Bentuk sederhana dari cahaya elektomagnetik

dapat dilihat dalam Gambar 5.

Gambar 5. Gerakan gelombang cahaya elektromagnetik (Kristianingrum, 2014)


30
30

Panjang gelombang () merupakan jarak antara dua gunung atau lembah yang

berdampingan dari gelombang.

Hubungan antara panjang gelombang, dengan frekuensi dirumuskan dengan

persamaan:

c = .v atau = c/v

Keterangan :
: panjang gelombang (cm)
v : frekuensi (dt-1 atau hertz, Hz)
c : kecepatan cahaya (3 x 1010 cm dt-1).

Hubungan antara energi (E) dan panjang gelombang () dituliskan sebagai,

E=hc/

Keterangan :
E : energi cahaya (erg)
h : konstanta Planck (6,62 x 10-27 erg det)
c : kecepatan cahaya (3 x 1010 cm dt-1)
: panjang gelombang (cm)

Spektrum elektromagnetik menyeluruh dikelompokkan seperti pada Gambar 6.


31
31

Gambar 6. Spektrum elektromagnetik (Kristianingrum, 2014)

Daerah UV terletak sekitar 10 nm 380 nm, tetapi paling banyak penggunaannya

secara analitik dari 200 380 nm dan disebut sebagai UV pendek (dekat).

Dibawah 200 nm, udara dapat mengabsorpsi sehingga instrumen harus

dioperasikan pada kondisi vakum, daerah ini disebut dengan daerah UV vacum

(Kristianingrum, 2014).

2. Absorpsi Cahaya

Secara kualitatif absorpsi cahaya dapat diperoleh dengan pertimbangan

absorpsi cahaya pada daerah tampak, dengan melihat obyek cahaya yang

diteruskan atau dipantulkan. Apabila cahaya polikromatis (cahaya putih) yang

berisi seluruh spektrum panjang gelombang melewati medium tertentu, dan

akan menyerap panjang gelombang lain, sehingga medium akan tampak

berwarna. Oleh karena hanya panjang gelombang yang diteruskan yang sampai

ke mata maka panjang gelombang inilah yang menentukan warna medium.


32
32

Warna ini disebut warna komplementer terhadap warna yang diabsorpsi.

Spektrum tampak dan warna-warna komplementer ditunjukkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Spektrum tampak dan warna-warna komplementer


Panjang
Warna yang Warna Yang dipantulkan
Gelombang
diabsorpsi (komplementer)
(nm)

340-450 Lembayung Kuning-hijau


450-495 Biru Kuning
495-570 Hijau Violet
570-590 Kuning Biru
590-620 Jingga Hijau- biru
620-750 Merah Biru-Hijau
Sumber : Kristianingrum (2014)

3. Transisi Elektron pada UV-Vis

Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi UV Vis

digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif spesies kimia. Absorbansi

spesies ini berlangsung dalam dua tahap, yang pertama yaitu : M + h M*,

merupakan eksitasi spesies akibat absorpsi foton (h) dengan waktu pada

daerah absorpsi UV-Vis (10-8 10-9 detik).

Tahap kedua adalah relaksasi dengan berubahnya M* menjadi spesies baru

dengan reaksi fotokimia. Absorpsi pada daerah UV Vis menyebabkan eksitasi

elektron ikatan. Puncak absorpsi ( max) dapat dihubungkan dengan jenis

ikatan yang ada dalam spesies. Oleh karena itu, spektroskopi absorpsi berguna

untuk mengidentifikasikan gugus fungsi dalam suatu molekul dan untuk

analisis kuantitatif. Spesies yang mengabsorpsi dapat melakukan transisi yang


33
33

meliputi (a) elektron , , n (b) elektron d dan f (c) transfer muatan elektron,

yaitu:

a). Transisi yang meliputi elektron , , dan n terjadi pada molekul organik dan

sebagian kecil anion anorganik. Molekul tersebut mengabsorpsi cahaya

elektromagnetik karena adanya elektron valensi, yang akan tereksitansi ke

tingkat energi yang lebih tinggi. Absorpsi terjasi pada daerah UV vakum (<185

nm). Absorpsi sinar UV Vis, yang panjang gelombangnya lebih besar,

terbatas pada sejumlah gugus fungsi (disebut kromofor) yang mengandung

elektron valensi dengan energi esitasi rendah.

Contoh : CH4 mempunyai max pada 125 nm karena adanya transisi

*. Transisi n * (dari orbital tidak berikatan ke orbital anti ikatan)

terjadi pada senyawa jenuh dengan elektron tidak berpasangan. max untuk

transisi n * cenderung bergeser ke h yang lebih pendek dalam pelarut

polar, seperti etanol dan H2O.

Transisi n * seperti juga * terjadi pada sebagian besar senyawa

organik. Bertambahnya kepolaran pelarut pada transisi *, maka bentuk

puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek disebut pergeseran

biru atau hipsokromik, sedangkan jika bergeser kepanjang gelombang yang

lebih panjang dinamakan pergeseran merah atau batokromik.


34
34

Pergeseran biru disebabkan bertambahnya solvasi pasangan elektron sehingga

berakibat energinya turun. Pergeseran merah terjadi akibat bertambahnya

kepolaran pelarut (~ 5 nm), yang disebabkan gaya polarisasi antara pelarut

dan spesies, sehingga berakibat menurunnya selisih tingkat energi eksitasi dan

tingkat tidak tereksitasi.

b). Transisi yang meliputi elektron d dan f unsur-unsur blok d mengabsorpsi pada

daerah UV-Vis. Terjadinya transisis logam golongan f disebabkan karena

elektron pada orbital f pada unsur-unsur transisi dalam, dimana memilki

puncak yang sempit karena interaksi elektron 4f atau pun 5f (lantanida dan

aktanida).

Pita yang sempit teramati karena efek screening (pelindung) orbital, untuk

transisi 3d dan 4d mempunyai pita yang lebar dan dapat terdeteksi dalam

daerah tampak, puncak absorbsi dipengaruhi oleh lingkungan yang

mengelilinginya. Besarnya splitting () oleh ligan dapat disusun dalam suatu

deret spektrokimia berikut = I- < Br- < Cl- < F- < OH- < Oksalat- < H2O <

SCN- < NH3 < en < NO2 < CN-. Deret ini berguna untuk meramalkan posisi

puncak absorbsi untuk berbagai kompleks dengan ligan diatas.

c). Spektrum absorbsi transfer muatan. Spektrum absorpsi merupakan cara yang

peka untuk menentukan spesies absorpsi. Kompleks yang memiliki muatan

misalnya : [Fe(SCN)6 ]3+ , [Fe2+ Fe3+ (CN)6+ ] mengabsorpsi pada h yang


35
35

lebih panjang, karena bertambahnya transfer elektron memerlukan energi

radiasi yang lebih kecil (Kristianingrum, 2014).

4. Hukum Lambert Beer

Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang

hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum

Lambert-Beer atau Hukum Beer, berbunyi: Jumlah radiasi cahaya tampak

(ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh

suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal

larutan.

Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk menghitung

banyaknya cahaya yang dihamburkan adalah:

T= atau %T = 100%

Absorbansi dinyatakan dengan rumus :

A = -log T = -log

Keterangan:
A : absorbansi
I0 : intensitas cahaya datang
It : intensitas cahaya setelah melewati sampel
T: tranmitasi (banyaknya cahaya yang dihamburkan)
36
36

Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai:

A= a . b . c atau A = . b . c

Keterangan:
A : absorbansi
a : tetapan absorptivitas
b : tebal kuvet
c : konsentrasi larutan yang diukur
: tetapan absorptivitas molar

Secara eksperimen hukum Lambert-beer akan terpenuhi apabila peralatan yang

digunakan memenuhi kriteria-kriteria berikut :

1. Sinar yang masuk atau sinar yang mengenai sel sampel berupa sinar dengan

dengan panjang gelombang tunggal (monokromatis);

2. Penyerapan sinar oleh suatu molekul yang ada didalam larutan tidak

dipengaruhi oleh molekul yang lain yang ada bersama dalam satu larutan;

3. Penyerapan terjadi didalam volume larutan yang luas penampang (tebal kuvet)

yang sama;

4. Penyerapan tidak menghasilkan pemancaran sinar pendafluor. Artinya larutan

yang diukur harus benar-benar jernih agar tidak terjadi hamburan cahaya oleh

partikel-partikel koloid atau suspensi yang ada didalam larutan;

5. Konsentrasi analit rendah, apabila konsentrasi tinggi akan mengganggu

kelinearan grafik absorbansi versus konsentrasi.

Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer

menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan

fotometer alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang

diabsorpsi. Spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum yang kontinyu,


37
37

monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat

untuk mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko (Khopkar, 1990).

Komponen penting dari spektrofometer terdiri dari sumber cahaya,

monokromator, sel sampel, detektor, read out (pembaca).

Berikut digambarkan komponen-komponen spektrofotometer ditunjukkan pada

Gambar 7.

Gambar 7. Komponen-komponen spektrofotometer (Kristianingrum, 2014)

Fungsi masing-masing bagian spektrofotometer

1. Sumber cahaya berfungsi sebagai sumber sinar polikromatis dengan berbagai

macam rentang panjang gelombang. Pada UV-Vis sumber cahaya

menggunakan photodiode yang telah dilengkapi monokromator.


38
38

2. Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu

mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi cahaya

monaokromatis.

3. Jenis monokromator yang saat ini banyak digunakan adalan gratting atau lensa

prisma dan filter optik. Jika digunakan grating maka cahaya akan dirubah

menjadi spektrum cahaya. Sedangkan filter optik berupa lensa berwarna

sehingga cahaya yang diteruskan sesuai dengan warnya lensa yang terkena

cahaya. Terdapat banyak jenis lensa warna dalam satu alat yang digunakan

untuk pemeriksaan dan digunakan sesuai jenisnya.

4. Sel sampel berfungsi sebagai tempat meletakan sampel. UV-Vis menggunakan

kuvet sebagai tempat sampel, Kuvet biasanya terbuat dari kuarsa atau gelas,

namun kuvet dari kuarsa terbuat dari silika dan memiliki kualitas yang lebih

baik. Hal ini, disebabkan yang terbuat dari kaca dan plastik dapat menyerap

UV sehingga penggunaannya hanya pada spektrofotometer sinar tampak (Vis).

Kuvet biasanya berbentuk persegi panjang dengan lebar 1 cm.

5. Detektor berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan

mengubahnya menjadi arus listrik. Syarat-syarat sebuah detektor :

a. Kepekaan yang tinggi;

b. Perbandingan isyarat atau signal dengan bising tinggi;

c. Respon konstan pada berbagai panjang gelombang;

d. Waktu respon cepat dan signal minimum tanpa radiasi;


39
39

e. Signal listrik yang dihasilkan harus sebanding dengan tenaga radiasi.

Macam-macam detektor yang sering digunakan detektor foto (photo

detector), photocell, phototube, hantaran foto, dioda foto, dan detektor

panas.

6. Read out (pembaca) merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya

isyarat listrik yang berasal dari detektor (Kritianingrum, 2014).

E. Verifikasi Metode Standar

Validasi metode merupakan konfirmasi bahwa prosedur analisis yang

dilakukan untuk pengujian sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Validasi

metode digunakan untuk pembuktian apakah suatu metode pengujian sesuai

untuk maksud atau tujuan tertentu dan untuk jaminan mutu hasil uji yang

dievaluasi secara objektif.

Hasil dari validasi metode dapat digunakan untuk menilai kualitas, tingkat

kepercayaan (reliability), dan konsistensi hasil analisis, itu semua menjadi

bagian dari praktek analisis yang baik (Huber, 2001). Parameter yang

dievaluasi dalam validasi metode adalah beberapa parameter yang meliputi

ketepatan (accuracy), presisi, limit deteksi, dan linieritas.

1. Ketepatan (accuracy)

Ketepatan adalah suatu ukuran yang menunjukan kedekatan hasil analisis

dengan kadar analit yang sebenarnya.


40
40

Ketepatan dapat juga menyatakan kedekatan dengan nilai yang dapat diterima

atau seberapa dekat hasil pengukuran dengan nilai benar yang diperkirakan.

Nilai benar dapat diperoleh dengan cara membandingkan hasil metode dengan

metode referensi yang sudah ditetapkan. Akurasi dinyatakan sebagai persen

perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan.

Persen perolehan kembali dapat ditentukan dengan persamaan berikut (AOAC,


1993)

%perolehan kembali
C F C A 100%
CA *

Keterangan : CF : Konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran


CA : Konsentrasi sampel sebenarnya
CA* : Konsentrasi analit yang ditambahkan

Berikut adalah nilai persen perolehan kembali yang diperbolehkan dalam suatu
analisis, berdasarkan AOAC.

Tabel 3. Nilai percent recovery (AOAC, 2012)

Mean Recovery,
Analyte, % Analyte Ratio Unit
%
100 1 100 % 98-102
10 10-1 10 % 98-102
1 10-2 1% 97-103
0,01 10-3 0,1 % 95-105
0,001 10-4 100 ppm 90-107
0,0001 10-5 10 ppm 80-110
0,00001 10-6 1 ppm 80-110
0,000001 10-7 100 ppb 80-110
0,0000001 10-8
10 ppb 60-115
0,00000001 10-9
1 ppb 40-120

2. Presisi

Presisi merupakan ukuran derajat keterulangan dari metode analisis yang

memberikan hasil yang sama pada beberapa perulangan. Presisi menggambarkan


41
41

kedekatan kesapakatan (derajat penyebaran) antara serangkaian pengukuran yang

diperoleh dari beberapa pengujian sampel, untuk mengevaluasi ketelitian dari data

analisis adalah dengan menghitung simpangan baku (EMEA, 1995).

Simpangan baku mengukur penyebaran data-data percobaan dan memberikan

indikasi yang bagus mengenai seberapa dekat data tersebut satu sama lain

(Nielsen, 2003).

Berikut adalah nilai RSD yang diperbolehkan dalam suatu analisis, berdasarkan
AOAC.

Tabel 4. Nilai RSD berdasarkan AOAC (AOAC, 2012)

Analyte, % Analyte Ratio Unit RSD, %


100 1 100 % 1,3
10 10-1 10 % 1,9
1 10-2 1% 2,7
0,01 10-3 0,1 % 3,7
0,001 10-4 100 ppm (mg/kg) 5,3
0,0001 10-5 10 ppm (mg/kg) 7,3
0,00001 10-6 1 ppm (mg/kg) 11
0,000001 10-7 100 ppb ( g/kg) 15
0,0000001 10-8 10 ppb ( g/kg) 21
0,00000001 10-9 1 ppb ( g/kg) 30

Simpangan baku dapat dihitung deng an rumus:

(x x) )
SD = (
n1

Keterangan :
SD : Standar Deviasi (simpangan baku)
x : Konsentrasi hasil analisis
n : Jumlah pengulangan analisis
x : Konsentrasi rata-rata hasil analisis
42
42

Untuk mengukur ketelitian adalah dengan menghitung nilai simpangan baku

relatif (RSD). Nilai RSD ini merupakan nilai simpangan baku yang yang

dinyatakan sebagai persentase dari rata-rata.

RSD dapat dihitung dengan rumus :

SD
RSD 100%
x

Keterangan :
RSD : Relatif standar deviasi
x : Konsentrasi rata-rata hasil analisis
SD : Standar deviasi

3. Limit Deteksi

Limit deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi

yang masih memberikan respon signifikan. Limit deteksi merupakan parameter

tes kuantitatif untuk tingkat rendah senyawa dalam matriks sampel, dan

digunakan terutama untuk penentuan kotoran dan produk terdegradasi (EMEA,

1995). Limit deteksi dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Q = k x SD

Keterangan:
Q : LoD (limit deteksi)
K : 3,3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantifikasi
SD : simpangan baku respon analitik dari blanko

4. Linieritas

Linieritas adalah suatu koefisien korelasi antara konsentrasi larutan standar

terhadap absorbansi larutan standar yang dihasilkan. Uji linieritas dilakukan

dengan membuat kurva kalibrasi larutan standar, dari kurva kalibrasi diperoleh
43
43

persamaan garis lurus atau regresi dan koefisien korelasi yang digunakan untuk

mengetahui hubungan antara korelasi larutan standar dengan nilai absorbansi

yang dihasilkan.
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2015 sampai Februari 2016 di

dua sungai yang bermuara ke Teluk Lampung, yaitu: sungai Way Kuala dan

Way Kuripan, di Laboratorium Kimia Analitik dan Instrumentasi Jurusan

Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lampung. Sampling dilakukan di dua sungai tersebut dan analisis kadar fosfat

menggunakan spektrofotometer UV-Vis (SNI 06-6989.31-2005) dilakukan di

Laboratorium Kimia Analitik dan Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah ember ukuran sedang, pH meter portable, DO

meter portable, termometer elektronik, botol gelap 1 L, vandorn/water sampler,

cawan, oven, penjepit kertas, penjepit cawan, desikator, Erlenmeyer 100 mL,

labu ukur 50, 100, 500, dan 1000 mL, gelas ukur 100 mL, gelas beker 400 mL,

corong, tabung reaksi, spatula, timbangan digital, pipet volumetrik 10 mL,

pipet tetes, lemari asam, dan spektrofotometer UV-Vis.


45
45

Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, kertas saring, H2SO4 p.a,

((NH4)6Mo7O24.4H2O) p.a, (K(SbO)C4H4O6.1/2H2O) p.a, C6H8O6 p.a, larutan

baku fosfat 10 mg/L, dan indikator fenolftalin.

C. Prosedur Penelitian

1. Penentuan Lokasi Sampling

Sampel diambil di Sungai Way Kuala dan Sungai Way Kuripan, yang terdiri

atas dua belas stasiun penelitian/titik sampel. Tiga titik pada Sungai Way

Kuripan dan sembilan titik di DAS Sungai Way Kuala. Mengacu pada

Hutagalung (1997), dimana penentuan titik sampling pengambilan sampel

ditentukan berdasarkan salinitas yang berbeda-beda, dengan metode

purposive sampling yaitu, metode pengambilan sampel dengan menentukan

titik pengambilan sampel sesuai dengan daerah yang mewakili lokasi

penelitian. Lokasi titik sampling dapat dilihat pada Lampiran 8.

2. Persiapan Sampling

Persiapan sampling dilakukan dengan menyiapkan beberapa alat dan bahan

yang digunakan untuk pengukuran kualitas air secara in situ dan pengambilan

sampel air.

3. Pengambilan Contoh Air

Pengambilan contoh air dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut

vandorn/water sampler.
46
46

Gambar 8. Vandorn/water sampler

4. Penanganan Sampel

Pengambilan sampel sebanyak 1 liter dilakukan pada permukaan perairan.

Sampel masing-masing diambil pada tiap titiknya, kemudian ditempatkan

dalam botol polyetilene tanpa diberikan pengawet. Sampel selanjutnya

disaring menggunakan membran filter Nitroselulosa berukuran pori 0,45 m

dengan diameter 47 mm, dihomogenkan dan disimpan di dalam cool box,

serta ditambahkan garam di dalam cool box, agar suhu tetap dingin.

5. Pengukuran beberapa Parameter Kualitas Air

a). Temperatur

Contoh air diambil sebanyak 50 ml dimasukkan dalam wadah gelas,

kemudian termometer elektronik dimasukkan dalam contoh air dan dicatat

hasil yang terbaca pada alat.


47
47

b). Oksigen Terlarut (DO)

Contoh air diambil sebanyak 50 ml dimasukkan dalam wadah gelas,

kemudian DO Meter Portable dimasukkan dalam contoh air dan dicatat hasil

yang terbaca pada alat.

c). pH (keasaman)

Sampel air diambil sebanyak 50 ml dimasukkan dalam wadah gelas, kemudian

pH meter portable dimasukkan dalam contoh air dan dicatat hasil yang terbaca

pada alat.

6. Pengukuran Kadar Fosfat

a). Pembuatan Larutan

1. Larutan Asam Sulfat H2SO4 2,5 M

Dimasukkan dengan hati-hati 70 mL asam sulfat pekat ke dalam labu ukur

500 mL, lalu diencerkan dengan akuades sampai tanda batas dan

dihomogenkan.

2. Larutan Ammonium Molibdat ((NH4)6Mo7O24.4H2O) 0,03 M

Sebanyak 20 gram ammonium molibdat dimasukkan ke dalam labu ukur

500 mL, lalu diencerkan dengan akuades sampai tanda batas dan

dihomogenkan.
48
48

3. Larutan kalium antimonil tartrat (K(SbO)C4H4O6.1/2H2O) 0,008 M

Sebanyak 1.3715 g kalium antimonil tartrat dimasukkan ke dalam labu ukur

500 mL, lalu diencerkan dengan akuades sampai tanda batas dan

dihomogenkan.

4. Larutan Asam Askorbat (C6H8O6) 0,1 M

Sebanyak 1.76 gram asam askorbat dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL,

lalu diencerkan dengan akuades sampai tanda batas dan dihomogenkan.

5. Larutan Baku Fosfat 10 mg/L

Sebanyak 0,439 gram kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) dimasukkan ke

dalam labu ukur 1 L, lalu diencerkan dengan akuades sampai tanda batas dan

dihomogenkan (larutan induk fosfat, 100 mg/L). Encerkan 10 mL larutan stok

fosfat 100 mg/L dengan akuades dalam labu ukur 100 mL dan dihomogenkan

(larutan baku fosfat, 10 mg/L).

6. Larutan Campuran

Dicampurkan secara berturut-turut 100 mL H2SO4 2,5 M, 30 mL larutan

ammonium molibdat 0,03 M, 10 mL larutan kalium antimonil tartrat 0,008 M,

dan 60 mL larutan asam askorbat 0,1 M.


49
49

b). Pembuatan Kurva Kalibrasi

Dibuat deret standar dengan memipet 0; 1; 2; 3; 4; 5 larutan baku fosfat 10

mg/L dan dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 50 mL. Lalu

ditambahkan air suling sampai tepat tanda tera kemudian dihomogenkan

sehingga diperoleh kadar fosfat 0,0 mg/L; 0,2 mg/L; 0,4 mg/L; 0,8 mg/L; 1,0

mg/L. Masukkan 50 mL masing-masing larutan standar tersebut ke dalam

Erlenmeyer.

Setelah itu ditambahkan 1 tetes indikator fenolftalin. Jika terbentuk warna

merah muda, ditambahkan tetes demi tetes H2SO4 2,5 M sampai warna hilang.

Kemudian ditambahkan 8 mL larutan campuran dan dihomogenkan. Larutan

tersebut dimasukkan ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer UV-Vis, lalu

dibaca dan dicatat serapannya pada panjang gelombang 880 nm dalam kisaran

waktu antara 10-30 menit.

c). Pengukuran Sampel

Dipipet 50 mL sampel dimasukkan masing-masing ke dalam Erlenmeyer.

Ditambahkan 1 tetes indikator fenolftalin. Jika terbentuk warna merah muda,

ditambahkan tetes demi tetes H2SO4 2,5 M sampai warna hilang. Setelah itu

ditambahkan 8 mL larutan campuran kemudian dihomogenkan. Larutan

tersebut dimasukkan ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer UV-Vis, lalu

dibaca dan dicatat serapannya pada panjang gelombang 880 nm dalam kisaran

waktu antara 10-30 menit.


50
50

d). Verifikasi Metode

1. Linieritas

Linieritas dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada

konsentrasi yang berbeda-beda yaitu, 0,0 mg/L; 0,2 mg/L; 0,4 mg/L; 0,8 mg/L;

dan 1,0 mg/L. Data yang diperoleh selanjutnya diolah untuk mendapatkan nilai

slope, intersep, dan koefisien korelasinya.

2. Limit Deteksi

Batas deteksi ditentukan dengan mengukur respon blanko sebanyak 7 kali dan

dihitung simpangan baku respon blangko.

3. Presisi

Presisi dilakukan dengan mengukur konsentrasi sampel dengan 6 kali

pengulangan. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian ditentukan nilai

konsentrasi (persamaan regresi larutan standar), lalu nilai simpangan baku (SD)

dan simpangan baku relatif (RSD) dapat ditentukan. Metode dengan presisi

yang baik yaitu dengan perolehan simpangan baku relatif (RSD) < 5 %

(Christian, 1994).

4. Akurasi

Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit

yang ditambahkan. Pada penelitian ini, persen perolehan kembali ditentukan

dengan cara menambahkan larutan standar pada larutan sampel untuk

ditentukan absorbansinya.
51
51

Recovery dengan teknik spike, setelah sampel dianalisis dan diperoleh hasil (C1),

larutan standar 0,0 mg/L ; 0,2 mg/L ; 0,4 mg/L ; 0,8 mg/L, dan 1,0 mg/L

ditambahkan masing-masing ke dalam sampel (C2), lalu dilakukan pengujian dan

diperoleh hasil (C3). Analit yang diperoleh kembali (C3-C1), dari banyaknya

yang ditambahkan (C2). Sehingga, nilai perolehan kembali (%) dapat dihitung.
76

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan pengukuran in situ yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

nilai pH, temperatur, dan DO Sungai Way Kuripan maupun DAS Way

Kuala secara umum berada dalam batas aman berdasarkan baku mutu

dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 11 Tahun 2012 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

2. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kadar fosfat pada DAS Way

Kuala berada pada rentang 0,0633 1,8161 mg/L dan berdasarkan baku

mutu dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 11 Tahun 2012

tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, maka

secara umum nilai tersebut berada diatas ambang batas baku mutu yang

telah ditetapkan.

3. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kadar fosfat di Sungai Way

Kuripan berada pada rentang 0,1695 1,4693 mg/L dan berdasarkan baku

mutu dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 11 Tahun 2012

tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, maka

secara umum nilai tersebut berada diatas ambang batas baku mutu yang

telah ditetapkan.
77

4. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kadar fosfat di bagian hilir

Sungai Way Kuripan dan DAS Way Kuala lebih besar dibandingkan

dengan bagian hulu.

5. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan semakin tinggi suhu air sungai

maka kecepatan reaksi akan meningkat disertai dengan turunnya jumlah

oksigen terlarut sehingga konsentrasi fosfat di sungai akan mengalami

peningkatan.

B. Saran

Penulis menyarankan dalam penentuan kandungan senyawa fosfat di sungai

yang sama atau pun yang lain, dapat menggunakan instrument selain

Spektrofotometer UV-Vis, dan bukan hanya penentuan kadar saja yang di

analisis, namun juga bagaimana cara penanggulangan kadar fosfat yang sudah

mencemari lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. dan Sri Santika Sumestri. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha
Nasional. Surabaya.

AOAC.1993. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical


Chemist. Benyamin Franklin Station. Washington, D.C.

Bappeda Kota Bandar Lampung. 2001. Perencanaan Pembangunan Kota Bandar


Lampung. Bappeda Kota Bandar Lampung. Lampung.

Bappeda Kota Bandar Lampung. 2005. Perencanaan Pembangunan Kota Bandar


Lampung. Bappeda Kota Bandar Lampung. Lampung.

Boyd, C.E, Tucker, C.S. 1982. Water Quality and Soil Analyses for Aquaculture.
Alabama Agriculture Experiment Station. Auburn University.

BPPLH Kota Bandar Lampung. 2006. Inventarisasi Sungai. BPPLH Kota Bandar
Lampung. Lampung.

Christian D, Gary.1994. Analitical Chemistry. John Wiley and Sons inc. New
York.

Cottam, T. 1969. Research for Establishment of Water Quality Criteria for


Aquatic Life. Reprint Transac of the 2nd Seminar on Biology, April 20-24.
Ohio.

Dahuri, R. dan A. Damar. 2000. Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya


Kelautan (Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil), Makalah Konggres dan
Seminar Kelautan Nasional KTI III, Lombok.
Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbit Universitas Atmajaya.
Yogyakarta, hal : 66, 68.

DiToro et al. 1980. Mathematical Models of Water Quality in Large Lakes, EPA-
600/3-80-056. Environmental Protection Agency. Washington, DC.

Davis, M.L dan Corwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering.


Second edition. Mc-Graw-Hill, Inc. New York.

EMEA. 1995. The European Agancy for the Evaluation of Medicinal Products.
ICH Topic Q 2B. Validation of Analytical Procedures: Methodology. Diakses
pada tanggal 8 September 2013 pukul 09.23 WIB.
http://www.pharmacontract ch/support/pdf/support/Q2a.pdf.

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal : 21-
23, 185.

Hendersend, S. B. and H. R., Markland. 1987. Decaying Lakes the Origin and
Control of Cultural Euthropication. Britian: John Willey and Sons.

Huber, L. 2001. Validation of Analytical Methods. Diakses pada tanggal 9


September 2013 pukul 20.15 WIB. www.labcompliance.com.

Hutagalung, Horas P, Deddy Setiapermana, dan Hadi Riyono. 1997. Metode


Analisis Air Laut, Sedimen, dan Biota. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.

Hidayat, I. 1981. Water Pollution Control, Pengawasan Kualitas dan


Pencemaran Air, Paket Ilmu Jurusan Farmasi, FMIPA, ITB, BPC, I.S.F.I,
Jawa Barat. Hal : 12-14.

Ibrahim, S. 1982. Water Pollution Control. Pengawasan Kualitas dan Pencemaran


Air. Paket Ilmu Jurusan Farmasi, FMIPA, ITB, BPC, I.S.F.I, Jawa Barat, hal :
12-19.
Irianto, E.W dan B. Machbub, 2003. Fenomena Hubungan Debit Air dan Kadar
Zat Pencemar dalam Air Sungai (Studi Kasus : Sub DAS Citaru Hulu). JLP.
Vol 17 (52) Tahun 2005. Hal : 1-4. Diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pkl : 00
: 31.

Karmanto, 2014. Kimia Analisis Lingkungan. UIN Sunan Kalijaga Press.


Yogyakarta.

KEPMENLH. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112


Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber
Air. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2009. Undang-undang Nomor 32 Tahun


2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta.

Khopkar, SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta. UI Press.

Kristianingrum, Susila. 2014. Beberapa Metode Pengawetan Buah-buahan.


Universitas Negeri Yogyakarta Press. Yogyakarta.

Kordi, M. G dan Tancung A. B. 2005. Pengelolaan Kualitas air. Penerbit Rineka


Cipta. Jakarta. 208 hal.

Kumar, H.D. 1977. Modern Concept of Ecology. Vikas Published Houses, VT.
Ltd, New Delhi.

Lincoln, Y.S. dan Guba, E.G. 1985. Effective Evaluation. Jossey-Bass Publishers.
San Fransisco.

Mahida, U.N. 1986. Pencemaran dan Pemanfaatan Limbah Industri. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.

Martin, J.H and Fitzwater, S.E. 1988. Nature, 331, 341.

Mulja, M, Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University Press.


Surabaya.
Nielsen, S. Suzanne. 2003. Food Analysis 3rd ed. Kluwer Academic/Plenum
Publishers. New York.

Peavy H.S, D.R Rowe and G. Tchobanoglous. 1986. Environmental Engineering.


Mc. Graw Hill-Book Company. Singapore.

Peraturan Daerah Provinsi Lampung. 2012. Pengelolaan Kualitas Air dan


Pengendalian Pencemaran Air No. 11. Lampung.

Rukaesih, Achmad. 2004. Kimia Lingkungan. Andi. Yogyakarta.

Sanusi, Harpasis. 2006. KIMIA LAUT : Proses Fisik Kimia dan Interaksinya
dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.

Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Schmidt, F.H. and Fergusson, J,H,A. 1951. Rainfall Types Based On Wet and Dry
Period Ratios for Indonesia and Wastern New Guinea. Verh. Djawatan Mety,
dan Geofisik, Jakarta 42.

Setiaji, B. 1995. Baku Mutu Limbah Cair untuk Parameter Fisika, Kimia pada
Kegiatan MIGAS dan Panas Bumi. Lokakarya Kajian Ilmiah tentang
Komponen, Parameter, Baku Mutu Lingkungan dalam Kegiatan Migas dan
Panas Bumi, PPLH UGM, Yogyakarta.

Sobirin, Achmad. 2001. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna dan Aplikasinya


dalam Kehidupan Organisasi. STIE YKPN. Yogyakarta.

Stumm, W and J.J, Morgan. 1981. Aquatic Chemistry : an Introduction


Emphasizing Chemical Equalibra in Natural Water. John Wiley and Sons, Inc.
Canada.

Sugiyono. (2008:218). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.


Alfabeta. Bandung.
Sumengen. 1987. Metode Praktis dalam Menentukan Pencemaran Air. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Bahan Kursus Penyegar dan
Musyawarah II ILUNI FK-UI. Jakarta.

Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasa-Dasar Pengolahan Buangan


secara Biologis. Penerbit Alumni. Bandung.

Thomann et al. 1987. Principles of Surface Water Quality Modeling and Control.
Harper & Row. New York.

Vianney, E. 2015. Permasalahan Kota Bandar Lampung. Bintaro. Jakarta.

Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Yudha, I.G. 2006. Pencemaran Perairan dan Kerusakan Terumbu Karang di


Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Lampung.

You might also like