You are on page 1of 40
II. TINJAUAN PUSTAKA. A, Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu proses yang harus dilewati manusia untuk melanjutkan siklus kehidupan mereka. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang anita membawa akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik tethadap kedua belah pihak maupun keturunannya, sehingga dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur perkawinan tersebut ‘Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama dan kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan, yang menimbulkan banyak peraturan-peraturan tersendiri mengenai perkawinan, sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mampu mengatasi kemajemukan tersebut, selanjutnya perlu dikemukakan pengertian perkawinan menurut perundang- undangan, menurut hukum agama, dan hukum adat, sebagai berikut: 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undan; indang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Di Indonesia kemajemukan peraturan perkawinan membuat pemerintah berinisiatif untuk menerbitkan peraturan perundangan mengenai perkawinan yang menjadi unifikasi hukum perkawinan nasional, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pada Pasal 1 Undang-Undang No. | Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dikatakan ‘Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata’ dan dalam Pasal 81 KUHPer dikatakan bahwa ‘tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung’. Kalimat ‘yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat catatan sipil’ tersebut menunjukkan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum agama, dan hukum adat. Secara tegas dinyatakan dalam KUHPer, perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan, yang jelas bertentangan dengan falsafah negara Indonesia, yaitu Pancasila yang menempatkan ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya, dengan demikian tampak jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan menurut Undang-Undang No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan menurut KUHPer yang berlaku di Indonesia hingga tahun 1974 sejak 30 April 1847 hanya sebagai ‘Perikatan Perdata’ sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya sebagai perikatan perdata saja tetapi juga merupakan *Perikatan Keagamaan’, 2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Agama Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan jasmani dan rohani antara dua pihak dalam memenuhi perintah Tuhan Yang Maha Esa, yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai, dan tidak dibenarkan terjadinya perkawinan beda agama, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta bertetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.' Penulis akan menguraikan pengertian perkawinan tersebut sesuai dengan hukum agama-agama yang ada di Indonesia, yaitu : a, Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam Menurut Hukum Agama Islam, perkawinan adalah ‘akad’ (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya, bukan perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita saja sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, atau dapat diartikan perkawinan sebagai _perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan, b. Perkawinan Menurut Hukum Agama Kristen Protestan Dikalangan umat Kristen Protestan, perkawinan bersifat kekal Karena apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia. Perkawinan adalah persekutuan badaniah dan rohaniah yang ditasbihkan " Hilman Hadikusuma.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukwm Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007:10 Allah untuk suatu tujuan yang mulia di hadapan-Nya dan oleh karena itu tidak boleh dipisahkan oleh tangan manusia? c. Perkawinan Menurut Hukum Agama Kristen Katolik Perkawinan menurut agama Kristen Katolik merupakan persekutuan hidup dan cinta yang menyatukan seorang pria dengan seorang wanita dalam. kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh hidup melalui baptisan (sakramen) yang merupakan iman Gerejani yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Perkawinan juga dianggap sebagai lembaga sosial, yang memandang perkawinan sebagai salu-satunya lembaga yang menghalalkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks, dan untuk mendapatkan keturunan, selain sebagai lembaga sosial, perkawinan juga dianggap sebagai lembaga hukum negara, yang berarti_ perkawinan ‘merupakan ikatan resmi yang perlu disahkan. dd. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Agama Hindu Berdasarkan Kitab Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa perkawinan atau wiwaha itu bersifat religius (sakral) dan wajib hukumnya karena dihubungkan dengan kewajiban s ‘orang agar mempunyai keturunan untuk menebus segala dosa orang tuanya. Dengan demikian memurut agama Hindu, perkawinan atau wiwaha itu sangat dimuliakan, karena perkawinan itu merupakan suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya, bahkan arwah para leluhumya, oleh karena itu kawin dan ‘mempunyai anak laki-laki merupakan tugas mulia dalam agama Hindu.’ 2 Victor Tanya.Pernikahan Campuran Roma Katolik Reformasi Makalah dalam Dialog KWI- PGI.1989:53.sebagaimsana dikutip Nilla Nargis. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Propinsi Lampung Tesis.1999:25, * Ge Sura Pelajaran Agama Hinds, Jakarta Vayasan Wisma Karts. 1987:30, €. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Agama Budha Menurut Petunjuk Teknis Tata Cara Perkawinan Agama Budha dari Departemen Agama Republik Indonesia, Kitab Suci Agama Budha, Tripitaka, perkawinan diatur oleh pemimpin agama berdasarkan tuntutan dan norma agama dengan memperhatikan pula tradisi atau adapt masyarakat yang bersangkutan. 3. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan hanya berarti perikatan perdata saja, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan, yang membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, hak dan kewajiban orang tua, kedudukan anak, hubungan adat istiadat kewarisan kekeluargaan dan kekerabatan, serta menyangkut upacara- upacara adat dan keagamaan, Undang-Undang No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai tata-tertib adat bagi calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan menurut sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat, calon mempelai diberikan kebebasan untuk mengikuti sistem adat manapun dalam melangsungkan perkawinan mereka asalkan segala sesuatunya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan kepentingan umum. “Hitman Hadikusuma Hukum Perkawinan Indonesia Menurat Perundangan, Hukum Adat, dan Hukwum Agama Manéar Maju.Bandung,2007:8,9 Dari beberapa pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan, hukum agama, dan hukum adat dapat ditarik beberapa kesamaan, yakni : 1. Untuk melaksanakan perkawinan harus ada ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita. 2. Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanite itu berlangsung untuk seumur hidup. 3. Perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan,* B. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPer. Syarat sah perkawinan ada dua macam, yaitu syarat-syarat materiil dan syarat- syarat formal. Syarat-syarat materiil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga syarat-syarat subjektif, sedangkan syarat-syarat formil adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga syarat-syarat objektif KUHPer Pasal 27 hingga Pasal 49 mengklasifikasikan syarat materiil menjadi dua, yaitu : 1. Syarat Materiil Mutlak Syarat itu harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan ‘tanpa memandang dengan siapa ia akan melangsungkan perkawinan, Syarat- * Nilla Nargis Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Aktbat Perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Propinsi Lampung. Tesis.1999:31 ® Abdulkadir Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia Bandung.Citra Aditya Bakti2000:76 syarat ini berlaku umum, jika salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Syarat tersebut ada 5, yaitu a. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak terikat dengan suatu perkawinan lain (Pasal 27 KUHPer), “Dalam waktu yang sama scorang laki-laki hanya diperbolehkan ‘mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”. b. Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28 KUHPer). “Azas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kala sepakat antara kedua calon suami-isteri”. ©. Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 29 KUHPer). “Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, seperti seorang gadis yang belum mencapai umur genap 15 tahun, tak diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan, sementara itu, dalam hal adanya alasan-alasan yang penting, presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi” 4. Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat dari 300 hari terhitung sejak bubamya perkawinan yang terakhir (Pasal 34 KUHPer). ©, Harus ada izin pihak ketiga (Pasal 35 KUHPer) “Untuk mengikat diri dalam perkawinan, anak-anak kawin yang belum dewasa harus memperoleh izin dari kedua orang tua mereka. Jika hanya satu saja diantara mereka memberikan izinnya, dan orang tua yang lain 2 dipecat dari kekuasaan-orang tuanya atau perwalian atas diri si anak, maka Pengadilan Negeri yang mana dalam daerah hukumnya, anak itu mempunyai tempat tinggalnya, atas permintaan anak, berkuasa memberikan izin untuk kawin, setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan mereka yang izinnya diperlukan dan akan para keluarga sedarah atau semenda. Jika satu diantara kedua orang tua telah meninggal dunia, atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain”. Syarat Materiil Relatif Talah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini. Seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak dapat melangsungkan perkawinan, namun kendati demikian ia tidak boleh kawin dengan sembarang orang dan ia pun harus memenuhi syarat-syarat materill relatif dengan pihak yang dikawininya. Sementara itu, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat sahnya perkawinan ada 2 macam, yakni: 1 Syarat Material (Syarat Subyektif) ‘Adalahsyarat yang ada dan melekat pada iri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang terdiri dari : a. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6), tanpa ada paksaan dari pihak ‘mana pun juga, b. Harus berusia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria (Pasal 7), dengan maksud untuk menjaga keschatan suami isteri dan keturunan. ©. Tidak sedang terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal yang diijinkan, misal karena adanya sas poligami pada hukum perkawinan Islam. (Pasal 9) 4d. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (Pasal 6 Ayat (2)), hal ini dikarenakan mereka yang belum berusia 21 tahun dianggap belum dewasa menurut hukum. e. Tidak merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah (Pasal 8), syarat ini ditujukan kepada mereka yang memiliki hubungan darah (ikatan keturunan, persaudaraan, kekerabatan) dan hubungan yang dilarang agamanya atau peraturan lain, 2. Syarat Formal (Syarat Obyektif) Adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terditi dari a, Pemberitahuan (Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 4), setiap pasangan yang ingin menikah harus memberitahukan kehendaknya tersebut kepada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan akan dilangsungkan yang dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, orang tua atau wakilnya. b. Pencatatan (Pasal 2 Ayat (1) dan (2)),bagi yang beragama Islam ditakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, bagi agama lain dilakukan oleh Pegawai Pencatat Petkawinan pada Kantor Catatan Sip. ¢. Penelitian (Pasal 6), Pegawai Pencatat hendaknya meneliti dahulu apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. 4d, Pengumuman (Pasal 8), setelah terpenuhi ketiga syarat diatas, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat Pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh C. Tujuan Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai pasangan suami isteri adalah ‘untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu adalah pencapaian kebahagiaan bagi pasangan suami isteti dari segi rohani dan jasmani, dan hadimya anak dalam perkawinan tersebut, sehingga tercapai bentuk kesatuan keluarga yang seutuhnya, yaitu ayah, ibu, dan anak, Kehidupan berkeluarga yang bahagia itu jika dijalankan dengan seimbang dan harmonis baik jasmani dan rohani (keagamaan) bagi ayah, ibu, dan anak diharapkan dapat berlangsung untuk selamanya (kekal), 2. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Agama a, Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam Tujuan perkawinan menurut hukum agama Islam adalah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tanga yang damai dan teratur, dengan demikian tujuan perkawinan menurut agama Islam dapat dirinei sebagai berikut 1). Untuk menegakkan agama, dalam arti mentaati perintah Allah dan ‘menjauhi larangan Allah. 2). Untuk mendapatkan keturunan yang sah. 3). Untuk mencegah perbuatan maksiat, seperti terjadinya perzinahan dan pelacuran. Agama Islam juga melihat pemenuhan kebutuhan seksual sebagai salah satu tujuan perkawinan. 4). Untuk membina keluarga (rumah tangga) yang damai dan teratur. b. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Agama Kristen Protestan Dikalangan orang Protestan tujuan perkawinan juga dianggap sebagai pelaksanaan perintah Allah untuk memperoleh keturunan dan mendidik anak serta saling tolong menolong antara suami isteri dan obat nafsu (Kejadian 1:28), jika diuraikan, maka tujuan perkawinan menurut hukum, agama Kristen Protestan terdiri dari 1), Untuk membentuk keluarga yang kekal berdasarkan cinta kasih yang utuh, Disamping itu sifat hakiki perkawinan adalah monogami, tak terceraikan, 2). Untuk melahirkan, mendidik, sekaligus membesarkan anak (keturunan) ‘menumbubkan sifat tolong menolong dalam keluarga (rumah tangga). 3). Perkawinan sebagai lembaga pengatur dan pengesahan perilaku ‘manusia di bidang seksual, ¢. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Agama Kristen Katolik Gereja Katolik umumnya mengakui 3 (tiga) tujuan penting dalam perkawinan seperti nampak dalam Alkitab, yaitu 1). Untuk memperoleh keturunan dan bekerja sama dalam memelihara bumi, sebagaimana disebutkan dalam Alkitab Perjanjian Lama “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhi bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan barang-barang di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kitab Kejadian 1 : 28). 2). Persatuan yang erat antara suami isteri berdasarkan cinta kasih. Yesus ‘mengajarkan bahwa perkawinan mempunyai tujuan agar suami isteri dipersatukan seerat nya. 4. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Agama Hindu Tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah untuk mendapatkan keturunan dan menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang, putera yang akan menyelamatkan arwah tuanya dari neraka PUT’, disamping itu perkawinan menurut hukum agama Hindu mempunyai tujuan sebagai jalan untuk membayar hutang (rina), sebagaimana dijelaskan dalam Manawadharmasastra bahwa perkawinan itu sama dengan dharma. Setiap manusia yang telah lahir mempunyai hutang * Gide Sura Pelajaran Agama Hind Ska Yayasan Wisma Karma :1975:9 3 § Gade Sura Pelajaran Agama Hin aka kepada orang tuanya dan untuk membayar hutang tersebut adalah dengan jalan melahirkan dan memelihara anak.* ce. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Agama Budha Tujuan perkawinan menurut hukum agama Budha berdasarkan Pasal 1 ‘Hukum Perkawinan Agama Budha adalah untuk membentuk satu keluarga, (rumah tanga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha (Tuban Yang Maha Esa), para Budha dan para Bodhisatwa dan Mahasatwa, dan agar dapat tercapai pasangan suami isteri harus memiliki keyakinan (suddha) yang sebanding, tata susila (sila) yang. sebanding, kemurahan hati (caga) yang sebanding, dan kebijaksanaan (panna) yang. sebanding. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan Keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tanga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.” sayasan Wisma Karma :1975:11 * Tilman Hadikusuma.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adal, dan Hukwm Agama Mandar Maju.Bandung,2007:22 D. Perceraian 1. Pengertian dan Alasan Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPer. Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuban yang tidak dapat dielakkan manusia, Putusnya perkawinan Karena kematian nampaknya hampir tidak diatur sama sekali baik dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KUHPer.'” Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena a. Kematian; b. Perceraian; c. Keputusan Pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur secara tegas mengenai syarat-syarat untuk bercerai a, Ayat (1) : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak bethasil mendamaikan kedua belah pihak. "© Hitman Hadikusuma Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukuam Agama Mandar Maju,Bandung,2007:149. b. Ayat (2) : Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami ister Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19, mencantumkan 6 alasan untuk melakukan perceraian, yaitu : a, Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan; b, Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauamnya; ©. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung: 4, Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang ‘membahayakan tethadap pihak yang lain; ©. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiisteri; f Antara suami dan isteri terus-menerus terjadiperselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, Menurut KUHPer, suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan Hakim yang didaflarkannya pada catatan sipil, disini yang dimaksud adalah perceraian yang dilakukan oleh suami atau istri yang beragama Non-Muslim. Menurut ketentuan Pasal 199 KUHP. , perkawinan dapat bubar oleh sebab a, Kematian, yaitu suami atau isteri meninggal dunia, Apabila suami atau isteri meninggal dunia, maka perkawinan dianggap tidak ada lagi, sedangkan mengenai bubamya perkawinan Karena alasan_kematian, undang-undang tidak menyebutkan ketentuan apapun. b. Ketidakhadiran ditempat oleh salah satu pihak selama 10 tahun dan ditkuti dengan perkawinan bart oleh suami atau isteri sesuai dengan ketentuan Pasal 199 Jo. Pasal 493-495 KUHPer. Bubarnya perkawinan katena butir kedua ini, ada akibat adanya dugaan bahwa seseorang yang tidak hadir selama waktu tertentu dianggap meninggal dunia, oleh arena itu, suami atau isteri yang ditinggalkan, dapat kawin lagi dengan orang lain dengan izin Hakim, Perlu diperhatikan disini bahwa perkawinan yang terdahulu dinyatakan bubar dengan dilangsungkannya perkawinan yang baru, Suatw izin Hakim untuk melangsungkan perkawinan baru belum cukup membubarkan perkawinan yang terdahulu, Perkawinan itu baru dianggap bubar jika putusan Hakim telah dibukukan dalam daftar catatan sipil dan diikuti dengan adanya suatu perkawinan baru dengan orang lain. ©. Keputusan Hakim sesudah pisah meja dan tempat tidur yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil (Pasal 199 Jo. Pasal 200-206 KUHPer), dan perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab 10 Pasal 207-232a KUHPer. Dalam hal-hal seperti ini, maka perkawinan bubar oleh Karena putusan Hakim yang telah didaftarkan dalam daftar catatan sipil Menurut Pasal 209 KUHPer menyebutkan berbagai alasan yang dapat mengakibatkan perceraian, terdiri atas a. Zinah atau overspel, b, Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat, ©. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. 4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri tethadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jjiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan Iuka luka yang membahayakan, Tuntutan perceraian hanya dapat diajukan oleh pihak yang tidak bersalah dengan alasan seperti tersebut di atas. Maksud pembentuk undang-undang yang sebenamya, ialah agar perceraian itu hanya dimungkinkan jika fakta- fakta seperti tersebut di Tata Cara Pelaksanaan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 ‘Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPer. Tata cara pelaksanaan perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri dimana gugatan perceraian diajukan oleh salah satu pihak, Bagi pasangan suami-isteri yang ingin bercerai di Pengadilan ‘Negeri harus tunduk pada Hukum Positif, yaitu Undang-Undang No. | Tahun 1974 tentang Perkawinan yang semua peraturannya terdapat dalam undang- undang tersebut, dan sebaliknya pasangan suami-isteri yang ingin bercerai di Pengadilan Agama harus tunduk pada Hukum Islam yang semua aturannya terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, Perceraian tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan surat gugatan perceraian ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama Islam. Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang Pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No, 9 Tahun 1975 tersebut di atas, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Pada umumnya gugatan perceraian itu diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 20 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Melalui Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang No, | Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasangan suami isteri yang hendak melakukan perceraian mengajukan gugatan perceraiamnya ke Pengadilan, Bagi pasangan yang beragama Islam, dapat mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Khusus, sementara bagi pasengan yang Non-Muslim (Kristen, Katolik, Hindu, Budha), dapat mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Negeri Pasangan suami-isteri yang ingin bercerai di Pengadilan Negeri harus tunduk pada Hukum Positif, yaita Undang-Undang No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga peraturan-peraturan lain antara lain yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebaliknya pasangan suami-isteri yang ingin bercerai di Pengadilan Agama harus tunduk pada Hukum Islam yang semua aturannya terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, Pada Hukum Acara Perdata, proses peradilan yang menangani masalah perceraian dapat meliputi keseluruhan Peradilan Umum yang sesuai dengan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 juncties Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni a, Pengadilan Negeri, untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri memiliki 2 (dua) kompetensi atau kewenangan mengadili perkara dari suatu. Pengadilan, yakni: 1. Kompetensi relatif, yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pembagian daerah hukum yang meliputi Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II di tempat Pengadilan Negeri itu berada, 2. Kompetensi absolut, yaitu kewenangen mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pembagian wewenang/pembebanan tugas, akni untuk perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama. b. Pengadilan Tinggi, untuk memeriksa perkara perdata dan pidana pada tingkat kedua dan tertinggi, yang diajukan setelah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri ©. Mahkamah Agung, merupakan Pengadilan tertinggi bagi semua Jingkungan peradilan, memiliki wewenang untuk pemeriksaan tingkat kasasi (tingkat pertama dan terakhir), mengenai perkara sengketa antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri yang tidak terletak dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi atau antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi 3. Tindakan Sementara Dari Pengadilan Terhadap Isteri dan Anak- Anaknya Selama Proses Perceraian, Pengadilan dapat mengeluarkan beberapa ketetapan atau mengambil tindakan- tindakan sementara selama masih dalam proses. Ketetapan-ketetapan sementara adalah sama atau mirip dengan semua ketetapan sementara yang dapat diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan surat ketetapan pemberian izin untuk mengajukan gugat cerai, Ketetapan tersebut, adalah sebagai berikut a, Pengadilan dapat memberi izin kepada isteri, baik selaku Penggugat maupun selaku Tergugat untuk meninggalkan rumah svaminya selama perkara masih dalam proses. Pengadilan akan menunjuk rumah tempat ister diwajibkan bertempat tinggal. Pasal 212 KUHPer menentukan bahwa dengan izin Pengadilan isteri dapat meninggalkan rumah suaminya. Menurut kata-kata dalam pasal tersebut, maka Pengadilan tidak boleh menetapkan bahwa isteri dapat terus tinggal dirumah bersama suami ataupun suami harus meninggalkan rumah istri, Tentang penunjukkan rumah isteri oleh Ketua Pengadilan, kalimat dalam Pasal 835 KUHPer tidak begitu tegas, namun demikian telah jelas bahwa undang-undang tidak bermaksud agar Ketua Pengadilan dapat’ mewajibkan suami meninggalkan rumah bersama sehingga isteri dapat terus bertempat tinggal 4, Formulasi Putusan Maksud formulasi putusan adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan dalam putusan agar memenuhi syarat perundang-undangan. Apabila putusan yang dijatuhkan tidak memenuhi susunan perumusan maka putusan tersebut tidak sah dan harus dibatalkan, Mengenai formulasi putusan tidak hanya diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) HIR atau Pasal 195 RBg, tetapi juga dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.”” Bertitik tolak dari Pasal-Pasal di atas, terdapat beberapa unsur formula yang harus tercantum dalam putusan antara lain a, Memuat secara ringkas dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan, dan amar putusan ; b. Mencantumkan biaya perkara ; ©. Meneari dan menemukan hukum objektif dari sumber hukum yang dibenarkan, ® Yahya Tarabap.ukum Acara Perdata Jakarta Sinar Grafika 2004:80S ® Yahya Harabap.Hukum Acara PerdataJakaria Sinar Grafika.2004:807 . Kerangka Pikir Suami Isteri Perceraian Pengasuhan Anak Putusan No. 407 K/PDT/2007/ jo. Putusan No. 42/PDT.V/2005/PNTK, IBU AYAH Penjelasan berdasarkan bagan tersebut adalah sebagai berikut, ‘Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai yaitu pihak pria dan wanita. Ketika pihak pria dan wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, maka status pria berubah menjadi suami dan status wanita berubah menjadi isteri, Perkawinan antara suami dan isteri dapat putus apabila dalam perkawinan tersebut, pasangan suami isteri seting terjadi konflik yang mengekibatkan tidak ada lagi kebahagiaan dalam perkawinan, Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, selain berakibat bagi bekas suami dan isteri, juga membawa akibat terhadap anak atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, Salah satu persoalan yang timbul akibat perceraian dari suamiisteri adalah petsoalan hak asuh anak. Jika persoalan tersebut telah mendapatkan keputusan Hakim setelah beracara di Pengadilan, baruleh kemudian dapat ditentukan pemberian hak asuh anak kepada ayah atau ibu anak tersebut, yang didasari_pada kemampuan orang tua untuk bertanggung jawab memenuhi kewajibannya memelihara dan mendidik anak tersebut hingga anak tersebut dewasa, mandiri, atau telah menikah, baik dari segi materiil maupun spirituil

You might also like